Está en la página 1de 37

ASKEP LIMFOMA NON HODGKIN

MAKALAH SISTEM IMUNOLOGI DAN HEMATOLOGI


LIMFOMA NON HODGKIN

Di susun oleh :
Nama : Windayona Hadi Prasetya
NIM : 1002108
Prodi : SI/ IIA

STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA


TAHUN AJARAN 2011/2012

1. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Sistem limfatik adalah bagian penting sistem kekebalan tubuh yang memainkan peran kunci dalam
pertahanan alamiah tubuh melawan infeksi dan kanker. Cairan limfatik adalah cairan putih mirip susu
yang engandung protein, lemak dan limfosit (sel darah putih) yang semuanya mengalir ke seluruh
tubuh melalui pembuluh limfatik.
Yang membentuk sistem limfatik dan cairan yang mengisis pembuluh ini disebut limfe. Komponen
Sistem Limfatik antara lain :
Pembuluh Limfe
Kelenjar Limfe (nodus limfe)
Limpa
Tymus
Sumsum Tulang

1. Anatomi fisiologi sistem limfatik


a. Pembuluh limfe
Pembuluh limfe merupakan jalinan halus kapiler yang sangat kecil atau sebagai rongga limfe di
dalam jaringan berbagai organ dalam vili usus terdapat pembuluh limfe khusus yang disebut lakteal
yang dijumpai dala vili usus.
Fisiologi kelenjar limfe hampir sama dengan komposisi kimia plasma darah dan mengandung
sejmlah besar limfosit yang mengalir sepanjang pembuluh limfe untuk masuk ke dalam pembuluh
darah. Pembuluh limfe yang mengaliri usus disebut lakteal karena bila lemak diabsorpsi dari usus
sebagian besar lemak melewati pembuluh limfe. Sepanjang pergerakan limfe sebagian mengalami
tarikan oleh tekanan negatif di dalam dada, sebagian lagi didorong oleh kontraksi otot.
Fungsi pembuluh limfe mengembalikan cairan dan protein dari jaringan ke dalam sirkulasi
darah, mengankut limfosit dari kelenjar limfe ke sirkulasi darah, membawa lemak yang sudah dibuat
emulasi dari usus ke sirkulasi darah. Susunan limfe yang melaksanakan ini ialah saluran lakteal,
menyaring dan menghancurkan mikroorganisme, menghasilkan zat antiboi untuk melindungi
terhadap kelanjutan infeksi.
b. Kelenjar limfe (nodus limfe)
Kelenjar ini berbentuk bulat lonjong dengan ukuran kira-kira 10 25 mm. Limfe disebut juga
getah bening, merupakan cairan yang susunan isinya hampir sama dengan plasma darah dan cairan
jaringan. Bedanya ialah dalam cairan limfe banyak mengandung sel darah limfosit, tidak terdapat
karbon dioksida, dan mengandung sedikit oksigen. Cairan limfe yang berasal dari usus banyak
mengandung zat lemak. Cairan limfe ini dibentuk atau berasal dari cairan jaringan melalui difusi
atau filtrasi ke dalam kapiler kapler limfe dan seterusnya akan masuk ke dalam peredaran darah
melalui vena.
Fungsinya yaitu menyaring cairan limfe dari benda asing, pembentukan limfosit, membentuk
antibodi, pembuangan bakteri, membantu reasoprbsi lemak.

c. Limpa
Limpa merupakan sebuah organ yang terletak di sebelah kiri abdomen di daerah hipogastrium
kiri bawah iga ke-9,-10,-11. Limpa berdekatan pada fundus dan permukaan luarnya menyentuh
diafragma. Jalinan struktur jaringan ikat di antara jalinan itu membentuk isi limpa/ pulpa yang terdiri
dari jaringan limpa dan sejumlah besar sel sel darah.
Fungsi limpa sebagai gudang darah seperti hati, limpa banyak mengandung kapiler kapiler
darah, dengan demikian banyak arah yang mengalir dalam limpa, sebagai pabrik sel darah, limfa
dapat memproduksi leukosit dan eritrosit terutama limfosit, sebagai tempat pengahancur eritrosit,
karena di dala limpa terdapat jaringan retikulum endotel maka limpa tersebut dapat mengancurkan
eritrosit sehingga hemoglobin dapat dipisahkan dari zat besinya, mengasilkan zat antibodi.
Limpa menerima darah dari arteri lienalis dan keluar melalui vena lienalis pada vena porta.
Darah dari limpa tidak langsung menuju jantung tetapi terlebih dahulu ke hati. Pembuluh darah
masuk ke dan keluar melalui hilus yang berbeda di permukaan dalam. Pembuluh darah itu
memperdarhi pulpa sehingga dan bercampur dengan unsur limpa.

d. Thymus
Kelejar timus terletak di dalam torax, kira kira pada ketinggian bifurkasi trakea. Warnanya
kemerah merahan dan terdiri dari 2 lobus. Pada bayi baru lahir sangat kecil dan beratnya kira
kira 10 gram atau lebih sedikit; ukurannya bertambah pada masa remaja beratnya dari 30 40 gram
dan kemudian mengkerut lagi. Fungsinya diperkirakan ada sangkutnya dengan produksi antibody
dan sebagai tempat berkembangnya sel darah putih.

e. Bone marrow / sumsum tulang


Sumsum tulang (Bahasa Inggris: bone marrow atau medulla ossea) adalah jaringan lunak yang
ditemukan pada rongga interior tulang yang merupakan tempat produksi sebagian besarsel
darah baru. Ada dua jenis sumsum tulang: sumsum merah(dikenal juga sebagai jaringan myeloid)
dan sumsum kuning. Sel darah merah, keping darah, dan sebagian besar sel darah putihdihasilkan
dari sumsum merah. Sumsum kuning menghasilkan sel darah putih dan warnanya ditimbulkan oleh
sel-sel lemak yang banyak dikandungnya. Kedua tipe sumsum tulang tersebut mengandung
banyak pembuluh dan kapiler darah. Sewaktu lahir, semua sumsum tulang adalah sumsum merah.
Seiring dengan pertumbuhan, semakin banyak yang berubah menjadi sumsum kuning. Orang
dewasa memiliki rata-rata 2,6 kg sumsum tulang yang sekitar setengahnya adalah sumsum merah.
Sumsum merah ditemukan terutama pada tulang pipih seperti tulang pinggul, tulang
dada, tengkorak, tulang rusuk, tulang punggung,tulang belikat, dan pada bagian lunak di
ujung tulang panjangfemur dan humerus. Sumsum kuning ditemukan pada rongga interior bagian
tengah tulang panjang. Pada keadaan sewaktu tubuh kehilangan darah yang sangat banyak,
sumsum kuning dapat diubah kembali menjadi sumsum merah untuk meningkatkan produksi sel
darah.

2. Lokasi-lokasi nodus limfe.


Daerah khusus, tempat terdapat banyak jaringan limfatik adalah palatin (langit mulut) dan tosil
faringeal, kelenjar timus, agregat folikel limfatik di usus halus, apendiks dan limfa.
3. Fisiologi sistem limfatik
Fungsi Sistem limfatik sebagai berikut :
Pembuluh limfatik mengumpulkan cairan berlebih atau cairan limfe dari jaringan sehingga
memungkinkan aliran cairan segar selalu bersirkulasi dalam jaringan tubuh.
Merupakan pembuluh untuk membawa kembali kelebihan protein didalam cairan jaringan ke
dalam aliran darah.
Nodus menyaring cairan limfe dari infeksi bakteri dan bahan-bahan berbahaya.
Nodus memproduksi limfosit baru untuk sirkulasi
Pembuluh limfatik pada organ abdomen membantu absorpsi nutrisi yang telah dicerna, terutama
lemak.

4. Mekanisme Sirkulasi Limfatik.


Pembuluh limfatik bermuara kedalam vena-vena besar yang mendekati jantung dan disini
terdapat tekanan negatif akibat gaya isap ketika jantung mengembang dan juga gaya isap torak
pada gerakan inspirasi.
Tekanan timbul pada pembuluh limfatik, seperti halnya pada vena, akibat kontraksi otot-otot,
dan tekanan luar ini akan mendorong cairan limfe ke depan karena adanya katup yang mencegah
aliran balik ke belakang. Juga terdapat tekanan ringan dari cairan jaringan akibat ada rembesan
konstan cairan segar dari kapiler-kapiler darah. Apabila terdapat hambatan pada aliran cairan limfe
yang melalui sistem limfatik, terjadilah edema, yaitu pembengkakan jaringan akibat adanya
kelebihan caiaran yang terkumpul didalamnya. Edema juga bisa terjadi akibat obstruksi vena, karena
vena juga berfungsi mengalirkan sebagian cairan jaringan.

2. DEFINISI
Limfoma Non-Hodgkin adalah sekelompok keganasan (kanker) yang berasal dari sistem
kelenjar getah bening dan biasanya menyebar ke seluruh tubuh. Beberapa dari limfoma ini
berkembang sangat lambat (dalam beberapa tahun), sedangkan yang lainnya menyebar dengan
cepat (dalam beberapa bulan). Penyakit ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan penyakit
Hodgkin.
Limfoma malignum non-Hodgkin atau Limfoma non-Hodgkin adalah suatu keganasan kelenjar
limfoid yang bersifat padat. Limfoma nonhodgkin hanya dikenal sebagai suatu limfadenopati
lokal atau generalisata yang tidak nyeri. Namun sekitar sepertiga dari kasus yang berasal dari
tempat lain yang mengandung jaringan limfoid ( misalnya daerah orofaring, usus, sumsum
tulang, dan kulit. Meskipun bervariasi semua bentuk limfoma mempunyai potensi untuk
menyebar dari asalnya sebagai penyebaran dari satu kelenjar kekelenjar lain yang akhirnya
menyebar ke limfa, hati, dan sumsum tulang.
3. ETIOLOGI
Etiologi belum jelas mungkin perubahan genetik karena bahan bahan limfogenik seperti virus EBV,
bahan kimia, mutasi spontan, radiasi dan sebagainya. Terdapat beberapa fakkor resiko terjadinya
LNH, antara lain :
Imunodefisiensi : 25% kelainan heredier langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH
antara lain adalah :severe combined immunodeficiency, hypogammaglobulinemia, common
variable immunodeficiency, Wiskott Aldrich syndrome dan ataxia-telangiectasia. Limfoma yang
berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali dihubugkan pula dengan Epstein Barr
Virus (EBV) dan jenisnya beragam.
Agen infeksius : EBV DNA ditemukan pada limfoma Burkit sporadic. Karena tidak pada semua
kasus limfoma Burkit ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya
limfoma Burkit belum diketahui.
Paparan lingkungan dan pekerjaan : Beberapa pekerjaan yang sering dihubugkan dengan resiko
tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan
herbisida dan pelarut organic.
Diet dan Paparan lsinya : Risiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan
tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan UV4,5.

4. GEJALA KLINIS
Gejala umum penderita limfoma non-Hodgkin yaitu :
- Pembesaran kelenjar getah bening tanpa adanya rasa sakit
- Demam
- Keringat malam
- Rasa lelah yang dirasakan terus menerus
- Gangguan pencernaan dan nyeri perut
- Hilangnya nafsu makan
- Nyeri tulang
- Bengkak pada wajah dan leher dan daerah-daerah nodus limfe yang terkena.
- Limphadenopaty

Gejala Penyebab Kemungkinan


timbulnya gejala
Gangguan Pembesaran kelenjar getah 20-30%
pernafasan bening di dada
Pembengkakan
wajah
Hilang nafsu Pembesaran kelenjar getah 30-40%
makan bening di perut
Sembelit berat
Nyeri perut atau
perut kembung
Pembengkakan Penyumbatan pembuluh getah 10%
tungkai bening di selangkangan atau
perut
Penurunan berat Penyebaran limfoma ke usus 10%>
badan halus
Diare
Malabsorbsi
Pengumpulan Penyumbatan pembuluh getah 20-30%
cairan di sekitar bening di dalam dada
paru-paru
(efusi pleura)
Daerah kehitaman Penyebaran limfoma ke kulit 10-20%
dan menebal di kulit
yang terasa gatal
Penurunan berat Penyebaran limfoma ke 50-60%
badan seluruh tubuh
Demam
Keringat di malam
hari
Anemia Perdarahan ke dalam saluran 30%, pada
(berkurangnya pencernaan akhirnya bisa
jumlah sel darah Penghancuran sel darah mencapai 100%
merah) merah oleh limpa yang
membesar & terlalu aktif
Penghancuran sel darah
merah oleh antibodi abnormal
(anemia hemolitik)
Penghancuran sumsum tulang
karena penyebaran limfoma
Ketidakmampuan sumsum
tulang untuk menghasilkan
sejumlah sel darah merah
karena obat atau terapi
penyinaran
Mudah terinfeksi Penyebaran ke sumsum 20-30%
oleh bakteri tulang dan kelenjar getah
bening, menyebabkan
berkurangnya pembentukan
antibodi

5. PATOFISIOLOGI
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada
salah satu gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam
proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Beberapa
perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1).ukurannya semakin besar, 2).Kromatin inti
menjadi lebih halus, 3).nukleolinya terlihat, 4).protein permukaan sel mengalami perubahan.
Beberapa faktor resiko yang diperkirakan dapat menyebabkan terjadinya limfoma Hodgkin dan non-
Hodgkin seperti infeksi virus-virus seperti virus Epstein-Berg, Sitomegalovirus, HIV, HHV-6,
defisiensi imun, bahan kimia, mutasi spontan, radiasi awalnya menyerang sel limfosit yang ada di
kelenjar getah bening sehingga sel-sel limfosit tersebut membelah secara abnormal atau terlalu
cepat dan membentuk tumor/benjolan. Tumor dapat mulai di kelenjar getah bening (nodal) atau
diluar kelenjar getah bening (ekstra nodal). Proliferasi abnormal tumor tersebut dapat memberi
kerusakan penekanan atau penyumbatan organ tubuh yang diserang. Apabila sel tersebut
menyerang Kelenjar limfe maka akan terjadi Limphadenophaty
Dampak dari proliferasi sel darah putih yang tidak terkendali, sel darah merah akan terdesak,
jumlah sel eritrosit menurun dibawah normal yang disebut anemia. Selain itu populasi limfoblast
yang sangat tinggi juga akan menekan jumlah sel trombosit dibawah normal yang disebut
trombositopenia. Bila kedua keadaan terjadi bersamaan, hal itu akan disebut bisitopenia yang
menjadi salah satu tanda kanker darah.
Gejala awal yang dapat dikenali adalah pembesaran kelenjar getah bening di suatu tempat
(misalnya leher atau selangkangan)atau di seluruh tubuh. Kelenjar membesar secara perlahan dan
biasanya tidak menyebabkan nyeri. Kadang pembesaran kelenjar getah bening di tonsil (amandel)
menyebabkan gangguan menelan.
Pembesaran kelenjar getah bening jauh di dalam dada atau perut bisa menekan berbagai organ dan
menyebabkan: gangguan pernafasan, berkurangnya nafsu makan, sembelit berat, nyeri perut,
pembengkakan tungkai.
Jika limfoma menyebar ke dalam darah bisa terjadi leukimia. Limfoma non hodgkin lebih mungkin
menyebar ke sumsum tulang, saluran pencernaan dan kulit. Pada anak anak, gejala awalnya
adalah masuknya sel sel limfoma ke dalam sumsum tulang, darah, kulit, usus, otak, dan tulang
belekang; bukan pembesaran kelenjar getah bening. Masuknya sel limfoma ini menyebabkan
anemia, ruam kulit dan gejala neurologis (misalnya delirium, penurunan kesadaran).
Secara kasat mata penderita tampak pucat, badan seringkali hangat dan merasa lemah tidak
berdaya, selera makan hilang, berat badan menurun disertai pembengkakan seluruh kelenjar getah
bening : leher, ketiak, lipat paha, dll.

6. KLASIFIKASI
Ada 2klasifikasi besar penyakit ini yaitu:
Limfoma non Hodgkin agresif
Limfoma non Hodgkin indolen

a. Limfoma non Hodgkin agresif


Limfoma non Hodgkin agresif kadangkala dikenal sebagai limfoma non Hodgkin tumbuh cepat atau
level tinggi.karena sesuai dengan namanya, limfoma non Hodgkin agresif ini tumbuh dengan cepat.
Meskipun nama agresif kedengarannya sangat menakutkan, limfoma ini sering memberikan respon
sangat baik terhadap pengobatan. Meskipun pasien yang penyakitnya tidak berespon baik terhadap
standar pengobatan lini pertama, sering berhasil baik dengan kemoterapi dan transplantasi sel
induk. Pada kenyataannya, limfoma non Hodgkin agresif lebih mungkin
mengalami kesembuhan total daripada limfoma non Hodgkin indolen.

b. Limfoma non Hodgkin indolen


Limfoma non Hodgkin indolen kadang-kadang dikenal sebagai limfoma non Hodgkin tumbuh lambat
atau level rendah. Sesuai dengan namanya, limfoma non Hodgkin indolen tumbuh hanya sangat
lambat. Secara tipikal ia pada awalnya tidak menimbulkan gejala, dan mereka sering tetap tidak
terditeksi untuk beberapa saat. Tentunya, mereka sering ditemukan secara kebetulan, seperti ketika
pasien mengunjungi dokter untuk sebab lainnya. Dalam hal ini, dokter mungkin menemukan
pembesaran kelenjar getah bening pada pemeriksaan fisik rutin. Kadangkala, suatu pemeriksaan,
seperti pemeriksaan darah, atau suatu sinar-X, dada, mungkin menunjukkan sesuatu yang
abnormal, kemudian diperiksa lebih lanjut dan ditemukan terjadi akibat limfoma non Hodgkin. Gejala
yang paling sering adalah pembesaran kelenjar getah bening, yang kelihatan sebagai benjolan,
biasanya di leher, ketiak dan lipat paha. Pada saat diagnosis pasien juga mungkin mempunyai gejala
lain dari limfoma non Hodgkin. Karena limfoma non Hodgkin indolen tumbuh lambat dan sering
tanpa menyebabkan stadium banyak diantaranya sudah dalam stadium lanjut saat pertama
terdiagnosis.

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Anamnesis dan pemeriksaan fisik : ada tumor sistem limfoid, febris keringat malam, penurunan
berat badan, limfadenopati dann hepatosplenomegali
Pemeriksaan laboratorium : Hb, leukosit, LED, hapusan darah, faal hepar, faal ginjal, LDH.
Pemeriksaan Ideal
Limfografi, IVP, Arteriografi. Foto organ yang diserang, bone scan, CT scan, biopsi sunsum
tulang, biopsi hepar, USG, endoskopi
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan histopatologi. Untuk LH
memakai krioteria lukes dan butler (4 jenis). Untuk LNH memakai kriteria internasional working
formulation (IWF) menjadi derajat keganasan rendah, sedang dan tinggi
Penentuan tingkat/stadium penyakit (staging)
Stadium ditentukan menurut kriteria Ann Arbor (I, II, III, IV, A, B, E)
Ada 2 macam stage : Clinical stage dan pathological stage

8. PENATALAKSANAAN
Therapy Medik
Konsultasi dengan ahli onkology medik ( di RS type A dan B)
Limfoma non hodkin derajat keganasan rendah (IWF)
Tanpa keluhan : tidak perlu therapy
Bila ada keluhan dapat diberi obat tunggal siklofosfamide dengan dosis permulaan po tiap hari
atau 1000 mg/m 2 iv selang 3 4 minggu.
Bila resisten dapat diberi kombinasi obat COP, dengan cara pemberian seperti pada LH diatas
Limfona non hodgkin derajat keganasan sedang (IWF)
Untuk stadium I B, IIB, IIIA dan B, IIE A da B, terapi medik adalah sebagai terapy utama
Untuk stadium I A, IE, IIA diberi therapy medik sebagai therapy anjuran
Minimal : seperti therapy LH
Ideal : Obat kombinasi cyclophospamide, hydrokso epirubicin, oncovin, prednison (CHOP)
dengan dosis :
C : Cyclofosfamide 800 mg/m 2 iv hari I
H : Hydroxo epirubicin 50 mg/ m 2 iv hari I
O : Oncovin 1,4 mg/ m 2 iv hari I
P : Prednison 60 mg/m 2 po hari ke 1 5
Perkiraan selang waktu pemberian adalah 3 4 minggu
Lymfoma non hodgkin derajat keganasan tinggi (IWF)
Stadium IA : kemotherapy diberikan sebagai therapy adjuvant
Untuk stadium lain : kemotherapy diberikan sebagai therapy utama
Minimal : kemotherapynya seperti pada LNH derajat keganasan sedang (CHOP)
Ideal : diberi Pro MACE MOPP atau MACOP B
Therapy radiasi dan bedah
Konsultasi dengan ahli radiotherapy dan ahli onkology bedah, selanjutnya melalui yim onkology
( di RS type A dan B)

9. PROGNOSIS
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik: Indolent Lymphoma dan Agresif Lymphoma. LNH
memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat
disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau folikuler. Tipe
limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat disembuhkan
secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif. Resiko kambuh lebih tinggi pada pasien
dengan gambaran histologik divergen baik pada kelompok Indolen maupun Agresif.
Derajat keganasan rendah: tidak dapat sembuh namun dapat hidup lama. Derajat keganasan
menengah: sebagian dapat disembuhkan. Derajat keganasan tinggi: dapat disembuhkan, cepat
meninggal apabila tidak diobati.

10. KOMPLIKASI
Akibat langsung penyakitnya
- Penekanan terhadap organ khususnya jalan nafas, usus dan saraf
- Mudah terjadi infeksi, bisa fatal
Akibat efek samping pengobatan
- Aplasia sumsum tulang
- Gagal jantung oleh obat golongan antrasiklin
- Gagal ginjal oleh obat sisplatinum
- Neuritis oleh obat vinkristin6
11. EPIDEMIOLOGI
Limfoma non-Hodgkin (NHL) merupakan penyakit yang terutama dijumpai pada usia agak tinggi.
Insidensi puncak terdapat di atas 40 tahun dan untuk berbagai subtipe bahkan di atas 60 tahun di
seluruh dunia. Median umur penderita limfoma non-Hodgkin adalah 50 tahun. Tetapi ada beberapa
tipe, yaitu NHL derajat tinggi, yang juga (dan terutama) terdapat pada umur anak dan remaja muda.
Insidensinya adalah 6 per 100.000.

12. PENCEGAHAN
Tidak ada pedoman untuk mencegah limfoma Non Hodgkin karena penyebabnya tidak diketahui.
Super lutein merupakan herbal antikanker no 1 yang direkomendasikan oleh 6600 dokter di dunia.
Kemampuannya sebagai herbal antikanker tidak dapat dipungkiri lagi. Kandungan lycopene, beta
caroten dan alpha carotene merupakan karotenoid yang berfungsi sebagai antioksidan yang sangat
baik untuk regenerasi sel-selyang telah mati dan menghambat radikal bebas dalam tubuh.
karotenoid tersebut juga mampu menghambat dan membunuh mutasi sel-sel kanker ini.

13. ASKEP
A.PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah
digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan
gejala penurunan berat badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai
Limfoma. Namun tidak semua benjolan yang terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja
benjolan tersebut hasil perlawanan kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis
limfa.

Pada pengkajian data yang dapat ditemukan pada pasien Limfoma antara lain :
1.Data subyektif
a.Demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38Oc
b.Sering keringat malam
c.Cepat merasa lelah
d.Badan lemah
e.Mengeluh nyeri pada benjolan
f.Nafsu makan berkurang
g.Intake makan dan minum menurun, mual, muntah

2.Data Obyektif
a.Timbul benjolan yang kenyal, mudah digerakkan pada leher, ketiak atau pangkal paha
b.Wajah pucat

B.DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.Resiko infeksi berhubungan dengan imunosupresi dan malnutrisi
2.Hipertermi berhubungan dengan tak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap inflamasi
3.Nyeri berhubungan dengan interupsi sel saraf
4.Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen
terhadap perdaharan
5.Gangguan integritas kulit/ jaringan berhubungan dengan massa tumor mendesak ke jaringan luar
6.Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
7.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
8.Kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah dan intake yang kurang
9.Perubahan kenyamanan berhubungan dengan mual, muntah
10.Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis, pengobatan
dan perawatan
11.Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi,
tidak mengenal sumber-sumber

C.RENCANA INTERVENSI KEPERAWATAN


1.Hipertermi berhubungan dengan tak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap inflamasi
a.Tujuan : suhu badan dalam batas normal ( 36 37,5C)
b.Intervensi :
Observasi suhu tubuh pasien
Rasional : dengan memantau suhu diharapkan diketahui keadaan sehingga dapat mengambil
tindakan yang tepat.
Anjurkan dan berikan banyak minum (sesuai kebutuhan cairan anak menurut umur)
Rasional : dengan banyak minum diharapkan dapat membantu menjaga keseimbangan cairan
dalam tubuh.
Berikan kompres hangat pada dahi, aksila, perut dan lipatan paha.
Rasional : kompres dapat membantu menurunkan suhu tubuh pasien secara konduksi.
Anjurkan untuk memakaikan pasien pakaian tipis, longgar dan mudah menyerap keringat.
Rasional : Dengan pakaian tersebut diharapkan dapat mencegah evaporasi sehingga cairan tubuh
menjadi seimbang.
Kolaborasi dalam pemberian antipiretik.
Rasional : antipiretik akan menghambat pelepasan panas oleh hipotalamus.
2.Nyeri berhubungan dengan interupsi sel saraf
a.Tujuan : nyeri berkurang
b.Intervensi :
Tentukan karakteristik dan lokasi nyeri, perhatikan isyarat verbal dan non verbal setiap 6 jam
Rasional : menentukan tindak lanjut intervensi.
Pantau tekanan darah, nadi dan pernafasan tiap 6 jam
Rasional : nyeri dapat menyebabkan gelisah serta tekanan darah meningkat, nadi, pernafasan
meningkat
Terapkan tehnik distraksi (berbincang-bincang)
Rasional : mengalihkan perhatian dari rasa nyeri
Ajarkan tehnik relaksasi (nafas dalam) dan sarankan untuk mengulangi bila merasa nyeri
Rasional : relaksasi mengurangi ketegangan otot-otot sehingga mengurangi penekanan dan nyeri.
Beri dan biarkan pasien memilih posisi yang nyaman
Rasional : mengurangi keteganagan area nyeri.
Kolaborasi dalam pemberian analgetika.
Rasional : analgetika akan mencapai pusat rasa nyeri dan menimbulkan penghilangan nyeri.
3.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
a.Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi
b.Intervensi :
Beri makan dalam porsi kecil tapi sering
Rasional : memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total
Timbang BB sesuai indikasi
Rasional : berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, evaluasi keadequatan rencana nutrisi
Sajikan makanan dalam keadaan hangat dan bervariasi
Rasional : meningkatkan keinginan pasien untuk makan sehingga kebutuhan kalori terpenuhi
Ciptakan lingkungan yang nyaman saat makan
Rasional : suasana yang nyaman membantu pasien untuk meningkatkan keinginan untuk makan
Beri HE tentang manfaat asupan nutrisi
Rasional : makanan menyediakan kebutuhan kalori untuk tubuh dan dapat membantu proses
penyembuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh
4.Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
a.Tujuan : aktivitas dapat ditingkatkan
b.Intervensi :
Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas, peningkatan kelemahan/kelelahan dan perubahan tanda-
tanda vital selama dan setelah aktivitas
Rasional : menetapkan kemampuan/kebutuhan pasien dan memudahkan pilihan intervensi
Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan ADL
Rasional : meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplay dan kebutuhan oksigen
Libatkan keluarga dalam perawatan pasien
Rasional : membantu dan memenuhi ADL pasien
Beri aktivitas sesuai dengan kemampuan pasien
Rasional : meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplay dan kebutuhan oksigen).
5.Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis, pengobatan dan
perawatan
a.Tujuan : pasien tidak cemas/berkurang
b.Intervensi
Kaji dan pantau tanda ansietas yang terjadi
Rasional ketakutan dapat terjadi karena kurangnya informasi tentang prosedur yang akan dilakukan,
tidak tahu tentang penyakit dan keadaannya
Jelaskan prosedur tindakan secara sederhana sesuai tingkat pemahaman pasien.
Rasional : memberikan informasi kepada pasien tentang prosedur tindakan akan meningkatkan
pemahaman pasien tentang tindakan yang dilakukan untuk mengatasi masalahnya
Diskusikan ketegangan dan harapan pasien.
Rasional : untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien
Perkuat faktor-faktor pendukung untuk mengurangi ansiates.
Rasional : untuk mengurangi kecemasan yang dirasakan pasien
D.Pelaksanaan
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada pasien dengan limfoma maligna dilaksanakan sesuai
dengan rencana yang telah dibuat

E.Evaluasi
Setelah dilakukan pelaksanaan tindakan keperawatan hasil yang diharapkan adalah :
1.Suhu badan dalam batas normal ( 36 37,5c)
2.Nyeri berkurang
3.kebutuhan nutrisi terpenuhi
4.Aktivitas dapat ditingkatkan/ADL pasien terpenuhi
5.Pasien tidak cemas/berkurang

14. ASPEK LEGAL ETIS


Autonomy (penentu pilihan)
Perawat yang mengikuti prinsip autonomi menghargai hak klien untuk mengambil keputusan sendiri.
Dengan menghargai hak autonomi berarti perawat menyadari keunikan induvidu secara holistik.

Non Maleficence (do no harm)


Non Maleficence berarti tugas yang dilakukan perawat tidak menyebabkan bahaya bagi kliennya.
Prinsip ini adalah prinsip dasar sebagaian besar kode etik keperawatan. Bahaya dapat berarti
dengan sengaja membahayakan, resiko membahayakan, dan bahaya yang tidak disengaja.

Beneficence (do good)


Beneficence berarti melakukan yang baik. Perawat memiliki kewajiban untuk melakukan dengan
baik, yaitu, mengimplemtasikan tindakan yang mengutungkan klien dan keluarga.

Justice (perlakuan adil)


Perawat sering mengambil keputusan dengan menggunakan rasa keadilan.

Fidelity (setia)
Fidelity berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang dimikili oleh seseorang.

15. PENDKES

SATUAN ACARA PENYULUHAN


(SAP)

Tema : Penyakit Limfoma Non Hodgkin


Sub Tema : Perawatan Limfoma Non Hodgkin
Sasaran : Ny. E
Tempat : Bangsal Di rumah sakit
Hari/Tanggal : Rabu, 14 Oktober 2012
Waktu : 20 Menit

A. Tujuan Instruksional Umum


Setelah mengikuti penyuluhan selama 20 menit, diharapkan Ny. E dapat menjelaskan Limfoma
Non Hodgkin.

B. Tujuan Instruksional Khusus


Setelah mengikuti penyuluhan selama 20 menit, diharapkan Klien Dapat:
Menjelaskan pengertian penyakit Limfoma Non Hodgkin dengan benar
Menjelaskan patofisiologi Limfoma Non Hodgkin
Menyebutkan faktor penyebab yang dapat menimbulkan penyakit Limfoma Non Hodgkin
Menyebutkan tanda/gejala dari penyakit Limfoma Non Hodgkin
Menjelaskan penatalaksanaan Limfoma Non Hodgkin

C. Materi
1. Pengertian Limfoma Non Hodgkin
2. Patofisiologi penyakit Limfoma Non Hodgkin
3. Faktor penyebab dari Limfoma Non Hodgkin
4. Tanda/gejala penyakit Limfoma Non Hodgkin
5. Penatalaksanaan penyakit Limfoma Non Hodgkin

D. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab
E. Kegiatan Penyuluhan
No Kegiatan Penyuluh Peserta Waktu
1. Pembukaan Salam pembuka Menjawab salam
Menyampaikan tujuan Menyimak,
5 Menit
penyuluhan Mendengarkan, menjawab
pertanyaan
2. Kerja/ isi Penjelasan pengertian, Mendengarkan dengan
penyebab, gejala, penuh perhatian
penatalaksanaan dan Menanyakan hal-hal yang
patofisiologi penyakitLimfo belum jelas
ma Non Hodgkin Memperhatikan jawaban 10 menit
Memberi kesempatan dari penceramah
peserta untuk bertanya Menjawab pertanyaan
Menjawab pertanyaan
Evaluasi

Menyimpulkan Mendengarkan
3. Penutup 5 Menit
Salam penutup Menjawab salam

F. Media
1. Leaflet : Tentang penyakit Limfoma Non Hodgkin
2. Poster tentang penyakit Limfoma Non Hodgkin

G. Sumber/Referensi
a. Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3. EGC : Jakarta.
b. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
c. FKUI. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. FKUI : Jakarta.
d. Griffith. 1994. Buku Pintar Kesehatan. Arcan : Jakarta.

H. Evaluasi
Formatif :
Klien dapat menjelaskan pengertian Limfoma Non Hodgkin
Klien mampu menjelaskan faktor penyebab dari penyakit Limfoma Non Hodgkin
Klien dapat menjelaskan tanda/gejala penyakit Limfoma Non Hodgkin
Klien mampu menjelaskan penatalaksanaan Limfoma Non Hodgkin

Sumatif :
Klien dapat memahami penyakit Limfoma Non Hodgkin
Yogyakarta, Rabu 13 Oktober 2012
Penyuluh

(Windayona Hadi Prasetya)

16. JURNAL

Non-Hodgkin lymphoma response evaluation with MRI texture classification


Lara CV Harrison1,2*, Tiina Luukkaala3,4, Hannu Pertovaara5, Tuomas O Saarinen1,Tomi T
Heinonen2,6, Ritva Jrvenp6, Seppo Soimakallio1,6, Pirkko-Liisa I Kellokumpu-
Lehtinen1,5, Hannu J Eskola2,6 and Prasun Dastidar1,2,6

Abstract
Background

To show magnetic resonance imaging (MRI) texture appearance change in non-Hodgkin lymphoma
(NHL) during treatment with response controlled by quantitative volume analysis.

Methods

A total of 19 patients having NHL with an evaluable lymphoma lesion were scanned at three imaging
timepoints with 1.5T device during clinical treatment evaluation. Texture characteristics of images
were analyzed and classified with MaZda application and statistical tests.

Results

NHL tissue MRI texture imaged before treatment and under chemotherapy was classified within
several subgroups, showing best discrimination with 96% correct classification in non-linear
discriminant analysis of T2-weighted images.

Texture parameters of MRI data were successfully tested with statistical tests to assess the impact of
the separability of the parameters in evaluating chemotherapy response in lymphoma tissue.

Conclusion
Texture characteristics of MRI data were classified successfully; this proved texture analysis to be
potential quantitative means of representing lymphoma tissue changes during chemotherapy
response monitoring.

Background
Quantitative image analysis may provide new clinically relevant information on the target of interest,
constituting a major advantage in clinical work as well as in research. The most significant objectives
in quantitative image analysis are to find tissue-characterizing features with biological significance
and which correlate with pathophysiology detected by other methods, i.e. clinical examination, other
imaging modalities and pathological-anatomical diagnosis, and secondly to provide this new
information on the properties of tissues to be used alone or in combination with other clinical
information allowing more reliable detection of disease and sophisticated tissue classification as a
clinical diagnostic and follow-up tool.

Precise and earlier diagnostics and monitoring treatment response are significant both for the
individual patient's prognosis and on a larger scale in developing treatment procedures, especially in
malignant diseases. Within the research on solid tumors extensive and widely used Response
Evaluation Criteria in Solid Tumors (RECIST) Guidelines may be followed to obtain intra- and inter
center comparable results. RECIST defines measurability of tumor lesions and specifies methods of
measurements with different techniques [1]. According to the RECIST criteria measure of tumor
response from radiological images is done by measuring lesions one-dimensionally, furthermore the
World Health Organization (WHO) criteria use two dimensional analysis and several research groups
volumetric three-dimensional analysis [2].
Staging of non-Hodgkin's lymphomas (NHL) is the key element of treatment planning for this
heterogeneous group of malignancies. A variety of diagnostic tools, including biopsies, computed
tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), 18F-fluorodeoxyglucose positron emission
tomography (FDG-PET) or molecular markers are used in pre-treatment staging [3]. Enhancement
with contrast media could also help the evaluation in using different imaging modalities. The same
tools are applied to evaluate the response to different types of treatment. Novel techniques such as
hybrid positron emission tomography computed tomography (PET-CT) imaging and new PET
tracers like 18F-fluoro-thymidine (18F-FLT) may increase the sensitivity of response assessment [4].
Reports aiming international standardization of clinical response criteria for NHL have been
published [5,6], and these criteria are in wide clinical use. A combination of cyclophosphamide,
doxorubicin, vincristine and prednisone (CHOP) remains the mainstay of therapy. The addition of a
chimeric-anti-CD20 immunoglobulin G1 monoclonal antibody, rituximab (Mabthera ), has resulted in
a dramatic improvement in the outcome of the most common NHL, diffuse large B-cell lymphoma,
but has also been shown to effective in other type of B-cell lymphomas [7-9].
Several quantitative MRI studies have indicated that texture analysis (TA) has the ability to detect
differences between tissues and subtle changes between disease burden and normal tissue.
Successful applications of TA have been reported from studying neurological diseases [10-15], brain
tumors [16,17], amygdale activation [18], muscles [19,20], trabecular bone [21-23], liver[24-26],
breast cancer [27-31] and lymphomas [32].
In this paper we report the ability of TA to detect changes in NHL solid tissue masses during
chemotherapy. The change in texture appearance is controlled by quantitative volumetric analysis.
We classify statistical, autoregressive (AR-) model and wavelet texture parameters representing pre-
treatment and two under chemotherapy stages of tumors with four analyses: raw data analysis
(RDA), principal component analysis (PCA), linear (LDA) and non-linear discriminant analysis (NDA).
The final objective is to show that these texture parameters of MRI data can be successfully tested
with Wilcoxon paired test and Repeatability and Reproducibility (R&R) test for assess the impact of
the parameters usability in evaluating chemotherapy response in lymphoma tissue.

Methods
Tumor Response Evaluation (TRE) is a wide prospective clinical project ongoing at our university
hospital on cancer patients, where tumor response to treatment is evaluated and followed up using
simultaneously CT, MRI and PET imaging methods. Clinical responses for these lymphoma patients
were assessed according to the guidelines of the international working group response criteria. In
this texture analysis study, as a part of extensive project, the focus was on quantitative imaging
methods and only the response in predefined solid NHL masses was evaluated. The ethics
committee of the hospital approved the study and participants provided written informed consent.
Primary inclusion criteria were NHL patients with at least one bulky lesion (over 3 centimeters)
coming for curative aimed treatment. Exclusion criteria were central nervous disease, congestive
heart failure New York Heart Association Classification (NYHA) III-IV, serious psychiatric disease,
HIV infection and pregnancy.

Daftar Pustaka :
1. http://sweetspearls.com/naturally-plus/naturally-cara-mencegah-dan-mengatasi-limfoma-
hodgkin/
2. http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?
page=Tumor+Abdomen+Bawah+Regio+Supra+Pubik+Suspect+Limfoma+Maligna
3. http://medicastore.com/penyakit/308/Limfoma_Non-Hodgkin.html
4. http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2009/07/28/limfoma-non-hodgkin/
5. http://dc227.4shared.com/img/LbfnpSU9/preview.html
6. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/28230
7. http://firm4n.files.wordpress.com/2007/03/lnh.pdf
8. http://fitralxt190110.blogspot.com/2011/09/askep-hodgkin.html
Diposkan 20th April 2012 oleh Windayona Hadi Prasetya

0
Tambahkan komentar

Medical Sains

Klasik

Kartu Lipat

Majalah

Mozaik

Bilah Sisi

Cuplikan

Kronologis

HIPOSPADIA
1

HIDRONEFROSIS

INFEKSI SALURAN KEMIH


1
ASKEP LIMFOMA NON HODGKIN

ASKEP LIMFOMA HODGKIN


2

ASKEP HIV AIDS

ASKEP PNEUMOKONIOSIS

ASKEP STOMATITIS HERPETIFORMIS

ASKEP CA LAMBUNG

ASKEP CA REKTUM

ASKEP ORAL THRUSH (KANDIDIASIS)

ASKEP STOMATITIS

HIPOSPADIA

MAKALAH INDIVIDU SISTEM PERKEMIHAN


ASKEP KLIEN DENGAN HIPOSPADIA

Disusun oleh :
Nama : Windayona Hadi Prasetya
NIM : 1002108
PROGRAM S1 KEPERAWATAN
STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA
TA 2012/2013

A. DEFINISI
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa muara uretra yang terletak di sebelah ventral
penis dan sebelah prokimal ujung penis.
Hipospadia merupakan salah satu dari kelainan congenital paling sering pada genitalia laki laki,
terjadi pada satu dalam 350 kelahiran laki-laki, dapat dikaitkan dengan kelainan kongenital lain
seperti anomali ginjal, undesensus testikulorum dan genetik seperti sindroma klinefelter.

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI

ORGAN REPRODUKSI PRIA

Dibedakan menjadi organ kelamin luar dan organ kelamin dalam.


Organ reproduksi luar terdiri dari :

Penis merupakan organ kopulasi yaitu hubungan antara alat kelamin jantan dan betina untuk
memindahkan semen ke dalam organ reproduksi betina. Penis diselimuti oleh selaput tipis yang
nantinya akan dioperasi pada saat dikhitan/sunat.

Penis terdiri dari:


Akar (menempel pada dinding perut)
Badan (merupakan bagian tengah dari penis)
Glans penis (ujung penis yang berbentuk seperti kerucut).Lubang uretra (saluran tempat
keluarnya semen dan air kemih) terdapat di umung glans penis.
Terdapat 2 rongga yang berukuran lebih besar disebut korpus kavernosus, terletak bersebelahan.
Rongga yang ketiga disebut korpus spongiosum, mengelilingi uretra.Jika terisi darah, maka penis
menjadi lebih besar, kaku dan tegak (mengalami ereksi).
Scrotum merupakan selaput pembungkus testis yang merupakan pelindung testis serta mengatur
suhu yang sesuai bagi spermatozoa.

Organ reproduksi dalam terdiri dari :


Testis merupakan kelenjar kelamin yang berjumlah sepasang dan akan menghasilkan sel-sel
sperma serta hormone testosterone. Dalam testis banyak terdapat saluran halus yang disebut
tubulus seminiferus. Testis terletak di dalam skrotum.Testis memiliki 2 fungsi, yaitu
menghasilkan sperma dan membuat testosteron (hormon seks pria yang utama).
Epididimis merupakan saluran panjang yang berkelok yang keluar dari testis. Berfungsi untuk
menyimpan sperma sementara dan mematangkan sperma.
Vas deferens merupakan saluran panjang dan lurus yang mengarah ke atas dan berujung di
kelenjar prostat. Berfungsi untuk mengangkut sperma menuju vesikula seminalis.
Saluran ejakulasi merupakan saluran yang pendek dan menghubungkan vesikula
seminalis dengan urethra.
Vesikula seminalis merupakan tempat untuk menampung sperma sehingga disebut dengan
kantung semen, berjumlah sepasang. Menghasilkan getah berwarna kekuningan yang kaya akan
nutrisi bagi sperma dan bersifat alkali. Berfungsi untuk menetralkan suasana asam dalam saluran
reproduksi wanita.
Urethra merupakan saluran panjang terusan dari saluran ejakulasi dan terdapat di
penis. Uretra punya 2 fungsi yaitu Bagian dari sistem kemih yang mengalirkan air kemih dari
kandung kemih. Bagian dari sistem reproduksi yang mengalirkan semen.

Kelenjar pada organ reproduksi pria


1. Kelenjar Prostat merupakan kelenjar yang terbesar dan menghasilkan getah putih yang
bersifat asam.
2. Kelenjar Cowpers/Cowpery/Bulbourethra merupakan kelenjar yang menghasilkan getah
berupa lender yang bersifat alkali. Berfungsi untuk menetralkan suasana asam dalam saluran
urethra.
C. ETIOLOGI
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui penyebab
pasti dari hipospadia. Namun, ada beberapa faktor yang oleh para ahli dianggap paling
berpengaruh antara lain :

1. Gangguan dan ketidakseimbangan hormon


Hormon yang dimaksud di sini adalah hormon androgen yang mengatur organogenesis kelamin
(pria). Atau bisa juga karena reseptor hormon androgennya sendiri di dalam tubuh yang kurang
atau tidak ada. Sehingga walaupun hormon androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi
apabila reseptornya tidak ada tetap saja tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau
enzim yang berperan dalam sintesis hormon androgen tidak mencukupi pun akan berdampak
sama.

2. Genetika

Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang
mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.

3. Lingkungan

Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat
teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.

D. MANIFESTASI KLINIS

1. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis yang
menyerupai meatus uretra eksternus.

2. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis.

3. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga ke
glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.

4. Kulit penis bagian bawah sangat tipis.

5. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.

6. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.

7. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.

8. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).

9. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.

10. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah penis

11. Penis melengkung ke bawah

12. Penis tampak seperti berkerudung karena kelainan pada kulit depan penis

13. Jika berkemih, anak harus duduk.

14. Pada kebanyakan penderita terdapat penis yang melengkung ke arah bawah yang akan tampak
lebih jelas pada saat ereksi. Hal ini disebabkan oleh adanya chordee yaitu suatu jaringan fibrosa
yang menyebar mulai dari meatus yang letaknya abnormal ke glands penis. Jaringan fibrosa ini
adalah bentuk rudimeter dari uretra, korpus spongiosum dan tunika dartos. Walaupun adanya
chordee adalah salah satu ciri khas untuk mencurigai suatu hipospadia, perlu diingat bahwa tidak
semua hipospadia memiliki chordee.

E. PATOFISIOLOGI
Hypospadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembangan uretra dalam utero. Terjadi karena
adanya hambatan penutupan uretra penis pada kehamilan minggu ke 10 sampai minggu ke 14.
Gangguan ini terjadi apabila uretra jatuh menyatu ke midline dan meatus terbuka pada
permukaan ventral dari penis. Propusium bagian ventral kecil dan tampak seperti kap atau
menutup.

PERKEMBANGAN EMBRIONIK DARI HIPOSPADIA


Perkembangan dari penis dan skrotum dipengaruhi oleh testis. Tanpa adanya testis, maka struktur
wanita seperti klitoris, labia minora dan labia mayora dominan, tetapi dengan adanya testis,
klitoris membesar menjai penis, sulkus antara labia minora terbentuk menjadi uretra dan labia
mayora berkembang menjadi skrotum, ke dalam sana testis kemudian turun. Hipospadia terjadi
jika sel testis yang berkembang secara premature berhenti memproduksi androgen, karena itu
menimbulkan interupsi konversi penuh dari genitalia eksterna menjadi bentuk laki laki.

F. KLASIFIKASI
KLASIFIKASI HIPOSPADIA

1. Tipe hipospadia yang lubang uretranya didepan atau di anterior


a. Hipospadia Glandular
b. HipospadiaSubcoronal

2. Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di tengah


a. Hipospadia Mediopenean

b. Hipospadia Peneescrotal

3. Tipe hipospadia yang lubang uretranya berada di belakang atau posterior


a. Hipospadia Perineal

Tipe hipospadia berdasarkan letak orifisium uretra eksternum/ meatus :

1. Tipe sederhana/ Tipe anterior


Terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal. Pada tipe ini, meatus
terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini bersifat asimtomatik dan tidak
memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak sempit dapat dilakukan dilatasi atau meatotomi.

2. Tipe penil/ Tipe Middle


Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-
escrotal.
Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum.
Biasanya disertai dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya
kulit prepusium bagian ventral, sehingga penis terlihat
melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih. Pada
kelainan tipe ini, diperlukan intervensi tindakan bedah secara
bertahap, mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada
maka sebaiknya pada bayi tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa
kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan bedah selanjutnya.

3. Tipe Posterior
Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal.
Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu,
kadang disertai dengan skrotum bifida, meatus uretra terbuka
lebar dan umumnya testis tidak turun.
Klasifikasi hipospadia yang digunakan sesuai dengan letak
meatus uretra yaitu tipe glandular, distal penile, penile,
penoskrotal, skrotal dan perineal.
Semakin ke proksinal letak meatus, semakin berat kelainan yang
diderita dan semakin rendah frekuensinya. Pada kasus ini 90%
terletak di distal di mana meatus terletak di ujung batang penis
atau di glands penis. Sisanya yang 10% terletak lebih proksimal
yaitu ditengah batang penis, skrotum atau perineum. Berdasarkan
letak muara uretra setelah dilakukan koreksi korde, Brown
membagi hipospadia dalam 3 bagian :
(1) Hipospadia anterior : tipe glanular, subkoronal, dan penis
distal.
(2) Hipospadia Medius : midshaft, dan penis proksimal
(3) Hipospadia Posterior : penoskrotal, scrotal, dan perineal.

MASALAH PADA HIPOSPADIA

1. Masalah psikologis pada anak karena merasa malu akibat bentuk penis yang berbeda dengan
teman bermainnya.

2. Masalah reproduksi karena bentuk penis yang bengkok menyebabkan penis susah masuk ke
dalam vagina saat kopulasi, cairan semen yang disemprotkan melalui saluranuretra pada tempat
abnormal.

3. Kesulitan penentuan jenis kelamin terutama jika meatu uretra terletak di perineum dan skrotum
terbelah dengan disertai kriptorkismus.

4. Biaya yang cukup besar karena prosedur operasi yang bertahap

5. Kemungkinan adanya kelainan congenital yang lain seperti kelainan ginjal sehingga perlu
dianjurkan untuk pemerikaan foto polos abdomen dan pielografi intravena.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Meskipun dapat di diagnosis dengan menggunakan prenatal fetal ultrasonography, Hipospadia


biasanya di diagnosis pada saat bayi baru lahir dengan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan meatus urethra externus terletak lebih proksimal, kadang-kadang disetai dengan atau
tanpa chordee. Bila tidak terdapat chordee maka pengobatan dapat ditangguhkan sampai umur 3-
4 tahun untuk memastikan bahwa betul-betul tidak ada chordee yang terjadi. Bila pada umur 4
tahun tak ada chordee, maka anak tersebut dapat di sirkumsisi.

Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu urethtroscopydan cystoscopy untuk
memastikan organ-organ seks internal terbentuk secara normal.Excretory urography dilakukan
untuk mendeteksi ada tidaknya abnormalitas kongenital pada ginjal dan ureter.

H. PENATALAKSANAAN
Dikenal banyak tehnik operai hipospadia, yang umumnya terdiri dari beberapa tahap yaitu :

1. Operasi pelepasan chordee dan tunneling


Dilakukan pada usia 1,5-2 tahun. Pada tahap ini dilakukan operasi eksisi chordee dari muara
uretra sampai ke glands penis. Setelah eksisi chordee maka penis akan menjadi lurus tetapi
meatus uretra masih terletak abnormal. Untuk melihat keberhasilan eksisi dilakukan tes ereksi
buatan intraoperatif dengan menyuntikkan NaCL 0,9% kedalan korpus kavernosum.

2. Operasi uretroplasty
Biasanya dilakukan 6 bulan setelah operasi pertama. Uretra dibuat dari kulit penis bagian ventral
yang di insisi secara longitudinal pararel di kedua sisi.

Tujuan pembedahan :
1. Membuat normal fungsi perkemihan dan fungsi sosial, serta
2. Perbaikan untuk kosmetik pada penis.
Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Teknik Horton dan
Devine.
1. Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap:
a. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang berepitel
pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 -2 tahun. Penis diharapkan lurus, tapi meatus masih
pada tempat yang abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagian dorsal dan
kulit penis
b. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak. Dibuat
insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans, lalu dibuat pipa dari kulit
dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari kulit preputium dibagian
sisi yang ditarik ke bawah dan dipertemukan pada garis tengah. Dikerjakan 6 bulan setelah tahap
pertama dengan harapan bekas luka operasi pertama telah matang.
2. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan penis
yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal (yang letaknya lebih ke ujung
penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian punggung dan ujung penis dengan
pedikel (kaki) kemudian dipindah ke bawah.
Mengingat pentingnya preputium untuk bahan dasar perbaikan hipospadia, maka sebaiknya
tindakan penyunatan ditunda dan dilakukan berbarengan dengan operasi hipospadi.

PRINSIP TERAPI DAN MANAGEMEN PERAWATAN


1. Koreksi bedah.
2. Persiapan prabedah
3. Penatalaksanaan pasca bedah
Anak harus dalam tirah baring
Baik luka penis dan tempat luka donor harus dijaga tetap bersih dan kering
Perawatan kateter
Pemeriksaan urin untuk memeriksa kandungan bakteri
Masukan cairan yang adekuat untuk mempertahankan aliran ginjal dan mengencerkan toksin
Pengangkatan jahitan kulit setelah 5-7 hari

I. EPIDEMIOLOGI
Hipospadia terjadi pada setiap 350 kelahiran bayi laki-laki hidup. Makin proksimal letak meatus,
makin berat kelainan nya dan makin jarang frekuensinya. Klasifikasi dari hipospadiyang sering
dipakai adalah glandular, distal penile, penile, penoskrotal, scrotal, dan perineal. Yang distal
frekuensinya sampai 90% sedang yang penile, skotal, dan perineal hanya 10%.

Di Amerika Serikat angka kejadian sekitar 3-8 diantara 1000 kelahiran bayi laki-laki dan
angkanya meningkat 2 kali lipat dari tahun 1970 hingga tahun 1993. Sedangkan sejak tahun
1998-2004 jumlah pasien yang telah di tangani Profesor Chaula sebanyak 350 orang. Di
Indonesia juga terjadi peningkatan insidens hipospadia, dari yang ada pada hahun 2006, Rumah
Sakit Umum (RSU) Dr Kariadi Semarang rata-rata menangani enam pasien hipospadia dalam
sebulan atau lebih banyak dibanding tahun sebelumnya yang rata-rata empat pasien perbulan.

Hipospadia terjadi 1:300 kelahiran bayi laki-laki hidup di Amerika Serikat. Kelainan ini terbatas
pada uretra anterior. Pemberian estrogen dan progestin selama kehamilan diduga meningkatkan
insidensinya. Jika ada anak yang hipospadia maka kemungkinan ditemukan 20% anggota
keluarga yang lainnya juga menderita hipospadia. Meskipun ada riwayat familial namun tidak
ditemukan ciri genetik yang spesifik.

J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang biasa terjadi antara lain striktur uretra (terutama pada sambungan meatus uretra
yang sebenarnya dengan uretra yang baru dibuat) atau fistula.
1. Infertility
2. Resiko hernia inguinalis
3. Gangguan psikososial

Komplikasi paska pembedahan:

Komplikasi awal yang terjadi adalah perdarahan, infeksi, jahitan yang terlepas, nekrosis flap, dan
edema.

Komplikasi lanjut

1. Stenosis sementara karena edema atau hipertropi scar pada tempat anastomosis.

2. Kebocoran traktus urinaria karena penyembuhan yang lama.

3. Fistula uretrocutaneus

4. Striktur uretra

5. Adanya rambut dalam uretra

K. PROGNOSIS
Prognosis baik jika mendapatkan penanganan intensif dan cepat.

Usia muda lebih baik prognosisnya dibanding usia lebih tua.

L. PENCEGAHAN

Umumnya tidak dapat dicegah, karena penyakit ini adalah kelainan kongenital yang belum
diketahui pasti penyebabnya.

M. ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
1. Fisik
a. Pemeriksaan genetalia
b. Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau pembesaran pada ginjal.
c. Kaji fungsi perkemihan
d. Adanya lekukan pada ujung penis
e. Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
f. Terbukanya uretra pada ventral
g. Pengkajian setelah pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan, dysuria, drinage.
2. Mental
a. Sikap pasien sewaktu diperiksa
b. Sikap pasien dengan adanya rencana pembedahan
c. Tingkat kecemasan
d. Tingkat pengetahuan keluarga dan pasieN

DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG SERING MUNCUL


1. Kurangnya pengetahuan orang tua berhubungan dengan diagnosa, prosedur pembedahan dan
perawatan setelah operasi.
2. Risiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter.
3. Nyeri berhubungan dengan pembedahan
4. Kecemasan orang tua berhubungan dengan prosedur pembedahan
5. Risiko injuri berhubungan dengan pemasangan kateter atau pengangkatan kateter.

INTERVENSI DAN IMPLEMENTASI


1. Diagnosa 1 dan 4
Tujuan : memberikan pengajaran dan penjelasan pada orang tua sebelum operasi tentang
prosedur pembedahan, perawatan setelah operasi, pengukuran tanda-tanda vital, dan pemasangan
kateter.
a. Kaji tingkat pemahaman orang tua.
b. Gunakan gambar-gambar atau boneka untuk menjelaskan prosedur, pemasangan kateter
menetap, mempertahankan kateter, dan perawatan kateter, pengosongan kantong urin, keamanan
kateter, monitor urine, warna dan kejernihan, dan perdarahan.
c. Jelaskan tentang pengobatan yang diberikan, efek samping dan dosis serta waktu pemberian.
d. Ajarkan untuk ekspresi perasaan dan perhatian tentang kelainan pada penis.
e. Ajarkan orang tua untuk berpartisipasi dalam perawatan sebelum dan sesudah operasi (pre dan
post)

2. Diagnosa 2

Tujuan : mencegah infeksi


a. Pemberian air minum yang adekuat
b. Monitor intake dan output (pemasukan dan pengeluaran)
c. Kaji gaya gravitasi urine atau berat jenis urine
d. Monitor tanda-tanda vital
e. Kaji urine, drainage, purulen, bau, warna
f. Gunakan teknik aseptik untuk perawatan kateter
g. Pemberian antibiotik sesuai program

Diagnosa 3

Tujuan : meningkatkan rasa nyaman


a. Pemberian analgetik sesuai program
b. Perhtikan setiap saat yaitu posisi kateter tetap atau tidak
c. Monitor adanya kink-kink (tekukan pada kateter) atau kemacetan
d. Pengaturan posisi tidur anak sesuai kebutuhannya

4. Diagnosa 5
Tujuan : mencegah injuri
a. Pastikan kateter pada anak terbalut dengan benar dan tidak lepas
b. Gunakan restrain atau pengaman yang tepat pada saat anak tidur atau gelisah.
c. Hindari alat-alat tenun atau yang lainnya yang dapat mengkontaminasi kateter dan penis.

Perencanaan pemulangan
1. Ajarkan tentang perawatan kateter dan pencegahan infeksi dengan disimulasikan.
2. Jelaskan tanda dan gejala infeksi saluran kemih dan lapor segera ke dokter atau perawat.
3. Jelaskan pemberian obat antibiotik dan tekankan untuk kontrol ulang (follow up).

N. SATUAN ACARA PENYULUHAN

SATUAN ACARA PENYULUHAN


Tema : hipospadia
Sub Tema : Pencegahan hipospadia
Waktu Pertemuan : 60 menit
Hari, Tanggal : Kamis, 29 Oktober 2012
Pukul : 08.00 WIB- 09.00 WIB
Sasaran : Ny .Toni
Tempat : Kediaman Ny. Toni

I. Tujuan Instruksional Umum :


Setelah malakukan penyuluhan diharapkan Ny.Toni dapat mengerti tentang hipospadia

II. Tujuan Instruksional Khusus :


a. Ny.Toni mengetahui definisi hipospadia dengan benar
b. Ny.Toni jelas terhadap penyebab hipospadia dengan benar
c. Ny.Toni dapat memahami tanda dan gejala hipospadia dengan benar
d. Ny.Toni dapat mengetahui cara pencegahan hipospadia dengan benar

III. Pokok materi


a. Definisi hipospadia
b. Penyebab hipospadia
c. Tanda dan gejala hipospadia
d. Pencegahan hipospadia

IV. Metode : Ceramah dan tanya jawab

V. Kegiatan penyuluhan:
Kegiatan Penyuluh Audience waktu
Pendahuluan Memperkenalkan diri dan Memberikan 10 Menit
dan Apresiasi memberikan kesempatan pendapat yang
audience memberikan diketahuinya
pendapatnya
Isi Materi tentang hipospadia : Mendengarkan 35 Menit
Definisi hipospadia
Penyebab hipospadia
Tanda dan gejala hipospadia
Pencegahan hipospadia

Penutup Evaluasi kesimpulan Mendengarkan 15 menit


pemberian pesan dan dan bertanya
mengucapkan salam
penutup/tahapan terminasi
VI. Media : Power Point

VII. Evaluasi : Memberikan pertanyaan kepada Ny.Toni secara lisan.


- Bagaimana pencegahan penyakit hipospadia?

Yogyakarta, 06 Oktober 2012


Pembimbing Penyuluh

Diah Pujiastuti S. Kep . Ns Windayona Hadi Prasetya

O. JOURNAL
HypospadiasN. Djakovic, J. Nyarangi-Dix, A. zturk, and M. Hohenfellner
Department of Urology, University of Heidelberg, Medical Center, 69120,
Heidelberg, GermanyReceived 30 May 2008; Accepted 9 September 2008
Academic Editor: Miroslav L. Djordjevic Copyright 2008 N. Djakovic et al.
This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License,
which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the
original work is properly cited.
Abstract
The great possibility of variations in the clinical presentation of hypospadia, makes its therapy
challenging. This has led to the development of a number of techniques for hypospadia repair.
This article assesses past and present concepts and operative techniques with the aim of
broadening our understanding of this malformation. Materials and Methods. The article not only
reviews hypospadia in general with its development and clinical presentation as well as historical
and current concepts in hypospadiologie on the basis of available literature, but it is also based
on our own clinical experience in the repair of this malformation. Results and Conclusion. The
fact that there are great variations in the presentation and extent of malformations existent makes
every hypospadia individual and a proposal of a universal comprehensive algorithm for
hypospadia repair difficult. The Snodgrass technique has found wide popularity for the repair of
distal hypospadias. As far as proximal hypospadias are concerned, their repair is more
challenging because it not only involves urethroplasty, but can also, in some cases, fulfil the
dimensions of a complex genital reconstruction. Due to the development of modern operating
materials and an improvement in current surgical techniques, there has been a significant
decrease in the complication rates. Nonetheless, there still is room and, therefore, need for
further improvement in this field.
Conclusion
Hypospadia surgery is challenging. The fact that there are wide variations in the presentation and
extent of malformations as well as tissue characteristics existent makes every hypospadia
individual and aproposal of a universal comprehensive algorithm for hypospadia repair
difficult.The Snodgrass technique has found wide popularity for the repair of distal hypospadias.
As far as proximal hypospadias are concerned, their repair is complex and could in fact be seen
as a form of genital reconstruction. This repair not only involves urethroplasty, but also has its
goal in achieving good cosmetic results with a straight normal-proportioned penis and an
orthotopic meatus in addition to the functional urethra. Even though the complication rates have
decreased, thanks to modern operating materials and an improvement of current surgical
techniques, there still is room and therefore need for further improvement in this field.

DAFTAR PUSTAKA

Closkey JC & Bulechek. 1996. Nursing Intervention Classification. 2nd ed. Mosby Year Book.
IDAI, 2005,

Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Badan Pnerbit IDAI, Jakarta. Johnson M, dkk. 2000.
Nursing Outcome Classification (NOC). Second edition. Mosby. NANDA. 2005-2006. Nursing
Diagnosis: Deffinition & Classification. Philadhelphia. Mansjoer A, dkk. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 2.

Media Aesculapius. Jakarta Purnomo, Basuki B, 2003, Dasar-Dasar Urologi, Jakarta , Sagung
Seto atzel, pincus dkk. 1990. Kapita Selekta Pediatri. Jakarta : EGC.

Markum, A.H. 1997. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Rosenstein, Beryl J. 1997. Intisari Pediatri Panduan Praktis Pediatri Klinik Edisi II. Jakarta :
Hipokrates.
Diposkan 9th November 2012 oleh Windayona Hadi Prasetya

1
Lihat komentar

1.

Petrus Asmara3 Mei 2013 23.58

Mantap banget maz,,,


Blog yang sangat berguna,,,,

makasih maz

Balas
Memuat
Template Tampilan Dinamis. Diberdayakan oleh Blogger.

También podría gustarte