Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Di susun oleh :
Nama : Windayona Hadi Prasetya
NIM : 1002108
Prodi : SI/ IIA
c. Limpa
Limpa merupakan sebuah organ yang terletak di sebelah kiri abdomen di daerah hipogastrium
kiri bawah iga ke-9,-10,-11. Limpa berdekatan pada fundus dan permukaan luarnya menyentuh
diafragma. Jalinan struktur jaringan ikat di antara jalinan itu membentuk isi limpa/ pulpa yang terdiri
dari jaringan limpa dan sejumlah besar sel sel darah.
Fungsi limpa sebagai gudang darah seperti hati, limpa banyak mengandung kapiler kapiler
darah, dengan demikian banyak arah yang mengalir dalam limpa, sebagai pabrik sel darah, limfa
dapat memproduksi leukosit dan eritrosit terutama limfosit, sebagai tempat pengahancur eritrosit,
karena di dala limpa terdapat jaringan retikulum endotel maka limpa tersebut dapat mengancurkan
eritrosit sehingga hemoglobin dapat dipisahkan dari zat besinya, mengasilkan zat antibodi.
Limpa menerima darah dari arteri lienalis dan keluar melalui vena lienalis pada vena porta.
Darah dari limpa tidak langsung menuju jantung tetapi terlebih dahulu ke hati. Pembuluh darah
masuk ke dan keluar melalui hilus yang berbeda di permukaan dalam. Pembuluh darah itu
memperdarhi pulpa sehingga dan bercampur dengan unsur limpa.
d. Thymus
Kelejar timus terletak di dalam torax, kira kira pada ketinggian bifurkasi trakea. Warnanya
kemerah merahan dan terdiri dari 2 lobus. Pada bayi baru lahir sangat kecil dan beratnya kira
kira 10 gram atau lebih sedikit; ukurannya bertambah pada masa remaja beratnya dari 30 40 gram
dan kemudian mengkerut lagi. Fungsinya diperkirakan ada sangkutnya dengan produksi antibody
dan sebagai tempat berkembangnya sel darah putih.
2. DEFINISI
Limfoma Non-Hodgkin adalah sekelompok keganasan (kanker) yang berasal dari sistem
kelenjar getah bening dan biasanya menyebar ke seluruh tubuh. Beberapa dari limfoma ini
berkembang sangat lambat (dalam beberapa tahun), sedangkan yang lainnya menyebar dengan
cepat (dalam beberapa bulan). Penyakit ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan penyakit
Hodgkin.
Limfoma malignum non-Hodgkin atau Limfoma non-Hodgkin adalah suatu keganasan kelenjar
limfoid yang bersifat padat. Limfoma nonhodgkin hanya dikenal sebagai suatu limfadenopati
lokal atau generalisata yang tidak nyeri. Namun sekitar sepertiga dari kasus yang berasal dari
tempat lain yang mengandung jaringan limfoid ( misalnya daerah orofaring, usus, sumsum
tulang, dan kulit. Meskipun bervariasi semua bentuk limfoma mempunyai potensi untuk
menyebar dari asalnya sebagai penyebaran dari satu kelenjar kekelenjar lain yang akhirnya
menyebar ke limfa, hati, dan sumsum tulang.
3. ETIOLOGI
Etiologi belum jelas mungkin perubahan genetik karena bahan bahan limfogenik seperti virus EBV,
bahan kimia, mutasi spontan, radiasi dan sebagainya. Terdapat beberapa fakkor resiko terjadinya
LNH, antara lain :
Imunodefisiensi : 25% kelainan heredier langka yang berhubungan dengan terjadinya LNH
antara lain adalah :severe combined immunodeficiency, hypogammaglobulinemia, common
variable immunodeficiency, Wiskott Aldrich syndrome dan ataxia-telangiectasia. Limfoma yang
berhubungan dengan kelainan-kelainan tersebut seringkali dihubugkan pula dengan Epstein Barr
Virus (EBV) dan jenisnya beragam.
Agen infeksius : EBV DNA ditemukan pada limfoma Burkit sporadic. Karena tidak pada semua
kasus limfoma Burkit ditemukan EBV, hubungan dan mekanisme EBV terhadap terjadinya
limfoma Burkit belum diketahui.
Paparan lingkungan dan pekerjaan : Beberapa pekerjaan yang sering dihubugkan dengan resiko
tinggi adalah peternak serta pekerja hutan dan pertanian. Hal ini disebabkan adanya paparan
herbisida dan pelarut organic.
Diet dan Paparan lsinya : Risiko LNH meningkat pada orang yang mengkonsumsi makanan
tinggi lemak hewani, merokok, dan yang terkena paparan UV4,5.
4. GEJALA KLINIS
Gejala umum penderita limfoma non-Hodgkin yaitu :
- Pembesaran kelenjar getah bening tanpa adanya rasa sakit
- Demam
- Keringat malam
- Rasa lelah yang dirasakan terus menerus
- Gangguan pencernaan dan nyeri perut
- Hilangnya nafsu makan
- Nyeri tulang
- Bengkak pada wajah dan leher dan daerah-daerah nodus limfe yang terkena.
- Limphadenopaty
5. PATOFISIOLOGI
Perubahan sel limfosit normal menjadi sel limfoma merupakan akibat terjadinya mutasi gen pada
salah satu gen pada salah satu sel dari sekelompok sel limfosit tua yang tengah berada dalam
proses transformasi menjadi imunoblas (terjadi akibat adanya rangsangan imunogen). Beberapa
perubahan yang terjadi pada limfosit tua antara lain: 1).ukurannya semakin besar, 2).Kromatin inti
menjadi lebih halus, 3).nukleolinya terlihat, 4).protein permukaan sel mengalami perubahan.
Beberapa faktor resiko yang diperkirakan dapat menyebabkan terjadinya limfoma Hodgkin dan non-
Hodgkin seperti infeksi virus-virus seperti virus Epstein-Berg, Sitomegalovirus, HIV, HHV-6,
defisiensi imun, bahan kimia, mutasi spontan, radiasi awalnya menyerang sel limfosit yang ada di
kelenjar getah bening sehingga sel-sel limfosit tersebut membelah secara abnormal atau terlalu
cepat dan membentuk tumor/benjolan. Tumor dapat mulai di kelenjar getah bening (nodal) atau
diluar kelenjar getah bening (ekstra nodal). Proliferasi abnormal tumor tersebut dapat memberi
kerusakan penekanan atau penyumbatan organ tubuh yang diserang. Apabila sel tersebut
menyerang Kelenjar limfe maka akan terjadi Limphadenophaty
Dampak dari proliferasi sel darah putih yang tidak terkendali, sel darah merah akan terdesak,
jumlah sel eritrosit menurun dibawah normal yang disebut anemia. Selain itu populasi limfoblast
yang sangat tinggi juga akan menekan jumlah sel trombosit dibawah normal yang disebut
trombositopenia. Bila kedua keadaan terjadi bersamaan, hal itu akan disebut bisitopenia yang
menjadi salah satu tanda kanker darah.
Gejala awal yang dapat dikenali adalah pembesaran kelenjar getah bening di suatu tempat
(misalnya leher atau selangkangan)atau di seluruh tubuh. Kelenjar membesar secara perlahan dan
biasanya tidak menyebabkan nyeri. Kadang pembesaran kelenjar getah bening di tonsil (amandel)
menyebabkan gangguan menelan.
Pembesaran kelenjar getah bening jauh di dalam dada atau perut bisa menekan berbagai organ dan
menyebabkan: gangguan pernafasan, berkurangnya nafsu makan, sembelit berat, nyeri perut,
pembengkakan tungkai.
Jika limfoma menyebar ke dalam darah bisa terjadi leukimia. Limfoma non hodgkin lebih mungkin
menyebar ke sumsum tulang, saluran pencernaan dan kulit. Pada anak anak, gejala awalnya
adalah masuknya sel sel limfoma ke dalam sumsum tulang, darah, kulit, usus, otak, dan tulang
belekang; bukan pembesaran kelenjar getah bening. Masuknya sel limfoma ini menyebabkan
anemia, ruam kulit dan gejala neurologis (misalnya delirium, penurunan kesadaran).
Secara kasat mata penderita tampak pucat, badan seringkali hangat dan merasa lemah tidak
berdaya, selera makan hilang, berat badan menurun disertai pembengkakan seluruh kelenjar getah
bening : leher, ketiak, lipat paha, dll.
6. KLASIFIKASI
Ada 2klasifikasi besar penyakit ini yaitu:
Limfoma non Hodgkin agresif
Limfoma non Hodgkin indolen
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Anamnesis dan pemeriksaan fisik : ada tumor sistem limfoid, febris keringat malam, penurunan
berat badan, limfadenopati dann hepatosplenomegali
Pemeriksaan laboratorium : Hb, leukosit, LED, hapusan darah, faal hepar, faal ginjal, LDH.
Pemeriksaan Ideal
Limfografi, IVP, Arteriografi. Foto organ yang diserang, bone scan, CT scan, biopsi sunsum
tulang, biopsi hepar, USG, endoskopi
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan histopatologi. Untuk LH
memakai krioteria lukes dan butler (4 jenis). Untuk LNH memakai kriteria internasional working
formulation (IWF) menjadi derajat keganasan rendah, sedang dan tinggi
Penentuan tingkat/stadium penyakit (staging)
Stadium ditentukan menurut kriteria Ann Arbor (I, II, III, IV, A, B, E)
Ada 2 macam stage : Clinical stage dan pathological stage
8. PENATALAKSANAAN
Therapy Medik
Konsultasi dengan ahli onkology medik ( di RS type A dan B)
Limfoma non hodkin derajat keganasan rendah (IWF)
Tanpa keluhan : tidak perlu therapy
Bila ada keluhan dapat diberi obat tunggal siklofosfamide dengan dosis permulaan po tiap hari
atau 1000 mg/m 2 iv selang 3 4 minggu.
Bila resisten dapat diberi kombinasi obat COP, dengan cara pemberian seperti pada LH diatas
Limfona non hodgkin derajat keganasan sedang (IWF)
Untuk stadium I B, IIB, IIIA dan B, IIE A da B, terapi medik adalah sebagai terapy utama
Untuk stadium I A, IE, IIA diberi therapy medik sebagai therapy anjuran
Minimal : seperti therapy LH
Ideal : Obat kombinasi cyclophospamide, hydrokso epirubicin, oncovin, prednison (CHOP)
dengan dosis :
C : Cyclofosfamide 800 mg/m 2 iv hari I
H : Hydroxo epirubicin 50 mg/ m 2 iv hari I
O : Oncovin 1,4 mg/ m 2 iv hari I
P : Prednison 60 mg/m 2 po hari ke 1 5
Perkiraan selang waktu pemberian adalah 3 4 minggu
Lymfoma non hodgkin derajat keganasan tinggi (IWF)
Stadium IA : kemotherapy diberikan sebagai therapy adjuvant
Untuk stadium lain : kemotherapy diberikan sebagai therapy utama
Minimal : kemotherapynya seperti pada LNH derajat keganasan sedang (CHOP)
Ideal : diberi Pro MACE MOPP atau MACOP B
Therapy radiasi dan bedah
Konsultasi dengan ahli radiotherapy dan ahli onkology bedah, selanjutnya melalui yim onkology
( di RS type A dan B)
9. PROGNOSIS
LNH dapat dibagi kedalam 2 kelompok prognostik: Indolent Lymphoma dan Agresif Lymphoma. LNH
memiliki prognosis yang relatif baik, dengan median survival 10 tahun, tetapi biasanya tidak dapat
disembuhkan pada stadium lanjut. Sebagian besar tipe Indolen adalah noduler atau folikuler. Tipe
limfoma agresif memiliki perjalanan alamiah yang lebih pendek, namun lebih dapat disembuhkan
secara signifikan dengan kemoterapi kombinasi intensif. Resiko kambuh lebih tinggi pada pasien
dengan gambaran histologik divergen baik pada kelompok Indolen maupun Agresif.
Derajat keganasan rendah: tidak dapat sembuh namun dapat hidup lama. Derajat keganasan
menengah: sebagian dapat disembuhkan. Derajat keganasan tinggi: dapat disembuhkan, cepat
meninggal apabila tidak diobati.
10. KOMPLIKASI
Akibat langsung penyakitnya
- Penekanan terhadap organ khususnya jalan nafas, usus dan saraf
- Mudah terjadi infeksi, bisa fatal
Akibat efek samping pengobatan
- Aplasia sumsum tulang
- Gagal jantung oleh obat golongan antrasiklin
- Gagal ginjal oleh obat sisplatinum
- Neuritis oleh obat vinkristin6
11. EPIDEMIOLOGI
Limfoma non-Hodgkin (NHL) merupakan penyakit yang terutama dijumpai pada usia agak tinggi.
Insidensi puncak terdapat di atas 40 tahun dan untuk berbagai subtipe bahkan di atas 60 tahun di
seluruh dunia. Median umur penderita limfoma non-Hodgkin adalah 50 tahun. Tetapi ada beberapa
tipe, yaitu NHL derajat tinggi, yang juga (dan terutama) terdapat pada umur anak dan remaja muda.
Insidensinya adalah 6 per 100.000.
12. PENCEGAHAN
Tidak ada pedoman untuk mencegah limfoma Non Hodgkin karena penyebabnya tidak diketahui.
Super lutein merupakan herbal antikanker no 1 yang direkomendasikan oleh 6600 dokter di dunia.
Kemampuannya sebagai herbal antikanker tidak dapat dipungkiri lagi. Kandungan lycopene, beta
caroten dan alpha carotene merupakan karotenoid yang berfungsi sebagai antioksidan yang sangat
baik untuk regenerasi sel-selyang telah mati dan menghambat radikal bebas dalam tubuh.
karotenoid tersebut juga mampu menghambat dan membunuh mutasi sel-sel kanker ini.
13. ASKEP
A.PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Gejala pada Limfoma secara fisik dapat timbul benjolan yang kenyal, tidak terasa nyeri, mudah
digerakkan (pada leher, ketiak atau pangkal paha). Pembesaran kelenjar tadi dapat dimulai dengan
gejala penurunan berat badan, demam, keringat malam. Hal ini dapat segera dicurigai sebagai
Limfoma. Namun tidak semua benjolan yang terjadi di sistem limfatik merupakan Limfoma. Bisa saja
benjolan tersebut hasil perlawanan kelenjar limfa dengan sejenis virus atau mungkin tuberkulosis
limfa.
Pada pengkajian data yang dapat ditemukan pada pasien Limfoma antara lain :
1.Data subyektif
a.Demam berkepanjangan dengan suhu lebih dari 38Oc
b.Sering keringat malam
c.Cepat merasa lelah
d.Badan lemah
e.Mengeluh nyeri pada benjolan
f.Nafsu makan berkurang
g.Intake makan dan minum menurun, mual, muntah
2.Data Obyektif
a.Timbul benjolan yang kenyal, mudah digerakkan pada leher, ketiak atau pangkal paha
b.Wajah pucat
B.DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.Resiko infeksi berhubungan dengan imunosupresi dan malnutrisi
2.Hipertermi berhubungan dengan tak efektifnya termoregulasi sekunder terhadap inflamasi
3.Nyeri berhubungan dengan interupsi sel saraf
4.Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan sistem transport oksigen
terhadap perdaharan
5.Gangguan integritas kulit/ jaringan berhubungan dengan massa tumor mendesak ke jaringan luar
6.Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi, kelelahan.
7.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
8.Kekurangan volume cairan berhubungan dengan muntah dan intake yang kurang
9.Perubahan kenyamanan berhubungan dengan mual, muntah
10.Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis, pengobatan
dan perawatan
11.Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi,
tidak mengenal sumber-sumber
E.Evaluasi
Setelah dilakukan pelaksanaan tindakan keperawatan hasil yang diharapkan adalah :
1.Suhu badan dalam batas normal ( 36 37,5c)
2.Nyeri berkurang
3.kebutuhan nutrisi terpenuhi
4.Aktivitas dapat ditingkatkan/ADL pasien terpenuhi
5.Pasien tidak cemas/berkurang
Fidelity (setia)
Fidelity berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang dimikili oleh seseorang.
15. PENDKES
C. Materi
1. Pengertian Limfoma Non Hodgkin
2. Patofisiologi penyakit Limfoma Non Hodgkin
3. Faktor penyebab dari Limfoma Non Hodgkin
4. Tanda/gejala penyakit Limfoma Non Hodgkin
5. Penatalaksanaan penyakit Limfoma Non Hodgkin
D. Metode
1. Ceramah
2. Tanya jawab
E. Kegiatan Penyuluhan
No Kegiatan Penyuluh Peserta Waktu
1. Pembukaan Salam pembuka Menjawab salam
Menyampaikan tujuan Menyimak,
5 Menit
penyuluhan Mendengarkan, menjawab
pertanyaan
2. Kerja/ isi Penjelasan pengertian, Mendengarkan dengan
penyebab, gejala, penuh perhatian
penatalaksanaan dan Menanyakan hal-hal yang
patofisiologi penyakitLimfo belum jelas
ma Non Hodgkin Memperhatikan jawaban 10 menit
Memberi kesempatan dari penceramah
peserta untuk bertanya Menjawab pertanyaan
Menjawab pertanyaan
Evaluasi
Menyimpulkan Mendengarkan
3. Penutup 5 Menit
Salam penutup Menjawab salam
F. Media
1. Leaflet : Tentang penyakit Limfoma Non Hodgkin
2. Poster tentang penyakit Limfoma Non Hodgkin
G. Sumber/Referensi
a. Doenges, E. Marilynn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Ed. 3. EGC : Jakarta.
b. Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.
c. FKUI. 1999. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1. FKUI : Jakarta.
d. Griffith. 1994. Buku Pintar Kesehatan. Arcan : Jakarta.
H. Evaluasi
Formatif :
Klien dapat menjelaskan pengertian Limfoma Non Hodgkin
Klien mampu menjelaskan faktor penyebab dari penyakit Limfoma Non Hodgkin
Klien dapat menjelaskan tanda/gejala penyakit Limfoma Non Hodgkin
Klien mampu menjelaskan penatalaksanaan Limfoma Non Hodgkin
Sumatif :
Klien dapat memahami penyakit Limfoma Non Hodgkin
Yogyakarta, Rabu 13 Oktober 2012
Penyuluh
16. JURNAL
Abstract
Background
To show magnetic resonance imaging (MRI) texture appearance change in non-Hodgkin lymphoma
(NHL) during treatment with response controlled by quantitative volume analysis.
Methods
A total of 19 patients having NHL with an evaluable lymphoma lesion were scanned at three imaging
timepoints with 1.5T device during clinical treatment evaluation. Texture characteristics of images
were analyzed and classified with MaZda application and statistical tests.
Results
NHL tissue MRI texture imaged before treatment and under chemotherapy was classified within
several subgroups, showing best discrimination with 96% correct classification in non-linear
discriminant analysis of T2-weighted images.
Texture parameters of MRI data were successfully tested with statistical tests to assess the impact of
the separability of the parameters in evaluating chemotherapy response in lymphoma tissue.
Conclusion
Texture characteristics of MRI data were classified successfully; this proved texture analysis to be
potential quantitative means of representing lymphoma tissue changes during chemotherapy
response monitoring.
Background
Quantitative image analysis may provide new clinically relevant information on the target of interest,
constituting a major advantage in clinical work as well as in research. The most significant objectives
in quantitative image analysis are to find tissue-characterizing features with biological significance
and which correlate with pathophysiology detected by other methods, i.e. clinical examination, other
imaging modalities and pathological-anatomical diagnosis, and secondly to provide this new
information on the properties of tissues to be used alone or in combination with other clinical
information allowing more reliable detection of disease and sophisticated tissue classification as a
clinical diagnostic and follow-up tool.
Precise and earlier diagnostics and monitoring treatment response are significant both for the
individual patient's prognosis and on a larger scale in developing treatment procedures, especially in
malignant diseases. Within the research on solid tumors extensive and widely used Response
Evaluation Criteria in Solid Tumors (RECIST) Guidelines may be followed to obtain intra- and inter
center comparable results. RECIST defines measurability of tumor lesions and specifies methods of
measurements with different techniques [1]. According to the RECIST criteria measure of tumor
response from radiological images is done by measuring lesions one-dimensionally, furthermore the
World Health Organization (WHO) criteria use two dimensional analysis and several research groups
volumetric three-dimensional analysis [2].
Staging of non-Hodgkin's lymphomas (NHL) is the key element of treatment planning for this
heterogeneous group of malignancies. A variety of diagnostic tools, including biopsies, computed
tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), 18F-fluorodeoxyglucose positron emission
tomography (FDG-PET) or molecular markers are used in pre-treatment staging [3]. Enhancement
with contrast media could also help the evaluation in using different imaging modalities. The same
tools are applied to evaluate the response to different types of treatment. Novel techniques such as
hybrid positron emission tomography computed tomography (PET-CT) imaging and new PET
tracers like 18F-fluoro-thymidine (18F-FLT) may increase the sensitivity of response assessment [4].
Reports aiming international standardization of clinical response criteria for NHL have been
published [5,6], and these criteria are in wide clinical use. A combination of cyclophosphamide,
doxorubicin, vincristine and prednisone (CHOP) remains the mainstay of therapy. The addition of a
chimeric-anti-CD20 immunoglobulin G1 monoclonal antibody, rituximab (Mabthera ), has resulted in
a dramatic improvement in the outcome of the most common NHL, diffuse large B-cell lymphoma,
but has also been shown to effective in other type of B-cell lymphomas [7-9].
Several quantitative MRI studies have indicated that texture analysis (TA) has the ability to detect
differences between tissues and subtle changes between disease burden and normal tissue.
Successful applications of TA have been reported from studying neurological diseases [10-15], brain
tumors [16,17], amygdale activation [18], muscles [19,20], trabecular bone [21-23], liver[24-26],
breast cancer [27-31] and lymphomas [32].
In this paper we report the ability of TA to detect changes in NHL solid tissue masses during
chemotherapy. The change in texture appearance is controlled by quantitative volumetric analysis.
We classify statistical, autoregressive (AR-) model and wavelet texture parameters representing pre-
treatment and two under chemotherapy stages of tumors with four analyses: raw data analysis
(RDA), principal component analysis (PCA), linear (LDA) and non-linear discriminant analysis (NDA).
The final objective is to show that these texture parameters of MRI data can be successfully tested
with Wilcoxon paired test and Repeatability and Reproducibility (R&R) test for assess the impact of
the parameters usability in evaluating chemotherapy response in lymphoma tissue.
Methods
Tumor Response Evaluation (TRE) is a wide prospective clinical project ongoing at our university
hospital on cancer patients, where tumor response to treatment is evaluated and followed up using
simultaneously CT, MRI and PET imaging methods. Clinical responses for these lymphoma patients
were assessed according to the guidelines of the international working group response criteria. In
this texture analysis study, as a part of extensive project, the focus was on quantitative imaging
methods and only the response in predefined solid NHL masses was evaluated. The ethics
committee of the hospital approved the study and participants provided written informed consent.
Primary inclusion criteria were NHL patients with at least one bulky lesion (over 3 centimeters)
coming for curative aimed treatment. Exclusion criteria were central nervous disease, congestive
heart failure New York Heart Association Classification (NYHA) III-IV, serious psychiatric disease,
HIV infection and pregnancy.
Daftar Pustaka :
1. http://sweetspearls.com/naturally-plus/naturally-cara-mencegah-dan-mengatasi-limfoma-
hodgkin/
2. http://www.fkumyecase.net/wiki/index.php?
page=Tumor+Abdomen+Bawah+Regio+Supra+Pubik+Suspect+Limfoma+Maligna
3. http://medicastore.com/penyakit/308/Limfoma_Non-Hodgkin.html
4. http://ningrumwahyuni.wordpress.com/2009/07/28/limfoma-non-hodgkin/
5. http://dc227.4shared.com/img/LbfnpSU9/preview.html
6. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/28230
7. http://firm4n.files.wordpress.com/2007/03/lnh.pdf
8. http://fitralxt190110.blogspot.com/2011/09/askep-hodgkin.html
Diposkan 20th April 2012 oleh Windayona Hadi Prasetya
0
Tambahkan komentar
Medical Sains
Klasik
Kartu Lipat
Majalah
Mozaik
Bilah Sisi
Cuplikan
Kronologis
HIPOSPADIA
1
HIDRONEFROSIS
ASKEP PNEUMOKONIOSIS
ASKEP CA LAMBUNG
ASKEP CA REKTUM
ASKEP STOMATITIS
HIPOSPADIA
Disusun oleh :
Nama : Windayona Hadi Prasetya
NIM : 1002108
PROGRAM S1 KEPERAWATAN
STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA
TA 2012/2013
A. DEFINISI
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa muara uretra yang terletak di sebelah ventral
penis dan sebelah prokimal ujung penis.
Hipospadia merupakan salah satu dari kelainan congenital paling sering pada genitalia laki laki,
terjadi pada satu dalam 350 kelahiran laki-laki, dapat dikaitkan dengan kelainan kongenital lain
seperti anomali ginjal, undesensus testikulorum dan genetik seperti sindroma klinefelter.
Penis merupakan organ kopulasi yaitu hubungan antara alat kelamin jantan dan betina untuk
memindahkan semen ke dalam organ reproduksi betina. Penis diselimuti oleh selaput tipis yang
nantinya akan dioperasi pada saat dikhitan/sunat.
2. Genetika
Terjadi karena gagalnya sintesis androgen. Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang
mengode sintesis androgen tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
3. Lingkungan
Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang bersifat
teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.
D. MANIFESTASI KLINIS
1. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah penis yang
menyerupai meatus uretra eksternus.
2. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian punggung penis.
3. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan membentang hingga ke
glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
6. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.
10. Lubang penis tidak terdapat di ujung penis, tetapi berada di bawah penis
12. Penis tampak seperti berkerudung karena kelainan pada kulit depan penis
14. Pada kebanyakan penderita terdapat penis yang melengkung ke arah bawah yang akan tampak
lebih jelas pada saat ereksi. Hal ini disebabkan oleh adanya chordee yaitu suatu jaringan fibrosa
yang menyebar mulai dari meatus yang letaknya abnormal ke glands penis. Jaringan fibrosa ini
adalah bentuk rudimeter dari uretra, korpus spongiosum dan tunika dartos. Walaupun adanya
chordee adalah salah satu ciri khas untuk mencurigai suatu hipospadia, perlu diingat bahwa tidak
semua hipospadia memiliki chordee.
E. PATOFISIOLOGI
Hypospadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembangan uretra dalam utero. Terjadi karena
adanya hambatan penutupan uretra penis pada kehamilan minggu ke 10 sampai minggu ke 14.
Gangguan ini terjadi apabila uretra jatuh menyatu ke midline dan meatus terbuka pada
permukaan ventral dari penis. Propusium bagian ventral kecil dan tampak seperti kap atau
menutup.
F. KLASIFIKASI
KLASIFIKASI HIPOSPADIA
b. Hipospadia Peneescrotal
3. Tipe Posterior
Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal.
Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu,
kadang disertai dengan skrotum bifida, meatus uretra terbuka
lebar dan umumnya testis tidak turun.
Klasifikasi hipospadia yang digunakan sesuai dengan letak
meatus uretra yaitu tipe glandular, distal penile, penile,
penoskrotal, skrotal dan perineal.
Semakin ke proksinal letak meatus, semakin berat kelainan yang
diderita dan semakin rendah frekuensinya. Pada kasus ini 90%
terletak di distal di mana meatus terletak di ujung batang penis
atau di glands penis. Sisanya yang 10% terletak lebih proksimal
yaitu ditengah batang penis, skrotum atau perineum. Berdasarkan
letak muara uretra setelah dilakukan koreksi korde, Brown
membagi hipospadia dalam 3 bagian :
(1) Hipospadia anterior : tipe glanular, subkoronal, dan penis
distal.
(2) Hipospadia Medius : midshaft, dan penis proksimal
(3) Hipospadia Posterior : penoskrotal, scrotal, dan perineal.
1. Masalah psikologis pada anak karena merasa malu akibat bentuk penis yang berbeda dengan
teman bermainnya.
2. Masalah reproduksi karena bentuk penis yang bengkok menyebabkan penis susah masuk ke
dalam vagina saat kopulasi, cairan semen yang disemprotkan melalui saluranuretra pada tempat
abnormal.
3. Kesulitan penentuan jenis kelamin terutama jika meatu uretra terletak di perineum dan skrotum
terbelah dengan disertai kriptorkismus.
5. Kemungkinan adanya kelainan congenital yang lain seperti kelainan ginjal sehingga perlu
dianjurkan untuk pemerikaan foto polos abdomen dan pielografi intravena.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu urethtroscopydan cystoscopy untuk
memastikan organ-organ seks internal terbentuk secara normal.Excretory urography dilakukan
untuk mendeteksi ada tidaknya abnormalitas kongenital pada ginjal dan ureter.
H. PENATALAKSANAAN
Dikenal banyak tehnik operai hipospadia, yang umumnya terdiri dari beberapa tahap yaitu :
2. Operasi uretroplasty
Biasanya dilakukan 6 bulan setelah operasi pertama. Uretra dibuat dari kulit penis bagian ventral
yang di insisi secara longitudinal pararel di kedua sisi.
Tujuan pembedahan :
1. Membuat normal fungsi perkemihan dan fungsi sosial, serta
2. Perbaikan untuk kosmetik pada penis.
Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Teknik Horton dan
Devine.
1. Teknik tunneling Sidiq-Chaula dilakukan operasi 2 tahap:
a. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan yang berepitel
pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 -2 tahun. Penis diharapkan lurus, tapi meatus masih
pada tempat yang abnormal. Penutupan luka operasi menggunakan preputium bagian dorsal dan
kulit penis
b. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah lunak. Dibuat
insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke glans, lalu dibuat pipa dari kulit
dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka ditutup dengan flap dari kulit preputium dibagian
sisi yang ditarik ke bawah dan dipertemukan pada garis tengah. Dikerjakan 6 bulan setelah tahap
pertama dengan harapan bekas luka operasi pertama telah matang.
2. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar dengan penis
yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal (yang letaknya lebih ke ujung
penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit bagian punggung dan ujung penis dengan
pedikel (kaki) kemudian dipindah ke bawah.
Mengingat pentingnya preputium untuk bahan dasar perbaikan hipospadia, maka sebaiknya
tindakan penyunatan ditunda dan dilakukan berbarengan dengan operasi hipospadi.
I. EPIDEMIOLOGI
Hipospadia terjadi pada setiap 350 kelahiran bayi laki-laki hidup. Makin proksimal letak meatus,
makin berat kelainan nya dan makin jarang frekuensinya. Klasifikasi dari hipospadiyang sering
dipakai adalah glandular, distal penile, penile, penoskrotal, scrotal, dan perineal. Yang distal
frekuensinya sampai 90% sedang yang penile, skotal, dan perineal hanya 10%.
Di Amerika Serikat angka kejadian sekitar 3-8 diantara 1000 kelahiran bayi laki-laki dan
angkanya meningkat 2 kali lipat dari tahun 1970 hingga tahun 1993. Sedangkan sejak tahun
1998-2004 jumlah pasien yang telah di tangani Profesor Chaula sebanyak 350 orang. Di
Indonesia juga terjadi peningkatan insidens hipospadia, dari yang ada pada hahun 2006, Rumah
Sakit Umum (RSU) Dr Kariadi Semarang rata-rata menangani enam pasien hipospadia dalam
sebulan atau lebih banyak dibanding tahun sebelumnya yang rata-rata empat pasien perbulan.
Hipospadia terjadi 1:300 kelahiran bayi laki-laki hidup di Amerika Serikat. Kelainan ini terbatas
pada uretra anterior. Pemberian estrogen dan progestin selama kehamilan diduga meningkatkan
insidensinya. Jika ada anak yang hipospadia maka kemungkinan ditemukan 20% anggota
keluarga yang lainnya juga menderita hipospadia. Meskipun ada riwayat familial namun tidak
ditemukan ciri genetik yang spesifik.
J. KOMPLIKASI
Komplikasi yang biasa terjadi antara lain striktur uretra (terutama pada sambungan meatus uretra
yang sebenarnya dengan uretra yang baru dibuat) atau fistula.
1. Infertility
2. Resiko hernia inguinalis
3. Gangguan psikososial
Komplikasi awal yang terjadi adalah perdarahan, infeksi, jahitan yang terlepas, nekrosis flap, dan
edema.
Komplikasi lanjut
1. Stenosis sementara karena edema atau hipertropi scar pada tempat anastomosis.
3. Fistula uretrocutaneus
4. Striktur uretra
K. PROGNOSIS
Prognosis baik jika mendapatkan penanganan intensif dan cepat.
L. PENCEGAHAN
Umumnya tidak dapat dicegah, karena penyakit ini adalah kelainan kongenital yang belum
diketahui pasti penyebabnya.
M. ASUHAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN
1. Fisik
a. Pemeriksaan genetalia
b. Palpasi abdomen untuk melihat distensi vesika urinaria atau pembesaran pada ginjal.
c. Kaji fungsi perkemihan
d. Adanya lekukan pada ujung penis
e. Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
f. Terbukanya uretra pada ventral
g. Pengkajian setelah pembedahan : pembengkakan penis, perdarahan, dysuria, drinage.
2. Mental
a. Sikap pasien sewaktu diperiksa
b. Sikap pasien dengan adanya rencana pembedahan
c. Tingkat kecemasan
d. Tingkat pengetahuan keluarga dan pasieN
2. Diagnosa 2
Diagnosa 3
4. Diagnosa 5
Tujuan : mencegah injuri
a. Pastikan kateter pada anak terbalut dengan benar dan tidak lepas
b. Gunakan restrain atau pengaman yang tepat pada saat anak tidur atau gelisah.
c. Hindari alat-alat tenun atau yang lainnya yang dapat mengkontaminasi kateter dan penis.
Perencanaan pemulangan
1. Ajarkan tentang perawatan kateter dan pencegahan infeksi dengan disimulasikan.
2. Jelaskan tanda dan gejala infeksi saluran kemih dan lapor segera ke dokter atau perawat.
3. Jelaskan pemberian obat antibiotik dan tekankan untuk kontrol ulang (follow up).
V. Kegiatan penyuluhan:
Kegiatan Penyuluh Audience waktu
Pendahuluan Memperkenalkan diri dan Memberikan 10 Menit
dan Apresiasi memberikan kesempatan pendapat yang
audience memberikan diketahuinya
pendapatnya
Isi Materi tentang hipospadia : Mendengarkan 35 Menit
Definisi hipospadia
Penyebab hipospadia
Tanda dan gejala hipospadia
Pencegahan hipospadia
O. JOURNAL
HypospadiasN. Djakovic, J. Nyarangi-Dix, A. zturk, and M. Hohenfellner
Department of Urology, University of Heidelberg, Medical Center, 69120,
Heidelberg, GermanyReceived 30 May 2008; Accepted 9 September 2008
Academic Editor: Miroslav L. Djordjevic Copyright 2008 N. Djakovic et al.
This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License,
which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the
original work is properly cited.
Abstract
The great possibility of variations in the clinical presentation of hypospadia, makes its therapy
challenging. This has led to the development of a number of techniques for hypospadia repair.
This article assesses past and present concepts and operative techniques with the aim of
broadening our understanding of this malformation. Materials and Methods. The article not only
reviews hypospadia in general with its development and clinical presentation as well as historical
and current concepts in hypospadiologie on the basis of available literature, but it is also based
on our own clinical experience in the repair of this malformation. Results and Conclusion. The
fact that there are great variations in the presentation and extent of malformations existent makes
every hypospadia individual and a proposal of a universal comprehensive algorithm for
hypospadia repair difficult. The Snodgrass technique has found wide popularity for the repair of
distal hypospadias. As far as proximal hypospadias are concerned, their repair is more
challenging because it not only involves urethroplasty, but can also, in some cases, fulfil the
dimensions of a complex genital reconstruction. Due to the development of modern operating
materials and an improvement in current surgical techniques, there has been a significant
decrease in the complication rates. Nonetheless, there still is room and, therefore, need for
further improvement in this field.
Conclusion
Hypospadia surgery is challenging. The fact that there are wide variations in the presentation and
extent of malformations as well as tissue characteristics existent makes every hypospadia
individual and aproposal of a universal comprehensive algorithm for hypospadia repair
difficult.The Snodgrass technique has found wide popularity for the repair of distal hypospadias.
As far as proximal hypospadias are concerned, their repair is complex and could in fact be seen
as a form of genital reconstruction. This repair not only involves urethroplasty, but also has its
goal in achieving good cosmetic results with a straight normal-proportioned penis and an
orthotopic meatus in addition to the functional urethra. Even though the complication rates have
decreased, thanks to modern operating materials and an improvement of current surgical
techniques, there still is room and therefore need for further improvement in this field.
DAFTAR PUSTAKA
Closkey JC & Bulechek. 1996. Nursing Intervention Classification. 2nd ed. Mosby Year Book.
IDAI, 2005,
Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak, Badan Pnerbit IDAI, Jakarta. Johnson M, dkk. 2000.
Nursing Outcome Classification (NOC). Second edition. Mosby. NANDA. 2005-2006. Nursing
Diagnosis: Deffinition & Classification. Philadhelphia. Mansjoer A, dkk. 2000. Kapita Selekta
Kedokteran Jilid 2.
Media Aesculapius. Jakarta Purnomo, Basuki B, 2003, Dasar-Dasar Urologi, Jakarta , Sagung
Seto atzel, pincus dkk. 1990. Kapita Selekta Pediatri. Jakarta : EGC.
Markum, A.H. 1997. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Rosenstein, Beryl J. 1997. Intisari Pediatri Panduan Praktis Pediatri Klinik Edisi II. Jakarta :
Hipokrates.
Diposkan 9th November 2012 oleh Windayona Hadi Prasetya
1
Lihat komentar
1.
makasih maz
Balas
Memuat
Template Tampilan Dinamis. Diberdayakan oleh Blogger.