Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Oleh :
APBN juga dapat berfungsi sebagai pendorong pertumbuhan ekomoni dan pengendalian tingkat
inflasi, karena dalam APBN seluruh jumlah penerimaan dan pengeluaran APBN digunakan untuk
menigkatkan pertumbuhan ekonomi. Besar kecilnya APBN dapat berpengaruh pada pengendalian
inflasi.
3. Tujuan penyusunan APBN
a. Untuk memberikan arahan bagi pemerintah dalam melaksanakan fungsi yang diembannya.
b. Untuk melihat dan mengevaluasi kinerja pemerintah dalam upaya menyejahterahkan masyarakat
karena anggaran disusun berdasarkan kinerja.
c. Sebagai sumber data yang akurat bagi rakyat untuk mengevaluasi kinerja pemerintah.
d. Sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah dalam menggunakan pendapatan dari masyarakat
yang dipungut melalui pajak.
4. Format APBN
Selama tahun anggaran 1967/1970 sampai dengan 1999/2000, APBN menggunakan format T-account.
Format ini dirasakan masih mempunyai kelemahan, antara lain tidak memberikan informasi yang jelas
mengenai pengendalian deficit serta kurang transparan sehingga perlu disempurnakan. Mulai tahun
2000, formatnya berubah menjadi I-account. Tujuan I-account adalah:
a) Meningkatkan transparansi dalam pnyesunan APBN
b) Mempermudah analisis, pemantauan, dan pengendalian pelaksanaan dan pengelolaan APBN
c) Mempermudah analisis komparasi(perbandingan) dengan anggaran negara lain.
d) Mempermudah perhitungan dana perimbangan yang lebih transparan yang didistribusikan oleh
pemerintah pusat ke pemda mengikuti pelaksanaan UU tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah
Perbedaan T-account dan I-account adalah:
a) Dalam T-accout sisi penerimaan dan sisi pengeluaran dipisahkan dikolom yang berbeda. Dalam I-
account sisipenerimaan dan sisi pengeluaran tidak dipisahkan.
b) T-account mengikuti anggaran yang berimbang dan dinamis, sedangka I-account menerapkan
anggaran deficit/surplus. Dalam versi T-account, format seimbang dan dinamis diadopsi. Seimbang
berarti sisi penerimaan dan pengeluaran mempunyai nilai jumlah yang sama. Dalam versi I-account,
anggaran yang berimbang dan dinamis diganti dengan anggaran surplus/deficit.
c) Pengeluaran APBN diperinci menjadi belanja pemerintah pusat dan pemda. Versi T-account tidak
menunjukan dengan jelas komposisi anggraran yang dikelola pemerintahpusat dan pemda. Ini
merupakan akibat dari system anggran yang terpusat. Versi I-account dengan jelas menunjukan
komposisi jumlah anggaran yang dikelola oleh pemda.
Pada format T-account, pinjaman luar negri dianggap sebagai penerimaan pembangunan dan
pembayaran cicilan utang luar negri dianggap sebagai pengeluaran rutin. Sedangkan dalam format I-
account pinjaman luar negri dan pembayaran cicilannya dikelompokan sebagai pembiayaan anggaran.
Dengan struktur baru tersebut, format APBN Pemerintah Indonesia menjadi sebagai berikut:
A. PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH
I. Penerimaan dalam negeri
1. Penerimaan perpajakan
i. Pajak dalam negeri
a. Minyak dan gas
b. Nonminyak dan gas
Pajak pertambahan nilai
Pajak bumi dan bangunan
Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
Cukai
Pajak lainnya
ii. Pajak perdagangan internasional
Bea masuk
Pajak/pungutan ekspor
2. Penerimaan bukan pajak
i. Penerimaan sumber daya alam
a. Minyak bumi
b. Gas alam
c. Pertambahan umum
d. Kehutanan
e. Perikanan
ii. Bagian laba BUMN
iii. PNBP lainnya
II. Hibah
B. BELANJA NEGARA
I. Anggaran belanja pemerintah pusat
1. Pengeluaran rutin
i. Belanja pegawai
ii. Belanja barang
iii. Pembayaran bunga utang
iv. Utang dalam negeri
v. Utang luar negeri
vi. Subsidi
a. Subsidi BBM
b. Subsidi non-BBM
vii. Pengeluaran rutin lainnya
2. Pengeluaran pembangunan
i. Pembiayaan pembanguna rupiah
ii. Pembiayaan proyek
II. Dana perimbngan
1. Dana bagi hasil
2. Dana Alokasi umum
3. Dana alokasi khusus
III. Dana otonomi khusus dan penyeimbang
C. KESEIMBANGAN PRIMER
D. SURPLUS DEFIST ANGGARAN (A-B)
E. PEMBIAYAAN
I. Dalam negeri
1. Perbankan dalam negeri
2. Non-perbankan dalam negeri
i. Privatisasi
ii. Penjualan asset program restrukturisai perbankan obligasi
Negara(netto)
3. Penerbitan obligasi pemerintah
4. Pembayaran cicilan pokok untang/obligasi dalam negeri
II. Luar negeri
1. Pinjaman proyek
2. Pembayran cicilan pokok utang luar negeri
3. Pinjaman program dan penundaan cicilan utang
Sejak tahun 2005, sebgai konsekuensi dari reformasi keuangan yang diamanatkan oleh UU Nomor 17
tahun 2003 tentang keuangan Negara, struktur belanja dalam APBN mengalami perubahan untuk
memenuhi criteria unified budget dengan struktur sebagai berikut:
B. BELANJA NEGARA
I. Anggaran belanja pemerintah pusat
a. Belanja pegawai
b. Belanja barang
c. Belanja modal
d. Bantuan social
II. Anggaran belanja ke daerah
i. Dana pengembangan
a. Dana bagi hasil
b. Dana alokasi umum
c. Dana alokasi khusus
ii. Dana otonomi khusus dan penyesuaian
Dalam komposisi belanja terbsebut, terlihat bahwa belanja pemerintah pusat diklasifikasikan
berdasarkan klasifikasi ekonomi yang tidak lagi terpisah menjadi belanja rutin dan pembangunan.
Selain klasifikasi menurut jenis belanja tersebut, belanja pemerntah pusat dalam APBN juga di
tampilkan berdasarkan organisasi dan fungsi. Dalam struktur APBN, dikenal dua istilah defist
anggaran, yaitu : keseimbangan primer dan keseimbangan umum.
Keseimbangan primer adalah total penerimaan dikurangi belanja tidak termasuk pembayaran bunga,
sedangkan keseimbangan umum adalah total penerimaan dikurangi belanja termasuk pembayaran
bunga.
2.6. Proses Penyusunan APBN
Proses penyusunan APBN RI, setiap tahun diawali dengan pidato presiden pada sidang Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rangka menyampaikan nota Keuangan dan Rancangan Pendapatan
Belanja Negara (RAPBN) tahun anggaran yang akan datang. Rancangan ini dipakai oleh DPR sebagai
pedoman dalam menetapkan APBN tahun anggaran berikut yang penetapannya diatur dalam UUD
1945 pasal 23 ayat (1).
Secara umum tahapan dalam penyusunan APBN dapat dibagi menjadi 5 tahap.
Tahap I : Perencanaan dan penyusunan anggaran
Tahap II : Pengesahan Anggaran
Tahap III : Pelaksanaan Anggaran
Tahap IV : Kontrol/pengawasan
Tahap V : Pertanggung jawaban Anggaran
Dari lima tahap tersebut, tahap I dan III yang memegang peranan adalah pemerintah dan tahap II dan
V yang memegang peranan adalah DPR dan tahap IV yang memegang peranan adalah BPK (Badan
Pengawasan Keuangan).
APBN di Indonesia masa tahun anggaran dimulai 1 April dan berakhir 31 Maret tahun berikutnya.
Akan tetapi mulai tahun 2000, masa tahun anggaran dimulai 1 Januari dan berakhir 31 Desember di
tahun yang sama. Sistem ini dinamakan sistem tahun kalender.
Dalam menyusun anggaran, penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN) dihadapkan dengan berbagai ketidak pastian. Setidaknya terdapat enam sumber
ketidakpastian yang berpengaruh besar dalam penentuan volume APBN yakni (i) harga minyak bumi
di pasar internasional; (ii) kuota produksi minyak mentah yang ditentukan OPEC; (iii) pertumbuhan
ekonomi; (iv) inflasi; (v) suku bunga; dan (vi) nilai tukar Rupiah terhadap Dolar Amerika (USD).
Penetapan angka-angka keenam unsur diatas memegang peranan yang sangat penting dalam
penyusunan APBN. Hasil penetapannya disebut sebagai asum-asumsi dasar penyusunan RAPBN.
Penetapan angka asumsi ini dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri dari wakil-wakil dari Bank
Indonesia, Departemen Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kantor
Menteri Koordinator Perekonomian, dan Badan Pusat Statistik, yang bersidang secara rutin untuk
membahas dan menentukan angka asumsi. Angka-angka asumsi yang dihasilkan oleh tim ini
selanjutnya dipakai sebagai dasar untuk menyusun RAPBN. Perlu diketahui bahwa angka-angka yang
tertera ini masih berupa usulan dari pihak eksekutif (pemerintah) kepada pihak legislatif (DPR).
Selanjutnya RAPBN ini disampaikan oleh Presiden kepada DPR dalam suatu sidang paripurna yang
merupakan awal dari proses pembahasan RAPBN antara pemerintah dan DPR. Tentunya perubahan
terhadap angka asumsi RAPBN sangat mungkin terjadi selama berlangsungnya proses pembahasan
antara Pemerintah dan DPR. Perubahan ini mencerminkan banyak hal diantaranya (i) Pemerintah dan
DPR bertanggungjawab terhadap keputusan penetapan angka-angka asumsi dalam APBN; (ii) angka
asumsi ditetapkan berdasarkan pertimbangan ekonomi dan politik; dan (iii) terjadi pergeseran secara
riil status APBN, dari milik pemerintah menjadi milik publik.
Sesudah RAPBN disetujui oleh DPR, RAPBN kemudian ditetapkan menjadi APBN melalui Undang-
undang. Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang APBN,
Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun
anggaran sebelumnya.
Agar pelaksanaa APBN sesuai dengan rencana, maka dikeluarkan Keputusan Presiden tentang
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Keputusan Presiden tersebut terutama
menyangkut hal-hal yang belum dirinci di dalam undang-undang APBN, seperti alokasi anggaran
untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian negara/lembaga, pembayaran gaji dalam belanja
pegawai, dan pembayaran untuk tunggakan yang menjadi beban kementerian negara/lembaga. Selain
itu, penuangan dimaksud meliputi pula alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota dan
alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima.
2.7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah
daerah yang disetujui oleh DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD mempunyai fungsi
otorisasi, distribusi, dan stabilisasi. Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa Perda tentang APBD
menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan. Fungsi
perencanaan berarti bahwa APBD menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan
pada tahun yang bersangkutan, sedangkan fungsi pengawasan terlihat dari digunakannya APBD
sebagai standar dalam penilaian penyelenggaraan pemerintah daerah.
Anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja, mengurangi pemborosan
sumber daya, meningkatkan efisiensi dan efektifitas perekonomian, serta harus memerhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.Hal ini merupakan tuntutan dari fungsi alokasi dan fungsi distribusi APBD.
Secara garis besar, struktur APBD terdiri atas pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan
daerah. Pendapatan daerah adalah semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang
menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar
kembali oleh daerah. Sebaliknya, semua pengeluaran dari kas umum daerah yang mengurangi ekuitas
dana merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh
pembayarannya kembali merupakan definisi dari belanja daerah.
Pendapatan daerah terdiri atas pendapatan asli daerah (PAD), dana perimbangan, dan lain lain
pendapatan daerah yang sah.
1. PAD mencakup pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain lain pendapatan daerah yang sah.
2. Dana Perimbangan mencakup Dana Bagi Hasil (Pajak dan sumber daya alam), Dana Alokasi
Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
3. Lain lain pendapatan daerah yang sah mencakup hibah (barang atau uang dan / atau jasa), dana
darurat, dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten / kota , dana penyesuaian dan dana
otomnomi khusus, serta bantuan keuangan dari provinsi atau pemda lainnya.
Belanja daerah dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu:
1. Balanja Tidak Langsung
Merupakan belanja yang dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan
kegiatan.Kelompok belanja tidak langsung ini terdiri atas belanja pegawai, bunga, subsidi, hibah,
bantuan sosial, belanja bagi hasil, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga.
2. Belanja Langsung
Merupakan belanja yang dianggarkan terkait langsung dengan pelaksanaan program dan
kegiatan.Belanja langsung dari suatu kegiatan terdiri atas belanja pegawai (honorarium/upah), belanja
barang dan jasa, dan belanja modal.
Untuk kepentingan administratif, pengawasan, dan evaluasi, struktur APBD diklasifikasikan menurut
urusan pemerintah daerah dan organnisasi yang bertanggung jawab melaksanakan urusan pemerintah
tersebut sesuai dengan peraturan perundang undangan.
Selain klasifikasi belanja berdasarkan urusan pemerintahan dan organisasi, belanja daerah juga dapat
diklasifikasikan menurut fungsi, yang tujuannya adalah untuk keselarasan dan keterpaduan
pengelolaan keuangan Negara. Pengklasifikasian menurut fungsi ini terdiri atas:
1. Pelayanan umum
2. Ketertiban dan ketentraman
3. Ekonomi
4. Lingkungan hidup
5. Perumahan dan fasilitas umum
6. Kesehatan
7. Pariwisata dan budaya
8. Pendidikan
9. Perlindungan sosial
Selisih antara anggaran pendapatan daerah dengan anggaran belanja daerah mengakibatkan terjadinya
surplus atau deficit APBD. Surplus APBD dapat dimanfaatkan antara lain untuk pembayaran pokok
utang, penyertaan modal (investasi) daerah, dan emberian pinjaman kepada pemerintah pusat/pemda
lain, pendanaan belanja peningkatan jaminan sosial, ataupun pembentukan dana cadangan. Dalam hal
APBD diperkirakan defisit,
Ditetapkan pembiayaan untuk menutup deficit tersebut yang diantaranya dapat bersumber dari sisa
lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun anggaran sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil
penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman, dan penerimaan kembali
pemberian pinjaman.
Baik surplus maupun defisit, pemda wajib melaporkan posisi surplus/defisit APBD-nya kepada
Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap semester dalam tahun anggaran bersangkutan.
Pembiayaan daerah meliputi semua transaksi keuangan untuk menutup deficit atau untuk
memanfaatkan surplus. Dalam APBD, pembiayaan daerah dirinci menurut urusan pemerintah daerah,
organisasi, kelompok, jenis, objek, dan rincian objek pembiayaan. Penerimaan pembiayaan adalah
semua penerimaan yang perlu dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun
pada tahun tahun anggaran berikutnya. Sedangkan pengeluaran pembiayaan adalah pengeluaran
yang akan diterima kembali pada tahun annggaran yang bersangkutan maupun pada tahun tahun
anggaran berikutnya.
Penerimaan pembiayaan mencakup:
1. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA)
2. Pencairan dana cadangan
3. Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
4. Peneriamaan pinjaman daerah
5. Penerimaan kembali pemberian pinjaman
6. Penerimaan piutang daerah
Sedangkan pengeluaran pembiayaan mencakup:
1. Pembentukan dana cadangan
2. Penerimaan modal (investasi) pemda
3. Pembayaran pokok piutang
4. Pemberian pinjaman daerah
2.8. Proses Penyusunan APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.Penyusunan APBD berpedoman pada Rencana
Kerja (RenJa) Pemerintahan Daerah (RKPD) dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada
masyarakat demi tercapainya tujuan bernegara.
Setidaknya terdapat enam subproses dalam penyusunan APBD, yaitu:
1. Penyusunan Kebijakan Umum APBD
Proses Penyusunan Kebijakan Umum APBD (KUA) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
proses perencanaan. Seperti diketahui, setiap SKPD mengembangkan Renstra dengan mengambil
program yang tercantum dalam RPJMD.Renstra tersebut kemudian dikembangkan menjadi Renja
SKPD per tahun. Dokumen renja tiap SKPD ini akan dikompilasikan oleh Pemda menjadi RKPD.
KUA disusun berdasarkan RKPD dan pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan Mendagri melalui
SE Mendagri. Proses penyusunannya diawali dengan pembuatan rancangan awal KUA oleh Tim
Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) yang dipimpin oleh Sekrettaris Daerah. Rancangan awal KUA
tersebut terdiri atas dua komponen utama, yaitu:
a. Target pencapaian kinerja yang terukur dari program program yang akan dilaksanakan oleh
Pemda untuk setiap urusan pemerintahan daerah.
b. Proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, serta sumber dan penggunaan pembiayaan
yang disertai dengan asumsi yang mendasarinya. Program program tersebut harus diselaraskan
dengan prioritas pembangunan yang ditetapkan pemerintah.
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan
kepada daerah dengan angka presentase tertentu didasarkan atas daerah penghasil untuk mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Selain karena pertimbangan politis, alasan
laon dari pemberian dana bagi hasil ini adalah untuk mengurangi ketimpangan vertikal. Dua sumber
dana bagi hasil adalah pajak dan sumber daya alam.
A. Dana Bagi Hasil Pajak
1. DBH Pajak Bumi dan Bangunan
Penerimaan negara dari PBB dibagi dengan imbangan 10% untuk pemerintah
pusat dan 90% untuk daerah. Sedangkan bagian pemerintah pusat yang 10% dari
seluruh penerimaan PBB dialokasikan kepada seluruh kabupaten dan kota.
2. DBH Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Penerimaan negara dari BPHTB dibagi dengan proporsi 20% untuk pemerintah
pusat dan 80% untuk daerah.
3. DBH Pajak Penghasilan
Penerimaan negara dari PPh wajib pajak orang pribadi dalam negeri dan PPh 21
dibagikan kepada daerah sebesar 20% dan sisanya yaitu 80% untuk pemerintah
pusat.
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam berasal dari enam sektor yaitu kehutanan,
pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan
pertambangan panas bumi.
1. DBH Kehutanan
a. DBH Kehutanan dari IIUPH untuk daerah sebesar 80% dibagi dengan rincian:
1) 16% untuk provinsi yang bersangkutan
2) 64% untuk kabupaten/kota penghasil
b. DBH Kehutanan dari PSHD untuk daerah sebesar 80% dibagi dengan rincian :
1) 16& untuk provinsi yang bersangkutan
2) 32% untuk kabupaten/kota penghasil
3) 32% dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten/kota
lainnya dalam provinsi yang bersangkutan
2. DBH Pertambangan Umum
DBH pertambangan umum berasal dari dua hal, yaitu iuran tetap serta iuran
eksplorasi dan iuran eksploitasi. Iuran tetap adalah iuran yang diterima negara sebagai
imbalan atas kesempatan. Adapun iuran eksplorasi dan eksploitasi adalah iuran
produksi pemegang kuasa usaha pertambangan atas hasil dari kesempatan
eksplorasi/eksploitasi.
Daftar Pustaka
Nordiawan, Deddi., Iswahyudi, S.P., Maulidah, R. (2012). Akuntansi Pemerintahan. Jakarta: Salemba
Empat.