Está en la página 1de 6

Aceh World Music Waorkshop, Menggagas Musik Dunia dari

Takengon

Dari Aceh World Music Workshop


Menggagas Musik Secara Universal

Musik adalah bahasa Universal. Seperti mata uang, musik berlaku


dibelahan manapun di dunia. Namun perbedaan wilayah, etnis dan
geografis telah melahirkan karya musik yang berbeda antara satu tempat
atau komunitas dengan tempat lainnya.

Akan tetapi, umumnya , bahasa musik nyaris sama dimanapun di dunia


dari berbagai alat yang dipakai sebagai sumber bunyi kemudian diatur
ritme atau tempo sehingga menghasilkan sebuah komposisi yang nikmat
terdengar meski kemudian dipisahkan berbagai aliran musik, seperti
klasik, jazz, rock, blues ,R&B, country dan sejumlah aliran lainnya.

Namun ada pertanyaan yang kemudian muncul, yang mana atau apa sih
yang disebut musik dunia?.

Guna mengungkapkap hal ini, sejumlah pakar dibidang musik hadir di


Takengon dalam acara yang diberi label , Aceh World Music Workshop,
Kamis (12/7) digelar di Gedung Gentala Takengon yang berlangsung
sehari penuh.

Meski terlihat sederhana, namun mereka yang hadir sebagai pemateri


merupakan peneliti dan praktisi musik dari antero dunia. Seperti Edward
C.Van Ness dari Amerika, Kim Sander, ahli alat musik tiup dari Australia .

Ben Pasaribu dari Sumatera Utara, Ubiet dari Jakarta, Andy Ayunir, pakar
musik moderen (digital) hingga Rafly, seniman Aceh yang kini populer.
Acara yang terbilang langka dan menurut panitia baru pertama kali
diselenggarakan, dilaksanakan di dua tempat, Banda Aceh dan Takengon.

Menurut Jauhari Ilyas, pemandu acara, penunjukkan Takengon sebagai


tuan rumah penyelenggaraan Aceh World Music Workshop karena
Takengon dianggap mewakili kawasan pegunungan Aceh yang
mempunyai ciri musik berbeda dengan Pesisir Aceh.

Acara berlangsung sangat interaktif. Selain para pakar musik mengulas


sejarah musik dunia secara teori dan perkembangannya, namun juga
dipraktekan berbagai alat musik yang berasal dari berbagai belahan
dunia.

Ben Pasaribu yang hadir bersama grupnya serta Kim Sanders, mencoba
berbagai alat musik tradisional yang mereka punya.

Menariknya, kebanyakan peserta yang hadir didominasi kalangan pelajar


putri berjilbab dan pelajar putra yang ikut berbagai grup Band di Aceh
Tengah. Komunitas seni Aceh Tengah, sanggar dan para seniman.

Banyak pemikiran tentang musik. Musik dihadapkan pada berbagai


ragam yang pada awal sejarahnya didasarkan pada fungsinya, ulas Ben
Pasaribu.

Diterangkan Ben Pasaribu, lelaki berkacamata tebal dan bertubuh tambun


yang menyelesaikan S2 tentang musik di luar negeri ini, musik dibedakan
sejak jaman purba (musik purba) yang pada masa itu menemukan bunyi-
bunyian yang kemudian coba digunakan.

Kemudian musik dibedakan satu dengan lainnya karena geografi (musik


entnis) dan di era moderen barulah digunakan sistim notasi (ilmiah),
sehingga musik berada dalam satu kesatuan dalam sistim notasi.

Kapan Musik Dunia (World Music) muncul?. Menurut Ben Pasaribu, musik
yang terus berkembang kemudian menjadi sebuah industri sehingga bisa
didapat dimana-mana. Musik merambah dunia dalam cakram padat.

Namun di sebelum era tahun 80an, tambah Ben, musik yang berada
diluar ras kulit putih, masih disebut Ras Music. Pun begitu, Ben menilai,
musik dilihat sebagai sebuah kekayaan, bukan perbedaannya.
Senada dengan Ben, Edward C.Van Ness, pakar musik yang belasan tahun
tinggal di Indonesia dan menjadi dosen tentang musik secara gamblang
menyatakan musik telah membuat satu kesatuan diantara berbagai
penduduk bumi.

Kita tidak jauh satu sama lainnya, tegas Edward. Edward memberi
apresiasi yang tinggi bagi kalangan generasi muda Takengon yang hadir
yang menurutnya penerus masa depan kebudayaan.

Edward memperkenalkan alat musik biolanya. Membahas konsep world


music, Edward merunut tahun di era 60an. Dimana menurutnya, di
Universitas Amerika ( Western University ), logisnya hanya dibicarakan
musik Barat.

Menurut saya ini sikap yang tidak bagus. Kemudian di Universitas ini ada
27 dosen tamu dari seluruh dunia yang mengajar dan menunjukkan
berbagai alat musik. Hal ini merubah kehidupan saya secara global.
Karena semua musik punya identitas sendiri, papar Edward yang
mengaku mengunjungi berbagai negara di dunia untuk belajar musik.

Dijelaskan Edward, di era tahun 80an, perubahan terminologi musik dunia


muncul dimana Peter Gabriel dari Inggris menyelenggarakan sebuah
Festival. Kemudian setiap tahun, Gabriel, kata Edward, menyelenggarakan
festival serupa di 7 negara berbeda.

World Music mengutamakan musik diluar Amerika, sebut Edward.


Menurut Edward, perubahan sesuatu yang harus ada. Perubahan tidak
selamanya negatif. Menyinggung tradisi musik yang dimiliki sesuatu
daerah, Edward menyatakan, apa dari musik kita yang khas, itu yang
dipakai, ujarnya.

Ciri musik itu menurut Edward bisa berupa bahasa yang dipakai , rytem
atau cara bermusik. Berbeda dengan Edward, Kim Sanders punya
pengalaman luar biasa. Karena Kim begitu takjub dengan alat musik yang
berasal dari Macedonia (Erofa) berupa alat tiup.

Kim Sanders kemudian mengunjungi banyak negara dan belajar berbagai


jenis alat musik tiup. Edward memuji pengalaman Kim yang menurutnya
luar biasa menekuni alat musik tiup.

Namun Rafly, seniman Aceh yang menurut Jauhari merupakan seniman


alam, punya pendapat berbeda tentang musik.Menurut Rafly yang mahir
bermain gitar dan mengolah suara iniMusik hakekatnya ada sejak
manusia ada di detik pertama, ungkap Rafly.

Musik adalah Zikrullah, tegas Rafly sambil menerangkan, bagian dari


tubuh manusia yang tidak pernah berhenti bergetar adalah jantung dan
menyatakan musik merupakan titipan Ilahi.

Lebih jauh dikatakan Rafly, semua yang saya ucapkan merupakan


wakilah (perantara) dari Sang Pencipta, ujar Rafly yakin. Bahkan lebih
jauh dikatakan Rafly detak jantung merupakan tempo yang tanpa disadari
terus mengalir.

Begitu Universalnya musik, dikatakan Rafly dirinya pernah menciptakan


lagu tanpa syair yang merupakan bisikan badan (bahasa badan). Lagu
tanpa syair tersebut dinyanyikan dengan cara bersenandung.

Menurut Rafly, gayo sangat unik dengan vokal yang luar biasa.Seperti
almarhum seniman Toet. Meski Rafly menngakui dirinya sebagai orang
Kampung, Namun Rafly menegaskan tidak murahan dan berobsesi
membawa musik Aceh ke pentas Internasional.

Dalam kesempatan itu, Rafly berhasil memukau peserta workshop dengan


melantunkan beberapa lagu karyanya sendiri yang mengundang decak
kagum. Rafly berharap kedepan musik gayolebur menjadi sebuah musik
yang bisa diterima dunia.
Di tempat yang sama, Andy Ayunir, pakar musik digital yang membawa
dan memperagakan beberapa alat musik digital yang berhasil diolahnya
dengan menggunakan dua buah laptop.

Andy yang berada di belakang kesuksesan Melly Guslow karena mendisain


musiknya, menyatakan, baru pertama sekali ke Aceh. Jika dahulu berbagai
alat musik yang banyak harus dibunyikan dahulu untuk mendapat bunyi,
kini lewat industri musik yang kemudian diberi nama musik moderen,
banyak kemudahan didapat.

Berbagai jenis bunyi dari berbagai alat musik dengan mudah didapat dan
kemudian dijadikan komposisi untuk suatu karya musik. Meski begitu,
Andy Ayunir menyatakan,jangan ada gap diantara berbagai alat musik
karena masing-masing punya keistimewaan dan karakter tersendiri.

Semua musik sama pentingnya ,ujar Andy yang baru melaunching


musik untuk rokok Marlboro Kretek. Dalam kesemptan itu, Andy juga
melakukan sharing dengan peserta workshop tentang musik digital (musik
elektronik).

Andy dalam kesempatan Workshop tersebut mencoba menciptakan


sebuah komposisi dengan menggabungkan berbagai alat musik bahkan
menjadikan suara sebagai musik dengan olahan perangkat musik digital
karena lebih mudah dan kaya akan berbagai musik .

Menurut Andy banyak kemudahan yang didapat dengan tehnology musik


elektronik. Sementara itu, Ubiet yang berasal Aceh itu dan dikenal jago
olah vokal, lebih banyak berbicara tentang vokal dan gaya bernyanyi.

Ubiet secara langsung mempraktekkan berbagai jenis vokal dengan


mengajak peserta workshop ikut menyanyi.

Setelah berbagai materi tentang musik dibahas oleh pemateri diiringi sesi
diskusi dan tanya jawab, Kamis malam digelar Jamz Session yang dihadiri
ratusan penonton yang memenuhi gedung Gentala.
Di tempat yang sama, Jauhari Ilyas yang lebih dikenal dengan sebutan
Jauhari Samalanga menyatakan perlunya konsepsi world musik sebagai
acuan bagaimana membawa musik daerah ke kancah musik dunia .

Selain itu untuk menyelamatkan musik daerah yang punya ciri sendiri dari
seniman otodidak atau oponturir yang telah membuat musik daerah
kehilangan keasliannya (Ciri khasnya).

Seperti didong yang saat ini dibawakan mengikuti musik dangdut. Hal ini
malah merusak karena menghilangkan identitas didongnya akibat
ketidaktahuan.

Untuk itu para seniman harus membuka diri dan belajar agar musik
daerah dapat diterima di dunia dan tetap mempertahankan ciri khasnya
sebagai kekayaan budaya, kata Jauhari yang banyak menulis tentang
kesenian daerah di berbagai media.

http://www.gayolinge.com/index.php?open=news&bid=wel&id=69

También podría gustarte