Está en la página 1de 5

Esai Resensi Buku untuk Kompas, Pustakaloka, 23 November 2002

MENIMBANG PERJALANAN SEORANG “INTELEKTUAL BEBAS”

Oleh: Agung Ayu Ratih

Ada sejumlah pertanyaan yang mengganggu benak saya ketika menghadiri Soedjatmoko
Memorial Lecture untuk memperingati 80 tahun kelahiran Soedjatmoko pada 30 September
2002 yang lalu. Pertanyaan awal dipicu oleh pernyataan menggugah dalam Orasi
Kemanusiaan yang disampaikan Dr. Karlina Leksono-Supelli, “Hari ini, 30 September 2002,
kita mengenang seorang humanis di atas ingatan pedih peristiwa tiga puluh tujuh tahun lalu.
Peristiwa yang menyebabkan lebih dari lima ratus ribu orang dibunuh dan ratusan ribu
lainnya dipenjara; sementara anggota keluarga, kerabat, serta teman mereka cerai-berai
menjalani kehidupan sehari-hari dalam ketakutan yang sunyi, tercerabut dari lingkungan
sosialnya, dan kehilangan kesempatan wajar mencari nafkah”. Bagaimana seorang humanis
seperti Soedjatmoko melihat tragedi kemanusiaan yang mengikuti kudeta gagal G30S 1965?

Pertanyaan berikutnya berkaitan dengan peluncuran dua buku mengenai Soedjatmoko yang
menyertai acara tersebut di atas. Buku pertama, Pergumulan Seorang Intelektual, merupakan
biografi yang ditulis berdasarkan skripsi M. Nursam, lulusan jurusan Sejarah Universitas
Gajah Mada, Yogyakarta, sedangkan buku kedua, Surat-surat Pribadi Soedjatmoko kepada
Presiden (Jenderal) Soeharto, berisi 29 pucuk surat yang dilayangkan almarhum semasa
Soedjatmoko menjadi Duta Besar AS antara 1968-1971. Kalau penjelasan di kulit belakang
buku pertama menyatakan bahwa Soedjatmoko termasuk dalam kategori intelektual “yang
bertugas memberikan penjelasan tentang dunia kepada masyarakatnya”, mengapa buku yang
mengiringi biografi ini justru ulasan seorang dubes tentang politik dunia kepada atasannya?

Lewat esai-esai yang ditulis orang lain maupun Soedjatmoko sendiri, ia dikenal sebagai
pemikir yang konsisten memperjuangkan otonomi dan kebebasan manusia. Soedjatmoko
sendiri ingin disebut sebagai “intelektual yang bebas”. Di sisi lain, Soedjatmoko
menghabiskan sebagian hidupnya untuk melayani pemerintahan yang tak segan-segan
memasung kebebasan asasi warga negeri ini atas nama keamanan dan ketertiban umum. Jadi,
apa yang dimaksud Soedjatmoko dengan “intelektual yang bebas”? Atau, lebih jauh lagi, apa
sebenarnya yang terkandung dalam pemikiran Soedjatmoko tentang otonomi dan kebebasan
manusia?

Mereka Semesta Soedjatmoko

Ada harapan besar pertanyaan-pertanyaan di atas akan beroleh jawab dari buku Pergumulan
Seorang Intelektual. Biografi tentang Soedjatmoko sudah sepantasnya menyajikan gambaran
lebih utuh tentang dunia yang menghidupi dan dihidupi sang intelektual, tentang pelbagai
hubungan personal dan sosial yang mungkin berpengaruh terhadap lahir dan berkembangnya
pemikiran-pemikiran Soedjatmoko, dan kaitan timbal-balik antara pemikiran-pemikiran
tersebut dengan keputusan-keputusan politis yang dibuatnya. Janji dari penerbit pun tidak
tanggung-tanggung, “membaca buku ini anda akan tercerahkan dan hanyut dalam alur
perjalanan hidup Soedjatmoko yang sangat manusiawi, bahwa menjadi seorang intelektual
adalah sebuah pilihan yang tidak muncul begitu saja dari ruang hampa, jatuh dari langit, tetapi
dari sebuah proses panjang yang dibentuk oleh krisis dan revolusi”. Tak terlalu berlebihan
apabila pembaca kemudian berharap biografi ini tidak hanya bercerita tentang perjalanan
hidup Soedjatmoko, tetapi juga kehidupan intelektual Indonesia di paruh akhir abad ke-20,
saat peran Soedjatmoko dianggap cukup sentral.

Dari sisi penulis, M. Nursam, tujuan yang ingin dicapai cukup jelas: mengimbangi
keterbatasan tulisan-tulisan terdahulu tentang Soedjatmoko yang semata-mata dipersiapkan
sebagai “pengantar” bagi kumpulan esai-esainya. Padahal menurutnya, untuk tetap mengingat
kebesaran sang tokoh yang diperlukan adalah, “pemahaman yang komprehensif dan holistik
dari sosok dan pemikiran Soedjatmoko …”, pembahasan tentang Soedjatmoko dalam “proses
penyejarahannya” yang bisa menggambarkan “semesta” Soedjatmoko. (hal. 7-14) Memang
upaya yang sudah dilakukan untuk mewujudkan keinginan ini dengan mengumpulkan bahan-
bahan primer, baik tertulis maupun lisan sangat mengesankan. Ia memperoleh seluruh esai
Soedjatmoko berikut ulasan mengenainya yang sudah diterbitkan, koleksi dokumen pribadi,
seperti korespondensi, catatan harian, dan buku agenda dari perjalanan hidup Soedjatmoko
selama paling tidak 50 tahun, dan mewawancarai 25 orang yang dekat dengan almarhum,
termasuk anggota keluarganya. Namun, kelengkapan bahan ternyata tidak menjamin
terpenuhinya gambaran “semesta” Soedjatmoko.

Sejak awal tampaknya penulis kebingungan dengan pembedaan antara “biografi” dan
“sejarah” yang dibuatnya sendiri. Menurut pandangan Nursam karena obyek bahasan sebuah
biografi adalah kehidupan individu, penulis bisa terjebak dalam sikap subyektif yang akan
mengurangi kadar keilmiahan hasil penelitiannya. Maka, untuk mencegah munculnya
subyektifisme diperlukan kesadaran “akademis” dan “sejarah” yang mendalam. (hal. 9-10)
Secara tak sadar Nursam sudah terjebak dalam dikotomi palsu antara obyektifitas dan
subyektifitas di dalam studi sejarah yang memang belum berhasil diatasi oleh kalangan
sejarawan Indonesia pada umumnya. Alhasil, upayanya menggambarkan panggung sejarah
tempat Soedjatmoko berkiprah terganggu oleh pemilahan-pemilahan antara apa yang
mungkin dianggap personal (subyektif ~ biografi) dan sosial (obyektif ~ sejarah), seperti yang
akan dipaparkan di bawah ini.

Pertama, penulis memulai buku ini dengan niat menampilkan Soedjatmoko sebagai manusia
yang utuh, bukan hanya sebagai “aktor sejarah” di wilayah publik. Dengan sendirinya perlu
penggambaran yang memadai tentang Soedjatmoko sebagai anak, suami, bapak dan kakek
berdasarkan kisah-kisah yang dituturkan anggota keluarga pun sanak-saudara terdekat. Dalam
bab “Jagat Awal Soedjatmoko” penulis cukup telaten menelusuri latar belakang sosio-kultural
orang tua dan sejarah pendidikan formal dan informal Soedjatmoko. Tapi, dalam bab-bab
berikutnya hampir tidak disinggung kehidupan Soedjatmoko dengan anggota keluarganya.
Bahkan keterangan mengenai pernikahannya dengan Ratmini disampaikan sambil lalu di
catatan kaki. (hal. 144) Padahal kekuatan sebuah biografi justru terasa ketika kehangatan sang
tokoh sebagai manusia biasa yang bisa jatuh cinta, berbahagia, atau tenggelam dalam duka
dan kecewa terlukiskan melalui cerita orang-orang yang paling dikasihinya.

Kedua, Nursam rupanya menghadapi kesulitan menjalin momen-momen tertentu dimana


peran Soedjatmoko cukup signifikan dengan peristiwa-peristiwa lain yang tampak tidak
berkaitan dengan kehidupan Soedjatmoko tapi penting bagi pemahaman sejarah pembaca.
Rangkaian panjang penjelasan di catatan kaki menunjukkan kejelian penulis memilih bahan-
bahan yang menarik dan penting bagi studi sejarah, tetapi terlanjur dipisahkan dari teks
utama. Kalau memang biografi dipercaya bisa membantu kita “memahami denyut sejarah
secara lebih mendalam” (hal. 9), ia perlu memperluas penjelasan tentang suasana sosial-
politik yang memberi karakter tersendiri pada kesadaran intelektual dan politik Soedjatmoko.
Misalnya, tercatat bahwa Soedjatmoko mulai tertarik dengan masalah kebangsaan dan
kemerdekaan ketika ia menjadi mahasiswa di Sekolah Tinggi Kedokteran, GHS dan
bergabung dengan organisasi mahasiswa Unitas Studiosorum Indonesiensis (USI). (hal. 26-
28) Disini penulis memaparkan perkembangan kesadaran Soedjatmoko tentang persoalan
bangsanya seakan-akan sudah selayaknya terjadi pada seorang anak negeri jajahan. Sementara
realita penjajahan itu sendiri tak tergambarkan dengan baik. Apakah GHS terbuka untuk
kaum pribumi dari segala lapisan masyarakat? Apakah organisasi-organisasi mahasiswa
diperbolehkan melakukan kegiatan politik secara terbuka? Bagaimana aktifis organisasi-
organisasi mahasiswa ini membangun kesadaran kebangsaan di kalangan mahasiswa? Apakah
para mahasiswa ini membahas ide-ide nasionalisme para pejuang yang sudah terlebih dahulu
terlibat dalam gerakan anti-kolonialisme, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, atau aktifis-aktifis
pergerakan dari 1920an?
Kesulitan serupa ini sebenarnya selalu terjadi dalam penulisan biografi tokoh publik. Sejauh
mana konteks sejarah perlu dijelaskan kepada pembaca? Ada peristiwa-peristiwa yang
langsung berkaitan dengan keberadaan si tokoh walaupun ia mungkin tidak berperan terlalu
besar di dalamnya. Ada pula peristiwa-peristiwa lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan
si tokoh tapi dampaknya sedemikian luas dan besar sehingga perlu dipertimbangkan sebagai
faktor yang mempengaruhi cara pandang dan jalan hidup tokoh tersebut. Karena itu lah
penulisan biografi seringkali dilakukan sebuah tim, atau dibantu penyunting, agar persona
sang tokoh tetap terjaga otentisitasnya secara historis.

Pergumulan yang Hilang

Dari keseluruhan isi buku ini bagian yang paling menarik dan sesuai dengan frasa yang
dipakai sebagai judul adalah bab III dan IV, yaitu catatan perjalanan Soedjatmoko sejak
Proklamasi Kemerdekaan sampai meletus peristiwa G30S 1965. Dalam periode ini lah
gagasan-gagasan orisinal Soedjatmoko tentang kemerdekaan, kebangsaan, dan penghormatan
terhadap martabat manusia berkembang secara sehat karena kerap harus berhadapan dengan
situasi darurat yang menuntut kecepatan dan ketepatan berpikir, serta dengan gagasan-
gagasan yang berbeda pijakan teoretiknya. Selain itu keterlibatannya dalam politik bukan
semata-mata sebagai pejabat pemerintah, tetapi lebih sebagai intelektual-aktifis memberinya
keleluasaan untuk melontarkan analisa kritis terhadap fenomena sosial, politik maupun
kebudayaan yang dianggap mengingkari cita-cita kemerdekaan bangsa ini.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa 20 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan


memicu Soedjatmoko untuk berpikir serius tentang isyu-isyu ekonomi dan politik. Hanya
lima tahun setelah pasukan Belanda meninggalkan Indonesia Soedjatmoko menyatakan
bahwa negara-bangsa baru ini sedang menghadapi krisis politik yang luar biasa. Soedjatmoko
melihat bahwa gejala-gejala krisis yang paling menonjol adalah ketidakstabilan pemerintahan
paska kemerdekaan, pertikaian sengit antara pemimpin-pemimpin politik, dan tidak adanya
perkembangan ekonomi. Gejala-gejala ini menurut Soedjatmoko menunjukkan persoalan
yang lebih serius, yaitu bangsa Indonesia tidak memiliki kemampuan menghadapi
modernitas. Untuk mengatasi krisis ini baginya tak ada cara lain: bangsa Indonesia harus
“mengadakan penyesuaian diri secara kreatif” ke dunia modern, yang berarti mereka harus
merangkul teknologi, industri dan usaha komersial. (hal. 100-101)

Gagasan Soedjatmoko ini disampaikan melalui artikel “Mengapa Konfrontasi?” yang dimuat
dalam edisi perdana jurnal Konfrontasi, Juli-Agustus 1954. Seruannya segera mengundang
tentangan dari kaum intelektual sejaman. Salah satu tanggapan keras datang dari Bujung
Saleh, sejarawan yang belakangan menjadi tahanan politik pemerintah Soeharto, dimuat di
majalah kebudayaan Siasat pada 29 Agustus 1954. Perdebatan dengan Bujung di majalah
Siasat berlanjut selama kurang lebih 3 bulan. Bujung berpendapat bahwa seruan Soedjatmoko
untuk melakukan penyesuaian ke dunia modern tidak lebih dari dorongan untuk
mengembalikan dominasi “dunia kemodalan” yang dipandu Eropa Barat dan Amerika Serikat
di Indonesia. Padahal justru dominasi inilah yang menjadi sumber segala persoalan di dalam
negeri. Menurut Bujung penyelesaian terbaik adalah mengurangi kompromi dengan modal
internasional – yang tampaknya dianggap Soedjatmoko sebagai pembawa modernitas – dan
mengubah secara fundamental struktur sosial yang diwarisi bangsa ini dari kolonialisme. Bagi
Bujung, bangsa Indonesia perlu mencapai modernitas menurut syarat-syarat yang
ditetapkannya sendiri walaupun syarat-syarat tersebut mengusik keinginan negara-negara
industri maju. (hal. 101-102)

Polemik antara Soedjatmoko dan Bujung Saleh, yang mengundang tanggapan pula dari
sastrawan Pramoedya Ananta Toer dan Asrul Sani, merupakan salah satu peristiwa
kebudayaan yang mengagumkan dan menampilkan contoh “pergumulan intelektual” yang
sejati dalam sejarah modern Indonesia. Sayangnya, Nursam tidak memaparkan lebih jauh
perkembangan perdebatan ini. Posisi Bujung selintas saja disinggung, sementara tanggapan
dari orang-orang lain ditambahkan di catatan kaki. Bab ini akan jauh lebih kaya warna apabila
penulis menjelajahi posisi-posisi yang berbeda dengan posisi Soedjatmoko dan
memperlihatkan bagaimana Soedjatmoko menanggapi lalu-lintas gagasan yang terjadi.

Krisis politik yang sebenarnya muncul tiga tahun setelah perdebatan ini usai. Pembahasan
konstitusi baru di Majelis Konstituante mengalami kebuntuan (1957) dan di luar Jawa
Pemberontakan PRRI/Permesta (1958) meledak. Selain ringkasan pidato Soedjatmoko di
hadapan sidang Konstituante, tidak ada bagian yang menjelaskan pandangan Soedjatmoko
tentang kedua peristiwa penting tersebut di buku ini. Sebagai anggota Konstituante, tentunya
Soedjatmoko terlibat sepenuhnya dalam perdebatan ketat dan panjang di majelis ini. Apa
peran Soedjatmoko dalam perdebatan tersebut? Akan menarik pula diketahui tanggapan
Soedjatmoko terhadap pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di luar Jawa, terutama
karena Soedjatmoko adalah anggota Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dituduh terlibat
dalam PRRI/Permesta.

Secara singkat periode 1945-1965 boleh dikatakan merupakan suatu masa dimana perdebatan
intelektual demikian terbuka, tajam, dan mendalam. Penulis sendiri mengakui betapa dinamis
dan bergairahnya kehidupan intelektual pada saat itu. (hal. 103) Kalau saja ia meluangkan
ruang yang lebih luas untuk menjelaskan pelbagai perdebatan yang berlangsung dan mengkaji
posisi Soedjatmoko di dalamnya, semangat pergumulan intelektual yang sesungguhnya
sebelum Tragedi 1965 terjadi akan lebih jelas tergambar.

Apapun kekurangannya, sebagai karya perdana sarjana S1 biografi ini sudah menunjukkan
hasil kerja keras dan kesungguhan seorang intelektual muda yang langka didapati dewasa ini.
Seharusnya penulis memperoleh bimbingan lebih serius baik dari pihak universitas maupun
dari pihak penerbit untuk memperkaya perangkat analisa yang digunakannya dalam penelitian
ini.

Bergumul dengan Optimisme Orde Baru

Buku kedua, Surat-surat Pribadi Soedjatmoko kepada Presiden (Jendral) Soeharto,


menunjukkan bahwa Soedjatmoko melakukan pekerjaan tambahan di luar tugas resminya
sebagai Duta Besar Amerika Serikat pada 1968-1971. Soedjatmoko tampaknya melihat
bahwa ia perlu membagikan pengetahuannya di bidang politik internasional kepada sang
presiden baru. Tidak ada keterangan apakah Soeharto membalas surat-surat tersebut dengan
derajat keseriusan yang sama. Yang jelas surat-surat ini terpisah dari laporan-laporan resmi
yang Soedjatmoko kirimkan secara teratur dan dimaksudkan untuk mendidik seorang jendral
dari desa Kemusuk yang tak punya pengalaman menghadapi dunia internasional.

Jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Soekarno maka jelas terlihat dari surat-surat ini
adanya perubahan radikal dalam politik luar negeri Indonesia setelah pemerintahan Orde Baru
terbentuk pada 1967. Indonesia pada jaman Soekarno dikenal dengan penolakannya terhadap
bantuan dan modal asing dari negeri-negeri kapitalis seperti Amerika Serikat, Eropa Barat dan
Jepang. Slogan yang dilontarkan Soekarno “Go to hell with your aid!” menjadi identik
dengan Indonesia tahun 1960an. Sedangkan sejak Soeharto memegang kendali pemerintahan
Indonesia berusaha sekuat tenaga memperoleh dukungan politik dan bantuan ekonomi dari
negeri-negeri tersebut, terutama dari AS. Sebagai duta besar pertama di masa Orde Baru,
Soedjatmoko seakan dituntut mengerahkan segala kemampuan intelektual pun
pengalamannya berpolitik untuk memastikan bahwa AS bersedia memberikan bantuan
keuangan bagi Indonesia.

Di tengah kekalutan yang diakibatkan intervensi AS ke Vietnam, upaya membangun


koeksistensi damai dengan Uni Soviet dan pertikaian Uni Soviet dan RRC, Soedjatmoko
mencoba merumuskan posisi Indonesia yang paling fleksibel dan menguntungkan. Indonesia
tetap bersikap anti-komunis di dalam negeri, sedangkan di luar negeri bisa bekerjasama
dengan negeri manapun tanpa batas-batas ideologi. (hal. 169) Namun, ketika menjabarkan
pilihan-pilihan yang mungkin bagi Indonesia, sebenarnya Soedjatmoko hanya menawarkan
satu hal: menyesuaikan diri terhadap strategi politik AS. Pandangan-pandangannya tentang
negeri-negeri “komunis”, seperti Uni Soviet dan RRC, sangat dipengaruhi hasil
perbincangannya dengan pejabat eksekutif AS atau para intelektual yang mengabdikan diri
pada golongan konservatif di AS, seperti Guy Pauker dari lembaga riset Rand Corporation.
(hal. 20, 77).

Kuat tertangkap kesan bahwa Soedjatmoko sangat berhati-hati dalam menyampaikan pikiran-
pikirannya pada Soeharto, bahkan sejak awal ia putuskan untuk menulis rangkaian surat
pribadi ini. Kalimat-kalimat yang menyatakan “keseganan” mengganggu atau memberatkan
sang presiden, atau “memberanikan diri” untuk mengemukakan gagasan berulangkali muncul
seakan-akan ada kekhawatiran Soeharto meragukan kemampuannya sebagai dubes. (hal. 1,
19, 132, 62) Tampak pula bahwa ulasan yang ia sampaikan dengan demikian sistematis dan
jernih tentang politik domestik pun luar negeri AS sebenarnya untuk menjelaskan mengapa
tak mudah bagi AS untuk mencairkan bantuan bagi Indonesia.

Sementara itu, seperti digambarkan dalam biografinya, pengalaman Soedjatmoko dengan


Soekarno sejak muda senantiasa penuh dengan perdebatan hangat, bahkan saling teriak ketika
mereka berbeda pendapat. (Lihat Biografi hal. 36-37, 154-155). Agak mengherankan bahwa
Soedjatmoko memperlakukan Soeharto sedemikian terhormatnya mengingat peran
Soedjatmoko dalam sejarah pendirian republik ini boleh dikatakan lebih besar dan lebih
penting daripada peran Soeharto.

Namun, dari seluruh surat-surat ini mungkin yang paling sulit untuk dipahami adalah usaha
Soedjatmoko untuk menampilkan citra baik Indonesia dengan mendiskreditkan gerakan-
gerakan progresif yang mengkritik pelanggaran HAM di negeri ini dan mengupayakan
bantuan militer bagi ABRI. (hal. 70, 120-22, 143) Di saat dunia diguncang gerakan sosial
yang menggugat intervensi AS ke Vietnam, memperjuangkan hak-hak kaum perempuan dan
kulit hitam, serta kesejahteraan bagi kaum miskin, Soedjatmoko, seorang humanis universal,
intelektual, menyatakan bahwa protes terhadap pelanggaran HAM di Indonesia yang
dilancarkan kelompok-kelompok ini sebagai “aksi-aksi komunis …. untuk mencemarkan
itikad baik Pemerintah Indonesia”. (hal. 121)

Tentu saja kita bisa melihat tindakan ini sebagai konsekuensi pilihan “bebas” menjelang Orde
Baru. Pada tataran yang sama, kita perlu menganalisis lebih tajam konsep “humanisme” dan
“kebebasan” yang ditawarkan Soedjatmoko, memberi kualifikasi lebih luas dari yang selama
ini dirayakan tanpa tentangan. Agaknya ramalan Soe Hok Gie, seorang humanis sejati, tidak
berlebihan, “Saya pribadi melihat, bahwa generasi yang akan datang akan banyak sekali
mengecam generasi intelektual Indonesia sekarang. Sebagian besar dari mereka, tutup mulut
dan tidak berbicara terhadap pelanggaran-pelanggaran yang paling kasar terhadap manusia
yang terjadi di Indonesia”. (Lihat Kompas, 20 Oktober 1969)

Agung Ayu Ratih


Anggota Jaringan Kerja Budaya (JKB), Jakarta

También podría gustarte