Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Insiden dan keparahan infeksi jamur pada manusia telah meningkat secara dramtatis beberapa
tahun terakhir ini, yang terutama disebabkan oleh kemajuan-kemajuan dalam pembedahan,
pengobatan kanker, dan pengelolaan keadaan kritis yang disertai dengan peningkatan
penggunaan antimikroba berspektrum luas, seta epidemi HIV. Perubahan-perubahan ini telah
meningkatkan jumlah pasien yang terancam resiko infeksi jamur. Candida albicans telah
menjadi organism paling umum keempat yang diisolasi dari kultur darah di Amerika Serikat.
Organism-organisme baru dan tidak lazim saat ini ditemukan seiring bertambahnya pengalaman
kita dengan perjalanan pasien immunocompromised (kekebalan tubuhnya diragukan) ini. Lebih
jauh lagi, sebagian besar jamur sepenuhnya kebal terhadap obat antibaktesri konvensional.
Farmakoterapi penyakit jamur telah mengalami revolusi dengan pengenalan obat azole
oral yang relatif non-toksik. Terapi kombinasi sedang dipertimbangkan kembali, dan formulasi-
formulasi baru dari agen-agen lama mulai tersedia.
Obat-obat antijamur yang kini tersedia terbagi ke dalam beberapa kategori yaitu obat
sistemi9k (oral maupun parental) untuk infeksi sistemik, obat oral untuk infeksi mukokutan dean
obat topical untuk infeksi mukokutan.
dikembangkan, dimana amphotericin B dikemas dalm suatu sisitem pengantaran yang terkait
dengan lemak (lihat tabel 48-1 dan kontak Liposomal Amphotericin B).
Farmakokinetika
Mekanisme Kerja
Perubahan dalam Cmax (konsentrasi plasma puncak), klirens, neftrotoksisitas, dan toksisitas
infus adalah realtif tehadap amphotericin B.
Efek-efek yang Tidak Diinginkan
Toksisitas amphotericin B dapat dibagi menjadi dua kategori besar yaitu reaksi. Reaksi
segera, yang berhubungan dengan infuse obat, dan reaksi-reaksi yang timbul lebih lambat.
Aktivitas Antijamur
Amphotericin B masih tetap merupakan antijamur dengan spectrum kerja terluas. Obat ini
mempunyai aktivitas yang penting secara klinis, termasuk candida albicans dan criptococcus
neofarmans; organism-organisme penyebab mikosis endemic, termasuk Hitoplasma
capsulatum, Blastomyces dermatidis dan Coccidioides immitis; serta terhadap jamur-jamur
pathogen, seperti Aspergillus fumigates dan mucor. Beberapa organism jamur seperti
Candida lusitaniae dan Pseudallescheria boydii menunjukan resistensi terhadap
amphotericin B.
Penggunaan Klinis
Oleh karena aktivitas yang berspektrum luas dan kerja fungisid-nya, amphotericin B tetap
menjadi obat pilihan untuk hampir semua infeksi mikotik yang membahayakan jiwa. Obat ini
sering digunakan sebagai regimen induksi awal untuk infeksi-infeksi jamur serius, kemudian
digantikan oleh salah satu obat azole topical ( dijelaskan dibawah) untuk terapi kronis atau
pencegahan kekambuhan. Terapi induksi demikian adalah penting, khususnya untuk pasien-
pasien yang system kekebalan tubuhnya tertekan dan pasien-pasien penderita pneumonia
jamur yang parah, pada crypotococcal meningitis dengan perubahan status mental, atau pada
sindrom sepsis yang disebabkan oleh infeksi jamur. Sekali respon klinis diperoleh, untuk
selanjutnya pada pasien kebanyakan akan melanjutkan terapi perawatan dengan azole ; terapi
dapat dilakukan seumur hidup bagi pasien-pasien yang sangat beresiko mengalami
kekambuhan. Amphotericin juga telah digunakan sebagai terapi empiris untuk paasien-pasien
tertentu yang memiliku resiko tinggi apabila membiarkan infeksi jamur sistemik tanpa
diobati. Yang paling umum dari pasien-pasien semacam ini adalah pasien kanker dengan
neutropenia yang tetap mengalami demam sekalipun diberi antibiotic berspektrum tinggi.
Pemberian lokal amphotericin B telah dilakukan dengan sukses. Ulkus dan keratitis
kornea mikotik dapat disembuhkan dengan obat tetes topical atau dengan injeksi
subkonjungtiva langsung. Arthritis oleh karena jamur dapat diobati dengan bantuan injeksi
langsung pada persendian. Candiduria memberi respons terhadap irigasi kandung kemih
dengan amphotericin B dan jalur ini tidak menunjukan toksisitas sistemik yang bermakna.
FLUCYTOSINE
Flucytosine (5-FC) ditemukan pada tahun 1957 dalam pencarian agen-agen antineoplastik
baru. Sekalipun tidak mempunyai sifat-sifat antikanker, namun tampak bahwa obat ini
merupakan agen antijamur yang potensial. Flucytosine adalah analog pyrimidine yang larut
air dan dikaitkan dengan agen kemoterpeutik, fluorouracil (5-FU). Spectrum kerjanya lebih
sempit dibandingkan dengan amphotericin B.
Farmakokinetika
Flucytosine belakangan ini tersedia di Amerika Utara hanya dalam formulasi oral. Dosisnya
adalah 100-150 mg/kg/hari pada pasien-pasien dengan fungsi ginjal normal. Obat ini diserap
dengan baik (>90%), dengan konsentrasi serum memuncak 1-2 jam setelah pemberian dosis oral.
Obat ini kurang baik dalam mengikat protein dan mudah masuk kedalam semua kompertemen
cairan tubuh, termasuk ke cairan serebrospinal. Obat ini dieliminasi melalui filtrasi glomelurus
dengan waktu paruh 3-4 jam dan dihilangkan dengan hemodialisis. Kadar meningkat dengan
cepat pada kondisi kerusakan ginjal dan dapat menimbulkan toksisitas. Toksisitas lebih
cenderung timbul pada pasien-pasien AIDS dan pada pasien dengan insufiensi (ketidakmampuan
fungsi) ginjal. Kadar puncak serum harus diukur secara periodic pada pasien-pasien dengan
insufiensi_renal dan harus dijaga antara 50-100 g/mL.
Mekanisme Kerja
Flucytosine diterima oleh sel-sel jamur melalui enzim cytosine permease. Pertama-tama obat
ini diubah secara intaseluler, menjadi 5-FU, selanjutnya menjadi 5-fluorodeoxyuridine
monophosphate (F-dUMP) dan fluoroudine, triphosphate (FUTP), yang menghambat synthesis
DNA dan RNA sesuai urutannya. Sel-sel tubuh manusia tidak mampu mengubah obat asal
menjadi metabolit aktifnya.
Adanya sinergi dengan amphotericin B telah didemonstrasikan secara in vitro dan in vivo.
Hal ini dihubungkan dengan peningkatan penetrasi flucytosine melalui membrane-membran sel
jamur yang telah dirusak karena amphotericin. Sibergi in vitro ini dengan obat-obat azole juga
telah dibuktikan, sekalipun mekanismenya tidak jelas. Menurut dugaan, resistensi terjadi melalui
perubahan metabolism flucytosine, dan tidak seperti biasanya dalam isolate-isolat primer,
resistensi berkembang dengan cepat dalam perjalanan monoterapi flucytosine.
Efek-efek yang tidak diinginkan dari flucytosine disebabkan oleh metabolisme (kemungkinan
oleh flora intestinal) terhadap senyawa antineoplastik yang bersifat toksik., fluorouracil.
Toksisitas sumsum tulang anemia, leucopenia , dan trombositopenia adalah reaksi-reaksi yang
paling umum, dengan kekacauan enzim hati yang lebih jarang terjadi. Sejenis enterokolitis toksik
dapat timbul. Tampaknya, terdapat jendela terapeutik yang sempit, dengan peningkatan risiko
toksisitas pada kadar obat yang lebih tinggi dan resistensi berkembang dengan cepat pada
konsentrasi subterapeutik. Penggunaan pengukuran konsentrasi obat dapat membantu
mengurangi timbulnya reaksi-reaksi toksik, khususnya bila flucytosine dikombinasikan dengan
agen-agen nefrotoksik, seperti amphotericin B.
Penggunaan Klinis
Pengguna klinis saat ini terbatas pada terapi kombinasi, baik dengan amphotericin
B untuk meningitis cryptococcal atau dengan itraconazole untuk
chromoblastomycosis. Peran flucytosine dengan amphotericin B dalam pengobatan
infeksi-infeksi candida sistemik masih belum dipastikan hingga saat ini. Walaupun
terdapat bukti sinergi in fitro dalam pengelolaan infeksi-infeksi aspergillus, obat ini
tidak lazim digunakan untuk infeksi-infeksi karena organisme ini.
AZOLE
Farmakologi tiap-tiap azole adalah unik dan diperhitungkan untuk beberapa variasi
dalam penggunaan klinis. Tabel menyimpulkan perbedaan-perbedaan di antara
keempat azole.
Mekanisme Kerja
Penggunaan Klinis
Spektrum kerja obat-obat ini cukup luas, meliputi berbagai spesies candida,
cryptococcus neoformans, mikosis endemik (blastomycosis, coccidioidomycosis,
histoplasmosis), dermatophyte, dan-dalam hal itraconazole-bahkan infeksi-infeksi
aspergillus. obat-obat ini juga bermanfaat dalam pengelolaan organisme-organisme
yang secara intrinsik resisten-amphotericin, seperti Pseudallescheria boydii.
Secara kelompok, azole relatif non-toksik. Efek yang tidak diinginkan yang
umum terjadi adalah gangguan gastrointestinal yang relatif minor. semua azole
telah dilaporkan menyebabkan abnormalitas pada enzim hati dan sangat jarang
hepatitis klinis. Efek-efek yang tidak diinginkan yang spesifik sesuai setiap agen
dibahas di bawah ini.
Interaksi Obat
1. KETOCONAZOLE
Ketoconazole merupakan azole oral pertama yang digunakan secara klinis.
Obat ini dibedakan dari fluconazole dan itraconazole karena memeiliki
kecenderungan yang lebih besar untuk menghambat enzim-enzim sitokrom
P450 mamalia, artinya obat ini kurang selektif untuk P450 jamur
dibandingkan dengan azole-azole yang lebih baru. Fenomena ini membawa
dua konsekuensi. Pertama, penghambatan ketoconazole terhadap enzim-
enzim sitokrom P450 manusia mempengaruhi biosintesis hormon-hormon
steroid adrenal dan gonad, yang menimbulkan efek-efek endokrin yang
berarti, seperti ginekomasti, kemandulan, dan tidak keteraturan siklus
menstruasi. kedua, interaksi dengan enzim-enzim P450 dapat mengubah
metabolisme obat-obat lain, yang memicu peningkatan toksisitas agen-agen
tersebut. Dua contoh paling nyata menyangkut hal ini adalah peningkatan
kadar cyclosporine dan peningkatan efek-efek aritmogenik dari agen
promotilitas gastrointestinal yaitu cisapride. lebih jauh lagi, obat-obat lain
dapat mempengaruhi kadar ketoconazole, serta rifamycin
(rifampin,rifabutin,rifapentine) yang meningkatkan metabolisme hepatis dari
azole yang bersangkutan.
Penggunaan klinis ketoconazole telah dibatasi, bukan saja karena
interaksi dan efek sampingan endokrin obat ini,namun juga karena rentang
terapeutiknya yang sempit. ketoconazole tersedia untuk penggunaan
sistemik dalam formulasi oral yang paling baik diserap pada Ph lambung
yang rendah. obat ini digunakanpada dosis 200-600 mg/hari. Efek yang tidak
diinginkan dari ketoconazole sangat tergantung pada dosis yang diberikan
dan seringkali membatasi terapi. Efek yang tak diharapkan pada
gastrointestinal terutama timbul pada dosis di atas 400 mg/hari.
ketoconazole tetap berguna dalam penanganan candidiasis mukokutan dan
nonmeningeal coccidiomycosis, karena terapi dengan dosis yang lebih rendah
sering kali efektif.
2. ITRACONAZOLE
Itraconazole tersedia dalam formulasi oral dan digunakan pada dosis 100-400
mg/hari. seperti halnya ketoconazole, penyerapannya ditingkatkan oleh
makanan dan PH lambung yang rendah. seperti azole larut lemak lainnya,
itraconazole berinteraksi dengan enzim-enzim mikrosom hati, sekalipun pada
taraf yang lebih rendah dinbandingkan ketoconazole. interaksi obat yang
penting adalah penurunan bioavailabilitas itraconazole bila diminum dengan
rifamycin. obat ini tidak mempengaruhi sintesis steroid mamalia, dan efek-
efeknya terhadap metabolisme terhadap obat-obat yang pembersihannya
melalui hati, berada jauh dibawah ketoconazole. sekalipun demikian,
interaksi dengan cisapride masih tetap perlu diperhatikan pada itraconazole.
itraconazole adalah yang paling potensial diantara azole yang tersedia,
namun efektifitasnya dibatasi ole adanya penurunan bioavailabilitas.
formulasi-formulasi yang lebih baru- termasuk suatu cairan oral dan sediaan
intravena- telah mempergunakan cyclodextran sebagai molekul penghantar
untuk meningkatkan kelarutan dan bioavailibiltas. seperti halnya
ketoconazole, obat ini juga sulit mempenetrasi cairan serebrospinal .
itraconazole merupakan satu-satunya agen dengan aktifitas yang bermakna
terhadap spesies aspergillus. itraconazole juga merupakan azole yang dipilih
untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh jamur dimorfik
histoplasma, blastomyces, dan sporothrix.
3. FLUCONAZOLE
fluconazole dibedakan dari obat-obat azole lainnya oleh karena daya larut
dalam airnya dan penetrasinya yang baik kedalam cairan serebrospinal.
kelarutan dalam air ini tidak hanya memungkinkan pemberian secara
intravena, namun juga menghasilkan bioavailibilitas yang bagus melalui jalur
oral. interaksi obat juga kurang umum terjadi, sebab diantara semua jenis
azol, fluconazole mmiliki efek yang paling rendah terhadap enzim-enzim
mikrosom hati. oleh karena interaksi-interaksi enzim hepatisnya yang lebih
sedikit dan toleransi gastrointestinal yang lebih baik, fluconazole mempunyai
indeks terapeutik azole terluas, yang memungkinkan pemberian dosis yang
lebih agresif pada beragam infeksi jamur.
fluconazole merupakan azole pilihan dalam pengobatan dan pencegahan
sekunder meningitis cryptococcal. obat ini tersedia dalam formulasi oral dan
intravena serta digunakan pada dosis 100-800 mg/hari. fluconazole intravena
telah menunjukkan kesetaraan dengan amphotericin B dalam pengobatan
candidemia pada pasien-pasien ICU dengan jumlah sel darah putih yang
normal. sementara fluconazole juga efektif untuk candidiasis mukokutan,
ketoconazole seringkali merupakan alternatif yang dapat diterima dan lebih
murah. aktifitas melawan jamur dimorfik dibatasi pada penyakit coccidioidal,
dan khususnya untuk meningitis, dimana dosis tinggi fluconazole seringkali
meniadakan keperluan pemberian amphotericin B intratekal.
penggunaan fropilaksis fluconazole telah terbukti mengurangi penyakit jamur
pada pasien-pasien penerima cangkokan sumsum tulang dan pasien-pasien
AIDS, namun timbulnya jamur-jamur resisten-fluconazole telah
menyebabkanperlunya perhatian untuk indikasi ini.
4. VORICONAZOLE
Voriconazole merupakan triazole topikal yang menjalani uji klinis dan sedang
berada dalam tahap lanjut percobaan klinis di amerika serikat. obat ini akan
tersedia dalam formulasi intravena dan oral. dosis yang dilanjutkan adalah
400 mg/hari. obat ini diserat dengan baik secara oral, dengan biovaibilitas
diatas 90%, menunjukkan peningkatan pro-tein yang lebih rendah
dibandingkan itraconazole metabolismenya terutama bersifat hepatis, namun
kecenderungan untuk menghambat P450 mamalia tampaknya rendah.
disamping terbatasnya informasi tentang toksisitas, gangguan-gangguan
penglihatan yang revelsibel telah dilaporkan dalam beberapa uji coba.
voriconazole mirip dengan itraconazole menyangkut spktrum kerjanya, dan
mempunyai aktivitas yang baik melawan spesies candida (termasusk spesies
resisten-fluconazole, seperti C krusei), jamur dimorfik, dan jamur patogenik,
termasuk aspergillus buktiin viktro menyatakan bahwa voriconazole bahkan
lebih efektif dari pada itraconazole terhadap organisme-organisme tersebut.
TERBINAFINE
Terbinafine adalah allylamine sintetis yang tersedia dalam formulasi oral dan
digunakan pada dosis 250 mg/hari. obat ini digunakan dalam pengobatan
dermatophyses, terutama onychomycosis. seperti griseofulvin, ia merupakan
obat keratofilik. namun, berbeda dari griseofulvin, obat ini bersifat fungisid.
sebagaimana obat-obat azole, terbinafine mengganggu biosintesis ergosterol,
namun ia menghambat enzim jamur, squale ne epoxidase, dan bukannya
berinteraksi dengan sistem P450. Hal ini mengakibatkan akumulasi sterol
squalene, yang bersifat toksik terhadap organisme yang ersangkutan. satu
tablet yang diberikan setiap hari selama 12 minggu dapat mencapai tingkat
kesembuhan hingga 90% untuk onychomycosis dan lebih efektif
dibandingkan griseofulvin atau itraconazole. efek yang tak diharapkan jarang
terjadi, sebagian besar terdiri atas gangguan gastrointestinal dan sakit
kepala. terbinafine tampaknya tidak mempengaruhi sistem P450 dan tidak
menunjukkan interaksi obat yang penting hingga saat ini.
AZOLE TOPIKAL
Dua azole yang paling umum digunakan akhir-akhir ini adalah clotrimazole
dan miconazole. keduanya tersedia bebas di pasaran dn sering digunakan
untuk candidiasis vulvovagina. Clotrimazole troches oral tersedia untuk
pengobatan sariawan dan merupakan alternatif pengganti nystatin yang
rasanya enak. dalam bentuk krim, kedua agen ini berguna untuk infeksi-
infeksi dematofitik, termasuk tinea korporis, tine pedis, dan tinea kruris.
penyerapan tidak diperhitungkan dan efek-efek yang tak diharapkan, jarang
terjadi.
Bentuk topikal dan sampo ketoconazole juga tesedia dan bermanfaan untuk
pengobatan dermatitis seboroik dan pityriasis versicolor. Beberapa azole lain
tersedia untuk penggunaan topikal (lihat preparat yang tersedia)
ALLYLAMINE TOPIKAL
Terbinafine dan naftitifine adalah allylamine yang tersedia dalam bentuk krim
topikal. Keduanya efektif untuk penanganan tinea kruris dan tinea korporis.
semuanya merupakan obat-obat dengan resep dokter di Amerika Serikat.