Está en la página 1de 13

Agen-agen Antijamur

Don Sheppard, MD, dan Harry W. Lampiris, MD

Insiden dan keparahan infeksi jamur pada manusia telah meningkat secara dramtatis beberapa
tahun terakhir ini, yang terutama disebabkan oleh kemajuan-kemajuan dalam pembedahan,
pengobatan kanker, dan pengelolaan keadaan kritis yang disertai dengan peningkatan
penggunaan antimikroba berspektrum luas, seta epidemi HIV. Perubahan-perubahan ini telah
meningkatkan jumlah pasien yang terancam resiko infeksi jamur. Candida albicans telah
menjadi organism paling umum keempat yang diisolasi dari kultur darah di Amerika Serikat.
Organism-organisme baru dan tidak lazim saat ini ditemukan seiring bertambahnya pengalaman
kita dengan perjalanan pasien immunocompromised (kekebalan tubuhnya diragukan) ini. Lebih
jauh lagi, sebagian besar jamur sepenuhnya kebal terhadap obat antibaktesri konvensional.

Farmakoterapi penyakit jamur telah mengalami revolusi dengan pengenalan obat azole
oral yang relatif non-toksik. Terapi kombinasi sedang dipertimbangkan kembali, dan formulasi-
formulasi baru dari agen-agen lama mulai tersedia.

Sayangnya, pemunculan organism-organisme keba-azole, sebagaiman juga peningkatan


jumlah pasien yang beresiko terjangkit infeksi jamur, telah menciptakan tantangan baru. Dua
kelas antijamur baru yaitu analog-analog echinocadin dan nikkomycin, tampaknya menjanjikan.
Kedua kelas agen ini mengahmbat enzim-enzim yang diperlukan untuk sintesis dinding sel
jamur. Keduanya sedang menjalani uji klinis

Obat-obat antijamur yang kini tersedia terbagi ke dalam beberapa kategori yaitu obat
sistemi9k (oral maupun parental) untuk infeksi sistemik, obat oral untuk infeksi mukokutan dean
obat topical untuk infeksi mukokutan.

OBAT ANTIJAMUR SISTEMIK UNTUK INFEKSI SISTEMIK


AMPHOTERICIN B

Amphotericin A dan B merupakan antibiotic-antibiotik antijamur yang dihasilkan oleh


Streptomyces nodosus. Amphotericin A tidak dipakai untuk penggunaan klinis.
Kimia

Amphotericin B merupakan suatu makrolid poliene amfoter (makrolid = mempunyai satu


gelang lactone yang besar terdiri dari 12 atom atau lebih: poliene = mempunyai banyak ikatan-
ganda). Karena hampir tidak larut air, maka obat ini disediakan dalam bentuk susperisi koloid

dikembangkan, dimana amphotericin B dikemas dalm suatu sisitem pengantaran yang terkait
dengan lemak (lihat tabel 48-1 dan kontak Liposomal Amphotericin B).

Farmakokinetika

Amphotericin B diserap kurang baik dari saluran grastointestinal. Oleh karenanya,


amphotericin B oral efektif hanya terhadap jamur didalam usus disaluran ini dan tidak dapat
digunakan untuk penanganan penyakit sistemik. Injeksi intavena Amphotericin B sebesar 0,6
mg/kg/hari menghasilkan kadar dalam darah rata-rata sebesar 0,3-1 g/mL dan lebih dari 90%
terkait oleh protein-protein serum. Sementara sebagian besar obat dimetabolisme, sebagian
amphotericin B dieksresikan dengan lambat melalui urine dalam waktu beberapa hari. Waktu
paruh serum berkisar 15 hari. Kerusakan hati, kerusakan ginjal, dan dialysis hanya mempunyai
sedikit dampak terhadap konsentrasi obat, karena itu tidak diperlukan penyesuaian dosis. Obat
ini disebarkan secara luas kedalam jaringan-jaringan, namun hanya 2-3% kadar darh yang
mencapai cairan serebrospinal, sehingga terkadang dibutuhkan terapi intratekal untuk jenis-jenis
tertentu meningitis jamur.

Mekanisme Kerja

Amphotericin B bersifat selektif dalam efek fungisid-nya karena ia mengeksploitasi


perbedaan dalam komposisi lipid jamur dan membrane sel mamalia. Ergosterol, suatu sterol
membrane sel, dijumpai dalam membrane sel jamur, sementara sterol utama bakteri dan sel dan
tubuh manusia adalah cholesterol. Amphotericin B terikat pada ergosterol dan mengubah
permeabilitas sel melalui pembentuk lubang-lubang yang terkait dengan amphotericin B dalam
membrane sel. Sebagaimana tampak dari strukturnya, amphotericin B cenderung cepat
berkombinasi dengan lipid (ergosterol) sepanjang sisi yang kaya ikatan ganda dari strukturnya,
dan berkaitan dengan molekul-molekul air sepanjang sisi kaya hydroxyl-nya. Karakteristik
amphotericin, dengan bagian-bagian lipofilik disekitar bagian luar lubang dan daerah hidrofilik
sepanjang bagian dalam. Lubang ini memungkinkan pembocoran ion-ion dan makromolekul
intraseluler, yang akhirnya mengakibatkan kematian sel. Beberapa pengikatan pada sterol
manusia juga terjadi, kemungkinan bertanggung jawab terhadap toksisitas menonjol obat yang
bersangkutan.

Resistensi terhadap amphotericin B terjadi apabila pengikatan ergosterol dirusak, baik


dengan menurunkan konsentrasi orgesterol membrane atau dengan mengubah molekul target
sterol untuk mengurangi afinitasnya terhadap obat.
AMPHOTERICIN B LIPOSOMAL
Terapi dengan amphotericin B seringkali dibatasi oleh toksisitasnya, khususnya kerusakan
ginjal yang diinduksi oleh obat. Hal ini telah memicu pengembangan formulasi obat lipid atas dasar
asumsi bahwa obat yang dikemas lipid lebih sulit untuk mengikat membrane mamalia, sehingga
memungkinkan penggunaan dosis efektif obat yang bersangkutan dengan toksisitas yang lebih
rendah. Preparat amphotericin liposomal mengemas obat aktif dalam medium penghatar lipid,
berbeda dengan suspense-suspensi koloid yang dipakai belakangan ini. Amphotericin terikat lipid
medium ini dengan afinitas di antara orgesterol jamur dan cholesterol manusia. Media penghantar
lipid selanjutnya bertindak sebagai cadangan amphotericin, mengurangi pengikatan non-spesifik
terhadap membran-membran sel manusia. Pengiktaan khusus ini memungkinkan penurunan
toksisitas tanpa mengorbankan kemanjuran dan memungkinkan digunakannya dosis yang lebih
besar. Lebih jauh lagi, beberapa jenis jamur mengandung lipase tertentu yang dapat melpaskan
amphotericin B bebas secara langsung pada lokasi infeksi.
Tiga formulasi tersebut kini tersedia dan memiliki sifat farmakologis yang berbeda,
sebagaimana diringkas dalam tabel 48-1. Sekalipun uji klinis menunjukan perbedaan dalam
toksisitas ginjal dan yang berkaitan dengan infuse untuk sediaan ini dibandingkan dengan
amphotericin B biasa, namun tidak ada uji coba yang membandingkan masing-masing formulasi
yang berbeda ini. Study yang terbatas telah menunjukan kemajuan yang memadai dalam efikasi
klinis dari formulasi lipid dibandingkan dengan amphotericin B konvensional. Oleh karena preparat
lipid harganya jauh lebih mahal, maka penggunaanya seringkali lebih dibatasi untuk pasien-pasien
yang tidak dapat menoleransi, atau tidak memberi respon terhadap pengobatan amphotericin
konvensional.

Tabel 48-1 Sifat amphotericin B konvensional dan beberapa formulasi lipid-nya.


Biaya
Bentuk Dosis Toksisitas Harian
Obat fisik (mg/kg/hari Cmax Klirens Nefrotoksisitas Infus ($US)
)
Formulasi konvensional
Fungizone Micelles 1 - - - - 24
Formulasi lipid
AmBisome Spheres 3-5 1300
Amphotec Disk 5 (?) 660
Abelcet Ribbons 5 (?) 570

Perubahan dalam Cmax (konsentrasi plasma puncak), klirens, neftrotoksisitas, dan toksisitas
infus adalah realtif tehadap amphotericin B.
Efek-efek yang Tidak Diinginkan

Toksisitas amphotericin B dapat dibagi menjadi dua kategori besar yaitu reaksi. Reaksi
segera, yang berhubungan dengan infuse obat, dan reaksi-reaksi yang timbul lebih lambat.

A. Toksisitas yang Berhubungan dengan Infus


Reaksi-reaksi ini hampir bersifat universal dan terdiri dari demam, menggigil, spasme
otot, muntah-muntah, sakit kepala, dan hipotensi. Reaksi-reaksi ini dapat diiringkan dengan
memperlambat kecepatan infus atau mengurangi dosis harian. Pramedikasi dengan
menggunakan antipiretik, antihistamine, meperidine, atau corticosteroid dapat membantu.
Saat memulai terapi, kebanyakan klinisi memberikan dosis coba sebesar 1mg secara
intravena untuk menaksir kuatnya reaksi. Hal ini dapat dijadikan panduan terhadap
regimentasi dosis awal dan strategi pramedikasi.
B. Toksisitas yang Lebih Lambat
Kerusakan ginjal adalah reaksi toksik yang paling bermakna. Kerusakan ginjal ditemukan
pada hampir semua pasien yang ditangani dengan dosis amphotericin yaitu bermakna secara
klinis. Tingkat azotemia beragam dan sering menjadi stabil selama terapi, namun dapat
menjadi cukup serius untuk sehingga memerlukan dialisis. Suatu komponen revesibel
dihubungkan dengan penurunan perfusi ginjal dan menunjukan suatu bentuk gagal-ginjal
prarenal. Suatu komponen ireversibel dihasilkan oleh cidera tubuler ginjal dan disfungsi yang
diakibatkannya. Bentuk nefrotoksistas amphotericin yang ireversibel umumnya timbul pada
kondisi pengobatan yang perpanjangan (dosis komulatif >4 gram) toksisitas ginjal biasanya
timbul bersama asidosi tubuler ginjal dan pembungana magnesium dan kalium yang parah.
Terdapat beberapa bukti bahwa komponen prarenal dapat dikurangi dengan pemberian
natrium, dan ini merupakan tindakan umum, untuk memberikan infus normal saline dengan
dosis harian amphotericin B.
Abnormalitas tes fungsi hati sesekali dijumpai, dalam bentuk berbagai tingkatan anemia
yang disebabkan oleh berkurangnya produksi erythropoietin karena sel-sel tubuler ginjal
yang rusak. Setelah terapi amphotericin intratekal, dapat berkembang se ijure dan
arakhnoiditis kimiawi, sering disertai cacat neurologic yang serius.

Aktivitas Antijamur

Amphotericin B masih tetap merupakan antijamur dengan spectrum kerja terluas. Obat ini
mempunyai aktivitas yang penting secara klinis, termasuk candida albicans dan criptococcus
neofarmans; organism-organisme penyebab mikosis endemic, termasuk Hitoplasma
capsulatum, Blastomyces dermatidis dan Coccidioides immitis; serta terhadap jamur-jamur
pathogen, seperti Aspergillus fumigates dan mucor. Beberapa organism jamur seperti
Candida lusitaniae dan Pseudallescheria boydii menunjukan resistensi terhadap
amphotericin B.
Penggunaan Klinis

Oleh karena aktivitas yang berspektrum luas dan kerja fungisid-nya, amphotericin B tetap
menjadi obat pilihan untuk hampir semua infeksi mikotik yang membahayakan jiwa. Obat ini
sering digunakan sebagai regimen induksi awal untuk infeksi-infeksi jamur serius, kemudian
digantikan oleh salah satu obat azole topical ( dijelaskan dibawah) untuk terapi kronis atau
pencegahan kekambuhan. Terapi induksi demikian adalah penting, khususnya untuk pasien-
pasien yang system kekebalan tubuhnya tertekan dan pasien-pasien penderita pneumonia
jamur yang parah, pada crypotococcal meningitis dengan perubahan status mental, atau pada
sindrom sepsis yang disebabkan oleh infeksi jamur. Sekali respon klinis diperoleh, untuk
selanjutnya pada pasien kebanyakan akan melanjutkan terapi perawatan dengan azole ; terapi
dapat dilakukan seumur hidup bagi pasien-pasien yang sangat beresiko mengalami
kekambuhan. Amphotericin juga telah digunakan sebagai terapi empiris untuk paasien-pasien
tertentu yang memiliku resiko tinggi apabila membiarkan infeksi jamur sistemik tanpa
diobati. Yang paling umum dari pasien-pasien semacam ini adalah pasien kanker dengan
neutropenia yang tetap mengalami demam sekalipun diberi antibiotic berspektrum tinggi.

Untuk pengobatan penyakit jamur sistemik, amphotericin B diberikan melalui infuse


intravena perlahan pada dosis 0,5-1 mg/kg/hari. Umumnya, obat ini dilanjutkan hingga dosis
total tertentu (misalnya, 1-2 g) daripada jangka waktu tertentu, sebagaimana digunakan
dengan obat-obat antimikroba lainnya. Terapi intatekal untuk minigitis jamur tidak toleransi
dengan baik dan penuh dengan kesukaran sehubungan dengan masalah mempertahankan
akses caireran serebrospinal.

Dengan demikian, terapi intrathekal dengan amphotericin B semakin sering digantikan


oleh terapi lain, namun tetap menjadi opsi kasus-kasus infeksi jamur di system saraf pusat
yang tidak memberikan respons terhadap agen-agen lain.

Pemberian lokal amphotericin B telah dilakukan dengan sukses. Ulkus dan keratitis
kornea mikotik dapat disembuhkan dengan obat tetes topical atau dengan injeksi
subkonjungtiva langsung. Arthritis oleh karena jamur dapat diobati dengan bantuan injeksi
langsung pada persendian. Candiduria memberi respons terhadap irigasi kandung kemih
dengan amphotericin B dan jalur ini tidak menunjukan toksisitas sistemik yang bermakna.

FLUCYTOSINE

Flucytosine (5-FC) ditemukan pada tahun 1957 dalam pencarian agen-agen antineoplastik
baru. Sekalipun tidak mempunyai sifat-sifat antikanker, namun tampak bahwa obat ini
merupakan agen antijamur yang potensial. Flucytosine adalah analog pyrimidine yang larut
air dan dikaitkan dengan agen kemoterpeutik, fluorouracil (5-FU). Spectrum kerjanya lebih
sempit dibandingkan dengan amphotericin B.
Farmakokinetika

Flucytosine belakangan ini tersedia di Amerika Utara hanya dalam formulasi oral. Dosisnya
adalah 100-150 mg/kg/hari pada pasien-pasien dengan fungsi ginjal normal. Obat ini diserap
dengan baik (>90%), dengan konsentrasi serum memuncak 1-2 jam setelah pemberian dosis oral.
Obat ini kurang baik dalam mengikat protein dan mudah masuk kedalam semua kompertemen
cairan tubuh, termasuk ke cairan serebrospinal. Obat ini dieliminasi melalui filtrasi glomelurus
dengan waktu paruh 3-4 jam dan dihilangkan dengan hemodialisis. Kadar meningkat dengan
cepat pada kondisi kerusakan ginjal dan dapat menimbulkan toksisitas. Toksisitas lebih
cenderung timbul pada pasien-pasien AIDS dan pada pasien dengan insufiensi (ketidakmampuan
fungsi) ginjal. Kadar puncak serum harus diukur secara periodic pada pasien-pasien dengan
insufiensi_renal dan harus dijaga antara 50-100 g/mL.

Mekanisme Kerja

Flucytosine diterima oleh sel-sel jamur melalui enzim cytosine permease. Pertama-tama obat
ini diubah secara intaseluler, menjadi 5-FU, selanjutnya menjadi 5-fluorodeoxyuridine
monophosphate (F-dUMP) dan fluoroudine, triphosphate (FUTP), yang menghambat synthesis
DNA dan RNA sesuai urutannya. Sel-sel tubuh manusia tidak mampu mengubah obat asal
menjadi metabolit aktifnya.

Adanya sinergi dengan amphotericin B telah didemonstrasikan secara in vitro dan in vivo.
Hal ini dihubungkan dengan peningkatan penetrasi flucytosine melalui membrane-membran sel
jamur yang telah dirusak karena amphotericin. Sibergi in vitro ini dengan obat-obat azole juga
telah dibuktikan, sekalipun mekanismenya tidak jelas. Menurut dugaan, resistensi terjadi melalui
perubahan metabolism flucytosine, dan tidak seperti biasanya dalam isolate-isolat primer,
resistensi berkembang dengan cepat dalam perjalanan monoterapi flucytosine.

Efek-efek yang Tidak Diinginkan

Efek-efek yang tidak diinginkan dari flucytosine disebabkan oleh metabolisme (kemungkinan
oleh flora intestinal) terhadap senyawa antineoplastik yang bersifat toksik., fluorouracil.
Toksisitas sumsum tulang anemia, leucopenia , dan trombositopenia adalah reaksi-reaksi yang
paling umum, dengan kekacauan enzim hati yang lebih jarang terjadi. Sejenis enterokolitis toksik
dapat timbul. Tampaknya, terdapat jendela terapeutik yang sempit, dengan peningkatan risiko
toksisitas pada kadar obat yang lebih tinggi dan resistensi berkembang dengan cepat pada
konsentrasi subterapeutik. Penggunaan pengukuran konsentrasi obat dapat membantu
mengurangi timbulnya reaksi-reaksi toksik, khususnya bila flucytosine dikombinasikan dengan
agen-agen nefrotoksik, seperti amphotericin B.

Penggunaan Klinis

Spectrum aktivitas flucytosine terbatas pada Cryptococcus neoformans, beberapa spesies


candida, dan jamur-jamur dematiaceous yang menyebabkan chromoblastomycosis. Flucytosine
tidak digunakan sebagai agen tunggal karena menunjukan sifat sinergisnya dengan agen-agen
lain dan untuk menghindari perkembangan resistensi sekunder penggunaan klinis saat ini
terbatas pada terapi kombinasi, baik dengan amphotericin B untuk meningitis cryptococcal atau
dengan itraconazole untuk chromoblastomycosis. Peran flucytosine dengan amphotericin B
dalam pengobatan infeksi-infeksi candida sistemik masih belum dipastikan hingga saat ini.
Walaupun terdapat bukti sinergi in vitra dalam pengelolaan infeksi-infeksi aspergullus, obat ini
tidak lazim digunakan untuk infeksi-infeksi karena organism ini.

Pengguna klinis saat ini terbatas pada terapi kombinasi, baik dengan amphotericin
B untuk meningitis cryptococcal atau dengan itraconazole untuk
chromoblastomycosis. Peran flucytosine dengan amphotericin B dalam pengobatan
infeksi-infeksi candida sistemik masih belum dipastikan hingga saat ini. Walaupun
terdapat bukti sinergi in fitro dalam pengelolaan infeksi-infeksi aspergillus, obat ini
tidak lazim digunakan untuk infeksi-infeksi karena organisme ini.

AZOLE

Persyaratan dalam pemberian secara intravena serta toksisitas agen-agen


antijamur terdahulu, menciptakan suatu kebutuhan akan agen antijamur dengan
profil yang lebih baik. Obat-obat azole oral yang relatif non-toksik menunjukkan
kemajuan besar pertama dalam tujuan ini. Sejak dikenalkan pertama kalinya pada
tahun 1980-an, obat-obat ini telah memainkan peran yang semakin penting dalam
terapi sistemik penyakit jamur.

Azole merupakan senyawa sintetis yang dapat digolongkan menjadi


imidazole atau triazole sesuai jumlah atom nitrogen pada cincin azole, yang terdiri
dari lima komponen seperti yang ditunjukan di bawah ini. Imidazole terdiri dari
ketoconazole, miconazole, dan clotrimazole. Dua obat yang terakhir sekarang
digunakan dalam pengobatan topikal dan akan dibahas kemudian. Triazole meliputi
itraconazole dan fluconazole, keduanya lazim digunakan dalam pengobatan
sistemik penyakit jamur, serta voriconazole (yang masih dalam penelitian).
Farmakologi

Farmakologi tiap-tiap azole adalah unik dan diperhitungkan untuk beberapa variasi
dalam penggunaan klinis. Tabel menyimpulkan perbedaan-perbedaan di antara
keempat azole.

Tabel 48-2. Sifat farmakologis empat obat azole sistemik.

Kelarut Absorp Rasio T1/2 Elimina formula


an Air si Konsent (Jam) si si
rasi CSF
: Serum
Ketoconaz Rendah Bervaria < 0,1 7-10 Hati Oral
ole si
Itraconaz Rendah Bervaria <0,1 24-42 Hati Oral
ole si
Flucunazo Tinggi Tinggi >0,7 22-31 Ginjal Oral, IV
le
Voriconaz ... Tinggi ... 6 Hati Oral, IV
ole

Mekanisme Kerja

Aktivitas antijamur obat-obat azole dihasilkan dari pengurangan sintesis


ergosterol melalui penghambatan enzim-enzim sitokrom P450 pada jamur.
Spesifitas obat-obat azole dihasilkan oleh afinitasnya yang lebih besar terhadap
jamur dibandingkan terhadap enzim-enzim sitokrom P450 pada manusia. Imidazole
menunjukkan tingkat spesifitas yang sedikit lebih rendah dibandingkan triazole,
bertanggung jawab terhadap insidensi interaksi obat dan efek samping yang lebih
tinggi.

Resistensi terhadap azole timbul melalui banyak mekanisme. Pernah


dilaporkan mengenai peningkatan jumlah strain yang resisten, menimbulkan
dugaan bahwa peningkatan dalam penggunaan agen-agen ini untuk profilaksis dan
terapi dapat menyebabkan resistensi obat secara klinis pada kondisi-kondisi
tertentu.

Penggunaan Klinis
Spektrum kerja obat-obat ini cukup luas, meliputi berbagai spesies candida,
cryptococcus neoformans, mikosis endemik (blastomycosis, coccidioidomycosis,
histoplasmosis), dermatophyte, dan-dalam hal itraconazole-bahkan infeksi-infeksi
aspergillus. obat-obat ini juga bermanfaat dalam pengelolaan organisme-organisme
yang secara intrinsik resisten-amphotericin, seperti Pseudallescheria boydii.

Efek-Efek yang Tidak Diinginkan

Secara kelompok, azole relatif non-toksik. Efek yang tidak diinginkan yang
umum terjadi adalah gangguan gastrointestinal yang relatif minor. semua azole
telah dilaporkan menyebabkan abnormalitas pada enzim hati dan sangat jarang
hepatitis klinis. Efek-efek yang tidak diinginkan yang spesifik sesuai setiap agen
dibahas di bawah ini.

Interaksi Obat

Semua obat azole mempengaruhi sistem enzim sitokriom P450 mamalia


hingga batas tertentu, dan sebagai akibatnya, mereka rentan terhadap interaksi
obat. Reaksi-reaksi yang paling penting dijelaskan dibawah ini.

1. KETOCONAZOLE
Ketoconazole merupakan azole oral pertama yang digunakan secara klinis.
Obat ini dibedakan dari fluconazole dan itraconazole karena memeiliki
kecenderungan yang lebih besar untuk menghambat enzim-enzim sitokrom
P450 mamalia, artinya obat ini kurang selektif untuk P450 jamur
dibandingkan dengan azole-azole yang lebih baru. Fenomena ini membawa
dua konsekuensi. Pertama, penghambatan ketoconazole terhadap enzim-
enzim sitokrom P450 manusia mempengaruhi biosintesis hormon-hormon
steroid adrenal dan gonad, yang menimbulkan efek-efek endokrin yang
berarti, seperti ginekomasti, kemandulan, dan tidak keteraturan siklus
menstruasi. kedua, interaksi dengan enzim-enzim P450 dapat mengubah
metabolisme obat-obat lain, yang memicu peningkatan toksisitas agen-agen
tersebut. Dua contoh paling nyata menyangkut hal ini adalah peningkatan
kadar cyclosporine dan peningkatan efek-efek aritmogenik dari agen
promotilitas gastrointestinal yaitu cisapride. lebih jauh lagi, obat-obat lain
dapat mempengaruhi kadar ketoconazole, serta rifamycin
(rifampin,rifabutin,rifapentine) yang meningkatkan metabolisme hepatis dari
azole yang bersangkutan.
Penggunaan klinis ketoconazole telah dibatasi, bukan saja karena
interaksi dan efek sampingan endokrin obat ini,namun juga karena rentang
terapeutiknya yang sempit. ketoconazole tersedia untuk penggunaan
sistemik dalam formulasi oral yang paling baik diserap pada Ph lambung
yang rendah. obat ini digunakanpada dosis 200-600 mg/hari. Efek yang tidak
diinginkan dari ketoconazole sangat tergantung pada dosis yang diberikan
dan seringkali membatasi terapi. Efek yang tak diharapkan pada
gastrointestinal terutama timbul pada dosis di atas 400 mg/hari.
ketoconazole tetap berguna dalam penanganan candidiasis mukokutan dan
nonmeningeal coccidiomycosis, karena terapi dengan dosis yang lebih rendah
sering kali efektif.

2. ITRACONAZOLE
Itraconazole tersedia dalam formulasi oral dan digunakan pada dosis 100-400
mg/hari. seperti halnya ketoconazole, penyerapannya ditingkatkan oleh
makanan dan PH lambung yang rendah. seperti azole larut lemak lainnya,
itraconazole berinteraksi dengan enzim-enzim mikrosom hati, sekalipun pada
taraf yang lebih rendah dinbandingkan ketoconazole. interaksi obat yang
penting adalah penurunan bioavailabilitas itraconazole bila diminum dengan
rifamycin. obat ini tidak mempengaruhi sintesis steroid mamalia, dan efek-
efeknya terhadap metabolisme terhadap obat-obat yang pembersihannya
melalui hati, berada jauh dibawah ketoconazole. sekalipun demikian,
interaksi dengan cisapride masih tetap perlu diperhatikan pada itraconazole.
itraconazole adalah yang paling potensial diantara azole yang tersedia,
namun efektifitasnya dibatasi ole adanya penurunan bioavailabilitas.
formulasi-formulasi yang lebih baru- termasuk suatu cairan oral dan sediaan
intravena- telah mempergunakan cyclodextran sebagai molekul penghantar
untuk meningkatkan kelarutan dan bioavailibiltas. seperti halnya
ketoconazole, obat ini juga sulit mempenetrasi cairan serebrospinal .
itraconazole merupakan satu-satunya agen dengan aktifitas yang bermakna
terhadap spesies aspergillus. itraconazole juga merupakan azole yang dipilih
untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh jamur dimorfik
histoplasma, blastomyces, dan sporothrix.

3. FLUCONAZOLE
fluconazole dibedakan dari obat-obat azole lainnya oleh karena daya larut
dalam airnya dan penetrasinya yang baik kedalam cairan serebrospinal.
kelarutan dalam air ini tidak hanya memungkinkan pemberian secara
intravena, namun juga menghasilkan bioavailibilitas yang bagus melalui jalur
oral. interaksi obat juga kurang umum terjadi, sebab diantara semua jenis
azol, fluconazole mmiliki efek yang paling rendah terhadap enzim-enzim
mikrosom hati. oleh karena interaksi-interaksi enzim hepatisnya yang lebih
sedikit dan toleransi gastrointestinal yang lebih baik, fluconazole mempunyai
indeks terapeutik azole terluas, yang memungkinkan pemberian dosis yang
lebih agresif pada beragam infeksi jamur.
fluconazole merupakan azole pilihan dalam pengobatan dan pencegahan
sekunder meningitis cryptococcal. obat ini tersedia dalam formulasi oral dan
intravena serta digunakan pada dosis 100-800 mg/hari. fluconazole intravena
telah menunjukkan kesetaraan dengan amphotericin B dalam pengobatan
candidemia pada pasien-pasien ICU dengan jumlah sel darah putih yang
normal. sementara fluconazole juga efektif untuk candidiasis mukokutan,
ketoconazole seringkali merupakan alternatif yang dapat diterima dan lebih
murah. aktifitas melawan jamur dimorfik dibatasi pada penyakit coccidioidal,
dan khususnya untuk meningitis, dimana dosis tinggi fluconazole seringkali
meniadakan keperluan pemberian amphotericin B intratekal.
penggunaan fropilaksis fluconazole telah terbukti mengurangi penyakit jamur
pada pasien-pasien penerima cangkokan sumsum tulang dan pasien-pasien
AIDS, namun timbulnya jamur-jamur resisten-fluconazole telah
menyebabkanperlunya perhatian untuk indikasi ini.

4. VORICONAZOLE
Voriconazole merupakan triazole topikal yang menjalani uji klinis dan sedang
berada dalam tahap lanjut percobaan klinis di amerika serikat. obat ini akan
tersedia dalam formulasi intravena dan oral. dosis yang dilanjutkan adalah
400 mg/hari. obat ini diserat dengan baik secara oral, dengan biovaibilitas
diatas 90%, menunjukkan peningkatan pro-tein yang lebih rendah
dibandingkan itraconazole metabolismenya terutama bersifat hepatis, namun
kecenderungan untuk menghambat P450 mamalia tampaknya rendah.
disamping terbatasnya informasi tentang toksisitas, gangguan-gangguan
penglihatan yang revelsibel telah dilaporkan dalam beberapa uji coba.
voriconazole mirip dengan itraconazole menyangkut spktrum kerjanya, dan
mempunyai aktivitas yang baik melawan spesies candida (termasusk spesies
resisten-fluconazole, seperti C krusei), jamur dimorfik, dan jamur patogenik,
termasuk aspergillus buktiin viktro menyatakan bahwa voriconazole bahkan
lebih efektif dari pada itraconazole terhadap organisme-organisme tersebut.

OBAT ANTIJAMUR SISTEMIK UNTUK INFEKSI MUKOKUTAN


GRISEOVULVIN
Griseovulvin adalah obat fungistatik yang sangat tidak larut, berasal dari
suatu spesies penicillium. hanya berguna pada pengobatan
dermathophytosis secara sistemik. obat ini diberikan dalam bentuk
microcrystalline pada dosis 1 g/hari. penyerapan akan lebih baik jika
dikonsumsi bersama makanan yang berlemak. mekanisme kerja griseofulfin
pada tingkat seluler belumlah jelas, namun obat ini disimpan dalam bentukan
kulit baru, di mana ia mengikat keratin dan melindungi kulit dari infeksi baru.
oleh karena kerjanya adalah untuk mencegah infeksi pada struktur kulit yang
baru, maka obat ini harus diberikan selama 2-6 minggu untuk infeksi kulit
dan rambut, untuk memungkinkan penggantian keratin yang terinfeksi
dengan struktur yang resisten. infeksi kuku dapat membutuhkan terapi
selama beberapa bulan untuk memungkinkan pertumbuhan ukang kuku baru
yang terlindungi dan sering kali diikuti dalam kekambuhan. reaksi yang tidak
diharap meliputi sindrom alergi yang phenobarbital.griseofulvin telah banyak
digantikan oleh obat-obat antijamur yang lebih baru, seperti itraconazole dan
terbinafine.

TERBINAFINE
Terbinafine adalah allylamine sintetis yang tersedia dalam formulasi oral dan
digunakan pada dosis 250 mg/hari. obat ini digunakan dalam pengobatan
dermatophyses, terutama onychomycosis. seperti griseofulvin, ia merupakan
obat keratofilik. namun, berbeda dari griseofulvin, obat ini bersifat fungisid.
sebagaimana obat-obat azole, terbinafine mengganggu biosintesis ergosterol,
namun ia menghambat enzim jamur, squale ne epoxidase, dan bukannya
berinteraksi dengan sistem P450. Hal ini mengakibatkan akumulasi sterol
squalene, yang bersifat toksik terhadap organisme yang ersangkutan. satu
tablet yang diberikan setiap hari selama 12 minggu dapat mencapai tingkat
kesembuhan hingga 90% untuk onychomycosis dan lebih efektif
dibandingkan griseofulvin atau itraconazole. efek yang tak diharapkan jarang
terjadi, sebagian besar terdiri atas gangguan gastrointestinal dan sakit
kepala. terbinafine tampaknya tidak mempengaruhi sistem P450 dan tidak
menunjukkan interaksi obat yang penting hingga saat ini.

TERAPI ANTIJAMUR TOPIKAL


NYSTATIN
Nystatin merupakan suatu makrolid (macrolide) poliene yang mirip dengan
amphotericin B dan mempunyai mekanisme kerja pembentukan-lubang
(pore) yang sama. obat ini terlalu toksik untuk pemberian secara parenteral
dan hanya digunakan topikal. Akhir-akhir ini sudah tersedia dalam bentuk
krim, salep, supositoria dan bentuk-bentuk lain untuk pemakaian pada kulit
dan membran mukus. Formulasi liposomal untuk pemberian secara sistemik
sedang dikembangkan di klinik. Nystatin tidak diserap hingga taraf tertentu
dari kulit, membran mukus, dan saluran gastrointestinal. Akibatnya, obat ini
hanya bersifat sedikit toksik, juga penggunaan oral seringkali dibatasi karena
rasanya yang tidak enak.
Nystatin aktif melawan sebagian besar spesies candida dan paling umum
digunakan untuk menekan infeksi-infeksi candidal lokal. Beberapa indikasi
umum meliputi guam oropharyngeal, vaginal candidiasis, dan infeksi-infeksi
intertriginous candidal.

AZOLE TOPIKAL
Dua azole yang paling umum digunakan akhir-akhir ini adalah clotrimazole
dan miconazole. keduanya tersedia bebas di pasaran dn sering digunakan
untuk candidiasis vulvovagina. Clotrimazole troches oral tersedia untuk
pengobatan sariawan dan merupakan alternatif pengganti nystatin yang
rasanya enak. dalam bentuk krim, kedua agen ini berguna untuk infeksi-
infeksi dematofitik, termasuk tinea korporis, tine pedis, dan tinea kruris.
penyerapan tidak diperhitungkan dan efek-efek yang tak diharapkan, jarang
terjadi.
Bentuk topikal dan sampo ketoconazole juga tesedia dan bermanfaan untuk
pengobatan dermatitis seboroik dan pityriasis versicolor. Beberapa azole lain
tersedia untuk penggunaan topikal (lihat preparat yang tersedia)

ALLYLAMINE TOPIKAL
Terbinafine dan naftitifine adalah allylamine yang tersedia dalam bentuk krim
topikal. Keduanya efektif untuk penanganan tinea kruris dan tinea korporis.
semuanya merupakan obat-obat dengan resep dokter di Amerika Serikat.

También podría gustarte