Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
PENDAHULUAN
Secara berkala, fungsi seksual wanita berada di bawah kendali hormon.
Tanda yang khas untuk suatu siklus haid adalah timbulnya perdarahan melalui
vagina setiap bulan pada seorang wanita. Perdarahan ini terjadi akibat rangsangan
hormonal secara siklik terhadap endometrium.1,2,3,4Amenorea adalah keadaan tidak
haid untuk sedikitnya 3 bulan berturut-turut. Ada yang membagi berdasarkan
amenorea fisiologik (prapubertas, hamil, laktasi, pasca menopause) dan amenorea
patologik (amenorea primer, amenorea sekunder) 1, dan ada yang menggolongkan
menjadi amenorea primer, amenorea sekunder dan menopause. Amenorea primer
menunjukkan suatu kelainan medis yang bermakna disebabkan oleh genetik,
anatomik, atau endokrin yang mempunyai prevalensi 1-2 % 2. Hal ini terjadi pada
usia 14 tahun dengan tidak adanya pertumbuhan tanda-tanda kelamin sekunder
(pertumbuhan payudara, rambut pubis dan rambut ketiak) atau pada usia 16 tahun
yang telah tampak tanda-tanda kelamin sekunder, atau tidak haid selama 3 tahun
setelah thelarche.1,2,
Penyebab tidak terjadinya haid dapat berupa gangguan di hipotalamus,
hipofisis, ovarium (folikel), uterus (endometrium), dan vagina. Amenorea primer
umumnya mempunyai sebab-sebab yang lebih berat dan lebih sulit untuk
diketahui, seperti kelainan-kelainan kongenital dan kelainan-kelainan genetik.
Istilah kriptomenorea menunjuk kepada keadaan dimana tidak tampak
adanya haid karena darah tidak keluar berhubung ada yang menghalangi, misalnya
pada ginatresia himenalis, penutupan kanalis servikalis, dan lain-lain.3,4
Usia gadis remaja pada waktu pertama kalinya mendapat haid
(menarche) bervariasi lebar, yaitu antara 10-16 tahun, tetapi rata-ratanya 12,5
tahun. Statistik menunjukkan bahwa usia menarche dipengaruhi faktor keturunan,
keadaan gizi, dan kesehatan umum.5
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1 Definisi
Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi
menstruasi pada wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karakteristik seksual
sekunder normal, atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan
karakteristik seksual sekunder. Amenorea primer menunjukkan suatu kelainan
medis yang bermakna disebabkan oleh genetik, anatomik, atau endokrin yang
mempunyai prevalensi 1-2 %. 2,5,6
2.2 Etiologi
Amenore primer biasanya disebabkan oleh adanya kelainan genetik atau
anatomi. Penyebab amenore primer termasuk disfungsi hipotalamus atau hipofisis
[misalnya, keterlambatan konstitusional, prolaktinoma, sindrom Kallman (cacat
hormon gonadotropin-releasing [GnRH] produksi dengan amenore primer dan
anosmia)], disgenesis gonad [misalnya, sindrom Turner (45, XO, lymphedema
pada saat lahir, leher berselaput, perawakan pendek, dada lebar perisai spasi
puting susu), 17-hidroksilase defisiensi XX (hipertensi, hipokalemia)], ovarium
gagal (misalnya, paparan terhadap agen virus, racun, radioaktif, atau kemoterapi),
ovarium polikistik sindrom (amenore, oligomenore, hirsutisme, obesitas, jerawat),
anomali kongenital pada vagina (misalnya, Rokitansky sindrom, sindrom
insensitivitas androgen, agenesis serviks, hipoplasia endometrium), kelainan
kongenital pada vagina (misalnya, agenesis, pembentukan septum, himen
imperforata ), disfungsi tiroid, hiperplasia adrenal (misalnya, 21-hidroksilase, 11bhidroksilase, 3b-hydroxycorticosteroid kekurangan dengan menarche tertunda,
oligomenore, dan hirsutisme).5,7
Penyebab amenore primer yang terbanyak adalah hipogonadisme
hipergonadotropik (48,5% dari kasus), hipogonadisme hipogonadotropik (27,8%),
dan eugonadism (keterlambatan pubertas dengan gonadotropin normal, 23,7%).
[16]8. Kategori hipogonadisme hipergonadotropik mencakup pasien dengan
kromosom seks yang abnormal (yaitu, sindrom Turner), yang merupakan 29,7%
2
dari semua kasus amenore primer, dan mereka dengan kromosom seks yang
normal. penyebab yg lain yaitu, Kelompok terakhir mencakup kedua pasien yang
46, XX (15,4%) dan mereka yang 46, XY (3,4%).5
Eugonadism mungkin hasil dari kelainan anatomi atau gangguan
interseks. Termasuk tidak adanya kelainan anatomi kongenital rahim dan vagina
(CAUV; 16,2%) dan serviks atresia (0,4%). Gangguan interseks termasuk
insensitivitas androgen (1,5%), 17-ketoreductase defisiensi (0,4%), dan umpan
balik yang tidak pantas (5,3%).5
Table Primary Amenorrhea: Frequency of Etiologies
Presentation
Frequency (%)
Hypergonadotropic hypogonadism
43
27
46,XX
14
46,XY
Eugonadism
30
Mllerian agenesis
15
Vaginal septum
Imperforate hymen
AIS
PCOS
CAH
27
Constitutional delay
14
GnRH deficiency
Pituitary disease
Sindrom Kallmann
B.
C.
etiologi
Kastrasi
kel. kromosom
Disgenesis gonad
non androgenic
-
45 xo ( s. turner )
androgenik
- 45x/ 46 xy
- 45x/ 46x ( yq )
- 45x (testicular determinant position )
D. Gangguan saluran rahim atau keluar - normal FSH, LH dan prolaktin, tidak ada
perdarahan setelah pemberian progesteron
Miillerii anomali
-
- Tidak adanya rahim pada seorang laki-laki perempuan, tapi genotip fenotip
(46, XY) - disebut testicular feminization - insensitivitas androgen
Pria pseudohermafrodit
2.3 Diagnosis
Evaluasi Amenorea
Gejala amenorea dijumpai pada penyakit-penyakit atau gangguangangguan yang bermacam-macam. Untuk menegakkan diagnosis yang tepat
berdasarkan etiologi, tidak jarang diperlukan pemeriksaan-pemeriksaan yang
beraneka ragam, rumit, dan mahal. Tidak semua fasilitas kesehatan mampu
melaksanakan semua pemeriksaan, dan hal itu tidak selalu perlu. Ada jenisjenis amenorea yang memerlukan pemeriksaan lengkap, akan tetapi ada juga
yang dapat ditetapkan diagnosisnya dengan pemeriksaan sederhana.
Anamnesis yang baik dan lengkap sangat penting. Pertama, harus
diketahui apakah amenorea itu primer atau sekunder. Selanjutnya, perlu
diketahui apakah ada hubungan antara amenorea dan faktor-faktor yang dapat
Jika
tingkat
FSH
rendah,
diagnosis
gangguan
hipotalamus/hipofisis.
2. Amenore primer - Rahim (+), Pengembangan Payudara Normal: Sebuah
kariotipe dilakukan. Jika kariotipe adalah XY, diagnosis sindrom
insensitivitas androgen (misalnya, testis feminisasi). Jika kariotipe adalah
XX, diagnosis adanya bawaan rahim.
3. Amenore primer Rahim (+), Pengembangan Payudara Normal: Tingkat
prolaktin serum ditentukan. Jika tingkat tinggi, lesi hipofisis (misalnya,
prolaktinoma) dicurigai dan kepala dihitung tomografi (CT) scan atau
pencitraan resonansi magnetik (MRI) scan diindikasikan. Jika tingkat
prolaktin adalah normal, perlu dilakukan pengujian progesteron :
-
Serum FSH
Serum LH
midcycle ovulatory
midcycle
state:
Prepubertal,
hypothalamic, or
pituitary dysfunction
Hypergonadotropic
state:
Postmenopausal,
Castrate,or
Ovarian failure
Speroff L, Glass RH, Kase NG
tersebut, dijabarkan dari latar belakang, pengujian fisik dan evaluasi kelenjar
endokrin lainnya seperti tiroid dan adrenalin, hal-hal tersebut semestinya tidak
digunakan untuk diagnosis sampai keseluruhan rangkanya lengkap.
Pengalaman telah menunjukkan diagnosis yang prematur seringkali
terjadi bias, meskipun kadang-kadang bisa tepat. Oleh karena itu perlu
dilakukan investigasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:
A. Langkah 1
Langkah awal dalam kerangka evaluasi penderita amenorea, dimulai dari
pengukuran hormon thyroid stimulating hormones (TSH), kadar prolaktin,
dan tes provokasi progesteron. Langkah awal untuk pasien galaktorea, tanpa
melupakan riwayat menstruasi, juga harus diperiksa TSH dan pengukuran
prolaktin serta perlu ditambahkan pemeriksaan rontgen dari sisi lateral pada
sella tursika.1
Hanya sedikit penderita dengan amenorea dan atau galaktorea menderita
hipotiroid yang tidak tampak secara klinis. Walaupun kelihatannya berlebihan
melakukan pemeriksaan kadar TSH untuk penderita yang hanya memberikan
hasil yang kurang berarti, karena pengobatan untuk hipotiroid sangat mudah
dan diperoleh hasil yang cepat dari siklus menstruasi. Jika terdapat galaktorea,
pengukuran TSH dianjurkan.1
Rangsangan yang konstan hormon RH dari hipotalamus akan
menyebabkan hipertrofi atau hiperplasia dari hipofisis. Pemeriksaan rontgen
menggambarkan tumor dapat dilihat (kelainan, ekspansi, atau erosi dari sella
tursika). Penderita dengan hipotiroid primer dan hiperprolaktinemia dapat
muncul dengan amenorea primer maupun amenorea sekunder.1
Tujuan dari uji progesteron adalah untuk menilai kadar estrogen
endogen dan kompetensi dari saluran genitalia. Uji progesteron yang
dilakukan oleh Davajan dkk adalah dengan menyuntikkan 100 mg progesteron
dalam larutan minyak atau medroksiprogesteron asetat (provera) 30 mg peroral
selama tiga hari. Respon pemberian progesteron dinilai 214 hari setelah
pemberian hormon tersebut dan diukur kadar LH serum. Speroff melakukan uji
progesteron dalam dua pilihan yaitu: pemberian progesteron secara parenteral
dalam larutan minyak (200 mg) atau secara oral dengan medroksiprogesteron
asetat 10 mg setiap hari selama lima hari.1
Dalam 27 hari setelah pemberian progesteron, pasien kemungkinan
terjadi perdarahan. Hal ini berarti bahwa sistem saluran pengeluaran berada
dalam batas normal dan adanya uterus yang endometriumnya reaktif terhadap
estrogen endogen. Dari hasil tersebut dapat ditetapkan adanya estrogen, fungsi
yang minimal pada ovarium, hipofisis, dan sistem syaraf pusat. Dengan tidak
adanya galaktorea, dengan kadar prolaktin yang normal, dan kadar TSH yang
normal, evaluasi selanjutnya tidak diperlukan.1
Terdapat dua situasi yang terjadi bersamaan dengan respon yang negatif
walaupun terdapat estrogen endogen yang cukup. Pada kedua situasi,
endometrium mengalami reaksi desidua, tetapi kemudian tidak terjadi
pelepasan mengikuti penghentian secara tiba-tiba dari pemberian progesteron
eksogen. Kondisi yang pertama terdapat reaksi desidua dari endometrium
sebagai respon adanya kadar androgen yang tinggi. Pada keadaan kedua
merupakan keadaan klinik yang tidak biasa, endometrium mengalami reaksi
desidua oleh karena kadar progesteron yang tinggi yang berhubungan dengan
kekurangan enzim adrenal spesifik.1
Tanpa adanya galaktorea dan jika level serum prolaktin normal (kurang
dari 20 pg/ml), evaluasi lanjutan untuk tumor hipofisis tidak perlu. Jika
prolaktin meningkat, evaluasi dari sella tursika sangat diperlukan. Dalam
kerangka ini, pernyataan berikut dapat dijadikan petunjuk praktis klinik:
pendarahan positif membutuhkan pengobatan progesteron, dan tanpa adanya
galaktorea serta kadar prolaktin yang normal dapat dijadikan petunjuk bahwa
kita dapat mengabaikan adanya tumor hipofisis.1Kenaikan sekresi prolaktin
menambah perhatian kita pada keadaan kelenjar hipofisis. Untuk menjadi
pertimbangan, perlu disampaikan bahwa terdapat laporan kasus dengan sekresi
ektopik dari lapisan hipofisis pada faring, karsinoma bronkus, karsinoma selsel renal, gonadoblastoma, pada seorang wanita dengan amenorea dan
hiperprolaktinemia serta ditemukan juga adanya prolaktinoma pada dinding
kista dermoid ovarium.1
B. Langkah 2
10
kavum
uteri,
atau
terdapat
kavum
uteri
tetapi
disertai
distensi
dari
hematokolpos,
hematometra,
atau
hematoperitoneum.
12
merupakan
indikasi
untuk
dilakukan
pemeriksaan
MRI.
diperlukan
kecuali
kalau
menimbulkan
masalah
seperti
androgen
komplit
(sindroma
feminisasi
testikuler)
15
dengan
kemungkinan
bahwa
pemberian
estrogen
teraba,
kadar
testoteron
wanita
normal
dan
kurangnya
dan
amenorea
C. Agenesis gonadal
Tidak terjadi komplikasi klinis yang terjadi bersama kegagalan gonad
pada keadaan agenesis ini. Keadaan ini disebut juga sindroma agenesis
gonad XY atau sindroma regresi testis embrionik. Pada sindroma yang
langka ini, genitalis eksterna sedikit meragukan, namun hampir
menyerupai bentuk wanita. Ditemukan hipoplasia labia, derajat tertentu
fusi labioskrotum, penis kecil mirip klitoris, dan muara uretra pada
perineum. Uterus, jaringan gonad, dan vagina tidak ditemukan. Pada usia
pubertas tidak terjadi perkembangan seksual, dan kadar gonadotropin
meningkat. Umumnya penderita diasuh sebagai wanita. Dalam kondisi
ini, jaringan testis dianggap telah aktif selama kehidupan janin sehingga
mampu menghambat perkembangan duktus mulleri, tetapi fungsi sel
leydig minimal. Tanpa informasi yang tepat, hanya dapat diperkirakan
saja apa yang menjadi penyebab tidak terjadinya perkembangan gonad
tersebut. Jadi harus diduga bahwa virus dan metabolik yang berpengaruh
pada awal kehamilan. Meskipun demikian hasil akhirnya berupa
hipergonadotropik hipogonadism yang tidak dapat diperbaiki kembali.
Bila fungsi gonad tidak ada, perkembangan adalah wanita.1
Pengangkatan gonadal streaks dengan pembedahan diperlukan untuk
menghindari kemungkinan terjadi neoplasia.
D. Sindroma ovarium resisten
18
Salah satu keadaan yang menarik dari faktor ovarium yang menimbulkan
gangguan haid ialah sindroma ovarium resisten gonadotropin, yang
dikenal pula dengan istilah sindroma ovarium insensitive atau ovarium
hiposensitif gonadotropin. Penyebab yang pasti dari kelainan ini belum
seluruhnya terungkap. Kini yang banyak diperbincangkan adalah adanya
gangguan pembentukan reseptor-reseptor gonadotropin di ovarium akibat
proses autoimun.3,10
Dugaan ke arah diagnosis dari sindroma ovarium resisten gonadotropin
ditegakkan baik secara klinis mau pun secara laboratoris dan
histopatologis. Secara klinis kelainan ini ditandai dengan sindroma yang
terdiri dari gangguan haid berupa oligomenorea sampai amenorea,
sedangkan
secara
laboratoris
dijumpai
hipergonadotropin
dan
terjadi
penderita
amenorea
disertai
peningkatan
kadar
gonadotropin;
dengan
demikian
induksi
ovulasi
dengan
BAB III
Penutup
3.1 Ringkasan
Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi menstruasi
pada wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik seksual sekunder
normal, atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya perkembangan karakteristik seksual
sekunder. Gangguan yang ada bisa terjadi pada kompartemen I (gangguan pada
uterus), kompartemen II (gangguan pada ovarium), kompartemen III (gangguan pada
hipofisis anterior) atau pada kompartemen IV (gangguan pada sistem syaraf pusat).
Penanganan terhadap amenorea primer disesuaikan dengan kelainan yang
terjadi. Kelainan yang diakibatkan oleh kelainan endokrinologik, maka diberikan
pengobatan yang berupa pemberian hormonal. Bila kelainan bersifat psikis, maka
pengobatan yang diberikan adalah mengeliminasi trauma psikis, bila perlu
bekerjasama dengan ahli jiwa. Sedangkan kelainan yang diakibatkan oleh kelainan
anatomik bisa diberikan dengan memperbaiki kelainan anatomis selama hal itu
dimungkinkan.
Daftar Pustaka
23