Está en la página 1de 9

ASKEP PENYAKIT SINDROM STEVEN JHONSON

steven+jhonson
A. Pengertian
Sindrom Steven Johnson ialah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, bisa
diikuti purpura yg mengenai kulit, selaput lendir yg orifisium & mata dgn kondisi umum
bervariasi dari baik hingga buruk (Mansjoer, A. 2000: 136).
Sindrom Steven Johnson ialah penyakit kulit akut & berat yg tersusun dari erupsi kulit,
kelainan

dimukosa

&

konjungtifitis

(Junadi,

1982:

480).

Sindrom Steven Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala-gejala


klinis erupsi mukokutaneus yg ditandai oleh trias kelainan pada kulit
vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata diikuti gejala-gejala umum
berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema
eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom mukokutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dgn pasti, namun beberapa faktor yg bisa dianggap sebagai
penyebab ialah:
1. Alergi obat secara sistemik (misalnya penisilin, analgetik, arti piuretik)
a.

Penisilline & semisentetiknya

b. Sthreptomicine
c.

Sulfonamida

d. Tetrasiklin
e.

Anti piretik / analgesik (derifat, salisil/pirazolon, metamizol, metampiron & paracetamol)

f.

Kloepromazin

g. Karbamazepin
h. Kirin Antipirin
i.

Tegretol

2. Infeksi mikroorganisme (bakteri, virus, jamur & parasit)


3. Neoplasma & faktor endokrin
4.

Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar-X)

5. Makanan
C.

Manifestasi

Klinis

Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Kondisi umumnya bervariasi dari
ringan hingga berat. Pada yg berat kesadarannya menurun, penderita bisa soporous hingga
koma. Mulainya penyakit akut bisa diikuti gejala-gejala prodromal berupa demam cukup
tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek & nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa:
1. Kelainan kulit
Kelainan kulit tersusun dari eritema, vesikel & bula. Vesikel & bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yg luas. Disamping 1tu bisa jg terjadi purpura. Pada bentuk
yg berat kelainannya generalisata.
2. Kelainan selaput lendir di orifisium
Kelainan selaput lendir yg tersering ialah pada mukosa mulut (100%) kemudian
disusul oleh kelainan dilubang alat genetal (50%) sedangkan dilubang hidung & anus jarang
(masing-masing 8% & 4%).
Kelainan berupa vesikel & bula yg cepat memecah sehingga menjadi erosi &
ekskoriasi & krusta kehitaman. Jg dlm terbentuk pseudomembran. Dibibir kelainan yg sering
tampak ialah krusta berwarna hitam yg tebal.

Kelainan dimukosas bisa jg terdapat difaring, traktus respiratorius bagian atas &
esopfagus. Stomatitis ini bisa menyebabkan penderita sukar tidak bisa menelan. Adanya
pseudomembran di faring bisa menyebabkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan mata
Kelainan mata merupakan 80% diantara semua kasus yg tersering ialah konjungtifitis
kataralis. Selain 1tu jg bisa berupa kongjungtifitis purulen, perdarahan, ulkus korena, iritis &
iridosiklitis.
Disamping trias kelainan tersebut bisa pula terdapat kelainan lain, misalnya: nefritis &
onikolisis.
Komplikasi :
Komplikasi yg tersering ialah bronkopneunomia yg didapati sejumlah 16 % diantara
seluruh kasus yg ada. Komplikasi yg lain ialah kehilangan cairan / darah, gangguan
keseimbangan elektrolit & syok. Pada mata bisa terjadi kebutaan oleh gangguan lakrimasi.

D. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, disangka diakibatkan oleh reaksi alergi
tipe III & IV. Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigenantibody yg membentuk mikro presitipasi sehingga terjadi aktivasi neutrofil
yg kemudian melepaskan lysozim & menyebabkan kerusakan jaringan &
organ sasaran (target organ). Reaksi tipe IV terjadi akibat lysozim T yg
tersensitisasi berkontrak kembali dgn antigen yg sama kemudian lysozim
dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang.
Patogenesisnya belum jelas, disangka diakibatkan oleh
reaksi hipersensitif tipe III & IV. Reaksi tipe III terjadi akibat
terbentuknya komplek antigen antibodi yg membentuk mikropresitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen. Hasilnya
terjadi akumulasi neutrofil yg kemudian melepaskan lisozim &
menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target
organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yg
tersintesisasi berkontak kembali dgn antigen yg sama kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda,
2000: 147) .

Reaksi Hipersensitif tipe III

Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yg bersirkulasi dlm darah
mengendap didalam pembuluh darah / jaringan sisi hilir. Antibodi tidak
ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dlm jaringan
kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing bisa melekat ke jaringan
menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut.
Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen & degranulasi sel mast sehingga
terjadi kerusakan jaringan / kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.
Neutrofil tertarik ke daerah tersebut & mulai memfagositosis sel-sel yg
rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa
sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
Reaksi Hipersensitif Tipe IV

Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T


penghasil Limfokin / sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi
penghancuran sel-sel yg bersangkutan. Reaksi yg diperantarai oleh sel ini
bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam hingga 27 jam untuk terbentuknya.
E. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Bila kondisi umum baik & lesi tidak menyeluruh cukup diobati dgn prednisone 30-40 mg
sehari. Namun bila kondisi umumnya buruk & lesi menyeluruh harus diobati secara tepat &
cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving & diberdayakan deksametason
intravena dgn dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dlm beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera
dirawat & diberikan deksametason 65 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, kondisi
umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason
intravena diganti dgn tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yg diberikan keesokan
harinya dgn dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian
obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na &
Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x
500 mg/hari & diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk menangani efek katabolik
dari kortikosteroid diberikan diet cukup tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat &

nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat
badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yg bisa menyebabkan
kematian, bisa diberi antibiotic yg jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas & bersifat
bakteriosidal misalnya gentamisin dgn dosis 2 x 80 mg.
Infus & tranfusi darah. Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit & nutrisi penting
oleh pasien sukar / tidak bisa menelan akibat lesi dimulut & tenggorokan serta kesadaran bisa
menurun. Untuk 1tu bisa diberikan infus misalnya glukosa 5 % & larutan Darrow. Bila terapi
tidak memberi perbaikan dlm 2-3 hari, maka bisa diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc
selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yg diikuti purpura yg luas. Pada kasus dgn
purpura yg luas bisa pula ditambahkan vitamin C 500 mg / 1000 mg intravena sehari &
hemostatik.
3. Topikal :
Terapi topical untuk lesi di mulut bisa berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit
yg erosif bisa diberikan sufratulle / krim sulfadiazine perak.

F. Pathway
o Alergi obat2an, infeksi mikroorganisme, neoplasma & faktor endokrin, faktor fisik & makanan
Reaksi alergi tipe III
o Terbentuknya kompleks antigen & antibody
o Terpangkap dlm jaringan kapiler
o Mengaktifkan komplemen & degranulasi sel mast
o Kerusakan jaringan kapiler/organ
o Akumulasi neutrofil
o Reaksi alergi tipe IV
o Sel tak aktif, kontak
o kembali dgn antigen
o Melepas limfosit & sitotoksin
o Reaksi radang
o Kelainan kulit & eritema
o Inflamasi dermal & epidermal
o Gangguan integritas kulit

o Nyeri
o Kelainan selaput
o lendir dari ofisiun
o Kesulitan menelan
o Intake in adekuat
o Kelemahan fisik
o Nutrisi dari kebutuhan
o Gangguan intoleransi aktivitas
o Mata Konjungtifitis
o G3 Persepsi sensori: penglihatan (Sumber pathway Corwin, Elizabeth. J. 2001. Buku Saku
Patofisiologi. Jakarta: EGC)
G. Intervensi
1. Gangguan integritas kulit b.d. inflamasi dermal & epidermal
KH: menunjukkan kulit & jaringan kulit yg utuh
Intervensi:
a. Observasi kulit setiap hari catat turgor sirkulasi & sensori serta perubahan lainnya yg
terjadi.
Rasional: menentukan garis dasar dimana perubahan pada status bisa dibandingkan &
melakukan intervensi yg tepat
b. Gunakan pakaian tipis & alat tenun yg lembut
Rasional: menurunkan iritasi garis jahitan & tekanan dari baju, membiarkan insisi terbuka
terhadap udara meningkat proses penyembuhan & menurunkan resiko infeksi
c. Jaga kebersihan alat tenun
Rasional: untuk mencegah infeksi
d. Kolaborasi dgn tim medis
Rasional: untuk mencegah infeksi lebih lanjut

2. Gangguan nutrisi minus dari kebutuhan tubuh b.d. kesulitan menelan


KH: menunjukkan berat badan stabil/peningkatan berat badan

Intervensi:
a. Kaji kebiasaan makanan yg disukai/tidak disukai
Rasional: memberikan pasien/manusia terdekat rasa kontrol, meningkatkan partisipasi dlm
perawatan & bisa memperbaiki pemasukan
b. Berikan makanan dlm porsi sedikit tapi sering
Rasional: membantu mencegah distensi gaster/ketidak nyamanan
c. Hidangkan makanan dlm kondisi hangat
Rasional: meningkatkan nafsu makan
d. Kerjasama dgn ahli gizi
Rasional: kalori protein & vitamin untuk memenuhi peningkatan kebutuhan metabolik,
mempertahankan berat badan & mendorong regenerasi jaringan.
3. Gangguan rasa nyaman, nyeri b.d. inflamasi pada kulit
KH:
a. Melaporkan nyeri berkurang
b. Menunjukkan ekspresi wajah/postur tubuh rileks
Intervensi:
a. Kaji keluhan nyeri, perhatikan lokasi & intensitasnya
Rasional: nyeri hampir selalu ada pada beberapa tingkat beratnya keterlibatan jaringan
b. Berikan tindakan kenyamanan dasar ex: pijatan pada area yg sakit
Rasional: meningkatkan relaksasi, menurunkan tegangan otot & kelelahan umum
c. Pantau TTV
Rasional: metode IV sering diberdayakan pada awal untuk memaksimalkan efek obat
d. Berikan analgetik sesuai indikasi
Rasional: menghilangkan rasa nyeri
4. Gangguan intoleransi aktivitas b.d. kelemahan fisik
KH: klien melaporkan peningkatan toleransi aktivitas

Intervensi:
a. Kaji respon individu terhadap aktivitas
Rasional: mengetahui tingkat kemampuan individu dlm pemenuhan aktivitas sehari-hari.
b. Bantu klien dlm memenuhi aktivitas sehari-hari dgn tingkat keterbatasan yg dimiliki klien
Rasional: energi yg dikeluarkan lebih optimal
c. Jelaskan pentingnya pembatasan energy
Rasional: energi penting untuk membantu proses metabolisme tubuh
d. Libatkan keluarga dlm pemenuhan aktivitas klien
Rasional: klien mendapat dukungan psikologi dari keluarga
5. G3 Persepsi sensori: minus penglihatan b.d konjungtifitis
KH :
Kooperatif dlm tindakan
Menyadari hilangnya pengelihatan secara permanen
Intervensi:
a. Kaji & catat ketajaman pengelihatan
Rasional: Menetukan kemampuan visual
b.Kaji deskripsi fungsional apa yg bisa dilihat/tidak.
Rasional: Memberikan keakuratan thd pengelihatan & perawatan.
c.Sesuaikan lingkungan dgn kemampuan pengelihatan:
Rasional: Meningkatkan self care & mengurangi ketergantungan.
d. Orientasikan thd lingkungan.
-Letakan

alat-alat

yg

sering

dipakai

-Berikan pencahayaan yg cukup.


-Letakan alat-alat ditempat yg tetap.
-Berikan bahan-bahan bacaan dgn tulisan yg besar.
-Hindari pencahayaan yg menyilaukan.
-Gunakan jam yg ada bunyinya.

dlm

jangkuan

pengelihatan

klien.

e. Kaji jumlah & tipe rangsangan yg bisa diterima klien.


Rasional: Meningkatkan rangsangan pada waktu kemampuan pengelihatan menurun.

H. Implementasi
Berlandaskan Intervensi
I.

Evaluasi
Berlandaskan kriteria hasil
DAFTAR PUSTAKA
Corwin,
Doenges.

Elizabeth.
2000.

J.
Rencana

2001.

Buku

Asuhan

Saku

Keperawatan

Patofisiologi.
Edisi

3.

Jakarta:

EGC.

Jakarta:

EGC.

Hamzah, Mochtar. 2005. Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Price & Wilson. 1991. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Tim Penyusun. 1982. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius.
Tim Penyusun. 2000. Kapita Selekta Kedokteran 2. Jakarta: Media Aesculapius.

También podría gustarte