Está en la página 1de 4

BAB 07.

HUKUM SYARA
Aktivitas manusia banyak, sementara seruan Allah SWT tidak rinci
Bagaimana kita tahu dalilnya? Perlu aktivitas ijtihad
Hukum syara (syariat):
Seruan as-Syari (pembuat hukum = Allah SWT) yang berhubungan dengan perbuatan
hamba.
Seluruh perbuatan manusia harus berpedoman pada hukum syara

Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah
mereka kerjakan dahulu. (TQS. al-Hijr [15]: 92-93)

Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Quran,
dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu
.diwaktu kamu melakukannya
(TQS. Yunus [10]: 61)
:Rasulullah SAW bersabda

Barangsiapa yang membuat-buat sesuatu (perkara) baru dalam urusan kami ini, maka
(perkara) tersebut tertolak. (HR. Bukhari & Muslim)
Hukum syara dipahami melalui proses ijtihad yang benar. Jadi, ijtihad bisa memunculkan
hukum syara.
TSUBUT
(Sumber)
DALALAH
(Penunjukkan makna)
QATHIY: bermakna
satu

DZANNI: bermakna
ganda

QATHIY: pasti
Al-Quran & Hadist Mutawatir

DZANNI: dugaan kuat


Selain hadist mutawatir

(1) Hukum syara: bersifat


(3) Hukum syara: bersifat dzanni
qathiy
Ranah ijtihad, boleh berbeda
Bukan ranah ijtihad, tidak boleh pendapat
berbeda pendapat
(2) Hukum syara: bersifat
(4) Hukum syara: bersifat dzanni
dzanni
Ranah ijtihad, boleh berbeda
Ranah ijtihad, boleh berbeda
pendapat
pendapat

CONTOH (1): Tsubut Qathiy, Dalalah Qathiy


A. Jumlah rakaat shalat fardlu
Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al Baihaqi meriwayatkan dari Aisyah, bahwasanya ia
berkata:
(Sebelum hijrah) shalat difardlukan (hanya) dua rakaat. Ketika Nabi saw. tiba di
Madinah dan beliau menetap (di sana) shalat pada waktu sedang berada di tempat
ditambah dua rakaat-dua rakaat, namun shalat Fajar (Shubuh) dibiarkan (tetap dua
rakaat) mengingat bacaannya panjang dan shalat Maghrib
(hanya tiga) karena
Maghrib merupakan persimpangan siang.
Jumlah bilangan rakaat shalat fardu sebanyak itu diperkuat lagi oleh ijma
(konsensus) para sahabat yang dapat kita telusuri secara mutawatir. (Syaikh Ali
Raghib, Ahkamus Sholat)
B. Keharaman riba

"Orang-orang yang memakan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang-orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat)
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhan- nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datangnya larangan) dan urusannya (terserah)
kepada Allah. Orang-orang yang meng- ulangi (mengambil riba) maka mereka itu
adalah penghuni-penghuni neraka. Mereka kekal di dalam- nya."
(QS. Al Baqarah : 275)
C. Hukuman potongan tangan bagi pencuri





Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah tangan keduanya. (QS alMidah [5]: 38)

D. Hukuman jilid bagi pezina ghairu muhshan

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus kali dera (QS an-Nr [24]: 2)
CONTOH (2): Tsubut Qathiy, Dalalah Dzanni
A. Mekanisme pemungutan jizyah
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari
kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah di-haramkan oleh Allah
dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah) yaitu
orang-orang yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah
dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk (hina dina)." (QS At-Taubah:
29).
Perbedaan pendapat:
Mazhab Hanafi mensyaratkan penggunaan istilah jizyah; sehingga ketika
memberikannya harus tampak jelas kehinaan bagi pembayarnya.
Mazhab Syafi'i membenarkan mengambilnya dengan sebutan zakat mudla'afah
(zakat berlipat ganda), tidak perlu menampakkan kehinaan, melainkan cukup tunduk
saja terhadap hukum-hukum Islam.
B. Dalil batalnya wudhu saat menyentuh wanita

atau jika kalian menyentuh wanita sedang kalian tidak menjumpai air maka
bertayammumlah.
(TQS. An Nisaa [4]: 43).
Perbedaan pendapat:
Kelompok pertama: makna laamas tum adalah jaama tum (kalian bersetubuh). Mereka
lebih cenderung mengambil makna kiasan (al mana al majaaziy) untuk lafazh tersebut.
laki-laki yang menyentuh wanita dengan tangannya tidak membatalkan wudhunya.
Kelompok kedua: makna laamas tum adalah masas tum bi al-yad (kalian menyentuh
dengan tangan). jika seorang laki-laki menyentuh wanita dengan tangannya maka
akan membatalkan wudhunya.

C. Masa Iddah




Istri-istri yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. (QS. AlBaqarah: 228)
Kata quru adalah lafaz musytarak (mempunyai arti lebih dari satu) yang bisa berarti
suci atau haid. Sebagian ulama Hijaz berpendapat bahwa iddahnya wanita yang ditalak
adalah 3 kali suci. Sedangkan ulama-ulama Irak berpendapat bahwa iddah wanita yang
ditalak adalah tiga kali haid.
Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar)
memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga, maka
baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat Nabi yg lain, memandang bahwa dengan
datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya (meskipun belum
mandi).
CONTOH (3): Tsubut Dzanni, Dalalah Qathiy
Puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal

Dari Abi Ayub al-Ansari radiallahu anhu: Bahwa Rasulullah bersabda: Barangsiapa berpuasa
Ramadhan kemudian diikuti puasa enam hari di bulan Syawal, pahalanya seperti puasa
setahun. (HR Muslim (1164). Ibn Majah (1612/1716).
CONTOH (4): Tsubut Dzanni, Dalalah Dzanni
Larangan menyewakan lahan pertanian
Akad menyewakan lahan pertanian (tajir al-ardh) dalam fikih disebut dengan istilah
Muzaraah atau Mukhabarah. Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh-tidaknya akad
tersebut. Namun, pendapat yang rajih (kuat) adalah yang mengharamkannya (Pen-tarjih-an
dalil yang rinci dapat dilihat dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur, II/46-63).
Dalam hadis sahih riwayat Imam Muslim disebutkan:

Rasulullah saw. telah melarang untuk mengambil upah atau bagi hasil dari lahan pertanian
(HR Muslim).

Hadis ini dengan jelas mengharamkan akad menyewakan lahan pertanian secara mutlak, baik
tanah Usyriyah maupun tanah Kharajiyah, baik tanah itu disewakan dengan imbalan uang,
imbalan barang, atau dengan cara bagi hasil (Jawa: maro) (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah
al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 68).
Dengan demikian, ijtihad mempunyai kemungkinan besar dan salah, karena ia adalah usaha
untuk menentukan hukum syara yang bersifat dzanni. Nabi SAW bersabda:

Apabila seorang hakim memutuskan perkara, kemudian berijtihad dan benar, maka ia
mendapatkan dua pahala. Dan apabila ia berijtihad dan salah, maka ia mendapatkan satu

pahala. (HR. Ahmad, Bukhri, Muslim, Ab Dwud, At-Tirmdzi, An-Nasi, Ibn


Mjah dari Ab Hurayrah)

También podría gustarte