Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Interior Masjid Kordoba atau mezquita, peninggalan dari Al-Andalus yang kini dijadikankatedral Katolik
Roma.
Spanyol Prasejarah
Spanyol Romawi
Spanyol Abad Pertengahan
- Bangsa Visigoth
- Al-Andalus
- Penaklukan Kembali
Zaman Ekspansi
Zaman Pencerahan
Reaksi dan Revolusi
Republik Spanyol Pertama
Restorasi
Republik Spanyol Kedua
Perang Saudara Spanyol
Pemerintahan Diktatur
Transisi menuju demokrasi
Spanyol modern
Topik
Sejarah Ekonomi
Sejarah Militer
Sejarah Sosial
Bagian dari seri tentang
Sejarah Portugal
Kuno[tampilkan]
Zaman Pertengahan[tampilkan]
Afonsine[tampilkan]
Era Imperium[tampilkan]
Braganza[tampilkan]
Republik Pertama[tampilkan]
Republik Kedua[tampilkan]
Republik Ketiga[tampilkan]
Topik[tampilkan]
Wilayah[tampilkan]
Garis waktu
Portal Portugal
2Sejarah
o
2.5Keamiran Granada
3Masyarakat
3.1Muslim dan Non-Muslim di Al-Andalus
4Kebudayaan
4.1Filosofi
4.2Kedokteran
4.3Ilmu pengetahuan
4.4Keagamaan
4.6Arsitektur
4.6.1Kordoba
4.6.2Granada
5Faktor pendukung kemajuan dan kemunduran
7Referensi
8Bacaan lanjutan
9Pranala luar
| sunting sumber]
Asal kata al-andalus masih belum disetujui para ahli bahasa dan sejarawan.
Etimologi dari nama Al-Andalus belum diketahui secara pasti. Nama ini digunakan untuk merujuk
kepada semenanjung Iberia atau daerah Selatan Iberia yang dikuasai umat Islam, dan bukti
paling awal dari nama ini adalah pada koin yang dicetak oleh pemerintah Islam di Iberia sekitar
715 (tahun pencetakan juga tidak pasti karena koin dituliskan dalam Latin dan Arab, dan
keduanya memberikan tahun yang berbeda).[3] Terdapat setidaknya tiga teori etimologi yang
pernah diusulkan oleh para ilmuwan Barat, semuanya menganggap bahwa nama ini berasal dari
zaman kekuasaan Romawi di Semenanjung Iberia.
Teori pertama adalah nama tersebut berasal dari Vandal, suku Jerman yang menguasai
sebagian Iberia selama 407-429. Salah satu ilmuwan yang menerima teori ini adalah Reinhart P.
Dozy, sejarawan abad ke-19.[4] Teori kedua adalah berasal dari Arabisasi kata "Atlantik".
Pendukung teori ini adalah sejarawan Spanyol Vallv.[5] Teori ketiga yang diajukan oleh Halm
(1989)[6] adalah bahwa nama ini berawal dari nama yang diberikan suku Visigoth yang berkuasa
di Iberia pada abad ke-5 hingga 9. Dalam bahasa Latin, Iberia Visigoth disebut Gothica
Sors (tanah undian Goth). Halm memprediksikan bahwa dalam bahasa Gothic "tanah undian"
mungkin disebut *landahlauts, dan ia menyarankan dari sinilah asal nama Al-Andalus berasal.
Ketiga teori ini semuanya tidak memiliki bukti historis, sehingga dapat dikatakan amat lemah.
Pelopor dan pembela dari ketiga teori ini semuanya adalah sejarawan. Namun belakangan, ahli
bahasa telah diikutsertakan dalam diskusi ini. Argumen-argumen dari ilmu sejarah, linguistik dan
toponimi (ilmu yang mempelajari nama daerah), selanjutnya menunjukkan kelemahan semua
teori diatas, dan bahwa nama Al-Andalus ternyata berasal dari masa Romawi. [7]
Sejarah[sunting
| sunting sumber]
Sejarah panjang yang dilalui umat Islam di Iberia dapat dibagi menjadi enam periode, dimana
tiap periode mempunyai corak pemerintahan dan dinamika masyarakat tersendiri. Sejak pertama
kali menginjakkan kaki di tanah Spanyol hingga jatuhnya pemerintahan Islam terakhir di sana,
Islam memainkan peranan yang sangat besar.
Pada tahun 740-an, terjadi perang saudara yang menyebabkan melemahnya kekuasaan
khalifah. Pada 746, Yusuf Al-Fihri memenangkan perang saudara tersebut, menjadi seorang
penguasa yang tidak terikat kepada pemerintahan di Damaskus.
Karena seringnya terjadi konflik internal dan berperang menghadapi musuh dari luar, maka
dalam periode ini kaum Muslimin di Al-Andalus belum memasuki kegiatan pembangunan di
bidang peradaban dan kebudayaan.
Namun, menurut Ahmad Thomson, pertikaian itu hanya terjadi di kalangan elit politik.
Masyarakat Muslim di Andalusia secara umum hidup dalam ketenteraman dan kebaikan. Mereka
hidup dengan berusaha mencontoh inspirasi dari sahabat Nabi, juga menerapkan AlQuran dan Sunnah semampu mereka. Misalnya, pada masa itu, orang Muslim berbondongbondong belajar agama kepada para syaikh dan Ulama, begitu pula masyarakat Andalusia.
Mereka mengirim seseorang yang bernama Yahya bin Yahya Al-Laythiuntuk belajar kepada
Imam Malik bin Anas. Di kemudian hari, ia menjadi Imam Madzhab Maliki. [8]
Pada 750, bani Abbasiyah menjatuhkan pemerintahan Umayyah di Damaskus, dan merebut
kekuasaan atas daerah-daerah Arabia. Namun pada 756, pangeran Umayyah di
pengasingan Abdurrahman I (Ad-Dakhil) melengserkan Yusuf Al-Fihri, dan menjadi penguasa
Kordoba dengan gelar Amir Kordoba. Abdurrahman menolak untuk tunduk kepada kekhalifahan
Abbasiyah yang baru terbentuk, karena pasukan Abbasiyah telah membunuh sebagian besar
keluarganya. Ia memerintah selama 30 tahun, namun memiliki kekuasaan yang lemah di AlAndalus dan ia berusaha menekan perlawanan dari pendukung Al-Fihri maupun khalifah
Abbasiyah.
Selama satu setengah abad berikutnya, keturunannya menggantikannya sebagai Amir Kordoba,
yang memiliki kekuasaan tertulis atas seluruh Al-Andalus bahkan kadang-kadang meliputi Afrika
Utara bagian barat. Pada kenyataannya, kekuasaan Amir Kordoba, terutama di daerah yang
berbatasan dengan kaum Kristen, sering mengalami naik-turun tergantung kecakapan dari sang
Amir yang sedang berkuasa. Amir Abdullah bin Muhammad bahkan hanya memiliki kekuasaan
atas Kordoba saja.
Pada pertengahan abad ke-9, stabilitas negara terganggu dengan munculnya gerakan Kristen
fanatik yang mencari kemartiran. Namun, Gereja Kristen lainnya di seluruh Al-Andalus tidak
menaruh simpati pada gerakan itu, karena pemerintah Islam mengembangkan kebebasan
beragama. Penduduk Kristen diperbolehkan memiliki pengadilan sendiri berdasarkan hukum
Kristen. Peribadatan tidak dihalangi. Lebih dari itu, mereka diizinkan mendirikan gereja baru,
biara, di samping asrama rahib atau lainnya. Mereka juga tidak dihalangi bekerja sebagai
pegawai pemerintahan atau menjadi karyawan pada instansi militer.
Gangguan politik yang paling serius pada periode ini datang dari umat Islam sendiri. Golongan
pemberontak di Thulaithulah pada tahun 852 membentuk negara kota yang berlangsung selama
80 tahun. Di samping itu sejumlah orang yang tak puas membangkitkan revolusi. Yang
terpenting di antaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh'Umar bin Hafshun dan
anaknya yang berpusat di pegunungan dekat Malaqah. Sementara itu, perselisihan antara
orang-orang Berber dan orang-orang Arab masih sering terjadi.
Cucu Abdullah, Abdurrahman III, menggantikannya pada 912, dan dengan cepat
mengembalikan kekuasaan Umayyah atas Al-Andalus dan bahkan Afrika Utara bagian barat.
Pada 929 ia mengangkat dirinya sebagai Khalifah, sehingga keamiran ini sekarang memiliki
kedudukan setara dengan kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dan kekhalifahanSyi'ah di Tunis.
Periode kekhalifahan ini dianggap oleh para penulis Muslim sebagai masa keemasan AlAndalus. Hasil panen yang diperoleh melalui irigasi serta bahan makanan yang diimpor
dari Timur Tengah mencukupi untuk penduduk Kordoba dan kota-kota lainnya di Al-Andalus,
dengan sektor ekonomi pertanian paling maju di Eropa. Kordoba dibawah kekhalifahan ini
memiliki populasi sekitar 500.000, mengalahkan Konstantinopel sebagai kota terbesar dalam hal
jumlah maupun kemakmuran penduduk di Eropa.[9] Dalam dunia Islam, Kordoba merupakan
salah satu pusat budaya yang maju. Karya-karya ilmuwan dan filsuf Al-Andalus, seperti Abul
Qasim dan Ibnu Rusyd memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan intelektual di Eropa zaman
pertengahan.
Orang-orang Muslim dan non-Muslim sering datang dari luar negeri untuk belajar di
berbagai perpustakaan dan universitas terkenal di Al-Andalus. Yang paling terkenal
adalahMichael Scot, yang menerjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan Al-Bitruji dan
membawanya ke Italia. Karya-karya ini kemudian memiliki dampak penting dalam
berawalnya Renaisans di Eropa.[10][11]
Kekhalifahan Kordoba mengalami kejatuhan dalam perang saudara antara 1009 hingga 1013,
dan akhirnya dihapuskan pada 1031. Al-Andalus kini terpecah menjadi banyak kerajaan kecil,
yang disebut taifa. Pada periode ini, umat Islam di Al-Andalus kembali memasuki masa
pertikaian intern. Ironisnya, kalau terjadi perang saudara, ada di antara pihak-pihak yang bertikai
itu yang meminta bantuan kepada raja-raja Kristen. Melihat kelemahan dan kekacauan yang
menimpa keadaan politik Islam itu, untuk pertama kalinya orang-orang Kristen pada periode ini
mulai mengambil inisiatif penyerangan. Meskipun kehidupan politik tidak stabil, namun
kehidupan intelektual terus berkembang pada periode ini. Istana-istana mendorong para sarjana
dan sastrawan untuk mendapatkan perlindungan dari satu istana ke istana lain.
Taifa-taifa ini pada umumnya amat lemah sehingga tidak dapat mempertahankan diri
menghadapi serangan-serangan dan permintaan upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen di daerah
utara dan barat, antara lain Kerajaan Navarre, Len, Portugal, Kastilia dan Aragon,
serta Barcelona. Akhirnya serangan-serangan ini berubah menjadi penaklukan, sehingga taifataifa di Al-Andalus meminta bantuan dari Bani Murabithun yang berhaluan Islam fundamental di
Afrika Utara. Orang-orang Murabitun mengalahkan raja KastiliaAlfonso VI, dalam Pertempuran
Zallqah dan Pertempuran Ucls, dan akhirnya menguasai Al-Andalus.
Sebuah halaman Al-Qur'an dengan penulisan yang dikembangkan di Al-Andalus, abad ke-12.
Muhammad XII dari Granada menyerah kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella.
Pada 1086, pemimpin Murabitun di Maroko Yusuf bin Tasyfin diundang oleh para bangsawan
Muslim di Iberia untuk mempertahankan Iberia dari Alfonso VI, raja Kastilia dan Len. Pada
tahun itu juga Yusuf menyeberangi selat Gibraltar menuju Algeciras, dan mengalahkan kaum
Kristen dengan telak dalam pertempuran Zallqah. Pada 1094, Yusuf bin Tasyfin menghapuskan
kekuasaan dari semua penguasa-penguasa kecil Islam di Iberia, dan mengambil alih semua
daerah mereka, kecuali Saraqusthah, yang pada akhirnya jatuh ke tangan Aragon pada
tahun 1118. Ia juga merebut Valencia dari tangan umat Kristen.
Pada tahun 1143, kekuasaan Murabithun ini berakhir, baik di Afrika Utara maupun
di Spanyol dan digantikan oleh Muwahidun. DiSpanyol sendiri, sepeninggal Murabithun, pada
mulanya muncul kembali taifa-taifa kecil, tapi hanya berlangsung tiga tahun. Pada tahun1146,
penguasa Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut daerah ini. Penguasa Muwahidun
memindahkan ibukota Al-Andalus ke Sevilla pada 1170, dan mengalahkan raja Kastilia Alfonso
VIII dalam Pertempuran Alarcos (1195).
Untuk jangka beberapa dekade, daulah ini mengalami banyak kemajuan. Kekuatan-kekuatan
Kristen dapat dipukul mundur. Akan tetapi tidak lama setelah itu, Muwahhidun mengalami
keambrukan. Pada 1212 gabungan Kerajaan Kristen Kastilia, Navarra, Aragon,
danPortugal mengalahkan kaum Muwahidun pada Pertempuran Las Navas de Tolosa, dan
memaksa sultan Muwahidun meninggalkan Iberia. Umat Islam di Iberia kembali terpecah dalam
taifa-taifa yang lemah, dan dengan cepat ditaklukkan oleh Portugal, Kastilia dan Aragon. Setelah
jatuhnya Murcia (1243) dan Algarve (1249), hanya Keamiran Granada yang dipimpin Banu
Nashri-lah negara Islam yang tersisa, namun hanya sebagai negara bawahan yang membayar
upeti kepada Kerajaan Kastilia. Upeti ini berupa emas dari daerah yang sekarang
bernama Mali dan Burkina Faso, yang dibawa melalui jalur perdagangan di Gurun Sahara.
Pada abad ke-14, Banu Marin di Maroko mengalami kemajuan dan mengancam kerajaankerajaan Kristen di Iberia. Banu Marin kemudian mengambil alih Granada dan menduduki kotakotanya, seperti Algeciras. Namun, mereka gagal merebut Tarifa, yang bertahan dari serangan
Banu Marin hingga kedatangan Tentara Kastilia pimpinan Raja Alfonso XI. Alfonso XI,
dibantu Afonso IV dari Portugal danPedro IV dari Aragon, mengalahkan Banu Marin
pada Pertempuran Rio Salado (1340) dan merebut Al-Jaziratul Khadhra' (1344). Alfonso XI
juga mengepung Gibraltar, yang saat itu dikuasai Granada, selama 1349-1350, namun Alfonso
XI dan sebagian besar pasukannya dibinasakan oleh wabah Kematian Hitam pada tahun 1350.
[12]
Penggantinya, Pedro dari Kastilia (Si Kejam), memutuskan berdamai dengan umat Islam dan
berperang melawan kerajaan-kerajaan Kristen yang lain. [13] Peristiwa ini menandai dimulainya
150 tahun pemberontakan dan perang saudara umat Kristen di Eropa, yang mengamankan
keberadaan Granada.
Masyarakat[sunting
| sunting sumber]
Sebuah lukisan yang menggambarkan tentara Yahudi betempur bersama pasukan Sultan
GranadaMuhammad IX dari Banu Nasri, dalam Pertempuran Higuerela, 1431.
Masyarakat Al-Andalus terdiri dari tiga kelompok utama berdasarkan agama: Muslim, Kristen,
dan Yahudi. Dalam tiap-tiap kota, komunitas-komunitas ini tinggal di daerah yang berbeda. Umat
Islam sendiri, walaupun disatukan oleh agama yang sama, kadang terbagi-bagi menurut etnis,
terutama perbedaan antara orang Arab dan orang Berber. Orang-orang Arab tinggal di bagian
selatan dan di Lembah Ebro di timur laut, sedangkan orang-orang Berber tinggal di daerah
pegunungan yang sekarang berada di utara Portugal, dan di Meseta
Central. Muzarab (atau Mozarab/Musta'rib) adalah orang Kristen yang hidup dalam kekuasaan
Islam di Al-Andalus dan mengikuti banyak adat, kesenian, dan kata-kata dari bahasa Arab,
namun masih memelihara tradisi dan ibadah Kristen mereka dan bahasa turunan Latin yang
mereka miliki, disebut Bahasa Muzarab.
Orang-orang Yahudi biasanya bekerja sebagai pedagang, pemungut pajak, dokter atau duta
besar. Pada akhir abad ke-15terdapat sekitar 50.000 Yahudi di Granada dan 100.000 di seluruh
Al-Andalus.[14]
Mara Rosa Menocal, spesialis sastra Iberia di Universitas Yale, berpendapat bahwa "toleransi
merupakan aspek melekat pada masyarakat Andalus". [16] Dalam bukunya The Ornament of the
World (2003), Menocal berpendapat bahwa sebagai dzimmi, agama minoritas di Al-Andalus
diberikan hak yang lebih terbatas daripada umat Muslim, namun masih lebih baik daripada di
daerah Eropa yang dikuasai Kristen. Orang-orang Yahudi dan sekte-sekte Kristen yang dianggap
terlarang datang dari seluruh Eropa ke Al-Andalus, tempat mereka menerimatoleransi.
Bernard Lewis memiliki pandangan yang berbeda, dan berpendapat bahwa "klaim toleransi yang
sekarang banyak didengar dari apologis Muslim, dan khususnya apologis untuk Islam,
merupakan hal baru dan tidak diketahui asal-usulnya." [17] Lewis menolak bahwa Muslim dan nonMuslim diberikan perlakuan sama pada masa lalu. Ia juga mengatakan "bagaimana mungkin
orang yang memeluk agama yang benar dan orang yang menolaknya dipelakukan sama? Ini
merupakan hal yang mustahil secara teologi maupun logika"[17]
Naik turunnya kekuasaan Islam[sunting | sunting sumber]
Penguasa Al-Andalus memperlakukan non-Muslim berbeda-beda sepanjang waktu. Salah satu
periode toleransi adalah masa kekuasaan Abdurrahman III dan Al-Hakam II, ketika Yahudi AlAndalus mengalami kemakmuran, mencurahkan hidupnya untuk melayani Kekhalifahan
Kordoba, mempelajari sains, perdagangan, dan industri, terutama
perdagangansutera dan budak, yang ikut memakmurkan negeri Al-Andalus. Al-Andalus menjadi
suaka bagi kaum Yahudi yang teraniaya di negeri-negeri lain.
Orang-orang Kristen di Al-Andalus, dipicu oleh contoh dari umat Kristen lain di sepanjang
perbatasan Al-Andalus kadang kala menegaskan klaim-klaim Agama Kristen, dan dengan
sengaja mencari kemartiran, bahkan selama masa-masa toleransi. Misalnya, 48 orang Kristen
Kordoba melakukan penghinaan terhadap agama Islam, dan akhirnya dipenggal. Mereka
sengaja melakukan tersebut agar mati sebagai martir, dan mereka dikenal sebagai Martir
Kordoba. Beberapa orang dari generasi berikutnya-pun meneruskan hal ini, dan mereka
sepenuhnya tahu apa nasib yang menimpa pendahulu mereka. [18]
Setelah kematian Al-Hakam II pada 976, situasi mulai memburuk bagi non-Muslim pada
umumnya. Hampir 100 tahun berikutnya, pada 30 Desember 1066, peristiwa penganiayaan
pertama terjadi ketika kaum Yahudi diusir dan ratusan keluarga dibunuh karena tidak mau
meninggalkan Granada, dan kerusuhan setelahnya menewaskan sekitar 3.000 orang.
[19]
Penganiayaan terhadap Yahudi juga terjadi sesekali pada masa Murabitun dan Muwahidun,
[20]
tapi sumber yang ada amat sedikit dan tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai hal
ini.[21]
Saat terjadi kekerasan terhadap non-Muslim, banyak ilmuwan Yahudi dan bahkan Muslim yang
meninggalkan daerah kekuasaan Muslim menuju Toledo, yang lebih memiliki toleransi dan telah
dikuasai oleh pasukan Kristen. Sekitar 40,000 Yahudi bergabung dengan pasukan Kristen, dan
sisanya bergabung dengan pasukan Murabitun menghadapi raja Alfonso VI dari Kastilia.
Penguasa Muwahidun yang mengambil alih kekuasaan Murabitun pada 1147,[22] lebih
fundamentalis dari Murabitun, dan memperlakukan non-Muslim dengan keras. Takut akan
kematian atau paksaan pindah agama, banyak orang Yahudi yang pindah ke daerah Muslim
yang lebih toleran di Selatan dan Timur,[23] atau ke daerah Kristen di Utara.[24][25]Keluarga
Maimonides sendiri pindah ke daerah Muslim yang lebih toleran. Namun, penguasa Muwahidun
juga mendorong perkembangan seni dan tulisan, menghasilkan di antaranya Ibnu Tufail, Ibnu
Araby, dan Ibnu Rusyd.[22]
Kebudayaan[sunting
| sunting sumber]
"Peradaban Saracen yang brilian di Spanyol Islam membuat orang-orang Moor, bahkan
dalam masa terpuruknya negara-negara Taifa, sebagai orang-orang paling beradab di
Barat."
Banyak suku, agama, dan ras hidup bersama-sama di Al-Andalus, dan masing-masing
menyumbang terhadap kemajuan intelektual di Andalus. Buku-buku jauh lebih tersebar luas di
Al-Andalus dibanding di negara lainnya di Barat.[27] Sejarah intelektual Al-Andalus terlihat dari
hasilnya berupa banyaknya ilmuwan Islam dan Yahudi.
Kemajuan intelektual Al-Andalus bermula dari perseturuan intelektual antara Bani Umayyah yang
menguasai Al-Andalus, dengan Bani Abbasiyah yang berkuasa di Timur Tengah. Penguasa
Umayyah berusaha memperbanyak perpustakaan dan lembaga pendidikan di kota-kota AlAndalus seperti Kordoba, untuk mengalahkan ibukota Abbasiyah Baghdad. Walaupun Bani
Umayyah dan Bani Abbasiyah saling bersaing, kedua kekhalifahan ini mengizinkan perjalanan
antara kedua kekhalifahan ini dengan bebas, yang membantu penyebaran dan pertukaran ide
serta inovasi dari waktu ke waktu.
Pada abad ke-10, kota Kordoba memiliki 700 masjid, 60.000 istana, dan 70 perpustakaan, dan
salah satu perpustakaan yang terbesar memiliki hingga 500.000 naskah. [28][29]Sebagai
perbandingan, perpustakaan terbesar di Eropa Kristen saat itu memiliki tak lebih dari 400
naskah, bahkan pada abad ke-14 Universitas Paris baru memiliki sekitar 2.000 buku.
[28]
Perpustakaan, penyalin, penjual buku, pembuat kertas, dan sekolah-sekolah di seluruh AlAndalus menerbitkan sebanyak 60.000 buku tiap tahunnya,
termasuk risalah,puisi, polemik dan antologi.[28] Sebagai perbandingan, Spanyol
modern menerbitkan rata-rata 46.300 buku tiap tahunnya, menurut UNESCO.[30]
Ibnu Rusyd: filsuf, dokter, dan ilmuwan Muslim terkemuka dari Al-Andalus.
Sejarawan Said Al-Andalusi menulis bahwa Khalifah Abdurrahman III (912-961) mengumpulkan
sejumlah besar buku dan memberikan perlindungan bagi para ilmuwan yang
mempelajari kedokteran dan "ilmu-ilmu kuno". Penggantinya Khalifah Al-Hakam II (Al-Mustansir),
membangun sebuah universitas dan sejumlah perpustakaan di Kordoba. Kordoba menjadi salah
satu pusat pembelajaran kedokteran dan filosofi terkemuka di dunia.
Namun ketika anak Al-Hakam II Hisyam II naik takhta (976), kekuasaan yang sebenarnya berada
di tangan Al-Mansur bin Abi Amir.[31] Ia merupakan tokoh agama yang tidak menyukai ilmu
pengetahuan, sehingga banyak buku yang dikumpulkan dengan susah payah oleh Al-Hakam II
dibakar di depan umum. Setelah kematian Al-Mansur pada 1002, filosofi di Al-Andalus bangkit
kembali. Sejumlah cendikiawan terkenal bermunculan, termasukMaslamah Al-Majriti (?-1008),
seorang petualang berani yang menjelajahi daerah-daerah Islam dan daerah lain, dan tergabung
dalam organisasiIkhwan As-Shafa. Al-Majriti membantu penerjemahan
karya Ptolemeus Almagest, membuat dan memperbaiki berbagai tabel astronomi, dan
mempelopori geodesi serta triangulasi.[32]
Murid Al-Majriti yang terkenal adalah Abu Hakam Al-Kirmani,[33] yang kemudian menjadi guru
bagi filsuf dan dokter terkemuka Ibnu Bajjah(Avempace), yang melahirkan magnum
opus berjudul Tadbir al-Mutawahhid.
Tokoh utama lainnya adalah Ibnu Thufail, penduduk asli Wadi 'Asy, sebuah dusun kecil di
sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut pada tahun 1185. Ia banyak menulis masalah
kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hayy bin
Yaqzhan.
Bagian akhir abad ke-12 M menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar
di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibnu Rusyd dari Qurthubah. Ia lahir pada
tahun 1126 dan meninggal tahun 1198. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan
naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun
tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fiqh dengan karyanya Bidayatul Mujtahid.
Filosofi dan kebudayaan Yahudi[sunting | sunting sumber]
Dengan adanya toleransi terhadap Yahudi di Al-Andalus, dan mundurnya pusat kebudayaan
Yahudi di Babilonia, Al-Andalus menjadi pusat pemikiran-pemikiran intelektual Yahudi. Penulispenulis seperti Judah Halevi (1086-1145) dan Dunash ben Labrat (920-990) memiliki sumbangan
terhadap kehidupan Al-Andalus, dan lebih penting lagi memberikan sumbangan bagi
perkembangan filosofi Yahudi. Puncak dari filsafat Yahudi adalah pemikir Yahudi asal AlAndalus Maimonides (1135-1205), yang menerbitkan karya-karyanya di Maroko dan Mesir,
karena menghindari dinasti Muwahidun yang berkuasa dengan keras di Al-Andalus. Ia
mengarang buku Panduan bagi yang Bingung, dan memperbaharui hukum Yahudi, sehingga
dijuluki "Musa baru" (nama depan Maimonides sendiri adalah Moses/Musa). [15]
Dokter dan tabib dari Al-Andalus memiliki sumbangan yang penting bagi bidang kedokteran,
termasuk anatomi dan fisiologi. Di antaranya adalah Abul Qasim Az-Zahrawi (Abulcasis), "bapak
ilmu bedah modern",[34] yang menuliskan Kitab at-Tashrif, buku penting dalam kedokteran
dan ilmu bedah. At-Tashrif merupakan ensiklopedia yang terdiri dari 30 volume, yang kemudian
diterjemahkan ke Bahasa Latin dan digunakan dalam sekolah kedokteran di kebudayaan Eropa
maupun Islam selama berabad-abad.
Dalam bidang fiqh, Al-Andalus dikenal sebagai penganut madzhab Maliki. Yang
memperkenalkan madzhab ini di sana adalah Ziyad bin 'Abdul Rahman. Perkembangan
selanjutnya ditentukan oleh Ibn Yahya yang menjadi qadhi pada masa Hisyam I. Ahli-ahli fiqh
lainnya di antaranya adalah Abu Bakr bin Al-Quthiyyah, Mundzir bin Sa'id al-Balluthidan Ibnu
Hazm yang terkenal.
Dalam bidang musik dan suara, Al-Andalus mencapai kecemerlangan dengan tokohnya AlHasan bin Nafi' yang dijuluki Ziryab. Setiap kali diselenggarkan pertemuan dan jamuan, Ziryab
selalu tampil mempertunjukkan kebolehannya. Ia juga terkenal sebagai penggubah lagu. Ilmu
yang dimiliknya itu diturunkan kepada anak-anaknya baik pria maupun wanita, dan juga kepada
budak-budak, sehingga kemasyhurannya tersebar luas.
Bahasa Arab telah menjadi bahasa administrasi dalam pemerintahan Islam di Al-Andalus. Hal itu
dapat diterima oleh orang-orang Islam dan non-Islam. Bahkan, penduduk asli Spanyol menomorduakan bahasa asli mereka. Mereka juga banyak yang ahli dan mahir dalam bahasa Arab, baik
keterampilan berbicara maupun tata bahasa. Mereka itu antara lain: Ibn Sayyidih, Ibnu
Malik yang mengarang Alfiyyah, Ibnu Khuruf, Ibnul Hajj, Abu Ali al-Isybili, Abu al-Hasan bin Usfur,
dan Abu Hayyan al-Gharnathi. Seiring dengan kemajuan bahasa itu, karya-karya sastra
bermunculan, seperti Al-'Iqdul Farid karya Ibnu Abdu Rabbih, Al-Dzakhirahji Mahasin Ahlul
Jazirah oleh Ibnu Bassam, Kitab Al-Qalaid buah karyaAl-Fath bin Khaqan, dan sebagainya.
Kordoba adalah salah satu kota utama Visigoth, yang kemudian diambil alih oleh Bani Umayyah.
Oleh penguasa Muslim, kota ini dibangun dan diperindah. Jembatan besar dibangun di atas
sungai yang mengalir di tengah kota. Taman-taman dibangun untuk menghiasi ibukota AlAndalus tersebut. Pohon-pohon dan bunga-bunga diimpor dari Timur. Di seputar ibu kota berdiri
istana-istana yang megah yang semakin mempercantik pemandangan, setiap istana dan taman
diberi nama tersendiri dan di puncaknya terpancang Istana Damaskus. Di antara kebanggaan
kota Kordoba lainnya adalah Masjid Agung Kordoba. Menurut Ibnu ad-Dala'i, terdapat
491 masjid di sana. Disamping itu, ciri khusus kota-kota Islam adalah adanya tempat-tempat
pemandian. Di Kordoba saja terdapat sekitar 900 pemandian. Di sekitarnya berdiri
perkampungan-perkampungan yang indah. Karena air sungai tak dapat diminum, penguasa
Muslim mendirikan saluran air dari pegunungan yang panjangnya 80 km.
Granada[sunting | sunting sumber]
Granada adalah tempat pertahanan terakhir umat Islam di Spanyol. Di sana berkumpul sisa-sisa
kekuatan Arab dan pemikir Islam. Posisi Kordoba diambil alih oleh Granada pada masa-masa
akhir kekuasaan Islam di Spanyol. Arsitektur-arsitektur bangunannya terkenal di seluruh Eropa.
Istana Alhambra yang indah dan megah adalah pusat dan puncak ketinggian arsitektur Moor.
Istana itu dikelilingi taman-taman yang tidak kalah indahnya.
| sunting
sumber]
Kemajuan Al-Andalus sangat ditentukan oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan
berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abdurrahman
I, Abdurrahman II, dan Abdurrahman III. Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut
ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang memelopori kegiatan-kegiatan
ilmiah yang terpenting di antara penguasa Bani Umayyah di Al-Andalus dalam hal ini
adalah Muhammad I (852-886) dan Al-Hakam II (961-976).
Toleransi beragama ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan
Yahudi, sehingga mereka ikut berpartisipasi mewujudkan peradaban Arab Islam di Iberia. Untuk
orang-orang Kristen, sebagaimana juga orang-orang Yahudi, disediakan hakim khusus yang
menangani masalah sesuai dengan ajaran agama mereka masing-masing. Masyarakat AlAndalus merupakan masyarakat majemuk, terdiri dari berbagai komunitas, baik agama maupun
bangsa. Dengan ditegakkannya toleransi beragama, komunitas-komunitas itu dapat bekerja
sama dan menyumbangkan kelebihannya masing masing.
Meskipun ada persaingan yang sengit antara Bani Abbasiyyah di Baghdad dan Umayyah di AlAndalus, hubungan budaya dari Timur dan Barat tidak selalu berupa peperangan. Sejak abad
ke-11 dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke
ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan, sehingga membawa kesatuan
budaya dunia Islam.
Perpecahan politik pada masa Mulukul Thawa'if dan sesudahnya tidak menyebabkan
mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan,
kesenian, dan kebudayaan Al-Andalus. Setiap penguasa di Mlaga, Toledo, Sevilla, Granada,
dan lain-lain berusaha menyaingi Kordoba. Kalau sebelumnya Kordoba merupakan satu-satunya
pusat ilmu dan peradaban Islam di Iberia, Muluk ath-Thawa'if berhasil mendirikan pusat-pusat
peradaban baru yang di antaranya justru lebih maju.
Bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak
bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak.
Materi yang tidak memiliki sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu
oleh Pengurus.
Tag ini diberikan tanggal Juli 2015
Tidak adanya ideologi pemersatu. Kalau di tempat-tempat lain para muallaf diperlakukan
sebagai orang Islam yang sederajat, di Iberia, sebagaimana politik yang dijalankan Bani
Umayyah di Damaskus, orang-orang Arab tidak pernah menerima orang-orang pribumi.
Setidak-tidaknya sampai abad ke-10, mereka masih memberi istilah
'ibad danMuwallad kepada para muallaf itu, suatu ungkapan yang dinilai merendahkan.
Akibatnya, kelompok-kelompok etnis non-Arab yang ada sering menggerogoti dan merusak
perdamaian. Hal itu mendatangkan dampak besar terhadap sejarah sosio-ekonomi negeri
tersebut.
Kesulitan ekonomi. Di paruh kedua masa Islam di Iberia, para penguasa membangun
kota dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan sangat "serius", sehingga lalai
membina perekonomian. Akibatnya timbul kesulitan ekonomi yang amat memberatkan dan
menpengaruhi kondisi politik dan militer
Tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan. Hal ini menyebabkan perebutan kekuasaan
di antara ahli waris. Bahkan, karena inilah kekuasaan Bani Umayyah runtuh dan Muluk athThawaif muncul. Granada yang merupakan pusat kekuasaan Islam terakhir di Spanyol jatuh
ke tangan Penguasa Katolik di antaranya juga disebabkan permasalahan ini.
Keterpencilan. Al-Andalus bagaikan terpencil dari dunia Islam yang lain. Ia selalu
berjuang sendirian, tanpa mendapat bantuan kecuali dari Afrika Utara. Dengan demikian,
tidak ada kekuatan alternatif yang mampu membendung kebangkitan Kristen di sana.
| sunting sumber]
Bagian ini tidak memiliki referensi atau sumber tepercaya sehingga isinya tidak
bisa dipastikan. Bantu perbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak.
Materi yang tidak memiliki sumber dapat dipertanyakan dan dihapus sewaktu-waktu
oleh Pengurus.
Tag ini diberikan tanggal Juli 2015
Al-Andalus merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap peradaban Islam,
baik dalam hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara.
Memang banyak saluran bagaimana peradaban Islam mempengaruhi Eropa, seperti Sisilia
dan Perang Salib, tetapi saluran yang terpenting adalah Al-Andalus.
Al-Andalus merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa menyerap peradaban Islam, baik
dalam bentuk hubungan politik, sosial, maupun perekonomian dan peradaban antar negara.
Orang-orang Eropa menyaksikan kenyataan bahwa Al-Andalus berada di bawah kekuasaan
Islam jauh meninggalkan negara-negara tetangganya Eropa, terutama dalam bidang pemikiran
dan sains di samping bangunan fisik. Yang terpenting di antaranya adalah pemikiran Ibnu Rusyd
(1120-1198). Ia melepaskan belenggu taqlid dan menganjurkan kebebasan berpikir. Ia mengulas
pemikiran Aristoteles dengan cara yang memikat minat semua orang yang berpikiran bebas. Ia
mengedepankan sunnatullah menurut pengertian Islam
terhadap panteisme dan antropomorfisme Kristen. Demikian besar pengaruhnya di Eropa,
hingga di Eropa timbul gerakan Averroeisme yang menuntut kebebasan berpikir. Pihak gereja
menolak pemikiran rasional yang dibawa gerakan Averroeisme ini.
Berawal dari gerakan Averroeisme inilah di Eropa kemudian lahir reformasi pada abad ke16 dan rasionalisme pada abad ke-17. Buku-buku Ibnu Rusyd dicetak
di Venesia tahun1481, 1482, 1483, 1489, dan 1500. Bahkan edisi lengkapnya terbit pada
tahun 1553 dan 1557. Karya-karyanya juga diterbitkan pada abad ke-16
di Napoli, Bologna, Lyon, danStrasbourg, dan di awal abad ke-17 di Jenewa. Pengaruh
peradaban Islam, termasuk di dalamnya pemikiran Ibn Rusyd, ke Eropa berawal dari banyaknya
pemuda-pemuda Kristen Eropa yang belajar di universitas-universitas Islam di Al-Andalus,
seperti yang berada di Qurthubah, Isybiliyyah, Malaqah, Gharnathah, dan Salamanca. Selama
belajar di Al-Andalus, mereka aktif menerjemahkan buku-buku karya ilmuwan-ilmuwan Muslim.
Pusat penerjemahan itu adalah Thulaithulah. Setelah pulang ke negerinya, mereka mendirikan
sekolah dan universitas yang sama. Universitas di Eropa adalah Universitas Parisyang didirikan
pada tahun 1231, tiga puluh tahun setelah meninggalnya Ibnu Rusyd. Di akhir zaman
pertengahan Eropa, baru berdiri 18 buah universitas. Di dalam universitas-universitas itu, ilmu
yang mereka peroleh dari universitas-universitas Islam diajarkan, seperti ilmu kedokteran, ilmu
pasti, dan filsafat. Pemikiran filsafat yang paling banyak dipelajari adalah pemikiran AlFarabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Pengaruh ilmu pengetahuan Islam atas Eropa yang sudah berlangsung sejak abad ke-12 itu
menimbulkan gerakan kebangkitan kembali (Renaisans) pusaka Yunani di Eropa pada abad ke14. Berkembangnya pemikiran Yunani di Eropa kali ini melalui terjemahan-terjemahan Arab yang
dipelajari dan kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin. Walaupun kaum
Muslimin akhirnya terusir dari Iberia dengan cara yang sangat kejam, tetapi warisannya telah
membidangi gerakan-gerakan penting di Eropa. Gerakan-gerakan itu adalah: kebangkitan
kembali kebudayaan Yunani klasik (Renaisans Yunani) pada abad ke-14 yang bermula di Italia,
gerakan reformasi pada abad ke-16, rasionalisme pada abad ke-17, dan pencerahan
(aufklrung) pada abad ke-18.
Referensi[sunting
| sunting sumber]
1.
^ "Andalus, al-" Oxford Dictionary of Islam. John L. Esposito, Ed. Oxford University Press.
2003. Oxford Reference Online. Oxford University Press. Accessed 12 June, 2006.
2.
^ Zagorin, Perez (2003). How the Idea of Religious Toleration Came to the West.
Princeton University Press. ISBN 0691092702.
3.
^ Bossong 2002[online]:1
4.
^ Dozy, Reinhart P. 1881. Recherches sur l'histoire et la littrature des Arabes d'Espagne
pendant le Moyen-Age.
5.
^ Vallv Bermejo, Joaqun. 1986. The Territorial Divisions of Muslim Spain. Madrid: CSIC
(Consejo Superior de Investigaciones Cientficas).
6.
^ Halm 1989
7.
^ Bossong 2002
8.
^ Thomson, Ahmad dan Muhammad 'Ata' Ur Rahim. 2004. Islam Andalusia: Sejarah
Kebangkitan dan Keruntuhan. Gaya Media Pratama: Ciputat halaman 42-43
9.
^ Tertius Chandler. Four Thousand Years of Urban Growth: An Historical Census (1987),
St. David's University Press (etext.org). ISBN 0-88946-207-0.
10.
^ Matthews, Jeff (2004). "The Arab Influence on the Italian Renaissance". Diakses
tanggal 2007-10-18.
11.
12.
13.
14.
15.
^ a b c Omaar, Rageh, An Islamic History of Europe. video dokumenter, BBC Four: August
2005.
16.
^ The Ornament of the World by Mara Rosa Menocal, diakses 12 Juni 2006.
17.
18.
^ "Orthodox Europe: St Eulogius and the Blessing of Cordoba". Diarsipkan dari versi
asli tanggal 2012-05-26., diakses pada 12 Juni, 2006.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
^ Sephardim
25.
26.
^ Previte-Orton , 1971, The Shorter Cambridge Medieval History: In Two Volumes, vol. 1,
h. 376 ISBN 0-521-05993-3
27.
28.
^ a b c Dato' Dzulkifli Abd Razak, Quest for knowledge, New Sunday Times, 3 July 2005.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
^ A. Martin-Araguz, C. Bustamante-Martinez, Ajo V. Fernandez-Armayor, J. M. MorenoMartinez (2002). "Neuroscience in al-Andalus and its influence on medieval scholastic
medicine", Revista de neurologa 34 (9), p. 877-892.
Bacaan lanjutan[sunting
| sunting sumber]
Al-Djazairi, S.E. (2005). The Hidden Debt to Islamic Civilisation. Bayt Al-Hikma Press. ISBN 09551156-1-2
Cohen, Mark (1995). Under Crescent and Cross: The Jews in the Middle Ages Princeton
University Press. ISBN 0-691-01082-X
Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain, 710797, Blackwell. ISBN 0-631-19405-3
Frank, Daniel H. dan Leaman, Oliver (2003). The Cambridge Companion to Medieval Jewish
Philosophy. Cambridge University Press. ISBN 0-521-65574-9
Harzig, Christiane, Hoerder, Dirk dan Shubert, Adrian (2003). The Historical Practice in
Diversity. Berghahn Books. ISBN 1-57181-377-2
Kraemer, Joel (2005). Moses Maimonides: An Intellectual Portrait. In Kenneth Seeskin (Ed.). The
Cambridge Companion to Maimonides. Cambridge University Press. ISBN 0-521-81974-1
Luscombe, David et al. (Eds.) (2004). The New Cambridge Medieval History: Volume 4, c.1024c.1198, Part 1. Cambridge University Press. ISBN 0-521-41411-3
Marn, Manuela et al. (Eds.). (1998). The Formation of Al-Andalus: History and Society.
Ashgate. ISBN 0-86078-708-7
Menocal, Mara Rosa (2002). Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christians Created
a Culture of Tolerance in Medieval Spain. Back Bay Books. ISBN 0-316-16871-8
Netanyahu, Benzion (1995). The Origins Of The Inquisition In Fifteenth Century Spain. Random
House, Inc. ISBN 0-679-41065-1
O'Callaghan, Joseph F. (1975). A History of Medieval Spain. Cornell University Press. ISBN 08014-9264-5
Reilly, Bernard F. (1993). The Medieval Spains. Cambridge University Press. ISBN 0-521-39741-3
Roth, Norman (1994). Jews, Visigoths and Muslims in Medieval Spain: Cooperation and Conflict.
Brill. ISBN 90-04-06131-2
Syuaib, Joesoef (1997). Sejarah Daulat Umayyah II di Cordova. Jakarta: PT. Bulan Bintang.
Stavans, Ilan (2003). The Scroll and the Cross: 1,000 Years of Jewish-Hispanic Literature. London:
Routledge. ISBN 0-415-92930-X
Wasserstein, David J. (1995). Jewish lites in Al-Andalus. In Daniel Frank (Ed.). The Jews of
Medieval Islam: Community, Society and Identity. Brill. ISBN 90-04-10404-6
Pranala luar[sunting
| sunting sumber]
Wikimedia
Commonsmemiliki kategori
mengenaiAl-Andalus
(Inggris) A History of Spain and Portugal, Chapter Two: Al-Andalus oleh Stanley G.
Payne
(Inggris) Garis waktu dan gambar-gambar mengenai Al-Andalus
[sembunyikan]
Bani Umayyah
Pendiri
Khalifah di Damaskus
Muawiyah I Yazid I Muawiyah II Marwan I Abdul Malik Al-Walid I Sulaiman Umar II Yazid II Hisy
Amir di Kordoba
Khalifah di Kordoba
Wilayah penting
Pro-Umayyah
Anti-Umayyah
Peristiwa penting
Kategori:
Sejarah Spanyol
Sejarah Portugal
Sejarah Islam
Sejarah Yahudi
Abad Pertengahan
Al-Andalus