Está en la página 1de 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan
gejala penyakit yang berkaitan dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) (Smeltzer & Bare, 2002). Seseorang yang terinfeksi virus HIV atau
menderita AIDS sering disebut dengan ODHA, singkatan dari orang yang hidup
dengan HIV/AIDS. Penderita infeksi HIV dinyatakan sebagai penderita AIDS
ketika menunjukkan gejala atau penyakit tertentu yang merupakan akibat
penurunan daya tahan tubuh yang disebabkan virus HIV (indikator sesuai dengan
definisi AIDS dari Centers for Disease Control) atau tes darah menunjukkan
jumlah CD4+ kurang dari 200/mm3 (Nursalam & Kurniawati, 2007).
Jumlah kasus HIV/AIDS dari tahun ke tahun di seluruh bagian dunia terus
meningkat meskipun berbagai upaya preventif terus dilaksanakan. Penularan
terbanyak melalui hubungan seks heteroseksual, biseksual dan IDU (Injecting
Drug User) (Depkes, 2006). Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, sejak
tanggal 1 April 1987 hingga Juni 2013 mencatat 118.792 kasus HIV, 45.650
orang di antaranya telah menderita AIDS, dan 8.553 kematian. Tercatat 20.413
kasus HIV dan 2.763 kasus AIDS pada 1 Januari 30 September 2013 (Ditjen PP
& PL Kemenkes RI, 2013).
Jumlah kasus HIV sejak tahun 1987 - Juni 2013 Di Yogyakarta tercatat
sebanyak 1966 kasus HIV orang dan 821 diantaranya telah menderita AIDS

(Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013). Kasus HIV/AIDS di Yogyakarta dari tahun
ke tahun terus meningkat dengan rata-rata peningkatan 15% per tahunnya. Pada
tahun 2012 tercatat 377 kasus HIV dan 189 AIDS, sedangkan pada tahun 2013
tercatat 412 kasus HIV dan 206 kasus AIDS (Republika, 2013). Yogyakarta
sendiri menduduki urutan ke-8 dari 33 provinsi di Indonesia dengan prevalensi
23,75 per 100.000 penduduk (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013).
Masalah fisik ODHA terjadi akibat penurunan daya tahan tubuh progresif
yang mengakibatkan ODHA rentan terhadap berbagai penyakit oportunis.
Kematian terjadi karena tidak ada terapi yang efektif untuk penyakit oportunis
atau karena pasien tidak lagi responsif terhadap terapi yang standar (Smeltzer &
Bare, 2002). Selain itu ODHA juga menghadapi stigma dan diskriminasi dari
masyarakat karena penyakit ini identik dengan akibat dari perilaku-perilaku yang
tidak bermoral seperti seks bebas, penyalahgunaan narkoba, dan seks sesama jenis
(Simoni, 2011). Tak jarang ODHA menghadapi tanggapan negatif, konflik, dan
bahkan kekerasan yang mengakibatkan individu merasa bersalah, shock, tidak
percaya, malu, dan mengalami kekhawatiran yang mendalam. Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) juga akan mengalami kekhawatiran akan perkembangan
penyakit, memandang HIV sebagai hukuman mati, mengekspresikan ketakutan
akan kematian, dan memiliki pikiran bunuh diri (Miles et al., 2011).
Kondisi fisik yang memburuk, ancaman kematian, serta adanya tekanan
sosial yang begitu hebat menyebabkan ODHA beresiko tinggi mengalami masalah
emosional atau psikososial yang salah satunya adalah depresi (Simoni, 2011).
Depresi merupakan masalah emosional yang umum dan terbesar pada ODHA,

dengan prevalensi mencapai 67% (Bhatia et al., 2011). Depresi mayor adalah
gangguan psikiatrik yang sering terjadi pada pasien HIV (Rabkin, 2008; Nyirenda
et al., 2013) dengan prevalensi 20-37% (Simoni, 2011). Depresi yang dialami
ODHA dipengaruhi oleh rendahnya status kesehatan dan persepsi tentang
kesehatan, kurangnya dukungan sosial dan rendahnya kesejahteraan rohani (Yi et
al., 2004).
Spiritualitas memiliki hubungan yang positif terhadap kesehatan (Pasiak,
2012). Kekuatan spiritual dapat membantu seseorang ke arah penyembuhan atau
pada perkembangan kebutuhan dan perhatian spiritual ketika seseorang
mengalami penyakit, kehilangan, atau nyeri. Perasaan dan penilaian individu
terhadap penyakit dan kematian dipengaruhi oleh keyakinan spiritual dan agama
(Potter & Perry, 2005). Dimensi spiritual berperan sebagai kekuatan penahan
ketika seseorang menghadapi stress emosional, penyakit fisik, atau kematian dan
menjadi salah satu faktor penting bagi seseorang dalam menghadapi perubahan
yang diakibatkan oleh penyakit kronis (Kozier et al., 1995).
Spiritualitas merupakan bagian dari kualitas hidup berada dalam domain
kapasitas diri atau being yang terdiri dari nilai-nilai personal, standar personal,
dan kepercayaan (University of Toronto, 2010). Spiritualitas merupakan hal yang
unik dan bersifat individual, dipengaruhi oleh budaya seseorang, status
perkembangan, pengalaman hidup, nilai-nilai dan ide-ide tentang kehidupannya
(Potter & Perry, 2005). Pada penelitian Szaflarski et al. (2006) menunjukkan
bahwa spiritualitas/agama mempunyai hubungan positif dengan perasaan bahwa
kehidupan menjadi lebih baik dan berubah pada klien HIV/AIDS.

Chicoki (2007) mengatakan spiritualitas pada ODHA merupakan jalan


untuk mengobati masalah emosional melalui agama dan spiritual. Agama dan
spiritualitas dapat membantu ODHA meninjau kembali kehidupan mereka,
menafsirkan apa yang mereka temukan, dan menerapkan apa yang telah mereka
pelajari untuk kehidupan baru dan membantu seseorang menemukan makna baru
hidup setelah diagnosis HIV. Spiritualitas dan agama akan menghilangkan
perasaan takut dan penderitaan yang dialami serta memberikan perasaan tenang
secara emosional, hal ini menjawab kekhawatiran seseorang karena diagnosis HIV
menyebabkan perasaan takut karena stigma yang melekat pada penyakit HIV.
Hasil wawancara yang telah peneliti lakukan pada ODHA di Yogyakarta
menunjukan beberapa ODHA mengalami kekacauan suasana hati, menutup diri,
menjauhi komunitas, putus asa dan berbagai gejala depresi lainnya. Hal ini
berkaitan dengan kesulitan ODHA dalam penerimaan statusnya dan kurangnya
kepercayaan diri menghadapi kenyataan serta stigma masyarakat. ODHA akan
mengalami gangguan tidur, makan, hingga mengurung diri sebagai dampak yang
lebih lanjut. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Paputungan
(2013) di Yogyakarta yang menemukan bahwa ODHA mengalami dinamika
psikologis sebagai reaksi akibat terinfeksi HIV. Hasil penelitian Natalya (2006)
yang dilakukan di Yogyakarta menunjukkan bahwa ODHA mengalami stres saat
pertama kali mengetahui diagnosis penyakitnya. Sebagian besar dari mereka tidak
mempercayai status penyakitnya saat itu. Sumber stres terbesar pada ODHA
adalah kematian, efek samping obat, diskriminasi, ditinggal oleh orang yang

disayang dan diketahuinya status HIV/AIDS oleh orang-orang terdekat atau yang
disayangi.
Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
hubungan keyakinan spiritual dengan tingkat depresi pada ODHA di Yogyakarta.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan

latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka rumusan masalah yang diteliti adalah: Bagaimana hubungan keyakinan


spiritual dengan tingkat depresi pada ODHA di Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian
Mengetahui bagaimana hubungan keyakinan spiritual dengan tingkat
depresi pada ODHA di Yogyakarta.

D. Manfaat Penelitian
1.

Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang keperawatan yang
berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan mental pada orang dengan
HIV/AIDS.

2.

Manfaat praktis
a. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai bahan masukan untuk
peningkatan pelayanan dan penanganan depresi pada ODHA.
b. Bagi perawat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang
depresi pada ODHA dan memberikan asuhan keperawatan yang terbaik bagi
ODHA agar tidak mengalami depresi.
c. Bagi peneliti
Penelitian ini dapat memberikan kesempatan bagi peneliti untuk
menerapkan pengetahuan tentang penelitian dan lebih mengembangkan
kemampuan peneliti dalam bidang penelitian.

E. Keaslian Penelitian
Penelitian lain yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu penelitian
yang dilakukan oleh:
1.

Collein (2010) yang berjudul makna spiritualitas pada pasien HIV/AIDS


dalam konteks asuhan keperawatan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif fenomenologi dengan
desain deskriptif eksploratif. Penelitian ini memperoleh lima tema yaitu
mendekatkan diri kepada Tuhan, menghargai hidup pasca diagnosis HIV,
butuh dukungan dari orang terdekat, mempunyai harapan untuk kehidupan
yang lebih baik di hari depan, dan kebutuhan spiritual yang tidak terpenuhi.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan adalah metode


dan variabel penelitian: penelitian ini menggunakan metode wawancara
mendalam dan satu variabel, sedangkan penelitian yang dilakukan
menggunakan kuesioner dan menghubungkan dua variabel.
2.

Kusuma (2011) yang berjudul hubungan antara depresi dan dukungan


keluarga dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS yang menjalani perawatan
di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Penelitian ini merupakan penelitian
non eksperimental dengan rancangan penelitian cross sectional. Pada
penelitian ini disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara
depresi dan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pasien HIV/AIDS.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan terletak pada
variabel dan lokasi penelitian. Variabel bebas penelitian ini adalah depresi
dan dukungan keluarga, variabel terikatnya yaitu kualitas hidup. Penelitian ini
dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakata. Pada penelitian yang
dilakukan, variabel bebasnya adalah keyakinan spiritual dan variabel
terikatnya yaitu tingkat depresi dan berlokasi di Yogyakarta.

3.

Hukum (2012) tentang hubungan tingkat spiritual dengan respon koping


pasien terminal di RSUP DR Sardjito Yogyakarta. Penelitian ini merupakan
penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian cross sectional.
Pada penelitian ini disimpulkan bahwa tingkat spiritual memiliki hubungan
dengan koping pasien terminal. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
yang dilakukan terletak pada variabel terikat. Variabel terikat pada penelitian

ini adalah respon koping sedangkan variabel terikat pada penelitian yang
dilakukan adalah tingkat depresi.
4.

Widyarsono (2012) tentang hubungan antara depresi dengan kualitas hidup


aspek sosial pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) (Studi korelasi terhadap
penderita HIV/AIDS di Rumah Cemara Bandung). Penelitian ini merupakan
penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian cross sectional.
Pada penelitian ini disimpulkan bahwa depresi memiliki hubungan dengan
kualitas hidup ODHA. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang
dilakukan terletak pada variabel bebas dan terikat. Penelitian ini
menggunakan variabel bebas depresi dan variabel terikat kualitas hidup,
sedangkan pada penelitian yang dilakukan variabel bebas adalah keyakinan
spiritual dan variabel terikat adalah tingkat depresi.

5.

Yi et al., (2004) yaitu Religion, Spirituality, and Depressive Symptoms in


Patents

with

HIV/AIDS.

Penelitian

ini

merupakan

penelitian

non

eksperimental. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa depresi dipengaruhi


oleh rendahnya status dan persepsi kesehatan, kurangnya dukungan sosial,
dan rendahnya kesejahteraan spiritual. Penelitian ini dilakukan di 4 pusat
medis di US, sedangkan penelitian yang dilakukan berlokasi di Yogyakarta
dengan merekrut ODHA dari 3 LSM. Responden pada penelitian ini berusia
rata-rata 43,8 (8,4) tahun sementara pada penelitian yang dilakukan
responden yang direkrut mulai berusia 18 tahun. Perbedaan lainnya adalah
tingkat depresi pada instrumen ini diukur dengan skala CES-D, sedangkan
pada penelitian yang dilakukan menggunakan skala BDI.

También podría gustarte