Está en la página 1de 30

MAKALAH

NEUROBEHAVIOUR
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ENSEFALITIS

KELOMPOK 6 :
1. Maria Magdalena Sitorus
2. Moga Ayu Putri Pangestu
3. Moh. Hosen

(1210020)
(1210022)
(1210024)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


ARTHA BODHI ISWARA
SURABAYA
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan ridho dan kemudahan bagi kami untuk menyelesaikan makalah yang
berjudul Neurobehaviour-Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Ensefalitis
dengan tepat waktu.
Ucapan terimakasih kami berikan kepada semua pihak yang telah
membantu tersusunnya makalah ini, sehingga bisa terselesaikan dengan baik.
Besar harapan kami untuk memperoleh saran dan kritik yang menyangkut
informasi dan metode penyajian demi kesempurnaan makalah ini.
Melalui kata pengantar ini, kami meminta maaf dan mohon maklum bila
terdapat kekurangan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
dan menambah wawasan dalam bidang kesehatan.

Surabaya, Maret 2015


Kelompok

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

ii

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

BAB 2 TINJAUAN TEORI


2.1 Anatomi Fisiologi Sistem Persyarafan

2.2 Definisi

2.3 Etiologi

2.4 Manifestasi Klinis

2.5 Patofisiologi

2.6 Pemeriksaan Penunjang

2.7 Web Of Caution

11

BAB 3 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


3.1 Konsep Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Ensefalitis

12

BAB 4 PENUTUP
4.1 Simpulan

25

4.2 Saran

25

DAFTAR PUSTAKA

27

ii

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia atau virus (Arif Mansur : 2000).
Ada banyak tipe-tipe dari ensefalitis, kebanyakan darinya disebabkan oleh
infeksi-infeksi yang disebabkan oleh virus-virus. Ensefalitis dapat juga
disebabkan oleh penyakit-penyakit yang menyebabkan peradangan dari
otak.
Dengan gejala-gejala seperti panas badan meningkat, sakit kepala,
muntah-muntah lethargi, kaku kuduk, gelisah, serta gangguan pada
penglihatan, pendengaran, bicara dan kejang. Virus atau bakteri memasuki
tubuh melalui kulit, saluran nafas dan saluran cerna, setelah masuk ke
dalam tubuh, virus dan bakteri akan menyebar ke seluruh tubuh dengan
beberapa cara. Salah satunya adalah pada jaringan otak yang nantinya akan
menyebabkan ensefalitis.
Berdasarkan faktor penyebab yang sering terjadi maka ensefalitis
diklasifikasikan menjadi enam tipe, yaitu : ensefalitis supurativa,
ensefalitis siphylis, ensefalitis virus, ensefalitis karena fungus, ensefalitis
karena parasit, dan riketsiosa serebri. Adapun pelaksanaan yang bisa
dilakukan untuk menangani masalah ensefalitis adalah dengan pemberian
antibiotik, isolasi untuk mengurangi stimuli dari luar, terapi anti mikroba,
mengontrol terjadinya kejang dan lain-lain.
Angka kematian untuk ensefalitis ini masih tinggi, berkisar antara
35-50 %, dari pada penderita yangb hidup 20-40 % mempunyai
komplikasi atau gejala sisa berupa paralitis. Gangguan penglihatan atau
gejala neurologik yang lain. Penderita yang sembuh tanpa kelainan

neurologik yang nyata,dalam perkembangan selanjutnya masih mungkin


menderita retardasi mental, gangguan tingkah laku dan epilepsi.
1.2

Rumusan Masalah
a. Bagaimana konsep penyakit pada pasien dengan encephalitis
b. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan encephalitis.

1.3

Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Penulis menyusun makalah ini untuk mendukung kegiatan
belajar mengajar jurusan keperawatan khususnya di mata kuliah
keperawatan Neurobihavior dengan bahan ajar asuhan keperawatan
pada klien Ensefalitis.
1.3.2

Tujuan Khusus
Untuk mengetahui konsep dasar dari Ensefalitis seperti :
a.

Definisi

b.

Etiologi

c.

Patofisiologi

d.

Komplikasi

e.

Asuhan keperawatan

BAB 2
TINJAUAN TEORI

2.1

Anatomi Fisiologi Sistem Persarafan

Pembagian sistem saraf secara anatomi :


1. SSP (Sistem Saraf Pusat)
Sistem saraf pusat (SSP) meliputi otak (ensephalon) dan sumsum
tulang belakang (medulla spinalis). Keduanya merupakan organ yang
sangat lunak, dengan fungsi yang sangat penting maka perlu
perlindungan. Selain tengkorak dan ruas-ruas tulang belakang, otak
juga dilindungi 3 lapisan selaput meningen.
a. Otak
Otak mempunyai lima bagian utama, yaitu: otak besar (serebrum),
otak tengah (mesensefalon), otak kecil (serebelum), sumsum
sambung (medulla oblongata), dan jembatan varol.
3

1) Otak besar (serebrum)


Otak besar mempunyai fungsi dalam pengaturan semua
aktivitas mental, yaitu yang berkaitan dengan kepandaian
(intelegensi), ingatan (memori), kesadaran, dan pertimbangan.
Otak

besar

kegiatan/gerakan

merupakan

sadar

atau

sumber

sesuai

dari

dengan

semua

kehendak,

walaupun ada juga beberapa gerakan refleks otak. Pada bagian


korteks otak besar yang berwarna kelabu terdapat bagian
penerima rangsang (area sensor) yang terletak di sebelah
belakang area motor yang berfungsi mengatur gerakan sadar
atau merespon rangsangan. Selain itu terdapat area asosiasi
yang menghubungkan area motor dan sensorik. Area ini
berperan dalam proses belajar, menyimpan ingatan, membuat
kesimpulan, dan belajar berbagai bahasa. Di sekitar kedua area
tersebut dalah bagian yang mengatur kegiatan psikologi yang
lebih tinggi. Misalnya bagian depan merupakan pusat proses
berfikir (yaitu mengingat, analisis, berbicara, kreativitas) dan
emosi. Pusat penglihatan terdapat di bagian belakang.
2) Otak tengah (mesensefalon)
Otak tengah terletak di depan otak kecil dan jembatan
varol. Di depan otak tengah terdapat talamus dan kelenjar
hipofisis yang mengatur kerja kelenjar-kelenjar endokrin.
Bagian atas (dorsal) otak tengah merupakan lobus optikus yang
mengatur refleks mata seperti penyempitan pupil mata, dan
juga merupakan pusat pendengaran.
3) Otak kecil (serebelum)
Serebelum mempunyai fungsi utama dalam koordinasi
gerakan otot yang terjadi secara sadar, keseimbangan, dan
posisi tubuh. Bila ada rangsangan yang merugikan atau

berbahaya maka gerakan sadar yang normal tidak mungkin


dilaksanakan.
4) Sumsum sambung (medulla oblongata)
Sumsum sambung berfungsi menghantar impuls yang
datang dari medula spinalis menuju ke otak. Sumsum sambung
juga memengaruhi jembatan, refleks fisiologi seperti detak
jantung, tekanan darah, volume dan kecepatan respirasi, gerak
alat pencernaan, dan sekresi kelenjar pencernaan. Selain itu,
sumsum sambung juga mengatur gerak refleks yang lain
seperti bersin, batuk, dan berkedip.
5) Jembatan varol (pons varoli)
Jembatan varol berisi serabut saraf yang menghubungkan
otak kecil bagian kiri dan kanan, juga menghubungkan otak
besar dan sumsum tulang belakang.
6) Sumsum tulang belakang (medula spinalis)
Pada penampang melintang sumsum tulang belakang
tampak bagian luar berwarna putih, sedangkan bagian dalam
berbentuk kupu-kupu dan berwarna kelabu. Pada penampang
melintang sumsum tulang belakang ada bagian seperti sayap
yang terbagi atas sayap atas disebut tanduk dorsal dan sayap
bawah disebut tanduk ventral. Impuls sensori dari reseptor
dihantar masuk ke sumsum tulang belakang melalui tanduk
dorsal dan impuls motor keluar dari sumsum tulang belakang
melalui tanduk ventral menuju efektor. Pada tanduk dorsal
terdapat badan sel saraf penghubung (asosiasi konektor) yang
akan menerima impuls dari sel saraf sensori dan akan
menghantarkannya ke saraf motor.
2. Sistem Saraf Tepi

Sistem saraf tepi adalah sistem saraf di luar sistem saraf pusat,
untuk menjalankan otot dan organ tubuh. Tidak seperti sistem saraf
pusat, sistem saraf tepi tidak dilindungi tulang, membiarkannya rentan
terhadap racun dan luka mekanis. Sistem saraf tepi terdiri dari sistem
saraf sadai dan sistem saraf tak sadar (sistem saraf otonom). Sistem
saraf sadar mengontrol aktivitas yang kerjanya diatur oleh otak,
sedangkan saraf otonom mengontrol aktivitas yang tidak dapat diatur
otak antara lain denyut jantung, gerak saluran pencernaan, dan sekresi
keringat.
a.

Sistem Saraf Sadar


Sistem saraf sadar disusun oleh saraf otak (saraf kranial), yaitu
saraf-saraf yang keluar dari otak, dan saraf sumsum tulang
belakang, yaitu saraf-saraf yang keluar dari sumsum tulang
belakang.
Saraf otak ada 12 pasang yang terdiri dari:
1. Tiga pasang saraf sensori, yaitu saraf nomor 1, 2, dan 8
2. Lima pasang saraf motor, yaitu saraf nomor 3, 4, 6, 11, dan
12
3. Empat pasang saraf gabungan sensori dan motor, yaitu saraf
nomor 5, 7, 9, dan 10.

b.

Saraf Otonom
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang
berasal dari otak maupun dari sumsum tulang belakang dan
menuju organ yang bersangkutan. Dalam sistem ini terdapat
beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk sinapsis
yang kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang
terdapat pada pangkal ganglion disebut urat saraf pra ganglion
dan yang berada pada ujung ganglion disebut urat saraf post
ganglion.

Sistem saraf otonom dapat dibagi atas sistem saraf simpatik


dan sistem saraf parasimpatik. Perbedaan struktur antara saraf
simpatik dan parasimpatik terletak pada posisi ganglion. Saraf
simpatik mempunyai ganglion yang terletak di sepanjang tulang
belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga
mempunyai urat pra ganglion pendek, sedangkan saraf
parasimpatik mempunyai urat pra ganglion yang panjang
karena ganglion menempel pada organ yang dibantu.
Fungsi sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu
berlawanan (antagonis). Sistem saraf parasimpatik terdiri dari
keseluruhan

"nervus

vagus"

bersama

cabang-cabangnya

ditambah dengan beberapa saraf otak lain dan saraf sumsum


sambung.
2.2

Definisi
Ensefalitis adalah infeksi yang mengenangi sistem saraf pusat
(SSP) yang disebabkan oleh virus atau mikroorganisme lain yang
nonpurulen.
Ensefalitis adalah inflamasi pada jaringan otak oleh berbagai
macam mikroorganisme (FKUI, 2000).
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
bakteri, cacing, protozoa, jamur recketsia atau virus (Mansjoer, 2000)
Ensefalitis adalah inflamasi jaringan otak dan diagnosis pastinya
hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi jaringan otak
(komite medik RSUD Dr. Sardjito, 2000).
Ensefalitis merupakan infeksi intracranial dapat melibatkan
jaringan otak ( Doenges, 2000 ).

2.3

Etiologi

Penyebab tersering dari ensefilitis adalah virus kemudian herpes


simpleks, arbovirus, dan jarang disebabkan oleh enterovirus, mumps, dan
adenovirus. Ensefelitisbisa jadi terjadi pascainfeksi campak, influenza,
varicella, dan pascavaksinasi pertusis.
Klasifikasi ensefaliitiis didasarkan pada factor penyebabnya.
Ensefalitis sufuratif akut dan bakteri penyebab ensefalitis adalah
Staphylococcus aureuus, Streptococus, E.Clli, Mycobacterium, dan T.
pallidum. Sedangkan ensefalitis virus dengan virus penyebab adalah virus
RNA (Virus Parotitis), virus morbili, virus rabies, virus rubella, virus
dengue, virus polio, cockscakie A dan B, herpes zoster, herpes simpleks,
dan varicella.
2.4

Manifestasi Klinis
Adapun gejala-gejala yang mungkin timbul pada masalah ensefalitis
adalah :
a.

Panas badan meningkat.

b.

Sakit kepala.

c.

Muntah-muntah lethargi.

d.

Kaku kuduk apabila infeksi mengenai meningen.

e.

Gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku.

f.

Gangguan penglihatan, pendengaran, bicara dan kejang.


Inti dari sindrom ensefalitis adalah adanya demam akut, demam

kombinasi tanda dan gejala : kejang, delirium, bingung, stupor atau koma,
aphasia hemiparesis dengan asimetri refleks tendon dan tanda babinski,
gerakan infolunter, ataxia, nystagmus, kelemahan otot-otot wajah.

2.5

Patofisiologi

Virus masuk tubuh klien melalui kulit, saluran nafas, dan saluran
pencernaan. Setelah masuk kedalam tubuh virus akan menyebar ke seluruh
tubuh dengan beberapa cara:
a. Local: virus alirannya terbatas mnginfeksi selaput lendir permukaan
atau organ tertentu.
b. Penyebab hematogen primer: virus masuk ke dalam darah, kemudian
menyebar ke organ dan berkembang biak di organ tersebut.
c. Penyebaran melalui saraf-saraf: virus berkembang biak di permukaan
selaput lendir dan menyebar melallui system persarafan.
Setelah terjadi penyebaran ke otak terjadi manifestasi klinik
ensefalitis. Masa prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengann
demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri
ekstremitas, dan pucat. Suhu badan meningkat, fotofobia, sakit kepala,
muntah-muntah, letargi, kadang di sertai kaku kuduk apabila infeksi
mengenai meningen. Pada anak, tampak gelisah kadang di sertai
perubahan

tingkah

laku.

Dapat

disertai

gangguan

penglihatan,

pendengaran, bicara, serta kejang. Gejala lain berupa gelisah, rewel,


perubahan prilaku, gangguann kesehatan, kejang. Kadang-kadang di sertai
tanda neorologis fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia, dan
paralisis saraf otak.
2.6

Pemeriksaan Penunjang
Secara klinik dapat di diagnosis dengan menemukan gejala klinik tersebut
diatas:
1. Biakan : dari darah : viremia berlangsung hanya sebentar saja
sehingga sukar untuk mendapatkan hasil yang positif. Dari likuor atau
jaringan otak. Akan dapat gambaran jenis kuman dan sensitivitas
terhadap antibiotika.

10

2. Pemeriksaan serologis : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi


henaglutinasi dan uji teutralisasi. Pada pemeriksaan serologis dapat
diketahui reaksi antibodi tubuh, IgM dapat dijumpai pada awal gejala
penyakit timbul.
3. Pemeriksaan darah : terjadi peningkatan leukosit.
4. Fungsi lumbal likuor serebospinalis sering dalam batas normal.
Kadang- kadang ditemukan sedikit peningkatan jumlah sel, kadar
protein atau glukosa.
5. EEG / Electroencephalography EEG sering menunjukan aktivitas
listrik yang merendah sesuai dengan kesadaran yang menurun, adanya
kejang,koma,tumor,infeksi sistem saraf, bekuan darah, abses, jaringan
parut otak, dapat menyebabkan aktivitas listrik berbeda dari pola
normal irama dan kecepatan. (Smeltzer,2002).
6. CT Scan, pemeriksaan CT Scan otak sering kali di dapat hasil normal,
tetapi bisa juga didapat hasil edema diffuse.

2.7

WOC
Factor-faktor predisposisi: pernah
mengalami campak, cacar, herpes,
dan bronkopneumonia

11

Virus/bakteri masuk jaringan otak


secara local, hematogen, dan melalui
saraf-saraf

Peradangan di
otak

Kerusakan
saraf
kranial V

Pembentukan
transudat dan
eksudat

Reaksi
kuman
pathogen

Iritasi korteks
serebral area
fokal

Edema serebral

Suhu tubuh
meningkat

Kejang, nyeri
kepala

Defisit cairan
dan
hipovolemik

5. resiko tinggi
trauma

1. Gangguan
perfusi jaringan
serebral

Kesulitan
mengunya
h

6. resiko kejang
berulang

Penumpukan
secret

8. gangguan mobilitas fisik


9.
gangguan
sensorik
10. Koping
efektif

2. gangguan bersihan
jalan nafas

persepsi

individu

11. kecemasan

Sulit
makan

4. Pemenuhan
nutrisi kurang dari
kebutuhan

3. resiko tinggi
defisit cairan
dan hipovolemik
Kesadara
n
menurun

Kerusakan
saraf
kranial IX

tidak

BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1

Konsep Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Ensefalitis


A. Pengkajian
a) Anamnesa
Asuhan utama yang sering terjadi alasan klien atau orang tua
membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah
kejang di sertai penurunan tingkat kesadaran.
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk
mengatahui jenis kuman penyebab. Di sini harus ditanya dengan
jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan,
sembuh, atau berambah buruk. Pada pengkajian klien ensepalitis
biasanya didapatkan keluhan yang berhubungan dengan akibat dari
infeksi dan peningkatan TIK. Keluhan gejala awal yang sering
adalah sakit kepala dan demam. Sakit kepala disebabkan ensefalitis
yang berat dan sebagai akibat iritasi selaput otak. Demam ummnya
ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit.
c) Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang
menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien
mengalami campak, cacar air, herpes, dan bronkopneumania.
Pengkajian pada anak mungkin didapatkan riwayat menderita
penyakit yang di sebabkan oleh virus seperti virus influenza,
varicella, adenovirus, kokssakie, echovirus atau parainfluenza,
infeksi bakteri, parasit satu sel, cacing, fungus, riketsia.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan
klien seperti pemakain obat kortikosteroid, pemakain jenis-jenis
antibiotik dan reaksinya (untuk menilai resistensi pemakaian

12

13

antibiotik) dapat meningkatkan komprehensifnya pengkajian.


Pengkajian riwayat ini dapat mendukung paengkajian dari
riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk
mengkaji lebih jauh serta untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
d) Pengkajian Psiko-sosial-spiritual
Pengkajian psikologis klien ensefalitis meliputi beberapa
penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi
yang jelas mengenai status emosi, kogninitif, dan prilaku klien.
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting
untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan seharihari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak
yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan
citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara
sadar biasa digunakan klien selama masa stres meliputi
kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini
yang telah diketahui dan perubahan prilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah
keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena
biaya perawatan dan pengobatan memerlu dana yang tidak sedikit.
Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis
dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya
hidup klien. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari
dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit
neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan
rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan
neurologis di dalam sistem dukungan individu.

14

e) Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada
keluhan-keluhan klien pemeriksaan fisik sangat berguna untuk
mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik
sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan
fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan dihubungkan
dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pemeriksaan fisik di mulai dengan memeriksa tanda-tanda
vital (TTV). Pada klie ensefalitis biasanya didapatkan peningkatan
suhu tubuh lebih dari normal 39 41C. Keadaan ini biasanya
dihubungkan dengan proses inflamasi dari selaput otak yang sudah
menganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi
terjadi berhungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK. Apabila
disertai peningkatan frekuensi pernapasan sering berhungan
dengan peningkatan laju metabolism umum dan adanya infeksi
pada sistem pernapasan sebelum mengalami ensefalitis. TD
biasanya normal atau meningkat berhubungan dengan tanda-tanda
peningkatan TIK.
a) B1 (BREATHING)
Inspeksi apakah klie batuk, produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi
pernapasan yang sering didapatkan pada klie ensefalitis yang
disertai adanya gangauan pada sistem pernapasan. Palpasi biasanya
taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan ensefalitis berhubungan
dengan akumulasi sekret dari penurunan kesadaran.
b) B2 (BLOOD)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan renjatan (syok)
hipovolemik yang sering terjadi pada klie ensefalitis.

15

c) B3 (BRAIN)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan pengkajian sistem lainnya.
1) Tingkat Kesadaran
Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien ensefalitis
biasanya

berkisar

pada

tingkat

latergi,

stupor,

dan

semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka


penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk memantau pemberian asuhan
keperawatan.
2) Fungsi Serebri
Status mental: obsevasi penampilan klien dan tingkah lakunya,
nilai gaya bicara klien dan obsevasi ekspresi wajah, dan
aktivitas motorik. Pada klien ensefalitis tahap lanjut biasanya
status mental klien mengalami perubahan.
3) Pemeriksaan Saraf Kranial
Saraf I. Fungsi penciuman biasanya tidaka ada kelaianan pada
klien ensefalitis.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan terutama pada
ensefalitis supuratif disertai abses serebri dan efusi subdural
yang menyebabkan peningkatan TIK.
Saraf III, IV, dan VI. Pemeriksaan dan reaksi pupil pada klien
ensefalitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasanya
tanpa kelainan. Pada tahap lanjut ensefalitis yang telah
menganggu kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan
reaksi pupil akan didapatkan. Dengan alasan yang tidak

16

diketahui, klien ensefaitis mengeluh mengalami fotofobia atau


sensitif yang berlebihan terhadap cahaya.
Saraf V. Pada klien ensefalitis didapatkan paralisis pada otot
sehingga menganggu proses mengunyah.
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
asimetris karena adanya paralisis unilateral.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
Saraf IX dan X. kemampuan menelan kuarang baik sehingga
menganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius. Adanya usaha dari klien untuk melakukan fleksi
leher dan kaku kuduk.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
dan

tidak

ada

fasikulasi.

Indra

pengecapan

normal.

Peradangan pada selaput otak mengakibatkan sejumlah tanda


yang mudah dikenali pada ensefalitis. Tanda tersebut adalah
kaku kuduk, yaitu ketika adanya upaya untuk fleksi kepala
mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
d) B 4 (BLADDER)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume saluran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e) B 5 (BOWEL)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis
menurun karena anoreksia dan adanya kejang.

17

f) B 6 (BONE)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang
lain.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan perfusi jaringan serebri yang berhubungan dengan
peningkatan tekanan intrakranial.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan
kesadaran.
3. Risiko tinggi defisit cairan dan hipovolemik.
4. Resiko tinggi gangguan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan

dengan

ketidakmampuan

menelan,

keadaan

hipermetabolik.
5. Resiko tinggi cedera yang berhubungan dengan kejang,
perubahan status mental, dan penurunan tingkat kesadaran.
6. Resiko kejang berulang.
7. Nyeri yang berhubungan dengan adanya iritasi lapisan otak.
8. Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan
neuromuskular, penurunan kekuatan otot, penurunan kesadaran,
kerusakan persepsi/kognitif.
9. Gangguan persepsi sensorik yang berhubungan dengan kerusakan
penerima rangsang sensorik, transmisi sensorik, dan integrasi
sensorik.
10. Koping individu tidak efektif yang berhubungan dengan
prognosis penyakit, perubahan psikososial, perubahan persepsi
kognitif, perubahan aktual struktur dan fungsi, ketidakberdayaan,
dan merasa tidak ada harapan.
11. Cemas yang berhubungan dengan ancaman, kondisi sakit dan
perubahan kesehatan.
C. Intervensi Keperawatan

Gangguan perfusi jaringan serebri berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.

18

Data penunjang : malaise, pusing, nausea, muntah, iritabilitas, kejang, kesadaran menurun, bingung,
delirium, koma. Perubahan reflek-reflek, tanda-tanda neurologis, fokal pada meningitis, tanda-tanda
tekanan intrakranial (bradikardi, tekanan darah meningkat, nyeri kepala hebat).
Tujuan : dalam waktu 3 x 24jam setelah diberikan intervensi perfusi jaringan otak meningkat.
Kriteria Hasil : tingkat lesadaran meningkat menjadi sadar, disorientasi negatif, konsentrasi baik,
perfusi jaringan dan oksigen baik, tanda-tanda vital dalam keadaan normal, dan syok dapat dihindari.
Intervensi

Rasional

Monitor klien dengan ketat terutama setelah lumbal

Untuk mencegah nyeri kepala yang menyertai

pungsi. Anjurkan klien berbaring minimal 4-6 jam

perubahan tekanan intrakranial.

setelah lumbal pungsi.


Monitor tanda-tanda peningkatan tekanan

Untuk mendeteksi tanda-tanda syok dan

intrakranial selama perjalanan penyakit (nadi lambat, dilaporkan kepada dokter sebagai intervensi
tekanan darah meningkat, kesadaran menurun, nafas awal.
irreguler, refleks pupil mmenurun, kelemahan).
Monitor tanda-tanda vital dan neurologis tiap 5-30

Perubahan-perubahan ini menandakan ada

menit. Catat dan laporkan segera perubahan-

perubahan tekanan intrakranial dan penting

perunbahan tekanan intrakranial ke dokter.

untuk intervensi awal.

Hindari posisi tungkai ditekuk atau gerakan-

Untuk mencegah peningkatan tekanan

gerakan klien, anjurkan untuk tirah baring.

intrakranial.

Tinggikan sedikit kepala klien denga hati-hati,

Untuk mengurangi tekanan intrakranial.

cegah gerakan yang tiba-tiba dan tidak perlu dari


kepala dan keher, hindari fleksi leher.
Bantu seluruh kegiatan dan gerakan klien. Beri

Untuk mencegah ketegangan otot yang dapat

petunjuk untuk BAB (jangan enema). Anjurkan

menimbulkan peningkatan tekanan

klien untuk menghembuskan napas dalam bila

intrakranial.

miring dan bergerak ke tempat tidur. Cegah posisi


fleksi pada lutut.
Waktu prosedur perawatan disesuaikan dan diatur

Untuk mencegah eksitasi yang merangsang

tepat waktu dengan periode relaksasi,hindari

otak yang sudah iritasi dan dapat

rangsangan luar yang tidak perlu.

menimbulkan kejnag.

Beri penjelasan kepada keadaan lingkungan pada

Untuk mengurangi disorientasi dan untuk

19

klien.

klarifikasi persepsi sensori yang terganggu.

Evaluasi selama masa penyembuhan terhadap

Untuk merujuk ke rehabilitasi.

gangguan motorik, sensorik, dan intelektual.


Kolaborasi pemberian Steroid Osmotik.

Untuk menurunkan tekanan intrakranial.

Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi sekret, kemampuan


batuk menurun akibat penurunan kesadaran.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24jam setelah diberikan tindakan , jalan nafas dapat kembali efektif
Kriteria Hasil : secara subjektif sesak nafas (-), frekuensi nafas 16-20x/menit, tidak menggunakan
otot bantu nafas, retraksi ICS (-), ronchi (-), mengi (-), dapat mendemonstrasikan cara batuk efektif.
Intervensi

Rasional

Kaji fungsi paru, adanya bunyi nafas tambahan,

Memantau dan mengatasi komplikasi potensial.

perubahan irama dan kedalaman, penggunaan

Pengkajian fungsi pernapasan dengan interval

otot-otot aksesori, warna dan kekentalan sputum.

yang teratur adalah penting karena pernapasan


yang tidak efektif dan adanya kegagalan.
Akibat adanya kelemahan atau paralisis pada
otot-otot interkostal dan diafragma berkembang
dengan cepat.

Atur posisi fowler dan semifowler.

Peninggian kepala tempat tidur memudahkan


pernapasan, meningkatkan ekspansi dada, dan
meningkatkan batuk lebih efektif.

Ajarkan batuk secara efektif.

Klien berada pada resiko tinggi bila tidak dapat


batuk dengan efektif untuk membersihkan jalan
napas dan mengalami kesulitan dalam menelan,
sehingga menyebabkan aspirasi saliva dan
mencetuskan gagal napas akut.

Lakukan fisioterapi dada, vibrasi dada.

Terapi fisik dada membantu meningkatkan


batuk lebih efektif.

Penuhi hidrasi cairan via oral seperti minum air

Pemenuhan cairan dapat mengencerkan mukus

20

putih dan pertahankan asupan cairan 2500 ml/hari.

yang kental dan dapat membantu pemenuhan


cairan yang banyak keluar dari tubuh.

Lakukan penghisapan lendir di jalan napas.

Penghisapan mungkin diperlukan untuk


mempertahankan kepatenan jalan napas
menjadi bersih.

Risiko tinggi gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


ketidakmampuan menelan, keadaan hipermetabolik.
Tujuan : dalam waktu 5 x 24jam setelah diberikan tindakan kebutuhan nutrisi klien terpenuhi.
Kriteria Hasil : turgor baik, asupan dapat masuk sesuai kebutuhan, terdapat kemampuan menelan,
sonde dilepas, berat badan meningkat 1kg, Hb dan albumin dalam batas normal.
Intervensi

Rasional

Observasi tekstur dan turgor kulit.

Mengetahui status nutrisi klien.

Lakukan oral higine.

Kebersihan mulut merangsang nafsu makan.

Observasi asupan dan keluaran

Mengetahui keseimbangan nutrisi klien.

Observasi posisi dan keberhasilan sonde.

Untuk menghindari risiko infeksi/iritasi.

Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah,

Untuk menentukan jenis makanan yang akan

menelan, dan refleks batuk.

diberikan pada klien.

Kaji kemampuan klien dalam menelan, batuk, dan

Dengan mengkaji faktor-faktor tersebut dapat

adanya sekret.

menentukan kemampuan menelan klien dan


mencegah risiko aspirasi.

Auskultasi bising usus, amati penurunan atau

Fungsi gastrointestinal bergantung pada

hiperaktivitas bising usus.

kerusakan otak. Bising usus menentukan


respon pemberian makanan atau terjadinya
komplikasi misalnya illeus.

Timbang berat badan sesuai indikasi.

Untuk mengevaluasi efektivitas dari asupan


makanan.

21

Berikan makanan dengan cara meninggikan posisi

Menurunkan resiko regurgitasi atau aspirasi.

kepala.
Letakkan posisi kepala lebih tinggi selama dan

Agar klien lebih mudah menelan karena

sesudah makan.

adanya gaya gravitasi.

Stimulasikan mulut membuka dan menutup secara

Melatih kembali sensorik dan meningkatkan

manual dengan menekan ringan bagian di atas bibir

kontrol maskular.

dan di bawah dagu.


Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak

Memberikan stimulasi sensorik (termasuk

terganggu.

rasa kecap) yang dapat mencetuskan usaha


untuk menelan dan meningkatkan masukan.

Berikan makanan dengan perlahan pada lingkungan

Klien dapat berkonsentrasi terhadap

yang tenang.

mekanisme makan tanpa adanya distraksi dari


luar.

Mulai memberikan makanan per oral setengah cair

Makanan lunak/cair mudah untuk

dan makanan lunak ketika klien dapat menelan air.

dikendalikan di dalam mulut dan menurunkan


terjadinya aspirasi.

Anjurkan klien menggunakan sedotan untuk

Menguatkan otot fasial dan otot menelan serta

minum.

menurunkan risiko terjadinya tersedak.

Anjurkan klien untuk berpartisipasi dalam program

Dapat meningkatkan pelepasan endorfin

latihan/kegiatan.

dalam otak yang meningkatkan nafsu makan.

Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan

Mungkin diperlukan untuk memberikan

cairan melalui IV atau makanan melalui selang

cairan pengganti dan juga makanan jika klien

NGT.

tidak mampu untuk memasukkan segala


sesuatu melalui mulut.

Risiko tinggi cedera berhubungan dengan kejang, perubahan status mental, dan penurunan
tingkat kesadaran.
Tujuan : dalam waktu 3 x 24jam setelah diberikan tindakan , klien bebas dari cidera yang disebkan
oleh kejang dan penurunan kesadaran.

22

Kriteria Hasil : klien tidak mengalami cedera apabila ada kejang.


Intervensi

Rasional

Monitor kejang pada tangan, kaki, mulut, dan

Gambaran iritabilitas sistem saraf pusat

otot-otot muka lainnya.

memerlukan evaluasi yang sesuai dengan


intervensi yang tepat untuk mencegah
terjadinya komplikasi.

Persiapkan lingkungan yang aman seperti batasan

Melindungi klien jika kejang terjadi.

ranjang, papan pengaman, dan alat suction selalu


berada di dekat klien.
Pertahankan bedrest total selama masa akut.

Mengurangi resiko jatuh/cedera jika terjadi


vertigo dan ataksia.

Kolaborasi pemberian terapi : Diazepam,

Mencegah dan emngurangi kejang. Catatan:

Fenobarbital.

Fenobarbital dapat menyebabkan depresi


pernapasan dan sedasi.

Nyeri kepala berhubungan dengan iritasi lapisan otak.


Tujuan : dalam waktu 3 x 24jam setelah diberikan tindakan , keluhan nyeri berkurang/rasa sakit
terkendali.
Kriteria Hasil : klien dapat tidur dengan tenang, wajah rileks, dan klien memverbalisasikan
penurunan rasa sakit.
Intervensi

Rasional

Usahakan membuat lingkungan yang aman dan

Menurunkan reaksi terhadap rangsangan

tenang.

eksternal atau kesensitifitasan terhadap cahaya


dan menganjurkan klien untuk beristirahat.

Kompres dingin (es) pada kepala.

Dapat menyebabkan vasokonstriksi pembuluh


darah otak.

Lakukan penatalaksanaan nyeri dengan metode

Membantu menurunkan (memutuskan)

distraksi dan relaksasi napas dalam.

stimulasi sensai nyeri.

Lakukan latihan gerak aktif atau pasif sesuai

Dapat membantu relaksasi otot-otot yang

23

kondisi dengan lembut dan hati-hati.

tegang dan dapat menurunkan nyeri/rasa tidak


nyaman.

Kolaborasi pemberian Analgesik.

Diperlukan untuk menurunkan rasa sakit.


Catatan: narkotika merupakan kontraindikasi
karena berdampak pada status neurologis
sehingga sukar untuk dikaji.

Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan


kekuatan otot, penurunan kesadaran, kerusakan persepsi/kognitif.
Tujuan : tidak terjadi kontraktur, footdrop, gangguan integritas kulit, fungsi pencernaan, dan kandung
kemih.
Kriteria Hasil : skala ketergantungan klien meningkat menjadi bantuan minimal.
Intervensi

Rasional

Tinjau kemampuan fisik dan kerusakan yang

Mengidentifikasi kerusakan fungsi dan

terjadi.

menentukan pilihan intervensi.

Kaji tingkat imobilisasi, gunakan skala tingkat

Tingkat ketergantungan minimal care (hanya

ketergantungan.

memerlukan bantuan minimal), partial care


(memerlukan bantuan sebagian), total care
(memerlukan bantuan komplit dari perawat dan
klien yang memerlukan pengawasan khusus
karena risiko cedera yang tinggi).

Berikan perubahan posisi yang teratur pada klien.

Perubahan posisi teratur dapat mendistribusikan


berat badan secara menyeluruh dan
memfasilitasi peredaran daraah serta mencegah
dekubitus.

Pertahankan kesejajaran tubuh yang adekuat,

Mencegah terjadinya kontrkatur atau footdrop

berikan latihan ROM pasif jika klien sudah bebas

serta dapat mempercepat pengembalian fungsi

panas dan kejang.

tubuh.

Berikan perawatan mata, bersihkan mata, dan

Melindungi mata dari kerusakan akibat

tutup dengan yang basah sekali.

terbukanya mata terus-menerus.

24

Kaji adanya nyeri, kemerahan, bengkak pada kulit

Indikasi adanya kerusakan kulit.

BAB 4
PENUTUP
4.1

Simpulan
Ensefalitis adalah radang jaringan otak yang dapat disebabkan oleh
bakteri, cacing, protozoa, jamur, ricketsia atau virus. Dengan gejala seperti
panas badan meningkat, sakit kepala, muntah-muntah lethargi, kaku
kuduk, gelisah, serta gangguan pada penglihatan, pendengaran, bicara dan
kejang. Berdasarkan faktor penyebab yang sering terjadi maka ensefalitis
diklasifikasikan menjadi enam tipe, yaitu : ensefalitis supurativa,
ensefalitis siphylis, ensefalitis virus, ensefalitis karena fungus, ensefalitis
karena parasit, dan riketsiosa serebri. Adapun pelaksanaan yang bisa
dilakukan untuk menangani masalah ensefalitis adalah dengan pemberian
antibiotik, isolasi untuk mengurangi stimuli dari luar, terapi anti mikroba,
mengontrol terjadinya kejang dan lain-lain.
Komplikasi ensefalitis bisa sampai mencapai kematian dan
penderita yang sembuh tanpa kelainan neurologik yang nyata,dalam
perkembangan selanjutnya masih mungkin menderita retardasi mental,
gangguan tingkah laku dan epilepsi.

4.2

Saran
Berdasarkan simpulan diatas, maka saran untuk pemecahan masalah yang
relevan adalah:
1.

2.

Bagi keilmuwan
Dapat mengembangkan ilmu kepada individu, seprofesi dan
masyarakat lainnya.
Bagi mahasiswa
Diharapkan mahasiswa khususnya mahasiswa dibidang kesehatan
mempelajari dan mempraktekkan asuhan keperawatan pada klien
dengan ensefalitis.

3.

Bagi STIKES ABI SURABAYA


Diharapkan STIKES ABI SURABAYA memberi fasilitas yang
memadai, agar para mahasiswa bisa mempelajari dan memahami

25

dengan baik tentang Asuhan Keperawatan Komunitas pada Kelompok


Remaja.

DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansur. (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3. Jilid 2. Jakarta : Media
Aesculapius
Doengoes, Marilynn.E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Mardjono,Mahar. Sidarta ,Priguna. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Dian
Rakyat. 1999. Hal. 36-40
Mansjoer,Arif. Suprohaita. Wardhani,Wahyu Ika. Setiowulan,Wiwiek. Kapita
Selekta Kedokteran. Media Aesculapius. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jilid 2. Edisi Ketiga. 2000. Hal.14-16
http://id.wikipedia.org/wiki/Radang_otak
https://last3arthtree.files.wordpress.com/2009/02/ensefalitis2.pdf

26

http://www.kerjanya.net/faq/5409-ensefalitis.html

27

También podría gustarte