Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
A11.2012.06966
Steganografi
dan foto-foto target dan juga perintah untuk aktivitas teroris di ruang chat
sport, bulletin boards porno dan web site lainnya. Isu lainnya menyebutkan
bahwa teroris menyembunyikan pesan-pesannya dalam gambar-gambar
porno di web site tertentu.
Steganografi adalah seni dan ilmu menulis atau menyembunyikan pesan
tersembunyi dengan suatu cara sehingga selain si pengirim dan si penerima,
tidak ada seorangpun yang mengetahui atau menyadari bahwa ada suatu
pesan rahasia. Sebaliknya, kriptografi menyamarkan arti dari suatu pesan,
tapi tidak menyembunyikan bahwa ada suatu pesan. Kata steganografi
(steganografi) berasal dari bahasa Yunani steganos, yang artinya
tersembunyi atau terselubung, dan graphein, menulis.
Kini, istilah steganografi termasuk penyembunyian data digital dalam file-file
komputer. Contohnya, si pengirim mulai dengan file gambar biasa, lalu
mengatur warna setiap pixel ke-100 untuk menyesuaikan suatu huruf dalam
alphabet (perubahannya begitu halus sehingga tidak ada seorangpun yang
menyadarinya jika ia tidak benar-benar memperhatikannya).
Pada umumnya, pesan steganografi muncul dengan rupa lain seperti gambar,
artikel, daftar belanjaan, atau pesan-pesan lainnya. Pesan yang tertulis ini
merupakan tulisan yang menyelubungi atau menutupi. Contohnya, suatu
pesan bisa disembunyikan dengan menggunakan tinta yang tidak terlihat
diantara garis-garis yang kelihatan.
Teknik steganografi meliputi banyak sekali metode komunikasi untuk
menyembunyikan pesan rahasia (teks atau gambar) di dalam file-file lain
yang mengandung teks, image, bahkan audio tanpa menunjukkan ciri-ciri
perubahan yang nyata atau terlihat dalam kualitas dan struktur dari file
semula. Metode ini termasuk tinta yang tidak tampak, microdots, pengaturan
kata, tanda tangan digital, jalur tersembunyi dan komunikasi spektrum lebar.
Tujuan dari steganografi adalah merahasiakan atau menyembunyikan
keberadaan dari sebuah pesan tersembunyi atau sebuah informasi. Dalam
prakteknya kebanyakan diselesaikan dengan membuat perubahan tipis
terhadap data digital lain yang isinya tidak akan menarik perhatian dari
penyerang potensial, sebagai contoh sebuah gambar yang terlihat tidak
berbahaya. Perubahan ini bergantung pada kunci (sama pada kriptografi) dan
R E D U N D A N T PAT T E R N E N C O D I N G
https://fairuzelsaid.wordpress.com/2010/03/23/kemanan-sistem-informasistenogangrafi/#more-2010
Digital Watermarking :
Teknologi
Pelindung
HAKI
Multimedia
Namun ceritanya bisa lain jika ada 'oknum' yang kebetulan melihat foto-foto anda
beserta keluarga yang kebetulan memang fotogenik dan layak jual. Si oknum tadi
bisa dengan mudah mendownload, copy, kemudian barangkali melakukan sedikit
manipulasi dan memasang gambar keluarga anda sebagai illustrasi iklan produk
tertentu. Apakah anda bisa menuntut sang oknum ? Tentu saja bisa. Namun apakah
anda bisa membuktikan bahwa foto yang sudah dimanipulasi tadi memang benarbenar milik anda ? Sulit !
Skenario lain misalnya pada distribusi video stream digital, seperti film komersial
atau berita. Di sini ada tiga pihak yang terkait, yaitu pemilik film, distributor, dan
konsumen akhir. Jika pengiriman data dilakukan melalui jaringan, maka untuk
menghindari penyadapan bisa dilakukan enkripsi. Sebelum dikirim data dienkripsi
dahulu dengan kunci tertentu, dan hanya bisa dibaca oleh si penerima yang kita beri
kunci untuk mendekripsinya. Namun, jika ada distributor yang nakal, setelah
mendekripsi kemudian memperbanyak materi tadi dan menjualnya secara illegal,
apakah anda sebagai pemilik bisa melacak dan membuktikan siapa pelakunya ?
Tentu saja sulit. Dari contoh tadi kita tahu bahwa enkripsi saja tidak mencukupi dan
harus ada teknologi lain yang mendukungnya.
Contoh lain adalah pada industri musik. Dengan adanya teknologi MP3, file musik
bisa dicopy dari CD dan dikompresi sampai ukurannya cukup kecil sehingga bisa
saling dipertukarkan melalui internet. Apakah si pencipta atau sang produser bisa
melacaknya ?
Jadi memang diperlukan suatu cara untuk melindungi Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) pada materi multimedia.
Watermarking
Teknologi watermarking, yang mencoba menjawab kebutuhan di atas, relatif masih
baru dan belum matang serta masih membuka peluang riset yang luas. Ide awalnya
muncul pada tahun 1990, dan pada tahun 1993 Tirkel et al mulai menggunakan kata
'watermark' dalam papernya. Namun baru pada tahun 1995/1996 topik ini menjadi
perhatian dan mulai menjadi salah satu fokus riset.
Prinsip
dasar watermarking ditunjukkan
pada
Gambar
1.
Teknik watermarking bekerja dengan menyisipkan sedikit informasi yang
menunjukkan kepemilikan, tujuan, atau data lain, pada materi multimedia tanpa
mempengaruhi kualitasnya. Jadi pada citra (image) digital, mata kita tidak bisa
membedakan apakah citra tersebut disisipi watermark atau tidak. Demikian pula jika
kita terapkan pada audio atau musik, telinga kita tidak bisa mendengar sisipan
informasi tadi.
Sehingga pada teknologi ini dikenal suatu persyaratan bahwa watermark haruslah
imperceptible atau tidak terdeteksi oleh indera penglihatan (human visual system /
HVS) atau indera pendengaran (human auditory system / HAS).
Sementara dokumen asli dan watermark kita simpan dan rahasiakan, dokumen yang
sudah disisipi watermark bisa dipublikasikan. Nah, sang 'oknum' kemudian
mengambil materi yang sudah dipublikasikan tadi dan memanipulasinya. Dia bisa
melakukan cropping, rotasi, sampling ulang, dan berbagai proses signal digital
lainnya. Dalam dunia digital watermarking, hal ini dikenal sebagai 'attack' terhadap
materi yang sudah disisipi watermark. Setelah sang oknum merasa yakin bahwa
dokumen tadi sudah hilang watermarknya, dia kemudian bisa mendistribusikan atau
memperdagangkannya. Jika kebetulan anda menemukan dokumen yang anda
curigai sebagai bajakan dari milik anda, olah dokumen tadi untuk mengambil
watermark yang tersembunyi dan bandingkan dengan data asli yang anda simpan.
Kecil kemungkinan bahwa kedua data tadi akan persis sama. Namun jika dalam
tingkat tertentu keduanya memiliki kemiripan, dimana hal ini bisa diukur secara
statistik, maka anda yakin bahwa materi tadi memang berasal dari milik anda.
Robust vs Fragile Watermarking
Pada dasarnya ada dua jenis algoritma watermarking, yaitu 'robust' dan 'fragile'
watermark. Pada robust watermark, data disisipkan dengan sangat kuat, sehingga
jika ada yang berusaha menghapusnya maka gambar atau suara yang disisipi akan
ikut rusak dan tidak punya nilai komersial lagi. Watermark jenis ini digunakan untuk
aplikasi proteksi kepemilikan. Sebaliknya pada fragile watermark, data disisipkan
dengan tidak begitu kuat, sehingga jika dokumen yang sudah diwatermark
mengalami manipulasi, maka setelah kita proses, akan terdeteksi bagian mana yang
dimanipulasi. Sebagai illustrasi, jika anda perhatikan Gambar 2, apakah anda bisa
membedakan manakah gambar yang asli ? Disinilah fragile watermarking bisa
berperan untuk otentikasi dan integrity control.
Contoh Algoritma
Digital watermarking dilakukan dengan memanfaatkan pemrosesan signal digital,
dan dapat dilakukan pada domain waktu/spatial atau domain transform.
Pada watermarking untuk citra yang dilakukan pada domain spatial, penyisipan
dilakukan dengan sedikit mengubah nilai pixel-pixel tertentu. Sedangkan jika
menggunakan domain transform, maka citra tersebut diubah dahulu ke dalam
domain transform (biasanya dengan DFT, DCT atau DWT) kemudian penyisipan
data dilakukan dengan sedikit mengubah nilai koefisien tertentu yang dipilih. Contoh
algoritma robust watermarking pada domain DCT diperlihatkan pada Gambar 3.
Citra yang sudah disisipi watermark yang ditampilkan pada gambar tersebut adalah
hasil percobaan dengan 1000 bit data watermark dan a=0.1. Semakin tinggi nilai a
maka watermark akan semakin tahan dalam menghadapi attack, namun kualitas
citra akan mengalami penurunan. Seperti nampak pada gambar tersebut, tidak
terlihat perbedaan yang berarti antara citra asli dengan citra yang sudah disisipi
watermark.
Untuk mendeteksi apakah dokumen yang kita curigai (dalam hal ini citra yang sudah
disisipi watermark dan sudah mengalami attack) merupakan turunan dari dokumen
asli, maka pendeteksian bisa dilakukan dengan proses kebalikan dari Gambar 3
tersebut, dan akhirnya dilakukan proses pembandingan secara statistik antara
watermark hasil deteksi dengan satu set watermark yang kita miliki. Contoh hasil
deteksi dimana watermark nomor 200 yang kita sisipkan, ditunjukkan pada Gambar
4.
Aplikasi Lainnya
Selain digunakan untuk proteksi kepemilikan serta untuk memonitor distribusi
material digital ataupun untuk otentikasi, ada beberapa skenario aplikasi lainnya.
Pada industri broadcasting, digital watermarking bisa dimanfaatkan untuk memonitor
iklan yang ditayangkan. Si pemasang iklan akan bisa mendeteksi dan menghitung
apakah iklannya sudah ditayangkan sebanyak yang diinginkan. Produser atau
pemegang hak milik dari suatu film misalnya, akan bisa memonitor distribusi dan
penayangan filmnya. Penayangan ulang yang tidak sesuai kontrak akan terdeteksi.
Selain itu, survey terhadap minat penonton juga bisa memanfaatkan teknologi ini.
Tanpa menggunakan kertas kuisioner atau wawancara, pada pesawat penerima
para responden dipasang detektorwatermarking yang akan mencatat program apa
saja yang ditonton.
Beberapa Solution Provider
Walaupun teknologi ini masih belum matang, namun sudah muncul beberapa
perusahaan penyedia solusi watermarking dari USA, Inggris, Swiss, Korea, dan
Yunani, antara lain: Alpha Tec Ltd (http://www.alphatecltd.com), AlpVision
(http://www.alpvision.com),
Bluespike
(http://www.bluespike.com),
Cognicity
(http://www.cognicity.com),
Digimark
(http://www.digimarc.com),
DCT
(http://www.dct-group.com), MediaSec (http://www.mediasec.com), Sealtronic
6. http://www.ctr.columbia.edu/~cylin
7. http://www.haki.net
8. http://www.watermarkingworld.org
Gambar
1. Prinsip Dasar Digital Watermarking.
2. Manakah yang otentik, Hillary atau Monica ?
3. Robust Watermarking pada Citra Digital dengan Domain DCT.
4. Output Detektor Watermark.
Sumber : Elektro Indonesia VI/35 (Februari 2001)