Está en la página 1de 10

PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN

SCHISTOSOMIASIS

Disusun Oleh: Kelompok 14


Meiana Mumtaza P23133115026
M Zufar Ibrahim P23133115029
Nuke Fernanda
P23133115032
Dosen
Moh. Ichsan Sudjarno, SKM. M.Epid
Sri Ani, SKM. MKM

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAKARTA II


JURUSAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI D-IV TINGKAT II
Jl. Hang Jebat III/F3 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan 12120
Telp.(021)7397641, 7397643.Fax (021) 7397769
2016

Pengertian Schistosomiasis
Schistosomiasis adalah penyakit endemis kronik, yang ditandai oleh gejala- gejala
abdominal dan disentri, disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum Sp yang termasuk
golongan trematoda. Penyakit ini dapat dikatakan sebagai masalah Kesehatan Masyarakat
setempat di beberapa Negara Asia Tenggara, mulai dengan tersebarnya penyakit secara luas
di Filipina, dan di temukannya fokus baru di Laos, Kamboja, Thailand dan Malaysia (Barodji
dkk, 1983). Katsurada pada tahun 1904 menjelaskan telur dan cacing dewasa yang ditemukan
pada anjing, kucing dan manusia, parasitnya disebut Schistosoma japonicum Sp dan disebut
juga Oriental Blood Fluke yang infeksinya terbatas di Negara Timur Jauh dan dibedakan dari
Schistosoma mecongi Sp, suatu spesies baru yang juga ditemukan di Negara Timur Jauh.
Penyakit ini banyak ditemukan di China, Jepang, Taiwan, Filipina dan Indonesia
(Natadisastra dan Agoes, 2009).
Agent (Bibit Penyakit)
Schistosomiasis adalah penyakit zoonotik yang disebabkan oleh infeksi cacing yang
tergolong dalam kelas trematoda, genus Schistosoma. Terdapat tiga spesies Schistosoma yang
menimbulkan masalah kesehatan pada manusia (Schistosomiasis), yaitu : Schistosoma
japonicum Sp, Schistosoma haematobium Sp dan Schistosoma mansoni Sp. Ketiga spesies
tersebut merupakan golongan trematoda darah (Soedarto, 2008).
Manusia merupakan hospes definitif Schistosoma japonicum Sp (Oriental Blood Fluke),
sementara babi, anjing, kucing, kerbau, sapi, kambing, kuda dan rodensia merupakan hospes
reservoir (Muslim, 2009).
Morfologi
Secara morfologis cacing ini agak berbeda dengan cacing trematoda lainnya, cacing ini tidak
berbentuk pipih dorso-ventral tetapi berbentuk silinder dan memanjang, mempunyai bentuk
jantan dan betina yang terpisah dan telurnya tidak memiliki operculum dan dilengkapi
semacam duri (spina) (Soegeng, 2005). Saluran pencernaan cacing ini mula-mula bercabang
menjadi dua sekum, kemudian di daerah posterior tubuh, keduanya kembali menjadi satu
saluran buntu (Soedarto, 2008).

a. Cacing dewasa
1) Cacing jantan panjang antara 1,5-2 cm, cacing betina lebih panjang dan berbentuk filiform.
2) Mempunyai batil hisap mulut (Oral Sucker) dan asetabulum (Ventral Sucker)
3) Cacing jantan mempunyai canalis gynacophorus, tempat dimana cacing betina masuk dan
meletakkan diri.
4) Cacing jantan tubuhnya diselimuti kutikula (tegument) ada yang berbintil kasar, halus dan
ada yang tidak berbintil.
5) Usus bercabang menjadi dua caeca dan bergabung menjadi satu bagian posterior dan
berakhir buntu.
b. Telur
1) Tidak mempunyai operculum tapi dilengkapi dengan duri (spina) atau tonjolan tumpul
(knob).
2) Pada waktu oviposisi tidak mengandung embrio yang sudah matang (mirasidium).
c. Serkaria
1) Merupakan stadium infektif yang keluar dari tubuh siput, berbentuk seperti kecebong
dengan ekor bercabang (Bariah dan Pusarawati, 2007).
Patologi dan Gejala Klinis
Perubahan disebabkan oleh 3 stadium perkembangan cacing, yaitu serkaria, cacing dewasa
dan terutama telur. Perubahan pada Schistosomiasis dapat dibagi dalam 3 stadium (Muslim,
2005):
a. Masa tunas biologis.
Dimulai ketika serkaria menembus kulit yang dapat menimbulkan pruritus dan kemerahan
yang bersifat sementara. Selama invasi hati dan organ lain oleh cacing belum dewasa, timbul
perdarahan berupa petekia dan sarang infiltrasi sel eosinofil dan leukosit. Reaksi toksik dan
alergi dapat menyebabkan urtikaria, edema subkutan, serangan asma, leukositas dan
eosinofil. Pada waktu berakhir masa tunas, hati menjadi besar dan nyeri. Terdapat pula rasa
tidak nyaman di bagian perut, demam, berkeringat, menggigil dan kadang-kadang diare.
Kemudian cacing muda bermigrasi melawan aliran darah ke vena mesenterika dan cabang-

cabangnya dan telur menyerbu ke dinding usus. Dengan terjadinya perletakan telur, stadium
akut dimulai.
Pada lingkaran hidup normal, telur mencari jalan melewati dinding usus dan masuk ke feses.
Apabila terdapat banyak telur disertai darah dan sel jaringan nekrosis, sejumlah besar telur
akan terbawa kembali masuk ke aliran darah menuju hati.
b. Stadium akut.
Stadium yang menunjukkan permulaan masuknya telur ke dalam usus, hati dan paru.
Stadium ini ditandai oleh demam, malaise, urtikaria, eosinofilia, sakit perut, diare, berat
badan menurun, hati mulai membesar dan pada kasus yang jarang terjadi limpa juga akan
membesar. Hepatomegali timbul lebih dini disusul dengan splenomegali dapat terjadi dalam
waktu 5-8 bulan. Telur Schistosoma diletakkan dikelenjar limfe mesenterium dan di dinding
usus. Telur yang masuk menimbulkan infeksi sel yang hebat di dalam dinding usus dengan
poliferasi jaringan ikat yang luas, pembentukan papiloma dan thrombosis pembuluh darah
kecil. Perubahan ini bersifat kongesti, mukosa menjadi bergranula atau mengadakan
hipertrofi, papil yang kekuning-kuningan dan pembentukan ulkus.
Lesi yang berat disebabkan oleh Schistosoma japonicum Sp karena menghasilkan 10
kali lebih banyak telur dibandingkan Schistosoma mansoni Sp. Telur ditemukan dalam
apendiks pada 75% kasus infeksi usus, kadang disertai dengan infeksi bakteri sekunder, tetapi
telur ini jarang menimbulkan sindrom apendisitis. Telur yang menjadi emboli terutama
menyebabkan poliferasi progresif dan fibroblastic, fibrosis periduktus dan sirosis interstisial
dengan hipertensi portal yang semakin tinggi. Fibrosis hati yang mengarah ke sirosis
merupakan hal yang dapat pula terjadi pada infeksi Schistosoma japonicum Sp. Infeksi otak
yang jarang sekali dapat juga terjadi, terutama disebabkan oleh telur Schistosoma japonicum
Sp yang menjadi emboli, dan bereaksi secara mekanis sebagai zat protein asing, sebagai
bahan toksik dan menimbulkan reaksi yang hebat dengan edema, infiltrasi sel pada susunan
saraf, sel-sel raksasa, perubahan pada vena dan degenerasi jaringan sekitarnya. Sakit daerah
perut, hepatitis, anoreksi, demam, mialgia, disentri dan berat badan turun adalah gejala khas
untuk Schistosomiasis usus. Stadium akut berlangsung 3 sampai 4 bulan dan dapat lebih
hebat pada infeksi berat dan infeksi oleh Schistosoma japonicum Sp karena jumlah telur yang
dihasilkan spesies ini lebih besar.

c. Stadium menahun.
Terjadi penyembuhan jaringan dengan pembentukan jaringan ikat atau fibrosis. Hati yang
semula membesar karena peradangan, kemudian mengecil karena terjadi fibrosis yang
disebut sirosis. Pada Schistosomiasis, sirosis yang terjadi adalah sirosis periportal yang
mengakibatkan terjadinya hipertensi portal karena adanya bendungan di dalam jaringan hati.
Gejala yang timbul adalah splenomegali dan edema, yang biasanya ditemukan pada tungkai
bawah dapat pula pada alat kelamin. Dapat ditemukan asites dan ikterus. Pada stadium lanjut
sekali dapat terjadi hematemesis karena pecahnya varises esophagus.
Riwayat alamiah Schistosomiasis
-Tahap Prepatogenesis
Siklus hidup dari Schitosoma Japonicum dimulai dari telur yang keluar bersama feses dan
dalam 16 jam menetas menjadi mirasidium. Selanjutnya mirasidium masuk dalam tubuh
keong dan mengalami perkembangan dalam tubuh keong. Kurun waktu 4-8 jam berkembang
menjadi sporocyst I dan sporocyst II, selanjutnya dalam waktu 1-3 hari sporocyst keluar dari
keong berubah menjadi serkaria. Masyarakat di sebagian wilayah Indonesia mempunyai
kebiasaan mandi, mencuci, mengambil air disungai dan buang hajat disungai, parit, atau
disawah. Kebiasaan mandi, mencuci, dan mengambil air di sungai sangat beresiko terinfeksi
S. japonicum. Mereka terinfeksi cacing S. japonicum pada saat kontak dengan air yang
terkontaminasi dengan larva serkaria yaitu pada saat melakukan kegiatan harian tersebut.
Selain kegiatan tersebut, infeksi S japonicum juga berkaitan dengan pekerjaan. Bertani,
memancing dan berburu dihutan merupakan pekerjaan yang memiliki resiko sangat besar
terhadap infeksi S. japonicum.
-Tahap Patogenesis
Masa Inkubasi
Ketika schistosomes pertama kali memasuki kulit, ruam yang gatal bisa terjadi (gatal
perenang). Sekitar 4 sampai 8 minggu kemudian (ketika cacing dewasa mulai meletakkan
telur), demam, panas-dingin, nyeri otot, lelah, rasa tidak nyaman yang samar (malaise), mual,

dan nyeri perut bisa terjadi. Batang getah bening bisa membesar untuk sementara waktu,
kemudian kembali normal.

Penyakit dini
gejala-gejala yang bersifat umum seperti gejala keracunan, demam, disentri , penurunan berat
badan, penurunan nafsu makan, gejala saraf, kekurusan dan lambatnya pertumbuhan pada
anak-anak. Pada fase akut (dikenal dengan Katayama Fever) berupa demam, malaise,
urticaria, dan eosinofilia. Gejala lain dapat berupa batuk, demam, letargi, diare, kekurusan,
hematuria, sakit kepala, nyeri persendian dan otot, eosinofilia, splenomegali, dan
hepatomegali.
Penyakit lanjut
Infeksi Schistosoma haematobium akan menyebabkan demam disertai batuk kering yang
diikuti dengan kesakitan perut ringan, hati menjadi lunak, dan eosinofilia. Pada infeksi yang
berkepanjangan, S. japonicum dapat menyebabkan granuloma di perut dan karsinoma pada
lambung. Infeksi kronis dari S. mansoni dan S. japonicum menyebabkan fibrosa periportal
hati dan hipertensi vena porta yang menyebabkan ascites dan varises oesofagial. Infeksi
jangka panjang dari S. haematobium menyebabkan perlukaan vesica urinaria, obstruksi
renalis, infeksi kronis saluran urinari, dan kemungkinan carcinoma pada vesica urinaria.
Tahap akhir
Schistosomiasis dapat menimbulkan pembengkakan hati dan limpa serta sirosis hati yang
umumnya berakhir dengan kematian.
Epidemiologi
Schistosomiasis Penyakit Schistosomiasis di Indonesia baru dikenal pada tahun 1937
yaitu dengan ditemukannya sebuah kasus pertama oleh Muller dan Tesch dimana pada
pemeriksaan histology ditemukan adanya telur trematoda didalam jaringan paru dan hati.
Pada permulaan dibuat diagnosis sebagai telur paragonimus atau telur Schistosoma

japonicum Sp. Isolasi telur dari jaringan yang dilakukan oleh Brug untuk memastikan bahwa
telur tersebut adalah telur Schistosoma japonicum Sp (Veridiana dan Chadijah, 2013).
Telah diketahui ada dua strain yang bersifat geographical yaitu strain ThailandMalaysia dan strain Sulawesi. Terdapat perbedaan pada strain tersebut, yaitu pada tuan rumah
siput yang sesuai. Di Indonesia, di Pulau Sulawesi, keadaan endemik tinggi di Daerah Danau
Lindu.
Pada tahun 1971 dari pemeriksaan tinja terdapat infeksi Schistosoma japonicum Sp
53% dari 126 orang penduduk pada usia antara 7 sampai 70 tahun, dan di Lembah Napu
dilaporkan infection rate 8 dan 12% pada rattus exulans, tikus liar. Pada tahun 1972, dari hasil
survei Departemen Kesehatan, Sub-direktorat Schistosomiasis dari beberapa Desa sekitar
Danau Lindu, Lembah Napu dan Daerah Besoa Propinsi Sulawesi Tengah, terdapat
prevalensi Schistosoma japonicum Sp antara 1-67%. Setelah melalui program pemberantasan
secara terpadu di sekitar Danau Lindu dan Lembah Napu, terlihat sekali penurunan prevalensi
di Danau Lindu menjadi 1,9%, Napu menjadi 1,5%(Sandjaja, 2007)

Environment (Lingkungan)
A. Lingkungan Biologi
Habitat dari keong dibagi dalam dua macam yaitu habitat alamiah atau habitat premier yang
merupakan habitat asli yang tidak terjamah oleh penduduk. Habitat ini terdapat di daerah
pinggiran hutan, didalam hutan atau tepi daun dimana tempattempat ini hampir selalu
terlindungi dari sinar matahari dengan adanya pohon-pohon besar maupun kecil dan selalu
basah karena terdapat air yang mengalir secara terus menerus dari mata air. Habitat yang lain
adalah habitat jamahan manusia (habitat sekunder) yang berupa bekas sawah yang di
tinggalkan atau tidak digarap lagi, padang rumput bekas peladangan penduduk, tepi-tepi
saluran pengairan (irigasi) dan lahan pemukiman lainnya (Barodji, 1983). Habitat keong
merupakan sumber penularan penyakit bagi manusia karena adanya keong yang terinfeksi
dan adanya larva serkaria yang disebut sebagai fokus. Kondisi lapangan yang disenangi
keong adalah rerumputan yang berguna sebagi pelindung terhadap radiasi matahari yang
kuat. Keadaan air yang tergenang merupakan media perkembangan bagi anak keong serta
untuk menjaga kelembaban, keadaan tanah yang berlumpur merupakan media alami bagi
perkembangan alga sebagi makanan keong. Kondisi ini umumnya dijumpai pada sawah yang
ditinggalkan atau tidak dikelola secara intensif (Barodji, 1983). kehidupan masyarakat
pedesaan yang pekerjaannya nelayan maupun bertani yang mengelola sawahnya tak punya

pilihan lain selain berkerja pada lingkungan air yang sangat mungkin sudah terkontaminasi
oleh cacing Schistosoma japonicum Sp. Infeksi pada manusia terjadi oleh karena serkaria
keluar dari tubuh siput kemudian menembus kulit manusia pada waktu ia bekerja disawah,
saluran irigasi, waktu mandi, dan mencuci. Oleh karena itu, penderita umumnya adalah petani
dan juga nelayan pencari ikan di danau.
Para pekerja pembuatan bendungan air, penggali saluran irigasi yang tidak menggunakan
sepatu pelindung juga menjadi korban infeksi Schistosoma japonicum Sp (Soedarto, 2008).
B. Lingkungan Sosial budaya
Lingkungan sosial budaya turut berperan penting terhadap kejadian Schistosomiasis seperti
kebiasaan masyarakat yang tidak memanfaatkan air bersih yang memenuhi syarat kesehatan
untuk keperluan hidupnya sehari-hari merupakan faktor risiko terhadap penularan penyakit
melalui air (Rosmini dkk, 2010). Tingkat kesadaran masyarakat tentang bahaya
Schitosomiasis akan mempengaruhi kesediaan masyarakat untuk memberantas penyakit
tersebut seperti penyehatan lingkungan, menggunakan alat pelindung diri jika ingin
melakukan kontak dengan wilayah fokus, memberantas vektor Schistosomiasis. Berbagai
kegiatan manusia seperti pembuatan bedungan, pembuatan jalan, pertambangan dan
pembangunan pemukiman baru sering mengakibatkan perubahan lingkungan yang
menguntungkan penularan Schistosomiasis (Kasnodihardjo, 1994).

Pencegahan
Hindari kontak lebih jauh dengan air mengalir pada daerah endemis. Penularan
Schistosomiasis pada daerah endemis dapat menurun dengan cara mengurangi beban parasit
dalam populasi (Soegeng, 2005). Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk
mencegah infeksi Schistosomiasis adalah sebagai berikut (KEMENKES RI, 2010):
a) Hindari mandi dan mencuci dengan air yang mengandung serkaria.
b) Menggunakan jamban yang memenuhi standar kesehatan.
c) Hindari tempat habitat keong penular atau jika beraktifitas di sekitar habitat keong penular
sebaiknya memakai sepatu boot.
d) Menggunakan air yang berasal dari sumber air yang terjamin kualitas kebersihannya
sebagai kebutuhan sehari-hari.

Infeksi dicegah dengan mengenakan pakaian yang tepat saat bekerja di lapangan dan
menghindari air yang terkontaminasi. Program pengendalian dengan membasmi siput, atau
pengobatan massal, dapat mengendalikan penyakit ini jika tersedia sumber daya yang
mencukupi, seperti yang telah dilakukan di Cina dan Jepang.
Strategi pemberantasan schistosimiasis di Indonesia, yakni
a) meningkatkan pemberantasan penyakit untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke
daerah lain,
b) metode intervensi, suatu kombinasi pengobatan penderita, pemberantasan keong,
perbaikan sanitasi lingkungan, dan agroengineering yaitu mengeringkan daerah-daerah rawa
yang merupakan fokus keong,
c) mengadakan kerja sama lintas sektoral.

DAFTAR PUSTAKA
https://adhienbinongko.wordpress.com/2012/12/01/schistosomiasis-epidemiologi-penyakitmenular/
http://www.hmpd-untad.org/wp-content/uploads/2015/02/Schistosomiasis.pdf
http://adln.lib.unair.ac.id/files/disk1/733/gdlhub-gdl-s2-2014-kotofirdau-36642-8.bab-2-a.pdf

También podría gustarte