Está en la página 1de 9

KEDISIPLINAN BAGAI DUA SISI MATA UANG

Oleh: Siti Piyanti


CERITA ARTA
Arta (bukan nama sebenarnya) adalah salah seorang taruna yang sedang
menempuh pendidikan disalah sautu sekolah tinggi pelayaran yang ada di
Semarang. Dia bertempat tinggal di kota Salatiga bersama ibunya. Sedangkan
ayahnya tinggal di Yogjakarta karena tuntutan pekerjaan. Akan tetapi, ayah Arta
seminggu sekali pulang. Dilihat dari penampilannya Arta berasal dari keluarga
yang mapan secara ekonomi. Arta memiliki seorang kakak yang juga sebagai
taruna. Dia masuk di akademi pelayaran bukan karena keinginanya sendiri,
melainkan karena rekomendasi sang kakak. Karena kakaknya juga menempuh
pendidikan menjadi taruna, maka dia direkomendasikan untuk bersekolah di
akademi pelayaran.
Menurutnya, menjadi taruna di akademi pelayaran harus memiliki fisik yang
kuat. Mengapa demikian? Karena di sana sangat mengedepankan kedisiplinan,
ketika seorang taruna tertangkap basah tidak disiplin maka dia akan dihukum
dan biasanya hukuman yang diberikan adalah hukuman fisik yang menyakitkan.
Bukan rahasia lagi bahwa untuk menjadi taruna harus rela dipukuli kakak
tingkatnya karena memang di sana senioritas dilangggengkan.
Arta tinggal di asrama beserta taruna lain karena di sana memang
mewajibkan tarunanya untuk tinggal di asrama. Baik di asrama maupun di
kamupus tarunanya diikat dengan peraturan yang mengekang dan tingkat
kedisiplinan yang tinggi. Akibatnya Arta merasa jenuh dengan semua kegiatan
yang dilakukannya terlebih lagi dengan perpeloncoan yang sering ditimpanya.
Oleh karena itu, ketika diberi hari libur Arta sangat gembira dan memanfaatkan
waktunya untuk bersenang-senang. Namun, jalur yang digunakan untuk
bersenang-senang tersebut biasnya melencengan dengan nilai kedisiplinan yang
telah diterapkan di kampus. Misalnya ketika mendapat libur Arta dan temantemannya memanfaatkannya untuk merokok dan mabuk-mabukkan.
Memang peraturan kedisiplinan yang mengikat itu membuat para taruna
menjadi taat di kampus dan behasil membentuk karakter tarunanya tahan

banting. Tetapi para petinggi tidak memperhatikan perasaan mereka dengan


peraturan

yang

terlalu

mengikat

tersebut

tarunya

menjadi

jenuh

dan

melampiaskan kejenuhan tersebut dengan hal yang kurang baik.


KONSTRUKSI SOSIAL BUDAYA KEDISIPLINAN TARUNA
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi seseorang. Dengan
pendidikan seseorang dapat melakukan kegiatan sehari-hari dan dapat
digunakan untuk masa depan. Untuk mencari pekerjan misalnya. Di Indonesia
sendiri ada tiga jenis pendidikan yaitu: (1) pendidikan formal, adalah pendidikan
yang dilakukan di lembaga-lembaga formal baik negeri maupun swasta. Jenis
pendidikan ini mempunyai jenjang pendidikan yang jelas mulai dari Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD), pendidikan dasar (SD / MI / SDLB dan SMP / MTS /
SMPLB), pendidikan menengah (SMA / SMK / MA / SMALB), sampai pendidikan
tinggi (Universitas, LPTK, Politek, dan Akademi). (2) pendidikan informal, jenis
pendidikan yang dilakukan di keluarga dan lingkungan (masyarakat dan
komunitas) berbentuk belajar mandiri, tidak ada jenjang, dan tidak ada lembaga
penyelenggaraannya. (3) pendidikan non formal, pendidikan di luar pendidika
formal yang penyelenggaraannya terstruktur. Contohnya adalah PKBM, SKB,
Kursus, Pendidikan Kecakapan Hidup, Life Style, Bimbel, dan kejar paket.
Pendidikan non formal ini lebih menekankan pada pada keterampilan dan
pengembangan potensi.
Salah satu pendidikan formal yang banyak diminati adalah pendidikan
untuk menjadi taruna entah kemiliteran, kepolisian, atau pun pelayaran. Dalam
artikel jurnal berjudul SELF EFFICACY DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA
TARUNA AKADEMI ANGKATAN LAUT, pengertian Taruna adalah siswa atau
peserta didik yang mengikuti pendidikan di Akademi Angkatan Laut (Petunjuk
Pelaksanaan Pengasuhan Kadet Akademi Angkatan Laut,

2012). Akademi

Angkatan Laut membagi 5 bidang atau penjurusan yang disebut Korps, yakni
Korps Pelaut, Korps Teknik, Korps Elektronika, Korps Suplai, dan Korps Marinir.
Tingkat atau jenjang pendidikan di Akademi Angkatan Laut terdiri dari empat
tingkat. Banyak yang memilih menjadi taruna karena mereka beranggapan kalau
menjadi taruna mempunyai prestise yang tinggi di masyarakat, serta mempunyai
kebanggaan sendiri ketika menggunakan seragam, dan yang paling penting

adalah mereka menganggap bahwa setelah lulus dari sana mereka akan
mendapatkan gaji yang besar. Untuk bisa masuk menjadi taruna di akademi
kemiliteran, kepolisian, ataupun pelayaran tidak mudah karena harus bersaing
dengan banyak orang. Selain itu, juga melalui proses panjang berupa test fisik,
dan lain-lain. Biaya yang dikeluarkan juga tidaklah sedikit. mereka yang ingin
menjadi tahu betul kalau menjadi taruna itu tidak mudah dan harus memiliki
kekuatan fisik yang melebihi rata-rata karena disiplin ketat yangsangat mengikat.
Sikap disiplin yang diterapkan bertujuan untuk melatih mental para taruna
agar tidak lemah dan tahan dengan segala macam masalah. Para taruna di
tuntut untuk menjalankan setiap aturan, tata tertib, dan tuntutan yang diberikan,
hal ini diikuti dengan konsekuensi berupa hukuman yang harus diterima anggota
taruna apabila gagal dalam memenuhi atau
tuntutan

menyesuaiakan diri dengan

lingkungan. Segala aturan, tata tertib , dan ketentuan ini untuk

membentuk mental dan fisik taruna. Sekolah akademi kemiliteran, kepolisian,


maupun pelayaran menyediakan asrama. Sehingga tarunanya tinggal di asrama
dan di asrama itu terdapat peraturan sendiri yang juga mengikat.
Seperti yang dialami Arta kedisiplinan sangat dijunjung tinggim, segala
sesuatu itu diatur misalnya untuk makan dibatasi waktu 5 menit, untuk mandi 5
menit, waktu kegiatan pukul 05:00 wib selesi pukul 18:00 wib, dan harus
menggunakan seragam ketat. Seragam yang ketat ini dimaksudkan agar para
taruna tetap menjaga proporsional tubuhnya jangan sampai para taruna
kelebihan berat badan. Untuk makan disediakan oleh asrama dua kali sehari
yaitu pagi dan sore menjelang malah hari makanan yang diberikan juga lezat dan
yang pasti bergizi. Sedangkan untuk makan siang taruna makan di kampus.
Pada awalnya pasti para taruna mengalamikebingungan dan sulit
beradaptasi dengan peraturan-peraturan yang ada namun dengan terbiasanya
mereka melakukannya sehingga lama-kelamaan mereka menjadi terbiasa.
Menurut

antropologi

pendidikan

konsep

ini

dapat

di

analisis

dengan

menggunakan teori konstruksi sosial. Dalam pendidikan antropologi para peserta


didik secara total utuh mestinya diberi kesempatan mengembangkan daya
apresiasi, empati atau afektif dan kognitifnya sesuai dengan pengalaman
hidupnya untuk berkenalan dan berwacana dengan subyek yang dipelajarinya.

Pendidikan antropologi sebaiknya jauh dari pendekatan-pendekatan normatif


tetapi dekat dengan proses yang kreatif saling percaya dan saling belajar antara
murid dan guru (P.M. Laksono, 2013: 101-111 ).
Teori konstruksi sosial menurut tesis utama Berger dan Luckmann adalah
manusia dan masyarakat adalah produk yang dialektis, dinamis, dan plural
secara terus-menerus. Masyarakat bukan realitas tunggal yang statis dan final,
melainkan merupakan realitas yang bersifat dinamis dan dialektis. Seseorang
atau individu menjadi pribadi yang beridentitas kalau seseorang tetap tinggal
dan menjadi entitas dari masyarakatnya.Proses dialektis itu, menurut Berger dan
Luckmann (Eriyanto dalam Muslich,2008: 151), mempunyai tiga momen, yaitu
eksternalisasi, objektifikasi, dan internalisasi.
1. Eksternalisasi adalah usaha ekspresi diri manusia ke dalam dunia luar,
baik

kegiatan mental maupun fisik. Momen itu bersifat kodrati manusia.

Individu selalu mencurahkan diri ke tempat di mana individu berada. Di dalam


akademi tempat Arta mengeyam pendidikan ada kegiatan pengenalan seperti
MOS. Menurut artikel jurnal karya Harcici yang berjudul IMPLEMENTASI
PEMBINAAN DASAR TARUNA SEMESTER I DALAM PROSES BELAJAR
MENGAJAR pada awal masuk ada program pengenalan yang bernama
madabintal, Madabintal (masa dasar pembinaan sik dan mental) bagi calon
taruna ajaran baru berkaitan dengan pembinaan sik dan mental yaitu
memberikan kegiatan sehubungan dengan kedisiplinan, sikap bekerjasama
tim dan pengenalan dunia kampus, kegiatan dilaksanakan dalam waktu satu
minggu rutin setiap pagi, kegiatannya antara lain pengenalan dunia kampus,
games dan yang paling mengenang dimana pembinaan mental mulai dari
push up, lari, rolling dan merayap selama menjalani madabintal di butuhkan
jiwa yang kuat dan mental yang tangguh sebab kita selalu dituntut

oleh

senior maupun instruktur untuk bergerak cepat dengan nada bentakan.


Dalam madabintal, taruna/i baru dituntut untuk selalu tepat waktu dalam
melaksanakan tugas yang diberikan. Para taruna/i baru perlu diperkenalkan
dengan tata tertib kampus karena tata tertib kampus mengatur perilaku
taruna/i di kampus. Tata tertib di kampus yang harus dipatuhi oleh taruna/i di
antaranya:
a. Taruna/i wajib berpakaian sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
kampus

b.Wajib memelihara dan menjaga kebersihan dan

ketertiban,

serta

menjunjung tinggi nama baik kampus


c. Harus hadir dikampus paling lambat lima belas menit sebelum pelajaran
dimulai
d.Taruna/i harus siap menerima pelajaran yang telah ditetapkan kampus
e. Selama jam pelajaran berlangsung, taruna/i dilarang meninggalkan kampus
tanpa izin kampus
f.

Setiap taruna/i yang tidak dapat mengikuti pelajaran harus menunjukan


keterangan yang sah dari dokter

g.Pelanggaran atas

tata

tertib

kampus

bisa menjadi penyebab

dikeluarkannya taruna/i dari kampus setelah mendapat peringatan lisan,


tertulis, dan skorsing.
2. Objektifikasi adalah hasil yang telah dicapai baik mental maupun fisik dari
kegiatan eksternalisasi manusia. Hasilnya berupa realitas objektif yang
terpisah

dari

dirinya. Berdasarkan pengalaman yang didapat melalui

kegiatan pengenalan yaitu madabintal, taruna mengetahui peraturan yang


berlaku dan pedoman untuk bertindak. Sehingga dalam bertindak taruna
mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Selain itu taruna menjadi mengetahui
apayang harus dilakukan dan apa yang harus dihindari, karena para taruna
sudah mempunyai pedoman dalam bertindak. Melalui program madabintal
para taruna berusaha untuk disiplin, sehingga lama-kelamaan menjadi
terbiasa untuk disiplin.
3. Internalisasi
kesadaran

adalah

penyerapan

kembali

dunia

objektif

ke

dalam

subjekti sedemikian rupa sehingga individu dipengaruhi oleh

struktur sosial atau dunia sosial. Pengetahuan diteruskan kepada generasi


berikutnya. Pengetahuan dipelajari sebagai kebenaran objektif selama
berlangsungnya proses sosialisasi dan dengan demikian diinternalisasi
sebagai
mempunyai

kenyataan
kekuatan

subjektf.

Kenyataan

ini

pada

gilirannya

untuk membentuk individu, atau dengan kata lain

memproduksi suatu tipe manusia spesifik (Berger dan Luckman, 1990: 96).
Ketika seorang taruna telah menjadi senior maka dia akan mensosialisasikan
nilai-nilai kedisiplinan yang mereka dapat ketika madabintal kepada juniorjunior

mereka.

Sehingga

junior

setelah

menjadi

senior

juga

akan

menyampaikan nilai-nilai sosialisasi itu kepada juniornya dan terus berlanjut

seperti itu. Jadi setelah adanya sosialisasi tersebut maka nilai-nilai


kedisiplinan akan tetap eksis.
Fenomena tentang kedisiplinan taruna ini juga bisa dikaji dengan teori
habitus, menurut Bourdieu habitus adalah struktur yang terstruktur (structured
structure); artinya struktur yang distrukturi oleh dunia sosial (Ritzer dan
Goodman, 2007: 523). Secara gampangnya habitus adalah pembiasaan. Individu
tidak menyadari habitus dan cara kerjanya, namun habitus mewujudkan diri
dalam aktivitas individu yang sangat praktis, seperti cara makan, berjalan,
berbicara, tidur, dan aktivitas-aktivitas lainnya (Bourdieu, dalam Ritzer dan
Goodman,2007: 524). Hal ini terlihat karena taruna sudah dibiasakan untuk
disiplin tanpa disadari dalam kegiatan sehari-hari di kampus dan asrama para
taruna terbiasa untuk disiplin. Tanpa disadari mereka bentindak sesuai dengan
tata tertib, aturan, dan ketentuan yang diberlakukan.
KEDISIPLINAN BAK MELANGGENGKAN SENIORITAS
Mengapa kedisiplinan seperti melanggengkan senioritas? Karena dengan
eksisnya kedisiplinan secara tidak langsung juga berpengaruh kepada eksisnya
praktek senioritas yang merujuk pada perpeloncoan. Sudah menjadi rahasia
umum apabila di sekolah akademi banyak sekali kasus perpeloncoan yang
dilakukan senior kepada juniornya. Kasus perpeloncoan ini termasuk bullying dan
kekerasan. Namun, seperti sudah menjadi hal biasa ketika seorang senior
melakukan perpeloncan kepada junior dan juniornya tidak ada yang berani
kepada seniornya. Perpeloncoan yang dilakukan berdalih untuk mendisiplinkan si
junior. Selain itu, perpeloncoan juga didasari pada anggapan bahwa si junior
kurang hormat pada si senior. Perpeloncoan yang dilakukan biasanya adalah
penyiksaan seperti dipukul, ditendang, diinjak-injak dan biasanya perpeloncoan
tersebut dijalanan lebih dari satu orang senior atau keroyokan. Banyak kejadian
fatal akibat praktek perpeloncoan yang dilakukan oleh senior, salah satunya
adalah meninggalnya seorang taruna IPDN setelah dianiaya oleh seniornya.
Praktek senioritas ini memberikan efek yang buruk kepada taruna baru, tetapi
seperti

tidak

ada

tindakan

unuk

menghentikan

itu.

Walupun

praktek

perpeloncoan tidak diperbolehkan dan banyak instansi kependidikan taruna yang


mengatakan bahwa tidak ada praktek perpeloncoan. Tetapi sebenarnya banyak

praktek perpeloncoan yang terjadi secara terselubung, namun para korban tidak
berani melapor karena diancam. Langgengnya praktek seniorias ini karena
pengaruh adanya sosialisasi yang dilakukan senior kepada juniornya. Ketika
senior melakukan perpeloncoan kepada juniornya, si junior yang kemudian
menjadi senior juga akan melakukan hal yang sama kepada juniornya. Karena
hal itu dianggap sebagai realita objektif yang ada. Teori Bandura dalam artikel
jurnal berjudul PERILAKU BULLYING PADA MAHASISWA BERASRAMA
mengatakan bahwa perilaku manusia sebagian besar merupakan perilaku yang
dipelajari. Demikian halnya dengan perilaku kekerasan. Teori belajar sosial
yang

dipelopori

oleh

Bandura

menyatakan

bahwa

perilaku

kekerasan

merupakan perilaku yang dipelajari dari pengalaman masa lalu, apakah melalui
pengamatan langsung

(imitasi),

diskriminatif. Perilaku kekerasan

pengukuh

positif,

dan karena

stimulus

sering diasosiasikan dengan teori belajar

sosial. Dalam senioritas di kalangan taruna ini terjadi karena dipelajari, dialami,
dilihat berdasarkan senior terdahulu yang dilakukan kepada mereka. Sehingga
ketika si junior telah menjadi senior akan melakukan kegiatan yang sama seperti
yang telah dilakukan oleh senior terdahulu.
KEDISIPLINAN DAN SENIORITAS YANG MEMBELENGGU
Kedisiplinan dan senioritas telah berashasil membelenggu taruna, sehingga
mereka tidak bebas dan merasa tertekan. Kedisiplinan yang diterapkan memang
terbukti ampuh untuk membuat para taruna menjadi disiplin. Dan kedisiplinan itu
membuat para taruna mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, di sana
pembuat kebijakan hanya berorientasi pada pekerjaan mereka tidak melihat
aspek psikologi para taruna. Dengan terlalu mengikatnya peraturan dan
padatnya jadwal membuat para taruna mengalami kejenuhan. Sekolah yang
seharusnya memberikan kenyamanan malah menjadi tempat yang tidak
menyenakngkan

sama

sekali.

Seharusnya

pendidikan

itu

humanis,

memanusiakan manusia. Tetapi hal ini berbeda dengan akademi taruna karena di
sana mereka merasa tertekan dengan peraturan yang mengikat dan dengan
adanya senioritas (perpeloncoan yang dilakukan oleh senior). Di mana senioritas
ini langgang selama kedisiplinan itu masih eksis.

Ketika ada hari libur para taruna memanfaatkannya untuk refreshing,


namun refreshing yang dilakukan terkadang malah berorientasi kearah negative.
Mereka melampiaskan kejenuhan mereka melalui mabuk-mabukan misalnya.
Dengan mabuk mereka merasa lega bisa meluapkan segala kekesalan dan hal
buruk yang mereka alami. Di sini terlihat bahwa kedisiplinan yang terlalu
mengikat ini menimbulkan efek buruk. Memang awalnya hanya kejenuhan, tetapi
kejenuhan yang dirasakan para taruna ini bisa dilampiaskan degan cara-cara
yang negative.
DAFTAR PUSTAKA
Berger, Peter L. dan Luckmann, Thomas. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan:
Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Harcici. 2015. Implementasi Pembinaan Dasar Taruna Semester I Dalam Proses
Belajar Mengajar. Jurnal Sain dan Tek. Maritim. Vol. XIII No.2. Halaman:
84-92.
Laksono, P.M.. 2013. Kontekstualisasi (Pendidikan) Antropologi Indonesia. Jurnal
Komunitas. 5 (1): 101-111.
Muslich, Mansur. 2008. Kekuasaan Media Massa Mengonstruksi Realitas. Jurnal
Bahasa dan Seni. Volume 36 Nomor 2. Agustus 2008. Halaman 150-159.
Pamardi, Banindra Bangkit dan Iwan Wahyu Widayat. 2014. Self Efficacy
Dengan Penyesuaian Diri Pada Taruna Akademi Angkatan Laut. Jurnal
Psikologi Pendidikan dan Pengembangan. Volume 03 Nomor 01.
Rifai, Achmad Dr.Rc, M.Pd dan Dra Catharina Tri Anni, M.Pd. 2012. Psikologi
Pendidikan. Semarang: Pusat Pengembangan MKU-MKDK UNNES.
Ritzer,

George.

2012.

Perkembangan

Teori

Sosiologi

dari

Sosiologi

Klasik

sampai

Terakhir Post Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Simbolon, Mangandar. 2012. Perilaku Bullying Pada Siswa Berasrama. Jurnal


Psikologi. Volume 39. No. 2. Desember 2012: 233 243.

SITI PIYANTI
Nama panggilan : sipi / piyanti / i. Lahir di Pati pada 11 Maret 1997. Mahasiswa
Jurusan Sosiologi & Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri
Semarang Angkatan 2014.
e-mail: sitip690@gmail.com // WA: 085641608478 // line: sipi97 // fb: siti piyanti //
follow ig: siti piyanti

También podría gustarte