Está en la página 1de 7

BUDAYA, ADAT PERKAWINAN

ADAT PERKAWINAN
Jerri Hitler Tampubolon *)
Pendahuluan
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari bermacam-macam suku, ras, etnis, klan, dan
agama. Hukum Adat muncul salah satunya adalah untuk menjaga dan mengakomodasi
kekayaan kultural bangsa Indonesia yang semakin terpendam sehingga tetap dikenal dan
menjadi elemen penting dalam perumusan hukum nasional yang adaptif dan mempunyai daya
akseptabilitas yang tinggi untuk masyarakat.
Kedudukan hukum Adat dalam konstelasi tata hukum nasional Indonesia senyampang ia tidak
menghambat segera tercapainya masyarakat Sosialis Pancasila yang dari dulu sampai
sekarang menjadi pengatur-pengatur hidup bermasyarakat kita, menjadi dasar-dasar elemen,
unsur-unsur hukum yang kita masukkan dalam hukum nasional kita yang baru.
Hukum adat bersifat tidak tertulis, majemuk antara lingkungan masyarakat satu dengan lainnya,
maka perlu dikaji perkembangannya. Pemahaman ini akan diketahui apakah hukum adat masih
hidup , apakah sudah berubah, dan ke arah mana perubahan itu?
Dalam hukum adat diatur juga tentang perkawinan, perkawinan adalah salah satu peristiwa
yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya
menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak,
saudara-saudarnya, bahkan keluarga-keluarga mereka masing-masing.
Jika dilihat sesuai dengan perkembangan pada saat ini, terdapat banyak perubahan yang
terjadi dalam tata cara perkawinan adat, sesuai dengan perkembangan yang terjadi,maka
makalah ini dibuat dengan tujuan untuk melihat dan mempelajari perubahan-perubahan
tersebut.
Penelaahan
Dalam hal ini penulis menggunakan metode penelaahan
1. Metode deskriptif, sebagaimana ditunjukan oleh namanya, pembahsan ini bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang suastu masyarakat atau kelompok orang tertentu atau
gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih (Atherton dan
klemmack : 1982).

2. Penilitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan, mengumpulkan


data-data dan keterangan melalui buku-buku dan bahan lainnya yang ada hubungan dengan
masalah-masalah yang diteliti.
Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat kita;
sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut wanita dan pria bakal mempelai saja, tetapi juga
oang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga-keluarga mereka masingmasing. Sedangkan menurut Prof. Hazairin dalam bukunya rejang mengemukakan peristiwa
perkawinan sebagai tiga buah rentetan perbuatan-perbutan magis yang bertujuan menjamin
ketenangan (koelte), kebahagiaaan (welvaart) dan keseburan (vruchtbaarheid)
Menurut A.van Gennep, seorang ahli sosiologi Perancis menamakan semua upacara-upacara
itu rites de passage (=upacara-upacara peralihan). Upacara-upacara peralihan yang
melambangkan peralihan atau perubahan status dari kedua mempelai yang tadinya hidup
terpisah, setelah melampaui upacara-upacara dimaksud menjadi hidup bersatu dalam suatu
kehidupan bersama sebagai suami isteri.
Menurut undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Hukum Adat
Secara etimologis istilah hukum adat terdiri dari dua kata, yaitu hukum dan adat. Menurut SM.
Amin, hukum adalah kumpulan peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi yang
bertujuan mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia sehingga keamanan dan
ketertiban terpelihara. Sedangkan adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian
sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan
dari abad ke abad.
Dalam pemikiran Arab kontemporer, adat atau tradisi diartikan dengan warisan budaya,
pemikiran, agama, sastra, dan kesenian yang bermuatan emosional dan ideologis. Oleh karena
itu, pengertian hukum Adat menurut Prof. Dr. Soepomo, SH. adalah hukum yang tidak tertulis di
dalam peraturan legislatif meliputi peraturan yang hidup meskipun tidak ditetapkan oleh yang
berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya
peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Menurut Prof. M. M. Djojodigoeno, SH. mengatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang
tidak bersumber kepada peraturan-peraturan. Sedangkan menurut Prof. Mr. C. Van
Vollenhoven, hukum adat adalah hukum yang tidak bersumber kepada peraturan-peraturan
yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang
menjadi sendinya dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.
Prof. Soekanto, merumuskan hukum adat: Komplek adat adat inilah yang kebanyakan tidak
dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan mempunyai sanksi (dari itu hukum), jadi
mempunyai akibat hukum, komplek ini disebut Hukum Adat.
Prof. Soeripto: Hukum adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-peraturan adat tingkah laku
yang bersifat hukum di segala kehidupan orang Indonesia, yang pada umumnya tidak tertulis
yang oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para anggota masyarakat, yang bersifat
hukum oleh karena ada kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/ peraturan itu harus
dipertahankan oleh petugas hukum dan petugas masyarakat dengan upaya paksa atau
ancaman hukuman (sanksi).

Hardjito Notopuro: Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan dengan ciri khas
yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata kedilan dan
kesejahteran masyarakat dan bersifat kekeluargaan.
Suroyo Wignjodipuro: Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber apada
perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, karena
mempunyai akibat hukum (sanksi)
Seminar Hukum Adat dan pembinaan Hukum Nasional: Hukum adat diartikan sebagai Hukum
Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang
disana sini mengandung unsur agama.
Perkawinan Adat
Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa, oleh karena itu tiap
bangsa memiliki adat kebiasaannya sendiri-sendiri yang satu dengan Iainnya tidak sama. Adat
istiadat yang hidup serta berhubungan dengan tradisi inilah yang merupakan sumber bagi
hukum adat Indonesia, termasuk sumber hukum bagi hukum perkawinan adat.
Menurut hukum adat, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
Yang Maha Esa dan hukum adatnya masing-masing. Upacara-upacara adat pada sesuatu
perkawinan ini adalah berakar pada adat-istiadat serta kepercayaan yang sejak dahulu kala,
sebelum agama islam masuk di Indonesia, telah diturut dan senantiasa dilakukan. Upacaraupacara adat ini sudah mulai dilakukan pada hari-hari sebelum pernikahan serta berlangsung
sampai hari-hari sesudah upacara nikah.
Upacara-upacara adat pada suatu perkawinan ini adalah berakar pada adat-istiadat serta
kepercayaan yang sejak dahulu kala, sebelum agama islam masuk di Indonesia, telah diturut
dan senantiasa dilakukan. Upacara-upacara adat ini sudah mulai dilakukan pada hari-hari
sebelum pernikahan serta berlangsung sampai hari-hari sesudah upacara nikah. Azas
Perkawinan menurut Hukum Adat :
1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga/rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang
rukun, damai, bahagia dan kekal.
2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan, tapi
juga harus mendapatkan pengakuan dari para anggota kerabat.
3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa orang wanita sebagai isteri
yang kedudukan masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.
4. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dan wanita yang belum cukup umur/anak-anak
dan juga yang sudah cukup umur, perkawinan harus berdasarkan ijin orang tua.
5. Perkawinan harus didasarkan persetujuan orang tua dan kerabat, tapi masyarakat adat dapat
menolak kedudukan suami/isteri yang perkawinannya tidak diakui oleh masyarakt adapt.
6. Perceraian dalam masyarakat adat ada yang diperbolehkan dan tidak diperbolehkan
Perkawinan dalam Berbagai Sifat Kekeluargaan
Antara perkawinan dan sifat susunan kekeluargaan terdapat hubungan yang erat sekali.
Bahkan dapat dikatakan, bahwa suatu peraturan hukum perkawinan sukar untuk dapat
dipahami tanpa dibarengi dengan peninjauan hukum kekeluargaan yang bersangkutan. Di
Indonesia terdapat tiga macam sifat susunan kekeluargaan, yaitu patrilineal, matrilineal dan
parental. Oleh karena corak perkawinan di atas berbeda, maka sebaiknya tinjauan kita
dilakukan menurut masing-masing sifat susunan kekeluargaan sebagai berikut :

a) Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal


Corak utamanya dari kekeluargaan patrilineal adalah perkawinan dengan jujur. Pemberian
jujur oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan ini adalah sebagai lambang diputuskannya
hubungan kekeluargaan si isteri dengan keluarganya, nenek moyangnya, saudara-saudara
sekandung, kerabat dan persekutuannya dan masuk kedalam lingkungan kekeluargaan
suaminya; begitupun anak-anak keturunan dari perkawinan itu. Menurut Ter Haar dalam
bukunya Beginselen en stetsel van het Adatrech menamakan perkawinan dengan jujur ini
bruids chthuwelijk yang artinya adalah perkawinan dengan jujur serta jujurnya oleh pihak lakilaki diberikan kontan menjelang perkawinan. Akan tetapi terdapat juga kebiasaan yang jujurnya
itu baru dibayar dikemudian hari, bahkan malahan ada kebiasaan yang jujurnya itu tidak dibayar
sama sekali. Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal ini kiranya perlu juga diketengahkan
perkawinan seorang janda, yang setelah suaminya meninggal dunia tetap berdiam dalam
lingkungan keluarga suaminya, dengan saudara muda almarhum suaminya jadi seolah-olah
seorang isteri itu diwaris oleh adik almarhum suaminya. Menurut Wirjono Prodjodikoro S.H.
corak perkawinan semacam ini dalam susunan kekeluargaan patrilineal dapat dianggap
sebagai lanjutan dari pembayaran jujur (sifat jual-beli) pada perkawinan, yaitu apabila dianggap,
bahwa yang dibeli si isteri semula itu, bukanlah suaminya semata-mata melainkan keluarga si
suami itu.
b) Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal
Dalam keluarga matrilineal tidak ada pembayaran jujur. Artinya setelah kawin suami tetap
masuk pada keluarganya sendiri, akan tetapi dapat bergaul dengan keluarga isterinya sebagai
urang sumando. Pada saat perkawinan ia (mempelai laki-laki dijemput dari rumahnya dengan
sekedar upacara (dijapuig) untuk kemudian dibawa kerumah bakal isterinya. Upacara pada
penjemputan ini disebut alat melepas mempelai. Suami sendiri tidak masuk keluarga si isteri
seperti di atas telah ditegaskan, tetapi anak-anak keturunan-nya masuk keluarga isterinya,
masuk kerabat warga isterinya, masuk clan isterinya dan si ayah pada hakikatnya tidak
mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya. Rumah tangganya pun dibiayai dari milik
kerabat isteri.
c) Dalam sifat susunan kekeluargaan parental
Setelah perkawinan si suami menjadi anggota keluarga isterinya dan sebaliknya si isteri juga
menjadi anggota keluarga suaminya. Dalam susunan kekeluargaan parental ini, sebagai akibat
perkawinan adalah, bahwa suami dan isteri masing-masing jadi mempunyai dua kekeluargaan,
yaitu kerabat suami di satu pihak dan kerabat isteri di lain pihak. Begitu seterusnya untuk anakanak keturunannya. Dalam susunan kekeluargaan parental terdapat juga kebiasaan pemberianpemberian oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Tetapi pemberian-pemberian di sini
tidak mempunyai arti seperti jujur, mungkin dahulu dasarnya seperti jujur tetapi lebih banyak
mempunyai arti sebagai hadiah perkawinan. Ter Haar menamakan pemberian-pemberian
demikian ini huwelijksgift. Kebiasaan seorang laki-laki kawin dengan saudara perempuan dari
isterinya yang me-ninggal dunia, Ter Haar menyebut perkawinan demikian ini vervolghuwelijk.
Sistem Perkawinan
Dalam budaya Indonesia kita mengenal 3 macam sistem perkawinan yaitu endogami, eksogami
dan eleutherogami.
a) Sistem Endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku keluarganya
sendiri. Sistem ini sudah jarang di Indonesia, menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah

saja yang secara praktis mengenal sistem endogami ini, yaitu daerah Toraja. Sistem ini
sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan yang ada di daerah itu, yaitu
parental.
b) Sistem Eksogami
Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya. Sistem ini
terdapat di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram.
Dalam perkembangan jaman ternyata, sistem exogami ini dalam daerah-daerah tersebut di atas
lambat laun mengalami proses perlunakan sedemikian rupa, hingga larangan perkawinan itu
diperlakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Dengan demikian
sistem ini dalam daerah-daerah tersebut dalam perkembang-an masa akan memdekati sistem
eleutherogami.
c) Sistem Eleutherogami
Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan seperti halnya dalam
sistem endogami ataupun exogami. Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah
larangan-larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan yakni larangan karena :
Nasab (=turunan yang dekat), seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu (keturunan
garis lurus ke atas dan ke bawah) juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau ibu.
Musyaharah (=per-iparan), seperti kawin dengan ibu tiri, menantu, mertua, anak tiri.
Eleutherogami ternyata yang paling meluas di Indonesia; terdapat misalnya di Aceh, Sumatera
Timur, Bangka Biliton, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi Selatan, Ternate, Irian Barat, Bali,
Lombok dan seluruh Jawa Madura.
Perceraian
Perceraian menurut adat adalah peristiwa luar biasa, merupakan problema sosial dan yuridis
yang penting dalam kebanyakan daerah. Menurut Profesor Djojodiguno, perceraian ini di
kalangan orang Jawa adalah suatu hal yang tidak disukai karena tidak sesuai dengan cita-cita
orang Jawa. Apa yang diunggkapkan oleh Profesor Djojodiguno pada umumnya sudah menjadi
pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia tidak terbatas pada suku Jawa saja. Perceraian
suatu perbuatan yang sedapat-dapatnya wajib dihindari. Pada asasnya setiap keluarga
menghendaki sesuatu perkawinan yang sudah dilakukan dipertahankan untuk selama
hidupnya. Apabila memang menurut keadaan serta kenyataan, perceraian itu demi kepentingan
bukan bagi suami isteri saja, melainkan juga kepentingan keluarga kedua belah pihak, bahkan
kepentingan keseluruhan perlu dilakukan, maka perbuatan itu dapat dijalankan. Sebab-sebab
yang oleh hukum adat dibenarkan untuk melakukan perceraian:
a) Isteri berzinah
b) Kemandulan isteri
c) Impotensi suami
d) Suami meninggalkan isteri sangat lama ataupun isteri berkelakuan tidak sopan
e) Adanya keinginan bersama dari kedua belah pihak, adanya persetujuan antara suami dan isteri,
untuk bercerai.
Akibat-akibat Perceraian
Setelah bercerai bekas suami isteri tersebut masing-masing dapat kawin lagi. Menurut hukum
adat dan hukum Islam, bekas isteri tidak dapat menuntut nafkah dari bekas suaminya. Suami
hanya memberi nafkah kepada anak yang ikut dengan isteri.
Sedangkan menurut hukum Kristen ini dapat serta diatur dalam pasal 62 ordonansi tanggal 25
pebruari 1933 Nomor 74. Menurut hukum tersebut bekas suami wajib memberi biaya untuk

memelihara anak-anaknya. Anak-anak selama masih berumur kurang dai 2 atau 3 turut dengan
ibunya. Setelah itu dapat mengikuti ketentuan-ketentuan adat yang berlaku dalam lingkungan
hubungan kekeluargaan mereka. Kesalahan satu pihak, salah satu pihak punya hak yang lebih
terhadap anak-anaknya dan yang menentukan adalah pilihan anak-anak itu sendiri, juga
penting adalah siapa dari orang tuanya yang memelihara mereka.
Acara Nikah
Dalam pelaksanaannya acara nikah di Indonesia telah dipengaruhi oleh agama. Acara nikah
menurut agama Islam ini merupakan suatu bagian dari pada seluruh upacara-upacara adat,
masih terdapat upacara-upacara perkawinan adat yang di seluruh daerah hingga kini senantiasa masih dilakukan dengan penuh khidmat.
Nikah secara Islam ini yang dilaksanakan menurut hukum fiqh adalah merupakan bagian yang
sangat menentukan dari keseluruhan acara perkawinan adat. Nikah merupakan hal yang amat
penting bagi yang bersangkutan, yaitu suami isteri, masyarakat pada umumnya, ialah
merupakan penentuan, mulai saat manakah dapat dan harus di katakana, bahwa ada suatu
perkawinan selaku suatu kejadian hukum dengan segala akibat hukum-hukumnya.
Nikah adalah suatu perjanjian, suatu kontrak, ataupun suatu akad antara mempelai laki-laki di
satu pihak dan wali dari mempelai perempuan di lain pihak. Perjanjian ini dengan suatu ijab
dilakukan oleh wakil bakal isteri yang kemudian diikuti dengan suatu Kabul dari bakal suami
dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang muslim laki-laki, yang merdeka, sudah
dewasa, sehat pikirannya serta baik adat kebiasaannya. Di Indonesia yang menjadi saksi ini
biasanya pegawai-pegawai dari Jawatan Agama bagian Islam. Ini berhubungan erat dengan
Undang-Undang tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 yang dinamakan undang-undang
Pencatatan nikah,talak dan rujuk yang mulai berlaku bagi Jawa Madura pada tanggal 1
Februari 1947 (penetapan Menteri Agama tanggal 21 Januari 1947), bagi Sumatera pada
tanggal 16 Juni 1949 No.1/P.D.R.I/K.A.) dan bagi daerah-daerah lainnya pada tanggal 2
Nopember 1954 (undang-undang tanggal 26 Oktober 1954 Nomor 32 tahun 1954).
Pegawai Jawatan Agama itu tugasnya sebagai saksi hanya mengawasi pernikahan saja,
supaya dilakukan betul-betul menurut syarat-syarat yang ditentukan dalam hukum Islam. Yang
diawasi adalah terutama apakah betul-betul ada persetujuan dari kedua belah pihhak serta
apakah telah dipastikan mas-kawinnya (mahr dalam hukum Islam). Sah atau tidaknya
pernikahan sama se-kali tidak tergantung pada pengawasan ini, diluar pengawasan ini
pernikahan adalah sah juga, asalkan dilakukan dengan memperhatikan penuh ketentuanketentuan dalam hukum Islam.
Wakil mempelai isteri dalam melakukanijab pada pernikahan disebut wali. Yang wali ini
adalah bapak mempelai perempuan. Apabila bapak mempelai perempuan sudah meninggal
atau berhalangan, maka menurut hukum yang harus menjadi wali adalah menurut urutannya
(artinya kalau yang tersebut lebih dahulu tidak ada atau berhalangan maka diganti oleh yang
tersebut berikutnya) sebagai berikut:
a) Kakek atau bapanya bapak.
b) Saudara laki-laki yang seibu-sebapak yang tertua; kalau ini berhalangan yang berikut tertua dan
seterusnya demikian.
c) Saudara laki-laki yang sebapak yang tertua; kalau berhalangan yang berikut tertua dan
seterusnya.
d) Anak laki-laki dari tersebut (b).
e) Anak laki-laki dari tersebut (c).
f) Saudara laki-laki dari bapak yang seibu dan sebapak.
g) Saudara laki-laki dari bapak yang sebapak.
h) Anak laki-laki yang tersebut (f).
i) Anak laki-laki dari tersebut (g).

Kalau mereka tersebut di atas itu semuanya tidak ada, berhalangan atau tidak diperbolehkan
menjadi wali menurut hukum, atau menyatakan keberatan dengan alasan tidak tepat, maka
sebagai wali dapat diganti oleh seorang khadi atau hakim; di Indonesia lazimnya digganti
oleh seorang Penghulu, atau Naib.
Yang disebut wali mudzjbir adalah seorang bapak atau kakek yang mengawinkan anaknya
atau kakek yang mengawinkan anaknya atau cucunya yang masih perawan dengan paksaan.
Mas kawin atau mahar biasanya berupa uang, lazimnya (di Jawa) Rp.5, perak di bayar tunai
oleh pihak laki-laki. Tetapi di beberapa daerah terdapat kebiasaan juga untuk tidak membayar
mas-kawinnya serta dinyatakan mas kawinnya dihutang. Kadang juga dijadikan satu dengan
pembayaran-pembayaran perkawinan lainnya, seperti di Aceh dicampur dengan jinamee, di
Sulawesi dicampur dengan sunrang, sehingga jumlahnya jadi lebih besar.
*) Jerri Hitler Tampubolon adalah Mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Bandung dan Pemerhati Hukum Adat
Indonesia.

BACAAN :
Aljaberi. M Abid, Post Tradisionalisme Islam, Yogyakarta, LkiS, 2000.
Abdulrachman, Hukum Adat Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia, Cendana Press, 1984,
Soerojo Wignjodipoero, SH, Asas-asas Hukum Adat, Gunung Agung, Jakarta.
www.hukumonline.com
www.scribd.com
www.wikipedia-indonesia.com

También podría gustarte

  • Nanda P M 5
    Nanda P M 5
    Documento5 páginas
    Nanda P M 5
    Nanda P M
    Aún no hay calificaciones
  • Anti 2
    Anti 2
    Documento2 páginas
    Anti 2
    Nanda P M
    Aún no hay calificaciones
  • Nanda P M 5
    Nanda P M 5
    Documento5 páginas
    Nanda P M 5
    Nanda P M
    Aún no hay calificaciones
  • Nanda P M 5
    Nanda P M 5
    Documento5 páginas
    Nanda P M 5
    Nanda P M
    Aún no hay calificaciones
  • Nanda P M 5
    Nanda P M 5
    Documento5 páginas
    Nanda P M 5
    Nanda P M
    Aún no hay calificaciones
  • PROMKES PD Situasi Emergensi
    PROMKES PD Situasi Emergensi
    Documento24 páginas
    PROMKES PD Situasi Emergensi
    ati-siti-rochayati-2579
    Aún no hay calificaciones
  • Nanda P M 5
    Nanda P M 5
    Documento5 páginas
    Nanda P M 5
    Nanda P M
    Aún no hay calificaciones
  • Nanda P M 5
    Nanda P M 5
    Documento5 páginas
    Nanda P M 5
    Nanda P M
    Aún no hay calificaciones