Está en la página 1de 19

BAB 1

PENDAHULUAN

Amebiasis (disentri ameba, enteritis ameba, kolitis ameba) adalah penyakit


infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit usus Entamoeba histolytica.
Penyakit ini hampir tersebar hampir diseluruh dunia terutama di negara sedang
berkembang yang berada di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena faktor
kepadatan penduduk, higiene individu, dan sanitasi lingkungan hidup serta
kondisi sosial ekonomi dan kultural yang menunjang.
Sekitar 90% infeksi asimptomatik, sementara sekitar 10% lainnya
menimbulkan berbagai sindrom klinis, mulai dari disentri sampai abses hati atau
organ lain.
Penyakit ini ditularkan secara fekal oral baik secara langsung (melalui
tangan) maupun tidak langsung (melalui air minum atau makanan yang tercemar).
Sebagai sumber penularan adalah tinja yang mengandung kista amuba yang
berasal dari carrier (cyst passer). Laju infeksi yang tinggi didapatkan di tempattempat penampungan anak cacat atau pengungsi dan di negara-negara sedang
berkembang dengan sanitasi lingkungan hidup yang buruk. Di negara beriklim
tropis lebih banyak didapatkan strain patogen dibandingkan di negara maju yang
beriklim sedang. Oleh karena itu di negara maju banyak dijumpai penderita yang
asimptomatik, sementara dinegara berkembang yang beriklim tropis banyak
dijumpai pasien yang simptomatik.
Di Indonesia, laporan mengenai insidens amebiasis sampai saat ini masih
belum ada. Akan tetapi berdasarkan laporan mengenai abses hati ameba pada

beberapa rumah sakit besar, dapat diperkirakan insisdensnya cukup tinggi.


Penularan dapat terjadi lewat beberapa cara, misalnya: pencemaran air minum,
popok kotoran manusia, juru masak, vektor lalat dan kecoak, serta kontak
langsung seksual oral-anal pada homoseksual. Penyakit ini cenderung endemik,
jarang menimbulkan epidemi. Epidemi sering terjadi lewat air minum yang
tercemar. Sekitar 10% populasi hidup terinfeksi entamoeba, kebanyakan oleh
entamoeba dispar (E. Dispar).

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Amebiasis (disentri ameba, enteritis ameba, kolitis ameba) adalah
penyakit infeksi usus besar yang disebabkan oleh parasit usus Entamoeba
histolytica. Penyakit ini hampir tersebar hampir diseluruh dunia terutama di
negara sedang berkembang yang berada di daerah tropis. Hal ini disebabkan
karena faktor kepadatan penduduk, higiene individu, dan sanitasi lingkungan
hidup serta kondisi sosial ekonomi dan kultural yang menunjang.

B. Etiologi
E. Hystolytica

merupakan protozoa usus, sering hidup sebagai

mikroorganisme komensal (apatogen) di usus besar manusia. Apabila kondisi


mengijinkan dapat berubah menjadi patogen dengan cara membentuk koloni
di dinding usus dan menembus dinding usus sehingga menimbulkan ulserasi.
Siklus hidup ameba ada 2 macam bentuk, yanitu bentuk trofozoit yang dapat
bergerak dan bentuk kista. Bentuk trofozoit ada 2 macam, trofozoit komensal
(<10 mm) dan trofozoit patogen (>10mm).
Trofozoit komensal dapat dijumpai di lumen usus tanpa menyebabkan
gejala penyakit. Bila pasien mengalami diare, maka trofozoit akan keluar
bersama tinja. Pada pemeriksaan tinja dibawah mikroskop tampak trofozoit
bergerak aktif dengan pseudopodinya dan dibatasi oleh ektoplasma yang
terang seperti kaca. Di dalamnya ada endoplasma yang berbentuk butir-butir
kecil dan sebuah inti di dalamnya. Sementara trofozoit patogen yang dapat

dijumpai di lumen dan dinding usus (intraintestinal) maupun di luar usus


(ekstraintestinal), mengakibatkan gejala disentri. Diameternya lebih besar dari
trofozoit komensal (sampai 50 mm) dan mengandung beberapa eritrosit di
dalamnya, karena trofozoit ini sering menelan eritrosit (haematophagous
trophozoite). Bentuk trofozoit ini bertanggung jawab terhadap timbulnya
gejala penyakit namun cepat mati apabila berada di luar tubuh manusia.
Bentuk kista ada 2 macam yaitu kista muda dan kista dewasa. Kista muda
berinti satu mengandung satu gelembung glikogen dan badan-badan
kromatoid yang berbentuk batang berujung tumpul. Ista dewasa berinti
empat. Kista hanya terbentuk dan dijumpai didalam lumen usus, tidak dapat
terbentuk di luar tubuh dan tidak dapat dijumpai di dalam dinding usus atau
di jaringan tubuh di luar usus.
Bentuk kista bertanggung jawab terhadap penularan penyakit, dapat hidup
lama diluar tubuh manusia, tahan terhadap asam lambung, dan kadar klor
standard di dalam sistem air minum. Diduga faktor kekekringan aibat
penyerapan air sepanjang usus besar, menyebabkan trofozoit berubah menjadi
kista E. Histolytica.
Imunitas terhadap ameba sampai saat ini masih belum banyak diketahui
dengan pasti perannya. Beberapa ahli meragukan adanya peran tersebut,
karena di daerah endemik banyak terjadi infeksi berulang, dan morbiditas
serta mortalitasnya meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pendapat
tersebut kurang epat karena telah terbukti bahwa ulkus ameba dapat kambuh
kembali apabila pasien menerima tindakan yang menurunkan daya tahan
tubuh, misalnya splenektomi, radiasi, obat-obat imunosupresif, dan
kortikosteroid.

Berdasarkan penelitian pada binatang dan manusia dapat dibuktikan


bahwa E. Histolytica dapat merangsang terbentuknya imunitas humoral dan
selular. In vivo, imunita humoral mampu membinasakan ameba, tetapi in
vitro tidak. Belum diketahui apa sebabnya keadaan tersebut dapat terjadi.
Tampaknya imunitas yang terbentuk tidak sempurna dan hanya dapat
mengurangi beratnya penyakit, tidak dapat mencegah terjadinya penyakit.
Diduga, imunitas selular lebih besar perannya daripada imunitas humoral.
Antibodi di dalam serum (terutama khas IgG) terutama berperan dalam uji
serologik.
C. Patofisiologi dan Patomekanisme
Trofozoit yang mula mula hidup sebagai komensal di dalam lumen usus
besar, dapat berubah menjadi pathogen, menembus mukosa usus dan
menimbulkan ulkus. Faktor yang menyebabkan perubahan sifat trofozoit
tersebut sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti.Diduga baik
fektor ketahanan tubuh pasien, sifat keganasan (virulensi) ameba, maupun
lingkunganya mempunyai peran.Faktor- faktor yang dapat menurunkan
kerentanan tubuh misalnya kehamilan, kurang gizi, penyakit keganasan, obat
obat imunosupresi, dan kortikosteroid.Sifat keganasan ameba ditentukan
oleh strainya.Strain ameba di daerah tropis ternyata lebih ganas daripada
strain di daerah sedang.Akan tetapi sifat keganasan tersebut tidak stabil, dapat
berubah

apabila

keadaan

lingkungan

mengizinkan.Beberapa

faktor

lingkungan yang diduga berpengaruh, misalnya suasana anaerob dan asam


(pH 0,6 6,5), adanya bakteri, virus dan diet tinggi kolestrol, tinggi
karbohidrat, dan rendah protein.Ameba yang ganas dapat memproduksi
enzim fosfoglukomutase dan lisozim yang dapat mengakibatkan kerusakan

dan nekrosis jaringan dinding usus.Bentuk ulkus ameba sangat khas yaitu
lapisan mukosa berbentuk kecil, tetapi di lapisan submukosa dan muskularis
melebar (menggaung).Akibatnya terjadi ulkus di permukaan mukosa usus

menonjol dan hanya terjadi reaksi radang yang minimal.Mukosa usus antara
ulkus ulkus tampak normal.Gambaran ini sangat berbeda dengan disentri
basiler, di mana mukosa usus antara ulkus meradang.Pada pemeriksaan
mikroskopik eksudat ulkus. Tampak sel leukosit dalam jumlah banyak, akan
tetapi lebih sedikit jika dibandingkan dengan disentri basiler. Tampak pula
Kristal Charcot Leyden dan kadang kadang ditemukan trofozoit. Ulkus
yang terjadi dapat menimbulkan perdarahan dan apabila menembus lapisan
muscular akan terjadi di semua bagian usus besar, tetapi berdasarkan
frekuensi dan urutan tempatnya adalah sekum, kolon asenden, rectum,
sigmoid, apendiks, dan ileum terminalis. Infeksi kronik dapat menimbulkan
reaksi terbentuknya massa jaringan granulasi yang disebut ameboma, yang
sering terjadi di daerah sekum dan sigmoid. Dari ulkus di dalam dinding usus

besar, ameba dapat mengadakan metastasis ke hati lewat cabang vena porta
dan menimbulkan abses hati. Embolisasi lewat pembuluh darah atau
pembuluh getah bening dapat pula terjadi ke paru, otak, atau limpa, dan
menimbulkan abses disana, akan tetapi peristiwa ini jarang terjadi.
D. Klasifikasi
Berdasarkan berat ringanya gejala yang ditimbulkan maka amebiasis dapat
menjadi :carrier (cyst passer), amebiasis intestinal ringan (disentri ameba
ringan),amebiasis intestinal sedang (disentri ameba sedang), disentri ameba
berat, disentri ameba kronik

E. Manifestasi Klinis
Carrier ( Cyst passer)
Pasien tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Hal ini disebabkan
karena ameba yang berada di dalam lumen usus besar, tidak mengadakan
invasi ke dinding usus.
Amebiasis Intestinal Ringan (disentri ameba ringan)
Timbulnya penyakit (onset penyakit) perlahan-lahan.Penderita biasanya
mengeluh perut kembung, kadang kadang nyeri perut ringan yang bersifat
kejang. Dapat timbul diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk
kadang kadang tinja bercampur darah dan lendir. Sedikit nyeri tekan di
daerah sigmoid.Jarang nyeri di daerah epigastrium yang mirip ulkus
peptic.Keadaan tersebut bergantung pada lokasi ulkusnya.Keadaan umum
pasien biasanya baik, tanpa atau disertai demam ringan (subfebril). Kadang
kadang terdapat hepatomegaly yang tidak atau sedikit nyeri tekan.
Amebiasis Intestinal Sedang (disentri ameba sedang)
Keluhan pasien dan gejala klinis lebih berat disbanding disentri ringan, tetapi
pasien masih mampu melakukan aktivitas sehari hari, tinja disertai darah

dan lendir.Pasien mengeluh perut keram, demam dan lemah badan, disertai
hepatomegaly yang nyeri ringan.
Disentri Ameba Berat
Keluhan dan gejala klinis lebih hebat lagi.Penderita mengalami diare disertai
darah yang banyak, lebih dari 15 kali sehari.Demam tinggi (40C- 40,5C),
disertai mual dan anemia.Pada saat ini tidak dianjurkan melakukan
pemeriksaan sigmoidoskopi karena dapat mengakibatkan perforasi usus.
Disentri Ameba Kronik
Gejalanya menyerupai disentri ameba ringan, serangan serangan diare
diselingi denga periode normal atau tanpa gejala.Keadaan ini dapat berjalan
berbulan bulan sampai bertahun tahun.Pasien biasanya menunjukkan
gejala neurastenia.Serangan diare biasanya terjadi karena kelelahan, demam
atau makanan yang sukar dicerna.

F. Pemeriksaan Penunjang
Permeriksaan tinja merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat
penting.Pada disentri ameba biasanya tinja berbau bususk, bercampur darah
dan lendir.Untuk pemeriksaan mikroskopik, perlu tinja yang masih baru
(segar). Kadang kadang diperlukan pemeriksaan berulang ulang, minimal
3 kali seminggu, dan sebaiknya dilakukan sebelum pasien mendapat
pengobatan. Apabila direncanakan akan dibuat foto kolon dengan barium
enema, pemeriksaan tinja harus dikerjakan sebelumnya atau minimal 3 hari
sesudahnya. Pada pemeriksaan tinja yang berbentuk ( pasien tidak diare),
perlu dicari bentuk kista, karena berbentuk trofozoit tidak akan dapat
ditemukan. Dengan sediaan langsung tampak kista berbentuk bulat, berkilau
seperti mutiara.Di dalamnya terdapat badan badan kromatid yang berbentuk

batang, dengan ujung tumpul sedang inti tidak tampak.Untuk dapat melihat
intinya dibuat sediaan dengan larutan lugol.Sebaliknya badan badan
kromatid tidak tampak pada sediaan dengan lugol ini. Bila jumlah kista
sedikit, dapat dilakukan pemeriksaan dengan metoda konsentrasi yaitu
dengan larutan seng sulfat, kista akan terapung di permukaan, sedang dengan
larutan eterformalin kista akan mengendap.
Di dalam tinja pasien akan ditemukan bentuk trofozoit. Untuk itu
diperlukan tinja yang masih segar. Apabila pemeriksaan ditunda untuk
beberapa jam, maka tinja dapat disimpan di lemari pendingin (4C) atau
dicampur di dalam larutan polivinil alcohol. Sebaiknya diambil bahan dari
bagian tinja yang mengandung darah dan lendir. Pada sediaan langsung dapat
dilihat trofozoit yang masih bergerak aktif seperti keong, dengan
menggunakan pseudopodinya yang seperti kaca, jika tinja berdarah, akan
Nampak ameba dengan eritrosit di dalamnya.
Bentuk inti akan nampak jelas bila dibuat sediaan dengan larutan eosin.
Untuk membedakanya dengan leukosit (makrofag), perlu dibuat sediaan
dengan cat supravital, misalnya buf-fered methylene blue. Dengan
menggunakan micrometer, dapat disingkirkan kemungkinan E. hartmanni.
Pemeriksaan prostoskopi, sigmoidoskopi, dan kolonoskopi berguna untuk
membantuk diagnosis penderita dengan gejala disentri, terutama apabila pada
pemeriksaan tinja tidak ditemukan ameba.Pemeriksaan ini tidak berguna
untuk carrier.Tampak ulkus yang khas dengan tepi menonjol, tertutup eksudat
kekuningan, muksa usus antara ulkus ulkus tampak normal. Pemeriksaan
mikroskopis bahan eksudat atau bahan biopsy jaringan usus akan ditemukan
trofozoit.

Foto rontgen kolon tidak banyak membantu, karena sering ulkus tidak
tampak. Kadang kadang pada amebiasis kronik, foto rontgen kolon dengan
barium enema tampak fiiling defect yang mirip karsinoma.
Ameba hanya dapat dibiakkan pada media khusus, misalnya media boeck
Dr. Bohlav.Tetapi tidak semua strain dapat dibiakkan.Oleh karena itu
pemeriksaan ini tidak dikerjakan rutin.
Pemeriksaan uji serologi banyak digunakan sebagai uji bantu diagnosis
abses hati amebic dan epidemiologis. Uji serologi positif apabila ameba
menembus jaringan (invasive). Oleh karena itu uji ini akan positif pada pasien
abses hati dan disentri ameba, dan negative pada earner. Hasil uji serologi
positif belum tentu menderita amebiasis aktif, tetapi bila negative pasti bukan
amebiasis. Indirect fluores-cent antibody (IFA) dan enzyme linked
immunosorbant assay(ELISA) merupakan uji yang paling sensitive. juga up
indirect fluorescent anti-body(IFA) dan agar gel diffusion precipitin. Sedang
uji serologi yang cepat hasilnya adalah latex agglutination test dan cellulose
acetate diffusion.Oleh karena antibody yang terbentuk lama sekali
menghilang, maka nilai diagnostiknya di daerah endemis rendah.
G. Diagnosis
Amebiasis intestinal kadang-kadang sukar dibedakan dari Irritable bowel
syndrome (IBS), divertikulitis, enteritis regional, dan hemoroid interna,
sedangkan disentri ameba sukar dibedakan dengan disentri basilar atau
salmonelosis, kolitis ulserosa dan skistosomiasis (terutam didaerah endemis).
Pemeriksaan tinja sangat penting. Tinja penderita amebiasis tidak banyak
mengandung leukosit, tetapi banyak mengandung bakteri. Diagnosis pasti
baru dapat ditegakkan apabila ditemukan ameba (trofozoit). Akan tetapi
dengan ditemukan ameba tersebut tidak berarti menyingkirkan kemungkinan

10

diagnosis penyakit lain, karena amebiasis dapat terjadi bersamaan dengan


penyakit lain pada seorang pasien. Sering amebiasis dapat terjadi bersamaan
dengan karsinoma usus besar. Oleh karena itu bila pasien amebiasis yang
telah dapat pengobatan spesifik masih tetap mengeluh perutnya sakit, perlu
dilakukan pemeriksaan lain misalnya endoskopi, foto kolon dengan barium
enema atau biakan tinja.
Abese hati ameba sukar dibedakan dengan abses piogenik, neoplasma dan
kista hidatidosa. Ultrasonografi dapat membedakannya dengan neoplasma,
sedang ditemukan echinococcus dapat membedakannya dengan abses
piogenik. Salah satu cara adalah dengan pungsi abses.
H. Tatalaksana
Ameba dapat ditemukan di dalam lumen usus, didalam dinding usus
maupun diluar usus.Hampir semua obat amebisid tidak dapat bekerja efaktif
di semua tempat tersebut, terutama bila diberikan obat tunggal.Oleh karena
itu sering digunakan kombinasi obat untuk meningkatkan hasil pengobatan.
Amebiasis Asimtomatik (Carrier atau Cyst Passer)
Carrier atau cyst passer, walaupun tanpa keluhan dan gejala klinis, sebaiknya
diobati.Hal ini disebabkan karena ameba yang hidup sebagai komensal di
dalam lumen usus besar, sewaktu waktu dapat berubah menjadi pathogen.Di
samping itu carrier juga merupakan sumber infeksi utama.Trofozoit banyak
dijumpai di lumen usus besar tanpa atau sedikit sekali menimbulkan kelainan
mukosa usus.Ulkus yang ditimbulkan hanya superfisial, tidak mencapai
lapisan submukosa.Kelainan tersebut tidak menyebabkan gangguan peristaltic
usus, sehingga tidak menimbulkan keluhan dan gejala klinis. Obat yang
diberikan adalah amebisid luminal, misalnya :
Diloksanit furoat (diloxianite furoate)

11

Dosis : 3 x 500 mg sehari, selama 10 hari. Saat ini obat ini merupakan
amebisid luminal pilihan, karena efektivitasnya cukup tinggi (80-85%),
sedangkan efek sampingnya sangat minimal hanya berupa mual dan
kembung.
Diyodohidroksikin (diiodohydroxyquin)
Dosis : 3 x 600 mg sehari , selama 10 hari
Yodoklorohidroksikin
(lodochlorohydroxyquin)

atau

kliokinol

(clioquinol)
Dosis : 3 x 250 mg sehari, selama 10 hari
Kedua obat tersebut termasuk halogenated hydroxyquinolon yang cukup
efektif sebagain amebisid luminal. Efektivitasnya 60 -70%. Efek sampan
yang terjadi biasanya ringan, berupa mual, muntah, tetapi dapat juga berat,
berupa subacute myelooptic neuropathy (SMON), efek samping ini hanya
terjadi apabila dosis dan jangka waktu pemberian obat melebihi aturan pakai
yang telah ditentukan. Oleh karena itu obat ini tidak dianjurkan untuk
diberikan kepada penderita yang mengidap penyakit optic neuropathy.Juga
sebaiknya tidak diberikan kepada penderita yang mengidap penyakit kelenjar
gondok, karena obat ini dapat mengakibatkan pembesaran kelenjar gondok
Karbarson (carbarsone)
Dosis 3 x 500 mg sehari , selama 7 hari
Bisthmuth glycoarsanilate
Dosis 3 x 500 mg sehari, selama 7 hari
Kedua obat tersebut merupakan obat golongan arsen, yang saat ini sudah
jarang dipakai lagi, sering timbul efek samping diare.
Klefamid (clefamide)
Dosis 3 x 500 mg sehari , selama 10 -13 hari
Paromomycin
Dosis 3 x 500 mg sehari , selama 5 hari. Oleh karena ada kemungkinan invasi
amuba ke mukosa usus besar, maka walaupun tidak mengakibatkan gangguan
peristaltic usus, dianjurkan untuk menambah amebisid dengan jaringan
sebagai profilaksis. Obat amebisid jaringan yang dapat dipakai adalah:
Klorokuin difosfat (chloroquine diphosphate)

12

Dosis 2 x 500 mg sehari, selama 1 2 hari, kemudian dilanjutkan dengan


2 x 250 mg sehari, selama 7 12 hari. Obat anti malaria ini mudah diserap
dan saluran penceraan, tetapi lambat ekskresinya. Konsentrasi obat di dalam
jaringan, terutama jaringan hati

sangat tinggi sehingga dipakai untuk

profilaksis timbulnya abses hati ameba.


Efek samping obat berupa mual, pusing dan nyeri kepala.Pemberian
jangka lama dapat mengakibatkan retinopati.Tidak dianjurkan untuk
diberikan kepada wanita hamil, karena dapat mengakibatkan anak lahir tuli.
Metronidazole
Dosis 35 50 mg/kg berat badan atau 3 x 500 mg sehri, selama 5 hari
Tinidazol
Dosis 50 mg/kg berat badan atau 2 g sehari, selama 2 3 hari.
Ornidazol
Dosis 50 -60 mg/kg berat badan atau 2 gm sehari, selama 3 hari.Ketiga
obat tersebut termasuk golongan nitromidazol yang dapat bekerja baik dalam
lumen usus, di dalam dinding usus maupun diluar usus (ekstraintestinal).
Efek samping yang sering terjadi adalah mual, muntah pusing dan nyeri
kepala. Tidak dianjurkan untuk diberikan kepada pasien yang mengidap
penyakit darah ( blood discrasia), juga kepada ibu hamil karena terbukti pada
binatang percobaan obat ini mempunyai sifat karsinogenik dan teratogenik
serta dapat mengakibatkan mutasi bakteri.
Disentri ameba ringan-berat
Pada pasien ditemukan ulkus di mukosa usus besar yang dapat mencapai
lapisan submukosa usus besar yang dapat mencapai lapisan submukosa dan
dapat mengakibatkan gangguan peristaltic usus. Pasien akan mengalami diare
atau disentri, tetapi tidak berat, sehingga tidak memerlukan infus cairan
elektrolit atau transfusi darah. Oleh karena didapatkan trofozoit di dalam
lumen dan di dalam dinding usus besar, maka sebagai obat pilihan adalah

13

metronidazol dengan dosis 3 x 750 mg atau ornidazol dengan dosis seperti


tersebut di atas.
Oleh karena pada pasien yang

sudah sembuh dengan pengobatan

metronidazole dapat timbul abses hati ameba dalam jangka waktu 3 -4 bulan
kemudian, maka dianjurkan untuk menambah dengan obat amebisid luminal.
Obat ini akan memberantas sumber trofozoit di dalam lumen usus. Dapat
dipakai diyodohidrosikin, kliokinol, atau diloksanid furoat dengan dosis
seperti tersebut diatas.Dapat pula diberi tetrasiklin, dengan dosis 4 x 500 mg
sehari, selama 5 hari.

Tabel rekomendasi pengobatan amebiasis


I

carrier asimtomatik (luminal agents):

lodoquinol (tablet 650 mg), dosis 650 mg tiga kali sehari selama 20

hari
paromomycin (tablet 250 mg), dosis 500 mg tiga kali sehari selama
10 hari

II

Kolitis Akut

metronidazole (tablet 250 atau 500 mg), dosis 750 mg per oral atau
intravena (IV) tiga kali sehari selama 5 10 hari kali ditambah
dengan bahan luminal dengan dosis yang sama

III

Abses Hati Ameba

Metronidazol, dosis 750 mg per oral atau i.v tiga kali sehari selama

5 10 hari
Tinidazol, dosis 2 g per oral
Omidazol, dosis 2 g prt oral
Omidazol, dosis 2 g per oral ditambah bukan luminal dengan jumlah
yang sama.

Disentri ameba berat

14

Pasien ini tidak hanya memerlukan obat ameoisid saja, tetapi juga
memerlukan infus cairan elektrolit atau transfusi darah.Selain pengobatan
seperti pada disentri ameba ringan dan sedang perlu ditambah emetin atau
dehidroemetin.Obat ini diberikan secara suntikan intramuscular atau subkutan
yang dalam.Tidak diperbolehkan memberikan secara intravena. Dosis emetin
1 mg/kg berat badan sehari (maksimum 60 mg sehari) selama 3 5 hari;
dehidro-emetin 11,5 mg/kg berat badan sehari (maksimum 90 mg sehari)
selama 3 5 hari. Penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit dan tirah baring
selama pengobatan. Hal ini disebabkan karena bahaya efek samping emetin
terhadap jantung. Pemberian dosis tinggi dapat mengakibatkan nekrosis otot
jantung dan penderita meninggal mendadak.
Oleh karena itu penderita perlu diobservasi dengan teliti, terutama tekanan
darah, denyut nadi, dan elektrokardiografi.Kelainan EKG yang sering terjadi
adalah kelainan gelombang T yang mendatar atau terbalik.Dapat pula terjadi
aritmia.
Amebiasis Ekstra Intestinal dan Ameboma
Penderita abses hati ameba dapat diberi metronidazole atau obat lain
golongan nitromidazol dengan dosis seperti tersebut diatas. Dapat pula diberi
klorokindifosfat dengan dosis 1 gr sehari. Selama 1 2hari ; dilanjutkan
dengan 600 mg sehari, selama 4 minggu. Masing masing obat tersebut perlu
ditambah dehidroemetin atau emetin dengan dosis seperti tersebut di atas
selama 10 hari. Kadang kadang apabila abses hati sangat besar ( lebih dari 5
cm) akan pungsi abses untuk mempercepat penyembuhan. Pada amebiasis
ekstraintestinal lainya dan ameboma obat obat tersebut di atas dapat
diberikan , kecuali klorokuin.

15

I. Komplikasi
Beberapa penyulit dapat terjadi pada disentri ameba, baik berat maupun
ringan. Sering sumber penyakit di usus sudah tidak menunjukkan gejala lagi
atau hanya menunjukkan gejala ringan, sehingga yang menonjol adalah gejala
penyulitnya. Keadaan ini sering terjadi pada penyulit ekstra intestinal yang
disebut amebiasis ekstra intestinal. Berdasarkan lokasinya, penyulit tersebut
dapat dibagi menjadi:
Komplikasi Intestinal
Perdarahan usus. Terjadi apabila ameba mengadakan invasi ke dinding usus
besar dan merusak pembuluh darah. Bila perdarahan hebat dapat berakibat
fatal.
Perforasi usus. Terjadi apabila abses menembus lapisan muskular dinding
usus besar. Sering mengakibatkan peritonitis yang mortalitasnya tinggi.
Peritonitis juga dapat terjadi akibat pecahnya abses hati ameba.
Ameboma. Terjadi akibat infeksi kronik yang mengakibatkan reaksi
terbentuknya massa jaringan granulasi. Biasa terjadi di daerah sekum dan
rekstosigmoid, sukar dibedakan dengan karsinoma usus besar. Sering
mengakibatkan ileus obstruktif atau penyempitan usus.
Intususepsi. Sering terjadi di daerah sekum (caeca-colic) yang memerlukan
tindakan operasi segera.
Penyempitan usus (striktura). Dapat terjadi pada disentri kronik, akibat
terbentuknya jaringan ikat atau akibat ameboma.
Komplikasi Ekstra Intestinal
Amebiasis hati. Abses hati ameba merupakan penyulit ekstra intestinal yang
paling sering terjadi. Di daerah tropis, terutama di Asia Tenggara, insidennya
berkisar 5-40%. Lebih banyak terdapat pada laki-laki daripada wanita,

16

tersering pada usia 30-40 tahun. Abses dapat timbul beberapa minggu, bulan
atau tahun sesudah infeksi ameba, kadang-kadang terjadi tanpa diketahui
menderita disentri ameba sebelumnya. Infeksi di hati terjadi akibat embolisasi
ameba dan dinding usus besar lewat vena porta, jarang lewat pembuluh getah
bening. Mula-mula terjadi hepatitis ameba yang merupakan stadium dini
abses hati, kemudian timbul nekrosis fokal kecil-kecil (mikro abses), yng
akan bergabung menjadi satu, membentuk abses tunggal yang besar. Dapat
pula menjadi abses majemuk. Sesuai dengan arah aliran vena porta, maka
abses hati ameba terutama banyak terdapat di lobus kanan. Abses berisi
nanah kental yang steril tidak berbau, berwarna kecoklatan terdiri atas
jaringan sel hati yang rusak bercampur darah. Kadang-kadang berwarna
kuning kehijauan, karena bercampur dengan cairan empedu. Pasien sering
mengeluh nyeri spontan di perut kanan atas, kalau berjalan posisinya
membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Hati
teraba di bawah lengkung iga, nyeri tekan disertai demam tinggi yang bersifat
intermitten atau remitten. Kadang-kadang terasa nyeri tekan lokal di daerah
antara iga ke-8, ke-9 atau ke-10, jarang terjadi ikterus. Pada pemeriksaan
laboratorium ditemukan leukositosis moderat (15.000 25.000/mm3) yang
terdiri atas 70% leukosit polimorfonuklear. Faal hati jarang terganggu dan
jarang ditemukan ameba di dalam tinja. Ameba dapat ditemukan di dalam
bahan cairan aspirasi abses bagian terakhir atau bahan biopsi dinding abses.
Pada pemeriksaan penerawangan tampak peninggian hemidiafragma kanan,
gerakannya menurun atau kadang-kadang terjadi gerakan paradoksal (pada
waktu inspirasi diafragma justru bergerak ke atas). Pada pemeriksaan foto

17

dada postero-anterior maupun lateral kanan, tampak sudut kostofrenik kanan


tumpul di bagian depan (pada abses hati piogenik, tumpul di bagian
belakang).
Amebiasis pleuropulmonal. Dapat terjadi akibat ekspansi langsung abses
hati. Kira-kira 10-20% abses hati ameba dapat mengakibatkan penyulit ini.
Dapat timbul cairan pleura, atelektasis, pneumonia atau abses paru. Abses
paru dapat pula terjadi akibat embolisasi ameba langsung dari dinding usus
besar. Dapat terjadi hiliran (fistel) hepatobronkial, penderita batuk-batuk
dengan sputum berwarna kecoklatan yang rasanya seperti hati.
Abses otak, limpa, dan organ lain. Abses otak, limpa dan organ lain dapat
terjadi akibat embolisasi ameba langsung dan dinding usus besar maupun dari
abses hati walaupun sangat jarang terjadi.
Amebiasis kulit. Terjadi akibat invasi ameba langsung dari dinding usus
besar, dengan membentuk hiliran (fistel). Sering terjadi di daerah perianal
atau di dinding perut. Dapat pula terjadi di daerah vulvovaginal akibat invasi
ameba yang berasal dari anus.
J. Prognosis
Prognosis ditentukan oleh berat ringannya penyakit, diagnosis dan
pengobatan dini yang tepat, serta kepekaan ameba terhadap obat yang
diberikan. Pada umumnya prognosis amebiasis adalah baik terutama yang
tanpa komplikasi. Pada abses hati ameba kadang-kadang diperlukan tindakan
pungsi untuk mengeluarkan nanah. Demikian pula dengan amebiasis yang
disertai penyulit efusi pleura. Prognosis yang kurang baik adalah abses otak
ameba.
K. Pencegahan
Makanan, minuman, dan keadaan lingkungan hidup yang memenuhi syarat
kesehatan merupakan sarana pencegahan penyakit yang sangat penting. Air

18

minum sebaiknya dimasak dulu, karena kista akan mati bila air dipanaskan
50oC selama 5 menit. Pemberian klor dalam jumlah yang biasa digunakan
dalam proses pembuatan air bersih, ternyata tidak dapat mematikan kista.
Penting sekali adanya jamban keluarga, isolasi, dan pengobatan carrier.
Carrier dilarang bekerja sebagai juru masak atau segala pekerjaan yang
berhubugan dengan makanan. Sampai saat ini belum ada vaksin khusus.
Pemberian kemoprofilaksis bagi wisatawan yang akan mengunjungi daerah
endemis tidak dianjurkan. Pengobatan massal secara berkala dengan
metronidazol dan dilosanid furoat hanya dikerjakan dalam keadaan tertentu.

19

También podría gustarte