Está en la página 1de 28

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK KRITIS

GAGAL NAFAS PADA ANAK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Keperawatan Anak Kritis

Disusun Oleh:
Komala Sari
Malisa Ariani
Paul Joae Brett Nito
Sastrayanti Sinaga

(NIM : 215115014)
(NIM : 215115015)
(NIM : 215115016)
(NIM : 215115016)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S-2)


STIKES JENDERAL A. YANI CIMAHI
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang
Asuhan Keperawatan Kritis pada Anak dengan Gagal Nafas tepat waktu. Tugas ini dibuat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak Kritis.
Makalah ilmiah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik
dari segi susunan kalimat, tata bahasanya maupun isi materi yang disampaikan. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
penulis dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Semoga makalah dapat memberikan manfaat
maupun inpirasi terhadap pembaca.

Cimahi, 30 April 2016

KELOMPOK 4

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................................ii
BAB I

PENDAHULUAN...............................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Tujuan............................................................................................................3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................4
A. Konsep Penyakit............................................................................................3
1. Pengertian gagal nafas............................................................................. 3
2. Penyebab gagal nafas...............................................................................3
3. Klasifikasi gagal nafas.............................................................................5
4. Patofisiologi gagal nafas..........................................................................7
5. Tanda dan gejala gagal nafas...................................................................8
6. Diagnosis gagal nafas..............................................................................9
7. Pemeriksaan penunjang gagal nafas........................................................10
8. Penatalaksanaan gagal nafas....................................................................12
B. Konsep Asuhan Keperawatan........................................................................16
1. Pengkajian Fokus.....................................................................................16
2. Diagnosa Keperawatan............................................................................17
3. Intervensi Keperawatan...........................................................................18

BAB III

PEMBAHASAN..................................................................................................21

BAB IV

PENUTUP............................................................................................................
A. Kesimpulan....................................................................................................
B. Saran..............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Gagal nafas didefinisikan sebagai ketidakmampuan organ-organ pernafasan untuk
mempertahankan O2 yang adekuat, dengan atau tanpa retensi CO 2 (Wong, 2009). Gagal
nafas merupakan tahapan lanjut dari gangguan pernafasan yang menyebabkan paru
mengalami kegagalan untuk memenuhi kebutuhan O2 dan mengeluarkan CO2 sehingga
terjadi hipoksia dan hiperkapnia. Hampir 50% anak yang masuk ruang pelayanan intensif
mengalami gagal nafas akut dan merupakan penyebab henti napas tersering pada anak.
Gagal nafas akut masih merupakan penyebab utama kematian atau kesakitan baik pada
anak maupun dewasa. Bayi dan anak-anak terutama anak usia kurang lima tahun lebih
mudah mengalami gagal nafas akut karena faktor - faktor anatomis dan system fungsional
pernafasan yang masih belum matang. Penyebab terjadinya gagal nafas akut antara lain
dikarenakan rusaknya system control pernafasan oleh susunan saraf pusat, penyakit
neuromuscular, sumbatan jalan naafs, penyakit pada paru-paru dan sistem kardiovaskular.
Gejala klinis sangat bervariasi dan tergantung dari umur penderita, penyakit primer dan
tingkat kegagalan pertukaran gas.
Diagnosis gagal nafas akut dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis,
dan pemeriksaan penunjang, termasuk pulse oksimetri dan analisa gas darah. Pengenalan
dini dan tatalaksana yang tepat merupakan hal yang harus diperhatikan karena
prognosisnya buruk apabila telah mengalami henti jantung. Tatalaksana tersebut meliputi
perbaikan ventilasi dan pemberian oksigen, terapi terhadap penyakit primer penyebab
gagal nafas, tatalaksana terhadap komplikasi yang terjadi.
Penatalaksanaan untuk anak yang mengalami gagal nafas memerlukan suatu keterampilan
dan pengetahuan khusus serta penafsiran dan perencanaan maupun melakukan tindakan
harus cepat dan sistematis. Oleh sebab itu diperlukannya peningkatan keterampilan dan
pengetahuan perawat terkait permasalahan gagal nafas pada anak agar dapat mencegah
terjadinya kematian mendadak akibat keterlambatan penanganan.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian gagal nafas pada anak.
2. Mahasiswa mampu menyebutkan penyebab gagal nafas pada anak.
1

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Mahasiswa mampu menjelaskan klasifikasi gagal nafas pada anak


Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi gagal nafas pada anak.
Mahasiswa mampu menyebutkan tanda dan gejala gagal nafas pada anak.
Mahasiswa mampu menjelaskan diagnosis gagal nafas pada anak.
Mahasiswa mampu menyebutkan pemeriksaan penunjang gagal nafas pada anak.
Mahasiswa mampu menjelaskan penatalaksanaan gagal nafas pada anak.
Mahasiswa mampu melakukan pengkajian, menentukan diagnosa keperawatan serta
intervensi pada anak yang mengalami gagal nafas.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Penyakit
1. Pengertian gagal nafas
Gagal nafas (respiratory failure) dan distress nafas (respiratory distress) merupakan
diagnosis yang ditegakkan secara klinis dimana sistem pernafasan tidak mampu untuk
melakukan pertukaran gas secara normal tanpa bantuan. Terminologi respiratory
distress digunakan untuk menunjukkan bahwa pasien masih dapat menggunakan
mekanisme kompensasi untuk mengembalikan pertukaran gas yang adekuat,
sedangkan respiratory failure merupakan keadaan klinis yang lanjut akibat kegagalan
mekanisme kompensasi dalam mempertahankan pertukaran gas atau tercukupinya
aliran oksigen (Levi, 2005; Kumar & Bhatnagar; 2005).
Gagal nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi kebutuhan
pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah, sehingga terjadi
gangguan dalam asupan oksigen dan ekskresi karbondioksida, keadaan ini ditandai
dengan abnormalitas nilai PO2 dan PCO2. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit
paru yang melibatkan jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya.
Gagal nafas juga dapat disebabkan oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan
neuromuskular dan gangguan sistem saraf pusat (Levi, 2005; Kumar & Bhatnagar;
2005).
Gagal nafas tipe hiperkapnia terjadi akibat CO2 tidak dapat dikeluarkan dengan
respirasi spontan sehingga berakibat pada peningkatan PCO2 arterial (PaCO2) dan
turunnya pH. Hiperkapnia dapat terjadi akibat obstruksi saluran napas atas atau
bawah, kelemahan otot pernapasan atau biasanya akibat produksi CO2 yang
berlebihan. Gagal nafas tipe hipoksemia terjadi akibat kurangnya oksigenasi, biasanya
akibat pirau dari kanan ke kiri atau gangguan keseimbangan ventilasi dan perfusi
(ventilation-perfusion mismatch) (Ranjit, 2001; Carlo, 2001).
2. Penyebab gagal nafas
Bayi khususnya neonatus rentan terhadap kejadian gagal nafas akibat: (1) ukuran
jalan nafas yang kecil dan resistensi yang besar terhadap aliran udara, (2) compliance
paru yang lebih besar, (3) otot pernafasan dan diafragma cenderung yang lebih mudah
lelah, serta (4) predisposisi terjadinya apnea yang lebih besar.
Tabel 1. Etiologi gagal nafas pada neonatus

Paru-paru

Jalan nafas
Otot-otot respirasi
Sistem saraf pusat (SSP)

Lain-lain

Aspirasi, pneumonia, transient tachypnea of the


newborn, persistent pulmonary hypertension,
pneumotoraks, perdarahan paru, edema paru,
displasia bronkopulmonal, hernia diafragma, tumor,
efusi pleura, emfisema lobaris kongenital
Laringomalasia,
trakeomalasia,
atresia/stenosis
choana, Pierre Robin Syndrome, tumor dan kista
Paralisis nervus frenikus, trauma medulla spinalis,
miasthenia gravis
Apnea of prematurity, obat: sedatif, analgesik,
magnesium; kejang, asfiksia, hipoksik ensefalopati,
perdarahan SSP
Penyakit jantung bawaan tipe sianotik, gagal jantung
kongestif, anemia/polisitemia, tetanus neonatorum,
immaturitas, syok, sepsis

Sumber: Carlo (2001)


Pada umumnya, gagal nafas pada anak disebabkan oleh gangguan paru primer,
termasuk pneumonia, bronkiolitis, asma serangan akut, sumbatan benda asing, dan
sindrom croup. Penyebab di luar paru dapat berupa gangguan ventilasi akibat kelainan
sistem saraf, misalnya Sindrom Guillain Barre, Miastenia Gravis (Nitu & Elger,
2009).
Tabel 2 Etiologi gagal nafas pada anak
Kelainan Paru Primer
Gangguan Mekanik Ventilasi

Pneumonia, Bronkhiolitis, Asma, Fibrosis Kistik


Penyakit Neuromuskuler (myophaties, Sindrom
Guillain Barre), Efusi pleura luas, Penyakit paru
restriktif
dengan
keterlibatan
otot-otot
pernafasan.
Sumbatan Saluran Nafas
Trauma,
Infeksi,
Keracunan,
Genetik
(congenital/ hypoventilation syndrome), Tumor
Kegagalan untuk memenuhi Syok septik
kebutuhan Oksigen Jaringan
Sumber: Nitu dan Elger (2009)

Faktor predisposisi terjadinya gagal nafas pada bayi dan anak dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang berbeda dengan orang dewasa, yaitu:
a. Struktur anatomi
1) Dinding dada
Dinding dada pada bayi dan anak masih lunak disertai insersi (perubahan)
tulang iga yang kurang kokoh, letak iga lebih horizontal dan pertumbuhan otot
interkosta yang belum sempurna, menyebabkan pergerakan dinding dada
terbatas.
2) Saluran pernafasan

Pada bayi dan anak saluran pernafasannya relatif lebih besar dibandingkan
dengan dewasa. Besar trakea neonatus 1/3 dewasa dan diameter bronkiolus
dewasa, sedangkan ukuran tubuh orang dewasa 20 kali neonatus. Akan tetapi
bila terjadi sumbatan atau pembengkakan 1 mm saja, pada bayi akan
menururnkan luas saluran pernafasan 75%.
3) Alveoli
Jaringan elastis pada septum alveoli merupakan elastic recoil untuk
mempertahankan alveoli tetap terbuka. Pada neonatus alveoli relative lebih
besar dan mudah kolaps. Dengan makin besarnya bayi, jumlah alveoli akan
bertambah sehingga akan menambah elastic recoil.
b. Kerentanan terhadap infeksi
Bayi kecil mudah terkena infeksi berat seperti pneumonia, sedangkan pada anak
kerentanan terhadap infeksi traktus respiratorius merupakan faktor predisposisi
gagal nafas.
c. Kelainan kongenital
Kelainan ini dapat mengenai semua bagian sistem pernafasan atau organ lain yang
berhubungan dengan alat pernafasan.
d. Faktor fisiologis dan metabolic
Kebutuhan oksigen dan tahanan jalan nafas pada bayi lebih besar daripada
dewasa. Bila terjadi infeksi, metabolism akan meningkat sehingga mengakibatkan
kebutuhan oksigen meningkat. Kebutuhan oksigen tersebut dicapai dengan
menaikkan usaha pernafasan, dengan akibat pertama adalah kehilangan kalori dan
air. Kedua dibutuhkan kontraksi otot pernafasan yang sempurna. Karena pada bayi
dan anak kadar glikogen rendah, maka dengan cepat akan terjadi penimbunan
asam organik sebagai hasil metabolism anaerob akibat terjadinya asidosis.

3. Klasifikasi gagal nafas


Kondisi gagal nafas akut dapat menyebabkan terjadinya ketidakmampuan sistem
pernafasan untuk mempertahankan pertukaran gas normal. Keadaan ini menyebabkan
terjadinya hipoksemia, hiperkapnia atau kombinasi keduanya. Berdasarkan tekanan
parsial karbondioksida arteri (PaCO2), gagal nafas dibagi menjadi 2 tipe, yaitu tipe I
dan tipe II. Pada kedua tipe tersebut ditemukan gambaran tekanan parsial oksigen
arteri (PaO2) yang rendah. Sebaliknya, PaCO2 yang berbeda pada kedua tipe tersebut.
Terdapat mekanisme yang berbeda yang mendasari perubahan PaO 2 dan PaCO2 baik
pada tipe I maupun II.
a. Gagal napas tipe I (hipoksemia, gangguan oksigenasi)
Pada tipe I dengan gangguan oksigenasi, didapatkan PaO 2 rendah, PaCO2 normal
atau rendah terutama disebabkan abnormalitas ventilasi/ perfusi. Gagal napas tipe

I disebabkan karena terjadinya kegagalan oksigenasi dan terjadi pada tiga


keadaan, meliputi:
1) Ventilasi/ perfusi yang tidak sepandan atau V/Q mismatch, yang terjadi bila
darah mengalir ke bagian paru yang tidak mengalami ventilasi adekuat, atau
bila area ventilasi paru mendapat perfusi adekuat.
2) Defek difusi, disebabkan penebalan membran alveolar atau bertambahnya
cairan interstisial pada pertemuan alveolus-kapilar.
3) Pirau intrapulmunol, yang terjadi bila kelainan struktur paru menyebabkan
aliran darah melewati paru tanpa berpatisipasi dalam pertukaran gas.
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain sianosis, kebingungan, agitasi,
sulit tidur, nafas pendek, keringat yang banyak, takikardi, hipertensi dan disritmia.
Contoh penyakit yang dapat menimbulkan kegagalan napas tipe I yaitu sindrom
distress pernapasan aku (SDPA), atelectasis, pneumonia, emboli paru, edema paru,
dll.
b. Gagal napas tipe II (Hiperkapnia, gangguan ventilasi)
Pada tipe II dengan gangguan ventilasi, didapatkan PaO 2 rendah (hipoksemia) dan
PaCO2 tinggi (hiperkapnia), umumnya terjadi karena hipoventilasi alveolar,
meningkatnya ventilasi ruang mati (dead space) atau meningkatnya produksi CO2.
Gagal napas tipe II ini biasanya terjadi sekunder terhadap keadaan seperti
disfungsi system saraf pusat, sedasi berlebihan atau gangguan neuromuskular.
Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain pusing, sakit kepala, keringat
yang banyak, takikardi, hipertensi, apnea, nafas pendek, terdapat stridor dan
wheezing serta gerakan paradoksikal dinding dada dan abdomen, udara yang
masuk sedikit. Contoh penyakit yang dapat menimbulkan kegagalan napas tipe II
yaitu penyakit neuromuscular (polio, sindrom Guillan Barre), trauma kepala,
disfungsi dinding dada (luka bakar), kifosis, hipereaktivitas, dll.
4. Patofisiologi gagal nafas
Mekanisme gagal napas menggambarkan ketidakmampuan tubuh untuk melakukan
oksigenasi dan/ atau ventilasi dengan adekuat yang ditandai oleh ketidakmampuan
sistem respirasi untuk memasok oksigen yang cukup atau membuang karbon dioksida.
Pada gagal napas terjadi peningkatan tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO 2)
lebih besar dari 50 mmHg, tekanan parsial oksigen arteri (PaO 2) kurang dari 60
mmHg, atau kedua-duanya. Hiperkapnia dan hipoksia mempunyai konsekuensi yang
berbeda. Peningkatan PaCO2 tidak mempengaruhi metabolisme normal kecuali bila
sudah mencapai kadar ekstrim (> 90 mm Hg). Diatas kadar tersebut, hiperkapnia
dapat menyebabkan depresi susunan saraf pusat dan henti napas.

Untuk pasien dengan kadar PaCO2 rendah, konsekuensi yang lebih berbahaya adalah
terjadi gagal napas baik akut maupun kronis. Hipoksemia akut, terutama bila disertai
curah jantung yang rendah, sering berhubungan dengan hipoksia jaringan dan risiko
henti jantung. Hipoventilasi ditandai oleh laju pernapasan yang rendah dan napas
yang dangkal. Bila PaCO2 normal atau 40 mmHg, penurunan ventilasi sampai 50%
akan meningkatkan PaCO2 sampai 80 mmHg. Dengan hipoventilasi, PaO2 akan turun
kira-kira dengan jumlah yang sama dengan peningkatan PaCO 2. Kadang, pasien yang
menunjukkan petanda retensi CO2 dapat mempunyai saturasi oksigen mendekati
normal.
Disfungsi paru menyebabkan gagal napas bila pasien yang mempunyai penyakit paru
tidak dapat menunjang pertukaran gas normal melalui peningkatan ventilasi. Anak
yang

mengalami

gangguan

padanan

ventilasi

atau

pirau

biasanya

dapat

mempertahankan PaCO2 normal pada saat penyakit paru memburuk hanya melalui
penambahan laju pernapasan saja. Retensi CO2 terjadi pada penyakit paru hanya bila
pasien sudah tidak bisa lagi mempertahankan laju pernapasan yang diperlukan,
biasanya karena kelelahan otot.
5. Tanda dan gejala gagal nafas
Gejala klinis gagal nafas sangat bervariasi tergantung pada penyakit primer penyebab
gagal nafas, adanya penyakit penyerta serta derajat dari gagal nafas. Dalam
penelitiannya Karande et al (2003) mendapatkan gejala-gejala gagal nafas akut paling
banyak adalah perubahan pola dan dalam dangkalnya pernafasan (100%), retraksi
(88%), pernafasan cuping hidung (88%), tachypnea (84%), tachycardia (82%), gelisah
dan sianosis (50%), wheezing didapat pada 38 % penderita. Pada penderita-penderita
gagal nafas tipe hiperkapnea tanda-tanda distres nafas sangat jelas, penderita tampak
sangat sesak dengan tanda-tanda retraksi yang jelas. Tapi gejala klinis dari gagal nafas
akut tidak selalu harus didahului oleh tanda-tanda distres nafas.
Pada penderita-penderita dengan gangguan sistem saraf pusat dan penyakit-penyakit
neuromuskular sering terjadi hipoksia berat tanpa tanda-tanda distres nafas karena
pada penderita-penderita ini terjadi kelumpuhan otot-otot pernafasan. Oleh karena itu
untuk membuat diagnosis gagal nafas sangat sulit (bahkan tidak mungkin) dilakukan
hanya dengan gejala klinis tanpa pemeriksaan analisa gas darah. Selain dari gejalagejala yang terjadi karena gangguan pertukaran gas pernafasan penderita-penderita

gagal nafas akut juga menunjukkan tanda-tanda dari penyakit primer penyebab gagal
nafas akut.
Pada anamnesis dicari riwayat penyakit primer penyebab gagal nafas akut seperti
tanda-tanda sesak sebelumnya atau riwayat sesak berulang sesak pada saat olah raga,
riwayat minum obat-obatan yang dapat menyebabkan depresi pernafasan, riwayat
penyakit-penyakit neuromuskular, adanya trauma atau penyakit metabolik. Pada
pemeriksaan didapatkan anak yang lemah, kelelahan, cemas atau gelisah, berkeringat,
sianosis, kadang-kadang kejang bahkan sampai koma. Gangguan kesadaran ini sangat
tergantung pada tingginya PaCO2 atau rendahnya PaO2, somnolen terjadi bila PaCO 2
> 45 mm Hg dan gelisah/irritable bila PaO2 < 75 mmHg.
Terdapat tanda-tanda distres nafas seperti tanda-tanda penarikan, pemakaian otot-otot
pernafasan sekunder. Pada auskultasi bisa didapatkan wheezing ekspiratoir, suara
nafas menurun atau suara nafas tidak terdengar, tachipneu/ bradipneu/ apnneu,
bradikardia/ tachikardia, pulsus paradoksus. Pada pemeriksaan gas darah didapatkan
hipoksia, hiperkarnia dan asidosis. Bradikardia atau bradipneu merupakan tanda
gawat dan lanjut dari gagal nafas akut.
6. Diagnosis gagal nafas
Seperti pada penyakit-penyakit lain untuk membuat diagnosis yang baik diperlukan
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Gagal nafas akut yang didahului gejalagejala panas, batuk dan pilek yang disertai sesak biasanya disebabkan oleh penyakitpenyakit infeksi saluran nafas akut. Adanya riwayat sesak berulang dan sesak yang
sama dalam anggota keluarga mengarahkan kita pada kemungkinan asma sebagai
penyebab gagal nafas.
Penderita yang sering sesak nafas sejak kecil terutama bila minum, atau saat bermain
kemungkinan penyebabnya adalah penyakit jantung. Riwayat kecelakaan atau adanya
riwayat kebakaran akan mengarahkan diagnosis kita terhadap trauma atau keracunan
carbon monoksida sebagai penyebab. Sangat sulit membuat diagnosis gagal nafas
hanya berdasar pada pemeriksaan fisik saja, diagnosis klinis biasanya dibuat berdasar
hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan gas darah.
Periksaan fisik sangat bervariasi tergantung dari penyakit primer gagal nafas. Pada
pemeriksaan fisik dicari tanda-tanda klinis dari penakit primer penyebab gagal nafas
seperti adanya penarikan-penarikan, ronki basah halus atau wheezing pada penyakitpenyakit bronchopneumonia atau asma bronchiale. Suara nafas yang menurun dan

adanya keredupan pada perkusi menunjukkan adanya efusi pleura atau adanya suatu
massa di rongga dada, tetapi penurunan suara nafas tanpa keredupan bisa juga terjadi
pada stadium lanjut penyakit paru-paru dimana sudah terjadi kelelahan dari otot
pernafasan.
Pemeriksaan foto dada anterioposterior atau lateral sangat penting dilakukan untuk
mencari kelainan - kelainan penyebab gagal nafas. Pemeriksaan - pemeriksaan
penunjang lain yang perlu dilakukan tergantung pada dugaan kita terhadap
kemungkinan penyebab gagal nafas seperti ECG, Echocardiografi, kultur darah, darah
lengkap, USG, CT scan, pemeriksaan neurologis dan sebagainya. Pemeriksaan gas
darah sangat penting untuk menentukan diagnosis klinis gagal nafas akut. Kriteria dari
gagal nafas akut adalah PaCO2 > 50 mmHg, PaO2 < 50 mmHg, saturasi oksigen <
90% atau PaO2/ FiO2 < 300. Indikator lain adalah penentuan perbedaan tekanan
oksigen alveolar (PAO2) dan arterial (PaO2).
7. Pemeriksaan penunjang gagal nafas
a.Pemeriksaan Laboratorium
1)
Analisis gas darah
Gejala klinis gagal napas sangat bervariasi dan tidak spesifik. Jika gejala klinis
gagal napas sudah terjadi maka analisis gas darah harus dilakukan untuk
memastikan diagnosis, membedakan gagal napas akut atau kronik. Hal ini
penting untuk menilai berat-ringannya gagal napas dan mempermudahkan
pemberian terapi. Analisa gas darah dilakukan untuk patokan terapi oksigen
dan penilaian obyektif dari berat-ringan gagal nafas. Indikator klinis yang
paling sensitif untuk peningkatan kesulitan respirasi ialah peningkatan laju
pernafasan. Sedangkan kapasitas vital paru baik digunakan menilai gangguan
respirasi akibat neuromuskular, misalnya pada sindroma Guillain-Barre,
dimana kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan.
Interpretasi hasil analisis gas darah meliputi dua bagian, yaitu gangguan
keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi jaringan.
2) Pulse oximetry
Alat ini mengukur perubahan cahaya yang ditransmisikan melalui aliran darah
arteri yang berdenyut. Informasi yang didapatkan berupa saturasi oksigen yang
kontinyu dan non-invasif yang dapat diletakkan baik di lobus bawah telinga
atau jari tangan maupun kaki. Hasil pada keadaan perfusi perifer yang kecil,
tidak akurat. Hubungan antara saturasi oksigen dan tekanan oksigen dapat
dilihat pada kurva disosiasi oksihemoglobin. Nilai kritisnya adalah 90%,

dibawah level itu maka penurunan tekanan oksigen akan lebih menurunkan
saturasi oksigen.
3) Capnography
Alat yang dapat

digunakan

untuk

menganalisa

konsentrasi

kadar

karbondioksida darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain untuk


konfirmasi intubasi trakeal, mendeteksi malfungsi aparatus serta gangguan
fungsi paru.
4)

Pemeriksaan apus darah untuk mendeteksi anemia yang


menunjukkan terjadinya hipoksia jaringan. Adanya polisitemia menunjukkan

5)

gagal napas kronik.


Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal, karena
hasil pemeriksaan yang abnormal dapat menjadi petunjuk sebab-sebab
terjadinya gagal napas. Abnormalitas elektrolit seperti kalium, magnesium dan

6)

fosfat dapat memperberat gejala gagal napas.


Pemeriksaan kadar kreatinin serum daan troponin I dapat
membedakan infark miokard dengan gagal napas, Kadar kreatinin serum yang
meningkat dengan kadar troponin I yang normal menunjukkan terjadinya

7)

miositis yang dapat menyebabkan gagal napas.


Pada pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik, kadar TSH
serum perlu diperiksa untuk membedakan dengan hipotiroid, yang dapat

8)

menyebabkan gagal napas reversibel.


Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status nutrisi adalah
pengukuran kadar albumin serum, prealbumin, transferin, total iron-binding
protein, keseimbangan nitrogen, indeks kreatinin dan jumlah limfosit total.

b. Pemeriksaaan Radiologi
1) Radiografi dada.
Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal napas tetapi
kadang sulit untuk membedakan edema pulmoiner kardiogenik dan
nonkardiogenik.
2) Ekokardiografi .
Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya dilakukan pada
pasien dengan dugaan gagal napas akut karena penyakit jantung. Adanya
dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding dada yang abnormal atau regurgitasi

mitral berat menunjukkan edema pulmoner kardiogenik. Ukuran jantung yang


normal, fungsi sistolik dan diastolic yang normal pada pasien dengan edema
pulmoner menunjukkan sindrom distress pernapasan akut. Ekokardiografi
menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri pulmoner dengan tepat untuk
pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik.
3) Pulmonary Function Tests (PFTs), dilakukan pada gagal napas kronik
Nilai forced expiratory volume in one second (FEV 1) dan forced vital capacity
(FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan di pusat kontrol napas.
Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi jalan napas,
penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang tetap menunjukkan
penyakit paru restriktif. Gagal napas karena obstruksi jalan napas tidak terjadi
jika nilai FEV1 lebih dari 1 L dan gagal napas karena penyakit paru restriktif
tidak terjadi bila nilai FVC lebih dari 1 L.

8. Penatalaksanaan gagal nafas


Penatalaksanaan secara khusus bervariasi tergantung pada penyebab dari gagal nafas,
tapi secara umum terdapat kesamaan prinsip, meliputi:
a. Bebaskan jalan nafas
Bebaskan jalan nafas baik dengan pengaturan posisi kepala anak (sniffing
position), pembersihan lendir atau kotoran dari jalan nafas atau dengan alat seperti
pemasangan pipa endotracheal atau tracheostomi.
b. Pemberian Oksigen
Oleh karena semua penderita dengan gagal nafas mengalami hipoksia maka
pemberian oksigen adalah suatu keharusan. Oksigen yang diberikan harus
dilembabkan dan hangat, sebab pemberian oksigen yang kering dan dingin akan
menyebabkan gangguan gerakan mukosilier saluran nafas dan pengentalan mukus
sehingga akan memperbesar tahanan saluran nafas dan memperburuk keadaan.
Mengingat bahaya keracunan oksigen yang bisa terjadi pada pemberian oksigen
dengan konsentrasi tinggi dan waktu lama maka pemberian oksigen sebaiknya
diberikan dalam konsentrasi minimal yang sudah dapat memberikan oksigenasi
jaringan yang cukup yaitu saturasi oksigen > 90% (keadaan ini sudah dapat
dicapai pada PaO2 60 mm Hg).
Oksigen dapat diberikan melalui :
1) Masker 6 - 10 l/menit.

2) Kanula hidung dapat memberikan O2 24 45% tergantung dari flow dan


frequensi nafas penderita. Kanula hidung biasanya diberikan dengan flow 2
4 1/menit, sebab flow yang lebih tinggi akan menyebabkan rasa yang tidak
enak, pusing, kekeringan dan luka pada selaput lendir hidung.
3) Inkubator dengan memasukkan oksigen ke dalam inkubator, tapi cara ini
sangat boros.
4) Head box bisa memberikan oksigen sampai 90% tergantung ada/ tidaknya
kebocoran headbox.
Sesudah pemberian oksigen akan segera tampak tanda-tanda perbaikan klinis
yaitu sianosis berkurang atau hilang, frekuensi pernafasan dan retraksi berkurang.
c. Kontrol Sekresi
Pederita-penderita gagal nafas banyak mengeluarkan lendir sehingga memperberat
beban pernafasan, oleh karena itu perawatan jalan nafas memegang peran penting
dalam tatalaksana gagal nafas.
1) Pengaturan posisi kepala
2) Pengisapan lendir
3) Humidifikasi udara pernafasan sangat perlu dilakukan untuk lebih
mengencerkan sekret yang kental. Bila sekret sangat kental atau purulent bisa
digunakan nebulizer. Seringkali dengan cara-cara ini sudah cukup berhasil
sehingga tidak perlu intubasi.
4) Fisioterapi dada, tindakan ini dilakukan untuk membantu pengeluaran lendir
dari saluran nafas dengan cara menepuk-nepuk dada (chest clapping), vibrasi,
hiperinflasi dan pengaturan posisi tubuh. Bila dilakukan dengan baik dapat
memperbaiki oksigenasi jaringan, tapi cara-cara fisioterapi yang tidak baik
justru dapat memperberat hipoksia. Karena itu untuk mencegah terjadinya
hipoksia sebelum dilakukan fisioterapi sebaiknya dilakukan oksigenasi dulu
dengan O2 100%.
5) Dapat diberikan mukolitik untuk menghancurkan sekret
6) Pemberian cairan yang cukup. Penderita-penderita gagal nafas akut biasanya
tidak bisa makan dan minum, selain itu terjadi kehilangan cairan karena panas,
hiperventilasi dan beban pemafasan yang berat (excessive work of breathing)
sehingga anak ini bisa mengalami dehidrasi dan pengentalan mukus, oleh
karena itu penting pemberian cairan yang cukup. Penderita yang mendapatkan
ventilator dengan O2 dan humidifikasi bisa terjadi kelebihan cairan dan terjadi
udem paru, karena itu pada penderita-penderita ini pemberian cairan dibatasi.
d. Pengobatan terhadap penyebab gagal nafas
Adapun obat-obatan yang dapat digunakan untuk penderita yang mengalami gagal
nafas meliputi: pemberian antibiotika, pemberian bronkodilator, aminofilin untuk

apnea of prematurity, naloxon pada keracunan narkotika, physostignin pada


blokade neuromuskular karena pemberian muscle relaxant.
e. Bantuan pernafasan
Bantuan pernafasan dapat dilakukan dengan banyak cara tergantung kondisi
penderita meliputi:
1) CPAP (Continous Positive Airway Pressure)
Diberikan pada anak yang masih bisa bernafas spontan dengan diberikan
tekanan positif (Positive End Expiratory Pressure = PEEP). Dengan memberi
tekanan positif pada akhir expirasi diharapkan alveoli tetap terbuka sehingga
pertukaran gas tetap berjalan dengan baik. CPAP dapat diberikan dengan
kanula nasal, masker sederhana atau dengan pipa endotracheal.
2) NPPV (Non invasive Positive Pressure Ventilation)
3) Ventilasi mekanik konvensional
4) Nonconventionan mechanical ventilation
Inverse ratio ventilation: waktu inspirasi lebih panjang dari waktu
ekspirasi atau dengan rasio I : E terbalik. Berbeda dengan fisiologi
pernafasan dimana expirasi selalu lebih lama dari inspirasi,oleh karena itu
perlu sedasi dan paralisis otot-otot pernafasan. Cara ini dapat

meningkatkan mean airway pressure dan memperbaiki oksigenasi.


Airway Pressure Release Ventilation (ARPV)
High Frequency Ventilation/ High Frequency Oscilatory Ventilation
Disini prinsip yang dipakai adalah volume tidal yang lebih kecil dari dead
space tapi frekuensi pernafasan lebih tinggi yaitu 150 900/m (2 15 Hz),
sehingga memperkecil resiko kerusakan paru yang bisa terjadi (Ventilator

induce lung injury).


Liquid ventilation
f. Terapi lain :
1) Prone Positioning
Penempatan penderita yang mendapat ventilator pada posisi tengkurap selama
waktu tertentu sudah diperkenalkan oleh Bryan sejak tahun 1974, dan terbukti
bisa memperbaiki oksigenasi. Mekanisme bagaimana posisi telungkup ini
dapat memperbaiki oksigenasi belum jelas, diduga cara ini dapat membuka
alveolus dibagian dorsal tubuh yang biasanya menutup sehingga akan
memperluas permukaan paru yang terlibat dalam pertukaran gas.
2) Pemberian Surfaktan
Surfaktan yang dibuat oleh sel pneumatosit tipe II sangat berkurang pada
gagal nafas akut dan penyakit-penyakit paru lainnya sehingga alveoli akan
mudah kollap dan akan mengurangi luas permukaan paru untuk pertukaran gas

(Recidual functional capacity menurun). Pemberian surfaktan eksogen


diharapkan akan memperbaiki defisiensi surfaktan endogen. Pengalaman
penggunaan surfaktan pada anak dan dewasa masih kurang. Surfaktan eksogen
lebih banyak digunakan pada RDS pada bayi baru lahir dengan hasil yang
cukup baik. Surfaktan diberikan melalui pipa endotracheal dengan dosis 105
mg/kg BB atau 3 ml/kgBB, diberikan tiap 12 jam, dalam tiap pemberian tidak
boleh > 30 ml. Dalam penelitian metaanalisis Merritt mengatakan bahwa
pemberian surfaktan baik yang natural atau sintetik dapat menurunkan angka
kematian gagal nafas akut sampai 35-45%, baik bila diberikan sebagai terapi
profilaksis atau bila diberikan pada onset gagal nafas akut.
3) Nitric oxide (NO)
NO adalah free radical endogen yang dapat menyebabkan vasodilatasi
pembuluh darah. Pemberian nitric oxide secara inhalasi dapat mengurangi
vasokonstriksi pulmonal yang biasanya terjadi pada gagal nafas akut sehingga
pada akhirnya akan memperbaiki ketidak sesuaian antara ventilasi dan perfusi
(V/Q mismatch) dan meningkatkan oksigenasi.
4) Extracorporal Life Support (ECLS)/ Extracorporal Membrane oxygenation
(ECMO)
Dengan pemakaian ECMO maka fungsi paru diganti oleh alat (artificial
membrane) diluar tubuh, darah vena dikeluarkan melalui kanula kemudian
dialirkan melalui oxygenator (artificial membrane) kemudian darah yang kaya
oksigen ini dimasukkan kembali kedalam tubuh dengan pompa masuk
kedalam aorta (Veno arterial/ VA) atau kedalam vena (VV). Penggunaan
ECMO ini memberikan hasil yang memuaskan pada neonatus dengan angka
keberhasilan 80%, tetapi pada anak dan dewasa tingkat keberhasilannya 52%.
Walaupun penggunaan ECMO pada penderita-penderita gagal nafas akut berat
dengan prediksi kemungkinan mati 80% memberi hasil yang baik, tapi
keberhasilan pemberian surfaktan dan pemakaian HFOV (High Frequency
Oscilatory Ventilation) menyebabkan pemakaian ECMO berkurang.

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian Fokus
Pengkajian pada anak yang mengalami kegagalan nafas meliputi:
a. Riwayat keluarga
1) Riwayat keluarga tentang alergi dan penyakit keturunan.
2) Riwayat pasien tentang gangguan petnafasan yang baru diderita, terkena
infeksi, adanya alergi/iritasi, trauma.

b. Kaji keadaan dada


1) Kaji suara nafas dan suara nafas tambahan.
2) Kaji adanya pembesaran anterior/ posterior ukuran dada.
3) Kaji peningkatan dan penurunan taktil fremitus.
4) Kaji adanya retraksi otot supraklafikula, interkosta/ subkostal.
5) Kaji adanya hyperesonan (adanya distensi alveoli).
6) Kaji adanya ekspirasi yang memanjang.
c. Observasi pernafasan
1) Frekuensi: kaji adanya takipnue, normal, bradipnea
2) Kedalaman: normal, terlalu lambat (hypopnea), terlalu dalam (hyperpnea).
3) Kelancaran: kurang usaha, dypnea, ortopnea berhubungan dengan adanya
retraksi interkostal / substernal, adanya wheezing, pulsus paradoxus (tekanan
darah turun saat inspirasi dan tekanan darah naik dengan ekspirasi).
4) Labored breating: terus menerus, intermitten, secara tibatiba, kelelahan
dalam usaha pernafasan.
5) Tanda tanda infeksi: peningkatan suhu tubuh, pembesaran nodus limfa,
inflamasi membran mukus, keluarnya cairan purulen dari hidung dan kuping,
adanya sputum yang purulen.
6) Batuk: kaji karakteristik batuk (produktif/ kering) kapan waktu terjadinya
batuk (hanya malam hari/ setiap waktu), frekuensi batuk yang berkaitan
dengan aktivitas dan suhu.
7) Wheezing: kapan terjadinya wheezing; saat inspirasi/ ekspirasi, apakah
memanjang, terjadi secara tiba-tiba/ berlahan-lahan.
8) Sianosis: catat distribusi sianosis (periperal, daerah bibir, wajah), derajat,
durasi, keterkaitan dengan aktivitas.
9) Nyeri dada: terjadi pada anak anak catat lokasi, penyebaran ke leher/
abdomen, dalam/ dangkal.
10) Sputum: pasien anak anak dapat mengeluarkan sputum pada bayi diperlukan
section untuk mendapatkan sempel, catat volume, warna, bau, viskositas.
11) Adanya pernafasan yang buruk berhubungan dengan infeksi pernafasan.
d. Kaji tanda terjadinya hipoksia
1) Hypotensi/ hypertensi
2) Dyspnea
3) Bradikardi
4) Sianosis : perifer / sentral
5) Kesadaran : Somnolen/ Stupor/ Koma
2. Diagnosa Keperawatan
Faktor Resiko
: Hipoksemia, hipoksia, CO2 dalam darah meningkat
Masalah Keperawatan : Resiko penurunan perfusi jaringan jantung
Diagnosa Keperawatan: Resiko penurunan perfusi jaringan jantung
hipoksemia, hipoksia, CO2 dalam darah meningkat
a.

f.r

DO

Dyspnea, penurunan: SaO2; PO2; tidal volume,


peningkatan: penggunaan otot-otot aksesoris; HR; PCO2
Masalah Keperawatan : Gangguan ventilasi spontan
Diagnosa Keperawatan: Gangguan ventilasi spontan b.d gangguan metabolisme,
kelelahan otot-otot pernafasan ditandai dengan Dyspnea,
penurunan: SaO2; PO2; tidal volume, peningkatan:
penggunaan otot-otot aksesoris; HR; PCO2

DO

DO

b.

Abnormal; hasil AGD; pola nafas; warna kulit, penurunan


level CO2, sianosis, dyspnea, hyperkapnea, hipoksemia,
hipoksia, penurunan kesadaran, takikardi
Masalah Keperawatan : Gangguan pertukaran gas
Diagnosa Keperawatan: Gangguan pertukaran gas b.d ventilasi-perfusi tidak
seimbang, perubahan membran alveoli-kapiler ditandai
dengan Abnormal; hasil AGD; pola nafas; warna kulit,
penurunan level CO2, sianosis, dyspnea, hyperkapnea,
hipoksemia, hipoksia, penurunan kesadaran, takikardi
c.

Abnormal pola nafas, bradypnea, penurunan: expiratory


pressure; tekanan inspirasi; kapasitas vital; ventilasi menit,
dsypnea, fase ekspirasi memanjang, takipnea, penggunaan
otot bantu nafas
Masalah Keperawatan : Ketidakefektifan pola nafas
Diagnosa Keperawatan: Ketidakefektifan pola nafas b.d hiperventilasi, sindrome
hipoventilasi ditandai dengan Abnormal pola nafas,
bradypnea, penurunan: expiratory pressure; tekanan
inspirasi; kapasitas vital; ventilasi menit, dsypnea, fase
ekspirasi memanjang, takipnea, penggunaan otot bantu
nafas

d.

DO

Batuk/ batuk tidak efektif , suara nafas tambahan, suara


nafas menjauh, dyspnea, sputum, sianosis
Masalah Keperawatan : Ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Diagnosa Keperawatan: Ketidakefektifan bersihan jalan nafas b.d penumpukan
mukus, eksudat di alveoli, penumpukan sekret ditandai
dengan Batuk/ batuk tidak efektif , suara nafas tambahan,
suara nafas menjauh, dyspnea, sputum, sianosis

Faktor Resiko

e.

Penurunan kesadaran,batuk tidak efektif, penurunan gag


refleks
Masalah Keperawatan : Resiko aspirasi
Diagnosa Keperawatan: Resiko aspirasi f.r penurunan kesadaran,batuk tidak
efektif, penurunan gag refleks
f.

3. Intervensi Keperawatan
a.
NOC : Tissue perfusion: Cardiac, Cardiac pump effectiveness, Respiratory status:
Gas Exchange, Risk control
NIC :
Cardiac Care
Monitor: ECG, vital sign, status kardiovaskular, cardiac dysrhytmias,
catat, tanda dan gejala penurunan cardiac output, status respirasi,
balance cairan, dyspnea, fatigue, takipnea.
FCC (persiapan EOL, spiritual support)
Resusitation
Evaluasi respon pasien
Kaji pernafasan dan nadi karotis/ brakial untuk neonatus
Aktifkan code blue jika nafas tidak ada/ gasping, AED
CPR
Rescue breathing
Evaluasi tindakan

NOC :
NIC :

b.

Respiratory status: Ventilation, Gas Exchange; Electrolyte&Acid/ Base


balance
Respiratory monitoring
Monitor: rate, ritme, kedalaman pernafasan
Catat adanya penggunaan alat bantu nafas
Monitor suara nafas tambahan dan pola nafas
Monitor saturasi oksigen
Auskultasi pernafasan
Jika tersedia, monitor: maximal inspiratory force, FEV 1, PFT values
Catat perubahan SaO2, SvO2, end tidal CO2, nilai ABG
Monitor: sekresi respirasi, dyspnea
Buka jalan nafas
Resusitasi jika diperlukan
Ventilation assistance
Patenkan jalan nafas
Posisi tubuh yang memfasilitasi ventilasi (paru-paru mengarah kebawah)
Posisi yang meminimalkan respiratory effort (kepala ditinggikan)
Monitor efek perubahan posisi (SaO2, SvO2, end tidal CO2)
Oxygen therapy
Bersihkan oral, nasal dan trakea dari sekret
Buka jalan nafas, patenkan
Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan
Monitor: aliran oksigen; hasil ABG, tanda dan gejala keracunan oksigen,
peralatan oksigenasi (apakah menghambat pasien bernafas), kulit

c.

NOC : Respiratory status: Gas exchange


NIC : Respiratory monitoring
Monitor: rate, ritme, kedalaman pernafasan
Catat adanya penggunaan alat bantu nafas
Monitor suara nafas tambahan dan pola nafas
Monitor saturasi oksigen
Auskultasi pernafasan
Jika tersedia, monitor: maximal inspiratory force, FEV 1, PFT values
Catat perubahan SaO2, SvO2, end tidal CO2, nilai ABG
Monitor: sekresi respirasi, dyspnea
Buka jalan nafas
Resusitasi jika diperlukan
Oxygen therapy
Bersihkan oral, nasal dan trakea dari sekret
Buka jalan nafas, patenkan
Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan
Monitor: aliran oksigen; hasil ABG, tanda dan gejala keracunan oksigen,
peralatan oksigenasi (apakah menghambat pasien bernafas), kulit

d.

NOC : Respiratory status: Ventilation; Airway patency; Energy conservation


NIC : Ventilation assistance
Patenkan jalan nafas
Posisi tubuh yang memfasilitasi ventilasi (paru-paru mengarah kebawah)
Posisi yang meminimalkan respiratory effort (kepala ditinggikan)
Monitor efek perubahan posisi (SaO2, SvO2, end tidal CO2)
Airway management
Buka jalan nafas
Posisi memaksimalkan ventilasi
Identifikasi kebutuhan pasien menggunakan alat bantu paten jalan nafas
Chest physical therapy jika diperlukan
Auskultasi suara nafas
Monitor rate, ritme dan kedalaman pernafasan
Oxygen therapy
Bersihkan oral, nasal dan trakea dari sekret
Buka jalan nafas, patenkan
Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan
Monitor: aliran oksigen, tanda vital

e.

NOC : Respiratory status: Airway patency; Ventilation; Gas exchange


NIC : Airway management
Buka jalan nafas
Posisi memaksimalkan ventilasi
Identifikasi kebutuhan pasien menggunakan alat bantu paten jalan nafas
Chest physical therapy jika diperlukan
Auskultasi suara nafas
Monitor rate, ritme dan kedalaman pernafasan
Airway suctioning
Gunakan prinsip hygiene dan steril
Gunakan universal precautions dan peralatan personal protektif
Tentukan kebutuhan dilakukannya suction
Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suction
Monitor: SaO2 dan level SvO2
Perhatikan tekanan suction
Penuhi kebutuhan oksigen pasien
Monitor rate, ritme dan kedalaman pernafasan
Ventilation assistance
Patenkan jalan nafas
Posisi tubuh yang memfasilitasi ventilasi (paru-paru mengarah kebawah)
Posisi yang meminimalkan respiratory effort (kepala ditinggikan)
Monitor efek perubahan posisi (SaO2, SvO2, end tidal CO2)
Oxygen therapy
Bersihkan oral, nasal dan trakea dari sekret
Buka jalan nafas, patenkan
Kolaborasi pemberian oksigen sesuai kebutuhan
Monitor: aliran oksigen, tanda vital

NOC :
NIC :

f.

Nausea & Vomiting control, Risk control, Aspiration prevention


Aspiration precautions
Monitor level kesadaran, reflek batuk, reflek gag, dan kemampuan
menelan
Patenkan jalan nafas
Monitor status pulmonal
Posisikan bagian atas peralatan (NGT) 30-900
Posisikan kepala 30-450 setelah feeding via NGT
Monitor posisi NGT dan kepala, sebelum dan sesudah feeding
Miringkan bagian kepala jika diperlukan

BAB III
PEMBAHASAN

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Gagal nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam memenuhi kebutuhan
pertukaran gas oksigen dan karbondioksida antara udara dan darah, sehingga terjadi
gangguan dalam asupan oksigen dan ekskresi karbondioksida, keadaan ini ditandai
dengan abnormalitas nilai PO2 dan PCO2. Gagal nafas dapat disebabkan oleh penyakit
paru yang melibatkan jalan nafas, alveolus, sirkulasi paru atau kombinasi ketiganya.
Gagal nafas juga dapat disebabkan oleh gangguan fungsi otot pernafasan, gangguan
neuromuskular dan gangguan sistem saraf pusat.
Berdasarkan tekanan parsial karbondioksida arteri (PaCO2), gagal nafas dibagi menjadi 2
tipe, yaitu tipe I dan tipe II. Pada gagal napas tipe I dengan gangguan oksigenasi,
didapatkan PaO2 rendah, PaCO2 normal atau rendah terutama disebabkan abnormalitas
ventilasi/ perfusi. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain sianosis,
kebingungan, agitasi, sulit tidur, nafas pendek, keringat yang banyak, takikardi, hipertensi
dan disritmia. Sedangkan pada gagal nafas tipe II dengan gangguan ventilasi, didapatkan
PaO2 rendah (hipoksemia) dan PaCO2 tinggi (hiperkapnia), umumnya terjadi karena
hipoventilasi alveolar, meningkatnya ventilasi ruang mati (dead space) atau
meningkatnya produksi CO2. Manifestasi klinis yang dapat ditemukan antara lain pusing,
sakit kepala, keringat yang banyak, takikardi, hipertensi, apnea, nafas pendek, terdapat
stridor dan wheezing.
Diagnosis berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisis dan penunjang, termasuk pulse
oksimetry dan analisa gas darah arteri. Penatalaksanaan gagal napas secara khusus bervariasi,

tergantung pada penyebab dari gagal nafas meliputi pembebasan jalan nafas , pemberian
oksigen, fisioterapi dada, pemberian mukolitik, pemberian cairan yang cukup, pengisapan
lendir, pengaturan posisi kepala, pengobatan terhadap penyebab gagal nafas, bantuan
pernafasan (ventilator mekanik), prone positioning, pemberian surfaktan, nitric oxide
(NO), dan extracorporal membrane oxygenation (ECMO).
B. Saran
Dalam melakukan penatalaksanaan pada anak yang mengalami gagal nafas memerlukan
suatu keterampilan dan pengetahuan khusus serta perencanaan maupun melakukan

tindakan harus cepat dan sistematis. Peningkatan keterampilan dan pengetahuan perawat
terkait permasalahan gagal nafas pada anak sangat diperlukan sekali agar dapat mencegah
terjadinya kematian mendadak akibat keterlambatan penanganan yang dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Azis, A. L. (2005). Gagal Nafas Akut pada Anak. Simposium Nasional Perinatologi dan
Pediatri Gawat Darurat 2005 di Banjarmasin. Hal: 1 17.
Bakhtiar. (2013). Aspek Klinis dan Tatalaksana Gagal Nafas Akut Pada Anak. Jurnal
Kedokteran Syiah Kuala. Hal: 173 178.
Bulechek, G. M, et al. (2013). Nursing Interventions Classification (NIC) Edisi Ke-6. USA:
Mosby Elsevier.
Carlo, W. (2001). Assisted Ventilation. Dalam: Klaus M, Fanaroff A, penyunting. Care of the
high-risk neonate. Edisi 5. Philadelphia: Saunders.
Herdman, T. H. & Kamitsuru, S. (2014). Nursing Diagnoses: Definitions & Classification
2015 2017 Edisi Ke-10. Oxford : Wiley Blackwell.
Kumar, A. & Bhatnagar, V. (2005). Respiratory Distress in Neonates. Indian J Pediatric.
Page: 425-438.
Levy, M. M. (2005). Pathophysiology of Oxygen Delivery in Respiratory Failure. Chest.
Page: 547-553.
Moorhead, Sue, dkk. (2014). Nursing Outcomes Classification (NOC) Fifth Edition. USA:
Mosby Elsevier.
Nitu, M. E. & Elger, H. (2009). Respiratory Failure. Ped Rev. Page: 470-474.
Ranjit, S. (2001). Acute Respiratory Failure and Oxygen Therapy. Indian J Pediatric. Page:
249-255.
Somasetia, D. H. (2008). Tatalaksana Gagal Nafas Akut pada Anak. Dalam: Garna H,
Penatalaksanaan Terkini dalam Bidang Perinatologi, Hematologi-onkologi, dan
Pediatrik Gawat Darurat. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak. Hal: 52-65.
Stenklyft, P. H., Cataletto, M. E., & Lee, B. S. (2004). The Pediatric Airway in Health and
Disease. Dalam : Gausch-Hill M, Fuch S, Yamamoto L, penyunting. APLS The
pediatric emergency medicine resource, edisi ke-4. Boston : Jones and Barlett
Publishers.
Wratney A, Chifetz I, Fortenberry J, Paden M. (2006). Disorders of the Lung Parenchyma.
Dalam: Slonim A, Pollack M, penyunting. Pediatric critical care medicine.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

También podría gustarte