Está en la página 1de 145

#NgajiGatholco

=MASTURBASI RELIGIUS=

2016
M. SURURI ARUMBANI
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 0

DAFTAR ISI
Pengantar
1-Mengapa Menulis Serat Gatholoco
2-Menghardik Nasab
3-Soal Nama Gatholoco
4-Makna Gatholoco, Sebuah Pembelaan
5-Mandi (Bersuci)
6-Halal-Haram
7-Hidup yang Nikmat?
8-Mengikuti Rasulullah?
9-Aku Hidup, Maka Aku Ada
10-Kematian itu Sangat Dekat
11-Hiduplah dengan Mata dan Telinga
12-Sudah Buta, Memvonis Buta
13-Maling
14- Jawa, Tidak Njawani
15-Mbodo
16-Kesaksian Palsu
17-Siapa Aku?
18-Takdir
19-Setan Sebagai Asal Manusia
20-Perusak Agama
21-Setan Berwujud Manusia
22-Tuhan Yang Pemarah atau Ramah?
23-Maling Dunia dan Akhirat
24-Menyembah Waktu
25-Arti Lima Waktu Shalat
26-Shalat Terus, Tanpa Putus
27-Pidato Gatholoco
28-Gelap dan Terang
29-Mengenal Hidup Sendiri
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

................... 5
................... 9
.................. 10
.................. 13
.................. 17
................. 20
................. 23
................. 26
.................. 30
..................33
.................. 36
.................. 38
..................40
...................42
...................44
...................46
..................48
...................50
..................52
....................54
...................56
....................58
....................60
...................62
....................64
...................66
....................69
...................71
...................73
Page 1

30-Hidup Itu Sama


31-Introspeksi
32-Energi Super Dahsyat
33-Semua Ada Dalam Diri
34-Kesempurnaan Ilmu
35-Shalat Daim
36-Martabat Tiga
37-Berlatih Merasa
38-Martabat Penglihatan
39-Model Lelaku
40-Tingkatan Badan
41-Tingkatan Pemikiran
42-Komponen Ruhani Manusia
43-Anugrah Sahadat
44-Anugrah Shalat
45-Gatholoco Berkelana
46-Mengenal Payudara, Mengenal Jagad
47-Sepasang Buah Dada
48-Puting Payudara, Belajar Inti
49-Rara Bawuk, Ucapan dan Misterinya
50-Rara Bleweh, Rahasia Rasa
51-Dikotomi Kehidupan
52-Dewi Lupitwati, Mengenal Pernikahan
53-Menelanjangi, Tetapi Tidak Disetubuhi
54-Nasehat Buat Para Wanita
55-Anugrah Buddhi
56-Anugrah Ruh dan Sekarat
57-Anugrah Iman, Tauhid dan Makrifat
58-Anugrah Karomah
59-Di Manakah Allah?

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

....................75
...................77
...................80
..................82
.....................84
..................86
....................88
......................91
.....................93
....................95
...................97
......................99
.....................102
......................104
....................106
...................108
....................110
....................112
....................114
..................117
.....................121
....................122
....................125
....................127
....................130
......................133
.....................136
.....................138
....................140
......................142

Page 2

PENGANTAR
Muji syukur, ngarsa Gusi Allah ingkang Maha Murba ing
dumadi. Sholawat tur salam katur dumateng Kanjeng Nabi
Muhammad
SAW,
ugi
kagem
para
sahabatipun,
keluarganipun, para malaikat, lan para kyai.
Saya berterima kasih khususnya kepada penulis Serat
Gatholoco, juga kepada mereka yang sudah bersusah payah
mengumpulkan,
mengalihbahasakan,
menerjemahkan,
menyebarkan di media-media, baik cetak, maupun elektronik.
Tanpa keberadaan mereka, buku ini MASTURBASI
RELIGIUS tidak akan pernah tersaji. Judul ini tentu saya
ajukan, sebagai upaya untuk memudahkan memahami bagian
terbesar dan inti dari Serat Gatholoco yang saya pahami.
Ini, adalah kumpulan tulisan saya yang saya posting di
facebook saya pribadi. Tujuan utama saya adalah mengaji pada
Serat Gatholoco. Jika kemudian tulisan ini bermanfaat bagi
orang lain, tentu saya sangat bersyukur.
Saya berharap, ini semua membawa berkah buat saya dan
keluarga, dan tentu buat para pembaca sekalian.
Sidoarjo, 3 Januari 2016

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 3

#1
MENGAPA MENULIS SERAT GATHOLOCO?
Serat gatholoco merupakan naskah berbahasa Jawa
diperkirakan muncul pada abad ke-19. Gayanya vulgar, dengan
kata yang kasar, berbeda dengan banyak karya sastra yang
lahir pada era itu. Secara umum serat ini dapat saya sebut
sebagai gugatan, kritik atas perilaku beragama masa itu. Pada
bait pembuka penulis mengakui bahwa karyanya ini muncul
akibat kegelisahan, prihatin yang menjadi-jadi, seperti tertuang
dalam naskah:
Prana putk kaptk ngranuhi, wiyoganing batos, raosing tyas karaos
kkse, tmah bangkit upami nylaki, rudah gung prihatin, nalangsa
kalangkung.
Apakah kegelisahan ini muncul bisa jadi akibat penulis melihat
banyak hal menyimpang dalam praktek beragama. Dengan
menulis ini, diharapkan mampu mencari kebenaran yang jelas,
jernih dan menentramkan hatinya.
Gatholoco adalah nama tokoh utama dalam naskah ini, meski
ada tiga tokoh lain, yaitu Kyai Hasan Besari, Kyai Ahmad Arif
dan Abdul Jabar. Pemilihan nama Gatholoco, buat saya sangat
menarik. Gatho berarti alat kelamin (yang tersembunyi), loco
berarti (mengelus, mengocok). Singkatnya gatholoco dapat saya
terjemahkan bebas menjadi masturbasi. Saya mengartikan ini
untuk membantu memahami naskah serat secara keseluruhan
yang merupakan kritik perilaku beragama, yang menurut
penulis dianggap seperti orang masturbasi. Ciri penting
masturbasi adalah egois, mencari kesenangan sendiri dan tentu
tidak memerlukan orang lain untuk mencapai kesenangan.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 4

Orang dalam praktek keberagamaannya bisa mirip


bermasturbasi. Bisa jadi melalui penampilan yang sarat dengan
tanda-tanda atau pernik-pernik yang menunjukkan kesucian
dan kesalehan dalam beragama. Melalui pernak-pernik ini,
seseorang
mampu
mereguk
kenikmatan,
mampu
menggairahkan diri dalam beragama kemudian mencapai tarap
orgasmus.
Awal bagian serat gatholoco, kritik atas masturbasi beragama
ini adalah melalui penampilan dan nama itu sendiri. Gambaran
kesalehan tiga guru pesantren dengan atribut pakaian menjadi
pembuka.
Bakda subuh wau tiga Kyai, rujuk tyasnya condhong, Guru tiga
ngrasuk busanane, arsa linggar sadaya miranti, duk wanci byar
enjing, sarng angkatipun.
Murid nnm umiring tut wuri, samya angggendhong, kang
ginendhong kitab sadayane, gunggung kitab kawan likur iji, ciptaning
panggalih, tuwi mitranipun.
Bagaimana ketiga guru tersebut digambarkan sedang ditunggu
oleh para santri sehabis subuh. Sementara ada enam santr yang
mengawal membawa kitab sebanyak 24 buah, berjalan menuju
ke sebuah tempat. Mereka berhenti, beristirahat. Para murid
nampak berdzikir penuh khusuk. Namun kemudian didatangi
oleh seorang yang buruk rupa.
Penggambaran kondisi ini jelas, antara yang berpenampilan
buruk dan berpenampilan soleh. Ia adalah gatholoco yang
digambarkan bertubuh pendek, matanya juling, rambut
keriting, hidung pesek, dagu tidak lancip, telinga lebar maju,
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 5

pipi kempot, serta gambaran katuranggan yang jelek.


Penggambaran kontras ini dihadirkan di awal, seolah mengajak
kepada pembaca untuk bersiap-siap menyaksikan dua bentuk
yang berlawanan, dua kutub yang siap beradu. Memang
demikian, pada bagian-bagian selanjutnya akan dijumpai
perdebatan sengit dua kubu ini.
Gatholoco yang berpenampilan jelek itu kemudian mendekat
kepada kumpulan santri dan kyainya. Sambil kebul-kebul
merokok, yang baunya sangit, gatholoco tetap mendekat dan
berbaur. Melihat kelakuan gatholoco seperti ini, murid-murid
banyak yang terganggu. Para guru juga demikian, serta
mengeluarkan reaksinya. Mereka mengucap istighfar, taawud
dan tahlil. Mereka merasa aneh dan janggal menemui manusia
semacam itu. Segera saja mereka langsung memberi cap kepada
gatholoco:
Janma ingkang rupane kayeki, sarwi noleh ngandika mring sabat,
Padha tingalana kuwe, manusa kurang wuruk, datan wruh sakehing
Nabi, neng dunya wus cilaka, iku durung besuk, siniksa aneng
akherat, rikl sewu siksane neng dunya kuwi.
Manusia yang berwujud seperti ini, sembari menoleh
berkatalah kepada para sahabat (para santri), Lihatlah itu,
manusia kurang pengajaran, tidak mengenal Para Nabi,
didunia sudah celaka, belum kelak, disiksa di akherat, berlipat
seribu siksaannya lebih dari siksaan didunianya kini.
Begitu mudahnyakah manusia memvonis orang lain, hanya
karena wujudnya? Penampilannya? Perilakunya yang belum
benar-benar terbukti mengancam kehidupan orang lain?
Mungkin dengan mengeluarkan vonis itu, kemudian puas?
Bahkan dengan membiasakannya bisa mencapai orgasme, yang
semakin mengukuhkan kesalehan?
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 6

#2
MENGHARDIK NASAB
Setelah Gatholoco dihardik karena penampilannya, selanjutnya
yang dihadirkan sudah melebar ke masalah lain, soal
keturunan, nasab. Kalau mau jujur, apakah ketiga guru dan
santrinya itu mengenal betul Gatholoco? Oh tentu belum,
bahkan soal nama saja, baru ditanyakan kemudian. Berikut ini
saya kutip dari bait 9 Pupuh II Dandanggula:
Dudu anak manusa saykti, anak Blis Setan Brkasakan, turune
Mmdi Wewe, Gatholoco duk ngrungu, den wastani yen anak Blis,
langkung sakit manahnya, nanging tan kawtu, ngungkapi
gembolanira, kleletipun sajbug sigra ingambil, den untal babar pisan.
Terjemahan: Dia (gatholoco)- sesungguhnya bukan anak
manusia, tetapi anak Iblis Setan Brkasakan, keturunan Hantu
atau Wewe, Gatooloco mendengar akan hal itu, disebut sebagai
anak Iblis, sangat-sangat sakit hatinya, akan tetapi didiamkan
saja, membuka gembolannya kembali, diambilnya candu
sekepal, dimakan sekaligus semuanya.
Bayangkanlah bagaimana sakit hati anda, jika anda dihardik
soal keturunan dari siapa anda. Apalagi menghardik sebagai
anak iblis, setan, hantu dan sejenisnya. Dihardik sebagai anak
bapaknya, katakanlah memang pernah jadi narapidana akibat
mencuri, kemudian disebut anak pencuri saja sakit hati, apalagi
ini. Fakta bukan, yang jelas ini spekulasi luar biasa. Bahwa
orang yang burup rupa itu mesti anak penjahat, sejahatjahatnya sama dengan iblis.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 7

Keberagamaan seseorang seringkali dikaitpautkan dengan


nasab, keturunan. Tidak sedikit orang yang mabuk gelar
religius karena keturunan ini. Ketika dirinya diketahui
keturunan orang-orang suci, saleh dan alim, kemudian melihat
orang lain dengan sebelah mata. Apakah kemudian, karena
keturuanan seperti itu otomatis dia mempunyai kualifikasi
seperti leluhurnya yang dibanggakan? Tentu tidak to? Lagi-lagi
kembali kepada prestasi masing-masing diri. Bahkan bagi
sebagian yang sadar diri, nasab menjadi beban yang luar biasa
berat untuk memberi bukti, bahwa dirinya diupayakan tidak
terlalu jauh dengan leluhurnya.
Masturbasi melalui nasab bisa saja dilakukan oleh mereka yang
lahir dalam keluarga saleh, alim dan suci.Kondisi ini selalu
didengungdengungkan dalam benak, menancap di hati dan
menghasilkan sebuah orgasme akan kesalehan diri. Ketika
dihadapkan kenyataan orang lain, yang nampak buruk, sontak
birahinya membuncah, menderu dan selanjutnya dikocokkocok, untuk mencapai orgasme. Menghina orang lain yang
bernasab tidak semulia dirinya, dengan berbagai sebutan dan
spekulasi mengaitkan dengan penjahat atau musuh-musuh
orang suci dengan kata lain adalah masturbasi guna mencapai
kenikmatan diri sendiri. Begitua nikmat dengan menghardik
nasab orang, meninggikan nasab sendiri, padahal nasibnya bisa
jadi tidak jauh berbeda.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 8

#3
SOAL NAMA GATHOLOCO
Serat Gatholoco, bagi saya sekali lagi adalah sebuah kritik atas
sikap dan perilaku merasa puas, senang pada diri sendiri.
Sementara orang lain atau pihak lain adalah diperlakukan
sebagai obyek pemuas belaka. Ibarat sex, maka gatholoco itu
memperlakukan pihak lain sebagai perangsang, kemudian
berupaya memuaskan diri sendiri, meski pihak lain itu tidak
pernah terlibat bersama dalam mencapai orgasme. Yang ada
hanyalah khayalan diri.
Jika pada bagian sebelumnya, orgasme batin ini melalui
penampilan dan rupa yang buruk pihak lain, maka dalam
bagian ini adalah soal nama. Berikut saya kutip bait 13 (masih
pupuh II) yang berbunyi:
Lah ta sapa aranira ykti, sarta manh ngndi wismanira, kang
tinannya lon saure, Gatholoco aranku, ingsun janma Lanang Sujati,
omahku tngah jagad, Guru tiga ngrungu, sarng denya latah-latah,
Bdhes buset aran nora lumrah janmi, jnngmu iku karam.
Terjemahan: Siapakah namamu sesungguhnya? Dan lagi
dimanakah rumahmu? Yang ditanya menjawab pelan,
Gatholoco namaku, aku manusia Lanang Sujati ( Lelaki Sejati ),
rumahku ditengah-tengah jagad, Ketiga Guru mendengar,
bersamaan mereka tertawa terbahak-bahak, Monyet! Busyet!
Nama tidak umum dipakai manusia, namamu saja itu sudah
haram!
Para guru menanyakan nama, dan dijawab namanya adalah
Gatholoco. Ia mengaku sebagai lelaki sejati, rumahnya ditengah
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 9

jagad. Mendengar jawaban ini, para guru langsung tertawa


terbahak, bahkan lebih jauh mengumpat, monyet, busyet, nama
yang tidak lumrah, nama yang haram dipakai. Kita berhenti
sejenak.
Beberapa waktu lalu, soal nama sempat menjadi perhatian
banyak orang, sebut saja ada orang bernama Tuhan,
Syaitonirojim, bahkan ada yang .. Ini tentu tidak lazim.
Sebagian orang langsung buru-buru mengeluarkan vonis,
bahkan dengan label dan ukuran agama. Seperti para guru itu
memperlakukan nama Gatholoco. Langsung distempel
HARAM. Bahkan hanya soal nama, seseorang divonis tidak
bakal bisa masuk surga. Seperti ungkapan para guru di bait 16,
Tidak patut, namamu itu sangat-sangat jelek, karena sangat
tabunya, bukah hanya makruh tapi sudah najis bahkan haram!
Itu nama yang mencelakakan, nama yang membuat orang
menjadi durhaka, nama yang tidak patut, sudah disebutkan
didalam kitab, apabila menghindari hal-hal yang haram jika
meninggal kelak pasti akan naik ke surga, yang tidak
menghindari hal-hal yang haram pasti kelak masuk neraka.
Seolah, hanya mereka yang mempunyai nama yang lazim
dianggap baik sajalah yang layak masuk surga, sementara yang
tak lazim, bahkan cenderung porno tidak layak. Potret merasa
paling beriman karena memiliki nama yang baik, layaknya
orang bermasturbasi, ketika menemu orang lain dengan nama
yang tidak lazim, atau dianggap tidak syarie. Nama-nama
yang tidak mengambil dari kitab suci bisa dianggap juga tidak
suci, najis dan tak layak disandang sehingga akan menjadi
penghambat pemiliknya masuk surga.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 10

Maka, celaka benar mereka yang sudah terlanjur sejak lahir tak
diberi nama dari kitab suci. Kadang sebuah sebutan di daerah
tertentu sebagai nama yang biasa, tetapi di daerah lain tidak
pantas. Apakah kemudian, surga akan menyeleksi nama-nama
berdasarkan daerah tertentu? Apakah surga hanya akan
menerima nama orang yang berbahasa tertentu?

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 11

#4
MAKNA GATHOLOCO, SEBUAH PEMBELAAN
Sebelum membahas bagian pembelaan ini, saya ringkas dulu
tiga bagian sebelumnya. Bahwa Gatholoco adalah pasemon,
kritikan menggunakan simbol atau sanepan. Ketika Gatholoco
mendekati para santri dan kyainya, dengan penampilan tidak
patut/jelek dan rupa yang tak tampan, hardikan bertubi-tubi
diterima Gatholoco. Orang-orang yang belum mengenal betul
Gatholoco mudah menjatuhkan penilaian, vonis dan
menentukan nasib surga dan neraka. Reaksi Gatholoco tidak
langsung membalas dengan kemarahan, tetapi dengan asyik
kebul-kebul (merokok), makan, cengengas-cengenges dan
mabok. Sikap ini semakin membikin kalap dan semakin deras
laknat yang diterima Gatholoco.
Ketika ditanya namanya, ia menjawab: Gatholoco aranku,
ingsun janma Lanang Sujati, omahku tngah jagad. Jawaban tegas,
namanya Gatholoco, bagi saya adalah sebuah jawaban
pasemon, jawaban yang sebenarnya sebagai kritik yang
ditujukan kepada penanya. Seolah-olah rasa jengkel yang
dipendam akibat hardikan, umpatan dan laknat yang diterima
memunculkan jawaban yang terkesan sekenanya, seenaknya
dan ngawur. Maka para guru yang mendengar jawabannya,
tertawa
terbahak-bahak,
menganggap
gila,
semakin
meyakinkan bahwa dzon yang sebelumnya disematkan benar
adanya. Gatholoco itu manusia yang jelek, baik nama,
kelakukan, rupa dan nasab.
Namun, saya memahami itu sebagai jawaban kritis, maka
sebutan Gatholoco atau Masturbasi itu ditujukan kepada para
pemvonis dan pelaknat, yang begitu mudahnya dikeluarkan
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 12

tanpa tahu dan mengenal mendalam siapa gatholoco.


Selanjutnya Gatholoco menerangkan soal namanya:
Gatholoco ngucap tannya aris, Dene sira padha latah-latah,
anggguyu apa kuwe, Kyai Guru sumaur, Krana saking tyasingsun
gli, gumun mring jnngira, Gatholoco muwus, Ing mangka jnng
utama, Gatho iku tgse Sirah Kang Wadi, Loco Pranti Gosokan
Terjemahan: Gatholoco tenang bertanya, Kenapa kalian
terbahak-bahak? Mentertawai apakah? Kyai Guru menjawab,
Hatiku sangat geli, heran kepada namamu, Gatholoco berkata,
Padahal itu adalah nama utama, Gatho itu artinya Kepala Yang
Dirahasiakan, Loco artinya Dikocok.
Gatholoco bagi gatholoco tidak jorok. Gatho itu kepala, utama,
pemimpin. Letaknya dimana? Pada bait 13 disebut omahku
tengah jagad, adanya ditengah jagad. Jagad dalam dunia
mistik Jawa, ada jagad gede, jagad cilik. Manusia bisa disebut
jagad cilik, sementara alam semesta jagad besar. Sebutan besar
kecil bisa terbalik, jika itu menyangkut manusia. Berada di
tengah jagad, artinya, gato itu ada di tengah diri manusia. Jika
konstruksi fisik yang dijadikan ukuran, gato bisa diartikan
penis. Bagi saya bukan itu. Gato lebih tepat dirujukkan kepada
hati atau rahsa. Mari lanjutkan pada bait 15.
Marma kabeh padha sun lilani, sakarsane ngundang marang
ingwang, yekti sun sauri bae, ttlu araningsun, kang sawiji Barang
Kinisik, siji Barang Panglusan, nanging kang misuwur, manca pat
manca llima, iya iku Gatholoco aran mami, prasaja tandha priya (15)
Maka aku rela jika kalian semua, mau memanggil aku apa,
pasti aku akan terima, tiga namaku, yang pertama Barang
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 13

Kinisik, satunya lagi Barang Panglusan, akan tetapi yang


terkenal, di empat penjuru angin bahkan di-lima penjuru angin,
ialah Gatholoco, tanda seorang pria sejati.
Gatholoco dapat disebut dengan tiga nama, yaitu Barang
Kinisik, Barang Panglusan dan Lanang Sujati. Sebutan barang
kinisik, bisa berarti diisik-isik (dielus-elus). Hati atau rasa
manusia itu dielus, dirangsang, dilatih, mengolah berbagai
ifnformasi. Tiap hari bisa berbolak-balik rasanya yang muncul.
Memang hati itu seperti dikocok terus menerus setiap saat.
Kadang sakit, kadang suka, kadang sedih, kadang galau dan
sebagainya. Untuk memahami itu pula perlu ditelisik dengan
jernih dan teliti. Jika hanya dikocok-kocok saja, yang terjadi ya
Gatholoco yang merujuk pada masturbasi hati/rasa.
Hati adalah barang halus, oleh karenanya disebut Barang
Panglusan. Sementara sebutan Lanang Sujati/Sejati, adalah hati
yang asli, asal, belum terkotori oleh perkara remeh temeh.
Sehingga dia akan mudah dikenali pada keempat penjuru
dunia (keblat papat) dan lima pancer (pusat). Pemahaman
seperti ini akan jumbuh dengan pemahaman masyarakat Jawa
pada hati. Hati yang masih asli itu sebagai pertanda hati yang
sejati, sebagai Lanang ( LAN= Landepe, tajamnya, NANG=
weNANG, kehendak, tekad). Dengan kata lain, Gatholoco itu
meliputi tiga hal, pertama berkaitan dengan Kinisik (mengisikisik, mengocok, mengolah, meneliti) berbagai lintasan hati,
Halus (artinya lembut, samar), proses dua hal ini perlu
dikuatkan dengan tekad yang tajam, sehingga benar-benar
mampu mengetahui rahasia Gato (hati yang tersimpan).
Jika hati sering digosok kotorannya, diredam amarahnya,
ditundukkan kesombongannya, itulah Lanang Sejati, ya
Gatholoco. Namun jika yang digosok itu adalah rasa marah,
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 14

sombong, dendam, benar sendiri, paling suci dan sejenisnya


itulah Gatholoco yang hanya kulitnya, wujud sareatnya,
mencari kepuasan sendiri semata, Masturbasi. Proses
melocogato, menghasilkan sperma, benih kehidupan.
Walaupun aku bukan priyayi, akan tetapi namaku adalah
Rahasia Mulia, supaya kelak para keturunanku, akan menjadi
priyayi besar (18 pupuh II).
Benih yang terlahir dari proses meloco sejati akan menurunkan
priyayi besar, akan menghadirkan manfaat besar bagi
sekitarnya. Sebab ia adalah rahasia mulia (sir hati), hati nurani
yang jernih, bening dan tersimpan rapi. Namun, jika itu
gatholoco yang hanya sekedar Masturbasi, maka dia akan
melahirkan angkara murka, kama wutah sak paran-paran
(sperma/benih amarah dimana-mana).

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 15

#5
MANDI (BERSUCI)
Memasuki bagian ini, saya akan mengajukan satu poin penting
untuk digunakan memahami bagian selanjutnya. Bagian 1 s/d
4 pembaca sudah saya suguhi adanya dua kubu yang berbeda
dalam memahami banyak hal. Yang utama adalah soal lahir
dan batin, soal nama dan makna nama. Sebut saja, seperti judul
serat ini, GATHOLOCO, bagi kalangan guru dinilai nama
kotor, jorok dan jelek, yakni berarti masturbasi. Sedangkan bagi
Gatholoco sendiri memiliki makna yang mendalam sebagai
cermin proses membersihkan hati. Posisi berbeda ini akan
berlaku di banyak kasus. Bagian ini perbedaan tersebut pada
persoalan mandi, bersuci.
Kebiasaan berwudhu, mandi dalam pengertian sebagai upaya
bersuci, kadang menjadi perangsang bagi seseorang untuk
merasa suci. Lama-lama, ketka melihat orang yang
berpenampilan nggembel, jorok dan jelek, langsung muncrat
penilaian dan vonis najis. Wudlu dan mandinya, memang
menghilangkan najis dan hadas, tetapi malah mengotori
hatinya. Masturbasi religius muncul kembali, dalam kasus
mandi (bersuci). Berikut ini kutipan dialog antara gatholoco
dan para guru.
Ingsun ngaku wong Lanang Sujati, basa Lanang Sujati tmnan,
wadiku apa dhapure, Sujati tgsipun, ingSUn urip tan nJA maTI,
Guru tiga angucap, Dhapurmu lir antu, sajge tan kambon toya,
Gatholoco macucu nulya mangsuli, Ewuh kinarya siram (19 Pupuh
II)

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 16

Pengakuan Gatholoco, sebagai Lanang Sejati, yakni orang yang


selalu menjaga rahasia hati, menjaga jiwa yang asli,
menguatkan ketajaman nurani, maka sebenarnya dia menjaga
ruh yang hakikatnya tidak mau mati. Kemudian dijawab para
guru, bahwa rupa gatholoco seperi hanti, jelek tak pernah
tersentuh air. Lagi-lagi soal rupa, soal fisik yang jadi bahan
olokan, bahan menyudutkan seseorang. Meski sudah dijelaskan
panjang lebar, tetap saja yang diserang adalah rupa. Para guru
nampak puas dengan menghina seperti itu. Gatholoco
cemberut, dan menimpali. Meski rupanya jelek, tetapi dia tetap
bersih. Dengan apa dia harus mandi, untuk membersihkannya?
Upamane ingsun adus warih, badaningsun wus kaisen toya, kalamun
adus gnine, jro badan isi latu, yen rsika sun gosok siti, asline saking
lmah, sun dus-ana lesus, badanku sumbr maruta, tuduhna kinarya
adus punapi, ujarnya Guru tiga (20 Pupuh II)
Badan manusia (gatholoco) ada unsur air, apakah air bisa
mensucikannya? Dengan api? Badan juga ada unsur api.
Dengan tanah? Badan juga penuh unsur tanah. Pakai angin?
Badan juga sumber angin. Lantas hendak dengan apa aku
harus mandi (bersuci), begitu tanya gatholoco kepada para
guru.
Menurut para guru, tubuhmu dari sperma, maka layak mandi
(bersuci) dengan air. Pandangan ini secara sareat (atau yang
berlaku pada nyata dan lazimnya), memang demikian
menggunakan air. Tetapi, bagaimana dosa-dosa dalam hati?
Apakah cukup dengan air? Itulah sebenarnya yang dimaksud
oleh gatholoco. Maka dia menyalahkan pandangan para guru
tersebut, dalam memahami sareat. Pandangan ini tentu bodoh
(menurut gatholoco), tidak tepat. Hal batin dibahas dengan
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 17

sudut pandang lahir. Meski ia berhubungan, maka itu tidak


sepadan.
Untuk bersuci batin (gatholoco itu menyangkut batin/hati),
maka
gatholoco
menegaskan,
ketahuilah
bahwa
sesungguhnya, aku telah mandi Air Tekad Suci yang Jernih,
yaitu jernihnya hati tanpa dikotori oleh Segala macam
perbuatan yang salah, itulah mandi yang sesungguhnya bagi
manusia, mandi yang sebenar-benarnya mandi. Tekad untuk
menjaga hati dari kotoran hati itulah mandi, membersihkan
kotoran hati (melalui berbagai aktivitas) itu juga mandi sejati.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 18

#6
HALAL-HARAM
Makanan mana yang haram, dan yang halal, secara syariat
sudah jelas. Banyak informasi tentang hal ini. Apa saja jenis
makanan yang halal dikonsumsi oleh orang Islam sudah diatur,
demikian pula informasinya sudah mudah didapat. Namun,
perbedaan pandangan (saya lebih melihatnya sebagai bentuk
kritik Gatholoco) terhadap masalah halal-haram makanan ini
juga terjadi. Gatholoco mengkritik sikap orang-orang yang
sebatas memahami halal-haram pada wujud jenis makanan
saja, tetapi kurang memperhatikan sisi lain dari makanan itu.
Hanya terbatas pada pemenuhan syarat wujud kehalalan.
Mari perhatikan bait-bait berikut:
Najan arak iwak celeng babi, anggr doyan msthi sira pangan, ora
wedi durakane, Gatholoco sumaur, Iku bnr tan nganggo sisip, kaya
pambatangira, najan iwak asu, sun titik asale purwa, lamun bcik tan
dadi sriking janmi, najan babi celenga (22 Pupuh II)
Terjemahan:
Walaupun arak, daging celeng dan babi, asal kamu doyan pasti
kamu makan, tidak takut dosa, Gatholoco menyahut, Benarlah
dan tidak salah, semua dugaanmu kepadaku itu, walaupun
daging anjing, aku teliti asal usulnya, manakala diperoleh
dengan jalan yang tidak menyakiti sesama manusia, begitupun
juga walau daging babi dan celeng.
Masturbasi religius melalui halal-haram dapat muncul dalam
bentuk menilai orang-orang yang memakan makanan haram,
seperti arak, babi, anjing, secara otomatis orangnya juga
dihukumi najis. Merasa jijik untuk mendekat, tidak mau
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 19

bersikap baik, karena seluruh tubuhnya, dagingnya, darahnya


ikut najis akibat makan makanan yang haram (najis). Termasuk
semua amal perbuatannya juga najis, tertolak akibat makanan
yang dikonsumsi. Sementara, mereka yang merasa hanya
makan makanan halal, adalah dirinya suci seperti makanan
yang dimakannya, termasuk darahnya dan dagingnya.
Apakah demikian adanya? Bagaimana, katakanlah orang yang
sebelumnya suka makan makanan haram, kemudian bertobat,
apakah harus membersihkan apa yang sudah masuk dalam
tubuhnya? Apakah itu semua tidak dapat diampuni? Demikian
beratkah untuk membersihkan diri, bertobat? Gatholoco tidak
sepakat dengan yang demikian. Masih ada celah haram dalam
makanan, yakni soal cara memperolehnya. Ini, bagi gatholoco
juga berdampak sangat serius.
Berikut pendapatnya yang sudah diterjemahkan:
Walaupun arak daging celeng dan babi, asal kamu doyan pasti
kamu makan, tidak takut dosa, Gatholoco menyahut, Benarlah
dan tidak salah, semua dugaanmu kepadaku itu, walaupun
daging anjing, aku teliti asal usulnya, manakala diperoleh
dengan jalan yang tidak menyakiti sesama manusia, begitupun
juga walau daging babi dan celeng. (23 Pupuh II).
Poin utamanya adalah, cara untuk memperoleh makanan tidak
melukai, tidak merugikan sesama manusia. Makanan yang
dihasilkan dari buah usaha sendiri, seperti menanam, beternak
sendiri, berburu di hituan, (bagi gatholoco) jauh lebih
menentramkan daripada diperoleh dengan cara mencuri, meski
jenis makanan itu halal. Pandangan radikal ini tentu tidak
membenarkan manusia hobi makan makanan haram, tetapi

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 20

perlu diingat bahwa usaha untuk mendapatkan makanan itu


juga ada halal dan haramnya.
Kasus ini juga berlaku untuk pakaian, perhiasan diri. Banyak
orang bisa memperoleh citra penampilan yang luar biasa.
Barang-barang yang dipakai bagus, harganya mahal, juga tidak
najis. Rutin dicuci, dilaundry bahkan diberi parfum
wewangian. Banyak orang menumpuk pakaian. Tiap bulan
berburu yang baru. Setiap bepergian berburu merek baru. Jika
itu semua hanya menumpuk kesombongan, apakah baju dan
perhiasan demikian tidak menjadi kotoran, najis bagi hati?
Bagaimana jika makanan, pakaian, perhiasan itu adalah hasil
dari mencuri, menipu, atau korupsi? Andai saja Gatholoco
menjadi penuntut umum para koruptor, percekcokannya bisa
dahsyat, lebih dahsyat dari serat gatholoco sendiri.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 21

#7
HIDUP YANG NIKMAT?
Setelah perdebatan tentang halal-haram makanan dan pakaian,
kemudian berlanjut pada soal bagaimana menikmati makanan
dan pakaian itu. Sekali lagi, orang yang sudah terbiasa
menghina, merasa diri paling suci, akan juga muncul kebiasaan
menilai orang lain tidak bahagia. Kalau toh ada, kemudian
akan dengki. Kalau perlu digagalkan kebahagiaan itu. Itulah
watak pelaku Masturbasi Religius.
Para guru mengetahui bahwa prinsip Gatholoco soal halalharam sampai pada cara memperoleh barang. Bagaimana bisa
(seperti jaman edan begini) benar-benar memperoleh
sesuatunya itu halal seratus persen? Kalau menuruti kemurnian
ini, apa bisa kaya? Bisa menikmati hidup yang enak? Seperti
tutur para guru dalam bait berikut:
... pants tmn uripmu cilaka, kamlaratan salawase, tan duwe bras
pantun, sandhangane pating saluwir, kabeh amoh gombalan, sajge
tumuwuh, ora tau mangan enak, ora tau ngrasakake lgi gurih, kuru
tan darbe wisma (26 Pupuh II).
... Pantas jika hidupmu celaka, melarat selamanya, tak memiliki
makanan cukup, busana-pun compang camping, semua hanya
gombal lusuh, selama hidup, tak pernah memakan makanan
enak, tidak pernah menikmati rasa manis dan gurih, makanya
kurus kering dan tak memiliki rumah.
Bagi para guru yang menghina ini Gatholoco, dianggap miskin,
karena tak ada harta yang dimiliki. Para guru berkata,pakaian
yang kotor langsung kubuang di sampah, bareng kotoranku.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 22

Ganti yang baru, toh tinggal beli. Sementara, kamu Gatholoco


yang kere, mana bisa kamu menikmati itu?
Kalau seperti itu, para guru itu tidak beda dengan kebanyakan
manusia, bukan orang istimewa. Gelar keagamaan tidak ada
nilai lebihnya. Gatholoco, dengan kemiskinannya merasa
menjadi istimewa, karena barang-barang yang dimilikinya
dibagi dengan sesama, yang baru atau lama demikian juga.
Gatholoco rela memakai yang jelek-jelek saja. Rela makan
makanan yang tidak enak saja, biarlah yang lain merasakan
enaknya. Dia mau meminum yang pahit, sedangkan yang
manis bisa dinikmati oleh orang lain.
Gatholoco hanya mencatat, menikmati Sastra 21 (selikur) saja.
Sebuah kesadaran akan kesendirian dan kebersamaan. Sadar
akan adanya Dzat yang Tunggal, dan hidup berdua (2) dengan
Yang Tunggal. Kemiskinan, pahit, tidak enak, juga yang yang
enak, kaya dan manis adalah Tunggal adanya. Gatholoco lebih
menikmati adanya realitas ganda (2) sebagai sebuah
ketunggalan (1), itulah sastra, dinamika hidup yang dicatat
dalam hati Gatholoco. Berikut ungkapannya:
Yang kumakan setiap hari, kupilih yang sangat panas, dan
yang terlampau pahit, kotoranku (batin) menjadi gunung,
nampak terlihat jelas. Mengolah rasa tidak enak seperti itu,
kesadaran akan kotoran diri itu menyakitkan. Ibarat gunung
berapi dengan lavanya yang tersimpan, jika akan keluar,
memunculkan asap. Semua kotoran diri dimakan (diterima dan
diolah dalam batin). Pengolahan itu dilakukan tiap saat.
Menerima penderitaan, cobaan, ujian, menyadari kekurangan
dan mengolahnya untuk yang bermanfaat. Inilah proses daur
ulang melalui batin. Inilah wujud Gatholoco sebagai Barang
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 23

Kinisik yang sejati. Pada akhirnya, dalam menghadapi realitas


dunia yang ada baik dan buruk, pahit dan manis, serta berbagai
dualitas seperti itu, Gatholoco menunjukkan tekad yang kuat
melampauinya.
Dalam kasus ini, aku ingat pesan guru kejawenku, jika
menghadapi yang dirasa tidak enak, maka bersangkalah,
anugrah apa yang hendak Tuhan berikan. Pun
sebaliknya,jika menemu yang enak, ujian apa yang hendak
Tuhan turunkan. Ketika saya dinyatakan mencapai tahap
tertentu, aku diberi pilihan, memilih susu atau racun. Secara
alamiah aku memilih susu, sebab susu itu enak dan bergizi.
Tetapi guruku mengingatkanku, untuk memilih racun, sebab
racun yang diminum bisa diolah menjadi obat. Tentu ini hanya
sanepan. Dalam dunia kedokteran, obat sebuah penyakit itu
kadang berasal dari penyakit. Imunisasi itu katanya dibuat dari
virus.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 24

#8
MENGIKUTI RASULULLAH?
Jika dalam bagian #7, Gatholoco menggambarkan dirinya yang
miskin dan fisiknya kurus, karena itu adalah maboknya pada
Rasulullah (utusan Allah). Berikut kutipannya:
Gatholoco sigra anauri, Mila ingsun kurune kalintang, krana nurut
mring karsane, Gusti Jng Nabi Rasul, sabn ari ingsun turuti,
tindak mnyang ngpaken, awan sore esuk, mundhut candhu lawan
madat, dipun dhahar kalawan dipun obongi, Allah kang paring wikan
(32 Pupuh II).
Terjemahan: Gatholoco menjawab, mengapa diriku kurus,
karena mengikuti kehendak Kanjeng Rasul, tiap hari aku turuti,
pergi siang dan malam, mengambil candi dan mabuk. Bisa di
makan atau dibakar, Allah merestui.
Membaca istilah-istilah dalam serat ini tidak bisa leterlek,
seperti yang tertulis. Jika diikuti sejak awal, maka ada konsepsi
yang bersifat batin yang diungkap oleh Gatholoco. Ketika dia
menyebut kotoran, itu dirujukkan pada dosa. Atau
menerangkan namanya sendiri, gatholoco, itu adalah aktivitas
membersihkan hati nurani, bukan masturbasi. Pada kutipan di
atas menyebut candu dan madat, artinya adalah mabok pada
hati nurani. Menuruti bisikan hati yang jernih. Dengan
demikian, tentu Allah merestuinya. Jika, perintah nurani (yang
disebut Kanjeng Rasul) tidak dituruti, maka dia marah betul,
membikin tidak bisa tidur dan menyiksa diri.
Konsepsi Gatholoco tentang Rasul yang sedemikian, mendapat
protes keras dari para guru. Menurut mereka yang disebut
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 25

Rasulullah itu ya yang ada di Arab sebagai junjungan manusia


sedunia. Mereka menghardik Gatholoco demikian, sehingga
tidak pantas Kanjeng Rasul itu mengutus nyandu dan madat.
Jelas itu perbuatan haram.
Lagi-lagi ada perbedaan persepsi, meski pada sebutan yang
sama. Gatholoco mengatakan bahwa jika Kanjeng Rasul yang
disebut itu, maka beliau sudah seribu tahun lebih meninggal,
tidak wujud. Meski dengan jungkir balik memuji, belum tentu
ditemui. Lantas mengaku mengikuti Rasulullah itu seperti apa?
Banyak pihak, akhir-akhir ini berteriak dan bersemboyan
mengikuti Rasulullah, namun banyak juga yang berebut
kebenaran dan akhirnya bertengkar. Semua atas nama
Rasulullah. Padahal yang diikuti adalah kata-kata yang tertulis
dalam kitab semata. Penafisran atas teks itu kembali kepada
nafsu masing-masing diri. Sebenarnya mereka hanya mengikuti
hawa nafsunya, bukan dawuhnya Kanjeng Rasul. Oleh karena
itu, gatholoco mengkritik keras perilaku seperti ini. Mengikuti
hati nurani yang sudah terlatih tiap saat membersihkan jiwa,
akan mendekatkan kepada Kanjeng Rasul, yakni utusan yang
ada dalam diri setiap pribadi manusia. Gatholoco berusaha
keras mencari dan mendekatkan diri pada Kanjeng Rasul
(utusan) yang ada dalam diri sendiri, bukan yang di luaran,
sebab beliau sudah wafat. Berikut sebagian kritik pedas
Gatholoco atas memperturutkan hawa nafsu atas nama
Kanjeng Rasul:
Rasulullah seda sewu warsi, sira bngok saking wisma-nira, bok
kongsi modot gulune, masa bisa karungu, tiwas ksl tur tanpa kasil
(36 Pupuh II)

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 26

Terjemahan: Rasulullah telah meninggal seribu tahun yang


lalu, kamu teriaki dari rumahmu, walaupun sampai
memanjang lehermu, tidak akan berkenan hadir menemuimu?
Hanya melelahkan diri sendiri tiada guna.
Padahal, al Quran dan Hadits itu adalah petunjuk yang
harusnya meningkatkan kesadaran, memperhalus budi dan
mempertajam nurani. Oleh karenanya, perilaku yang suka
merendahkan orang lain, menilai orang lain jauh dari Al Quran
dan Hadits, tidak mengikuti Rasulullah (padahal belum tentu
demikian), adalah sikap gegabah. Lagi-lagi perilaku seperti ini
adalah masturbasi religius, merasa dekat sekali dengan
Kanjeng Nabi, nyatanya belum tentu.
Gatholoco menyadari apa yang sudah dipaparkan sejak awal,
belum tentu benar mutlak adanya. Masih ada kebingungan
memastikan kebenarannya. Ini adalah sikap kesatria dia.
Kemudian dia meminta pendapat hukum dari para guru.
Namun apa jawab mereka? Lagi-lagi hardikan, dan merasa
tidak pantas Gatholoco diberi pendapat soal agama, menurut
mereka Gatholoco sudah tersesat jauh. Berikut hardikannya:
Asru ngucap Nyata sira maling, ora pants rembugan lan ingwang,
sira iku wong munapek, duraka ing Hyang Agung, lamun ingsun
glm mulangi, pakartine dursila, mring panjawabipun, ora wurung
katularan, najan ingsun datan anglakoni maling, yen glm
mulangana, Nalar bangsat paturane maling, ykti dadi melu kna
siksa,
Terjemahan: Dengan lantang dikatakan: Ternyata kamu
maling! Tidak pantas meminta pendapat kami! Kamu orang
munafik! Berdosa kepada Hyang Agung! Jika kami sampai
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 27

bersedia memberikan pendapat, tidak urung bakal ketularan


(dosanya)! Walaupun kami tidak ikut mencuri, manakala
bersedia memberikan pendapat. Sama saja menyetujui
perbuatan bangsat seorang maling!
Luar biasa. Dikasih sudut pandang lain, tidak mau, diminta
pendapat tidak mau, malah merendahkan dan menghardik.
Inikah gambaran watak para guru? Perilaku orang-orang yang
merasa paling suci, paling beriman, paling dekat kepada
Rasulullah? Daripada terus menerus dihardik, Gatholoco
menantang bermain tebak-tebakan, teka-teki. Apa teka-tekinya?
Monggo diikuti bagian berikutnya.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 28

#9
AKU HIDUP, MAKA AKU ADA
Memasuki Pupuh III ini, teka-teki sudah dimulai. Maksud dari
teka-teki yang diajukan Gatholoco adalah untuk menguji
ketajaman pandangan mengenai kehidupan ini. Ada satu
pertanyaan yang diajukan Gatholoco, yaitu: mana yang lebih
dahulu/tua, antara Dhalang, Wayang, Kelir dan Blencong
(lampu)? Pertanyaan ini perlu dipahamai dalam sebuah
pagelaran wayang. Ketiga guru yang diajak teka-teki (Kyai
Arif, Kyai Abdul Jabar dan Kyai Manaf) mempunyai jawaban
yang berbeda-beda. Begitulah kehidupan ini, setiap orang juga
punya pandangan yang beragam atasnya. Tetapi mana yang
paling utama? Yang paling menentukan dalam kehidupan ini?
Kyai Arif menjawab bahwa yang paling tua adalah kelir (layar
untuk pertunjukan). Baginya kelir itu jelas kelihatan, bahkan
sebelum adanya dalang dan wayang. Kyai Jabar menjawab
dhalanglah yang paling tua. Pagelaran wayang itu kalau ada
dhalang, meski sudah ada kelir dan blencong. Kyai Manaf
menjawab bahwa yang lebih tua adalah Wayang (pagelaran
wayang). Jika seseorang akan mengadakan pagelaran wayang,
maka konsep pagelaran itu sendiri sudah ada, bisa jadi jauh
sebelum adanya blencong, dhalang dan kelir. Dalam Dialog di
serat Gatholoco, masing-masing saling menyalahkan
pandangan yang lainnya. Tetapi menyalahkan pihak lain
ternyata belum menjamin benar. Itu juga wujud dari perilaku
Masturbasi Religius. Perbedaan pendapat ini seperti kisah
beberapa orang buta untuk menggambarkan bentuk gajah.
Masing-masing meyakini yang dipegang, yang dekat dan
dirabanya, dirasakannya.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 29

Bagi Gatholoco, justru Blencong itulah yang paling tua. Ini


bukan sekedar jawaban yang berbeda atau sengaja beda, tetapi
jawaban yang benar-benar menunjukkan kualitas dirinya
memahami realitas hidup ini. Mengapa? Katakanlah, semua
sudah siap, Dhalang siap, Wayang siap, Kelir siap, penabuh
musik siap, sinden siap, dan sebagainya. Tetapi bagaimana
kemudian jika tak ada lampu? Apakah kemudian wayang itu
nampak sebagai pagelaran? Bisa jadi dhalang tinggal
menjalankan wayang, penabuh tinggal memukul alat musik,
sinden terus berdendang. Itu semua dilakukan sesuai pakem,
meski tak ada blencong, pagelaran bisa berjalan. Sekali lagi,
tapi itu tak ada artinya bagi anda yang menonton.
Blencong adalah cahaya, hidup, sadar bahwa dirinya hidup,
itulah gambaran blencong. Sebelum saya lahir di dunia ini,
alam ini sudah berjalan seperti biasanya. Orang-orang yang
sudah terlahir dan hidup di dunia ini sudah hidup, tetapi bagi
saya, itu semua tidak berarti apa-apa. Setelah saya lahir,
kemudian saya bisa melihat, merasakan, dan sebagainya saya
baru benar-benar bisa menyaksikan pagelaran wayang itu,
bahkan bisa menikmatinya. Dengan kata, Aku Hidup, Maka
Aku Ada. Hidup dalam pengertian tidak sekedar sudah bisa
hidup, makan, minum dan sebagainya, tetapi juga dituntut
kesadaran bahwa diri ini memang hidup.
Itulah jawaban Gatholoco atas teka-teki sanepan yang diajukan.
Banyak orang terjebak, bahwa kelir itu penting. Kelir adalah
lambang raga, lambang wujud aktivitas. Sementara wayang
adalah sukma sejati mengikuti perintah dhalang (rasul) dalam
diri. Dibalik itu semua ada Dzat Hidup Yang Maha Hidup,
yang memercikan kehidupan kepada diri manusia.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 30

Mendengar penjelasan ini para guru, bukannya malah senang,


ketika diingatkan kepada Dzat Maha Hidup. Tetapi lagi-lagi
marah, dan ilmu semacam itu tidak pantas dikeluarkan oleh
orang macam Gatholoco. Seolah-olah hanya mereka para guru
yang layak membicarakannya, memedarnya. Padahal nyatanya
mereka belum memamahinya. Ini juga Masturbasi Religius,
merasa paling berhak bicara soal Tuhan, paling berhak
mengetahui Tuhan, orang lain dianggap tidak layak.
Guru tiga duk miyarsa, anyntak sarwi macicil, Rmbug gunm
ujarira, iku ora lumrah janmi, ... (16 Pupuh III)
Terjemahan: Begitu mendengarnya ketiga Guru, membentak
sembari melotot, Apa yang telah kamu katakan, tidak lumrah
diucapkan manusia!
Dalam kondisi marah seperti itu, Gatholoco mengajukan
pertanyaan. Jika pagelaran wayang telah usai, wayang dan
kelir dimasukkan kotak, dhalang berpisah dengan kelir,
wayang berpisah dengan blencong, lantas ke manakah
perginya wayang dan blencong?

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 31

#10
KEMATIAN ITU SANGAT DEKAT
Seorang bijak mengajukan sebuah pertanyaan: apa yang paling
dekat dengan manusia? Jawabany adalah Ajal/Kematian.
Meski tiap hari minum vitamin, antitoksin, antiaging, atau
bersembungi di bunker, atau pindah ke bulan, ajal itu sudah
pasti datang. Karena, ajal itu tidak pernah jauh dari hidup
manusia. Gatholoco punya pendirian yang sama, bahwa mati
itu selalu bersama-sama dengan hidup manusia. Berikut
kutipannya:
Benjang yen sira palastra, urip-mu ana ing ngndi, saikine sira
gsang, pati-mu ana ing ngndi, uripmu bakal mati, pati nggawa urip
iku, ing ngndi kuburira, sira-gawa wira-wiri, tuduhna dununge
panggonanira (15 Pupuh III).
Terjemahannya: Kelak jika kalian meninggal dunia, hidup-mu
berada dimana? Saat ini kalian hidup, mati-mu berada dimana?
Hidup-mu bakal menemui mati, mati akan membawa pergi
hidup-mu, dimanakah kematian itu berada? Sesungguhnya
(kematian) telah kalian bawa kesana-kemari, tunjukanlah
tempat kediamannya.
Hidup ibarat blencong/lampu dalam sebuah pagelaran
wayang. Ialah yang membuat pagelaran itu bisa dilihat.
Sebaliknya, penonton menyadari adanya pagelaran wayang,
melihat aksi dhalang, mendengar suara sinden dan alunan
musik gamelan. Melaluinya pula, penonton bisa melihat
megahnya kelir yang dibentang. Begitulah, hidup adalah
kesadaran akan diri sendiri dan lainnya. Meski, blencong yang

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 32

utama, tetapi melaluinya keberadaan dhalang, wayang dan


kelir menjadi jelas eksistensinya. (silakan baca #9).
Bagi para pelaku Masturbasi Hidup seperti diuraikan
sebelumnya, tidak menyadari adanya pihak lain yang ada.
Seperti kyai Arif yang mementingkan kelir, tidak memandang
pentingnya dhalang, wayang atau blencong. Baginya
keberadaan kelir itulah yang pokok. Kelir adalah ibarat raga,
jagat, rumah tinggal, alam sekitar, ruang, waktu dan sejarah.
Mereka yang mementingkan kelir, akan sibuk dengan
penampilan dan keberadaan itu semua. Sibuk, asyik dan
mabok memperhatikan kelir membuat lupa darata, lupa
hidupnya, apalagi hidup lainnya.
Demikian pula yang gila dhalang. Mereka yang sangat
gandrung dhalang pakem Banyumasan akan berbeda dengan
pakem Kartasura. Ada yang memprotes munculnya Bawor di
jajaran punakawan, atau sebaliknya memprotes nama Bagong.
Lakon Petruk dadi Ratu tidak disukai, karena dianggap
merusak pakem. Dalam agama, bagi pengikut madhab A atau
tarekat B, tidak suka bahkan menolak keberadaan lainnya.
Karena dhalang adalah pakem itu sendiri, penuntun laku dan
teladan.
Mereka yang menganggap (pagelaran) wayang akan terbawa
arus membenci Sengkuni, atau memuja Arjuna. Lakon
romantisme dan kesaktian Arjuna menjadi kesukaan sementara
lakon Jamus Kalimasada tidak disukai. Bagaimana misalnya
Bima yang menggunakan gada tiba-tiba diganti dengan panah,
akan membuat marah. Banyak orang usil dengan tetangga,
mengkiblat artis dan meniru gayanya. Itulah gambaran mereka
yang terlalu gandrung pada pagelaran wayang.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 33

Kondisi seperti itulah yang disebut mati, kematian. Tak ada


blencong (lampu) wayang tak nampak apa-apa kecuali gelap.
Bahwa yang hanya gandrung pada kelir, dhalang atau wayang
lupa, bahwa kegilaan itu sebenarnya telah menutup
kesadarannya akan eksistensi diri maupun lainnya. Nah, bagi
yang mengetahui peran penting blencong/hidup akan tahu
dan bisa menikmati pagelaran wayang, memperhatikan
gerakan tangan dhalang, aksi akrobat wayang, dan kemegahan
kelir yang dibeber. Manusia di saat masih dalam kandungan, ia
hidup dalam pengertian bernyawa. Kemudian bayi, anak-anak,
ya hidup. Bahkan dewasa juga hidup, karena ditandai adanya
makan dan minum. Tapi manusia yang lupa adanya eksistensi
diri dan lainnya, sebenarnya mati, seperti matinya lampu
dalam pagelaran wayang, gelap gulita.
Meski demikian, ketika blencong dinyalakan, sering terjadi
bahwa penonton (diri) itu mengantuk atau lalai, tidak konsen
dalam menyaksikan pagelaran wayang. Menonton wayang ya
sekedar menonton saja. Lebih tragis lagi, kalau sebagai
penonton, malah dia tidak menyadari bahwa dia sendiri
menjadi bagian dari sebuah pagelaran wayang yang lebih
besar. Tontotan sudah disuguhkan, tapi penontonnya tidur
semua. Apalah artinya? Hanya dapat kenyang tidur. Inilah
kematian yang sangat besar. Kematian itu sangat dekat,
bergandengan dengan hidup itu sendiri.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 34

#11
HIDUPLAH DENGAN MATA DAN TELINGA
Orang yang sudah terbiasa melakukan masturbasi religius bisa
disebabkan karena masturbasi (kesadaran) hidup. Ia tidak
mampu membedakan hidup dan mati, meski antara hidup dan
mati itu adanya bergandengan dan beriringan. Bahkan ia tidak
mampu menyadari bahwa dirinya itu hidup atau mati. Efeknya
menular menjadi kebiasaan masturbasi sosial.
Anda mungkin sudah tahu sebuah binatang yang sering
dijadikan gambaran mereka yang punya perilaku memeras
hidup orang lain. Ya, lintah, atau sering disebut lintah darat.
Lintah darat itu yang manusia. Dalam bait 17 Pupuh III berikut
Gatholoco menggambarkan:
Santri padha ambk lintah, ora duwe mata kuping, anggre amis
kewala, cinucup nganti malnthing, ora ngrti yen gtih, gandane
amis tur arus, kinira madumangsa, yen wus warg mangan gtih,
amalngkr tan mtu nganti sawarsa.
Terjemahannya: Santri yang berperilaku seperti lintah, tidak
memiliki mata dan telinga, asalkan mencium bau amis, dihisap
hingga perutnya menggelembung, tidak tahu kalau itu darah,
baunya amis dan arus (padanan kata amis), dikira madu, jika
sudah kenyang meminum darah, meringkuk tak keluar-keluar
lagi hingga setahun.
Orang-orang (santri) yang tidak menyadari akan hidupnya,
juga matinya dalam hidup, adalah mereka yang mati rasa, tidak
memiliki rasa rumangsa. (silakan baca bagian #10). Ibaratnya
adalah lintah, yang tidak memiliki mata dan telinga. Tidak
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 35

mampu mendengar suara hati, tidak mampu melihat realitas


yang sebenarnya. Tidak mampu membedakan antara madu
dan darah, semua dianggap sama, yaitu darah. Kemudian
lintah menghisap sekenyang-kenyangnya sampe membesar
badannya untuk menampungnya. Ia terlena dengan
kenikmatan yang dirasakannya. Yang diperturuti adalah
mulutnya, perutnya, kerongkongannya semata.
Tidak mau bersusah payah mendengar, melihat, mengkaji
sedalam-dalamnya. Apa yang tertulis oleh dalil ditelan mentahmentah. Abai pada substansi terjebak pada kulit. Asal itu
menguntungkan dirinya, tutup mata, tutup telinga, dijalankan.
Selalu berdalih, ini ada dalilnya, itu ada dasar hukumnya. Apa
yang diperbuat ada teks nashnya yang sudah jelas, tanpa
menggali dengan mata dan telinga lebih sabar, dengan
kehalusan rasa yang mendalam. Ilmu sejati tidak diperhatikan.
Banyak praktek agama dan kehidupan yang bagi semua pihak
sudah didasari atas dalil yang menurutnya paling shohih.
Tetapi pada nyatanya, tidak sedikit yang kemudian bertengkar,
bahkan saling membunuh. Tidak peduli bahwa mereka adalah
tetangganya, saudaranya. Itu semua dirasakan sangat pas
menurut rasanya sendiri. Tidak perndah ditimbang dengan
rasa orang lain. Yang terjadi adalah kekacauan sosial,
kekacauan kemanusiaan.
Dus, para pelaku masturbasi sosial sebenarnya itu tidak
memiliki mata dan telinga. Apakah mereka terima jika disebut
demikian? Oh, tentu tidak akan menerima. Baginya mata dan
telinga adalah milik mereka yang sudah maksimal difungsikan.
Ikuti pemaparan bagian selanjutnya.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 36

#12
SUDAH BUTA, MEMVONIS BUTA
Maka, benar adanya. Mereka tidak terima jika dikatakan tak
punya mata dan telinga. Yang terjadi malah sebaliknya. Orang
yang mengingatkan, dihardik buta. Berikut kutipan bait 19
Pupuh III:
Ttp urip tanpa mata, matamu mata soca pring, matamu tanpa
paedah, matamu tan migunani, Kyai Guru mangsuli, muring-muring
asru muwus, Apa sira tan wikan, mring mataku loro iki
Terjemahannya: Kalian hidup tak memiliki mata! Matamu mata
batang bambu! Matamu tak bermanfaat! Matamu tak berguna!
Kyai Guru menjawab, marah-marah membentak keras, Apa
kamu buta! Tidak melihat jikalau kami punya mata!
Apakah benar, Gatholoco itu buta? Atau mereka yang
sebenarnya buta? Gatholoco membuktikan bahwa ucapannya
adalah benar adanya. Dia mengajukan beberapa pertanyaan
sepele, yang membuat para guru terdiam, tak mampu
membantahnya. Jika memang para guru itu memiliki mata, apa
memang benar-benar memiliki mata?
Gatholoco mengajukan sebuah soal, jika memang mata itu
miliki para guru, tentu mereka bisa mengendalikannya.
Bisakah para guru tertidur dengan satu mata? Satu terpejam,
satunya lagi berjaga, sehingga masih bisa mengawasi? Atau
menulikan satu telinga dan memfungsikan telinga satunya?
Apa bisa melakukan itu? Jika tidak, maka itu bukti yang kuat
bahwa mereka tidak benar-benar memiliki mata dan telinga,
tak memiliki sedikitpun kuasa atasnya.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 37

Dasar suka masturbasi, diingatkan tetap saja sibuk masturbasi.


Para guru tetap ngeyel, jika mereka sejak kecil tidak terpisah
dari wajahnya, artinya matanya sudah menempel. Sejak kecil
sudah ada, itu semua pemberian Allah. Wah, sebuah
pengakuan yang hebat, sudah bawa-bawa Allah segala.
Gatholoco tertawa, geli mendengar jawaban itu. Gatholoco
mengajukan sederetan pertanyaan. Jika itu pemberian Allah,
kapan diberi? Dimana diberinya? Apakah ada saksinya saat
pemberian itu? Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, para
guru bingung, dan keceplosan menjawab: ya dari bapak-ibu.
Meledaklah tawa Gatholoco. Orang tua mana ada yang bisa
membuat mata dan telinga? Bikinnya dari apa, bagaimana
membuatnya? Semakin jengkel saja, para guru diberi
pertanyaan macam-macam yang tidak diduga itu.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 38

#13
MALING
Para guru yakin, bahwa Allah lah yang telah memberi raga;
mata, telinga dan sebagainya. Beginilah tutur mereka:
Guru tiga nulya mojar, Allah Ingkang Maha Suci, ingkang karya
raganingwang. Gatholoco anauri, Prnah apa sireki, kalawan Kang
Maha Luhur, dene ta pinaringan, mata loro kanan-kering, tlu pisan
pinaringan grana lesan (27 Pupuh III)
Terjemahannya: Ketiga Guru lantas berkata, Allah Yang Maha
Suci, yang telah membuat raga kami, Gatholoco menyahuti,
Punya hubungan apa kalian, dengan Yang Maha Luhur?
Sehingga kalian diberikan, kedua bola mata kanan dan kiri,
yang ketiga bahkan diberikan hidung dan lesan.
Pertanyaan unik segera diajukan oleh Gatholoco. Jika memang
itu pemberian Allah, lantas apa hubungan mereka dengan
Allah, sehingga mereka diberi itu semua? Apa jawaban para
guru? karena doa-doa kami diterima. Jawaban yang benarbenar luar biasa. Diri merasa dekat dengan Allah, merasa
paling disayang, sehingga doa pujinya diterimakabulkan.
Mendengar jawaban ini, Gatholoco langsung membentak.
Klaim itu semua pada hakekatnya juga milik Allah. Lisan yang
membuat klaim itu juga milik Allah, mengapa berani berdalih
bahwa semua nikmat itu diberi Allah karena amal dan
doanya? Perilaku demikian, bagi Gatholoco adalah MALING
yang sebenarnya maling. Mencuri milik yang Maha Memiliki.
Banyak orang menjadi maling seperti ini, yang tak lain hanya
untuk memenuhi hasrat masturbasi religiusnya.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 39

Mulut, telinga, lisan, raga adalah pinjaman dari Allah. Jika


menggunakannya tidak sesuai KehendakNYA, dia telah
menyelewengkan, apalagi sampai mengakui kepemilikan dan
menggunakan sesuai hawa nafsunya. Kelak akan menjadi
pesakitan, dituntu mengembalikan. Padahal tidak pernah tahu
darimana asalnya, kemudian dihilangkan, disimpan di alam
gaib, dan kelak akan dihadirkan untuk menjadi saksi dalam
persidangan. Bagi Gatholoco, tindakan apapun dilumat
lembuat, diloco dengan keras, agar tidak sampai jatuh pada hal
yang salah. Sebab takut kelak menjadi pesakitan yang tak bisa
membuktikan kebenaran apapun.
Bagi sebagian pembaca, jawaban model Gatholoco ini seperti
jawaban orang gila. Semua tahu raga itu pemberian dari Allah,
tetapi kan nyatanya menjadi milik manusia. Maka semua
terserah manusianya mau menggunakan untuk apa. Gatholoco
hanya mengingatkan, bahwa itu semua ada pemilik yang
sebenarnya. Bahkan bukti sederhana yang menunjukkan
kepemilikan adalah pada mata, yang tak bisa diatur sesuai
kehendak manusia. Jangan sampai menjadi maling, mencuri
milik Allah. Itu mungkin masih lazim, tetapi jika mencuri kuasa
Allah? Mengklaim bahwa amalanya, doanya sudah pasti
diterima, sudah pasti masuk surga sebab amal perbuatan dan
ibadahnya. Seolah olah mereka pemilik surga dan neraka,
seenaknya mengatur siapa yang berhak masuk surga dan siapa
yang pantas di neraka. Bukankah itu mencuri KekuasaanNYA?
Bukankah seperti itu sama saja dengan membunuh Allah,
dalam pengertian meniadakan Allah sebagai Maha Kuasa?

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 40

#14
JAWA, TIDAK NJAWANI
Setelah berbagai debat antara Gatholoco dan tiga guru pada
pupuh pertama, sampai sebagian pupuh tiga ini,
perseteruannya tidak berhenti. Gatholoco merasa heran dengan
sikap para guru yang mudah marah, menghina, memvonis
keburukan pada Gatholoco. Sampai-sampai Gatholoco
meragukan asal para guru. Apakah kalian itu orang Asing?
Jika, sama-sama orang Jawa, mengapa kalian tidak Njawani
sama sekali?, begitu kira-kira pertanyaan yang diajukan.
Namun lebih lengkapnya dibaca pada bait ke-36 berikut:
Apa sira wong Benggala, Guru tiga anauri, Ingsun iki bangsa Jawa,
Muhammad agama-mami, Gatholoco nauri, Sira wong kapir satuhu,
Kristn agamanira, lamun sira bangsa Jawi, dene sira tan nbut Dewa
Bathara.
Terjemah: Apakah kalian orang Benggala (maksudnya India),
Ketiga Guru menjawab, Kami ini orang Jawa, (ajaran) Nabi
Muhammad agama kami! Gatholoco menjawab, Kalian
manusia Penentang/Kafir yang sesungguhnya, seperti halnya
orang Kristen! Jika memang kalian orang Jawa, mengapa tidak
menyebut (Nama Tuhan dengan sebutan) Dewa Bathara?
Pada bagian ini sampai bait 38, Gatholoco menggugat sifat dan
watak para guru yang katanya orang Jawa, tetapi memiliki
tabiat seperti para kolonialis (yang kebetulan saat itu beragama
Kristen). Tidak mengenal budaya Jawa sendiri, tidak memiliki
kearifan yang sebenarnya di Jawa juga diajarkan oleh para
leluhur.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 41

Bahwa setiap bangsa memiliki tradisi budi pekerti. Kedatangan


agama baru, apakah yang dibawa oleh orang Eropa, India
(Benggala), Arab dengan agama Hindu, Budha, Kristen dan
Islam bukan berarti kemudian menirukan kebiasaan mereka
yang sebenarnya juga tidak sesuai ajaran agamanya. Apakah
menghardik, menghina, memvonis seperti yang dilakukan oleh
para guru kepada Gatholoco diajarkan oleh agama-agama itu?
Tentu tidak.
Gatholoco mengingatkan bahwa di Jawa sudah ada agama
Budha, dalam pengertian adalah agama budhi pekerti (Budhi
Dhaya yang luhur), sejak dahulu kala. Maka agama apapun
bisa diterima orang Jawa sebagai penyempurna keluhuran
yang sudah dimiliki. Para guru mempraktekkan budi pekerti
yang melepas agama Islam itu sendiri dalam perilaku, jadinya
yang nampak seolah tradisi Arab, atau menghilangkan watak
Krsiten yang mengajarkan kasih sayang dan yang nampak
adalah nafsu Eropa menguasai dunia.
Inilah yang ditentang Gatholoco. Bahkan pada akhir bait yang
tersebut diatas, menggugat, mengapa tidak menyebut Tuhan
dengan Dewa Bathara?, atau dalam konteks ke kinian,
mengapa mereka yang menyebutnya dengan Tuhan, Gusti
Allah kemudian tidak dianggap Islam? Hanya karena sebutan
semata, padahal artinya tetaplah menyebut Tuhan itu sendiri.
Apakah tidak boleh menggunakan bahasa sendiri, bahasa ibu,
untuk memanggil Tuhannya sendiri?

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 42

#15
MBODO
Setelah disebut sebagai orang yang yang tidak Njawani, karena
mengaku orang Jawa tetapi tidak memiliki budi pekerti seperti
yang diajarkan dalam tatakrama Jawa, maka para guru
semakin marah. Kebiasaan menghina semakin menjadi-jadi.
Memang inilah ciri khas pelaku Masturbasi Religius. Selalu
merasa suci, dengan menghina orang lain, dengan memvonis
orang lain kotor dan sesat, mereka merasakan kenikmatan dan
kesucian dalam batinnya. Apa umptannya? Mari kita baca
dalam bait berikut:
Ketiga Guru begitu mendengarnya, keras membentak sembari
menuding, Gatholoco kamu gila! Gatholoco menjawab, Aku
memang gila, jika bertemu orang sepertimu, aku takut
ketularan, tidak memiliki mata dan telinga, pengetahuan kalian
hanya melulu berkisar tentang jakat pitrah (zakat fitrah) saja.
Tudingan gila sudah biasa diterima Gatholoco, bahkan sejak
awal berjumpa jauh lebih kasar dari itu juga sudah. Dengan
gaya sindiriannya, tidak mempunyai mata dan telinga seperti
lintah kembali dikemukakan oleh Gatholoco. Lalu disambung
dalam baitu berikutnya:
Kyai Guru tiga pisan, tyasnya runtik anauri, Nyata sira anak
JALANG, Gatholoco amangsuli, Iku bnr tan sisip, bapa biyung kaki
buyut, kabeh kna ing pjah, lamun wis tumkeng jangji, ykti mulih
mring asale padha ILANG.
Ketiga Guru semua, dengan hati panas menyahuti, Nyata kamu
anak JALANG! Gatholoco menjawab seenaknya, Ucapanmu
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 43

benar tidak keliru, bapak ibu kakek dan buyut-ku, semua


terkena mati, jika sudah sampai pada saatnya mati, pasti
pulang keasalnya semua meng-HILANG!
Terbiasa dihinia, membuat Gatholoco semakin cerdas dalam
menghadapinya. Tidak marah, tidak membalas dengan
kekasaran yang setimpal. Tetapi dengan cara dan kata-kata
yang tetap lembut, tetapi menusuk hati dan kesadaran. Jika
disebut gila, dia membalas dengan tak punya mata dan
telingan (seperti lintah). Dia tidak memilih kata Asu misalnya,
tetapi seperti lintah. Kata JALANG yang menunjukkan
kerendahan asal-usul, orang tua, dijawab dengan santai,
bahkan seolah kata JALANG didengar sebagai HILANG. Inilah
sikap membodoh ala Gatholoco, tetapi positif bagi Gatholoco,
dengan adanya makna baru dalam hinaan, mendorong pikiran
positif serta tetap mempu berargumen dengan benar, bahwa
semua manusia akan kembali ke asal, yakni HILANG. Ini
artinya, mengendalikan emosi menjadi energi positif.
Tetapi, apa itu akan bertahan lama? Sebab hardikan berikutnya
jauh lebih menukik, Gatholoco dihardik soal ibunya.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 44

#16
KESAKSIAN PALSU
Sungguh, para guru menghina Gatholoco lebih sadis. Jika
sebelumnya disebut anak jalang, atau pada awal-awal serat
disebut anak jin, maka kali ini hardikan yang juga umpatan
Turuk biyang. Maaf, turuk itu dalam bahasa Indonesia ya
Vagina. Kata itu memang untuk umpatan. Rupanya, kebiasaan
masturbasi religi semakin memperparah nafsu untuk mengina
orang lain. Sementara biyang ya pokok, asal, ya dari kata
biyung atau ibu. Jadi umpatan turuk biyang seperti
menyebut anak vagina. Duh, kotor sekali umpatan para guru
ini kepada Gatholoco.
Reaksi Gatholoco tetap saja mbodo. Sebutan itu seolah menjadi
nasehat baginya, bahwa memang dirinya terlahir dari
rahim/vagina bagi seorang ibu. Tetapi apakah demikian
nyatanya, Gatholoco tidak berani bersumpah. Mengapa, sebab
dia sendiri tidak mengetahui persis kejadian kelahirannya.
Pengetahuan umum, bahwa setiap manusia terlahir melalui itu.
Namun, seiring perkembangan teknologi kedokteran, tidak
demikian. Manusia yang lahir melalui operasi cesar, tentu tidak
bisa disebut demikian.
Lagi-lagi umpatan bagii Gatholoco dijadikan alat atau inspirasi
introspeksi, berhati-hati dalam bersikap. Para guru, bagi
Gatholoco terlalu gegabah. Mengumpat dengan menyebut asal
lahir dirinya. Padahal baru saja ketemu, menyaksikan peristiwa
lahirnya saja tidak, tetapi hanya berdasar pengetahuan umum
semata, padahal tidak pasti 100% demikian. Ibu atau bapaknya
Gatholoco adalah orang yang layak paling tahu proses
kelahiran dirinya, tetapi orang lain dengan mudah menilainya.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 45

Cara pandang demikian, juga terjadi di banyak hal. Seseorang


yang tidak mengetahui detail, hanya pengetahuan umum saja
atau gebyah uyah, padahal ada hal-hal khusus bisa terjadi
tetapi sudah berani memvonis seseorang. Apakah semua orang
Indonesia itu ramah? Kan tentu tidak. Kebiasan memvonis
semacam ini sebenarnya seperti memberi kesaksian palsu,
seperti gugatan Gatholoco berikut:
saikine sira bisa, nuduhake biyang-mami, wismane ana ngndi, lawan
sapa aranipun, amba-ciyute pira, duweke wong tuwa-mami, yen tau
wruh iku ujar amblasar.
Terjemahan: sekarang kalian (yang baru bertemu denganku
saat ini saja), telah berani menyatakan bahwa aku terlahir dari
vagina ibu, jika memang benar kalian tahu pasti, dimanakah
rumah ibu-Ku, lantas siapakah namanya, serta seberapa
ukuran, milik (vagina) ibu-Ku? Jika tidak bisa menjawab nyata
kalian telah bersaksi palsu!

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 46

#17
SIAPA AKU?
Para guru yang menghina Gatholoco dengan sebutan Turuk
biyang menandakan bahwa mereka menilai Gatholoco sebagai
wujud Gatholoco yang dilihat saja. Hakikat Gatholoco juga
hanya dipandang demikian. Dengan kata lain, Gatholoco yang
kelihatan jelek dinilai jelek semuanya, padahal setiap manusia
memiliki unsur Ilahi dalam dirinya. Ada Ruh yang sebenarnya
merupakan pancaran Ilahi. Maka Gatholoco menjelaskan jika
pandangan demikian adalah keliru.
wujude Ingsun saiki, mujud dhewe tanpa lawan, Allah ora karya
mami, anane raga-mami, gaweyanira Hyang Agung, duk aneng alam
dunya, ana satngahing bumi, lawan sira kala karya raganira.
Terjemah: (Ketahuilah) bahwa, wujud-KU ini, berwujud
dengan sendirinya dan tanpa tandingan, Allah tidak
menciptakan-KU, namun ragaku ini, ciptaan Allah di dunia,
ada ditengah bumi, seperti halnya mencipta raga kalian.
Jawaban Gatholoco ini adalah pandangan, bahwa setiap diri
manusia ada unsur alam dan Ilahi. Badan Gatholoco bisa rusak,
tetapi AKU abadi, sebagai tempat mengabdi untuk segala sifat,
baik dan buruk, menghidupi segalanya dalam kesatuan. AKU
adalah Allah, ya Muhammad. Pandangan ini adalah
memfokuskan pada sejatinya HIDUP, yang sejatinya
menghidupi manusia, sejatinya tempat yang dituju oleh
manusia dengan sifat baik dan buruk. AKU juga ada dalam diri
Muhammad, ada dalam diri setiap manusia, meski penciptaan
raganya bisa berbeda-beda.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 47

Para guru mengkritik pandangan Kesatuan seperti itu. Apa


kuasa Gatholoco berani mengaku demikian? Gatoloc
menjawab, bahwa menyadari wujud di dunia, mati, ada dan
sirna, semua terjadi karena Ijin-NYA, Kehendak-NYA.
Gatholoco tidak memiliki apa-apa. Wujud raga adalah wujud
(adanya) HIDUP, untuk bisa mengenal Tuhan, bertindak atas
Kehendak-NYA,
ucapan,
penglihatan,
penciuman,
pendengaran pada hakekatnya adalah milik-NYA.
Tegas Gatholoco, aku ini buka apa-apa, tak memiliki apa-apa,
kecuali mung pangrasa duwek-mami (hanya rasa memiliki saja),
itupun jika atas kasih sayang-NYA. Andai saja tidak
mendapatkannya, maka yang dimiliki adalah sepi, dan sepi itu
kosong, tak ada apa-apa, seperti saat belum ada (wujud), tetap
kosong, tidak tahu apa-apa.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 48

#18
TAKDIR
Di saat Gatholoco menjelaskan bahwa AKU yang sejati abadi,
tak pernah rusak, para guru memprotes. Seolah Gatholoco
mengklaim bahwa dirinya menyatu (jazad/jisim) dengan
Tuhan. Bagi Gatholoco, dalam diri manusia ada AKU yang tak
bisa rusak karena kematian. Lalu, para guru menduga lagi,
kalau begitu, engkau tahu takdir?. Gatholocopun
menjawab:Wruh pisan psthine mring raganingwang
(bahkan aku tahu takdirku sendiri). Dilanjutkan dalam bait
berikut:
Ingsun psthi awakingwang, wayah iki dina iki, jjagongan lawan
sira, mngko gawe psthi maning, kang durung den lakoni, kanggone
mngko lan besuk, supaya aja salah, dadi ora kurang luwih, lamun
salah ngrusak buku sastra angka
Terjemahan: Telah aku tetapkan sendiri, pada saat ini hari ini,
duduk bertemu dengan kalian semua, nanti aku akan membuat
takdir lagi, yang belum terjadi, untuk hari esok dan kelak,
harus hati-hati dalam membuatnya, sehingga tidak kurang dan
tidak lebih, jika salah (tidak hati-hati) bisa merusak kitab sastra
angka.
Takdir yang dijelaskan Gatholoco adalah kejadian yang ada
dalam kendali manusia. Bahwa saya saat ini sedang menulis
adalah takdir yang saya buat. Kemudian nanti minum kopi dan
merokok adalah takdi-takdir berikutnya. Dan akibat dari
perbuatan (takdir-takdir) yang saya buat saat ini bisa
mempengaruhi takdir (kejadian) esok hari atau kelak kemudian
hari. Artinya takdir yang demikian adalah sebab akibat. Jika
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 49

tidak hati-hati, maka perhitungan atas sebab akibat bisa rusak,


tidak tercapai apa yang dikendaki. Inilah yang dimaksud oleh
Gatholoco, mengenai takdir yang demikian.
Namun ia tetap percaya bahwa masih ada takdir (kondisi,
kejadian) dimana manusia tidak mampu mengendalikannya.
Itulah takdir (kepastian) dari Hyang Widhi.Manusia tidak
mudah membuat takdir yang mampu melampaui batas
dualitas (senan-susah), membuat takdir yang benar-benar
seimbang (lahir-batin). Oleh karena itu bagi Gatholoco, dalam
membuat takdir (bertindak) harus dalam keadaan pikiran
bahagia (positif), dengan kekuatan ini diharapkan akan mampu
melampaui batas dualitas itu sendiri. Apapun hasilnya (akibat)
dari takdir yang dibuat hari ini, di esok atau kelak hari tetap
akan diterima dan mampu membuat takdir-takdir baru yang
akan diseimbangkan dengan mudah nanti.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 50

#19
SETAN SEBAGAI ASAL MANUSIA
Penjelasan Gatholoco soal takdir yang demikian gamblang,
tidak menyadarkan akan kebenaran pendapat Gatholoco.
Bahwa takdir manusia itu ada yang memang dibuat sendiri
oleh manusia, namun ada yang memang menjadi urusan
Hyang Widhi. Hukum sebab-akibat adalah jenis takdir yang
hendaknya dijadikan patokan berhati-hati bersikap. Dasar suka
Masturbasi Religius, merasa sok suci, maka para guru tetap saja
menghardik Gatholoco. Kalah berdebat, tetap saja menyerang
dengan segala cara.
Dasar anak setan, demikian hardiknya (Guru tiga sarng
ngucap, Gatholoco sira iki, nyata kasurupan setan). Dihardik
demikian, tidak membuat Gatholoco marah, tetapi sebaliknya
dia menjawab dengan filosofis. Begini kira-kira jawabannya:
Memang benar asalku dari setan. Sebelum aku terlahir ke
dunia, bahkan sampai aku hidup di dunia ini, setanku belum
terpisah dari ragaku. Kata setan, dimaknai Gatholoco adalah
sesuatu yang putih, karena berasal dari kata seta yang
berarti putih. Apa itu? Ya, Sperma. Semua manusia
membawa setan, artinya dia lahir karena ada unsur sperma
dari ayah. Gatholoco yang laki-laki dia juga membawa sperma.
Pemahaman kata setan seperti ini agak berlainan, ketika
orang memahami warna putih sebagai bersih. Namun, ketika
manusia masih membawa unsur yang putih itu sebenarnya
dia membawa unsur setan.
Jawaban Gatholoco semacam itu, menunjukkan betapa
tenangnya dia ketika dihardik. Bahkan tudingan-tudingan yang
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 51

diarahkan menjadi sesuatu yang bermakna baru, menjadi


inspirasi lain. Umpatan, hardikan yang bisa menusuk hati,
dirubah menjadi kekuatan inspiratif bagi dirinya. Kata setan
yang kemudian diarahkan pada makna sperma, menjadi sudut
pandang penting dalam hal ini. Artinya, setiap manusia
sebenarnya punya peluang sama, membawa setan dalam
hidupnya.
Gatholoco membalas kepada para guru. Jika dirinya adalah
anak setan, dengan karma putih (sperma putih), maka
Gatholoco menyebut para guru membawa karma hitam
(sperma hitam). Sperma putih disebut setan, sperma hitam
seolah bukan setan, padahal dia adalah kegelapan. Manusia
lumrah, berasal sperma putih, dengan membawa potensi setan
saja dihardik para guru, seolah-olah para guru bukan berasal
dari sperma putih, tetapi dari sperma hitam. Merasa luar biasa,
padahal itu berbahaya. Inilah yang disebut Gatholoco Kama
Irng ingkang dadi, dene buntt tanpa nalar, benih hitam,
makanya bodoh tanpa nalar. Sok suci, tetapi sebenarnya
goblok.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 52

#20
PERUSAK AGAMA
Para guru benar-benar marah menghadapi Gatholoco yang
slengekan, melencengkan pembicaraan. Disebut JALANG
ditanggapi soal HILANG (nyawa/mati), dihardik turuk
biyang, menjawab dengan filsafat kelahiran, dihina kesurupan
SETAN, dimaknai sebagai SPERMA (setan, dari seta=putih).
Mereka menyebut Gatholoco sebagai perusak agama. Jawaban
Gatholoco lagi-lagi bikin jengkel. Malah menantang. Jika ingin
membunuh, bunuh saja aku, tusuk jazadku, rusak bangkaiku,
nanti kalian akan puas. Kalian bisa benar-benar mendapat
kepuasan.
Bagi Gatholoco, dirinya bukanlah perusak agama. Baginya,
adalah keselarasan antara lahir dan bathin, sambungnya rasa
batin dan lahir. Apapun agamanya, jika bisa mencapai
demikian, bisa diterima. Itulah yang disebut agama rasa, agama
suci Gatholoco. Agama rasa adalah:
nuruti rasaning ati, rasaning badan lan lesan, iku kabeh sun-turuti,
rasaning lgi gurih, pdhs asin spt kcut, pait gtir sadaya
(Menuruti/memperhatikan semua rasa di hati, rasa badan, rasa
lesan, semuanya, gurih, manus, pedas, kecut, sepet, pahit, getir
dan sebagainya).
Semua sangat dipehartikan. Gatholoco
guru yang sebenarnya justru merusak
Gatholoco menyebutnya hanya sampai
makanan, tidak dirasakan makanannya,
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

mengkritik, perilaku
agama/sariat/sarak.
di lisan, andai saja
langsung ke anus
Page 53

(yn mangan lbokkn silit). Jika hanya demikian, maka iku


ttp janma kang ngrusak ing sarak. Dengan kata lain, banyak
dalil hanya sampai pada lisan, penghiasa bibir, mempercantik
lisan pendakwah, tetapi tidak sampai merasuk di rasa, ibarat
seperti orang makan, dari mulut langsung ke anus, terbuang.
Itulah perilaku sebenarnya yang dapat merusak agama/sariat.
Dan ditandakan lagi: patut sira tanpa budi | basa makna iku laras
| sun laras ing tgsnki | nusul laras kang spi | mila sira dadya
kumprung
Layak kalian tidak punyai budi pekerti, sebab cara beragamu
demikian, tidak selaras antara lahir dan batin. Bagi Gatholoco,
menelusuri agama sampai ke rasa, sampai ke rasa yang sunyi
adalah usaha untuk menjaga agama itu sendiri.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 54

#21
SETAN BERWUJUD MANUSIA
Para guru mengakhiri debatnya. Mereka sakit hati, karena
jawaban Gatholoco yang dipandang ngawur, namun
sebenarnya mengandung kebenaran. Mereka bersumpah untuk
tidak mau bertemu dengan orang model Gatholoco. Sementara
Gatholoco merasa prihatin, meski dalam hatinya ia merasa
menang berdebat. Melihat kenyataan bahwa para guru yang
sebelumnya dianggap memiliki wawasan luas, ilmu agama
mendalam, namun dalam prakteknya sangat mudah memvonis
orang lain, menghardik orang lain. Tidak ada budi pekerti
dalam ucapannya maupun tindakannya. Ia bergumam:
Lamun wulange manusa, msthine pada mangrti, mring duga
lawan prayoga, aywa karm karya srik, mulane kudu eling, eling
marang Ingkang Asung, asung urip kamulyan, upayann den
kapanggih, yen pinanggih padhang trang sagung nalar
Terjemahan: Andai, mereka benar-benar manusia, pastilah akan
memahami, akan baik dan buruk, tidak suka gampang
menghakimi sesama, oleh karenanya harus ingat kepada yang
Maha Pemberi, yang memberikan kemuliaan hidup, carilah
(Dia) hingga ketemu, jika telah ketemu akan terang benerang
kesadaran ini.
Gatholoco berkseimpulan, jika seseorang mengajarkan ilmu
tanpa disertai budi pekerti, maka ia sebenarnya adalah setan
yang berwujud manusia. Manusia yang sadar akan baik-buruk,
sebenarnya ia menempuh jalan terang, itu juga berarti dia
hidup yang sebenarnya. Manusia sejati ialah mereka yang
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 55

unggul, mampu melampaui dualitas (realitas duniawi), tidak


seperti para guru itu yang buruk budi pekertinya.
Siapapun mereka yang sudah mencapai terang, ia tidak akan
mudah bermasturbasi religius, tidak mudah mencari kepuasan
diri karena keunggulan ilmunya dan merendahkan orang (yang
nampak) bodoh lainnya. Hanya setan-setan yang berwujud
manusialah yang suka melakukan Gatholoco (masturbasi)
semaca itu.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 56

#22
TUHAN YANG PEMARAH ATAU RAMAH?
Para guru, sakit hati, merasa kalah berdebat. Kemudian
menghadap kepada Kyai Kasan Besari. Singkat cerita,
Gatholoco bersedia menghadap Kyai Kaji (Kasan Besari). Kyai
Kasan Besar merasa mampu menghadapi Gatholoco, dibanding
para guru lainnya, karena merasa menguasai berbagai ilmu,
termasuk ilmu Jawa. Dialog sudah memasuki persoalan
keselamatan, surga dan neraka. Kyai Kasan Besari menuturkan
bahwa jiwa manusia muslim yang menuruti perintah Kanjeng
Nabi, seperti shalat, zakat, puasa dan lainnya akan diterima
oleh Hyang Widhi, masuk surga. Sementara yang tidak mau
mengikuti panutan (Kanjeng Nabi), maka dia menjadi MUSUH
TUHAN, kafir, masuk neraka.
Sampai pada penjelasan ini, Gatholoco segera menyergah, dan
berucap, Gatholoco asru muwus, dene Ingkang Kuwasa, nganggo
nyatru marang wong kapir sadarum, lamun sira tan pracaya, maring
kudrating Hyang Widdhi. Jika pemikiran Kyai Guru demikian,
itu berarti konyol. Untuk apa Tuhan memusuhi orang kafir, itu
berarti tidak percaya kepada Kuasa Tuhan. Gatholoco
melanjutkan, kamulah sesungguhnya yang menghina Tuhan!
Membagi-bagi manusia menjadi umat Nabi (dan yang bukan
umat Nabi), adanya sebutan kafir itu, siapa yang membuat?
Lantas pula siapa yang menciptakan mereka, yang memberikan
kemuliaan dan celaka, tiada lain juga Hyang Maha Suci. Jikalau
Tuhan mempunyai musuh yang disebut kafir yang katanya
murtad kepadaNYA, sebaiknya Dia tidak usah menciptakan,
dan mentitahkan (orang kafir) hidup di dunia, sehingga Tuhan
tidak repot-repot mempunyai musuh yang membuat Dia

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 57

marah-marah, jikalau memang demikian Allah-mu, tidak


mempunyai Budi (Buddhi :Kesadaran)!.
Membagi-bagi, dengan vonis kafir, musuh dengan orang Islam,
hanya pekerjaan sia-sia, yang mengadu domba. Sedangkan
Tuhan yang diyakini dalam konsepsi Gatholoco tidak
demikian, semua manusia diberi pilihan bebas memeluk
agama, Tuhan yang bijaksana, tidak mudah marah-marah.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 58

#23
MALING DUNIA DAN AKHIRAT
Penegasan Kyai Kasan Besari, bahwa semua jiwa orang muslim
akan masuk surga,, sementara yang kafir masuk neraka.
Pernyataan ini dipertanyakan oleh Gatholoco, dari mana
dasarnya pernyataan itu? Apa melihat sendiri? Apa pernah
mati, menyaksikan isi neraka dan surga? Kyai Kasan
menjawab, itu semua berasal dari kitab suci yang dipelajari.
Mendengar jawaban ini, Gatholoco ketawa, dan berkata, sira
santri kparat, ngandl marang daluwang mangsi bukumu, nurun
bukune wong sabrang, dudu tinggalan naluri. (Terjemahan: kamu
ini santri keparat, percaya kok sama isi buku, njiplak bukunya
orang asing, bukan buku/kitab naluri sendiri).
Kitab berbahasa Arab, tidak mengkaji kitab yang sesungguhnya
(kitab diri/nurani). Wawasannu itu semua kamu peroleh dari
kitab sembarangan, hingga dangkal. Padahal kamu yakin
berbekal wawasanmu itu kamu kelak, mati akan
menghaturkannya kepada Gusti Allah, yakni yang
memilikinya.Apa seperti itu akan diterima Allah? Sebab
segalanya adalah milikNYA, seluruh pujian manusia, ucapan,
dzikir, semuanya milik Hyang Agung, tetapi kamu akan
mengembalikannya? Apa itu justru tidak berdosa?
Kyai Kasan marah mendengar ulasan Gatholoco ini. Kamu
menghina kitab Rasul, demikian bentaknya. Gatholoco
menjawab, memang aku sudah sering menghina. Tetapi
camkan baik-baik, setelah kamu membaca apa yang
berbunyi/tertulis di kitab dari kertas, maka wujudkan dalam
dirimu, rasakan dan hayati ayatnya yang sudah kau pelajari.
Harusnya itulah yang kamu perhatikan. Bukan teks kitab suci
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 59

yang selalu kamu jadikan rujukan, harusnya amalmu sendiri


yang melekat dalam diri itulah yang menjadi ayat pada dirimu
sendiri. Tentu kamu akan salah lagi, jika tidak demikian, sebab
kelak setelah mati, kamu akan membawa yang kamu cintai.
Jika hanya bunyi tulisan ayat yang kamu cintai, maka hanya itu
yang engkau bawa. Lantas apakah Tuhan akan menerima itu?
Manusia sering melupakan kitab (ayat-ayat) yang ada dalam
dirinya. Mencari kebenaran, nasehat dan pelajaran tidak mau
memperhatikan apa yang sudah ada dalam dirinya. Ini
diperparah dengan pengakuan-pengakuan bahwa amal yang
dilakukan kelak di kemudian hari adalah miliknya (akibat
hanya memahami teks semata). Kitab yang ada dalam diri
manusia pada hakekatnya adalah milikNYA, Hyang Agung.
Dengan demikian, tidak ada milik yang bisa dihaturkan kelak.
Jika menyadari akan kitab diri, manusia akan menemukan
bahwa dirinya, hidup di dunia ini hanyalah tinggal memakai,
tidak memiliki apapun.
Gatholoco
menyebut
manusia
yang
mengaku-ngaku
kepemilikan ini adalah sebagai maling dunia dan maling
akhirat, yen mangkono sira kuwe, ora ngamungna neng dunya,
olehmu dadi bangsat, aneng akherat dadi pandung, anggawa dudu
duweknya.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 60

#24
MENYEMBAH WAKTU
(Pupuh V, bait 4-7)
Benarkah orang yang rajin shalat itu pasti menyembah Allah?
Tulisan berikut adalah ulasan Gatholoco yang menerangkan,
yang terjadi tidak demikian adanya. Berikut saya kutip:
Tanpa gawe jungkar-jungkir, nmbah salat madhep keblat, clumakclumik kumcape, angapalake alip lam, tgse iku lapal, angawruhana
asalmu, urip prapteng kailangan
Terjemah: Engkau jungkir balik, menyembah, shalat
menghadap kiblat, umak-umik membaca doa, membaca ayatayat suci, tak akan ada gunanya, sebab itu hanya lafal, hanya
kalimat. Harusnya melalui shalat, engkau berusaha mengetahui
asalmu, jika tidak demikian hidupnya tak akan dapat apa-apa,
kehilangan segalanya.
Orang sangat rajin shalat, magrib, subuh, duhur, asar dan isya.
Bahkan setiap masuk waktunya, selalu mendahulukan shalat,
bersegera menjalankannya. Tetapi ya hanya sebatas itu, sebatas
mematuhi waktu saja. Jika pemahamannya hanya demikian,
maka itu jelas salah pemahaman. Orang sangat mematuhi
waktunya, tetapi lalai mencari yang disembah. Padahal, semua
manusia diberi rasa, ibarat hidung yang mampu mencium
berbagai bau. Hanya mengejar target waktu dan jumlah.
Jadinya sepeti yang disampaikan Gatholoco:
mung mangeran marang wayah, tan mangeran Ingkang Gawe,
lamun bngi sarta awan, pijr ktungkul wayah, ora mikir mring
awakmu, hanya bertuhan waktu, tidak menyembah yang
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 61

membuat waktu, siang dan malam hanya sibuk dengan waktuwaktu shalat semata, tidak meneliti diri, tidak berusaha
memahami darimana asal diri. Bukankah dalam gerakan shalat
diajarkan untuk sujud, rukuk, berdiri dan duduk. Apakah
hanya untuk demikian saja? Apakah seumur hidup pada
akhirnya mengejar waktu?
Tuhan, yang menciptakan manusia sudah membekali setiap
manusia ada rasa wadag, ya itu rasul (utusan), cahaya hidup
(ruh kehidupan), demikian pula gerak hati, ya Muhammad.
Tiga perkara itu ada pada setiap manusia. Apakah tidak cukup
modal itu? Manusia hanya punya merasa saja. Merasa ini,
merasa itu, merasa memiliki ini, merasa memiliki itu. Melalui
shalat, harusnya menyadarkan manusia untuk mengembalikan
yang bukan miliknya kepada Pemilik sesungguhnya.
Mendengar uraian demikian, Kyai Kasan membanting kethu
(kopyahnya) dan marah, serta bertanya: kemana aku
mengembalikannya? Bagaimana aku mengembalikannya?
Gatholoco tertawa. Katanya ilmunya sundul langit, kitabnya
segudang, menguasai banyak ilmu, bahkan ilmu jawa.
Mengapa yang demikian saja masih bertanya? Apakah tidak
punya mata?

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 62

#25
ARTI LIMA WAKTU SHALAT
(Pupuh V, bait 14-30)
Setelah kritik Gatholoco terhadap Kyai Kasan soal terjebaknya
orang Islam menjalankan shalat lima waktu, yang berujung
hanya taat pada waktu, menyembah waktu tanpa mengerti dan
mengenal yang disembah, selanjutnya Gatholoco juga
mengkritik pemahaman yang salah soal makna lima waktu
(shalat wajib). Pemahaman tentang sejarah atau rahasia 5
waktu shalat yang sering diasosiasikan dengan para nabi,
dimana shalat subuh dengan nabi Adam, Dhuhur nabi Ibrahim,
Ashar nabi Yunus, Magrib nabi Isa, dan isya nabi Musa.
Gatholoco mengajukan alasannya: Sira iku santri blasar, mangka
Nabi Muhammad, ttela Nabi Panutup, tunggule nabi sadaya,
(terjemah: Nabi Muhammad itu jelas nabi penutup, puncaknya
para nabi), bagaimana sariatnya hanya sekedar mengulang
sejarah nabi-nabi sebelumnya? Bukankah jumlah nabi/rasul
juga lebih dari lima, mengapa yang lain tidak dijadikan dasar
sariat? Jika hanya semata-mata karena sejarah, lantas buat apa
shalat menjadi ibadah utama sebagai penyelamat manusia di
dunia dan akherat?
Gatholoco kemudian menguraikan, bahwa yang dimaksud
shoalat subuh itu shalatnya nabi Adam, adalah ketahuilah
bahwa di saat subuh, saat dunia ini gelap keadaannya tidak ada
(adam), kosong, maka nabi Muhammad memerintahkan shalat
subuh untuk mencari DIA yang ADA (lawan dari Adam).
Usaha untuk mencari DIA yang Maha Kuasa, untuk
mendapatkan penerang, kesadaran, keluhuran diri. Maka di
saat terik matahari yang menggodok manusia, susah-senang.
Itulah shalat dhuhur (luhur), mencari Hyang Maha Luhur,
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 63

untuk berusaha mencapai keluhuruan pribadi. Seiring


turunnya surya, seiring dengan perkembangan manusia mulai
meredup. Begitulah kehidupan, ada kadang di atas (puncak
kejayaan), kadang di bawah (rendah, hina), itulah sejatinya
mengingatkan waktu ashar (asor) manusia. Shala di waktu
ashar adalah menjaga spirit manusia berusaha melampaui
rintangan yang menghambat, menyadari kehinaan untuk tetap
berusaha mencapai keluhuruan, terang benderang jiwa.
Waktu masih berlanjut, kehidupan memasuki waktu surup,
terbenam matahari, manusia diperintah shalat, agar terus
berusaha mengetahui (sumurup) akan Hyang Maha Luhur,
demikian pula tujuan utama manusia untuk tetap mencari
penerangan jiwa yang sejati. Pada akhirnya manusia dan
hidupnya
sampai
pada
ujungnya,
gelap
kembali,
membingungkan. Kanjeng Nabi memerintahkan untuk shalat,
untuk menangisi nasib diri di saat akhir gelap kehidupan.
Nangisa, menangislah, itulah waktu shalat isya, melalui
proses menangis yang sungguh, memasuki relung jiwa yang
gelap dan dalam, manusia tetap harus mencari cahaya
kehidupan cahaya bulan (yang menerangi malam). Bulan
adalah sasih, maka cahaya kasih itulah yang dicari. Shalat pada
akhirnya menerbitkan bulan purnama dalam jiwa, rasa kasih
sayang dalam diri pribadi. Mendengar uraiang Gatholoco
seperti itu, Kyai Kasan heran dan bertanya, dari mana
penjelasan seperti itu?, apa kamu ngarang?, Gatholoco
menjawab, kitab BARUL KALBI, artinya samudra hati.
Penjelasan itu bersumber dari keluasan hati yang menyamudra,
tanpa batas. Lantas Kyai Kasan bertanya, apa kamu
menjalankan shalat?, Gatholoco menjawab halus: smbahyang
langgng tan pgat, (sembahyangku kekal tanpa putus).

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 64

#26
SHALAT TERUS, TANPA PUTUS
(Pupuh V, bait 30-35)
Ketika Gatholoco menjawab bahwa shalatnya sembahyang
langgeng tan pegat, bukan berarti dia meninggalkan sariat
shalat lima waktu. Pada tulisan #24&25 Gatholoco mengkritik
sikap para santri yang sudah merasa menyembah Tuhan
melalui rutinitas shalat lima waktu, yang dipatuhi hanya waktu
saja, padahal mengenai waktu juga hanya sebentar (kira-kira 5
menit), sisanya dianggap tidak shalat. Dengan kata lain, waktu
yang lebih banyak tidak menyembah Hyang Luhur. Itulah
kritik sebenarnya Gatholoco kepada Kyai Kasan. Lupa pada
tujuan mengenal Hyang Luhur, lupa pada waktu yang berjalan
dari subuh sampai malam hari, yang kesemuanya adalah
tanda-tanda untuk selalu mengingat kepada Hyang Luhur.
Maka, Gatholoco menerangkan sembahyangnya yang tanpa
putus:
Sujud-mami sujud eling, keblatku tngahing jagad, barng napasku
sujude, napasku mtu mbun-mbunan, salatku mring Pangeran, mtu
saking utkingsung, smbahyangku mring Hyang Suksma
Terjemah: sujudku adalah kesadaran, kibaltku/fokusku adalah
pusat jagad, aku bersujud berbarengan dengan nafasku yang
keluar dari ubun-ubun, shalatku kepada Tuhan keluar dari
otakku, sembahyangku kepada Hyang Sukma.
Penjelasan ini dapat dijabarkan demikian, bahwa kesadaran
kepada Yang Maha Hidup adalah wujud dari sembahyang,
mengikuti, taat dan patuh pada Dzat Hidup Sejati, Dia juga
sebagai fokus utamanya. Gerakan bersujud (atau gerakan
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 65

lainnya) adalah bentuk dari ketundukan kepadaNYA, dalam


setiap napas, saat demi saat, detik demi detik. Shalat,
menyembah kepada Hyang Maha Hidup adalah puncak dari
usaha keras (melalui olah daya fisik, batin dan pikir), yang
kesemuanya tetap terkendali dalam kesadaran.
Gatholoco hendak menegaskan bahwa, waktu shalat,
sembahyang tidak dibatasi, meski ada saat-saat tertentu dengan
nama tertentu. Ketika bekerja, makan, bermain dan sebagainya,
hendaknya kesadaran mengikuti dan tunduk (bersujud)
kepada Hyang Maha Hidup itulah shalat tanpa putus.
Kesadaran akan Hyang Maha Hidup akan mendorong
seseorang untuk terus bisa hidup dengan kesadaran sejati,
mampu menghidupkan sekitarnya. Lebih lanjut Gatholoco
mengatakan:
Ingkang mtu lesan-mami, smbahyang mring Rasulullah, kang
mtu irungku kiye, ingkang Dzat pratandhanira, iku taline gsang,
kabeh saking napasingsun, sbutku Allahu Allah
Jadi, yang keluar, berbagai aktivitas akibatnya adalah ucapanucapan yang terpuji, memuji, mengikuti Rasulullah, mengikuti
nurani yang lurus. Yang keluar dari hidung, nafas adalah
pertanda adanya hidup, itulah pengikat hidup, tanpanya
semua mati. Aktivitas yang tidak mengikuti rasa sejati (rasul),
maka sebenarnya adalah kematian. Sebaliknya yang mengikuti
rasul (rasa sejati) dia secara otomatis, wiridnya adalah Allah,
Allah.
Shalat yang tanpa putus, dengan singkat dapat dikatakan
adalah hidup yang bermanfaat, ucapannya, perilakunya adalah
terpuji, mengikuti Rasulullah Muhammad, yang memang
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 66

terpuji, sebelum adanya langit dan bintang, bahkan sampai


kelak. Gatholoco ingin mengembalikan bahwa shalat itu adalah
ibadah yang total dan utuh. Tidak diputus-putus oleh waktu
dan ruang. Ketika waktu shalat, seseorang bisa khusu, namun
di saat tidak shalat kelakuannya kembali busuk. Ketika di
ruang shalat (masjid atau langgar) demikian tunduk, tetapi
keluar darinya suka kasak-kusuk dan hati hasud.
Inilah poinnya, Gatholoco mengkritik pada santri yang merasa
sudah shalat sempurna, tetapi ucapan dan perilakunya masih
suka menghina, tidak menghargai hidup lainnya, tidak
berguna. Jika demikian, mereka adalah sedang ngGatholoco,
masturbasi, mencari puas dengan shalat yang sudah dilakukan.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 67

#27
PIDATO GATHOLOCO
(Pupuh V, bait 36-46)
Berikut ini adalah babak akhir perdebatan Kyai Besari dengan
Gatholoco. Sanggahan Gatholoco tentang shalat telah
membungkam kesombongan Kyai Kasan. Akhirnya Kyai Besari
menyerah, dan berkata: Sakala Kasan Bsari, sidhakep kendl
kewala, puwara alon wuwuse, wus dadi prastyaningwang, kalamun
bantah kalah, kabeh iki darbekingsun, sira wajib mengkonana.
Terjemah: Seketika Kyai Besari, bersedekap, diam, terdengar
suaranya lirih, sudah menjadi janjiku, jika aku kalah berdebat,
maka semua ini (milik Kyai Besari), kamu (Gatholoco) wajib
memilikinya (mengelolanya). Kyai Besari rela lahir batin,
mushola dan perabotannya, semua santrinya yang memang
mau berguru kepada Gatholoco dipersilakan. Ia meminta
Gatholoco mengajari ajaran yang utama. Kemudian, Kyai
Besari pergi, mengembara, sedih, terlunta-lunta, malu, namun
ia menyadari memang itulah suratan takdirnya.
Gatholoco ditinggali 300 santri. Mereka duduk bersila
menghadapnya. Kemudian, ia berpidato:
Wahai saudaraku semua, apabila dirimu ingin mendapat
ketentraman, ingat-ingatlah kata-kataku, jangan meniru
tingkah laku gurumu (Kyai Hassan Bashori), sewenangwenang kepada sesama. Tingkah yang demikian tidaklah patut,
menghina sesama manusia, seluruh umat itu sama, pintar
bodoh, tampan buruk, yang beruntung dan yang sengsara, kuli,
petani, priyayi, lelaki maupun perempuan tiada beda. Sudah
menjadi ketetapan Hyang Widdhi, tak bisa dirubah, takdir dari
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 68

setiap makhluk, oleh karenanya terimalah, jangan terus merasa


tidak puas, hidup ini pasti bakal mati, hidup didunia selalu
ingat. Jangan riya (Suka pamer) dan takabbur, senantiasa
menganggap diri yang paling unggul, suka mencampuri
urusan orang, suka sirik (hasud) dan gampang tersinggung,
suka berbohong dan memfitnah, jahil suka selintutan dan
gampang mengingini milik orang lain, suka menipu baik secara
kasar maupun halus, seenaknya dan suka bertengkar. Jangan
sesekali berlebihan, angkuh dan suka menuruti keinginan
badani, jangan suka banyak makan dan banyak tidur, jalanilah
secukupnya, sabarlah dan tawakallah, yang ramah dan jangan
jadi pemarah, hargailah sesama manusia. Jangan membuat
sakit hati, jangan membuat kecewa, jangan suka menakutnakuti dan mengagetkan, semua itu najis dan haram yang
sesungguhnya! Itulah sesungguhnya yang disebut memakai
pakaian dan memakan makanan sah (halal), dan itu pula jalan
yang harus ditempuh oleh pelaku spiritual, tidak bisa dibuat
sembarangan.
Sungguh indah pidatonya. Apakah anda pernah menemukan
pidato yang mirip demikian?

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 69

#28
GELAP DAN TERANG
(Pupuh VI, 3-5)
Setelah para santri merelakan dirinya di ajar oleh Gatholoco,
maka Gatholoco meminta mereka jua rela menganggap dirinya
sebagai bapaknya. Kemudian Gatholoco mengajukan beberapa
teka-teki yang perlu direnungkan dan untuk dicari jawabannya
bagi masing-masing santri. Berikut ini adalah teka-teki yang
diajukan:
(1) Lamun bngi ana apa (jika malam gelap ada apa?), (2) Yen awan
ingkang ngbki, (jika siang yang meliputi), (3) Apa ingkang ora
nana, (apa yang tidak ada) (4) Satuhune iya ndi (sesungguhnya
dimana yang tidak ada itu?
Teka-teki yang diajukan ini adalah sebuah dorongan kepada
santri untuk mencari segala apa yang ada dibalik dari yang
tampak. Jika, keadaan gelap, apakah benar-benar tidak ada
segala sesuatunya? Atau ada sesuatu? Jikapun dalam keadaan
terang benderan, apakah ada sesuatu yang sebenarnya
menutupi terang benderang itu? Sesuatu itu sebenarnya ADA,
namun dalam kelihatannya justru nampak tidak ada. Jika gelap
gulita menjadi tidak bisa melihat apa-apa, padahal banyak
sesuatu yang ada. Demikian sebaliknya, jika terang benderang
yang nampak adalah yang terkena terang, namun sebenarnya
ada sesuatu yang ADAnya bisa menutupi terang itu sendiri
karena terangnya luar biasa. Artinya, Gatholoco mengajarkan
untuk mencari sesuatu dibalik keadaan gelap dan terang, untuk
tidak mudah terjebak adanya terang dan gelap. Sebab siang ini
terang benderang, dan nampak banyak hal, namun ketika
memasuki gelap, semuanya sirna, padahal sebenarnya ada.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 70

Manusia diajari untuk melampau dualitas gelap dan terang,


agar menemukan yang ADA sejati, yang tidak terpengaruh
oleh gelap dan terang. Perilaku masturbasi para santri dan
gurunya dalam bait-bait di pupuh I-V mencerminkan sikap
yang tidak mampu melampaui dualitas ini. Pandangannya
sangat tergantung pada kondisi gelap dan terang. Jika gelap,
hatinya ikut gelap, jika terang hatinya ikut terang. Para maling
melihat dengan jelas di saat gelap, namun banyak koruptor
gelap mata di siang yang terang. Apa yang terlihat (karena
sinar terang) langsung dinilai hanya karena wujud yang
terlihat, tetapi tidak mampu melihat (cahaya) kebaikan dalam
wujud itu. Sementara apa yang tidak terlihat (belum terlihat)
diyakini pasti tidak adanya, padahal pasti ada sesuatu entah
apa itu.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 71

#29
MENGENAL HIDUP SENDIRI
(Pupuh VI, 4)
Gatholoco pada dasarnya mengajarkan setiap pribadi mengenal
hidupnya masing-masing. Mengenal, mencari, menemukan
dan mengkajinya menjadi sesuatu yang sangat berharga,
karena pada dasarnya setiap diri pribadi berasal dari Hyang
Hidup Yang Mahaesa. Banyak teka-teki menyimpan ajaran
disampaikan oleh Gatholoco dalam Pupuh VI ini. Berikut
adalah beberapa ujarannya.
Hidup itu jauh, tanpa jejak (doh tanpa wangen), dekat tetapi
tidak bersentuhan (cedhak tan senggolan). Jika jauh melekat di
benak (yen adoh katon gumawang), jika dekat tak dapat dilihat
(yen cedhak datan kaeksi). Jika itu isi sesuatu ada semua, jika
kosong benar-benar kosong.
Anda atau saya, tentu merasakan diri ini hidup. Benar terasa,
apakah melalui gerak gerik, apakah melalui nafas, apakah
melalui detak jantung atau lainnya. Tapi tidak pernah bisa
bersentuhan dengannya, sehingga terasa jauh sekali dari diri,
padahal ia melekat, begitu dekat. Jika kelak kemudian mati,
terasa jauh, namun anda bisa merasakan dekatnya dengan yang
mati, terngiang, diangan atau dibenak melekat sangat kuat.
Namun di saat masih hidup apakah itu nampak? Tentu tidak.
Itulah hidup diri ini, hidup diri anda.
Saya bisa merasakan banyak hal dalam hidup saya, apapun
dari semua urusan yang ada pada diri. Hidup saya dengan
demikian benar-benar penuh dengan segala urusan. Namun,

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 72

hidup ini juga kosong melompong, awang awung. Sebab wujud


isi itu juga tidak nampak.
Apa arti dari semua ini? Gatholoco mengajarkan bahwa sumber
masturbasi religius, berasal dari merasa diri ini begini dan
begitu, menilai orang lain begini dan begitu. Dan itu adalah
akibat tidak mau mengenal hidup diri sendiri, yang sebenarnya
juga tidak mampu dipahami dengan detail dan jelas. Terhadap
hidup diri sendiri saja demikian, mengapa kemudian mudah
meninggikan
diri?
Mudah
menghina
orang
lain?
Ketidaktahuan terhadap hidup diri, ketidakpahaman akan diri
sendiri harusnya menyadarkan bahwa manusia itu bodoh.
Tidak perlu menghina orang lain, siapa tahu dirinya sendiri
adalah hina. Tidak perlu menyombongkan diri, siapa tahu
dirinya tidak layak disombongkan. Terhadap hal vital, hidup
sendiri saja tidak memahami, bagaimana merasa diri sendiri
lebih hebat dari lainnya? Dengan kesadaran ini, apakah masih
mau bermasturbasi religi?

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 73

#30
HIDUP ITU SAMA
(Pupuh VI, 5-6)
Dalam bait sebelumnya, Gatholoco menjelaskan bahwa Hidup
itu sulit dikenali, dekat, tapi jauh, dekat juga susah dilihat. Ada,
namun juga kosong. Dalam bait ke-5 juga masih menegaskan
soal itu. Sangat halus hingga tak bisa dijumput, sangat nyata
tapi tak bisa dinyatakan, Sangat lebar namun juga sempit,
sangat sempit tapi lebarnya melebihi semua yang lebar, ibarat
bambu dibelah, apa isinya? (Bambu isinya ruang kosong,
namun jika dibelah, lantas apa isinya? Kemanakah yang kosong
tadi?:Bahkan apakah anda mengenal yang ada dihadapan?
Demikianlah, ajaran Guru Gatholoco untuk berusaha keras
mengenal Hidup diri pribadi. Mengapa? Sebab pada
hakekatnya Hidup semua orang itu sama, berasal dari Yang
Satu, keadaannya juga sama. Digambarkan, Yen lanang tan
nduwe jalu (jika lelaki taka ada penis), Yen wadon tan duwe blik
(jika perempuan tak ada vagina), Iya kene iya kana (di sana di
sini), Iya ngarp iya buri (ya di belakang ya di depan), Iya keri iya
kanan (ya kiri ya kanan), Iya ngandhap iya nginggil (ya di atas ya
dibawah).
Wujud perempuan atau laki-laki hanyalah pakaian, hakekat
hidup yang ada di dalamnya tidak berjenis kelamin, semua
sama. Manusia dasarnya sama, itulah mengapa, ajaran untuk
mengenal kesamaan diri ini menjadi sangat penting. Para guru
begitu merendahkan Gatholoco, tatkala melihat wujudnya yang
jelek, melihat pakaiannya yang kurang bagus, dan sebagainya.
Padahal itu hanya wadag, wadah bagi jiwa yang sama.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 74

Hidup diri selalu menyertai, ikut ke mana saja, dan mengawasi


di mana saja. Apa saja yang diperbuat oleh manusia, Hidupnya
sendiri selalu mengawasi, mau di atas langit, di dasar samudra
di mana saja. Sebab Hidup adalah saksi yang meliputi. Ia
meliputi diri yang ditempati, ia mengelilingi diri yang diawasi.
Jika demikian, pengawasan diri sebenarnya sudah lebih dari
cukup bagi setiap diri manusia yang sadar. Ia bisa menjadi
cermin dari sudut manapun, dari depan, belakang, atas bawah,
kanan dan kiri. Bisa melihat keadaan diri secara menyeluruh.
Tak akan ada secuilpun bagian diri yang tidak dikenali.
Sehingga kelak, tak ada kesempatan untuk mengelak, sebab
Hidup sudah meliputi semuanya, menemaninya secara utuh
dalam setiap perjalanan manusia.
Lantas masihkah butuh mlaikat untuk menakuti? Butuh neraka
untuk jadi ancaman? Agar ingat kebaikan? Belum cukupkah
Hidup itu sendiri menjadi sahabat sejati?

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 75

#31
INTROSPEKSI
(Pupuh VI, 7)
Soal Hidup, begitu banyak perlambang yang bisa diajukan,
semuanya mengandung makna yang dalam. Guru Gatholoco
mendorong para santri untuk terus menggali dan mengkaji dan
mengenal Hidup masing-masing diri. Hidup, atau sebut saja
Jiwa, itu bisa dikatakan sebagai jagad besar sekaligus kecil. Bisa
disebut diam, namun begitu cepat bergerak. Begitulah Hidup
yang bisa digambarkan dalam bentuk dualitas yang
bertentangan.
Baitane ngmot laut (perahu yang memuat samudra), Kuda ngrap
pandhgan nnggih (kuda berlari namun dalam posisi diam),
Tapaking kuntul ngalayang (jejak burung yang terbang), Pambarp
adhine ragil (anak pertama menjadi adik si ragil), si Wlut
ngleng ing parang (belut tinggal di batu), Kodhok ngmuli
lengneki (katak menyelimuti rumahnya).
Hidup, Jiwa manusia itu tidak nampak, berada dalam diri
manusia. Namun ia mampu menanggung beban persoalan
yang sedemikian banyak. Jiwa seorang presiden akan memuat
persoalan yang jauh lebih besar ketimbang jiwa rakyat biasa.
Jiwa manusia itu bisa nampak diam, tetapi ia begitu sibuk.
Orang-orang yang berjiwa tenang bukan berarti jiwanya diam,
mati, tetapi ia justru yang sibuk menenangkan diri, sibuk
berperang dalam mengatasi lintasan hati, kegelisahan, berjihad
meraih kembali Hidup yang sejati.
Hidup, jiwa itu ibarat jejak burung terbang. Mana ada jejak kaki
burung terbang? Yang paling mungkin ada dalah
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 76

bayangannya. Artinya, Hidup itu memang tidak nampak sama


sekali, namun bayangannya tetap ada, meski itu sangat sulit
dicari. Setiap diri harus belajar mengenal bayangannya sendiri.
Lintasan-lintasan dalam hati adalah bentuk bayangan jiwa yang
bergerak.
Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa Hidup itu sama dalam
diri manusia. Ia bisa lebih dewasa dari wadagnya, ia bisa lebih
kanak-kanak dari wujudnya. Jiwa orang-orang yang mau
bersuci, akan menjadi jiwa yang tua, namun mereka yang tidak
mau memperhatikannya, maka jiwanya, meski dia ada dalam
diri orang dewasa, ia tetaplah kanak-kanak (adiknya si ragil).
Jiwa, Hidup itu selain seperti bahtera yang meliputi samudra,
ia juga seperti katak yang menyelimuti rumahnya. Bagaimana
mungkin katak mampu menelan lubang tinggalnya? Katak
tentu lebih kecil dari lubang hidupnya. Itulah gambaran jiwa
yang sudah bersih, mampu terbang luas, mampu berlari
kencang, dan juga mampu memahami dirinya sendiri.
Mengetahui dirinya dari sudut luarnya. Ia tidak bodoh, seperti
katak dalam tempurung, tetapi juga mampu melihat
tempurungnya.
Hidup ibarat belut yang tinggal di batu. Apa bisa? Ya, Jiwa
manusia mampu menembus batas-batas yang tersulit
sekalipun. Hati yang keras melebihi karang, akan mampu
ditundukkan oleh Jiwa yang murni. Menajamkan kemampuan
jiwa-jiwa penembus batas itulah yang harusnya dilakukan oleh
para santri.
Itulah perlambang-perlambang yang diajarkan Gatholoco
untuk mengenal diri sendiri, mengenal hidup, jiwa yang ada
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 77

dalam setiap diri. Jika mampu demikian, ia tidak akan menjadi


orang bodoh, yang sukanya menilai orang lain, tetapi justru
mempunyai kemampuan baik menilai diri sendiri, mengetahui
jejak-jejak jiwanya sendiri, buruk dan baik.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 78

#32
ENERGI SUPER DAHSYAT
(Pupuh VI, bait 8)
Memasuki bait 8 ini saya mencoba untuk membacanya dari
kalimat paling akhir dari bait ini yang berbunyi: Aneng
ngndi susuh angin?. (Terjemah: dimanakah sarang/rumah
angin?). Ah, ini tentu pertanyaan mengada-ada, mana ada
angin memiliki rumah tinggal? Kayak burung saja, punya
rumah (susuh). Tapi ini adalah pasemon (teka-teki) guru
Gatholoco tentang Hidup, Jiwa. Kesemua pasemon yang
diajukan adalah membahas mengenai ini. Namun, setiap
pasemon ada sisi yang harus ditekankan. Itu menurut saya.
Maka pada bait ini, kemudian saya mencoba memberi judul
energi super dahsyat.
Dalam lakon Bima Suci, muncul juga istilah Kayu Gung Susuhe
Angin. Bima diperintah oleh guru Drona mencari susuhe angin.
Ringkasnya, susuhe angin itu ya ruh, ya jiwa, sumber hidup.
Angin, nafas adalah tali hidup,jika nafas putus maka jiwa dan
wadag berpisah. Mati. Maka, susuhe angin itu ya Hidup itu
sendiri. Dalam bait ini, guru Gatholoco mengingatkan bahwa,
Hidup itu sumber energi luar biasa dahsyat, mengapa karena ia
mampu mewujudkan dan mendorong perbuatn yang luar
biasa. Itulah seperti yang digambarkan dalam bait 8:
Wong bisu asru clathu (orang bisu berbicara), Jago kluruk jro
ndogneki (ayam berkokok dalam telur), Wong picak amilang
lintang (orang buta menghitung bintang), Wong cebol
anggayuh langit (orang cebol menggapai langit), Wong lumpuh
ngidri jagad (orang lumpuh berkeliling dunia). Rangkaian
perbuatan dalam bait ini luar biasa bukan? Jika mampu
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 79

menemukan susuhe angin, tentu perbuatan-perbuatan luar


biasa semacam yang disebut dalam bait 8 ini tentu tidak
mustahil. Ada orang bisu bisa berbicara. Jaman sekarang saja
bisa dengan menggunakan bahasa isarat. Pernahkah anda dulu
bagaimana munculnya bahasa isarat? Tentu diawali dengan
jiwa yang murni, yang tulis, Hidup yang menghidupi orangorang bisu, membantu orang bisu untuk berbicara.
Ayam berkokok dalam telur. Teknologi rongten saja bisa
mendeteksi jenis kelamin manusia meski masih berusia
beberapa minggu, apa ini tidak seperti itu? Orang buta bisa
menghitung bintang? Atau membaca? Sudah lazim bukan saat
ini? Orang lumpuh keliling dunia? Juga sudah terjadi saat ini.
Lagi-lagi Hidup yang mampu menghidupi, jiwa yang mampu
menjiwai lah yang menjadi energi luar biasa bagi kehidupan.
Masihkah akan menyianyakan hidup diri hanya untuk
kesombongan? Mencari kepuasan batin, merasa ini dan merasa
itu, kemudian menghina sana dan menghardik sini? Hidup
hanya untuk masturbasi religi. Mengapa tidak digunakan
untuk kehidupan itu sendiri? Maka dalam kisah Bima Suci,
iapun mampu menemukannya dan ia menjadi satria yang
sangat sakti mandraguna.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 80

#33
SEMUA ADA DALAM DIRI
(Pupuh VI, 9)
Menyangkut bait 9 ini, sebelum saya uraikan, teringat kejadian
beberapa tahun silam. Guruku, sebut saja begitu,
memerintahkan aku mencari air untuk memadamkan api
amarah istriku. Begini ceritanya. Hubungan saya dan istri,
biasa sering cekcok, dan saya melihat kadar emosi istri saya
lebih besar. Kemudian saya konsultasi pada guru. Jawabannya
adalah: untuk memadamkannya, carilah air yang ada dalam
istri saya itu. Waktu itu, akal saya langsung merespon,
bagaimana bisa aku mencari air, dimana di situ aku melihat
banyak api? Jika, tidak yang ada dalam diri istri, ya cari air
yang ada dalam diri saya sendiri. Ini juga sama, bukankah saya
juga lagi mengalami emosi?
Nah, bait 9 kalimatnya berbunyi:
Aneng ngndi wohing banyu (dimana inti air?), Myang atine
kangkung kuwi (di mana pusat batang kangkung), Golek gni
nggawa diyan (mencari api membawa lampu/api), wong ngangsu
pikulan warih (orang mencari air, memikul air), Kampuh putih
tumpal pthak (kemben putih ditutup kain putih), Kampuh irng
tumpal langking (kemben hitam ditutup kain hitam).
Mencari air ya di air, mencari api dengan api, mencari air
membawa air, dan perlambang-perlambang lainnya. Ke
semuanya adalah seperti mencari hati kangkung, ya kosong,
karena ruang hampa dan isi itu kosong. Mencari putih dalam
warna putih, mencari hitam dalam warna hitam.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 81

Mencari kedamaian hati, tidak di luar hati, mencari kesenangan


hati, tidak di luar hati. Mencari petunjuk, carilah dalam diri.
Bait ini mengajarkan, untuk selalu mengkaji dan mencari solusi
ke dalam diri, bukan di luar diri manusia. Jika saya marah
kepada istri saya, solusinya adalah melihat diri saya, di mana
marah saya, bagaimana kemudian saya memadamkannya?
Semua jawabannya ada dalam diri sendiri.
Apakah anda termasuk orang yang suka menyalahkan orang
lain? Atau selalu menyalahkan anak-anak ketika mereka
berbuat salah? Atau para suami lebih mudah menimpakan
kesalahan pada istri? Guru Gatholoco mengajarkan, sebelum
menyalahkan pihak lain, siapa tahu ada salah dalam diri.
Sebelum mempunyai air yang menyejukkan hati orang lain,
apakah hati yang ada dalam diri sudah penuh dengan air
kesejukan?
Seperti dalam bait tersebut, berhati-hatilah. Bisa jadi anda atau
saya sudah melihat warna hitam, tetapi bukan hitamnya
kemben, tetapi penutup kemben yang hitam. Siapa tahu saya
merasa mendapatkan api, padahal itu adalah "dian" lampu
yang saya bawa sendiri, atau merasa sudah membawa air,
padahal bukan air yang dicari. Belajarlah mencari hati (galih)
batang kangkung, yang kosong, padahal ia ada sebagai isinya
batang kangkung.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 82

#34
KESEMPURNAAN ILMU
(Pupuh VI, bait 9,10)
Kritik keras guru Gatholoco terhadap para santri dan kyai
adalah kurang luasnya ilmu. Tidak mampu melihat pada sudut
besarnya, maupun pada detailnya. Manusia, yang dilihatnya
jelek, ansich hanya dilihat pada wujud jeleknya. Tidak dilihat
pada konstruksi besar dari manusia itu sendiri, yang ternyata
juga bisa terjadi pada seluruh manusia di jagad ini. Ada Hidup,
ada Ruh yang suci dalam diri manusia, yang memiliki rahasia
besar. Pun demikian, pelaku masturbasi religi seringkali suka
gebyah uyah, tanpa meneliti rinci keadaan dirinya sendiri.
Ketika memandang diri orang lain, nampak kecil, sehingga
begitu teliti membelejeti keburukannya. Namun di saat melihat
dirinya, seolah besar yang tak terjangkau untuk diteliti. Dalam
bahasa pasemonnya, sindiran guru Gatholoco menyebut bahwa
kesempurnaan ilmu seseorang itu ketika:
Tumbar isi tompo iku (biji ketumbar yang kecil, tetapi berisi
wadah, seperti wadah beras yang lebih besar), Randhu alas
angrambati, mring uwit smbukan ika (pohon randu besar
merambat pohon sembukan yang kecil), Sagara kang tanpa tpi
(lautan tak bertepi), Pelaku masturbasi religi tidak mampu
seperti biji ketumbar yang mampu mewadahi tempat yang
lebih besar. Ini berarti tidak mampu mengenal jagad yang luas,
pandangan dan wawasannya sempit sekali. Ia juga tidak mau
memperhatikan yang kecil, detail pada diri sendiri, seperti
merambatnya pohon randu yang besar pada sembukan yang
kecil. Harusnya, orang yang sempurna ilmunya ibarat lautan
tak bertepi. Luas sekali.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 83

Cobalah berlatih memperhatikan yang ada pada diri sendiri.


Rambut irng dadi pthak, ingkang pthak saking ngndi
(rambut yang asalnya berwarna hitam, kemudian berubah
putih (beruban), warna hitam itu pergi kemana? Ketika
lampu/sentir mati, ke mana perginya nyala api? Cobalah cari
sampai ketemu, agar ilmu itu tidak sia-sia. Siapa saja yang
mengetahui ini, ilmunya akan sempurna.
Belajar pada hal-hal yang melekat pada diri, kejadian seharihari yang biasa akan melatih diri, menambah wawasan. Bisa
jadi, anda atau saya tidak pernah bisa menemukan ke mana
perginya warna hitam rambut setelah berubah uban, atau nyala
api ketika lampu padam. Tetapi melatih mencari-cari hal-hal
demikian akan mempertajam batin. Ini berarti mencari hal-hal
yang nampaknya sia-sia, tetapi sebenarnya tidak sia-sia sama
sekali. Manusia akan mengetahui bahwa yang ada bisa
berubah, yang nampak bisa hilang. Yang terlihat bisa jadi esok
atau nanti tidak terlihat. Perubahan adalah hukum pasti.
Lantas, masihkah suka memvonis orang dengan kondisi di satu
saat? Tidak percayakah bahwa esok atau lusa, seseorang itu
berubah lebih baik atau lebih buruk? Lihatlah itu seperti lautan
yang tak bertepi, entah bagaimana kelak kemudian hari
perubahan itu terjadi. Tetapi satu hal, carilah perubahan dan
kajilah perubahan itu. Dengannya akan menyempurnakan ilmu
kalian.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 84

#35
SHALAT DAIM
(Pupuh VI, bait 12,13,14,15)
Kesempurnaan ilmu itu ketika mau melihat lebih luas, detail
dan mendalam. Itulah anjuran guru Gatholoco pada tulisan
sebelumnya. Perlambang mencari nyala api ketika lampu
padam, mencari warna hitam ketika berubah uban dan lainnya
adalah sebuah permisalan. Namun pada prakteknya adalah
mencari rasa sejati. Hidup, Jiwa, Hati itu laksana samudra. Ia
bisa menerima sampah yang berserak, kadang sesekali burung
bangau dan gagak datang, kemudian bangau hinggap di
sampah, pergi diganti burung gagak. Itulah maksud bait 12
berikut: Ingkang sarah munggeng laut, gagak kuntul saba sami, duk
mencok si kuntul ika, si gagak ana ing ngndi, gagak iku nulya tka,
si kuntul mibr mring ngndi. Hati manusia bisa penuh dengan
sampah rasa tiap hari, bahkan tiap detik. Ia bisa berubah-ubah
seperti bergantiannya datangnya gagak atau bangau. Bahkan
sering tidak tahu ke mana perginya rasa itu. Kadang tiba-tiba
muncul rasa senang, nyaman, namun segera terganti rasa
gelisah atau susah yang tidak tahu sebab atau ujung
pangkalnya.
Selanjutnya, guru Gatholoco menasehati, oleh karenanya
harus bisa memahami, wahai kalian semua anak-anakku,
seluruh perlambang ilmu sejati ini renungkanlah, jika bisa
memahami akan menemukan kesejatian, sejatinya rasa, rasa
sejati didalam samudera (hidup). Segala rahasia akan cepat
tersingkapkan, benar-benar perhatikan ucapanku ini, dengan
sepenuh pendengaran, serta sepenuh penglihatan kamu, tiada
lagi kebenaran kedua yang menjadi sifatnya (sifat kebenaran
sejati itu tunggal, tak mendua). Rasa sejati tidak ada was-was,
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 85

ragu atau bimbang. Jika demikian, maka tasbihmu adalah


Zatullah. Pembersihan hati selalu dengan Allah, tak ada rasa
selain dari itu.
Bagaimana nasehat ini bisa dipraktekkan? Guru Gatholoco
memberi nasehat singkat:kang krasa yen datan mangan, den krasa
yen minum nnggih, smbahyanga den karasa, den krasa Dzatullah
kuwi. Ketika lapar, benar-benar rasakan. Apa yang ada dalam
benak ketika lapar? Langsung ingat makanan atau ingat Allah?
Jika saat lagi haus, yang diingat air atau Allah? Demikian pula,
di saat kenyang, apa yang terlintas di benak? Saat bergembira,
apa yang hadir di benak? Apakah Allah (Rahsa kepada Allah?)
atau lainnya. Latihan semacam ini sangat dianjurkan oleh guru
Gatholoco. Andai semua aktivitas, semua gejolak rasa (seperti
sampah yang berserakan) dalam hati, benak, hidup selalu
menghadirkan Allah (rahsa kepada Allah), tentu itulah yang
disebut eling terus menerus kepada Allah. Aktivitas kesadaran,
aktivitas rahsa yang selalu diqiblatkan kepada Allah, kepada
kemurnian rahsa dalam seluruh aktivitas, baik aktivitas lahiriah
atau batin, atau akal, atau perasaan, itulah yang disebut oleh
guru Gatholoco sebagai shalat daim, langgeng tan pegat.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 86

#36
MARTABAT TIGA
(Pupuh VI, bait 16,17,18,19 dan 20)
Dalam tulisan sebelumnya (#35) diuraikan mengenai makna
shalat daim, yang pada intinya adalah kesadaran fokus melihat
segala sesuatu pada ujungnya (qiblatnya) adalah Allah. Bagian
ini mencoba menjelaskan mengenai kehendak hati, dimana
nantinya akan dipakai untuk mendukung pelaksanaan shalat
daim. Dalam Gatholoco disebut martabat, tingkatan.
Maksudnya tingkatan dari niat itu sendiri, yakni martabat
Kasdu, Takrul dan Takyin. Seperti ditulis dalam bait 16,
Martabate Kasdu kuwi, lawan Takrul Takyin ika, mangrtine Kasdu
kuwi. Menurut saya, istilah ini tetap bersumber dari khazanah
ilmu Islam, Fiqih khususnya. Yakni tentang niat, dimana
terbagi dalam tiga bagian, yaitu qosdu (al fili), taarud (lil
fardiyah) dan tayin. Mari selanjutnya kita ikuti bait ke-17,
Pikarpe niyat iku, ciptane ingkang dumadi, dene Takrul tgsira,
pamkasing niyat nnggih, dumadine panggraita, mangrteni
ingkang Takyin. (Terjemah : Maksud dari niyat, munculnya
kehendak/mengada-kan, sedangkan Takrul artinya adanya
wujud khusu dari ungkapan rasa (niyat), dan Takyin adalah
mengerti.
Saya akan mengajukan satu contoh kasus untuk membantu
menguraikan ini. Sederhan, setiap hari bisa dilakukan. Saya
akan mencicipi kopi yang saya seduh, tapi rasa manisnya yang
saya fokuskan. Maka, proses mencicipi saya disebut memiliki
makna, memiliki korelasi dengan shalat daim, maka saratnya
adalah adanya niat yang dikasdu, niat yang saya sengaja. Tidak
boleh, kemudian hati saya mencipta kehendak mencicipi
pahitnya kopi. Jika ini terjadi, maka martabat pertama saya
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 87

sudah berbeda kiblatnya. Martabat/tahap berikutnya adalah


mewujudkan itu dalam bentuk tindakan mencicipi, ini
adalah bentuk pernyataan yang sudah jelas, maka martabat
beriktunya adalah saya bisa merasakan, ...oh ya kopi ini sudah
manis atau kopi ini kurang manis. Saya yakin betul dengan
pembuktian ini, karena tidak sekedar dalam hati, tetapi sudah
ada proses melakukan, mewujudkan niat dalam tindakan
khusus. Kesalahan yang terjadi pada martabat kedua, jika
kemudian yang saya lakukan adalah hanya membau asap kopi.
Memang ini wujud cara membuktikan, tetapi sudah tidak pas.
Seperti halnya mentaarudkan niat shalat, maka menyatakan
shalat subuh, atau dhuhur itu menjadi penting, tidak bisa
digebyah uyah pokoknya shalat.
Dalam praktek kehidupan yang lebih luas, bisa digambarkan
sebagai berikut. Seseorang bekerja, diniatkan untuk
menggembirakan anak dan istri. Namun dalam praktek taarud
(takrulnya), hasil kerjanya tidak diberikan kepada anak dan
istri, manfaat kerjanya, anak dan istri tidak mendapat bagian,
bahkan malah menambah beban atau menyusahkan. Itu artinya
masih berkisar pada martabat kasdu, hanya angen-angen (cipta
dumadi), belum menjadi pamekasing niyat, belum wujud bekas,
tanpa jejak. Selanjutnya ketika sudah ada berbagai usaha, dari
hasil kerja kerasnya kemudian diarahkan membahagiakan
keluarga, misalnya memberi sandang, papan, makan dan
sebagainya masih belum membahagian keluarga, maka dia
sudah mencapai martabat takrul (taarud). Melalui berbagai
upaya itu dia semakin mengerti, bahwa jika cara A kurang,
dengan cara B baru bisa tercapai, maka dia sudah
membuktikan (takyin) dan benar-benar mengerti bahwa
kerjanya adalah untuk kebahagiaan keluarganya.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 88

Jika memang hendak mengenal Allah, mengarahkan kiblat


pandangan kepada Allah, maka akan menemukan banyak
cobaan, masalah dan rintangan. Itu adalah proses takrul, proses
pembuktian, proses mentauhidkan, memfokuskan kiblat. Maka
dalam bait-bait berikutnya, tiga martabat itu digambarkan
sebagai: ingkang Kasdu kuwi Iman, ingkang Takrul iku Tohid,
Kang Takyin Makrifat iku. Apa maksudnya? Maksudnya
adalah kehendak/kasdu dari niyat itu harus kuat, yakin itulah
iman, tanpa keraguan. Kemudian dalam takrul sebagai tauhid,
berarti harus mampu tenang dalam menghadapi berbagai
goyangan, memilah dengan tenang lintasan-lintasan batin,
kesadaran adanya bahwa adanya perubahan itu adalah tunggal
adanya, dari DIA. Jika mampu dengan kuat dan yakin, dengan
pembuktian-pembuktian bahwa semuanya itu adalah Hyang
Esa saja, maka itulah takyin. Khoirihi wa syarrihi minallahi taala.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 89

#37
BERLATIH MERASA
(Pupuh VI, bait 20-26)
Apakah anda melihat tulisan saya ini? Atau anda merasa
melihat tulisan saya ini? Jika membaca uraian menganai ajaran
guru Gatholoco, maka apa yang dilakukan adalah merasa
melihat. Manusia itu hanya memiliki rumangsa. Rasa itu
sendiri pada hakekatnya adalah pada Hidup, pada Jiwa, yang
semua bersumber dari Hyang Widhi. Seperti itulah yang
dijelaskan dalam bait 20: Gletheke paningal iku, pamyarsa
pangucapneki, nyata angn-angnira, ingkang ngglethakakn Widdhi,
myarsa ngucapkn psthinya, Allah tangala ngimbuhi. Dengan
demikian, maka aku melihat tulisan berubah menjadi Allah
yang memperlihatkanku pada tulisan.
Melatih makrifat, harus gigih meyakinkan diri atas hal
demikian. Itu baik pada penglihatan, ucapan, pendengaran dan
gerak diri. Wujud diri manusia, kalian itu benar-benar nyata
adanya, Kasunyatan ADAnya DIA. Tak ada yang dipuji atau
memuji. Sesungguhnya Tunggal ADAnya, tak ada dua, yang
diam dan bergerak. Jangan ragu akan rahasia diri ini, apa yang
kau ucapkan dan yang mengucapkan adalah Kasunyatan
ADAnya Allah, Hyang Maha Suci itu sendiri. Maka,
waspadalah dan ingatlah, bahwasanya tak ada yang lain
kecuali Allah semata. Lantas apa jawabannya ketika ada
pertanyaan: Apa yang Hyang Widhi kehendaki dari kamu?.
Maka jawablah :Menyadari Hyang Widhi itu sendiri.
Jika ada lagi pertanyaan: siapakah yang, Mengucap dan
Melangkah, Berdiam dan Bergerak ini semua?, Maka
jawabnya adalah: yang mengucap adalah Hyang Sukma, yang
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 90

melangkah adalah Hyang Widhi, yang berdiam dan bergerak


adalah DIA Yang Sulit Dicari.
Sekali lagi, ini adalah jawaban soal hakikat, bukan persoalan
yang terlihat. Yang terlihat tentu seperti yang terlihat dengan
kadar setiap manusia memiliki alat penghilatan. Demikian
pula, memahaminya akan sesuai kadar pemahaman yang
dipahami. Kebenarannya adalah Tunggal, yaitu Hakikatnya
semua itu datangnya dari Hyang Widhi, Hyang Tunggal,
Hyang Hidup, Hyang Sukma. Menjadi lebih bijak, adalah
mampu membedakan, mana urusan yang Haq, dan mana yang
sebenarnya pada batasan merasa. Itulah mengapa, para
leluhur Jawa mengajarkan, ojo rumangso iso, nanging isoo
rumangsa. Artinya, mengertilah bahwa pencapaian ilmu
manusia itu adalah merasa, maka berlatihlah merasa yang
tepat. Tapi, sekali-kali jangan merasa bisa ini dan itu, sebab
yang bisa ini dan itu adalah Hyang Hidup itu sendiri.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 91

#38
MARTABAT PENGLIHATAN
(Pupuh VI, bait 27,28)
Penghlihatan yang dimaksud oleh guru Gatholoco bukanlah
penglihatan mata biasa, tetapi penglihatan batin. Ketika ada
sebuah pertanyaan diajukan, berapa tingkatan penglihatan
itu?, maka jawabnya ada tiga. Berikut baitnya: sarta lamun den
takoni, pira Martabating Tingal, saurana tri prakawis, Tasnip
ingkang kaping pisan, Insan Kamil kaping kalih, Kadil Kapri kaping
tlu, Tasnip: Idhp tgsneki, Insan Kamil: Kang Sampurna, iku kaya
Roh Ilapi, utawa Tasnip smunya, tingal luluh sampurnaning.
Penglihatan pertama adalah tasnip, yang berarti memilah,
memilih, membuat klasifikasi. Kemampuan memilah ini
menjadi hal mendasar dalam penglihatan. Ketika melihat diri
sendiri, harus mampu, mana kelakuan yang baik dan kelakuan
yang buruk. Demikian pula mengenali bisikan hati, yang
bersumber dari nafsu, dari akal, atau dari hati yang jernih.
Kesemuanya bisa bersumber dan terdengar dalam hati, dari
satu tempat. Dalam tahap penglihatan ini, manusia masih
sering menghadapai kondisi bingung, karena banyaknya
informasi dan lintasan-lintasan hati yang hadir. Kemampuan
membedakan, kemudian membuat kategorisasi, bahwa
informasi atau lintasan seperti A masuk kategori penglihatan
bohong, jika seperti B masuk kategori Benar, jika C masuk
kategori masih perlu proses penjernihan lebih lanjut. Begitu
seterusnya.
Pada tahap berikutnya, di saat kemampaun membuat kategori
sudah matang, maka dia akan memiliki kemampuan melihat
yang sempurna (Kamil). Ia tenang, jernih seperti Ruh Idhofi
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 92

(Jauhar Awal, Nyawa, Materi Awal) diri manusia. Meski


banyak informasi dan lintasan hati, namun kesempurnaan
dalam pembedaan dan mengenal yang sejati sudah demikian
sangat baik. Manusia sempurna, atau insan kamil dalam hal ini
adalah adanya kemampuan melihat segala sesuatunya itu
dengan jernih, seperti sucinya Nyawa, Ruh Idhofi yang belum
berinteraksi dengan berbagai hal. Meski ia melihat potensi
hewani, setani, manusiawi, ia tetap mampu melihat yang
sesungguhnya, yang sejatinya berasal. Ketika tahap tasnip,
manusia dituntut mampu mengenali potensi, nafsu, lintasan
hati yang bersumber dari sisi hewani, setani, dan manusia
alami. Ia dituntut mengenal dorongan seks, nafsu makan, nafsu
beribadah, dan lain sebagainya. Pada tahap insan kamil, sudah
melampaui itu, ia benar-benar melihat yang sejati, tidak
terbelenggu oleh penglihatan kepada itu semua. Manusia
sempurna (insan kamil) seperti ini akan tetap mampu bersabar
dalam kondisi fisik yang nampak melelahkan, atau di saat lapar
sekali, di saat nafsu birahi muncul dan sebagainya.
Tahap ketiga adalah Kadil Kapri. Sebagian orang
menerjemahkan sebagai pandangan-pandangan palsu. Ia
adalah tahapan ketiga, dimana penglihatan itu sudah
menentukan atau membuat batas terhadap hal-hal yang bisa
ingkar. Sederhananya begini, bahwa insan kamil yang benarbenar kamil, pada akhirnya akan fokus, menanggalkan segala
penglihatan yang dapat mengaburkan atau palsu (kufur). Ia
tidak membiarkan petunjuk sejati itu hadir, tetapi ia berusaha
kuat menghadirkan petunjuk sejati. Ia akan berusaha
mengingkari hal yang ingkar itu sendiri. Hanya menetapkan
pada pandangan kepada Hyang Sejati saja.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 93

#39
MODEL LELAKU
(Pupuh VI, bait 29-32)
Seperti dijelaskan dalam tulisan sebelumnya (#38) adanya
tingkatan (martabat) penglihatan. Ada yang sudah benar-benar
jelas penglihatan terhadap dirinya (Diri Sejati), yakni yang
sudah mampu memutus pandangan. Jika demikian berarti
orang tersebut mendapatkan wahyu. Oleh karena itu ada
kedudukan yang berbeda didasarkan atas penglihatan atas
kesejatian tersebut. Sebut saja perbedaan maqom (kedudukan)
antara Nabi, Wali dan orang mukmin. Penglihatan Nabi
(wahyu) itu sudah stabil, ajeg, tidak goyah. Sementara para
wali dan mukmin masih di bawahnya.
Bagian selanjutnya adalah membahas mengenai martabat
riyadhoh (lelaku). Upaya untuk mencari kesejatian itu dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian. Seperti dalam bait berikut:
Dhingin kaya gni iku, kaping kalih kaya angin, smune kang kaya
brama, pnt panase pribadi, tgse sira mrih enggal, panrima
kasuwen dening. Dalam bait ini disebut ada dua kondisi lelaku,
yaitu seperti api dan angin. Lelaku seperti api, maksudnya
adalah usaha mencari inti panasnya diri, membasi panasnya
diri, membasmi kegelapan batin. Dengan cara ini lelaku akan
cepat mencapai tingkat kepasrahan. Dalam bahasa
gampangnya, model lelaku api ini adalah upaya keras terhadap
diri sendiri.
Lelaku api juag berarti lelaku membakar. Jika muncul
dorongan nafsu, lintasan hati yang mengajak ke arah kejahatan,
maka seketika itu juga dibakar, dihanguskan, dihilangkan. Kata
kunci dalam hal ini adalah disipling terhadap diri sendiri,
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 94

mampu menekan, membakar gejolak hati yang dapat


menjerumuskan atau menghalangi pandangan batin mencari
kesejatian. Misalnya, ketika terlintas kehendak ingin mabokmabokan seketika itu juga keinginan dibakar, entah dengan
cara apa saja, bisa jadi dengan cara yang keras terhadap diri
sendiri.
Lelaku model angin, lebih menekankan pada kelembutan
seperti angin. Ia bergerak, menyusuri ruang hampa, kemudian
membelai setiap sisi ruang. Lelaku seperti ini berupaya
menghadirkan rasa lembut yang sebenarnya sudah ada dalam
diri. Ketenangan, kesejatian hidup sebenarnya sudah ada,
namun perlu dihadirkan. Tidak perlu dicari ke mana-mana,
sebab ia ada dalam diri. Ketika ada lintasan atau dorongan
gejolak nafsu, maka usaha yang dilakukan adalah
menghadirkan sisi lembut dari dalam diri lainnya. Nafsu tidak
dilawan, tetapi memperkuat sisi lain dalam jiwa yang
sebenarnya sudah dimiliki oleh setiap manusia. Jika muncul
dorongan untuk marah, tidak ditahan untuk marah, tetapi lebih
pada mendorong rasa kasih sayang yang jauh lebih besar dari
dalam diri.
Tentu, manusia tidak bisa hanya memilih salah satu dari dua
model lelaku ini. Tetapi bagaimana menggunakan kedua model
ini secara tepat. Di saat masih berlatih, di saat belum memiliki
kesabaran yang besar, tentu menahan amarah, membakar
amarah adalah upaya terbaik. Namun jika, sudah terbiasa,
maka memperbesar rasa kasih sayang menjadi hal yang tepat
dilakukan.
Apakah anda
menyayanginya?

ingin

membakar

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

nafsu

anda

atau

Page 95

#40
TINGKATAN BADAN
(Pupuh VI, bait 32-34)
Untuk mengenali diri sendiri, guru Gatholoco juga
mengajarkan untuk mengenal kepada martabat badan,
perubahan tingkatan badan jumegler. Ini berkaitan dengan
membangun kesadaran, bahwa eksistensi fisik dalam sebuah
kehidupan sosial maupun kehidupan yang lebih luas di dunia
ini juga mempunyai arti penting. Oleh karena itu ia
mengajukan pertanyaan: pira Martabating Badan, saurana tri
prakawis berapa tingkatan badan?, maka jawabnya ada tiga
perkara.
Jawabannya
tetap
menggunakan
sanepan
(perlambang), yaitu perubahan posisi bulan.
Tingkatan pertama adalah seperti pada tanggal 4, kedua seperti
tanggal 9 dan ketiga seperti tanggal 14. Meski dalam astronomi
fase bulan dibagi lima, tetapi dalam hal pembelajaran ini tiga
fase awal lah yang dijadikan ibarat untuk mengambil pelajaran.
Mengapa demikian? Karena pelajaran ini mengajak manusia
menyadari akan peran hidupnya, umurnya (fisiknya) sebagai
khalifah, peran keTuhanan yang diemban di dunia.
Fase pertama, tanggal 4 menunjukkan posisi bulan sabit (yang
menurut saya sempurna sabitnya). Ini mengajarkan bahwa
eksistensi manusia di dunia sebagai khalifah Tuhan masih
samar. Jika dikaitkan dengan perubahan badan, manusia masih
banyak mengikuti irama biologis semata. Dengan demikian,
peran sebagai manusia masih seperti hewan yang juga
menuruti kadar biologis besar. Menuju fase berikutnya, dipilih
tanggal 9 (menurut saya, pembagian bulan sudah lebih dari
50%), ini berarti kehadiran manusia sudah muncul seperti
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 96

Pangeran. Seperti dalam bait disebut: Kaya tanggal Sanga iku,


luluh sirna tgsneki, kahananira Pangeran. (terjemahannya,
seperti tanggal 9 itu maksudnya sifat-sifat bilogis sudah mulai
tertutupi, tidak begitu menonjol, tetapi keadaan seperti
Pangeran sudah muncul). Saya tidak menerjemahkan Pangeran
sebagai Tuhan dalam hal ini, tetapi sudah ada kuasa,
mengendalikan fisik/badan diri manusia. Badan sudah tidak
sebagai pengendali, tetapi sudah mulai dikendalikan. Itulah
maka disebut pangeran, yang sudah mulai memerintah. Meski
demikian belum sempurna pengendaliannya.
Fase terakhir adalah tanggal 14, yang merupakan awal bulan
purnam, bulat utuh. Ini menggambarkan bahwa pengendalian
diri benar-benar sempurna. Dalam bait disebut: tanggal ping
Patbelas kuwi, dene sasjane sama, kaya Kang Ndadekkn nnggih.
Wus tumka wangnipun, tkane kawula kuwi, ora nja yen dadiya,
dadi Gusti kang saykti, nanging ykti dadi uga.
Kondisi seperti ini, kehendaknya sudah bisa menuruti
kehendak Sang Pencipta. Badan fisik diarahkan dan digunakan
untuk menjadi hamba, untuk mengikuti perintah Gusti Sejati.
Apa yang diharapkan oleh Tuhan, dilaksanakan oleh hamba.
Keadaan perubahan badan sampai tahap ini adalah tahap yang
sempurna. Fase empat dan lima sudan tidak perlu lagi. Tetapi
bisa jadi, karena godaan setan, iblis pencapaian itu bisa melorot
dan hilang musnah. Oleh karena itu, tetaplah pada tanggal 14
saja, dan dipertahankan.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 97

#41
TINGKATAN PEMIKIRAN
(Pupuh VI, bait 36-37)
Saya
mencoba
menerjemahkan
Pamanggih
sebagai
pemikiran. Ini saya rujukkan kepada pemikiran dari diri.
Dalam konteks mengenali diri yang sejati, maka pemikiran
itu ibarat suara, ya suara yang muncul dari dalam diri, apakah
terdengar lewat akal atau hati. Tetapi pada intinya dari dalam
diri sendiri. Guru Gatholoco mencoba mengenalkan adanya
macam-macam pemikiran yang berseliweran dalam akal atau
hati (diri). Ada lima perlmbang untuk menggambarkannya
sebagai berikut: kang dhingin Klthking ati, ingkang kaping
kalihira, Katpking lampah nnggih, Panjriting tangis ping tiga,
Kthuk nutu ping pat nnggih. Cleret Ngantih ping limeku, dene
Panjriting wong nangis, lawan Klthking wardaya, myang Tpking
wong lumaris, tuhune iku pangucap.
Pertama adalah seperti kletheking ati. Perlambang ini
menunjukkan pemikiran itu masih gelap, belum muncul.
Kondisi hati atau pikiran yang kosong, tidak sedang berpikir
apa-apa, mungkin dapat menggambarkan perlambang
pertama. Kedua seperti ketepek-ing lampah, langkah kaki.
Suara itu sudah mulai terdengar, tetapi lirih. Perlu kejernihan,
keheningan memperhatikannya. Lintasan hati, atau pemikiran
atau ide muncul masih samar-samar seperti langkah kaki.
Ketiga adalah seperti tangisan. Ini berarti kadar kejelasan
sudah mulai muncul. Dorongan hati atau lintasan hati atau ide
mulai jelas terdengar, misalnya aku ingin ini. Namun
suaranya masih tunggal. Yang keempat adalah seperti kethuk
nutu, maksudnya seperti orang-orang sedang menumbuk
lesung. Suaranya riuh, banyak suara, tidak hanya satu. Dalam
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 98

mengenali diri sendiri, seringkali kita berhadapan dengan


pemikiranpemikiran atau lintasan hati seperti suara yang ramai
sekali. Itulah gambaran yang keempat. Kelima atau terakhir
adalah seperti cleret ngantih, seperti pelangi.
Mari perhatikan, perlambang pertama dan kelima, tidak
menggunakan perlambang suara, tetapi wujud, yakni gelap
dan pelangi. Sementara lainnya adalah dengan perlambang
suara. Ini menunjukkan bahwa mengenal pemikiran, ide, suara,
lintasan dalam diri pada awalnya memang gelap, juga
sekaligus tak terdengar. Pada puncaknya, meski tidak
terdengar, tetapi terlihat begitu jelas, terang, dan berwarnawarni. Puncak pemikiran dalam diri adalah ketika, diri mampu
melihat itu semua, tidak sekedar mendengar. Jauh lebih
mengenalnya seperti kemampuan membedakan warna-warna
pelangi yang memang berbeda. Jika suara, kelihatannya tidak
berbeda, hanya keras dan lemah. Suara ketukan lesung
memang beraneka rupa, tetapi iramanya masih kurang
bervariasi.
Orang-orang yang mampu mengenal diri lebih baik, biasanya
mempunyai kemampuan membedakan ide, pemikiran dan
lintasan hati diri sendiri, sejelas dan sejernih melihat pelangi
yang memang berwarna-warni, tidak hanya melihat hitam atau
putih saja. Jika hanya masih seperti kletheking ati ya gelap,
ngawur, atau sudah mendengar langkah kaki, itu sebagai satusatunya suara kebenaran atau justru mengenal suara banyak,
tapi belum mampu dibedakan. Pemikiran yang dipenuhi
dengan pelangi akan membuat indah sekelilingnya.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 99

Jawablah terdiri dari lima perkara, yang pertama bagaikan


Kegelapan hati, yang kedua bagaikan Suara langkah kaki, yang
ketiga bagaikan Jerit tangis, yang keempat bagaikan Suara
ketukan orang menumbuk padi (jaman dahulu untuk
memisahkan padi dengan kulitnya, harus ditumbuk disebuah
tempat yang namanya Lesung. Menumbuk padi dalam istilah
orang Jawa disebut Nutu. Disaat aktifitas menumbuk padi ini,
suara ketukannya akan terdengar indah berirama. Apalagi jika
yang melakukan aktifitas lebih dari satu orang. Suara yang
terdengar sangat khas. Suara ketukan menumbuk padi ini
dikenal dengan sebutan gamelan Lesung.) Cleret Ngantih ping
limeku, dene Panjriting wong nangis, lawan Klthking wardaya,
myang Tpking wong lumaris, tuhune iku pangucap, martanipun
akir kadi.
Dan bagaikan Pelangi yang kelima, maksud dari Jerit tangis,
dan juga Kekotoran hati, serta Suara langkah kaki,
sesungguhnya adalah lambang dari kegelisahan batin yang tak
terucapkan, jika mampu menyadari hal ini maka pada
akhirnya.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 100

#42
KOMPONEN RUHANI MANUSIA
(Pupuh VI, bait 40-43)
Guru Gatholoco kemudian mencoba mengajak para santri
untuk mengenal tingkatan atau komponen ruhani manusia.
Gatholoco membagi komponen ruhani manusia terdiri dari
tiga, yaitu yang disebut Dzating Roh Ilapi ika, kaping pindho Roh
Jasmani, kaping tlu Tanpa Prenah, Tanpa Tuduh Tanpa Yekti. Ini
berarti ada yang disebut zat ruh idhofi, ruh jasmani dan Zat
Yang Tanpa Arah, Tanpa Tempat dan Tanpa Jumleger. Ruh
Idhofi itu mudahnya Nyawa, yang menguatkan hidup
manusia, ia nampak pada nafas, sehingga ketika nafas terputus,
biasanya menjadi pertanda bahwa manusia itu sudah mati.
Yang kedua adalah ruh jasmani. Ruh jasmani berada dalam
jasmani, yang diperkuat oleh ruh idhafi. Wujud dari ruh
jasmani ada berbentuk nafsu dan rasa. Ketika salah satu
anggota tubuh kita tidak berasa, ia biasa disebut mati rasa. Ini
berarti ruh yang jasmani yang ada pada anggota tubuh
tersebut, mati. Bisa jadi, seluruh jasmaninya tidak bergerak,
menunjukkan ruh jasmaninya tidak ada, namun ruh idhafinya
masih ada. Yang ketiga adalah, Zat/Ruh yang Tanpa Arah,
Tanpa Tempat, Tidak Jumleger, tapi menjadi bagian dari
manusia, setiap diri manusia. DIA lah Ruh Ilahi. Setiap
manusia memiliki ketiganya. Nah wujud jumlegernya diri
manusia itu adalah sebenarnya sebagai bukti nyata ADAnya
DIA Yang Tanpa Tempat, Tanpa Arah itu tadi.
Muhammad, sendiri dalam konteks ini bisa diartikan menjadi
dua pengertian, seperti dalam baitu berikut:Nabi Muhammad
puniku, annggih ingkang Majaji, Dzatullah Jasadi ika, kang Kakiki
kang Majaji, loro-loroning atunggal, nyatane yen sira kuwi. Nabi
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 101

Muhammad itu dapat dimaknai hakiki dan majazi. Yang majazi


adalah Nabi Muhammad yang lahir di tanah Arab, sebagai
manusia. Sementara yang hakiki adalah jauhar awal, ruh idhafi,
hidup yang menjadi penguat hidup dan kehidupan makhluk di
semesta. Orang biasa menyebutnya Nur Muhammad.
Sementara DIA, Hyang Maha Hidup menjadi sumber hidup
bagi keduanya, baik majazi dan hakiki. Demikian pula,
Muhammad, baik yang majazi dan hakiki juga berada dalam
diri manusia. Itulah mengapa, setiap manusia selalu berpotensi
menjadi terpuji, dipuji dan memuji.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 102

#43
ANUGRAH SAHADAT
(Pupuh VI, bait 44-45)
Sahadat adalah anugrah. Begitulah guru Gatholoco
menyebutnya. Banyak anugrah dalam hidup manusia. Salah
satunya adalah anugrah yang berkaitan dengan Iman. Lebih
spesifik, guru Gatholoco menyebutnya anugrah Sahadat. Jika,
suatu saat ditanyakan ada berapa macamkah anugrah Sahadat?
Maka, jawablah ada tiga macamnya. Seperti disampaikan
dalam bait berikut: Martabat Nugrahan iku, lamun sira den
takoni, pira nugrahaning Sadat, saurana tri prakawis, iku ingkang
ping sapisan, Ngningake Iman-neki. Ping dwi Ngeningken
Tyasipun, ana dene kang kaping tri, Nglampahake Panggaotan
Jenis pertama adalah anugrah dijernihkannya Iman, dalam hati.
Pembagian ini, ingin menunjukkan bahwa ada tiga bagian diri
manusia yang menerima anugrah Sahadat, yakni pertama
adalah hati, yang di dalamnya menerima Iman, dan mampu
menjernihkannya. Jenis yang kedua adalah diberi kemampuan
menjernihkan pemikiran/kesadaran. Sahadat, kesaksian akan
menjadi anugrah yang luar biasa, mana kala akal pikiran,
kesadaran diberi kemampuan untuk berpikir jernih, lurus
dengan kesaksiannya. Jenis yang ketiga adalah, anugrah
mempraktekkan dalam kehidupan. Ini berarti, anggota badan
menjadi alat pembuktian atas sahadat.
Melalui ini, guru Gatholoco sebenarnya mengingatkan kepada
para santri untuk dicamkan, bahwa Sahadat yang diucapkan
itu belum menjadi sebuah anugrah, mana kala belum mampu
merasuk dalam hati dalam menjernihkan iman, membersihkan
pemikiran serta kemampuan mempraktekkan dalam
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 103

kehidupan. Ucapan sahadat, bisa-bisa menjadi laknat, bukan


anugrah, karena dicap palsu. Hal kedua, yang perlu dicamkan
adalah, bahwa keberhasilan dalam beriman, bersih pikira dan
perbuatan yang menyepakati sahadat adalah benar-benar
anugrah semata, tidak yang lain. Jika, dipandang sebagai
prestasi atas jerih payah, manusia bisa jatuh pada
ngrumangsa yang akhirnya melahirkan sikap masturbasi
religius yang parah.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 104

#44
ANUGRAH SHALAT
Jika mencermati uraian atau ajaran guru Gatholoco pada
bagian-bagian sebelumnya, sebenarnya kebaikan yang
dilakukan manusia itu adalah semata-mata anugrah dari
Hyang Hidup, Gusti Allah Taala. Anda bisa mencermati salah
satunya adalah pada #42 yang menerangkan tentang
komponen ruh manusia. Di situ ada ruh idafi, ruh jasmani, dan
ruh Yang Tanpa Arah, Tanpa Tempat. Di antara itu, paling
hanya ruh jasmani yang bisa dikendalikan, itupun melalui
perjuangan berat. Ruh Idafi, Nyawa, Hidup, atau Jauhar Awal,
tidak bisa dikendalikan. Adakah manusia yang mampu
menahan nyawanya melayang? Pergi meninggalkan jasadnya?
Nah, shalat sebagai bentuk perbuatan ketundukan kepada
Gusti Allah Taala, tentu tidak bisa dengan mudah dilakukan
oleh manusia. Ruh jasmani yang dikendalikan bukan sebuah
kekuatan yang pada asalnya mengajak shalat, tetapi lebih
melayani kebutuhan jasmani. Oleh karena itu, guru Gatholoco
membagi adanya anugrah Shalat itu ke dalam tiga bagian.
Mereka disebut Nugrahaning Salat nnggih, saurana tri prakara,
Mgat Karsa ingkang dhingin, Tinggal Cipta kalihipun, Amadhp
ingkang kaping tri.
Pertama adalah anurgah megat karsa, yakni memisah,
memutus hubungan dengan kehendak yang bersumber dari
pemenuhan jasmani (bersumber dari jasmani). Ini juga bisa
dikatakan, bahwa anurgah shalat yang pertama adalah
diberikannya kemampuan untuk terlepas dari kehendak
jasmani semata. Shalat yang berkehendak untuk sehat jasmani,
tentu dapat disebut sebagai tujuan yang salah sasaran. Kedua
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 105

adalah meninggalkan lintasan, pemikiran atau kesadaran


jasmaniah yang justru dapat menenggelamkan manusia pada
ide-ide jasmani, lupa pada pencarian kesadaran kesejatian.
Ketiga adalah adanya kemantapan lahir batin. Ini tentu dapat
dicapai ketika, dorongan-dorongan indrawi, kekuatan
pemikiran yang kaya raya tidak menjadi penghalang, maka
kemantapan hati akan dapat diraih. Sekali lagi, kondisi
ketiganya semuanya adalah anugrah semata, bukan benarbenar atas kendali diri sendiri, sebab ada ruh idafi, ada DIA
Yang Tanpa Arah dan Tempat.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 106

#45
GATHOLOCO BERKELANA
(Pupuh VII 1-9)
Memperhatikan kisah guru Gatholoco dalam serat ini, siapa
yang tidak memujinya? Kemenangan-kemenangan berdebat ia
raih. Pada akhirnya ia mampu mendapatkan pesantren dan
santrinya hasil dari perang berdebat itu. Para santri dan kyai
yang sebelumnya menghina dirinya, ditundukkan dalam
perdebatan. Sekarang ia sudah menjadi guru di pesantren,
santrinya 300 orang. Setelah tuntas sesi pertama memberi
wejangan kepada anak santri, ia berkeliling ke beberapa
tempat. Mengajak berdebat dengan para tokoh agama, cerdik
pandai dan ahli tirakat. Semua mampu ia tundukkan. Namun,
pada akhirnya ia jatuh pada sebuah perilaku yang
menyimpang sariat, sekaligus tanpa merasa ia telah sombong.
Jadi ia terkena pada dosa yang jelas maupun yang sama. Ini
seperti cuplikan dalam bait:
wus ndilalah kerasing Kang Maha Luwih, Gatholoco tyas kalimput,
mengku takabur ing batos.... juga dalam bait berikut :solah
tingkah kumlungkung, ngrengkel nakal, remen nyrekal digung,
watak edir ilmu sarak den pabeni, mila saya camyahipun...
(Sudah menjadi kehendak Hyang Maha Lebih, hatinya
dipenuhi dengan rasa sommbong, ... kelakuannya berlebihan,
suka nakal dan melawan sariat, maka kesadarannya jatuh...).
Dari bait ini, sudah disebutkan jelas, ia nanti akan melawan
sariat, atau melanggar sariat, karena ia merasa sudah mampu
menguasai ilmu batin yang demikian luas dan tinggi. Itupun
disebabkan karena kesombongannnya, atas ilmu yang
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 107

diperoleh. Mengapa demikian? Setelah menang dengan lawanlawan debatnya, ia bertemu dengan lawan debat Rsi
perempuan bernama Dewi Lupitwati, dari Indragiri.
Ketika ia meninggal pesantrennya sebenarnya ia harus sudah
siap behadapan dengan jagad yang luas, beraneka rupa. Dan
itu disimbolkan oleh Indragiri, yaitu gunung indra, kumpulan
selaksa indrawi, keindangan dunia. Di mana gunung itu dihuni
oleh Rsi wanita dan para cantriknya yang semua wanita. Ya,
wanita adalah jagad besar, jagad luas. Gatholoco, selama ini
sibuk dengan mengenal diri sendiri. Bagaimanakah kemudian
ketika ia harus berhadapan dengan jagad besar ini? Yang
sebenarnya adalah jagad kecil juga? Nama Lupitwati adalah
simbol dari kemaluan wanita, Vagina. Di situlah jantung dan
inti dari indra lawan jenis Gatholoco. Lupit, jika diuraikan,
menurut saya adalah panggone aLU nyePIT atau tempatnya
alu (penis) dijepit. Gambaran ini sebenarnya sudah
mengarahkan, bahwa yang ideal adalah ada persetubuhan
antara jagad besar dan kecil, antara penis dan vagina. Tapi
apakah yang terjadi demikian? Silakan ikuti serial-serial
berikutnya.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 108

#46
MENGENAL PAYUDARA, MENGENAL JAGAD
(Pupuh VIII, bait 7-18)
Saya mencoba menceritakan yang pokok-pokok saja. Perjalanan
Gatholoco ke indragiri, kemudian bertemu dengan wanitawanita cantik. Dewi Lupitwati mempunyai empat cantrik
utama, yakni dewi Mlenuk Gembuk, Dudul Mendut, Rara
Bawuk dan Rara Bleweh. Seperti disebutkan sebelumnya,
tujuan utama Gatholoco adalah menantang berdebat.
Perdebatan pertama Gatholoco dengan Dewi Mlenuk Gembuk.
Saya lebih sreg jika nama ini sebagai sebutan untuk payudara,
yang bentuknya memang menonjol montok dan empuk. Dalam
bagian ini (Pupuh VIII), digambarkan bahwa pengenalan
terhadap wanita, berfokus pada anggota badan sex. Untuk
wanita utamanya adalah payudara dan vagina.
Ibarat sebuah hubungan sex, seolah serat ini mengajarkan
untuk menghampiri payudara dulu. Namun, jangan ini yang
jadi perhatian kita. Mari kita ikuti teka-teki yang diajukan,
sebab ini lah perlambang yang hendak diajukan.
ana wit agung siji, pang papat, godhongen rolas, kembange tanpa
winilis, wohe amung kekalih, mung sawiji trubusipun, mubeng wolu
pangiro. (Terjemah: ada sebuah pohon besar, cabangnya
empat, daunnya dua belas, bunganya tak terhitung, buahnya
dua, akarnya satu, tetapi bercabang delapan).
Guru Gatholoco yang sudah mafhum atas teka-teki yang
diajukan, berlagak bego. Cengengas-cengenges. Seolah ingin
terlihat lemah dihadapan para wanita. Lantas ia menjawab
teka-teki yang diajukan. Beginilah jawabannya. Bahwa pohon
besar itu adalah lambang jagad, dunia, kehidupan. Empat daun
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 109

melambangkan arah, dimensi ruang. Daun dua belas


melambangkan waktu, yaitu 12 bulan (1 tahun), sedangkan
akar satu itu adalah tahun yang sebenarnya 1, tetapi jumlahnya
ada delapan (putaran windu). Ada tahun alip, ehe, dal, dan
sebagainya. Buahnya ada 2 adalah perlambang matahari dan
bulan. Bunga yang tak terhitung melambangkan bintang,
benda-benda langit lainnya yang tak terhitung banyaknya.
Ini adalah perlambang jagad, di mana manusia berada dan
hidup, yakni ada dimensi ruang dan waktu, alam semesta. Jika,
bagian sebelumnya yang memfokuskan pada diri Gatholoco,
adalah sebuah proses pengenalan diri melalui diri sendiri
(mulai ruhani, pemikiran, batin dan amalan), maka pada
bagian berikut ini adalah mengenal yang ada di luar diri. Maka,
mengenal jagad, di mana diri (manusia) ini tinggal adalah
langkah awal. Alam semesta, benda, hewan, atau makhluk lain
di jagad ini adalah pihak lain yang dapat dijadikan cermin,
sandaran mengenal diri. Jika Gatholoco, lebih pada proses
introspeksi, maka mengenal wanita, bercinta dengan wanita
adalah perlambang mengenal diri melalui jagad ini. Inilah
sebenarnya bercinta dalam konteks Gatholoco.
Anda bisa mempelajari perilaku bintang, untuk kemudian
didiskusikan dengan diri, mengenai kesamaan, perbedaan, dan
sebagainya, yang berujung pada introspeksi diri. Begitu pula
terhadap langit, bumi, matahari, bulan, waktu harian, bulan,
tahun, arah dan sebagainya. Pertanyaan mendasarnya adalah
apa manfaat mereka untuk pengenalan diri? Itulah foreplay
yang diajukan oleh Gatholoco, melalaui Dewi Mlenuk Gembuk,
payudara. Harapannya, klimaksanya adalah bersetubuh
bukan? Mengenal jagad, sama persis mengenal diri, melihat
jagad, sama juga melihat diri.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 110

#47
SEPASANG BUAH DADA
Teka-teki pertama dewi Mlenuk Gembuk sudah terjawab.
Namun, masih ada satu teka-teki lagi yang diajukan olehnya.
Begini teka-tekinya: "Ingsun ningali maesa, kathahe amung kkalih,
nanging tlu sirahira" (Aku melihat kerbau, berjumlah dua ekor,
akan tetapi mempunyai kepala tiga buah).
Nama Mlenuk Gembuk adalah simbolisasi payudara. Ada
sepasang buah dada, payudara. Namun, ia, dewi Mlenuk
Gembuk melihat ada dua kerbau, namun kepalanya tiga. Apa
maksudnya? Ketika mengenal payudara, Mlenuk Gembuk,
Gatholoco membabar pengenalannya akan jagad semesta.
Berkaitan dengan ini, ingin ditegaskan bahwa dalam
kehidupan di jagad ini, selalu berpasangan, dua buah satu
pasang, seperti Mlenuk Gembuk, dua buah dada. Kerbau
dalam konteks ini, dalam tradisi mistis Jawa sering
diasosiasikan dengan kebaikan, kemuliaan. Kemudian, ia
melihat dua kerbau, ini berarti bahwa kehidupan di jagad ini
terlihat dua, yaitu baik dan buruk, susah dan senang, dan
sejenisnya. Ini adalah satu realitas. Namun, seringkali realitas
ini dilihat dalam konsepsi yang lain yakni adanya kepala tiga.
Itulah yang dimaksud jawaban oleh Gatholoco, bahwa kepala
dua kerbau adalah kepala berpasangan, kerbau jantan dan
betina. Namun, ada kepala satu lagi, yakni kepala penis.
Realitas berpasangan dalam kehidupan itu meliputi banyak
hal, namun selalu saja ada bentuk lain dari kombinasi atau
bukan keduanya. Misal saja, ada susah dan senang, namun ada
juga kondisi bukan susah dan senang. Ini adalah realitas baru,
sebuah sastra 23 (nanti akan ada realitas sastra 21, atau anda
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 111

bisa membaca sastra 21 pada bagian sebelumnya). Ada


manusia yang bersifat baik dan buruk, tetapi sering kali yang
terlihat bukan itu. Manusia itu yang mempunyai sifat baik dan
buruk sekaligus. Itulah gambaran besar dari jagad semesta ini,
penuh dengan sastra 23 (dua kerbau, berkepala tiga).
Melalui teka-teki ini, guru Gatholoco ingin mengingatkan
bahwa jagad semesta yang beraneka rupa isinya, ketika di
dekati, di dalami akan muncul adanya dua buah (pasangan).
Layaknya ketika orang baru melihat Mlenuk Gembuk saja dari
luar, ketika di buka ada sepasang, dua buah Mlenuk Gembuk.
Dan ternyata, bisa ada satu lagi Mlenuk Gembuk yang muncul,
seperti kepala ketiga dari dua kerbau. Ini juga bisa diartikan,
hendaknya manusia mencari dan mengenal kepala atau buah
dada yang ketiga. Tidak hanya mengenal susah dan senang,
atau baik dan buruk semata. Tapi akan banyak variasi yang
muncul dalam melihat kehidupan dunia ini.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 112

#48
PUTING PAYUDARA, BELAJAR INTI
(Pupuh VIII, Bait 19-28)
Jika sudah mengetahui dan mengenal payudara, maka di
manakah posisi sebenarnya saraf birahi berada? Apakah pada
Mlenuk Gembuknya? Atau di tempat lain? Inilah kemudian
dalam serat Gatholoco mengajukan cantrik kedua bernama
Dudul Mendut. Ya, sesuatu dari Mlenuk Gembuk, yang jika
didudul (disentuh dengan jari) kemudian Mendut (bergerak,
bergoyang). Putinglah yang saya maksud dari nama Dudul
Mendut. Bukankah, dalam merangsang wanita pada payudara,
intinya, pusatnya ada di puting? Demikian pula, untuk lebih
mengenal kehidupan dunia, anda diajari untuk memperhatikan
berbagai inti, pusat perhatian dalam banyak hal. Dudul
Mendut merangkumnya dalam sebuah teka-teki, berikut:
a)
Ing ngndi prnahe Iman, di mana letaknya iman?
b)
ing ngndi prnahe Buddhi, di mana letaknya budi?
c)
ing ngndi prnahe Kuwat, di mana letaknya kuat?
d)
Ing ngendi prenahe wirang, di mana letaknya malu?
e)
apa Kang Luwih Pait, apa yang lebih pahit dari hal yang pahit?
f)
lan Ingkang Luwih Manis, apa yang lebih manis dari yang
manis?
g)
Luwih Atos saking watu, apa yang lebih keras dari batu?
h)
apa kang Luwih Jmbar ngungkuli jmbaring bumi, apa yang
lebih luas dari bumi?
i)
apa ingkang Luwih Dhuwur saking wiyat, apa yang lebih
tinggi dari langit?
j)
Apa ingkang Luwih Panas, ngungkuli panasing gni, apa yang
lebih panas dari api?
k)
Luwih Adhm saking toya, apa yang lebih dingin dari air?

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 113

l)
Luwih Ptng saking wngi, apa yang lebih gelap dari malam?
m) ndi aran Ningali, Mana yang disebut melihat?
n)
lan ndi Kang Luwih Dhuwur, mana yang lebih tinggi?
o)
ndi Kang Luwih Andhap, mana yang lebih rendah?
p)
apa ingkang Luwih Glis, apa yang lebih cepat?
q)
akeh ndi Wong Gsang karo Wong Pjah, banyak mana orang
hidup daripada yang mati?
r)
Wong Sugih lawan Wong Nistha, yang lebih banyak orang
kaya atau miskin?
s)
Wong Jalu lawan Wong Estri, yang lebih banyak laki-laki atau
perempuan?
t)
Wong Kapir lawan Wong Islam, yang lebih banyak orang kafir
atau Islam?
Demikianlah, Dudul Mendut mengajari untuk mempelajari
berbagai inti dan persoalan mendasar dari banyak hal. Guru
Gatholoco menjawab semua teka-teki yang diajukan:
a)
Iman itu ada di jantung (hati), (b) Budi itu ada di akal, (c)
Kuat itu ada di Otot dan tulang, (d) Malu letaknya ada di mata
(jika anda malu melihat, tutuplah mata anda) (e) yang lebih
pahit adalah hidup dunia ini menurut mereka yang miskin, (f)
bagi yang kaya, hidup dunia ini lebih manis, (g) yang lebih
keras adalah hatinya orang sempit pemikirannya (h) apa yang
lebih luas dari bumi adalah pandangan manusia, luasnya
pandangan manusia, (I) yang lebih tinggi dari langit adalah
cita-cita, keinginan, (j) lebih panas dari api adalah hatinya
orang yang dipenuhi ambisi (k) yang lebih dingin dari air
adalah hatinya orang sabar (l) yang lebih gelap dari malam
adalah hati yang tidak memahami kitab suci, (m) yang disebut
melihat adalah orang yang sudah melihat ilmunya Allah, (n)
yang lebih tinggi adalah yang mempunyai budi, (o) yang lebih
cepat itu kegembiraan, sedangkan yang lebih dekat itu

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 114

kesusaahan) (p) yang mati lebih banyak daripada yang hidup,


karena mereka tidak mempunyai budi (q) banyak yang
melarat, karena meski kaya harta, mereka bodoh tanpa
kecerdasan dan kesadaran (r) banyak wanitanya, karena
banyak laki-laki yang tidak memahami kesajatian wanita,
meski laki-laki maka ia wanita (s) banyak kafirnya, karena
tidak memahami intisari agama, tidak memiliki kesadaran atas
agamanya.
Demikianlah jawaban guru Gatholoco, dan telah mampu
menundukkan kehebatan Dudul Mendut. Ini berarti, ilmu yang
dimiliki Gatholoco memang luar biasa. Sekali lagi, dengan
menghadapi Dudul Mendut, berarti manusia diajari untuk
mengenal berbagai hal inti dalam kehidupan. Sebab untuk
merangsan Mlenuk Gembuk, melalui Dudul Mendut adalah
posisi yang pas, karena di situlah pusat saraf birahi Mlenuk
Gembuk.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 115

#49
RARA BAWUK, UCAPAN DAN MISTERINYA
(Pupuh VIII, Bait 28-32)

Bagian ini kita berpindah kepada organ sexual lain, yakni


vagina. Ini diwakili, pertama oleh dewi Rara Bawuk. Saya sebut
ini simbolisasi dari bagian luar dari Vagina, yakni ada bibir dan
clitoris. Pembagian saya ini tentu ada maksudnya, yang saya
sesuaikan dengan teka-teki yang diajukan. Berikut bait tekateki pertama, yang saya sebut mewakili bibir vagina. Kabeh
ingkang sipat gsang, kang ana ing dunya iki, Pangucape Pirang
Kcap (terjemah: Semua manusia yang hidup, yang ada
didunia ini, berapakah banyak ucapan yang keluar dari mulut
mereka?)
Pernahkah anda mendengar ungkapan seperti ini, dasar
wanita, punya mulut dua. Punya mulut satu saja, sudah
banyak omongannya, apalagi dua. Mulut yang kedua itu ya
vagina (Rara Bawuk). Nah, teka-teki yang diajukan oleh Rara
Bawuk adalah berapa ucapan manusia hidup ini? Paham kan
sekarang, relevansinya?
Guru Gatholoco mengajukan jawabannya: Ucape kang sipat
gsang, kang ana ing dunya iki, Pan Amung Salikur Kcap, nora
kurang nora luwih, dene sastra kang muni, pan iya amung salikur,
kabeh ucaping jalma, kang ana ing dunya iki (Ucapan yang hidup
di dunia ini hanya 21, tidak lebih, tidak kurang, sementara
sastra yang terucapa juga 21, semua ucapan makhluk di dunia
ini).

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 116

Semua tindakan, ucapan manusia dan makhluk itu ada 2,


namun hakekatnya 1. Ada ucapan yang benar, ada yang salah,
semua hakikatnya berasal dari Hyang Esa. Ketika mengenal
Payudara (Mlenuk Gembuk dan Dudul Mendut), anda sudah
diajari mengenal jagad dan aneka inti, posisinya. Melalui tekateki ini, anda dilatih lebih dalam lagi, untuk mengenal aneka
rupa tindakan dan karya makhluk, khususnya manusia. Meski
wujudnya beraneka rupa (dualitas), tetapi hakekatnya satu
juga. Tindakan teman anda, tetangga anda, pasangan anda, bisa
jadi membuat anda susah atau sebaliknya senang, tetapi harus
dipahami bahwa itu semua juga berasal dari Hyang Satu. Ini
sama saja ketika mengenali diri sendiri (secara Gatholoco,
belum ketemu wanita/jagad), juga diajari bahwa rasa yang
muncul dari diri, adalah realitas-realitas multi (sastra 2), namun
hakikatnya bersumber dari satu (Hidup), yang melekat dalam
diri. Mengenal Rara Bawuk, berarti menyadari bahwa dalam
diri, yang ada diluar, maksudnya adalah pihak-pihak lain,
harus dipahami sedemikian juga, sebagai sastra 21.
Mengenal sastra 21, yang ada pada pihak lain, sama sulitnya
yang ada dalam diri sendiri. Teka-teki kedua Rara Bawuk
mengantar untuk memahaminya, yakni LEKLU iku KeLiMIS.
Ini mirip singkatan (atau jarwo dhosok/kerta bhasa). Guru
Gatholoco menjawab, Tlek neng Alu lsungan, yen Dickl
ykti Amis, salawase durung ana, tlek ingkang mambu
wangi, maksudnya teLEK yang di aLU, ketika dipegang
(ceKEL), baunya aMIS. Artinya, kotoran/tahi yang ada di ALU
(pemukul lesung), jika dipegang berbau amis. Bukankah
tahi/kotoran itu berbau amis/busuk? Pernahkah ada yang
berbau wangi? Tentu tidak ada.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 117

Apa artinya, jika tahi itu dibiarkan saja, tidak dipegang ya bisa
jadi tidak tercium. Kadang, orang bilang begini sambil
mencium tangan untuk menguji, ah... ini tahi...bau. Artinya
untuk mengenal ucapan-ucapan orang lain harus teliti, apakah
itu ucapan busuk atau tidak. Apakah ucapan itu bermanfaat
buat diri atau tidak? Itulah sebenarnya maksud dari teka-teki
itu. Ini mirip juga dengan foreplay melalui clitoris (bagian dari
Rara Bawuk). LEKLU KeLiMIS, itu bisa diuraikan, diceLEK,
diuLU, diringKEL ambu aMIS. Benarkah baunya amis? Janganjangan baunya sangat khas yang tidak pernah muncul dari
anggota badan lainnya. Tentu yang sudah punya pasangan bisa
membuktikan ini. Jangan-jangan orang lain itu dikira punya
niat amis/busuk, tetapi sebenarnya dia menyimpan aroma
harum surga.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 118

#50
RARA BLEWEH, RAHASIA RASA
(Pupuh VIII, Bait 33-38)
Sebelum mengenal Rara Bleweh, perlu saya tegaskan lagi,
bahwa mengenal wanita, secara spesifik mengenal organ sex
dalam serat ini adalah simbolisasi dalam mengenal diri melalui
pihak (orang lain). Artinya sebenarnya bukan soal sex itu
sendiri, tetapi organ sex (atau sex) adalah simbolisasi dari
bagian-bagian penting dalam mengenal orang lain (dunia lain).
Dengan demikian, dapat membantu manusia mengenal diri
lebih baik.
Cantrik keempat adalah Rara Bleweh, simbolisasi dari lubang
vagina, yang berlendir (maaf, jika ini terkesan porno).
Maksudnya, pada tahap ini anda akan diajak untuk mengenal
rasa dan rupa, seperti Rara Bleweh yang berlendir adalah
wujud munculnya rasa birahi, sebuah tanda jika birahi sudah
menggejolak. Melalui teka-teki yang diajukan ada soal rahsa
yang akan diperkenalkan. Beginilah teka-tekinya,Isine alam
dunya, kabeh Ana Pirang Warni, lawan Pira Rasane lamun
Pinangan. (terjemah: ada berapa jumlah isi dan rasa seluruh
dunia, jika dimakan?)
Guru Gatholoco menjawab, jumlah isi dunia berjumlah
sembilan (9). Ini adalah angka tertinggi dalam penghitungan.
Ketika melebihi jumlah itu, maka akan kembali kepada angka
awal, 1 lagi, demikian seterusnya. Sedangkan jumlah rasa ada
delapan (8), yakni Manis, Gurih, Pahit, Getir, Pedas, Asin, Sepat
dan Kecut. Lantas apa maksud ini semua. Bahwa manusia lain
(orang lain yang disimbolkan wanita dan organ sexnya ini)
semua pada umumnya, normalnya memiliki dan mengenal
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 119

rasa-rasa ini. Untuk mengenal diri lebih baik melalui orang


lain, maka hendaknya juga merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain. Tidak bisa, bahwa asin hanya dirasakan oleh diri
sendiri, sementara orang lain tidak. Orang lain bisa sakit hati,
bisa kecut atau manis, itu sama halnya dengan rasa yang
dimiliki oleh diri sendiri. Sementara jumlah 9 (songo), ini
menandakan bahwa sebanyak jumlah isi dunia ini, pada
dasarnya, ya kosong, ya ono. Artinya bisa ada, karena
sebelumnya tidak ada. Sebanyak apapun, pada akhirnya juga
muncul dan tenggelam. Sejarah masa lalu, atau masa depan,
bisa jadi pengulangan saat ini atau rekonstruksi masa lalu.
Anda bisa jadi bertemu orang yang menyebalkan hari ini, itu
pun bisa juga bertemu lagi di kesempatan lain, setelah tidak
bertemu dalam rentang waktu tertentu.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 120

#51
DIKOTOMI KEHIDUPAN
(Pupuh VIII, Bait 34-41)
Rara Bleweh masih mengajukan satu teka-teki lagi,
menyangkut soal wujud kehidupan manusia. Jika sebelumnya
(#NgajiGatholoco50) mengenalkan kepada isi dunia dan
rasanya, pada bagian ini akan lebih memfokuskan pada
karakter manusia itu sendiri. Begini teka-tekinya: Sun andulu
Wujudira, adge Wolung Prakawis, Pikukuhe Raga Tunggal, Sipat
Papat Keblat Kalih, Patblas Ingkang Keri, Kang Loro Tutup-tinutup,
samya Manjr Bandera, Kkalih pating karingkih, lan badhenn,
mangrtine dadi paran. (Terjemah: Aku menatap Wujudmu,
terlihat Delapan Macam, Mewujud dalam Satu Raga, sifatnya
empat, namun kiblatnya dua, ditambah Empat Belas macam
yang sangat penting, Yang Dua sangat dirahasiakan, Karena
keduanya tempat mengibarkan Bendera, Keduanya sangat
sensitif, nah tebaklah, bagaimana maksudnya?).
Manusia dalam kategori Gatholoco, artinya suka melakukan
masturbasi religius, sebenarnya terlihat bukan sebagai
manusia, namun sebagai hewan, anjing pula. Ini hanya sebuah
simbolisasi. Mereka yang suka mencari kepuasan batin melalui
menghina pihak lain, suka mendiskreditkan, mengkafirkan dan
sejenisnya ibarat anjing yang sedang genjik (kawin). Anjing
kawin itu biasanya saling adu pantat, sehingga kaki yang
nampak menjadi delapan. Itulah jumlah delapan yang
dimaksud dalam teka-teki. Yang diadu pantat, ini
menunjukkan adanya pembedaan, dikotomi pandangan dan
prinsip. Pelaku masturbasi religius suka sekali dengan
dikotomi demikian. Jika tidak sama dengan dirinya, ya
dianggap musuh, dianggap kafir atau sejenisnya. Meski
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 121

perbedaan pandangan itu bisa terjadi dan sangat


memungkinkan terjadi, diibaratkan dengan 4 arah mata angin,
yang beraneka rupa. Orang bisa berpendapat A, atau B, atau C
atau seterusnya. Namun yang dilihat hanya dua kiblat saja.
Itulah yang dimaksud dengan sifat empat, kiblat dua. Selalu
lawan atau kawan sebagai pandangan.
Padahal, jika mau belajar pada wujud raga manusia sendiri,
kemungkinan berbeda itu sangat banyak, dilambangkan
dengan 14 lubang. Itu adalah pintu masuk yang beragama,
pintu masuk keragaman dalam diri manusia. Lubang-lubang
tersebut adalah, mulut (1), mata (2), hidung (2), telinga (2). Jika
dijumlah dua orang, maka menjadi 14. Ini masih berkaitan
dengan dua anjing tadi, dua manusia. Ketika hidup bersama,
maka akan menambah peluang untuk berbeda. Namun ada
juga 2 lubang yang dirahasiakan, meski itu hidup bersama,
yaitu anus dan farji (kemaluan). Artinya, bahwa meski ada
sepasang kekasih, suami dan istri, pasti ada saja yang
dirahasiakan, jumlahnya lebih sedikit, ketimbang yang tidak
dirahasikan. Ini adalah wajar. Keduanya adalah sensitif, rapuh.
Ketika orang kentut, ini sebenarnya menunjukkan adanya
lubang anus. Banyak orang berusaha merahasiakan kentut.
Banyak orang merahasiakan dosa, perbuatan buruk, sehingga
yang nampak hanya perbuatan baik semata. Demikian pula
farji, yang juga berfungsi mengeluarkan kotoran. Selalu dijaga
kerahasiaannya. Kalau perlu pasangannya tidak boleh
mengetahuinya. Namun demikian, keduanya juga berfungsi
kebaikan. Bagaimana anus yang tidak berfungsi? Tentu sakit
bukan? Demikian juga farji yang tidak berfungsi, juga
demikian. Ini berarti, baik anus dan farji mampu membawa
kebaikan dan keburukan. Ini lah yang dimaksud, adanya
bendera dua buah yang dipasang dalam satu bilah.
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 122

Simbolisasi ini mengajarkan bahwa, ketika manusia sudah


menyadari adanya perbedaan yang dikotomis bisa terjadi
dalam hubungan, selanjutnya adalah pada pilihan manusia,
apakah mau berbuat baik atau justru buruk. Apakah akan
mengibarkan bendera kebaikan atau keburukan. Teka-teki Rara
Bleweh sudah ditebak dengan tepat. Gatholoco menang.
Namun, seperti pada akhir teka-teka itu, apakah Gatholoco
akan memanfaatkan gato nya untuk kebaikan atau justru
terjebak ke dalam sikap ngGatholoco lagi? Ini akan terjawab
seiring dengan teka-teki akhir dari sang Rsi Guru Dewi
Lupitwati dari Indragiri nanti.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 123

#52
DEWI LUPITWATI, MENGENAL PERNIKAHAN
(Pupuh IX, 1-11)
Memasuki bagian ini, adalah teka-teki terakhir dari para cantrik
dan guru di padepokan Indragiri, yang semuanya adalah
perempuan. Seperti sudah saya singgung sebelumnya, bahwa
Gatholoco yang berkelana ke luar pondok, kemudian bertemu
wanita adalah perlambang, upaya mengenal diri melalui orang
lain dan jagad semesta di mana manusia hidup. Melalui
Mlenuk Gembuk, Dudul Mendut, Rara Bawuk, Rara Bleweh,
semua rahasia kehidupan manusia lain, jagad, dan isinya sudah
dikenal, dikupas. Lantas bagaimana selanjutnya, apakah
pengetahuan itu hanya sekedar pengetahuan? Atau setelah
mengenal orang lain, setelah mengenal diri melalui pihak lain,
apa yang hendak dilakukan. Inilah arah dari teka-teki guru Rsi
Dewi Lupitwati. Teka-tekinya adalah sebagai berikut:
Badhenn ingkang dumunung, tgse Wong Laki Rabi, lan tgse
Wadon Lanang, tegese Sajodho kuwi, Gatholoco saurira, Ora susah
nganggo mikir. (Tebaklah, apa yang dimaksud dengan wong
Lanang (laki-laki), juga Wadon (wanita) dan perjodohan?
Jawablah, tidak pake mikir segala).
Guru Gatholoco segera menjawab ketiga pertanyaan itu. Yang
disebut wong Lanang (laki-laki) adalah simbol dari kejelekan,
dalam ungkapan, ananingwang, rupane ala. Sedangkan
wadon dari kata wadi itu adalah rahasia, juga bisa aib
atau dalam ungkapan Gatholoco, panggonane wadi. Jawaban
ini jelas mengajarkan bahwa, manusia baik laki-laki atau wanita
adalah tempatnya bersemayam kekurangsempurnaan, ada sifat
jelek, aib dan sejenisnya. Lebih populer, manusia itu tempat
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 124

salah dan lupa. Jika sudah menyadari demikian, apakah


kemudian mau hidup sendiri-sendiri? Atau merasa suci sendiri.
Maka jawaban teka-teki yang ketiga adalah mengenai
perjodohan sebagai berikut:Mula Rabi aranipun, Wong Lanang
Amngku Estri, rahab ngrahabi sadaya, kang ala lawan kang bcik,
mula lanang aranira, aja nglendhot marang estri.
Yang dimaksud, pernikahan, perjodohan atau RABI itu adalah
Rahab- ngrahaBI, saling berinteraksi, saling melengkapi. Jika
ada satu pihak yang kurang baik, maka akan ditutupi oleh
pihak lainnya. Demikianlah harusnya hidup bersama di jagad
semesta ini. Tidak bisa merasa benar sendiri, tidak menang
sendiri. Ketika orang sudah menikah, mereka seharusnya
saling memperkuat, untuk menuju kebaikan bersama, bukan
saling menyandarkan kesalahan kepada lain pihak. Itulah
perjodohan sejati, saling ngrahabi.
Dengan jawaban ini, dewi Lupitwati kalah. Artinya semua
pihak di padepokan Indragiri kalah semua. Mereka mengaku
kalah, dan siap jiwa raga untuk mengabdi, bahkan untuk
dinikahi. Apakah lantas demikian yang terjadi? Ikuti seri
berikutnya, yang terjadi adalah bukan keseimbangan seperti
perjodohan, tetapi guru Gatholoco terpeleset dalam sikap
kurang ajar.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 125

#53
MENELANJANGI, TETAPI TIDAK DISETUBUHI
(Pupuh IX, 12-31)
Ketika para dewi sudah menyerah dan pasrah, mereka juga
siap diperistri, seperti perjanjian perdebatan sebelumnya.
Mendengar kesanggupan ini, beginilah sikap Gatholoco:
Gatholoco sukeng kalbu, gumujng sarwi mangsuli, Tuturira sun
tarima, lan maneh wiwit saiki, sireku kabeh kewala, ttp dadi garwamami (Terjemah: Gatholoco gembira dalam hati, tertawa
sembari berkata, Aku terima janjimu, dan mulai dari sekarang,
kalian semuanya, akan ku ambil sebagai istriku). Apakah
kemudian mereka benar-benar diperistri? Ternyata tidak. Guru
Gatholoco meminta semua telanjang bulat. Jika mereka tidak
menuruti, diancam sebagai istri yang tidak taat suami, akan
dikutuk. Meski dengan berat hati, mereka menuruti. Mengapa
mereka sampai ragu demikian? Karena kehendak guru
Gatholoco hanya ingin membuktikan apakah mereka benar
wanita atau tidak.
Samengko mrih gnahipun, manira arsa nontoni, mring prenah
ttngerira, wujude ingkang sajati, sireku pada lukara, supaya ctha
kaeksi (Terjemah: Sekarang agar nyata, aku hendak melihat
dengan mata kepalaku sendiri, kepada tempat tanda seorang
wanita, wujudnya yang sesungguhnya, kalian semua bukalah
busana kalian, agar jelas terlihat).
Padahal asumsi mereka, setelah mereka kalah dan diperistri.
Perintah bertelanjang tentu kaitannya dengan persetubuhan.
Namun, rupanya itu hanya untuk sekedar melihat saja, sekedar
untuk membedakan besar kecilnya payudara, besar kecilnya
vagina (rara bawuk). Inilah sebenarnya, perilaku Gatholoco
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 126

yang disinggung pada tulisan sebelumnya (baca lagi #45).


Muncul rasa sombong pada diri Gatholoco karena selalu
menang berdebat. Setelah menang, tertawa dan menghina.
Kepada para wanitapun demikian, ketika kalah, mereka
ditelanjangi dan dibiarkan. Jangankan diperistri yang
sesungguhnya, disetubuhi saja tidak, hanya sekedar dilihat,
untuk sekedar tahu bentuknya saja.
Perilaku ini pula yang menunjukkan bahwa Gatholoco sudah
terjebak pada sikap melanggar sariat (seperti diungkap pada
#45), menelanjangi para wanita. Jika kita simak perdebatan
dengan para santri dan kyai sebelumnya, Gatholoco tidak
pernah menunjukkan perilaku seperti ini, melawan secara fisik,
memperlakukan buruk secara fisik. Jika toh melawan, itu
perlawanan yang cerdas, meski terkesan kasar dan konyol.
Tentu ini juga mempermalukan para wanita. Mereka terkesan
dipermainkan. Setelah mereka telanjang, kemudian disuruh
menutup kembali. Tidak di apa-apakan.
Peristiwa ini sebenarnya memiliki perlambang bahwa, manusia
bisa saja menang berdebat, menguasai ilmu diri, ilmu tentang
jagad, ilmu tentang rasa, sastra 21, mampu melawan sastra 23
dan sebagainya, tetapi untuk apa itu semua. Kalau sudah
pandai itu semua, mau apa? ini pertanyaan sederhana tetapi
sangat penting dan mendasar. Guru Gatholoco menunjukkan
bahwa ternyata setelah kemenangannya dari para kyai dan
kemudian menguasai pesantren Cepekan, dia lupa diri,
kepandaian dan keluasan ilmunya hanya untuk berdebat,
menghina lawan, dalam simbol menelanjangi lawan. Alangkah
baiknya jika yang terjadi adalah persetubuhan, perpaduan,
bekerjasama dengan pihak lain dalam mengarungi kehidupan
di dunia ini. Meski anda sudah mengenal betul orang lain,
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 127

lantas untuk apa? Apakah mau menghina atau mau mengajak


hidup
damai
dan
sejahtera
bersama
atau
mau
menghancurkannya? Mengenal kelebihan dan kekurangan
orang lain, apakah akan membuat anda kemudian memuja atau
mencacinya? Itulah pelajaran penting di ujung perdebatan guru
Gatholoco dengan para wanita, sebagai simbol jagad semesta,
simbol dari pribadi-pribadi lain.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 128

#54
NASEHAT BUAT PARA WANITA
(Pupuh X, 1-10)
Jika dalam perdebatan guru Gatholoco dengan para wanita
padepokan Indragiri, bisa dimaknai dari sisi simbolik maupun
apa adanya, namun dalam bait-bait berikutnya, adalah nasehat
guru Gatholoco kepada para wanita, sebelum ia kembali ke
pesantren Cepekan. Beginilah nasehatnya (yang sudah saya
gubah):
Hai, para wanita
Jangan sampai engkau bertindak salah,
Harus berpikir akan akibat (dari perbuatan)
Hai para wanita
Godaan begitu banyak menghampirimu
Maka, pahamilah
Jangan sampai engkau bertindak salah
Itulah larangan terbesarmu,
Berpikirlah akan akibat dari setiap perbuatanmu
Hai, para wanita
Jika engkau sudah salah, berbuat nista
Sebenarnya kau jerumuskan dirimu sendiri, merusak dirimu
Sampai dunia menangispun, sulit sekali mengembalikan
Nama baikmu
Hai, para wanita
Engkau seringkali tak diperhitungkan
Namun kau mampu mempesona siapa saja, hingga banyak
yang melindungimu
Seringkali engkau berusaha diperhatikan
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 129

Dengan tekad yang kuat, bahkan


Kau mampu memenuhi segala aturan
Namun ...
Pikiranmu dan perbuatanmu bisa salah
Jangan engkau berbuat yang tak ada gunanya
Sebab bisa mendatangkan rasa malu saja
Meski, engkau sebenarnya tak ingin menderita
Atau tersiksa,
Tapi karena kuasa Hyang Maha Kuasa bisa menghukummu,
Sebab perbuatanmu
Hai, para wanita
Ingatlah, bahwa manusia hidup jangan gila hormat saja
Meski engkau mampu bagai raja, yang bisa menguasai dunia
Tapi, di dunia ini pasti ada yang miskin dan kaya
Meski ia dari rakyat jelata
Jika baik kata-katanya, maka ikutilah dia, sesuaikanlah
kehendak hatimu
Mengikutinya
Pandai-pandailah engkau menyimpan rahasia
Jangan sampai ketahuan orang lain
Hai, para wanita
Jika kalian bisa mematuhi nasehat ini, itu ibarat
Engkau telah menempatkan ayah ibumu, leluhurmu ke dalam
surga, selamanya
Dan
Para sahabatpun akan akrab kepadamu
Tetapi,
Jika engkau tergoda setan, itu semua bisa menyesatkanmu
Hai, para wanita
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 130

Wanita cantik adalah mereka yang luas wawasannya, cerdas,


menguasai banyak keahlian,
Namun, jika salah dalam perbuatan, salah menggunakannya,
bisa merusak semua badan
Wanita utama adalah mereka yang baik perbuatannya, mereka
yang berilmu di antara sesama
Namun, jika tidak menghormati pria, akan akan
mengecewakan, karena sikapnya itu

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 131

#55
ANUGRAH BUDDHI
(Pupuh XI, 1-7)
Perjalanan berkelana, mencari lawan debat guru Gatholoco
sudah usai. Berakhir di padepokan indragiri, yang dihuni oleh
para wanita. Tak ada satupun wanita yang diboyong, apalagi
diperistri. Pada akhirnya ia kembali ke pesantren Cepekan,
tempatnya mengajar. Para santri suka cita menyambutnya.
Bahkan mereka meminta untuk mendapatkan wejanganwejangan baru lainnya. Kisah dengan para wanita memang
tidak banyak dibahas, jika dibandingkan perdebatan dengan
para santri dan kyai sebelumnya. Padahal mengenal wanita
sebagai simbolisasi mengenal jagad semesta, mengenal
lingkungan sekitar, mengenal manusia lain sangat penting.
Pengembaraan yang diniatkan untuk mencari lawan debat
semata, untuk merengkuh kepuasan menundukkan dan
mempermalukan lawan, rupanya menghinggap juga pada guru
Gatholoco (#NgajiGatholoco53 &45).
Pupuh akhir (XI) ini seolah menunjukkan adanya kesadaran
akan munculnya kesombongan dalam diri. Maka kembali ke
padepokan adalah sebuah isarat, untuk kembali lagi mengkaji
diri sendiri. Bahwa, mencapai kesadaran tertinggi, kesadaran
hanya kepada Hyang Widhi semata tidaklah mudah. Bukan
sebuah usaha dari manusia semata, tetapi itu semua adalah
anugrah, ya anugrah dari Hyang Widhi sendiri. Dalam
kesempatan di hadapan para santri, guru Gatholoco
menyampaikan wejangan mengenai Anugrah Buddhi. Buddhi
adalah kesadaran puncak, Buddhi adalah hanya Nyebud
Hyang Widhi semata dalam kesadarannya. Dengan demikian
maka anugrah buddhi itu dibagi tiga. Nugrahaning Buddhi
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 132

iku, saurana Tri Prakawis, Cipta Ning kang kaping pisan,


Panggraita kaping kalih, Sang Panyipta kaping tiga (terjemah:
anugrah buddhi itu ada tiga, pertama mencipta hening, kedua
adalah merasa dan ketiga adalah Sang Pencipta).
Apa maksudnya? Bahwa kesadaran puncak (Buddhi) itu adalah
anugrah ketika seorang diri manusia mampu, pertama
menciptakan keheningan dalam dirinya (hatinya), membuang
segala hal yang dapat mengganggu hatinya sehingga mampu
mendapat anugrah yang kedua, yakni mampu merasakan,
mampu mengerahkan segala indrawinya berkonsentrasi dan
berfokus, dan akhirnya memperoleh kesadaran akan adanya
Sang Pencipta. Gampangnya, Buddhi itu adalah sadar bahwa
diri manusia hanya memfokuskan pada Hyang Widhi semata,
dalam segala bentuk perilaku. Apapun yang dilihat, meski
melihat bunga, yang nampak adalah Hyang Widhi. Meski yang
nampak adalah maling, ia hanya melihat Hyang Widhi. Orang
yang mampu mencapai Buddhi seperti ini, tentuk ia akan
menjadi manusia yang berbudi (berakhlak), sudah tidak
terpengaruh dengan apa yang nampak, apa yang didengar, dan
dirasakan. Semuanya Hyang Widhi semata.
Dalam konteks ini, maka Buddhi, bukanlah soal agama Budha
yang dibawa oleh MahaRsi Gautama. Tetapi adalah konsep
kesadaran puncak yang tunggal kepada Hyang Widhi, yang
dipahami oleh orang Jawa. Dalam pengertian Buddhi semacam
ini, maka saya bisa memahami ledekan guru saya dulu, ketika
menyebut diriku beragama Budha. Maksudnya, bukan agama
Budha yang dikenal dan dijadikan nama agama di KTP, tetapi
sebagai nyeBUD/te Dhawa, maksudnya terlalu banyak
mengeluh, hanya nyebut-nyebut saja, tetapi tidak menyadari,
tidak mampu hening dan wening melihat realitas. Melalui
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 133

pemahaman Buddhi seperti ini, maka anda akan mampu


menangkap makna soal Sabdopalon Nayagenggong nagih janji,
dimana ia bersumpah akan mengembalikan agama Buddhi di
tanah Jawa.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 134

#56
ANUGRAH RUH DAN SEKARAT
(Pupuh XI, bait 7-11)
Wejangan guru Gatholoco selanjutnya adalah menyangkut ruh,
ruhani manusia. Jika pada #42 anda dikenalkan berbagai
tingkatan/rupa ruh yang ada dalam diri manusia, yang
berjumlah tiga, yakni ruh idhafi, ruh jasmani dan ruh Zat Yang
Tanpa Arah, Tanpa Tempat dan Tanpa Jumleger. Anugrah
akan mengenali ruh-ruh tersebut, bukanlah semata-mata upaya
manusia, namun sekali lagi, bahwa itu semua adalah anugrah
dari Hyang Widhi semata. Oleh karena itu, guru Gatholoco
mengingatkan adanya tiga anugrah ruhani, yaitu:
Kanugrahaning Roh kuwi, Sauranaiku Telu, ana dene ingkang
dhingin, Urip Tan Kalawan Nyawa, ingkang kaping kalih kuwi, Ora
Angen-Angen liyan, Allah Kewala kaping tri, Tan ana woworanipun,
ingkang Wahdatilwujudi. (Terjemah: anugrah ruh itu, jawablah
ada tiga maca, yang pertama adalah Hidup tanpa nyawa,
kedua adalah yang diingat hanya Allah, tidak yang lain, dan
yang ketuga adalah tak bisa dibedakan, yakni wahdatul
wujud).
Dalam diri manusia ada ruh jasmani, maka anugrah yang
pertama adalah mampu mengenal hidup yang tanpa nyawa. Ini
berarti ruha jasmani sudah mulai tidak berperan, ia sudah
mengenal ruh idhafi, Hidup yang tanpa nyawa. Urusan
jasmani sudah tidak begitu menjadi rasa yang utama. Ketika
jasmani memanggil untuk diperhatikan, maka sudah tidak
berpengaruh besar, maka kemudian meningkat pada anugrah
selanjutnya. Anugrah berikutnya adanya kemampuan hanya
menginga Allah semata. Rahsa yang muncul adalah mengingat
Hyang Widhi. Selanjutnya adalah anugrah wahdatul wujud,
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 135

tidak bisa dibedakan antara yang dilihat dan melihat, antara


yang menyembah dan disembah. Semua wujud, adalah
WujudNYA semata. Ruh yang sudah mampu seperti ini adalah
ruh yang mendapat anugrah luar biasa. Pemahaman mengenai
anugrah ruh, juga berkaitan dengan dengan Buddhi
sebelumnya (#NgajiGatholoco55). Jika sudah mencapai Buddhi
yang luhur, maka ia hanya melihat WujudNYA semata, yang
diingat hanya DIA, sementara suara ruh jasmani sudah tak
terdengar lagi, yang ada adalah rahsa menyatu bersamaNYA.
Anugrah ruh itu dalam konteks hidup, masih hidup di dunia.
Bagaimana jika meninggal? Maka guru Gatholoco mengajarkan
adanya anugrah sekarat (maut). Nugrahan Sakarat pira, saurana
Tri prakawis, kang dhingin Adhepanira, Idhep ingkang kaping kalih,
Madhep ingkang kaping telu. (Terjemah: anugrah kematian itu,
jawablah ada tiga. Pertama Arahmu, kedua harapanmu dan
ketiga siapa yang kau hadap). Jawaban ringkasnya adalah
adhep, idhep dan madhep. Kematian akan menjadi anugrah,
jika manusia tahu arah setelah kematian. Mau kemana ia
setelah dari dunia ini. Mengetahui ini adalah sebuah anugrah.
Selanjutnya, adalah anugrah idhep, harapan. Setelah mati
harapan apa atau hasrat apa yang menyertai. Jika masih
berhasrat kehidupan dunia, maka kematian menjadi sebuah
belenggu. Manusia akan bersama yang ia harapkan/cintai.
Anugrah ketiga adalah, mengetahui siapa yang akan dihadapi,
akan menhadap siapa dia meninggal. Oleh karena para leluhur
dulu selalu mengingatkan baik dalam hidup maupun
kematian, untuk madhep manteb marang Gusti Kang Murba
ing dumadi.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 136

#57
ANUGRAH IMAN, TAUHID DAN MAKRIFAT
(Pupuh XI, bait 10-12)
Pupuh XI, sebagai bagian akhir dari serat Gatholoco
mengingatkan bahwa semua capaian keruhanian manusia itu
adalah anugrah semata dari Hyang Widhi. Bagaimana tidak?
Guru Gatholoco saja, yang demikiaan luas wawasannya, dalam
ilmunya, mampu menundukkan lawan-lawan dalam
perdebatan, toh masih dihinggapi rasa sombong. Demikianlah,
pada akhirnya keimanan seseorang adalah sebuah anugrah.
Guru Gatholoco mengingatkan anugrah iman itu ada tiga,
seperti dalam bait berikut: Nugrahaning Iman pira, saurana
TriPrakawis, Sokur ingkang kaping pisan, Tawakal ingkang ping
kalih, Sabar ingkang kaping telu. (Terjemah: anugrah iman itu
ada tiga, yaitu pertama diberi rasa bersyukur, kedua tawakal
dan ketiga sabar).
Anda bisa jadi berusaha keras untuk bersyukur, namun berapa
kali anda gagal? Lebih banyak gagalnya, dibandingkan
berhasilnya. Nah, anugrah iman itu bisa berwujud stabilnya
rasa bersyukur yang dimiliki. Demikian pula, mantapnya
dalam menyerahkan diri kepada Allah (tawakal), serta kuatnya
bersabar dalam berbagai keadaan. Anda bisa tawakal untuk
urusan tertentu, katakanlah urusan belajar, tetapi apakah sama
mantapnya tawakkal anda dalam urusan kebutuhan rumah
tangga? Anda bisa bersabar menghadapi murid anda, apakah
sekuat itu kesabaran anda menghadapi ulah istri/suami anda?
Ketauhidan pun demikian. Ia bukan datang begitu saja, namun
juga bukan bersandar sepenuhnya pada usaha. Anugrah
Tauhid itu ada dua, seperti dalam bait: pira Nugrahaning Tokid,
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 137

saurana Dwi Prakara, krana Tetep ingkang dhingin, Wadi kaping


kalihira. (Terjemah: ada berapa anugrah tauhid? Jawablah ada
dua, yaitu pertama Tetap/teguh/kokoh dan kedua adalah
Rahasia.). Ketika anda sudah mengenal dan yakin bahwa
Allah adalah Hyang Esa, apakah itu akan tetap teguh dan
kokoh terus menerus? Jika anda memiliki keteguhan yang
semakin kokoh, itu berarti anugrah dari Allah datang. Kedua,
kekuatan anda menyelami banyak rahasia dalam ketauhidan,
semakin anda kokoh menyelam rahasia itu, maka itulah bentuk
anugrahnya. Mengapa? Karena bertauhid, berarti anda akan
menemukan banyak aneka rupa misteri, semisteri Allah itu
sendiri. Banyak rahasia kan dijumpa dalam perjalanannya.
Kekokohan dan rahasia menjadi dua anugrah besar dalam
tauhid manusia.
Jika, sudah memperoleh kekokohan dalam menyelami rahasia,
maka di situlah pintu makirat, pengenal yang mendalam pada
Dia, Hyang Widhi semakin terbuka. Tapi, ingatlah bahwa
makrifat
anda,
Hyang
Widhi
sendirilah
yang
menghadirkannya, yang menganurahinya. Guru Gatholoco
menyebut ada satu anugrah makrifat, yaitu: Ana Ing
Kahananira, Anenggih Karsa:Rasaning, Rasa Wisesa Prayoga.
Artinya, anugrah itu ada pada keberadaan diri, yakni rasa, rasa
sejati yang sempurna berkehndak kepada keluhuran. Anda
akan makrifat, bukan karena anda tahu ini dan itu, tetapi ketika
rasa sejati anda benar-benar terarah kepada keluhuran. Ini
berarti juga meliputi aspek perilaku yang baik, yang utama.
Makrifat itu bukan soal tahu, tetapi soal rasa sejati yang
menjadi penggerak utama lelaku.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 138

#58
ANUGRAH KAROMAH
(Pupuh XI, bait 12-15)
Seringkali orang memahami keramat/karomah itu hanya
dengan hal-hal di luar nalar atau logika. Padahal, keramat itu
adalah kemuliaan. Derajat ini menunjukkan bahwa seseorang
mempunyai derajat kedekatan dengan Hyang Widhi demikian
dekat. Hingga, para pemilik derajat ini tentu mendapat
kemuliaan, karena kedekatan tersebut. Guru Gatholoco
mengingatkan bahwa keramat/karomah itu adalah anugrah,
dan ini berarti tidak semata-mata disandarkan pada upaya atau
apa yang dimiliki oleh manusia. Tetapi adanya peran Tuhan
menjadi faktor penentu signfikan.
Martabate Kramat kuwi, Mangretine ana Telu, Karem Apngal Para
Mukmin, Para Wali Karem Sipat, Karem Dzat Para Nabi.
Tingkatan anugrah karomah itu ada tiga, yakni yang melekat
pada diri orang mukmin, disebut afal (perbuatan), kedua
disebut sifat yang melekat pada para wali, dan dzat yang
melekat pada diri para nabi.
Hyang Widhi melimpahkan anugrah kemuliaan pada orang
mukmin itu bisa terjadi. Apa yang diperbuat oleh orang
mukmin
yang
demikian
baik,
kemudian
Tuhan
menganugrahkan kemuliaan karena perbuatan tersebut. Bisa
jadi karena sedekah, membaca al quran, menuntut ilmu dan
sebagainya. Manusia seperti ini kemudian dikenal baiknya,
mulianya karena adanya amal perbuatan yang dilakukan.
Anugrah karomah macam ini masih menyimpan adanya obah
osik atau perubahan. Kadang berbuat baik, di waktu lain tidak

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 139

demikian. Namun, banyaknya kebaikan itulah kemudian


mendapat anugrah kemuliaan semacam ini.
Meningkat yang lebih tinggi, adalah sifat. Kemuliaan itu sudah
menjadi sifat, dan itulah milik para wali Allah. Amal perbuatan
baik itu sudah menjadi sifatnya, sudah menjadi julukannya.
Dalam hal ini konsistensi, keistiqomahan adalah kuncinya.
Anugrah kemuliaan macam ini sudah melekat kuat pada diri,
amal kebaikan itu sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan,
sehingga mencegah amal perbuatan yang tidak baik. Ia akan
sangat condong kepada amal kebaikan, kemudian dikuatkan,
sehingga menjadi sifat yang dikenal.
Kemuliaan milik para nabi itu sudah Dzat, artinya sudah
melebur dalam diri dzat itu sendiri. Jangankan amal
perbuatannya, dzatnya sendiri itu merupakan kebaikan itu
sendiri. Anda tentu sudah sering mendengar kisah, bagaimana
para nabi itu, sejak lahirnya membawa kebaikan bagi manusia
lainnya. Padahal ia belum melakukan amal perbuatan yang
seperti dilakukan oleh manusia kebanyakan. Sebut saja,
kelahiran baginda Muhammad Shallahu alaihi wa sallama
ternyata membawa berkah bagi seluruh alam, mulai dari
malaikat, jagad dan masyarakat. Ketika masih kecil juga
demikian. Kemuliaan itu sudah menjadi dzatnya, sudah
menjadi bagian dari dirinya, baik dzat (fisik) dan
perbuatannya. Bahkan setelah kewafatan para nabipun,
kemuliaan itu akan tetap terjaga.
Jika, anda mampu secara jernih memahami martabat anugrah
karomah (kemuliaan) ini maka akan terbuka kesempatan untuk
menyaksikan Yang Maha Mulia (Jalal), Maha Cantik (Jamal),
Maha Sempurna (Kamal), Maha Kuasa (Kahar). Sehingga
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 140

keimanan anda akan semakin sempurna, jiwa anda akan


damai, hidup dan kehidupan anda pun demikian akan
merasakan kesempurnaannya. Itu karena anda tahu betul
berbagai macam kemuliaan yang digelar Hyang Widhi di jagad
semesta ini, yang menjadi penguat keimanan.

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 141

#59
DI MANAKAH ALLAH?
(Pupuh XI, bait 16-30)
Ada berapa tingkatan nyawa itu? Guru Gatholoco mengajarkan
untuk menjawab hanya satu, yakni ruh idhafi, ya hidup itu
sendiri. Tak ada lainnya, tak bercabang tiga atau lainnya. Ya itu
Hidup ini, hidupmu, hidupku. Lantas jika ada yang bertanya,
di mana Allah? Jawablah, siapa yang bertanya seperti itu?
Janganlah anda bingung, kemudian bertanya soal itu.
Bukankah, hidupmu, keberadaanmu adalah (bukti) wujud
Allah? Jika bukan, lantas siapakah diri anda? Apa yang anda
ucapkan, dan yang mengucapkan adalah Allah sendiri. Tetapi,
berhati-hatilah akan hal ini, jika tanpa didasari oleh
pemahaman dengan kesadaran yang total.
Resapilah dengan sungguh-sungguh bagaikan terserapnya air
dalam tanah. Menusuk ke dalam relung pemahaman yang
mendalam. Resapilah tiada henti, bagaikan siang dan malam,
tanpa putus. Pandanglah dunia, bagaikan rintik hujan yang
sambung menyambung. Segala perwujudan dunia ini dengan
segala isinya, tiada lain adalah bukti Adanya Tuhan.
Perhatikanlah semua isi dunia ini. Meski beraneka rupa,
tetaplah sama, semuanya adalah wujud AdaNYA. Jadikanlah
kesadaran totalmu itu bagaikan samudra, yang luas, dalam,
meski banyak riak-riak gelombang, namun tetap tenang tak
tergoyahkan.
Yang melihat, hakikatnya adalah Tuhan, dan yang dilihat
hakikatnya juga Tuhan, tiada dua adanya, tiada lagi ikrar yang
bercabang, inilah kesempurnaan menyembah, kesempurnaan
shalat, tahu arah menyembah, tahu arah berbakti yang
#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 142

sesungguhnya. Itulah kebenaran yang senyatanya. Mengetahui


asal gerak hati, asal diamnya hati, asal pendengaran, asal
ucapan, asal duduk dan berdiri, tahu benar siapa yang
menggerakkan diri.
Tahu asal tidur, tahu asal jaga, tahu asal makan, tahu asal
minum, tahu asal membuang kotoran, tahu asal membuang air
seni. Tahu asal kesenangan dan nafsu, tahu asal jiwa yang
penuh kekuatan menahan hawa nafsu, tahu tempat selatan dan
timur, utara barat sesungguhnya, tahu arah bawah, tahu arah
atas yang sesungguhnya. Tahu arah tengah, tahu arah pinggir,
tahu tujuan kematian, tahu tujuan hidup, tahu segala hal yang
mewujud, yang bergerak dan yang berkelip-kelip ini semua.
Tiada samar lagi mengetahui semuanya, semua wejanganku
ini, wahai kalian semua ingat-ingatlah,oh anak muridku,
jangan sampai ceroboh, harus memahami inti sari tulisan.
Jikalau kalian sekarang sudah memahami, jagalah benar-benar,
jangan gampang diucapkan dan pagarilah,jangan sembarangan
diucapkan, harus memakai kira-kira dan tempat yang sesuai,
jangan hanya asal bisa bicara. Dan lagi kalau bisa jangan
sampai terdengar, kepada ahli Sarak (Syari'at), jika berbantahan
dengan mereka akan sia-sia, sebab wejangan ini, tidak lagi
membahas sarak (syari'at), akan tetapi membahas Sejatinya
Ilmu. Yang tertata dan yang terjaga, tak ada lagi yang perlu
diwejangkan, tentang hal ini semua, masukkan dalam batinmu
masing-masing, sehingga kamu bisa membuktikannya sendiri,
wahai kalian ahli Buddhi (Ahli hanya menyebut Hyang Widhi)!

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 143

#NgajiGatholoco: Masturbasi Religius

Page 144

También podría gustarte