Está en la página 1de 23

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia sangat erat hubungannya dengan suatu penyakit, baik penyakit
yang ringan sampai yang berat sekalipun. Penyakit yang awalnya ringan apabila
tidak segera diatasi maka bisa saja menjadi penyakit yang berat, sehingga
diperlukan diagnosis sejak dini dan diperlukan obat yang tepat untuk penyakit
yang diderita. Di Indonesia sendiri sejak ribuan tahun lalu sudah mengenal
pengobatan tradisional, pemanfaatan

obat

tradisional

untuk pemeliharaan

kesehatan dan gangguan penyakit hingga saat ini masih sangat dibutuhkan
dan dikembangkan, terutama dengan mahalnya biaya pengobatan dan harga
obat-obatan (Efremila dkk, 2015). Obat tradisional di Indonesia memiliki peran
yang sangat penting terutama bagi masyarakat di daerah pedesaan yang fasilitas
kesehatannya masih sangat terbatas (Hidayat dan Hardiansyah, 2012).
Pemanfaatan obat tradisional oleh masyarakat digunakan sebagai pengobatan
alternatif untuk diri sendiri, dimana obat tradisional merupakan warisan turuntemurun dari nenek moyang baik dalam ramuan maupun dalam penggunaannya
sebagai obat tradisional berdasarkan pengalaman yang diturunkan dari generasi ke
generasi baik secara lisan maupun tulisan (Soedarsono Riswan, 2008).
Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada
penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki
efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern (Oktora, 2006).
Kemajuan pengetahuan dan teknologi modern yang semakin pesat dan canggih di
zaman sekarang ini, ternyata tidak mampu menggeser atau mengesampingkan
begitu saja peran obat tradisional (Herni dan Nawawi, 2015).
Obat tradisional Indonesia masih sangat banyak yang belum diteliti,
khususnya yang sebagian besar berasal dari bahan tumbuhan (Soedarsono Riswan,
2008). Padahal saat ini minat masyarakat terhadap pengobatan dengan obat alam

semakin meningkat. Pemanfaatan tanaman baik sebagai obat maupun tujuan lain
merupakan salah satu fenomena yang terjadi saat ini. Tanaman obat mengandung banyak
komponen senyawa aktif dan memiliki berbagai efek farmakologis yang perlu dibuktikan
kebenarannya secara ilmiah (Hardani, 2015). Salah satu tumbuhan yang bisa

digunakan sebagai obat adalah tumbuhan tepung otot (Plantago major), dimana
tepung otot merupakan famili plantaginaceae dan genus Plantago yang sangat
beragam terdiri dari sekitar 256 spesies. Plantago major berasal dari Eurasia dan
sekarang ada hampir di seluruh dunia (Zubair, 2010). Plantago major dipilih untuk
diperiksa terhadap potensi anti-inflamasi dengan cara penghambatan COX-1 dan
LOX-12, karena sifatnya diketahui sebagai perbaikan dan mengandung produk
alam seperti fenolat dan senyawa flavonoid yang sangat ampuh sebagai inhibitor
LOX-12. Beberapa jurnal menjelaskan tentang potensi anti-inflamasi dari dua
spesies tersebut dan senyawa aktifnya (Beara, 2010).
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Apa sajakah golongan senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak tepung otot
(Plantago major)?
2. Mengapa tepung otot (Plantago major) memiliki aktivitas sebagai antiinflamasi?
3. Bagaimana mekanisme farmakologi ekstrak tepung otot (Plantago major)
sebagai anti-inflamasi didalam tubuh?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini diantaranya :
1. Untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak
tepung otot (Plantago major)
2. Untuk mengetahui alasan tepung otot (Plantago major) memiliki aktivitas
sebagai anti-inflamasi
3. Untuk mengetahui mekanisme farmakologi ekstrak tepung otot (Plantago
major) sebagai anti-inflamasi didalam tubuh

1.4 Manfaat Penelitian


Dari tujuan diatas , penelitian ini diharapkan membawa manfaaat antara lain :
1. Aspek Teoritis
Penelitian ini dapat memberikan informasi ilmiah mengenai efek antiinflamasi
ekstrak tepung otot (Plantago major).
2. Aspek Aplikatif
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar penelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Tentang Inflamasi
Inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap jejas yang terjadi dalam tubuh
manusia. Inflamasi, bila terjadi terus menerus dalam waktu lama maka
merupakan salah satu faktor risiko timbulnya kanker. Inflamasi kronik yang
terjadi akan menimbulkan stimulus berulang dan mengakibatkan kerusakan
DNA ireversibel, diikuti dengan mutasi onkogen, gen supresor tumor, gen

pengatur proliferasi dan apoptosis sel (Lisiane B. Meira, 2008). Pada proses
inflamasi akan dilepaskan mediator inflamasi seperti histamin, serotonin,
bradikinin, prostaglandin dan leukotrin yang dapat menimbulkan reaksi
radang (Hardani, 2015).
Mediator inflamasi kimiawi ada yang dihasilkan atau dilepas oleh sel
dan juga oleh plasma:
1. Mediator kimiawi yang dilepas :
a. Histamin
Telah diketahui secara luas histamin merupakan mediator kimiawi pada
radang akut. Histamin mengakibatkan dilatasi vaskuler dan naiknya
permeabilitas vaskuler. Histamin disimpan dalam sel mast, basofil, eusinofil
dan trombosit. Histamin dilepaskan dari tempat-tempat tersebut (misalnya
degranulasi sel mast) karena dirangsang oleh komplemen C3a dan C5a, sereta
oleh protein lisosomyang dilepas oleh neutrofil.
b. Lisosom
Dilepas dari neutrofil, termasuk protein

kationik,

yang

dapat

meningkatkan permeabilitas vaskuler dan protease netral yang dapat


mengaktifkan komplemen.
c. Prostaglandin
Merupakan golongan asam lemak rantai panjang derivat dari asam
arakhidonat dan disintesis oleh beberapa jenis sel. Beberapa prostaglandin
potensial menaikkan permeabilitas vaskuler yang disebabkan oleh komponen
lain. Lainnya termasuk penggumpalan trombosit (prostaglandin I2 adalah
penghambat, sedangkan prostaglandin A2 adalah stimulator).
d. Leukotrien
Kelompok ini juga disintesis dari asam arakhidonat, terutama dalam neutrofil.
Dan kelihatannya juga memiliki kemampuan vasoaktif.
e. 5-hidroksitriptamin (serotonin)
Ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi dalam sel mast dan trombosit.
Serotonin merupakan bahan vasokonstriktor yang kuat.
f. Sitokin

Merupakan keluarga dari chemical messenger yang dilepas oleh limfosit.


Selain peranan utamanya dalam hipersensitivitas tipe IV, sitokin juga
mempunyai kemampuan vasoaktif atau kemotaksis.
2. Faktor plasma
Plasma terdiri atas empat bagian kecil system enzimatik yaitu komplemen,
kinin,factor koagulasi, dan system fibrinolitik yang saling berhubungan dan
membentuk berbagai mediator inflamasi.
a. Sistem komplemen
Sistem komplemen merupakan bagian dari system protein enzimatik. Sistem
komplemen dapat diaktifkan sepanjang reaksi radang akut yang berlangsung
melalui berbagai jalan:
- Pada jaringan nekrosis, enzim yang mampu mengaktifkan komplemen
-

dibebaskan dari sel yang telah mati.


Selama infeksi berlangsung, kompleks antigen-antibodi yang terbentuk
dapatmengaktifkan

komplemen

melalui

jalan

klasik,

sedangkan

endotoksin bakteri gram negativ mengaktifkan komplemen melalui jalan


-

alternativ.
Produksi kinin, koagulasi dan system fibrinolitik dapat mengaktifkan
komplemen.

Produk yang mengaktifkan komplemen merupakan produk yang paling


penting pada radang akut, termasuk di dalamnya adalah :
-

C5a: kemotaksis untuk neutrofil, meningkatkan permeabilitas vaskuler,

membebaskan histamin dari sel mast.


C3a: mempunyai sifat yang sama dengan C5a, tetapi kurang aktif.
C567: kemotaksis untuk neutrofil.
C56789: mempunyai aktivitas sitolitik.
C4b, 2a, 3b: opsonisasi bakteri (member fasilitas fagositosis oleh

makrofag).
b. Sistem kinin
Kinin merupakan peptide dari 9-11 asam amino. Faktor permeabilitas vaskuler
yang paling penting adalah bradikinin. Sistem kinin diaktifkan oleh factor
koagulasi XII. Bradikinin juga merupakan mediator kimiawi dari rasa sakit
yang merupakan salahsatu tanda kardinal radang akut.

c. Sistem koagulasi
Sistem koagulasi bertanggung jawab terhadap perubahan fibrinogen menjadi
fibrin, suatu komplemen utama dari eksudat radang akut. Faktor XII koagulasi
sekali diaktifkan dengan cara kontak dengan materi ekstraseluler (misalnya
lamina basalis) dan berbagai enzim proteolitik yang berasal dari bakteri dapat
mengaktifkan koagulasi, sistem kinin, dan fibrinolitik.
d. Sistem fibrinolitik
Plasmin bertanggung jawab terhadap lisisnya fibrin menjadi produk fibrin
yang rendah yang mungkin mempunyai efek local pada permeabilitas vaskuler
(Lisiane B. Meira, 2008).
Mediator-mediator inflamasi diatas bertanggung jawab menimbulkan
reaksi radang dengan gejala calor, rubor, dolor dan functiolaesa, dimana :
a. Rubor
Merupakan hal pertama saat mengalami peradangan, karena banyak darah
mengalir ke dalam mikrosomallokal pada tempat peradangan.
b. Kalor
Panas dikarenakan lebih banyak darah yang disalurkan pada tempat
peradangan daripada yang disalurkan kedaerah normal. Fenomena panas lokal
ini tidak terlihat pada tempat peradangan jauh didalam tubuh karena jaringan
sudah mempunyai suhu 370C.
c. Dolor
Rasa sakit dikarenakan pembengkakan jaringan mengakibatkan peningkatan
tekanan lokal dan juga karena ada pengeluaran zat histamin dan zat kimia
bioaktif lainnya.
d. Tumor
Pembengkakan karena pengeluaran cairan-cairan ke jaringan interstisial.
e. Fungsio laesa
Perubahan fungsi adalah reaksi peradangan yang telah dikenal, tetapi tidak
diketahui secara mendalam dengan cara apa fungsi jaringan yang meradang
itu terganggu (Dhyantari, 2015).

Gambar 1 Skema Inflamasi

2.2 Tinjauan Tentang Tumbuhan Tepung Otot (Plantago major)

Plantago major merupakan famili plantaginaceae dan genus Plantago


yang sangat beragam terdiri dari sekitar 256 spesies. Plantago major berasal
Gambar 2 Plantago major
7

dari Eurasia dan sekarang ada hampir di seluruh dunia (Zubair, 2010).
Plantago major memiliki batang tegak berdiameter besar dan pendek serta
bantalan roset dan spiral. Akar banyak dan adventif dengan panjang yang
sama (hingga 1 m) warna agak keputihan, mungkin kontraktil. Panjang daun
(5-) 10-15 (-30) cm, bulat telur atau elips, susunannya tidak teratur ada yang
menyempit menjadi tangkai daun yang panjangnya sama seperti panjang
pisau. Biasanya terdapat urat sebanyak 3-5, tidak berbulu atau berbulu,
biasanya berwarna hijau tapi kadang-kadang bercampur dengan merah muda
atau ungu. Perkembangan bunga mulai dari satu hingga banyak dengan batang
pendek yang tidak melebihi daun. Spike panjangnya (1-10-15 (-30) cm,
perbungaan dikenal sederhana meskipun bercabang. Bracts berwarna
kecoklatan dengan keel hijau. Bunga berdiameter 2-4 mm. Corolla berwarna
putih kekuningan, dengan lobus segitiga. Kepala sari pertama berwarna ungu
kemudian putih kotor. Buah panjangnya 5 mm, ada sekitar tiga sampai dua
puluh delapan, yang terdistribusi sepuluh dan delapan belas biji per kapsul
(Bailey, 2014). Plantago mengandung glikosida aukubin, plantagin dan bijinya
memiliki sejumlah besar faktor glutin, pluntenolat, asam suksinat dan adenin.
Di beberapa negara timur, plantago digunakan sebagai pengobatan tradisional
(Amini et al., 2010). Plantago mayor L. biasanya ditemukan di tanah yang
miskin fosfor dan kalium. Nitrogen dapat memperbanyak daun, pertumbuhan
batang, dan peningkatan total biomassa, tetapi nitrogen memiliki dampak pada
pertumbuhan akar (Haddadian, 2014).
2.3 Kandungan Tumbuhan Tepung Otot (Plantago major)
Kandungan tumbuhan tepung otot sebagai berikut :
a. Flavonoid

Gambar 3 Struktur Kimia Flavonoid

Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder


yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid
termasuk dalam golongan senyawa phenolik dengan struktur kimia C6C3-C6. Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A, satu cincin
aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung
oksigen dan bentuk teroksidasi cincin ini dijadikan dasar pembagian
flavonoid ke dalam sub-sub kelompoknya (Redha, 2010).
b. Polifenol

Gambar 4 Struktur Kimia Polifenol


Polifenol merupakan kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan.
Zat ini memiliki tanda khas yakni memiliki banyak gugus fenol dalam
molekulnya. Polifenol berperan dalam memberi warna pada suatu
tumbuhan seperti warna daun saat musim gugur (Dhianawaty & Ruslin,
2014).
c. Saponin

Gambar 5 Struktur Kimia Glikosida Saponin

Saponin adalah salah satu golongan senyawa glikosida yang mempunyai


struktur steroid dan triterpenoid mempunyai sifat-sifat khas dapat
membentuk larutan koloidal dalam air dan membuih bila dikocok
(Khristyana & Anggarwulan, 2005).
d. Polisakarida

Gambar 6 Struktur Kimia Polisakarida

Polisakarida adalah polimer monosakarida yang terdiri dari ratusan atau


ribuan monosakarida, contohnya tepung, sellulosa, polisakarida larut
dalam air dan membentuk larutan kolloid (Viana, Vale, Rao, & Matos,
1998).
2.4 Aktivitas Plantago major sebagai Antiinflamasi
Ekstrak metanol spesies Plantago (P. lanceolata L. dan P. major L.)
dipilih untuk diperiksa terhadap potensi anti-inflamasi dengan cara
penghambatan COX-1 dan LOX-12, karena sifatnya diketahui sebagai

10

perbaikan dan mengandung produk alam seperti fenolat dan senyawa


flavonoid yang sangat ampuh sebagai inhibitor LOX-12. Beberapa jurnal
menjelaskan tentang potensi anti-inflamasi dari dua spesies tersebut dan
senyawa aktifnya (Beara, 2010). Preparasinya sebelum ekstraksi daun kering,
sampel dikeringkan terlebih dahulu. Daun segar dimasukkan kedalam
pengering dengan suhu 35C. Kemudian di vakumkan <0,2 mbar dan suhu
kondensor diatur pada suhu -70C selama proses pengeringan. Setelah 16 jam,
gradien temperatur diatur pada suhu dari -35C sampai pada suhu 10C,
dengan peningkatan 5C setiap 2 jam (total 18 jam). Selanjutnya, suhu
dipertahankan pada 10C selama 30 jam setelah itu sampel kering sempurna.
Prosedur pengeringan beku total diambil 64 h. Selain itu, daun segar yang
dipanen dari tanaman yang ditanam di rumah kaca dapat langsung digunakan
untuk ekstraksi, untuk menghasilkan ekstrak daun segar (Zubair, 2012).
2.5 Natrium Diklofenak
Natrium diklofenak merupakan golongan anti inflamasi non steroid
(AINS) derivat asam fenil asetat yang dipakai untuk mengobati penyakit
reumatik dengan kemampuan menekan tanda-tanda dan gejala-gejala
inflamasi. Natrium diklofenak cepat diserap sesudah pemberian secara oral,
tetapi bioavaibilitas sistemiknya rendah hanya antara 30 - 70% sebagai efek
metabolisme lintas pertama di hati. Waktu paruh natrium diklofenak juga
pendek yakni hanya 1 - 2 jam. Efek-efek yang tidak diinginkan bisa terjadi
pada kira-kira 20% dari pasien meliputi distres gastrointestinal, pendarahan
gastrointestinal yang terselubung, dan timbulnya ulserasi lambung. Salah satu
alternatif untuk mengatasi masalah tersebut adalah bentuk sediaan dengan rute
pemberian topikal (Ajeng, 2008).
Kontraindikasi absolut penggunaan natrium diklofenak adalah orang
yang alergi terhadap diklofenak, riwayat aspirin triad (polip nasal, asma, dan
intoleransi aspirin), pengobatan nyeri perioperatif setelah dilakukan CABG

11

(operasi bypass jantung). Peringatan bahaya mengonsumsi Na diklofenak


diberikan pada orang-orang dengan risiko kardiovaskular (jantung dan
pembuluh) dan risiko gastrointestinal (saluran pencernaan). Obat-obatan
golong NSAID, tidak terkecuali Na diklofenak, dapat meningkatkan risiko
kejadian penyakit jantung serius, infark miokard, dan stroke. Risiko
meningkat seiring dengan lamanya penggunaan dan riwayat penyakit jantung
serta faktor risiko penyakit jantung. Pada risiko gastrointestinal, obat
golongan NSAID dapat menyebabkan permasalah saluran pencernaan yang
serius, seperti perdarahan, luka, hingga perforasi. Permasalahan saluran cerna
dapat berlangsung kapan pun tanpa tanda-tanda bahaya. Orang tua memiliki
risiko yang lebih besar untuk mengalami permasalahan saluran cerna (Ajeng,
2008).
Efek samping yang dapat terjadi akibat mengonsumsi Na diklofenak
antara lain: mual, dada terasa panas, perut kembung, konstipasi, diare, nyeri
kepala, mengantuk, dan pusing. Terdapat beberapa efek samping lain yang
meskipun jarang terjadi, namun serius, seperti: reaksi alergi yang ditandai
dengan kemerahan di kulit, gatal, pembengkakan di wajah, lidah, atau
tenggorokan, pusing berat, dan gangguan pernapasan; pembengkakan di
tangan dan kaki; kenaikan berat tubuh yang tiba-tiba; gangguan pendengaran;
perubahan mood; nyeri menelan; dan kelelahan yang tidak biasanya. Jika
terdapat gejala-gejala serius seperti yang dijelaskan di atas, maka harus segera
menghubungi dokter (Ajeng, 2008)
Dosis yang diberikan sesuai dengan kondisi kesehatan, respon
terhadap pengobatan, dan obat-obatan lainnya yang sedang diminum. Terdapat
3 jenis sediaan table Na diklofenak yang beredar di pasaran, yaitu 25 mg, 50
mg, dan 75 mg.
Untuk artritis reumatoid dosis yang digunakan adalah 50 mg 34 kali

sehari atau 75 mg 2 kali sehari.


Untuk osteoartritis adalah 50 mg 23 kali sehari atau 75 mg 2 kali sehari.

12

Untuk spondilitis ankilosa dosis yang digunakan adalah 25 mg 4 kali

sehari dan dapat ditambah 25 mg lagi sesaat sebelum tidur.


Na diklofenak baik dikonsumsi segera setelah makan

untuk

meminimalisir efek samping di saluran pencernaan (Ajeng, 2008)


2.6 Ekstraksi
Ekstraksi yaitu penarikan zat pokok yang diinginkan dari
bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang
dipilih dimana zat yang diinginkan akan larut. Sedangkan
ekstrak merupakan sediaan sari pekat tumbuh-tumbuhan
yang diperoleh dengan cara melepaskan zat aktif dari masingmasing bahan obat, menggunakan menstruum yang cocok,
uapkan semua atau hampir semua dari pelarutnya dan sisa
endapan atau serbuk diatur untuk ditetapkan standarnya
(Onoda, 2008).
Tumbuhan segar yang telah dihaluskan atau material
tumbuhan yang dikeringkan diproses dengan suatu cairan
pengekstraksi. Jenis ekstraksi mana dan bahan ekstraksi
mana yang digunakan, terutama tergantung dari kelarutan
bahan kandungan serta dari stabilitasnya. Jumlah dan jenis
senyawa

yang

berpindah

masuk

ke

dalam

ekstraksi

bergantung dari jenis dan komposisi cairan pengekstraksi.


Untuk memperoleh sediaan obat yang cocok umumnya
berlaku campuran etanol-air sebagai cairan pengekstraksi
(Ozaslan, 2007)
Ada

prinsip

ekstraksi

tumbuhan

meliputi

fase

ekstraksi, maserasi, dan perkolasi. Metode ekstraksi dipilih


berdasarkan beberapa faktor seperti sifat dari bahan mentah
obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode

13

ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang


sempurna atau mendekati sempurna dari obat.
Sifat dari bahan mentah merupakan faktor utama yang
harus dipertimbangkan dalam memilih metode ekstraksi.
Pada kenyataannya sering digunakan kombinasi dari proses
maserasi dan perkolasi dalam mengekstraksi bahan mentah
obat (Samuelsen, 2000).
Maserasi merupakan proses paling tepat dimana obat
yang sudah halus memungkinkan untuk direndam dalam
menstruum sampai meresap dan melunakkan susunan sel,
sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Maserasi
biasanya dilakukan pada temperature 150 - 200 C dalam
waktu selama 3 hari sampai bahan-bahan yang larut melarut
(Samuelsen, 2000). Maserasi digunakan untuk penyarian
simplisia yang mengandung zat aktif yang mudah larut dalam
cairan

penyari,

mengembang

tidak

dalam

mengandung

cairan

penyari,

zat
tidak

yang

mudah

mengandung

benzoin, stirak dan lain-lain.


Penggolongan ekstrak menurut sifat-sifatnya:
a. Ekstrak encer (extractum tenue)
Sediaan ini mempunyai konsistensi seperti madu dan dapat
dituang.
b. Ekstrak kental (extractum spissum)
Sediaan ini liat pada kondisi dingin dan tidak dapat dituang,
kandungan airnya sekitar 30%.
c. Ekstrak kering (extractum siccum)
Sediaan

ini

memiliki

konsistensi

kering

dan

mudah

digosokkan, kandungan airnya tidak lebih dari 5%.

14

d. Ekstrak cair (extractum fluidum)


Flavonoid mudah larut dalam air. Oleh karena itu senyawa ini
berada dalam ekstrak air tumbuhan. Flavonoid diekstrak baik
memakai metanol, etanol, dan aseton. Isolasi senyawa
flavonoid dari buah pare secara maserasi menggunakan
pelarut etanol 70% (Samuelsen, 2000).

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium.
3.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi dan
Biomedik Fakultas Farmasi Universitas Jember di Jember.
3.3 Subjek Penelitian
Ekstrak

tepung

otot

(Plantago

major

L.)

diambil

dari

tumbuhan yang diperoleh dari desa Ledokombo Kecamatan


Sumber Kabupaten Probolinggo.
3.4 Variabel Penelitian
a. klasifikasi variabel
1. Variabel bebas : Ekstrak tepung otot (Plantago major L.)
2. Variabel terikat : Efek antiinflamasi
b. Definisi Operasional Variabel
1. Ekstrak tepung otot (Plantago major L.)

15

Tepung otot diekstraksi di laboratorium Biologi Farmasi


Fakultas Farmasi Universitas Jember . Ekstrak dibuat dengan
metode maserasi dengan pelarut etanol 70 %, pelarut sempurna
untuk flavonoid. Ekstrak yang dihasilkan merupakan ekstrak
kental. Ekstrak diberikan per oral kepada tikus putih jantan.
2. Efek Antiinflamasi
Efek antiinflamasi adalah pengukuran udema tikus putih
jantan yang dihitung dari nilai rata-rata yang diukur tiap 30 menit
sampai pengukuran pada menit ke-180 dengan menggunakan
alat plestimometer.

3.5 Skema Metode Penelitian


Penyiapan Bahan Uji

Determinasi Tumbuhan Tepung Otot

Pemilihan Simplisia

Penetapan Kadar Air

Pembuatan Ekstrak

Penapisan fitokimia simplisia dan ekstrak


16

Pengujian aktivitas Antiinflamasi sediaan uji

Uji statistika menggunakan metode uji normalitas, T-student, ANOVA dan


uji lanjut LSD

Gambar 7 Skema Metodologi Penelitian

3.6 Skema Perlakuan Pada Hewan


Hewan uji diadapatasikan selama 2 minggu

Pengujian dilakukan pada 30 ekor tikus wistar jantan dibagi menjadi 5 kelompok
dan diukur volume kaki awal masing-masing kelompok

Kelompok 1
Kontrol
positif

Kelompok 2
Kontrol
negatif

suspensi
CMC NA
1%

suspensi
CMC NA
1%

Karagenan
0,2 mL

NaCl 0,9%

Kelompok 3
Diberi 400
mg/kgBB
ekstrak
etanol
tumbuhan
tepung otot

Kelompok 4
Kombinasi
tumbuhan
500
mg/kgBB
dan 200
mg/kgBB
ekstrak
etanol
tumbuhan
tepung otot

Kelompok 5
Natrium
diklofenak
2,25
mg/kgBB

17

Hewan uji diberikan sediaan sesuai dengan kelompok masing-masing secara oral

Semua kelompok perlakuan diinduksi karagenin 1% secara intraplantar setelah satu


jam pemberian bahan uji
Pengukuran volume udem dengan alat plestimometer pada jam ke 1, 2, 3, 4, 5, 24,
dan 30 jam
3.7 Alat dan Bahan Penelitian Gambar 8 Skema Perlakuan Pada Hewan
1. Alat
a. Kandang tikus : untuk tempat mengadaptasikan tikus pada
tempat percobaan.
b. Timbangan hewan : untuk mengetahui berat badan tikus.
c. Jarum suntik : untuk memasukkan sampel uji ke tikus putih jantan.
d. Beker glass : untuk tempat ekstrak tepung otot yang telah
diencerkan.
e. Plestimometer : untuk mengukur udema
2. Bahan
a. Ekstrak tepung otot (Plantago major)
b. Alkohol : sebagai disenfektan.
c. Na Diklofenak : sebagai kontrol positif.
d. Aquadest : sebagai kontrol negatif.

18

3.8 Cara Kerja


a. Hewan Uji
Hewan uji yang digunakan berupa tikus putih jantan (Rattus
norvegicus) galur Wistar dengan umur kurang lebih 2 bulan
dengan berat badan kira-kira 100 g sebanyak 30 ekor yang
dibagi menjadi 5 kelompok dan masing-masing kelompok
terdiri atas 6 ekor tikus putih yang dipilih secara acak.
b. Membuat ekstrak tepung otot (Plabtago major L.)
Ekstrak pada percobaan dibuat di Laboratorium Biologi
Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Jember. Ekstrak dibuat
dengan metode maserasi dengan pelarut etanol 70% dan
hasilnya berupa ekstrak kental. Ekstrak kental berwujud liat
pada kondisi dingin dan tidak dapat dituang, kandungan airnya
sekitar 30%.
c. Langkah penelitian
a. Tikus putih jantan dipuasakan selama 6 jam setelah
diadaptasikan selama 3 hari di tempat penelitian. Kemudian
tikus putih jantan sebanyak 30 ekor dikelompokkan menjadi
5 dengan cara acak, masing-masing kelompok terdiri atas 6
ekor tikus putih jantan yaitu K1, K2, K3, K4, dan K5.
b. Masing-masing kelompok diberi perlakuan dengan cara
injeksi dalam bentuk larutan.
c. Tiga puluh menit setelah perlakuan,

diukur lagi sampai

percobaan pada menit ke-180 dengan interval 30 menit.


d. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian dianalisis secara statistik dengan uji
anova dan uji post hoc. Uji anova adalah uji untuk membandingkan perbedaan
mean lebih dari dua kelompok, sedangkan uji post hoc adalah uji untuk

19

membandingkan perbedaan mean antara 2 kelompok dengan nilai = 0,5


(Murti, 1994).

DAFTAR PUSTAKA
Ajeng, dwi dkk. (2008). Cross Sectional, 10(2), 2836.
Amini, M., Kherad, M., Mehrabani, D., Azarpira, N., Panjehshahin, M. R., &
Tanideh, N. (2010). Effect of Plantago major on Burn Wound Healing in Rat.
Journal

of

Applied

Animal

Research,

37(1),

5356.

http://doi.org/10.1080/09712119.2010.9707093
Bailey, B. Y. N. T. J. (2014). British Ecological Society, 21(1), 120127.
Beara, I. N. et al. (2010). Liquid chromatography/tandem mass spectrometry study of
anti-inflammatory activity of Plantain (Plantago L.) species. Journal of
Pharmaceutical

and

Biomedical

Analysis,

52(5),

701706.

http://doi.org/10.1016/j.jpba.2010.02.014
Dhianawaty, D., & Ruslin. (2014). Kandungan Total Polifenol dan Aktivitas
Antioksidan dari Ekstrak Metanol Akar Imperata cylindrica (L) Beauv. (Alangalang), 47(1). http://doi.org/http://dx.doi.org/10.15395/mkb.v47n1.398
20

Dhyantari,

D.

(2015).

TIKUS

WISTAR

JANTAN

YANG

DIINDUKSI

KARAGENAN The Use Chicken Foot Extraction as the Source of Glucosamine


as Anti-Accute Inflamation Agent by In Vivo, 3(3), 888895.
Efremila , Evy Wardernaar, L. S. (2015). STUDI ETNOBOTANI TUMBUHAN
OBAT OLEH

ETNIS

SUKU

DAYAK

DI

DESA KAYU

TANAM

KECAMATAN MANDOR KABUPATEN LANDAK, 3, 234246.


Haddadian, et al. (2014). A review of plantago plant. Indian Journal of Traditional
Knowledge, 13(4), 681685.
Hardani, R. (2015). OF PHARMACY GALENIKA ISSN: 2442-8744 UJI
AKTIVITAS ANTIINFLAMASI EKSTRAK ETANOL DAUN PISANG
AMBON ( Musa paradisiaca L .) TERHADAP TIKUS PUTIH ( Rattus
norvegicus L .) YANG DIINDUKSI KARAGENAN ANTI-INFLAMMATORY
ACTIVITY. Journal of Pharmacy.
Hidayat, D., & Hardiansyah, G. (2012). Studi Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat
di Kawasan IUPHHK PT . Sari Bumi Kusuma Camp Tontang Kabupaten
Sintang, 8, 6168.
Khristyana, L. Y. A., & Anggarwulan, E. (2005). Pertumbuhan, Kadar Saponin dan
Nitrogen Jaringan Tanaman Daun Sendok (Plantago major L.) pada Pemberian
Asam Giberelat (GA3). Biofarmas, 3(1), 1115.
Lisiane B. Meira, et al. (2008). DNA damage induced by chronic inflammation
contributes to colon carcinogenesis in mice. The Journal of Clinical
Investigation, 118(7), 25162525. http://doi.org/10.1172/JCI35073.2516
Oktora, L., Kumala, R., Pengajar, S., Studi, P., & Universitas, F. (2006). Pemanfaatan
Obat Tradisional Dan Keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian, III(1), 17.
Onoda, Y. et al. (2008). Effects of light and nutrient availability on leaf mechanical
properties of Plantago major: A conceptual approach. Annals of Botany, 101(5),
727736. http://doi.org/10.1093/aob/mcn013
Ozaslan, M. (2007). In vivo Antitumoral Effect of Plantago major L . Extract on
Balb / C Mouse with Ehrlich Ascites Tumor. The American Journal Of Chinese
21

Medicine2, 35(5), 841851. http://doi.org/10.1142/S0192415X07005314


R. Herni Kusriani, Asari Nawawi, T. T. (2015). Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Dan Fraksi Kulit Batang Dan Daun Sungkai (Peronema Canescens Jack), 2(1),
814.
Redha, A. (2010). Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidatif dan Peranannya Dalam
Sistem Biologis. Jurnal Berlin, 9(2), 196202.
Samuelsen, A. B. (2000). The traditional uses, chemical constituents and biological
activities of Plantago major L. A review. Journal of Ethnopharmacology, 71(1
2), 121. http://doi.org/10.1016/S0378-8741(00)00212-9
Soedarsono Riswan, D. A. (2008). KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN OBAT
YANG

DIGUNAKAN

DALAM

PENGOBATAN

TRADISIONAL

MASYARAKAT SASAK LOMBOK BARAT, 4(2), 96103.


Viana, G. S. B., Vale, T. G., Rao, V. S. N., & Matos, F. J. A. (1998). a Nalgesic and a
Ntiinflammatory E Ffects of T Wo C Hemotypes of L Ippia Alba: a C
Omparative S Tudy, 36(5), 347351.
Zubair, M. (2010). Genetic and environmental effects on polyphenols in Plantago
major. Swedish University of Agricultural Sciences, 1(10), 130.
Zubair, M. et al. (2012). Effects of Plantago major L. leaf extracts on oral epithelial
cells in a scratch assay. Journal of Ethnopharmacology, 141(3), 825830.
http://doi.org/10.1016/j.jep.2012.03.016

22

23

También podría gustarte