Está en la página 1de 5

AUTISME

1. Definisi autisme
Istilah autisme berasal dari kata Autos yang berarti diri sendiri dan isme yang berarti suatu
aliran, sehingga dapat diartikan sebagai suatu paham tertarik pada dunianya sendiri (Suryana, 2004).
Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini
sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan
dengan penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain
repetitive dan stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan
di dalam lingkungannya (Dawson & Castelloe dalam Widihastuti, 2007).
Gulo (1982) menyebutkan autisme berarti preokupasi terhadap pikiran dan khayalan sendiri atau
dengan kata lain lebih banyak berorientasi kepada pikiran subjektifnya sendiri daripada melihat
kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu penderita autisme disebut orang yang
hidup di alamnya sendiri.
Istilah autisme dipergunakan untuk menunjukkan suatu gejala psikosis pada anak-anak yang
unik dan menonjol yang sering disebut sindrom Kanner yang dicirikan dengan ekspresi wajah yang
kosong seolah-olah sedang melamun, kehilangan pikiran dan sulit sekali bagi orang lain untuk menarik
perhatian mereka atau mengajak mereka berkomunikasi (Budiman, 1998).
Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi,
interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya mulai tampak sebelum anak berusia 3 tahun
(Suryana, 2004). Menurut dr. Faisal Yatim DTM&H, MPH (dalam Suryana, 2004), autisme bukanlah
gejala penyakit tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) dimana terjadi penyimpangan perkembangan
sosial, kemampuan berbahasa dan kepedulian terhadap sekitar, sehingga anak autisme hidup dalam
dunianya sendiri. Autisme tidak termasuk ke dalam golongan suatu penyakit tetapi suatu kumpulan
gejala kelainan perilaku dan kemajuan perkembangan. Dengan kata lain, pada anak Autisme terjadi
kelainan emosi, intelektual dan kemauan (gangguan pervasif).
Berdasarkan uraian di atas, maka autisme adalah gangguan perkembangan yang sifatnya luas
dan kompleks, mencakup aspek interaksi sosial, kognisi, bahasa dan motorik.
2. Ciri-ciri autisme
Menurut American Psychiatric Association dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM IV-TR, 2004), kriteria diagnostik untuk dari gangguan autistik
adalah sebagai berikut:
A.

Jumlah dari 6 (atau lebih) item dari (1), (2) dan (3), dengan setidaknya dua dari (1), dan satu dari masingmasing (2) dan (3):
(1)

Kerusakan kualitatif dalam interaksi sosial, yang dimanifestasikan dengan setidak-tidaknya dua
dari hal berikut:

(a)

Kerusakan yang dapat ditandai dari penggunaan beberapa perilaku non verbal seperti
tatapan langsung, ekspresi wajah, postur tubuh dan gestur untuk mengatur interaksi sosial.

(b)

Kegagalan untuk mengembangkan hubungan teman sebaya yang tepat menurut tahap
perkembangan.

(c)

Kekurangan dalam mencoba secara spontanitas untuk berbagi kesenangan, ketertarikan atau
pencapaian dengan orang lain (seperti dengan kurangnya menunjukkan atau membawa
objek ketertarikan).

(d)
(2)

Kekurangan dalam timbal balik sosial atau emosional.

Kerusakan kualitatif dalam komunikasi yang dimanifestasikan pada setidak-tidaknya satu dari hal
berikut:
(a)

Penundaan dalam atau kekurangan penuh pada perkembangan bahasa (tidak disertai dengan
usaha untuk menggantinya melalui beragam alternatif dari komunikasi, seperti gestur atau
mimik).

(b)

Pada individu dengan bicara yang cukup, kerusakan ditandai dengan kemampuan untuk
memulai atau mempertahankan percakapan dengan orang lain.

(c)

Penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan berbentuk tetap atau bahasa yang aneh.

(d)

Kekurangan divariasikan, dengan permainan berpura-pura yang spontan atau permainan


imitasi sosial yang sesuai dengan tahap perkembangan.

(3)

Dibatasinya pola-pola perilaku yang berulang-ulang dan berbentuk tetap, ketertarikan dan aktivitas,
yang dimanifestasikan pada setidak-tidaknya satu dari hal berikut:
(a)

Meliputi preokupasi dengan satu atau lebih pola ketertarikan yang berbentuk tetap dan
terhalang, yang intensitas atau fokusnya abnormal.

(b)

Ketidakfleksibilitasan pada rutinitas non fungsional atau ritual yang spesifik.

(c)

Sikap motorik yang berbentuk tetap dan berulang (tepukan atau mengepakkan tangan dan
jari, atau pergerakan yang kompleks dari keseluruhan tubuh).

(d)
B.

Preokupasi yang tetap dengan bagian dari objek

Fungsi yang tertunda atau abnormal setidak-tidaknya dalam 1 dari area berikut, dengan permulaan terjadi
pada usia 3 tahun: (1) interaksi sosial, (2) bahasa yang digunakan dalam komunikasi sosial atau (3)
permainan simbolik atau imajinatif.

C.

Gangguan tidak lebih baik bila dimasukkan dalam Retts Disorder atau
Childhood Disintegrative Disorder.
Gangguan autistik lebih banyak dijumpai pada pria dibanding wanita dengan ratio 5 : 1. Dalam

pengklasifikasian gangguan autisme untuk tujuan ilmiah dapat digolongkan atas autisme ringan, sedang dan
berat. Namun pengklasifikasian ini jarang dikemukakan pada orangtua karena diperkirakan akan mempengaruhi
sikap dan intervensi yang dilakukan. Padahal untuk penanganan dan intervensi antara autisme ringan, sedang
dan berat tidak berbeda. Penanganan dan intervensinya harus intensif dan terpadu sehingga memberikan hasil

yang optimal. Orangtua harus memberikan perhatian yang lebih bagi anak penyandang autis. Selain itu
penerimaan dan kasih sayang merupakan hal yang terpenting dalam membimbing dan membesarkan anak autis
(Yusuf, 2003).
3. Tingkat kecerdasan anak autis
Pusponegoro dan Solek (2007) menyebutkan bahwa tingkat kecerdasan anak autis dibagi mejadi 3 (tiga)
bagian, yaitu:
a. Low Functioning (IQ rendah)
Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori low functioning (IQ rendah), maka dikemudian hari hampir
dipastikan penderita ini tidak dapat diharapkan untuk hidup mandiri, sepanjang hidup penderita
memerlukan bantuan orang lain.
b. Medium Functioning (IQ sedang)
Apabila penderita masuk ke dalam kategori medium functioning (IQ sedang), maka dikemudian hari masih
bisa hidup bermasyarakat dan penderita ini masih bisa masuk sekolah khusus yang memang dibuat untuk
anak penderita autis.
c. High Functioning (IQ tinggi)
Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori high functioning (IQ tinggi), maka dikemudian hari bisa
hidup mandiri bahkan mungkin sukses dalam pekerjaannya, dapat juga hidup berkeluarga.
4. Perkembangan anak autisme
Menurut Wenar (1994) autisme berkembang pada 30 bulan pertama dalam hidup, saat dimensi dasar dari
keterkaitan antar manusia dibangun, karenanya periode perkembangan yang dibahas akan dibagi menjadi masa
infant dan toddler dan masa prasekolah dan kanak-kanak tengah.
1. Masa infant dan toddler.
Hubungan dengan care giver merupakan pusat dari masa ini. Pada kasus autisme sejumlah faktor
berhubungan untuk membedakan perkembangannya dengan perkembangan anak normal.
Tabel 2. Perbedaan perkembangan anak normal dan anak autis pada masa infant dan
toddler
No.
1.

Faktor Pembeda
Pola tatapan mata

2.

Affect

3.

Vokalisasi

Perkembangan Normal
Anak Autis
Usia 6 bulan sudah mampu Pandangan
mereka
melakukan
kontak sosial
melewati orang
dewasa
melalui tatapan
yang
mencegah
Toddler: menggunakangaze
perkembangan
pola
sebagai sinyal
pemenuhan
interaksi melalui tatapan
vokalisasi
mereka
atau Lebih
sering
melihat
mengundang partner untuk kemana-mana daripada ke
bicara
orang dewasa
Usia 2,5-3
bulan sudah Tidak ada senyum sosial
Usia 30-70 bulan
melakukan senyum sosial
melihat
dan tersenyum terhadap
ibunya, tapi tidak disertai
dengan kontak mata dan
kurang
merespon
senyuman ibunya
Usia 2-4 bualn anak dan ibu
Karakter mutism mereka

4.

5.

6.

7.

terlibat dalam pola yang tampak


dari kurangnya
simultan dan berganti vokal babbling
yang
yang menjadi awal bagi
menghambat
jalan
komunikasi
verbal interaksi sosial ini
selanjutnya.
Imitasi
Sosial: Langsung
muncul setelah Usia
8-26 bulan dapat
berkaitan
dengan lahir
meniru ekspresi wajah tapi
responsifitas sosial,
melalui
sejumlah
bermain bebas dan
keanehan
dan
respon
bahasa
mekanikal
yang
mengindikasikan
sulitnya
perilaku ini bagi mereka
Inisiatif
dan Merespon stimulus yang ada Anak menjadi penerima
Reciprocity
sehingga timbul reciprocity
pasif dari permainan orang
dewasa
dan
tidak
berinteraksi
secara ktif
dengan mereka
Attachment
Kelekatan pada anak autis
diselingi
dengan
karakteristik pengulangan
pergerakan
motorik
mereka seperti
tepukan
tangan,
goncangan dan
berputar-putar
Kepatuhan
dan
Anak autis patuh terhadap
Negativisme
permintaan.
Jika
permintaan tersebut sesuai
dengan
kapasitas
intelektual mereka, mereka
dapat merespon
secara
pantas saat mereka dalam
lingkungan
yang
terstruktur
dan
dapat
diprediksi.
Anak autis memiliki sifat
negativistik
secara
berlebihan

2. Masa prasekolah dan kanak-kanak tengah


a. Faktor afektif-motivasional
Motivasi untuk menjadi partisipan aktif yang kuat pada anak normal, lemah pada anak autis. Anak autis
kurang tertarik dengan teman sebayanya. Anak autis kurang dalam empati, yaitu proses dimana seseorang
berespon secara afektif terhadap orang lain seperti mereka mengalami affect yang sama dengan orang
tersebut.
b.

Reciprocity

Pada anak autis, ketidakmampuan untuk berpartisipasi secara penuh dalam interkasi sosial resiprokal yang
sesuai umur dapat bertahan seumur hidup mereka.
1) Kesulitan penerimaan
Mereka sulit mengenali wajah atau suara dari foto atau rekaman suara, mungkin karena kesulitan kognitif
dalam memproses stimulus sosial yang kompleks. Anak autis memahami penyebab dari emosi setidaknya
pada level-level sederhana. Misalnya: mereka memahami hubungan antara situasi dan affect. Orang merasa
senang saat pesta ulang tahun, sedih saat jatuh.
2) Kesulitan ekspresif

Mereka kurang dalam hal malu, afeksi dan bersalah yang biasanya muncul pada anak normal usia 2-3
tahun. Mereka juga mengalami kekurangan dalam ekspresi wajah, miskinnya gesture tubuh dan kurangnya
modulasi dalam aspek ekspresif dari suara yang memberikan kesan kaku.
5. Orangtua yang memiliki anak autis
Menurut Poerwadarminta (1985), orangtua adalah ibu dan bapak. Sementara menurut Departemen
Pendidikan Nasional dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), orangtua adalah ayah dan ibu kandung.
Jadi, dari definisi diatas, maka dapat dismpulkan bahwa orang tua yang memiliki anak autis adalah ayah
dan ibu yang memiliki anak-anak dengan ciri-ciri autisme.
Dalam menerima kehadiran anak dengan gangguan autisme, beragam hal terjadi pada diri orangtua.
Orangtua biasanya stres, kecewa, patah semangat, mencari pengobatan keman-mana, serba khawatir
terhadap masa depan anaknya dan lain-lain (Widihastuti, 2007). Hal ini ditegaskan kembali oleh Williams
dan Wright (2004) yang mengatakan bahwa keluarga akan melalui serangkaian emosi saat dikatakan anak
mereka autis. Ini bervariasi pada setiap keluarga, dan setiap keluarga punya perjalanan emosionalnya
sendiri. Beberapa keluarga telah melalui proses diagnostik panjang dan beberapa harus menunggu lama
waktu konsultasi. Beberapa menemukan prosesnya sangat cepat sehingga punya sedikit waktu untuk
memikirkan akibatnya dari menata emosi mereka. Pada beberapa anak, diagnosis lebih mudah dibuat pada
saat anak berusia dini dan pada beberapa, diagnosisnya sulit karena masalahnya lebih ringan. Semua ini
dapat mempengaruhi bagaimana orangtua akan memikirkan langkah ke depan apa yang harus mereka
lakukan.
Menurut Williams dan Wright (2004) semua orangtua memiliki respon dan perasaan berbeda saat anak
mereka didagnosa menderita autisme. Beberapa reaksinya adalah sebagai berikut:
a. Lega, jika orangtua memahami mengenai autisme dan mengetahui bagaimana mencari bantuan ahli.
b. Rasa bersalah, adalah perasaan orangtua yang khawatir jika mereka melakukan hal yang salah selama
kehamilan atau pengasuhannya.
c. Kehilangan, jika mimpi dan cita-cita bagi anak mereka sebelum lahir dan saat mereka masih kecil tidak
terpenuhi.
d. Ketakutan akan masa depan, disebabkan keluarga sangat takut akan masa depan anak-anak mereka dan
harus mengubah harapan akan masa depan anaknya.
e. Mencari informasi, keluarga ingin mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dan mencari keluarga lain
untuk berbagi pengalaman. Walaupun ada beberapa keluarga yang mungkin menghindar dari informasi dan
mencoba tidak memperdulikannya.
Referensi :
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19080/3/Chapter%20II.pdf (Diakses Senin, 17 Oktober 2016)

También podría gustarte