Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Hal
Kata Pengantar.......................................................................................................................i
Daftar Isi ............................................................................................................................... ii
Evaluasi Program Diklat Pemeriksa Pajak Sebagai Implementasi
Manajemen Sumber Daya Manusia Direktorat Jenderal Pajak ............................................. 1
Budi Harsono
Tantangan Widyaiswara dalam Menghadapi Perkembangan
Teknologi Pembelajaran .................................................................................................... 11
Yuliana Ria Uli Sitanggang
Angka Kredit Sebagai Ukuran Kinerja Widyaiswa ...............................................................19
Alex Oxtavianus
Rencana Stratejik dalam Perencanaan Pembangunan (Studi Kasus Aplikasi Rencana
Stratejik Kota Makassar di Kecamatan Tamalate) ..............................................................30
Hariawan Bihamding
Fenomena Go-Jek, Rekam Data Dan Isu Strategis Pembangunan ....................................56
H. Suwarli
Menumbuhkan Budaya Inovasi di Kalangan ASN .............................................................. 84
Dindin Supratman
Begini Cara Yang Fair Dalam Analisis Laporan Keuangan ............................................... 95
Muhtar Yahya
Penyiapan SDM Kependudukan Indonesia di Era Masyarakat...........................................107
Ekonomi Asean (MEA) Melalui Revolusi Diklat
Anindita Dyah Sekarpuri
Evaluasi Pelatihan Pengelolaan Dana Desa Bagi Aparatur Desa di Kabupaten Timor
Tengah Utara Tahun 2015 ................................................................................................119
Ondy Ch. Siagian
Pengaruh Pemberdayaan, Budaya Kerja, Motivasi Berprestasi Terhadap Kinerja Guru Di
Kabupaten Kapua .............................................................................................................. 119
Sugeng
Pengembangan Instrumen Penilaian Berbasis Pendekatan Saintifik Kelas IV SD Muatan
IPA pada Subtema Hewan dan Tumbuhan di Lingkungan Rumahku ................................143
Yetty Fatri Dewi
vii
viii
Corresponding author: Budi Harsono, E-mail: budi.harsono8008@gmail.com, Tel/Fax.: +62 (021) 5481155
A. Pendahuluan
Indonesia sebagai sebuah negara dapat berdiri hingga saat ini salah satu pilarnya
adanya undang-undang dasar yang mengatur berbagai hal termasuk keuangan negara.
Keuangan negara di manapun mengatur tentang pendapatan dan pengeluaran untuk
belanja. Indonesia telah mengandalkan pendapatan negara dari unsur pajak yang
dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak. Peran yang dilakukan oleh DJP dalam
mengumpulkan uang negara dilakukan dengan beberapa fungsi yaitu pelayanan,
pengawasan dan penegakan hukum. Pada ranah penegakan hukum sebagai
konsekuensi sistem perpajakan yang menggunakan sistem self assessment maka DJP
dalam hal ini berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
perpajakan.1
Selanjutanya
tata
cara
dan
tanggung-jawab
untuk
melaksanakan
pemeriksaan
di
bidang
perpajakan.3 Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang akan
diangkat menjadi pemeriksa pajak harus melalui seleksi internal dan setelah lulus seleksi
mengikuti pendidikan dan pelatihan khusus yaitu Diklat Fungsional Pemeriksa Dasar
yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pajak (Pusdiklat Pajak).
Jumlah pemeriksa pajak sampai dengan tahun 2013 sekitar 4.200 sementara jumlah
Wajib Pajak terdaftar lebih dari 24.000.000,Fokus pemeriksaan sektor usaha yang memiliki beberapa parameter yaitu tingkat
kepatuhan yang rendah, kontribusi signifikan terhadap perekonomian, kontribusi
signifikan terhadap penerimaan pajak, memiliki likuiditas keuangan yang bagus agar
hasil pemeriksaan dapat dibayar dan memiliki tingkat pertumbuhan yang pesat. Tingkat
kepatuhan yang rendah dapat dilihat dari catatan laporan bulanan dan tahunan.
Kontribusi signifikan terhadap perekonomian dapat dilihat pada APBN. Tingkat likuiditas
dapat dilihat pada laporan keuangan yang biasannya dipublikasikan juga di media
massa.
Upaya pemeriksaan terhadap Wajib Pajak memiliki keterbatasan waktu daluarsa.
Tahun pajak yang diperiksa tidak boleh lebih dari lima tahun yang lalu sehingga
2
Ibid, pasal 30
disamping ada fokus jenis usaha yang menjadi prioritas maka ada juga skala prioritas
dari tahun pajak yang harus diperiksa yaitu tahun pajak yang sudah mendekati masa
daluarsa. Pemeriksaan yang dilakukan selalu mendasarkan pada Surat Pemberitahuan
(SPT) sehingga dalam rangka mengelola risiko ketidakpatuhan atas SPT yang akan
daluwarsa, maka ditetapkan rencana pemriksaan terhadap SPT Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak yang mendekati masa daluarsa.
Ketika ada kebutuhan mendasar tentang kompetensi yang diperlukan, maka langkah
yang paling segera untuk dilakukan adalah adanya program pendidikan dan pelatihan
(Diklat) yang tepat sasaran. Diklat yang telah dilakukan untuk pegawai yang baru masuk
di Direktorat Jenderal Pajak adalah Diklat Teknis Subtantif Dasar (DTSD). Selanjutnya
pegawai yang telah mengikuti DTSD bekerja selama kurang lebih dua tahun dan akan
menduduki jabatan antara lain sebagai Account Representative (AR) dan Fungsional
Pemeriksa Pajak. Jabatan pemeriksa pajak memiliki fungsi sebagai penegak hukum
perpajakan dan juga berperan dalam penerimaan negara karena Wajib Pajak yang
diperiksa didahului dengan analisa resiko dengan prioritas yang akan menghasilkan
penerimaan negara cukup besar.
sebagai
orang-orang
yang
dikaryakan
oleh
sebuah
organisasi.
SDM
dikelola
SDM dan disain pekerjaan dalam organisasi. Teori ini menggambarkan betapa antara
pengembangan SDM dengan manajemen SDM itu sendiri saling berpengaruh terlebih
lagi manajemen SDM meliputi di dalamnya proses pengembangan SDM dalam setiap
tahapannya. Manajemen SDM yang diawali dengan penerimaan pegawai yang
berkualitas akan memudahkan saat dilakukan proses pengembangan melalui pendidikan
dan pelatihan.
Peta Strategi MSDM yang telah dibangun adalah seperti pada Gambar berikut:
Dari Gambar 1 di atas terlihat bahwa sasaran akhir (ultimate goal) yang ingin dicapai dari
cetak biru Manajemen SDM adalah pegawai berkinerja prima (excellent performance
employee), dimana pegawai memiliki kompetensi tinggi, tingkat kepuasan tinggi, integritas
tinggi, serta budaya yang kuat.
Kompetensi merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat kinerja pegawai.
Kompetensi
diartikan
sebagai
kombinasi
antara
keterampilan
(skill),
pengetahuan
(knowledge) dan sikap (attitude) yang tercermin melalui perilaku kinerja yang dapat diamati,
diukur dan dievaluasi. Dalam manajemen sumber daya manusia DJP, kompetensi menjadi
sasaran yang diukur dengan kesesuaian antara kompetensi pegawai dengan standar
kompetensi jabatan.
Kepuasan karyawan merupakan salah satu elemen penting untuk membangun kinerja
pegawai, mengingat kepuasan akan membangun motivasi pegawai dalam menjalankan
tugasnya
sehingga
produktivitas
semakin
meningkat.
Melalui
serangkaian
strategi
manajemen SDM yang dijalankan, diharapkan SDM memiliki tingkat kepuasan yang tinggi,
baik kepuasan terhadap pekerjaan, kepuasan terhadap lingkungan kerja, serta kepuasan
terhadap kebijakan manajemen SDM.
Integritas (integrity) diartikan sebagai bentuk tindakan yang konsisten sesuai dengan nilainilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi, walaupun dalam keadaan yang sulit
untuk melakukannya. Pegawai memiliki integritas tinggi menjadi salah satu sasaran strategis
manajemen SDM DJP mengingat proses bisnis di DJP memiliki potensi besar terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang dapat dilakukan.
Budaya diartikan sebagai sistem atau pola-pola nilai, simbol, ritual, mitos, dan praktekpraktek yang terus berlanjut yang dapat mengarahkan orang untuk berperilaku dalam upaya
memecahkan masalah. Nilai-nilai DJP (Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan
Kesempurnaan) harus menjadi acuan perilaku bagi seluruh sumberdaya manusia DJP dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan. Diharapkan seluruh jajaran DJP menjunjung tinggi nilainilai tersebut dan mengaplikasikan dalam pelaksanan tugas sehingga dapat diperoleh kinerja
yang maksimal.
Sementara itu, untuk mencapai sasaran akhir pegawai berkinerja prima dimana pegawai
memiliki kompetensi tinggi, tingkat kepuasan tinggi, integritas tinggi dan budaya yang kuat,
fungsi Manajemen SDM yang dijalankan meliputi 14 (empat belas) bagian penting dengan
struktur sebagai berikut:
a)
b)
c)
Organisasi SDM;
d)
e)
Perencanaan SDM;
f)
g)
h)
i)
Komunikasi Internal;
j)
k)
Manajemen Kinerja;
l)
m) Manajemen Karir;
n)
DJP
sebagai
organisasi
pembelajaran
(learning
organization),
sehingga
menghasilkan SDM yang menjadi pendukung penting bagi keberhasilan organisasi. Untuk
mencapai sasaran tersebut, strategi pengembangan kapasitas SDM berangkat dari
permasalahan seperti tidak bertemunya implementasi pelatihan dengan kebutuhan organisasi
baik kompetensi maupun jumlah pelatihan bagi seluruh pegawai. Untuk itu perlu:
C.
yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya
tujuan. Sedangkan Stufflebeam, mengungkapkan bahwa evaluasi merupakan proses
dilaksanakan menjadi sangat penting untuk dapat menentukan kebaikan dan kelebihan dari
program/objek yang diteliti.
Ketika membahas evaluasi program, maka setelah mendefiniskan arti kata evaluasi
langkah selanjutnya adalah mendefinisikan arti kata program. Istilah program dapat
diartikan dalam dua pengertian yaitu pengertian secara umum dan pengertian secara khusus.
Pengertian secara umum dapat diartikan bahwa program adalah sebuah bentuk rencana
yang akan dilakukan. Apabila program dikaitkan langsung dengan evaluasi program maka
program didefinisikan sebagai unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau
implementasi dari kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan dan terjadi
dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang. Namun dapat juga diartikan
secara umum, bahwa program adalah rencana atau aplikasi. Contohnya, jika seorang
pegawai senior ditanya, apa program setelah pensiun nanti maka program di sini berarti
rencana setelah masa pensiun nanti. Secara umum program juga berarti aplikasi misalkan
seorang pegawai yang sedang mengetik menggunakan komputer lalu ditanya oleh pegawai
yang duduk disebelahnya, sedang menggunakan program apa di komputer, maka program
dalam kontek ini adalah aplikasi.
Pada bahasan tulisan ini studi kasusnya menggunakan program diklat fungsional
pemeriksa dasar tahun anggara 2014. Pertimbangannya adalah pada tahun ini hanya ada
satu angkatan sementara tahun anggaran 2013 ada tujung angkatan dan tahun 2015 ada
enam angkatan. Tahun 2014 mudah mengambil sampel karena memang hanya ada satu
angkatan dan tidak ada pilihan angkatan lain untuk dijadikan studi kasus.
Sumber data yang diambil berasal dari observasi, wawancara dengan pengajar,
wawancara dengan pegawai di Bidang Evaluasi dan Pelaporan, dan data skunder berupa
laporan kinerja program diklat fungsional pemeriksa dasar tahun anggaran 2014.
Penelitian dokumen berupa kalender diklat tahun 2014 dan wawancara dengan pihak
perencanaan
dan
pengembangan
program
diketahui
bahwa
penentuan
waktu
penyelenggaraan diklat menggunakan basis kalender tahun sebelumnya yaitu tahun 2013
karena penyusunan kalender diklat di Pusdiklat Pajak sudah disesuaikan dengan siklus
pekerjaan di unit kerja DJP. Siklus pekerjaan di lapangan dimaksud adalah kegiatan tahunan
penerimaan SPT Pajak Penghasilan Tahunan yaitu pada bulan Maret untuk penerimaan SPT
PPh Orang Pribadi dan bulan April untuk untuk SPT PPh Wajib Pajak Badan Usaha.
Perubahan jadwal kalender diklat tidak ada perubahan yang signifikan, kecuali perubahan
pada skala prioritas sasaran diklat. Jika pada tahun 2013 terdapat tujuh angkatan diklat
fungsional pemeriksa dasar, maka pada tahun 2014 hanya ada satu angkatan. Hal ini
dikarenakan pada tahun 2014 Pusdiklat Pajak sedang fokus pada pendidikan dan pelatihan
pegawai baru sehingga yang diprioritaskan adalah Diklat Teknis Substantif Dasar yaitu
pendidikan dasar perpajakan yang ditujukan kepada para pegawai baru yang baru masuk
atau baru diterima di Direktorat Jenderal Pajak.
Perencanaan penggunaan sarana dan prasarana diklat fungsional pemeriksa dasar tahun
pajak 2014 tidak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena sudah terstandar dan sudah
berjalan lancar. Demikian juga untuk penggunaan anggaran program berdasarkan Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran sebagaimana terlihat pada tabel berikut:
Tabel 4.9
Penyelenggaraan Diklat Fungsional Dasar Tahun Anggaran 2014
No.
IDENTIFIKASI
KETERANGAN
1.
Nomor DIPA
015.11.1.670142/2014
2.
Tanggal Pengesahan
05 Desember 2013
3.
Tanggal Pelaksanaan
4.
5.
Jumlah Pengajar
10 Orang
6.
58 jamlat/6 hari
7.
Lokasi Penyelenggaraan
Pusdiklat Pajak
Jl. Sakti Raya No.1,
Kemanggisan, Jakarta Barat
Biaya program diklat fungsional pemeriksa pajak tidak termasuk biaya perjalanan dinas
peserta. Biaya perjalanan dinas dibebankan pada unit masing-masing peserta berasal.
Komponen biaya terbesar dialokasikan untuk anggaran konsumsi peserta diklat.
Model
penelitian
dilakukan
dengan
menggunakan
menentukan kisi-kisi penelitian dengan mengambil komponen dalam model cetak biru
manajemen SDM pegawai DJP. Aspek yang ditentukan adalah perwujudan pegawai
berkinerja prima dengan mengambil empat kriteria evaluasi sesuai empat pilar yang
mendukung perwujudan aspek yaitu adanya peningkatan kompetensi pegawai yang tinggi,
adanya kepuasan pegawai yang tinggi, peningkatan integritas yang tinggi dan peningkatan
budaya yang kuat.
Tabel 4.1
Matrik Hasil Evaluasi Berbasis Konsep MSDM DJP
KOMPONEN
ASPEK
KRITERIA EVALUASI
C1
C
O
N
T
E
X
T
Peran
Program
Diklat
Fungsio
nal Dasar
terhadap
Pegawai
Berkiner
ja Prima
Perwuju
dan
Pegawai
DJP Berki
nerja
Prima
Adanya
peningkatan
kompetensi
pegawai yang
tinggi
C2
Adanya
Kepuasan
Pegawai yang
Tinggi
C3
Adanya
peningkatan
integritas yang
tinggi
C4
Adanya
peningkatan
budaya yang
kuat
HASIL EVALUASI
D.
Kesimpulan
Hasil evaluasi program diklat fungsional pemeriksa pajak tingkat dasar tahun
anggaran 2014 telah sesuai dengan cetak biru manajemen sumber daya manusia
Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini dibuktikan telah adanya korelasi yang digambarkan
secara diskriptif antara empat kriteria evaluasi dengan proses dan hasil yang telah
dicapai dalam program.
10
Pendahuluan
Secara sederhana teknologi dapat didefinisikan sebagai suatu cara atau metode untuk
memanfaatkan pengetahuan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Dalam perkembangannya,
antara teknologi dan pengetahuan ternyata memiliki ketergantungan yang saling mendorong
untuk berkembang. Artinya, laju perkembangan teknologi memiliki ketergantungan terhadap
stok pengetahuan yang tersedia, sementara laju akumulasi pengetahuan juga tergantung
pada tingkat teknologi yang dikuasai.
Dalam konteks pembangunan secara luas, penguasaan teknologi oleh suatu negara
memiliki korelasi yang kuat dengan kemajuan pembangunan dari negara tersebut. Dalam
pengamatannya terhadap 75 negara periode 2000-2004, Fagerberg dan Srholec (2008)
menemukan bahwa negara dengan penguasaan teknologi yang tinggi cenderung memiliki
tingkat pendapatan per kapita yang tinggi pula.
Kenyataan inilah barangkali yang menjadi salah satu pendorong bagi hampir seluruh
negara di dunia untuk mengejar ketertinggalan teknologinya. Pada kenyataannya, sebagian
besar negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, tingkat penguasaan teknologinya
masih tergolong rendah. Terdapat berbagai faktor yang menjadi penyebab dari rendahnya
penguasaan teknologi di negara-negara berkembang. Salah satunya seperti yang
dikemukakan oleh Miah dan Omar (2011) adalah keterbatasan akses dan infrastruktur.
11
12
Metodologi
Tulisan ini disusun dengan sepenuhnya memanfaatkan berbagai literatur dan data yang
tersedia di internet. Sedangkan kerangka pikir yang digunakan adalah teori determinisme
teknologi yang dikemukakan oleh McLuhan yang pada intinya menyebutkan bahwa teknologi
akan mempengaruhi cara berkomunikasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi cara
berpikir dan berperilaku dalam masyarakat. Artinya, cara berpikir dan beperilaku di dalam
masyarakat akan sangat tergantung dari teknologi yang tersedia dan dikuasai.
13
Teknologi Pembelajaran
Teknologi pembelajaran mencakup teknologi komunikasi, informasi dan berbagai teknologi
terkait lainnya yang dapat digunakan untuk mendukung pembelajaran, pengajaran dan
penilaian dalam suatu proses belajar mengajar.
Kemajuan teknologi seperti telepon genggam, layanan jaringan sosial, dan komputer
personal telah mampu memberikan keleluasaan dan kendali terhadap individu dalam
memperoleh dan menggunakan informasi. Hal ini ternyata berpengaruh terhadap
perkembangan proses belajar mengajar. Penggunaan rekaman video, overhead projector,
dan pemanfaatan berbagai alat yang digunakan untuk membuat, berbagi dan berinteraksi
merupakan berbagai contoh aplikasi teknologi di dunia pendidikan.
Siemens dan Tittenberger (2009) mengidentifikasi dua kelompok teknologi pembelajaran,
yaitu sistem manajemen pembelajaran dan lingkungan pembelajaran personal. Sistem
manajemen pembelajaran seperti WebCT dan BlackBoard atau sistem-sistem sejenis
merupakan sistem yang disediakan oleh lembaga pendidikan yang dapat dimanfaatkan untuk
memberikan catatan dan sumber dari suatu materi ajar. Selain itu melalui sistem ini peserta
ajar dapat berinteraksi dengan pengajar atau peserta lain. Sementara lingkungan
pembelajaran personal adalah pemanfaatan berbagai fasilitas seperti Google Docs, Skype,
blog, wiki, pdcast, flickr, YouTube dan alat lain yang dapat dimanfaatkan oleh masing-masing
individu untuk mendukung kegiatan belajar seseorang. Pemanfaatan berbagai alat dalam
lingkungan pembelajaran personal akan sangat tergantung dari kemampuan dan kebiasaan
masing-masing individu untuk belajar dalam lingkungan online.
Untuk dapat mengambil peran optimal dalam menghadapi lingkungan belajar yang telah
berubah, seorang Widyaiswara perlu memahami konteks interaksi yang terjadi dalam proses
belajar mengajar. Dalam konteks ini maka teknologi pembelajaran dapat dikelompokkan
menjadi:
14
Sebagai sumber informasi, misalnya materi ajar yang disimpan dalam bentuk teks,
video, atau gambar.
Sebagai alat pengolah informasi, seperti wiki, pemetaan konsep, dan sejenisnya.
Sebagai alat bantu instruksional seperti ujian online, tutorial online, dan
sebagainya.
Sebagai alat komunikasi yang dimediasi, seperti email, diskusi, dan web
conferencing.
15
Daring (online), yaitu proses belajar mengajar yang sepenuhnya dilakukan secara
daring. Tidak ada tatap muka antara peserta ajar dan pengajar.
Seorang dewasa perlu dilibatkan dalam perencanaan dan evaluasi dari instruksi
atau materi ajar yang dipelajari.
Pembelajaran orang dewasa harus lebih berfokus pada masalah, bukan pada isi
pembelajarannya.
Akses yang masih rendah terhadap teknologi pembelajaran. Rendahnya akses ini
dapat bersumber dari ketiadaan infrastruktur seperti jaringan internet dan komputer
yang dapat dimanfaatkan oleh Widyaiswara dalam melakukan kegiatan belajar
mengajarnya.
16
Untuk mengatasai hambatan pertama hanya dapat dilakukan melalui koordinasi dengan
lembaga tempat tugas Widyaiswara yang bersangkutan. Sedangkan untuk hambatan kedua,
diperlukan kemauan keras Widyaiswara untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi kedua hambatan tersebut
adalah dengan memanfaatkan sumberdaya di luar institusi formal. Namun demikian
keberhasilan dari pendekatan ini sangat tergantung dari tingkat penguasaan teknologi dan
kemauan dari Widyaiswara yang bersangkutan. Artinya, Widyaiswara yang berusaha
mengimplementasikan teknologi pembelajaran baru harus memiliki ketrampilan yang
dibutuhkan sekaligus mampu memiliki akses terhadap sumber daya yang berada di luar
lembaganya.
Walaupun untuk jangka pendek pendekatan informal seperti ini mungkin dapat berhasil,
tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan masalah, terutama yang menyangkut
kebijakan
birokrasi.
Oleh
karena
itu,
pendekatan
secara
informal
dalam
17
Kesimpulan
Perkembangan teknolgi yang cepat telah ikut pula mendorong perkembangan teknologi
pembelajaran. Proses belajar mengajar yang secara tradisional dilakukan melalui tatap muka
di dalam kelas, sekarang sudah dapat dilakukan secara daring (online). Perkembangan
teknologi ini ternyata menimbulkan tantangan tersendiri bagi para Widyaiswara dalam
menyajikan bahan ajar kepada para peserta. Untuk mampu bertahan dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya, Widyaiswara dituntut untuk mampu mengadopsi teknologi
pembejaran baru. Dua dukungan utama yang diperlukan dalam hal ini adalah memiliki
ketrampilan yang cukup untuk menggunakan teknologi pembelajaran baru dan dukungan
infrastruktur agar dapat mengakses teknologi tersebut.
Daftar Pustaka
Heidegger, M., (1954). The question concerning technology. Technology and values:
Essential readings, pp.99-113.
Fagerberg, J., Srholec, M. (2008). Technology and development: Unpacking the
relationship(s). Paper presented in the IV Globelics Conference at Mexico City,
September 22-24.
Miah, M., Omar, A. (2011). Digital age: Technology progress in developing countries. 2011
ISECON Proceeding Information Systems Educators Conferences, Wilmington North
Carolina, USA.
Nordhaus, W. D. (2001). The progress of computing. Diakses tanggal 10 Maret 2016 dari
http://aida.econ.yale.edu/~nordhaus/homepage/prog_030402_all.pdf.
Roser, M. (2016). Technological progress, diakses tanggal 9 Maret 2016 dari
https://ourworldindata.org/data/technology-and-infrastructure/moores-law-other-lawsof-exponential-technological-progress/.
Siemens, G. and Tittenberger, P., (2009). Handbook of emerging technologies for learning.
Manitoba, Canada: University of Manitoba.
18
Pendahuluan
Karyawan merupakan bagian penting dari sebuah organisasi. Kualitas organisasi akan
sangat ditentukan oleh kualitas karyawan yang tergabung di dalamnya. Naik atau turunnya
kinerja karyawan juga akan berdampak langsung kepada kinerja organisasi. Oleh sebab itu,
perhatian terhadap kinerja karyawan menjadi bagian penting dalam rangka meningkatkan
kinerja organisasi.
Menurut Mangkunegara (2001), istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual
performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Kinerja
atau yang sering diistilahkan dengan prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Namun ada pula ahli yang memiliki pandangan bahwa terdapat perbedaan antara kinerja
dengan prestasi kerja, meskipun kedua istilah ini berasal dari kata yang sama yaitu
19
performance. Jika ditelaah lebih lanjut, arti prestasi kerja yaitu merupakan hasil yang dicapai
seseorang dalam bekerja. Sedangkan kinerja adalah hasil dari proses pekerjaan tertentu secara
terencana pada waktu dan tempat dari karyawan serta organisasi bersangkutan. Ukuran kinerja
dapat dilihat dari sisi jumlah dan mutu tertentu, sesuai standar organisasi atau perusahaan. Hal
itu sangat terkait dengan fungsi organisasi atau pelakunya. Bentuknya dapat bersifat tangible
dan intangible, tergantung kepada bentuk dan proses pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Kinerja
dapat dilihat dari proses, hasil dan outcome (Mangkuprawira dan Vitayala, 2007).
Untuk memantau kinerja karyawan, dibutuhkan alat ukur yang sensitif terhadap kinerja
karyawan yang bersangkutan. Pada saat kinerjanya baik, maka alat ukur ini akan menunjukkan
nilai yang baik, begitu pula sebaliknya. Penggunaan alat ukur yang tepat akan dapat
memberikan peringatan dini (early warning) bagi pimpinan organisasi apabila terjadi penurunan
kinerja, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah antisipasi agar penurunan kinerja karyawan
ini tidak berpengaruh pada kinerja organisasi. Sebaliknya, apabila alat ukur kinerja tidak handal,
maka akan berdampak buruk bagi organisasi. Dampak yang semakin serius bahkan dapat
terjadi bila alat ukur tersebut salah dalam mengukur kinerja karyawan.
20
merupakan tingkah laku, sikap atau tindakan yang dilakukan oleh PNS. Bobot masing-masing
komponen adalah 60 persen untuk penilaian SKP dan 40 persen untuk penilaian perilaku kerja.
Aturan tentang besaran nilai untuk masing-masing komponen juga berbeda. Nilai untuk
komponen penilaian SKP boleh melebihi 100, sedangkan untuk perilaku kerja nilainya maksimal
100.
Penilaian SKP dilakukan dengan cara membandingkan antara realisasi kerja dengan target.
Penilaian tersebut meliputi kuantitas, kualitas, waktu dan biaya dari kegiatan yang telah
dilakukan oleh PNS yang bersangkutan. Kuantitas merupakan ukuran jumlah atau banyaknya
hasil kerja yang dicapai, sedangkan kualitas menunjukkan ukuran mutu dari setiap hasil kerja
yang dicapai. Waktu merujuk kepada lamanya proses setiap hasil kerja yang dicapai, dan biaya
adalah besaran jumlah anggaran yang digunakan setiap hasil kerja.
Dalam melakukan penilaian, dipergunakan rumusan umum sebagai berikut :
Aspek kuantitas :
()
100
()
Aspek kualitas :
()
100
()
Aspek waktu :
1,76 () ()
100
()
Aspek biaya :
1,76 () ()
100
()
21
Permasalahan
Peraturan tentang penilaian prestasi kerja PNS mulai diberlakukan pada 1 Januari 2014.
Disebutkan sebelumnya, penilaian prestasi kerja PNS terdiri dari dua komponen, penilaian SKP
dan penilaian perilaku kerja. Tulisan ini secara khusus akan membahas tentang penilaian SKP,
khususnya untuk widyaiswara.
Aturan penilaian prestasi kerja berlaku untuk seluruh PNS, baik yang berstatus sebagai
pejabat struktural, fungsional tertentu ataupun fungsional umum. Perbedaan yang paling
mendasar dari ketiga jenis jabatan tersebut adalah adanya kolom angka kredit (AK) bagi PNS
yang berstatus pejabat fungsional tertentu. Penggunaan kolom angka kredit ini tentunya terkait
dengan ukuran kinerja untuk pejabat fungsional tertentu, termasuk widyaiswara. Berdasarkan
Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 22 tahun 2015, disebutkan bahwa
penilaian angka kredit jabatan fungsional widyaiswara merupakan proses untuk mengukur
kinerja widyaiswara.
Adanya kolom angka kredit dalam tabel penghitungan penilaian prestasi kerja, ternyata
tidak dimanfaatkan secara langsung dalam menentukan kinerja pejabat fungsional tertentu.
Angka kredit hanya dipergunakan pada saat penyusunan SKP, namun tidak pada saat penilaian
prestasi kerja. Tidak dipergunakannya kolom angka kredit dalam penghitungan prestasi kerja,
berpotensi menimbulkan permasalahan. Potensi masalah tersebut akan dijelaskan dalam
ilustrasi berikut.
Tabel 1. Ilustrasi Sasaran Kerja Pegawai (SKP) Tahun X
NO
AK
TARGET
Kuant/ Output
4
Bahan
12
tayang
7.20
7.20
12
12.96
Kual/Mutu
5
Waktu
6
Biaya
7
100
12
bulan
RBPMD
dan RP
100
12
bulan
216
JP
100
12
bulan
0.80
Laporan
100
12
bulan
10.00
Artikel
100
12
bulan
10.00
Artikel
100
12
bulan
2.50
Makalah
100
12
bulan
JUMLAH
50.66
22
Penilaian prestasi kerja, dimulai dari penyusunan rencana kerja yang dikenal dengan SKP.
Bagi pejabat fungsional tertentu, penyusunan SKP mengacu pada jumlah angka kredit yang
diharapkan. Misalkan seorang widyaiswara ahli madya merencanakan pengumpulan angka
kredit pada satu tahun minimal sebesar 50 poin. Untuk mencapai rencana tersebut,
widyaiswara yang bersangkutan kemudian merinci kegiatan dengan kegiatan yang bersesuaian
dengan rincian kegiatan widyaiswara. Hasil akhir dari rencana tersebut dituangkan dalam SKP
seperti pada Tabel 1. Dalam penyusunan SKP dimungkinkan kolom biaya tidak terisi.
Dalam pelaksanaan SKP, tentu ada dua kemungkinan, sesuai dengan rencana atau tidak
sesuai dengan rencana. Pada kemungkinan yang pertama, widyaiswara tersebut berarti mampu
merealisasikan seluruh rencana yang telah disusun. Mengacu kepada aturan tentang penilaian
prestasi kerja, maka widyaiswara yang bersangkutan akan mendapatkan penilaian SKP
sebesar 94,00 (Tabel 2)
Tabel 2. Ilustrasi Penilaian SKP (Angka Kredit Realisasi = SKP)
No
I. Kegiatan Tugas
Jabatan
AK
1
2
3
Menyusun Bahan
tayang
7.20
TARGET
Kual/
Kuant/ Output
Waktu
Mutu
4
5
6
12
Bahan
tayang
Menyusun
RBPMD
GBPP/RBPMD dan 7.20 12
dan RP
SAP/RP
Melaksanakan
tatap muka Diklat
12.96 216
JP
(PNS)
Terlibat dalam
mengevaluasi
0.80 2 Laporan
penyelenggaran
diklat
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
10.00 1
Artikel
ilmiah nasional
terakreditasi
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
10.00 2
Artikel
ilmiah nasional
tidak terakreditasi
Membuat makalah
dalam pertemuan
2.50 1 Makalah
ilmiah
JUMLAH
50.66
Biaya
AK
REALISASI
Kual/
Kuant/ Output
Waktu
Mutu
9
10
11
PENGHIT
Biaya UNGAN
NILAI
CAPAIAN
SKP
12
13
14
100
12 bln
7.20
12
Bahan
tayang
100
12
bln
282.00
94.00
100
12 bln
7.20
12
RBPMD
dan RP
100
12
bln
282.00
94.00
100
12 bln
12.96
216
JP
100
12
bln
282.00
94.00
100
12 bln
0.80
Laporan
100
12
bln
282.00
94.00
100
12 bln
10.00
Artikel
100
12
bln
282.00
94.00
100
12 bln
10.00
Artikel
100
12
bln
282.00
94.00
100
12 bln
2.50
Makalah
100
12
bln
282.00
94.00
50.66
Nilai Capaian SKP
94.00
Pada kemungkinan yang kedua, artinya terjadi perbedaan antara rencana dengan realisasi.
Perbedaan ini tentunya ada yang berarti positif berupa peningkatan kinerja, atau negatif berupa
23
penurunan kinerja. Kembali kepada ilustrasi SKP widyaiswara yang telah disusun di atas.
Dalam SKP, widyaiswara tersebut merencanakan membuat satu makalah yang akan disajikan
dalam pertemuan ilmiah. Dalam pelaksanaannya, makalah yang disajikan tersebut juga
diterbitkan dalam jurnal ilmiah nasional yang tidak terakreditasi. Perubahan ini mengakibatkan
terjadinya perbedaan antara SKP dengan realisasinya. Pada kegiatan ke-6 (membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal ilmiah nasional tidak terakreditasi) kuantitasnya meningkat dari 2 artikel
menjadi 3 artikel. Sedangkan kegiatan-7 (membuat makalah dalam pertemuan ilmiah)
kuantitasnya menurun, dari 1 makalah menjadi tidak ada makalah. Perbedaan ini berakibat
pada berubahnya angka kredit yang diperoleh, dari 50,66 poin menjadi 53,16 poin (Tabel 3).
Jika mengacu pada perolehan angka kredit, maka perbedaan SKP dengan realisasinya ini
menunjukkan terjadinya peningkatan kinerja.
Tabel 3. Ilustrasi Penilaian SKP (Angka Kredit Realisasi > SKP)
NO
I. Kegiatan Tugas
Jabatan
AK
1
2
3
Menyusun Bahan
tayang
7.20
Menyusun
GBPP/RBPMD dan 7.20
SAP/RP
Melaksanakan
tatap muka Diklat
12.96
(PNS)
Terlibat dalam
mengevaluasi
0.80
penyelenggaran
diklat
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
10.00
ilmiah nasional
terakreditasi
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
10.00
ilmiah nasional
tidak terakreditasi
Membuat makalah
dalam pertemuan
2.50
ilmiah
JUMLAH
TARGET
Kual/
Kuant/ Output
Waktu
Mutu
4
5
6
AK
Biaya
7
REALISASI
Kual/
Kuant/ Output
Waktu
Mutu
9
10
11
NILAI
PENGHIT
CAPAIAN
UNGAN
Biaya
SKP
12
13
14
12
Bahan
tayang
100
12
bln
7.20
12
Bahan
tayang
100
12
bln
282.00
94.00
12
RBPMD
100
dan RP
12
bln
7.20
12
RBPMD
100
dan RP
12
bln
282.00
94.00
100
12
bln
12.96 216
100
12
bln
282.00
94.00
Laporan 100
12
bln
0.80
Laporan 100
12
bln
282.00
94.00
216
JP
JP
Artikel
100
12
bln
10.00
Artikel
100
12
bln
282.00
94.00
Artikel
100
12
bln
15.00
Artikel
100
12
bln
332.00
110.67
Makalah 100
12
bln
0.00
Makalah
bln
0.00
0.00
50.66
53.16
Nilai Capaian SKP
82.95
Selain berdampak pada angka kredit, perbedaan pada pelaksanaan kegiatan ini tentunya
juga akan berdampak pada penilaian SKP. Mengacu pada rumusan penilaian SKP dalam Perka
BKN Nomor 1 tahun 2013, apabila ada kegiatan yang kuantitasnya tidak ada (nol), kegiatan
24
tersebut tetap diperhitungkan dalam penghitungan penilaian SKP, dengan nilai capaian yang
juga nol. Dengan menerapkan aturan tersebut pada kasus di atas, maka penilaian SKP
widyaiswara yang bersangkutan adalah sebesar 82,95 (Tabel 3). Nilai ini jauh lebih rendah
dibandingkan dengan penilaian SKP pada Tabel 2 (94,00), atau mengindikasikan terjadinya
penurunan kinerja. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan aturan yang menyatakan bahwa
penilaian angka kredit merupakan ukuran kinerja bagi widyaiswara.
Dua ilustrasi penilaian SKP di atas menunjukkan bahwa aturan tentang penilaian
prestasi kerja PNS yang berlaku saat ini belum mampu memberikan penilaian kinerja yang
komprehensif untuk fungsional tertentu, khususnya widyaiswara. Formula penghitungan dapat
menghasilkan nilai prestasi yang lebih rendah, walaupun jumlah angka kredit yang diperoleh
lebih tinggi dari rencana yang telah disusun. Kondisi ini tentunya tidak sejalan dengan aturan
lain yang menyatakan bahwa angka kredit merupakan proses dalam menentukan kinerja
widyaiswara.
25
jika seluruh angka kredit realisasi sama dengan SKP dan memiliki nilai yang lebih tinggi dari
94,00 bila yang terjadi angka kredit realisasi lebih besar dari SKP.
Alternatif 1
Alternatif pertama adalah menggunakan capaian angka kredit pada masing-masing kegiatan
sebagai penimbang untuk menghasilkan nilai capaian SKP. Metode ini hanya melakukan
modifikasi pada penghitungan capaian SKP. Pada aturan yang berlaku saat ini, penghitungan
SKP merupakan rata-rata (mean) dari capaian seluruh kegiatan. Metode yang ditawarkan
sebagai alternatif 1 adalah mengubah metode rata-rata biasa menjadi rata-rata tertimbang.
Alternatif 1 ini menghasilkan nilai capaian SKP sebesar 98,70.
Tabel 4. Rata-rata Tertimbang menggunakan Angka Kredit (Alternatif 1)
NO
I. Kegiatan Tugas
Jabatan
AK
TARGET
Kual/
Kuant/ Output
Waktu
Mutu
4
5
6
Biaya
7
AK
8
REALISASI
Kual/
Kuant/ Output
Waktu
Mutu
9
10
11
12
13
14
15
bln
282.00
94.00
12.73
12
bln
282.00
94.00
12.73
100
12
bln
282.00
94.00
22.92
Laporan 100
12
bln
282.00
94.00
1.41
Menyusun Bahan
1
tayang
7.20
12
Bahan
tayang
100 12 bln
7.20
12
Bahan
tayang
100
12
Menyusun
2 GBPP/RBPMD dan
SAP/RP
7.20
12
RBPMD
100 12 bln
dan RP
7.20
12
RBPMD
100
dan RP
100 12 bln
12.96 216
0.80
Melaksanakan tatap
muka Diklat (PNS)
Terlibat dalam
mengevaluasi
penyelenggaran
diklat
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
5
ilmiah nasional
terakreditasi
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
6
ilmiah nasional tidak
terakreditasi
Membuat makalah
7 dalam pertemuan
ilmiah
4
JUMLAH
12.96 216
JP
NILAI
NILAI
PENGHIT
CAPAIA TERTIM
Biaya UNGAN N SKP BANG
JP
0.80
10.00
Artikel
100 12 bln
10.00
Artikel
100
12
bln
282.00
94.00
17.68
10.00
Artikel
100 12 bln
15.00
Artikel
100
12
bln
332.00
110.67
31.23
2.50
0.00
Makalah
bln
0.00
0.00
0.00
50.66
53.16
Nilai Capaian SKP
26
98.70
Alternatif 2
Pada alternatif kedua, rumusan yang digunakan dalam penilaian SKP masih tetap
menggunakan rumusan pada Perka BKN Nomor 1 tahun 2013, namun dengan menambahkan
perlakuan khusus bila angka kredit yang dicapai melebihi angka kredit yang direncanakan. Bila
angka kredit yang dicapai lebih tinggi dari target, maka kegiatan yang kuantitasnya nol tidak
diikutsertakan dalam penghitungan rata-rata untuk mendapatkan nilai capaian SKP. Dengan
metode ini, nilai capaian SKP yang dihasilkan adalah 96,78.
Tabel 5. Rata-rata Tanpa Kegiatan yang Tidak Dilaksanakan (Alternatif 2)
NO
I. Kegiatan Tugas
Jabatan
AK
TARGET
Kual/
Kuant/ Output
Waktu Biaya
Mutu
4
5
6
7
AK
8
REALISASI
NILAI
PENGHIT
CAPAIAN
Kual/
UNGAN
Kuant/ Output
Waktu Biaya
SKP
Mutu
9
10
11
12
13
14
Menyusun Bahan
1
tayang
7.20
12
Bahan
tayang
100 12 bln
7.20
12
Bahan
tayang
100
12 bln
282.00
94.00
Menyusun
2 GBPP/RBPMD dan
SAP/RP
7.20
12
RBPMD
100 12 bln
dan RP
7.20
12
RBPMD
100
dan RP
12 bln
282.00
94.00
100 12 bln
12.96 216
100
12 bln
282.00
94.00
0.80
Laporan 100
12 bln
282.00
94.00
Melaksanakan tatap
muka Diklat (PNS)
Terlibat dalam
mengevaluasi
penyelenggaran
diklat
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
5
ilmiah nasional
terakreditasi
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
6
ilmiah nasional tidak
terakreditasi
Membuat makalah
7 dalam pertemuan
ilmiah
4
JUMLAH
12.96 216
JP
JP
0.80
10.00
Artikel
100 12 bln
10.00
Artikel
100
12 bln
282.00
94.00
10.00
Artikel
100 12 bln
15.00
Artikel
100
12 bln
332.00
110.67
2.50
0.00
50.66
53.16
Nilai Capaian SKP
96.78
Alternatif 3
Alternatif tiga memiliki dasar pemikiran yang lebih kompleks. Angka kredit dan kuantitas
kegiatan pada dasarnya adalah dua aspek yang menjelaskan hal yang sama. Angka kredit
diperoleh dengan mengalikan kuantitas kegiatan dengan besaran angka kredit pada masingmasing kegiatan. Jika kedua aspek ini dipergunakan secara bersamaan dalam menghitung
kinerja, maka akan terjadi penghitungan ganda (double accounting) dalam penilaian kinerja.
27
Oleh sebab itu, pada alternatif ketiga ini yang dipergunakan dalam menghitung kinerja hanya
aspek angka kredit, tanpa mengikutkan kuantitas. Aspek penilaian SKP yang lain (kualitas,
waktu dan biaya) tetap dipergunakan. Dengan demikian, penilaian SKP untuk fungsional
tertentu diukur dari aspek angka kredit, kualitas, waktu dan biaya. Kegiatan yang kuantitasnya
nol tidak diikutsertakan dalam penghitungan capaian SKP.
Untuk dapat menggabungkan keempat aspek tersebut, pada tahap pertama dilakukan
penghitungan capaian dari aspek kualitas, waktu dan biaya. Hasilnya kemudian dikalikan
dengan rasio antara angka kredit yang dicapai dengan angka kredit yang ditargetkan. Dalam
kasus di atas, dengan rasio angka kredit sebesar nilai capaian 1,05, maka nilai capaian SKP
yang diperoleh adalah sebesar 95,49.
Tabel 6. Rasio Angka Kredit sebagai Faktor Pengali (Alternatif 3)
TARGET
NO
I. Kegiatan Tugas
Jabatan
AK
REALISASI
AK
Kual/
Kuant/ Output
Waktu Biaya
Mutu
4
5
6
7
Kual/
Kuant/ Output
Waktu
Mutu
9
10
11
Capaian
Kualitas
dan
Biaya
Waktu
12
13
NILAI
CAPAIAN
SKP
14
Menyusun Bahan
1
tayang
7.20
12
Bahan
tayang
100 12 bln
7.20
12
Bahan
tayang
100
12 bln
182.00
91.00
Menyusun
2 GBPP/RBPMD dan
SAP/RP
7.20
12
RBPMD
100 12 bln
dan RP
7.20
12
RBPMD
100
dan RP
12 bln
182.00
91.00
100 12 bln
12.96 216
100
12 bln
182.00
91.00
0.80
Laporan 100
12 bln
182.00
91.00
Melaksanakan tatap
muka Diklat (PNS)
Terlibat dalam
mengevaluasi
penyelenggaran
diklat
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
5
ilmiah nasional
terakreditasi
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
6
ilmiah nasional tidak
terakreditasi
Membuat makalah
7 dalam pertemuan
ilmiah
4
JUMLAH
12.96 216
JP
JP
0.80
10.00
Artikel
100 12 bln
10.00
Artikel
100
12 bln
182.00
91.00
10.00
Artikel
100 12 bln
15.00
Artikel
100
12 bln
182.00
91.00
2.50
0.00
50.66
53.16
28
91.00
1.05
95.49
Kesimpulan
Metode pengukuran kinerja yang tepat akan berdampak positif bagi organisasi, sebaliknya
metode yang tidak tepat akan memberikan dampak negatif. Aturan yang menjadi acuan dalam
pengukuran kinerja widyaiswara, dinilai masih belum mampu mengukur kinerja widyaiswara
secara komprehensif. Tulisan ini menawarkan tiga alternatif untuk memperbaiki metode yang
dipergunakan saat ini. Dari tiga alternatif tersebut, alternatif ketiga dinilai tepat untuk menjadi
acuan dalam penilaian kinerja widyaiswara. Pematangan metode ini tentunya masih perlu
dilakukan, untuk mendapatkan cara pandang dari perspektif yang berbeda. Penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat keputusan dalam mengevaluasi dan merevisi
aturan yang ada.
Daftar Pustaka
Mangkunegara, A.P. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. PT Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Mangkuprawira, Tb. S. dan A.V. Hubeis. 2007. Manajemen Mutu Sumber Daya Manusia. Ghalia
Indonesia, Bogor
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri
Sipil
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Nasional Nomor 1 Tahun 2013 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi
Kerja Pegawai Negeri Sipil
29
RENCANA STRATEJIK
DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
(STUDI KASUS APLIKASI RENCANA STRATEJIK KOTA MAKASSAR DI
KECAMATAN TAMALATE)
Oleh : Dr. Drs. Hariawan Bihamding, MT
Widyaiswara Ahli Madya BPSDM Kemendagri
(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstrak
Sesuai dengan semangat reformasi dimana diperlukan perubahan mendasar dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas, diperlukan pula bentuk atau
format baku dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang termaktub
dalam Rencana Strategis (Renstra) sesuai UU no 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional. Pemerintah Kota Makassar telah menetapkan
Renstra yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pembangunan, tidak terkecuali pula
di Kecamatan Tamalate yang merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kota
Makassar menerapkan pedoman ini. Namun dalam perkembangannya terkadang
format perencanaan yang dijadikan acuan belum sesuai dengan kebutuhan atau
keinginan masyarakat. Oleh sebab itu lewat penelitian ini, dengan mengambil
Rumusan Masalah tentang aplikasi Renstra ini maka penulis menetapkan Tujuan
Penelitian yakni untuk mengetahui sejauhmana aplikasi (penerapan) Renstra Kota
Makassar di Kecamatan Tamalate. Penulis menetapkan metode penelitian deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Dari hasil pengolahan data dapat dikemukakan bahwa
hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar masyarakat mendukung dan telah
mengaplikasikan Renstra dengan baik. Namun bentuk dukungan berupa keuangan
daerah dan sarana prasarana belum sepenuhnya memuaskan masyarakat. Sehingga
diperlukan pendekatan yang optimal untuk mendukung kelancaran pelaksanaan
pembangunan.
Kata kunci : Renstra dan Perencanaan Pembangunan
Latar Belakang
Gerakan reformasi dengan kebijakan otonomi daerahnya telah bergulir sejak
tahun 1998 dengan ditandai pengimplementasian Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Adanya
kebijakan penguatan kewenangan pemerintah daerah ini pun telah melewati
beberapa kali revisi yakni dengan diterbitkannya Undang-undang RI Nomor 32 Tahun
30
governance
merupakan
paradigma
baru
dalam
manajemen
31
Oleh
karena
itulah
sekarang
ini
penyelenggaraan
pemerintahan,
RENCANA
STRATEJIK
KOTA
MAKASSAR
DI
KECAMATAN
TAMALATE).
Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada Latar Belakang Masalah maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah : Sejauhmana Rencana Stratejik Kota Makassar
32
tujuan
melalui
orang
kegiatan-kegiatan
lain.
Selanjutnya,
fungsi
perencanaan
(planning),
pengorganisasian
(organizing),
selanjutnya
yang
baik
pula
tentunya
sepanjang
tidak
terjadi
33
penentuan aparat pelaksana kegiatan untuk mencapai suatu tujuan. Juga sebagai
proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan
untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu.
Suatu rencana dikatakan baik apabila :
1. Pertanyaan-pertanyaan what/which, why, when, where,who dan how dapat
terjawab saat menyusun rencana.
2. Dapat dilaksanakan dengan menggunakan sumber-sumber dan kemampuan
yang ada.
3. Pragmatis, yaitu didasarkan pada perhitungan-perhitungan konkret dan
perkiraan-perkiraan logis.
4. Dilaksanakan berkesinambungan sampai selesai sesuai dengan
rencana
sekian banyak alternatif, maka perlu dipilih perencanaan yang didasarkan pada aspek
skala prioritas. Alternatif mana yang perlu dilaksanakan terlebih dahulu dan aktivitas
mana yang pelaksanaannya dapat ditangguhkan pada masa atau waktu berikutnya.
Memilih alternatif memang bukan pekerjaan yang mudah. Karena, hal ini menyangkut
kepentingan banyak keinginan dari berbagai lapisan masyarakat. Sehubungan
dengan hal tersebut maka dapat dirumuskan bahwa unsur-unsur perencanaan yaitu :
a. Adanya tujuan yang ingin dicapai;
b. Memiliki sumber yang tersedia baik berupa dana, tenaga, metode maupun
peralatan dan sebagainya.
Mempunyai jadwal kerja yang merupakan dasar bagi pengaturan aktivitas
perencanaan guna mencapai tujuan yang ditetapkan. Perencanaan (planning)
34
merupakan fungsi yang pertama dan bahkan yang sangat utama dalam setiap
aktivitas-aktivitas manajamen atau administrasi. Perencanaan merupakan dasar,
landasan atau titik tolak dalam melaksanakan tindakan-tindakan administratif
(administrative action). Dalam tahap perencanaan dirumuskan dan ditetapkan seluruh
aktivitas-aktivitas administrasi atau manajemen.
Silalahi (2000 : 167) mengemukakan beberapa tujuan perencanaan, yaitu : (1)
Perencanaan adalah jalan atau cara untuk mengantisipasi dan merekam perubahan
(a way to anticipate and offset change); (2) Perencanaan memberikan pengarahan
(direction) kepada administrator-administrator maupun non administrator; (3)
Perencanaan juga dapat menghindari atau setidak-tidaknya memperkecil atau
tumpang tindih dan pemborosan (wasteful) pelaksanaan aktivitas-aktivitas; (4)
Perencanaan menetapkan tujuan-tujuan dan standar-standar yang akan digunakan
untuk memudahkan pengawasan.
Sasaran kegiatan perencanaan adalah merumuskan dan menetapkan tujuan
yang akan dicapai dan pelaksanaan kegiatan pencapaian tujuan. Hal ini berarti
bahwa tujuan yang direncanakan merupakan landasan, dasar atau tolok ukur
penyusunan rencana pelaksanaan kegiatan. Oleh sebab itu tujuan yang hendak
dicapai harus dirumuskan dan diketahui dengan jelas sehingga rencana yang bersifat
operasional atau kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan dengan
mudah dapat dirumuskan.
Silalahi (2000 : 168) menyatakan bahwa :
perencanaan merupakan landasan atau kunci pokok pelaksanaan fungsi dan
kegiatan manajemen sebab : (1) Perencanaan memberikan arah kepada
administrator atau manajer atau non administrator atau manajer; (2)
Perencanaan merupakan cara untuk mengantisipasi perubahan; (3)
Perencanaan merupakan pusat tujuan organisasi; (4) Perencanaan dapat
menjaga agar kegiatan tidak tumpang tindih, menjaga kontinuitas tindakan,
menghindari pemborosan; (5) Tujuan dan standar yang direncanakan dapat
digunakan untuk memudahkan evaluasi dan pengawasan fasilitas; (6)
Membantu usaha penghematan biaya dengan adanya pemusatan perhatian;
dan (7) Membantu kelancaran pengambilan keputusan oleh semua tingkat
pejabat secara unit atau sektoral atau departemental.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perencanaan merupakan fungsi organik
manajemen yang di dalamnya terdapat perumusan atau pemilihan yang teliti dari
berbagai aspek dan kegiatan yang akan dilaksanakan suatu organisasi.
Adapun konsep-konsep stratejik selalu memberi perhatian serius terhadap
perumusan tujuan dan sasaran organisasi, faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan
kelemahannya serta peluang-peluang dan tantangan yang senantiasa dihadapi oleh
35
setiap organisasi (Salusu, 2000 : 6). Lebih lanjut oleh Hatten dan Hatten (Salusu,
2000 : 6) menegaskan bahwa intisari dari konsep stratejik dapat diringkaskan dalam
dua istilah, yaitu kompetensi distinktif (distinctive competence) dan keunggulan
kompetitif (compatitive advantage) atau ada juga yang menyebutnya keunggulan
daya saing.
Perencanaan stratejik (strategic planning) merupakan bagian yang esensial
dari manajemen stratejik karena perencanaan stratejik merupakan aspek utama
manajemen stratejik dan dapat dianggap sebagai pilar sentral manajemen stratejik
(Tunggal, 1993 :152). Intisari dari suatu perencanaan stratejik adalah kemungkinan
untuk pengenalan sistematis dari peluang-peluang dan ancaman-ancaman di masa
yang akan datang, yang dengan pilihan langkah-langkah yang lebih tepat akan lebih
menguntungkan perusahaan.
Beberapa ciri khas dari proses perencanaan stratejik adalah : (1)
Perencanaan menyangkut jangkauan masa depan dari keputusan-keputusan yang
dibuat sekarang; (2) Perencanaan stratejik adalah usaha sistematis formal untuk
menggariskan wujud utama dari organisasi, sasaran-sasaran, kebijakan-kebijakan
dan strategi-strategi untuk tercapainya sasaran-sasaran dan wujud utama tersebut;
(3) Proses perencanaan stratejik adalah sarana mengambil keputusan yang paling
penting. Di sinilah tujuan dan arah dasar ditentukan; (4) Proses perencanaan stratejik
merupakan suatu kegiatan manajemen puncak yang berlangsung terus-menerus; (5)
Perencanaan stratejik merupakan suatu struktur perencanaan yang mengintegrasikan
rencana stratejik dan rencana operasional jangka panjang; (6) Perencanaan stratejik
merupakan suatu proses menentukan terlebih dahulu mengenai apa yang dilakukan,
kapan dilakukan dan cara bagaimana melakukan dan siapa yang akan melakukan;
(7) Proses perencanaan stratejik menghasilkan sebuah dokumen tertulis atas basis
berkala; (8) Proses perencanaan stratejik merupakan sarana mengambil keputusan
yang paling penting; (9) Perencanaan stratejik merupakan suatu sikap, way of life
(falsafah) artinya perencanaan meminta suatu kebiasaan dan keharusan untuk
bekerja berdasarkan pikiran-pikiran masa depan. Perencanaan stratejik merupakan
suatu proses berpikir latihan intelektual daripada perangkat proses/ prosedur, struktur
atau teknik yang telah ditentukan.
Menurut Tunggal (1993 : 153), perencanaan stratejik tidak meramalkan
keputusan untuk masa yang akan datang. Perencanaan stratejik tidak berusaha
membuat cetak biru (blue print) bagi masa yang datang. Perencanaan stratejik juga
bukan merupakan suatu metodologi atau bagan arus atau perangkat prosedur
36
37
Internal analysis
Mission
Vision
Value
External analysis
Critical
succes
factor
Goal
Corporate
objective &
strategy
Strategic
analysis &
choice
Asumption
Monitor
implement &
provide feedback
Establish
accountability
implement plan
yang
dapat
digunakan
oleh
para
pemimpin
pemerintahan
untuk
mengembangkan
struktur,
staf,
prosedur,
operasionalisasi,
serta
38
Renstra
KL
RPJP
Nasional
Pedoman
n
Pedoman
RPJM
Nasional
Diacu
RPJP
Daerah
Pedoma
n
Renja KL
RPJM
Daerah
RKA-KL
Rincian
APBN
RAPBN
APBN
Diacu
Dijaba
r
kan
Dijaba
rkan
Pedoman
Renja SKPD
Pedoma
n
RAPBD
APBD
RKA SKPD
Rincian
APBD
Diacu
Pedoman
Renstra
SKPD
Pedoma
n
Pemeri
ntah
Pusat
Pedoman
RKP
Diperhatikan
Pedoman
n
Pedoman
UU SPPN
Pemerint
ah
Daerah
UU KN
No
Rencana Stratejik
1
2
3
4
5
Selektif
Beberapa persoalan kota
memenuhi syarat
Kota dalam konteks lingkungan
Tidak tergantung waktu
Proses melanjutkan aksi khusus
Rencana Konvensional
3
Luas
Hanya rencana pengembangan konvensional
Kota dalam batasannya
10 sampai 25 tahun
Proses sebagian dilaksanakan melalui
program perbaikan kota, tindakan
lingkungan, kadang-kadang pelaksanaannya
dikemukakan dengan jelas.
Sebagian besar dibatasi dengan departemen
perencanaan, komisi perencanaan dan
pendengar
39
Dengan demikian salah satu hal yang membedakan perencanaan stratejik dan
perencanaan konvensional adalah tingkat partisipasi masyarakat. Perencanaan
stratejik dalam konteks manajemen perkotaan disusun berdasarkan aspirasi
masyarakat dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses penggalian ide/
gagasan hingga pengambilan keputusan untuk menjadi sebuah rencana stratejik
(Renstra).
Konsep Pembangunan Daerah
Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan yang terencana dari
situasional yang satu ke situasional yang lain yang dinilai lebih baik (Katz dalam
Supriatna, 2000 : 28). Menurut Bryan and White (1989 : 21) pembangunan diartikan
sebagai peningkatan kemampuan orang untuk mempengaruhi masa depannya. Hal
ini membawa implikasi bahwa :
1. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik
individu maupun kelompok (capacity);
2. Pembangunan
berarti
mendorong
tumbuhnya
kebersamaan
dan
40
terus-menerus
menganalisis
kondisi
dan
pelaksanaan
pembangunan daerah.
2. Merumuskan tujuan-tujuan dan kebijakan-kebijakan pembangunan daera.
3. Menyusun konsep strategi-satrategi bagi pemecahan masalah (solusi)
4. Melaksanakannya dengan menggunakan sumber-sumber daya yang
tersedia
sehingga
peluang-peluang
baru
untuk
meningkatkan
(2)
41
perencanaan
sektoral
acapkali
ditunjuk
sebagai
pendekatan
perencanaan dari atas ke bawah, karena target yang ditentukan secara nasional
dijabarkan ke dalam rencana kegiatan di berbagai daerah di seluruh Indonesia yang
mengacu
kepada
pencapaian
target
nasional
tersebut.
Pada
tahap
awal
perencanaan
di
tersebut
masing-masing
ditempuh
tingkatan
melalui
yaitu
mekanisme
Musyawarah
kegiatan
Perencanaan
42
1.
Di tingkat Desa/Kelurahan
Di tingkat Kecamatan
Masukannya yaitu dokumen Rencana Kerja Pembangunan Tahunan dari masingmasing Desa/Kelurahan; Daftar/nama-nama delegasi dari desa untuk mengikuti
Musrenbang tingkat Kecamatan. Daftar para wakil kelompok fungsional/asosiasi
warga, koperasi, NGO yang bekerja di kecamatan, atau organisasi tani/nelayan skala
kecamatan. Prosesnya yaitu pemaparan masalah dan prioritas kegiatan dari masingmasing desa/kelurahan menurut fungsi/SKPD oleh Tim Penyelenggara Musrenbang
Tahunan Kecamatan : verifikasi oleh delegasi desa/kelurahan untuk memastikan
semua prioritas kegiatan yang diusulkan oleh desa/kelurahan. Pembagian peserta
Musrenbang ke dalam kelompok pembahasan berdasarkan jumlah fungsi/SKPD atau
43
Forum SKPD
Di tingkat Kabupaten/Kota
44
Prosesnya yaitu Pemaparan Rancangan RKPD dan Prioritas dan Plafon anggaran
yang dikeluarkan oleh Bupati/Walikota oleh Kepala Bappeda; Pemaparan hasil
kompilasi prioritas kegiatan pembangunan dari Forum-Forum SKPD berikut dengan
plafonnya oleh Ketua Tim Penyelenggaran; Verifikasi hasil kompilasi oleh KetuaSKPD, delegasi kecamatan, dan delegasi Forum-SKPD; Pemaparan Rancangan
Renja-SKPD (terutama SKPD yang mengemban fungsi pelayanan dasar dan yang
menjadi prioritas pembangunan Kabupaten/Kota) oleh Kepala SKPD yang meliputi :
1. Isu-isu strategis SKPD yang berasal dari Rancangan RKPD, Renstra
Kabupten/Kota (atau jika sudah ada PJM Daerah) dan Renstra-SKPD;
2. Tujuan, indikator pencapaian dan prioritas kegiatan pembangunan yang
akan dimuat dalam Renja-SKPD;
3. Penyampaian perkiraan kemampuan pendanaan terutama dana yang
berasal dari pendapatan daerah kabupaten/kota yang berasal dari APBD
Kabupaten/Kota, APBD I, DAK, Pinjaman daerah dan sumber dana lainnya.
Disampaikan juga perkiraan dana dekonsentrasi.
Keluarannya yaitu Penetapan arah kebijakan, prioritas, dan plafon/pagu dana baik
berdasarkan fungsi/SKPD maupun berdasarkan kecamatan. Daftar prioritas
kegiatan yang pembiayaannya berasal dari APBD Kabupaten/Kota; APBD I, APBN,
Dana Dekonsentrasi dan sumber dana lainnya; Daftar usulan kebijakan/regulasi
pada tingkat pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi dan/atau Pusat; Rancangan
pendanaan untuk Dana Alokasi Desa.
5.
Di tingkat Provinsi
b)
Metode Penelitian
45
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu penelitian deskripitif
dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian di Kecamatan Tamalate Kota
Makassar,
alasan
pemilihan
lokasi
ini
adalah
adanya
kemudahan
akses,
2. Observasi
Pengumpulan data dalam kegiatan penelitian yang dilakukan dengan
mengamati kondisi yang berkaitan dengan obyek penelitian.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
46
47
48
49
dana.
Bila
suatu
kegiatan
pembangunan
tidak
disertai
dengan
anggaran
pemeliharaan maka lambat laun hanya merupakan program pemborosan karena tidak
dinikmati dengan jangka waktu yang lama. Dengan pemeliharaan maka kontinyuitas
suatu hasil kegiatan dan manfaat bisa tetap berlangsung. Bentuk tahapan
pemeliharaan ini bermacam-macam tergantung partisipasi masyarakat. Untuk hasil
penelitian mengenai keterlibatan dalam pemeliharaan dapat dirangkumkan bahwa
dengan demikian nampak bahwa sebagian besar responden hanya kadang-kadang
terlibat (38,1 %) dalam pemeliharaan hasil-hasil pembangunan yang telah ditetapkan
dalam rencana stratejik. Selanjutnya 11,9 % berpendapat selalu dilibatkan dan 26,2%
responden menyatakan terlibat. Hal yang cukup memprihatinkan juga bahwa terdapat
persentase cukup tinggi (23,8 %) yang mengaku tidak pernah terlibat dalam tahap
pemeliharaan tersebut.
Hasil pengamatan peneliti menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat dalam
pembangunan sejak proses perencanaannya hingga pemeliharaan masih kurang.
Dari tiga kelurahan yang dijakdikan sampel hanya responden-responden dari
Kelurahan Barombong yang menyatakan bahwa masyarakat dilibatkan dalam proses
pembangunan. Kalaupun ada pelibatan masyarakat hanyalah pada orang-orang
tertentu seperti Ketua RT dan RW serta pelibatannya pun hanya sebatas untuk
mendengarkan usulan dari mereka.
Responden ditanyakan pula mengenai hambatan dalam pelibatan masyarakat
dalam pembangunan. Responden di Kelurahan Barombong umumnya menyatakan
tidak ada masalah dalam pelibatan masyarakat dalam pembangunan. Responden di
Kelurahan Mannuruki menyatakan ada masalah pelibatan masyarakat dalam
pembangunan, yaitu faktor waktu, kepentingan, dan latar belakang pendidikan.
Sedangkan responden di Kelurahan Parang Tambung menyatakan terdapat banyak
hambatan dalam pelibatan masyarakat. Akibatnya masyarakat kurang dilibatkan
dalam pembangunan sehingga masyarakat pun cenderung tidak peduli terhadap
pelaksanaan pembangunan.
Tanggapan masyarakat mengenai cara yang ditempuh oleh Pemerintah Kota
Makassar dalam mengaplikasikan Rencana Stratejik (Renstra) pada ketiga kelurahan
(sampel) umumnya seragam, yaitu :
a. Melibatkan semua unsur masyarakat (RT, RW, Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat, LSM, unsur partai politik, karang taruna, remaja mesjid, kaum
perempuan, agamawan, cendikiawan dan sebagainya).
b. Program pembangunan harus disosialisasikan lebih dahulu secara luas.
50
51
mengaku
ketersediaan
sarana
dan
prasarana
tersebut
kurang
mendukung, dan hanya 11,9 % responden yang menyatakan bahwa hal tersebut
tidak mendukung. Hal yang menarik pula yakni cukup tingginya persentase
responden yang mengatakan bahwa adanya sarana dan prasarana kurang
mendukung dalam aplikasi Renstra tersebut.
Pernyataan ini mengandung beberapa argumen bila dianalisis, kemungkinan
pengakuan tersebut muncul karena obyek sarana dan prasarananya yang tidak
memadai baik dalam kuantitas maupun dalam kualitas. Ataukah tingkat pengelolaan
52
dari orang (SDM) yang menjalankan yang belum bisa memaksimalkan sarana yang
ada. Atau bisa juga dimungkinkan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana ini
belum atau tidak sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai aplikasi rencana stratejik di Kecamatan
Tamalate, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Tanggapan masyarakat mengenai aplikasi Rencana Stratejik di Kecamatan
Tamalate cukup beragam. Namun dari hasil pengolahan data dirangkumkan
bahwa
masyarakat
sebagian
besar
menyatakan
mendukung
dan
telah
53
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anonim. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. LAN dan BPKP.
----------. 2000. Perencanaan Stratejik Instansi Pemerintah. LAN dan BPKP
Bryan dand White. 1989. Manajemen Pembangunan : Untuk Negara Berkembang.
LP3ES, Jakarta.
Conyers, D. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Yokyakarta; Gajah Mada
University Press.
Handayaningrat. S. 1986. Studi tentang Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta;
Masagung.
Kaho, J.R, 1998, Prospek otonomi daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta,
Rajawali.
Khairuddin. 1992. Pembangunan Masyarakat : Tinjauan Aspek Sosiologi, Ekonomi dan
Perencanaan. Liberty, Yogyakarta.
Kusbiantoro, B.S. 1999. Manajemen Pembangunan Kota Masa Depan. Buletin Tata
Ruang. 23.
Morris, M.D.. (1974) Measuring the Conditions of the Worlds Poor : The Physical Quality
of Life Index. New York, Pergamon.
Mubyarto dan Kartodirdjo, S. 1988. Pembangunan Pedesaan di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.Salusu, J. 2000. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi
Publik dan Organisasi Nonprofit. PT Grasindo, Jakarta.
Mustopadidjaja. 1998. Sistem Perencanaan Pembangunan di Tengah Krisis Ekonomi
Politik. Majalah Walanri Edisi 9 bulan Juli.
Salusu, J. 2000. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan
Organisasi Nonprofit. PT Grasindo, Jakarta.
Sastropoetro, S. 1988. Partisipasi, Komunikasi,
Pembangunan, Alumni, Bandung.
Persuasi
dan
Disiplin
dalam
54
Sorjodibroto, Guritono. 2001. Ketika Pembangunan Memihak pada Rakyat. Dalam jurnal
Pembangunan Daerah Edisi III Tahun ke-5. 2001.
Supriatna, T. 1993. Administrasi Pemerintahan di daerah. Bumi Aksara, Jakarta.
Supiandi dkk 2000. Sistem dan Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah dalam
rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta : majalah Pembangunan Daerah.
Suradinata, E. 1993. Kebijaksanaan Pembangunan dan Pelaksanaan otonomi daerah :
Perkembangan Teori dan Penerapan. Ramadan, Bandung.
Syahroni 2001. Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Perencanaan Pembangunan
Daerah. Dalam jurnal Pembangunan Daerah Edisi III Tahun ke-5. 2001.
Todaro,M.P. 1993. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Terry, G.R. 1986 Asas-Asas Manajemen. Alumni, Bandung.
Tjokroamidjojo, B. 1995. Pengantar Administrasi Pembangunan. PT Pustaka LP3ES
Indonesia, Jakarta.
Tunggal, A.W. 1993. Manajemen : Suatu Pengantar. Jakarta : Rineka Cipta
Weir, Sandy. 1992. Strategic Planning in Local Government. Washington: Planner Press.
Dokumen
Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang LAKIP
Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban
Kepala Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
55
Latar Belakang
Banyak yang kita tidak sadari arti penting manfaat data bagi kehidupan kita.
Setiap kita ingin merencanakan apa saja dalam kehidupan ini lebih-lebih untuk
kepentingan yang berjangka panjang sudah pasti membutuhkan data sebagai
rancangan awal melangkah. Data bisa dikatakan sebagai rekam jejak suatu
peristiwa atau bisa juga diasumsi sebagai persepsi seseorang terhadap obyek yang
memiliki makna. Oleh karena itu mengapa data sebagai alat rekam jejak ini penting
untuk merencakan masa depan. Apa yang terjadi dimasa lalu bisa menjadi
guru/pengalaman belajar untuk perbaikan kinerja di masa depan.
56
Setiap keputusan yang kita ambil tanpa menganalisis data akan berdampak
buruk bagi organisasi. Sumberdaya yang dieksplorasi bisa jadi tidak akan efektif dan
efisien dalam mencapai target organisasi. Bahkan mutu pelayanan dari produk
barang/jasa yang ditawarkan ke konsumen sudah tidak inovatif sesuai keinginan
pasar. Saat ini kita hidup seakan berada dalam ruang kaca, dunia luar yang semakin
terbuka akan melihat kita dan saling berkompetisi. Konsumen kita akan menuntut
pelayanan yang cepat dan berkualitas. Mereka akan meninggalkan organisasi kita
bila tidak mampu memenuhi dinamika kehidupan yang semakin maju. Peran rekam
jejak data menjadi sebuah kebutuhan yang wajib bagi alat analisis organisasi bisnis
termasuk organisasi pemerintah sekalipun.
Sebagai gambaran fenomena menjamurnya industri transportasi seperti GoJek saat ini menjadi kebutuhan utama masyarakat Jakarta atau kota-kota lain
dimana tingkat kemacetan begitu tinggi. Pemerintah tidak mampu menyediakan
sarana prasarana transportasi kota yang bagus. Karena memang kemampuan
analitik pejabat yang belum data minded terhadap asumsi pertumbuhan penduduk
dan penyediaan utilitas publik. Ketidak-seimbangan kebijakan pemerintah ini yang
kemudian memunculkan ide-ide kreatif pengusaha untuk melayani utilitas publik kota
seperti Go-Jek, Grabbike dan banyak lagi akan berkembang.
Masalahnya
kemudian
muncul
setelah
rame-rame
para
pengusaha
57
dan taxi berbasis daring atau transportasi berbasis aplikasi karena tidak memenuhi
ketentuan sebagai angkutan umum (bertentangan dengan dengan UU No. 22 tahun
2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta PP No. 74 Tahun 2014 Tentang
Angkutan Jalan). Suatu sikap dari keputusan/kebijakan yang salah bahkan
menimbulkan situasi yang tidak menyenangkan bukan saja bagi pelaku bisnis tetapi
juga bagi masyarakat Jakarta. Karena banyaknya protes dari masyarakat pengguna
Go-jek, pada akhirnya kebijakan pelarangan ini hanya dalam hitungan jam dicabut
kembali.
Gambaran di atas adalah contoh arti penting rekam jejak data dalam
pengambilan keputusan. Kebijakan publik sangat bergantung dari support data yang
akurat dan bertanggungjawab. Ada dua makna dari rekam jejak data dari peristiwa
tersebut di atas. Pertama, Pemerintah seharusnya cepat menganalisis fenomena
transportasi berbasis daring ini sebagai suatu isu strategis. Isu tersebut berdampak
positif bagi warga masyarakat dan menjadi solusi alternative dari kekecewaan yang
selama ini dihadapinya
selama ini mengatur tentang angkutan jalan secepatnya dievaluasi bukan sebaliknya
membungkam fenomena dinamika yang sudah berlangsung di masyarakat. Bahkan
konyolnya secara otoriter melakukan kebijakan pelarangan dari fakta yang sudah
terjadi. Sudah pasti timbul reaksi-reaksi yang negative yang memancing kegaduhan
situasi politik jalannya pemerintahan.
Inilah salah satu contoh bagaimana sebuah fenomena atau fakta yang
berkembang di masyarakat menjadi nilai yang berharga sebagai peristiwa rekam
jejak data. Lalu pertanyaanya bagaimana dengan perencanaan pembangunan di
daerah dengan program/kegiatannya yang selalu ramai dibahas setiap tahun
(APBD)? Atau apakah yang sudah direncanakan pemerintah daerah secara
berjangka (RPJPD, RPJMD, RENSTRA), merefleksikan analisis data secara
komprehensip ? Apakah unit SKPD setiap tahun melakukan analisis rekam jejak
data sebagai upaya membangun isu-isu strategis pembangunan? Rekam jejak
data apa saja yang mestinya dianalisis oleh SKPD?
Pertanyaan-pertanyaan
seperti
di
58
atas
tersebut
seharusnya
selalu
kepada lembaga pemerintah di luar BPS ternyata sudah melekat ada di instansi
masing-masing. Pada era sebelum otonomi daerah, pemerintah menerbitkan UU No.
16 Tahun 1997 Tentang Statistik (Kementrian PPN/Bappenas: 2010). Pada pasal
12 undang-undang tersebut ada amanat/perintah penyelenggaraan statistik kepada
unit lain/instansi pemerintah di luar BPS yang disebut dengan penyelenggaraan
statistik sektoral, sebagai berikut:
1) Ayat (1): Statistik sektoral diselenggarakan oleh instansi pemerintah sesuai
lingkup tugas dan fungsinya, secara mandiri atau bersama dengan Badan.
2) Ayat (2): Dalam menyelenggarakan statistik sektoral, instansi pemerintah
memperoleh data dengan cara :
a. survei;
b. kompilasi produk administrasi; dan
c. cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
3) Statistik sektoral harus diselenggarakan bersama dengan Badan apabila
statistik tersebut hanya dapat diperoleh dengan cara sensus dan dengan
jangkauan populasi berskala nasional.
4) Hasil statistik sektoral yang diselenggarakan sendiri oleh instansi pemerintah
wajib diserahkan kepada Badan.
59
(Kementrian
PPN/Bappenas:
2010).
Instansi
pemerintah
yang
Tetapi untuk
60
Tugas Bappeda yang visioner adalah bagaimana memilah dan memilih skala
prioritas dan treatment terbaik dari proyeksi rekam jejak data dari seluruh kinerja
SKPD sehingga menghasilkan disain kebijakan yang berkeadilan. Mengapa harus
ada prioritas ? hal ini terkait dengan pertimbangan sumberdaya pendanaan yang
relative terbatas. Keputusan ini dapat kita lihat dari produk Kebijakan Umum
Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) yang ditawarkan
untuk mendapatkan kesepakatan bersama eksekutif dan legislative.
Tugas SKPD adalah bagaimana mengargumentasikan hasil analisis data
tersebut menjadi isu strategis dan penting untuk ditangani. Oleh karena itu support
data ke Bappeda harus terus dikomunikasikan. Agar prioritas program dan kegiatan
benar-benar sesuai dengan kebenaran data. Data yang diberikan adalah yang
sudah melalui kajian antar-unit di SKPD sehingga ada keputusan skala mikro di
SKPD. Awal analisa data pada dasarnya dari SKPD yang bersangkutan, karena
perannya memang memahami kedalaman subtansi kinerja/rekam jejak data SKPD.
Mengapa dilekatkan perannya ? hal ini karena beberapa alasan strtegis :
a. Kinerja unit SKPD bertanggungjawab atas target pembangunan dan
pelayanan organisasi yang sudah ditetapkan sebelumnya baik dalam Renstra
dan turunannya Renja SKPD.
b. Rekam jejak kinerja menjadi bahan analisis data untuk evaluasi program
pembangunan berikutnya.
c. Data-data pembangunan menjadi cermin berhasil tidaknya program kerja
SKPD.
d. Data-data pembangunan menjadi alat akuntabilitas SKPD kepada masayakat.
Benarkah prakteknya pekerjaan statistik ini dilaksanakan oleh SKPD dan unit
terkecil SKPDnya ? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan pembuktian dokumen
yang dimiliki SKPD dari waktu ke waktu. Apakah ada catatan data hasil kinerja
secara baik didokumentasikan. Apakah setelah ada dokumentasi dilanjutkan dengan
analisis statistik ?. Kemudian hasil analisis data tersebut dijadikan pedoman untuk
mengembangkan
isu-isu
strategis
sebagai
tantangan
dalam
perencanaan
61
khususnya melihat struktur RKA SKPD (form. RKA 2.2.1). Di dalam struktur RKA
tersebut kita dapat menilai apakah input, output dan outcome RKA sudah
mencerminkan anggaran berbasis kinerja.
Konsep anggaran berbasis kinerja akan menjawab isu-isu strategis yang
dikembangkan dari rekam jejak data yang dianalisis. Kalau RKA SKPD dibuat
dengan cara-cara lama yaitu meng-copy paste kegiatan tahun lalu hanya menambah
dan mengurangi, dapat dipastikan bahwa perencanaan yang dibuat tidak
menggunakan rekam jejak data kinerja bahkan jauh dari upaya mencapai target
RPJMD ???
Isu Strategis
Penting mengungkap isu strategis dalam perencanaan pembangunan
berjangka panjang dan menengah dan dalam konteks penyunan APBD tahunan.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan kebijakan pokok yang harus
diambil oleh para pemangku kepentingan. Setiap pilihan yang diambil memiliki
pengaruh yang amat kuat dengan menjawab pertanyaan mengapa SKPD itu yang
mengerjakannya (TUPOKSI), apa yang dikerjakannya, dan seterusnya. Suatu
kondisi/kejadian yang menjadi isu trategis adalah keadaan yg apabila tidak
diantisipasi dalam pengambilan kebijakan akan menimbulkan kerugian yg lebih
besar atau sebaliknya apabila tidak ada kebijakan untuk dimanfaatkan akan
menghilangkan peluang. Keputusan kebijakan itu semuanya bermuara dalam rangka
meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat.
Dalam rangka membuat strategi percepatan pembangunan berbasis SPM
maka kriteria isu-isu strategis:
a. Memiliki pengaruh yang besar/signifikan terhadap pelayanan publik dalam
upaya pencapaian sasaran pembangunan jangka panjang.
b. Merupakan tugas dan tanggung jawab SKPD
c. Sejalan dengan isu-isu strategis pembangunan jangka menengah daerah.
d. Adanya kemungkinan/peluang untuk ditangani.
e. Memiliki daya ungkit untuk pencapaian pembangunan berkelanjutan
Sebagai gambaran bagaimana SKPD memperoleh kriteria isu-isu strategis tersebut
62
adalah:
1. Lakukan analisa internal berupa identifikasi permasalahan pembangunan
berdasarkan TUPOKSI yang telah dijalankan.
2. Lakukan analisa eksternal berupa kondisi yang menciptakan peluang dan
ancaman bagi SKPD di masa lima tahun mendatang.
Hasil analisa tersebut adalah berupa data-data yang dapat diolah sebagai
bahan kebijakan. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa setelah diterapkan
otonomi daerah, sebagian kewenangan dan fungsi pemerintah pusat, khususnya
berkaitan pembangunan berbasis SPM/kegiatan pelayanan dasar (kesehatan,
pendidikan, dan lain-lain) sudah diserahkan ke daerah. Sejarah data-data
pembangunan tersebut menjadi penting sebagai langkah awal daerah mengelola
isu-isu strategis pembangunan. Ke depan daerah sangat berkepentingan dengan
kebutuhan data dan akan menjadi meningkat terutama untuk melihat pencapaian
serta menentukan suatu perencanaan yang bersifat strategis.
Pada fase ke dua pelaksanaan otonomi daerah melalui UU No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintah Daerah Pasal 152 ayat 1, bidang statistik merupakan
salah satu urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan pemerintah provinsi
dan kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar. Pesan pasal ini sangat
penting dan strategis sehingga persoalan data statistik menjadi urusan wajib.
Sebuah keputusan penting dari suatu kebijakan sudah barangtentu berangkat dari
data yang akan menentukan isu-isu strategis. Pesan pasal 152 juga menyatakan
Perencanaan Pembangunan Daerah harus didasarkan pada data-data dan
informasi yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan; Data/Informasi yang
dimaksud mencakup:
1. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah;
2. Organisasi Tata Laksana Pemerintah Daerah;
3. Keuangan Daerah, DPRD, Perangkat Daerah and PNS Daerah;
4. Potensi Sumberdaya Daerah;
5. Produk Hukum Daerah;
6. Kependudukan;
7. Informasi Dasar Wilayah;
8. Informasi lain terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
63
telah
terintegrasi dalam program prioritas pembangunan daerah dan nasional. Oleh sebab
itu data kinerja ini juga akan mengangkat isu-isu strategis yang belum diselesaikan
dan yang akan diantispasi ke depan. Terkait dengan 8 (delapan) informasi data di
atas perlu pembahasan yang lebih mendalam khususnya point 6 (enam) tentang
kependudukan dan point 7 (tujuh) mengenai informasi dasar wilayah. Mengapa ?
karena keduanya saling memiliki kepentingan untuk sebuah keberlanjutan
kehidupan dari generasi ke generasi. Manajemen kependudukan yang salah tidak
diantisipasi dalam perencanaan akan merusak wilayah yang mereka tempati.
Begitupun sebaliknya pola ruang wilayah yang tidak direncanakan dengan baik akan
muncul resiko berbagai bencana.
64
terutama
untuk
melihat
pencapaian
65
serta
menentukan
suatu
pada
data-data
dan
informasi
yang
akurat
serta
dapat
66
telah
terintegrasi dalam program prioritas pembangunan daerah dan nasional. Oleh sebab
itu data kinerja ini juga akan mengangkat isu-isu strategis pembangunan yang belum
diselesaikan dan yang akan diantispasi ke depan.
Terkait dengan 8 (delapan) informasi data di atas perlu pembahasan yang
lebih mendalam khususnya point 6 (enam) tentang kependudukan dan point 7
(tujuh) mengenai informasi dasar wilayah. Mengapa ? karena keduanya saling
memiliki kepentingan untuk sebuah isu kebijakan publik dan dampaknya terhadap
keberlanjutan kehidupan dari generasi ke generasi. Manajemen kependudukan yang
salah tidak diantisipasi dalam perencanaan wilayah akan membuat tidak nyaman
wilayah yang mereka tempati. Begitupun sebaliknya pola ruang wilayah yang tidak
direncanakan dengan baik dan bahkan tidak tepat penggunaannya akan muncul
resiko berbagai bencana. Semua fenomena tersebut menjadi isu-isu strategis
pembangunan yang wajib dikelola secara profesinal untuk sebuah pembangunan
berkelanjutan antar-generasi.
67
68
pada
UU
32/2004
tentang
Pemerintahan
Daerah
Artinya
ada
penekanan
penting
untuk
pencapaian
SPM
terhadap
kewenangan wajib berbasis pelayanan dasar tersebut. Saat ini kita sedang
menunggu PP pengganti PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan,
untuk mempertegas urusan pemerintahan dalam rangka menjalankan kewenangan.
Regulasi-regulasi tersebut adalah penguatan dari amanat tujuan bernegara,
seperti ditegaskan oleh UU 32 tahun 2004 bahwa dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah sesuai amanat UUD RI Tahun 1945: pemerintah daerah yang
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Ada 3 (tiga) pokok besar Otda
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dimulai dengan cara yang pertama
melalui peningkatan pelayanan, kedua pemberdayaan dan ketiga peningkatan
daya saing.
Tahapan logika berpikir ini mendasar sekali karena sangat tidak mungkin
langkah kedua dan ketiga dilakukan sebelum pelayanan dasar diberikan. Langkah
yang pertama ini yang kemudian menjadi urusan wajib pemerintah daerah
khususnya berbasis pelayanan dasar. Apakah pemberdayaan tidak masuk klasifikasi
urusan wajib, dapat dilihat tugas pokok dan fungsi serta program/kegiatan yang
69
melekat serta target capaian SPM. Alur analisa kebijakan desentralisasi dapat
digambarkan sebagai berikut:
PENINGKATAN PELAYANAN
TUJUAN OTDA
MEMPERCEPAT
TERWUJUDNYA
KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT
adalah
pelayanan
dasar
pencapaian
SPM.
Posisi
SPM
dalam
70
tugas
pokok
Pemerintahan
Daerah
dan
mendorong
transparansi
dan
partisipasi
masyarakat
dalam
proses
71
dasar warganya dapat mengungkit nilai IPM. Kepala Daerah terpilih diharapkan
cerdas mengarahkan belanja pembangunan bagi kemakmuran rakyat. Bukan
sebaliknya apa yang direncanakan/dijanjikan KDH dengan apa yang dilaksanakan
terkadang belum berada pada rel yang pas. Kata pas disini berarti apa yang
diberikan kepada masyarakat sesuai bukti kampanye politik. Mengapa ini bisa tidak
pas/berbeda dengan faktanya, banyak hal bisa terjadi karena kekuatan/potensi
daerahnya rendah, terbatas anggaran atau kurang dioptimalkan tingkat penerimaan
daerahnya. Atau bisa karena kreativitas tim birokratnya rendah?
SDM atau
72
bagaimana
hasilnya? Faktanya setelah hampir 15 tahun kelahiran SPM (PP No. 25 TH 2000
73
pusat
menaruh
perhatian
yang
sangat
besar
terhadap
pencapaian SPM ini, bahkan standar nilai capaian diarahkan pusat. Dengan
keseriusan amanat kedua undang-undang tersebut harapan ditujukan kepada
pemerintah daerah agar target-target capaian SPM segera dimasukkan ke dalam
perencanaan dan penganggaran yang terintegrasi. Keberhasilan capaian program
SPM sebagai pengungkit untuk program-program lainnya. Tetapi ketidakberhasilan
program pelayanan dasar akan mengganggu stabilitas penyelenggaraan pemerintah
secara umum. Stabilisasi ini merupakan salah satu fungsi penting tentang eksistensi
pengelolaan APBD.
Darimana mulainya pengintegrasian SPM ini? Sejak dibuatnya dokumen
RPJMD kepala daerah terpilih sudah harus ada target capaian program-program
yang mengusung SPM. Apapun janji-janji KDH terpilih dalam kampanye di
masyarakat tetap urusan wajib ini yang menjadi prioritas utama. Integrasi SPM ke
dalam perencanaan dan penganggaran adalah
pencapaian
SPM
dengan
program/kegiatan
74
singkronisasi
target target
antar-dokumen
perencanaan
standar minimum
pembiayaan untuk suatu pelayanan dasar di daerah. Hal ini menjadi landasan dalam
menentukan
anggaran
berbasis
kinerja
suatu
pelayanan
publik
yang
75
PEMBILANG
INDIKATOR SPM =
X 100 %
PENYEBUT
76
target
yang
biaya/penganggarannya
penganggaran
yang
dicapai
juga
sudah
juga
berubah.
berubah
Dengan
didokumentasikan
maka
demikian
dalam
penghitungan
perencanaan
RPJMD
dan
seyogyanya
logis
upaya
mengintegrasikan
pendekatan
SPM
dan
Berkelanjutan
ini
dimaksudkan
secara
mendasar
menjamin
yang
selanjutnya
program/kegiatan
berbasis
pencapaian
SPM
77
Disposisi
persetujuan
Kepala
Daerah
akan
menjadi
bahan
apa penyebab
terjadinya gap. Sampai kita dapat mengetahui akar penyebab utama terjadinya gap
tersebut, tujuannya agar intervensi menjadi lebih akurat, fokus, efektif dan efisien.
Teknik identifikasi faktor-faktor penyebab masalah/kesenjangan yang cukup
populer adalah fishbone diagram dan problem tree (pohon masalah).
Metode
sederhana seperti analisis pohon masalah atau fishbone cukup representatif untuk
menyusun program-kegiatan. Metode ini bisa dibuat simulasi dalam rangka
78
manfaat
(konsumen/warga
masyarakat)
nilai
strategis
SPM
unit
yang
79
belanja sampai dengan aksi penganggaran dalam APBD. Lihat gambar berikut
adalah ada salah photo. suasana pagi anak-anak sekolah di desa Sanghiang
Tanjung, Lebak Banten.
80
mencapai
pelayanan
dasar
tersebut.
81
Artinya
belum
ada
atensi
Stockholm
Vienna
Curitiba
New York
Berlin
Vancouver
London
Paris
Jakarta
Tokyo
0
20
40
60
80
Gambar 4 Perbandingan luas RTH perkapita pada beberapa kota besar dunia
82
Semarang dan Kota Jogyakarta sebagainya. Kota Surabaya dan Kota Bandung saat
ini terus berbenah dengan taman-taman kotanya, kinerja Kepala Daerah diapresiasi
oleh masyarakatnya.
Potret kinerja ini menunjukkan masih banyak daerah kab/kota dan propinsi
yang belum cukup paham berkaitan dengan capaian
urusan wajib pelayanan dasar. Hal yang sama tidak berbeda dengan upaya capaian
SPM Pendidikan Dasar. Bahkan bisa jadi perhatian pemerintah daerah belum atau
kurang menerapkan SPM dalam perencanaan dan penganggaran daerah.
Bagaimana dengan 14 bidang yang lain dan sudah memiliki SPM seperti: SPM
Kesehatan, SPM Keluarga Berencana, Lingkungan Hidup, Ketahanan Pangan,
Kesenian, Ketenagakerjaan, Kominfo, Pekerjaan Umum, Pemberdayaan dan
Perlindungan Anak, Pemerintahan Dalam Negeri, Penanaman Modal, Perhubungan,
Perumahan rakyat dan Sosial. Semua ini harus diberi penguatan yang lebih dari
sekedar belanja program/kegiatan rutinitas pembangunan.
Penutup
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis mengajukan beberapa rekomendasi
sebagai berikut:
1. Pencapaian target-target pembangunan dalam konteks perencanaan dan
penganggaran daerah harus diawali dan dipahami dengan konsep dan rekam
jejak data yang valid.
2. Data pembangunan adalah data-data terkait dengan upaya pencapaian IPM
dengan melihat dari capaian target SPM urusan yang diserahkan (wajib dan
pilihan) dan mengalisan kondisi gambaran umum daerah yang mendukung
capaian kinerja pembangunan tersebut.
3. Pada akhirnya tujuan akhir pembangunan itu tidak semata pemerataan ekonomi
tetapi yang lebih penting adalah keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Bisa jadi
disebut pembangunan berbasis ekonomi hijau terutama melalui; (1) integrasi tata
ruang dalam pembangunan; (2) Pemakaian sumberdaya alam yang bijaksana dan
berkelanjutan; (3) Kebijakan perencanaan dan penganggaran berbasis lingkungan
(green budgeting).
83
I. Pendahuluan
a. Latar Belakang
Globalisasi telah melahirkan keterhubungan masyarakat dunia dalam berbagai aspek
kehidupan baik dalam hal budaya, sosial, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan.
Globalisasi juga mendorong persaingan tidak hanya pada tingkatan individu ataupun
korporasi, namun juga menyentuh tataran pemerintahan atau negara.
84
Untuk menghadapi arus globalisasi tersebut, saat ini Indonesia sedang melakukan
berbagai terobosan dan upaya. Salah satu terobosan yang dilakukan oleh pemerintahan
Indonesia adalah dengan membangun birokrasi kelas dunia melalui pengembangan
komitmen dan budaya berinovasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Sekarang ini era inovasi telah menjadi katalisator utama dalam mengakselerasi
gerakan revolusi mental yang digaungkan oleh Presiden Jokowi melalui program Nawa
Cita. Betapa banyak acara yang didesain untuk mendorong munculnya inovasi di tubuh
pemerintah, baik oleh Kementerian, Lembaga, dan Daerah. Betapa banyak pula inovasi
tercipta dari K/L/D saat ini.
Melihat kondisi tersebut, tentunya kita semua bangga dengan capaian ini. Kondisi
tersebut menunjukan telah terjadinya perubahan iklim birokrasi dimana budaya status quo
perlahan-lahan ditinggalkan dan digantikan oleh budaya perubahan. Pemerintahan,
pelayanan publik, dan pembangunan bertransformasi ke dalam ragam bentuk kebaruan
dan kemanfaatan mengikuti tantangan dan kebutuhan lingkungan strategisnya.
b. Tujuan yang Akan Dicapai
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penulisan makalah adalah sebagai
berikut.
1.
2.
c. Sistematika Penyajian
Adapun sistematika penyajian dalam penulisan makalah adalah sebagai berikut.
a.
b.
c.
II.
METODOLOGI
a.
Metode Penelitian
Makalah ini dibuat dengan menggunakan metode deskriptif melalui studi literature
dengan pendekatan kualitatif berbasis data sekunder. Obyek penelitian yang digunakan
adalah aparatur birokrasi pemerintahan di lingkungan BNN.
85
b. Tinjauan Pustaka
Budaya menurut bahasa adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang
sukar diubah (KBBI, 2003, hal.169). Sementara para pakar antropologi budaya
Indonesia umumnya sependapat bahwa kata kebudayaan berasal dari bahasa
Sanskerta buddhayah. Kata buddhayah jamak dari kata buddhi yang berarti hal-hal
yang berkaitan dengan akal. Namun ada pula anggapan bahwa kata budaya berasal
dari kata majemuk budi daya yang berarti daya dari budi atau daya dari akal yang
berupa cipta, karsa, dan rasa (Maran, 2000, hal. 24).
Inovasi adalah produksi atau adopsi, asimilasi dan eksploitasi nilai tambah di
bidang ekonomi dan sosial; pembaruan dan pembesaran produk, Layanan, dan pasar;
pengembangan metode produksi; dan pembentukan sistem manajemen baru dalam hal
proses dan hasil.(Edison et al, 2013). Dalam teori pembangunan konvensional, masalah
kualitas sumber daya manusia masih belum mendapat perhatian secira proporsional.
Pandangan ini masih meyakini bahwa sumber pertumbuhan ekonomi itu terletak pada
konsentrasi modal yang diinvestasikan dalam suatu proses produksi.
Namun akhir-akhir ini pandangan tersebut mulai bergeser, bahwa yang bisa
memacu pertumbuhan ekonomi justru faktor kualitas sumber daya manusia. Pergeseran
pandangan ini terjadi bersamaan dengan pergeseran paradigma pembangunan, yang
semula bertumpu pada kekuatan sumb er daya alam (natural resource based),
kemudian bertumpu pada kekuatan sumber daya manusia (human resource based)
atau lazim pula disebut knowledge based economy.
Rahardi Ramelan (1997) Pergeseran paradigma semakin menegaskan betapa
aspek sumber daya manusia bernilai sangat strategis dalam pembangunan. Sebab,
sumber daya manusia merupakan pelaku utama dalam kegiatan perekonomian dan
pembangunan suatu negara. Malahan akhir-akhir ini juga disoroti bukan hanya sumber
daya manusia selaku individu-individu, tetapi keterkaitannya dalam masyarakat yang
merupakan kebiasaan-kebiasaan sebagai budaya merupakan modal yang kuat yang
sering disebut dengan social capital (modal sosial).
Menurut Bank Dunia bahwa modal manusia merupakan faktor paling penting dan
mempunyai peran amat dominan dalam mendorong kemajuan masyarakat. Dengan
demikian, peningkatan mutu sumber daya manusia, yang antara tain dicirikan oleh
tingginya tingkat pendidikan, merupakan kata kunci dalam pembangunan ekonomi dan
sekaligus merupakan agenda utama
86
III. HASIL
a. Pembahasan
Pembangunan nasional. Menurut Boediono (1996) keberhasilan dalam meningkatkan
mutu pendidikan akan berpengaruh terhadap empat hal, yaitu (l) meningkatkan
produktivitas kerja, (2) membentuk lapisan konsumen bagi barang dan jasa yang lebih
canggih, (3) membentuk produsen teknologi, dan (a) meningkatkan kemampuan
komunikasi. Keempat hal tersebut dapat menunjang proses pertumbuhan ekonomi
secara dinamis dan bertahap ke arah peningkatan kesejahteraan yang lebih tinggi.
Perubahan jaman yang begitu cepat dan arus globalisasi yang begitu besar
dampaknya, membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap konidisi masyarakat
secara umum, tidak terkecuali dengan Aparatur Sipil Negara. Sebagai pengayom dan
pelayan masyarakat yang dituntut tetap konsisten dalam menjalankan tugasnya, korps
ASN diharapkan mampu memiliki kompetensi dan keperibadian yang mumpuni. Hal
tersebut dikarenakan, selera dan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi serta
harapan yang semakin besar menjadikan ASN harus mampu berinovasi dalam segala
hal. Upaya itu dilakukan untuk tetap menjaga kualitas pelayanan sekaligus
meningkatkan pelayanan serta kinerja individual maupun organisasi ke arah yang lebih
baik.
Seperti diketahui bahwa Reformasi Birokrasi adalah proses menata-ulang,
mengubah, memperbaiki, dan menyempurnakan birokrasi agar menjadi lebih efisien,
efektif dan produktif (BEEP). Tantangan dan tuntutatn birokrasi saat ini tidak lagi
sekedar menjalankan rutinitas, akan tetapi lebih jauh dari itu adalah upaya nyata dalam
melayani kebutuhan masyarakat sebagai user.
Pembangunan
nasional.
Menurut
Boediono
(1996)
keberhasilan
dalam
meningkatkan mutu pendidikan akan berpengaruh terhadap empat hal, yaitu (l)
meningkatkan produktivitas kerja, (2) membentuk lapisan konsumen bagi barang dan
jasa yang lebih canggih, (3) membentuk produsen teknologi, dan (a) meningkatkan
kemampuan komunikasi. Keempat hal tersebut dapat menunjang proses pertumbuhan
ekonomi secara dinamis dan bertahap ke arah peningkatan kesejahteraan yang lebih
tinggi.
Di luar sana, masih banyak K/L/D yang bertahan dengan kultur tradisional,
bergerak dalam rutinitas, dan tidak menempatkan masyarakat dan dinamikanya sebagai
konteks dimana organisasi pemerintah berada. Mereka perlu diprovokasi agar mau
berinovasi dan menempatkan diri dalam arena kompetisi global. Kita adalah bangsa
87
88
b.
89
awal dan mendasar agar tahapan dalam proses perubahan kearah reformatif dipahami
sesuai dengan visi, misi, dan keinginan organisasi. Dan disinilah widyaiswara atau
para trainer memainkan peran yang strategis.
Orientasi dari sebuah pelatihan sejatinya adalah perubahan sikap, menurut teori
nilaiekspektansi (expectancyvalue theory) sikap akan terbentuk apabila ada rasa
percaya bahwa suatu proses perilaku akan membawa kepada suatu peristiwa atau hal
tertentu. Edward Chace Tolman dalam Saifuddin (2003) mengemukakan, kepercayaan
(belief) adalah ekspektasi yang selalu mendapat konfirmasi secara konsisten. Manusia
akan belajar untuk mengulang perilaku yang memiliki nilai positif.
Menurut teori ini bila seseorang harus memilih dan menentukan perilakunya ia akan
memilih alternatif yang mengandung utilitas (manfaat) subjektif tertinggi, yaitu yang
akan membawa kepada hasil yang paling menguntungkan. Dengan demikian menurut
teori ini sikap seseorang terhadap suatu akan terbentuk dari interaksi kumulatif antara
harapan
individu
akan
konsekuensi
perilaku
dan
penilaiannya
akan
hasil
perbuatannya.
Ada cara pandang baru atas pengembangan kompetensi pegawai dimana
pengembangan kompetensi adalah hak. Hak yang sejajar dengan hak-hak yang
lainnya yaitu gaji, cuti dan perlindungan. Artinya, pegawai ASN bisa menuntut untuk
mendapatkannya dan menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya. Hal ini
masuk akal karena pegawai harus
memadai kompetensinya
dalam memberikan
pelayanan publik. Pegawai dituntut mampu bekerja secara profesional, bebas dari
intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Disinilah lembaga diklat mempunyai posisi dan peran yang penting meskipun
pendidikan dan pelatihan bukan satu-satunya cara. Ada metode-metode lain untuk
mengembangkan kompetensi pegawai. UU ASN mengakomodasi seminar, kursus,
dan penataran. Selain itu pengembangan kompetensi juga bisa dilakukan dengan
pertukaran PNS dengan pegawai swasta atau
dan
pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta dalam waktu paling lama satu tahun.
Cara yang terakhir ini didasari asumsi banyaknya inovasi yang dilakukan di
kalangan swasta. Manajemen publik juga banyak mengadopsi konsep-konsep
manajemen bisnis. Ambil contoh konsep New Public Management dimana pemerintah
mengadopsi model swasta dalam menyediakan barang-barang publik.
Wahana yang paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut ditinjau dari segi
pengembangan sumber daya manusia adalah melalui pendidikan dan latihan (Diklat).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, disebutkan bahwa diklat
adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan
90
kemampuan Pegawai Negeri Sipil (Pasal 1 ayat 1). Selanjutnya dalam pasal 2
dijelaskan bahwa Diklat bertujuan untuk : a. meningkatkan pengetahuan, keahlian,
keterampilan, dan sikap untk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional
dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi; b.
menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat
persatuan dan kesatuan bangsa; c. memantapkan sikap dan semangat pengabdian
yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat; d.
menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas
pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang 13
baik (good governance).
IV.
DISKUSI
Menurut Siagian (1987) paling tidak ada tiga manfaat yang didapat melalui diklat:
1. Cakrawala pandangan yang makin luas yang memungkinkan seseorang untuk lebih
mampu memahami dan mengantisipasi perubahan dan perkembangan yang pasti
akan terjadi;
2. Peningkatan produktivitas yang pada gilirannya dapat meningkatkan penghasilan
seseorang sekaligus menambah kepuasan batin;
3. Kemungkinan promosi yang lebih besar sebagai penghargaan dan pengakuan
organisasi atas kemampuan kerja yang semakin meningkat sehingga kepada yang
bersangkutan dapat diberikan wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar dan
lebih luas.
91
Selain lima karakter kinerja buruk, Insync Surveys juga menyebutkan tujuh
kebiasaan kinerja tinggi yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Selama ini diklat dipengaruh tiga komponen yaitu peserta, penyelenggara, dan
Widyaiswara. Dengan diakomodasinya pertukaran PNS-pegawai swasta akan
menambah satu komponen diklat yaitu swasta. Perubahan ini tentu berpengaruh
terhadap berbagai aspek seperti anggaran, kurikulum, keluaran, manfaat diklat dan
sebagainya.
Selain perubahan metode diklat, kini kompotensi pegawai ASN menjadi syarat
utama seseorang diangkat dalam suatu jabatan. Artinya sebagai lembaga pemerintah
yang bertanggung jawab dalam pengembangan kompetensi pegawai, Lembaga diklat
bisa memainkan peran yang lebih besar. Terkait dengan itu lembaga diklat harus
mampu mewujudkan tiga kompetensi pegawai yang dipersyaratkan dalam UU ASN
yaitu teknis, manajerial dan sosial kultural.
Indikator tiap kompetensi secara jelas dijabarkan dalam UU ASN. Kompetensi
teknis, misalnya,
dan
skill.
Ranah
sikap-perilaku
belum
menjadi
indikator
utama
keberhasilan proses pembelajaran. Oleh karena itu kompetensi sosial kultural sebagai
syarat pengangkatan dalam jabatan bagi pegawai ASN akan berpengaruh terhadap
proses pengembangan kompetensi pegawai. Sebaiknya Lembaga diklat mulai
mengembangkan sebuah model diklat yang lebih menonjolkan aspek sosial kultural
dalam kurikulumnya. Saat diklat kepemimpinan pembaharuan sudah mengadopsinya.
92
Pengembangan
kompetensi
sosial-kultural
dilatarbelakangi
kebhinekaan
baru
atau
model
reformasi
birokrasi
perlu
dirancang
untuk
mendorong
tegaknya
hukum
dan
bersedia memberikan
2.
Inovasi membutuhkan dukungan semua pihak (top, middle, lower and people);
3.
4.
5.
93
Artikel
Pratikno. (2015) Sambutan Inagara. Jakarta : Lembaga Administrasi Negara.
Website
Gunawan Hendar. (2015) Peran Pendidikan dan Pelatihan dalam Membentuk Agen
Perubahan
di
BMKG.
Diundur
dari
SDM
Menghadapi
Tuntutan
Kebutuhan
Era
Globalisasi
dan
S.
(2015)
Diklat
dan
Budaya
Kerja
PNS.
Diunduh
dari
94
Abstract
Financial Statement is the only one media of financial information of entities during or at certain
period. Often, in this financial statement, entities report the information about revenue,
expenses and other information that are relevant to the decision making. The information must
be based on real data during the period. The presentation of this information is also
accommodate some assumption and estimation for doing so that is called professional
judgments. So the presentation of financial statement, includes The Statement of Financial
Position, Profit or Loss Statement and Cash Flow Statement must be supported by Notes to
Financial Statement that represent these assumptions.
Furthermore, before delivering to decion makers, the financial statement also should be audited
by an independent auditor. The auditor should give an opinion about the financial statement that
indicate the fairness of this presentation to the standards and common pratices. The decision
maker will use the financial statement for making some decisions by a different matter. In one
side, some analyst use an only simple or very simple way for analyzing this financial statement
and then, they make some decisions. But, the other ones use a complex or a very complex
model of analysis.
In the actual analysis, the analysis will consider liquidity, solvability, profitability and activity
dimension of analysis. There is no single formula for analysis. Nobody may judgment right or
wrong about others model. The most important thing is the reason and the background of
formula or the way of thinking behind the formula.
Keyword:
Financial Statement, Liquidity, Solvability, Profitability, Activity, Analysis
Correspondence author: Muhtar Yahya, Email: muhtaryahya@gmail.com Telp: 0856.9468.3054
95
Pendahuluan
Dalam mempertanggungjawabkan amanah uang yang diberikan oleh pemegang saham atau
pemilik entitas (perusahaan) maka manajemen harus membuat laporan keuangan. Dengan
laporan keuangan inilah, pihak manajemen memberikan informasi tentang berbagai macam
kondisi yang terjadi pada entitas tersebut. Hal yang dilaporkan menyangkut kondisi keuangan
entitas pada suatu saat tertentu, tanggal tertentu bulan tertentu dan tahun tertentu pula. Juga
dilaporkan kinerja keuangan entitas tersebut selama periode tertentu.
Biasanya pada laporan keuangan, entitas menyajikan informasi tentang jumlah aset, liabilitas
dan ekuitas yang dimiliki entitas atau perusahaan tersebut, dalam Laporan Posisi Keuangan
atau Neraca. Sedangkan informasi pendapatan dan beban dilaporkan dalam Laporan Laba
Rugi. Untuk data penerimaan dan pengeluaran kas akan disajikan dalam Laporan Arus Kas,
yang mencakup berbagai kegiatan dari jenis operasional, pendanaan dan investasi.
Penyajian laporan keuangan didasarkan kepada data dan fakta yang terjadi selama periode
berjalan. Pada akhir tahun, sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan prinsip akrual maka penyaji
laporan keuangan akan melakukan berbagai pertimbangan profesional berupa asumsi dan
estimasi. Juga dilakukan pemilihan metode yang dipergunakan dalam membukukan suatu
kejadian atau transaksi. Oleh karena itu semua asumsi, pertimbangan profesional atau pun
metode yang dipergunakan dalam penyajian laporan keuangan akan sangat mempengaruhi
laporan keuangan yang dihasilkan. Sebagai konsekuensinya maka semua asumsi, estimasi dan
metode yang dipakai juga harus dicantumkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
Sebagai suatu hasil final maka pihak manajemen menghasilkan satu paket Laporan Keuangan
yang siap untuk didistribusikan kepada para pengguna laporan keuangan. Karena laporan
keuangan tersebut akan dipergunakan oleh berbagai pihak maka keakuratan penyajian laporan
keuangan seharusnya diperiksa terlebih dahulu oleh Kantor Akuntan Publik, sebagai pihak
independen. Pihak independen seharusnya memberikan opini atas penyajian laporan keuangan
tersebut. Harapannya adalah para pengguna laporan keuangan, insyaAlloh, menjadi tidak
terjebak dalam mengambil keputusan yang strategis sehubungan dengan entitas tersebut.
Dimensi Kinerja
Subramanyam (2013) menjelaskan bahwa dimensi kinerja, adalah sisi kinerja yang menjadi
perhatian analis dalam menentukan bagaimana capaian kinerja entitas tersebut. Berbagai
96
macam dimensi yang sering dibahas oleh para analis, diantaranya adalah likuiditas, solvabilitas,
profitabilitas dan aktivitas.
Dimensi 1 - Likuiditas
Likuiditas didefinisikan sebagai kemampuan suatu perusahaan untuk
memenuhi semua
liabilitas jangka pendek yang akan segera jatuh tempo. Likuiditas sesungguhnya berkaitan erat
dengan efisiensi pemanfaatan aset, dimana ketidakefisienan dalam pemanfaatan aset dapat
menyebabkan masalah likuditas. Likuiditas dapat dimaknai sekedar sebagai perbandingan
antara jumlah aset lancar yang dimiliki dengan jumlah hutang jangka pendek yang harus
dipenuhi. Namun dipihak lain, juga bermaknakan sebagai indikator berapa lama sebuah
persediaan sudah berada di toko perusahaan. Juga bisa menjadi indikator berapa lama piutang
dapat ditagih oleh perusahaan. Walaupun untuk hal yang kedua ini, para analis lebih sering
mengklasifikasikan kepada kegiatan aktivitas perusahaan.
Sejalan dengan pengertian likuiditas dan ukuran-ukurannya tersebut, maka agar dapat
menafsirkan rasio lancar secara lebih baik, juga perlu menganalisis jenis usaha, komponen dan
kualitas dari aset lancar maupun liabilitas jangka pendeknya. Perusahaan yang tidak
memberikan kredit (sebagian besar penjualan tunai) dan tidak memiliki persediaan, misalnya
perusahaan jasa transportasi, mungkin sekali beroperasi dengan rasio lancar kurang dari 1, jika
pendapatannya menghasilkan kas yang cukup untuk melunasi liabilitas lancarnya tepat waktu.
Sebaliknya, perusahaan yang menjual furnitur berharga tinggi kemungkinan memerlukan rasio
lancar lebih tinggi. Tentunya jenis usaha menentukan daur normal suatu usaha, yakni berapa
lama kas yang diinvestasikan ke dalam aset lancar kembali menjadi kas.
Dimensi 2 Solvabilitas
Solvabilitas didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk melunasi liabilitas jangka
panjang. Dengan demikian solvabilitas mengacu kepada kesinambungan dan kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan aset yang dapat dipergunakan untuk melunasi liabilitas jangka
panjang. Semua kegiatan bisnis suatu perusahaan mempengaruhi solvabilitas perusahaan,
namun salah satu komponen penting analisis solvabilitas adalah komposisi modal atau struktur
modal perusahaan. Struktur modal terdiri dari utang jangka panjang dan modal (ekuitas).
Dengan demikian analisis struktur modal merupakan kunci dalam mengevaluasi solvabilitas.
97
Seperti halnya dimensi likuditas, maka pada dimensi solvabilitas ini analis juga harus
memperhatikan berbagai sisi lain, diantaranya adalah komposisi aset jangka pendek dan jangka
panjang. Termasuk komposisi risiko dari liabilitas jangka panjang tersebut. Indikator
kemampuan ini mencakup rasio liabilitas dan modal, hubungan antara aset dan liabilitas dan
relasi antara modal dan aset perusahaan serta kapasitas perusahaan menghasilkan laba yang
cukup untuk membayar beban bunga.
Dimensi 3 Profitabilitas
Profitabilitas didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba usaha.
Para analis tertarik untuk mengevaluasi kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan aset
secara efisien untuk menghasilkan laba. Profitabilitas
perusahaan untuk menghasilkan imbalan yang layak atas modal yang diinvestasikan. Imbalan
ini dievaluasi dengan menganalisis laba dihubungkan dengan sumber pendanaan.
Dalam anlisis ini, juga tidak boleh dilupakan untuk mengevaluasi lebih jauh tentang komposisi
dari laba yang dihasilkan. Pengguna informasi keuangan harus paham bahwa laba terakhir
yang dihasilkan perusahaan bisa berasal dari beberapa sumber. Tentu berbeda, jika laba yang
dihasilkan tersebut berasal dari kegiatan utama dan dari kegiatan pendukung. Laba rugi terakhir
(bottom line) harus dievulasi dari mana sumbernya. Hal tersebut berarti anlis harus peduli
dengan kualitas sumber dari pendapatan maupun beban yang ada dalam perusahaan.
Dimensi 4 Aktivitas
Aktivitas didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk mengunakan aset yang dimiliki
entitas dalam rangka menghasilkan pendapatan dan laba. Biasanya para analis ingin menjawab
pertanyaan tentang seberapa efisien kebijakan manajemen dalam melakukan operasionalnya,
seperti seberapa tepat kebijakan pemberian kredit penjualan. Juga sejauh mana keakuratan
kebijakan pengadaan barang dagangan maupun kontrak pembayaran dengan para pemasok.
Sebenarnya pada dimensi ini, para analis tertarik untuk mengevaluasi kemampuan perusahaan
dalam memanfaatkan aset secara efisien untuk menghasilkan laba.
Seperti halnya likuditas maka analis juga perlu mengevaluasi jenis usaha, komponen dan
kualitas dari aset lancar terhadap penjualan maupun harga pokoknya. Perusahaan yang tidak
memberikan kredit (sebagian besar penjualan tunai) dan tidak memiliki persediaan, misalnya
98
perusahaan jasa transportasi tentu akan sangat berbeda dengan perusahaan yang operasional
utamanya adalah berdagang. Oleh karena itu dalam pembuatan kesimpulan haruslah
memperhatikan sudut pandang tersebut.
Metode Analisis
Sudana (2011) menjelaskan bahwa rasio merupakan alat analisis keuangan yang paling
popular. Rasio ini digunakan secara luas karena memberikan petunjuk dan gejala mengenai
kondisi yang melatarbelakangi. Jika diinterpretasikan secara tepat, rasio bisa mengarahkan
kepada sisi yang memerlukan penelaahan lebih lanjut. Rasio dapat membantu mengungkapkan
kondisi dan kecenderungan yang sulit ditemukan dalam analisis sederhana.
Analis rasio
merupakan suatu hubungan matematis antara beberapa sisi. Sangat banyak jenis analisis rasio
yang dipakai oleh para analis, semuanya sangat tergantung kepada pertimbangan analis
bersangkutan. Pilihan jenis rasio dalam tulisan ini adalah sekedar contoh sehingga tidak terlalu
banyak yang dibahas.
Rasio dapat dinyatakan dalam bentuk persen atau proporsi. Penghitungan rasio ini cukup
sederhana, namun penafsirannya memerlukan penjelasan yang tidak mudah. Supaya lebih
mengena kepada tujuan analisis maka rasio harus mengacau kepada suatu hubungan yang
secara teroitis relevan. Sebagai tambahan bahwa tidak ada kata sepakat dari para analis untuk
membuat batasan yang baku tentang berapa nilai yang dianggap baik. Yang menjadi poin
penting adalah bahwa batasan baik atau tidaknya suatu keadaan adalah sesuatu yang harus
disepakati dulu oleh analis.
Dimensi Likuiditas
1. Rasio Lancar (Current Ratio)
Rumus yang dipakai adalah:
=
99
Dimensi Solvabilitas
1. Rasio Liabilitas dibandingkan Ekuitas (Debt to Equity Ratio)
Rumus yang dipakai adalah:
=
100
Makna rasio hutang liabilitas dibandingkan ekuitas adalah seberapa besar porsi pengaruh
pihak eksternal terhadap total aset yang dimiliki perusahaan. Jika semakin tinggi angka
rasio ini maka semakin tinggi pula dominasi pihak luar terhadap eksistensi perusahaan.
Dimensi Profitabilitas
1. Rasio Laba Bersih terhadap Pendapatan (Return on Sales)
Rumus yang dipakai adalah:
=
Dimensi Aktivitas
1. Rasio Perputaran Persediaan (Inventory Turn Over)
Rumus yang dipakai adalah:
=
Satuan rasio ini biasanya dalam kali.
101
Makna rasio perputaran persediaan adalah seberapa besar persediaan tersebut berputar
menghasilkan harga pokok penjualan. Dengan rasio in akan diketahui seberapa laris barang
dagangan yang dimiliki perusahaan. Jika semakin tinggi angka rasio ini maka semakin
bagus kinerja perusahaan karena barang dagangan yang ada sangat diminati oleh
konsumen.
2. Rasio Perputaran Piutang (Account Receivable Turn Over)
Rumus yang dipakai adalah:
=
tersebut berputar
menghasilkan total penjualan. Dengan rasio in akan diketahui seberapa cepat piutang akan
tertagih menjadi uang. Jika semakin tinggi angka rasio ini maka semakin bagus kinerja
perusahaan karena piutang bisa segera tertagih menjadi uang.
102
diharapakan dapat membantu memecahkan kebuntuan jika menganalisis berbagai rasio secara
parsial yang terkadang penafsirannya saling bertentangan.
Formula untuk mendapatkan Altman Z-Score adalah sebagai berikut:
Z-Score = 1.2 A + 1.4 B + 3.3 C + 0.6 D + 0.999 E
Keterangan:
=
Setelah dilakukan perhitungan maka score Alltman tersebut kemudian akan dianalisis dan
disimpulkan dengan menggunakan ketentuan berikut ini:
Z-Score > 3,00 Berdasarkan laporan keuangan, perusahaan dianggap aman
2,70 Z-Score < 2,99 Terdapat kondisi yang membutuhkan perhatian khusus
1,80 Z-Score < 2,70 Mungkin bangkrut dalam 2 tahun mendatang
Z < 1,80 Potensi bangkrut sangat besar
Penjelasan tentang alasan penentuan faktor yang akan dianalisis dan batasan score untuk
pengambilan keputusan adalah mutlak merupakan pengolahan data yang disimpan oleh
Edward Altman. Namun demikian semua unsur yang dikemukan oleh Altman tersebut tidak
keluar dari angka yang ada dalam laporan keuangan. Dimensi yang dibahas pun juga berkisar
pada 4 dimensi seperti yang telah diuraikan dalam bagian di atas dari tulisan ini.
Sehubungan dengan rumus analisis ini, Prihadi (2013) menyatakan bahwa Z Score Altman
merupakan model yang paling cocok digunakan di Indonesia, mengingat sampelnya emerging
market dengan rasio yang tidak membutuhkan market value of equity. Pendapat ini mungkin
103
saja benar, sesuai dengan analisis yang bersangkutan. Namun beliau tidak juga memberikan
penjelasan tentang alasan pemilihan faktor dan penentuan angka tersebut. Oleh karena itu
penjelasan mengenai filosofi bagaimana rumus tersebut muncul adalah merupakan bagian
yang tidak bisa dilupakan.
Selanjutnya jika apa yang dilakukan oleh Altman tersebut kemudian dijadikan acuan oleh para
analis dalam menentukan layak tidaknya suatu proses analisis, maka dapat ditarik sebuah
prosedur dalam membuat analisis. Rangkaian prosedur inilah yang dalam tulisan ini dianggap
sebagai urutan paling logis dalam pelaksanaan analisis. Kondisi logis diharapkan menjadi
sesuatu yang fair dalam melakukan penilaian atas suatu laporan keuangan. Prosedur tersebut
adalah:
1. Penjelasan tentang tujuan analisis
Dalam contoh tersebut, Altman membuat sebuah rumus dalam rangka mendapatkan
masukan atau indicator apakah suatu perusahaan terancam bangkrut atau tidak. Rumus
yang dibuat tersebut mungkin tidak cocok jika diterapkan kepada tujuan lain seperti
penentuan apakah perusahaan tersebut akan mampu membayar dividen atau tidak,
penentuan apakah harga saham perusahaan akan naik atau turun. Tujuan analisis menjadi
penentu dari proses selanjutnya.
2. Penentuan faktor yang dipertimbangkan
Tujuan analisis adalah acuan dalam penentuan faktor yang akan dipilih. Dalam rumus
tersebut Altman memilih lima unsur A, B, C, D dan E sebagai faktor atau variable yang akan
dijadikan pertimbangan. Pemilihan unsur tersebut didasarkan kepada dasar teori dan
asumsi yang diyakini oleh analis. Lebih lanjut, bahwa penentuan faktor tersebut adalah hak
prerogratif analis yang akan menggunakan rumus tersebut sebagai alat pengambilan
keputusan. Apakah penentuan tersebut masuk akal dan logis atau tidak, akan ditentukan
dalam komentar analis berikutnya. Oleh karena itu mungkin saja nanti ada analis yang
sependapat atau bahkan menentangnya.
3. Penentuan rumus umum
104
Jika Altman memilih lima faktor yaitu A, B, C, D dan E sebagai hal yang menjadi
pertimbangan maka kemudian timbul pertanyaan lanjutan, bagaimana rumus akan didapat.
Sebagian ada yang berpendapat, dijumlahkan saja semua unsur tersebut, yang lain
berpendapat, dirata-rata saja, atau bahkan mungkin ada yang berpendapat agar dijumlah
tapi dibobot dulu. Semua pola dalam pembuatan rumus tersebut sangat ditentukan oleh
latar belakang analis yang membuatnya. Pembobotan yang dibuat oleh Altman tersebut
kemungkinan diperoleh dari pengolahan data mentah yang ada. Caranya, mungkin dengan
regresi sederhana, regresi berganda atau mungkin dengan pengolahan yang lain.
4. Penentuan kriteria simpulan
Setelah rumus diperoleh dan ditetapkan maka analis masih dituntut untuk memberikan
makna dari rumus tersebut. Angka terakhir dari rumus tersebut harus dijelaskan sehingga
artinya menjadi sebuah indicator atas kondisi tertentu. Dalam rumus Altman tersebut,
kriteria diungkapkan dalam batasan score angka kebangkrutan dari perusahaan yang
dianalis. Mengapa angka yang ditentukan adalah 1,8 dan seterusnya adalah hasil dari
pengolahan data yang ada. Biasanya analis merahasiakan dari mana angka tersebut
muncul. Akan tetapi sebagai konsep dasar yang perlu diyakini adalah bahwa kriteria
tersebut harus dibuat sebelum dilakukannya analisis atas laporan keuangan tersebut.
Tujuannya agar analisis dapat dilakukan secara obyektif dan tidak bias yang hanya
mengikuti selera dari analis bersangkutan.
5. Pelaksanaan analisis
Analisis laporan keuangan merupakan suatu proses analisis yang mendasarkan kepada
informasi yang ada di laporan keuangan. Sangat disarankan bahwa semua dalam laporan
keuangan yang dianalisis adalah angka yang wajar sesuai dengan prinsip yang berlaku.
Tanpa adanya keakuratan angka tersebut maka secanggih apapun rumus yang telah dibuat
maka rumus tersebut tidak akan menghasilkan simpulan yang akurat. Pelaksanaan analisis
selanjutnya adalah mengambil data dan informasi yang diperlukan untuk kemudian
dimasukkan dalam rumus yang ada. Setelah diperoleh hasil akhir maka angka tersebut
kemudian dibandingkan dengan kriteria yang sudah ditentukan di awal tadi. Hasil
perbandingan itu lah yang menjadi simpulan analisis untuk kemudian bisa dipergunakan
untuk pengambilan keputusan.
105
Simpulan
Laporan keuangan adalah satu-satunya jendela informasi yang menyajikan berbagai informasi
keuangan dari sebuah entitas. Pengguna laporan keuangan kadang-kadang adalah orang
eksternal dari entitas tersebut yang sama sekali tidak ikut terlibat dalam penyajian laporan
keuangan. Sementara itu penyajian laporan keuangan sangat tergantung kepada berbagai
asumsi dan metode yang dipakai oleh penyaji laporan keuangan.
Dalam sebuah laporan keuangan yang lengkap, sebuah entitas hendaknya menyajikan laporan
keuangan yang terdiri dari Laporan Posisi Keuangan, Laporan Laba Rugi dan Laporan Arus
Kas, sebagai ikhtisar yang mewakili seluruh transaksi keuangan. Tentunya akan menjadi
lengkap dengan ditambahkannya Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) yang memberikan
penjelasan tentang semua hal dibalik penyajian laporan keuangan tersebut. Akan menjadi lebih
lengkap lagi, jika penyajian laporan keuangan tersebut kemudian diaudit (diperiksa) oleh pihak
yang independen.
Selanjutnya laporan keuangan yang sudah wajar tersebut digunakan untuk pengambilan
keputusan. Berbagai metode dilakukan untuk melakukan analisis laporan keuangan. Ada yang
sangat simpel hanya melibatkan satu dua unsur, ada pula yang lebih lengkap dengan
melibatkan lebih banyak unsur. Logika analisis yang wajar mempunyai langkah berikut
penjelasan tentang tujuan analisis, penentuan faktor yang dipertimbangkan, penentuan rumus
umum, penentuan kriteria simpulan, pelaksanaan analisis. Tidak ada satu pun, analisis yang
mampu mewakili semua kepentingan. Semua analisis adalah benar, sesuai dengan keperluan
dari analis yang akan mengambil keputusan. Inilah yang namanya fair dalam melakukan
analisis laporan keuangan.
Daftar Pustaka
Dewan Standar Akuntansi Keuangan. (2013). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan, Ikatan
Akuntan Indonesia. Jakarta. IAI Pusat.
Subramanyam dan John J. Wild. (2013). Analisis Laporan Keuangan. Edisi 10. Jakarta:
Salemba Empat.
Sudana, I Made. (2011). Manajemen Keuangan Perusahaan Teori & Praktik. Jakarta: Erlangga.
Toto Prihadi. (2013). Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: Pusat Pengembangan Manajemen.
106
107
Pendahuluan
Era Pasar Bebas ASEAN yang telah dimulai pada akhir tahun 2015 ini semakin menitikberatkan
penduduk
Indonesia
development) yang
sebagai
dibangun
titik
sentral
dalam
pembangunan (people
dalam
konsep
pembangunan
centered
berkelanjutan (sustainable
development) sebagaimana amanat konstitusi negara pada amandemen ke-2 UUD 1945 Pasal
28h Ayat (1) serta Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga. Disisi lain, pada kenyataannya karena dengan tingginya tingkat
pengangguran di Indonesia menurut data BPS penduduk usia produktif Indonesia yang berstatus
bekerja hanya sebesar 109,67 juta. Sedangkan penganggur pada tahun 2011 dengan latar
belakang pendidikan tertinggi adalah SMA (BPS, 2011).
akan
masuk
ke dalam
lima negara
penyumbang
pertambahan penduduk terbesar dunia sampai tahun 2050 setelah India, Pakistan, Brazil,
dan Nigeria. Kondisi kehidupan masyarakat di kota-kota besar di Indonesia sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan banyak negara berkembang lain seperti India. Di Jakarta dan kota-kota
besar lainnya, setiap hari kita bisa menyaksikan kesenjangan sosial, merasakan kemacetan
yang luar biasa karena jumlah kendaraan tidak sebanding dengan ruas jalan yang tersedia
dan kriminalitas semakin
Hal ini menjadikan sebuah pekerjaan besar bagi pemerintah dalam menyiapkan SDM
108
melalui revolusi Diklat kependudukan yang disebabkan adanya keprihatinan akan rendahnya
kualitas manusia Indonesia yang tergambar dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan
suatu hal yang perlu menjadi kepedulian bersama karena tanpa adanya peningkatan tingkat
pendidikan, kesadaran pentingnya kesehatan dan derajat ekonomi masyarakat Indonesia maka
akan sangat sulit bagi SDM Indonesia untuk dapat bertahan dalam persaingan pasar bebas
ASEAN. Sesuai hasil proyeksi penduduk oleh BPS untuk tahun 2014-2025, maka diproyeksikan
bahwa usia produktif akan membludak terutama kelompok muda (15-49 tahun) ditambah dengan
mobilitas tenaga kerja antar negara membuat tantangan kerja semakin berat.
Oleh karena itu melalui tulisan ini diharapkan dapat menggambarkan strategi penyiapan SDM
Kependudukan sejak dini tentang kebijakan pembangunan yang berwawasan kependudukan
kepada masyarakat, yang sepenuhnya akan menopang kemajuan bangsa dan kesejahteraan
masyarakat ke depan melalui pendidikan kependudukan secara terus menerus sebagai investasi
jangka panjang.
Metodologi
Keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh kualitas penduduk dan bukan oleh
ketersediaan sumberdaya alam dan keberhasilan pembangunan ini merupakan konsekuensi dari
pembangunan kependudukan karena penduduk adalah obyek dan subyek dari pembangunan
(Samosir,
2008)
Pembangunan
harus
berpusatkan
pada
penduduk
(people-centered
development), yaitu pembangunan yang berorientasi kepada potensi dan kebutuhan penduduk
namun saat ini pembangunan belum sepenuhnya berwawasan kependudukan dengan tantangan
berupa besarnya kuantitas penduduk ang tergambar dari masih tingginya laju dan jumlah
penduduk, struktur penduduk tidak menguntungkan, kepadatan dan persebaran penduduk yang
tidak merata (BKKBN, 2012).
Besarnya penduduk akan meningkatkan kebutuhan energi, makanan dan air, yang tanpa
upaya teknologi
alam.
pengurasan
besar-besaran terhadap
sumber daya
Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk tetap harus dikelola dengan baik agar tidak
109
Dalam skema tersebut diperlihatkan arus logis untuk dapat mencapai pembangunan berkelanjutan
yaitu dengan meningkatkan daya saing ekonomi yang dapat tercapai dengan adanya
keseimbangan proporsi antara peningkatan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber
Daya Alam (SDA) dan Ilmu Pengetahuan Teknologi (IPTEK). Ada 9 bidang yang menjadi sasaran
utama dalam ketiga pembangunan tersebut yaitu sosial budaya dan kehidupan beragama,
ekonomi, IPTEK, sarana dan prasarana, politik, pertahanan keamanan, hukum dan aparatur,
wilayah dan tata ruang serta SDA dan Lingkungan Hidup (LH). Kesembilan pembangunan ini
tergambar dalam kebijakan pemerintahan Joko Widodo dalam Nawacita Pembangunan Nasional
dan dalam melakukan analisis tulisan ini dimulai dengan evaluasi program kependudukan yang
telah dilakukan instansi pemerintahan terkait dengan kebijakan pemerintah untuk dapat
menyiapkan kondisi perekonomian lebih baik dalam meletakkan dasar pembangunan SDM
utamanya dalam bidang kependudukan.
110
Pelaksanaan kajian strategi penyiapan SDM Kependudukan melalui studi kajian yang
dilakukan di Balai Diklat KKB Bogor Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) berdasarkan Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Pengkajian dilaksanakan pada pelaksanaan Mata
Diklat Kebijakan Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga
(KKBPK) pada bulan Agustus 2015. Modul yang dipergunakan adalah modul yang diterbitkan oleh
BKKBN sesuai dengan standar Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN-RI) dan
modul Pendidikan Kependudukan yang menjadi acuan studi kajian ini. Pengkajian menggunakan
metode kepustakaan (library research) dan metode analisis isi (content analysis) serta metode
penelitian lapangan (field study) menggunakan eksperimen yaitu dengan menggunakan
percobaan di lapangan yaitu kepada peserta diklat yang terdiri dari Aparatur Sipil Negara (ASN)
dan masyarakat umum (tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat) yang dilaksanakan pada
5 angkatan diklat dengan jumlah responden sebanyak 150 orang.
Menurut Ravers dalam Husein (2004), metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan
sifat sesuatu yang sedang berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebabsebab dari suatu gejala tertentu.
penelitian deskirptif adalah penelitian yang bertujuan untuk merekam kejadian sejelas-jelasnya
sehingga tidak memerlukan suatu hipotesis karena penelitian deskriptif menuturkan dan
menafsirkan data sebagaimana adanya. Untuk dapat memaknai data maka dilakukan analisis
kualitatif yaitu dengan memberikan makna atas berbagai deskripsi data yang ditemukan dalam
suatu penelitian dengan menggnakan metode:
a. Induksi, yaitu kesimpulan yang ditarik dari kejadian yang sifat khusus ke hal yang umum
b. Deduksi, yaitu kesimpulan yang ditarik dari kejadian bersifat umum ke hal yang bersifat
khusus.
Kedua metode ini digunakan secara bersama-sama saling melengkapi sehingga diharapkan dapat
mendeskripsikan asumsi yang diajukan lewat kerangka berfikir konseptual.
Hasil
Berdasarkan hasil pembahasan kerangka berfikir strategi penyiapan SDM Kependudukan dalam
rangka pembangunan berkelanjutan, maka disepakati bahwa dalam pelayanan dasar untuk dapat
111
meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berupa pelayanan pendidikan, kesehatan dan
perbaikan kondisi perekonomian bangsa sebagian besar dipengaruhi oleh kualitas SDM (sebesar
80%) yang menentukan kemajuan bangsa sebagaimana yang disampaikan oleh Samosir (2008).
Hal ini bertentangan dengan paradigma umum yang selama ini dijalankan pemerintah yaitu
kebijakan pembangunan yang memprioritaskan infrastruktur dan optimalisasi pengolahan SDA.
Pembangunan SDM kependudukan diuntungkan dengan adanya fenomena besarnya proporsi
penduduk usia muda dan usia produktif yang berdampak pada menurunnya angka ketergantungan
(dependency ratio) yang disebut dengan bonus demografi yang terus meningkat. Indonesia saat
ini sedang menikmati bonus demografi sejak tahun 2000, dan bergerak menuju terbukanya jendela
peluang (windows of opportunity) di 2020-2030, yaitu Indonesia harus melakukan investasi secara
efektif dan efisien dalam SDM, terutama dalam kelompok usia muda untuk dapat menyiapkan
prasyarat bonus demografi yaitu ketika rasio ketergantungan pada level yang terendah yaitu 44
per 100 orang usia produktif namun rasio ini akan meningkat lagi sesudah 2030 karena
meningkatnya penduduk lansia Perubahan dalam struktur umur merupakan adalah sebuah
kesempatan untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi (Moerdianingsih, 2012). Persiapan untuk
menyambut momen emas ini harus dimulai dari sekarang dengan memperkuat dan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia demi mendorong pertumbuhan ekonomi sebelum rasio
ketergantungan meningkat.
Di sisi lain, ternyata globalisasi telah menantang kebijaksanaan konvensional bahwa kekayaan
negara bersumber dari peningkatan eksploitasi SDA besar-besaran bukanlah prioritas bagi
negara-negara berkembang. Globalisasi adalah proses dimana negara menjadi lebih terintegrasi
melalui gerakan barang, modal, tenaga kerja dan ide-ide untuk dapat menghadang masuknya
tenaga kerja dari luar wilayah negara tersebut (Thirwall, 2011). Proses ini difasilitasi oleh
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam pengaturan ini ide-ide baru yang cepat
membawa ke hasil, teknologi baru yang dikembangkan dan digantikan cepat daripada waktu
lainnya dalam sejarah. Lebih penting daripada waktu lain di masa lalu, pengetahuan sekarang
telah menjadi penentu semakin penting dari kekayaan negara. Pentingnya pengetahuan telah
dihidupkan kembali perhatian pada peningkatan kemampuan sistem dan lembaga pendidikan.
Proses globalisasi telah membuat lebih maju dan keterampilan khusus yang lebih penting dari
sebelumnya, bahkan negara-negara miskin tidak bisa lagi mengabaikan pengembangan
pendidikan tinggi. Globalisasi memungkinkan negara melalui peningkatan keterampilan tenaga
112
kerja mereka untuk melompat ke kurva belajar berkembang tanpa harus menjalani proses yang
panjang dan mahal melalui peningkatan penemuan dengan meningkatkan keterampilan dasar
melalui pendidikan dan pelatihan.
Untuk negara-negara berkembang prioritasnya adalah untuk menekankan pada primer sebelum
pindah ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Ada dua tujuan yang ingin dicapai pada
pelaksanaan
kegiatan
pengembangan
tersebut.
Pertama
adalah
untuk
meningkatkan
produktivitas dengan memungkinkan mayoritas penduduk bekerja di industri padat karya terutama
ditujukan untuk pasar ekspor, di mana upah jauh lebih tinggi. Tujuan kedua adalah konsekuensi
dari yang pertama, dengan memiliki lebih penduduk yang bekerja di sektor pendapatan yang lebih
tinggi, kemiskinan akan menurun dan naiknya pendapatan akan memungkinkan sektor lain untuk
ikut berkembang juga.
Model pembangunan ekonomi melalui pemantapan SDM kependudukannya telah diterapkan
dengan sukses terkenal di negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan Taiwan dan telah
direplikasi dengan sukses di banyak negara berkembang termasuk Indonesia namun tahap
berikutnya dari pembangunan ekonomi terbukti lebih sulit. Cepat atau lambat model
pembangunan yang berorientasi ekspor berdasarkan surplus tenaga kerja murah dengan
pendidikan dasar akan buang potensinya sebagai kemajuan ekonomi akan mendorong upah dan
aspirasi buruh (Thirwall, 2011).
Hasil telaah modul kependudukan menghasilkan respon dari para responden yang menyebutkan
bahwa adanya kebutuhan mengenai isu terkini merupakan hal yang perlu disediakan oleh para
penyelenggara diklat (77%) dan menjadi suatu keharusan bahwa pemateri/fasilitator mampu
memfasilitasi peserta tanpa kesan menggurui (82%). Pelaksanaan pelatihan yang menggunakan
modul yang berbasis case based learning (CBL) merupakan suatu pendekatan yang dirasakan
pas karena peserta dapat menerapkan ilmu kebijakan kependudukan yang didapatkan selama
diklat dengan kenyataan kasus di lapangan.
menyatakan puas dengan adanya modul kependudukan berbasis CBL ini meski belum semuanya
memahami apa yang dimaksud dengan CBL (95% responden menyatakan baru mendengar
mengenai konsep CBL ketika pelatihan dilaksanakan). Adanya penerapan praktek lapangan yang
dikaitkan dengan ketrampilan baru peserta merupakan hal yang menguntungkan bagi peserta
karena mereka dapat mencoba mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan baru yang
didapatkan selama pelatihan dengan tetap beberapa saran masukan perbaikan ke depannya.
113
Diskusi
Pendidikan menjadi kunci untuk dapat meningkatkan kualitas SDM Kependudukan, dan
kepedulian pemerintah dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja sebagai upaya peningkatan
daya saing di era pasar bebas ASEAN 2015 telah dilakukan salah satunya melalui Program Wajib
Belajar 9 Tahun (WAJAR) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tabel 1 menunjukkan bahwa terjadi kenaikan kecenderungan pendidikan tenaga kerja Indonesia
yang pada tahun 2000 didominasi oleh pendidikan sekolah dasar maka terjadi peningkatan
kecenderungan pada pendidikan SMU dan SMK ke atas pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan
adanya perkembangan yang signifikan terhadap program WAJAR tersebut dalam mendukung
peningkatan kualitas tenaga kerja/SDM Indonesia.
Tabel 1: Persentase Pendidikan Tenaga Kerja Indonesia
Tingkat Pendidikan
2000
2005
2010
Tidak/Belum tamat Sekolah
21.4
15.1
19.8
Sekolah Dasar
36.5
36.2
27.2
Sekolah Menengah Pertama
15.1
19.0
17.7
SMP Kejuruan
1.2
1.9
1.2
Sekolah Menengah Umum
15.3
14.8
16.0
Sekolah Menengah Kejuruan
5.5
7.0
9.1
Diploma 1
1.0
1.0
1.2
Diploma 3
1.4
1.5
1.9
Universitas (S1/S2/S3)
2.6
3.5
5.4
Sumber: SAKERNAS berbagai tahun
Pendidikan formal ini hendaknya dapat diikuti dengan pembangunan karakter individu tersebut
karena dengan makin tingginya persaingan tenaga kerja karena adanya kebijakan Masyarakat
Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan APEC pada tahun 2020 akan menimbulkan tingginya
kebutuhan tenaga kerja ahli yang tidak hanya terampil namun juga tangguh serta memiliki
berbagai karakter positif.
melakukan perekrutan tenaga asing, dengan pindah ke nilai tambah yang lebih tinggi produk yang
bisa mempertahankan upah yang lebih tinggi. Beberapa negara seperti Korea Selatan dan Taiwan
telah berhasil lulus dari nilai rendah produsen ditambahkan ke produsen nilai produk yang lebih
tinggi dengan konten teknologi tinggi. Korea Selatan bahkan telah memulai produk teknologi tinggi
dalam elektronik dengan melakukan sistem perlindungan tenaga kerja negara tersebut dari
masuknya tenaga asing dengan memberlakukan sistem regulasi tenaga kerja yang jelas.
114
Indonesia telah berupaya mengantisipasi serbuan tenaga kerja asing dengan memberlakukan
berbagai regulasi, salah satunya dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 pasal 45 yang
menyebutkan setiap tenaga kerja asing wajib melakukan alih tekhnologi dan alih keahlian serta
memberikan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja Indonesia. setelah berhasil menjalani
tahap pertama berorientasi ekspor industrialisasi - Indonesia kini hampir terkunci di spesialisasi
nilai tambah rendah produk seperti sepatu-tekstil low end dan pakaian dan sebagainya. Situasi ini
tidak dapat dipertahankan terlalu lama sebagai produsen biaya rendah baru seperti Sri Lanka,
Vietnam, Kamboja dan sejenisnya sudah mulai memasuki pasar, sementara kebijakan pemerintah
serta situasi politik terus mendorong naiknya biaya upah/penggajian tenaga kerja.
Untuk naik tangga untuk produk bernilai tinggi Indonesia harus meningkatkan keterampilan dasar
yang
tidak
mengeksploitasi kemampuan orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi termasuk lulusan
panggilan. Tentu saja, ada banyak masalah melanda sistem pendidikan di Indonesia yang
membuat lulusannya kurang kompetitif dibandingkan dengan pesaing terdekatnya seperti
Malaysia, Thailand dan Filipina, apalagi Singapura, tapi ini bukan alasan untuk tidak bertindak.
Pembangunan SDM Indonesia perlu mendapat prioritas utamanya dalam hal pembangunan
karakter dan soft skill lainnya yang dipengaruhi oleh berbagai sistem pembangunan SDM
Kependudukan sebagaimana tertera pada Gambar 2.
Pada Gambar 2 oleh Bronfenbenner (2004) disebutkan bahwa dalam rangka pengembangan
Diklat Kependudukan, maka hendaknya dimulai dari sistem mikro yang ada di sekeliling Diklat
tersebut yaitu widyaiswara dan kurikulum serta berbagai perangkat kediklatan terkait yang
memuat peranan orang tua, saudara kandung, 8 fungsi keluarga dan anggota keluarga lainnya
dalam rangka pembentukan SDM Kependudukan dimulai dari keluarga. Sedangkan sistem kedua
adalah sistem meso yaitu adanya lingkungan pelayanan diklat/ SDM struktural dan fungsional
lainnya yang mumpuni dan memahami pelayanan prima dalam rangka mewujudkan Diklat
Kependudukan Pola Baru yang mengacu pada semangat revolusi mental.
115
Sistem MAKRO
Sistem EKSO
Sistem MESO
ss
SISTEM
MIKRO
Diklat Ke
Pendudukan
116
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa dalam upaya
penyiapan revolusi Diklat Kependudukan maka diperlukan upaya :
a. Meningkatkan pengarusutamaan program kependudukan yang terpadu dalam kebijakan
dinamis program pembangunan nasional dan daerah
b. Perluasan jangkauan dan pemerataan pelayanan dasar yang berkualitas
c. Mengembangkan dan sosialisasi model pembangunan keluarga
d. Memperkuat kemitraaan strategis dengan stakeholders, Mitra kerja dan penggerakan
partisipasi aktif masyarakat.
e. Menyediakan dan penyebarluasan data dan informasi pembangunan SDM kependudukan
dan Keluarga berbasis Teknologi Informasi
f.
pembangunan SDM
Daftar Pustaka
Adioetomo, Sri Moertiningsih, et.al. 2010. Dasar-dasar Demografi. Jakarta : Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia;
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), 2014. Proyeksi Penduduk Indonesia.
Jakarta: BAPPENAS;
BKKBN, 2012. Modul Pendidikan Kependudukan. Jakarta: BKKBN;
117
BKKBN, 2014. Modul Diklat Teknis Kebijakan Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan
Pembangunan Keluarga (KKBPK). Jakarta: BKKBN;
BKKBN, 2015. RPJMN BKKBN Tahun 2015-2019. Jakarta: BKKBN;
BPS. 2011. Tabel Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Provinsi. Jakarta:BPS. Diakses pada
tanggal 13 Juli 2015. Sumber URL :
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=26¬ab=2
BPS. 2015. Survei Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS). Jakarta:BPS;
Bronfenbrenner. 2004. Making Human Beings Human. USA:Carlton;
Newman. 2009. Methodology of Social Research. New York : Catalyst;
Samosir, Omas Bulan. Strategi Pembangunan Manusia. Artikel Harian Kompas. Tanggal 25
November 2011;
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).2011. Ulasan Perkembangan
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Diakses pada tanggal 19 Juli 2015. Sumber
URL : http://tnp2k.go.id/downloads/viewdownload/27-publikasi-ulasan/115-ulasan-tnp2knov-2011-perkembangan-ipm-2011.html
Thirwall, A.P. 2006. Growth & Development : With Special Reference to Developing Economies.
New York : Palgrave MacMilan;
UNDP. 2011. Human Development Reports 2011. UNDP; Diakses pada tanggal 10 Juli 2015.
Sumber URL : http://hdr.undp.org/en/media/FAQs_2011_Human_Development_Report.pdf
118
119
A.
PENDAHULUAN
Sejak dialokasikannya Dana Desa bagi seluruh desa di wilayah Indonesia dengan
total anggaran Dana Desa secara Nasional untuk Tahun Anggaran 2015 sebesar
Rp.20,7 triliun dan masing-masing desa sedikitnya menerima Dana Desa sebesar
Rp.254 juta, membuat desa saat ini mendadak menjadi daya tarik.
Regulasi menyangkut desa diawali dari amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, selanjutnya pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015.
Pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain,
mengenai mekanisme pengalokasian dan penyaluran Dana Desa, penggunaan dan
pelaporan Dana Desa, monitoring dan evaluasi Dana Desa serta roadmap Dana Desa.
Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015, telah
pula ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara
Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa, yang
mengatur secara detail mengenai tata cara pengalokasian Dana Desa untuk
Kabupaten/Kota penerima Dana Desa dan tata cara pengalokasian Dana Desa untuk
setiap Desa. Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut juga diatur mengenai Sanksi
terhadap kabupaten/kota/desa yang tidak mematuhi ketentuan peraturan perundangundangan. Sanksi terhadap Desa dapat berupa penundaan penyaluran dan/atau
pemotongan penyaluran Dana Desa.
Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, setelah Dana Desa diterima di Rekening Kas
Umum Daerah bupati/walikota harus segera mentransfer ke Rekening Kas Desa, dengan
catatan Desa tersebut telah menetapkan APB Desa dan telah menyampaikannya kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota.
Hampir seluruh desa telah diberikan bimbingan teknis pengelolaan keuangan Dana
Desa oleh aparatur pemerintah Kabupaten dan Provinsi yang sebelumnya telah
mendapat pembekalan di tingkat nasional. Selanjutnya Pemerintah Provinsi masingmasing memberikan pelatihan dalam bentuk Training of Trainers bagi aparaturnya untuk
selanjutnya memberikan pelatihan di tingkat Kabupaten yang diikuti oleh aparat desa.
120
B.
PERMASALAHAN
Dari pemberitaan media cetak maupun televisi tentang dana desa, disampaikan
bahwa permasalahan utama dari Dana Desa saat ini adalah rendahnya penyerapan yang
disebabkan banyaknya aturan yang multitafsir [antara lain Permen Desa PDTT
Nomor 5/2015 (yang menyatakan dana desa diprioritaskan untuk belanja pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat desa) dan Permendagri Nomor 114/2014 (yang
menyebutkan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa,
pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa)], regulasi yang
memberatkan aparatur pemerintah desa atau mekanisme pelaporan yang rumit
[misalnya Permendagri Nomor 113/2014 yang meminta desa menyusun laporan realisasi
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) setiap semester],
terbatasnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di pemerintahan desa, dan juga
ketakutan aparat pemerintah desa dikriminalisasi apabila salah dalam pengelolaannya.
Penulis berpikir bahwa pemberitaan tersebut sangat tidak mendukung dan cenderung
mencari kesalahan, aturan yang dikeluarkan Kemdes PDTT dan Kemendagri sudah
cukup lengkap, sehingga dapat digunakan sebagai acuan oleh pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota dalam menyusun pedoman atau petunjuk operasional yang lebih teknis.
Menurut penulis tidak ada aturan dan mekanisme pelaporan yang rumit karena
instrumen yang tertuang dalam pertaruran-peraturan tentang dana desa sudah cukup
jelas, terkait dengan tiga syarat pencairan dana dari kabupaten/kota ke desa: (1) Harus
memiliki APBDes; (2) Harus memilki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJM Desa); dan (3) Harus membuat Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDes).
Tiga syarat tersebutpun sudah merupakan hal rutin yang dilakukan oleh desa dalam
proses perencanaan selama ini.
Yang harus menjadi perhatian Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota adalah
memiliki pemahaman tentang kondisi desa, serta tidak lagi hanya menunggu dan tidak
berinisiatif, terlebih lagi dokumen untuk memenuhi tiga syarat tersebut harus/wajib
diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota lalu diteruskan ke pusat. Walaupun ada
banyak lembaran dokumen yang harus diisi, hal ini seharusnya tidak malah menyulitkan
aparatur desa karena petunjuk pengisiannnya sudah cukup jelas.
Tenaga pelatih dan fasilitator pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terlebih
dahulu harus memiliki kemampuan dan pemahaman yang baik tentang aturan dana desa
dan praktek pengelolaannya, kalau tidak maka akan berpengaruh terhadap proses
121
Skema diatas menjelaskan bahwa penetapan metode pengadaan barang dan jasa
di desa tidak serta merta memilih antara swakelola dan/atau penyedia sebagai dasar
melaksanakan
pekerjaan
pembangunan,
namun
harus
diawali
dengan
kajian
122
C.
PEMBAHASAN/HASIL EVALUASI
Berdasarkan Peraturan Kepala Perka LKPP Nomor 13 Tahun 2013 jo Perka LKPP
Nomor 22 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa,
Pengadaan barang dan jasa di desa yang pembiayaannya besumber dari APBDes tidak
mengikuti aturan dalam Perpres 54 tahun 2010. Jika Perpres 54/2010 mengatakan
bahwa pengadan barang dan jasa dilaksanakan dengan dua cara yaitu melalui penyedia
dan swakelola, maka pengadaan barang dan jasa di desa pada prinsipnya dilakukan
secara swakelola dengan aturan sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
dilaksanakan secara swakelola. Jika dalam proses pengadaan tersebut ada yang tidak
dapat dilaksanakan secara swakelola, baik sebagian maupun keseluruhan, dapat
dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa yang dianggap mampu.
Oleh karenanya cara penetapan metode pengadaan barang dan jasa di desa
melalui swakelola atau penyedia bukan pada besaran biaya pekerjaannya tetapi pada
prinsip-prinsip swakelola sebagaimana telah diuraikan di atas.
123
Kabupaten TTU memiliki 160 Desa yang memperoleh dana desa Tahun Anggaran
2015 dengan total dana sebesar Rp.43.016.882.000,00 atau tiap desa rata-rata
memperoleh
Rp.280.000.000,00.
Hampir
seluruh
desa
telah
melakukan
124
2.
b.
c.
d.
Aparat desa pada Pelatihan tahap ke tiga, merasakan bahwa materi Metode
Pengadaan Barang/Jasa di Desa merupakan materi pokok yang dapat
memberikan solusi terhadap percepatan penyerapan dana desa, yang disesali
adalah karena sebagian besar desa sudah memanfaatkan dana, namun
belum sesuai dengan metode pengadaan barang/jasa di desa.
3.
Uji petik pemanfataan dana desa dilakukan pada 3 (tiga) desa di Kabupaten TTU
masing-masing: Desa Takin Kecamatan Bikomi Tengah, Desa Naiola Kecamatan
Bikomi Selatan dan Desa Oelneke Kecamatan Musi. Dari ketiga desa tersebut
hanya desa Oelneke yang berhasil mengelola dana desa dengan baik termasuk
pengadaan barang/jasa melalui metode Swakelola. Swakelola di Desa Oelneke
125
teknis
dan
pelatihan
penyusunannya,
keterlambatan
c.
pengelola
yang
Pengadaan
mempunyai
Barang/Jasa
peran
strategis
di
Desa.
dalam
Komponen
pengelolaan
126
2. Rekomendasi
a.
pengelola
dana
desa,
sehingga
masing-masing
pihak
fokus
kepada
pelatihan
dan
bimbingan
pengadaan
persiapan
dan
seluruh
pihak
wajib
mengevaluasi
guna
127
Referensi:
Abu Saman Lubis (2014). Prinsip-Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa Apakah Harus
Dipedomani?. http://www.bppk.kemenkeu.go.id pada tanggal 30 Agustus 2015.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Sumatera Utara
(2015). Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Tata Cara Pengadaan
Barang/Jasa di Desa. Bidang Akuntabilitas Pemerintah Daerah.
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13
Tahun 2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang
Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa.
128
Abstract: The purpose of this study was to describe the presence or absence of the
influence of empowerment, work culture, achievement motivation on teacher
performance at Kapuas District. This study includes a quantitative study using
survey methods and observation. Instruments used in data collection observation
guide/teacher assessment of learning plan, implement learning and
assessment/evaluation, as well as using a Likert scale questionnaire. Sample size
was 98 people who were taken through the method of randomly proportionally. The
technique of data analysis used the technique of path analysis (path analysis). The
conclusion of this study were (1) Empowerment has a direct positive effect on
teacher performance, (2) work culture has a direct positive effect on teacher
performance, (3) Achievement motivation has a positive direct effect on teacher
performance, (4) Empowerment has a direct positive influence on achievement
motivation, (5) work culture has a direct positive effect on achievement motivation.
Keywords: empowerment, cultural work, achievement motivation, and teacher
performance.
Corresponding author: HP. 0852 9241 7449, Email: sugeng64ramlan@gmail.com
Pendahuluan
Guru merupakan tenaga profesional yang bertanggung jawab melaksanakan
sistem pendidikan nasional, dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Oleh
karena itu sesuai peran dan tanggung jawabnya, guru dituntut memiliki kinerja yang
tinggi.
Salah satu tolok ukur kinerja guru adalah keberhasilannya dalam
melaksanakan tugas utamanya. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 39 ayat (2) tugas utama guru adalah
merencanakan
dan
melaksanakan
proses
pembelajaran,
menilai
hasil
129
dilakukan guru sesuai tugas yang diembannya dan merupakan tanggung jawabnya.
Dalam hal ini tugas-tugas rutin sebagai seorang guru adalah merencanakan
pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan menilai hasil belajar.
Kinerja guru sebenarnya tidak hanya dalam pengelolaan pembelajaran,
tetapi lebih luas lagi mencakup hak dan wewenang guru yang dimiliki. Namun
demikian pengelolaan pembelajaran dipandang sebagai sebuah posisi dimana
muara segala kinerja guru ditampung di dalamnya. Dengan kedudukan dan fungsi
guru seperti itu, maka sebagai tenaga profesional guru dituntut mampu
mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan
keahliannya agar memperoleh hasil kerja yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan
tuntutan masyarakat yang menginginkan suatu pendidikan yang berkualitas.
Namun kenyataannya, kinerja guru dalam beberapa hal masih belum
optimal. Dari hasil Evaluasi Diri Sekolah/Madrasah (EDS/M) pada Kabupaten
Kapuas yang dilaksanakan oleh LPMP Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun
2012, kinerja guru dalam pemenuhan standar isi, standar proses, dan standar
penilaian pada umumnya masih pada level 1 dan 2 dari 4 level yang ada. Masalah
tersebut antara lain disebabkan oleh; (a) kurang efektifnya pemberdayaan guru oleh
atasan, (b) rendahnya budaya kerja, dan (c) rendahnya motivasi berprestasi guru.
Dari hasil Monitoring dan Evaluasi yang dilaksanakan oleh LPMP Provinsi
Kalimantan Tengah tahun 2012 di Kabupaten Kapuas juga menunjukkan bahwa
kinerja guru dalam empat komponen tugas utama secara rata-rata adalah 2,48,
termasuk dalam kategori cukup. Empat komponen tugas utama guru tersebut
adalah: (a) Pengembangan KTSP dan silabus, (b) Pengembangan RPP, (c)
Penyusunan kisi-kisi dan bank soal, dan (d) Pelaksanaan Pembelajaran Aktif,
Kreatif, Evektif, dan Menyenangkan. Data ini menunjukkan bahwa kinerja guru
dalam tugas utamanya masih belum optimal.
Masalah tersebut antara lain disebabkan oleh: (a) belum optimalnya
pemberdayaan guru oleh atasan (b) belum terbangunnya budaya kerja guru, (c)
belum optimalnya penghargaan/pengakuan terhadap hasil kerja guru, dan (d)
rendahnya motivasi berprestasi guru.
Kenyataan di atas, sejalan dengan pernyataan Sudarminto (2001) bahwa
rendahnya kinerja guru disebabkan oleh rendahnya motivasi berprestasi, tidak
punya etos kerja yang tinggi, dan insentif yang rendah. Uraian di atas menunjukkan
bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kinerja guru dalam melaksanakan
tugas/pekerjaannya. Oleh sebab itu untuk mengetahui secara jelas dan nyata
130
tentang beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja guru, khususnya guru SD/MI,
melalui penelitian ini akan diungkap faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru,
khususnya pemberdayaan, budaya kerja, dan motivasi berprestasi.
Secara teori, pemberdayaan mempunyai pengaruh terhadap kinerja. Kinlaw
(1995) menyatakan:
Empowerment is the process of achieving continuous improvement in a
organizations performance by developing and extending the compotent
influence of individual and teams areas and functions which affect their
performance and that of the total organization.
Short (1994) mengatakan bahwa Empowerment as any process that
provides greater autonomy through the sharing of relevant information and the
provision of control over factors affecting job performance. Sedang Erstad (1997)
menegaskan, Whatever the definition of empowerment used, the end goal is to
develop the performance and potential of the individual as well as that of the
organization. Apapun definisi pemberdayaan yang digunakan, tujuan akhir adalah
untuk mengembangkan kinerja dan potensi individu maupun organisasi.
Variabel lain yang mempengaruhi kinerja adalah budaya kerja. Daft (2010)
mengatakan bahwa budaya memberikan dampak yang sangat besar terhadap
kinerja. Ndraha (2002) juga menyatakan bahwa terdapat korelasi positif dan
signifikan antara budaya organisasi, lebih-lebih budaya kuat, dengan prestasi kerja
(performance) karyawan.
Di sisi lain, motivasi berprestasi juga berpengaruh terhadap kinerja. George
dan Jones (2001) menyatakan:
The motivation of organizational members to make important contributions to
their job and organizations can have a major impact on organizational
performance. An understanding of motivation is of utmost importance for
organizational performance.
Notoadmodjo (2009) menegaskan bahwa motivasi merupakan faktor yang
berpengaruh dalam kinerja seorang karyawan atau tenaga kerja. Oleh sebab itu,
dalam rangka upaya meningkatkan kinerja organisasi, maka intervensi terhadap
motivasi sangat penting dan dianjurkan.
Pemberdayaan juga berpengaruh terhadap motivasi berprestasi. Daft (2010)
mengatakan bahwa satu cara signifikan yang dapat dilakukan manajer untuk
memenuhi kebutuhan motivasi tingkat tinggi adalah dengan memindahkan
kekuasaan dari atas ke bawah dan membagi kekuasaan tersebut bersama para
pegawai untuk memungkinkan mereka meraih tujuan (empowerment). Sunyoto dan
Burhanudin (2011) menegaskan bahwa pemberdayaan merupakan salah satu cara
131
yang digunakan oleh pimpinan untuk memotivasi bawahan, yaitu dengan cara
memberikan kekuasaan dan tanggung jawab kepada bawahan.
Budaya kerja juga berpengaruh terhadap motivasi berprestasi. Sembiring
(2012) mengatakan betapa kuatnya pengaruh budaya organisasi terhadap motivasi
dan
perilaku
para
anggota
organisasi,
maka
budaya
organisasi
mampu
menunjukkan tapal batas organisasi untuk membedakan dengan organisasi lain. Hal
senada dikemukakan Deal dan Peterson bahwa culture amplifies the energy,
motivation, and vitality of a school staff, students, and community.
Berdasarkan kajian teori di atas, maka konstelasi masalah yang dikaji dalam
penelitian ini sebagai berikut.
Pemberdayaan
Motivasi
Berprestasi
Kinerja Guru
Budaya Kerja
Gambar 1. Konstelasi Masalah yang Akan Dikaji dalam Penelitian
Metodologi
Proses penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode survei dan observasi dengan
model kausal, yaitu sistem aliran ke satu arah, sehingga tidak ada arah terbalik.
Model kausal merupakan analisis ada atau tidak ada pengaruh antara satu variabel
dengan variabel lainnya.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis jalur (path analysis) yang
merupakan suatu metode yang tepat digunakan pada model kausal yang telah
dirumuskan peneliti berdasarkan substansi keilmuan yaitu landasan teoritis dan
pengalaman peneliti.
Teknik pengumpulan data untuk variabel terikat, yaitu kinerja guru dilakukan
dengan
menggunakan
instrumen
berupa
panduan
observasi/
penilaian
132
133
Hasil analisis dengan program SPSS dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1 Koefisien Pengaruh Pemberdayaan (X1) terhadap
Kinerja Guru (Y)
Model
1
(Constant)
X1
X2
X3
Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
63,004
11,520
,226
,093
,272
,101
,215
,105
Standardized
Coefficients
Beta
,238
,255
,211
t
5,469
2,436
2,690
2,040
Sig.
,000
,017
,008
,044
134
Model
1
(Constant)
X1
X2
Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
Std. Error
Beta
22,869
10,985
,356
,083
,383
,315
,093
,301
t
2,082
4,310
3,385
Sig.
,040
,000
,001
135
Hipotesis Penelitian
Terdapat pengaruh
langsung positif
Pemberdayaan terhadap
kinerja guru
Terdapat pengaruh
langsung positif budaya
kerja terhadap kinerja
guru
Terdapat pengaruh
langsung positif motivasi
berprestasi terhadap
kinerja guru
Koefisien
thitung
ttabel
Kesimpulan
0.238
2.436
1.985
Berpengaruh
langsung
positif
0.255
2.690
1.985
Berpengaruh
langsung
positif
0.211
2.040
1.985
Berpengaruh
langsung
positif
136
No
Hipotesis Penelitian
Terdapat pengaruh
langsung positif
Pemberdayaan terhadap
motivasi berprestasi
Terdapat pengaruh
langsung positif budaya
kerja terhadap motivasi
berprestasi
Koefisien
thitung
ttabel
Kesimpulan
0.383
4.310
1.985
Berpengaruh
langsung
positif
0.301
3,385
1.985
Berpengaruh
langsung
positif
Diskusi
sangat
signifikan
bagi kinerja
organisasi.
137
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Muntaha (2011)
dengan judul, Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan dan Motivasi Kerja
terhadap Kinerja Karyawan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dokter Soedarso
Pontianak dimana pada salah satu simpulannya dia juga menyatakan bahwa
budaya organisasi berpengaruh langsung positip terhadap kinerja karyawan. Hasil
perhitungan koefisien jalur pengaruh langsung budaya organisasi terhadap kinerja
sebesar 0,56 dengan thitung = 9,67 > ttabel = 1,65 pada = 0,05.
c. Pengaruh Langsung Motivasi Berprestasi terhadap Kinerja Guru
Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi berprestasi berpengaruh
langsung positif terhadap kinerja guru. Hal ini berarti bahwa motivasi berprestasi
yang tinggi dari guru mengakibatkan meningkatnya kinerja guru.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan George dan Jones (2001)
bahwa:
The motivation of organizational members to make important contributions to
their job and organizations can have a major impact on organizational
performance. An understanding of motivation is of utmost importance for
organizational performance.
Hal senada juga dikemukakan Daft (2010) bahwa motivasi pekerja akan
memengaruhi produktivitasnya. Oleh karena itu, salah satu tugas manajer adalah
Penelitian
Syamsiah
Zees
(2010)
dengan
judul,
Hubungan
Komunikasi Akademik, Iklim Kerja, dan Motivasi Kerja dengan Kinerja Dosen
Universitas Negeri Menado di salah satu simpulannya juga menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif antara motivasi kerja dengan kinerja dosen. Apabila
motivasi kerja ditingkatkan satu unit, maka kinerja dosen cenderung meningkat
sebesar 0,436 pada konstanta 72,639.
d. Pengaruh Langsung Pemberdayaan terhadap Motivasi Berprestasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberdayaan berpengaruh langsung
positif terhadap motivasi berprestasi. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan yang
sesuai dengan pekerjaan guru mengakibatkan meningkatnya motivasi berprestasi
guru.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Daft (2010) bahwa satu cara
signifikan yang dapat dilakukan manajer untuk memenuhi kebutuhan motivasi
tingkat tinggi adalah dengan memindahkan kekuasaan dari atas ke bawah dan
138
SDM
dengan
motivasi
berprestasi.
Apabila
SDM
dapat
139
Pegawai pada Unit Pengelola Anggaran Kantor Pusat Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI dimana pada salah satu simpulannya dia menyatakan bahwa kultur
kerja berpengaruh langsung positif terhadap motivasi. Hasil analisis data
menunjukkan bahwa harga koefisien jalur sebesar 0,553 dengan harga thitung =
8,362 dan harga ttabel ( = 0,05) sebesar 1,98 yang berarti Ho ditolak dan H1
diterima. Artinya perbaikan terhadap kultur kerja akan secara langsung berpengaruf
terhadap motivasi.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data, maka kesimpulan penelitian dapat
disampaikan sebagai berikut: (1) Pemberdayaan berpengaruh langsung positif
terhadap kinerja guru. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan yang sesuai dengan
pekerjaan guru mengakibatkan meningkatnya kinerja guru. (2) Budaya kerja
berpengaruh langsung positif terhadap kinerja guru. Hal ini berarti bahwa budaya
kerja yang kuat/positif dari guru mengakibatkan meningkatnya kinerja guru. (3)
Motivasi berprestasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja guru. Hal ini
berarti bahwa motivasi berprestasi yang tinggi dari guru mengakibatkan
meningkatnya kinerja guru. (4) Pemberdayaan berpengaruh langsung positif
terhadap motivasi berprestasi. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan yang sesuai
dengan pekerjaan guru mengakibatkan meningkatnya motivasi berprestasi guru. (5)
Budaya kerja berpengaruh langsung positif terhadap motivasi berprestasi. Hal ini
berarti bahwa budaya kerja yang kuat/positif dari guru mengakibatkan meningkatnya
motivasi berprestasi guru.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpilan Penelitian ini, maka rekomendasi yang diberikan
adalah sebagai berikut: (1) Pimpinan institusi (Kepala Sekolah) hendaknya secara
konsisten memberdayakan guru: melibatkan guru dalam pengambilan keputusan
yang
terkait
dengan
kemajuan
individu
dan
sekolah;
memberikan
140
Bagi
para
peneliti
bidang
manajemen
pendidikan,
perlu
melakukan
DAFTAR PUSTAKA
Awamleh, Nail AHK. (2012), Enhancing Employees Performance via
Empowerment. Science University (Bahrain), Asian Journal of Business
Management, 2013.h. 315. http://www.maxwellsci.com/ print/ajbm/v5-313319.pdf (diakses 5 September 2013).
Bangun, Wilson. (2008). Intisari Manajemen. Bandung: Refika Aditama.
Bernadin, John H. & Joyce E. Russel. (1993). Resource Management: An
Experiential Approach. New Jersey: Prentice Hall.
Daft, Richard L., (2011). Era Baru Manajemen, Jakarta: Salemba Empat.
Deal, Terrence E. & Kent D. Peterson, (1991). Shaping School Culture. San
Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Ernawan, Erni R., (2011). Organisasional Culture, Bandung: Alfabeta.
Erstad, Margaret. (1997). Empowerment and Organizational Change, MCB
University Press, International
Journal of Contemporary Hospitality
Management, 1997. http://www.ceroaverias.com/empower5.pdf. (diakses 5
Juni 2013).
Garet R. Jones and Jennifer M. George. (2008). Contemporary Management, Fifth
Edition. USA: McGraw Hill International.
Hartono. Pengaruh Pemberdayaan, Kompensasi Psikologis dan Motivasi Kerja,
Studi: Kepala Desa Di Wilayah Kabupaten Sokoharjo. Sinopsis Disertasi,
Jakarta: UNJ, 2013.
141
142
to measure the
knowledge and skills of fourth grade students in conducting scientific activitiesin the subtheme of animals and plants in my environment . The instrument consists of a number of
items made of activities that lead students to conduct scientific activities (observe, ask,
gather information, process and communicate information) that is equipped with a scoring
rubric. The model used is a model development 4-D consisting of 4 stages, namely define,
design, develop, and desimanate. Results of the validation and testing of limited use the
instruments developed shows that the assessment instruments developed scientific
approach based feasible to use. Assessment instruments developed can be used to evaluate
the learning process and assists teachers in developing competences of knowledge and
skills of students in conducting scientific activities
Keywords : Assessment instruments , scientific approach , Sains , and Sub theme Animals
and Plants in the my house Environment
Corresponding Author: Yetty Fatri Dewi,M.Pd Email: jasmineoriza@yahoo.co.id Telp :
085266147739
PENDAHULUAN
143
Penilaian autentik dipandang sebagai model penilaian yang paling cocok, lengkap, dan
objektif, dan telah digunakan di berbagai negara dan berbagai bidang. Lowery (2003),
menjelaskan para guru sekolah di Texas secara intensif dilatih agar memiliki keterampilan
dalam menyusun dan menerapkan instrumen penilaian autentik dalam pembelajaran.
Berbagai jenis instrumen telah dikembangkan oleh para peneliti, pendidik dan praktisi
pendidikan. Fatonah et al (2013) telah mengembangkan model autentik asesmen untuk
pembelajaran IPA di SD. Sementara, Moon et al (2005) mengembangkan instrumen autentik
asesmen untuk siswa cerdas SMP.
Salah satu instrumen yang dapat mengukur kemampuan peserta didik baik
pengetahuan maupun keterampilan melakukan kegiatan saintifik secara autentik adalah
instrumen berupa butir kegiatan yang harus dilakukan langsung oleh peserta didik.
Instrumen dilengkapi dengan rubrik penilaian yang sesuai dengan komponen kegiatan
saintifik dan pedoman penilaian.
144
Menurut Enger and Yager (2000) ranah proses dalam IPA terdiri dari tiga belas proses
yang akan diidentifikasi melalui sebuah pendekatan proses. Tiga belas item tersebut meliputi
pengamatan, penggunaan ruang dan waktu, klasifikasi, penggunaan angka, mengukur,
mengkomunikasikan,
variabel,
menyimpulkan,
menginterprestasikan
data,
memprediksi,
mengidentifikasi
merumuskan
hipotesis,
dan
mengontrol
menentukan
definisi
operasional dan melakukan eksperimen. Kemampuan menggunakan tiga belas item tersebut
dapat dijadikan target dalam pembelajaran dan penilaian. Hal tersebut berkaitan dengan
Komponen-komponen pendekatan saintifik menurut Dyers yang dijelaskan dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 104 Tahun 2014 yang meliputi kemampuan
mengamati,
menanya,
mengumpulkan
informasi,
menalar/mengasosiasi,
dan
Deskripsi
Perhatian
pada
waktu
mengamati
suatu
objek/membaca suatu tulisan/mendengar suatup
enjelasan, catatan yang dibuat tentang yang diamati,
kesabaran, waktu (on task) yang digunakan untuk
mengamati
Menanya
Jenis, kualitas, dan jumlah pertanyaan yang diajukan
peserta didik (pertanyaan faktual, konseptual,
prosedural, dan hipotetik)
Mengumpulkaninformasi Jumlah dan kualitas sumber yang dikaji/digunakan,
kelengkapan informasi, validitas informasi yang
dikumpulkan, dan instrumen/alat yang digunakan
untuk mengumpulkan data.
Menalar/mengasosiasi
Mengembangkan interpretasi, argumentasi dan
kesimpulan mengenai keterkaitan informasi dari dua
fakta/konsep, interpretasi argumentasi dan kesimpulan
mengenai keterkaitan lebih dari dua fakta/konsep/teori,
mensintesis dan argumentasi serta kesimpulan
keterkaitan antar berbagai jenis fakta/konsep/teori/
pendapat; mengembangkan interpretasi, struktur baru,
argumentasi, dan kesimpulan yang menunjukkan
hubungan fakta/ konsep/teori dari dua sumber atau
lebih yang tidak bertentangan; mengembangkan
interpretasi,
struktur
baru,
argumentasi
dan
kesimpulan dari konsep/teori/pendapat yang berbeda
dari berbagai jenis sumber.
Mengomunikasikan
Menyajikan hasil kajian (dari mengamati sampai
menalar) dalam bentuk tulisan, grafis, media
elektronik, multi media dan lain-lain
145
METODE PENGEMBANGAN
Model
pengembangan
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
adalah
model
pengembangan 4D. Model pengembangan ini terdiri dari 4 tahapan yaitu Tahap
pendefinisian (Define) yang terdiri dari 5 langkah pokok, yaitu analisis kebutuhan, analisis
siswa, analisis tugas, analisis konsep dan perumusan indikator dan tujuan pembelajaran.
Tahap perancangan (Design) terdiri dari 4 langkah, yaitu pembuatan jadwal, pembuatan tim
kerja, penyusunan instrumen, dan penentuan produk. Tahap Pengambangan (Develop)
terdiri dari 3 langkah, yaitu validasi oleh tim ahli materi dan desain produk, dan uji coba
terbatas yang melibatkan 3 orang guru kelas IV SD dan 32 orang peserta didik. Tahap
penyebaran (Desiminate) yang merupakan tahap terakhir yang merupakan tahap
mempublikasikan produk.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian pengembangan ini adalah kuantitatif dan
kualitatatif. Data kuantitatif didapat dari skor dari angket tanggapan dari guru, dan data uji
validitas dan reliabilitas. Data kualitatif diperoleh dari tanggapan dan saran yang di berikan
oleh ahli validasi dan guru sebagai praktisi.
Penelitian pengembangan dilengkapi dengan penggunaan instrumen penelitian.
Insrumen penelitian berupa lembar validasi oleh tim ahli materi dan desain produk serta
angket tanggapan guru terhadap instrumen penilaian berbasis pendekatan saintifik muatan
IPA pada subtema hewan dan tumbuhan di lingkungan rumahku.
Pada uji terbatas diperoleh data dari tanggapan guru berupa skor. Skor angket
dianalisis dengan terlebih dahulu membuat tabel interval. Jarak interval dihitung dengan
menggunakan rumus berikut (Ridwan, 2010) :
146
Setelah diperoleh jarak interval, maka ditentukan klasifikasi untuk tanggapan guru sebagai
berikut :
9,77 12,00
: sangat layak
7,51 9,76
: layak
5,26 7,50
: cukup layak
3,00 5,25
: kurang layak
Selain data tanggapan guru pada uji terbatas juga diperoleh data hasil belajar siswa
yang akan di gunakan untuk menentukan validitas dan reliabilitas. Validitas dan reliabilitas
diperoleh dengan menggunakan rumus korelasi product-moment (Arikunto,1999). Pada uji
coba terhadap siswa, kemampuan siswa melakukan kegiatan saintifik dapat di analisis
dengan teknik penghitungan presentase dengan rumus :
147
Bunga
1. Deskripsi
akar
tumbuhan
2. Bagianbagian akar
tumbuhan
3. Fungsi akar
tumbuhan
Selain analisis konsep juga dilakukan perumusan indikator dan tujuan pembelajaran
berbasis pendekatan saintifik yang akan digunakan untuk menyusun instrumen dan rubrik
penilaian. Indikator yang dirumuskan berkaitan dengan 5 komponen pendekatan saintifik,
yaitu
mengamati,
menanya,
mengumpulkan
informasi,
mengolah
informasi,
dan
mengkomunikasikan.
Tahap perancangan (design)
selama 6 bulan. Penentuan tim kerja yang terdiri dari dua validator ahli, 3 orang guru kelas
IV SD, dan 32 orang siswa kelas IV pada uji coba terbatas. Spesifikasi desain instrumen
penilaian berbasis pendekatan saintifik muatan IPA pada subtema hewan dan tumbuhan di
lingkungan rumahku dirancang dengan menggunakan teknik penugasan yang dilakukan
dalam proses pembelajaran. Instrumen yang digunakan dalam bentuk lembar kegiatan siswa
yang dilengkapi dengan rubrik penilaian. Instrumen dan rubrik yang sudah disusun berbasis
pendekatan saintifik.
Pada tahap pengembangan (development) di lakukan validasi ahli. Berdasarkan hasil
validasi, dilakukanlah revisi terhadap produk yang dikembangkan. Validasi dilakukan sampai
produk yang dikembangkan dinyatakan valid untuk di uji coba. Uji coba dilakukan secara
terbatas.
Pada uji coba terbatas diperoleh data tanggapan guru dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan tanggapan dari tiga orang guru yang menggunakan instrumen penilaian yang
dikembangkan melalui angket tanggapan guru di peroleh informasi bahwa instrumen
penilaian yang dikembangkan mudah digunakan untuk mendapatkan data tentang
ketercapaian kompetensi siswa. Kemudahan tersebut juga didukung dengan adanya rubrik
148
penilaian dan pedoman penilaian yang dikembangkan. Selanjutnya berdasarkan skor dari
angket tanggapan guru di peroleh skor rat-rata 10,1 atau berada pada rentang 9,77 s/d
12.00 dengan kategori sangat layak untuk digunakan.
Pada uji coba terbatas instrumen penilaian juga diperoleh data tentang validitas dan
reliabilitas instrumen yang dikembangkan. Validitas dan reliabilitas diperoleh dari analisis
hasil belajar siswa. Uji coba dilakukan pada 32 orang siswa kelas IV SDN 01/IV Kota Jambi.
Uji coba menggunakan instrumen penilaian berbasis pendekatan saintifik pada sub tema
hewan dan tumbuhan di lingkungan rumahku yang terdiri dari lima kali pembelajaran.
Pembelajaran 1, 2 dan 3 terdiri dari 7 kegiatan, pembelajaran 4 terdiri dari 11 kegiatan, dan
pembelajaran 5 terdiri dari 8 kegiatan.
Hasil analisis memberi informasi, bahwa instrumen pada pembelajaran 1, 2 dan 3
yang terdiri dari 7 item dinyatakan valid dengan tingkat kevalitan sedang, tinggi dan sangat
tinggi. Butir kegiatan dengan validitas sedang dilakukan revisi.Pembelajaran 4 memiliki
jumlah item kegiatan yang dinilai yaitu 11 item kegiatan. 11 kegiatan dinyatakan valid namun
ada satu kegiatan yang memiliki validitas yang rendah yaitu item nomor 3. Pembelajaran 5
memiliki jumlah item kegiatan yang dinilai yaitu 8 item. Dari 8 item kegiatan semua
dinyatakan valid, namun ada 2 item yang memiliki validitas rendah yaitu item nomor 1dan 2.
Selain validatas instrumen, pada uji coba terbatas ini data yang diperoleh juga
digunakan untuk menentukan reliabilitas instrumen yang dikembangkan. Semua item
kegiatan reliabel Ini berarti bahwa hasil penilaian dengan menggunakan instrumen yang
dikembangkan dapat dipercaya.
Hasil belajar siswa diperoleh dari dua kompetensi yaitu pengetahuan dan
keterampilan. Untuk keterampilan ada dua hasil belajar yaitu keterampilan abstrak dan
keterampilan kongkrit. Untuk keterampilan abstrak terkait dengan kemampuan melakukan
kegiatan saintifik, yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah informasi
dan mengkomunikasikan. Sedangkan keterampilan kongkrit yaitu kemampuan menulis yang
disajikan dalam bentuk laporan hasil pengamatan. Hasil belajar siswa diperoleh dari setiap
pembelajaran yang dilakukan. Pengukuran kompetensi siswa dilakukan di kelas IV SDN
01/IV Kota Jambi. Jumlah siswa yang terlibat sebanyak 32 orang siswa.
Berdasarkan pengukuran pengetahuan diperoleh informasi bahwah rata-rata nilai
pengetahuan
siswa
dalam
mendeskripsikan
bagian
bentuk
luar
tubuh
hewan,
mengidentifikasi bagian-bagian tubuh hewan, dan menjelaskan fungsi bagian tubuh hewan
adalah 3,00 dengan predikat (B) atau berada pada kriteria baik. Ini berarti bahwa
pembelajaran 1 yang dilakukan secara klasikal mencapai ketuntasan minimal yang
149
150
ilmiah pembelajaran 3 juga diperoleh informasi, bahwa kemampuan siswa menyajikan data
secara tertulis dalam bentuk laporan hasil pengamatan yaitu 3,06 atau dengan kriteria baik.
Pembelajaran 4 dengan materi pokok bentuk luar daun dan bunga dan fungsinya.
siswa melakukan 11 item kegiatan berbasis saintifik. Dari kegiatan yang dilakukan oleh
siswa diperoleh data tentang pengetahuan dan keterampilan siswa. Berdasarkan
pengukuran pengetahuan diperoleh informasi bahwah rata-rata nilai pengetahuan siswa
dalam mendeskripsikan bentuk luar daun dan bunga, mengidentifikasi bagian-bagian daun
dan bunga, dan menjelaskan fungsi daun dan bunga adalah 3,13 dengan predikat (B) atau
berada pada kriteria baik. Ini berarti bahwa pembelajaran 4 yang dilakukan secara klasikal
mencapai ketuntasan minimal yang ditetapkan.Rata-rata nilai kemampuan siswa melakukan
kegiatan saintifik adalah 3,07 atau dengan kriteria baik. Dari lima kegiatan saintifik yang
dilakukan kegiatan menanya memiliki rata-rata nilai yang terkecil yaitu 2,72 atau dengan
kriteria baik. Dari tabel hasil pengukuran kemampuan keterampilam melakukan kegiatan
ilmiah pembelajaran 4 juga diperoleh informasi, bahwa kemampuan siswa menyajikan data
secara tertulis dalam bentuk laporan hasil pengamatan yaitu 3,12 atau dengan kriteria baik.
Pembelajaran 5 bentuk luar batang dan fungsinya. siswa melakukan 8 item kegiatan
berbasis saintifik. Dari kegiatan yang dilakukan oleh siswa diperoleh data tentang
pengetahuan dan keterampilan siswa. Berdasarkan tabel pengukuran pengetahuan
diperoleh informasi bahwah rata-rata nilai pengetahuan siswa dalam mendeskripsikan
bentuk luar batang, mengidentifikasi bagian-bagian batang, dan menjelaskan fungsi batang
adalah 3,22 dengan predikat (B) atau berada pada kriteria baik. Ini berarti bahwa
pembelajaran 5 yang dilakukan secara klasikal mencapai ketuntasan minimal yang
ditetapkan.Rata-rata nilai kemampuan siswa melakukan kegiatan saintifik adalah 3,15 atau
dengan kriteria baik. Dari lima kegiatan saintifik yang dilakukan kegiatan menanya memiliki
rata-rata nilai yang terkecil yaitu 2,88 atau dengan kriteria baik. Dari tabel hasil pengukuran
kemampuan keterampilam melakukan kegiatan ilmiah pembelajaran 5 juga diperoleh
informasi, bahwa kemampuan siswa menyajikan data secara tertulis dalam bentuk laporan
hasil pengamatan yaitu 3,13 atau dengan kriteria baik.
Dari lima pembelajaran yang dilakukan rata-rata kemampuan peserta didik dalam
melakukan kegiatan saintifik baik. Keterampilan siswa untuk kegiatan mengamati dari lima
pembelajaran nilai tertinggi (optimum) 3,44.
Dari lima pembelajaran yang dilakukan nilai optimum untuk keterampilan menanya
yaitu 2,88. Jika dikonversikan 2,88 berada pada rentang 2,815-3,17 atau berada pada
kriteria baik. Melalui kegiatan menanya terjadi pengembangan kompetensi peserta didik
151
yang terdiri dari kreativitas, rasa ingin tahu, dan membentuk pikiran kritis (Kemendikbud
2014;5).Berdasarkan hasil belajar siswa diperolah informasi bahwa, dari lima pembelajaran
yang dilakukan nilai optimum keterampilan mengumpulkan informasi adalah 3,35. Jika di
konversikan dengan tabel konversi nilai berada pada rentang 3,18-3,50 dengan predikat B+
atau dengan kriteria baik. Kegiatan mengumpulkan informasi dapat melatih peserta didik
mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain dan kemampuan
berkomunikasi. Dari lima pembelajaran yang dilakukan nilai optimum untuk keterampilan
mengolah informasi yaitu 3,17. Jika dikonversikan dengan tabel konversi nilai berada pada
rentang 3,18-3,50 dengan predikat B+ atau dengan kriteria baik. Melalui kegiatan mengolah
informasi dapat mengembangkan kompetensi siswa dalam mengembangkan sikap jujur,
teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, dan kemampuan menerapkan prosedur
Dalam lima pembelajarn yang dilakukan komunikasi lebih difokuskan pada komunikasi
tertulis yaitu menulis dan menyajikan data hasil pengamatan dalam bentuk laporan dengan
ktiteria yang telah ditetapkan. Dari lima pembelajaran yang dilakukan nilai capain optimun
siswa untuk kegiatan komunikasi yaitu 3,13 atau berada pada rentang nilai 2,85 - 3,17
dengan predikat B atau berada pada kategori baik. Dengan kegiatan mengkomunikasikan
dapat mengembangkan siskap jujur, telit, toleransi, berfikir sistimatis dan mengembangkan
kemampuan berbahasa tulis ataupun lisan.
Dari lima kegiatan saintifik yang dilakukan rata-rata nilai siswa berada pada kategori
baik. Nilai rata-rata terendah dari lima komponen tersebut adalah kegiatan menanya yaitu
2,88. Berdasarkan rata-rata nilai tersebut guru masih perlu meningkatkan kemampuan
peserta didik dalam bertanya. Faizal (2014;62) dijelaskan bahwa kegiatan menanya
diharapkan selalu muncul dari siswa. Untuk memancing peserta didik mengungkapkan
pertanyaan, guru harus lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
bertanya. Ada beberapa fungsi bertanya dikembangkan pada siswa, antara lain (1)
membangkitkan rasa ingin tahu, minat dan perhatian peserta didik tentang suatu tema, (2)
mendorong dan mengispirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan
pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri, (3) membangkitkan keterampilan siswa berbicara,
(4) mendorong partisipasi siswa dalam berdiskusi, argumentasi, mengembangkan
kemampuan berfikir dan menarik kesimpulan.
IPA sebagai suatu proses seperti yang telah suatu metode yang dikenal dengan
metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan suatu sarana yang digunakan dalam pembelajaran
IPA untuk mengenali suatu masalah, memikirkan kemungkinan pemecahannya dan menguji
setiap kemungkinan untuk mendapatkan hasil pemecahan terbaik. Kegiatan dalam metode
ilmiah terdiri dari beberapa kegiatan salah satunya adalah menentukan atau perumusan
152
masalah (Mariana, 2009;28). Masalah yang dimaksud dalam IPA merupakan sesuatu untuk
dipecahkan. Peserta didik dalam merumuskan suatu permasalahan dapat mengajukan
pertanyaan apa, mengapa atau bagaimana tentang objek yang diteliti. Pertanyaan yang
dibuat harus jelas tentang batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang
terkait di dalamnya. Pertanyaan yang diajukan atau dirumuskan sebagai acuan bagi peserta
untuk melakukan kegiatan pembelajaran berikutnya. Dengan adanya rumusan pertanyaan
peserta dituntut untuk mampu menjawab pertanyaan tersebut melalui kegiatan pengumpulan
informasi.
KESIMPULAN
Pengembangan Instrumen Penilaian Berbasis Pendekatan Saintifik pada Subtema
Hewan dan Tumbuhan di Lingkungan Rumahku menggunakan model pengembangan 4D
oleh Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974). Pengembangan menggunakan empat tahap
yang terdiri dari tahap pendefinisian (define), tahap perancangan (design), tahap
pengembangan (develop), dan tahap penyebaran (disseminate). Dari tahap pengembangan
yang dilakukan menghasilkan produk berupa instrumen penilaian berbasis pendekatan
saintifik yang dapat digunakan pada kelas IV SD untuk mengumpulkan data tentang
ketercapaian kompetensi siswa pada muatan IPA dengan sub tema hewan dan tumbuhan di
lingkungan rumahku. Aspek penilaian yang di masukkan dalam instrumen penilaian yang
dikembangkan adalah pengetahuan tentang bagian-bagian tubuh hewan dan tumbuhan dan
fungsinya, dan
153
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 1999. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), PT Rineka Cipta:
Jakarta.
Enger ,K Sandra., Yager,E Robert. 2000. Assesing Student Understanding In Science.
Corwin Press, INC: California.
Fatonah, S., Suyata, P., Prasetyo, Z. K., 2013, Developing an Authentic Assessment Model
in Elementary SchoolScience Teaching, Journal of Education and Practice, Vol.4,
No.13, 1-13.
Faizal. 2014. Sukses Mengawal Kurikulum 2013 di SD (Teori & Aplikasi). Diandra Kreatif.
Yogyakarta.
Frey, B. B., Schmitt, V. L., Allen, J. P.,2012, Defining Authentic Classroom Assessment,
Practical Assessment, Research & Evaluation, Vol 17, No 2, 118.
Kemendiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi. Kementerian Pendidikan Nasional: Jakarta.
Kemendikbud. 2014. Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanNo. 104 Tahun 2014
tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan
Menengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan : Jakarta
Lowery, N. V., 2003, Assessment Insights from the Classroom, Mathematics Educator, Vol.
13, No. 1, 1521
Mariana, I.M.A., dan Praginda. W. (2009). Hakikat IPA dan Pendidikan IPA. Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Ilmu
Pengetahuan Alam (PPPPTK IPA). Bandung
Riduwan. (2010). Dasar-Dasar Statistika. Alfabeta: Bandung
154
Abstract: This paper exposes the new model of childbirth training using learning methode
based on neurosaince to empower parents competency for childbirth with enjoy learning
process. The purpose of this study is to create the efective learning to solve the problems of
childbirth preparedness, improving the parent competency for childbirth. The research was
conducted at community setting in the Bandung rural area. The research and development
used mix method approach. Research finding showed that the learning strategy produced
active and enjoy learning, stimulated learner and facilitator enthusiasm, then improved
parent competency for childbirth. Learning products increasing the mental process for parent
and baby bounding attachment since pregnant. Simulation, roleplay, game, case study,
reflection, and pairs assignment in the enjoy situation built the parents responsibility to
handle childbirth task and newborn baby care. Increasing of parent knowledge, attitude,
skills influence parent confidence for childbirth. The research findings recommended to use
the new model of childbirth training using learning methode based on neurosaince by enjoy
learning on the all setting area for childbirth preparation in the hospital, midwifery clinic, or
community, in order to help parent confidence for childbirth.
Keywords: learning methode based on neurosaince, enjoy learning, childbirth training,
Parent,s competency for childbirth.
Corresponding author: Dr. Ina Yuniati, MSc., E-mail: inayuniati@gmail.com
A.
PENDAHULUAN
Pasangan suami istri memiliki peran dan tanggung jawab sebagai orang tua, saat
menghadapi kehamilan dan kehadiran seorang anak. Perubahan yang terjadi secara drastis
pada fisik perempuan saat kehamilan dan persalinan, menimbulkan pengaruh psikologis,
dan sosial pada pasangan untuk berperan sebagai orang tua. Proses pematangan jiwa
menjadi seorang ayah dan ibu terjadi, sebagai insting yang terjadi secara otomatis dan
alamiah.
Masa transisi terjadi saat istri mulai hamil. Masa tersebut menuntut adanya komunikasi
antara ayah, ibu, dan bayi sedini mungkin. Sementara
cepat, sehingga timbul panik dan stres pada pasangan (Nolan, 2002: 90-91).
Berbagai ketidaksiapan dalam menghadapi kehamilan, persalinan, dan merawat
anaknya yang baru lahir, menimbulkan permasalahan psikologis yang menyebabkan
155
perasaan cemas. Sebagaimana hasil penelitian Fair dan Morrison (2012) menunjukkan,
bahwa ketidaksiapan ibu dalam menghadapi kehamilan, ternyata dapat menyebabkan
ketidaksiapan saat persalinan, berdampak pada kondisi psikologis ibu paskapersalinan,
menjadi depresi. Oleh karena itu, upaya persiapan calon orang tua menghadapi kehamilan
dan persalinan, sangat penting untuk kesiapan mental ayah ibu.
El-Qudsy (2013; 27-29) menegaskan pandangan spiritual, bahwa kehamilan merupakan
salah satu Sunatullah dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Oleh
karena itu, kehamilan dan persalinan merupakan salah satu tanda keagungan dan
kebesaran Tuhan, yang menuntut tugas dan tanggung jawab pasangan orang tua untuk
berkorban, dan menempatkannya kepada posisi kemuliaan orang tua. Kejadian tersebut
wujud kesempurnaan seorang perempuan. Nilai keyakinan ini merupakan modal kekuatan
bagi orang tua dalam menghadapi masa transisinya. Pengorbanannya akan mendapatkan
balasan pahala yang berlipat.
Nilai budaya masyarakat Indonesia, memandang bahwa semua peran tersebut menjadi
tanggung jawab perempuan, sehingga laki-laki tidak dilibatkan. Namun, pengambilan
keputusan dalam keluarga merupakan tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga.
Kondisi
ini
kesehatan ibu dan anak. Dampaknya sering terjadi kesalahan dan keterlambatan dalam
pengambilan keputusan, karena ibu tidak berdaya, sementara suami tidak tahu keputusan
yang terbaik untuk kesehatan istri dan anaknya. Dampaknya kehamilan terabaikan, dan
risiko meningkat bagi keselamatan ibu dan bayi.
Ketidak setaraan gender tersebut menyebabkan kondisi yang sangat memprihatinkan
untuk ibu dan anak. Kondisi ironis terjadi, karena dalam menjalankan peran mulianya,
seorang perempuan harus mengakhiri hidup. Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI di Indonesia 226/100.000 kelahiran hidup.
Angka tersebut menunjukkan bahwa setiap satu jam terjadi kematian seorang ibu di
Indonesia. (Depkes RI, 2008). Kondisi yang sangat mencengangkan semua pihak, bahwa
hasil SDKI tahun 2012 menunjukkan peningkatan yang sangat melonjak, angka kematian
ibu menjadi 359/ 100.000 kelahiran hidup. (Rachmaningtyas, 2013:1). Fakta ini
menunjukkan perlu adanya keseriusan dalam menggerakkan kemampuan keluarga, karena
sebenarnya kesehatan ibu dapat ditingkatkan dengan upaya mendidik dan memberdayakan
keluarga.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, mulai Gerakan Safe Motherhood pada
tahun 1987, keputusan Presiden Republik Indonesia menempatkan Bidan di Desa, agar
dapat memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak langsung di wilayahnya. Namun,
156
ternyata keberadaan bidan di desa belum mampu untuk memberdayakan ibu dan
keluarganya secara optimal
Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kesehatan ibu dan anak, tahun
2007 dicanangkan Desa Siaga, bertujuan
suami sejak awal kehamilan. Hal tersebut menunjukkan kesenjangan program, karena tidak
memberdayakan suami sebagai kepala keluarga. Akibatnya terjadi ketidak siapan sikap dan
perilaku dalam pengambilan keputusan. Semua upaya belum menghasilkan kesejahteraan
ibu dan bayi. Keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga masih menjadi
masalah. Berdasarkan prediksi regresi linier data SDKI, menegaskan bahwa target
pencapaian AKI pada tahun 2015 sulit untuk tercapai. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan
upaya yang lebih konkrit dan menyentuh langsung keluarga dan masyarakat (Depkes RI,
2011).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Pertamina Jakarta dan Rumah
Sakit Ibu dan Anak Putra Dalima Serpong, menunjukkan bahwa ibu membutuhkan informasi
yang jelas tentang apa yang harus dilakukan, dan harus dihindari. Sangat membutuhkan
dukungan dan keterlibatan suami. Ketua Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Jawa
Barat dalam sambutannya pada Seminar Pelayanan Kebidanan pada tanggal 12 Agustus
2012. Menyebutkan sumber keprihatinan penyebab kematian ibu di kabupaten Bandung
karena keterlambatan keluarga membawa istrinya ke tempat pelayanan kesehatan.
Proses belajar merupakan aktifitas manusia yang menggunakan kekuatan otak dalam
menangkap berbagai memori, oleh karena itu penggunaan kekuatan otak untuk
mengefektifkan proses belajar merupakan hal yang sangat penting dan menjadi perhatian
setiap orang.
Sebagaimana dijelaskan oleh berbagai hasil riset, bahwa fungsi otak berjalan
karena adanya harmonisasi berbagai sirkuit yang ada dan tercipta secara anatomis
otak, oleh karena itu proses belajar akan berjalan optimal jika mampu mengaktifkan
sirkuti-sirkuit otak secara seimbang. Sesuai dengan filosofi pendidikan bahwa fungsi
pendidikan bukan hanya mengoptimalkan aspek rasional/ kognitif, tetapi juga aspek
157
emosi , fisik dan spiritual sehingga dapat menghasilkan peserta yang unggul secara
fisik dan mental. Mampu berkreasi dan bekerja secara cerdas, inovatif dan imajinatif.
B.
KAJIAN TEORETIK
Reigeluth dan Chellman (2009) memandang bahwa pembelajaran merupakan segala
Menggunakan
bertujuan
untuk
membangun
pengetahuan
baru,
dan
mengubah
kepercayaan yang lama, melalui kekuatan berpikir dan pengalaman peserta. Proses
pembelajaran menekankan peran aktif peserta dalam memahami makna pembelajaran dari
konteks
lingkungannya
secara
kolaborasi.
Menciptakan
aktivitas
belajar
yang
158
Teori pembelajaran sosial menurut Joyce, Weil, dan Calhoun (2009: 295-296)
menekankan interaksi sosial untuk mencapai hasil pembelajaran. Oleh karena itu, peran
utama pendidik adalah untuk mempersiapkan dan mengembangkan perilaku yang
demokratis dalam tataran individu maupun sosial, sehingga tercapai kehidupan sosial yang
produktif. Pembelajaran bukan merupakan kelompok individu yang belajar masing-masing.
Pembelajaran sosial ini sangat cocok digunakan dalam mengaktifkan peserta dalam
berinteraksi dengan pasangan, dan kelompoknya.
memecahkan permasalahan yang sering terjadi saat kehamilan, persalinan dan bayi baru
lahir. Hal tersebut sesuai dengan teori Gredler (2001:15) yang menegaskan bahwa
pemecahan masalah merupakan metode pembelajaran yang sangat bermanfaat. Oleh
karena itu, pengelolaan belajar harus diciptakan sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi dalam masyarakat, menggunakan sumber kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat.
(Gredler, 2009). Efektifitas pembelajaran akan semakin meningkat dengan mengembangkan
pikiran peserta untuk selalu bertanya satu dengan yang lainnya. Belajar dari interaksi sosial
dengan peserta lain, saling menghargai satu dengan yang lainnya, dan saling mempelajari
berbagai perbedaan. Proses interaksi ini akan membuat proses belajar semakin dalam dan
dinamis (Reid dan Green, 2009: 76-77).
Teori pembelajaran sosial tersebut menjadi landasan yang dikembangkan dalam proses
pembelajaran karena pada prinsipnya peran, tugas, dan tanggung jawab orang merupakan
tugas sosial yang membutuhkan rasa saling pengertian, saling menghargai, dan saling
memberi dukungan antara ayah dan ibu, serta masyarakat yang ada disekitarnya.
Proses belajar sangat ditentukan oleh motivasi peserta. Faktor lingkungan seperti
tempat, waktu pembelajaran, suhu udara, dan berbagai gangguan. Serta faktor personal
seperti pengetahuan dan keterampilan awal yang dimiliki, cara pengaturan diri, kekuatan
bertahan, dan kemampuan merefleksikan pengetahuan dan pengalamannya berpengaruh
terhadap motivasi belajar. (Schunk ,2012:356-358). Oleh karena itu, persiapan lingkungan
yang menyenangkan, akan membangkitkan motivasi peserta untuk belajar.
Metode bermain ( game) menjadi berarti dalam belajar jika mampu melibatkan
fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta, mampu menghasilkan kompetensi baru,
menggunakan teknologi yang efektif, dan dapat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang
ada. (Shute, Rieber, dan Eck dalam Reiser dan Dempsey, (2012:117).
Berbagai penelitian telah menunjukkan kuatnya pengaruh otak dalam keberhasilan
proses belajar dan penangkapan memori. Melalui pembelajaran berbasis masalah
merupakan metode
efektif untuk
melibatkan peserta secara aktif, menumbuhkan motivasi belajar untuk berfikir kreatif dalam
159
konteks materi yang dipelajarinya. Metode simulasi dan bermain peran dapat memotivasi
peserta lebih memusatkan perhatian, dan terlibat aktif secara emosional, sehingga
pemahaman terhadap konteks materi lebih cepat. Diskusi aktif merupakan metoda yang
meningkatkan keterlibatan kognitif dan emosional, sehingga menghasilkan proses belajar
yang lebih baik. Aktivitas kognisi akan membangun koneksi sinaptik dan cara-cara baru
dalam menggunakan informasi. (Schunk, 2012: 62-67).
Berlandaskan beberapa teori dan konsep yang telah dijelaskan, maka untuk
menciptakan proses pembelajaran yang lebih cepat, dikembangkan suasana pembelajaran
yang menyenangkan, menggunakan metode yang interaktif dan bervariasi, yang dapat
mengaktifkan otak kanan dan kiri pada setiap sesi. Menciptakan suasana yang santai dan
kekeluargaan, penggunaan musik, bernyanyi dengan yel yel optimis berisi pesan penting
sesuai materi.
setiap sesi.
Otak kanan merupakan gudang yang sangat besar menyimpan memori jangka
panjang, tersimpan dalam pikiran bawah sadar. Tersimpan semua ingatan dan
kebiasaan, semua kepribadian dan citra diri. Oleh karena itu otak kanan merupakan
gudang yang menakjubkan, menyimpan jutaan pengalaman masa lalu. Adapun cara
untuk mengaktifkan memori yang ada tersebut dengan menciptakan kondisi alpha, yaitu
kondisi seseorang dalam keadaan relaks, menyenangkan dan tidak stress atau tidak
dalam tekanan. Widyaiswara, trainer dan dosen sebagai pendidik harus mampu
mengaktifkan kondisi ini, mengoptimalkan pikiran bawah sadar melalui pengendalian
pikiran sadar. Dengan menciptakan keadaan relaks dan menyenangkan, maka
kekuatan otak kanan akan membantu kekuatan otak kiri dalam menerima informasi
yang ada. Otak kanan akan mampu menggali memori masa lalu yang terkait dengan
informasi yang dipelajari tersebut. Kerjasama tersebut merupakan rahasia dari kekuatan
Otak dalam Proses Pembelajaran.
Reid G & Green S (2009) menegaskan bahwa factor pemahaman dari peserta
merupakan factor penting dalam penyimpanan memori, jika peserta mengerti informasi
yang diterimanya maka otak kiri akan mampu menyimpan sebagai memori jangka
pendek, kemudian dalam waktu tertentu memori tersebut tidak diingat lagi. Jika proses
penerimaan informasi telah berjalan dengan sempurna, memori tersebut telah berubah
menjadi memori jangka panjang yang tersimpan dalam otak kanan. Namun jika proses
penerimaan informasi tidak sempurna karena tidak terjadi pemahaman, maka memori
tersebut hilang selamanya. Hal ini menjadi kunci bagi widiyaiswara sebagai pendidik
untuk memahami bahwa Situasi yang menyenangkan akan mempercepat proses
160
Metode Refleksi
Pembelajaran dengan metode Refleksi akan mengaktifkan pengalaman yang
tersimpan dalam pikiran bawah sadar. Maka peserta akan lebih mudah memahami
materi yang diajarkan, karena pengalaman nyata membantu mengkonkritkan teori atau
konsep yang dibahas. Proses pemahaman akan lebih cepat, karena secara otomatis
semua memori jangka panjang yang terkait akan muncul. Seluruh peserta menjadi
terlibat penuh terhadap materi yang sedang dipelajari. Dalam proses refleksi ini,
widiyaiswara lebih berperan sebagai fasilitator yang perlu memberikan stimulus untuk
menggali pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki peserta, memberikan
reward sebagai penghargaan atas pendapat dan pengalamannya, menegaskan
pemaknaan dari pengalaman dengan materi yang sedang dibahas, menyimpulkan
materi dan upaya penerapannya dalam dunia kerja peserta.
2.
Studi Kasus
Studi kasus merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengaktifkan otak
kiri dan kanan, karena peserta dituntut untuk berfikir kritis menganalisis kasus yang ada,
dan berusaha memecahkan permasalahan yang ada dengan berfikir kreatif. Dalam
upaya pemecahan perlu di stimulus otak kanan sebagai otak kreatif, dengan menggali
pengalaman dan menentukan tindakan yang paling efektif, serta kemampuan
mengimajinasikan efektifitas dari tahapan tindakan yang akan diambil dalam
menyelesaikan permasalahan. Semakin banyak pengalaman dalam memorinya,
semakin cepat peserta menemukan alternative tindakan, semakin mudah proses
imajinasi terbentuk.
Game/ Permainan
Shute VJ, Rieber LP, dan Eck RV menegaskan bahwa
berdasarkan hasil
penelitiannya belajar menjadi sangat baik jika dilakukan secara aktif, berorientasi pada
tujuan, sesuai dengan konteks dari materi dan menyenangkan. Lingkungan belajar
161
dalam belajar jika mampu melibatkan fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta,
mampu menghasilkan kompetensi baru, menggunakan teknologi yang efektif, dapat
dilaksanakan sesuai dengan waktu yang ada sampai pemberian feedback terhadap
peserta, tugas yang dimainkan dan hambatan yang ada dalam mencapai keterampilan
peserta.( Robert A. Reiser and John V.Dempsey , 2012) Widyaiswara dapat
menggunakan metode belajar game dalam proses belajar, karena melalui game peserta
akan terlibat secara penuh pikiran dan perasaannya, bahkan secara otomatis pikiran tak
sadarnya akan membantu menggali memori yang tersimpan. Secara spontan muncul
kreatifitas dan ideu-ideunya tentang materi yang terkait, dan akan terekam mejadi
memori baru yang tersimpan dalam waktu lama (long term memory) yang bermanfaat
untuk digunakan saat dibutuhkan nanti dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya..
4.
seperti; emosi, seksualitas dan pusat kenikmatan. Emosi sangat erat kaitannya dengan
penciptaan ingatan dan merupakan dasar dalam pengelolaan memori. Maka terlihat adanya
kaitan emosi dan memori secara bersamaan. Widyaiswara harus memanfaatkan kekuatan
ini dalam mengoptimalkan proses belajar, menggunakan metode belajar yang melibatkan
emosi peserta, seperti role play, simulasi dan praktik. Keterlibatan emosi dapat
mempercepat proses internalisasi dan penyerapan memori sehingga meningkatkan kualitas
proses belajar. Perubahan sikap dan prilaku akan lebih cepat dicapai.
Metode simulasi dan bermain peran dilakukan dalam setting khusus, sehingga dapat
memotivasi peserta untuk lebih memusatkan perhatian, dan melibatkan secara aktif secara
emosional, oleh karena itu pemahaman terhadap konteks materi lebih terfokus dengan
melihat dan merasakan langsung.
5.
kuatnya pengaruh otak dalam keberhasilan proses belajar dan penangkapan memori.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan metode yang efektif karena mengoptimalkan
keseimbangan otak kiri dan kanan, melibatkan peserta secara aktif, menumbuhkan motivasi
162
belajar untuk berfikir kreatif dalam konteks materi yang dipelajarinya. Sekaligus menstimulus
potensi otak pada sirkuit untuk menyelesaikan masalah.
6.
Diskusi
Diskusi aktif merupakan metoda yang meningkatkan keterlibatan kognitif dan
emosional sehingga menghasilkan proses belajar yang lebih baik, mendorong peserta untuk
menggabungkan ideu-ideu baru dengan konsepsi yang telah dimiliki sebelumnya. Aktififitas
kognisi ini akan membangun koneksi sinaptik dan cara-cara baru dalam menggunakan
informasi.( Dale H Schunk , 2012).
Dalam rangka mengembangkan model pembelajaran yang lebih kondusif, lebih cepat,
dan menyenangkan, maka berbagai metode pembelajaran yang mengaktifkan otak kanan
dan kiri digunakan, dengan mengkombinasikan berbagai metode sesuai dengan tujuan dan
kompetensi yang diharapkan dalam setiap sesi.
neurosains tersebut dapat mengaktifkan ketiga cara belajar yang bersifat visual, auditory,
dan kinestetic. Hal tersebut dapat menghasilkan proses belajar yang lebih cepat, lebih
mudah, dan lebih menyenangkan.
Model strategi pembelajaran yang dikembangkan seperti pada tabel 1 berikut.
Tabel .1
Model Strategi Pembelajaran Dalam Sesi Pelatihan
Tahap
Pembukaan
Inti
Penutup
Strategi Pembelajaran
Seting ruangan santai & musik
Sapaan bersahabat
Perkenalan / Permainan
Refleksi Pengalaman, dikaitkan dengan materii
Tujuan
Kemanfaatan
Pemutaran Video
Refleksi
Penugasan kelompok/ pasangan
Latihan/ simulasi/ Bermain peran
Praktik / Bermain
Ceramah Tanya Jawab
Diskusi/ studi kasus
Refleksi
Penegasan/ Rangkuman
Bernyanyi
Yel-yel Optimis
Evaluasi
163
164
C.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dan Pengembangan dilakukan menggunakan pendekatan mix methode
yang
mempersiapkan
ibu
hamil dan
pasangannya
dalam
menghadapi
kehamilan,persalinan dan menjadi orang tua yang mandiri. Tujuan khusus penelitian ini
secara rinci adalah sebagai berikut;
1. Mengkaji karakteristik peserta, latar belakang pendidikan, jumlah anak, jumlah
persalinan.
2. Mendesain model pembelajaran berbasis fungsi otak, yang dapat menyiapkan mental
dan kemandirian orang tua.
3. Menghasilkan produk pembelajaran dalam bentuk; strategi
istruksional, panduan
widyaiswara Balai Pelatihan Kesehatan Propinsi Jawa Barat sebagai fasilitator. Bidan desa,
Bidan Koordinator, Ketua STIKES Dharma Husada, Ketua PKK, dan Kader kesehatan
sebagai observer.
Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai September 2013.
Menggunakan tahapan penelitian sebagai berikut; Tahap awal pengumpulan data secara
kualitatif untuk menggali kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh ibu hamil dan
pasangannya. Observasi beberapa kelas ibu hamil yang sedang berjalan untuk mengkaji
kesenjangan dalam proses pembelajaran, wawancara bidan yang memberikan pelayanan di
poliklinik kehamilan, ruang bersalin dan ruang paskasalin untuk menggali kebutuhan dan
kesenjangan yang terjadi pada pasangan saat pelayanan. Berdasarkan kebutuhan dan
kesenjangan yang ditemukan dikembangkan strategi instruksional, bahan ajar, media
belajar, instrumen evaluasi, dan panduan fasilitator. Untuk menguji validasi produk yang
dikembangkan dilakukan evaluasi formatif melalui tanggapan ahli, evaluasi perorangan,
evaluasi kelompok kecil dan kelompok besar sebagai uji lapangan.
165
Tahap uji lapangan kelompok besar, dilakukan pada 12 orang pasangan yang sedang
menghadapi kahamilan trimester pertama, kedua, dan ketiga. Kegiatan insturksional
diberikan dalam 5 sesi, setiap sesi lamanya 2-3 jam. Melibatkan 5 orang fasilitator, 5 orang
observer.
D.
menghadapi persalinan, dan menumbuhkan peran tanggung jawab ayah dan ibu secara
mandiri.
Tahap kedua sebagai tahap pengembangan, dikembangkan strategi instruksional
dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis kerja otak yang variatif, sehingga
mampu mengaktifkan peran serta peserta, interaksi sosial diantara peserta, dan
menumbuhkan tanggung jawab peserta sebagai pasangan calon orang tua untuk
menghadapi peran dan tugasnya. Pembelajaran praktik dikembangkan dengan simulasi,
dan role play, agar seluruh peserta siap secara mental, dan terampil dalam melakukan
perannya. Dalam rangka mengaktifkan otak kanan dan kiri, dikembangkan media
audiovisual dalam bentuk video kehamilan, video persalinan, kartu kehamilan, kartu
persalinan dan kartu bayi baru lahir. Berbagai metode yang dikembangkan bertujuan untuk
menciptakan pembelajaran yang lebih mudah, nyata, dan jelas. Secara mental dan emosi
seluruh peserta terlibat penuh, sehingga pemahaman lebih cepat, mendalam, dan terfokus.
Hasil validasi ahli materi, ahli desain pembelajaran, dan ahli media menyatakan bahwa
strategi instruksional sesuai standar, metode yang dikembangkan dapat membangkitkan
kerja otak kanan dan kiri, media yang dikembangkan mampu mengaktifkan fungsi otak
kanan dan kiri. Media yang dikembangkan jelas, konkrit, menarik, sehingga mampu
membangkitkan motivasi belajar. Saran yang diberikan agar
pedoman fasilitator
166
mengingat materi. Pemutaran film tentang proses perkembangan bayi selama kehamilan,
sangat mengesankan.
Berdasarkan respon yang didapatkan sebagai hasil evaluasi, berdasarkan masukan
dari tim ahli, dan tim perorangan (one to one evaluation), dilakukan revisi untuk digunakan
dalam evaluasi kelompok kecil. Berdasarkan hasil evaluasi kelompok kecil, ditemukan feed
back sebagai masukan dan sekaligus respon sebagai berikut; dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel .3. Hasil Evaluasi Kelompok Kecil
Responden
Peserta
Fasilitator
Observer
Hasil evaluasi kelompok kecil, menunjukkan bahwa proses pembelajaran terjadi secara
interaktif, seluruh peserta terlibat aktif, terjadi hubungan yang yang harmonis antara peserta
dan fasilitator.
Proses evaluasi kelompok besar sebagai uji lapangan, dilaksanakan pada tanggal 2529 September 2013, responden 12 orang ibu hamil dan pasangannya. Melibatkan 5 orang
fasilitator dan 5 orang observer. Hasil evaluasi menunjukkan, adanya perubahan
pengetahuan dan keterampilan dari peserta, rata-rata nilai pre tes: 51, dan rata-rata pos
tes: 73, terjadi peningkatan yang signifikan. Seluruh peserta kompeten melakukan aktifitas
relaksasi dan mengedan, merawat bayi, dan menyusui.
Hasil catatan refleksi menunjukkan bahwa hampir seluruh peserta berpendapat proses
pembelajaran sangat menyenangkan (83%). menambah ilmu dan pengalaman, sehingga
siap menghadapi persalinan. Materi mudah dipahami, banyak manfaatnya, tidak jenuh, dan
senang sehingga tahu persis tentang proses persalinan dan tidak bingung menghadapi
kehamilan dan persalinan. Metode pembelajaran yang digunakan sangat menyenangkan
(60 %), bagus, komplit, tidak jenuh dan bermanfaat.
Metode praktik membuat keberanian untuk melaksanakan peran dan tanggung
jawab, menambah pengalaman baru. Peserta menilai sikap fasilitator ramah dan baik,
menyenangkan, tidak jenuh dan tidak canggung. Membuat peserta menjadi semangat, dan
dalam memberikan materi mudah dipahami. Peserta menilai bahwa media yang digunakan
167
upaya penyelesaian
masalah dalam pembahasan kasus yang ditugaskan. Situasi yang humanistis ini sangat
cocok untuk pasangan yang sedang menghadapi masa transisi. Sebagaimana Sweet (1997:
308-310) menegaskan bahwa keterampilan menjadi orang tua sangat kompleks, seperti
kompleknya kehidupan. Olehkarena itu, kelas berbentuk kelompok kecil agar memberikan
168
keleluasaan untuk
hanya 2 - 4 jam. Membahas materi aspek fisik dan emosi, bertujuan untuk: memelihara
kesehatan, memberikan informasi dan dukungan, menyiapkan persalinan, mengembangkan
rasa percaya diri dan keterampilan menjadi orang tua, membangkitkan pasangan untuk
saling menberi dukungan.
Penggunaan
musik
yang
mengalun
lembut,
menciptakan
situasi
kehangatan
kekeluargaan dan kebersamaan yang tinggi, memberi rasa nyaman untuk peserta. Kondisi
santai tersebut mengaktifkan kekuatan otak kanan untuk siap menerima informasi, dengan
bantuan pikiran bawah sadar. Suasana relaks yang menyenangkan dapat menciptakan
kondisi alfa, sehingga otak kanan mengaktifkan pikiran bawah sadar untuk bekerja secara
optimal. Proses penerimaan dan penyimpanan
setelah
melahirkan.
Upaya
melibatkan
keduanya
membantu
pemahaman
perkembangan emosi anak, penerimaan secara psikologi tentang masa transisi menjadi
orang tua, dan dukungan suami untuk istri. Calon ayah dilibatkan dalam persalinan,
perawatan bayi, dan proses menyusui. Oleh karena itu, pendidikan antenatal disiapkan
169
bukan hanya untuk menjadi ibu (motherhood) tetapi juga menjadi ayah (fatherhood).
(Henderson dan Jones, 1997: 320).
170
E.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.
berakibat fatal dan berisiko terhadap kesehatan ibu dan bayi. Kelas ibu hamil
yang berjalan menunjukkan kondisi pembelajaran yang tidak kondusif, ratio
fasilitator dengan peserta tidak seimbang. Interaksi fasilitator dan peserta pasif,
tidak menumbuhkan kesiapan mental dan kemandirian pasangan dalam
menghadapi masa transisinya sebagai orang tua. Kondisi ini menunjukan adanya
kebutuhan pengembangan model pelatihan persiapan persalinan, yang dapat
menciptakan kondisi pembelajaran yang kondusif, mampu membentuk kesiapan
mental dan kemandirian peserta dalam menghadapi peran barunya.
2.
3.
4.
F.
SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, bahwa model pembelajaran berbasis neurosains
171
1.
2.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Departemen Kesehatan RI, Analisis Kematian Ibu di Indonesia, Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, 2011.
_______, Kelas Ibu Hamil, Jakarta, JICA, 2008.
Dick.W, Carey.L, dan Carey.JO, The Sistematic Design of Instruction Sixth Edition,United
States of America: Library of Congress Cataloging in-Publication Data, 2005).
El-Qudsy. H, Dahsyatnya Bacaan Al-Quran bagi Ibu Hamil, Surakarta: Al-Qudwah
Publishing, 2013.
Cruickshank. DR, Jenkins. DB, dan Metcalf. KK, The Act of Teaching Fourth Edition, New
York: Mc Graw Hill, 2006.
Fair.Cynthia D dan Morrison.Taylor E, The Relationship between Prenatal Control,
Expectation, Experienced Control, and Birth Satisfaction, Midwifery Journal, no 28,
2012.
Gredler.ME, Learning and Instruction Theory into Practice, Ochio: Pearson, 2009.
Henderson.C dan Jones.K, Essential Midwifery, London: Mosby, 1997.
Joyce.B, Weil.M, dan Calhoun. E, Models of Teachinf, New Jersey: Pearson Education,
2009.
Kwast. BE, Safe Motherhood-The first decade, Midwifery, no 9, 1993.
Lin Lin Su, at all, Antenatal Education and Postnatal Support Strategies for Improving Rates
of Exclusive Breast feeding: Randomised Controlled Trial Bio Medical Journal Online
First, Singapore, 2007.
Matthey.S, at al, Preventionof postnatal distress or depression: an evaluation of an
intervention at preparation for parenthood classes Journal of Affective Disorders 79,
2004.
Nolan. M, Education and Support for Parenting A Guide for Health Professionals, London:
Bailliere Tindall, 2002.
Reid. G dan Green. S, Effective Learning, London: Continuum International Publishing
Group, 2009.
172
173
Abstract:
Everybody loves justice and wants to be treated equally. Some of the purpose of law are
not only to actualize and expedience the fairness, but also the legal certainty. Those purposes
of law cannot be created at once to settle the tax disputes. It can be a tax dispute between Tax
Payer and Tax Officer in case of a tax assesment publishing. This dissent has to be solved by
other institutes. Tax Payer, that is disadvantaged, will do legal action. The Legal Action of
Objection and Appeal, included the meanings of tax dispute, that Tax Payer has done for the
taxes field. It is an absolute for Tax Payer to propose objection for the Tax Assesment, or
appeal for The Dessicion on the objection if Tax Payer doesnt agree for the amount that listed
on the Tax Assesment and also on The Dessicion on the objection. However, on RUU KUP
drafts about Objections Article, that submitted by goverment to The House of Representative, is
changed to : The request of objection doesnt delay the responsibility to pay taxes and the
implementation of tax billing which means if Tax Payer appeals and havent got the dessicion
but doesnt pay the tax billing, Tax Officer will insist in many ways such as auctioning Tax
Payers properties, probihiting them to go aboard, and hastaging Tax Payer. This scientific
paper is the continuation and completion of the previous one.
Keywords: justice, objection, appeal, tax collection.
Helen Samosir, E-mail:hotmianhelenasamosir@yahoo.com. HP:08121320941
Pendahuluan
Ketika pemerintahan rakyat terbentuk secara demokratis, daulat ekonomi menjadi milik
sendiri dan mempunyai ruang sendiri yang dinamakan ruang kontrak sosial. Negara dalam
bentuk kontrak sosial akan menjaga dan melindungi prinsip ekonomi masyarakat. Negara
174
meminta bayaran pada kontrak sosial melalui pajak dan rakyat membutuhkan suatu rasa
keadilan. Karena dongengan dari masa lalu, entah dari perjuangan bangsa melawan
penjajahahan, yang hendak mereka ceritakan kembali kepada anak-anak dan generasi
penerus, semuanya mengenai tentang diterapkan rasa adil. Karena pada intinya, kontrak sosial
adalah perjanjian antar individu dengan negara dan hukumnya agar tercipta rasa adil di tengah
masyarakat. Jangan sampai negara jatuh dalam posisi kebebasan absolut atau tirani absolut.
Akhirnya, kontrak sosial menjadi kesempatan, suatu langkah yang ingin diwujudkan,
melalui penerapan pelbagai teori, agar negara sanggup dan harus menjadikan keadilan itu
suatu hak dasar. Masyarakat berkeadilan akan menciptakan habitus yang akan menjadikan
warga negara berpikir sebagiamana negara, dan negara akan berpikir sebagaimana keinginan
rakyatnya. Sia-sialah apabila kita mengharapkan negara bisa menarik pajak orang dengan
kontribusi maksimal, rasa sukarela dan suportif dari masyarakat, tanpa adanya mindset sosial
kontrak yang benar. Pajak yang berkeadilan menjadi bagian dari kontrak sosial kini menjelma
dalam bentuk pajak yang memiliki watak tidak sekedar mengeruk kekayaan orang. Nah
bagaimana kita mewujudkan pajak yang berkeadilan dan bagaimana kita meyakinkan warga
negara untuk bertindak sebagai habitus adalah tugas kita di pemerintahan untuk menerapkan
rasa adil terlebih dahulu.
Kepedulian akan pentingnya kebanggaan terhadap pembangunan bangsa dan infra
struktur yang modern dapat memacu semangat masyarakat untuk membayar pajak. Mustahil
pembangunan akan dapat dijalankan tanpa kepedulian masyarakat dalam hal membayar pajak.
Pemahaman manfaat pajak atau bahkan pengertian pajak merupakan hal yang tidak terpisah
dari pengetahuan masyarakat tentang perpajakan. Seberapa banyak masyarakat yang paham
pajak, belum pernah ada penelitian yang terukur untuk menjabarkannya. Disinilah perlunya kita
sebagai masyarakat indonesia untuk lebih memahami atau bahkan berusaha meningkatkan
pengetahuan kita tentang manfaat pajak dan kegunaannya untuk pembangunan, yang pada
akhirnya dapat mensejahterakan dan menikmati buah hasil mebayar pajak.
Dalam hidup bernegara, tentu pemerintah perlu bahkan harus memberikan rasa
keadilan bagi setiap Warga Negaranya. Hukum barulah sesuai dengan daya guna atau
berfaedah, jika ia sebanyak mungkin mengejar keadilan. Jadi tujuan hukum adalah tata tertib
masyarakat yang damai dan adil. Meniadakan pandangan keadilan dari hukum berarti
menyamakan hukum dengan kekuasaan.
175
Draf RUU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan yang akan diajukan pemerintah
menyebutkan: Pengajuan keberatan atau permohonan banding tidak menunda kewajiban
membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Beberapa waktu yang lalu penulis sudah pernah membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI)
mengenai draf RUU KUP tentang upaya hukum keberatan, dimana KTI ini merupakan
kelanjutan atau penyempurnaan dari KTI sebelumnya. Sepanjang yang penulis ketahui belum
ada penelitian terdahulu mengenai KTI ini sebelumnya.
Tentu topik ini penting dan perlu dibahas karena akan menyangkut masyarakat Wajib
Pajak pencari keadilan. Sebagaimana diketahui pajak telah menyumbang lebih dari 70% dari
keseluruhan APBN. Bagaimana kita dapat mengharapkan seseorang membayar pajak dengan
benar dan patuh melaksanakan kewajibannya kalau mereka (Wajib Pajak) belum diperlakukan
dengan adil, dimana adil disini paling tidak dapat diterima oleh logika kita sebagai manusia yang
berakal.
KTI ini dibuat dengan tujuan agar para konseptor yang membuat Draf RUU KUP lebih
dapat merasakan tuntutan masyarakat Wajib Pajak, jadi bukan hanya untuk memenuhi target
penerimaan semata dan tidak memandang Wajib Pajak dengan negative thingking saja. Atau
apabila ada suatu surat ketetapan pajak langsung menganggap yang salah adalah Wajib Pajak,
padahal hal tersebut masih memerlukan pengujian. Kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang mewakili rakyat juga harus sungguh-sungguh memahami bagaimana masyarakat Wajib
Pajak yang sedang mencari keadilan melalui upaya hukum yang ditempuh dapat diperlakukan
dengan benar dan masuk akal dan tidak merasa dibuat sengaja dirugikan.
Sistematika penyajian dalam KTI ini adalah terdiri dari Abstrak, Pendahuluan,
Metodologi, Hasil, Diskusi, Kesimpulan, dan Daftar Pustaka.
Metodologi
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Penelitian ini akan
membahas mengenai tindakan yang dilakukan oleh petugas pajak atau fiskus mewakili negara
dalam proses upaya hukum yang sedang dijalani oleh Wajib Pajak yang tercantum dalam draf
RUU KUP. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, digunakan pendekatan perundangundangan dan pendekatan perbandingan. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)
176
digunakan berkenan dengan peraturan hukum yang mengatur ketentuan mengenai upaya
hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Sedangkan pendekatan perbandingan merupakan
suatu cara yang digunakan dalam penelitian normatif untuk membandingkan salah satu
lembaga hukum dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum yang lain. Disini penulis
membandingkan ketentuan dalam perkara pidana maupun perdata apabila para pihak sedang
bersengketa
dan
belum
ada
suatu
keputusan/putusan
atau
dengan
kata
lain
keputusan/putusan belum inkrah, apa yang dilakukan oleh negara sebagai penguasa.
Hasil
Upaya hukum Keberatan
Sengketa adalah suatu hal yang lumrah dalam kehidupan manusia. Dalam kondisi
demikian, hal penting untuk diperhatikan adalah mekanisme penyelesaian sengketa. Pasal 26
UU KUP disebutkan Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas
bulan) sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan
yang diajukan. Terhadap surat keberatan yang diajukan Wajib Pajak, kewenangan
penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak. Atau dengan
kata lain Undang-undang memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai
penengah atau hakim dalam memutuskan suatu perkara keberatan dimana para pihak tersebut
adalah Wajib Pajak sebagai pemohon keberatan dan Direktur Jenderal Pajak itu sendiri.
Lembaga keberatan merupakan upaya hukum yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak
untuk memohon keadilan. Tentu upaya hukum tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak apabila
tidak setuju dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam surat
ketetapan pajak yang diterbitkan atas dirinya.
Untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib Pajak untuk memperoleh
keadilan dengan kemungkinan timbulnya sengketa serta memberikan sarana dan solusi bagi
para Wajib Pajak yang tidak dapat menerima atau menolak penetapan pajak yang ditetapkan
fiskus, Wajib Pajak dapat mempertahankan hak-haknya serta mendapatkan perlindungan,
sebaliknya fiskus mempertahankan kewenangannya dalam penegakan kepatuhan perpajakan.
Untuk lebih jelasnya berikut tabel mengenai ketentuan keberatan yang membandingkan
keberatan sesuai dengan UU KUP No 16 Tahun 2009 (yang berlaku saat ini) dengan Draf RUU
KUP (yang akan diajukan pemerintah):
177
No
1.
2.
Penagihan Pajak
Dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan pajak dengan Surat
Paksa disebutkan bahwa Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung
Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang
disita. Ketentuan dalam UU KUP yang berlaku saat ini tidak langsung dapat menetapkan Wajib
Pajak yang akan dilakukan tindakan penagihan, karena harus diketahui terlebih dahulu tanggal
jatuh tempo ketetapan tersebut.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tanggal jatuh tempo suatu ketetapan pajak
seperti: nilai ketetapan yang disetujui oleh Wajib Pajak, ada tidaknya upaya hukum yang
dilakukan oleh Wajib Pajak. Apabila hal ini sudah diketahui barulah tindakan penagihan dapat
178
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, jadi tidak serta merta apabila atas Wajib
Pajak dikenakan ketetapan pajak yang menyebutkan adanya pajak yang masih harus dibayar
oleh Wajib Pajak penagihan dapat dilaksanakan.
Saat ini ketentuan yang berlaku adalah pada intinya apabila Wajib Pajak sedang
melakukan upaya hukum keberatan maupun banding maka pelaksanaan penagihan untuk
sementara tidak dilakukan sampai ada Surat Keputusan maupun Putusan yang sudah inkracht
yang artinya kalau ternyata upaya hukum Wajib Pajak diterima maka tidak perlu ada
pembayaran dan jikalau upaya hukum Wajib Pajak ditolak maka penagihan pajak akan
dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajaknya.
Keadilan
Perpajakan di Indonesia mengalami reformasi yang sesungguhnya pada Tahun 1983,
dengan diundangkannya UU KUP dan UU KUP tersebut sudah beberapa kali diubah. Ada 3 hal
penting yang dijadikan dasar oleh pembentuk UU yaitu:
1. Adanya upaya memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak.
2. Diciptakannya kepastian hukum akan meningkatkan investasi langsung maupun tidak
langsung disertai dengan beberapa fasilitas perpajakan.
3. Dengan terbitnya UU KUP sistem dan mekanisme pemungutan pajak mempunyai corak
tersendiri dan merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta Wajib Pajak
untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang
diperlukan untuk pembiayaan dan pembangunan negara.
Keadilan, merupakan tujuan dari perpajakan, oleh karena itu perpajakan akan bertindak
netral dan tidak diskriminatif, dalam arti terhadap Wajib Pajak diperlakukan sama dalam
hal dan kondisi yang sama.
179
mempertahankan
perdamaian
dengan
menimbang
kepentingan
yang
bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya, karena hukum hanya
dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang
adil, artinya peraturan mana terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang
dilindungi, dimana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.
Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan bukan berarti
bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.
Upaya hukum di Pengadilan Negeri
Pada asasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi. Upaya hukum banding
merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah
pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak dapat
mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada
Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai asasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan
Negeri belum dapat dilaksanakan karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum
yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi.
Tenggang waktu mengajukan banding yang diatur dalam Undang-undang Nomor 14
Tahun 1985 menyebutkan apabila jangka waktu pernyataan permohonan banding telah lewat,
maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena
terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan
hukum tetap sehingga dapat dieksekusi. Contohnya: Wanita yang berada dalam proses cerai
dan belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa
perceraian telah resmi terjadi, berarti perkawinannya belum putus. Oleh karena itu wanita
tersebut belum boleh menikah lagi secara hukum karena putusannya belum inkrah.
Diskusi
Apabila dibaca dalam konsiderans bagian menimbang poin c Draf RUU KUP
disebutkan: bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan
pelayanan kepada Pembayar Pajak dan
180
pemerintah berkeinginan untuk memberikan rasa keadilan yang lebih dibanding sebelumnya,
bukan
mengurangi rasa keadilan atau bahkan menghilangkannya. Hal ini terlihat dari
rancangan Pasal mengenai keberatan yang menghilangkan rasa keadilan itu yang
bertentangan dengan konsiderans Undang-undang itu sendiri.
Lembaga keberatan merupakan sarana yang disediakan oleh Undang-undang untuk
menyelesaikan sengketa. Keberatan merupakan hak setiap Wajib Pajak dan merupakan
manifestasi atas ketidaksetujuan atau penolakan Wajib Pajak terhadap keputusan atau
penetapan perpajakan. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang mengatur mengenai
penetapan pajak, semua ketetapan harus didasarkan atas alasan-alasan yang jelas, benar dan
transparan, sehingga setiap Wajib Pajak mengerti atau memahami tentang dasar penetapan
tersebut. Sengketa perpajakan merupakan hak dari masyarakat untuk mendapatkan kejelasan,
kebenaran, dan keadilan. Agar supaya hal itu dapat tercapai dan dalam rangka memberikan
perlindungan kepada masyarakat pemerintah menciptakan lembaga-lembaga sebagai sarana
masyarakat.
Mengenai lembaga keberatan ini, menurut R.Santoso B, setiap pelaksanaan Undangundang pajak, fiskuspun dengan aparaturnya mempunyai tugas untuk melaksanakan bunyi
peraturan yang terdapat dalam Undang-undang; ia tidak sekali-sekali diperkenankan bertindak
sewenang-wenang walaupun misalnya dengan maksud untuk menguntungkan negara sebesarbesarnya dengan cara menggencet para Wajib Pajak.
Kata keadilan berasal dari kata adil yang artinya: tidak berat sebelah, tidak memihak,
berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Dari beberapa definisi dapat
disimpulkan bahwa pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenan dengan sikap dan
tindakan dalam hubungan antar manusia. Hal ini diharapkan berlaku juga untuk hubungan
antara Warga Negara dengan Penguasa/Pemerintah atau antara Wajib Pajak dengan fiskus.
Tentu akan tidak adil jikalau Wajib Pajak yang sedang dalam melaksanakan upaya
hukum keberatan maupun banding Wajib Pajak sedang dalam proses sengketa pajak harus
dipaksa untuk tetap melunasi utang pajak yang tidak disetujuinya tersebut dimana hasilnya
berupa Surat Keputusan maupun Putusan belum ada. Hal ini juga bertentangan dengan upaya
hukum yang dikenal dalam perkara perdata maupun pidana. Sesuai asasnya dengan
diajukannya upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi maka pelaksanaan isi putusan
181
Pengadilan Negeri (sebelumnya) belum dapat dilaksanakan karena putusan tersebut belum
mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi.
Walaupun ada juga yang mengatakan jika dalam hukum pidana berlaku asas praduga
tak bersalah sehingga terdakwa dianggap tidak bersalah sampai ada vonis atau putusan hakim.
Dalam Hukum Tata Negara berlaku hal yang sama, bahwa keputusan penguasa dianggap
benar sampai ada keputusan yang lebih tinggi yang memutuskan lain. Inilah yang mendasari
mengapa surat ketetapan pajak tetap harus dibayar walaupun Wajib Pajak mengajukan
sengketa keberatan atau banding, namun adagium ini gugur oleh UU KUP yang menyatakan
utang pajak tertangguh sampai dengan inkracht.
Dari pernyataan tersebut jelas lah terlihat kalau pembentuk Undang-undang sudah
melihat apa yang baik atau apa yang hidup ditengah-tengah masyarakat Wajib Pajak sehingga
saat ini ketentuan yang berlaku adalah apabila Wajib Pajak melakukan upaya hukum maka
utang pajak yang disengketakan pembayarannya tertangguh sampai keputusan atau putusan
inkracht. Jadi tidak ada alasan untuk kembali kepada ketentuan yang memaksakan Wajib Pajak
untuk membayar seluruh utang pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang belum teruji
kebenarannya.
Kesimpulan
Saat ini pajak merupakan pendapatan negara yang sangat potensial untuk menunjang
keberhasilan pembangunan nasional dimana peran para Wajib Pajak sangat besar. Sehingga
pajak sebagai fungsi budgetair hendaknya tidak terlalu dikedepankan tanpa memperhatikan apa
yang ideal dan apa yang riil dalam kehidupan masyarakat Wajib Pajak. Wajib Pajak merupakan
mitra yang potensial yang harus selalu dijaga eksistensinya. Apabila draf RUU KUP tersebut
masih dipertahankan, berarti Negara/Pemerintah dengan dalih penegakan hukum sebagai
monopoli penguasa akan melaksanakan penagihan terhadap Wajib Pajak yang sedang dalam
proses upaya hukum seakan-akan Wajib Pajak sudah terbukti bersalah dan akan lebih
menyakitkan lagi apabila ternyata Wajib Pajak terbukti tidak bersalah dengan keluarnya Surat
keputusan atau Putusan yang menerima permohonan Wajib Pajak.
Tentu hal ini tidak boleh terjadi karena Wajib Pajak merupakan mitra sejajar dari
pemerintah dalam keberhasilan pembangunan. Lembaga keberatan maupun banding
merupakan sarana yang disediakan oleh Undang-undang untuk menyelesaikan sengketa.
Keberatan merupakan hak setiap Wajib Pajak dan merupakan manifestasi atas ketidaksetujuan
atau penolakan Wajib Pajak terhadap keputusan atau penetapan perpajakan. Sesuai dengan
182
ketentuan Undang-undang yang mengatur mengenai penetapan pajak, semua ketetapan harus
didasarkan atas alasan-alasan yang jelas, benar dan transparan, sehingga setiap Wajib Pajak
mengerti atau memahami tentang dasar penetapan tersebut dan dapat menchalenge dimana
negara harus memberikan ruang untuk hal tersebut. Sebenarnya saat ini negara telah
mengakomodasi hal tersebut sehingga tidak patut rasanya ketentuan yang sudah sangat baik
dan ideal akan dirubah dengan ketentuan yang tidak dapat mengakomodir kedua belah pihak
namun hanya mengakomodir satu pihak saja.
Saran
Direktorat Jenderal Pajak dapat memanfaatkan lembaga Penagihan Seketika dan
Sekaligus secara maksimal yang sudah ada diatur dalam Pasal 20 UU KUP apabila ditemukan
Wajib Pajak yang mengajukan keberatan atas suatu surat ketetapan pajak yang tidak disetujui
dan belum melakukan pembayaran namun memenuhi syarat ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2) UU KUP. Misalnya: Atas Wajib Pajak yang sedang melakukan upaya
hukum keberatan apabila petugas pajak mengetahui Wajib Pajak tersebut akan meninggalkan
Inonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu maka atas Wajib Pajak yang
bersangkutan dapat dilaksanakan Penagihan Sektika dan Sekaligus.
Daftar Pustaka
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-undang tentang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2000 (Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa)
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan 30, 2004
Dedi Ismatullah, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan 1, Bandung, 2012.
R.Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi ketiga, Bandung, 1991.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Cetakan VI, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Sudikno, Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Revisi, Yogya 2010.
Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Edisi 3, Jakarta 2003.
183
Erwin Eka Kurniawan, 4 Prinsip Dasar Fiskal, Penerbit PT Fiskal Indonesia, Oktober 2015.
Johnny Ibrahim, Teori and Metodologi penelitian hukum formatif, Bayu Media Publishing, Mei
2012.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Cetakan VIII, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2014.
Soetandyo W, Hukum konsep dan metode, Penerbit Setara Press, Nopember 2013.
184
Widyaiswara Ahli Muda, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Pusat Statistik
Jalan Raya Jagakarsa No. 70 Lenteng Agung, Jakarta Selatan
2
Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung
Jalan Ganesha No. 10 Bandung
(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstract The main threats that can damage an organization's data are unauthorized
access, modification, destruction, and disclosure. The threat can undermine the
confidentiality, integrity and availability of data. Data security solutions, technically and
non-technically, are required to preserve and protect the organization's data. Nontechnical solution can be done by creating a data security policies and procedures. Data
security policy and procedure is a foundation of the program and technical solutions
within an organization's data security. Data security policy is an essential requirement for
designing security measures to protect the data in the whole organization. In this study
the data security policies and procedures are made tailored to the needs and business
processes of statistical activities that suit the Generic Statistical Business Process Model
(GSBPM). So that policies and procedures are made include the entire business process
that occurs in the office daily statistics / National Statistics Office (NSO). Then, data
security policies and procedures were made following the reference Data Management
Body of Knowledge (DAMA-DMBOK) and ISO / IEC 27001.
Keywords : Data, Statistics, Security, Policy, DAMA, GSBPM
Corresponding author: arbies@bps.go.id, ,arman@stei.itb.ac.id
Pendahuluan
Dalam rangka memenuhi tugas dan peranan sebagai penyedia data statistik bagi
pemerintah dan masyarakat, kantor statistik/ National Statistics Office (NSO) melakukan
berbagai macam survei dan sensus. Kegunaan data statistik, yang dikumpulkan dan
dihasilkan oleh NSO, bagi pemerintah dan masyarakat adalah sebagai bahan rujukan
untuk menyusun perencanaan, melakukan evaluasi, membuat keputusan, dan
memformulasikan kebijakan (Badan Pusat Statistik, 2012). Untuk keperluan tersebut,
NSO dituntut untuk menghasilkan data yang berkualitas. Dengan dukungan dan
pemanfaatan teknologi informasi, NSO berusaha menghasilkan data yang berkualitas
tersebut. Penggunaan teknologi informasi meliputi seluruh proses bisnis, mulai dari
185
berharga,
untuk
mengontrol akses dan transfer data survei dan sensus. Penyelenggara statistik tidak
akan dapat memperoleh data yang akurat apabila mengabaikan aspek kerahasiaan data.
Kerahasiaan data merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam bidang
keamanan data (A. F. Karr and A. P. Sanil, 2004; Fundamental Principles of Official
Statistics, 2013). Kerahasiaan data mempunyai dua prinsip yang utama, yaitu data atau
keterangan hanya digunakan oleh pihak yang berwenang dan data dipergunakan hanya
untuk tujuan yang dimaksudkan pada saat pengumpulan (G. T. Duncan, M. Elliot, and
J.J. Salazar-Gonzlez, , 2011).
Disamping kerahasiaan, pilar keamanan selanjutnya yang perlu untuk diperhatikan
adalah keutuhan data. Keutuhan data yaitu memastikan bahwa data masih utuh dan
benar tanpa adanya perubahan secara ilegal. Masalah yang terkait dengan keutuhan
data dapat disebabkan oleh virus dan pengubahan oleh pihak lain (unauthorized user).
Sebagai contoh, website dengan domain .go.id pada tahun 2013 menempati urutan
pertama yaitu sebesar 27,42% dari total serangan hampir 40 juta (periode Januari
September) (Sumantri, 2013). Sementara di Badan Pusat Statistik (BPS) selaku NSO di
Indonesia, serangan peretas terbesar terjadi pada 9 Juli hingga 20 Juli 2012, tercatat
sebanyak 364 website dibawah domain BPS mengalami serangan (Defacement Archive,
2013).
186
Pilar keamanan yang ketiga adalah ketersediaan data. Ketersediaan data yaitu
memastikan bahwa data tersedia ketika dibutuhkan. Masalah ketersediaan data meliputi
data hilang, data tidak tersedia, dan data tersedia tetapi pelayanan lambat. Untuk
mendukung pengambilan keputusan diperlukan ketersediaan informasi yang akurat,
komprehensif, dan tepat waktu. Saat ini, data yang dibutuhkan untuk mendukung
pengambilan keputusan masih tersebar di masing-masing direktorat dan subject matter
area (SMA). Hal ini menyebabkan keterlambatan dalam proses pengambilan keputusan
dan berdampak pada menurunnya kepuasan konsumen (Badan Pusat Statistik, 2011).
Berbagai masalah yang ada saat ini terjadi seperti akses yang tidak sah, modifikasi,
manipulasi, pengungkapan, penghancuran data, pencurian dan serangan serta
ketersediaan data akan semakin bertambah kompleks jika tidak segera diselesaikan dan
akan berpengaruh terhadap prestasi dan kinerja organisasi (Setiawan, 2011). Sejalan
dengan kebutuhan, merujuk Undang-undang
menyediakan sistem elektronik untuk pelayanan publik yang andal dan aman yang
mengacu
pada
ISO/IEC
27001
(Direktorat
Keamanan
Informasi
Kementerian
Komunikasi dan Informatika, 2011). Andal artinya sistem elektronik memiliki kemampuan
yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. Aman artinya sistem slektronik
terlindungi secara fisik dan nonfisik (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, 2008).
Berdasarkan hal-hal diatas, NSO perlu melakukan pengelolaan data khususnya pada
masalah keamanan dengan cara membuat kebijakan dan keamanan data. Solusi
keamanan data secara teknis saja tidak cukup dan perlu didukung oleh kebijakan dan
prosedur (Kee, 2002). Kebijakan dan prosedur adalah elemen kunci dalam proses bisnis
dan pondasi keamanan data dalam sebuah organisasi (Peltier, 2004; A. Nigam and M.
Siponen , 2011). Kebijakan keamanan merupakan kebutuhan mendasar untuk
merancang langkah-langkah keamanan secara menyeluruh dalam rangka melindungi
organisasi dari ancaman internal dan eksternal (Dey, 2007).
187
Gambar 1 Solusi Keamanan Data secara manajerial dan teknis (J. Anttila, K. Jussila, J.
Kajava and I. Kamaja, 2012)
Agar dapat dijalankan, kebijakan dan prosedur keamanan data harus ditulis dengan
baik dan lengkap sesuai dengan referensi yang telah ada serta sesuai dengan
kebutuhan organisasi. Pada penelitian ini kebijakan dan prosedur keamanan data yang
dibuat mengikuti referensi The Data Management Association (DAMA) Guide to The
Data Management Body of Knowledge (DMBOK) dan ISO/IEC 27001. Kemudian,
dengan mengikuti Generic Statistical Business Process Model (GSBPM), kebijakan dan
prosedur yang dibuat tersebut meliputi seluruh proses bisnis yang terjadi sehari-hari,
sehingga dapat memberikan solusi atas permasalahan mengenai keamanan data yang
telah dipetakan dan diidentifikasikan.
Tinjauan Pustaka
Data merupakan bahan baku yang akan menciptakan informasi. Kemudian pada
tahap selanjutnya, informasi yang dihasilkan akan berubah menjadi
pengetahuan
(knowledge). Pengetahuan merupakan ringkasan dan organisasi dari informasiinformasi untuk membentuk pemahaman dan kesadaran pada sebuah situasi yang
kompleks (M. Mosley, D. Henderson, M. H. Brackett, & S. Earley, 2010). Organisasi saat
ini bergantung pada aset data mereka untuk membuat keputusan yang lebih tepat dan
efektif. Jumlah data yang tersedia di dunia ini meningkat dengan pesat. Setiap
organisasi perlu untuk mengelola secara efektif data dan sumber informasi yang
semakin penting (M. Mosley, D. Henderson, M. H. Brackett, & S. Earley, 2010).
Berdasarkan
Surat
Edaran
Menteri
Komunikasi
dan
Informatika
Nomor:
188
organisasi secara umum diselaraskan dengan proses bisnis statistik yang sesuai
dengan GSBPM.
Pada penelitian ini, penulis mengusulkan penambahan manajemen keamanan data
pada proses bisnis statistik. Usulan ini dapat diterapkan pada proses bisnis statistik.
Penambahan manajemen keamanan data pada proses bisnis statistik ini akan
memberikan jaminan bahwa dalam mengelola data responden dan meyediakan data
statistik kepada konsumen, NSO telah memperhatikan aspek keamanan data selama
proses bisnis dilakukan. Manajemen keamanan data dilakukan untuk menghindari
berbagai ancaman terhadap data yang bisa berupa pengrusakan, penyadapan,
pencurian, perubahan dan pemalsuan data.
Merujuk pada penelitian sebelumnya mengenai integrasi manajemen keamanan data
dengan proses bisnis (P. Herrmann and G. Herrmann, 2006; S. Taubenberger and J.
Jrjens, 2008), penulis menambahkan manajemen keamanan data pada model proses
bisnis statistik. Proses integrasi ini dilakukan dengan melakukan identifikasi kebutuhan
keamanan data pada proses bisnis dengan cara identifikasi aktor, identifikasi artifak
pada setiap tahapan proses bisnis dan identifikasi kontrol keamanan yang diperlukan
untuk menanggulangi ancaman yang ada pada proses bisnis. Kontrol keamanan
dilakukan saat proses terjadi dan saat komunikasi data antar proses (S. Taubenberger
and J. Jrjens, 2008).
Metodologi
Untuk mencapai tujuan penelitian, penulis memilih pendekatan Design Research
Methodology (DRM). Menurut (Blessing, L.T.M.; Chakrabarti, A., 2009), terdapat 4
tahapan dalam melakukan penelitian berorientasi desain yaitu sebagai berikut.
1) Research Clarification
Tahap ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan memastikan masalah penelitian yang
meliputi : (1) identifikasi tujuan penelitian yang ingin dicapai dan masalah penelitian, (2)
Initial Reference, gambaran keadaan saat ini.
2) Understanding Design
Dengan menggunakan data pada tahap sebelumnya, tahapan ini bertujuan untuk
menentukan pemahaman yang lebih baik terhadap kondisi dengan melakukan
identifikasi dan klarifikasi secara lebih detail faktor faktor yang mempengaruhi aspek
aspek dalam tahap pertama.
3) Developing Design
189
Tahap ini membahas bagaimana dengan menggunakan informasi yang di dapat dari
dua tahap sebelumnya, penelitian membuat desain yang dapat diterapkan sebagai
solusi untuk mencapai tujuan.
4) Evaluating Design
Tahap ini membahas bagaimana studi empiris dapat digunakan untuk mengevaluasi
hasil dan dampak pengembangan desain yang telah dilakukan.
Selain empat tahapan tersebut, terdapat satu tahapan lagi yang dapat dilakukan yaitu
mempublikasikan hasil penelitian dalam komunitas peneliti.
Identifikasi
Masalah dan
Kebutuhan
Keamanan Data
pada Proses Bisnis
Statitik
Solusi Manajemen
Keamanan Data
- DAMA-DMBOK
- ISO 27000
Daftar
Masalah dan
Kebutuhan
-Aktifitas
-Kontrol
Keamanan
Kustomisasi dan
Pemilihan Kontrol
Keamanan sesuai
proses bisnis
Pembuatan
rancangan
kebijakan
Pembuatan
rancangan
Prosedur
Kontrol
Keamanan
Kebijakan
Keamanan
Data
Prosedur
Keamanan
Data
190
mengajukan sebuah solusi dengan melakukan Manajemen Keamanan Data. Hasil akhir
dari Manajemen Keamanan Data berupa kebijakan dan prosedur keamanan data.
Hasil Penelitian
A. Mendefinisikan Kebutuhan Keamanan pada Proses Bisnis
SMA dan unit bina program melakukan pengamanan saat melakukan komunikasi
dan transfer data kebutuhan anggaran,
SMA/ Kantor Perwakilan NSO melakukan pengamanan atas akses terhadap aset
berupa kuesioner dan buku pedoman.
SMA/ Kantor Perwakilan NSO pengamanan atas akses terhadap aset data berupa
alokasi petugas pencacahan kegiatan survei/ sensus
191
Melakukan entri data, pengecekan kelengkapan dan validasi isian secara benar.
Pengamanan dan perlindungan kerahasiaan data saat pengiriman hasil entri data.
Pengamanan dan perlindungan kerahasiaan data atas raw data hasil entri.
SMA menjaga kerahasiaan data responden dalam raw data dan tabulasi.
SMA melakukan pengamanan atas akses terhadap raw data dan rencana tabulasi,
SMA memastikan bahwa pengolahan data dan analisis raw data dilakukan secara
benar,
SMA menjaga kerahasiaan data responden dalam raw data dan tabulasi.
192
SMA/ Unit diseminasi melakukan pengamanan atas akses terhadap hasil tabulasi
dan keluaran final,
SMA melakukan pengamanan saat pengiriman hasil tabulasi dan keluaran final
kepada unit diseminasi,
Unit diseminasi melakukan pengamanan terhadap hasil tabulasi dan keluaran final
yang ditampilkan di website dan perpustakaan.
SMA melakukan pengamanan atas akses terhadap data kegiatan survei/ sensus
dan data kepuasan pengguna data.
Pada analisa setiap proses bisnis statistik diatas, dapat diidentifikasi kebutuhan
keamanan data. Selanjutnya dibuat kebijakan yang dapat dijakdikan sebagai solusi
manajemen keamanan data. Kebijakan yang dibutuhkan dalam memberikan solusi
keamanan data adalah sebagai berikut:
kebijakan keamanan data yang mengatur keamanan data dalam setiap proses
bisnis statistik,
kebijakan yang mengatur dan menangani peran dan tanggung jawab setiap elemen
BPS dalam menjaga keamanan data pada setiap bisnis proses,
kebijakan yang mengatur dan menangani data pada saat proses bisnis terjadi yang
meliputi mengakses, memperbaharui, menggunakan, menyimpan dan menghapus,
kebijakan yang mengatur dan menangani data pada saat komunikasi terjadi antar
proses bisnis,
kebijakan yang mengatur dan menangani klasifikasi data menurut penggunaan dan
tingkat kerahasiaan,
kebijakan yang mengatur dan menangani akses data oleh pihak ketiga,
193
memilih dan menentukan kontrol keamanan yang dapat diaplikasikan pada setiap
tahapan proses bisnis. Kontrol keamanan dipilih dari ISO/IEC 27001 adalah meliputi:
Pengelolaan aset
Pengendalian akses
dengan
kontrol
keamanan
data
yang
diperlukan
NSO
dan
telah
PK08 Penggunaan Sumber Daya Sistem Informasi, akses Internet dan Email.
194
Diskusi
Evaluasi terhadap hasil penelitian dilakukan dengan tiga cara yaitu uji kelengkapan
hasil penelitian dengan kebutuhan dan kesesuaian dengan standar, uji kebijakan dalam
mencapai tujuan keamanan data dan Expert Judgement.
1) Uji kelengkapan hasil penelitian dengan kebutuhan dan kesesuaian dengan standar
Evaluasi ini digunakan untuk melihat dan membandingkan kebutuhan kebijakan
keamanan data dengan hasil penelitian yang dilaksanakan dan kesesuaian dengan
standar yang dipakai. Hasil evaluasi memberikan hasil bahwa kebutuhan manajemen
keamanan data di BPS dapat dipenuhi dengan menerapkan kebijakan keamanan data
yang sesuai dengan standar SNI ISO/IEC 27001.
2) Uji kebijakan dalam mencapai tujuan keamanan data
Uji ini dilakukan untuk mengukur tingkat kesuksesan kebijakan dan prosedur
keamanan data dalam melindungi tiga tujuan keamanan data, yaitu kerahasiaan data,
integritas data dan ketersediaan data. Untuk menilai kebijakan dan prosedur keamanan
data yang telah dibuat ini sukses dan berhasil, diperlukan penerapan pada organisasi.
Apabila ada kebijakan dan prosedur yang tidak berhasil dalam mencapai tujuan
mengamankan data, kebijakan dan prosedur harus diperbaiki.
Tetapi, untuk melakukan penerapan kebijakan dan prosedur memerlukan waktu
tersendiri, maka dalam penelitian ini digunakan asumsi bahwa semua kebijakan dan
prosedur dilakukan dengan baik oleh seluruh elemen organisasi maka dapat dinilai
keberhasilan kebijakan dan prosedur yang telah dibuat.
Hasil evaluasi memberikan hasil bahwa akan ada perbedaan antara proses bisnis
yang mengunakan kebijakan dan prosedur dengan proses bisnis yang tidak
menggunakan kebijakan dan prosedur keamanan data.
3) Expert Judgement
Hasil evaluasi dengan metode Expert Judgement terhadap hasil perancangan
kebijakan dan prosedur keamanan data menunjukan bahwa secara keseluruhan hasil
perancangan dinilai cukup baik dan jelas dalam mengatur keamanan data dalam setiap
proses bisnis.
195
Kesimpulan
Hasil evaluasi terhadap hasil penelitian yang dilakukan dengan tiga cara menunjukan
bahwa:
Kebijakan yang dibuat dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah keamanan data
di BPS dengan melindungi data dari ancaman keamanan sehingga kerahasiaan,
integritas dan ketersediaan data terjaga.
Dokumen kebijakan yang dibuat dalam penelitian ini telah mengikuti referensi yang
ada yaitu SNI ISO/IEC 27001:2009 dan kebijakan yang dirancang sudah meliputi
seluruh proses bisnis BPS,
References
A. F. Karr and A. P. Sanil. (2004). Data Quality and Data Confidentiality for Microdata:
Implications and Strategies. North Carolina: National Institute of Statistical
Sciences.
A. Nigam and M. Siponen . (2011). Designing Information Systems Security Policy
Methods: A Meta-Theoretical Approach.
Armoni, A. (2002). Data Security Management in Distributed Computer Systems.
Informing Science, 5(1), 19-28.
Badan Pusat Statistik. (2011). BPS Analysis Document, Version 3.1. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. (2012). Rencana Strategis Badan Pusat Statistik 2010 2014,
Review Kedua. Jakarta.
Blessing, L.T.M.; Chakrabarti, A. (2009). DRM, a Design Research Methodology. Verlag
- London: Springer.
Defacement Archive. (2013). Dipetik Juni 1, 2013, dari http://www.zoneh.org/archive/filter=1/domain=.BPS.GO.ID/page=1
Dey, M. (2007). Information Security Management - A Practical Approach. AFRICON, 16.
Direktorat Keamanan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2011).
Panduan Penerapan Tata Kelola Keamanan Informasi bagi Penyelenggara
Pelayanan Publik, Edisi 2. Jakarta.
Fundamental Principles of Official Statistics. (2013). Dipetik Juni 1, 2013, dari
http://unstats.un.org/unsd/dnss/gp/FP-New-E.pdf
G. T. Duncan, M. Elliot, and J.J. Salazar-Gonzlez, . (2011). Statistical Confidentiality:
Principles and Practice. New York: Springer.
J. Anttila, K. Jussila, J. Kajava and I. Kamaja. (2012). Integrating ISO/IEC 27001 and
other managerial discipline standards with processes of management in
196
197
Abstract
To implement internal control system, it must be done seriously by all government agencies at
both central and local levels. Moreover, it was mandated by Government Regulation Number 60
Year 2008 on Government Internal Control System (SPIP). This paper described some of the
ways government agencies disseminating the awareness of internal control through education
and training of SPIP. The outcomes of the training are expected not only to alumni of the training
but also delivered to other personnels in the unit of organization of training alumni through
promoting and disseminating the results of the training.
Keywords:
internal control, government internal control system, training and education, implementation,
dissemination
Corresponding author: Mohamad Syafrudin Bustomi, e-mail: masbustomi2013@gmail.com
A. PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang
Isu nasional yang mengemuka akhir-akhir ini antara lain adalah opini1 laporan keuangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang belum Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan
Terdapat lima opini/pendapat hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan
keuangan; yaitu (1) Wajar Tanpa Pengecualian/WTP (Unqualified Opinion), (2) WTP Dengan Paragraf
Penjelasan/WTP-DPP, (3) Wajar Dengan Pengecualian/WDP (Qualified Opinion), (4) Tidak Wajar/TW
(Adverse Opinion), dan (5) Tidak Menyatakan Pendapat/TMP (Disclaimer Opinion). Wajar Tanpa
Pengecualian merupakan opini peringkat tertinggi. Opini WTP adalah opini audit yang akan diterbitkan oleh
BPK jika laporan keuangan dianggap memberikan informasi yang bebas dari salah saji material. Jika
laporan keuangan diberikan opini jenis ini, artinya auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang
dikumpulkan, perusahaan/pemerintah dianggap telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku
umum dengan baik, dan kalaupun ada kesalahan, kesalahannya dianggap tidak material dan tidak
berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan.
198
hasil pemeriksaan lain2 yang dilakukan oleh BPK yang masih banyak memperlihatkan kelemahan
dalam pengelolaan keuangan negara/daerah, yang dapat menurunkan kepercayaan publik
terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola keuangan negara.
Mengacu pada hasil pemeriksaan BPK semester II tahun 20143, terdapat 7.950 temuan dari
651 laporan yang diterbitkan atas pemeriksaan pada pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
BUMD, serta BUMN dan Badan Lainnya.
Lebih lanjut, permasalahan-permasalahan yang disebabkan oleh kelemahan sistem
pengendalian intern (SPI) untuk tiga jenis pemeriksaan adalah sebanyak 2.482 kejadian, dengan
rincian kelemahan SPI pada pemerintah pusat sebanyak 421 buah; pada pemerintah daerah dan
BUMD sebanyak 1.810 buah, dan pada BUMN dan Badan Lainnya sebanyak 251 buah.
Kelemahan pada sistem pengendalian intern berdampak pada ketidakyakinan yang memadai
atas tercapainya tujuan instansi secara efektif dan efisien, ketidakandalan pelaporan keuangan,
pengamanan aset Negara/daerah yang kurang memadai, dan kekurangtaatan terhadap
peraturan yang berlaku.
A.2. Permasalahan
Upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan pengelolaan keuangan negara/daerah
yang disebabkan antara lain oleh kelemahan SPI ini adalah dengan menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
Peraturan
Pemerintah
tersebut
mewajibkan
seluruh
instansi
pemerintah
untuk
Sesuai dengan Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara, terdapat tiga jenis pemeriksaan, yaitu; (1) Pemeriksaan Keuangan/Pemeriksaan
atas Laporan Keuangan, (2) Pemeriksaan Kinerja, dan (3) Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu/PDTT.
Pemeriksaan Keuangan menghasilkan opini atas laporan keuangan. Pemeriksaaan Kinerja menghasilkan
temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. Sedangan PDTT menghasilkan kesimpulan.
3
Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK Semester II Tahun 2014 bulan Maret 2015.
199
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan (Pusdiklatwas) BPKP dan Perwakilan BPKP
di Provinsi berperan penting dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan SPIP. Pendidikan
dan pelatihan SPIP telah dilaksanakan beberapa kali yang disesuaikan dengan kalender diklat,
namun dari hasil evaluasi yang dilaksanakan penyelenggara diklat masih terdapat permasalahan
dan hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam penyelenggaran diklat SPIP ini antara lain;
diklat agar diarahkan ke implementasi SPIP dalam organisasi (lebih implementatif), materi/modul
diklat yang sulit dipahami dan sulit diimplementasikan di lapangan, dan adanya instruktur diklat
dalam menyampaikan materi membosankan/monoton.
1. Lingkungan pengendalian
2. Penilaian risiko
3. Kegiatan pengendalian
4. Informasi dan komunikasi
5. Pemantauan
Beberapa konsep dasar yang melekat dalam definisi SPIP tersebut, yaitu6:
1. Sistem pengendalian intern (SPI) merupakan komponen operasi organisasi atau kegiatan
yang terpasang secara terus-menerus (a continuos built-in component of operations)
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Penjelasan umum PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP.
6
Modul Implementasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah: Penyelenggaraan SPIP Integratif, Pusdiklatwas
BPKP, 2013.
5
200
Pada tingkat instansi, setelah melaksanakan berbagai kegiatan dalam tahap pemahaman,
dimulai dengan menilai kondisi sistem pengendalian yang ada. Penilaian dilakukan terhadap
keberadaan dan implementasi unsur lingkungan pengendalian. Hasil pemetaan akan
menunjukkan sub unsur yang telah diterapkan atau yang penerapannya belum memadai
atau sub unsur yang belum diterapkan.
2.
Hasil pemetaan atas kondisi lingkungan pengendalian dijadikan dasar dalam melakukan
penilaian risiko.
3.
Dasar pemikiran SPI adalah mengidentifikasi risiko dalam pencapaian tujuan instansi dan
mengelola risiko tersebut.
4.
Penilaian risiko yang dilakukan terhadap tujuan kegiatan sebagai dasar penentuan kebijakan
dan prosedur untuk mengelola risiko.
5.
Analisis terhadap hasil pemetaan atas kebijakan dan prosedur yang berisi kegiatan
pengendalian yang dipandang dapat mengurangi timbulnya risiko atau meminimalkan
dampaknya.
6.
Hasil pemetaan dapat memberi simpulan bahwa instansi pemerintah perlu membangun dan
mengembangkan kebijakan dan prosedur pengendalian.
7.
Dengan melakukan penilaian risiko dan merumuskan kebijakan serta kegiatan pengendalian
yang tepat, pimpinan dapat menentukan jenis informasi yang perlu dikomunikasikan kepada
pihak yang membutuhkan.
201
merupakan implementasi dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh instansi pemerintah yang
lebih tinggi maupun implementasi atas kebijakan yang ditetapkan instansi itu sendiri.
Penyelenggaraan SPIP di tingkat aktivitas menggunakan pendekatan analisis value chain,
yaitu dengan mengenal aktivitas utama dan aktivitas pendukung. Setiap instansi memiliki value
chain yang berbeda. Dengan demikian instansi pemerintah harus terlebih dahulu mengidentifikasi
kegiatan yang termasuk kegiatan yang utama yang dipandang penting dalam mencapai
tujuan/sasaran tingkat instansi pemerintah, dan yang termasuk kategori kegiatan penunjang.
C. PEMBAHASAN
C.1. Survey atas Pelaksanaan Diklat SPIP
Pendidikan dan Pelatihan SPIP merupakan salah satu diklat teknis substansi yang
diselenggarakan oleh Pusdiklatwas BPKP. Sebagai bahan analisis, penulis melakukan survey
atas pelaksanaan Diklat SPIP pada dua kementerian, yang untuk keperluan hasil analisis, dua
kementerian tersebut diberikan inisial Kementerian A dan Kementerian B. Pendidikan dan
pelatihan SPIP bagi pegawai di lingkungan Kementerian A dilaksanakan tanggal 6 sampai
dengan 10 Oktober 2014 yang dikiuti oleh 40 orang peserta, sedangkan Diklat SPIP bagi pegawai
di lingkungan Kementerian B dilaksanakan tanggal 13 sampai dengan 17 Oktober 2014 diikuti
oleh 64 orang peserta.
Materi-materi yang disajikan dalam diklat tersebut, antara lain; overview penyelenggaraan
SPIP, rencana kerja, konsep sub unsur lingkungan pengendalian, cara pengisian control
environment evaluation (CEE), analisis tujuan, tabulasi dan validasi CEE, rencana tindak
pengendalian (RTP) lingkungan pengendalian, konsep penilaian risiko, identifikasi risiko, analisis
risiko, konsep kegiatan pengendalian dan konsep informasi dan komunikasi, evaluasi dan
perumusan existing control, perumusan informasi dan komunikasi, penyempurnaan kebijakan,
konsep monitoring, serta monitoring penyelenggaraan SPIP dengan total 50 jam pelatihan
selama lima hari kerja.
202
Kementerian A maupun Kementerian B berasal dari seluruh Indonesia (unit kerja di kantor pusat,
kantor wilayah dan UPT di daerah) sehingga keterwakilan peserta cukup baik.
Kuesioner terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu profil responden dan mengenai sesi diklat
yang diikuti peserta. Bagian profil responden menjaring data-data umum peserta yang meliputi
jenis kelamin, umur (terbagi menjadi lima kategori usia), jabatan (terbagi menjadi kategori jabatan
struktural dan fungsional atau pelaksana), dan tingkat pendidikan peserta (terbagi menjadi lima
kategori pendidikan yaitu SLTA, diploma, sarjana/S1, magister/S2, dan doktoral/S3).
Terkait dengan sesi diklat, kuesioner terbagi menjadi dua bagian besar yaitu; diklat SPIP
sebelumnya
(3
pertanyaan),
dan
diklat
yang
berlangsung
saat
ini
(terdiri
dari
203
Profil Responden
Uraian
Kelompok I
Jumlah
%
Kelompok II
Jumlah
%
Jenis Kelamin
Pria
Wanita
Jumlah
23
10
33
70
30
100
33
25
58
57
43
100
4
20
9
33
12
61
27
100
2
13
25
12
6
58
3
22
43
21
10
100
Eselon II
Eselon III
Eselon IV
28
3
85
9
10
Fungsional/Pelaksana
Jumlah
2
33
6
100
52
58
90
100
Tingkat Pendidikan
SLTA
Diploma
Sarjana (S1)
Magister (S2)
Doktoral (S3)
Jumlah
8
25
33
24
76
100
14
3
33
7
1
58
24
5
57
12
2
100
Umur
II.
< 25 tahun
25 30 tahun
31 40 tahun
41 50 tahun
>51 tahun
Jumlah
Jabatan
Struktural
Dilihat dari jenis kelamin, mayoritas responden baik dari Kelompok I maupun
Kelompok II adalah pria dengan besaran 70% (Kelompok I) dan 57% (Kelompok II).
Menurut usia, Kelompok II lebih bervariasi dibandingkan dengan Kelompok I.
Mayoritas responden Kelompok II berusia antara 31-40 tahun, sedangkan responden
Kelompok I lebih senior dengan mayoritas berusia antara 41-50 tahun. Dengan kata
lain, dari sisi pengalaman kerja, Kelompok I rata-rata lebih lama dibandingkan dengan
Kelompok II.
Menyangkut jabatan, responden Kelompok I mayoritas pejabat struktural eselon III,
sedangkan responden Kelompok II lebih banyak sebagai fungsional/pelaksana
204
1.
Uraian
Pertanyaan/Pernyataan
Apakah Anda pernah mengikuti diklat SPIP sebelum diklat ini?
Ya
Tidak
Tidak Menjawab
Jumlah
2.
Kelompok II
Jumlah
%
4
28
1
33
12
85
3
100
2
56
58
3
97
100
4
29
33
12
88
100
11
47
58
19
81
100
32
1
33
97
3
100
2
54
2
58
3
93
3
100
3.
Kelompok I
Jumlah
%
Apakah Anda pernah mengikuti diklat SPIP selain yang diadakan oleh
BPKP?
Ya
Tidak
Tidak Menjawab
Jumlah
205
1.
Uraian
Pertanyaan/Pernyataan
Menurut saya suasana selama diklat kondusif sehingga materi diklat
Kelompok I
Jumlah
%
Kelompok II
Jumlah
%
1
5
26
1
33
3
15
79
3
100
1
5
51
1
58
2
9
88
2
100
2
2
28
1
33
6
6
85
3
100
5
3
50
58
9
5
86
100
2
30
1
33
6
91
3
100
1
4
53
58
2
7
91
100
1
2
29
1
33
3
6
88
3
100
4
11
43
58
7
19
74
100
2
31
33
6
94
100
8
49
1
58
14
84
2
100
1
9
23
33
3
27
70
100
32
26
58
55
45
100
Menurut saya materi dan modul diklat pada umumnya baru dan
informatif
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
Jumlah
3.
4.
5.
Menurut saya contoh kasus atau metode yang diberikan yang relevan
dengan pekerjaan sehari-hari sehingga peserta diklat memahami
materi diklat
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
Jumlah
6.
206
7.
4
9
19
1
33
12
27
58
3
100
27
31
58
47
53
100
207
b. 2 Instruktur/Widyaiswara
1.
2.
Uraian
Pertanyaan/Pernyataan
Menurut saya disiplin kehadiran instruktur sudah baik
Kelompok I
Jumlah
%
Kelompok II
Jumlah
%
Tidak Setuju
Cukup
Setuju
Tidak Menjawab
33
-
100
-
58
-
100
-
Jumlah
33
100
58
100
Tidak
Cukup
Ya
Tidak Menjawab
9
24
-
27
73
-
15
42
1
26
72
2
Jumlah
33
100
58
100
Tidak
Cukup
Ya
Tidak Menjawab
8
25
-
24
76
-
17
41
-
29
71
-
Jumlah
33
100
58
100
Tidak
Cukup
Ya
Tidak Menjawab
4
28
1
12
85
3
16
42
-
28
72
-
Jumlah
33
100
58
100
Tidak
Cukup
Ya
Tidak Menjawab
9
23
1
27
70
3
17
40
1
29
69
2
Jumlah
33
100
58
100
11
22
33
67
1
21
35
2
36
60
3.
4.
5.
6.
208
Tidak Menjawab
33
100
58
100
Tidak
Cukup
Ya
Tidak Menjawab
9
24
-
27
73
-
11
46
1
19
79
2
Jumlah
33
100
58
100
Jumlah
7.
8.
9.
Tidak
Cukup
Ya
Tidak Menjawab
15
18
-
45
55
-
1
17
39
1
2
29
67
2
Jumlah
33
100
58
100
7
25
1
21
76
3
14
42
2
24
72
3
Jumlah
33
100
58
100
209
memberikan penilaian tentang hal ini dengan level cukup; mayoritas responden, baik
dari Kelompok I (70%) dan Kelompok II (69%), memberikan penilaian sudah memadai.
Namun demikian, sebagian responden baik di Kelompok I dan II masih memberikan
penilaian cukup memadai untuk hal tersebut; sebagian besar responden baik
Kelompok I maupun Kelompok II menyatakan bahwa instruktur/widyaiswara telah
memberikan motivasi dan perhatian kepada peserta secara memadai. Namun demikian,
masih ada responden Kelompok I (33%) dan Kelompok II (36%) yang memberikan
penilaian cukup memadai; sebagian besar responden menyatakan bahwa para
instruktur/widyaiswara sudah memberikan waktu dan kesempatan yang memadai ke
peserta kepada peserta. Namun demikian, sebagian responden dari Kelompok I (27%)
dan Kelompok II (19%) masih memberikan penilaian cukup atas hal ini.
Selanjutnya , mayoritas responden kedua kelompok menyatakan bahwa pemberian
porsi latihan tersebut sudah memadai, namun demikian masih ada sebagian responden
dari Kelompok I (45%) dan Kelompok II (29%) yang memberikan penilaian cukup
memadai; Terkait dengan gaya/sikap dan perilaku instruktur/widyaiswara, mayoritas
responden di kedua kelompok menyatakan sudah baik. Namun demikian, masih
terdapat sebagian dari responden di Kelompok I (21%) dan Kelompok II (24%)
memberikan penilaian cukup untuk hal tersebut.
210
1.
Uraian
Pertanyaan/Pernyataan
Saya akan menyebarkan pengetahuan yang saya peroleh dalam diklat
Kelompok I
Jumlah
%
Kelompok II
Jumlah
%
2.
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
1
5
27
3
15
82
1
16
40
2
28
69
Jumlah
33
100
58
100
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
6
27
-
18
82
-
2
22
34
-
3
38
59
-
Jumlah
33
100
58
100
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
1
11
21
-
3
33
64
1
8
49
2
14
84
Jumlah
33
100
58
100
Tidak
Ragu-ragu
Ya
Tidak Menjawab
10
23
-
30
70
-
3
21
33
1
5
36
57
2
Jumlah
33
100
58
100
Tidak
Ragu-ragu
Ya
Tidak Menjawab
1
32
-
3
97
2
13
42
1
3
22
72
2
Jumlah
33
100
58
100
3.
4.
5.
211
6.
7.
8.
Tidak
Ragu-ragu
Ya
Tidak Menjawab
5
27
1
15
82
3
12
45
1
20
78
2
Jumlah
33
100
58
100
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
4
29
-
12
88
-
11
46
1
19
79
2
Jumlah
33
100
58
100
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
6
27
-
18
82
-
1
16
39
2
2
28
67
3
Jumlah
33
100
58
100
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
5
28
-
15
85
28
29
1
48
50
2
Jumlah
33
100
58
100
6
27
33
18
82
100
7
50
1
58
12
86
2
100
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
5
28
-
15
85
14
43
1
24
74
2
Jumlah
33
100
58
100
9.
212
12. Menurut saya tahap penilaian atas SPI yang ada dapat diterapkan di
unit organisasi saya
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
6
27
-
18
82
17
40
1
29
69
2
Jumlah
33
100
58
100
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
3
30
-
9
91
-
16
41
1
28
71
2
Jumlah
33
100
58
100
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
4
29
-
12
88
-
19
38
1
33
66
2
Jumlah
33
100
58
100
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
4
29
-
12
88
-
12
45
1
20
78
2
Jumlah
33
100
58
100
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
4
29
-
12
88
-
1
13
43
1
2
22
74
2
Jumlah
33
100
58
100
33
33
100
100
4
52
2
58
7
90
3
100
16. Menurut saya pelaporan hasil pemantauan harus dilakukan dan dapat
diterapkan di unit organisasi saya
17. Apakah Anda memerlukan diklat SPIP lebih lanjut untuk meningkatkan
kompetensi Anda dan meningkatkan kinerja unit organsasi Anda?
Tidak
Ya
Tidak Menjawab
Jumlah
213
Terkait dengan implementasi dan diseminasi hasil diklat, diperoleh hasil survey
sebagai berikut: mayoritas kedua kelompok setuju untuk menyebarkan pengetahuan
yang diperoleh dalam diklat kepada pegawai lain di unit kerja masing-masing.
Persentase responden yang menyatakan setuju diseminasi lebih besar di Kelompok I
(82%), sebaliknya responden yang menyatakan ragu-ragu diseminasi ada di Kelompok
II (28%); mayoritas kedua kelompok setuju untuk menjadi narasumber/pembicara
diseminasi di unit kerja masing-masing. Persentase responden yang menyatakan setuju
diseminasi lebih besar di Kelompok I (82%), sebaliknya responden yang menyatakan
ragu-ragu diseminasi ada di Kelompok II (38%); mayoritas kedua kelompok setuju
menyatakan bahwa materi diklat dan kesediaan menjadi narasumber berkorelasi dengan
pemahaman materi diklat. Persentase responden yang menyatakan setuju lebih besar
di Kelompok II (84%), sebaliknya responden yang menyatakan ragu-ragu lebih besar
pada Kelompok I (33%).
Selanjutnya, mayoritas kedua kelompok setuju materi diklat digunakan sebagai
referensi. Persentase responden yang menyatakan setuju lebih besar di Kelompok I
(70%), sebaliknya responden yang menyatakan ragu-ragu lebih banyak di Kelompok II
(36%); mayoritas kedua kelompok setuju menyatakan bahwa hasil diklat memfasilitasi
pelaksanaan tugas. Persentase responden yang menyatakan setuju lebih besar di
Kelompok I (97%), sebaliknya responden yang menyatakan ragu-ragu ada di
Kelompok II (22%); mayoritas kedua kelompok setuju menyatakan bahwa diklat
meningkatkan keterampilan dan kompetensi. Persentase responden yang menyatakan
setuju lebih besar di Kelompok I (82%), sebaliknya responden yang menyatakan raguragu lebih banyak pada Kelompok II (20%).
Kemudian, mayoritas kedua kelompok setuju menyatakan bahwa setelah diklat
terdapat peningkatan kinerja pelaksanaan kerja. Persentase responden yang
menyatakan setuju lebih besar di Kelompok I (88%), sebaliknya responden yang
menyatakan ragu-ragu ada di Kelompok II (19%); mayoritas kedua kelompok setuju
menyatakan penerapan materi diklat dalam pelaksanaan pekerjaan. Persentase
responden yang menyatakan setuju lebih besar di Kelompok I (82%), sebaliknya
responden yang menyatakan ragu-ragu diseminasi ada di Kelompok II (28%); mayoritas
kedua kelompok setuju penerapan penyelenggaraan SPIP Tingkat Entitas. Persentase
responden yang menyatakan setuju lebih besar di Kelompok I (85%), sebaliknya
responden yang menyatakan ragu-ragu ada di Kelompok II (48%); mayoritas kedua
214
215
dan
penggandaan modul. Konten modul/materi diupayakan menarik dan tidak membosankan serta
disesuaikan dengan levelling peserta diklat. Kelima, perlunya memperbanyak instruktur diklat
SPIP yang bersertifikat TOT dari unit kerja dan badan diklat lain sehingga SPIP tersosialisasi dan
terimplementasi lebih cepat.
216
DAFTAR PUSTAKA
Kasali, Rhenald. 2006. Change! Tak Peduli Berapa Jauh Jalan Salah yang Anda
Jalani, Putar Arah Sekarang Juga (Manajemen Perubahan dan Manajemen Harapan).
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lawson,
Karen.
2006.
The
Trainer
Handbook.
Penerjemah Wakhyudi.
217
abstrak
Salah satu kompenen dalam penilaian akreditasi A adalah peran tenaga pengajar
kediklatan (widyaiswara) yang mampu menunjukan pengalaman yang mendukung
penguasaan substansi, yang berperan sebagai konsultan, riset dan praktisi diluar
lembaga diklat. Serta kapasitas widyaiswara dalam pengembangan profesi melalui
penerbitan karya tulis ilmiah dalam bentuk buku, proceeding maupun jurnal ilmiah.
Serta hasil penyelenggaraan diklat berupa produk yang dihasilkan oleh penyelenggara
diklat, yakni yang dinilai dari kualitas produk yang dihasilkan oleh seluruh peserta
diklat kepemimpinan dan diklat prajabatan dalam mengimplementasikan proyek
perubahan maupun aktualisasi nilai-nilai diinstansinya. Widyaiswara sebagai agen
perubahan adalah individu/kelompok terpilih yang menjadi pelopor perubahan dan
sekaligus dapat menjadi contoh dan panutan dalam berperilaku yang mencerminkan
integritas dan kinerja yang tinggi di lingkungan organisasinya. Widyaiswara agen
perubahan bertanggung jawab untuk selalu mempromosikan dan menjalankan
keteladanan mengenai peran tertentu yang berhubungan dengan pelaksanaan peran,
tugas dan fungsi yang menjadi tanggung jawabnya.
Kata Kunci : Inovasi, Kepemimpinan, Widyaiswara, Agen Perubahan
Corresponding
author:
DR.
Hary
Wahyudi,
SH,
MSi:,
hary_wahyudi2003@yahoo.com
A.
E-mail:
Latar Belakang
Pada awal tahun 2016 Lembaga Administrasi Negara memberikan Akreditasi
kepada seluruh lembaga diklat instansi pemerintah dan Badan Diklat Jatim
mendapatkan nilai akreditasi A (sangat baik). Akreditasi merupakan penilaian dan
kelayakan lembaga dalam menyelenggarakan diklat kepemiminan II, III, IV dan diklat
prajabatan III , II dan I. Tujuan akreditasi adalah untuk meningkatkan mutu, efisiensi,
akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
Salah satu kompenen dalam penilaian akreditasi A adalah peran tenaga pengajar
kediklatan (widyaiswara) yang mampu menunjukan pengalaman yang mendukung
penguasaan substansi, yang berperan sebagai konsultan, riset dan praktisi diluar
lembaga diklat. Serta kapasitas widyaiswara dalam pengembangan profesi melalui
penerbitan karya tulis ilmiah dalam bentuk buku, proceeding maupun jurnal ilmiah
Serta hasil penyelenggaraan diklat berupa produk yang dihasilkan oleh
penyelenggara diklat, yakni yang
218
seluruh
peserta
diklat
kepemimpinan
dan
diklat
prajabatan
dalam
kepada user (instansi peserta) dan kepada stakeholder yang lebih luas, diseminasi
dilakukan dengan cara display, koleksi dan dokumentasi pada perpustakaan, upload
website, pameran dan alumni gathering.
Penelitian/pengkajian karya tulis ini didasarkan
pentingya meneliti/mengkaji promosi dan inovasi yang dilakukan oleh peserta Diklat
Kepemimpinan Tingkat III dan Tingkat IV sebagai peneguhan Badan Diklat Jawa Timur
sebagai pencetak agen perubahan.
Dewasa ini, tidak dapat dipungkiri bahwa kemauan berinovasi (willingness to
innovate) dan kemampuan berinovasi (ability to innovate) di lingkungan birokrasi
dirasakan masih rendah. Inovasi masih merupakan hal yang aneh, tidak disukai,
bahkan cenderung dihindari karena pandangan yang keliru bahwa inovasi merupakan
sesuatu yang tidak sejalan dengan kebijakan.
Kondisi ini tentu tidak dapat dibiarkan berjalan terus namun harus dihentikan dan
bahkan perlu dibalik. Kalangan birokrasi pemerintah perlu diyakinkan bahwa berinovasi
di sektor publik itu menyenangkan dan mudah dilakukan oleh pemimpin (pejabat)
pemerintahan.
Dalam sistem manajemen kepegawaian, pejabat struktural memainkan peranan
yang sangat menentukan dalam membuat perencanaan pelaksanaan kegiatan instansi
dan memimpin bawahan dan seluruh pemangku kepentingan stratejik untuk
melaksanakan kegiatan tersebut secara efektif dan efisien. Tugas ini menuntutnya
memiliki kompetensi kepemimpinan,yaitu kemampuan dalam
mempengaruhi serta
bertujuan
yaitu
penyelenggaraan
Diklat
yang
memungkinkan
peserta
mampu
219
Pokok Permasalahan
Sebagaimana
acuan/pedoman
Lembaga
Administrasi
Negara
perihal
Metodologi
Metodologi penelitian yang digunakan merupakan pilihan strategi dalam rangka
pengumpulan dan proses analisis terhadap bukti empiris. Oleh sebab itu, metode
penelitian yang digunakan dapat berupa metode kualitatif atau kuantitatif dengan teknik
pengumpulan data, baik melalui eksperimen, studi lapangan, maupun studi pustaka.
Namun dari dua piilihan metodologi tersebut, dipilih metodologi penelitian
kualitatif dalam melakukan penelitian/kajian, fakta diungkap secara obyektif, tidak bias
pada suatu kepentingan tertentu. Setelah itu hasil penelitian/kajian tersebut
diklasifikasikan secara sistematis.
Metode pendekatan dalam penulisan naskah ini merupakan totalitas cara kerja
yang dipakai
ditetapkan diatas. Metodologi dalam kajian/penelitian karya tulis ilmiah ini adalah
metode penelitian kualitif yang didasarkan pertanyaan penelitian yang telah
dirumuskan.
Metodologi penelitian/kajian tentang promosi dan inovasi proyek perubahan
peserta diklat dilakukan dengan pendekatan kajian kualitatif, yakni cara sistematik
yang digunakan peneliti dalam pengumpulan data yang diperlukan dalam proses
220
kualitatif yang
2.
3.
Deskripsi dan analisa penggalian ide dan pilihan gagasan rancangan inovasi
dengan peserta;
4.
Deskripsi dan analisa isi implementasi inovasi dengan peserta dan mentor;
5.
6.
makna,
menjalin
fokus
pada
proses
dan
peristiwa
secara
interaktif,
Social
Research
Methods:
Qualitative
and
Quantitative
mendasarkan pada realitas bersifat subjektif dan ganda sebagaimana terlihat oleh
partisipan dalam studi, Peneliti berinteraksi dengan yang diteliti, Sarat nilai dan bias,
Informal, Mengembangkan keputusan-keputusan Personal, Menggunakan bahasa
kualitatif,
Proses
induktif,
Faktor-faktor
dibentuk,secara
simultan,
Desain
D.
221
dilaksanakan pada tahun 2015, baik yang diselenggarakan di kampus Badan Diklat
Surabaya dan kampus Badan Diklat Malang yang diikuti peserta dari berbagai SKPD
pemerintah provinsi jawa timur dan SKPD dari kabupaten/kota provinsi jawa timur serta
peserta dari berbagai pemerintah/kota luar provinsi jawa timur.
Analisa datan penelitian/kajian karya tulis ilmiah ditujukan untuk mendapatkan
deskripsi penyebaran semangat kebaruan melalui promosi
Analisa Teoritik
Diseminasi (Bahasa Inggris: Dissemination) adalah suatu
kegiatan yang
ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mereka memperoleh informasi,
timbul kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi tersebut.
Diseminasi adalah proses penyebaran inovasi yang direncanakan, diarahkan, dan
dikelola.Diseminasi merupakan tindak inovasi yang disusun menurut perencanaan
yang matang, melalui diskusi atau forum lainnnya yang sengaja diprogramkan,
sehingga terdapat kesepakatan untuk melaksanakan inovasi.
Kata diseminasi memang jarang digunakan dalam percakapan atau penulisan
sehari-hari. Kata diseminasi lebih banyak digunakan atau menjadi "jargon" di kalangan
akademis (perguruan tinggi), misalnya "diseminasi hasil penelitian", atau di kalangan
instansi
pemerintah
(birokrasi),
misalnya
"diseminasi
hasil
pelatihan",
yakni
secara
khusus
diartikan
sebagai
penyebarluasan
informasi,
memperoleh
informasi,
timbul
222
kesadaran,
menerima,
dan
akhirnya
berkaitan
dengan
harga,kualitas,
223
syarat
pembeli,
kegunaan,
Promosi ini dimaksudkan untuk memberi pengaruh atau dorongan kepada pasar
agar membeli produk yang dipromosikan.
4.Mengingatkan
Hal ini ditujukan untuk mempertahankan suatu merk produk dihati masyarakat, agar
produk bertahan dipasar secara terus menerus.
E.2. Teori Inovasi
Hand Book Inovasi Administrasi Negara yang diterbitkan Lembaga Administrasi
Negara (2014), inovasi bukan lagi alternatif tetapi menjadi jalan utama yang harus
ditempuh untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, daya saing nasional, dan
meningkatkan kesejahteraan bangsa. Inovasi merupakan kunci untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, daya saing nasional, dan meningkatkan kesejahteraan
bangsa.
Teori inovasi dikemukakan oleh Djamaludin Ancok dalam bukunya Psikologi
Kepemimpinan & Inovasi (2007) sebagaimana dikutib dalam Hand Book Inovasi
Administrasi Negara (LAN,2014). Menurutnya, inovasi terdiri atas 8 jenis inovasi
yakni
proses,
metode,
teknologi,
produk,
konsep,
struktur,
hubungan,
F.
224
Fungsi Agen Perubahan adalah sebagai mata rantai komunikasi antar dua atau lebih
sistem yang mempelopori dengan sistem sosial yang menjadi klien dalam usaha
perubahan.
Peranan Utama
pemecahan
masalah,
Merencanakan
pentahapan
225
Tingkat III dan Tingkat IV Tahun 2015, dapat disajikan (sebagian) sebagai berikut :
DIKLAT KEPEMIMPIAN TINGKAT III Angkatan XXXV (APBD Prov Jatim), seminar
17 Nopember 2015.
No
Nama
Jabatan/
Instansi
3
1.
R. Henggar
Sulistiarto,
SH, MM
Biro Administrasi
Pembangunan
Setda Jatim
2.
Kartono
Umar, S.Pi,
MAP
UPT Pelabuhan
Tamperan Pacitan
Dinas Perikanan
dan Kelautan Prov
Jatim
3.
Riyama
Budiawati
Dinas Perikanan
dan Kelautan Prov
Jatim
4.
Endah
Kristiarni
UPT
Pengembangan
Budidata Laut
Situbondo
Dinas Perikanan
dan Kelautan
Prov Jatim
5.
Hari Susilo,
SP, MP
UPT Pembibitan
Hortikultura
Dinas Pertanian
Prov Jatim
Fachrudin
Dinas PU
Pengairan Prov
Jatim
UPT Pengelolaan
Sumber Daya Air
di Lumajang
Moch.Jusro
Biro Administrasi
Judul Proper
Percepatan Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa
melalui Aplikasi
Elektronik Pengadaan
Langsung (E-PL)
Peningkatan Pelayanan
di UPT Pelabuhan
Perikanan Tamperan
Pacitan melalui
Pembangunan Docking
Kapal
Program Sertifikasi Cara
Budidaya Ikan Yang
Baik (CBIB) melalui
Layanan Jemput Bola
Peningkatan Kaji
Terap dan Desiminasi
Teknologi Perikanan
Budidaya Laut
melalui Aplikasi
Imunostimulan pada
Pakan Pembenihan
Ikan Kerapu Macan
Percepatan
Penjuangan Bibit
Hortikultura melalui
Marketing Mix
Program Penguatan
Tebing Tanggul
Saluran Induk Sungai
Bondoyudo Melalui
Metode Vegetatif
(Penanaman Rumput
Vetiver)
Program Revitalisasi
226
Jenis
Inovasi
5
Jenis Promosi
Teknologi
Aplikasi
Sofware
Lelang
Sosialisasi Indoor,
Bimbingan Teknis
Metode
Perbaikan
Kapal
Nelayan
Proses
Layanan
Jemput Bola
Teknologi
Aplikasi
Campuran
Pakan
Sosialisasi indoor,
door to door
bimbingan teknis,
spanduk, benner,
leafet,
Metodologi
Bauran
Pemasaran
Produk
Sosialisasi indoor,
door to door
bimbingan teknis,
spanduk, benner,
leafet, media massa
cetak/koran, radio,
pameran, web site
Sosialisasi indoor,
door to door
bimbingan teknis,
Metode
Ramah
Lingkunga
n
Teknologi
Sosialisasi in door
No
Nama
2
n, S.Sos,
Msi
Jabatan/
Instansi
3
Kesmas Setda
Jatim
Dra. Endang
Sekar
Wulan, MM
Imam
Asyari, MT
UPT Laboratorium
Uji Kualitas Air
dan Mineral
Dinas ESDM Prov
Jatim
Judul Proper
4
Perpustakaan Islamic
Center Berbasis IT
Peningkatan Kualitas
Pelayanan Informasi
Melalui Penyebaran
Kliping Media Cetak
kepada SKPD dengan
Sistem Digiltalisasi
Program Promosi
Layanan Jemput Bola
Laboratorium Dinas
ESDM
Jenis
Inovasi
5
Aplikasi
Sofware
Perpustakaan
Jenis Promosi
6
dan bimbingan teknis
Teknologi
Dokumentasi
dan
Informasi
Proses
Layanan
Jemput Bola
Sosialisasi indoor,
bimbingan teknis,
spanduk, benner, leafet,
gathering, web site
DIKLAT KEPEMIMPIAN TINGKAT III Angkatan XXXI (Kabupatan/Kota) seminar 6 Oktober 2015.
No
Nama
Jabatan/Instansi
Judul Proper
Jenis
Jenis Promosi
Inovasi
1
2
3
4
5
6
10 Amiruddin,
Kecamatan Proppo
10 Menit Pelayanan
Proses
Sosialisasi indoor,
S.Sos, M.Si
Kabupaten
Adiministrasi Terpadu
layanan
spanduk, banner
Pamekasan
Kecamatan (PATEN)
Paten maks.
dan Tanpa Biaya
10 Menit
(Gratis)
11
Sri Puja
Badan Kepegawaian
Program Pelayanan
Proses
Sosialisasi indoor,
Astutik, SE
Daerah Kabupaten
Administrasi
layanan
spanduk, banner
Pamekasan
Kepegawaian Daerah
Pegawai
Terpencil
Terpencil
12
Ulung
Balitangda
Penanganan Limbah
Teknologi
Sosialisasi indoor,
Sedjati
Kabupaten Pasuruan
Batik di Desa Klampar
Tepat Guna
outdoor, spanduk,
Wirjawan,
Kec Proppo Kab
Limbah
banner
ST
Pamekasan
13
Ir.Moh.
Dinas Perikanan dan
Teknologi Geoisolator
Teknologi
Sosialisasi indoor,
Istamam,
Kelautan Kabupaten
untuk Mewujudkan
Tepat Guna
outdoor, spanduk,
Msi
Pamekasan
Swasembada Petani
Pengolahan
banner
Garam di Pamekasan
Garam
14
Arifani
Dinas Pendapatan,
Program Extra Service
Proses
Sosialisasi indoor,
Yahya, SH
Pengelolaan
dalam rangka
Pelayanan
outdoor, spanduk,
Keuangan dan Aset
Percepatan Pencairan
Publik
banner, Koran, Mobil
Kota Mojokerto
Tunggakan Pajak dan
secara Extra
keliling, Konfrensi Pers
Bangunan di Kota
berupa
Mojokerto
pembebasan
denda
administrasi
15
Dra. Ec.
RSUD Ibnu Sina
Smart Card Pelayanan
Teknologi
Sosialisasi indoor,
Anna Sri
Kabupaten Gresik
Kesehatan di RSUD
Kartu
spanduk, bimbingan
Asih, M.Ak
Ibnu Sina Kabupaten
Pembayaran
teknis
Gresik
16
Hidayatul
Badan KB dan PP
Mewujudkan Best
Hubungan
Sosialisasi indoor,
Muslimah,
Kabupaten Gresik
Practices Kelompok
sumber daya
spanduk
SKM, MM
Bina Keluarga Balita
secara
Holistik Integratif di
holistik
Kabupaten Gresik
integratif
17
Drs. Nur
Badan Kepegawaian
Pelayanan
Teknologi
Sosialisasi indoor,
Hariyanto
Daerah Kota
Kepegawaian secara On
Aplikasi
spanduk, bimbingan
Mojokerto
Line
Software on
teknis
line
227
No
Nama
Jabatan/Instansi
Judul Proper
1
18
2
Moh.
Nadlelah, SP,
M.Si
3
Kecamatan Manyar
Kabupaten Gresik
19
dr.
Mukhibatul
Khusnah,
MM
Dinas Kesehatan
Kabupaten Gresik
4
Implementasi Desa
Model Penerapan
APBD Desa sesuai UU
Desa
Menggali Potensi dan
Partisipasi Masyarakat
dalam upaya Promosi
Preventif Pengendalian
Penyakit Tidak Menular
Jenis
Inovasi
5
Metode
penyusunan
APBD Desa
Hubungan
sumber daya
pembentukan
kelompok
partisipatif
Jenis Promosi
6
Sosialisasi indoor,
spanduk, bimbingan
teknis
Sosialisasi indoor, door
to door bimbingan
teknis, spanduk, benner,
leafet, media massa
cetak/koran, radio
DIKLAT KEPEMIMPIAN TINGKAT III Angkatan XXXVII (Kota Pasuruan) seminar 1 Desember 2015.
No
Nama
Jabatan/Instansi
Judul Proper
Jenis
Jenis Promosi
Inovasi
1
2
3
4
5
6
20
Yudhi
Bagian Hukum
Penerbitan Peraturan
Produk
Sosialisasi indoor,
Harnendro,
Setda Kota
Walikota Pasuruan
Peraturan
spanduk, bimbingan
SH, Msi
Pasuruan
Tentang Pedoman
Perundangteknis legal drating
Pembentukan Peraturan
undangan
Walikota dan
Daerah
Keputusan Walikota
21
dr. Hendra
Dinas Kesehatan
Model Poliklinik
Pembentuka
Sosialisasi indoor,
Romodhon
Kota Pasuruan
Terpadu Empati (Empat
n struktur
spanduk
Upaya Sehat Jiwa) di
organ
Puskesmas
Poliklinik
22 dr.Sudarmant
RSUD
Peningkatan Pelayanan
Teknologi
Sosialisasi indoor
o
dr.R.Soedarsono
RSUD dr.
Aplikasi
Kota Pasuruan
R.Soedarsono melalui
Sofware RS
Pengembangan Sistem
Informasi Manajemen
RS
23 Mansur, S.Pt Dinas Pemuda Olah
Penyampaian Informasi
Teknologi
Sosialisasi indoor,
Raga dan
Cagar Budaya Berbasis
website
spanduk, banner,
Kebudayaan Kota
Menu/Kontain pada
televisi, media masa
Pasuruan
Website Pemerintah
cetak/koran, leafet
Kota Pasuruan
24
Imam
Badan Penanaman
Percepatan Proses
Teknologi
Sosialisasi indoor,
Subekti,
Modal dan
Penyelesaian Perijinan
Aplikasi
spanduk, banner,
S.Sos, MM
Pelayanan Perijinan
melalui Software
Software
cetak/koran, leafet
Terpadu Kota
Aplikasi Si-Cepat
perijinan
Pasuruan
25 Sunarno, SH
Dinas Pemuda Olah
Penanganan Anak
Hubungan
Sosialisasi indoor,
Raga dan
Jalanan melalui
sumber daya
spanduk
Kebudayaan Kota
Pendekatan Persuasif
secara
Pasuruan
dan Pendampingan
persuasif
26
Fendi
Dinas Pendapatan
Fasilitasi Pembukuan
Teknologi
Sosialisasi indoor,
Krisdiyono,
Kota Pasuruan
dan Pelaporan
Aplikasi
spanduk, banner, door
SP, MP
Pembayaran Pajak
Software
to door, media masa
Restoran secara On
pembayaran
cetak/koran, leafet
Line di Kota Pasuruan
pajak daerah
on line
27
Sri Rejeki
Dinas Pendapatan
Penyampaian Informasi
Metode
Spanduk, SMS, WA,
Andayani,
Kota Pasutuan
Pelayanan Bea
Penyampaia
Website, Koran,
S.Sos
Perolehan Hak atas
n Informasi
Sosialisasi indoor
Tanah dan Bangunan
Pajak
(BPHTB) melalui
Daerah
Media Sosial
Masyarakat
28
dr.Shierly
Dinas Kesehatan
Pembentukan Pilot
Pembetukan
Spanduk, Sosalisasi
228
29
Marlena
Kota Pasuruan
Project Poliklinik
Sanitasi di Puskesmas
Drs. Yohanes
Kasirin,
S.Pd, MM
Peningkatan Peran
Pemuda dalam
Pembangunan melalui
Workshop Wawasan
Pemuda pada Siswa
SLTA di Kota Pasuruan
struktur
organ
Puskesmas
Metode
Worskshop
plus
aktualisasi
nilai
kebangsaan
indoor, outdoor
Sosialisasi outdoor,
koran, spanduk
Zulkifli,
S.Sos
Inspektorat Provinsi
Kalimantan Utara
31
Anang Dwi
Candra, ST
DPU dan TU
Provinsi Kalimantan
Utara
32
M. Faizal,
ST
Bappeda Kabupaten
Paser Prov
Kalimantan Utara
33
Brimadi, ST
34
Herman, ST
Badan Lingkungan
Hidup Provinsi
Kalimantan Utara
F.2
Peningkatan Pelayanan
Konsultasi melalui
Layanan Online pada
Blog Inspektorat
Kaltara.Blogspot.Com
Peningkatan Partisipasi
Swasta/BUMN/BUMD
dalam Memaksimalkan
Fungsi Ruang Terbuka
Hijau Kota Tanjung
Selor melalui
Kemitraan dengan DPU
dan TU Kaltara dan
Dinas Kebersihan
Pertamanan
Pemakaman PMK
Kabupaten Bulungan
Meningkatkan Kualitas
Penyusunan Anggaran
melalui Juknis Sistem
Evaluasi Perencanaan
Infrastruktur
Manual Operasi
Pemeliharaan Jaringan
Reklamasi Rawa
Pasang Surut
Penyusunan SOP
Pengelolaan Barang
dalam rangka
Meningkatkan
Efektifitas Pengelolaan
Barang
Metode
Layanan
Online
Sosialisasi indoor
Hubungan
Sumber
Daya antar
Governance
Sosialisasi indoor,
spanduk, banner, door
to door
Proses
Layanan
sesuai Juknis
Sosialisasi indoor
Proses
Pemeliharaa
n sesuai
Manual
Operasi
Proses
Pengeloaan
Barang
sesuai SOP
Sosialisasi indoor,
outdoor, spanduk,
banner
Sosialisasi indoor,
outdoor, spanduk,
banner
229
5.Publikasi (publlicity).
NO
JENIS PROMOSI
JUMLAH
PERWUJUDAN
Iklan
2 2.4
Kolam Koran
Tatap Muka
12 14.4
Door to door
Penjualan
2 2.4
Sosialisasi
43 51.9
Pertemuan
Publikasi
24 28.9
JUMLAH
83 100%
Pameran, pemesanan
Promosi yang dilakukan oleh peserta diklat kepemimpinan dilakukan secara berbauran
antar jenis promosi, kemudian dilakukan yang paling nampak dilakukan pemilihan dan
disesuaikan dengan kontensi proyek perubahan yang dilakukan.
JENIS INOVASI
Proses
Metode
Produk
Konseptual
Teknologi
Struktur Organisasi
Hubungan
Pengembangan SDM
Lainnya
JUMLAH
JUMLAH
23
16
1
27
2
13
1
83
230
PERWUJUDAN
Aplikasi
Penambahan organ
Pendampingan
Worskshop
Inovasi yang dilakukan oleh peserta diklat kepemimpinan dilakukan secara berbauran
antar jenis inovasi, kemudian dilakukan pemilihan yang paling nampak dilakukan dan
disesuaikan dengan kontensi proyek perubahan yang dilakukan.
G.
Kesimpulan
Widyaiswara sebagai agen Perubahan yang merupakan individu atau kelompok
anggota organisasi dari tingkat pimpinan sampai dengan staf yang dapat dapat
menggerakan perubahan pada lingkungan kerjanya dan sekaligus dapat berperan
sebagai teladan bagi setiap individu organisasi yang lain dalam berperilaku sesuai
dengan nilai-nilai yang dianut organisasi.
Individu yang ditunjuk sebagai Agen Perubahan bertanggung jawab untuk selalu
mempromosikan dan menjalankan keteladanan mengenai peran tertentu yang
berhubungan dengan program yang menjadi tanggung jawabnya.
DAFTAR PUSTAKA
W. Lawrence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches,(Needham Heights, MA: Allyn& Bacon, 1997), hlm. 14
John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches,
(California: Sage Publications, Inc, 1994), hlm. 5.
Djamaludin, Ancok. 2012. Psikologi Kepemimpinan & Inovasi. Jakarta: Erlangga
Handbook Inovasi Administrasi Negara, LAN 2014, Penulis Tim Pusat Inovasi Tata
Pemerintahan, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta
Menurut Rogers dan Shoemaker dalam Nasution (2014),
Peraturan Perundangan-undangan:
PermenPAN dan Reformasi Birokrasi ( Permen PAN & RB ) Nomor 11 Tahun 2015
tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019
PermenPAN dan RB No 27 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Agen
Perubahan di Instansi Pemerintah
231
232
Abstrak
Dari tahun ke tahun target penerimaan pajak senantiasa meningkat, begitupun realisasi
penerimaan pajak secara nominal selalu meningkat. Sekalipun demikian, data menunjukkan
bahwa sejak tahun 2009 hingga tahun 2015 target penerimaan pajak tidak tercapai.
Sementara itu kebutuhan belanja negara terus bertambah. Pajak merupakan sumber utama
penerimaan negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang porsinya
saat ini telah mencapai sekitar 80%. Tax ratio (proporsi antara penerimaan pajak dan Produk
Domestik Bruto (PDB)) yang merupakan salah satu indikator suksesnya penerimaan pajak,
pada tahun 2010 baru mencapai 11,30%, tahun 2011 meningkat menjadi 11,80% dan tahun
2012 mencapai 12,25%, namun menurun menjadi 11,86 % pada tahun 2013 dan turun lagi
menjadi 11,36% pada tahun 2014. Menurunnya tax rasio menunjukkan kinerja pajak yang
kurang optimal. Akibat tidak tercapainya target penerimaan pajak maka salah satu jalan
yang dilakukan pemerintah untuk menutup defisit anggaran adalah dengan menambah
utang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Utang yang terus meningkat tentu
mengkhawatirkan. Besarnya rasio defisit anggaran terhadap PDB pada tahun 2010 hanya
mencapai 0,73%, naik menjadi 1,14% pada tahun 2011, 1,83% pada tahun 2012, naik lai
menjadi 2,33% pada tahun 2013, dan tahun 2014 sedikit turun menjadadi 2,15.%. Nilai rasio
defisit anggaran tersebut masih berada dibawah ketentuan Undang-undang Keuangan
Negara yang menetapkan bahwa besarnya rasio defisit anggaran terhadap PDB maksimal
3%. Dari penelitian yang dilakukan terhadap data penerimaan pajak dan defisit anggaran
tahun 2010-2014 ini disimpulkan bahwa pajak masih memiliki ruang untuk dioptimalkan baik
melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi perpajakan, agar tax ratio meningkat sejajar
dengan negara-negara Asia Tenggara. Defisit anggaran masih memungkinkan untuk
ditambah,utang Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan kebanyakan negara lain,
kebutuhan pembangunan cukup besar. Namun demikian pemerintah harus berhati-hati
dalam menetapkan kebijakan karena jika pajak terus digenjot maka bisa berefek
kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian pula jika defisit terus membesar
dan utang membengkak maka dapat menyulitkan keuangan negara.
Key words: Indonesia National Budget, tax ratio, debt, defisit of budget, Gross
National Product
Corresponding author: Aniek Juliarini, E-mail: ajuliarini@gmail.com;Tatan Jaka
Tresnajaya, E-mail: tatan.jaka@gmail.com
233
Pendahuluan
Dari tahun ke tahun target dan realisasi penerimaan pajak senantiasa meningkat.
Porsi penerimaan perpajakan sebagai sumber pendapatan Negara semakin besar,
seiring menurunnya peran hasil minyak bumi. Sejak tahun 2007 hingga tahun 2015
target penerimaan pajak tidak pernah tercapai kecuali pada tahun 2008 yang dapat
mencapai 108,12%. Tax ratio yang merupakan perbandingan antara penerimaan pajak
dengan Produk Domestik Bruto (PDB), yang merupakan salah satu tolok ukur kinerja
penerimaan pajak, belum mencapai angka seperti yang diharapkan. Pada tahun 2011,
tax ratio Indonesia baru mencapai sekitar 11,77% dan masih di bawah kebanyakan
negara-negara di Asia Tenggara yang rata-rata mencapai 12,24% (Setjen DPR RI).
Rendahnya tax ratio mengindikasikan bahwa masih terdapat peluang untuk
meningkatkan penerimaan pajak. Realisasi penerimaan pajak tahun 2007--2013 dapat
dilihat pada Grafik 1.
Grafik 1. Realisasi penerimaan pajak terhadap target tahun 20072013
penerimaan utama Negara yang saat ini telah mencapai lebih dari 80% dari
pendapatan Negara tidak tercapai, maka defisit anggaran akan melebar. Rasio antra
defisit anggaran terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
234
Penelitian Terdahulu
Nasir, Muhammad (2014) melakukan penelitian Analisis Daya Bayar Utang Luar
Negera menyimpulkan bahwa Indonesia dapat menjadi mendekati kondisi insolvency
regarding pada kemampuan bayar pada utang luar negeri. Hal itu dapat dilihat dari
enam indikator yang ada, Indonesia memiliki dua indikator yang buruk yaitu pada
indikator rasio utang luar negeri terhadap ekspor yang pada tahun 2012 mencapai
34,92% , berada di atas DSF Treshold sebesar 20%, dan rasio antara PV utang luar
negeri terhadap rencana penerimaan yang hanya mencapai 150,8%, berada di bawah
DSF treshold sebesar 250%. Indonesia yang memiliki defisit anggaran, yang jika terjadi
terus menerus, dapat menyebabkan gagal bayar.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN Setjen DPR RI (2014)
menuliskan bahwa tax ratio Indonesia masih berada di urutan terbawah dalam G20.
Untuk bisa setara dengan negara-negara berkembang di dunia, Indonesia perlu
mencapai tax ratio 20%. Namun hal ini tidak bisa dicapai secara cepat perlu waktu
sekitar 4-5 tahun, bahkan jika Indonesia masih terus mengalami krisis bisa perlu waktu
8 tahun. Melihat hal tersebut maka perlu dilihat kembali adanya kecenderungan
gagalnya pencapaian target penerimaan pajak dan gejala meningkatnya defisit
anggaran sehingga berpotensi melonjaknya utang pemerintah.
Kajian ini menganalisis bagaimana perkembangan penerimaan pajak periode
20102014 dan bagaimana perkembangan defisit anggaran sebagai efek dari
penerimaan pajak serta mengkaji perkembangan utang pemerintah sebagai efek dari
adanya defisit anggaran.
235
Metodologi
A. Kerangka teori
1.
Selain penerimaan
II.
Belanja Negara
a. Belanja Pemerintah Pusat
b. Transfer ke Daerah
III.
Surplus/deficit Anggaran
IV.
Pembiayaan
a. Pembiayaan dalam negeri
b. Pembiayaan luar negeri
V.
236
dan
pengembangan
tujuan
lain, bahkan
model-model
ekonomi
digunakan
dalam
sebagai
dasar
kebijakan, tingkat peredaran uang, penetapan pajak, kajian ekspor dan impor dsb.
Sampai saat ini, penghitungan PDB Indonesia dilakukan melalui dua pendekatan,
yaitu dari sisi lapangan usaha (industry) dan sisi pengeluaran (expenditure).
Pendekatan dari sisi lapangan usaha menjelaskan agregat PDB yang terkait
dengan penciptaan nilai tambah, yang dihasilkan oleh berbagai lapangan
usaha atau industri. Sebagian besar nilai tambah ini merupakan sumber
pendapatan bagi masyarakat, baik dalam bentuk upah dan gaji, pendapatan
kapital, serta pendapatan atas pemilikan faktor produksi lain. Pendekatan dari sisi
pengeluaran menjelaskan pengeluaran pendapatan baik untuk aktivitas konsumsi
akhir dan investasi riil. PDB penggunaan merupakan ukuran dasar (basic
measure) atas penggunaan produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan
melalui
proses
produksi.
Dalam
konteks
tersebut,
ukuran
PDB
dapat
menggambarkan aktivitas dan hasil akhir dari suatu proses produksi yang
berlangsung
di
dalam
batas-batas
teritori
suatu
negara
atau
wilayah.
237
ekspor dan impor. Berbagai jenis barang dan jasa akhir tesebut, ditujukan
untuk memenuhi permintaan akhir berbagai pelaku atau sektor ekonomi
domestik maupun luar negeri. Penghitungan PDB
melalui
pendekatan
dilakukan
untuk mendapatkan
barang
dan
jasa
yang
diproduksi
3. Tax Ratio
Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang utama. Secara nominal, dari
tahun ke tahun jumlah penerimaan pajak senantiasa meningkat, seiring dengan
peningkatan target penerimaan. Namun demikian, jika dibandingkan dengan PDB,
nampaknya penerimaan pajak serasa jalan di tempat. Secara garis besar, PDB
merupakan jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian.
PDB bisa pula dilihat sebagai seluruh penghasilan yang diproduksi di dalam suatu
negara. Dengan demikian PDB pada hakikatnya adalah potensi dasar pemungutan
pajak. Oleh karena itu seiring dengan meningkatnya PDB Indonesia, penerimaan
pajak juga diharapkan meningkat. Hal ini diejawantahkan dengan peningkatan tax
ratio, yang merupakan nisbah antara penerimaan pajak dengan PDB. (Kristian
Agung Prasetyo, 2014).
PENERIMAAN PAJAK
TAX RATIO = ---------------------------------------------PRODUK DOMESTIK BRUTO
238
dapat
mengusahakan peningkatan
faktor
eksternal
maupun
positif
terhadap
meningkatnya pendapatan
masyarakat
dan
pendapatan
B.
METODE PENELITIAN
239
Hasil
Berdasarkan data yang diperoleh, perkembangan PDB berdasarkan harga
berlaku tahun Seri 2000, realisasi belanja negara, realisasi penerimaan pajak
pusat, defisit anggaran, dan besarnya tax ratio serta proporsi antara defisit
anggaran dengan PDB adalah sebagaimana Tabel 1.
Tabel 1. Data PDB, belanja negara, penerimaan pajak, tax ratio, dan defisit anggaran
tahun 20102014
2010
2011
2012
2013
2014
RERATA
TAHUN
REALISASI PERTUMBUHAN REALISASI PERTUMBUHAN REALISASI PERTUMBUHAN REALISASI PERTUMBUHAN REALISASI PERTUMBUHAN
PDB
BELANJA NEGARA
PENERIMAAN PAJAK
DEFISIT ANGGARAN
TAX RATIO (%)
DEFISIT/PDB (%)
6.446.900
114,85% 7.419.200
1.042.120
111,17% 1.295.000
723.307
116,68% 873.874
46.850
52,87%
84.400
11,30
46,03%
11,80
104,42%
12,50 105,93%
0,73
81,32%
1,14
156,54%
1,86 163,72%
115,08% 8.230.900
110,94% 9.087.280
110,40% 10.094.930
111,09%
124,27%
115,17%
110,67%
107,67%
120,82%
1.491.410
980.518
180,15% 153.300
112,20%
1.650.560
1.077.307
181,64% 211.670
109,87%
1.777.180
1.146.866
106,46%
138,08%
226.690
107,10%
11,86
94,88%
11,36
95,78%
2,33
125,06%
2,25
96,41%
REALISASI
PERTUMBUHAN
8.255.842,00
112,47%
1.451.254,00
113,79%
960.374,40
113,21%
144.582,00
131,96%
11,76
89,41%
1,66
124,61%
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa capaian PDB pada tahun 2010 mengalami
pertumbuhan 114,85% dari tahun 2009, pada tahun 2011 tumbuh 115,08% dari
tahun 2010, tahun 2012 tumbuh 110,94 dari tahun 2011, tahun 2013 tumbuh
110,40% dari tahun sebelumnya, dan PDB tahun 2014 tumbuh 111,09% dari
tahun 2013. Pertumbuhan PDB pada tahun 20102014 rata-rata mencapai
112, 47% per tahun .
Realisasi anggaran belanja negara pada tahun 2010 mengalami pertumbuhan
111,17% dari tahun 2009, pada tahun 2011 tumbuh 124,27% dari tahun 2010,
tahun 2012 tumbuh 115,7% dari tahun 2011, tahun 2013 tumbuh 110,67% dari
tahun sebelumnya, dan belanja negara tahun 2014 tumbuh 107,67% dari tahun
240
2013.
Diskusi
1. Tax ratio
Pertumbuhan penerimaaan pajak pada tahun 20102014 rata-rata mencapai
Rp960.374, 40 milyar. Perbandingan antara penerimaan pajak dan PDB (tax
ratio) rata-rata hanya mencapai 11,76%.
241
242
243
APBN mengingat kondisi ekonomi dunia dan ekonomi nasional yang kurang
mendukung penerimaan pajak.
Defisit anggaran akan dapat meningkatkan jumlah utang pemerintah. Data
Statistik Utang Sektor Publik .(SUSPI) Tahun 2014 menunjukkan adanya
kecenderungan jumlah utang yang terus meningkat, terutama pada tahun 2014.
Rasio utang sektor publik konsolidasi terhadap Produk Domestik Bruto tahun
2010-2014 ditunjukkan oleh Grafik 5.
Grafik 5. Rasio utang sektor publik konsolidasi terhadap Produk
Domestik Bruto
menjadi 25,5% dan terus naik hingg 29,9% pada tahun 2013 hingga 47,3%
pada tahun 2014. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, utang
Indonesia masih relatif lebih kecil. Bahkan negara-negara kaya dan besar pun
memiliki rasio utang yang besar. Rasio utang terhadap PDB yang besar tidak
selalu buruk jika utang tersebut dipergunakan dengan benar sehingga dapat
meningkatkan perekonomian (PDB), meningkatkan ekspor (perolehan devisa),
dan sebagainya Jika dilihat perkembangan utang tahun 2005 dan 2015 maka
perbandingannya sebagaimana Grafik 6.
244
245
mensyaratkan rasio defisit anggaran terhadap PDB maksimal 3%. Angka defisit
dalam periode 20102014 masih berada di bawah angka maksimal, dan
berada di bawah Namun demikian, pemerintah tetap harus berhati-hati karena
jika defisit semakin besar akibat tidak tercapainya target penerimaan pajak dan
sumber-sumber pendapatan negara lainnya, maka
dipergunakan
perekonomian
(PDB),
dengan
benar
meningkatkan
sehingga
ekspor
dapat
(perolehan
meningkatkan
devisa),
dan
sebagainya
Keterbatasan Penelitian
Karena sempitnya waktu penelitian maka pada penelitian ini belum dilakukan
pengukuran indikator-indikatator tingkat keamanan nilai utang. Supaya lebih
sempurna, penelitian berikutnya dapat mengukur tingkat keamanan nilai utang
misalnya dengan mengukur Debt Service Ratio (DSR), dan lain-lain. Kesulitan
dalam memeroleh data yang lengkap, konsisten, dan mudah diolah merupakan
kendala dalam penelitian ini.
246
Daftar Pustaka
Nasir, Mohamad. 2014 Solvency Analysis on Indonesias External Debt Analisis
Daya Bayar Utang Luar Negeri Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan.
Volume 18 No. 2 Juli 2014 hal: 99118.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan
Republik Indonesia. (2016). Profil Utang Pemerintah Pusat (Pinjaman dan
Surat Berharga Negara) EDISI Februari 2016.
Setjen DPR RI. (2014). Meningkatkan Tax Ratio Indonesia. Diunduh dari
http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/apbn_Meningkatkan_Tax_Ratio_Indo
nesia20140602100259.pdf tanggal 17 Maret 2016
247
tentang Anggaran
248
Escherichia
Norwalk
coli,
virus,
coli,
Montezumas
rotavirus,
clostridium,
revenge,
Giardia,
vomiting,
giardiasis,
249
METHODOLOGY
Narative-descriptive method was using to compose this literature review. This
literature review was written by using simple terms and it can be understand by
health workers, health practitioners, and community.
The references were taken from research literatures, popular literatures, and
internet. This references were collected, validity tested, and written selected within
15 years. More of them were collected from popular literatures, as compared with
research literatures or textbooks. Therefore, this literature review contained
applicable matter according to food poisoning assessment, treatment, and
prevention.
RESULT
A.
250
One that should be concern is to separate food poisoning with food spoilage.
Food spoilage means food decays or goes off, due to the micro-organisms that always
exist in food; they are not necessarily the bacteria that cause food poisoning. The signs
that food is spoiling are:
1. Odours - "off odours" are smells (sometimes like rotten eggs) that are produced
when bacteria break down the protein in food, (usually fatty foods). This process
is called putrefaction. Taints due to flavour change may also occur.
2. Sliminess - Food becomes slimy as the bacterial population grows.
Moulds may also form slimy whiskers.
3. Discoloration - Foods can become discolored by microbial growth.
Some moulds have colored spores that give the food a distinctive color, for
example, black pin mould on bread, or blue and green mould on citrus fruit and
cheese.
4. Souring - Foods go sour when certain bacteria produce acids. A common
example is when milk sours from the production of lactic acid.
5. Gas - Bacteria and yeasts often produce gaseous by-products that can affect
food. You may have noticed meat becoming spongy, or packages and cans
swelling or having a popping or fizzing sound on opening.
There are certain environmental conditions that must be
met for micro-organisms to grow and multiply and when
these conditions exist they can very quickly increase in
number. These conditions are:
1. Time is needed for the organism to grow and reach
maturity.
251
4. PH. The numbers on the pH scale, as shown in the following diagram, indicate
the acidity or alkalinity of a fluid. Micro-organisms can grow and multiply only
within a certain pH range. Most prefer to live in a neutral environment around
252
253
5. Water. Without water, Dehydration (loss of moisture) occurs and the life and
growth processes of micro-organisms slow down and may stop. The microorganisms might not be destroyed however. The use of salt or syrups (sugar) in
various foods is a way of activating this process. These salts and sugars are
crystals that compete with the micro-organisms for the available water that they
need for survival.
It is now generally accepted that the water requirements of micro-organisms
should be defined in terms of the water activity (aw) in the environment. This is
a measure of the availability of water to micro-organisms for metabolism (the
processes of life). The (aw) of pure water is 1.00, - a 22% salt solution has an
(aw) of 0.86 and a saturated salt solution is 0.75. The (aw) value for most fresh
foods is above 0.99.
TABLE 1: Approximate Minimum (aw) Values for Growth
ORGANISMS
WATER ACTIVITY
GROUPS
MOST SPOILAGE BACTERIA 0.90
MOST SPOILAGE YEASTS
0.88
0.80
6. Oxygen.
a. Availability of Oxygen
254
Chemicals, heavy metals, parasites, fungi, viruses and bacteria can cause food
borne illness. Bacteria related food poisoning is the most common, but fewer than
20 of the many thousands of different bacteria actually are the culprits. More than
90 percent of the cases of food poisoning each year are caused by
Staphylococcus aureus, Salmonella, Clostridium perfringens, Campylobacter,
Listeria monocytogenes, Vibrio parahaemolyticus, Bacillus cereus, and Enteropathogenic Escherichia coli. These bacteria are commonly found on many raw
foods.
Infants and elderly people have the greatest risk for food poisoning. You are
also at higher risk if you have a serious medical condition, like kidney disease or
diabetes, a weakened immune system, or you travel outside of the U.S. to areas
where there is more exposure to organisms that cause food poisoning. Pregnant
and breastfeeding women have to be especially careful. Botulism is a very serious
form of food poisoning that can be fatal. It can come from improper home canning.
255
watery diarrhea and fever. It is the most common cause of food poisoning in
infants and children and is transmitted from person to person by fecal
contamination of food and shared play areas.
c. Hepatitis A: Causes mild illness with sudden onset of fever, loss of appetite,
disease
or
HIV/AIDS
or
those
on
chemotherapy
for
256
fried rice) and other starchy foods such as pasta or potatoes. May also be
used as a potential terrorist weapon.
e. Escherichia coli (E coli): Causes moderate to severe illness that begins as
large amounts of watery diarrhea, and then turns into bloody diarrhea. There
are many different types of this bacterium. The worst strain can cause kidney
failure and death (about 3-5% of all cases). It is transmitted by eating raw or
undercooked hamburger, unpasteurized milk or juices, or contaminated well
water.
f. Shigella (travelers diarrhea): Causes moderate to severe illness with fever,
diarrhea containing blood or mucus or both, and the constant urge to have
bowel movements. It is transmitted in water polluted with human wastes.
g. Clostridium botulinum (botulism): Causes severe illness affecting the nervous
system. Symptoms start as blurred vision. The person then has problems
talking and overall weakness. Symptoms then progress to breathing difficulty
and inability to move arms or legs. Infants and young children are particularly
at risk. It is transmitted in foods such as home-packed canned goods, honey,
sausages, and seafood.
h. Vibrio cholerae: Causes mild to moderate illness with crampy diarrhea,
headache, nausea, vomiting, and fever with chills. It strikes mostly in the
warmer months of the year and is transmitted by infected, undercooked, or
raw seafood.
3. Parasites rarely cause food poisoning. When they do, they are usually
swallowed in contaminated or untreated water and cause long-lasting but mild
symptoms.
a. Giardia (beaver fever): Causes mild illness with watery diarrhea often lasting
1-2 weeks. It is transmitted by drinking contaminated water, often from lakes
or streams in cooler mountainous climates.
b. Cryptosporidium: Causes moderate illness with large amounts of watery
diarrhea lasting 2-4 days. May become a long-lasting problem in people with
poor immune systems (such as people with kidney disease or HIV/AIDS or
those on chemotherapy for cancer). It is transmitted by contaminated
drinking water.
4. Toxic agents are the least common cause of food poisoning. Illness is often an
isolated episode caused by poor food preparation or selection (such as picking
wild mushrooms).
257
a. Mushroom toxins: Illness can range from mild to deadly depending on the
type of mushroom eaten. Often there is nausea, vomiting, and diarrhea.
Some types of mushrooms produce a nerve toxin, which causes sweating,
shaking, hallucinations, and coma.
b. Ciguatera poisoning: Causes moderate to severe illness with numbness of
the area around the mouth and lips that can spread to the arms and legs,
nausea, vomiting, muscle pain and weakness, headache, dizziness, and
rapid heartbeat. It is transmitted by eating certain large game fish from
tropical watersmost specifically barracuda and jacks.
c. Scombroid: Causes mild to moderate illness with burning around the mouth
and lips, a red rash to the upper body, dizziness, headache, and itchy skin. It
is transmitted in seafood, mostly mahi-mahi and tuna, but can also be in
Swiss cheese.
d. Pesticides: Cause mild to severe illness with weakness, blurred vision,
headache, cramps, diarrhea, increased saliva, and shaking of the arms and
legs. Toxins are transmitted by eating unwashed fruits or vegetables
contaminated with pesticides.
2.
3.
4.
5.
Other family members or friends who ate the same thing are also sick.
6.
7.
It does not improve within 2 days even though drinking large amounts of fluids.
8.
Have a disease or illness that weakens your immune system (for example,
HIV/AIDS, cancer and undergoing chemotherapy, kidney disease).
9.
10. Have any nervous system symptoms such as slurred speech, muscle
weakness, double vision, or difficulty swallowing.
Go to the nearest hospital's emergency department if any of the following
situations occur:
258
1.
Pass out or collapse, become dizzy, lightheaded, or have problems with your
vision.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Stop urinating, have decreased urination, or have urine that is dark in color.
8.
9.
by inserting a lubricated and gloved finger gently into your rectum. The purpose
is to make sure there are no breaks in your rectal wall. A sample of your stool is
taken and tested for blood and mucus. In some cases, a sample of stool or
vomit can be sent to the laboratory for further testing to find out which toxin
caused the illness. In a majority of cases, a specific cause is not found.
2. A urine sample helps assess how dehydrated you are and indicates possible
kidney damage.
3. Blood tests may be performed to determine the seriousness of your illness. An
x-ray of the abdomen or a CT scan may be taken if the doctor suspects your
symptoms may be caused by another illness.
DISCUSSION
A.
259
1. Self-Care at Home
Short episodes of vomiting and small amounts of diarrhea lasting less than
24 hours can usually be cared for at home.
a. Do not eat solid food while nauseous or vomiting but drink plenty of fluids.
1) Small, frequent sips of clear liquids (those you can see through) are the
are diluted with water because at full strength they contain too much
sugar, which can worsen diarrhea.
b. After successfully tolerating fluids, eating should begin slowly, when nausea
and vomiting have stopped. Plain foods that are easy on the stomach should
be started in small amounts. Consider eating rice, wheat, breads, potatoes,
cereals (low-sugar cereals), lean meats, and chicken (not fried) to start. Milk
can be given safely, although some people may experience additional
stomach upset due to lactose intolerance.
c. Most food poisonings do not require the use of over-the-counter medicines to
stop diarrhea, but they are generally safe if used as directed. It is not
recommended that these medications be given to children. If there is a
question or concern, you should always check with your doctor.
2. Medical Treatment
The main treatment for food poisoning is putting fluids back in the body (the
process of rehydration) through an IV and by drinking. Person with food
poisoning may need to be admitted to the hospital. This depends on the severity
of the dehydration, his/her response to therapy, and his/her ability to drink fluids
without vomiting. Children, in particular, may need close observation.
a. Anti vomiting and diarrhea medications may be given.
b. The doctor may also treat any fever to make you more comfortable.
c. Antibiotics are rarely needed for food poisoning. In some cases, antibiotics
would worsen it. Only a few specific causes are improved by using these
medications. The length of illness with travelers diarrhea (shigellae) can be
decreased with antibiotics, but this specific illness usually runs its course and
improves without treatment.
260
(botulism)
2. Kidney problems (Shigella, E. coli)
3. Bleeding disorders (E. coli and others)
4. Arthritis (Yersinia and Salmonella)
5. Nervous system disorders (Botulism, Campylobacter)
6. Pericarditis (Salmonella)
7. Death -- 50% of people with mushroom or certain fish poisonings (like puffer
261
D.
illness. Therefore, illness can be prevented by (1) controlling the initial number of
bacteria present, (2) preventing the small number from growing, (3) destroying the
bacteria by proper cooking and (4) avoiding re-contamination.
1.
There are three main ways of breaking the food poisoning chain:
a. Protecting food from contamination.
b. Preventing any bacteria present in the food from multiplying.
c. Destroying those bacteria that are present in the food.
before preparation.
b. Separating raw and high risk/ready to eat foods at all
stages
of
preparation,
storage,
display
and
262
possible.
e. Preventing insects, animals and birds
equipment.
g. Using good personal hygiene practices
- always.
h. Not coughing or sneezing over or
around food.
i. Not handling the food contact surfaces
protective clothing.
k. Using the correct cleaning procedures.
l. Promptly removing unfit or waste food and refuse from food areas.
time as possible. High risk foods must not be left sitting out at room
temperature.
c. Using suitable preservatives such as salt and sugar.
d. Using various packing methods like gas flushing or vacuum packing.
e. Not allowing dried foods to absorb moisture.
263
b.
Personal Hygiene
Good personal hygiene reduces the chance of contamination of
food.
a.
b.
c.
The hair, nose and mouth must not be touched during food
preparation.
d.
e.
f.
Rings and other jewellery should not be worn as they can harbor dirt and bacteria
and could they fall into the food being prepared.
3.
Micro-organisms control
Control of micro-organisms is needed to prevent:
a.
b.
c.
Contamination of food.
The most common ways of killing micro-organisms are by heat and by
chemicals. Other less common means include, irradiation, ultrasonic sound and
very high pressure. Some bacteria and almost all virus, yeast and mould cells are
killed by a temperature of 60C for 10 to 20 minutes. Yeast and mould spores and
most other bacteria are destroyed at temperatures between 70 - 100C for 5 to 10
minutes exposure. Bacterial spores however, are very difficult to destroy. Some for
example, need at least 10 minutes at 100 to 120C. The following terms are
commonly used in cleaning:
a.
b.
264
Disinfection does not necessarily kill all micro-organisms, but reduces them
to a level not usually harmful to health. In this group are the fungicides (kills
fungi), bactericides (kills bacteria) and virucides (kills viruses).
c.
4.
Quality control
The general purpose of quality control is to ensure that a maximum amount of the
product being processed reaches the desired level of quality with minimum variation
and that this is achieved as economically as possible. The products of natural raw
materials are never exactly the same, so control is necessary to keep product quality
within the standards set. Raw materials should be purchased from reliable suppliers
who hold a current food manufacturer's registration.
Quality control generally involves inspections of three kinds:
a. Raw materials
b. Materials in process
c. Finished product
If effective raw material and process controls are not put in place and only
examination of the finished product is done, then quality control stops being a control
and becomes merely an inspection. A good control system rejects substandard
ingredients before the process begins and once it has begun, prevents wastage of
good raw material.
5.
all potential hazards and control them before they result in problems. Setting up a
HACCP system will involve the following:
a.
Set up a HACCP team - of those people who fully understand the product.
b.
Draw up flow charts - that define all stages in the preparation process, from raw
materials through to consumption or sale.
c.
d.
Identify the critical control points - consider all preventive measures and decide
which are needed to eliminate or reduce potential hazards to acceptable levels.
265
e.
Determine target levels and tolerances for control points - (eg. time).
f.
Establish monitoring systems for critical control points - (eg. work out who
should act and when, where and what action should be taken).
g.
h.
Review the HACCP system - annually and when changes are made to any
process.
6.
Food Safety
Food safety in community can be mentioned as guidelines below to keep
contaminants away:
a. Safe shopping
1) Buy cold foods last. Get it home fast.
2) Never choose torn or leaking packages.
3) Do not buy foods past their "sell-by" or expiration dates.
4) Keep raw meat and poultry separate from other foods.
5) Place refrigerated or frozen items in the shopping cart last, right before
2 days.
c. Safe food preparation
1) Keep everything clean!
2) Wash hands before and after handling raw meat and poultry.
3) Sanitize cutting boards often in a solution of 1 teaspoon chlorine bleach in
1 quart of water.
4) Do not cross-contaminate. Keep raw meat, poultry, fish, and their juices
away from other food. After cutting raw meats, wash hands, cutting board,
knife, and counter tops with hot, soapy water.
5) Marinate meat and poultry in a covered dish in the refrigerator. Discard
266
lamb steaks, roasts and chops may be cooked to 145F; all cuts of fresh
pork, 160F. Whole poultry should reach 180F in the thigh; breasts
170F.
3) Keep hot foods hot and cold foods cold.
4) Never leave food out more than 2 hours (or more than 1 hour in
To prevent food poisoning, take the following steps when preparing food:
a.
b.
c.
DO NOT place cooked meat or fish back onto the same plate or container that
held the raw meat, unless the container has been thoroughly washed.
d.
Promptly refrigerate any food you will not be eating right away. Keep the
refrigerator set to around 40F and your freezer at or below 0F. DO NOT eat
meat, poultry, or fish that has been refrigerated uncooked for longer than 1 to
2 days.
e.
DO NOT use outdated foods, packaged food with a broken seal, or cans that
are bulging or have a dent.
f.
If you take care of young children, wash your hands often and dispose of
diapers carefully so that bacteria can't spread to other surfaces or people.
267
b.
If you make canned food at home, be sure to follow proper canning techniques
to prevent botulism.
c.
d.
e.
When traveling where contamination is more likely, eat only hot, freshly
cooked food. Drink water only if it's been boiled. DO NOT eat raw vegetables
or unpeeled fruit.
f.
g.
If you are pregnant or have a weakened immune system, DO NOT eat soft
cheeses, especially imported from countries outside the U.S.
If other people may have eaten the food that made you sick, let them know. If you
think the food was contaminated when you bought it from a store or restaurant, tell the
store and your local health department.
Infants, older persons, women who are pregnant and anyone with a compromised
immune system are especially susceptible to food-borne illness. These people should
never consume raw fish, raw seafood, or raw meat type products. Especially for food
poisoning those are caused by bacteria, which can be summarized as table below.
Description
Types of
Foods
Habitat
Symptoms
Cause
Temperture
Sensitivity
Meat and
seafood
salads,
sandwich
spreads and
high salt
foods.
Nausea,
vomiting and
diarrhea
within 4 to 6
hours. No
fever.
Poor personal
hygiene and
subsequent
temperature
abuse.
No growth
below 40o F.
Bacteria are
destroyed by
normal
cooking but
toxin is heatstable.
Salmonella
Produces
Intestinal tracts High protein
an intestinal of animals and foods infection
man
meat;
poultry, fish
and eggs.
Diarrhea
nausea,
chills,
vomiting and
fever within
12 to 24
hours.
contamination of
ready-to-eat
foods,
insufficient
cooking and
recontamination
of cooked foods.
No growth
below 40o F.
Bacteria are
destroyed by
normal
cooking.
Clostridium
perfringens
268
No growth
below 40o
degrees F.
Bacteria
Responsible
Description
Types of
Foods
Habitat
oxygen
animals and
atmosphere. man.
Live cells
must be
ingested.
Clostridium
botulinum
Produces a
spore and
requires a
low oxygen
atmosphere.
Produces a
heatsensitive
toxin.
Symptoms
Cause
Temperture
Sensitivity
Blurred
vision,
respiratory
distress and
possible
DEATH.
Improper
methods of
homeprocessing
foods.
Type E and
Type B can
grow at 38o
F. Bacteria
destroyed by
cooking and
the toxin is
destroyed by
boiling for 5
to 10
minutes.
Heatresistant
spore can
survive.
Fish and
shellfish
Raw and
cooked
seafood.
Diarrhea,
cramps,
vomiting,
headache
and fever
within 12 to
24 hours.
Recontamination
of cooked foods
or eating raw
seafood.
No growth
below 40o F.
Bacteria
killed by
normal
cooking.
Starchy
food.
Mild case of
diarrhea and
some nausea
within 12 to
24 hours.
Improper holding
and stroage
temperatures
after cooking.
No growth
below 40o F.
Bacteria
killed by
normal
cooking, but
heat-resistant
spore can
survive.
Listeria
Survives
monocytogenes adverse
conditions
for long time
periods.
Milk, soft
cheeses,
vegetables
fertilized
with
manure.
Mimics
Contaminated
meningitis.
raw products.
Immunocompromised
individuals
most
susceptible.
Vibrio
Requires
parahaemolyticus salt for
growth.
Soil,
vegetation and
water. Can
survive for
long periods in
soil and plant
materials.
269
Grows at
refrigeration
(38-40o F.)
temperatures.
May survive
minimum
pasturization
tempertures
(161o F. for
15 seconds.)
Bacteria
Responsible
Description
Habitat
Types of
Foods
Campylobacter
jejuni
Oxygen
sensitive,
does not
grow below
86o F.
Animal
reservoirs and
foods of
animal origin.
Meat,
poulty, milk,
and
mushrooms.
Versinia
enterocolitica
Not frequent
cause of
human
infection.
Diarrhea,
Improper
Grows at
abdominal
cooking. Cross- refrigeration
pain,
contamination. temperatures
vomiting.
(35-40o F.)
Mimics
Sensitive to
appendicitis.
heat (122 oF.)
Feces of
infected
humans.
Diarrhea,
abdominal
cramps, no
fever.
Enteropathogenic Can
E. coli
produce
toxins that
are heat
stable and
others that
are heatsensitive.
Meat and
cheeses.
Symptoms
Diarrhea,
abdomianl
cramps and
nausea.
Cause
Improper
pasteuriztion or
cooking. crosscontamination.
Inadequate
cooking.
Recontamination
of cooked
product.
CONCLUSION
Food borne illness or in the famous term called food poisoning is an everpresent threat that can be prevented with proper care and handling of food products.
It affects many people in the world each year and results more deaths. Based on its
causes, food poisoning has variety of signs and symptoms, complications, prognosis,
early assessments and medical treatments.
The most important issue is food poisoning prevention. Break the food
poisoning chain, micro-organisms control, personal hygiene, food quality control,
HACCP approach, and food safety should be concerned to prevent food poisoning in
community. Finally, safe food for eat is ultimate goal to achieve in community to get
better life and health.
REFERENCES
270
Temperture
Sensitivity
Sensitive to
drying or
freezing.
Survives in
milk and
water at 39 o
F for several
weeks.
Organisms
can be
controlled by
heating. Can
grow at
refrigeration
temperatures.
BBC
News
UK.
Fatal
food
poisoning.
E-Medicine Health.
http://www.emedicinehealth.com/food_poisoning/page14_em.htm. Accessed: 29
November 2006.
American Medical Association, Centers for Disease Control and Prevention, Center
for Food Safety and Applied Nutrition, Food and Drug Administration, Food
Safety and Inspection Service, US Department of Agriculture. Diagnosis and
management of foodborne illnesses: a primer for physicians. MMWR Recomm
Rep. 2001; Atlanta: 50(RR-2): 1-69.
Tam CC. Campylobacter coli - an important foodborne pathogen. J Infect. 2003;
47(1): 28-32.
Perez EP. Food poisoning. Medline Plus. http: // www.nlm.nih.gov / medlineplus /
ency / article/001652.htm. Accessed: 29 November 2006.
Medicinenet. Com. Food poisining. http: // www.medicinenet.com / food_poisoning
/article.htm. Accessed 29 November 2006.
Christchurch city council. Food poisoning, micro-organisms; A food safety for food
workers
information
source.
http://www.ccc.govt.nz/Health/foods3.asp.
271
Abstract: The existing General Provisions and Tax Procedures Law (Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan/KUP Law) does not regulate corporation as the subject of
criminal law. However, in the Concept of KUP Law in the future, corporation will be
subject to criminal law (tax crime). With the acceptance of the corporation as the
subject of criminal law, it will cause some consequences that could potentially cause
problems in its application. One of these problems are related to the type of criminal
sanctions which can be imposed to the corporation. Fines sanction is always be
applied as a main punishment for a corporation. It is less effective if there is no
provisions of substitute criminal fines for the corporation when the corporation is unable
to pay the fines. Another alternative form of criminal sanctions for the corporation was
treatment. By using double track system, the imposition of criminal sanctions against
the corporation could be punishment and treatment. Unfortunately, in Indonesia the
treatment sanctions are not widely used and recognized in the formulation of sanctions
for corporation. Therefore it is really needed to analysed the effective and appropriate
sanctions for corporation in the Concept of KUP Law. Type of research that used is
yuridis-normative method Data that used in this research is seconder data. The technic
to collecting data is literature study. Then, all data are analysed qualitatively.
Keywords: criminal sanction, corporation, tax crime.
Adriana Dwi Hardjanti, hardjanti.dwi@gmail.com, 0817710592
Pendahuluan
Pajak merupakan salah satu penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) yang memiliki peranan penting dalam menunjang
penyelenggaraan negara. Tahun 2015, penerimaan dari sektor pajak mencapai
Rp1,061 triliun atau sekitar 74,62% dari total penerimaan negara. Kontribusi pajak
dalam mendanai pengeluaran negara membutuhkan dukungan berupa peningkatan
kesadaran masyarakat Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya secara jujur dan
bertanggung jawab. Namun dalam praktik perpajakan di Indonesia tidak semua Wajib
272
Undang-Undang
Nomor
Tahun
2010
tentang
Pencegahan
dan
Disampaikan dalam Seminar Kajian Draft RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pajak pada tanggal 4-5 Nopember 2015.
273
Agar lebih sistematis dan mudah dipahami, penulisan karya tulis ilmiah ini
disusun menjadi empat bab. Bab I (Pendahuluan) seperti telah diuraikan di atas,
dilanjutkan Bab II, III, dan IV. Pada Bab II adalah Tinjauan Pustaka. Bab III berisikan
analisis terkait jenis-jenis sanksi pidana yang dapat diterapkan terhadap korporasi. Bab
terakhir yaitu bab IV Penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.
Metodologi
Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif dan komparatif.
Penelitian
ini
menggunakan
metode
yang
menitikberatkan
pada
penelitian
Tinjauan Pustaka
Blacks Law Dictionary memberikan definisi pidana sebagai a sanction-such a fine,
penalty, confinement, or loss property, right, or loss propery, right, or previlegeassessed against a person who has violated the law. Pengertian sederhana pidana
diberikan oleh Sudarto yaitu penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan dan memenuhi syarat tertentu.2
Secara umum teori pemidanaan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok
teori yaitu teori absolut/ pembalasan, teori relatif/ tujuan, dan teori gabungan.3 Menurut
teori absolut pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana
sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang
melakukan kejahatan. Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir
sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori
relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di
dalam masyarakat. Sedangkan teori gabungan menggunakan kedua teori di atas yaitu
teori absolut dan teori relatif sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa
kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan. Menurut teori gabungan tujuan
pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Tujuan pemidanaan menurut teori
2
3
Eddy O. S. Hiariej. (2014). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. hal. 30.
E. Utrecht. (1958). Hukum Pidana I. Jakarta:Universitas Jakarta. hal. 157
274
gabungan adalah penjatuhan pidana tidak hanya membuat jera pelaku tetapi juga
harus memberikan perlindungan, pendidikan terhadap masyarakat dan pelaku.
Sistem Pemidanaan
Dalam merumuskan sanksi pidana dikenal dua macam sistem pemidanaan, yaitu
single track system (hanya sanksi pidana) dan double track system (pidana dan
tindakan). Pengertian dari double track system adalah selain dijatuhkan sanksi pidana,
sanksi tindakan dikenakan juga terhadap pelaku tindak pidana. Pengertian dari sanksi
tindakan adalah pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi
mendidik dan mengayomi, tujuannya mengamankan masyarakat dan memperbaiki
terpidana.4
Di Indonesia tidak ada keseragaman pola formulasi kebijakan sistem
pemidanaan, misalnya ada yang menganut double track system, ada yang single track
system, dan bahkan ada yang semu (hanya menyebut sanksi pidana, tetapi
mengandung/ terkesan sebagai sanksi tindakan). Dalam hal penggunaan sanksi
pidana, ada yang hanya pidana pokok dan ada yang menggunakan pidana pokok dan
pidana tambahan. Dalam hal menggunakan pidana pokok, ada yang hanya
menggunakan pidana denda, ada yang menggunakan pidana penjara/ kurungan dan
denda, bahkan ada yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup. Ada
pidana tambahan yang terkesan sebagai (mengandung) tindakan dan sebaliknya
ada sanksi tindakan yang terkesan sebagai (mengandung) pidana tambahan.5
4
5
Andi Hamzah. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineke Cipta. hal. 127
Barda Nawawi. (2013). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. hal. 12
275
276
6
7
Ibid. hal. 66
Muladi dan Dwija Priyatno. (1991). Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana. Bandung:
STHB. hal. 114.
277
pemecatan
manajer
dan
mendiskualifikasi
petugas
dari
jabatannya;
6. Memerintahkan publikasi fakta-fakta yang berhubungan dengan putusan
pengadilan;
7. Memerintahkan korporasi untuk memberitahukan kepada publik di semua negara
tempat beroperasinya korporasi itu, kepada cabang-cabangnya, kepada para
direktur, petugas, manajer, atau karyawannya mengenai pertanggungjawaban/
sanksi yang dikenakan.
278
279
280
f)
Kesimpulan
Dengan dimasukkannya korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam konsep RUU
KUP, akan menimbulkan konsekuensi atau masalah lain dalam penerapannya. Salah
281
satu permasalahan yang muncul adalah sistem pemidanaan untuk korporasi. Agar
korporasi yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dapat dijatuhi pidana
sesuai dengan kejahatannya, penentuan jenis-jenis sanksi pidana yang dapat
diterapkan badan/ korporasi menjadi hal yang penting.
Mengingat akibat dari tindak pidana di bidang perpajakan ini merugikan keuangan
negara, harus juga mulai dipertimbangkan tidak hanya memberikan pidana pokok
denda terhadap korporasi. Dikarenakan penghukuman tidak semata-mata sebagai
pembalasan atas perbuatan jahat yang telah dilakukan, tetapi ia juga berfungsi sebagai
alat penjera agar pelaku yang lain tidak melakukan perbuatan itu (prevensi) hendaknya
pemberian sanksi pidana terhadap korporasi perlu dipikirkan alternatif pidana lain
seperti sanksi tindakan..
Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. (2013). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Hiariej, Eddy, O.S. (2014). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka.
Leaza, E. Z. (2010). Penerapan Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan (Double Track
System) Dalam Kebijakan Legislasi. Jurnal Sasi. Vol.16. 4. 51-56.
M. Hadjon, Philipus, dkk. (1994). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Muladi dan Dwidja Priyatno. (1991). Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum
Pidana. Bandung: STHB.
282
Pendahuluan
Pada tahun 2016, pemeritah telah menetapkan target realisasi investasi untuk
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
sebesar Rp. 594,8 triliun. Berdasarkan Siaran Pers yang dilaksanakan di Kantor Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada tanggal 21 Januari 2016, target realisasi
283
investasi tahun 2016 dinilai cukup optimis bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya
2015 yang sebesar 519,5 triliun, dengan capaian target sebesar 545,4 triliun atau
sebesar 105%. Untuk capaiaan target realisasi investasi tahun 2016 kedepan,
pemerintah dituntut dapat terus berupaya melakukan penguatan ekonomi secara
berkelanjutan ditengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Bagi penanam
modal, target realisasi ini dapat terpenuhi dengan kondisi dimana sebagian besar
perusahaan dapat merealisasikan rencana investasinya sesuai dengan jangka waktu
penyelesaian proyek yang telah ditetapkan dalam izin prinsip penanaman modal.
dengan
penyelesaian
permasalahan/hambatan
dalam
pelaksanaan
284
Bagi perusahaan yang menggunakan mesin atau peratatan utama dari luar negeri
untuk kegiatan investasinya, salah satu permasalahan yang dihadapi penanam modal
dan menjadi perhatian pemerintah dalam pelaksanaan realisasi rencana investasinya
adalah lamanya waktu yang harus ditempuh di pelabuhan dalam melalui proses
prosedur importasi. Masih banyaknya perusahaan yang belum dapat merealisasikan
investasinya dengan lancar pada tahap kontruksi ini, mendorong BKPM selaku satah
satu institusi yang memeiliki peran dan tanggung jawab dalam pelaksanaan
penanaman modal, bersama-sama dengan Direktorat jenderal Bea dan Cukai selaku
institusi yang berwenang dalam proses pemasukan barang ke daerah pabean,
membuat terobosan baru dalam pelaksanaan pelayanan importasi berupa peningkatan
status penetapan jalur pelayanan impor bagi perusahaan yang masih dalam tahap
pembangunan atau kontruksi. Percepatan dalam pemberian pelayanan ini tentunya
dilaksanakan dengan tetap menjaga prinsip good governance dan memenuhi
ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Hasil
Berdasarkan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor P-42/BC/2008 tentang
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor untuk dipakai sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor P-08/BC/2009, secara
umum urutan proses pengeluaranbarang impor dibagi dalam empat tahap,
diantaranya:
tahap pertama pendaftaran Pemberitahuan Impor Barang (PIB),
Tahap kedua penetapan jalur pelayanan impor,
tahap ketiga pengeluaran barang impor dan
285
Dalam rangka pemeriksaan barang yang masuk ke daerah pabean, secara selektif
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan penetapan jalur pengeluaran barang
impor. Penetapan jalur tersebut diantaranya:
1. Jalur Mitra Utama (MITA) Prioritas adalah proses pelayanan dan pengawasan yang
diberikan kepada MITA Prioritas untuk pengeluaran Barang Impor tanpa dilakukan
pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen
2. Jalur MITA Non Prioritas adalah proses pelayanan dan pengawasan yang diberikan
kepada MITA Non Prioritas untuk pengeluaran Barang Impor tanpa dilakukan
pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen, kecuali dalam hal:
a. barang ekspor yang diimpor kembali;
b. barang yang terkena pemeriksaan acak; atau
c. barang impor sementara
dilakukan pemeriksaan fisik ditempat Importir
3. Jalur Hijau adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor
dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen
setelah penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
5. Jalur Merah adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor
dengan dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen sebelum penerbitan
SPPB.
Pada umumnya perusahaan baru yang masih dalam tahap kontruksi sebagian
besar adalah perusahaan yang secara prosedural ditetapakan masuk sebagai jalur
merah, atau ditetapakan dengan kreteria high risk karena perusahaan secara profil
memang belum dapat dinilai rekam jejaknya baik profil perusahaan selaku importir itu
sendiri, profil barang /komoditi, profil harga, profil bisnis dan nota intelijen. Proses
penetapan jalur secara otomasi sistem (komputerisasi) dapat diinformasikan secara
otomatis berdasarkan data profil importir yang terbagi atas tingkatan resiko, dimana
tingkat resiko terbagi dalam 3 (tiga) kategori, diantaranya tinggi, menengah dan
286
Berdasarkan hasil koordinasi dan pertemuan antara BKPM dan Ditjen Bea dan
Cukai pada tanggal 14 Desember 2015, dalam rangka percepatan realisasi investasi,
perusahaan yang masih dalam tahap kontruksi dapat diberikan rekomendasi dari
BKPM untuk dapat dinaikan setatusnya masuk pada jalur hijau oleh Ditjen Bea dan
Cukai. Tentunya kebijakan ini memiliki syarat tersendiri dan tidak secara otomatis
seluruh perusahaan yang masih dalam tahap kontruksi dapat diberikan penetapan jalur
hijau ini. Dalam pemberian rekomendasi ini, BKPM akan melakukan profiling
perusahaan melalui proses penelitian dokumen perizinan dan nonperizinan yang telah
dimiliki perusahaan yang diantaranya, Izin Prinsip Penanaman Modal, Angka Pengenal
Importir (API-P), Nomor Identitas Kepabeanan (NIK), bukti penguasaan lahan dan
Surat Persetujuan Pabean. Untuk selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan langsung
ke lokasi proyek perusahaan dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Disamping itu, perusahaan juga harus rutin menyampaikan Laporan Kegiatan
Penanaman Modal (LKPM) dan membuat surat pernyataan untuk tidak akan
menyalahgunakan importasi barang-barang yang diimpor (barang yang diimpor harus
sesuai dengan dokumen impor dan peruntukannya digunakan untuk implementasi Izin
Prinsip Penanaman Modal) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini
dilakukan untuk menghindari terjadiya pelanggaran ketentuan dan peraturan yang
berlaku. Dalam siaran pers yang dilaksanakan di kantor BKPM pada tanggal 14
Desember 2015, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi juga menyampaikan
bahwa :
Dalam hal ini, pengawasan oleh Bea dan Cukai dilakukan menggunakan
mekanisme pemeriksaan sewaktu-waktu secara acak (randomly) dan melalui
kegiatan intelijen. Disamping itu, pengawasan juga akan dilakukan melalui
peningkatan koordinasi unit pengawas di BKPM dan DJBC yang dalam hal
tertentu dapat melakukan pengawasan secara bersama,
287
Namun demikian, Ditjen Bea dan Cukai tetap menerapkan prosedur pemeriksaan
fisik dengan menggunakan alat pemindai peti kemas sewaktu-waktu bagi importir yang
masuk jalur hijau dengan sistem acak di Kantor Pabean yang telah memiliki alat
pemindai peti kemas. Berdasarkan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor P42/BC/2008, pemindai peti kemas (container scanner) adalah alat yang digunakan
untuk melakukan pemeriksaan fisik barang dalam peti kemas atau kemasan dengan
menggunakan teknologi sinar X (X-Ray) atau sinar gamma (Gamma Ray).
288
Diskusi
Dengan tetap menjaga proses clearance yang efektif dan efisien guna pemasukan
barang yang sesuai dan tepat, tentunya pemanfaatan teknologi alat pemindai peti
kemas pada beberapa kantor pabean dan penerapan integrasi sistem pelayanan antar
kementrian, menjadi pertimbangan prioritas dan mengurangi resiko ketidakpatuhan
perusaahan yang memasukan barang impor. Walaupun dalam penetapan jalur hijau
tersebut, perusahaan yang masuk kategori high risk telah melalui proses profiling
secara bersama antara BKPM dan Ditjen Bea dan Cukai.
Penetapan jalur hijau ini juga menjadi salah satu, kebijakan yang diambil dalam
mendukung target pemerintah untuk mengatasi masalah dwelling time yang dalam
pelaksanaannya tidak hanya menjadi tanggung jawab Ditjen Bea dan Cukai namun
juga kementerian teknis lainnya.
Kesimpulan
Peran koordinasi antar Kementerian dan Lembaga Pemerintah dalam upaya
percepatan peningkatan realisasi investasi khususnya bagi penanam modal yang
masih terkendala dalam tahap pembangunan atau kontruksi masih perlu ditingkatkan
guna mendorong percepatan realisasi rencana investasinya di lokasi proyek, sehingga
dengan percepatan kontruksi/pembangunan proyek prusahaan secara nyata maka
diharapakan dapat mempercepat penyerapan tenaga keja dan dapat segera mulai
produksi komersial. Sehingga, dengan kebijakan percepatan proses importasi ini
kepada penanam modal yang melakukan usaha khususnya yang menggunakan mesin
dan peralatan dari luar negeri, diharapkan tidak lagi terkendala pada laanya proses
pemasukan mesin di pelabuhan. Dengan demikian target percepatan peningkatan
realisasi investasi pada sektor riil dapat tercapai dan mampu mendorong laju
pertumbuhan ekonomi kedepan.
Ucapan terima kasih
Bersama ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Pendidikan
dan Pelatihan BKPM yang telah memberikan kesempatan kepada widyaiswara untuk
memenuhi tugas fungsi khususnya pengembagan profesi dalam membuat Karya Tulis
Ilmiah (KTI). Serta tidak lupa ucapan terima kasih disampaikan kepada Pengurus
289
2015
Rp
545,4
T.
http://www.bkpm.go.id/images/uploads/file_siaran_pers/
Diunduh
dari:
Press_Release_-_IND_-
online.com
(2015).
BKPM
Fasilitsi
Jalur
Hijau.
Diunduh
dari:
290
dari:
http://wartaekonomi.co.id/berita83501/bkpm-rekomendasikan-48-
291
292
A. PENDAHULUAN
Terkait dengan munculnya Undang Undang (UU) Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara (ASN), memiliki implikasi luas terhadap manajemen ASN. Banyak aspek yang
terkena dampak dengan diundangkannya peraturan ini, terutama yang menyangkut
pengembangan kompetensi, keahlian dan sertifikasi ASN, yaitu kewajiban bagi tiap ASN
untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan selama 40-80 jam pelatihan (jp)/tahun (BPPK,
2014). Bagi Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK), sebagai unit vertikal di
lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki tugas dan fungsi dalam melaksanakan
kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi 69.605 orang ASN di lingkup Kementerian
Keuangan, merupakan peluang sekaligus tantangan dalam menyelenggarakan kegiatan
pendidikan dan pelatihan sesuai tuntutan UU ASN tersebut.
BPPK, dengan 175 tenaga pengajar (widyaiswara) dan dibantu sumber daya struktural,
tentunya tertantang untuk melakukan inovasi dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan,
apalagi ASN tersebut terbagi-bagi menjadi beberapa jenis jabatan, golongan, fungsi dan
lintas keahlian dalam pengelolaan keuangan Negara. Inovasi dalam keragaman substansi
diklat, bentuk diklat apakah dalam bentuk e-learning, metode tatap muka di kelas, atau
blended learning, sesuai dengan kebutuhan peningkatan kompetensi ASN di masa sekarang
dan yang akan datang. Meski belum dibuat aturan teknis kapan mulai dilaksanakan wajib
diklat tersebut, akan lebih baik bagi BPPK untuk berbenah dan mempersiapkan diri dalam
menghadapi wacana ini.
Subramaniam & Youndt (2005), menyatakan bahwa kemampuan organisasi melakukan
inovasi terkait erat dengan modal intelektual yang dimilikinya, dan juga kemampuan inovasi
merupakan perwujudan kemampuan organisasi memanfaatkan sumberdaya knowledge
management-nya.
sederhana ini, memaparkan bagaimana interaksi kemampuan inovatif dan modal intelektual
yang dimiliki organisasi dalam menangkap peluang sekaligus menghadapi tantangan
dengan munculnya UU ASN tersebut.
Dalam penelitian ini, kami berupaya untuk mengidentifikasi
interaksi pengetahuan-
inovasi organisasi sector public, yaitu Badan Diklat Keuangan (BPPK), Kementerian
Keuangan, dengan memfokuskan pada Widyaiswara BPPK. Widyaiswara sebagai salah
satu komponen human capital yang dimiliki BPPK, memiliki kapabilitas berinovasi,
memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan, dalam kegiatan pendidikan, pelatihan
keuangan. Sehingga dari hasil penelitian diharapkan mampu mengidentifikasi interaksi
293
modal intelektualitas dan kemampuan inovasi dari Widyaiswara BPPK dan memberikan
masukan kepada pimpinan Badan Diklat atas kondisi yang ada.
Peneliti memanfaatkan dan mensintesis wawasan dari penelitian sebelumnya yang telah
meneliti aspek yang berbeda dari modal intelektual (manusia, organisasi, dan modal sosial)
dan berbagai jenis kemampuan inovatif (inkremental dan radikal) dalam upaya untuk
mengembangkan wawasan baru seputar koneksi intrinsik mereka. Lebih khusus, dari studi
tentang modal intelektual, kita menafsirkan bagaimana modal manusia (human capital),
modal organisasi (organizational capital), dan modal sosial (social capital) memungkinkan
organisasi untuk baik memperkuat (incremental innovative capabilities) atau mengubah
pengetahuan mereka berlaku (radical innovative capabilities). Penelitian ini disusun terdiri
dari lima bagian, yaitu bagian pendahuluan, metodologi, hasil, diskusi dan kesimpulan.
B. METODOLOGI PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif, dengan menggunakan data primer
dan diolah dengan bantuan statistic, serta dilengkapi dengan data wawancara dan data
sekunder. Penelitian ini termasuk penelitian dasar (basic research) karena bertujuan untuk
mengembangkan dan mengevaluasi konsep-konsep yang berakitan dengan modal
intelektualitas dengan inovasi dalam suatu organisasi. Pendekatan penelitian ini
menggunakan pendekatan deduktif, dimana hasil pengolahan dan pengujian data digunakan
sebagai dasar untuk pengambilan keputusan (Indriartono dan Supomo, 2013).
2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Jakarta, pada saat acara Semiloka Widyaiswara, bulan
Desember 2015. Pada saat itu sebagian widyaiswara sebagai responden berkumpul dan
peneliti membagikan kuesioner, yang dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian ini.
3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah widyaiswara, yaitu pejabat fungsional dalam lingkup
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang memiliki tugas dan fungsi dalam bidang
pengajaran, pendidikan dan pelatihan Pengelolaan Keuangan Negara.
Dari populasi widyaiswara Kemenkeu diambil sampel sebanyak 74 orang sebagai
responden, yang bersedia menjawab kuesioner. Dari jumlah tersebut, 6 kuesioner tidak
294
lengkap, dan hanya 68 kuesioner yang dijadikan sebagai sampel akhir dan diolah dalam
penelitian ini. Jumlah tersebut menurut Uma Sekaran, jumlah yang sudah representatif,
karena memenuhi syarat jumlah sampel sebesar 30 sampai dengan 500 responden
(Sekaran, 2003).
4. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel
Definisi konseptual dan operasional variabel dijelaskan secara ringkas dalam tabel berikut :
Simbol
Variabel
Pengukuran
II
RI
HC
SC
OC
Modal Organisasional
(Organizational Capital)
Sumber : diolah dari data penelitian
Skala Likert yang digunakan dalam mengukur pendapat atau persepsi setiap pernyataan
menggunakan 6 skala, dimulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju. Dan dalam
data kuesioner kepada responden, peneliti mengumpulkan data tambahan berupa gender
(jenis kelamin), pendidikan dan lama bekerja sebagai Widyaiswara, yang nantinya dijadikan
sebagai variabel control dan diberikan pengukuran secara dummy.
Modal intelektual
Lima item pertanyaan menilai modal manusia didasarkan pada diskusi seputar
human capital (Schultz, 1961) serta pada kajian strategis kontemporer manajemen sumber
daya manusia (Snell & Dean, 1992), dan mereka mencerminkan keterampilan secara
keseluruhan, keahlian, dan tingkat pengetahuan karyawan organisasi. Demikian juga, modal
organisasi diukur dengan skala enam item yang menilai kemampuan organisasi untuk
menyediakan dan menyimpan pengetahuan dalam organisasi-tingkat fisik repositori seperti
database, manual, dan paten (Davenport & Prusak, 1998) serta dalam struktur, proses,
budaya , dan cara melakukan bisnis (Walsh & Ungson, 1991). Dan terakhir, lima item
mengukur modal sosial menarik pada ide-ide inti dari struktur sosial sastra (Burt, 1992) serta
pada lebih spesifik literatur manajemen pengetahuan (Gupta & Govindarajan, 2000); item ini
295
dinilai sebuah atau kemampuan organisasi keseluruhan untuk berbagi pengetahuan dan
pengaruh di antara dan antara jaringan karyawan, pelanggan, pemasok, dan mitra aliansi.
Kemampuan inovatif.
Langkah-langkah kami untuk dua jenis kemampuan inovatif didasarkan pada diskusi
yang disediakan oleh Tushman dan Anderson (1986) dan Henderson dan Clark (1990).
Kemampuan inovatif inkremental diukur dengan skala tiga-item menilai kemampuan
organisasi untuk memperkuat dan memperluas keahlian saat ini dan lini produk / jasa.
Demikian pula, kemampuan inovatif radikal diukur dengan skala tiga-item menilai
kemampuan organisasi untuk membuat lini produk / jasa kini usang.
5. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer, baik melalui
kuesioner maupun wawancara. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
sumber data. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah
metode survei, dengan teknik menggunakan pertanyaan tertulis dalam bentuk kuesioner
6. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini kami mengumpulkan data melalui kombinasi kuesioner dan sumber
data eksternal. Selain itu kami melakukan wawancara mendalam dengan beberapa
narasumber terpilih untuk memperkaya dan mendalami permasalahan dalam penelitian ini.
Selain itu, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat bantu analisis Stata-12 dan MS
Excel .
7. Hipotesis
Hipotesis 1. Semakin besar modal organisasi dalam organisasi, semakin tinggi kemampuan
inovatif inkremental (incremental innovative capabilities) mereka.
Hipotesis 2. Semakin besar modal sosial dalam organisasi, semakin kuat pengaruh modal
organisasi pada kemampuan inovatif inkremental (incremental innovative
capabilities).
Hipotesis 3. Semakin besar modal mHipotesis 4. Semakin besar modal sosial dalam
organisasi, semakin kuat pengaruh modal manusia pada kemampuan inovatif
radikal.
296
Modal Organisasi
Inovasi
Inkremental
Modal Sosial
Organisasi
Inovasi Radikal
Modal Manusia
Sumber : diolah dari berbagai sumber
C. HASIL
1. Statistik Deskriptif
Secara demografis, penelitian ini berhasil mengambil sampel dari populasi dengan
kriteria sebagai berikut, reponden laki laki 51 orang (75%) dan responden perempuan 17
orang (25%). Jumlah responden laki-laki memang lebih banyak dibanding responden
perempuan, karena dalam populasi Widyaiswara BPPK secara keseluruhan jumlah
widyaiswara perempuan lebih sedikit dalam populasi Widyaiswara BPPK. Dari sisi
pendidikan, sebanyak 3 responden berpendidikan S3 4%), 53 responden berpendidikan S2
(78%) dan 11 responden berpendidikan D4/S1 (18%). Dilihat dari sisi lama bekerja, kami
membagi menjadi dua, yaitu < 10 tahun dan > 10 tahun. Responden yang telah menjadi
Widyaiswara > 10 tahun 17 orang (25%) , dan 51 orang menjadi widyaiswara 10 tahun
(75%).
Statistik deskriptif lain yang diperoleh dari pengolahan data dalam penelitian ini tersaji
dalam tabel 1. Dari 68 responden yang bersedia memberikan pendapatnya, rata rata dari
kelompok pertanyaan human capital memiliki rata rata 5,302, standar deviasi 0.5119, nilai
minimum 3.6 dan nilai maksimal 6. Sedangkan rata rata dari kelompok pertanyaan modal
social (social capital) memiliki rata rata 5,200 , standar deviasi 0.577, nilai minimum 3.2 dan
nilai maksimal 6, dan rata rata dari kelompok pertanyaan modal organisasional
297
(organizational capital) memiliki rata rata 4.551, standar deviasi 0.6237, nilai minimum 2.266
dan nilai maksimal 6.
Obs
Mean
hc1
hc2
hc3
hc4
hc5
68
68
68
68
68
5.632353
5
5.294118
5.397059
5.191176
sc1
sc2
sc3
sc4
sc5
68
68
68
68
68
oc1
oc2
oc3
oc4
ii1
ii2
ii3
ri1
ri2
ri3
Std. Dev.
Min
Max
.5705303
.7917485
.5999707
.6262827
.7581862
3
3
4
3
3
6
6
6
6
6
5.235294
5.338235
5.058824
5.147059
5.220588
.6717686
.6135362
.8443376
.8510697
.5421237
3
3
1
2
4
6
6
6
6
6
68
68
68
68
68
4.676471
4.25
4.661765
4.617647
5.573529
.7617963
1.097827
.8215438
.8469332
.527347
2
1
2
2
4
6
6
6
6
6
68
68
68
68
68
5.588235
5.588235
4.485294
4.691176
4.25
.4958121
.5250528
1.203138
1.187715
1.407602
5
4
1
2
1
6
6
6
6
6
298
Rata
rata
II
RI
HC
OC
SC
0%
2,500%
0
0,784%
0,313%
0%
6,599%
0
2,353%
0,313%
0%
15,736%
5,800%
10,196%
1,881%
0.053%
12,183%
10,400%
25,098%
8,150%
39,68%
42,640%
10,400%
54,510%
54,859%
59,79%
20,305%
73,400%
7,059%
34,483%
jawaban
5,140
4,314
5,150
4,510
5,200
b.
Uji Korelasi
Dari hasil uji korelasi antar variabel baik independen maupun dependen,
ditampilkan pada table 3 berikut. Semua variabel menunjukkan korelasi < 0.6, yang
artinya korelasi antar variabel lemah, sehingga terbebas dari autokorelasi antar
variabel.
299
1.0000
0.2147 1.0000
0.3116 0.3246 1.0000
0.4612 0.0126 0.4609
0.1414 -0.1412 -0.1704
1.0000
0.0553
1.0000
Kapabilitas Inkremental
1
Kapabilitas Radikal
4
Modal Intelektual :
-
Organizational
-0,206
-0,195
-0,221
-0,206
-0,049
-0,041
-0,041
-0,107
Capital
(0,032)
(0,053)
(0,021)
(0,006)
(0.845)
(0,873)
(0,873)
(0,693)
Social Capital
Human Capital
0,387
0,404
0,4564
0,479
-0,472
-0,496
-0,496
-0,618
(0,000)
(0,001)
(0,000)
(0,000)
(0,095)
(0,103)
(0,103)
(0,071)
0,315
0,304
0,306
0,306
0,483
0,507
0,507
0,471
(0,004)
(0,007)
(0,005)
(0,006)
(0,081)
(0,081)
(0,081)
(0,117)
Organizational
0,036
0,026
-0,080
-0,073
capital x social
(0,355)
(0,494)
(0,431)
(0,493)
capital
-
Human capital x
-0.037
-0,011
-0,019
-0,037
social capital
(0,483)
(0,845)
(0,892)
(0,805)
Variabel Kontrol:
-
Gender
Pendidikan
Lama bekerja
0,074
0,073
0,056
0,050
(0,650)
(0,532)
(0,858)
(0,874)
0,293
0,285
-0,129
-0,145
(0,047)
(0,062)
(0,746)
(0,725)
-0,012
-0,011
0,015
0,016
(0,236)
(0,280)
(0,555)
(0,570)
Adjusted R2
0,323
0,312
0,342
0,324
0,030
0,012
-0,011
-0,033
Prob > F
0,000
0,000
0,000
0,000
0.182
0,343
0,519
0,656
Keterangan : barisan pertama (koefisien regresi); baris kedua (signifikansi pada p < 0,05)
300
301
302
widayiswara
BPPK.
Sebelumnya sudah terlihat peran modal social yang paling besar dalam hasil pengujian
1, 2, 3, dan 4, terutama yang mempengaruhi kapabilitas innovative incremental. Hal ini
sejalan dengan pendapat Nonaka (1994) yang menyatakan bahwa kerja berkelompok,
sharing knowledge, berkolaborasi dengan rekan sejawat atau anggota tim lainnya dalam
organisasi, membawa pengaruh paling besar dibanding dengan aspek modal intelektual
lainnya. Oleh karena itu, peneliti menyarankan baik kepada organisasi, BPPK maupun
widyaiswara untuk memperkuat kolaborasi dan kerjasama dengan tim kerja dalam
membuat terobosan dan inovasi baru, tidak hanya menguatkan inovasi yang sudah ada.
E. SIMPULAN, SARAN DAN KETERBATASAN
Dari hasil pengujian dan pembahasan di atas kami menemukan hasil dari penelitian
ini adalah modal manusia dan modal social berpengaruh positif signifikan terhadap
kapabilitas
inovatif
incremental,
dalam
persepsi
widyaiswara
BPPK.
Modal
303
belum mampu mempengaruhi merubah pengetahuan, produk yang sudah ada, baru bisa
memperkuat dan meningkatkan pengetahuan dan produk yang ada. Saran kami,
pengetahuan yang sudah dilestarikan, dikodifikasi dan disusun dalam bentuk manual,
data base bahan ajar dan pengetahuan di BPPK, perlu dievaluasi dalam hal
keberdayaannya dalam mendorong munculnya inovasi.
Penelitian ini masih banyak mengandung keterbatasan, pertama, substansi
kuesioner perlu ditinjau ulang dari segi validitas konstruknya, meskipun dari pengujian
validitas dan reliabilitas sudah terpenuhi. Kedua, perlu ditambah respondennya, tidak
hanya dari widyaiswara tetapi juga dari pihak structural dan pihak terkait lainnya dalam
lingkup internal BPPK. Ketiga, penelitian ini perlu dilakukan lagi dalam waktu beberapa
tahun mendatang, untuk memotret kembali apakah terjadi dinamika perubahan
hubungan modal intelektual dengan kapabilitas inovatif widyaiswara BPPK.
F. DAFTAR PUSTAKA
BPPK, 2014. Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) BPPK Tahun
2014. Jakarta.
Davenport, T.H., & Prusak, L., 1998. Working knowledge : How organizations manage what
they know. Boston : Harvard Business School Press.
Dewar, R. D., & Dutton, J. E. 1986. The adoption of radical and incremental innovations : An
empirical analysis. Management Science, 31: 1432-1433.
Gupta, A. K., & Govindarajan, V. 2000. Knowledge man agement's social dimension:
Lessons from Nucor Steel. Sloan Management Review, 42(1) 71-79.
Indriartono, N dan Supomo. 2013. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta : Andi.
Nonaka, I. 1994. A dynamic theory of organizational knowledge creation. Organization
Science, 5: 14 37.
Nonaka, L, & Takeuchi, H. 1995. The knowledge-creat ing company: How Japanese
companies create the dynamics of innovation. New York: Oxford Press.
Schultz, T. W. 1961. Investment in human capital. American Economic Review, 51: 1-17.
Skaggs, B. C, & Youndt, M. A. 2004. Strategic position ing, human capital, and performance
in service or ganizations: A customer interaction approach. Strategic Management
Journal, 25: 85-99.
Snell, S. A., & Dean, J. W. 1992. Integrated manufacturing and human resources
management: A human capital perspective. Academy of Management Journal, 35:
467-504.
Subramaniam, M., & Youndt. 2005. The Influence of Intellectual Capital on The Type of
Innovative Capabilities. The Academy of Management, Vol 48, No 3 (jun 2005), pp.
450-463.
304
Subramaniam, M., & Venkatraman, N. 2001. Determi nants of transnational new product
development ca pability: Testing the influence of transferring and deploying tacit
overseas knowledge. Strategic Management Journal, 22: 359-378.
Tushman, M., & Anderson, P. 1986. Technological discontinuities and organizational
environments. Administrative Science Quarterly, 31: 439-65.
Walsh, J. P., & Ungson, G R. 1991. Organizational mem ory. Academy of Management
Review, 16: 57-91.
Youndt, M. A., Subramaniam, M., & Snell, S. A. 2004. Intellectual capital profiles: An
examination of in vestments and returns. Journal of Management Studies, 41: 335362.
Item
hc1
hc2
hc3
hc4
hc5
ratahc
sc1
sc2
sc3
sc4
sc5
ratasc
oc1
oc2
oc3
oc4
rataoc
ii1
ii2
ii3
rataii
ri1
ri2
ri3
ratari
Obs
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
Sign
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-
item-test
correlation
0.5387
0.3226
0.4954
0.5041
0.4391
0.5894
0.5975
0.6471
0.6958
0.7170
0.5909
0.8027
0.5370
0.3824
0.4414
0.4886
0.6433
0.4932
0.5127
0.4858
0.5347
0.3772
0.3642
0.5182
0.5069
item-rest
correlation
0.4953
0.2473
0.4470
0.4540
0.3733
0.5536
0.5506
0.6084
0.6470
0.6705
0.5530
0.7801
0.4780
0.2806
0.3700
0.4184
0.6036
0.4508
0.4739
0.4432
0.4982
0.2646
0.2522
0.4008
0.4194
Test scale
average
interitem
covariance
.1344776
.1374095
.1349614
.1344245
.1344766
.1344477
.1316018
.1314854
.1259572
.125194
.1339028
.128981
.1317986
.1336831
.1337867
.1321276
.1313804
.1359799
.1360716
.1361491
.1359349
.1333569
.1339728
.1255274
.1291971
0.8616
0.8676
0.8624
0.8622
0.8640
0.8609
0.8595
0.8587
0.8554
0.8546
0.8606
0.8553
0.8610
0.8692
0.8642
0.8627
0.8587
0.8628
0.8626
0.8629
0.8623
0.8713
0.8716
0.8679
0.8634
.1326514
0.8673
305
alpha
Obs
resid
68
Pr(Skewness)
Pr(Kurtosis)
0.0321
0.1900
joint
Prob>chi2
adj chi2(2)
5.95
0.0510
b) Heteroskedastisitas
Source
chi2
df
Heteroskedasticity
Skewness
Kurtosis
7.00
3.63
0.04
9
3
1
0.6374
0.3037
0.8363
Total
10.67
13
0.6381
c) Multikolinearitas
Variable
VIF
1/VIF
ratasc
rataoc
ratahc
1.43
1.30
1.21
0.699302
0.768783
0.827752
Mean VIF
1.31
306
Lampiran 2
Daftar Kuesioner Penelitian
No
Sangat
Tidak
Setuju
Pernyataan
Human Capital
1
Widyaiswara adalah tenaga pengajar
yang terdidik dan terampil di bidang
keahliannya
2
Widyaiswara secara umum dikenal
sebagai pengajar/pendidik terbaik
dalam bidang pendidikan.
3
Widyaiswara adalah pengajar yang
kreatif dan cerdas
4
Widyaiswara adalah pribadi yang ahli
dan berkompeten dalam bidang yang
menjadi keahliannya
5
Widyaiswara mengembangkan ide-ide
baru dan pengetahuan/keahlian di
bidangnya
Social Capital
6
Widyaiswara terbiasa berkolaborasi
dengan sesama widyaiswara lainnya
dalam mendiagnosa dan
menyelesaikan masalah terkait dengan
diklat
7
Widyaiswara saling berbagi (sharing)
informasi dan saling belajar dengan
rekan kerja.
8
Widyaiswara berinteraksi dan bertukar
ide dengan pihak lain dalam Unit Diklat
(misalnya pihak struktural).
307
Tidak
Setuj
u
Kurang
Ragu
Setuju
Ragu
Sangat
Setuju
Setuju
18
19
20
308
Sama dengan
kompetitor
309
Pendahuluan
Menyampaikan materi diklat bukanlah sesuatu yang sulit, melainkan juga bukan suatu
hal yang mudah. Apalagi bagi Widyaiswara yang salah satu tugas utamanya adalah
melaksanakan dikjartih (mendidik, mengajar, dan melatih) peserta diklat. Namun, seringkali
penulis menjumpai, bahkan sering juga mengalami ketika menjadi peserta diklat, peserta diklat
yang tidak antusias menyimak Pengajar yang sedang memberikan materi, tidak fokus kepada
materi yang diberikan, sibuk sendiri bermain gadget, mengantuk, bahkan sampai tertidur di
kelas. Masih banyak penulis jumpai Widyaiswara yang ketika menyampaikan materi hanya
berfokus pada materi yang disampaikan dan cenderung mengabaikan unsur-unsur non verbal.
310
Kadang Widyaiswara terjebak pada GBPP atau cakupan materi yang harus
disampaikan
sehingga merasa sudah sukses mengajar apabila seluruh materi sudah diberikan, terlepas dari
peserta memahami atau tidak materi tersebut dan sesuai atau tidak dengan mataeri itu dengan
kebutuhan mereka. Yang penting materi sudah diberikan sesuai dengan GBPP dan sesuai
dengan jamlat yang dialokasikan, habis perkara! Padahal tugas seorang Widyaiswara,
sesungguhnya tidak sekadar menyampaikan materi (knowledge/skill) tetapi juga mengubah
attitude atau sikap peserta terhadap hal yang disampaikan tersebut.
Topik ini penting untuk diangkat karena selain memberikan materi, tugas Widyaiswara
berikutnya adalah menginspirasi peserta diklat agar setelah keluar dari kelas, mereka mau
belajar lagi, memperdalam lagi, dan mencari lebih banyak lagi terkait hal-hal yang sudah
mereka dapatkan di dalam kelas. Sesungguhnya pembelajaran yang sebenarnya terjadi ketika
mereka kembali ke kantor dan menindaklanjuti proses belajar di dalam kelas. Ketika seorang
Widyaiswara menyampaikan informasi atau materi diklat, sesungguhnya ada 4 tingkatan tujuan
yang ingin dicapai, yaitu: 1). Mengubah knowledge (hanya menjelaskan sesuatu atau sekadar
memberikan informasi), 2). Mengubah orang untuk meningkatkan skill, 3). Memengaruhi orang
untuk mengubah belief, dan 4). Memengaruhi orang untuk action sesuai dengan yang
diinginkan (dalam kapasitas kecil atau besar). (Azzaini, 2015).
Untuk itu, dalam tulisan ini akan diberikan tips-tips men-deliver materi
diklat untuk
Diskusi
Begitu seorang Widyaiaswara memasuki kelas dan berdiri di depan audiens, maka
tampilan yang wajib diperlihatkan kepada audiens sebagai default seorang Widyaiswara ada 3,
311
yang disingkat dengan S-E-O, yaitu Smile, Eye Contact, dan Open Posture. Poin pertama
dalah Smile atau senyum. Sudah banyak riset yang membuktikan bahwa senyuman bisa
meredakan ketegangan. Hati yang sedang galau dan gelisah bisa terobati oleh senyuman.
Senyum merupakan hal sepele tetapi efeknya luar biasa. Senyum juga ada rumusnya, yaitu 22-7, artinya bibir ditarik ke kanan dan kekiri masing-masing sepanjang 2 cm dan ditahan selama
7 detik. Senyum 2-2-7 bisa dilakukan kapan saja di sepanjang sesi pembeljaran untuk membuat
peserta diklat merasa nyaman. Selain rumus 2-2-7, senyum yang tulus adalah senyum yang
datang dari hati. Walaupun datangnya dari hati, ciri-cirinya tetap dapat dilihat di wajah yaitu dari
adanya jejak cakar ayam di sudut luar mata. Itulah yang membedakan antara senyum dari hati
dan senyum terpaksa.
Default yang kedua adalah kontak mata. Ketika berbicara dengan audiens maka harus
ada kontak mata sebagai sarana untuk membangun kedekatan (rapport) dan untuk melihat
ekspresi dan feedback yang diberikan oleh audiens. Orang bijak mengatakan bahwa mata
adalah jendela hati, dari ekspresi mata bisa diketahui apa yang dirasakan dan diinginkan oleh
audiens. Agar perhatian dapat diberikan secara merata kepada audiens, dapat digunakan
rumus jam 10-02, yaitu mengarahkan pandangan secara bergantian ke arah pukul 10, 11, 12,
1, 2 dan sebaliknya. Dengan demikian peserta diklat akan mendapatkan perhatian secara
merata tanpa ada yang merasa dilupakan.
Default yang ketiga adalah open posture atau postur tubuh terbuka. Untuk
mendapatkan postur tubuh yang terbuka ini, seorang Widyaiswara harus dengan rileks dan
senyaman mungkin, tidak kaku atau tegang seperti tentara yang sedang bersikap sempurna.
Posisi kepala, tangan, kaki, dan tubuh perlu diatur seenak mungkin. Jika ada ruang gerak, bisa
bergerak seperlunya, misalnya bisa maju mendekat kepada audiens ketika ada yang bertanya.
Atau bisa juga bergerak ke kiri dan ke kanan secara seimbang dan proporsional (prinsipnya
play and pause). Yang harus dihindari adalah diam di satu titik saja karena hal itu akan
membuat jadi monoton dan membosankan. Selain itu juga harus dihindari memberikan
presentasi sambil duduk di belakang meja karena itu menandakan bahwa ada jarak antara
Widyaiswara dan peserta diklat dan memberikan kesan bahwa Widyaiswara tersebut ingin
bersembunyi dari audiens. Posisi tubuh harus agar tetap menghadap audiens dengan tangan
diletakkan di samping tubuh. Perlu dihindari tangan bersedekap atau dimasukkan ke saku
celana. Tangan disamping tubuh selain menandakan rasa percaya diri dan dapat dipercaya
oleh audiens, juga memudahkan untuk menggerakan tangan. Jika tangan kanan memegang
312
mikrofon, tangan kiri bisa memegang pointer dan bergerak dengan leluasa atau sebaliknya.
Membelakangi audiens harus dihindari, termasuk ketika sedang menjalankan slide dengan
laser pointer maupun ketika sedang menulis di papan tulis atau flipchart.
Demikianlah tiga hal yang merupakan penampilan wajib (default) seorang Widyaiswara
yang perlu selalu diingat dan ditampilkan sepanjang berada di depan audiens.
313
Selain membangun Why, hal yang perlu Anda lakukan sebelum masuk ke materi adalah
perkenalan dan building rapport. Untuk perkenalan, bisa dilakukan dengan mengeksplorasi
nama dan reputasi Widyaiswara sendiri terkait dengan kompetensinya di bidang tersebut.
Misalnya dengan menyampaikan pengalaman ketika mengisi diklat atau lokakarya di kota-kota
lain atau di event yang lain dengan cara yang rendah hati tanpa terkesan menyombongkan diri.
Adapun, untuk membangun rapport atau relation dengan peserta, bisa dengan mencari
sebanyak mungkin kesamaan dengan audiens atau mengapresiasi mereka tentang apa saja
yang relevan dengan diklat. Misalnya dengan menanyakan siapa yang asalnya paling jauh atau
yang datang paling duluan dan memberikan apresiasi kepadanya. Selain itu dapat dilakukan
dengan membangun kemiripan dengan peserta, misalnya mengenakan dresscode yang sama,
menanyakan peserta yang asal kampungnya sama, asal sekolahnya sama, dan sebagainya.
Semakin banyak kesamaan yang diperoleh, semakin baik dan membuat peserta semakin
nyaman.
314
Untuk memuaskan semua peserta diklat, pada saat menyampaikan materi, menurut
Azzaini (2015) seorang Widyaiswara perlu menggunakan teknik-teknik yang bisa memuaskan
kelima mesin kecerdasan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan gaya belajar manusia berdasarkan
mesin kecerdasarnnya yang dikelompokkan menjadi 5 yaitu Sensing, Thinking, Intuiting,
Feeling, dan Insting (disingkat STIFIn).
Orang dengan mesin kecerdasan Sensing (S), bagian otak yang paling aktif atau
dominan adalah limbik kiri. Mereka akan sangat mengandalkan kelima inderanya. Mereka
adalah orang-orang yang teliti, teratur, sangat memperhatikan susunan kata, peduli dengan
kerapian dan ketertiban. Orang-orang ini menyukai contoh dan fakta yang terlihat. Untuk tipe ini
diperlukan seorang pengajar dengan gaya penampil atraktif yang bisa memainkan variasi kata
dan alat bantu visual. Orang Sensing yang mengandalkan kekuatan panca indera sangat
senang dengan permainan kata. Variasi kata yang kaya akan membuat presentasi lebih hidup
dan dinamis. Hindari penggunaan kata-kata, frasa, kalimat, atau cerita yang sama berulangulang karena hal itu akan membuat presentasi Anda monoton dan membosankan. Sebaliknya
variasikan dengan kata, frasa, kalimat yang berbeda walupun maknanya tetap sama. Misalnya
untuk menyebut sukses bisa digunakan kata-kata: berhasil, berjaya, berkembang, maju,
bertumbuh, gol, lulus, lolos, beruntung, menang, tercapai, berjalan, selamat, dan lain-lain. Untuk
menyebut kerja sama Atau bisa juga digunakan kata-kata: kolaborasi, koordinasi, sinergi,
gotong royong, tolong menolong, saling membantu, dan lain-lain.
315
Sedangkan untuk olah suara, perlu dilakukan pada beberpa bagian penting dengan
tujuan untuk membuat presentasi lebih hidup. Bayangkan jika mengajar di diklat diklat selama
5 hari dan para pengajarnya bicara dengan nada yang datar (monoton), apa yang dirasakan
para peserta diklat? Setelah itu bayangkan Pengajar yang menyampaikan materi menggunakan
suara yang hidup, apa kira-kira yang dirasakan peserta diklat? Mana yang lebih menarik dan
menyenangkan?
Untuk memainkan suara ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan sehingga pesan
yang disampaikan menancap ke dalam pikiran dan hati peserta diklat. Bagian yang dimainkan
tersebut merupakan pesan utama yang ingin ditekankan. Ada 4 teknik memainkan suara, yaitu:
Tinggikan Volume. Pada bagian tersebut, kita volume suara lebih tinggi daripada bagian
yang lain dalam kalimat tersebut.
Intonasi Diayun. Pada bagian yang ingin ditekankan, intonasi dinaik-turunkan sedemikian
rupa sehingga berbeda dengan intonasi pada bagian kalimat yang lain.
Tempo Diperlambat. Kata diucapkan seolah-olah terputus-putus, misalnya berkembang
diucapkan ber...kem...bang. Karena kata-kata yang lain diucapkan secara biasa saja, maka
bagian ini akan ditangkap sebagai pesan utama.
Kata diulang-ulang (repetisi). Untuk menancapkan pesan utama dan bagian yang
dipentingkan, dilakukan dengan mengucapkan kata tersebut berulang-ulang. Terlebih lagi,
jika pengulangannya melibatkan audiens, tentu efeknya akan lebih terasa.
Tipe berikutnya adalah orang dengan mesin kecerdasan Thinking (T), yaitu mereka
yang bagian otaknya paling dominan adalah neokorteks kiri. Mereka ini orang-orang yang
sangat logis, memperhatikan data, senang dengan hal-hal yang terstruktur dan sistematis, serta
suka humor-humor cerdas. Untuk peserta diklat dengan tipe ini, pengajar perlu memberikan
pencerah pikiran berupa data dan fakta, pertanyaan menggugah, dan humor cerdas.
Pertanyaan reflektif biasanya membuat orang tercerahkan dan tergugah untuk membuat
perubahan, menjadi pribadi yang lebih positif, terus belajar dan bertumbuh, dan mau melakukan
introspeksi diri.
Untuk menampilkan humor, ada beberapa tips yang perlu diingat, yaitu gunakan anonim
(atau kata ganti), letakkan hal yang lucu di akhir cerita, dan buat humor yang berhubungan
dengan materi diklat. Pada dasarnya humor itu hanya bumbu yang bertujuan agar peserta diklat
tetap enjoy menyimak materi diklat.
316
Tipe ketiga adalah Intuiting (I), yaitu orang yang dominan otaknya pada bagian
neokorteks kanan. Mereka menyukai sesuatu yang baru, kreatif, dan inovatif. Daya imajinasi
orang-orang ini sungguh luar biasa. Mereka sangat menyukai analogi dan sesuatu yang
berlawanan (versus). Banyak sekali analogi yang bisa kita buat untuk menjelaskan materi yang
kita sampaikan. Misalnya untuk menggambarkan perjuangan hiduo, bisa digunakan analogi
orang bersepeda. Pada saat sedang mengayuh sepeda dengan kencang dan sekuat tenaga,
artinya kehidupan sedang menanjak, dan sebaiknya pada saat sepeda itu tidak dikayuh, artinya
sedang menurun. Untuk menjelaskan materi, bisa juga dengan mengontraskan sesuatu yang
berlawanan (versus), misalnya mengontraskan karakter seorang leader dengan seorang
manager sehingga menjadi lebih jelas perbedaan di antara keduanya.
Tipe keempat adalah Feeling (F), yaitu orang-orang yang otaknya dominan pada limbik
kanan. Ciri-ciri meraka adalah sangat perasa, empatik, mudah tersentuh, hangat, senang
bergaul, suka dengan cerita, dan suka berinteraksi dengan orang lain. Mereka juga menyukai
kata bermakna. Untuk memuaskan tipe F, bisa digunakan teknik story telling untuk membuat
materi yang disampaikan lebih berdampak. Cerita yang baik adalah yang di dalamnya terdapa
dialog karena akan membuat cerita lebih hidup dan bisa menyihir peserta diklat. Berikut ini
beberapa prinsip yang perlu diterapkan dalam teknik story telling: tetapkan tujuan cerita, buat
alur cerita, ubah me menjadi us, libatkan visual, auditori dan kinestetik audiens, buat dialog, dan
buat penutup cerita yang mengejutkan.
Teknik lain untuk memuaskan orang F adalah dengan perenungan (kontemplasi), atau
mencari sesuatu yang bernilai dengan mengerahkan pikiran dan perasaan. Di ujung
komtemplasi harus ada ajakan kepada peserta diklat untuk menjadi lebih positif, punya
harapan, lebih bersemangat, dan berkomitmen untuk menjadi lebih baik.
Dan terakhir tipe kelima yaitu orang-orang yang dominan otak reptil atau otak tengah
atau disebut mesin kecerdasannya Insting (In). Mereka adalah orang-orang yang responsif,
spontan, mudah beradaptasi, senang dilibatkan, senang dengan kasus-kasus yang unik dan
menarik. Untuk memuskan orang-orang dengan mesin kecerdasan In adalah dengan
melibatkan mereka dalam kegiatan pembelajaran, baik melalui diskusi kelompok, games,
rolepaly, maupun penugasan individu. Hal yang utama dari melibatkan peserta diklat adalah
untuk mendapatkan insight dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan. Insight adalah
penjelasan yang mendalam dari suatu permainan atau kegiatan. Dari insight ini, peserta
317
mendapatkan wawasan, makna, pengetahuan, dan hikmah baru yang meresap ke dalam
pikiran dan hatinya. (Azzaini, 2015).
Kesimpulan
Untuk menghasilkan delivery materi diklat yang berdampak bagi peserta diklat, perlu
dilakukan teknik-teknik yag benar dalam tiap bagian: opening, delivery, dan closing. Dalam
opening harus dibangun Why (mengapa materi itu penting bagi peserta), perkenalan, dan
membangun rapport dengan peserta diklat. Dalam delivery materi diklat, perlu dilakukan teknikteknik sesuai dengan karakter 5 mesin kecerdasan, yaitu Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling,
318
dan Insting agar kebutuhan gaya belajar tiap-tiap mesin kecerdasan dapat diakomodasi. Dalam
closing, perlu dilakukan 3-R, menaikkan energi peserta, dan mengajak peserta untuk action.
Jika teknik-teknik dalam tiap harapan pembelajaran tersebut dapat dilakukan dengan
baik, maka penyampaikan materi oleh Widyaiswara tidak akan lagi membosankan bagi peserta
diklat, bahkan peserta diklat akan merasakan bahwa Widyaiswawa A ini gue banget!
Daftar Pustaka
Azzaini, Jamil. (2015). Speak to Change. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Poniman, Farid. (2011). STIFIn Personality. Jakarta: Griya STIFIn.
Suharyanto, Anton dan Egrita Buntara (2016). Leader Speaks! Jurus Andalan Pemimpin
Perubahan. Yogyakarta: Diandra.
Materi Pelatihan Influence Your Audience, 2016. Jakarta: Pusdiklat Pengembangan SDM
Kementerian Keuangan & Akademi Trainer.
319
Abstract: State Civil Apparatus (Aparatur Sipil Negara) Professional is the hope for
this nation. Hence, the ability and professionalism of the Aparatur Sipil Negara needs
to be improved. To be able to maintain professionalism, the need to improve the
development and training of Aparatur Sipil Negara. Development and training aims to
improve performance. Additionally destination Aparatur Sipil Negara held for
development and training to equip, improve, and develop job competence.
Development can be done through orientation, training, and education.This paper
focuses on the discourse of development and training will be given to the Aparatur Sipil
Negara. This paper is a descriptive narrative, that is an article that depicts or describes
a situation in words. This is the result of observation of the planned release of
Government Regulation as a derivative of the Act No. 5 of 2014 on Aparatur Sipil
Negara.Lack of training opportunities and the uneven rotation training for Aparatur Sipil
Negara behind the existence of this paper. As we all know Aparatur Sipil Negara plays
an important role in this nation. The main function of the government apparatus is to
serve the community and the public interest. The data collection is done by the study of
literature. Aspects of education and training to be a very major to improve quality. In
addition, as long-term investments. Aparatur Sipil Negara problems and improved
performance in the face of global competition, conducted continuously, more effective
and efficient This remains the responsibility of the joint, especially in education and
training. Apparatus Challenge Training for Civil State
Keywords: Training, Civil Apparatus State
Corresponding author : M.Retno Daru Dewi, E-mail : retno.mrdd@yahoo.co.id
Tel/Fax : 0821-1217-0450/ 0251-8222260
PENDAHULUAN
mempunyai
hak
dalam
mengembangkan
kompetensi
diri.
Pelatihan
320
yang tepat bagi Seorang Aparatur Sipil Negara untuk dapat melakukan pengembangan
profesi.
Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugas, harus mampu menjalankan revolusi
mental sesuai dengan tuntutan saat ini. Menjalankan kehidupan beragama secara
benar, selalu memiliki komitmen dalam melayani masyarakat sehingga tercipta good
governance. Di setiap organisasi akan bisa tercapai tujuan organisasi. Aparatur yang
memiliki kesadaran diri dan mempunyai etos kerja yang baik sudah barang tentu akan
menghasilkan kinerja yang baik. Aparatur Sipil Negara professional sangatlah
dibutuhkan bagi organisasi. Aparatur Sipil Negara dalam menjalankan revolusi mental
harus membentengi dan mewarisi nilai nilai kepahlawanan. Nilai- nilai moral dengan
menjalankan/mengamalkan kehidupan beragama secara konsisten.
321
Menurut Drs. H. Taufiq Efendi, MBA bahwa aspek pendidikan dan pelatihan menjadi
sangat utama untuk meningkatkan kualitas Aparatur Sipil Negara. Pendidikan dan
pelatihan juga merupakan proses investasi jangka panjang. Permasalahan dan
peningkatan
kinerja
dilaksanakan secara terus- menerus dengan motivasi untuk mencari cara yang lebih
efektif dan efisien.(Efendi,2008).
Menjawab
tantangan-tantangan
tersebut
diatas,
maka
sudahlah
menjadi
tanggungjawab kita bersama, terutama sebagai tenaga pendidik. Untuk itulah penulis
tertarik menulis dengan judul Tantangan Pelatihan bagi Aparatur Sipil Negara
KERANGKA TEORI
A.
pemerintahan. Aparatur negara dan pemerintahan sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat. Aparatur negara bertugas dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan
negara dan pembangunan.
kepentingan akan nilai- nilai dan cita- cita perjuangan bangsa dan Negara berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (TAP MPR nomor II tahun 1998). Aparatur
Sipil Negara sebagai penyelenggara pemerintahan diberikan tanggung jawab untuk
merumuskan langkah-langkah strategis dan upaya-upaya kreatif guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat secara adil, demokratis dan bermartabat.
322
pemerintahan yang professional (//pemerintah.net/uu-Aparatur Sipil Negara-aaratursipil-negara/tgl 3 Juli 2015 jam 10.25).
Tantangan yang dihadapi Aparatur Sipil Negara hingga saat ini antara lain,
adanya peluang penyalah gunaan wewenang/kekuasaan yang akan merugikan negara
dan masyarakat, mafia hukum, menghadapi persaingan global yang semakin
kompleks, dan berbagai masalah krusial lain. Pada saat ini untuk mewujudkan
Aparatur Sipil Negara yang bisa dipertanggung jawabkan, reformasi aparatur perlu
dilaksanakan secara terus-menerus dengan ditopang oleh motivasi untuk mencari cara
yang lebih efektif dan efisien. (Efendi,2008).
Keberhasilan dan berdaya gunanya suatu organisasi, dapat dilihat pada salah
satu aspek yang terkandung di dalamnya, yaitu kualitas sumber daya manusia. Untuk
mencapai keberhasilan tersebut, maka pengelolaan organisasi yang baik dan benar
pada suatu institusi pemerintahan tentunya sangat tergantung kepada Aparatur Sipil
Negaradalam hal ini aparatur yang mewakilinya yang tidak dapat dipegang oleh
sembarang orang, karena memerlukan persiapan dengan melalui pendidikan dan
pelatihan yang memadai. Aparatur Sipil Negara diharapkan dapat memberikan
pelayanan yang baik manakala memiliki semangat kerja, budaya dan etos kerja, serta
motivasi tinggi, yang konsisten di dijalankan bagi kepentingan masyarakat luas.
Menyikapi situasi dan kondisi pemerintah Indonesia saat ini yang banyak
menghadapi permasalahan kompleks, tidak lepas dari kualitas moral dan perilaku
(karakter) para aparat birokasi yang mengawakinya. Seperti diketahui hampir semua
bidang
cukup banyak
terjadi
323
berwibawa. Sedikitnya ada 5 kriteria good public governace, sebagai prinsip yang
saling terikat, yaitu:
1.
2.
3.
4.
Komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa dan Negara dan
bukan kelompok atau individu
5.
Komitmen
untuk
mengikutsertakan
dan
memberi
kesempatan
kepada
sistem,
manajemen,
rekruitmen
dan
budaya
pegawai
negeri
sipil
netralitas, dimana Aparatur Sipil Negara dilindungi dari kepentingan politis dengan
adanya system merit protection. Kompetensi, hal yang dinilai dari Aparatur Sipil
Negara adalah kemampuan, keahlian, profesionalitas, dan pengalaman. Kinerja /
produktivitas kerja, Integritas, Kesejahteraan. Kualitas pelayanan public, pengawasan
dan akuntabilitas (pemerintahan.net/uu-Aparatur Sipil Negara-aparat-sipil Negara/tgl
15 Juni 2004)
Undang- Undang ASN inilah merupakan benteng yang membekali para Aparatur
Sipil Negara untuk menjalankan revolusi mental seperti yang disampaikan Yudi Latif
(Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan dalam kompas tgl 21 Agustus 2014 hal 6)
disampaikan bahwa begitu terang benderang bahwa krisis mentalitas merupakan akar
324
tunjang dari krisis kebangsaan. Bisa dipahami apabila pesan lagu kebangsaan lebih
mendahulukan pembangunan jiwa dari pada raga. Celakanya, perhatian yang
berlebihan terhadap investasi material membuat kita mengabaikan investasi mental.
Usaha mengubah mentalitas bangsa tidak bisa ditempuh secara mudah dan
waktu singkat. Misi revolusi mental harus dilakukan secara terencana, bertahan, dan
terstruktur, yang secara sinergis mentrasformasikan metalitas-karakter bangsa menuju
kemandirian dalam ekonomi, kedaulatan dalam politik, dan berkepribadian dalam
kebudayaan. Betapapun hal ini merupakan proyek raksasa yang maha berat, tetapi
kita tak boleh kehilangan optimisme. Dengan semangat gotong royong, kita bisa atasi
segala rintangan. Mempertahankan Negara buat selama-lamanya itu tidaklah mudah.
Aparatur Sipil Negara diharapkan dapat memberikan pelayanan yang baik manakala
memiliki semangat kerja, budaya dan etos kerja, serta motivasi tinggi, yang konsisten
di dijalankan bagi kepentingan masyarakat luas
Di sisi lain, bahwa aspek pendidikan dan pelatihan menjadi hal sangat utama
(mutlak) untuk meningkatkan kualitas Aparatur Sipil Negara dan sekaligus sebagai
proses investasi jangka panjang (Efendi, Taufiq, 2008). Dengan adanya pendidikan
dan pelatihan, maka akan didapatkan Aparatur Sipil Negara yang berkualitas.
B.
banyak dilakukan, walau harus diakui hal tersebut belumlah merata. Masih banyak
yang tidak memiliki kesempatan pendidikan dan pelatihan.
325
Aparatur
Sipil
Negara
dalam
menjalankan
revolusi
mental
harus
326
pendahulu kita ditambah nilai- nilai moral kehidupan beragama yang diamalkan
dengan secara benar dan konsisten. Hal ini diharapkan akan dapat memberikan
pelayanan yang lebin baik manakala memiliki semangat kerja, budaya dan etos kerja,
serta motivasi yang tinggi.
Pada akhir tulisan ini, marilah kita sebagai Sumber Daya Manusia yang handal
dalam melaksanakan tugas sebagai Aparatur Sipil Negara harus mampu menjalankan
revolusi mental dengan menjalankan tuntunan kehidupan beragama secara benar,
selalu memiliki komitmen
governance disetiap organisasi akan bisa dicapai melalui kesadaran diri Aparatur Sipil
Negara yang mempunyai etos kerja yang baik sudah barang tentu akan menghasilkan
kinerja yang baik, sehingga akan didapatkan Aparatur Sipil Negara yang professional.
327
DAFTAR PUSTAKA
http://www.kabarAparatur;
Negara.com/berita.php?pil=8&jd=Pengaruh+Globalisasi+Terhadap+NilaiNilai+Pelatihan&dn=20090607183541
http://suarapembaca.detik.com/read/2008/08/28/173328/996440/471/PelatihanAparatur Sipil Negara
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelatihan
Undang-Undang No 5 Tahun 2009 tentang Aparatur Sipil Negara
Effendi, Taufiq, 2008, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada Seminar
Pembangunan Sumber Daya Manusia Aparatur Negara, Makalah,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Setio Budi,1997: Jurnal Perencanaan Pembangunan, Nomor 17,Oktober.
pemerintahan.net/uu-Aparatur Sipil Negara-aparat-sipilNegara/tgl 15 Juni
2004
pemerintah.net/uu-Aparatur Sipil Negara-aparatur-sipil-negara/tgl 3 Juli 2015
jam 10.25
328
Abstract:The Indonesian government has issued a fiscal policy since April 1, 2010 in
order to inccrease national revenue by supporting tourism promotion activities. Support
are given through the fiscal side in the form of a tax refund (VAT refund) for foreign
tourists who have spent their money in tax refund service areas such as Denpasar,
Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, and Medan. The mechanism of VAT Refund for
tourists in Indonesia is conducted by Government Process Model (GPM) fully, which
Directorate General of Taxation (DGT) endorse and gives direct payments in airports to
tourists who claim their VAT refund. The VAT Refund can also be done with other
methods as in the case of Singapore. This paper gives an overview, evaluation and
policy analysis related to the government tax refund using the Government Process
Model (GPM) in Indonesia and Refund Process Model Operator (ROPM) in Singapore.
It will also show many advantages and disadvantages that each of the methods have.
Keywords: Vat refund, turis asing, Government Process Model (GPM), Indonesia,
Refund Process Model Operator (ROPM), Singapore.
Corresponding author: Muhammad Taufiq Budiarto E-mail: taufiqbudiarto@yahoo.com
PENDAHULUAN
329
menimbulkan potential loss atau penurunan pendapatan negara dari pajak, tetapi
dalam jangka panjang kebijakan ini akan meningkatkan penerimaan pemerintah
terutama dari Pajak Penghasilan (PPh).
Untuk itu guna mendorong peningkatan jumlah wisatawan asing yang
berkunjung ke Indonseia maka dari sisi kebijkan fiskal pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan tax refund yang tertuang dalam Undang-undang nomor 42 tahun 2009.
Kebijakan ini diharapkan dapat menarik wisman sekaligus mendorong minat wisman
berbelanja di Indonesia. Dampak ini tentu saja akan mempunyai nilai positif terhadapat
perkembangan ekonomi lokal dan menumbuhkan industri kreatif lainnya di tanah air.
Dalam pelayanan VAT refund baru ada 5 bandara yang dapat melayani fasilitas
tersebut.
Sukarno
Hatta Jakarta dan Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar, Bandara Internasional
Adi Sutjipto Yogyakarta, Bandara Internasional Juanda Surabaya dan Bandara
Internasional Polonia Medan. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut maka telah di
laksanakan mekanisme pengembalian PPN kepada turis asing dengan Government
Process Model (GPM) sepenuhnya, dimana Direktorat Jenderla Pajak (DJP)
melaksanakan endorsement dan pembayaran secara langsung di bandar udara
kepada turis yang meminta pengembalian PPN. Untuk melakukan evaluasi atas
kebijakan tersebut penulis tertarik membuat kajian tentang kelebihan dan kekurangan
metode ini. Dan sebagai pembanding maka penulis akan memaparkan metode yang
digunakan Negara terdekat kita yaitu negara Singapore.
Seperti kita ketahui tujuan utama turis Indonesia dikenal memiliki hobi belanja
dan wisata keluar negeri adalah ke Singapore selain ke negara Malaysia atau Thailand
atau negara asia lainya bahkan sampai eropa dan amerika.
Metodologi
A. Metode Penelitian
upaya
menetapkan
masalah
330
dan
merumuskan
pemecahan
pada
beberapa bandara yang perlu dilakukan dalam fasilitas tax refund diperlukan data
kedatangan jumlah wisman. Demikian juga dilihat potensi perkembangan daerah
serta ekonomi daerah yang bersangkutan. Sedangkan peningkatan fasilitas,
teknologi dan pelayanan tax refund serta infrastruktur yang diperlukan dapat
mencontoh penerapan (lesson learn) dari negara lain.
Adapun bahan-bahan penulisan berasal dari berbagai sumber dan data
sekunder. Demikian juga informasi didapat dari penggalian beberapa informasi
yang berasal dari berbagai sumber, bahan seminar, makalah serta didukung pula
dengan kajian pustaka.
331
meminta kembali PPN dan Pajak Penjualan atas barang Mewah harus
mencantumkan identitas berupa nama, nomor paspor, dan alamat lengkap orang
pribadi tersebut di negara yang menerbitkan paspor.
Tax Refund bagi wisatawan asing di Indonesia diatur pada Pasal 16E UU
nomor 42 Tahun 2009, yang menyebutkan bahwa:
1.
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
sudah dibayar atas pembelian barang kena pajak yang dibawah ke luar
Daerah Pabean oleh orang pribadi paspor luar negeri dapat diminta kembali.
2.
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus
memenuhi syarat :
a)
Nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp 500.000 (lima ratus ribu
rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah.
b)
c)
3.
4.
Paspor
b.
c.
332
5.
Sejak 1 April 2010, untuk Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri
(selanjutnya diistilahkan sebagai Wisatawan Mancanegara atau Turis Asing) yang
berbelanja barang yang dikenakan PPN (Barang Kena Pajak) di Daerah Pabean,
apabila barang tersebut dibawa pulang ke negara asalnya (keluar Daerah Pabean),
maka PPN yang telah dibayarkannya pada saat pembelian barang tersebut dapat
dimintakan kembali (diistilahkan sebagai Value Added Tax Refund). Ketentuan
mengenai Value Added Tax Refund ini diatur dalam Pasal 16E Undang-Undang PPN
Nomor 42 Tahun 2009. Turis Asing yang dapat memperoleh Tax Refund ini serta
bagaimana mekanisme proses Tax Refund diatur dalam Pasal 16E ayat (2), ayat (3),
ayat (4) UU PPN dan aturan pelaksanannya adalah Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 76/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-20/PJ/2010 tanggal 31 Maret 2010, secara garis besar ketentuan
mengenai pemberian Tax Refund kepada Wisman (Turis Asing) adalah sebagai
berikut :
a.
Pengembalian
PPN
bagi
wisatawan
asing
hanya
berlaku
untuk
c.
Hanya boleh dilakukan untuk pembelian dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sebelum yang bersangkutan meninggalkan Indonesia.
d.
e.
Wisatawan asing hanya dapat meminta tax refund untuk pembelian barang
yang jumlah PPN minimal Rp 500.000,00 dengan meminta Faktur Pajak
Khusus (bentuk Faktur Pajak Khusus dapat dilihat di Lampiran
76/PMK.03/2010) dari toko yang ditunjuk.
333
Sampai saat ini, Direktur Jenderal Pajak telah menetapkan sejumlah toko yang
ditunjuk untuk dapat mengeluarkan Faktur Pajak dalam penyerahan Barang Kena
Pajak kepada Turis Asing, sehingga mereka dapat melakukan proses Tax Refund.
Toko yang telah ditunjuk telah tersebar di Jakarta, Tangerang, Bali, Yogyakarta,
Surabaya dan Medan. Proses pemberian Tax Refund saat ini juga hanya dilakukan di
Bandar Udara (bandara) khusus yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Sampai
dengan saat ini Bandara yang telah ditetapkan sebagai tempat untuk memproses Tax
Refund adalah:
1) Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang (Keputusan Menteri
Keuangan No. 141/KMK.03/2010)
2) Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar (Keputusan Menteri
Keuangan No. 141/KMK.03/2010)
3) Bandara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta (Keputusan Menteri
Keuangan No. 427/KMK.03/2010)
4) Bandara Internasional Juanda, Surabaya (Keputusan Menteri Keuangan
No. 287/ KMK.03/2011)
5) Bandara Internasional Polonia, Medan (Keputusan Menteri Keuangan
No.287/ KMK.03/2011)
Hasil
(GPM)
sepenuhnya,
dimana
Direktorat
Jenderla
Pajak
(DJP)
334
yang merupakan fee atas transaksi keuangan tersebut. Skema VAT Refund di
Indonesia adalah sebagai berikut:
Bayar PPN
PKP
Konsumen
Pembayaran
PPN kepada
Tourists
SP2D
DJP
KPPN
Dalam Hal
Restitusi :
SKPKPP &
SPMKP
2.
VAT Refund untuk turis dapat juga dilakukan dengan metode yang berbeda
dengan government process model, sebagaimana yang terjadi di Singapura,
yang menggunakan 2 model, yaitu:
a. Retailer Operated Scheme (ROS)
Pada model ini, setelah turis mendapatkan endorsement dari petugas Bea
dan Cukai di bandara dan meminta pengembalian PPN kepada toko retail,
toko retail membayarkan PPN tersebut kepada turis, selanjutnya toko retail
mengurangkan jumlah yang dibayar tersebut dalam pembayaran SPT
Masa PPN yang akan disampaikan. Jumlah pajak yang dikembalikan oleh
toko retail kepada turis dikurangi biaya administrasi yang dikenakan oleh
toko retail. Sebagai catatan metode ROS ini sudah semakin ditinggalkan
karena dinilai tidak efisien.
b. Central Refund Agency (CRA)
Turis, setelah mendapatkan endorsement dari petugas Bea dan Cukai di
Bandara, langsung menerima pembayaran dari CRA (Global Blue) secara
tunai, cheque, atau melaui kartu kredit, dengan dikenakan biaya
administrasi sebesar 10% s/d 20% oleh CRA. Selanjutnya CRA akan
meminta kembali pengembalian pajak tersebut dengan 2 opsi:
335
1)
Kepada otoritas pajak (IRA), melalui SPT PPN yang restitusinya akan
diproses dengan jangka waktu maksimal 1 (satu) bulan, atau;
2)
Skema pengembalian dengan model ROS dan CRA adalah sebagai berikut:
a.
Skema ROS
1. Skema ROS
Payment,
Including GST
Retailer
TOURISTS
Verification and
endorsement
Goods
+ invoice
2
Invoice endorsed
(by mail/drop box)
4
GST return
Minus GST
refunded
Customs
At Changi
Refunded Cheque
(by mail)
IRA
b.
Payment,
Including GST
Retailer
TOURISTS
1
Goods
+ invoice
GST return
(normal)
Invoice endorsed
by CUSTOMS
Refund is:
-Cash
-Cheque
-- Credit Card
GST
Returned
Tax Office
4
Payment of GST
refunded
336
Refund
Provider
Customs/
DJP
c.
Payment,
Including GST
Retailer
TOURISTS
Goods
+ invoice
Invoice endorsed
by CUSTOMS
GST return
(restitusi)
DJP
Refund is:
-Cash
-Cheque
-- Credit Card
Tax Office
Payment of GST
refunded
Refund
Provider
Diskusi
Berdasarkan hasil kajian dan sharing dengan pihak terkait selama penulis
bertugas di Direktorat Peraturan Perpajakan I (Subdit PPN) Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak , dan juga dengan peserta diklat baik DTSD maupun
DTSS, maka dapat di sampaikan kekurangan dan kelebihan masing masing
metode sebagai berikut :
Keterangan
Kelebihan
Government Process
Model
1. Pembayaran
Refund Operator
Refund Operator
Process Model 1
Process Model 2
1. Mengurangi beban 1. Mengurangi
beban
melalui mekanisme
untuk
dikembalikan 100%
tersebut,
tanpa
hanya
berperan
Lebih
dalam
memeriksa
menguntungkan
bawaan
mengendors;
mengendors;
potongan.
337
menangani
memeriksa
karena
barang
dan
Keterangan
Government Process
Refund Operator
Refund Operator
Process Model 1
Process Model 2
Model
2. DJP
dapat 2. Adanya
berbagai 2. Adanya
berbagai
memantau
online
secara
bentuk
setiap
promosi
bentuk
promosi
kepariwisataan
kepariwisataan
refund
operator,
pengembalian yang
layanan
dilakukan
bersifat
seluruh dunia;
di
bandara;
operator,
seluruh
dunia;
yang
karena
ini
bersifat
3. Tersedianya
3. Tersedianya
pembayaran
dalam
pembayaran dalam
bentuk
lain
yang
1. Promosi
1. Tidak
sesuai 1. Adanya
kepariwisataan
dengan
ketentuan
berjalan lambat di
karena
refund
bervariasi
banding
operator
bukan
negara,
Refund
Operator;
PKP;
2. Terbatasnya
pembayaran
dilakukan
yang
di
asing
bervariasi di setiap
kecil;
yang
diterima
kembali
turis
asing
memerlukan
pengawasan
terhadap
lebih
kinerja
Refund Operator;
4. Jangka
waktu
pengembalian PPN
yang singkat tidak
338
di
setiap
oleh
turis
menjadi
lebih
sehingga 2. DJP
jumlah
oleh
besarnya
sehingga
kembali
negara,
bandara;
yang
2. Adanya commission
mekanisme
fee
commission
memerlukan
pengawasan
terhadap
lebih
kinerja
Refund Operator;
Keterangan
Government Process
Model
Refund Operator
Process Model 1
dapat
diakomodir
dengan
Refund Operator
Process Model 2
ketentuan
SIMPULAN
restitusi
belum
memungkinkan
secara
ketentuan
untuk
339
b. Rekomendasi:
1) Tetap menggunakan GPM existing; atau
2) Dalam hal diterapkan ROPM, namun dengan kondisi sebagai berikut:
a) Refund Operator langsung mengajukan pengembalian ke KPPN
mengingat dokumen yang sudah di endorse oleh petugas DJP pada
dasarnya dapat dipersamakan sebagai SPMKP.
b) ROPM diterapkan bersama GPM sehingga turis memilik pilihan.
c) Sistem on line antara toko retail dengan DJP tetap dipertahankan.
Payment,
Including GST
Retailer
TOURISTS
Goods
+ invoice
Tax Office
Customs/
DJP
Refund is:
-Cash
-Cheque
-- Credit Card
3
GST return
(normal)
Invoice endorsed
by CUSTOMS
GST
Returned
Refund
Provider
KPPN
Payment of GST
refunded
3. Disamping hal-hal tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan dalam
rangka lebih mengefektifkan pelaksanaan VAT Refund, dengan tujuan untuk
mendorong wisatwan mancanegara semakin banyak berbelanja di Indonesia, yaitu:
a. Mengubah batasan pengembalian yang berlaku sekarang yaitu untuk nilai PPN
minimal Rp 500.000,- agar menjadi lebih kecil sesuai dengan benchmarking di
Singapura.
b. Tidak membatasi jumlah toko retail
Refund, tapi hanya menetapkan kriteria agar suatu toko dapat masuk ke dalam
skema VAT Refund.
340
Daftar Pustaka
Agung, Mulyo, Teori dan Aplikasi Perpajakan Indonesia, Penerbit Dinamika Ilmu,
Jakarta, 2007 Hadinoto, Kusudianto. Perencanaan dan Pengembangan
Destinasi Pariwisata, UI Press Jakarta, 1996 Ilyas, B. Wirawan, Suhartono,
Rudy, Panduan Komprehensif dan Praktis Pajak Penghasilan, Lembaga
Penerbit FEUI, Jakarta, 2007 Kodyat, H. , Sejarah Pariwisata dan
Perkembangannya di Indonesia, Liberty, Jakarta, 1996
Observation & Research of Taxation (ORTAX), Susunan Dalam Satu Naskah 9
st
341
Abstract Entering globalization and MEA, Indonesia must improve the competence in
order to can compete and to answer the challenges of the future especially in
government organizations. It is important to realize good governance. So government
organizations must changes and reform to build positive work culture especially to
develop work culture of innovation. Build innovation in government organizations has
become a global phenomenon. In Indonesia it is marked by The Bureaucratic Reforms.
Therefore, government organizations should also be clean and build a positive work
culture, especially the work culture of innovation in order to form the civil servant that is
able to compete, competitive so as to realize a good government organization. This
paper use quantitative research methods. With the aim to understand the work culture
of innovation practices and to explore some inhibiting factors also supporting factors
that encourage innovation practices work culture in government organizations.
Pendahuluan
Di era globalisasi saat ini dengan diberlakukannya MEA pada negara negara
ASEAN, penting bagi Indonesia untuk dapat bersaing serta mewujudkan organisasi
pemerintahan yang baik. Merujuk pada penilaian yang dilakukan oleh Bank Dunia
bahwa Indonesia masih dibawah dibanding dengan negara lain. Adapun kondisi
birokrasi saat ini (menurut Waluyo, KASN, 2015) antara lain : Corruption Perception
Index juga di posisi rendah. Score 3,4 dari skala 0 10 ; Manajemen Kinerja
342
pelaksanaannya lemah, Pelayanan Publik masih sering dikeluhkan serta masih adanya
pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Pejabat Publik. Dalam The Global
Competitiveness Report 2015-2016 yang dikeluarkan oleh Forum Ekonomi Dunia
(WEF) dilaporkan pula bahwa daya saing Indonesia pada tahun 2015 berada di posisi
37 dunia, atau turun 3 peringkat dibandingkan tahun lalu. Sementara Swiss,
Singapura, dan Amerika Serikat masih menjadi penghuni 3 besar negara paling
berdaya saing di dunia pada tahun 2015.
Hal ini menunjukkan bahwa perlunya diadakan perbaikan dan perubahan dalam
organisasi pemerintah seiring dengan semakin tingginya tuntutan masyarakat.
Membangun inovasi pada organisasi pemerintah telah menjadi fenomena global. Di
Mexico, Presiden Vicente Fox mencanankan reformasi sektor publik dengan prinsip
prinsip utama : govrnment that cost less, quality government, professional government,
digital government, government with regulatory reform, honest and transparent. Di
Indonesia sendiri, dalam Pola Pikir Pencapaian Visi Reformasi Birokrasi yang tertuang
di Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand
Design Refromasi Birokrasi 2010-2025 pada area perubahan ke delapan menyebutkan
perlunya perubahan pola pikir dan budaya kerja aparatur dimana diharapkan Aparatur
dapat berubah pola pikir dan budaya kerjanya.
Berbagai permasalahan birokrasi diatas juga terkait dengan budaya kerja dalam
organisasi pemerintahan sebagaimana diatur dalam pedoman pengembangan budaya
kerja aparatur negara yang dapat diidentifikasi sebagai patologi birokrasi. Kepercayaan
masyarakat yang menjadi sasaran akhir reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan
perubahan pola pikir / mind set untuk membangun budaya kerja inovasi dalam
organisasi pemerintah.
Dengan
pembahasan
demikian
umum
permasalahan
terkait
dengan
pada
tulisan
budaya
kerja
ini
akan
inovasi
dibatasi
dalam
pada
organisasi
Metodologi
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Menurut
Sugiono, metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian berdasarkan pada
343
filsafat postpositivisme yang biasa di gunakan untuk meneliti pada kondisi alamiah
dimana peneliti berperan sebagai instrumen kunci (Sugiono, 2008:15). Menurut
Sukmadinata (2005) dasar penelitian kualitatif adalah konstruktivisme yang berasumsi
bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman
sosial yang diinterpretasikan oleh setiap individu. Peneliti kualitatif percaya bahwa
kebenaran adalah dinamis dan dapat ditemukan hanya melalui penelaahan terhadap
orang-orang melalui interaksinya dengan situasi sosial mereka (Danim, 2002).
Menurut
Nawawi
dan
Martini
metode
deskriptif
adalah
metode
yang
dengan upaya
catatancatatan
lapangan
saat
penelitian
dilaksanakan
(Jonathan
344
Adapun menurut Triguno (2004) budaya kerja adalah suatu falsafah yang
didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan
kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau
organisasi yang tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat
dan tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja.
Jika dihubungkan dengan organisasi, maka budaya kerja dalam organisasi
menunjukkan bagaimana nilai nilai organisasi dipelajari, ditanam, dan dinyatakan
dengan mempergunakan alat / sarana (vehicle) tertentu berkali-kali agar masyarakat
dapat mengamati dan merasakannya. Seperti Taliziduhu Ndraha menyatakan budaya
kerja merupakan sekelompok pikiran dasar atau pola pikir / mental yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi kerja dan kerjasama manusia yang dimiliki
oleh suatu golongan.
Inovasi
Pengertian Inovasi dalam kamus Bahasa Indonesia adalah memasukkan atau
pengenalan hal-hal yang baru, penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada
atau yang sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode, atau alat). Menurut Rogers
(2003), menjelaskan bahwa inovasi adalah sebuah ide, gagasan, praktek atau objek
yang dianggap baru oleh individu satu unit adopsi lainnya. Halvorsen (2005)
menekankan 2 (dua) hal penting dari inovasi yaitu : sifat kebaruan (novelty) dari
sebuah produk dan inovasi berhubungan dengan proses pencarian aplikasi komersial
di sektor bisnis. Selanjutnya Shapiro (2002) melihat inovasi sebagai sebuah
keunggulan kompetitif dari suatu perusahaan. Berinovasi dengan melihat lima elemen
kapabilitas inovasi yaitu : strategi, pengukuran, proses, sumberdaya manusia, dan
teknologi. Sedangkan menurut Albury (2003) mendefinisikan secara sederhanan
inovasi sebagai new ideas that work. Hal ini berarti inovasi memang berhubungan erat
dengan ide baru yang bermanfaat, yang menghasilkan perbaikan signifikan dalam hal
efisiensi, efektif dan kualitas.
Robbins (2007) memfokuskan inovasi pada tiga hal utama yaitu gagasan baru
terhadap fenomena yang sedang terjadi, produk dan jasa yang siap dikembangkan dan
diimplementasikan, serta upaya perbaikan yang terus menerus sehingga bisa
dirasakan manfaatnya.
345
346
Organisasi Pemerintah
Menurut Stephen P. Robbins dalam Ismi (2014) menyatakan bahwa Organisasi
merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah
batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus
menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan.
G.R. Terry (2012:233) mendefinisikan pengorganisasian adalah tindakan
mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara orang-orang, hingga
mereka dapat bekerja sama secara efisien dan demikian memperoleh kepuasan
pribadi dalam hal melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam kondisi lingkungan
tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu.
Aspek dari pengertian lain yang dikemukakan oleh Weber dalam Thoha
(2012:113) menyatakan bahwa suatu organisasi atau kelompok kerja sama ini
mempunyai unsur kekayaan sebagai berikut : (a) Organisasi merupakan tata hubungan
sosial, dalam hal ini seseorang individu melakukan proses interaksi sesama didalam
organisasi tersebut, (b) Organisasi mempunyai batasan-batasan tertentu (boundaries),
dengan demikian seseorang yang melakukan hubungan interaksi dengan lainnya tidak
atas kemauan sendiri. Mereka dibatasi oleh aturan-aturan tertentu, (c) Organisasi
merupakan suatu kumpulan tata aturan, yang bisa membedakan suatu organisasi
dengan kumpulan-kumpulan kemasyarakatan. Tata aturan ini menyusun proses
interaksi di antara orang-orang yang bekerja sama di dalamnya, sehingga interaksi
tersebut tidak muncul begitu saja dan (d) Organisasi merupakan suatu kerangka
hubungan yang berstruktur di dalamnya berisi wewenang, tanggung jawab, dan
pembagian kerja untuk menjalankan suatu fungsi tertentu. Istilah lain dari unsur ini
ialah terdapatnya hierarki (hierarchy). Konsekuensi dari adanya hierarki ini bahwa di
dalam organisasi ada pimpinan atau kepala dan bawahan atau staf.
Perilaku organisasi
Perilaku organisasi adalah suatu studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah
laku manusia dalam suatu organisasi atau kelompok tertentu. Rangkuman yang
menyeluruh bahwa perilaku organisasi adalah secara langsung berhubungan dengan
pengertian, ramalan, dan pengendalian terhadap tingkah laku orang-orang dalam
347
suatu organisasi dan bagaimana perilaku orang-orang tersebut mempengaruhi usahausaha pencapaian tujuan organisasi.
Model birokrasi Weber merupakan salah satu model ideal dan sesuai untuk
merancang teori-teori mengenai organisasi. Secara teori, suatu birokrasi mempunyai
berbagai sifat yang dapat dibedakan dari ketentuan-ketentuan lain dari suatu
organisasi. Beberapa sifat yang amat penting dapat dikemukakan sebagai berikut : (1)
Adanya spesialisasi, atau pembagian kerja, (2) Adanya hirarki yang berkembang, (3)
Adanya suatu sistem dari suatu prosedur dan aturan-aturan, (4) Adanya hubunganhubungan kelompok yang bersifat impersonalita, (5) Adanya promosi dan jabatan yang
berdasarkan kecakapan.
Perilaku Individu
dalam Organisasi
Karakteristik
Organisasi
Hierarki
Tugas-tugas Wewenang
Tanggung JawabSistem
Reward Sistem Kontrol dan
lainnya
348
tingkat
kemakmuran
sebuah
Negara
beserta
masyarakatnya.
Menghasilkan suasana yang harmonis diantara sesama bangsanya dan dengan umat
manusia di dunia ini.
Disamping itu, melalui otonomi yang luas, daerah diharapkan mampu
meningkatkan
daya
saing
dengan
memerhatikan
prinsip-prinsip
demokrasi,
349
350
Diskusi
Laporan yang dikeluarkan oeh World Economic Forum yang bertajuk The Global
Competitiveness Report menempatkan Indonesia pada peringkat ke-55 pada tahun
2008-2009 yang kemudian meningkat menjadi urutan ke-38 pada tahun 2014. sebagai
perbandingan berturut-turut posisi negara tetangga yakni urutan ke-2 ditempati oleh
Singapura, urutan ke-24 ditempati oleh Malaysia, urutan ke-26 ditempati oleh Brunei
Darussalam dan urutan ke-37 ditempati oleh Thailand.
Data tersebut diatas menunjukkan tingkat kompetitif birokrasi tidak hanya
rendah dalam memberikan pelayanan publik tetapi juga tertinggal dari negara-negara
tetangga. Sejak tahun 1995, BPKP telah merilis penyebab rendahnya budaya kerja
disebutkan antara lain :
1. Kurangnya komitmen dari pimpinan atas pelaksanaan pengembangan budaya kerja;
2. Struktur organisasi kelompok budaya kerja tidak terikat dengan struktur formal;
3. Tidak ada monitoring secara konsisten.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa filosofi budaya kerja bersumber dari agama,
kepercayaan, tradisi maupun dari ilmu pengetahuan. Adapun filosofi budaya kerja yang
dimaksud antara lain, sebagai berikut :
1. Bekerja adalah suatu ibadah, panggilan atau tugas mulia;
2. Bekerja dengan mengutamakan kualitas pelayanan kepada konsumen (stake
holders);
3. Bekerja dengan melibatkan semua lapisan pegawai dari pimpinan sampai bawahan;
4. Bekerja dengan melakukan perbaikan secara terus menerus dari waktu ke waktu
(continous improvement).
Laporan lainnya yang dirilis oleh Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) menunjukkan bahwa skor efficiency of bureaucracy pada tahun 2012
Indonesia memiliki skor 8,37 dari skala 10 yang paling buruk. Sementara urutan
pertama yang paling efisien ditempati oleh Negara Singapura dengan skor 2,25 dari
nilai skala 0 yang paling baik.
Adapun faktor-faktor yang menghambat terciptanya aparatur yang profesional
antara lain lebih disebabkan tidak adanya iklim yang kondusif dalam dunia birokrasi
untuk menanggapi aspirasi masyarakat dan tidak adanya kesediaaan pemimpin untuk
memberdayakan bawahan. Pendapat tersebut meyakini bahwa sistem kerja birokrasi
publik yang berdasarkan juklak dan juknis membuat aparat menjadi tidak responsif
351
serta juga karena tidak berperannya pemimpin sebagai pengarah (katalisator) dan
pemberdaya bagi bawahan (Siagian, 2000:164).
Untuk mewujudkan aparatur yang professional diperlukan political will dari
pemerintah dalam melakukan perubahan besar pada organisasi birokrasi publik agar
dapat bekerja secara profesional dan responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan
publik. Perubahan tersebut meliputi perubahan dalam filsafat atau cara pandang
organisasi untuk mencapai tujuan yang dimulai dengan membangun budaya kerja
inovasi dalam organisasi pemerintah. .
Konsep dasar budaya kerja merupakan turunan dari budaya organisasi yang
dikembangkan antara lain dengan mempertimbangkan ajaran-ajaran agama, konstitusi
(peraturan perundang-undangan), kondisi sosial dan budaya setempat. Ketika individuindividu masuk ke dalam sebuah organisasi, maka akan terjadi penyesuaian nilai-nilai,
norma-norma, sikap dan perilaku yang diinginkan oleh organisasi demi mencapai citacita atau tujuannya. Perubahan tersebut membutuhkan waktu, komitmen, kedisiplinan
dan upaya yang luar biasa. Organisasi yang memiliki budaya kerja yang kuat akan
dapat memperoleh hasil yang lebih baik.
Dari uraian dari para ahli diatas, dapat didskusikan bahwa memang perlu
membangun budaya inovasi dalam organisasi pemerintah. Kemudian selain adanya
faktor faktor pendukung, dalam implementasi membangun budaya kerja inovasi juga
memiliki faktor faktor penghambat. Ketika kita sudah mengetahuinya maka kita dapat
memaksimalkan faktor pendukung tersebut dan meminimalisir faktor penghambatnya.
Upton dan Swiden (1998) mencatat bahwa dalam abad informasi, organisasi
pemerintah telah berubah menjadi semacam joint-up government or citizen-centric
government, yang menyebabkan pelayanan publik lebih berorientasi pada konsumen.
Inovasi organisasi pemerintahan melalui penciptaan dan berbagai pengetahuan dapat
dilakukan melalui perubahan sistemik yang dilakukan secara sengaja oleh anggota dan
pimpinan organsiasi. Keberhasilan proses perubahan ditentukan oleh beberapa faktor :
(1) orang-orang yang terlibat dalam proses governance itu sendiri adalah mereka yang
menciptakan dan memelihara perubahan, yang komit dan adaptif (Sumarto, 2003:10);
(2) pemimpin yang memiliki kekuatan untuk mengubah dalam lingkup kekuasaannya;
(3) komunikasi antar pencetus perubahan dengan pihak lain; (4) dedikasi bawahan
atau pegawai dalam melakukan perubahan; dukungan dari publik dan politisi.
352
participatory; ketiga, faktor faktor yang berkaitan dengan sistem dan struktur, seperti
adanya ruang untuk pembelajaran yang lebih fleksibel, inovatif, keuangan yang
fleksibel, akuntabilitas dan transparansi ke bawah, struktur organisasi dan manajemen
yang mendatar (flat) (Blackburn, dalam Sumarto, 2003;13-14).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa inovasi dalam organsiasi pemerintah
ditentukan oleh individu, pemimpin, struktur organsisai, proses pembelajaran,
komunikasi dan dukungan eksternal. Pemimpin orgnisasi sangat menentukan inovasi
organisasi. Pemimpin yang baik adalah yang dapat mengelola perubahan dengan
tingkat resistensi yang minimal (Sumarto, 2003:11). Dalam studinya menyimpulkan
bahwa pemerintah yang berhasil melakukan inovasi dengan mempertahankan dedikasi
yang tinggi para pegawainya dengan cara mempublikasikan capaian program, bahkan
untuk sukses sekecil apapun. Dengan menunjukkan keberhasilan program, mereka
secaa tidak langsung telah memberikan beban moral kepada pegawai untuk bersikap
bertanggungjawab.
Kotter (2002:2) bahkan menyebutkan bahwa, the central issue is never strategy,
structure, culture or systems. All those elements, and others, are important. But the
core of matter is always about changing the behavior of people, behavior change
happens in highly successful situations mostly by speaking to people's feelings.
Pandangan Kotter tersebut menjelaskan bahwa sikap atau perilaku seseorang dapat
dengan mudah berubah jika leader mampu untuk berkomunikasi atau mendorong
perasaan atau emosi orang tersebut. Ketika hal ini mampu dilaksanakan maka
perubahan dapat terwujud dan bahkan akan menjadi sistem dan membudaya.
Henry N, (1988) mengupas konsep inovasi sebagai salah satu konsep dari teori
organisasi. Henry mengemukakan bahwa kemampuan untuk mengadakan perubahan,
dibutuhkan inovasi, adaptasi dalam setiap bentuk kehidupan organisasi. Perubahan
organisasi dipengaruhi oleh tiga faktor : teknologi organisasi, lingkungan organisasi
(tugas dan fungsi), dan interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungannya.
353
354
Kesimpulan
Agar Indonesia mampu berdaya saing, berkompetisi dan menjadi pemerintahan
kelas dunia maka diperlukan perubahan, reformasi dalam organisasi pemerintah.
Perubahan tersebut diantaranya berupaya untuk membangun budaya kerja yang positif
dalam organisasi pemerintah seperti meningkatkan profesionalitas, kompetisi, kreatis,
responsibiltas dan inovatif.
Untuk menumbuhkan budaya kerja seperti uraian diatas tentunya tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan. Ada faktor faktor yang menjadi pendukung
serta faktor penghambat. Inovasi dalam organisasi pemerintah ditentukan oleh
individu, pemimpin, struktur organisasi, proses pembelajaran, komunikasi dan
dukungan eksternal. Dalam inovasi organisasi pemerintah peran pemimpin organisasi
sangatlah menentukan.
Ada satu hal yang harus diperhatikan pimpinan organisasi dalam membangun
budaya kerja inovasi, yakni pegawai harus mengetahui permasalahan yang ada dalam
355
organisasi dan memahami jenis inovasi yang sesuai untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Dalam membangun Budaya Kerja Inovasi di Organisasi Pemerintah Leader
juga harus mampu untuk berkomunikasi atau mendorong perasaan atau emosi orang
bawahannya.
Adapun Langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan dalam membangun
budaya kerja inovasi dalam organisasi:
1.
2.
3.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
Sasaran akhir dari budaya kerja yaitu terciptanya perubahan pola pikir dan
budaya kerja aparatur negara menjadi budaya yang mengembangkan sikap dan
perilaku kerja yang Inovasi, berorientasi pada hasil (outcome) yang diperoleh dari
produktivitas kerja dan kinerja yang tinggi untuk memberikan pelayanan masyarakat.
Namun tetap upaya pengembangan tersebut harus memperhatikan salah satu syarat
terpenting dalam mendorong keberhasilan pengembangan budaya kerja yaitu
komitmen dari pimpinan pemerintahan tertinggi baik di Pusat maupun Daerah
356
Daftar Pustaka
357
Prasetya, Triguno. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara,
cetakan kelima hal 13.
Robbins, Stephen P. (2007). Organizational Behavior. 12th Edition, New Jersey :
Prentice Hall.
Shapiro, Stephen, M. (2002). Innovation : A Blue Print for Surviving And Thriving in an
Age of Change. New York : Mc-Graw Hill
Sugiono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D, Bandung : Alfabeta, hal 15
Sumarto, Hetifah Sj., (2003). Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, 20 Prakarsa
Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Inonedisa.
Upton dan Swiden in Eileen M.Ilner. (1998). Managing Information and Knowledge in
Public Sector. London : Routledge.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2025
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 39
Tahun 2012 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja
Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor 10 Tahun 2014 tentang Peningkatan Efektifitas dan Efisiensi Kerja
Aparatur Negara
https://arozieleroy.wordpress.com/2010/07/13/budaya-kerja/ tanggal 15 Maret 2016
http://kamusbahasaindonesia.org/inovasiKamusBahasaIndonesia.org 15 Maret 2015
358
INTRODUCTION
Teaching is a profession when teachers practice learning the general knowledge
base and use the knowledge for effective teaching practices (NSTA, 2003). To achieve
effective learning, teachers need some skills. Teaching is a pedagogic competence
that must be mastered by teachers and quite complex because it is the integration of a
variety of teacher competence completely and thoroughly. Professional competence is
demonstrated by mastery of the material, structure, concept, and the mindset of
scientific support of teaching subjects; developing professionalism through reflective
action. The ability of teachers to understand concepts in depth, mastery of pedagogy,
strategies deliver material to students becomes very important as stated in the
standard of teaching competency of teachers (MONE, 2003) that one of the six
competency mastery learning which educates is master approaches, methods, media ,
and assessment of learning. Pedagogical competence becomes an important part of
359
learning because what is presented by the teacher will influence what students learn
(NRC, 1996:28).
Teaching science is more appropriate to use the approach of inquiry (Mao and
Chang, 1998), as a method of learning that can develop all domains educational
purposes, including the attitudes and behavior (Opara, 2011), an effective method as it
pertains to the activities and skills active focus on the quest for knowledge or
understanding to satisfy curiosity (Haury, 1993), the most promising learning method
because not only is able to motivate the students but also science teachers (tRNA,
Trnova, and Sibor, 2012). Science teacher should be prepared to guide students to
make observations, experiments, collecting data, and inference to test Ideas and build
scientific concepts (NSTA, 2011).
The ability of inquiry held by teachers can be seen from the way teachers resolve
issues related to knowledge, science teaching skills, and demonstrate an attitude like
scientists (NRC, 2000). Lack of knowledge about what and how to make the teachers
confused how to apply real inquiry approach in the classroom (Yager & Akcay, 2009)
and also the lack of experience of the application of inquiry (Gengarelly & Abrams,
2009).
During teacher run their professional duties, teachers should improve the
competence in performing professional obligations or processes of growth and
development of the profession (eg Rogan & Grayson, 2004; Tecle 2006; Komba &
Nkumbi, 2008). Improved in change of teaching meaningful can be seen when
teachers teach collaboratively and systematic inquiry, led by its chairman, using the
inquiry focused on the guidelines, and has a stable order for pushing
improve
360
background, this
361
Educational Qualification
Undergraduate
Graduate
25
4
29
7
0
7
State
Private
Total
Educational
Background
Biology
Physics
16
2
18
Work Period
1-10 years
16
2
18
7
2
9
11-20 years
13
1
14
21 years
12
1
13
Procedures.
To improve teachers' pedagogical inquiry competence inquiry-based science
teaching aspect, teachers follow an incremental training covering basic level and
advanced level. Implementation of an incremental training is listed in Table 2.
Advanced Level
Stage of In Service
Learning (ISL)
Implementation:
1 week=24hour=12X
meeting
3week=72hour=36X
meeting
Implementation:
1 week=24hour=12X
meeting
3week=72hour=36X
meeting
5 dayX8 hour=40
hour
Accompaniment:
1 level=2X meeting
4 level=8X meeting
1 week=8X meeting
3 week=24X meeting
1X meeting=2hour
24 meetingx 2
hour=48hour
40 hour + 48 hour = 88 hour
Accompaniment:
1 level=2X meeting
2 level=4X meeting
1 week=4X meeting
3 week=12X meeting
1X meeting=2hour
12meeting x2
hour=24hour
40 hour + 24 hour = 64 hour
Table 2 shows that the training of basic level, in service learning stage was
conducted for five days, eight hours of training each day. The number of training hours
362
is 40 hour. On the job learning phase was conducted over three weeks as much as 36
hour, 1 week equal 12 hour. Assuming 1 times meeting equal 2 hours, then every 12
weeks hours equal 6 times meeting, so that 36 hours equal 18 times meeting. At
advanced level training is done the same thing. The implementation of the basic
training level and advanced level consists of a total of 80 hours of face to face at some
stage in service learning (1 hour = 45 minutes), and 72 hours in the classroom
implementation in stages on the job learning. Competence pedagogy of inquiry that is
trained includes six levels (Wenning, 2010) namely discovery learning (DL), interactive
demostration (ID), inquiry lesson (I Les), inquiry laboratory (I Lab), real-world
application (RWA), and hypothetical inquiry (HI) as shown in Table 3.
The results of training are implemented in schools in the stage of on the job
learning to see the implementation and improvement of pedagogical competence of
inquiry in learning. On the job learning for the basic level training held for three weeks
before continuing to the advanced level training with the aim to give teachers time to
internalize the experience gained during the training into real learning experience. At
the training of the basic level, the teachers got a chance to implement the results of
training each week were 24 hours equal 12 times meeting (1 times meetings equal 2
hours) face to face in the classroom using the different of lesson plan, so the
experience of implementation for three weeks as much as 3 times 24 hours equal 72
hours. It is equal 36 times meeting. At the training of advanced level was done the
same thing so that the total implementation time for training basic level and advanced
level was 3 weeks times 2 level equal 6 weeks, equivalent to 72 hours times 2 (1 hour
= 45 minutes) = 144 hours.
During the on-the-job learning school teachers get 12 times mentoring is spread
over six weeks to two levels. On-the-job learning basic level, accompanied by as much
as 8 times to observe the implementation of learning using four levels (DL, ID, I Les,
and I Lab), while the advanced level for on the job learning accompanied by as much
as 4 times to observe the implementation of learning to use two levels (RWA and HI ).
Each level accompanied by two times with the objective of observing simultaneously
retrieve data at the beginning and at the end. Researchers also analyzed the research
findings in the form of the supporting factors and barriers faced by teachers during
lessons.
363
364
(d) =
Note:
(d) : 0.2, small
(d) : 0.21- 0.5, medium
(d) : 0.51-0.6, large
(d) : 0.61, very large
RESULTS
The overall data obtained from the research that pedagogical competence of
teachers in the implementation of inquiry-based science learning has increased after
participating in the training.
Basic level.
The result of t-test and analysis description of skills
teachers in inquiry-based science teaching at the basic level of overall training are
shown in Table 4.
Table 4. Summary of Science Teaching Skills at The Basic Level of Training
Inquiry Level
Discovery Learning Post
Discovery Learning Pre
Interactive Demonstration Post
Interactive Demonstration Pre
Inquiry Lesson post
Inquiry Lesson pre
Inquiry Laboratory post
Inquiry Laboratory pre
Note: p <0.05
M
3.7300
2.7633
3.5600
2.4267
3.6850
2.4950
3.7300
2.5325
SD
.16407
.07992
.09571
.23771
.10368
.07148
.15556
.05620
t
p
23.415 .000
d
Magnitude
4.73
Large
17.155 .000
6.02
Large
26.177 .000
4.94
Large
23.841 .000
6.61
Large
Based on the initial results of different test scores and final scores use pedagogical
competence in teaching inquiry-based science inquiry of four levels that exist at the
level of basic training (Table 4), all showed very significant difference (sig< 0.05) with a
large effect size. Statistically it appears that the ability of teachers in teaching using
inquiry pedagogical competence inquiry laboratory higher level (Mpre = 2.5325 SDpre =
.05620, Mpost=3.7300 SDpost = .15556) compared to the use of pedagogical competence
of inquiry as a whole, t (35) = 23.8, p = 0.00. The use of pedagogical competence
discovery learning inquiry lowest level (Mpre = 2.7633 SDpre = .07992, Mpost = 3.7300
SDpost = .16407) between the three other levels but still show significant differences, t
(35) = 23.4, p = 0.00.
365
M
3.8611
2.8333
3.7222
2.7778
3.6111
2.6389
3.8333
2.8056
3.4722
2.6944
3.8889
2.8333
SD
.35074
.56061
.45426
.42164
.49441
.48714
.37796
.40139
.50631
.46718
.31873
.37796
t
9.428
p
.000
9.723
.000
8.377
.000
10.129
.000
7.897
.000
15.440
.000
Table 5 shows that teachers teach skills using six competencies inquiry at the
level of the discovery learning as a whole show a highly significant difference (sig
<0.05). The use of communicates competence is higher (Mpre = 2.8333 SDpre = .37 796,
Mpost = 3.8889 SDpost = . 31873) than the use of other competencies, t(35) = 15.4, p =
0.00. Drawing conclusions is the lowest competence (Mpre = 2.6944 SDpre = .46718,
Mpost = 3.4722 SDpost = .50631) compared to five other competencies, as well as the
competence of the lowest among all levels of competence in basic, but still show a
significant difference t (35) = 7.89, p = 0.00.
Table 6 Science Teaching Skills Based on Pedagogical Inquiry Competencies
in Interactive Demonstration (ID) Level
Pedagogical inquiry competencies
Predicting post
Predicting pre
Explaining post
Explaining pre
Estimating post
Estimating pre
Acquiring and processing data post
Acquiring and processing data pre
Formulating scientific explanations post
Formulating scientific explanations pre
Analyzing alternative explanations post
Analyzing alternative explanations pre
Note: p <0.05
M
3.5556
2.4167
3.8611
2.6111
3.6389
2.6667
3.6944
2.5833
3.4722
2.1111
3.4444
2.1667
SD
.50395
.50000
.35074
.49441
.48714
.47809
.46718
.50000
.50631
.31873
.50395
.37796
t
14.028
p
.000
11.553
.000
9.582
.000
9.413
.000
15.050
.000
10.929
.000
Of the six competencies that are used at the level of interactive demonstration all
show a very significant difference (sig< 0.05) as shown in Table 6. The ability of
teachers to use the competence to formulate a scientific explanation is higher (Mpre =
366
2.1111 SDpre = .31873, Mpost = 3, 4722 SDpost = .50631) than other competencies, t
(35) = 15.0, p = 0.00. Estimating is the lowest competence (Mpre = 2.6667 SDpre =
.47809 Mpost = 3.6389 SDpost = .48714) compared to five other competencies, but still
show a significant difference t (35) = 9.58, p = 0.00.
Table 7. Science Teaching Skills Based on Pedagogical Inquiry Competencies in
Inquiry Lesson (I Les) Level.
Pedagogical Inquiry competencies
Measuring post
Measuring pre
Collecting and recording data post
Collecting and recording data pre
Constructing a table of data post
Constructing a table of data pre
Designing and conducting scientific investigations post
Designing and conducting scientific investigations pre
using technology and math during investigations post
using technology and math during investigations pre
Drawing conclussions post
Drawing conclussions pre
Note: p <0.05
M
3.6111
2.5000
3.8611
2.5833
3.6667
2.5556
3.6389
2.4444
3.5833
2.5000
3.7500
2.3889
SD
.49441
.50709
.35074
.55420
.47809
.50395
.48714
.50395
.50000
.50709
.43916
.49441
t
p
9.413 .000
11.625 .000
12.759 .000
9.115 .000
10.013 .000
15.050 .000
Statistically, Table 7 indicates that the six competencies at the level inquiry
lesson used in teaching science show a highly significant difference (sig <0.05). The
use of competency describes the relationship is the highest competence (Mpre = 2.3889
SDpre = .49441, Mpost = 3.7500 SDpost = .43916) than other competencies t (35) = 15.0,
p = 0.00. Among the six competencies are trained, measure is the lowest competence
(Mpre = 2.5000 SDpre = .50709, Mpost = 3.6111 SDpost = .49441) but still show a
significant difference t (35) = 9.41, p = 0.00.
Table 8. Science Teaching Skills Based on Pedagogical Inquiry Competencies in
Inquiry Laboratory (I Lab) Level
Pedagogical Inquiry competencies
Measuring metrically post
Measuring metrically pre
Establishing emphirical laws on the basis of evidence and
logic post
Establishing emphirical laws on the basis of evidence and
logic pre
Designing and conducting scientific investigations post
Designing and conducting scientific investigations pre
Using technology and math during investigations post
Using technology and math during investigations pre
Note: p <0.05
M
3.8333
2.5833
3.6389
SD
.37796
.50000
.48714
2.5000
.50709
3.8889
2.5833
3.5556
2.4722
.31873
.50000
.50395
.50631
t
p
12.426 .000
10.688 .000
13.584 .000
9.396 .000
Table 8 describes the t-test of competency on the level of inquiry laboratory. The
results show significant differences in all competencies (sig <0.05). Designing and
conduct scientific investigations competency is the highest competence (Mpre = 2.5833
SDpre = .50000, Mpost = 3.8889 SDpost = .31873) than the three other competencies, t
367
(35) = 13.58, p = 0.00. Using technology and mathematics during the investigation is
the lowest competency (Mpre = 2.4722 SDpre = .50631, Mpost = 3.5556 SDpost = .50395)
among all the competencies, but still show significant differences, t (35) = 9.39, p =
0.00.
It can be concluded, from all of competencies on the basic level of training, the
highest level difference based on the mean (1.36) is to formulate a scientific
explanation on the level of interactive demonstration and describes the relationship at
the level of Inquiry lesson, while the lowest is make conclusion (0.77) at the level of the
discovery learning. However, all three is significantly different.
Advanced Level
The result of t-test and
teachers in inquiry-based science teaching at the advanced level of overall training are
shown in Table 9.
Table 9. Summary of Science Teaching Skills in The Advanced Level of Training
Level of Inquiry
SD
3.6720
.23446
2.4120
.09680
3.5900
.21389
2.1340
.10945
Magnitude
12.198
.000 3.98
Large
27.438
.000 6.09
Large
368
M
3.8889
2.4722
SD
.31873
.55990
t
15.337
p
.000
3.5556
.50395
2.5278
.50631
3.5833
.50000
2.4167
.60356
3.3889
2.2778
3.9444
2.3611
.49441
.51331
.23231
.63932
8.856
.000
13.804
.000
9.413
.000
14.634
.000
Table 10 shows that all the competencies that are used in the teaching of science
at the level of real world application show a highly significant difference (p< 0.05). The
Ability of teachers in using competencies exercixe of interpersonal skills is higher (Mpre
= 2.3611 SDpre = .63932, Mpost = 3.9444
M
3.5000
2.0278
3.8333
2.2778
3.4167
2.0833
3.3889
SD
.50709
.16667
.37796
.45426
.50000
.50000
.49441
p
t
15.777 .000
2.0556
.47476
3.8056
2.2222
14.310 .000
12.649 .000
12.649 .000
level of
competence (Mpre = 2.2222 SDpre = .54 043, Mpost = 3.8056 SDpost = .40139) than
other competencies
369
of real world application and solve real problems at the level of hypothetical inquiry,
while the lowest is to build a logical argument (1.02) at the level of real world
Score Increase
3.73
3.73
3.69
3.67
4.00
3.59
3.56
3.50
3.00 2.76
2.53
2.50
2.43
2.41
2.50
2.13
2.00
1.46
1.26
1.19
1.19
1.50
1.13
0.97
1.00
0.50
0.00
DL
ID
ILES
ILAB
RWA
HI
Level of Inquiry
inquiry competence at all levels have increase from early learning to the end. The
highest increase is obtained in the level of hypothetical inquiry (1.46), while the lowest
is in the discovery learning level (0.97).
370
significant impact on the achievement of goals, because the training of inquiry with a
short time is not enough to bring about change, in which the inquiry training conduct in
a short time, does not change the practices of teachers in the classroom and training
programs deemed ineffective (Bush, 1984; Yoon et al., 2007; Darling-Hammond, et al.,
2009).
With a long training time allows for social interaction between teachers and build
a new community of fellow learners science teachers, thus making teachers learn from
one another in a collaboration to develop new knowledge and experiences. This view is
supported by the results of previous studies stating that the competence of the
teachers will be higher if the learning use collaborative and systematic than learning
individually (McBride et al., 2004; Henze, 2009; Ermeling, 2010).
Using of inquiry approach in the implementation of real incremental inquiry
training justified by Vigotsky in constructivist theory that explains that the construction
of knowledge occurs through social interaction, as well as with forms of cognitive
development that occurs as the relationship between the individual and the social
context. There is an increasing competence pedagogy to teachers, may be the result
of reflection experiences that occur during training and built into new knowledge
resulting in balance, this concept is in accordance with the principles of constructivism
being applied in teaching and learning process (Piaget, 1952; Simon, 1994; Gillani
2010).
There is several level
371
372
teaching skills of teachers in the level of discovery learning is positioned on the bottom
than the five other levels. In this case there probably a relationship between the
knowledge of the practice of preparing teachers with lesson plans and implement them.
At the advanced level training, improving teaching skills of the hypothetical
inquiry level is higher than the level of real world application. Higher increasing in the
competence of inquiry-based science teaching skills of the hypothetical inquiry level
due to the possibility of hypothetical inquiry level is the last level of the practice of
science teaching in schools so that teachers have received repeated experience of
learning from the previous level. Meanwhile, increasing of inquiry competency of the
discovery learning level is lower than the other levels. This is probably due to the
discovery learning level is the first level in the practice of science teaching so that
teachers still need time for adaptation. Improving the competence to teach science very
significant demonstrated by the teacher during on-the-job learning is likely due to the
fascilitator modeling have done repeatedly at the six level during in service learning, so
teachers get an Idea of how to teach science in accordance with the essence because
the modeling teachers learn how to teach, This is supported by other research that
modeling can improve the quality of science teachers in implementing the strategy of
inquiry learning in the classroom (Chinn & Hmelo-Silver, 2002; Smith & Enfield, 2002;
McBride et al., 2004), providing conceptualization of teaching which facilitates
appearance teachers in teaching (Fieman-Nemser, 1998; Lunenberg & Korthagen,
2003), later reinforced with Gulamhusen statement (2013) that the modeling has been
found as a very effective way to introduce new concepts and help teachers understand
new practices.
Other possibilities are the teacher have teaching practice in schools (Real
Teaching) at the basic level for in service learning and teaching practices in the
classroom Training (Peer Teaching) at the time in service learning for advanced level.
Teaching practice during training has provide a learning experience directly to teachers
as learners. This is in line with the results Wenning (2005) which states that the training
effective when teachers can act both as teachers and learners. Modeling is important in
creating change in depth view of the teaching and learning process (Segall, 2002).
Training which recommends ways to teach innovative but do not model it is apparent to
the teacher, then the changes in training it will not be a success (Russell, 1999, in
Bashan and Holsblat, 2012) because the teacher will bring a different message through
the pedagogic (Wood & Geddis, 1999).
373
Judging from the acquisition of an average score on the discovery learning level
of competence in learning to draw conclusions is lowest among other competencies.
This is probably because there are no teachers invite students to make conclusions at
the end of the study due to lack of time. The teacher still needs to exercise more in
terms of set up time at the time of inquiry learning. The findings in this study are
supported by other studies that stated that teaching with inquiry takes much time. It is
necessary to the efficiency of time to conduct inquiry learning so as not to serve as a
barrier to the implementation of inquiry learning in school (Welch et al. 1981; Gengarely
& Abrams, 2009; Baseya & Francis, 2011).
Implementation of on the job learning in school has made teachers learn together
guided facilitator, either at the time of preparing the necessary media for learning and
teaching process itself because teachers who are not teaching present in the
classroom becomes an observer. Guidance given facilitators by means of discussion in
phase reflection during the process of learning together that might make the
competence of teachers increased significantly as confirmed by the results Ermeling
(2010) which states that the teaching of inquiry collaboratively, systematically, guided
by facilitators , using material that focus in inquiry, can see the causal emergence of
the problems found in the classroom teaching plan, the implementation of learning, and
student achievement.
During the on-the-job learning is also find that the teacher is able to evoke the
spirit and enthusiasm of students were high when following the inquiry-based science
learning. Almost 98% of students are actively involved in all activities, even though they
come from different intellectual backgrounds (intelligence level). High student
enthusiasm is also reflected in the questions some students in some classes, such as:
"Mom, what is the activities for tomorrow's? We have to bring anything from home?
"Students' high interest in participating in learning probably due to teachers teaching in
the form of varied activities such as exemplified in the activity guidelines and it is a new
activity for students. This is supported by the results of Wang et al. (2009) that inquiry
approach is still remains effective to classes with different initial knowledge. Reinforced
by several studies whose results stating that the inquiry learning has a positive effect
on student interest. Students show great interest in learning because of the novelty,
physical activity, and social engagement. (David, 2009; Opara, 2011).
Based on interviews at the end of basic level training and implementation phase
of reflection on the job learning for basic level training which is delivered in the initial
374
teacher training activity for advanced level, the teacher reveal an increase in
knowledge and competence in teaching science have pushed their confidence.
Teachers are motivated to develop a lesson plan that is more creative and innovative
ways to teach it. Results of this study are supported by the results of previous research
which states that the criteria for the success of the development program is to improve
the competence and increased motivation, interests, and confidence. (Lee, 2004;
Ostermeier, 2010; tRNA, Trnova, and SIBOR, 2012). Improved knowledge of inquiry as
a result of training effect on teacher beliefs inquiry-based science teaching in the
classroom (Saad & BouJaoude, 2012).
Implementation of the training which equips teachers with six pedagogical
competence level of inquiry is given in stages, the implementation in school has
managed to shift the locus of control between the roles of teachers and students in the
learning process. Teachers are able to position students more dominant when it is at a
higher level (hypothetical inquiry), while teachers act as facilitators.
Pedagogical competence of six level of inquiry ruled teachers, causing an
increase in intellectual perfection. For example, in practice, at the end of the activities
the teachers encourage the students to find a concept that is taught based on
experimental data and then explain it back scientifically. The acquisition of an average
score of competence to formulate the concept is not as high as competence to explain,
but the two differ significantly between early competence and the end. These research
findings in line with expectations, where the higher the competence of inquiry used by
teachers in learning science, the higher the intellectual level of the student. The results
are consistent with what has been done by Wenning (2010) concerning the use of a
sequence for teaching science inquiry learning. Wenning state that teaching by using a
sequence of learning spectrum, can enhance students 'understanding of concepts in
addition to developing students' understanding of scientific inquiry and the nature of
science. Wenning (2011) stated about the increased inquiry level of the teacher provide
a framework that helps ensure teaching that students thrive in terms of intellectual and
science process skills.
From the description above, it can be concluded that the inquiry level of junior
high school science teacher can be improved through education and training. Real
Incremental Inquiry Training Model with specific characteristics is the right model.
RIITM can be used to improve the pedagogycal inquiry competence, as reinforced by
Mao and Chang (1998), which suggests that the learning-oriented inquiry should be
375
used as the base vehicle to help learning science at the junior high school level.
Training of incremental inquiry proved to have a positive impact on the improvement of
pedagogical competence of teachers in the implementation of inquiry-based science
learning. Teachers competency in teaching science using various aspects of the
inquiry capability levels increased in both basic and advaced levels of education and
training. Ability to develop aspects of the inquiry at every level shows an increase, this
is proved by a significant difference between the initial score and the final score with a
large effect size. Implementation of the inquiry competency based on each stage in the
training makes learning more effective. Increase levels of competency for teachers
inquiry will be useful for developing higher skills in order to improve the quality of
science education in junior high school. The findings of the research can be used as
empirical data to become an alternative contribution to the development of education
and training.
REFERENCES
Baseya, J.M. & Francis, C.D. (2011). Design of inquiry-oriented science labs: impacts
on students attitudes. Research in Science & Technological Education, 29 (3),
241-255.
Bashan, B., & Holsblat. R. (2012). Co-teaching Through Modeling Processes:
Professional Development of Students and Instructors in a Teacher Training.
Program Mentoring & Tutoring: Partnership in Learning, 20(2), 207226.
Blanchard, M.R., Southerland, S.A., Osborne, J.W., Sampson, V.D., Annetta, L.A., &
Granger, E.M. (2010).Is inquiry possible in light of accountability?: A quantitative
comparison of the relative effectiveness of guided inquiry and verification
laboratory. Instruction Science Education, 94, 577 616.
Cacciatore, K.L. & Sevian, H. 2006. Teaching lab report writing through inquiry: A
green chemistry stoichiometry experiment for general chemistry. Journal of
Chemical Education. 83(7).
Chinn, C.A. & Hmelo-Silver, C.E. (2002). Authentic inquiry: Introduction to the special
section. Science Education, 86(2), 171174.
Cohen, J. (1988). Statistical power analysis for the behavioral science (2nd ed).
Hillsdale, NJ: Lawrence Earlbaum Associations.
Crawford, B. A. (2000). Embracing the essence of inquiry: New roles for science
teachers. Journal of Research in Science Teaching, 37(9), 916937.
376
David ,H. Palmer. (2009). Student interest generated during an inquiry skills lesson.
Journal of Research in Science Teaching, 46(2), 147-165.
Ermeling, B.A. (2010). Tracing the effects of teacher inquiry on classroom practice.
Teaching and Teacher Education. 26, 377388
Fieman-Nemser, S. (1998). Teachers as teacher educators. European Journal of
Teacher Education, 21(4), hlm. 337397.
Gall, D. M., & Borg, W. R. (1989). Educational research, an introduction. Boston: Allyn
and Bacon.
Gengarelly, L.M. & Abrams, E.D. (2009). Closing the gap: Inquiry in research and the
secondary science classroom. J Sci Educ Technol, 18, 7484
Henze, I., Driel, J.H., & Verloop, N. (2009). Experienced science teachers' learning in
the context of educational innovation. Journal of Teacher Education, 31 (11).
Komba,W.L & Nkumbi,E. (2008). Teacher professional development in Tanzania:
perceptions and practice, CICE Hiroshima University, Journal of International
Cooperation in Educaion.
Lakshmanan, A. (2010). The impact of science content and professional learning
communities on science teaching efficacy and standards-based instruction.
Journal of Research in Science Teaching , 48(5), 534551.
Lee, O. Hart, E.J, Cuevas, V. Enders, C. (2004). Professional development in inquirybased science for elementary teachers of diverse student groups. Journal of
Research in Science Teaching, 41(10), 10211043.
Loucks-Horsley, S., & Mundry. (2003). Designing professional development for
teachers of science and mathematics (2nd ed.). Thousand Oaks, CA, USA:
Corwin Press.
Lunenberg, M., & Korthagen, F. A. J. (2003). Teacher educators and student-directed
learning. Teaching and Teacher Education, 19(1), 2944.
Mao, S.L. & Chang, C.Y. (1998). Impacts of an inquiry teaching method on earth
science students learning outcomes and attitudes at the secondary school
level. Proc. Natl. Sci. Counc. ROC(D, 8 (3), 93-101.
Maurer, M.K., Bukowski, M.R., Monachery, M.D., & Zatorsky,A.R. (2010). Inquirybased Arson Investigation for general chemistry using GC-MS. Journal of
Chemical Education. 87(3), 311 313.
377
McBride, J.W. Bhatti, I.M. Hannan, A.M. Feinberg, M. (2004). Using an inquiry
approach to teach science to secondary school science teachers. Journal of
Physics Education, 39 (5). Retrieved from http:// www.iop.org/journal/physed.
Ministry of National Education (2003). Competency standard for teacher. Jakarta.
Ministry of National Education (2005). Government of Regulation Nomor 19/ 2005
about National Education Standard. Jakarta: Indonesia.
National
Research
Council
(1996).
National
Science
Education
Standards.
378
379
380
PENDAHULUAN
a.
Latar Belakang
Pengujian tagihan merupakan salah satu rangkaian proses dari mekanisme
pencairan anggaran belanja negara. Mekanisme ini merupakan prosedur yang harus
dijalani dalam rangka memindahkan uang dari kas negara ke tangan yang berhak
menerimanya. Dalam mekanisme pencairan anggaran belanja negara ini, diperlukan
pihak yang terkait yaitu bendahara pengeluran, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM). Produk yang dihasilkan
dalam proses ini adalah Surat Perintah Membayar (SPM). Melalui SPM uang negara
kemudian dicairkan dan masuk ke rekening penerima yang berhak atas tagihan
belanja negara, baik bendahara pengeluran maupun pihak ke tiga.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara
Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
merupakan
salah
satu
aturan
yang
harus
dipedomani
dalam
pelaksanaan
perbendaharaan negara.
Secara eksplisit ketentuan mengenai pengujian tagihan belanja negara ada di
pasal 16 PMK 190/PMK.05/2012. Pengujian tagihan ini dilakukan dengan cara menguji
dokumen dan bukti yang terkait dengan belanja. Dalam praktiknya peran pengujian
yang seharusnya dilakukan oleh PPSPM ternyata ada yang dilakukan oleh staf
keuangan sekaligus yang menerbitkan SPMnya melalui aplikasi SPM.
Kenyataan lain yang dijumpai adalah pengujian tagihan sebagian besar hanya
dilakukan melalui dokumen kertas dan tidak melihat bukti fisiknya. Terdapat berbagai
hambatan yang menyebabkan pengujian tagihan ini tidak dilaksanakan sebagaimana
yang seharusnya. Pekerjaan pengujian yang dilakukan oleh bawahan PPSPM ini
banyak terjadi sedangkan PPSPM tinggal menandatangani SPM tersebut. Bahkan
untuk injek PIN SPM juga dilakukan oleh orang lain.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin mengetahui sejauh mana
peran pengujian tagihan belanja negara ini dilakukan oleh PPSPM dan bagaimana
mekanisme pengujian yang dilakukannya melalui paper ini dengan judul Pengujian
Tagihan Atas Belanja Negara Sebagai Bagian Pengendalian Internal Satuan Kerja.
b.
Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan referensi
adalah:
381
(2010)
melakukan
penelitian
tentang
pengaruh
penerapan
yang
dihubungkan
dengan
efektivitas
dan
efisiensi
kegiatan
(2014)
melakukan
penelitian
mengenai
pengaruh
intervensi
382
c.
Urgensi Topik
Penelitian ini mengambil tema pengujian tagihan atas tagihan belanja negara.
Topik ini sangat urgen dan penting mengingat filter terakhir sebelum uang keluar dari
kas negara adalah mekaniseme pengujian tagihan ini. PPSPM memiliki perananan
besar untuk melakukan pengendalian internal karena kewenangan pengujian tagihan
dan pembebanan anggaran belanja satuan kerja terletak di pundaknya.
Jumlah anggran belanja semakin meingkat setiap tahun di APBN sehingga
membutuhkan akuntabilitas dalam tahapan pelaksanaan sebagai bentuk penggunaan
anggaran tersebut di setiap satuan kerja. Sementara pelaksanaan tugas pengujian
tagihan ini belum sepenuhnya dilaskanakan dengan baik. Penelitian ini mencoba
menjadi bagian dari pemecahan masalah yang terjadi dalam proses pengujian tagihan
tersbut.
d.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membuat rumusan masalah
sebagai berikut:
a. Apakah latar belakang dilakukannya pengujian atas tagihan belanja negara?
b. Apa peran PPSPM dalam pengujian tagihan belanja negara?
c. Bagaimanakah mekaniseme pengujian yang dilakukan oleh PPSPM
d. Apa hambatan yang dihadapi PPSPM dalam melakukkan pengujian tagihan
belanja negara?
e. Bagaimana solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam pengujian tagihan?
e.
Tujuan Penelitian
Paper ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut:
a. Untuk memahami latar belakang dilakukannya pengujian atas tagihan belanja
negara
b. Untuk mengetahui peran PPSPM dalam pengujian tagihan belanja negara
383
f.
Sistematika Penyajian
Paper ini terdiri dari lima bagian yaitu bagian pertama pendahuluan yang terdiri
dari beberapa subbagian yaitu latar belakang, penelitian terdahulu, urgensi topik,
rumusan masalah, tujuan penelitian dan sistematika penyajian.
Bagian kedua adalah Metodologi Penelitian yang berisi kerangka konseptual.
Bagian berikutnya adalah hasil, diskusi dan kesimpulan.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode penelitian deskriptif
bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala
yang ada, mengindetifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang
berlaku, membuat perbandingan atau evaluasi dan menentukan apa yang dilakukan
orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman
mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.
Dengan demikian metode penelitian deskriptif ini digunakan untuk melukiskan
secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu, dalam
hal ini bidang secara aktual dan cermat. Metode deskriptif bukan saja menjabarkan
(analitis), akan tetapi juga memadukan. Bukan saja melakukan klasifikasi, tetapi juga
organisasi.
Sumber data berasal dari data primer yaitu hasil kuesioner, wawancara,
pengamatan yang dilakukan selama proses penelitian dengan lokasi data yaitu BDK
Yogyakarta dengan lokus responden tersebar di Indonesia. Selain itu juga dilakukan
penelitian kepustakaan dengan menggunakan literatur dan peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan topik ini.
Data diambil menggunakan metode kuesioner dan wawancara kepada pihak
terkait, yaitu Pejabat Penandatangan SPM, staf keuangan satker. Jumlah kuesioner
sebanyak 25 orang dengan teknik purposive sampling. Penentuan sampel digunakan
teknik teknik sampling purposive yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan
384
Kerangka Konseptual
Tahapan pelaksanaan anggaran merupakan tahapan yang krusial dari
rangkaian siklus anggaran. Tahap inilah yang sering disorot publik karena di tahap ini
terlihat jelas kegiatan pemerintahan itu diselenggarakan. Pemerintahan yang reformatif
menjadi tumpuan pelaksanaan tahapan ini berjalan dngan baik. Menurut David Osborn
dan Ted Geble, salah satu prinsip program Reinventing Government Management
(REGOM) adalah pemerintahan yang berorientasi hasil yaitu mendanai hasil bukan
masukan (Sinambela, 2014).
Jika kepemerintahan sudah baik maka langkah berikutnya adalah melakukan
manajemen yang baik pula. Salah satu unsur manajemen adalah pengendalian.
Berikut
adalah
gambar
manajemen
dihubngakan
dengan
pencapaiantujuan
organiasasi.
Gambar 1. Pengendalian sebagai hubungannya dengan organisasi
Proses Manajemen
Input
Perencanaan Pengorganisasian
Tujuan
Sumberdaya
Pengarahan
Efektif dan
Pengendalian
efisien
Sumber : Adisaputro (2011) hal 4
Anggaran
Dalam perspektif manajemen, anggaran bukan sesuatu yang tercipta dalam
lingkungan yang hampa, tetapi merupakan komponen integral
dari perencanaan
anggaran sistem pengontrolan (budgetary planning and control system). Suatu sistem
perencanaan dan pengontrolan secara esensial adalah sebuah sistem untuk menjamin
bahwa terciptanya komunikasi, koordinasi dan pengontrolan dalam organisasi sektor
publik.(Harun, 2009)
385
Pengendalian (Controlling)
Sumarsan (2013) menyebutkan pengendalian didefinisikan sebagai hubungan
antara prosedur dan sistem yang berkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan.
Pengendalian akuntansi meliputi:
1. Penyusunan anggaran dan perencanaan berfungsi sebagai alat untuk
mencapai tujuan dan sebagai alat untuk mengukur kinerja perusahaan
2. Pelaksanaan rencana
3. Pemantauan kinerja
4. Mengevaluasi kinerja aktual terhadap rencana
5. Memperbaiki pengendalian terhadap hal yang terjadi diluar situasi
386
Perintah Membayar (SPM) yaitu dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk
mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
PMK
190/PMK.05/2012
menyatakan
bahwa
PPSPM
melaksanakan
kewenangan KPA untuk melakukan pengujian atas tagihan dan menerbitkan SPM.
Dalam melakukan pengujian tagihan dan menerbitkan SPM, PPSPM memiliki tugas
dan wewenang sebagai berikut:
a. menguji kebenaran SPP beserta dokumen pendukung;
b. menolak dan mengembalikan SPP, apabila SPP tidak memenuhi persyaratan
untuk dibayarkan;
c. membebankan tagihan pada mata anggaran yang telah disediakan;
d. menerbitkan SPM;
e. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen hak tagih;
f.
g. melaksanakan
tugas dan
wewenang
lainnya
yang
berkaitan
dengan
Sebagai salah satu pejabat perbendaharan yang harus ada di satuan kerja,
peran ini dilaksanakan oleh Kasubag Umum satuan kerja. Ketika akan menerbitkan
SPM, PPSPM melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. mencatat pagu, realisasi belanja, sisa pagu, dana UP/TUP, dan sisa dana
UP/TUP pada kartu pengawasan DIPA;
b. menandatangani SPM; dan
c. memasukkan Personal Identification Number (PIN) PPSPM sebagai tanda
tangan elektronik pada ADK SPM.
Sebelum menerbitkan SPM, PPSPM harus melakukan pengujian terlebih dahulu.
Pengujian terhadap SPP beserta dokumen pendukung yang
dilakukan oleh PPSPM meliputi:
a. kelengkapan dokumen pendukung SPP;
b. kesesuaian penanda tangan SPP dengan spesimen tanda tangan PPK;
c. kebenaran pengisian format SPP;
d. kesesuaian kode BAS pada SPP dengan DIPA/POK/Rencana Kerja Anggaran
Satker;
387
e. ketersediaan pagu sesuai BAS pada SPP dengan DIPA/ POK/ Rencana Kerja
Anggaran Satker;
f.
kebenaran
formal
dokumen/surat
keputusan
yang
menjadi
j.
k. kesesuaian
prestasi
pekerjaan
dengan
ketentuan
pembayaran
dalam
perjanjian/kontrak.
Salah satu butir pengujian diatas adalah pengujian kode Bagan Akun Standar
(BAS). Hal ini termasuk menguji kesesuaian antara pembebanan kode mata anggaran
pengeluaran (akun 6 digit) dengan uraiannya. Mekanisme pencairan anggaran belanja
negara dilakukan melalui dua mekanisme yaitu mekanisme Uang Persediaan (UP) dan
mekanisme Langsung (LS). UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang
diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional
sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak
mungkin
dilakukan
melalui
mekanisme
pembayaran
langsung.
Sedangkan
388
Tabel 1
Data Responden
No
Karakteristik
Jumlah
22
Lembaga
Non Kemenkeu
Kedudukan
PPSPM
11
Perbendaharaan
Staf Keuangan
Pejabat
Pengadaan/
Pejabat lain
PPK
3
Lamanya
s.d. 1 tahun
13
menduduki
jabatan
Diatas 3 tahun
Pendidikan
Diploma
S1
12
S2
s.d. 30 tahun
31 s.d. 40 tahun
10
41 s.d. 50 tahun
10
Diatas 50 tahun
Usia
No Pertanyaan
10
Score rata-rata
4.4
4.72
3.24
3.52
4.52
4.6
4.08
3.92
4.32
4.12
No Pertanyaan
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Score rata-rata
4.24
4.32
4.4
4.28
4.08
3.96
3.84
4.52
4.44
389
DISKUSI
Berdasarkan tabel 2 disampaikan hal-hal sebagai berikut:
a. item 1 : berhubungan dengan pemahaman bahwa PPSPM melaksanakan
pengujian berdasarkan pelimpahan kewenangan KPA. Hampir semua peserta
menyadari bahwa pelaksanaan tugas mereka karena ada pelimpahan sebagian
kewenangan KPA kepada PPSPM (score 80). Bahkan salah satu hasil
wawancara menunjukkan bahwa ketika responden sedang dalam perjalanan
dinas keluar kantor responden ingin mengembalikan kewenangan yang
dilimpahkan itu kembali kepada KPA
b. item 2: berhubungan dengan koordinasi dan komunikasi dengan pejabat
perbendaharaan lainnya yaitu PPK dan bendahara pengeluaran. Responden
sebagain besar (score 90) menyadari perlunya melakukan komunikasi secara
intens dengan koleganya di kantor agar dapat melaksanakan pencaairan
anggaran dengan baik.
c. Item 3: berhubungan dengan siapa yang melaksanakan pekerjaan pengujian di
kantor. Jawaban responden bervariasi. Hasil wawancara mengemukakan
bahwa PPSPM sering menyerahkan pekerjaan pengujian kepada bawahannya
dan memastikan semua dokumen lengkap, sehingga PPSPM tinggal tanda
tangan di dokumen SPM. Bahkan untuk aplikasi SPM sendri juga dikerjakan
oleh pihak lain.
d. Item 4 : berhubungan dengan kepemilikan atas staf PPSPM. Jawaban
responden juga bervariansi. Ada yang tidak memiliki staf
di kantornya
sehingga mereka sendiri yang melasanakan pekerjaan itu, ada yang memiliki
secara terstruktur dan ada yang tidak memliki staf sehingga pekerjaan
pengujian ditumpangkan kepada pihak lain.
e. Item 5: berhubungan dengan pemahaman akan beratnya tanggung jawab
sebagai PPSPM sebagai filter terakhir pengeluaran negara. Sebagian besar
respnden menyadari bahwa mereka memiliki kewenangan sekaligus tanggung
jawab yang besar dalam mekanisme pancairan anggaran belanja negara
f.
390
j.
besar
responden
memiliki
pengetahuan
tentang
perpajakan
walaupun masih ada beberapa yang belum tahu dan ragu-ragu mengenai hal
ini.
p. Item 17: berhubungan dengan penyimpanan semua dokumen pengeluaran
dengan rapi. Terdapat variasi jawaban atas pertanyaan ini. Berdasarkan hasil
wawancara masih ada yang belum menyimpan dokumennya dengan rapi.
q. Item 18: berhubungan kelayakan untuk menjadi PPSPM. Bervariasinya
jawaban atas pertanyaan ini. Tidak semua responden merasa layak sebagai
391
PPSPM, namun ada beberapa responden yang merasa kurang atau tidak layak
menjadi PPSPM.
r.
Item 19: berhubungan tekad dan komitmen untuk bekerja dengan baik dalam
melakukan
pengujian
dan
pembebanan
tagihan.
Jawaban
responden
pengendalaian
392
PPSPM
perlu
diikutkan
dalam
pelatihan
untuk
meningkatkan
Peraturan Perundang-Undangan
Buku
Adisaputro, Gunawan, Anggraini, Yunita (2011). Anggaran Bisnis:
Perencanaan, dan Pengendalian Laba. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Analisis,
393
Sinambela, Lijan Poltak. (2014). Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Sumarsan, Thomas . (2013). Sistem Pengendalian Manajemen: Konsep,
dan Pengukuran Kinerja Edisi 2. Jakarta: Penerbit PT Indeks.
Aplikasi,
Jurnal
Amanina (2011). Evaluasi Terhadap Sistem Pengendalian Intern Pada Proses
Pemberian Kredit Mikro (Studi Pada PT. Bank Mandiri (Persero) TBK Cabang
Majapahit Semarang), Undip.
http://eprints.undip.ac.id/26647/ diunduh 15 Maret 2016
Bakri (2015), Pengaruh Efektivitas Pengendalian Anggaran
Terhadap Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja pada Dinas Pendidikan Kabupaten
Boalemo. Al-Buhuts Volume 11 Nomor 1 Juni 2015,Hal 167-184
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab diunduh 15 Maret 2016
Dico (2014), Analisis Pengelolaan dan Pelaporan Keuangan pada Satuan Kerja
Bidang Keuangan Polda Sulawesi Utara. Jurnal EMBA Vol.2 No.2 Juni 2014, Hal.
1130-1140 ejournal.unsrat.ac.id/index.php/emba/article/.../4516 diunduh 15 Maret
2016
Habibie, Nabila (2013). Analisis Pengendalian Intern Piutang Usaha Pada
PT Adira Finance Cabang Manado, Jurnal EMBA. 1 (3), pp. 494-502
ejournal.unsrat.ac.id/index.php/emba/article/.../1460 diunduh 15 Maret 2016
Hermiyetti (2010). Pengaruh Penerapan Pengendalian Internal Terhadap
Pencegahan Fraud Pengadaan Barang, JAAI UII 2010
journal.uii.ac.id/index.php/JAAI/article/.../2054 diunduh 15 Maret 2016
Novitasari (2015), Pengaruh Pengendalian Anggaran pada Senjangan Anggaran dan
Orientasi Jangka Pendek Manajer. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. Vol.13.3
(2015). 1199-1227 ojs.unud.ac.id/index.php/Akuntansi/article/.../11929 diunduh 15
Maret 2016
Nugroho (2014) Pengaruh Intervensi Pengendalian Dalam Sistem
Pengendalian Manajemen dan Kaitannya Dengan Kinerja Perusahaan (Studi Pada
PDAM Kabupaten Wonogiri), skripsi UMS
eprints.ums.ac.id/30348/ diunduh 15 Maret 2016
Rapina, Christyanto, Leo (2011). Peranan Sistem Pengendalian Internal Dalam
Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi Kegiatan Operasional Pada Siklus Persediaan
dan Pergudangan (Studi Kasus Pada PT.Ultrajaya Milk Industry & Trading Company
Tbk Bandung), Akurat Jurnal Ilmiah Akuntansi, 06 (2).
majour.maranatha.edu/index.php/maksi/article/.../610 diunduh 15 Maret 2016
394
Pendahuluan
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dalam desentralisasi, di
mana daerah otonom diberikan kewenangan untuk menggali potensi sumber-sumber
pendapatan daerah, yaitu melalui pajak/retribusi, yang disebut Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Namun, sumber pendapatan tersebut sangat terbatas dan tidak mencukupi dalam
memenuhi kebutuhan daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat memberikan dukungan
pendanaan lain kepada pemerintah daerah yang disebut transfer ke daerah dalam bentuk
Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian. Dana Perimbangan
bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
395
Daerah dan antar-Pemerintah Daerah. Dana Otonomi Khusus merupakan dana yang
dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, dan Dana
Penyesuaian merupakan kebijakan pemerintah untuk membantu daerah dalam rangka
melaksanakan kebijakan tertentu sesuai dengan peraturan perundangan.
Sejak tahun 2010, Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan pemberian Dana
Penyesuaian kepada daerah berupa Dana Insentif Daerah (DID). Dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 8/PMK.07/2014 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Insentif
Daerah Tahun Anggaran 2014, DID merupakan Dana Penyesuaian yang digunakan dalam
rangka fungsi pendidikan, yang dialokasikan kepada daerah dengan mempertimbangkan
kriteria kinerja tertentu, yaitu kriteria kinerja utama, kriteria kinerja keuangan, kriteria kinerja
pendidikan, kriteria kinerja ekonomi dan kesejahteraan, dan batas minimum kelulusan
kinerja. Alokasi DID bertujuan untuk mendorong agar daerah berupaya mengelola
keuangannya lebih baik yang ditunjukkan dengan perolehan opini Badan Pemeriksa
Keuangan atas laporan keuangan pemerintah daerah dan selalu menetapkan APBD tepat
waktu.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015, Alokasi DID tahun 2015
Rp1.664.500.000.000,00,
dengan
proporsi
10%
untuk
provinsi
adalah sebesar
dan
90%
untuk
kabupaten/kota. Total daerah penerima DID tahun 2015 berjumlah 135 daerah, yang terdiri
dari 13 daerah provinsi, dan 122 daerah kabupaten/kota. Namun, alokasi DID tahun 2015
pada tiap-tiap daerah provinsi ataupun daerah kabupaten/kota terlihat tidak merata. Dari 13
provinsi penerima, sebanyak 7 (tujuh) provinsi hanya mendapatkan alokasi minimum, dan
dari 122 kabupaten/kota penerima, sebanyak 61 kabupaten/kota hanya mendapatkan
alokasi minimum. Hal ini menimbulkan pertanyaan variabel apa yang menentukan
penetapan daerah penerima DID dan bagaimana klasifikasi daerah sehingga mendapatkan
alokasi yang berbeda. Pengetahuan mengenai variabel dan klasifikasi daerah penerima DID
sangat diperlukan agar pemerintah daerah dapat memperkirakan pendapatan daerah
sehingga menyusun program-program sesuai fungsi pendidikan yang akan dilakukan
dengan dana tersebut dalam APBD dan berupaya untuk mengelola keuangan dengan lebih
baik.
Salah satu cara untuk menemukan pola-pola tersembunyi dalam suatu data yang
berjumlah besar adalah dengan menggunakan data mining. Penggunaan data mining telah
banyak dilakukan dalam pengambilan keputusan. Chopoorian et al. dalam Liu dan Chen
(2009)
menyatakan
bahwa
dengan
396
menggunakan
data
mining
perusahaan dapat memahami pelanggannya dengan lebih baik. Salah satu teknik dalam
data mining adalah klasifikasi. Menurut Fu (1997), klasifikasi dalam data mining adalah
turunan dari suatu fungsi atau model yang menggambarkan kelas dari suatu objek
berdasarkan atributnya. Algoritma yang digunakan dalam penelitian ini adalah decision tree.
Alasan penggunaan metode ini adalah karena selain pembangunan model yang relatif
cepat, hasil dari model yang dibangun pun mudah untuk dipahami. Dengan menerapkan
teknik klasifikasi dan metode decision tree pada data alokasi Dana Insentif Daerah,
diharapkan nantinya dapat digunakan untuk mengklasifikasikan daerah penerima DID
berdasarkan atribut yang dimiliki daerah tersebut.
Metode
Data mining dapat disamakan dengan Knowledge Discovery in Databases (KDD) atau
dapat juga dikatakan sebagai salah satu langkah penting dalam menemukan pengetahuan
di dalam databases. Secara umum, proses KDD terdiri dari langkah-langkah berikut (Han et
al. 2012):
a.
Pembersihan data (data cleaning), yaitu menghilangkan noise atau data yang tidak
relevan.
b.
c.
Pemilihan data (data selection), yaitu pemilihan data relevan yang didapat dari
database.
d.
e.
Data mining, yaitu proses untuk mendapatkan pola tertentu dengan melakukan metode
tertentu.
f.
Evaluasi pola (pattern evaluation), yaitu proses identifikasi pola yang menarik yang
merepresentasikan suatu informasi atau pengetahuan.
g.
fungsi) yang menjelaskan dan membedakan kelas-kelas atau konsep-konsep tertentu. Hal
ini sejalan dengan Fu (1997), yang menyatakan klasifikasi dalam data mining adalah
turunan dari suatu fungsi atau model yang menggambarkan kelas dari suatu objek
berdasarkan atributnya. Atribut adalah field data yang menggambarkan karakteristik atau
fitur dalam suatu objek data (Han et al. 2012). Fungsi atau model klasifikasi dibangun
dengan
menganalisis
hubungan
antara
397
atribut
dan
kelas
objek
dalam set pelatihan (training set). Fungsi atau model klasifikasi seperti ini dapat
digunakan untuk memprediksi kelas dari objek-objek yang belum diketahui kelasnya.
Menurut Gorunescu (2011), komponen dasar dari proses klasifikasi terdiri dari empat
komponen, yaitu kelas (class), prediktor (predictors), set data pelatihan (training dataset),
dan set data pengujian (testing dataset).
a.
Kelas (class).
Kelas merupakan variabel dependen dalam model yang berupa variabel kategorikal yang
merepresentasikan label yang diberikan pada objek setelah dilakukan klasifikasi.
Contohnya adalah kelas loyalitas pelanggan, kelas bintang-bintang dalam galaksi, kelas
kondisi keuangan perusahaan, kelas gempa bumi, dan sebagainya.
b.
Prediktor (predictors).
Set data pelatihan adalah sekumpulan data yang berisi nilai-nilai dari komponen kelas
dan prediktor, dan digunakan untuk melatih model untuk mengenali kelas yang sesuai
berdasarkan prediktor yang tersedia. Contoh set data pelatihan antara lain sekelompok
pasien yang telah diuji pada serangan jantung, sekelompok pelanggan supermarket yang
telah disurvey sebelumnya, dan sebagainya.
d.
Set data pengujian adalah sekumpulan data baru yang akan diklasifikasikan dengan
model yang telah dibangun (klasifikator), sehingga akurasi model klasifikasi ini (performa
model) dapat dievaluasi.
Kerangka kerja proses klasifikasi yang ditunjukkan pada Gambar 1 terdiri dua langkah,
yaitu induksi dan deduksi. Induksi merupakan langkah untuk membangun model klasifikasi
dari data latih yang diberikan, yang disebut juga dengan proses pelatihan, sedangkan
deduksi merupakan langkah untuk menerapkan model pada data uji, sehingga dapat
diketahui kelas dari data uji yang sesungguhnya, yang dapat disebut juga dengan proses
prediksi. (Prasetyo 2014).
398
Input Data
Latih (x,y)
Algoritma
Pelatihan
Pembangunan
Model
Penerapan
Model
Output Data
Uji (x,y)
Data cleaning.
Atribut Opini atas LKPD 2012-2013 yang berisi sub atribut Tetap WTP, WDP ke WTP,
Belum Susun/ TMP ke WTP, Tetap WDP, Adverse ke WDP, Belum Susun ke WDP, dan
Disclaimer ke WDP dihapus karena akan dijadikan label dalam atribut Opini. Atribut Resume
Perda, Resume Opini, Resume PAD, Reduction Shortfall IPM, Jumlah LKPD tepat waktu,
Filter Elig, KKD, KK Pendidikan, KEK, Skor Final, Skor Daerah yang Eligible, dan Skor
daerah yang lulus Passing Grade, dihapus karena merupakan perhitungan skor, sedangkan
yang ingin diketahui adalah atribut sumber sebelum dilakukan perhitungan skor.
2.
Data integration.
Data diambil dari worksheet Opini BPK 2011, Perda APBD Tepat Waktu DID, Tgl
Laporan, PAD, IPM shortfall, KEK, Oprekan APK, dan Alokasi DID pada file Nominasi
Daerah Penerima DID 2015.xls, worksheet Pengangguran, Kertas Kerja Kemiskinan, dan
Laju PDRB ADHK TM pada file Data BPS KEK DID.xls diambil, serta worksheet Provinsi
dan Kabkot pada file KFD untuk DID 2015.xls.
399
3.
Data selection.
Data selection merupakan pemilihan data yang akan dijadikan atribut dalam menentukan
klasifikasi daerah penerima DID. Jumlah data yang akan digunakan adalah 456 data, dan
jumlah atribut yang akan digunakan dalam proses data mining adalah 44 atribut, yang terdiri
dari 43 atribut prediktor, dan 1 atribut kelas.
Dari worksheet Opini BPK 2011, atribut prediktor yang digunakan adalah OP1, OP2, dan
OP3. Atribut tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Atribut Opini BPK atas LKPD
Atribut
Keterangan
OP1
Nilai
WTP
WDP
TMP
TW
OP2
OP3
Atribut yang digunakan dari worksheet Perda APBD Tepat Waktu DID dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Perda APBD Tepat Waktu
Atribut
PER1
PER2
PER3
Keterangan
Penetapan
Perda
APBD tahun ke-t tepat
waktu
Penetapan
Perda
APBD tahun ke-(t-1)
tepat waktu
Penetapan
Perda
APBD tahun ke-(t-2)
tepat waktu
Nilai
Y: Ya
N: Tidak
Atribut yang digunakan dari worksheet Tgl Laporan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Atribut Penyampaian LKPD Tepat Waktu
Atribut
LK1
LK2
LK3
Keterangan
Penyampaian
LKPD
tahun ke-t tepat waktu
Penyampaian
LKPD
tahun ke-(t-1) tepat
waktu
Penyampaian
LKPD
tahun ke-(t-2) tepat
waktu
Nilai
Y: Ya
N: Tidak
Atribut yang digunakan dari worksheet PAD dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Atribut PAD
Atribut
PAD1
Keterangan
Nilai
PAD periode ke-(t-1) Y: Ya
meningkat di atas rata- N: Tidak
rata nasional
400
PAD2
PAD3
PAD4
PAD5
PAD
periode
ke-t
meningkat di atas ratarata nasional
PAD
periode
ke-t
meningkat
di
atas
periode ke-(t-1)
Persentase peningkatan Numerik
PAD periode ke-(t-1)
Persentase peningkatan Numerik
PAD periode ke-t
Atribut yang digunakan dari worksheet Oprekan APK dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Atribut Angka Partisipasi Sekolah
Atribut
APK1
APK2
APK3
SD
SMP
Keterangan
APK SD atau APK
SMP tahun ke-t > ratarata nasional
APK SD dan APK SMP
tahun ke-t > rata-rata
nasional
APK SD dan APK SMP
tahun ke-t > rata-rata
nasional, serta APK
SMP > APK SD
APK SD tahun ke-t
APK SMP tahun ke-t
Nilai
Y: Ya
N: Tidak
Numerik
Numerik
Atribut yang digunakan dari worksheet IPM shortfall dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Atribut Reduction Shortfall IPM
Atribut
IPM1
IPM2
IPM3
IPM4
IPM5
Keterangan
IPM periode ke-(t-1) >
rata-rata nasional
IPM periode ke-t >
rata-rata nasional
IPM periode ke-t >
IPM periode ke-(t-1)
IPM periode ke-(t-1)
IPM periode ke-t
Nilai
Y: Ya
N: Tidak
Numerik
Numerik
Atribut yang digunakan dari worksheet Laju PDRB ADHK TM dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Atribut Pertumbuhan Ekonomi
Atribut
PDRB1
PDRB2
PDRB3
Keterangan
Pertumbuhan PDRB
tahun ke-t > rata-rata
nasional
Pertumbuhan PDRB
tahun ke-t dan ke-(t1)
>
rata-rata
nasional,
dan
pertumbuhan PDRB
tahun
ke-(t-1)
>
pertumbuhan PDRB
tahun ke-t
Pertumbuhan PDRB
tahun ke-t dan ke-(t1)
>
rata-rata
Nilai
Y: Ya
N: Tidak
401
PDRB4
PDRB5
nasional,
pertumbuhan
tahun
t
pertumbuhan
tahun ke-(t-1)
Pertumbuhan
tahun ke-(t-1)
Pertumbuhan
tahun ke-t
dan
PDRB
>
PDRB
PDRB
Numerik
PDRB
Numerik
Atribut yang digunakan dari worksheet Kertas Kerja Kemiskinan dapat dilihat pada Tabel
8.
Tabel 8 Atribut Tingkat Kemiskinan
Atribut
TM1
TM2
TM3
TM4
TM5
Keterangan
Pengurangan
tingkat
kemiskinan periode ke(t-1)
Pengurangan
tingkat
kemiskinan periode ke-t
Pengurangan
tingkat
kemiskinan periode ke-t
> rata-rata nasional
Pengurangan
tingkat
kemiskinan periode t
dan periode ke-(t-1) >
rata-rata nasional, dan
pengurangan
tingkat
kemiskinan periode ke(t-1) > periode t
Pengurangan
tingkat
kemiskinan periode ke-t
dan periode ke-(t-1) >
rata-rata nasional, dan
pengurangan
tingkat
kemiskinan ke-t di atas
periode ke-(t-1)
Nilai
Numerik
Numerik
Y: Ya
N: Tidak
Atribut yang digunakan dari worksheet Pengangguran dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Atribut Tingkat Pengangguran
Atribut
TPT1
TPT2
TPT3
TPT4
TPT5
TPT6
Keterangan
TPT tahun ke-t
TPT tahun ke-(t-1)
TPT tahun ke-(t-2)
Pengurangan
TPT
periode ke-t > rata-rata
nasional
Pengurangan
TPT
periode ke-t dan periode
ke-(t-1)
>
rata-rata
nasional,
serta
pengurangan
TPT
periode
ke-(t-1)
>
pengurangan
TPT
periode ke-t
Pengurangan
TPT
periode ke-t dan periode
ke-(t-1)
>
rata-rata
Nilai
Numerik
Numerik
Numerik
Y: Ya
N: Tidak
402
nasional,
pengurangan
periode
ke-t
pengurangan
periode ke-(t-1)
serta
TPT
>
TPT
Atribut yang digunakan dari worksheet Provinsi dan Kabkot dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Atribut Kemampuan Fiskal Daerah
Atribut
KFD
KUADRAN
PRIORITAS
Keterangan
Nilai
Angka Kapasitas Numerik
Fiskal Daerah
4: Kapasitas > rata-rata
nasional, IPM < rata-rata
nasional
3: Kapasitas < rata-rata
nasonal, IPM < rata-rata
nasional
1: Kapasitas > rata-rata
nasional, IPM > rata-rata
nasional
2: Kapasitas < rata-rata
nasional, IPM > rata-rata
nasional
Prioritas Daerah
Atribut kelas yang digunakan adalah Alokasi DID. Atribut ini merepresentasikan label
yang diberikan pada objek setelah dilakukan klasifikasi. Dalam penelitian ini, label kelas
didasarkan pada alokasi yang diterima oleh pemerintah daerah. Hal ini sesuai tujuan
penelitian yang ingin melihat bagaimana klasifikasi daerah penerima DID sehingga
mendapatkan alokasi yang berbeda. Atribut Alokasi DID memiliki nilai 0-26.162.830.000
yang merupakan rupiah alokasi DID yang diterima oleh daerah. Karena masih berupa
angka, maka nilai harus diubah terlebih dahulu menjadi label agar dapat terlihat pola dari
hasil klasifikasi yang akan dilakukan. Nilai dibagi menjadi 5 kelas yang didasarkan pada
hasil perhitungan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Label kelas yang
digunakan adalah sebagai berikut:
P2, berisi daerah yang mendapatkan alokasi minimum ditambah alokasi berdasarkan
kriteria kinerja. Untuk provinsi yaitu yang mendapatkan alokasi lebih dari Rp20,87 miliar
ditambah dengan alokasi minimum sebesar Rp2-3 miliar. Untuk kabupaten/kota yaitu
yang mendapatkan alokasi lebih dari Rp17,63 miliar ditambah dengan alokasi minimum
sebesar Rp2-3 miliar.
P1, berisi daerah yang hanya mendapatkan alokasi berdasarkan kriteria kinerja. Untuk
provinsi yaitu yang mendapatkan alokasi lebih dari Rp20,87 miliar dan untuk
kabupaten/kota yaitu yang mendapatkan alokasi lebih dari Rp17,63-22,37 miliar, dan
tidak memenuhi kriteria untuk mendapatkan alokasi minimum.
403
AM2, berisi daerah yang hanya mendapatkan alokasi minimum senilai Rp3 miliar.
AM1, berisi daerah yang hanya mendapatkan alokasi minimum senilai Rp2 miliar.
Data transformation.
Pada tahap ini data yang telah dibentuk akan diubah ke format yang sesuai dengan
software yang digunakan. File Dataset_DID yang akan digunakan dalam proses data mining
masih dalam bentuk .xls. Pada aplikasi Weka format yang dapat digunakan antara lain
format .csv dan .arff. Untuk itu, file tersebut terlebih dahulu akan diubah ke dalam format
.csv.
5.
Data mining.
Proses data mining dalam penelitian ini menggunakan teknik klasifikasi. Teknik klasifikasi
dilakukan dengan metode decision tree C4.5 dan mode pengujian 10 fold cross-validation
untuk mendapatkan beberapa model dengan mengatur paramater-parameter tertentu
hingga diperoleh model yang terbaik yang akan dijadikan pengetahuan. Aplikasi yang
digunakan dalam proses data mining adalah Weka 3.6.11 dan data yang digunakan adalah
Dataset_DID.csv. Teknik klasifikasi dengan metode decision tree C4.5 yang pada aplikasi
Weka disebut dengan J48.
Sebuah model yang dihasilkan dengan penggunaan metode decision tree biasanya
memiliki akurasi yang tinggi namun diiringi dengan output model yang rumit, sehingga untuk
memahami pola yang dihasilkan diperlukan penjelasan yang cukup panjang. Untuk
menghasilkan model yang lebih sederhana, dapat digunakan fitur pruning, yaitu fitur untuk
merampingkan model yang dihasilkan sehingga output lebih mudah dipahami.
Oleh karena itu, pembentukan model klasifikasi daerah penerima DID dibagi menjadi
menjadi dua bagian, yaitu model yang tidak menggunakan fitur pruning atau disebut dengan
unpruned dan model dengan menggunakan fitur pruning.
a.
Model dibuat tanpa menggunakan fitur pruning. Artinya tidak ada perampingan model
yang dihasilkan. Untuk menghasilkan model, parameter unpruned pada J48 diset ke pilihan
TRUE dan parameter lain diset pada default. Parameter yang digunakan untuk
menghasilkan model D1 dapat dilihat pada Tabel 11.
404
Isi
FALSE
0,25
FALSE
2
3
FALSE
FALSE
1
TRUE
TRUE
FALSE
Model D1 memiliki jumlah daun 34 dan jumlah pohon 62. Jumlah ini masih terbilang
banyak untuk ukuran data yang digunakan.
b.
Untuk mengurangi ukuran daun dan pohon yang terbentuk, selanjutnya digunakan fitur
pruning. Pruning terdiri atas dua bagian, yaitu pre pruning dan post pruning.
1)
Pre pruning.
Pre pruning merupakan fitur pruning dengan cara membatasi jumlah minimum instance
pada setiap daun. Jika suatu daun memiliki instance kurang dari jumlah minimum yang
ditetapkan, maka daun tersebut akan dipangkas sehingga menghasilkan pohon keputusan
yang lebih sederhana.
Pada Weka, membuat model dengan fitur pre pruning dilakukan dengan cara mengubah
parameter unpruned menjadi FALSE, artinya model dibuat dengan fitur pruning. Parameter
berikutnya yang diubah adalah Confidence Factor menjadi mendekati angka 1, yaitu menjadi
0,95. Confidence Factor merupakan parameter yang digunakan dalam fitur post pruning
yang akan dibahas pada bagian berikutnya.
Parameter lain yang diubah dalam pre pruning adalah minNumObj. Parameter
minNumObj merupakan parameter yang berfungsi untuk menentukan jumlah minimum
instance pada setiap daun. Parameter minNumObj dijadikan dasar dalam pembentukan
model D2, D3, D4, dan D5. Model D2, D3, D4, dan D5 secara berurutan menggunakan
minNumObj sebesar 2, 5, 10, dan 15.
Model yang dibuat dengan menggunakan fitur pre pruning menghasilkan pohon
keputusan dengan jumlah daun dan ukuran pohon yang lebih kecil daripada Model D1.
Model D2 dengan minNumObj sebesar 2 menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah
daun 33 dan ukuran pohon 60. Model D3 dengan minNumObj 5 menghasilkan pohon
405
keputusan dengan jumlah daun 22 dan ukuran pohon 39. Model D4 dengan minNumObj 10
menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah daun 15 dan ukuran pohon 27. Model D5
dengan minNumObj 15 menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah daun 9 dan ukuran
pohon 15. Perbandingan model yang dihasilkan dengan fitur pre pruning dapat dilihat pada
Tabel 12.
Tabel 12 Parameter dan hasil pohon keputusan menggunakan pre pruning
2)
Parameter
D2
D3
D4
D5
confidenceFactor
MinNumObj
numFolds
Num of Leaves
Size of Tree
0,95
2
3
33
60
0,95
5
3
22
39
0,95
10
3
15
27
0,95
15
3
9
15
Post pruning.
Post pruning merupakan fitur untuk menyederhanakan pohon keputusan yang dibuat
dengan cara mengatur parameter Confidence Factor. Skala yang dapat digunakan dalam
parameter ini adalah 0,1 - 1, di mana semakin mendekati 0 maka proses pruning yang
dilakukan semakin banyak dan model pohon keputusan yang dihasilkan semakin
sederhana.
Pada Weka parameter Confidence Factor secara default bernilai 0,25. Untuk pembuatan
model D6, D7, D8, D9 nilai Confidence Factor secara berurutan adalah 0,75, 0,5, 0,25, dan
0,1. Parameter lain yang akan diatur adalah minNumObj sebesar 5 dan numFold sebesar
10. Selain parameter yang telah diatur, nilainya disamakan dengan parameter pada saat
menggunakan fitur pre pruning.
Model D6 yang menggunakan Confidence Factor bernilai 0,75 menghasilkan pohon
keputusan dengan jumlah daun 22 dan ukuran pohon 39. Model D7 yang menggunakan
Confidence Factor bernilai 0,5 menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah daun 20 dan
ukuran pohon 35. Model D8 yang menggunakan Confidence Factor bernilai 0,25
menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah daun 20 dan ukuran pohon 35. Model D9
yang menggunakan Confidence Factor bernilai 0,1 menghasilkan pohon keputusan dengan
jumlah daun 13 dan ukuran pohon 23. Perbandingan model yang dihasilkan dengan fitur
post pruning dapat dilihat pada Tabel 13.
406
6.
D6
0,75
5
10
22
39
D7
0,5
5
10
20
35
D8
0,25
5
10
20
35
D9
0,1
5
10
13
23
Pattern evaluation.
Setelah membuat beberapa model melalui proses data mining dengan menggunakan
teknik klasifikasi dan metode J48, tahap selanjutnya adalah melakukan evaluasi atas kinerja
model-model tersebut dan kemudian melakukan pemilihan model terbaik yang akan
dijadikan pengetahuan. Tahap ini disebut dengan pattern evaluation. Dalam mengevaluasi
kinerja model yang dihasilkan dengan penggunaan teknik klasifikasi dan metode J48, hal-hal
yang dijadikan perhatian antara lain ukuran pohon keputusan yang dihasilkan, nilai Kappa
Statistic, akurasi model, dan kinerja lain yang dilihat dengan Confusion Matrix.
Kappa statistic merupakan ukuran tingkat kesepakatan prediksi (agreement of prediction)
dengan kelas yang benar. Nilai yang dapat ditunjukkan dalam Kappa Statistic berkisar dari 1 hingga 1, di mana nilai 1 menunjukkan prediksi yang sempurna.
Akurasi dari model yang dihasilkan dapat dilihat dengan Confusion Matrix. Confusion
Matrix menunjukkan jumlah instance yang dapat diprediksi dengan benar oleh model.
Akurasi pada Weka ditunjukkan dengan Correctly Classified Instance. Correctly Classified
Instance merupakan persentase dari jumlah prediksi yang dengan tepat diklasifikasikan ke
dalam kelas yang benar dibagi jumlah prediksi yang dilakukan. Selain akurasi, Confusion
Matrix juga menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas, yang dapat dilihat pada nilai True
Positive (TP) Rate dan False Positive (FP) Rate, serta Precision, Recall, dan ROC Area.
Setelah melakukan evaluasi terhadap model secara keseluruhan, langkah selanjutnya
adalah pemilihan model yang akan dijadikan pengetahuan. Pemilihan model dilakukan
berdasarkan perbandingan statistik yang ada pada tiap model, yaitu berupa kombinasi
ukuran pohon dan akurasi yang paling baik.
Dari sisi ukuran pohon, Model D1 merupakan model yang menghasilkan pohon
keputusan yang paling besar dengan jumlah daun sebesar 34 dan ukuran pohon 62. Hal ini
disebabkan Model D1 dibentuk tanpa menggunakan fitur pruning. Model D2, D3, D4, dan D5
menggunakan fitur pre pruning yang dilakukan dengan mengatur nilai parameter
407
minNumObj. Semakin tinggi nilai minNumObj, maka semakin banyak proses pruning yang
dilakukan dan pohon keputusan yang dihasilkan menjadi semakin kecil. Model D6, D7, D8,
dan D9 menggunakan fitur post pruning yang dilakukan dengan mengatur parameter
confidenceFactor. Semakin kecil nilai confidenceFactor, maka proses pruning yang
dilakukan semakin banyak dan pohon keputusan yang dihasilkan menjadi semakin kecil.
Ukuran pohon keputusan yang terkecil dihasilkan oleh Model D5 dengan jumlah daun
sebesar 9 dan ukuran pohon 15.
Dari sisi akurasi, semua model yang dibentuk memiliki nilai yang sangat tinggi baik yang
tanpa menggunakan fitur pruning, maupun yang menggunakan fitur pruning. Akurasi model
ditunjukkan oleh nilai Correctly Classified Instances. Nilai Correctly Calssified Instances
merupakan jumlah data yang diklasifikasikan oleh model secara benar dibagi dengan jumlah
data secara keseluruhan. Model yang memiliki akurasi paling rendah adalah Model D1, D2,
dan D4, yaitu 89,0351%, sedangkan yang paling tinggi adalah Model D9, yaitu sebesar
90,7895%.
Tabel 14 menunjukkan perbandingan pohon keputusan dan akurasi dari setiap model
yang dibentuk. Model yang dibentuk dengan menggunakan fitur pre pruning menghasilkan
jumlah daun dan ukuran pohon yang lebih kecil dari model yang lain. Sedangkan model
yang dibentuk dengan fitur post pruning memiliki akurasi yang lebih tinggi.
Pemilihan model yang akan digunakan untuk klasifikasi ditentukan dengan pohon
keputusan yang tidak terlalu kecil dan juga tidak terlalu besar. Pohon yang terlalu besar
menjadikan model sulit untuk dipahami. Pohon yang terlalu kecil menyebabkan kurangnya
pengetahuan yang didapat dari model. Selain itu, model yang akan dipilih juga harus
memiliki tingkat akurasi yang baik. Setelah dilakukan evaluasi, terdapat 4 (empat) buah
model yang memiliki pohon keputusan dengan jumlah daun dan ukuran pohon yang kecil,
yaitu Model D4, D5, D7, D8 dan D9.
Tabel 14 Perbandingan Pohon Keputusan dan Akurasi Model
Model
Fitur
Pruning
D1
D2
D3
D4
D5
D6
D7
D8
D9
Unpruned
On-line
On-line
On-line
On-line
Post
Post
Post
Post
Pohon Keputusan
Jumlah Ukuran
Daun
Pohon
34
62
33
60
22
39
15
27
9
15
22
39
20
35
20
35
13
23
408
Akurasi
(%)
89,0351
89,0351
89,693
89,0351
90,3509
89,693
90,1316
90,5702
90,7895
Karena hanya satu model yang akan dipilih, Model D4, D5, D7, D8 dan D9 akan
dibandingkan dengan menggunakan nilai Kappa statistic dan ROC Area. Model D4 dan D5
masing-masing memiliki nilai Kappa statistic 0,7608 dan 0,7895, dan nilai ROC Area
masing-masing sebesar 0,944 dan 0,952. Model D9 memiliki nilai Kappa statistic yang
paling tinggi, yaitu sebesar 0,7986, namun memiliki nilai ROC Area yang lebih rendah
daripada model lainnya, yaitu sebesar 0,947. Model D8 memiliki Kappa statistic yang lebih
tinggi dari model lainnya, namun masih lebih rendah dibandingkan Model D9, yaitu sebesar
0,7971, sedangkan Model D8 memiliki nilai ROC Area yang paling tinggi di antara modelmodel lainnya, yaitu sebesar 0,963. Perbandingan dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Perbandingan Kappa Statistic dan ROC Area
Model
D4
D5
D7
D8
D9
Kappa statistic
0,7608
0,7895
0,7904
0,7971
0,7986
ROC Area
0,944
0,952
0,955
0,963
0,947
Oleh karena itu, model yang dipilih untuk klasifikasi adalah Model D8. Model D8 memiliki
pohon yang tidak besar dan juga tidak terlalu kecil, yaitu memiliki jumlah daun sebesar 20
dan ukuran pohon sebesar 35. Selain itu, akurasi yang dimiliki Model D8 bernilai tinggi yaitu
sebesar 90,5702% dan memiliki ROC Area yang paling tinggi, yaitu sebesar 0,963.
7.
Knowledge presentation.
Tahap akhir dalam proses data mining adalah knowledge presentation. Tahap ini
bertujuan untuk visualisasi dan mempresentasikan pengetahuan dari model yang dihasilkan
dari proses data mining. Model yang dipilih adalah Model D8. Model D8 menghasilkan
pohon keputusan dengan jumlah daun sebesar 20 dan ukuran pohon 35. Dari pohon
keputusan Model D8 dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut.
Model D8 memiliki jumlah data sebesar 456 data dan 44 atribut, yaitu 43 atribut prediktor
dan 1 atribut kelas. Jika dilihat dari pohon keputusan yang dihasilkan, Model D8 hanya
menggunakan 14 atribut prediktor dalam membuat klasifikasi.
Atribut pertama yang dijadikan dasar klasfikasi adalah OP1, yaitu opini BPK atas LKPD
tahun ke-t. Opini terdiri dari empat jenis, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar
Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Memberi Pendapat (TMP), dan Tidak Wajar (TW). Dari
keempat jenis opini tersebut, pemerintah daerah yang mendapatkan opini WDP dan WTP
dilanjutkan ke atribut berikutnya, sedangkan opini TMP dan TW langsung diklasifikasikan
sebagai NA atau daerah yang tidak mendapatkan alokasi DID. Hal ini sesuai dengan
409
ketetapan dalam PMK tentang Pedoman Umum dan Alokasi DID, yaitu kriteria kinerja utama
yang harus dipenuhi sebagai penentu kelayakan daerah penerima adalah mendapatkan
opini WTP atau WDP atas LKPD dan menetapkan Peraturan Daerah mengenai APBD
secara tepat waktu. Sampai dengan tahap ini, visualisasi sebagian pohon klasifikasi dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Potongan Tree View Model D8
Untuk daerah yang mendapatkan opini WDP, atribut selanjutnya yang dilihat adalah
IPM3, yaitu apakah IPM periode ke-t > IPM periode ke-(t-1) atau tidak. Jika tidak, maka
daerah diklasifikasikan sebagai NA atau daerah tidak mendapatkan alokasi DID. Jika ya,
maka model akan melanjutkan klasifikasi ke atribut PER3, yaitu apakah daerah menetapkan
Perda mengenai APBD tahun ke-(t-2) secara tepat waktu. Jika daerah tidak menetapkan
Perda APBD tahun ke-(t-2) secara tepat waktu, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai
NA atau daerah yang tidak menerima alokasi DID. Jika daerah menetapkan Perda APBD
tahun ke-(t-2) secara tepat waktu, maka klasifikasi dilanjutkan ke atribut APK1, yaitu apakah
APK SD tahun ke-t atau APK SMP tahun ke-t > rata-rata nasional atau tidak. Jika tidak,
maka daerah akan diklasifikasikan sebagai NA atau daerah yang tidak menerima alokasi
DID. Jika ya, maka klasifikasi dilanjutkan ke atribut PDRB2, yaitu apakah pertumbuhan
PDRB tahun ke-t dan ke-(t-1) > rata-rata nasional, dan pertumbuhan PDRB tahun ke-(t-1) >
pertumbuhan PDRB tahun ke-t atau tidak. Jika tidak, maka daerah akan diklasifikasikan
sebagai NA atau daerah yang tidak menerima alokasi DID. Jika ya, maka daerah akan
diklasifikasikan sebagai P1 atau daerah yang menerima alokasi DID tanpa tambahan alokasi
minimum. Visualisasi hingga tahap ini dapat dilihat pada Gambar 3.
410
Untuk daerah yang mendapatkan opini WTP, atribut yang selanjutnya dilihat adalah
PER1, yaitu apakah daerah menetapkan Perda mengenai APBD tahun ke-t secara tepat
waktu. Jika daerah tidak menetapkan Perda mengenai APBD tahun ke-t secara tepat waktu,
maka akan diklasifikasikan sebagai NA atau daerah tidak menerima alokasi DID. Jika Perda
APBD tahun ke-t ditetapkan secara tepat waktu, maka atribut yang dilihat selanjutnya adalah
LK1, yaitu apakah daerah menyampaikan LKPD tahun ke-t kepada BPK secara tepat waktu
atau tidak.
Jika daerah tidak menyampaikan LKPD tahun ke-t kepada BPK secara tepat waktu,
atribut selanjutnya yang akan dilihat adalah TPT2, yaitu Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) tahun ke-(t-1). Atribut ini merupakan label numeric, sehingga klasifikasi yang
dilakukan adalah jika TPT tahun ke-(t-1) <= 4,93, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai
AM1 atau daerah mendapatkan alokasi minimum DID sebesar Rp2 miliar. Kemudian jika
TPT tahun ke-(t-1) > 4,93 maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2 atau daerah
mendapatkan alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Visualisasi hingga tahap ini
dapat dilihat pada Gambar 4.
411
Masih dalam atribut LK1, jika LKPD tahun ke-t diserahkan secara tepat waktu maka
model akan melanjutkan klasifikasi ke atribut IPM3, yaitu apakah IPM periode ke-t > IPM
periode ke-(t-1) atau tidak. Jika ya, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2, yaitu
daerah yang mendapatkan alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Jika tidak,
atribut selanjutnya yang akan dilihat adalah PER2, yaitu apakah penetapan Perda APBD
tahun ke-(t-1) tepat waktu atau tidak. Jika tidak, daerah akan diklasifikasikan sebagai AM2,
yaitu daerah yang mendapatkan alokasi minimum sebesar Rp3 miliar. Jika ya, maka akan
dilanjutkan ke atribut PDRB1, yaitu apakah pertumbuhan PDRB tahun ke-t > rata-rata
pertumbuhan PDRB nasional atau tidak. Visualisasi hingga tahap ini dapat dilihat pada
Gambar 5.
412
Jika pertumbuhan PDRB tahun ke-t tidak > rata-rata nasional, maka klasifikasi
dilanjutkan ke atribut PAD2, yaitu apakah peningkatan PAD periode ke-t > rata-rata nasional
atau tidak. Jika peningkatan PAD periode ke-t > rata-rata nasional, maka daerah
diklasifikasikan sebagai P2, yaitu daerah yang mendapatkan alokasi kinerja ditambah
dengan alokasi minimum. Jika tidak, maka daerah diklasifikasikan sebagai AM2, yaitu
daerah yang menerima alokasi minimum sebesar Rp3 miliar. Masih dalam pertumbuhan
PDRB, jika pertumbuhan PDRB tahun ke-t > rata-rata pertumbuhan PDRB nasional, maka
klasifikasi dilanjutkan ke IPM1, yaitu apakah IPM periode ke-(t-1) > rata-rata nasional atau
tidak. Jika ya, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2, yaitu daerah yang
mendapatkan alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Jika tidak model akan
melanjutkan ke atribut OP3, yaitu opini atas LKPD tahun ke-(t-2). Jika Opini tahun ke-(t-2)
adalah WTP, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2 yaitu daerah yang
mendapatkan alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Jika opini atas LKPD tahun
le-(t-2) bernilai TMP atau TW maka daerah diklasifikasikan sebagai AM2 yaitu daerah yang
mendapatkan alokasi minimum. Jika Opini atas LKPD tahun ke-(t-2) bernilai WDP, maka
akan dilanjutkan ke atribut PDRB5 yaitu angka pertumbuhan PDRB tahun ke-t. Jika angka
pertumbuhan PDRB tahun ke-t <= 7,58, maka daerah akan diklasfikasikan sebagai AM2,
yaitu daerah yang menerima alokasi minimum DID Rp3 miliar. Jika angka pertumbuhan
PDRB tahun ke-t > 7,58 maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2 yaitu daerah yang
menerima alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Visualisasi sampai dengan
tahap ini dapat dilihat pada Gambar 6.
413
Model D8 menunjukkan bahwa untuk daerah yang mendapatkan opini WTP atas LKPD
tahun ke-t dan menetapkan Perda tahun ke-t secara tepat waktu telah memenuhi syarat
untuk ditetapkan sebagai daerah penerima DID. Hal ini dapat dilihat pada hasil klasifikasi
atribut-atribut selanjutnya, di mana sudah tidak ada lagi yang diklasifikasikan sebagai NA
atau daerah yang tidak menerima alokasi DID. Klasifikasi atribut selanjutnya akan
menentukan kelas alokasi DID, yaitu AM1, AM2, atau P2. Hal ini sesuai dengan tujuan
penelitian yang dilakukan, yaitu untuk mengidentifikasi variabel atau atribut yang
menentukan penetapan daerah penerima dan alokasi DID.
Gambar 6 Potongan kelima Tree View Model D8
Kesimpulan
Teknik Decision Tree J48 menghasilkan 9 model klasifikasi Daerah Penerima Dana
Insentif Daerah. Dari kesembilan model tersebut, Model D8 dipilih untuk mengklasifikasikan
Daerah Penerima DID. Model D8 menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah daun
sebesar 22 dan ukuran pohon sebesar 39, serta memiliki akurasi 90,5702%.
Model D8 menghasilkan pohon keputusan yang mampu menjelaskan variabel-variabel
atau atribut yang menentukan penetapan daerah penerima dan alokasi DID. Variabel yang
menentukan terdiri dari 14 variabel yaitu:
1. opini BPK atas LKPD tahun ke-t;
2. opini BPK atas LKPD tahun ke-(t-2);
3. penetapan Perda mengenai APBD tahun ke-t secara tepat waktu;
414
Atribut-atribut yang ada pada pohon keputusan yang dihasilkan dari Model D8 dapat
memberikan informasi kepada Pemda mengenai kinerja daerah yang harus ditingkatkan
untuk mendapatkan alokasi Dana Insentif Daerah. Dengan demikian tujuan alokasi DID yaitu
meningkatkan pengelolaan keuangan daerah dapat tercapai.
Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2014. DID 2015 Kebijakan dan Meta Data.
Jakarta: Kementerian Keuangan.
Fu, Yongjian. 1997. Data Mining: Tasks, Techniques, and Applications. Missouri: University
of Missouri Rolla.
Gorunescu, Florin. 2011. Data Mining: Concepts, Models and Techniques. New York:
Springer-Verlag.
Han, J., Micheline Kamber, dan Jian Pei. 2012. Data Mining: Concepts and Techniques
Edisi ke-3. San Fransisco: Morgan Kaufman.
Liu, Sandra S. dan Jie Chen. 2009. Using data mining to segment healthcare markets from
patients preference perspectives. International Journal of Healthcare Quality
Assurance Vol. 22: 117-134.
Prasetyo, Eko. 2014. Data Mining: Mengolah Data Menjadi Informasi Menggunakan Matlab.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
415
416
ABSTRACT: Act 13 year 2008 concerning the legal basis for the accomplishment of the Hajj
Health Coaching. Particularly in chapter VIII, article 31 becomes a solid legal basis for
conducting the Hajj health coaching by the health centers in particular and BKOM Pelkes in
general.Factually speaking, health is the most significant factor of the Islamic pilgrimage. Thus
there is no doubt that without adequate health conditions, the achievement of the worship rituals
will not be optimal. Therefore, Each pilgrims needs to prepare in order to have the optimal
health and fitness status.One of the efforts can be the physical fitness examination, prior to
departure to the holy land. The goal is to predict high-risk diseases and discover the level of
physical fitness. The next purpose is to reduce the number of mortality and morbidity.The first
medical examination for the health coaching is conducted in accordance with the standard
medical protocol including medical examination as follows: 1. Anamnesa 2. Physical
examination 3. Investigations 4. Assessment of independence and 5. Fitness test.Health
coaching of hajj activities after the fitness test conducted is by enhancing the prospective hajj
pilgrims' fitness through a physical exercise that is good, correct, regular, and measured
(GCRM).Then the GCRM physical exercise is held in accordance with the precise fitness level,
which is obtained from the result of the physical fitness test.Nevertheless, the fitness checks are
not conducted for the entire pilgrims of the hajj until recently hence they do not get any
information about their fitness levels. As the result, the pilgrims do not do any physical exercise,
which is appropriate with their fitness levels. Describing the physical test result of some
prospective hajj pilgrims from Padang. Method: This research uses the descriptive
method.Result: The total of Padang's prospective hajj pilgrim are 1023 people, nonetheless,
only 145 of them being the participants of the fitness examination. Thus, only 12% from the
417
whole pilgrims of the city were examined. From the total examined participants, 30% of them
are male and the rest 70% are female. More specifically, there are 50% ofthem are pre-elderly
participants between the ages of 45-59 years old. Also, young age <44 years old amounted to
20% and age>60 years old amounted to 30%. In epidemiology, many of pre-elderly age
participants have already suffered by non-communicable diseases. The field data that is
processed in form of the participants travel time result then matched with the value of VO2
Max.Evidently, the fitness test of the participants shows that 15% of the participants are in a
primely fitness category, 50% are in a good category, 33% are in sufficient category, 2,07% are
in deficient category, and only 1 person who could not be assessed. Advice, it is necessary to
examine the fitness level of the pilgrims at least 6 (six) month before the due time for the
intervention in order to increase the physical fitness by doing the good, correct, regular, and
measured exercise. Hopefully, all of the prospective hajj pilgrims become self-sufficient, as they
are healthy.
Keywords: evaluation, physical fitness test, prospective hajj pilgrims.
Corresponding author: Sry Rachmawaty, E-mail: sry.rachmawaty Tel/Fax.: 08129092762
Pendahuluan
Ibadah haji adalah rukun islam ke 5 yang diidam-idamkan bagi setiap muslim di dunia.
menurut Surat Al Imran ayat 97 merupakan kewajiban bagi orang-orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah yaitu mampu dalam pembiayaan, pengetahuan, kesehatan
jasmani dan rohani. Ibadah haji merupakan ibadah yang mempunyai waktu tertentu, tempat
tertentu dan cara tertentu. Ibadah haji hanya dilaksanakan pada bulan zulhijjah, tempat
pelaksanaannya di Mekah Arab Saudi, dan caranya adalah adanya rukun yang tidak boleh
ditinggalkan yaitu wukuf di Arafah. Karena sifatnya yang khusus tersebut maka semua muslim
sangat mendambakan dapat menunaikan ibadah haji. Besarnya animo untuk melaksanakan
ibadah haji membuat jemaah calon haji menunggu cukup lama untuk dapat diberangkatkan ke
tanah suci. Disamping memerlukan biaya yang cukup besar, waktu antrian yang lama ini
menjadikan usia jemaah haji yang berangkat ke tanah suci juga semakin tua. Ibadah haji
sebagai rukun Islam ke-5 merupakan kewajiban umat islam karena Allah SWT dan Kemampuan
jasmani dan rohani merupakan salah satu syarat kelayakan untuk beribadah haji (istithoah)
berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan sebagai bagian dari penyelenggaraan ibadah haji.
418
Ibadah haji juga merupakan ibadah fisik karena memerlukan stamina yang prima untuk
menjalankan seluruh rangkaian ibadah selama kurang lebih 38-40 hari waktu tinggal disana.
Waktu tinggal di tanah suci yang cukup lama membuat jemaah calon haji memanfaatkan waktu
dengan banyak melakukan ibadah wajib dan sunah semaksimal mungkin.
Faktor-faktor internal dan eksternal jemaah haji mempengaruhi angka kesakitan dan angka
kematian jemaah haji . Faktor internal antara lain tingkat kebugaran jasmani yang masih kurang
dan sudah menderita penyakit sejak dari tanah air. Data dari KKP Kelas 2 Padang sewaktu
pemberangkatan jemaah haji tahun 2014 adalah senility 29,87% , hipertensi 26,58%, NIDDM
5.76%, Asma 1,096%, Atherosclerotic Heart Disease 1,052%, Chronic Ischemic Heart Disease
0.789%. terlihat jemaah haji sudah mempunyai penyakit kronis dan usia yang lanjut ketika
berangkat ke tanah suci.
Berkaitan dengan kondisi diatas, perlu dilaksanakan pembinaan kesehatan. Salah satu
cara pembinaan kebugaran jemaah calon haji adalah pemeriksaan kebugaran jemaah calon
haji untuk kemudian dilakukan pembinaan kebugaran jemaah calon haji oleh puskesmas
sebagai pembina wilayah kerja kesehatan.
I.
Tujuan
Tujuan Umum
Meningkatkan kualitas pembinaan kebugaran jasmani bagi jemaah haji di
Puskesmas sehingga tercapai jemaah haji Indonesia yang sehat dan bugar.
Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat kebugaran jemaah calon haji Kota Padang
tahun 2015
Tujuan Khusus
Mengetahui kategori tingkat kebugaran jemaah calon haji kota Padang tahun
2015
II. Manfaat
1. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah kota Padang membuat kebijakan
pemeriksaan kebugaran untuk seluruh jemaah calon haji kota Padang
419
Metodologi
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dengan
cara pemilihan responden adalah secara accidental sampling yang mana sampel adalah
jemaah calon haji yang akan berangkat ke tanah suci pada tahun 2015. Jemaah juga tergabung
pada beberapa KBIH. Pada penelitian ini sampel adalah merupakan pilihan dari KBIH yang ada
di kota Padang.
Hasil
Pemeriksaan dilakukan pada 45 jemaah calon haji yang akan berangkat pada tahun
2015. Total jemaah yang akan berangkat sebanyak 1023 jemaah calon haji untuk kota padang.
Tabel 1. Perbandingan JCH yang di periksa dengan Total Keseluruhan JCH yang berangkat
tahun 2015
12%
88%
2 total jemaah haji kota
padang
420
Hanya 12% jemaah haji yang di periksa kebugaran jasmani tahun 2015 dari keseluruhan
jemaah haji yang berangkat pada tahun 2015
2 Perempuan
30%
70%
Dari tabel 2 terlihat jumlah JCH perempuan dua kali lipat JCH Laki-laki
Tabel 3. Usia jemaah calon haji 2015
421
Dari hasil perbandingan ini terlihat jemaah haji yang berangkat setengahnya berusia pralansia ,
30% berusia lansia dan hanya 20% berusia muda. Artinya jemaah dengan usia relative muda
yang lebih sedikit . Jemaah calon haji pralansia dan lansia yang lebih banyak.
Kondisi ini
mempunyai dampak yang cukup besar pada kebugaran jemaah calon haji bila jemaah calon
haji tidak memelihara kebugaran dan kesehatannya.
30%
20%
<44 tahun
45-59 tahun
>60 thaun
50%
2 Kurus sekali
3 Normal
4 Overweight
5 Pra obes
6 Obesitas
7 Tidak diketahui
5%
3% 2%
19%
18%
13%
40%
422
Dari tabel 4. Sebanyak 40% normal. Bila dijumlahkan jemaah yang mempunyai indeks massa
tubuh lebih dari normal 36% dan indeks massa tubuh kurang dari normal adalah 7%. Terlihat
bahwa jemaah yang bermasalah dengan berat badan mempunyai prosentase yang hampir
sama dengan berat badan yang normal.
Tabel 5.Tingkat kebugaran jemaah haji kota padang 2015
2 cukup
3 baik
4 baik sekali
2%
15%
33%
50%
Dari hasil pemeriksaan kebugaran jemah calon haji, didapatkan jemaah yang mempunyai
tingkat kebugaran baik sebanyak 50%, kebugaran cukup 33%, tingkat kebugaran kurang 2%
dan yang mempunyai tingkat kebugaran baik sekali sebanyak 15%
Diskusi
Dari hasil pemeriksaan kebugaran jasmani yang sudah dilakukan , didapatkan hasil:
1. Total jemaah haji kota Padang adalah 1023 orang. Namun hanya 45 orang yang diperiksa
kebugarannya. Jadi hanya 12% dari total jemaah haji keseluruhan kota yang diperiksa
kebugarannya. Ibadah haji adalah ibadah individual (fardu Ain) bukan ibadah dalam grup atau
(fardu kifayah). Pemeriksaan kebugaran jasmani idealnya adalah minimal 6 bulan sebelum
keberangkatan. Sehingga ada waktu untuk mengintervensi tingkat kebugaran jemaah calon
haji. Setelah pemeriksaan kebugaran yang pertama maka jemaah calon haji diberikan dosis
423
latihan kebugaran sesuai dengan tingkat kebugaran dan penyakit yang diderita dan dilakukan
pembinaan selama 3 bulan. Setelah 3 bulan pembinaan, jemaah calon haji di evaluasi tingkat
kebugarannya dengan melakukan pemeriksaan kebugaran yang ke dua. Selain pemeriksaan
kebugaran yang kedua jemaah haji juga dievaluasi kesehatan dan penyakit penyerta lainnya.
2. Pemeriksaan didapatkan jemaah calon haji yang diperiksa kebugarannya lebih banyak
perempuan dibandingkan laki-laki. Tidak ada perbedaan tingkat kebugaran walaupun jenis
kelamin berbeda. Pada pemeriksaan kebugaran jasmani dengan metode Rockport ,
perhitungan VO2 Max sudah disesuaikan dengan jenis kelamin. Namun dari segi kekuatan otot
sudah pasti berbeda. Dalam penelitian ini kekuatan otot jemaah calon haji tidak diteliti.
3. Pada hasil pemeriksaan diperoleh jemaah pralansia dari usia 45-59 th sebanyak 50%. Usia
muda <44tahun berjumlah 20% dan usia >60 th berjumlah 30%. Secara epidemiologi, usia
pralansia sudah banyak yang menderita penyakit tidak menular. Dengan bertambahnya usia
maka pada usia lansia akan lebih banyak yang menderita penyakit degenerative. Pada
penelitian ini penyakit degenerative yang diderita oleh lansia tidak dicantumkan dalam catatan
pelaporan hasil pemeriksaan kebugaran jasmani.
pertanyaan yang terangkum dalam ParQ dapat menjadi salah satu pertimbangan dokter dalam
memberikan dosis olah raga atau latihan fisik yang tepat bagi jemaah calon haji. Oleh karena itu
pemeriksaan kebugaran jemaah calon haji semestinya dilakukan untuk setiap jemaah calon
haji.
4. Pada hasil pemeriksaan ada sebanyak 40% indeks massa tubuh normal. Bila dijumlahkan
jemaah yang mempunyai indeks massa tubuh lebih dari normal 36% dan indeks massa tubuh
kurang dari normal adalah 7%. Terlihat bahwa jemaah yang bermasalah dengan berat badan
mempunyai prosentase yang hampir sama dengan berat badan yang normal yaitu 43%.
Pembinaan kebugaran dan kesehatan jemaah haji dapat dipengaruhi oleh indeks massa tubuh.
Maka sangat penting bagi jemaah calon haji untuk mendapatkan pemeriksaan kebugaran
jemaah haji 2 kali sebelum berangkat ke tanah suci.
5. Pada hasil kategori tingkat kebugaran jemaah haji, terlihat bahwa 15% baik sekali, 50%
jemaah haji mempunyai kategori kebugaran yang baik, 33% tingkat kebugaran cukup dan
masih ada 2% yang mempunyai kategori kurang. Pemeriksaan kebugaran yang dilakukan oleh
BKOM-PELKES Sumbar dilaksanakan tanggal 27 April 2015 sedangkan pemeriksaan
424
kebugaran haji oleh DKK Padang pada tanggal 1 Juni 2015. Atau sekitar 3 bulan sebelum
keberangkatan jemaah calon haji ke tanah suci.
III.
Masalah
Masalah yang ditemukan dalam pemeriksaan kebugaran jemaah calon haji adalah
1.
Total jemaah haji yang diperiksa hanya 12% dari seluruh jemaah haji yang akan
berangkat ke tanah suci. Dari hasil wawancara singkat dengan petugas puskesmas
didapatkan keterangan bahwa pemeriksaan kebugaran ini dananya hanya untuk 100
orang. Padahal untuk membina kesehatan dan kebugaran jemaah haji bersifat individual .
karena kondisi tubuh dan penyakit penyerta lainnya tidak akan sama untuk setiap orang.
Maka karena sedikitnya jemaah haji yang diperiksa kebugaran jasmaninya sehingga
pembinaan kesehatan dan kebugaran haji tidak optimal.
2.
Jemaah haji Indonesia 30% nya adalah resiko tinggi usia yaitu berusia >60tahun. Maka
jemaah haji yang memiliki resiko umur saja sudah 344 orang dan bila ditambah dengan
jemaah pra lansia yang memliki penyakit atau resiko tinggi penyakit akan lebih tinggi
resiko yang terdapat pada jemaah haji kota padang. Maka, pembinaan kesehatan dan
kebugaran jemaah haji menjadi penting keberadaannya. Yaitu untuk memantau resiko
tinggi penyakit, mengevaluasi beban latihan yang sudah diberikan oleh dokter, memantau
sejauh mana kebugaran jasmani jemaah calon haji meningkat.
3.
Pemeriksaan kebugaran jemaah haji yang dilakukan hanya berjarak 3-4 bulan sebelum
keberangkatan. Pada pemeriksaan tersebut , masih ada jemaah haji yang memperoleh
hasil tes kebugaran dengan kategori kurang (2%) dan yang mempunyai kategori cukup
sebanyak 33%. Jemaah calon haji tidak mendapatkan dosis latihan yang sesuai dengan
kebutuhan individual. Sehingga kemungkinan besar dosis latihan yang dijalankan tidak
berasal dari dosis latihan yang diberikan oleh dokter. Atau dosis latihan tidak adekuat.
Lebih ringan daripada yang seharusnya .
4.
Penelitian ini merupakan evaluasi dari pemeriksaan yang dilakukan oleh BKOM Pelkes
Sumatera Barat dengan dana dari DEKON. BKOM Pelkes sendiri belum menyediakan
anggaran untuk pemeriksaan kebugaran untuk jemaah haji atau lainnya. Keadaan ini
cukup menyulitkan karena sulit sekali menggabarkan keadaan sesungguhnya dari
kebugaran jemaah haji Sumatera Barat.
425
Kesimpulan
1. Pentingnya pemeriksaan kebugaran jemaah calon haji sebelum keberangkatan minimal
6 bulan.
2. Pembinaan jemaah calon haji seharusnya berdasarkan dari hasil tes pemeriksaan
kebugaran . sehingga jemaah haji menjalani proses peningkatan kebugaran secara utuh
karena latihan fisik yang dijalani sesuai dengan kebutuhan tubuhnya sendiri dengan
mempertimbangkan penyakit penyerta yang ada pada tubuhnya.
3. Pemeriksaan kebugaran jemaah haji seharusnya diterapkan untuk seluruh jemaah haji.
Karena setelah pemeriksaan kebugaran jasmani akan didapat tingkat kategori
kebugaran dan disusul dengan kebutuhan latihan, pembinaan kesehatan dan kebugaran
yang berbeda untuk setiap individu. Maka penting bagi pemerintah daerah untuk
mendukung kegiatan pemeriksaan kebugaran jemaah haji dan pembinaan kesehatan
jemaah calon haji tersebut.
4. Dukungan pemerintah daerah untuk peningkatan kebugaran jemaah haji dan pembinaan
kesehatan bagi jemaah haji sangat dibutuhkan oleh jemaah haji sehingga jemaah haji
dapat menjalankan ibadah secara paripurna dan memperoleh haji mabrur. Pemerintah
daerah seharusnya sudah menjadi khadimul waliyullah .
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 442 /MENKES/ SK/VI/ 2009
tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/downloads/2012/04/PedomanPembinaan-Kebugaran-Jasmani-Jemaah-Haji-Bagi-Petugas-Kesehatan.pdf
426
http://www.indonesian-publichealth.com/2014/06/penyelenggaraan-kesehatan-haji.html
diunduh 7/7//2015 pukul02.00 WIB
http://www.merdeka.com/peristiwa/menkes-angka-kematian-jemaah-haji-turun.html di unduh
7/7/2015 pukul 01.51 WIB
427
Abstrak: Tulisan ini membuktikan bahwa bina damai terorisme yang dilakukan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) dan di luar Lapas dapat berjalan baik dengan pendekatan nasionalisme
keagamaan. Keberhasilan strategi bina damai ditandai kesediaan narapidana terorisme bekerjasama
dengan pemerintah untuk memberi informasi jaringan dan kepatuhan terhadap Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia. Tulisan ini menggunakan pendekatan teori konflik dan teori identitas sosial
dalam menganalisis pelaku tindak pidana terorisme dan masyarakat partisipan. Pelaku teror
merupakan
kelompok
minoritas
yang
mengalami
kekecewaan
akibat
tidak
terakomodirkepentingannya.
Pendahuluan
Berbagai peristiwa teror berupa peledakan bom yang terjadi di Indonesia sejak 2002, 1 telah
menimbulkan banyak korban nyawa dan harta benda. Keprihatinan terjadi ketika agama justru
dianggap sebagai sumber kekerasan atau dijadikan dasar untuk membenarkan teror terhadap penganut
agama lain. Kondisi demikian memberikan kesadaran perlunya berbagai kegiatan resolusi konflik dan
pemahaman kembali terhadap teks keagamaan yang damai. Bina damai dapat dilakukan dengan
mengedepankan semangat toleransi, mengedepankan perdamaian, menjunjung hak asasi manusia,
serta menghormati orang yang berbeda agama maupun berbeda keyakinan.
Seseorang atau kelompok yang melakukan kekerasan dengan pengaruh sumber-sumber
radikalisme, tidak memandang bahwa aksi kekerasan yang dilakukan sebagai sebuah kejahatan. Aksi
kekerasan tersebut menjadi kebanggaan karena merasa sebagai pasukan pertempuran yang sah dalam
memperjuangkan kebenaran apa yang diyakininya.2 Radikalisme yang ditentukan oleh persepsi
Ledakan bom pada 12 Oktober 2002 pukul 23:05 WITA di Paddy's dan Sari Club (SC) Jalan Legian
Kuta, Badung, Bali, menjadi titik awal penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia.
2
Ramzi Yousef setelah diputus pengadilan dengan hukuman penjara seumur hidup atas aksi pengeboman
Menara WTC pada Pebruari 1993 di New York, justru dengan bangga mengumumkan I am a terrorist and
proud of it as long as it is against the U.S. government. yang berarti saya adalah teroris dan bangga
mengakuinya sebagai perlawanan terhadap pemerintah Amerika Serikat. Peg Tyre, 'Proud terrorist' gets life for
428
individu tentu tidak hanya dipengaruhi suatu landasan ideologi tertentu, namun dapat dipengaruhi
oleh beragam faktor lain dalam lingkup isu global, regional, maupun lokal. Isu-isu yang dapat
mempengaruhi radikalisme seperti faktor ekonomi, sosial budaya, pendidikan, psikologi, kegagalan
tujuanpolitik, pemahaman agama, maupun kebijakan pemerintah yang berlawanan kepentingan.
Penanganan radikalisme yang kemudian disebut sebagai aksi terorisme di Indonesia mulai
dilakukan sejak terjadinya Kasus Bom Bali I pada 12 Oktober 2002. Hal ini juga menjadi satu
rangkaian agenda internasional penanganan terorisme yang dikampanyekan oleh Amerika Serikat
pasca-peristiwa 11 September 2001 dengan terjadinya pemboman gedung World Trade Center (WTC)
di New York.3 Agenda penanganan terorisme yang dilakukan pemerintah Indonesia pada akhirnya
menjadi diplomasi politik internasional sekaligus memperkuat komitmen kerjasama internasional.
Penggunaan cara-cara kekerasan terhadap narapidana terorisme dapat berakibat memperkuat
identitas sebagai teroris. Penguatan identitas yang diiringi persepsi negatif terhadap tindakan aparat
berpengaruh pada semangat balas dendam terhadap aparat keamanan.4 Terlebih mendefinisikan
terorisme atau penyebutan seseorang sebagai teroris masih menjadi perdebatan dan tarik ulur
kepentingan internasional. Persepsi merupakan suatu rangkaian proses yang dilakukan oleh seseorang
dalam mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera yang diterima sehingga memberikan makna
pada lingkungannya untuk menjadi suatu sikap dan perbuatan.5
Terorisme memiliki latar belakang persoalan yang kompleks sehingga penanganannya tidak
cukup hanya menggunakan dasar pendekatan ideologi. Gerakan terorisme terbangun dari sekelompok
individu rasional yang membangun identitas kolektif bersama untuk sebuah tujuan tertentu melalui
aksi teror. Para pelaku tindak terorisme melakukan berbagai strategi kekerasan dan memunculkan
konflik sosial guna menyampaikan pesan kepada masyarakat luas melalui beberapa pertimbangan
strategis. Ho-Won Jeong dalam memetakan sumber konflik sosial, termasuk di dalamnya adalah kasus
terorisme, menyatakan bahwa konflik sosial di tengah masyarakat dipengaruhi adanya kekerasan atau
gangguan dari orang lain, adanya identitas sosial yang mengganggu, dan adanya ketidakadilan dari
pemegang otoritas.6
Pemerintah telah membangun hubungan kerjasama dengan para ulama melalui berbagai
pendekatanuntuk mengeliminir ideologi radikal yang diyakini para teroris. Pendekatan dengan
melibatkan peran para ulama dirasa efektif untuk mengkampanyekan pemahaman anti-radikalisme
429
kepada masyarakat luas sehingga terbangun imunitas pada diri masyarakat terhadap pemahamanpemahaman yang dianggap radikal. Terlebih konflik ataupun aksi kekerasan pada dasarnya bukan
disebabkan oleh agama tertentu, namun adanya berbagai sebab yang saling berhubungan.
Agama biasanya digunakan sebagai faktor legitimasi atau untuk menutupi konflik yang
sesungguhnya. Adapun faktor lain diluar agama seperti adanya krisis di berbagai bidang menciptakan
hilangnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap pemerintahsehingga melahirkan sikap saling
curiga di tengah kelompok masyarakat. Berdasarkan latar belakang yang melandasi lahirnya gerakan
terorisme di Indonesia maupun di berbagai negara lain, menunjukkan bahwa terorisme merupakan
gejala sosial yang memiliki kompleksitas persoalan baik dari politik, sosial, budaya dan ekonomi.
Radikalisme sebagai Titik Awal
Radikalisme sebagai suatu faham tidak selalu ditandai dengan aksi-aksi kekerasan, namun
dapat juga sebatas pemikiran dan ideologi yang tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam
melaksanakan pemikiran tersebut. Radikalisme yang ditentukan oleh persepsi individu tentu tidak
hanya dipengaruhi suatu landasan ideologi tertentu, namun dapat juga dipengaruhi oleh beragam
faktor lain dalam isu global, regional, maupun lokalitas. Fanatisme ideologi sehingga menganggap
yang lain salah, dapat menjadi penyebab radikalisme dengan penggunaan senjata. Kondisi kekerasan
yang berdalih sebagai perjuangan ideologi melahirkan ekstrimisme dan menguat sebagai aksi
terorisme dengan tujuan-tujuan politik tertentu.
Faktor ekonomi dalam tindakan radikalisme dicontohkan pada seringnya terjadi kudeta militer
dan konflik politik di negara-negara berkembang maupun negara miskin.7 Aspek sosial budaya dan
psikologi dalam mempengaruhi munculnya radikalisme dapat dilihat dari persepsi pelaku yang
merasakan adanya tekanan serangan, tidak dihargai, dan adanya kekerasan yang dirasakan.8 Aspek
teologis atau agama dapat mempengaruhi munculnya radikalisme karena memahami agama dalam
dua kutub yang berseberangan, yaitu merasa lebih benar atau lebih berhak untuk masuk surga serta
adanya dendam sejarah dalam setiap perkembangan agama. Al-Jabiri menegaskan bahwa radikalisme
tidak lebih dari sekadar fenomena yang muncul dari persoalan sosial politik, kemudian dikemas
dengan isu agama.9
Ideologi keagamaan sering menjadi motivasi sekaligus dorongan untuk membenarkan aksi teror
yang dilakukan. Penguatan aksi teror yang mengatasnamakan agama dianggap sebagai bentuk
perjuangan keyakinan yang sangat mendasar atau fundamental. Fundamentalis agama lebih
mengutamakan doktrin agama daripada toleransi yang berdasar cinta dan penghormatan hak asasi
manusia. Sikap demikian sebagai akibat pelaku atau aktivis fundamentalisme agama lebih
7
Sukawarsini Djelantik, Terorisme: Tinjauan Psikoanalitis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan
Nasional (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 256.
8
Mark Jurgensmayer, Terorisme Para Pembela Agama (Yogyakarta: Tarawang Press, 2003), 16.
9
Muhammad Abid al-Jbiri, Qadaya al-Fikr al-Arbi: al-Mas-alah al-Thaqfiyyah (Beirut: Markaz
Dirsah al-Wahidah al-Arbiyyah, 1994), 134-135.
430
mengedepankan kebenaran yang bersifat sektarian daripada penghargaan perbedaan. Keadaan ini
yang menjadikan penyebaran radikalisme agama dipengaruhi keyakinan sepihak dan dipaksakan
untuk diikuti oleh orang lain.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) masa 2010-2014, Ansyad Mbai,
menyatakan bahwa radikalisme adalah akar dari terorisme sehingga aksi terorisme akan selalu ada
jika pergerakan radikalisme tidak dihentikan beserta sumber-sumber lahirnya radikalisme itu sendiri.
Para pelaku terorisme sejak peristiwa pengeboman World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat
pada 11 September 2001 mengaku tindakannya sebagai bentuk jihd f sablillh. Hal demikian
sebagaimana pengakuan Ali Imron dalam aksi bom Bali I yang dipengaruhi adanya beberapa alasan,
yaitu ketidakpuasan terhadap pemerintah yang tidak berdasarkan syariat Islam dan tidak adanya
immah, rusaknya moralitas dan akidah masyarakat, melindungi umat Islam, pembalasan terhadap
kafir yang memerangi kaum Muslim.10
Imam Samudra dalam penjelasannya tentang bom Bali menjelaskan bahwa aksi yang dilakukan
merupakan salah satu bentuk jawaban yang dilakukan segelintir kaum Muslimin yang sadar dan
mengerti akan arti sebuah pembelaan dan harga diri atas kesewenangan negara penjajah sehingga
menjadi jihad yang harus dilakukan.11 Seseorang atau kelompok yang melakukan tindakan karena
dipengaruhi adanya sumber-sumber radikalisme, tidak memandang bahwa aksinya tersebut sebagai
sebuah kejahatan, tetapi justru muncul rasa kebanggaannya karena merasa telah menjadi pasukan
yang memperjuangkan kebenaran apa yang diyakininya. Kelompok-kelompok pejuang radikal ini
seringkali menggunakan simbol-simbol militer dalam organisasi gerakannya12 seperti Irish of
Republican Army (IRA) di Irlandia, Euskadi Ta Askatasuna (ETA) di Spanyol, Hizbullah di Libanon,
Harakat al-Muqawwama al-Islamiyyah (Hamas) di Palestina, Front Islamique du Salut (FIS) di
Aljazair, Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia (FARC) di Kolombia, The Moro National
Liberation Front (MNLF) dan Abu Sayyafs Group (ASG) di Filipina, Al-Qaeda dan Taliban di
Afghanistan.
Veldhuis dan Staun (2009) menguraikan bahwa akar penyebab dari radikalisme dibedakan
menjadi dua faktor yaitu pada level makro dan level mikro. Level makro adalah prasyarat
terbangunnya radikalisme yang bersifat global seperti politik pendudukan Negara Barat atas negaranegara Islam. Pada level mikro adalah kondisi yang menjadi faktor langsung terjadinya radikalisme
10
Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom, Cet. 1 (Jakarta: Republika, 2007), 41-71; Kumar Ramakrishna,
Delegitimizing Global Jihadi Ideology in Southeast Asia Contemporary Southeast Asia, Vol. 27, No. 3
(Desember 2005), 343-369.
11
Imam Samudra, Aku Melawan Terorisme (Solo: al-Jazera, 2004), 114-115; Asep Adisaputra, Imam
Samudra Berjihad, Cet. 1 (Jakarta: Grafika Indah, 2006), 62-69; Wawan H. Purwanto, Terorisme Ancaman
Tiada Akhir: Bahaya dan Strategi Pemberantasan di Indonesia, Cet. II (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu,
2004), 53-55.
12
Anisseh Van Engeland dan Rachael M. Rudolph, From Terrorism to Politics (Ethics and Global
Politics) (Burlington: Ashgate Publishing Company, 1988).
431
pada diri seseorang atau kelompok tertentu sehingga dalam level mikro dibedakan sebagai faktor
individual yang erat hubungannya dengan perubahan tingkah laku atau aspek psikologi, dan faktor
sosial yang terkait identitas diri dalam lingkungan sosial.
13
432
Purifikasi hukum Tuhan sebagaimana menjadi garis ideologi Ikhwanul Muslimin (IM)
menganggap hukum hanya bersumber dari Islam, bukan bersumber dari agama-agama lain.
Pandangan demikian yang telah memicu suburnya benih-benih fanatisme keberagamaan yang
mengarah pada ekstrimisme.18 Hukum Tuhan dalam QS. Al-Maidah ayat 44 difahami sebagai hukum
kelompok tertentu yang telah dikodifikasi, sebagaimana hukum yang telah dikodifikasi oleh ulama
Syiah atau ulama Sunni. Konteks historis turunnya ayat tersebut berkaitan orang Yahudi yang
dihukum cambuk dan dipanasi badannya karena melakukan perzinahan dan sudah berkeluarga.19 Hal
ini menjelaskan bahwa ayat tersebut tidak berkaitan dengan pendirian negara Islam atau sistem
khilafah tetapi kewajiban bagi agama samawi untuk melaksanakan hukum dalam kitab sucinya
sendiri.
Tabel Dalil Kekerasan Atas Nama Agama20
No
1
2
3
4
5
Dalil
Pemahaman
Berhukum selain hukum Allah adalah kafir
Islam sudah sempurna mengatur semua bidang
Bersikap keras terhadap orang-orang kafir
Perintah untuk membunuh, menangkap, dan
mengintai orang-orang musyrikin
Yahudi dan Nasrani selalu memiliki rencana untuk
menyerang umat Muslim
resiko kekerasan beserta kondisi wilayah dan sosial budaya di mana mantan
narapidana berada. Proses pembinaan tersebut berasal dari kesadaran bahwa keyakinan kelompok
18
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (Jakarta:
Penerbit Fitrah, 2007), 401.
19
Imm al-Widi, Asbb al-Nuzl (Kairo: Dr al-adth, 2003), 150.
20
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2014), 83-232.
21
Kafir sebagai upaya menghalangi keadilan dan kesejahteraan (QS. Ali Imran: 21-22, QS. An-Nisa: 167,
QS. Muhammad: 32, QS. Al-Araf:45), kafir sebagai penindasan atau tirani (QS. Al-Baqarah: 256), dan kafir
sebagai monopoli ekonomi (QS. Al-Maun: 1-3, QS. Al-Humazah: 1-4). Farid Esack, Quran Liberation and
Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (London: One World Oxford,
1997), 134-140.
433
Islam radikal atas kebenaran tekstual agama, melahirkan keyakinan yang diklaim sebagai cara
beragama yang paling benar. Keberagamaan yang paling benar dalam pandangan ini adalah cara
beragama yang memolakan dua sisi perbedaan berupa benar-salah, Islam-kafir, pahala-dosa, sesattidak sesat maupun surga-neraka. Memperdebatkan atau menggugat konsep agama dalam klaim yang
berlawanan sebagaimana tertulis dalam teks keagamaan adalah kebablasan berfikir yang sesat.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad sesungguhnya tidak terlepas dari
kondisi masyarakat yang menyertai. Suatu gagasan termasuk gagasan dalam kewahyuan tentu terkait
dengan problem historis dan kulturalnya.22 Pendekatan historis dalam memahami suatu dalil agama
dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sejarah pada saat dalil tersebut disampaikan.
Memahami dalil dari perspektif sosiologis menjadikan agama difahami dari pola perilaku masyarakat
dan tata nilai yang dianutnya.
Kategori teologis dalam pembinaan keagamaan adalah konstruksi yang dibangun berdasarkan
pada informasi teks keagamaan, serta isu-isu terkait fenomena sosial yang dikaitkan dengan teks
keagamaan tersebut. Tentu saja, mengubah pemahaman keagamaan yang bernuansa intoleran menjadi
pemahaman yang toleran merupakan langkah yang tidak mudah. Pondasi yang harus dibangun dalam
pembinaan keagamaan adalah kesadaran bahwa Islam sebagai agama kemanusiaan. Kateori teologis
untuk dilakukan perubahan pemahaman terdiri atas relasi Islam dengan non-Islam, hukum Tuhan
dalam agama-agama, Islam rahmatan lil lamn, serta paradigma jihad dan perang.23
434
menyerukan aspek toleransi sehingga Al-Quran yang terdiri dari ribuan ayat seolah digeneralisir
dalam ayat tertentu saja.
Pembinaan yang diberikan terkait penjelasan ayat tentang relasi Islam dan non-Islam adalah
menyadarkan bahwa memahami ayat perlu terlebih dahulu memahami latar belakang sejarah
penurunan ayat. Dalam QS. Al Baqarah ayat 120, Imm al-Wid menerangkan bahwa suatu saat
orang Yahudi dan Kristen mengajukan gencatan senjata kepada Rasulullah. Pada saat Rasulullah
hampir menerima gencatan senjata, Allah mengingatkan melalui ayat tersebut bahwa orang Yahudi
dan Kristen selamanya tidak akan rela mengikuti gencatan senjata atau perjanjian damai dengan
Islam.25 Latar belakang kedua berkaitan dengan permintaan orang Yahudi dan Kristen untuk tetap
menghadapkan kiblat ke arah Masjid al-Aqsha, Jerussalem.
Konteks sejarah dalam mewarnai lahirnya teks keagamaan tentu memiliki nuansa yang berbeda
jika dihubungkan dalam ruang kerjasama di bidang pendidikan, ekonomi, politik, kebudayaan, dan
lainnya. Hal demikian disebabkan karena ayat tersebut berkaitan dengan gencatan senjata dan
pemindahan arah kiblat. Permusuhan terhadap Yahudi dan Nasrani yang digeneralisasikan untuk
semua bidang maka akan berlawanan dengan ayat yang menyatakan pentingnya memahami
keragaman suku, bangsa, dan agama.
Perubahan pemahaman relasi antara Islam dengan non-Islam dapat digambarkan dalam
pernyataan salah seorang mantan narapidana terorisme dari Lapas Kedung Pane.
Permusuhan saya terhadap Kristen itu bukan karena agamanya, tetapi aktivitas tokoh dan umat
Kristen yang sering melecehkan Islam itu yang menjadikannya musuh di mata saya.26
Pada masa Rasulullah, sebutan yang diberikan terhadap orang-orang non-muslim adalah ahlu
dzimmah. Penyebutan orang kafir dengan istilah dzimmah mengajarkan adanya praktik toleransi dan
perlindungan terhadap orang yang beragama lain. Pada masa Umar bin Khattab terdapat hubungan
harmonis antara Islam dan Kristen yang diatur dalam Perjanjian Elia,27 yaitu perjanjian pascca Perang
Yarmuk yang dimenangkan oleh tentara Umar dan mendapatkan hak pengelolaan terhadap wilayah
kota Al-Quds.
435
institusionalisasi paham keagamaan.28 Imbasnya, hukum Tuhan dianggap sebagai hukum yang
bersumber dari Islam saja dengan meniadakan agama lain. Hukum Islam juga mengalami
pengerucutan sebagai hukum yang diturunkan kepada kelompok tertentu, misal hukum Islam yang
dikodifikasi ulama Sunni maka dianggap bukan sebagai hukum Tuhan oleh kalangan Syiah.
Kenyataan tersebut dapat dilihat dari apa yang pernah dipraktikkan kalangan Khawarij dengan
menyatakan Ali bin Abu Tholib dan Muawiyah sebagai orang kafir.
Memperhatikan QS. Al-Maidah ayat 44 dan 47 dijelaskan adanya hukum yang diatur bukan
hanya hukum Islam, tetapi juga hukum Tuhan di dalam Kitab Taurat dan Kitab Injil. Pandangan
demikian yang sekiranya menjadikan 47 (empat puluh tujuh) narapidana terorisme LP Cipinang dari
58 (lima puluh delapan) orang, dan para mantan narapidana terorisme dapat menerima Pancasila
sebagai sumber hukum di Indonesia karena konsep Pancasila diambil dari teks keagamaan Islam oleh
para perumusnya.
Tabel Hubungan Dalil Islam dan Sila Pancasila29
No
1
Sila Pancasila
Ketuhanan Yang
Maha Esa
Kemanusiaan yang
adil dan beradab
Persatuan Indonesia
Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam
pemusyawaratan
perwakilan
Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat
Indonesia
Dalil Islam
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa (QS. Al-Baqarah: 163)
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Al-Maidah:
8)
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu
(QS. Al-Hujurat: 10)
Bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. (QS. Al-Imran: 159)
Quraish Shihab menjelaskan bahwa orang-orang yang berhukum dengan menggunakan Kitab
Taurat dan Kitab Injil di dalam Al-Quran disebut Ahlul Kitb sebanyak 31 kali, Al-Yahd sebanyak 8
28
Khaled Abou el-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: harperSan
Fransisco, 2005), 45-94.
29
Douglas E. Remagee, Pemahaman Abdurrahman Wahid Tentang Pancasila dan Penerapannya Dalam
Era Paska Azaz Tunggal (Yogyakarta: LKiS, 1994).
436
kali, An-Nara sebanyak 14 kali, dan Ban Isril sebanyak 41 kali.30 Ahlul Kitab atau penyebutan
yang sejenis tersebut diartikan sebagai konsep yang memberikan pengakuan kepada agama di luar
Islam yang memiliki kitab suci. Sikap pengakuan ini bermaksud untuk memberi pengakuan hak
eksistensi dalam menjalankan aturan agama masing-masing.
33
seluruh suku guna membela kedaulatan kota Yatsrib yang kemudian berubah menjadi Kota Madinah.
Strategi yang dilakukan Nabi Muhammad di Madinah memiliki kesamaan dengan kehidupan
kebangsaan Indonesia yang tidak menerapkan konstitusi berdasarkan hukum agama tertentu untuk
seluruh suku, tetapi menerapkan konstitusi atas dasar kesepakatan bersama yang bermodalkan
30
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Penerbit Mizan, 2003), 348.
31Shmuel Moreh (terj), Napoleon in Egypt: Al-Jabartis Chronicle of The French Occupation, 1798
(Princeton: Marcus Wiener Publishing, 1993), 24-26.
32
M. Kusman Sadik, Nasionalisme dan Separatisme Haram! (31 Maret 2013), http://www.hizbuttahrir.or.id/2013/03/31/nasionalisme-dan-separatisme-haram/ (diakses 10 Pebruari 2014).
33Munim
A. Sirry, Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern (Jakarta: Erlangga, 2003), 175.
437
438
perlindungan agama pada sila pertama. Perlindungan jiwa dan aspek-aspek kemanusiaan pada sila
kedua. Perlindungan keturunan sebagai bentuk hak kewarganegaraan dalam sila ketiga. Perlindungan
akal dan kebebasan berserikat berkumpul dalam sila keempat. Sedangkan perlindungan harta serta
akses sumber ekonomi tercermin dalam sila kelima.
Posisi Pancasila yang berkesesuaian dengan pokok-pokok tujuan pemberlakuan hukum Islam,
maka muslim Indonesia wajib menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, sekaligus mazhab dalam
berkebangsaan yang meliputi bidang hukum, politik, ekonomi, budaya, dan lainnya.
Pancasila merupakan pondasi norma atas hukum-hukum yang berlaku di Indonesia. Hal
demikian berimplikasi pada pemberlakuan dan penerapan syariat Islam tidak boleh berlawanan
dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, perastuan, permusyawarakatan, dan
keadilan. Hukum Islam ditempatkan sebagai sumber pembentukan hukum nasional yang berinteraksi
dengan agama-agama lain. Pancasila sebagai mazhab berkebangsaan ditempatkan untuk meneguhkan
Islam di Nusantara guna mengembangkan peradaban Indonesia dan peradaban dunia yang damai.
Penutup
Pertemuan damai antara nasionalisme dengan agama di Indonesia berwujud dengan
keberhasilan rumusan Pancasila. Karakter kebhinekaan mendapatkan posisi penghargaan yang baik
guna menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat atau kearifan lokal masyarakat Nusantara. Hal
tersebut membentuk sistem sosial yang kemudian memetakan identitas kebangsaan itu sendiri.
Formulasi Islam dan negara yang terbentuk menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
NKRI adalah negara yang mendasarkan pola interaksi masyarakatnya menjadi terbuka, ramah,
dan bersahabat dengan lingkungan budaya. Oleh karena itu Islam sebagai agama yang bersinergi
dengan budaya, mengedepankan sikap jalan tengah atau moderasi (tawasut). Corak Islam di Indonesia
sebagai darussalam melahirkan tegaknya Pancasila dan NKRI sebagai intisari dari ajaran Islam
ahlussunnah wal jamaah. Kolaborasi antara Pancasila dan NKRI menjiwai karakteristik bangsa
Indonesia yang damai, membina keberagaman, serta mampu bekerjasama dalam kebhinekaan.
Program bina damai dengan menggunakan pendekatan kebangsaan dapat dilakukan terhadap
pelaku tindak pidana terorisme di dalam Lapas dan di luar Lapas. Strategi tersebut perlu adanya
identifikasi kebutuhan sekaligus analisis resiko kekerasan para pelaku konflik sosial maupun pelaku
tindak pidana terorisme.
Tiga pilar utama yang mendukung keberhasilan program bina damai dengan menggabungkan
antara pendekatan agama dengan pendekatan kebangsaan adalah membangun kerjasama lintas
sektoral. Hubungan kerjasama mesti didukung dengan pemanfaatan kekuatan struktural, dan otoritas
keislaman. Sinergi kerjasama yang dilakukan antara Kemenkumham dengan BNPT serta Kementerain
Agama telah menjadikan beberapa tokoh inti jaringan terorisme mengakui kesalahan dan membangun
rasa nasionalisme terhadap NKRI, seperti Ali Imron, Nasir Abas, dan Umar Patek.
439
Program bina damai tindak pidana terorisme sesungguhnya telah berlangsung sejak 2011
seiring berdirinya BNPT. Hal demikian sudah mengalami perkembangan yang baik dalam
mengurangi potensi kekerasan narapidana terorisme. Pada akhir Maret 2015, BNPT menyatakan
bahwa 201 narapidana terorisme yang ada di pelbagai Lapas sudah bersedia untuk bekerjasama
dengan pemerintah dalam program pembinaan, sedangkan 25 narapidana terorisme lainnya masih
melakukan aksi penolakan.
Keberhasilan program bina damai di luar Lapas ditentukan pada kemauan mantan narapidana
dan masyarakat untuk berbaur sekaligus bekerjasama dengan sikap yang toleran terhadap masyarakat
sebagaimana dengan membuka bisnis usaha bersama. Tumbuhnya sel jaringan baru setelah adanya
penangkapan menunjukkan bahwa ideologi radikal masih memiliki pengikut atau partispan di
masyarakat. Keberhasilan Ormas Islam di Indonesia yang dipelopori Nahdhatul Ulama (NU) dalam
memetakan aliran radikal memberikan sumbangan tersendiri bagi negara untuk mengurangi potensi
kekerasan atas nama agama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program bina damai terorisme di luar Lapas
adalah strategi komunikasi aparat, kejelasan standar operasional program, koordinasi kewenangan
yang baik, dan ketersediaan sumber daya. Dalam bahasan ini, belum optimalnya program
deradikalisasi disebabkan adanya kekerasan senjata untuk mengungkap aksi terorisme sehingga
menimbulkan balas dendam, dan pembiaran terhadap pengajaran ideologi radikal yang mendorong
perlawanan terhadap negara melalui aksi kekerasan. Terorisme di Indonesia termasuk kategori subrevolusioner yang dilakukan oleh warga sipil untuk mengubah kebijakan politik atau balas dendam
terhadap pemerintah sehingga perlu memahami penyebab munculnya terorisme yang sangat
dipengaruhi faktor politik dan pemahaman agama yang tekstual.
Arogansi Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dalam penindakan terorisme yang terkesan
main hakim sendiri membangkitkan para anggota jaringan kelompok teroris untuk membalas dendam.
Sasaran teror yang semula ditujukan pada orang asing atau obyek vital milik Negara Barat berubah
kepada polisi maupun kantor polisi. Aparat pemerintah yang tidak tegas menindak kemaksiatan
menjadi faktor tetap berlangsungnya kekerasan yang dilakukan oleh beberapa mantan narapidana
beserta jaringan kelompok sebelumnya dengan dalih penegakan hukum Islam di tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abas, Nasir. Membongkar Jamaah Islamiyah; Pengakuan Mantan Anggota JI. Jakarta: Penerbit
Grafindo Khazanah Ilmu, 2005.
Black, Anthony. The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present.
Edinburgh: Edinburgh University Press, 2011.
440
Bolz, Frank. The Counterterrorism Handbook: Tactics, Procedures, and Techniques. Boca Raton:
CRC Press Taylor & Francis Group, 2012.
Bruinessen, Martin van. NU: Tradisi, Relasi-Relasi, Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS,
1994.
B, Muhammad Said Raman. Al-Jihd fi al-Islm Kaifa Nafhamuhu? Wa Kaifa Numrisuhu?.
Beirut: Dr al-Fikr al-Masir, 1993.
Fatoohi, Louay. Jihad in the Quran: The Truth from the Source. Kuala Lumpur: As. Noordeen, 2002.
Gunaratna, Rohan. Inside Al-Qaeda, Global Network of Terror. New York: Columbia University
Press, 2002.
Imron, Ali. Ali Imron Sang Pengebom. Jakarta: Republika, 2007.
Izzuddn, Ahmad Jall. Al-Irb wa al-Unf al-Siysi. Kairo: Dr al-urriyah, 1986.
Jurgensmayer, Mark. Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (California:
University of California Press, 2001)
Keppel, Gilles. Jihad: The Trial of Political Islam. Cambridge: Harvard University Press, 2002.
Khamdan, Muh. HAM Bagi Narapidana. Kudus: Parist, 2011.
Khamdan, Muh. Pesantren di Dalam Penjara; Sebuah Model Pembangunan Karakter. Kudus: Parist,
2012.
Kushner, Harvey. Holy War on the Home Front. New York: Sentinel, 2004.
Laquaer, Walter. New Terrorism: Fanatisme dan Senjata Pemusnah Massal. Yogyakarta: Juxtapose
Research Study Club dan Kreasi Wacana, 2005.
Lewis, Bernard. Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror yang Keji. Jakarta: PT Ina Publikatama, 2004.
Mwardy, Ab asan. al-Akam as-Sulniyyah. Beirut: Dr al-Fikr, tth.
Misrawi, Zuhairi. Al-Quran Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme.
Jakarta: Penerbit Fitrah, 2007.
441
Moesa, Ali Maschan. Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Jogjakarta: LKiS, 2007.
Mohindra, Maj Gen. S.. Terrorist Games Nations Play. New Delhi: Lancer Publisher Pvt, 1991.
Muhammad Ibn Hazm, Abu. al-Ikm f Ul al-Akm, Vol. 1. Beirut: Dr al-Afaq al-Jaddah, 1980.
Qarw, Ysuf. Dirsah Muqranah li Akmihi wa Falsafatihi f au Al-Quran wa As-Sunnah.
Kairo: Maktabah Wahbah, 2009.
Rabasa, Angel. Deradicalizing Islamist Extremists. Pittsburgh: The RAND Corporation, 2010.
Ramakhrisna, Kumar. Radical Pathways: Understanding Muslim Radicalization in Indonesia.
London: Praeger Security International, 2009.
Roy, Olivier. Genealogi Islam Radikal. Yogyakarta: Genta Press, 2005.
Roy, Olivier. The Failure of Political Islam. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press,
1994.
Samharny, Asad. L li al-Irb, Naam li al-Jihd. Beirut: Dr al-Nafis, 2003.
Schmid, Alex P. Radicalisation, De-Radicalisation, Counter-Radicalisation: A Conceptual
Discussion and Literature Review. Hague: The International Centre for Counter-Terrorism (ICCT),
2013.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhui Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung:
Mizan, 1996.
Shihab, Quraish. Kekerasan Atas Nama Agama. Jakarta: Pusat Studi Al Quran, 2008.
Ungerer, Carl. Jihadists in Jail: Radicalisation and the Indonesian Prison Experience. Australia: The
Australian Strategic Policy Institute, 2011.
Wiktorowicz, Quintan. The Management of Islamic Activism: Salafis, the Muslim Brotherhood, and
State Power in Jordan. New York: State University of New York Press, 2001.
Zahrah, Muhammad Ab. Trkh al-Madhhib al-Islmiyah. Cairo: Dr el-Fikr al-Arbi, tth.
Zuhail, Wahbah. al-Fiqh al-Islm wa Adillatuhu. T.tp,t.p, 1418 H/ 1997 M.
442
terhadap
motivasi
dari
gaya
organisasi terhadap motivasi kerja adalah signifikan dan positif; pengaruh gaya
kepemimpinan
terhadap
motivasi terhadap kinerja adalah signifikan dan positif; dan gaya kepemimpinan dan
budaya organisasi melalui motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja.
Kata Kunci: gaya kepemimpinan, budaya organisasi, motivasi, dan kinerja
Corresponding author: Lailatul Isnaini, E-mail:anand.isnanini@gmail.com
PENDAHULUAN
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) mempunyai peranan yang sangat penting
dalam mempengaruhi jalannya organisasi karena merupakan penentu bagi keefektifan
berjalannya kegiatan di dalam organisasi tersebut. Oleh sebab itu SDM harus benar-benar
menjadi aset
profesionalitas yang terdepan serta prestasi yang dapat diandalkan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan oleh organisasi.
SDM tidak dapat menjalankan aktifitasnya sendiri tanpa didukung oleh faktor
faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja. Hal tersebut karena SDM mempunyai
443
Mutasi
444
Ket
Keinginan
Kebijakan
Jumlah
Sendiri
Pimpinan
2010
8
3
11
2011
7
3
10
2012
9
2
11
2013
8
4
12
2014
5
3
8
2015
0
0
0
Jumlah
37
15
52
Sumber : Sekretariat Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi (sudah diolah)
Dari Tabel diatas terlihat bahwa dalam 5 (lima) tahun terakhir sebanyak 52 orang
telah pindah dari Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi dengan rincian ; Tahun 2010
pegawai yang pindah 11 orang, tahun 2011 sebanyak 10 orang, tahun 2012 pegawai yang
pindah 11 orang, tahun 2013 pegawai yang pindah 12 orang, tahun 2014 sebanyak 8
orang, dan tidak terjadi mutasi keluar SKPD sampai bulan Agustus 2015. (Sekretariat
Bandiklatda Provinsi Jambi Tahun 2015)
Selain kepemimpinan dan motivasi, budaya organisasi memiliki peran penting
dalam sebuah organisasi. Penelitian mengenai pengaruh budaya organisasi terhadap
motivasi dan kinerja telah dilakukan oleh Koesmono (2005) menunjukkan secara
langsung motivasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan kinerja, kepuasan kerja
berpengaruh terhadap kinerja, dan budaya organisasi berpengaruh terhadap motivasi,
kepuasan kerja, dan kinerja.
Kinerja pegawai pada sebuah instansi diantaranya akan tercermin dari beberapa
jauh target program kerja tersebut dapat direalisasikan dan berapa besar serapan
anggarannya. Melalui perkembangan pelaksanaan program dan kegiatan inilah kinerja
suatu instansi dapat dinilai baik dan buruknya. Kinerja Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi dapat terlihat dari realisasi kinerja selama kurun waktu dua tahun terakhir pada
Tabel 2 .
445
Tabel 1.2
Rekapitulasi Perkembangan Pencapaian Atau Realisasi Kinerja Pada
Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi
Periode 2013 Dan 2014
Keadaan Tahun 2013
No
Bidang
Dana
(Rp.000)
Serapan
(Rp.000)
Kinerja
%
Dana
(Rp.000)
Serapan
(Rp.000)
Kinerja
%
Sekretariat
7.132.306
6.709.416
94,07
8.099.528
7.791.564
96,20
Struktural
3.959.104
3.054.916
77,16
2.253.166
1.531.633
67,98
Teknis
109.129
106.497
97,58
643.600
583.988
90,74
Manajemen
Pemerintahan
224.315
216.072
527.850
485.849
92,04
Fungsional
133.820
129.487
641.365
407.311
63,50
11.558.674
10.216.388
12.165.506
10.800.345
88,78
Jumlah
96,32
96,72
88,38
perolehan
pegawainya dihampir seluruh unit pelaksana (bidang) menjadi relatif belum maksimal.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai tersebut. Apakah faktor gaya
kepemimpinan dan budaya organisasi juga dapat mempengaruhi motivasi kerja
446
pegawai, yang selanjutnya dapat mempengaruhi kinerja pegawai?. Penelitian ini akan
menganalisa pengaruh gaya kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap
kinerja
pegawai melalui motivasi kerja sebagai variabel antara. Penelitian ini akan dilakukan pada
unit organisasi Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi dengan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana gambaran budaya organisasi (X1), gaya kepemimpinan (X2), motivasi kerja
(Y) dan Kinerja pegawai (Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi?.
2. Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan (X1) dan budaya organisasi (X2) terhadap
motivasi pegawai (Y) secara simultan dan parsial pada Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi?
3. Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan (X1) dan budaya organisasi (X2) terhadap
kinerja pegawai (Z) secara simultan dan parsial pada Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi ?
4. Bagaimana pengaruh motivasi (Y) terhadap kinerja (Z) pada Badan Diklat Daerah
Provinsi Jambi
5. Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan (X1) dan budaya organisasi (X2) melalui
motivasi pegawai (Y) terhadap kinerja (Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi?.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui gambaran kondisi gaya kepemimpinan (X1), budaya organisasi (X2),
motivasi kerja (Y) dan Kinerja pegawai (Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi.
2. Untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan (X1), dan budaya organisasi (X2),
terhadap motivasi pegawai (Y) secara simultan dan parsial pada Badan Diklat Daerah
Provinsi Jambi.
3. Untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan (X1), dan budaya organisasi (X2),
terhadap kinerja pegawai (Z) secara simultan dan parsial pada Badan Diklat Daerah
Provinsi Jambi.
4. Untuk mengetahui pengaruh motivasi (Y) terhadap kinerja (Z) pada Badan Diklat
Daerah Provinsi Jambi.
447
5. Untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan (X1), dan budaya organisasi (X2),
melalui motivasi pegawai (Y) terhadap kinerja (Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi.
KAJIAN TEORI.
Kepemimpinan adalah upaya memengaruhi banyak orang melalui komunikasi
untuk mencapai tujuan (Dubrin ,2009). Robbins (2003) dalam Fahmi (2013:15)
mengungkapkan
448
faktor tersebut antara lain atasan, kolega, sarana fisik, kebijaksanaan, peraturan, imbalan
jasa uang dan non-uang, jenis pekerjaan dan tantangan.
Kinerja adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas
yang dicapai persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2012). Wibowo (2013)
mengemukakan bahwa indikator kinerja yang dapat digunakan sebagai tolok ukur dari
kinerja individu seorang tenaga kerja (pegawai), yakni tujuan, Standar, umpan balik, alat
atau sarana, kompensasi, motif, dan peluang. Tujuan kerja merupakan suatu keadaan yang
lebih baik yang ingin dicapai dimasa yang akan datang, tujuan menunjukkan kearah mana
kinerja harus dilakukan.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
dan kuantitatif dengan pertimbangan efektifitas, efisiensi. Hal tersebut peneliti ambil
karena keterbatasan waktu, tenaga, dana dan kemampuan yang ada pada peneliti.
Pendekatan Deskriptif dilaksanakan untuk menganalisis secara menyeluruh tentang gaya
kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap motivasi kerja dan dampaknya terhadap
kinerja pegawai pada Bandiklatda Provinsi Jambi. Sedangkan untuk mengumpulkan dan
menganalisis bukti empiris (data) peneliti melakukan pendekatan kuantitatif dengan
melakukan pengujian data secara statistik, serta dilakukan secara sistematis agar dapat
memahami fenomena sosial yang sedang diteliti (Sugiyono, 2005).
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat analisis jalur (path
analysis). Perhitungan menggunakan analisis jalur ini sendiri mensyaratkan data yang
digunakan memiliki skala pengukuran interval. Karena tingkat pengukuran skala dari
Likerts Summated Rating adalah ordinal, maka agar dapat diolah lebih lanjut harus diubah
terlebih dahulu menjadi skala interval dengan menggunakan Method Of Succesive Interval
(MSI). Data yang telah diolah melalui proses interval, selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan program SPSS.19.
Penelitian ini dilakukan di Bandiklatda Provinsi Jambi, sedangkan yang menjadi
unit analisis adalah pegawai yang ada pada SKPD tersebut yang berstatus sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) berjumlah 75 orang. Instrumen pengumpulan data melalui kuesioner
dan observasi, serta wawancara tidak langsung.
449
TEMUAN.
1. Gaya kepemimpinan (X1) dan budaya organisasi (X2), motivasi (Y) dan kinerja
pegawai (Z) Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi.
Hasil penelitian ditemukan bahwasanya kepemimpinan (X1) mendapatkan total skor
3.186 yang berarti baik, sedangkan budaya organisasi (X2) pegawai di Bandiklatda
Provinsi Jambi Tinggi dengan total skor 2.830, motivasi (Y) mendapatkan total skor
sebesar 4.079 ini berarti Tinggi, dan kinerja pegawai Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi mendapatkan total skor sebesar 3.240, yang artinya Sering.
2. a. Pengaruh secara Simultan Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
terhadap Motivasi kerja pegawai Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi
Hasil pengujian dengan uji simultan (uji F) adalah sebagai berikut : Secara simultan
antara variabel Gaya Kepemimpinan (X1), dan variable Budaya Organisasi (X2)
dengan variabel Motivasi Kerja menunjukkan bahwa F hitung sebesar 88,407
dengan taraf signifikansi 0,000. Kriteria keputusan jika Sig. penelitian < 0,05 maka
H0 di tolak dan H1 di terima artinya signifikan, tetapi jika Sig. penelitian > 0,05
maka H0 di terima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan. Dari Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara simultan variable Gaya Kepemimpinan (X1),
dan variabel Budaya Organisasi (X2)
pegawai pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi. Berpengaruh secara positif dan
signifikan karena 0,000 < 0,05 maka H0 di tolak dan H1 di terima.
b. Pengaruh secara Parsial Gaya Kepemimpinan dan
Budaya Organisasi,
450
positif dan secara signifikan terhadap Motivasi (Y) dan ini terbukti sehingga
hipotesis di terima.
Pembahasan dari variable Gaya Kepemimpinan (X1) terhadap Motivasi (Y)
pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi. Hasil perhitungan dengan menggunakan
software SPSS 19 seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.27 di atas secara parsial
antara Gaya Kepemimpinan (X1) dengan variabel Motivasi (Y) menunjukkan bahwa
t hitung 6,895 dengan Sig. 0,000. Kriteria keputusan jika Sig. penelitian < 0,05 maka
H0 di tolak dan H1 diterima artinya signifikan, tetapi jika Sig. penelitian > 0,05
maka H0 diterima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan. Karena 0,027 < 0,05
maka H0 di terima dan H1 ditolak. Hasil ini menunjukkan bahwa Gaya
Kepemimpinan (X1) pegawai pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi secara
positif dan signifikan berpengaruh terhadap Motivasi (Y) dan hipotesis di terima.
3. a. Pengaruh secara Simultan Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
terhadap Kinerja pegawai Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi
Hasil pengujian uji simultan (uji F) adalah sebagai berikut : Secara simultan
antara variabel Gaya Kepemimpinan (X1), dan variabel Budaya Organisasi (X2)
dengan variabel Kinerja(Z) menunjukkan bahwa F hitung 120,442 dengan taraf
signifikansi 0,000.Kriteria keputusan jika Sig. penelitian < 0,05 maka H0 di tolak
dan H1 di terima artinya signifikan, tetapi jika Sig. penelitian > 0,05 maka H0 di
terima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan. Dari Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara simultan Gaya Kepemimpinan (X1), dan variabel
Budaya Organisasi (X2) berpengaruh terhadap Kinerja(Z) pegawai pada Badan
Diklat Daerah Provinsi Jambi berpengaruh secara positif dan signifikan karena
0,000 < 0,05 maka H0 di tolak dan H1 di terima.
b. Pengaruh secara Parsial Gaya Kepemimpinan,
dan
Budaya Organisasi
451
Provinsi Jambi.
Hasil pengujian dengan uji parsial (uji t) menunjukkan bahwa t hitung variabel
Motivasi (Y) sebesar 10,507 dengan taraf signifikansi 0,000.Kriteria keputusan jika
Sig. penelitian < 0,05 maka H0 di tolak dan H1 di terima artinya signifikan, tetapi jika
Sig. penelitian > 0,05 maka H0 di terima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan.
Karena 0,661 > 0,05 maka H0 di terima dan H1 di tolak. Hasil ini menunjukkan
bahwa secara parsial Motivasi (Y) berpengaruh signifikan terhadap Kinerja pegawai
(Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi.
5. Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi, melalui Motivasi Kerja
terhadap kinerja pegawai pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi.
Hasil pengujian uji simultan (uji F) secara simultan antara variabel Gaya
Kepemimpinan (X1), variabel Budaya Organisasi (X2), dan variabel Motivasi (Y)
dengan variabel Kinerja pegawai (Z) menunjukkan bahwa F hitung 12.269 dengan
taraf signifikansi 0,000. Kriteria keputusan jika Sig. penelitian < 0,05 maka H0 di
tolak dan H1 di terima artinya signifikan, tetapi jika Sig. penelitian > 0,05 maka H0 di
terima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan. Karena 0,000 < 0,05 maka H0 di
tolak dan H1 di terima. Hasil ini menunjukkan bahwa secara simultan Gaya
Kepemimpinan (X1) dan Budaya Organisasi (X2) melalui variabel Motivasi (Y)
berpengaruh signifikan terhadap Kinerja pegawai (Z) pada Badan Diklat Daerah
Provinsi Jambi.
452
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dengan variabel, gaya kepemimpinan, budaya
organisasi, motivasi kerja, dan kinerja yang dilakukan di Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi terhadap 75 responden, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Penelitian terhadap variable Gaya Kepemimpinan (X1), Budaya organisasi (X2),
Motivasi pegawai (Y) dan Kinerja pegawai (Z). Untuk variabel Gaya kepemimpinan
secara rata-rata Baik hal ini mengandung makna adanya tujuan kemampuan,
kepemimpinan, balas jasa, pengawasan, ketegasan pada akhirnya dapat meningkatkan
kinerja pegawai. Variabel Budaya Oganisasi
rata-rata
Tinggi ini berarti bahwa organisasi ada keinginan melembagakan budaya kerja lebih
baik. Variabel Motivasi secara rata-rata Tinggi hal mempunyai arti bahwa prestasi
kerja yang tinggi, gaji yang tinggi, tanggung jawab yang tinggi, dedikasi yang tinggi,
menyenangi profesi, penghargaan dari pimpinan dapat meningkatkan kinerja.
Variabel Kinerja secara rata-rata juga Sering ini mempunyai makna bahwa kualitas
kerja, ketepatan waktu, inisiatif, kesanggupan kerja bisa menyumbangkan prestasi
kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat.
2. Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi, terhadap Motivasi secara simultan
dan parsial adalah sebagai berikut : Gaya kepemimpinan dan Budaya organisasi
secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Motivasi, dan Gaya Kepemimpinan
dan Budaya Organisasi secara parsial mempengaruhi Motivasi pegawai Badan Diklat
Daerah Provinsi Jambi.
Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi secara simultan berpengaruh signifikan
terhadap Kinerja . Gaya kepemimpinan secara parsial cukup perpengaruh terhadap
Kinerja, sedangkan Budaya Organisasi secara parsial berpengaruh signifikan terhadap
Kinerja pegaawai Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi.
Motivasi berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja pegawai Badan Diklat
Daerah Provinsi Jambi.
Gaya kepemimpinan dan Budaya Organisasi melalui Motivasi berpengaruh signifikan
terhadap Kinerja pegawai Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi.
453
Saran
Berdasarkan hasil temuan penelitian maka perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan
kinerja kerja pegawai melalui :
1.
Perlunya peningkatan komitmen pemimpin untuk memberikan rasa nyaman dan aman
dalam bekerja dengan cara memberikan perhatian yang lebih dari atasan terhadap
bawahan dan menciptakan Komunikasi yang lebih erat antara atasan dan bawahan
ataupun sesama rekan pegawai agar dapat bekerja dengan lebih optimal.
2.
Perlunya peningkatan budaya kerja organisasi yang memberikan rasa aman bagi
anggotanya dan pada saat yang sama atasan dapat menjadikan dirinya sebagai panutan
dalam bersikap, berprilaku bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana,
jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan keteladanan, serta mendapat
kepercayaan dari para pegawainya.
3.
4.
Peningkatan sarana dan sarana pendukung dan lingkungan kerja yang nyaman serta
tugas yang diberikan kepada bawahan sesuai dengan deskripsi kerjanya untuk
menghindari stress kerja yang berlebihan guna mengoptimalkan kinerja pegawai.
5.
Perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh gaya kepemimpinan,
budaya organisasi, , motivasi kerja terhadap kinerja pegawai untuk menguji kesahihan
hasil penelitian ini dan untuk menambah cakrawala pengembangan ilmu manajemen
sumber daya manusia.
Daftar Pustaka
1.
2.
454
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
Dubrin, Andre J. (2009). The Complete Ideals Guides: Leadership. Edisi Kedua.
Cet. 3. Prenada. Jakarta
Fahmi, Irham. (2011). Manajemen Kepemimpinan Teori dan Aplikasi. Alfabeta.
Bandung.
Handoko, T.H. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. BPFE UGM.
Yogyakarta.
Hasibuan, Malayu SP. (2003). Organisasi dan Motivasi Peningkatan Produktivitas.
Bumi Aksara. Jakarta.
Kotter. John P. (1997). Faktor Kepemimpinan. (Terj) Hari Suminto. Preehallindo.
Jakarta
Kartini. Kartono. (1994). Pemimpin dan Kepemimpinan. PT. Raja Grafinda. Jakarta
Ken Blanchard dan Mark Miller. (2005).The Secret. (Terj) Marianto Samosir.PT
Elex Media Komputindo. Jakarta
Mangkunegara, Anwar Prabu. (2005). Perilaku dan Budaya Organisasi. Refika
Aditama Bandung
Mangkunegara, Anwar Prabu. (2012). Perilaku dan Budaya Organisasi. Refika
Aditama Bandung
Matondang, H.M. (2008). Kepemimpinan Budaya Organisasi dan Manajemen
Strategik. Graha Ilmu. Yogjakarta.
Thoha, Miftah. (2005). Perilaku Organisasi: Konsep dasar san Aplikasinya. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Nawawi, Hadari. (2001). Manajemen Stratejik 0rganisasi Non Profit Bid Pemerintah
dengan Ilustrasi di Bid Pendidikan. Gajah Mada Pres. Yogjakarta.
Nawawi Ismail. (2015). Budaya Organisasi Kepemimpinan dan Kinerja, Proses
Terbentuk , Tumbuh Kembang, Dinamika, dan Kinerja Organisasi. Ed. Kedua.
Prenadamedia Grup. Jakarta
Peraturan Daerah No. 15 tahun (2008). Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata
Kerja Inspektorat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis
Daerah Provinsi Jambi.
Robbins, Stepphen P. (1999). Perilaku Organisasi (Terj) Hadyana Pujaatmaka Jilid
1&2. PT Bhuana Ilmu Popular. Jakarta
Siagian, Sondang P. (2002). Meningkatkan Produktivitas Kerja. Rineka Cipta.
Jakarta.
Somamora,
Henry. 1997. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua.
Yogyakarta : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
Sugiyono. (2005). Statistik Untuk Penelitian. CV. Alfabeta. Bandung.
Sunyoto, Danang.( 2013). Manajemen Sumber Daya Manusia. Cetakan Kedua.
Center For Academic Publising Service (CAPS). Yogjakarta.
Thoyib, Armanu. (2005). Hubungan Kepemimpinan, Budaya, Strategi dan kinerja
Pendekatan Konsep. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Volume 7 No. 1, Meret
2005. 60 73.
455
456
457
Pendahuluan
Setiap manusia adalah unik. Baik dari segi fisik maupun kecerdasan dan
kepribadiannya, setiap manusia berbeda-beda. Secara fisik setiap manusia memang
memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki manusia lainnya, misalnya susunan DNA,
guratan kulit ujung jari (sidik jari), dan pola retina mata. Tidak ada manusia yang memiliki
kesamaan identik dengan milyaran manusia lainnya, bahkan dengan kembarannya sendiri
(jika
terlahir
sebagai
anak
kembar).
Demikian
pula
dengan
kecerdasan
dan
kepribadiannya, setiap orang memiliki cara berfikir dan gaya sikap tersendiri yang berbeda
dengan orang lain.
Namun demikian, untuk memudahkan interaksi dan saling kenal dengan sesamanya,
telah dilakukan beberapa pengelompokkan tertentu, misalnya berdasakan jenis kelamin,
warna kulit, suku/ras keturunan, tingkat intelektual, atau golongan darah. Dengan
pengelompokkan yang sederhana dan jenius tersebut interaksi manusia menjadi lebih
mudah dan dengan pemahaman yang baik maka dapat dilakukan sikap/tindakan yang
lebih tepat. Seorang wanita akan lebih respek terhadap pria yang bersikap sopan,
seorang ras/suku tertentu akan lebih nyaman jika seseorang berbicara dalam bahasa
ibunya, seorang yang tingkat intelektualnya rendah akan kebingungan jika kita
menggunakan istilah teknis yang tidak dikuasainya, dan tubuh seorang bergolongan darah
A akan menolak transfusi darah dari pendonor yang bergolongan darah B. Demikianlah
contoh kecil manfaat yang dapat diperoleh dari pengelompokkan manusia.
Di bidang psicho-analysis dan neuro-science, telah banyak pihak yang berusaha
mengelompokkan manusia
dalam
kategori-kategori
tertentu.
Myer
dan
putrinya
menggagas konsep personality yang terdiri dari 16 kategori kepribadian manusia dan
dikenal sebagai Myer- Briggs Typologi Indicator (MBTI). Thomas International secara lebih
sederhana mengelompokkan manusia dalam 4 macam saja kategori kepribadian, yaitu
Dominan, Influence, Steadyness, Compliance, disingkat DISC. Adapula yang membuat
kategori serupa: Controller, Achiever, Performer, Supporter (CAPS), sedangkan
Hippocrates Galenus mengelompokkannya menjadi Kholeris, Flegmatis, Melankoli, dan
Sanguins. Adapun yang paling terkini, Farid Poniman, seorang berkewarganegaraan
Indonesia, memperkenalkan 5 jenis mesin kecerdasan, yaitu Sensing, Thinking, Intuiting,
dan Feeling serta Instinct, yang kemudian diberi nama STIFIn.
Hal-hal yang khusus dalam konsep STIFIn ini adalah karena mesin kecerdasan
dinyatakan sebagai faktor bawaan lahir (genetic inheredity), sehingga bersifat permanen
458
dan tidak berubah seiring dengan usia dan pengalaman hidup seseorang. Selain itu, untuk
keperluan diagnosis dan assessment, STIFIn telah meninggalkan teknik paper n pencil
dan selangkah lebih maju dengan menyederhanakannya menjadi teknik analisis pola sidik
jari terkomputasi yang merupakan paduan teknik Dactyloscopy dan Dermatoglyphic.
Topik mengenai konsep personality dan mesin kecerdasan STIFIn ini perlu
mendapatkan perhatian khusus dari berbagai pihak mengingat pendekatan yang
dilakukan dengan konsep terkini tersebut terbilang sederhana dan aplikatif. Sederhana
karena hanya dengan menemukan salah satu dari lima jenis mesin kecerdasan yang
merupakan belahan otak yang kerap digunakannya, maka seseorang dapat mengungkap
banyak hal dalam dirinya termasuk potensi terbaiknya yang dapat menjadi titik awal
gelaran karpet merah dalam menjalani kehidupannya. Aplikatif karena konsep ini bersifat
multi-angle-field sehingga dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain
meliputi bidang pendidikan, parenting, leadership, human resources, couple relationship,
politik, dan sebagainya.
Tujuan dari penyusunan tulisan ini adalah untuk menelaah mengenai konsep
personality khususnya mesin kecerdasan STIFIn dan mengkaji bagaimana penerapan
konsep ini di bidang pengembangan SDM dan khususnya dalam konteks pelaksanaan
coaching dan mentoring pada proyek perubahan yang dilakukan oleh peserta pendidikan
dan pelatihan kepemimpinan.
Tulisan ini disusun dalam sistematika berupa pendahuluan yang memuat latar
belakang, penelitian/gagasan yang telah ada sebelumnya, arti penting topik ini dan tujuan
penulisan serta sistematikanya. Selanjutnya metodologi yang digunakan dalam penulisan
yang
merupakan
kerangka
teori/konsep
yang
digunakan
oleh
penulis
dalam
Metodologi
Dalam penyusunan tulisan ini, penulis melakukan penelaahan landasan teori dari
berbagai literatur yang ada untuk mendeskripsikan konsep-konsep pemikiran yang
dikemukakan, kemudian menganalisis dan mendiskusikan kemungkinan penerapan
konsep yang dikaji tersebut di lapangan lalu menarik kesimpulan dari hasil diskusi dan
merekomendasikan hal-hal yang dimungkinkan untuk diterapkan.
459
Hasil
A. Konsep STIFIn
STIFIn adalah nama konsep pengelompokkan kepribadian yang diambil dari singkatan
5 jenis mesin kecerdasan, 4 diantaranya adalah sebagaimana yang dimaksud sebagai
fungsi dasar otak oleh Carl Gustaav Jung, yaitu Sensing (S), Thinking (T), Intuiting (I),
Feeling (F), dan dilengkapi oleh satu mesin kecerdasan lagi hasil temuan Farid Poniman,
yaitu Instinct (In) sehingga membentuk akronim STIFIn. Jika dikombinasikan dengan
salah satu dari dua jenis kemudinya (drive) berjenis introvert (i) dan ekstrovert (e), maka
mesin kecerdasan itu menjadi salah satu dari sembilan jenis kepribadian yang khas, yaitu
Sensing introvert (Si), Sensing ekstrovert (Se), Thinking introvert (Ti), Thinking ekstrovert
(Te), Intuiting introvert (Ii), Intuiting ekstrtovert (Ie), Feeling introvert (Fi), dan Feeling
ekstrovert (Fe), serta jenis mesin kecerdasan yang terakhir ditemukan tanpa kemudi, yaitu
Instinct (In).
Pijakan konsep STIFIn dibangun berdasarkan elaborasi dari teori-teori yang pernah
ada sebelumnya, antara lain teori fungsi dasar otak manusia yang dikemukakan oleh
perintis psycho- analysis berkebangsaan Swiss bernama Carl Gustaav Jung (1875-1961).
Terdapat empat fungsi dasar manusia yakni fungsi pengindraan (sensing), fungsi berpikir
(thinking), fungsi merasa (feeling), dan fungsi intuisi (intuition). Namun dari keempat fungsi
dasar itu, pada diri setiap manusia hanya salah satu saja diantaranya yang dominan dan
memimpin fungsi dasar lainnya sehingga perilaku manusia cenderung masuk dalam salah
satu dari empat kategori tersebut. Sejauh hal tersebut, Jung belum mengkaitkan antara
fungsi dasar dengan keberadaan fisiknya.
Keberadaan organ fisik otak yang dikaitkan dengan fungsi dasarnya mulai terkuak oleh
seorang neuro-scientist Ned Hermann (1922-1999) yang membagi otak manusia menjadi
empat kuadran yakni limbik kiri dan kanan, serta cerebral kiri dan kanan. Sebelumnya,
Roger Wolcott Sperry (1913-1994) pemenang hadiah Nobel tahun 1981 telah
mengelompokkan manusia dalam dua kategori, pengguna dominan otak kiri dan
pengguna dominan otak kanan. Pengguna dominan otak kiri cenderung bersikap
konvensional dan disiplin sedangkan pengguna dominan otak kanan cenderung berpikir
kreatif dan artistik. Adapun Paul Broca (1824-1880) juga membuat dua kategori manusia
berdasarkan belahan otaknya, yaitu pengguna dominan neokorteks dan pengguna
dominan limbik. Kelompok neokorteks cenderung bersikap investigatif sedangkan
460
kelompok limbik cenderung bersikap sosial. Keberadaan fisik organ otak dan fungsi
dasarnya semakin diverifikasi dengan hasil riset Dario Nardi (2007) yang memetakan
fungsi beberapa area otak menggunakan teknologi EEG.
Empat fungsi dasar otak yang terletak pada masing-masing kuadran otak kanan-kiri dan
atas- bawah ternyata belum final. Berpijak dari teori Triune Brains yang digagas neuroscientist lain berkebangsaan Amerika Serikat, Paul D. MacLean yang membagi otak
manusia berdasarkan hasil evolusinya: otak insani (neokorteks), otak mamalia (limbik), dan
otak reptilian (basal ganglia) dan hasil observasi internal yang dilakukannya, Farid
Poniman mendapati adanya jenis kepribadian yang tidak tepat untuk dikategorikan ke
dalam
salah
satu
dari
kelompok
mesin
kecerdasan
yang
ada.
Jenis
kecerdasan/kepribadian tersebut adalah Instinct (In) yang letak fisiknya berada pada
cerebellum, medulia, midbrain, pons, brain stem dan tersambung langsung dengan tulang
belakang.
Konsep mesin kecerdasan dan personality yang dikembangkan dalam framing STIFIn
bersifat genetic inheredity, artinya merupakan bawaan sejak lahir dan tetap tidak berubah
sepanjang hidup seseorang. Dalam postulat/rumus yang menyatakan: Fenotif (100%) =
Genetik (20%) + Lingkungan (80%), maka berarti konsep STIFIn menggunakan
pendekatan genetik yang 20%, bukan yang fenotif (100%), namun demikian justru yang
genetik itulah yang secara aktif terus menerus mencari lingkungan yang cocok buatnya
sehingga 100% fenotif itu banyak dikontribusi oleh 20% genetik. Meskipun tidak selalu
80% lingkungan berhasil dicapai sepenuhnya sesuai dengan genetik, namun sadar
ataupun tidak, kebebasan berkehendak pada manusia akan cenderung berkeinginan
mencari lingkungan yang sesuai dengan dirinya, karena hanya lingkungan yang sesuai
sajalah yang dapat membuat dirinya merasa nyaman. Rhenald Khasali (2010)
menyebutnya sebagai genetika perilaku: Para ahli genetika mulai masuk ke cabang baru
dari genetika biologi, yakni genetika perilaku (behavioural genetics), karena berdasar
penelitian mutakhir terungkap adanya pengaruh genetika terhadap perilaku perubahan.
Adapun mengenai metode identifikasi jenis mesin kecerdasan dan kepribadian
seseorang yang telah disederhanakan dari semula teknik psikodiagnosis dan assessment
menggunakan paper n pencil menjadi analisis Dactyloscopy dan Dermatoglyphic adalah
suatu lompatan besar dan tidak tertutup kemungkinan di masa yang akan datang akan
menggunakan kombinasi DNA dan atau pola retina mata.
Berikut ini adalah kepribadian dalam keseharian untuk setiap jenis mesin kecerdasan:
461
1) Orang berkarakter Sensing yang dominan dalam menggunakan kuadran otak limbik
kiri, dalam kesehariannya adalah sebagai berikut:
Berpijak pada yang nyata dan aktual
Mengolah informasi berdasarkan apa yang diterima panca indera
Lebih berminat pada aplikasi praktis
Faktual dan memperhatikan detil
Menguraikan peristiwa secara urut/sekuensial
Orientasi pada saat ini
Menyerap gagasan secara bertahap (tidak langsung sekaligus)
Menyukai kesempatan untuk praktek
Mengandalkan pengalaman dan mengingat masa lalu dengan akurat
Pola bicara yang jelas dan teratur
Pikiran yang terangkai satu diikuti yang lainnya
Berpikir linier menggunakan fakta dan contoh yang konkrit
Menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi
Lebih memahami tubuhnya
Menyukai cerita non-fiksi
Cenderung mendengar sampai lengkap
Langsung menuju sasaran
462
463
5) Orang berkarakter Instinct yang dominan dalam menggunakan otak midbrain dalam
keseharainnya adalah sebagai berikut:
Bereaksi secara spontan dan to the point
Mengolah informasi menggunakan naluri
Lebih berminat memberikan kontribusi
Pragmatis, tapi memiliki insight
Menyukai pekerjaan sosial, menolong orang
Orientasi mencari kebahagiaan
Pola bicara singkat, seperti ya atau tidak
Pemikiran sederhana, polos, dan tidak neko-neko
Keterampilan serba bisa
Mengingat hal-hal yang berkesan, dan traumatik dengan kejadian buruk
Tidak suka konflik, mudah beradaptasi
Menjadi penghubung untuk mendamaikan suatu pertikaian
464
alamiah cenderung takluk oleh mesin kecerdasan Intuiting yang karakternya kreatif,
berorientasi pada masa depan dan menghasilkan gagasan-gagasan out of the box
sebagai solusi yang memudahkan pekerjaan. Kerajinan, ketelitian, dan pengalaman dapat
ditaklukkan oleh kreatifitas. Jadi Intuiting menaklukkan Sensing
Jika Sensing mendukung Thinking, maka Thinking mendukung Instinct, dan Instinct
mendukung Intuiting, lalu Intuiting mendukung Feeling, kemudian Feeling mendukung
Sensing. Demikianlah pola chemistry pendukungannya menjadi suatu sirkulasi yang
menggambarkan dinamika bahwa setiap mesin kecerdasan saling mendukung satu sama
lainnya.
Jika Sensing ditaklukkan oleh Intuiting, maka Intuiting ditaklukkan oleh Thinking, dan
Thinking ditaklukkan oleh Feeling, lalu Feeling ditaklukkan oleh Instinct, kemudian Instinct
ditaklukkan oleh Sensing. Demikian pola chemistry penaklukkan pun merupakan suatu
sirkulasi yang menggambarkan dinamika bahwa setiap mesin kecerdasan saling
menaklukkan satu sama lainnya.
Untuk
menyederhanakannya,
keseluruhan
pola
penaklukan
antar
tersebut
dapat
pendukungan
mesin
Instinct
dan
kecerdasan
digambarkan
dalam
Thinking
Intuiting
sedangkan
panah
tipis
Sensing
Feeling
465
memperkaya opsi dalam pengambilan keputusan. Sedangkan dalam hal pimpinan suatu
unit kerja tidak memiliki kewenangan memilih sendiri personil-personil yang ditempatkan
dalam unit kerjanya, maka yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan-pendekatan
tertentu yang sesuai dengan mesin kecerdasan anggota unit kerja secara individual. Hal
ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengenali mesin kecerdasan masing-masing
anggota unit kerjanya.
Terkait dengan kepentingan penyelesaian proyek perubahan yang dilakukan peserta
Diklat Kepemimpinan, terdapat kegiatan mentoring antara atasan peserta diklat selaku
mentor dengan peserta diklat selaku mentee, dan kegiatan coaching antara fasilitator diklat
selaku coach dengan peserta diklat selaku coachee. Idealnya, sesuai pola pendukungan
dan penaklukkan adalah mentor yang memiliki mesin kecerdasan menaklukkan mesin
kecerdasan mentee dan coach yang memiliki mesin kecerdasan mendukung mesin
kecerdasan coachee. Misalnya, peserta diklat yang bertipe Sensing akan lebih ideal jika
dimentori oleh atasan yang bertipe Intuiting (menaklukkan Sensing), dan di coaching oleh
fasitator yang bertipe Feeling (mendukung Sensing).
Apabila penentuan mentor dan coach karena satu dan lain hal ternyata tidak
menggunakan pola sirkulasi tersebut di atas, maka yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan pendekatan-pendekatan tertentu yang sesuai dengan tipe mesin kecerdasan
masing-masing peserta diklat selaku mentee/coachee secara individual. Hal ini dapat
dilakukan dengan terlebih dahulu mengenali mesin kecerdasan masing-masing peserta
diklat.
Diskusi
Atmosfer organisasi atau tim kerja yang dibangun berdasarkan kepribadian alami
peserta diklat secara tepat akan memberikan akibat yang positif baik bagi peserta diklat
selaku pimpinan maupun bagi anak buahnya. Sebagai pimpinan, peserta diklat akan
merasa nyaman karena eksistensinya benar benar ada dan merasa diakui oleh
lingkungan kerjanya. Adapun bagi anak buah akan merasa nyaman karena mereka secara
pasti dapat memposisikan diri dalam berbagai hal, termasuk dalam mengembangkan
potensinya, dan tidak mengalami kebingungan akan pola kepemimpinan dan pola
bimbingan. Peserta diklat dapat menerapkan gaya kepemimpinan situasional sesuai
mesin kecerdasannya sendiri dan sesuai kepribadian masing-masing anak buahnya,
tetapi dengan atmosfer yang konsisten dan tidak membingungkan.
466
Peserta diklatpim yang bermesin kecerdasan jenis Sensing dan Thinking sama-sama
dominan dalam penggunaan belahan otak kiri sehingga atmosfer yang dibangun dalam
gaya kepemimpinannya adalah Gaya Kiri, yaitu menguasai anak buah, membangun rasa
hormat secara vertikal antara atasan dan bawahan, memberikan pola keseragaman dan
pengulangan rutin, sangat peduli secara detil terhadap tindakan dan perilaku anak buah,
serta memberikan dan melembagakan peraturan dan kepatuhan. Sebaliknya, peserta
diklatpim yang bermesin kecerdasan Intuiting dan Feeling dominan dalam penggunaan
belahan otak kanannya sehingga atmosfer dalam gaya kepemimpinannya adalah Gaya
Kanan, yaitu memberi kelonggaran kepada anak buahnya, membangun rasa hormat
dengan kesetaraan, memberikan pilihan dengan segala konsekuensinya, peduli pada
langkah besar dan arahan hidup anak buahnya, serta memberikan dan melembagakan
kebebasan dan kemerdekaan bagi kemajuan anak buahnya.
Peserta diklat yang bermesin kecerdasan jenis Thinking dan Intuiting sama-sama
dominan dalam penggunaan neokorteks sehingga atmosfer yang dibangun dalam
organisasi/tim kerja adalah Gaya Atas, yaitu yang mementingkan kualitas individu,
menjejali dengan wawasan dan pengetahuan, mengandalkan kecerdasan anak buah,
mengajarkan prinsip dan logika dan menekankan bahwa kepandaian adalah modal untuk
dapat meraih bahagia. Adapun peserta diklat yang bermesin kecerdasan jenis Sensing
dan Feeling dominan dalam penggunaan limbik sehingga atmosfer dalam gaya
kepemimpinannya
adalah
Gaya
Bawah,
yaitu
yang
mementingkan
hubungan
467
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan diskusi sebagaimana diuraikan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa konsep STIFIn merupakan sintesa dari teori-teori yang dikemukakan
468
oleh Roger Sperry, Paul Broca, Ned Herrman, Carl Gustav Jung dan Paul McLean;
Berbeda dengan sudut pandang penganut aliran perilaku (behaviorism) yang hanya
mengobservasi perilaku yang tampak dan terukur (fenotif) memandang bahwa manusia
sepenuhnya dapat dibentuk menjadi seperti apapun sesuai dengan apa yang dialaminya,
STIFIn menggunakan pendekatan nature, yaitu bahwa manusia memiliki jalan sendiri
sesuai dengan potensi genetiknya. Untuk dapat mencapai performance terbaiknya,
potensi genetik tersebut harus mendapatkan stimulus yang cocok pada jalur terbaiknya.
Konsep STIFIn telah menjadi konsep yang lebih kekinian, lebih sederhana, dan aplikatif
dengan multi-angle-field, dalam arti dapat diterapkan dalam bidang parenting, pendidikan,
human resources, leadership, couple-relations, politik, dan sebagainya. Khusus dalam
bidang leadership, konsep STIFIn dapat diaplikasikan untuk menemukan gaya
kepemimpinan yang efektif, yaitu suatu model yang menyederhanakan pola interaksi
antara pimpinan dengan atasan, peers, dan anak buahnya demi mewujudkan dinamika
positif dalam organisasi yang mampu meningkatkan produktifitas dan kinerja karena
setiap orang yang terlibat di dalamnya dapat memahami dan menjadi dirinya sendiri serta
menjalankan perannya masing-masing dengan rasa nyaman, bahkan diharapkan mampu
memahami cara berpikir dari sudut pandang orang lain yang berbeda dengan dirinya.
Bahkan lebih spesifik lagi dalam konteks Diklat Kepemimpinan halmana mensyaratkan
mekanisme coaching dan mentoring antara peserta dengan fasilitator diklat dan atasan
peserta, pendekatan konsep STIFIn patut diberikan kesempatan tidak hanya sebagai teori
yang dibekalkan untuk peserta diklat agar dapat diterapkan dalam kepemimpinannya
kelak di lingkungan organisasinya, tetapi juga agar dapat langsung diaplikasikan oleh
masing-masing coach dan mentor yang terlibat dalam proyek perubahan pada masa
laboratorium kepemimpinan (Breakthrough ke-2) agar peserta diklat selaku pimpinan
proyek dapat menikmati proses coaching dan mentoring yang efektif, sesuai dengan
potensi dan kepribadiannya.
Daftar Pustaka
Farid Poniman, Yayan Hadiyat (2015). Manajemen HR STIFIn: Terobosan untuk
Mendongkrak Produktifitas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Farid Poniman, Indrawan Nugroho, Jamil Azzaini (2006). Kubik Leadership: Solusi Esensial
Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup. Jakarta: Penerbit Hikmah.
Goleman Daniel, Boyatzis Richard, Annie McKee (2004). Primal Leadership: Realizing the
Power of Emotional Intelligence. Jakarta: Gramendia Pustaka Utama
469
Masduki Asbari, Ida Aya Sophia (2015). Fokus Satu Hebat. Jakarta: Dapurbuku.
Wikipedia (2016). Triune Brain. Diunduh dari: https://en.wikipedia.org/wiki/Triune_brain
tanggal 19 Maret 2016.
Wikipedia
(2016).
Myers-Briggs
Tipe
Indicator.
Diunduh
dari:
470
PENDAHULUAN
Dalam rangka mendukung pelaksanaan Program Reformasi Birokrasi di
bidang Manajemen Sumber Daya Manusia Departemen Keuangan, diperlukan
informasi profil kompetensi pegawai. Oleh karena itu Kementerian keuangan
menerbitkan PMK no 47 tahun 2008 tentang Assesment Center di lingkungan
Kementerian Keuangan. Assesment Center di lingkungan Kementerian keuangan
dilakukan dengan tujuan untuk untuk memperoleh profil kompetensi pegawai.
Assessment Center Departemen Keuangan, yang selanjutnya disebut Assessment
Center, adalah penilaian berbasis kompetensi dengan melibatkan beragam teknik
evaluasi, metode, dan alat ukur terhadap Pegawai Negeri Sipil Departemen
Keuangan. Tujuan Assessment Center adalah untuk memperoleh informasi profil
kompetensi setiap Pegawai Negeri Sipil Kementerian Keuangan, dalam rangka
471
tentang
472
473
474
475
Kedua, opini bersifat turun. Misal tahun 2013 mendapatkan opini WTP, namun pada
tahun 2014 mendapatkan opini WDP. Contoh lain, pada tahun 2013 mendapatkan
opini WDP, dan Kepala Daerah berharap mendapatkan opini WTP, namun yang
diperoleh justru opini disclaimer.
METODOLOGI
`Metodologi yang ditempuh dalam penelitian ini adalah mengambil data yang
diperoleh dari proses evaluasi pasca diklat yang dilakukan oleh Pusdiklat Anggaran
dan Perbendaharaan tahun 2016. Kegiatan Evaluasi pasca diklat telah dilakukan
oleh Kementerian Keuangan di bulan Januari 2016. Dengan menggunakan data
yang diperoleh dari kegiatan evaluasi pasca diklat yang dilakukan di 10 kota, penulis
melakukan analisis data yang diperoleh dikaitkan dengan mapping kompetensi SDM
di Bidang akrual. Evaluasi Pasca diklat dilakukan hanya untuk mengetahui diklat
tersebut bermanfaat atau tidak, namun tidak dilakukan pembahasan mendalam
dikaitkan dengan konsep mapping terhadap kompetensi SDM akrual, dan juga tidak
dilakukan pembahasan mendalam apa pengaruhnya terhadap kualitas laporan
keuangan. Sampai saat tulisan ini dibuat, pusdiklat AP belum menyelesaikan laporan
evaluasi pasca diklat. Tulisan ini bukanlah laporan evaluasi pasca diklat, namun
tulisan ini dikhususkan bagi forum rapat kerja nasional IWI, sebagai sebuah ajang
sumbang saran atau gagasan Widyaiswara di dalam pembangunan SDM manusia
khususnya SDM di bidang Akuntansi Akrual.
Untuk keperluan pengolahan data, digunakan statistika deskriptif. Dari hasil
data yang diperoleh yang berupa angka-angka akan dilakukan deskripsi,
pendalaman dan analisis untuk memudahkan interpretasi. Data-data yang diperoleh
akan dikaitkan satu data dengan data lainnya. Dari informasi tersebut akan dicoba
dianalisis apa dampaknya bagi para pengambil kebijakan di masa depan.
Seperti yang kita ketahui, tahu 2015 adalah tahun pertama implementasi
akuntansi akrual. Belum banyak penelitian yang bersifat komprehensif dan nasional
yang bisa dijadikan rujukan bagi para pengambil keputusan di bidang pengelolaan
SDM bidang akrual. Semoga penelitian ini merupakan penelitian awal yang akan
segera ditindaklanjuti dengan penelitian berikutnya yang lebih fokus dan terstruktur
serta komprehensif sehingga hasilnya bisa bermanfaat bagi para pengambil
keputusan.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probability
sampling dengan menggunakan convenience sampling. Teknik sampling ini dipilih
476
KPPN
JUMLAH SATKER
JUMLAH PESERTA
Banda Aceh
38
463
Bukittinggi
23
172
Palembang
14
39
Batam
25
122
Bengkulu
35
265
Mataram
32
250
Palangkaraya
33
277
Banjarmasin
42
359
9
10
Palu
Kendari
36
43
276
301
477
Responden dari penelitian ini memiliki latar belakang pendidikan yang relatif beragam.
Pada Tabel 2 di bawah ini, disajikan latar belakang pendidikan dari para responden.
Tabel 2.
Tingkat Pendidikan para Responden
No
Lokasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Banda Aceh
Bukittinggi
Palu
Banjarmasin
Kendari
Palangkaraya
Bengkulu
Palembang
Batam
Mataram
Total
SMA/D1
13
37
15
37
22
23
18
2
16
30
213
D3/lain
nya
16
6
0
0
0
0
0
0
0
0
22
D4/S1
S2
65
67
42
79
85
56
68
16
18
63
559
3
3
3
9
7
10
0
2
0
3
40
Tidak
Menjawab
0
8
1
4
2
4
2
1
1
3
26
Pada tabel 2 tersebut di atas terdapat 213 orang atau 24,77% dengan
pendidikan SMA/D1, D3 sebanyak 22 atau 2,56%, sebanyak 559 orang atau 65%
dengan pendidikan D4/S1, 40 orang atau 4,65% dengan pendidikan S2, 26 orang atau
3,02% tidak menjawab.
Peserta yang berlatar pendidikan S2 terlalu tinggi spesifikasi SDMnya untuk
menjadi operator. SDM yang berlatar belakang pendidikan S2 lebih cocok untuk
pekerjaan yang bersifat strategic. Pekerjaan sebagai operator SAIBA cenderung bersifat
klerikal. Oleh karena itu, SDM yang berlatar pendidikan S2 kurang cocok menjadi
operator.
Kepada para responden ditanyakan apakah mereka mengalami kesalahan
dalam pelaporan keuangan. Jawabannya bisa dilihat di dalam Tabel 3.
Tabel 3.
Kesalahan Pada Laporan Keuangan
No
1
2
KPPN
Banda Aceh
Bukittinggi
Total
Responden
Terjadi
Kesalahan
Pelaporan
91
123
74
91
478
Letak Kesalahan
dokumen
salah
salah
sumber pencatatan sistem
9
50
16
6
76
39
3
4
5
6
7
8
9
10
Palembang
24
Bengkulu
96
Batam
45
Palangkaraya
102
Banjarmasin
144
Kendari
119
Palu
63
Mataram
102
Total
909
Persentase Kesalahan
15
62
29
83
120
90
53
67
684
6
8
2
5
11
19
8
13
87
12,72
8
49
21
62
96
63
34
42
501
73,25
4
9
6
18
23
18
16
14
163
23,83
DISKUSI
Dari data yang tersaji di dalam bagian hasil penelitian, terlihat besarnya
kesalahan yang dialami oleh para responden. Untuk mendalami apa yang menjadi
penyebab terhadap tingginya tingkat kesalahan, kami melakukan pengujian ke
database evaluasi pengajar PPAKP. Hasilnya, nilai rata-rata atas pengajar di atas 4.
Artinya penyebab dari banyaknya kesalahan adalah bukan karena faktor evaluasi
pengajar. Peserta memberikan nilai tinggi terhadap pengajar. Hal ini bisa dijelaskan
lebih lanjut, bahwa pengajar merupakan orang terbaik di wilayah kabupaten/kota,
sementara para responden sedang ingin tahu tentang ilmu akrual. Akibatnya adalah
peserta memberikan evaluasi baik kepada pengajar saat mereka memberikan materi
baru yaitu akuntansi pemerintah berbasis akrual.
Karena tidak memperoleh argumen yang baik yang bisa menjelaskan dari
evaluasi pengajar, maka dilakukan penelusuran lebih jauh dilakukan ke nilai pre test
dan post test. Dari 10 kota yang dijadikan sampel, maka hasil pre test dan post test
tersaji sebagaimana terdapat di dalam tabel 4 berikut ini:
Tabel 4
Nilai pre test dan post test untuk
10 kota penyelenggara PPAKP yang dijadikan sampel.
No
KPPN
Palembang
Akt
I
II
III
Nilai
Tahun Rata-Rata
Pretest
2014
2014
2014
48
41
40
479
Nilai
RataRata
Posttest
69
57
57
Nilai RataRata
Posttest
KPPN
Presentase
Kenaikan
(%)
61,20
0,44
0,39
0,43
No
KPPN
Banjarmasin
Mataram
Kendari
Palu
Aceh
Bukittinggi
Akt
Nilai
Tahun Rata-Rata
Pretest
IV
I
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
I
II
III
IV
V
I
II
III
IV
V
VI
VII
I
II
III
IV
V
VI
VII
I
II
III
IV
V
VI
I
II
III
IV
2014
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
35
45
41
45
46
46
43
48
38
50
51
49
44
45
40
49
44
45
44
47
44
43
40
42
43
40
47
37
35
41
38
37
26
33
46
42
42
52
52
480
Nilai
RataRata
Posttest
53
70
60
68
54
68
62
58
52
67
66
61
60
65
56
66
58
66
61
66
62
66
61
53
59
71
58
55
56
57
63
61
44
45
46
62
62
67
66
Nilai RataRata
Posttest
KPPN
61,13
61,60
63,57
59,00
52,67
64,25
Presentase
Kenaikan
(%)
0,51
0,56
0,46
0,51
0,17
0,48
0,44
0,21
0,37
0,34
0,29
0,24
0,36
0,44
0,40
0,35
0,32
0,47
0,39
0,40
0,41
0,53
0,53
0,26
0,37
0,78
0,23
0,49
0,60
0,39
0,66
0,65
0,69
0,36
0,00
0,48
0,48
0,29
0,27
No
KPPN
Batam
Bengkulu
Palangkaraya
10
Dari
data
Akt
Nilai
Tahun Rata-Rata
Pretest
I
II
III
I
II
III
IV
V
VI
I
II
III
IV
V
VI
VII
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
di
tabel,
52
47
49
45
48
47
40
41
39
48
43
47
44
45
47
39
44,17
terlihat
Nilai
RataRata
Posttest
74
63
68
82
92
86
83
61
59
60
52
60
61
59
58
53
61,28
bahwa
dari
Nilai RataRata
Posttest
KPPN
0,42
0,34
0,39
0,82
0,92
0,83
1,08
0,49
0,51
0,25
0,21
0,28
0,39
0,31
0,23
0,36
0,44
68,33
77,17
57,57
sampel
Presentase
Kenaikan
(%)
10
kota
yang
menyelenggarakan PPAKP, rata-rata nilai pre test adalah 44,17. Setelah peserta
mengikuti diklat PPAKP selama 4 hari yang diselenggarakan oleh KPPN (DJPBn)
bekerjasama dengan BPPK maka posttest menjadi 61,28. Nilai 61,28 masih jauh
dari memadai agar mereka bisa mengerjakan akuntansi akrual yang pertama kali
dengan baik
Hal berikutnya yang menarik dan menjadi catatan adalah hasil inventarisasi
terhadap penyusunan laporan akuntansi akrual yang pertama kali. Ada 909
responden dari 10 kota yang dijadikan sampel evaluasi pasca diklat. Hasilnya
sungguh mengejutkan karena terdapaty 751 kesalahan yang dijumpai dalam
menyusun laporan keuangan. Ada tiga jenis kesalahan:
1. kesalahan dokumen sumber.
2. Kesalahan penyajian laporan keuangan.
3. Kesalahan aplikasi.
481
Kesalahan
dan
menjadi
tanggungjawab
kementerian/lembaga.
level
admin,
perencanaan,
pelaksanaan
dan
pelaporan.
Karena
keterbatasan dana dan waktu, yang dilaksanakan hanya untuk level pelaporan
dengan jangka waktu 5hari. Ternyata, saat tahun 2014, kebutuhan dana untuk
pilpres dan lain-lain, sehingga ada pemotongan dana, maka kegiatan dipaksakan
harus selesai dalam waktu 4 hari. Akibatnya terjadi perubahan juga terhadap
kurikulum yang dibuat dalam program PPAKP.
Diklat PPAKP, karena keterbatasan waktu, tidak dilakukan uji kompetensi
terhadap para peserta dengan melalui ujian. Yang terbaik adalah diklat dilakukan uji
kompetensi dengan pelaksanaan ujian di akhir diklat sebagai uji kompetensi atas
kemampuan peserta. Namun demikian, kita perlu alat ukur sederhana dalam
pelaksanaan PPAKP. Oleh karena itu di dalam diklat PPAKP dilaksanakan pretest
dan post test. Sesungguhnya ini kurang memiliki presisi yang baik di dalam menilai
kompetensi peserta. Namun pelaksanaan pretest dan posttest bisa sebagai alat ukur
keberhasillan program.
482
Dari paparan tersebut di atas, sesungguhnya saat ini pemerintah pusat belum
memiliki mapping atau pemetaan yang akurat atas SDM di bidang akuntansi akrual.
Pemetaan atau mapping atas SDM akrual dilakukan melalui kegiatan assesment
akrual atau uji kompetensi akrual terhadap SDM pelaksana akrual. Untuk pemetaan
yang lebih baik, harusnya pemerintah sudah memiliki kamus kompetensi. Seperti
halnya assesment center memerlukan kamus kompetensi, maka assesment akrual
juga membutuhkan kamus kompetensi. Adanya mapping terhadap SDM akrual akan
memudahkan
bagi
pemerintah untuk
melakukan manajemen
SDM akrual.
Pemerintah bisa tahu bagaimana gap yang terjadi antara kondisi SDM ideal dengan
kondisi SDM yang saat ini dimiliki oleh pemerintah. Dengan adanya gap kompetensi
maka akan memudahkan pemerintah di dalam merancang strategi peningkatan
kualitas SDM akrual.
Selain masalah kompetensi, kita masih menjumpai beberapa problematika di
dalam implementasi akuntansi akrual. Tahun 2015 merupaklan tahun pertama di
dalam implementasi akuntansi akrual. Ruang lingkup serta jumlah satker yang
dimiliki juga sangat besar sekita 25 ribu satker. Sehubungan dengan implementasi
akuntansi akrual untuk pertama kali di Indonesia, ada sejumlah problematika yang
perlu menjadi perhatian kita semua.
Pertama, Kemampuan SDM di bidang akuntansi akrual yang belum memadai.
Setiap Kementerian/Lembaga memiliki kemampuan SDM di bidang akuntasi yang
berbeda-beda. Ada Kementerian yang relatif sudah siap, namun ada juga yang
persiapannya masih jauh.
Kedua, Infrastruktur belum sepenuhnya sempurna di dalam mendukung akuntansi
akrual.
Ketiga, Reward yang diterima oleh para operator SAIBA maupun SIMAK BMN belum
memadai. Faktor reward ini mempengaruhi motivasi kerja SDM Akrual.
Keempat, Belum sama pemahaman akrual di beberapa level birokrasi. Pada level
tinggi, pimpinan menuntut opini laporan keuangannya WTP. Opini WTP dipengaruhi
oleh banyak faktor. Sementara SDM di level operator merasakan masih banyak
kendala dalam implementasi akuntansi akrual.
Kelima, Adanya beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi akuntansi akrual
pertama kali.
Implementasi akuntansi akrual dalam penyusunan laporan keuangan,
dilaksanakan baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Dalam
hal implementasi di tingkat Pemerintah Daerah, ada yang menarik dari implementasi
483
di level Pemerintah
Daerah. Minimal ada 3 hal menarik yang bisa kita pelajari dari implementasi akrual di
tingkat Pemerintah Daerah, yaitu:
Pertama, Sangat sedikit pemerintah daerah yang implementasi akuntansi
akrual untuk menyusun laporan keuangan pemerintah daerah. Dari 500 lebih
pemerintah daerah, hanya 10 yang menyusun laporan keuangan menggunakan
basis akuntansi akrual. Artinya yang menyusun laporan berbasis akrual hanya 2
persen saja dari seluruh pemerintah daerah. Analisa yang bisa digunakan adalah
SDM pemerintah daerah sesungguhnya belum siap untuk menerapkan akuntansi
akrual pada tahun 2014.
Kedua, Ada pemerintah daerah yang pada tahun 2013 menggunakan
akuntansi berbasis akrual. Tahun 2014 pemda tersebut menggunakan akuntansi
berbasis akrual sekaligus mengharapkan peningkatan opini. Opini yang diperoleh
pada tahun 2013 adalah WDP, dan harapan kepala daerah opini bisa meningkat
menjadi WTP pada tahun 2014. Yang diperoleh justru sebaliknya, opini yang
diperoleh bukannya naik atau tetap, malah turun dari WDP ke Disclaimer.
Ketiga, Ada pemda yang sering dijadikan role model untuk akuntansi akrual.
Pada tahun 2013, pemda ini telah menerapkan akuntansi akrual dan mendapatkan
opini WTP. Banyak pemda lain melakukan studi banding dan belajar kepada pemda
tersebut dalam hal implementasi akuntansi akrual. Yang terjadi justru pemda ini
mengalami penurunan opini menjadi WDP di tahun 2014.
Pelajaran penting yang bisa diperoleh dari implementasi akuntansi akrual di
Pemda adalah implementasi akuntansi akrual lebih sulit dari akuntansi berbasis CTA,
dan ada resiko yang cukup besar akan adanya penurunan dalam hal opini laporan
keuangan oleh BPK.
Di tengah banyaknya problematika tersebut ada catatan prestasi tersendiri di
dalam implemntasi akrual. Saat ini, Indonesia adalah negara pertama di Asean yang
menerapkan akuntansi akrual di dalam penyusunan laporan keuangan. Ini tentu
membanggakan kita semua. Dibandingkan akuntansi berbasis CTA, kita ketahui
akuntansi berbasis akrual jauh lebih bermanfaat. Pemerintah Malaysia pernah
melakukan studi banding ke Indonesia untuk melihat implementasi akuntansi akrual
di Indonesia.
484
Saran yang ingin disampaikan oleh penulis di dalam penelitian ini adalah:
1. Perlu dilakukan pemetaan kompetensi SDM di bidang akuntansi akrual
melalui uji kompetensi akrual atau assesment akrual. Oleh karena itu
disarankan kepada BPPK (Kementerian Keuangan) diharapkan segera
penyusunan peta kompetensi SDM di bidang akrual sebagai sebuah strategy
485
486
Daftar Pustaka
1. Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang standar akuntansi
Pemerintahan.
2. PMK nomor
Kementerian Keuangan.
3. Laporan
Evaluasi
Pasca
Diklat
tahun
2015,
487
Pusdiklat
anggaran
dan
I.
Latar Belakang
Sumber Daya Manusia merupakan suatu asset yang tidak ternilai harganya yang dimiliki
suatu organisasi serta dapat memberikan konstribusi yang sangat berarti kepada satuan
kerja secara efektif dan efisien, serta produktif dan kompetitif. Sumber Daya Manusia
488
merupakan penentu keberhasilan bagi setiap organisasi untuk menjadi lebih profesional dan
sebagai pembangun citra pelayanan publik.
Peningkatan kualitas sumberdayamanusia merupakan suatu yang sangat penting untuk
penigkatan akselerasi suatu pembangunan dalam bidang apapun juga. Karena kualitas
menyangkut peningkatan mutu sumberdayamanusia itu sendiri baik kemampuan fisik
maupun kemampuan non fisik.Upaya inilah yang dimaksudkan dengan pengembangan
sumberdayamanusia. Setiap organisasi harus memperhatikan skills, knowledge, dan ability
atau kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap aparatur.
Dalam Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2000 tentang jabatan PNS disebutkan
diklat jabatan PNS adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka
meningkatkan kemampuan PNS. Salah datu jenis diklat PNS adalah diklat Pra Jabatan,
diklat ini meruapakan salah satu syarat pengangkatan CPNS menjadi PNS, yang bertujuan
untuk memberikan pengetahuan pengembangan sikap dan keterampilan peserta dalam
rangka pembentukan wawasan kebangsaan kepribadian dan etika PNS. Disamping
pengetahuan dan kompetensi dasar tentang system penyelenggaraan pemerintahan serta
bidang tugas dan budaya organisasi agar mampu melaksanakan tugas dan perannya
sebagai pelayan masyarakat.
Oleh karena itu, sumber daya manusia yang professional sangat mendukung
keberhasilan suatu organisasi untuk bisa bersaing di era global dalam rangka mewujudkan
Pembangunan Nasional. Untuk mewujudkan Pembangunan Nasional, dituntut adanya peran
sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh sebab itu kegiatan pengembangan SDM
aparatur
sangat
dibutuhkan
dalam
proses
pembangunan
itu
sendiri.
Kegiatan
489
dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain Widyaiswara/pengajar, peserta diklat, materi
diklat, metode, tujuan pembelajaran,fasilitas,dan juga sarana dan prasarana. Metode
pengajaran
harus
memberikan
kesempatan
kepada
peserta
diklat
untuk
dapat
mengembangkan kecerdasan secara optimal, sebab pemilihan metode yang tidak sesuai
akan mengakibatkan proses belajar mengajar yang tidak optimal. Salah satu model
pembelajaran yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Ibrahim, dkk. (2000:6) menyatakan bahwa proses belajar mengajar dengan model
pembelajaran tipe jigsaw adalah proses belajar mengajar yang menempatkan peserta diklat
untuk aktif dimana fasilitator/widyaiswara membagi peserta diklat ke dalam beberapa
kelompok dan masing-masing kelompok diberikan tugas dengan meteri yang berbeda-beda.
Dari tugas yang diberikan masing-masing kelompok diharapkan mampu mengembangkan
materi yang diberikan sesuai dengan materi yang sudah diajarkan.
Berdasarkan proses pembelajaran di atas, terlihat bahwa dalam penerapan metode
diskusi model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, peserta diklat dituntut untuk aktif dan
harus bekerja sama dalam memahami suatu materi diklat yang diberikan, sehingga akan
berdampak positif terhadap peningkatakan kompetensi peserta diklat. Maka dari itu dalam
kesempatan ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Penerapan
Metode Diskusi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw untuk Meningkatkan
Sikap Demokrasi peserta Diklat Prajabatan di Provinsi Bali.
II.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang diteliti dirumuskan
sebagai berikut.
Apakah penerapan metode diskusi model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat
meningkatkan sikap demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali?
490
V. TINJAUAN PUSTAKA
1. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Menurut Ibrahim, dkk. (2000:6) menyatakan bahwa proses belajar mengajar
dengan model pembelajaran tipe jigsaw ini berarti proses belajar mengajar yang
menempatkan peserta diklat untuk aktif dimana fasilitator/widyaiswara membagi peserta
diklat ke dalam beberapa kelompok dan masing-masing kelompok diberikan tugas
dengan meteri yang berbeda-beda. Dari tugas yang diberikan masing-masing kelompok
diharapkan mampu mengembangkan materi yang diberikan sesuai dengan materi yang
sudah diajarkan.
Arnyana (2007:52) mengemukakan, pada penerapan kooperatif tipe jigsaw,
peserta diklat bekerja berkelompok dengan 5-6 anggota kelompok belajar yang
heterogen. Materi pelajaran diberikan kepada peserta diklat dalam bentuk teks. Setiap
anggota bertanggung jawab untuk mempelajari bagian tertentu bahan yang diberikan
itu. Sebagai contoh, jika materi yang diajarkan adalah alat ekskresi, seorang peserta
diklat mempelajari tentang ginjal, peserta diklat lain mempelajari tentang hati, peserta
diklat lain mempelajari tentang paru-paru dan yang terakhir belajar tentang kulit. Semua
491
anggota kelompok yang mempelajari tentang topik yang sama berkumpul dan
berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut kelompok ahli. Dengan demikian
terdapat kelompok ahli kulit, ahli ginjal, ahli paru-paru, dan ahli hati.
Selanjutnya, anggota tim ahli ini kembali ke kelompok asal dan mengajarkan
tentang apa yang dipelajarinya dan didiskusikan di kelompok ahlinya untuk diajarkan
pada kelompok temannya sendiri. Setelah proses belajar dilaksanakan diadakan
evaluasi dan penghargaan.
Menurut Trianto (2009: 73) langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
adalah:
a. Peserta diklat dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok anggotanya 5-6
orang).
b. Materi pelajaran diberikan kepada peserta diklat dalam bentuk teks yang telah
dibagi-bagi menjadi beberapa sub bab.
c. Setiap anggota kelompok membaca subbab yang ditugaskan dan bertanggung
jawab untuk mempelajarinya.
d. Anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub bab yang sama bertemu
dalam kelompok-kelompok ahli untuk mendiskusikannya.
e. Setiap anggota kelompok ahli setelah kembali ke kelompoknya bertugas
mengajar teman-temannya.
f.
Dari langkah-langkah pembelajaran yang dipaparkan oleh para ahli di atas, maka
untuk penelitian ini, peneliti menerapkan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw adalah:
1) membentuk kelompok asal yang heterogen (jenis kelamin dan tingkat kemampuan)
2) membagikan materi pelajaran kepada masing-masing anggota kelompok
3) anggota kelompok yang mendapatkan materi yang sama berkumpul dalam kelompok
ahli dan mengkaji materi yang didapat
4) anggota kelompok ahli kembali ke kelompok asal dan menyampaikan hasil diskusi
dalam kelompok ahli
5) presentasi beberapa kelompok dan kelompok lain menanggapinya
6) pemberian tes secara individual
7) pemberian penghargaan kepada kelompok yang mendapatkan nilai tertinggi.
492
Model pembagian kelompok dalam model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat
digambarkan seperti bagan 01.
A1 B1 C1
D1 E1
A2 B2 C2
D2 E2
A3 B3 C3
D3 E3
A4 B4 C4
D4 E4
A1 A2 A3
A4 A5
x1 x1
B1 B2 B3
B4 B5
C1 C2 C3
D1 D2 D3
C4 C5
D4 D5
(Arnyana, 2007;52)
A5 B5 C5
D5 E5
E1 E2 E3
E4 E5
menolak
atau
mengabaikan.
493
Pengertian
sikap
pada
umumnya
tentang
demokrasi,
pada
dasarnya
berhadapan
dengan
demokrasi dikatakan klasik karena hal ini sudah menjadi fokus perhatian dalam
wacana filsafati semenjak Yunani Kuno.Selanjutnya permasalahan demokrasi juga
dikatakan bersifat fundamental, karena hakikat demokrasi menyentuh nilai-nilai
kehidupan manusia.Yang terakhir permasalahan ini dikatakan aktual, karena dewasa
ini demokrasi menjadi dambaan setiap bangsa dan negara untuk menerapkannya.
Menurut Abraham Lincoln (Wiharyanto, 2004 : 2), mengatakan demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam perkembangannya,
demokrasi bermakna semakin spesifik lagi yaitu fungsi-fungsi kekuasaan politik
merupakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat.Konsep
demokrasi ini memberi keyakinan bahwa unsur-unsur rakyat senantiasa menjadi
faktor utama yang dilibatkan dalam pemerintahan.Oleh karena itu, demokrasi
mendapat sambutan yang luar biasa di dalam hati sanubari rakyat karena demokrasi
lebih berpihak kepada rakyat.Dengan demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa
depannya ditentukan oleh dan untuk rakyat.Untuk mengetahui suatu negara
demokrastis atau tidak terdapat beberapa ciri.
Bentuk masyarakat demokratis akan tumbuh kokoh jika dikalangan
masyarakat tumbuh kultur dan nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi yang
diterapkan di masyarakat menurut Zamroni (2001: 33), adalah toleransi, bebas
mengemukakan
dan
menghormati
perbedaan
pendapat,
memahami
persamaan derajat, menghargai pihak lain, mau bekerja sama dengan orang lain,
menghargai pendapat orang lain, menerima dan menghargai perbedaan kultur dalam
masyarakat, peka terhadap kesulitan orang lain, berlaku adil, memiliki kemauan
berpartisipasi dalam kehidupan politik dan sosial. Nilai-nilai demokrasi tersebut
494
4. Kerangka Pemikiran
Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan proses belajar
mengajar
yang
menempatkan
peserta
diklat
untuk
aktif
dimana
495
Pelaksanaan
Peningkatan Sikap
Demokrasi
Peserta Diklat
Prajabatan
Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Jigsaw
Diklat
yang
dilakukan
bersifat
deskriptif
yaitu
untuk
mengetahui
atau
496
Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif yang
didapatkan dari penyebaran kuesioner sikap demokrasi kepada peserta diklat
prajabatan di Provinsi Bali, khususnya pada Diklat Prajabatan Golongan III Provinsi Bali.
497
SKALA
KLASIFlKASI
1.
sangat tinggi
2.
tinggi
3.
sedang
4.
rendah
5.
sangat rendah
Keterangan :
Mi
= (skor maksimum + skor minimum)
SDi
= 1/6 (skor maksimum - skor minimum)
(Dantes, 1983 :25)
Daya
Aparatur
yang
dipimpin
oleh
seorang
Kepala
Badan,
498
Diklat terdiri dari Sekretariat, Bidang, Sub Bagian, Sub Bidang, dan Kelompok
Jabatan Fungsional.
Secara terperinci struktur organisasi Badan Diklat berdasarkan Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2011disajikan dalam Bagan berikut ini:
Dalam melaksanakan tugas pokok Badan Diklat Provinsi Bali didukung oleh
sumberdaya aparatur serta sarana dan prasarana. Seluruh pegawai berjumlah 64
orang yang terdiri dari 17 orang pejabat struktural, 14 orang Widyaiswara, 2 orang
Pustakawan serta 31 orang staf.
499
Visi :
Mewujudkan Badan Pendidikan Dan Pelatihan Provinsi Bali sebagai pusat
peningkatan kapasitas aparatur berbasis kompetensi.
Sedangkan Motto Badan Diklat Provinsi Bali untuk mewujudkan Visi adalah
TIADA PERUBAHAN TANPA DIKLAT
Misi
Dalam upaya mewujudkan visi tersebut Badan Diklat Provinsi Bali memiliki misi
sebagai berikut :
1. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (Diklat) berbasis kompetensi
bagi sumberdaya aparatur pemerintah.
2. Meningkatkan koordinasi dalam pengembangan program kediklatan.
3. Mengembangkan kerjasama kediklatan.
4. Meningkatkan mutu sumberdaya dan profesionalisme tenaga kediklatan.
5. Melaksanakan
evaluasi
kediklatan
dan
merumuskan
kebijakan
500
dalam
kegiatan
pembelajaran
diskusi
kelompok.
Hal
itu
menumbuhkan
kesadaran
akan
kewajiban
pada
tugasnya,
menumbuhkan sikap mematuhi peraturan yang telah dibuat oleh kelompoknya, dan
menumbuhkan sikap pengendalian diri peserta diklat prajabatan Provinsi Bali. Selain
itu, fasilitator/pengajar juga harus memberikan motivasi-motivasi, agar peserta diklat
prajabatan Provinsi Bali lebih semangat untuk meningkatkan sikap demokrasi yang
dimilikinya.
Pada kegiatan pembelajaran terlihat bahwa peserta diklat sudah lebih
mencerminkan sikap demokrasi yang lebih baik. Berdasarkan analisis data yang
telah dilakukan pada tes akhir pembelajaran, didapatkan rata-rata sikap demokrasi
peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali sebesar 122,93, nilai tengah sebesar 123,
nilai yang paling sering muncul sebesar 122, simpangan baku sebesar 3,71, dan
varians sebesar 13,76. Berdasarkan tabel kategori yang telah dibuat, rata-rata sikap
demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali pada tes akhir berada pada
kategori sedang.
Peningkatan rata-rata dari tes awal dan tes akhir terlihat cukup signifikan
(cukup tinggi), selain itu kategori sikap demokrasi peserta diklat prajabatan Provinsi
Bali pun terlihat sudah meningkat dari kategori rendah menjadi sedang. Untuk lebih
jelasnya, peningkatan sikap demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali
dapat digambarkan pada histogram berikut.
501
140
120
100
80
Tes Awal
60
Tes Akhir
40
20
0
rata-rata
nilai tengah
IX. PENUTUP
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penerapan
metode diskusi model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw secara efektif
dapat
meningkatkan sikap demokrasi peserta Diklat Prajabatan di Provinsi Bali. Hasil ini
ditunjukkan dari rata-rata sikap demokrasi pada tes awal sebesar 97,8 meningkat menjadi
122,93 pada tes akhir.
Adapun saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Peserta diklat diharapkan untuk selalu meningkatkan sikap demokrasi yang
dimilikinya, karena sikap demokrasi merupakan sikap yang sangat penting yang
dapat menunjang pekerjaannya dimasing-masing unit kerjasanya,
2) Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa metode diskusi model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw secara efektif dapat meningkatkan sikap demokrasi peserta
Diklat Prajabatan di Provinsi Bali, sehingga diharapkan para fasilitator/pengajar
502
DAFTAR PUSTAKA
503
Abstraks
Tujuan penulisan artikel ini untuk mengkritisi kurikulum sekolah di Indonesia, yang selalu
fokus pada kognitif dan mengesampingkan aspek afektif, khususnya untuk kurikulum mata
pelajaran sejarah di SMA/SMK. Penulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif.Kearifan lokal yang dimiliki bangsa berupa nilai-nilai sosial dan karakter bangsa
akhirnya menghilang disebabkan tidak ada instrumen yang menjaga nilai-nilai dan karakter
bangsa. Padahal hal tersebut dapat dipertahankan melalui jalur pendidikan, terutama
melalui kurikulum. Mata pelajaran sejarah sebagai pembentuk karakter bangsa dan
nasionalisme selama ini juga difokuskan pada kognitif semata.
Permasalahan dan kritik terhadap kurikulum sejarah dalam kajian ini dibagi 4 hal, yakni
pertama, mata pelajaran sejarah hanya menekankan materi/ kognitif-center. Kedua,
Kurikulum sejarah di Indonesia, bersifat java centris. Ketiga, Sejarah didominasi materi
perang dan politik. Keempat, Permasalahan mata pelajaran sejarah dalam Kurikulum 2013.
Permasalahan tersebut dapat diatasi jika perancang kurikulum termasuk kurikulum sejarah
merubah midset dengan memperhatikan ranah afektif. Hal ini penting agar bangsa
Indonesia menemukan kembaki jati dirinya sebagai bangsa yang beragama, kerja-sama,
toleransi serta nilai-nilai penting lainnnya yang sekarang mulai ditinggalkan oleh bangsanya
sebagai dampak dari globalisasi dan modernisasi.
A. Pendahuluan
Masyarakat
Indonesia
selalu
mengidentifikasikan
dirinya
sebagai
bangsa
berbudaya, bermoral, beragama serta hal-hal positif lainnya jika dikaitkan dalam hubungan
bermasyarakat, berbangsa,bernegara. Sebaliknya, masyarakat Barat diidentifikasikan
sebagai bangsa individual, liberal, sekuler serta hal-hal negatif lainnya. Namun faktanya
muncul paradoksal dari hal di atas. Bangsa Indonesia sampai saat ini tak lepas dari
permasalahan sosial yang dikaitkan dengan budaya, moral serta religius. Fenomena
perilaku amoral yang melibatkan hampir semua status sosial dalam lapisan masyarakat
serta kasus-kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan pejabat yang dipastikan sebagai
orang-orang terdidik
504
505
Mata pelajaran sejarah merupakan salah satu bagian penting dalam perjalanan
kurikulum di Indonesia sejak masa kolonial sampai Masa Reformasi. Sebagai mata
pelajaran di sekolah, sejarah merupakan mata pelajaran yang tertua dibandingkan disiplin
ilmu sosial lainnya. Pendidikan sejarah diajarkan di sekolah sejak zaman penjajah, sesudah
kemerdekaan
hingga
Jepang,pembelajaran
sekarang.
pendidikan
Pada
masa
sejarah
tentu
Kolonial
Belanda
diorientasikan
dan
Pendudukan
kepada
kepentingan
dalam pelajaran
sejarah Indonesia juga dijadikan alat mendukung penguasa, hal ini jika menyangkut
masalah sejarah politik yang menyangkut kepentingan langsung kekuasaan, seperti zaman
Orde Baru.
Meski kurikulum mengalami dinamika sesuai perkembangan, mata pelajaran sejarah
tetap menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa sekolah. Walau peristiwa sejarah bersifat
dinamis mengikuti kronologi perjalanan waktu, namun pembelajaran sejarah di Indonesia
sering
kali
bersifat
statis.
Statis
disini
diartikan
mempertahankan
status
quo,
mempertahankan hal-hal yang sudah ada tanpa ada kreasi dan inovasi, meski kurikulum
telah berganti-ganti. Sebenarnya status quo dalam pembelajaran sejarah di dunia sebagai
hal yang wajar, hal seperti ini juga berlaku bagi negara-negara yang menganut sistem
pemerintahan
menjabarkan sejarah masing-masing negaranya dikenal adanya official history atau sejarah
resmi. Penulisan sejarah resmi sebagai produk pemegang kekuasaan sering dijadikan
rujukan dalam pembelajaran sejarah, apalagi menyangkut sejarah kontemporer. Official
history sangat efektif dalam membentuk legitimasi kekuasaan sekaligus public opinion dari
kekuasaan jaman tradisional (kerajaan-kerajaan zaman dulu) sampai
sejarah kekinian.
Apalagi jika menyangkut kekuasaan politik saat ini, sebagai instrumen pendukung penguasa
politik.
Pelbagai fungsi sejarah dapat dikatagorikan sebagai sejarah yang berfungsi secara
pragmatis, antara lain untuk legitimasi dan justitikasi eksistensi suatu bangsa, keduanya
menyangkut fungsi pragmatis. Di samping itu, ada dua fungsi lain yang mempunyai
relevansi bagi pembelajaran sejarah, yaitu fungsi genetis dan didaktis (Sartono Kartodirdjo,
1993:251).
Inti
pembelajaran
sejarah
adalah
bagaimana
menanamkan
nilai-nilai
kepahlawanan, kecintaan terhadap bangsa, jati diri dan budi pekerti kepada anak didik.
Buku pelajaran sejarah hendaknya disusun dengan ketentuan-ketentuan ilmiah yang
berlandaskan pada tujuan pendidikan nasional ( Hugiono & Poerwantana, 1987:90).
Berpijak dari hal tersebut, kita dapat melihat kurikulum pembelajaran di Inggris,
dimana kurikulum dalam ranah praktis diserahkan kepada otonomi sekolah kecuali mata
506
pelajaran sejarah. Khusus bidang sejarah, desain kurikulum dari tingkat teori dan content
merupakan kewenangan pemerintah pusat. Ini menunjukkan betapa pentingnya mata
pelajaran sejarah bagi negara tersebut. Sentralisasi kurikulum sejarah sebagai hal yang
wajar agar sejarah bukan merupakan pedang bermata dua atau
bipolar yang
menguntungkan sekaligus merugikan bagi negara, bangsa dan rakyat Inggris. Bagi negara
dengan sejarah yang panjang seperti Inggris, manajemen materi sejarah dimaksudkan agar
keagungan sejarah bangsanya tetap dapat memberi inspirasi dan motivasi kepada
rakyatnya dalam mempertahankan kebesaran bangsanya. Sebaliknya jangan sampai
menciptakan generasi yang melegitimasi konflik dan separatisme, karena secara historis
Britania Raya terdiri berbagai negara yaitu Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara.
B. Permasalahan Kurikulum Mata Pelajaran Sejarah
Kurikulum sejarah di Indonesia yang bersifat statis perlu dikritisi sekaligus dicari jalan
keluarnya, agar pembelajaran lebih bermakna. Selama ini materi kurikulum dikembangkan
berdasarkan pemikiran peristiwa penting dalam sejarah, dan bukan berdasarkan peristiwa
sejarah apa yang penting bagi siswa. Permasalahan dan kritik terhadap kurikulum sejarah
dalam kajian ini dibagi 4 hal, yakni pertama, mata pelajaran sejarah hanya menekankan
materi/ kognitif-center. Kedua, Kurikulum sejarah di Indonesia, bersifat java centris. Ketiga,
Sejarah didominasi materi perang dan
sejarah dalam Kurikulum 2013. Tulisan berikut bertujuan melihat mendalam tentang apa
sebenarnya yang terjadi dalam kurikulum sejarah di Indonesia sekaligus mencari solusi
dibalik permasalahan yang ada.
507
penjajah,
dalam
kontek
dipertanyakan,
saat
itu.
Namun
saat
ini
peran
menunjukkan kerapuhan. Konflik antar suku dan agama karena perbedaan nilai, dan
upaya beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan bukti
bahwa
kesatuan
nasional
masih
rapuh (Ibnu
Hizam:2007:288).
Meskipun pengajaran sejarah telah diberikan pada setiap tingkatan sekolah, namun
sekarang ini sikap nasionalis generasi muda dinilai oleh banyak pihak mengalami
penurunan.
Salah satu masalah yang kita hadapi dewasa ini adalah kemerosotan
patriotisme dan pudarnya rasa kebangsaan. Masalah tersebut erat kaitannya dengan
integritas nasional dan kepribadian nasional. Kepribadian nasional merupakan endapan
refleksi diri yang terus menerus, dari sikap mawas diri dan usaha merenungkan dirinya
sebagai bangsa (Soedjatmoko, 1985 : 10). Strategi pedagogis sejarah Indonesia sangat
lemah. Pendidikan sejarah di sekolah masih berkutat pada pendekatan chronicle dan
cenderung menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa. Pengaruh pembelajaran sejarah
nasional masih terus dipertanyakan keberhasilannya, mengingat fenomena kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia khususnya generasi muda makin hari makin diragukan
eksistensinya. Dengan kenyataan tersebut artinya ada sesuatu yang harus dibenahi dalam
pelaksanaan pendidikan sejarah (Magdalia Alfian, 2007:1-2).
Ketika Orde Baru berkuasa lebih dari 30 tahun dengan sistem pemerintahan represif,
menjadikan pelajaran sejarah sebagai salah satu komiditi untuk meligitimasi kekuasaan.
Imbasnya, official history yang digunakan sebagai rujukan dalam pembelajaran sejarah
sebagai sesuatu hal yang tidak boleh dibantah, apalagi jika terkait masalah sosial-politik
kontemporer dimana para jajaran birokrasi Orde Baru menjadi bagian penting dari pelaku
dan saksi sejarah yang ada. Dalam kekuasaan rezim otoriter di negara manapun di dunia,
pelajaran sejarah menjadi sesuatu yang beku dan menjemukan. Hal ini disebabkan , content
materi didominasi kepentingan kekuasaan. Materi pelajaran hanya berisi fakta, angka tahun,
tempat, tokoh-tokoh serta sesuatu yang bersifat hapalan semata. Doktrinasisi melalui dunia
pendidikan menjadi instrumen penting menciptakan generasi loyalis penguasa yang
bertujuan melanggengkan kekuasaan.
Ketika Orde Baru jatuh, angin segar diharapkan terjadi dalam banyak hal, termasuk
pembelajaran di sekolah . Reformasi memberi peluang luas bagi pengembang kurikulum
khususnya mata pelajaran sejarah, untuk merubah hal yang kaku dan beku menuju
pembelajaran yang dinamis, kreatif dan bermakna tanpa mengurangi nilai-nilai pembelajaran
508
yang selalu beririsan dengan tujuan pendidikan, dengan menggabungkan ilmu sejarah dan
nilai-nilai pendidikan. Munculnya era reformasi , yang membawa pengaruh demokrasi di
masyarakat ternyata belum banyak merubah mindset para pengembang kurikulum. Hal ini
tampaknya sebagai bagian dari psikologi comfort zone dan save zone dari para
pengembang kurikulum sejarah. Zona nyaman dan aman yang dilakukan dapat diartikan
sebagai menghindar dari resiko akademis jika harus meninjau ulang kurikulum mata
pelajaran sejarah peninggalan Orde Baru.
Sikap konservatif dalam pembaharuan kurikulum terletak juga pada satuan
pendidikan. Sekolah cenderung konservatif, karena salah satu fungsi yang penting adalah
mengkonversi,memelihara kebudayaan untuk diteruskan kepada generasi muda. Guru pada
umumnya juga berpegang pada tradisi dan pekerjaan rutin. Inovasi dianggap mengandung
hal-hal yang mempersulit pelaksanaannya (S. Nasution,1986: 155). Masa Reformasi
ditandai dengan dua perubahan kurikulum, yakni KBK-KTSP tahun 2006, dan yang terbaru
Kurikulum 2013 secara substansi tetap sama, materi sejarah hanya berisi peristiwa
kronologis yang kental dengan muatan kognitif semata. Di dalamnya memuat materi Sejarah
Nasional dari masa Praaksara (prasejarah) sampai sejarah kontemporer (kekinian).
Demikian juga jika menyangkut sejarah dunia hanya menyangkut kronologi fakta semata.
Menanggapi hal di atas,kita dapat merenungkan pendapat Hamid Hasan yakni
terdapat beberapa pemaknaan terhadap pendidikan sejarah. Pertama, secara tradisional
pendidikan sejarah dimaknai sebagai upaya untuk mentransfer kemegahan bangsa di masa
lampau kepada generasi muda. Dengan posisi yang demikian maka pendidikan sejarah
adalah wahana bagi pewarisan nilai-nilai keunggulan bangsa. Melalui posisi ini pendidikan
sejarah ditujukan untuk membangun kebanggaan bangsa dan pelestarian keunggulan
tersebut. Kedua, pendidikan sejarah berkenaan dengan upaya memperkenalkan peserta
didik terhadap disiplin ilmu sejarah. Oleh karena itu kualitas seperti berpikir kronologis,
pemahaman sejarah, kemampuan analisis dan penafsiran sejarah, kemampuan penelitian
sejarah, kemampuan analisis isu dan pengambilan keputusan (historical issues-analysis and
decision making) menjadi tujuan penting dalam pendidikan sejarah (Hamid Hasan, 2007 : 7).
Makna dari pendidikan sejarah ini, dapat ditafsirkan sebagai keseimbangan antara berbagai
ranah pembelajaran disamping pemahaman materi sejarah , tersampikan pesan yang
terkandung dari
nilai-nilai moral, etika serta nilai lainnya sebagai bagian dari tujuan
509
kebijaksanaan bagi orang yang mempelajarinya. Guna inspiratif terutama berfungsi bagi
usaha menumbuhkan harga diri
semacam ini sangat berarti dalam rangka pembentukan nation building. Di negara-negara
yang sedang berkembang, guna inspiratif sejarah menjadi bagian yang sangat penting,
terutama dalam upaya menumbuhkan kebanggaan kolektif. Guna rekreatif menunjuk
kepada nilai estetis dari sejarah, terutama kisah yang runtut tentang tokoh dan peristiwa.
Guna
instruktif
adalah
fungsi
sejarah
dalam
menunjang
bidang-bidang
studi
510
sejarah. Dengan demikian, pelajaran nilai, norma dan sikap sebagai bagian dari nurturant
effect. Mata Pelajaran Sejarah Indonesia sebagai instrumen pendidikan karakter bangsa dan
dituntut memiliki perspektif kebangsaan, mengembangkan historical thinking untuk
ditransformasikan kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Sejarah
merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan kesejarahan
dari serangkaian peristiwa yang dirancang dan disusun sedemikian rupa.
Dari gambaran tersebut, mata pelajaran sejarah tetap menganggap pelajaran nilai
dan sikap sebagai nurturant effect.
sejarah yang dapat diintegrasikan dengan pelajaran nilai dan sikap, maka hal tersebut dapat
menjadi bagian dari instructional effect. Aspek moral dan keteladanan juga merupakan nilai
yang amat penting dalam pembelajaran Sejarah Indonesia. Inilah keunikan mata pelajaran
sejarah jika dibandingkan dengan mata pelajaran rumpun ilmu-ilmu sosial lainnya.
Meski demikian, bukan berarti materi sejarah di sekolah ditoleransi untuk
menyimpang demi tujuan internalisasi nilai-nilai kebangsaan dan kemasyarakatan. Untuk hal
ini, perlu memperhatikan pendapat sejarawan Taufik Abdullah bahwa materi pelajaran di
sekolah, sejarah harus menghindarkan hal-hal sebagai berikut : pertama, sejarah sebagai
bahan pelajaran harus dihindarkan pada kecenderungan antikuriat, yaitu kisah masa lalu
dipelajari hanya sekedar pelipur lara atau bahan hafalan yang menjemukan. Kedua,
pelajaran sejarah sebaiknya menjauhkan diri dari keterangan sejarah (historical explanation)
yang ideologis tanpa pertanggungjawaban yang rasional (Taufik Abdullah 1996:11).
Dalam ranah penerapan kurikulum sejarah, merubah mindset pembelajaran di
Indonesia tidaklah mudah. Selama ini hampir semua materi mata pelajaran dalam setiap
kurikulum di Indonesia, menonjolkan kognitif dan bersandar kepada instructional effect.
Tampaknya hal ini bagian dari perjalanan sejarah kurikulum itu sendiri. Pascakonflik politik
internal di Indonesia, puncaknya peristiwa G-30-S/PKI muncul pemerintahan Orde Baru.
Pemerintahan baru ini menerapkan Kurikulum 1975 dengan mengedepankan Pancasila
sebagai ideologi , falsafat bangsa, mengedepankan persatuan bangsa, memahami
keanekaragaman budaya, serta karakter-karakter yang perlu dikembangkan dalam
masyarakat. Hal ini sebagai suatu yang sangat positif dalam menghadapi potensi tantangan
bangsa berikutnya.
Ciri yang menonjol dari pengetahuan materi dalam Kurikulum 1975 adalah
pengembangan dimensi nilai berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Sapriya, 2009:42). Hal
ini berubah tujuan pendidikan nasional di masa pemerintahan Soekarno yaitu melahirkan
warga-warga sosialis Indonesia yang susila, bertanggungjawab atas terselenggaranya
masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spritual maupun material dan yang
511
berjiwa Pancasila. Sebelumnya PKI berhasl melakukan infiltrasi dalam pendidikan nasional,
untuk menjauhkan materi spiritual yakni mata pelajaran agama dalam kurikulum pendidikan.
Hal ini terkait Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 pasal 2 ayat 3.......murid-murid berhak
tidak ikut (pelajaran agama) serta apabila wali murid dewasa menyatakan keberatannya.....
Namun intervensi komunisme dengan segera dapat diatasi melalui Ketetapan MPRS RI N0.
XXVII/MPRS/1960 Bab. I tentang agama , pasal 1, dengan kalimat Menetapkan
Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran di sekolah dari Sekolah Dasar sampai
universitas.
Namun dalam ranah implementasi kurikulum di pemerintahan Orde Baru tampaknya
terjadi misunderstanding terhadap frame kurikulum yang berkaitan dengan ranah sikap.
Orde Baru diwarnai semangat serba Pancasila, semangat ini ditekankan dalam bidang
politik
maupun
pendidikan.
Mata
Pelajaran
Pendidikan
Moral
Pancasila
(PMP)
mempengaruhi kenaikan kelas atau kelulusan sekolah ( Abd. Rachman Assegaf, 2005:86).
Dalam pelaksanaan kurikulum, terjadi pemahaman yang keliru terhadap ranah sikap,
seolah-olah dalam hal sikap spiritual dan sikap sosial, merupakan domain mata pelajaran
agama dan PMP. Mata pelajaran lainnya, termasuk guru-guru sejarah berpandangan bahwa
mereka hanya menyajikan kognitif dan psikomotorik. Pemahaman semacam ini telah
mendarah daging selama kurikulum Orde Baru dari
1994.
Sementara kurikulum di era reformasi yaitu Kurikulum 2006 dan KTSP juga kurang
menekankan aspek sikap dalam implementasi pendidikan dalam pembelajaran di sekolah.
Dalam kurikulum ini proses pembelajaran selalu berusaha memenuhi target, yakni
ketercapaian Kompetensi Dasar (KD) yang dikaitkan dengan materi pelajaran. Sebenarnya
para guru berusaha memperhatikan keseimbangan ranah yakni kognitif, afektif dan
psikomotor. Usaha tersebut seringkali dibatasi beban materi yang telah digariskan dalam
kurikulum. Pada akhirnya konsentrasi guru dan siswa hanya terfokus pada ranah kognitif
saja. Permasalahan tersebut terulang dan berulang meski kurikulum pendidikan dasar dan
menengah di Indonesia telah beberapa kali berganti.
2. Sejarah yang Jawa Sentris
Salah satu kritik tajam pembelajaran sejarah Indonesia adanya eksplotasi materi
yang Jawa Sentris. Kritikan ini disebabkan Sejarah Indonesia sangat identik dengan
sejarah di Jawa menyangkut
kontemporer, dari masa dahulu sampai saat ini. Kritik semacam ini banyak diungkapkan
para pendidik sejarah, terutama para guru di luar Jawa yang sering mendapat pertanyaan
512
kritis siswanya, mengapa yang diajarkan guru dan materi yang terdapat di buku pelajaran
sejarah, didominasi oleh sejarah Jawa saja. Jika demikian, siswa di luar Jawa tentunya
menjadi kehilangan sejarah di daerahnya masing-masing. Melihat fakta demikian,
bagaimana jawaban dan solusinya?.
Sejarawan pada umumnya tertarik pada peristiwa-peristiwa yang mempunyai arti
istimewa. Untuk itu, Reiner (1997:99) membedakan apa yang disebut occurrence dengan
event. Occurrence menunjuk pada peristiwa biasa, sedangkan event merupakan peristiwa
istimewa. Ada pula yang menggunakan istilah kejadian non historis untuk peristiwa biasa,
dan kejadian historis untuk peristiwa istimewa (Widja, 1988: 18). Terkadang batas antara
peristiwa biasa dan peristiwa istimewa bersifat subyektif, tergantung dari sudut pandang
masyarakat dan tentunya sejarawan. Hal ini disebabkan sering kali adanya keterkaitan
antara peristiwa biasa dan istimewa, sebagai bagian dari rekonstruksi yang utuh tentang
peristiwa masa lampau.
Terlepas adanya dikotomi tentang peristiwa tersebut, faktanya Jawa secara
geografis dan etnis menjadi bagian penting dari sejarah di Nusantara. Secara kronologis,
dimulai pada era prasejarah, penemuan situs manusia purba di Nusantara berada di Pulau
Jawa, demikian juga sesudahnya. Meski berakhirnya prasejarah di Nusantara ditandai
penemuan Prasasti Yupa dari Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu di wilayah Kalimantan,
ataupun munculnya pengaruh Islam pertama di Nusantara berada di Sumatera, dengan
adanya Perlak dan Samudera Pasai, namun dalam perkembangan sejarah di Nusantara
yang menyangkut segala periodisasi sejarah di Indonesia, Jawa sebagai pusat dari fakta
dan peristiwa sejarah itu sendiri.
Selanjutnya
di
masa kolonilaisme-imperialisme,
pergerakan
nasional,
masa
kemerdekaan dan sesudahnya sampai sejarah kontemporer episentrum fakta dan peristiwa
sejarah tidak bergeser dari Jawa. Jika membicarakan prasejarah di Indonesia, fakta tidak
dapat dibantah bahwa situs-situs Sangiran, Trinil, Wajak, Pacitan dan lainnya memang
berada di Jawa. Selanjutnya jika berbicara fakta sejarah Hindu-Budha, banyak peninggalan
besar kerajaan seperti Borobudur, Prambanan, Mataram Kuno, Majapahit. Hal seperti ini
akan berlanjut sebagaimana periodisasi dalam sejarah Indonesia, kronologis peristiwa
terkait dalam wilayah yang sama yaitu Pulau Jawa.
Dari fakta di atas, pandangan bahwa sejarah Indonesia cenderung jawa sentris
sebagai hal yang tidak terbantahkan. Namun membagi sejarah dalam ranah pemerataan,
agar sejarah daerah lain juga dipaksa diungkap, akan menyalahi makna dan hakekat ilmu
sejarah itu sendiri. Namun sebenarnya ada solusi yang dapat digunakan dalam memahami
permasalahan tersebut, yakni sejarah lokal. Adapun ruang lingkup sejarah lokal ialah
513
keseluruhan lingkungan sekitar yang bisa berupa kesatuan wilayah seperti desa,
kecamatan, kabupaten, kota, atau kesatuan wilayah lain seukuran itu beserta unsur-unsur
institusi sosial dan budaya yang berada lingkungan tersebut, seperti: keluarga, pola
pemukiman, mobilitas penduduk, kegotong-royongan, pasar, teknologi pertanian, lembaga
pemerintahan setempat, monumen, perkumpulan kesenian, dan lain-lain (Widja, 1991:1415).
Jika Sejarah Nasional memuat berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di suatu
tempat di wilayah Nusantara dan memiliki pengaruh terhadap kehidupan kebangsaan maka
Sejarah Lokal adalah suatu peristiwa sejarah yang terjadi di suatu tempat di wilayah
Nusantara dan memiliki pengaruh hanya di wilayah tersebut. Hal ini diperkuat dalam
Permendikbud no 59 tahun 2014 lampiran III Umum, bahwa Mata pelajaran Sejarah
Indonesia dikembangkan atas dasar : a. Semua wilayah/daerah memiliki kontribusi terhadap
perjalanan Sejarah Indonesia hampir pada seluruh periode sejarah; b. Pemahaman tentang
masa lampau sebagai sumber inspirasi, motivasi, dan kekuatan untuk membangun
semangat kebangsaan dan persatuan; c. Setiap periode Sejarah Indonesia memiliki
peristiwa dan atau tokoh di tingkat nasional dan daerah serta keduanya memiliki kedudukan
yang sama penting dalam perjalanan Sejarah Indonesia.
Dalam Permendikbud no 59 tahun 2014 lampiran III Peminatan dijelaskan Beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran Sejarah di SMA/MA adalah: Pertama.
Pembelajaran Sejarah didasarkan atas kesinambungan apa yang terjadi di masa lampau
dengan kehidupan masa kini, antara peristiwa sejarah tingkat nasional dan tingkat lokal, dan
pemahaman peristiwa sejarah di tingkat lokal berdasarkan keutuhan suatu peristiwa sejarah.
Kedua. Dalam mengembangkan pemahaman mengenai kesinambungan antara apa yang
terjadi di masa lampau dengan kehidupan masa kini, dalam tugas untuk setiap periode
sejarah peserta didik diarahkan agar mampu menemukan peninggalan fisik (terutama
artefak) dan peninggalan abstrak (tradisi, pikiran, pandangan hidup, nilai, kebiasaan) di
masyarakat yang diwarisi dari peristiwa sejarah pada suatu periode. Ketiga. Dalam
mengembangkan keterkaitan antara peristiwa sejarah di tingkat nasional dan tingkat lokal,
dalam tugas setiap peserta didik diarahkan untuk mengkaji peristiwa sejarah di daerahnya,
terutama peristiwa sejarah sejak masa pergerakan nasional, dan membuat analisis
mengenai keterkaitan dan sumbangan peristiwa tersebut terhadap peristiwa yang terjadi di
tingkat nasional.
Tampaknya dengan penjelasan demikian, dikotomi permasalahan pembelajaran
sejarah sudah dapat diatasi. Namun permasalahan ini sebenarnya baru diselesaikan dalam
514
kerangka besarnya saja. Berhasil tidaknya implementasi permasalahan ini, tergantung dari
guru-guru sejarah di lapangan, untuk berani mengembangkan materi pembelajaran, dan
tidak hanya bersandar buku-buku teks yang sudah ada. Jika buku-buku teks menjadi acuan
total dalam pembelajaran sejarah, maka roh sejarah lokal akan mati suri. Hal ini disebabkan
buku teks dirancang untuk pembelajaran sejarah dengan wilayah nasional.
Suatu catatan penting adalah materi sejarah lokal harus pula disajikan tidak dalam
perspektif ilmu sejarah tetapi dalam perspektif pendidikan. Oleh karena itu keterkaitan dan
penafsiran materi sejarah lokal jangan sampai menimbulkan konflik dengan kepentingan
sejarah nasional dan upaya membangun rasa persatuan, perasaan kebangsaan, dan
kerjasama antar daerah dalam membangun kehidupan kebangsaan yang sehat, cinta
damai, toleransi, penuh dinamika, kemampuan berkompetisi dan berkomunikasi. Arah
tafsiran sejarah lokal ditentukan dalam bentuk keterkaitan dengan sejarah nasional.
Kehidupan individual yang bukan menjadi kepedulian utama sejarah tetapi menjadi penting
bagi pendidikan sejarah diperlukan dalam membangun berbagai nilai positif pada diri
peserta didik. Ruang lingkup tema sejarah juga beragam dan tidak dibatasi pada tema
sejarah politik memberikan gambaran kehidupan masyarakat dan tokoh secara utuh dan
bagi peserta didik sebagai sesuatu yang isomorphic dengan apa yang mereka alami seharihari.
Posisi materi sejarah lokal yaitu peristiwa sejarah lokal tidak lagi sebagai sumber
semata tetapi juga menjadi objek studi sejarah peserta didik. Dalam kesempatan inilah
mereka belajar mengembangkan wawasan, pemahaman, dan ketrampilan sejarah. Mereka
dapat berhubungan langsung dengan sumber asli dan mengkaji sumber asli dalam suatu
proses penelitian sejarah. Mereka dapat melatih diri dalam penafsiran sejarah dan kalau pun
terjadi berbagai perbedaan di antar mereka maka itu akan memiliki nilai pendidikan yang
sangat tinggi. Lagipula, para sejarawan tidak pernah memiliki suatu pandangan dan tafsiran
yang sama terhadap suatu peristiwa sejarah.
Permasalahan besar yang dihadapi dalam mengembangkan materi sejarah lokal
dalam kurikulum pendidikan sejarah adalah ketersediaan sumber. Pendidikan sejarah,
sebagaimana pendidikan lainnya, tidak mungkin dapat dilakukan dengan baik apabila
sumber tidak tersedia. Tulisan- tulisan mengenai berbagai peristiwa sejarah lokal belum
banyak tersedia. Tentu saja ini tantangan bagi sejarawan dan guru sejarah untuk dapat
menghasilkan tulisan sejarah lokal sebagai dasar untuk mengembangkan materi pendidikan
sejarah lokal.
515
516
menjadi suatu kajian penting sehingga kajian sejarah di negara maju lebih bervariasi.
Sebaliknya, di negara berkembang, termasuk Indonesia permasalahan kekuasaan, politik
dan tokoh masih menjadi sesuatu yang seksi untuk dibahas. Keseksian masalah politik,
kekuasaan, perang dan tokoh masih mendominasi kajian sejarah sampai saat ini. Hal inilah
menjadikan sejarah dengan topik lain masih kurang diperhatikan. Sebagai referensi dapat
dibandingkan, materi
bersifat
multidimensional.
Dalam
membahas
Revolusi
Perancis
dalam
517
sejalan esensi pokok sejarah sebagai evolusi dan proses berkelanjutan. Model tematis
adalah model pembelajaran sejarah untuk mengembangkan pengertian mendalam periode
tertentu peristiwa sejarah, dilaksanakan dengan memilih tema-tema menarik, kontekstual,
dan aktual dikaji secara interdisipliner dengan multidimensional approach. Model garis
perkembangan khusus adalah model yang berangkat dari perpaduan model kronologid dan
tematis. Kronologis menjadi fokus utama dengan memperhatikan aspek-aspek tertentu, unik
dan strategis dari peristiwa sejarah. Model garis perkembangan khusus ini menelusuri
beberapa aspek khusus yang menarik saja dalam kehidupan. Model regresif kebalikan
model garis besar kronologis, dengan memanfaatkan situasi sekarang sebagai langkah awal
pengkajian sejarah. Permasalahan masa kini dikaji berdasarkan perspektif sejarah sebagai
background.
Dalam pembelajaran sejarah di Indonesia selama ini termasuk Kurikulum 2013,
fokusnya pada model kronologis semata. Pembelajaran sejarah akan menarik jika
mengunakan model lainnya berdasar karakter materi sehingga dapat menerapkan model
lainnya. Hal ini perlu dikritisi dan kemudian dievaluasi dan diubah.Variasi model
pembelajaran ini sangat penting agar pembelajaran sejarah lebih hidup, bermakna dan
kontektual.
Kurikulum
2013
muncul
Sejarah
Indonesia
(wajib/umum)
dan
Sejarah
(Peminatan)untuk SMA, namun hal tersebut juga perlu dikritisi dari sisi content yang
dikaitkan dengan tujuan pembelajaran sejarah.
KOMPETENSI INTI
1. Menghayati
dan
mengamalkan ajaran
agama
yang
dianutnya
KOMPETENSI DASAR
1.1.
1.2.
(K.I. 1 /Sikap
Spiritual)
Menghayati keteladanan
para pemimpin dalam
mengamalkan ajaran
agamanya.
Menghayati keteladanan
para pemimpin dalam
toleransi antar umat
beragama dan
mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari
518
KOMPETENSI INTI
1. Menghayati dan
mengamalkan ajaran
agama yang
dianutnya
(K.I. 1 /Sikap
Spiritual)
KOMPETENSI
DASAR
1.1 Menghayati
proses
kelahiran
manusia
Indonesia
dengan rasa
bersyukur.
1.2 Menghayati
keteladanan
para pemimpin
dalam
mengamalkan
KOMPETENSI INTI
KOMPETENSI DASAR
KOMPETENSI INTI
KOMPETENSI
DASAR
ajaran
agamanya.
2. Mengembangkan
perilaku (jujur, disiplin,
tanggung
jawab,
peduli, santun, ramah
lingkungan,
gotong
royong,
kerjasama,
cinta damai, responsif
dan pro-aktif) dan
menunjukan
sikap
sebagai bagian dari
solusi atas berbagai
permasalahan bangsa
dalam
berinteraksi
secara efektif dengan
lingkungan sosial dan
alam serta dalam
menempatkan
diri
sebagai
cerminan
bangsa
dalam
pergaulan dunia.
2.1.
2.2.
2.3.
Menunjukkan sikap
tanggung jawab, peduli
terhadap berbagai hasil
budaya pada zaman pra
aksara, Hindu-Buddha
dan Islam.
Meneladani sikap dan
tindakan cinta damai,
responsif dan pro aktif
yang ditunjukkan oleh
tokoh sejarah dalam
mengatasi masalah
sosial dan
lingkungannya.
Berlaku jujur dan
bertanggungjawab
dalam mengerjakan
tugas-tugas dari
pembelajaran sejarah.
2.Menghayati
dan
mengamalkan perilaku
jujur, disiplin, tanggung
jawab, peduli (gotong
royong,
kerjasama,
toleran, damai), santun,
responsif dan pro-aktif
dan menunjukkan sikap
sebagai bagian dari
solusi atas berbagai
permasalahan dalam
berinteraksi
secara
efektif
dengan
lingkungan sosial dan
alam
serta
dalam
menempatkan
diri
sebagai
cerminan
bangsa
dalam
pergaulan dunia.
(K.I. 2/Sikap Sosial)
3. Memahami,
menerapkan,
dan
menganalisispengeta
huan
faktual,
konseptual,
proseduraldalamilmu
pengetahuan,
teknologi,
seni,
budaya,
dan
humaniora
dengan
wawasan
kemanusiaan,
kebangsaan,
kenegaraan,
dan
peradaban
terkait
fenomena
dan
kejadian,
serta
menerapkan
3.1.
3.2.
3.3.
3.4.
Memahami dan
menerapkan konsep
berpikir kronologis
(diakronik), sinkronik,
ruangdan waktu dalam
sejarah.
Memahami corak
kehidupan masyarakat
pada zaman praaksara.
Menganalisis asal-usul
nenek moyang bangsa
Indonesia (Proto,
Deutero Melayu dan
Melanesoid).
Menganalisis
berdasarkan tipologi
hasil budaya Praaksara
Indonesia termasuk yang
519
3. Memahami
,menerapkan,
menganalisis
pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural
berdasarkan rasa
ingintahunya tentang
ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya,
dan humaniora dengan
wawasan
kemanusiaan,
kebangsaan,
kenegaraan, dan
peradaban terkait
penyebab fenomena
dan kejadian, serta
menerapkan
pengetahuan
2.1 Menunjukkan
sikap tanggung
jawab, peduli
terhadap
berbagai hasil
budaya zaman
praaksara,
Hindu-Buddha
dan Islam.
2.2 Meneladani
sikap dan
tindakan cinta
damai,
responsif dan
pro aktif yang
ditunjukkan
oleh tokoh
sejarah dalam
mengatasi
masalah sosial
dan
lingkungannya.
2.3 Berlaku jujur
dan
bertanggungjaw
ab dalam
mengerjakan
tugas-tugas
dari
pembelajaran
sejarah.
Manusia dan
Sejarah
3.1 Menganalisis
keterkaitan
konsep
manusia hidup
dalam ruang
dan waktu.
3.2 Menganalisis
konsep
manusia hidup
dalam
perubahan dan
keberlanjutan.
3.3 Menganalis
keterkaitan
peristiwa
Sejarah tentang
manusia di
KOMPETENSI INTI
KOMPETENSI DASAR
pengetahuan
prosedural
pada
bidang kajian yang
spesifik
sesuai
dengan bakat dan
minatnya
untuk
memecahkan
masalah.
(K.I. 3/Pengetahuan)
berada di lingkungan
terdekat.
......dan seterusnya
KOMPETENSI INTI
prosedural pada bidang
kajian yang spesifik
sesuai dengan bakat
dan minatnya untuk
memecahkan masalah
(K.I. 3/Pengetahuan)
KOMPETENSI
DASAR
masa lalu untuk
kehidupan
masa kini.
Sejarah Sebagai
Ilmu
3.4 Menganalisis
ilmu sejarah.
.....dan seterusnya
4.
Mengolah, menalar,
dan menyaji dalam
ranah konkret dan
ranah abstrak terkait
dengan
pengembangan dari
yang dipelajarinya di
sekolah secara
mandiri, dan mampu
menggunakan
metoda sesuai
kaidah keilmuan.
(K.I. 4/Ketrampilan)
4.1.
4.2.
Menyajikan informasi
mengenai keterkaitan
antara konsep berpikir
kronologis
(diakronik),sinkronik,
ruang dan waktu dalam
sejarah.
Menyajikan hasil
penalaran mengenai
corak kehidupan
masyarakat pada zaman
praaksara dalam bentuk
tulisan.
........dan seterusnya
4. Mengolah, menalar,
dan menyaji dalam
ranah konkret dan
ranah abstrak terkait
dengan
pengembangan dari
yang dipelajarinya di
sekolah secara
mandiri, dan mampu
menggunakan metoda
sesuai kaidah keilmuan
(K.I. 4/Ketrampilan)
4.1 Menyajikan
hasil kajian
tentang konsep
manusia hidup
dalam ruang
dan waktu,
dalam berbagai
bentuk
komunikasi.
4.2 Menyajikan
hasil telaah
tentang konsep
bahwa manusia
hidup dalam
perubahan dan
keberlanjutan,
dalam berbagai
bentuk
komunikasi.
........dan
seterusnya
Sebelum mengupas hal di atas, terlebih dahulu kita merenung kembali pendapat
Sartono Kartodirdjo bahwa fungsi didaktis pengetahuan sejarah ialah agar generasi yang
berikut dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman nenek moyangnya. Lagi
pula, agar suri tauladan mereka dapat menjadi model bagi keturunannya. Sejarah dianggap
sebagai perbendaharaan kebijaksanaan nenek moyang, termasuk nilai-nilainya. Selama ini,
dalam pembelajaran sejarah materi kurikulum dikembangkan berdasarkan pemikiran
peristiwa penting dalam sejarah, dan bukan berdasarkan peristiwa sejarah apa yang penting
bagi siswa.
Sebelum membahas materi atau pengetahuan sejarah, kita melihat Kerangka Dasar
dari Kerangka Inti 1 dan 2 untuk SMA/SMK kelas X (Sejarah Umum) dan Sejarah
(Peminatan) . Bagi pengembangan sejarah, Kerangka Dasar 1 dan 2 (Sikap Spiritual dan
Sosial) terlalu dangkal dan membatasi kebebasan dalam mengeksplore fakta sejarah yang
520
dikaitkan dengan permasalahan nilai spiritual dan sosial. Sikap Spiritual dan Sosial dalam
Kerangka Dasar di Mata Pelajaran Sejarah, perlu diperluas dan bersifat fleksibel. Hal ini
penting agar pembelajaran sejarah yang menyangkut afektif lebih variatif , sinkron dan
kontektual dengan materi kognitif yang diajarkan. Jika Kerangka Dasar Sikap Spiritual dan
Sosial bersifat dangkal seperti dalam Kurikulum 2013 tersebut, maka guru akan terpaku
pada yang tertulis dalam ranah afektif bahkan cenderung pada pemahaman afektif yang
dikognitifkan.
Selain itu, sistem evaluasi atau penilaian dalam Kurikulum 2013 untuk sikap spiritual
dan sosial sebagai sebuah penilaian yang ambigu. Kurikulum 2013 mempersyaratkan
penggunaan penilaian autentik (authentic assesment) termasuk dalam penilaian sikap
dengan menggunakan instrumen observasi, penialaian diri,
jurnal yang kemudian dituangkan dalam rapor siswa. Penilaian ranah afektif tidaklah
sesederhana sebagaimana dalam kurikulum baru tersebut. Siswa dalam ranah sikap yang
bersifat abstrak tidak dapat dievaluasi dan dinilai dengan cara sempit. Jika demikian, sikap
spiritual seperti taat beribadah, pandai bersyukur serta sikap sosial kerja sama , berdisiplin,
menghargai pendapat orang lain serta hal-hal lainnya, tumbuh dan berkembang hanya
karena keterpaksaan sebagai akibat dari penilaian
Pembentukan sikap spiritual dan sosial dalam Kurikulum 2013 bukan melalui hal yang alami
dan berdasar kesadaran. Jika model penilaian semacam ini diterapkan, dalam jangka waktu
tertentu akan membentuk generasi bangsa berkarakter hipokrit atau munafik.
Selanjutnya, Kerangka Dasar menyangkut materi pengetahuan bisa dianalisis bahwa
hal ini sebagai pengulangan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya yang lebih menekankan
penguasaan materi tanpa memperhatikan nilai-nilai tertentu yang ada dalam setiap materi
sejarah. Terlepas adanya kontroversi implementasi
kegiatan
mengamati,
menanya,
mengumpulkan
informasi/mencoba,
521
mengungkap fakta sejarah secara lebih bijak. Untuk menghindari materi sejarah berfokus
pada kognitif, perlu keberanian guru dalam menyajikan pembelajaran nilai dalam sejarah
serta penerapan nurturant effect. Pembelajaran sejarah di Indonesia juga perlu
mengembangkan sejarah lokal agar nilai-nilai local historis menjadikan siswa merasa
memiliki sejarah yang paling dekat dengan lingkungannya. Tantangan dari sejarah lokal
karena kajian sejarah lokal belum merata di semua daerah di Indonesia. Hal ini dapat diatasi
jika mulai saat ini kajian dan penelitian sejarah lokal dapat dikembangkan untuk mengiringi
materi sejarah nasional.
Di samping itu perlu adanya pendekatan multidimensional dalam penelitian sejarah.
Hal ini dimaksudkan agar kajian sejarah tidak didominasi politik , kekuasaan dan perang.
Variasi dalam penelitain sejarah seperti sejarah ketatanegaraan, sejarah sosial, sejarah
kebudayaan, sejarah perokonomian serta sejarah dalam dimensi lainnya akan menambah
khasanah materi sejarah di sekolah. Jika demikain, kritik terhadap materi sejarah yang
berfokus pada perang, akan bergeser bahwa sejarah berisi materi komplek yang tidak
522
menjemukan bagi siswa namun sangat berguna bagi perkembangan dan masa depan siswa
itu sendiri.
Selanjutnya, pendekatan saintifik dalam Kurikulum 2013 dengan tahap-tahap
kegiatan yang bertujuan menerapkan student center, sangat menarik dalam proses kegiatan
belajar mengajar. Namun pendekatan tersebut mempunyai beberapa kendala, karena tidak
semua materi mata pelajaran dapat diterapkan dengan pendekatan saintifik. Semua sangat
tergantung dari spesifikasi mata pelajaran, dan lebih khusus lagi spesifikasi materi yang
diajarkan ke siswa. Pendekatan saintifik telah merubah paradigma pembelajaran selama ini
menyangkut
pendekatan
pembelajaran,
strategi
pembelajaran,
model
dan
teknik
pembelajaran. Pendekatan saintifik belum mempunyai rujukan teoritis yang kuat dalam teori
pembelajaran.
Kendala lainnya, bahwa sarana dan prasarana sekolah di Indonesia, pada umumnya
belum maksimal mendukung pendekatan santifik dengan adanya buku-buku atau sumber
bacaan yang lengkap di perpustakaan, jaringan internat beserta perangkat pendukungnya
sebagai sumber belajar serta hal-hal teknis lainnya. Kesimpulannya, pendekatan saintifik
akan efektif diterapkan di sekolah-sekolah dengan fasilitas standar.
C.Kesimpulan
Masyarakat
Indonesia
selalu
mengidentifikasikan
dirinya
sebagai
bangsa
berbudaya, bermoral, beragama serta hal-hal positif lainnya jika dikaitkan dalam hubungan
bermasyarakat, berbangsa,bernegara. Kearifan lokal bangsa tidak dapat dipertahankan
disebabkan dibiarkan hidup liar dan akhirnya mati. Seharusnya hal tersebut dapat dipupuk
secara terus menerus melalui jalur formal yaitu pendidikan yang dituangkan dalam
kurikulum.
Salah satu mata pelajaran pembentuk utama karakter bangsa adalah mata pelajaran
sejarah. Peranan strategis pengajaran sejarah dalam rangka pembangunan bangsa
menuntut suatu penyelenggaran pengajaran sejarah sebagai pemahaman dan penyadaran,
sehingga mampu membangkitkan semangat pengabdian yang tinggi, penuh rasa tanggung
jawab serta kewajiban. Kepekaannya terhadap sejarah akan melahirkan aspirasi dan
inspirasi untuk melaksanakan tugasnya sebagai warga negara.
Di samping itu, kritik terhadap kurikulum sejarah di Indonesia yang java-centris akan
tereliminasi jika dimunculkan pembelajaran sejarah lokal sebagai pendamping sejarah
nasional. Kendala utama dari pembelajaran sejarah lokal adalah masih sedikitnya sumber
523
sejarah lokal. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi sejarawan dan guru-guru sejarah
untuk melakukan penulisan sejarah lokal di daerahnya masing-masing, yang dikaitkan
dengan sejarah nasional.
Kritik lain adalah sejarah hanya membahas politik dan perang. Hal ini juga dapat
diatasi jika dalam pembelajaran sejarah menggunakan model-model pembelajaran sejarah
yang bervariasi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah agar penelitian sejarah Indonesia
menekankan pada pendekatan multidisipliner. Kedudukan sejarah dan ilmu-ilmu sosial
(bahasa, geografi, ekonomi, sosiologi, ilmu politik, antropologi) adalah saling memerlukan
dan saling memberikan kontribusi.
Kurikulum 2013 sebagai kurikulum pembaharu dari kurikulum sebelumnya. Namun
untuk mata pelajaran sejarah ada beberapa hal yang diperbaharui, yakni perlunya model
pembelajaran yang variatif, bentuk penilaian sikap yang komprehensif, materi yang perlu
disederhanakan dan dikaitkan dengan model pembelajaran yang sesuai.
Dengan berbagai catatan di atas, maka kurikulum sejarah sebagai salah satu
instrumen penting dalam membentuk generasi bangsa dapat terwujud. Pergantian
kurikulum yang selalu terjadi sebagai bagian dari dinamika pendidikan akan bermanfaat
bagi setiap generasi.
Daftar Pustaka
524
_____. 1991. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Bandung :
Angkasa.
Isjoni. 2007. Pembelajaran Sejarah pada Satuan Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Magdalia Alfian .2007. Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi. Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah SeIndonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007
Numan Somatri. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Sapriya. 2009. Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Sartono Kartodirdjo.1993.Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Soedjatmoko. 1985. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES
S. Nasution. 1986. Pengembangan Kurikulum. Bandung: Penerbit Alumni
Taufik Abdullah . 1996. Di Sekitar Pengajaran Sejarah yang Refkletif dan Inspiratif. Dalam
Jurnal Sejarah Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 6 oleh Masyarakat Sejarawan
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Peraturan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum
2013 Sekolah Menengah Atas
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Pada Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 104 Tahun 2014 tentang Penilaian
Hasil Belajar oleh Pendidik
525
Abstract
Neuroscience is a field of science that studies the neuron system or a system of
neurons in the human brain. While andragogy is the art and science of teaching
adults. This paper will discuss the links between neuroscience and andragogy, or in
terms Clive Wilson known as Neuroandragogy, and how to apply them in adult
education. This paper is a scientific idea and is expected to provide input to the
facilitator, instructor and policy makers to formulate and define systems and models
of effective education for adults.
Keywords: Neuroscience, Andragogy, Neuroandragogy
PENDAHULUAN
Orang dewasa adalah orang yang telah memiliki banyak pengalaman,
pengetahuan, kecakapan dan kemampuan mengatasi permasalahan hidup secara
mandiri(Sudjarwo:2012). Keikutsertaan orang dewasa dalam belajar memberikan
dampak positif dalam melakukan perubahan hidup kearah yang lebih baik. Orientasi
belajar berpusat pada kehidupan, dengan demikian orang dewasa belajar tidak
hanya untuk mendapatkan nilai yang bagus akan tetapi orang dewasa belajar untuk
meningkatkan kehidupannya. Melalui proses belajar orang dewasa akan
mendapatkan pengalaman yang lebih banyak lagi, sehingga belajar bagi orang
dewasa lebih fokus pada peningkatan pengalaman hidup, tidak hanya pada
pencarian ijazah saja.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan pada pembelajaran orang dewasa
memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan pembelajaran pada anak-anak.
Andragogi merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang didasarkan pada
karakteristik khusus orang dewasa, khususnya dalam proses belajar. Andragogi
merupakan istilah yang diperkenalkan oleh alexander Kapp seorang guru Jerman,
dan dipopulerkan oleh Malcolm Knowles.
Teori belajar mengenai orang dewasa yang telah digunakan selama ini perlu
ditinjau kembali. Sebagian besar teori dikembangkan dari hasil penelitian pada
anak-anak dan binatang, sementara kesimpulannya hampir tidak memisahkan
antara pendidikan anak-anak dan dewasa. Andragogi yang digunakan di masa lalu
belum mempertimbangkan otak sebagai pusat pengendali aktifitas belajar.
526
Brookfield mengatakan masih belum jelas bagaimana orang dewasa belajar, dia
menanggapi bahawa teori selama ini tidak membahas semua aspek mengenai
pembelajaran orang dewasa. Fakta ilmiah menunjukkan bahwa Perubahan fisik dan
neurologis yang terjadi seiring bertambahnya usia akan mempengaruhi bagaimana
manusia belajar (Cercone, 2008).
Manusia adalah makhluk yang dibekali kemampuan berpikir untuk mengolah
informasi dan pengetahuan menjadi informasi baru dan pengetahuan baru. Proses
ini terus berlangsung dan berkelanjutan sehingga lahirlah produk kreatifitas
manusia. Hal inilah yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang
berperadaban tinggi dibandingkan makhluk hidup yang lain. Proses kelahiran
pemikiran kreatif manusia tidak bisa dipisahkan dengan organ tubuh paling unik
dalam dirinya, yang dikenal dengan otak.
Otak memiliki karakteristik unik, bukan hanya karena struktur dan fungsinya,
tetapi karena kemampuan sel-sel saraf untuk mengubah diri tak terbatas.
Ketakterbatasan kemampuan sel-sel saraf telah menjadi daya tarik dan menarik
minat para ilmuwan dan peneliti untuk terus menyingkap fakta terkait organ tubuh
paling urgen dalam berpikir ini.
Konsep Neurosains yang dijelaskan oleh Harun dalam Resti (2010)
merupakan suatu bidang kajian mengenai sistem saraf yang terdapat di dalam otak
manusia yang berhubungan dengan kesadaran dan kepekaan otak dari segi biologi,
persepsi, ingatan, dan kaitannya dengan pembelajaran.
Profesor Marian Diamond dalam Rakhmat (2005) lebih lanjut
mengungkapkan bahwa otak dapat berubah secara positif jika dihadapkan pada
lingkungan yang diberi rangsangan, dan otak akan dapat menjadi negatif jika tidak
diberi rangsangan. Pemikiran inilah yang mendasari teori perkembangan otak,
bahwa otak orang dewasa memiliki potensi untuk terus berkembang, tidak kaku,
statis dan cenderung menutun seiring dengan pertambahan usia.
Neurosains dan Andragogi selama beberapa dekade terakhir telah
berkembang sebagai bidang kajian dan terapan yang berdiri sendiri. Clive Wilson
adalah orang pertama yang mencoba mensintesis dua bidang kajian ini, dan
selanjutnya dikenal dengan istilah Neuroandragogi. Neuroandragogi didasarkan
pada konsep bahwa terdapat perbedaan cara kerja otak orang dewasa dan anakanak, hal ini menyebabkan perbedaan pendekatan pembelajaran yang digunakan.
Masalah yang dikaji dalam tulisan adalah (1) Bagaimana konsep Neurosains
dan andragogi? (2) bagaimana Kinerja otak orang dewasa? (3) Bagaimana konsep
neuroandragogi? (4) dan bagaimana penerapan neuroandragogi pada pendidikan
orang dewasa?
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan yang diharapkan dalam tulisan
ini, yaitu: (1) menjelaskan konsep neurosains dan andragogi, (2) menjelaskan
527
kinerja otak orang dewasa, dan (3) menjelaskan konsep neuroandragogi, (4)
menjelaskan penerapan neuroandragogi pada pendidikan orang dewasa.
PEMBAHASAN
Konsep Andragogi dan Neurosains
Sifat belajar orang dewasa bersifat subyektif dan unik, hal itulah yang membuat
orang dewasa berupaya semaksimal mungkin dalam belajar, sehingga apa yang menjadi
harapan dapat tercapai. Andragogi lahir dari dasar pemikian bahwa orang dewasa memiliki
karakteristik sendiri dalam belajar, sehingga teori-teori mengenai pembelajaran yang selama
ini berlaku untuk anak-anak dan dewasa, tidak relevan untuk digunakakan khusus pada
pendidikan orang dewasa.
Menurut Knowles dalam Sudjarwo (2012), Andragogy is therefore, the art and
science of helping adults learn. Andragogi adalah suatu ilmu dan seni dalam membantu
orang dewasa belajar. Dilihat dari segi epistemologi, andragogi berasal dari bahasa Yunani
dengan akar kata:Aner yang artinya orang untuk membedakannya dengan paed yang
artinya anak.
mengatakan bahwa semula ia mendefinisikan andragogi sebagai seni dan ilmu membantu
orang dewasa belajar.
Kajian dan penelitian tentang Andragogy sebagaimana halnya neurosains telah
menarik perhatian peneliti dan ilmuwan pendidikan. Alexander Kapp, seorang guru di
Jerman adalah orang pertama yang memperkenalkan istilah andragogy, Kapp mulai
memperkenalkan istilah andragogy pada tahun 1833. Pada abad 18 sekitar tahun 1833:
Alexander Kapp menggunakan istilah pendidikan orang dewasa unutk menjelaskan teori
pendidikan yang dikembangkan dan dilahirkan ahli-ahli filsafat seperti plato. Kapp
menekankan pentingnya andragogy dalam pendidikan orang dewasa. Istilah ini telah
digunakan selama lebih dari 85 tahun.
Demikian halnya ahli pendidikan orang dewasa bangsa Belanda Gernan Enchevort
membuat studi tentang asal mula penggunaan istilah andragogy. Setelah era Kapp, pada
abad 19 tepatnya tahun 1919, Adam Smith memberi sebuah argumentasi tentang
pendidikan untuk orang dewasa pendidikan juga tidak hanya untuk anak-anak, tetapi
pendidikan juga untuk orang dewasa. Tiga tahun setelah Adam Smith tepatnya tahun 1921:
Eugar Rosentock menyatakan bahwa pendidikan orang dewasa menggunakan guru khusus,
metode khusus dan filsafat khusus.
528
Pada tahun 1926: The American For Adult Education mempublikasikan bahwa
pendidikan orang dewasa mendapat sumbangan dari: 1) Aliran ilmiah seperti Edward L
Thorndike. Dan 2) Aliran artistic seperti Edward C Lindeman. Edward Lendeman
menerbitkan buku Meaning of adult education yang pada intinya buku tersebut berisi
tentang : 1) Pendekatan pendidikan orangd ewasa dimulai dari situasi, 2) Sumber utama
pendidikan orang dewasa adalah pengalaman belajar ia juga menyatakan ada 4 asumsi
utama pendidikan orang dewasa, yaitu orang dewasa termotivasi belajar oleh kebutuhan
pengakuan, 2) orientasi orang dewasa belajara dalah berpusat pada kehidupan, 3)
pengalaman adalah sumber belajar, 4) pendidikan orang dewasa memperhatikan
perbedaan bentuk, waktu, tempat dan lingkungan. Pada perkembangan selanjutnya Edward
C. Lindeman menerbitkan Journal of adult Education.
Pada tahun 1957 publikasi andragogi di Eropa diawali
tahun
1990an
barulah
pertama
kalinya
dilakukan
penelitian
yang
529
530
atau minggu, bahkan bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama. Penemuan ini
membantah pendapat yang menyatakan bahwa otak kita akan menjadi kaku dan tidak
berkembang seiring dengan perkembangan usia.
2) Neurodevelopment dan otak orang dewasa
Ahli saraf menemukan bahwa otak memiliki sifat fleksibel, termasuk pada otak
orang dewasa. Jaringan saraf baru akan tumbuh sebagai hasil dari stimulasi, hal ini
terjadi sampai usia tua. Selain kemunculan jaringan/sirkuit baru, otak juga mengalami
pemangkasan jaringan. Jaringan saraf akan bertahan jika sering digunakan, karena itu
jaringan baru yang koneksinya lemah membutuhkan aktivitas untuk bisa bertahan. Jika
tidak, maka gerakan akson akan melambat atau merosot dan menyebabkan neuron
memulai denan pemula yng baru. Otak yang seirng digunakan akan memumgkinkan
terjadinya sinapsis, dan yang jarang digunakan akan memungkinkan kehilangan sinapsis
yang sudah ada (cercone, 2006).
3) Neurogenesis dan otak orang dewasa
Hasil penelitian menunjukkan lingkungan yang diperkaya sangat mempengaruhi
otak yang belajar. Hill dalam Wilson (2006) mengatakan selama hidup rentang otak terus
berubah dan mereorganisasi dalam menanggapi rangsangan lingkungan. Kegiatan otak
dikendalikan oleh genetika, pengembangan, pengalaman, budaya, lingkunan, dan
emosi. Hal inilah yang terus merangsang otak untuk berubah.
Sebuah penelitian pada tikus dewasa yang hidup pada lingkungan yang
diperkaya menunjukkan bahwa pada tikus dewasa tersebut tumbuh neuron baru lebih 60
%, hal ini berpengaruh baik terhadap proses pembelajaran. Hasil yang sama juga
diperoleh pada orang dewasa berusia lima puluh hingga tujuh puluh tahun. Pertumbuhan
baru ini ditemukan pada hyppocampus dan daerah olfactory bulb, dua bidang utama
untuk belajar dan memori (Wilson, 2006). Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa untuk
pertumbuhan maksimum otak kita harus memiliki lingkungan yang diperkaya,
penggunaan sinaptik ditentukan oleh lingkungan.
4) Neuroplasisitas dan otak orang dewasa
Hebb (1949) seorang ahli terbaik
bahwa otak memiliki kemampuan untuk berubah karena terjadi perubahan pada tingkat
sel saraf. Perkembangan otak terjadi melalui perubahan koneksi pada tingkat sinaps.
531
Jika beberapa sel saraf menerima stimulus pada saat yang sama akan menghasilkan
potensi aksi. Sel saraf itu kemudian menyebar dan menjadikan lebih banyak koneksi
sinaptik. Cara lain untuk melihat neuroplatisitas menurut howard adalah kemampuan
otak untuk belajar, mengingat, menngorganisir ulang, dan memulihkan dari kerusakan
Konsep Neuroandragogi
Blomm dan kawan-kawan dalam wilson (2012) mengemukakan tentang tiga tahap
perkembangan saraf , tahap pertama pada masa kanak-kanak, tahap kedua pada tahap
remaja, dan tahap ketiga masa dewasa. Hasil kajian tentang otak orang dewasa dan
fungsinya kognitifnya memungkinkan bagi kita untuk mengembangkan
paradigma baru
pendidikan orang dewasa. Hasil analisis beberapa praktisi berdasarkan fakta ilmiah dan
penerapan di lapangan menunjukkan bahwa Neurosains dan andragogi bisa disintesiskan
dalam satu konsep yang dikenal dengan neuroandragogi.
Prinsip neuroandragogi adalah sebagai berikut:
1)
Otak orang dewasa berpotensi untuk terus tumbuh dan berkembang. Di masa lalu
banyak literatur mengungkapkan bahwa orang dewasa mengalami pelemahan fungsi
otak seiring bertambahnya usia. Teori baru mengenai plastisitas otak memberi harapan
kepada kita bahwa otak orang dewasa memiliki potensi untuk terus berkembang dan
mengalami pertumbuhan.
2)
Otak orang dewasa yang sering digunakan akan memungkinkan terbentuknya jaringan
sel baru, sedangkan otak yang jarang digunakan maka sirkuit sel yang terbentuk
perlahan mengabur dan perlahan hilang.
3)
Pembelajaran orang dewasa dipengaruhi oleh pengalaman hidup, hal ini dapat
dilakukan melalui melakukan kebiasaan baru, penyesuaian diri dengan kondisi baru,
dan belajar cara-cara baru. Semakin tua otak, pengembangan mental juga semakin
khas. Hal inilah yang Membuat kita memahami dan belajar hal-hal baru dengan cara
berbeda. Orang Dewasa sering menunjukkan rasa frustasi terhadap pelajaran yang
susah dipahami atau menunjukkan ketidaktertarikan karena pengalaman belajar yang
diberikan tidak terhubung dengan pengalaman hidup mereka.
4)
Otak orang dewasa akan berkembang jika tumbuh dalam lingkungan yang diperkaya
dan bersifat menantang.
532
penampilan dinding kelas yang bermakna, pemanfaatan ruang kelas yang lebih bervariasi
(4) menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi peserta (5) menerapkan
strategi dan materi pembelajaran yang selalu terbarukan. Orang dewasa harus didorong
untuk mengelola informasi baru yang diperoleh untuk menjaga pertumbuhan sel baru.
Memori jangka panjang sangat bergantung pada kelangsungan hidup sel baru yang
533
terbentuk. Sel baru yang terbentuk akan mati dalam hitungan minggu jika tidak digunakan.
Menurut Hyland dalam wilson (2012) Orang dewasa membutuhkan kegiatan-kegiatan yang
akan membuat sel-sel hidup, belajar bahasa baru atau musik merupakan contoh yang baik
bagaimana kenangan baru disimpan atau hilang karena pemangkasan sel baru.
PENUTUP
Hasil pengkajian dan penelitian mengenai bagaimana otak belajar telah melahirkan
teori dan praktik dalam pendidikan. Neuroandragogi merupakan salah satu bentuk sintesis
antara konsep neurosains dan andragogi. Neuroandragogi merupakan konsep pendidikan
orang dewasa yang didasarkan pada bagaimana otak orang dewasa bekerja secara alami.
Prinsip konsep neuroandragogi adalah (1) otak orang dewasa berpotensi untuk terus
tumbuh dan berkembang (2) Otak orang dewasa yang sering digunakan akan
memungkinkan terbentuknya jaringan sel baru, (3) Pembelajaran orang dewasa dipengaruhi
oleh pengalaman hidup, (4) Otak orang dewasa akan berkembang jika tumbuh dalam
lingkungan yang diperkaya dan bersifat menantang.
Strategi pembelajaran utama yang dapat dikembangkan dalam menerapkan
neuroandragogi
pada
pendidikan
orang
dewasa
yaitu:
(1)
menciptakan
sistem
534
DAFTAR PUSTAKA
Jensen, E. (2008). Brain- Based Learning, Pembelajaran Berbasis
Kemampuan Otak. Cara baru dalam Pembelajaran dan Pelatihan. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar
Cercone, K. (2008). Characteristics of adult learners with implications for online
learning design. AAACE Journal. 16(2). 137-159.
Cercone, K. (2006). Brain Based Learning. In E. K. Sorensen and D. O.
Murchu, Enhancing Learning Through Technology. Idea Group, Inc.
Mandar, S. D. Peranan Cognitive Neurosains dalam Dunia Pendidikan. 7
Januari 2015.http://www.slideshare.net/larasratih/cognitive-neuroscience-danimplementasinya-dalam-pembelajaran.
Rakhmat, J. (2010). Belajar Cerdas, Kaifa Learning, Jakarta
Resti, V. D. A. Kajian Neurosains dalam Pembelajaran Biologi Abad XXI. 7
Januari 2015. http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/prosbio/article/view/3155
Sujarwo. Strategi Pembelajaran Orang Dewasa (Pendekatan Andragogi). 14
Januari
2015.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Sujarwo,%20M.Pd./Mak
alah-Strategi%20Pembelajaran%20Orang%20dewasa%20(Repaired). pdf
Pasiak, T. (2007). Belajar Memakai Otak: Sebuah Pengantar (Pengantar buku
Brain Based Teaching), Kaifa Learning, Jakarta
Wilson, C. A. (2006). Neuroandragogy: Making the case for a Link with
Andragogy and Brain-Based Learning
535
Abstrak
Penyelenggaraan pelatihan merupakan salah satu pelayanan yang diberikan oleh
institusi penyelenggara pelatihan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia
yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, sikap dan perilaku. Suatu pelatihan
dikatakan efektif apabila mampu menghasilkan perubahan yang signifikan bagi yang
dilatih (Munir, 2004). Untuk itu suatu penyelenggaraan pelatihan perlu penataan
yang lebih jelas agar menghasilkan keluaran yang bermutu.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan (KepMenkes) Nomor 725 Tahun
2003, tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Bidang Kesehatan, telah
disusun standar penyelenggaraan pelatihan, termasuk didalamnya pelu dilakukan
pengendalian mutu terhadap proses penyelenggaraan pelatihan.
Penelitian deskriptif kuantitatif ini merupakan analisis pengendalian mutu terhadap
penyelenggaraan pelatihan tenaga kesehatan menggunakan Basic Quality Tools
untuk Statistical Quality Control.
Hasil analisis checklist dan Histogram diketahui, ada 6 (enam) variabel pengamatan
yang menyimpang pada proses persiapan, sedangkan terhadap proses
pembelajaran dan evaluasi hasil belajar, menunjukkan ada 5 (lima) variabel
pengamatan yang tidak sesuai atau terjadi penyimpangan mutu. Hasil analisis
dengan diagram pareto untuk membantu menemukan permasalahan yang
terpenting untuk segera diselesaikan, dapat diketahui bahwa penyimpangan mutu
atau ketidaksesuaian terhadap pelaksanaan rapat tim dan pembagian tugas tim
relatif lebih penting untuk segera dikendalikan. Sedangkan hasil analisis diagram
pareto terhadap pengendalian mutu proses pembelajaran dan evalusasi hasil belajar
menunjukkan bahwa, variabel sequensi penyampaian materi dan ketidaksesuaian
metode pembelajaran lebih dominan dan relatif lebih penting untuk dikendalikan.
Hasil analisis fishbone chart, menunjukan faktor Manusia dan Metode lebih dominan
dalam penyebab dari ketidaksesuaian atau penyimpangan mutu.
Kata kunci : Basic Quality Tools, Statistical Quality Control, Fishbone Chart
536
Pendahuluan
Saat ini setiap organisasi atau instansi penyelenggara pelayanan publik
dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu kepada pelanggan.
Pelayanan publik merupakan kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
dan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik (UU No 25 Tahun 2009).
Mutu suatu pelayanan sangat ditentukan oleh perencanaan mutu yang baik,
pengendalian mutu yang tepat, dan peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Pengendalian mutu merupakan salah satu fungsi dari manajemen mutu, yang
merupakan suatu proses pengawasan yang dilakukan oleh internal organisasi itu
sendiri secara berkesinambungan, sistematis, dan obyektif untuk memantau dan
menilai barang, jasa, maupun pelayanan yang dihasilkan dibandingkan dengan
standar yang telah ditetapkan (Juran, 1992).
Penyelenggaraan pelatihan merupakan salah satu pelayanan yang diberikan
oleh institusi penyelenggara pelatihan untuk meningkatkan mutu sumber daya
manusia yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, sikap dan perilaku. Suatu
pelatihan dikatakan efektif apabila mampu menghasilkan perubahan yang signifikan
bagi yang dilatih (Munir, 2004). Untuk itu suatu penyelenggaraan pelatihan perlu
penataan yang lebih jelas agar menghasilkan keluaran yang bermutu.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan (KepMenkes) Nomor 725
Tahun 2003, tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Bidang Kesehatan, telah
disusun standar penyelenggaraan pelatihan, termasuk didalamnya pelu dilakukan
pengendalian
mutu
penyelenggaraan
terhadap
pelatihan
proses penyelenggaraan
bidang
kesehatan
ini
juga
pelatihan.
Pedoman
menjadi
pedoman
537
Kalimantan
Tengah,
dengan
tujuan
untuk
mengetahui
efektifitas
Metode
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif kuantitatif untuk mendapatkan
gambaran
mengenai
karakteristik
data
berupa
hasil
pengendalian
mutu
538
Hasil
Pelaksanaan
kesehatan
yang
pengendalian
dilaksanakan
di
mutu
penyelenggaraan
Bapelkes
Provinsi
pelatihan
Kalimantan
tenaga
Tengah,
menggunakan check list atau daftar tilik berdasarkan pedoman dan standar
pengelenggaraan pelatihan bidang kesehatan yang dikeluarkan oleh Pusdiklat
Aparatur Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI tahun 2012.
Proses pengendalian mutu dimulai dari persiapan penyelenggaraan
pelatihan, persiapan administrasi, proses pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar.
Dalam persiapan penyelenggaraan pelatihan ada 22 (dua puluh dua) variabel
pengamatan, untuk persiapan administrasi pelatihan ada 26 (dua puluh enam)
variabel pengamatan, dan pada proses pembelajaran serta evaluasi hasil belajar
ada 16 (enam belas) variabel pengamatan.
Hasil analisis check list terhadap 22 (dua puluh dua) variabel pengamatan dari 9
(sembilan) jenis pelatihan yang dilaksanakan dalam periode Januari Juli 2015,
untuk mengetahui seberapa banyaknya ketidaksesuaian dan penyimpangan mutu
dari kegiatan persiapan penyelenggaraan pelatihan dibandingkan dengan pedoman
dan standar yang ditetapkan (Tabel 1), ada 6 (enam) variabel pengamatan yang
menyimpang.
539
No
Variabel
Pengamatan
Ketidaksesuaian
Frekuensi
IIII III
IIII III
IIII II
IIII
IIII
IIII
(Sumber : Laporan Audit Mutu Bapelkes Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015)
540
Hasil
analisis
diagram
pareto
terhadap
pengendalian
mutu
persiapan
541
Hasil analisis check list pengendalian mutu terhadap 16 (enam belas) variabel
pemngamatan proses pembelajaran dan evaluasi hasil belajar (Tabel 2),
menunjukkan ada 5 (lima) variabel pengamatan yang tidak sesuai atau terjadi
penyimpangan mutu. Variabel pengamatan yang frekuensi kejadian penyimpangan
yang tertinggi adalah penyimpangan mutu terhadap sequensi penyampaian materi
sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Tabel 2. Analisis Check list Pengendalian Mutu Proses Pembelajaran dan Evaluasi Hasil
Belajar
No
Variabel
Pengamatan
Ketidaksesuaian
Frekuensi
IIII II
IIII
IIII
4 Evaluasi Sessi
III
II
542
Gambar 3. Grafik Frekuensi Ketidaksesuaian Proses Pembelajaran dan Evaluasi Hasil Belajar
Hasil analisis diagram pareto terhadap pengendalian mutu proses pembelajaran dan
evalusasi hasil belajar (Gambar 4), menunjukkan bahwa dari 5 (lima) variabel
pengamatan yang tidak sesuai atau terjadi penyimpangan mutu, variabel sequensi
penyampaian materi dan ketidaksesuaian metode pembelajaran lebih dominan dan
relatif lebih penting untuk dikendalikan.
Gambar 4. Diagram Pareto Analisa Pengendalian Mutu Proses Pembelajaran dan Evaluasi Hasil Belajar
543
EFFECT
CAUSE
kurang kepercayaan
pimpinan
METODE
MATERIAL
sebagian
anggota tim
belum dilatih
SOP ada tapi
tidak
disosialisasikan
Pengawasan kurang
koordinasi rendah
terburu-buru
tidak ada
dokumen
tertulis
kurang kepercayaan
pimpinan
pembagian tugas
tidak merata
Checklist
pelaksanan tugas
tidak ada
Pembentukkan susunan
kepanitiaan lemah
pengarahan kerja kurang
sebagian anggota
tim belum dilatih
kurang
pendelegasian
terburu-buru
tidak semua
JUKNIS pelatihan
tersedia
jumlah tenaga
terbatas
Ketidaksesuaian
(Rapat Persiapan
& Pembagian
Tugas)
yang mengerjakan
orangnya itu-itu saja
beban kerja ganda
terjebak rutinitas
sebagian anggota
tim belum dilatih
MACHINE/TOOLS
yang mengerjakan
orangnya itu-itu saja
analisis
diagram
MAN
Pareto
perlu
kurang kepercayaan
pimpinan
diidentifikasi
penyebab
potensial
dengan
hubungan antara cause dan effect, yang ditunjukkan dengan garis. Effect
(ketidaksesuaian / penyimpangan mutu) diletakkan disebelah kanan, sedangkan
cause (penyebab) diletakkan disebelah kiri.
Gambar 5. Analisis Fishbone Chart terhadap Penyimpangan Mutu Persiapan Penyelenggaraan Pelatihan
544
Kategori
Faktor Penyebab
Akar Permasalahan
Metode
1. Rendahnya pengawasan;
2. Pembagian tugas tidak merata;
3. Koordinasi rendah;
4. Pembentukkan susunan
kepanitiaan yang kurang tepat
Material
Machine / Tools
Manusia (MAN)
Pembahasan
Hasil dari analisis univariat dengan menggunakan checklist dan histogram,
diketahui bahwa terhadap 22 (dua puluh dua) variabel pengamatan dari kegiatan
persiapan penyelenggaraan pelatihan dibandingkan dengan pedoman dan standar
yang ditetapkan, ada 6 (enam) variabel pengamatan yang menyimpang.
545
pembagian tugas tim relatif lebih penting untuk segera dikendalikan. Sedangkan
hasil analisis diagram pareto terhadap pengendalian mutu proses pembelajaran dan
evalusasi hasil belajar menunjukkan bahwa dari 5 (lima) variabel pengamatan yang
tidak sesuai atau terjadi penyimpangan mutu, variabel sequensi penyampaian materi
dan ketidaksesuaian metode pembelajaran lebih dominan dan relatif lebih penting
untuk dikendalikan.
Berdasarkan analisis diagram pareto, dicari akar penyebab penyimpangan
mutu dengan fishbone chart, untuk mempermudah dan mempertajam pengambilan
keputusan. Hasil analisis fishbone chart, seperti diketahui (Tabel 4) dijelaskan
bahwa terjadinya penyimpangan mutu disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1) Faktor Manusia (MAN)
Beban kerja ganda pada beberapa staf, sehingga menyebabkan beberapa
tugas dikerjakan oleh staf yang itu-itu saja atau menimbulkan ketergantungan
pada beberapa staf sedangkan staf yang lain tidak terlibat aktif; kemudian
terburu-buru dalam mengerjakan tugas sehingga banyak dokumen tertulis yang
seharusnya ada tidak tersedia dan ini menyebabkan terjebak dalam rutinitas
yang salah.
Akar permasalahan dari faktor manusia ini, disebabkan lebih pada banyak staf
yang tidak bisa diandalkan karena tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan
pengelolaan diklat, yang bisa diperoleh melalui pelatihan pengelolaan diklat.
Keandalan staf akan muncul apabila yang bersangkutan sudah memperoleh
pengetahuan dan ketrampilan melalui pelatihan pengelolaan diklat, sehingga
dapat meningkatkan kepercayaan pimpinan dan pendelegasian tugas yang
tepat.
2) Faktor Metode
546
meningkatkan
kepercayaan
pimpinan
dalam
pembagian
serta
3) Faktor Material
Tidak adanya dokumen tertulis, hal ini juga akan bisa dikendalikan apabila
pembagian tugas yang merata dan pendelegasian tugas yang tepat, yang
ditunjang dengan meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan staf yang sudah
dilatih.
Kesimpulan
Pengendalian mutu pelatihan tenaga kesehatan dengan Basic Tools untuk
Statistical Quality Control sangat membantu Bapelkes Provinsi Kalimantan Tengah
dalam memperbaiki mutu dan produktivitas.
547
pembagian tugas tim relatif lebih penting untuk segera dikendalikan. Sedangkan
hasil analisis diagram pareto terhadap pengendalian mutu proses pembelajaran dan
evalusasi hasil belajar menunjukkan bahwa dari 5 (lima) variabel pengamatan yang
tidak sesuai atau terjadi penyimpangan mutu, variabel sequensi penyampaian materi
dan ketidaksesuaian metode pembelajaran lebih dominan dan relatif lebih penting
untuk dikendalikan.
Hasil analisis fishbone chart, menunjukan faktor Man dan Metode lebih dominan
dalam penyebab dari ketidaksesuaian atau penyimpangan mutu.
Saran
Faktor manusia dan metode yang perlu menjadi perhatian, terutama masih
banyak staf yang belum pernah dilatih pengelolaan diklat. Hal pertama yang dapat
dilakukan oleh pimpinan adalah dengan melaksanakan in house training atau on the
job training kepada staf yang belum pernah dilatih pengelolaan diklat dengan
memanfaatkan tenaga widyaiswara dan staf yang sudah dilatih.
Ketersediaan tools evaluasi untuk menilai kinerja staf dalam persiapan
penyelenggaraan pelatihan sangat penting, jadi ini menuntut kesiapan pimpinan
untuk membentuk tim penyusunan tools evaluasi, berdasarkan spesifikasi tugas
pokok pekerjaan staf.
Pertemuan rutin perlu dijadwalkan untuk menggali permasalahan secara
brainstorming dengan seluruh staf menggunakan metode fishbone chart. Hal ini
sangat membantu dalam menentukan keputusan dan metode fishbone chart sangat
sederhana serta mudah dalam pengaplikasiannya.
548
Daftar Pustaka
1. Carey, Raymond G.,2001, Measuring Quality Improvement in Healtcare : A
Guide to Statistical Process Control Aplication, American Society for Quality,
Winconsin
2. Deming, W.E, Out of The Crisis: Quality Productivity and Competitive Position,
Cambridge University Press, Cambridge, 1986
3. Ishikawa, Kaoru, 1989., Introduction to Quality Control. Japan : JUSE Press Ltd
4. Juran, J.M., 1992, Juran on Quality by Design, The Free Press, New York.
5. Munir, Baderel.,2004, Pengkajian Kebutuhan Pelatihan, Jakarta
6. Pohan, Imbalo, 2004., Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan, EGC, Jakarta
7. Pusdiklat Kemenkes RI, 2000., Modul Audit Mutu Internal, Jakarta
8. Pusdiklat Kemenkes RI, 2000., Modul Pemecahan Masalah QA, Jakarta
549
ABSTRACT
Students and the children learning
550
INTRODUCTION
The face of teaching and learning English has changed with the
emergence of firstly behaviorism and later cognitivism. Both have contributed
insights of how one should perceive learning and acquiring the language. In this
case English language ,is possible to establish a generic similarities between
acquiring and learning the L1 language for the children and the students
acquiring and learning the L2 language( English Language ).
One of the
remarkable characteristics of human beings is that the virtually every single one
acquires and learns the language at a very young age .Here the research focuses
on between how the students and the very young age children acquire and learn
the language as L1 and L2. It must be very complex of the system.
In discussing second language acquisition,there are some factors should
be considered The environment ( parents or adults and peers for children and
teachers and peers for students ) influence the children /students language
development very much. They carefully follow the movements of parents or
teachers mouth and try to imitate them. They are sensitive to the rhythm and
intonation
of
parents
/teachers
talk.(Benedict
de
Boysson-
METHOD
The research used a qualitative descriptive approach. The problem is
about the similarities between english learning ( l2 ) for language learners and
mother language ( l1 ) acquiring and learning for children.It is qualitative
because the writer observed the language acquisition and learning of the children
which requires a case study method .A case study is a research study that aims
at analyzing a phenomenon in its real life context.(Goode and Hutt 1982)
Library research is also employed for obtaining comprehensive data. In
the library research, the information is collected at the basis of the studying
references books.
In collecting the data, the subjects were investigated directly by the
researcher and the childrens mothers. Questionnaires were also distributed to
551
the students and the childrens mothers to obtain the comprehensive data. The
results were analyzed.
FINDINGS AND DISCUSSIONS
Environment has influenced the children and also the students in the
conversation very much.
already, and they begin by talking about their surroundings.(Slob in and Sinclair
de Zwart,1973;in Clark and Clark 1977) Children build directly on this knowledge
when they come to formidable task of mapping ideas as communicative intention
onto language. But the first thing to be considered then is that one child has in
different mind , surroundings, and so on.
Attention getters and attention holders fall into two broad classes. The first
consists of names and exclamations. For example, often use the childs name at
the beginning of an utterance. This is an effective way to make the very young
children attends, even the one year old child. Their preference for the human
speech voice appears early on;in fact it seems quite likely that children are
innately predisposed attended prudentially to human speech versus other sounds.
According to Abdul Majid (Perencanaan Pembelajaran ,2008:16 ),
Learning is a process of teaching which is done by the a teacher in guiding,
assisting students in having the experience of knowledge or relatively permanent
change in a behavioral tendency which is caused the experience done
continuously in the time and is the result of reinforced practice of how to prepare
the learning experience for the students (Hilgard & Bower in Pupuh Fathurrohman
& M.Sobry Sutikno ,2007:5).
Acquisition learning is seen as going on all the time. It is 'concrete,
immediate and confined to a specific activity; it is not concerned with general
principles' (Rogers 2003: 18).
Formalized learning arises from the process of facilitating learning. It is
'educative learning' rather than the accumulation of experience. To this extent
there is a consciousness of learning - people are aware that the task they are
engaged in entails learning. 'Learning itself is the task.
In the past, learning used to be regarded as a passive process since the
students are just received the information without giving converse information.
Nowadays, leaning is not merely noticed as a passive process because it requires
552
other elements; motivation of the learners to form learning habits. As quoted from
Deci, E. (1972), motivation is the set of reasons that determines one to engage in
a particular behavior. While Hornby (1974:285) stated that habit is ones settled
practice. Activities which are done frequently will finally create a habit. In this
way, learning activity which is conducted frequently will create learning habit.
Learning habits which are formed by motivation not clearly showed the
interference of teacher and or schools prerequisites dealing with EFL. Some
experts of EFL endeavor to relate to what they see as their students sense of
motivation in class. Often, the motivation has positive impact in raising students
proficiency of EFL and the effect is usually long. In general, then, the students
natural interest is not, therefore, something which we can rely on to generate
sustained motivation in language learning.
Motivation, later, have a close relationship to students attitude in learning
EFL. Most of the students, when they feel that they are fail in learning process,
they admit to felling of frustration. In the other hand, students become
demotivated when they realize the importance in learning EFL.
There are four skills in learning language and also acquiring the
language.They are listening,speaking ,reading and writing. This research used
obseration to the chidren and questionnaires to the English teacher, students and
chidrens mom.
This research found learning habit used by the students in learning
English ( L2 ) and acquiring the language by the children (L1) as follows:
The finding is gathered from students questionnaire and observation done by the
childrenmoms
Listening Habit
1. They liked to learn by listening to foreign language speakers,
2. They liked to listen teachers speaking English
3. They liked to listen to the language target songs.
4.
Speaking Habit
1. They liked to practice the language target with friends .
553
Reading Habit
1. They liked to read books in target language .
2. They liked to read interesting instruction..
3. They liked to read advertisement in target language.
Writing Habit
1.
4.
5.
After giving the questionnaire to English teachers and observation by the mom
(Students learning the L2 in the class and children acquiring the language),
the finding are found .
1. The children learned the language step by step from the closest things.
The students learned English step by step from the most difficult to the easiest .
2. The children always asked the mom many times about the things he asks or
listen .
The teacher set up a need to communicate
3. The children liked Interesting magazine, book, and booklets.
The teacher presented some vocabulary using pictures .
4. The children learned from mistake in using the language.
The students learned from mistake in using the language .
5. The children made discussion with parents .
The teacher showed something interested in the students opinion and related to
the content of the lesson.
6. The children imitated language as native like .
The students imitated English as native like .
7. The children concentrated using the language on communicating.
554
8. The children screamed /cried /grumbled when they were not cared about.
The teacher challenged the students to think. .
9. The children showed something and ask.
The children eager to know by pointing something and asked.
10. The children tried to understand language by attending the parents said.
The teacher regularly demonstrated progress through repeating activities .
11. The direct guess a new word when he listened to language.
12. The children guess meanings from word context.
The teacher presented some vocabularies using explanation .
13. The children payed attention to tone of voice in speaking,
The teacher
helped
learning.
14. The children read and guessed the story based on the pictures.
The teacher presented some vocabularies using mime .
15. The children read based on the pictures.
The students read based on the pictures.
16. The children listened to the language from the parents.
The teacher
helped
learning.
17. The children repeated language from the parents and audiotape
The students imitate English as native like
18. The children practiced talkng by him/heself.
The teacher
learning.
19. The children analyzed reading /listened based on the pictures /tape tv
The children free writo on his own.
20. The children talked to peers using their own language.
The teacher invited students to talk to friend in English
21. The children sang songs.
The students sang songs in English
22. The children practiced pronouncing the correct words.
The students practiced pronouncing correct word in English.
23. The children made discussion with friends/parents to solve problem.
The students discussed with students to solve English problem
555
From the questionaire ,it is found that how the children and the students
acquire and learn the language steps by steps are always the same. The children
and students always ask the mom /teacher many times about the things they
asked or listened that interest on them. The children likes Interesting magazine,
book, and booklets, while the teacher present some vocabulary using pictures to
make easy to understandfor the students. The children made discussion with
parents, while the teacher involve students in discussion.
The children imitate language as native like while the teacher imitates
English as native like. The children concentrate using the language on
communicating and the teacher practices conversation with the students. The
children scream / cry /grumble when they are not cared about. The children show
something and ask .The children try to understand language by attending the
parents say while the teacher uses English in teaching to make the students
familiar of English
The direct guess a new word when they
556
The children practice pronouncing the correct words while the teacher
practices pronouncing correct word in English
. The children make discussion with friends/parents to solve problem while
the teacher makes discussion with students to solve English problem .
The research uses a qualitative descriptive approach. The problem is
about The similarities activities between the children in acquiring and learning
mother language ( L1 ) and students in learning the second language (L2 ).It is
qualitative because the writer observed the language acquisition and learning of
the children which requires a case study method .A case study is a research
study that aims at analyzing a phenomenon in its real life context.(Goode and
Hutt 1982)
Library research is also employed for obtaining comprehensive data. In
the library research, the information is collected at the basis of the studying
references books.
In collecting the data, the subjects were investigated directly by the
researcher and the childrens mothers. Questionnaires were also distributed to
the students and the childrens mothers to obtain the comprehensive data. The
results are analyzed.
DISCUSSION.
Based on the description of the finding above, the researcher presents the
following points to answer the first research question:
1. What are the habits and activities of the students in learning the language ( L2)
?
2. What are the habits and activities of the children in learning and acquiring the
language (L1)?
3. Is it similar between L1 and L2 acquiring and learning language for the children
and students?
For questions no.1 and 2, from the questionnaire given to 30 students,
mothers of the young children and the teachers , the learning habit that the
students use in learning English as L2 and the children acquire the language (L1)
divided into four skills, they are:
557
c. Reading habit
The reading habit include: Reading text, reading interesting novel , reading
magazine and reading advertisement . While for the children they read
pictures wether from books or magazine or advertisements .
d. Writing habit
The writing habit include: Writing instruction ,writing exercise in conference
meeting writing exercise in free writing in, writing text presented visually,
writing down orally presented text, and writing everything.
However, the category of the students and the children use learning
/acquiring habit for the four skills of language different each other for example the
students and the children sometimes listen to targetlanguage, sometimes reading
English /language, sometimes writing English/language , sometimes speaking
English language.
From the observation done by the mom and asked directly to the
mom of the children and the English teachers found as follows.
Language
acquisition
and
learned
occurs
when
conversation.
558
students are presented with specially tailored model of language use, adjusted to
fit, as far as possible, what they appear to understand.
The environment (parents or adults and peers for children and teachers
and peers for students ) influence the children /students language development
very much. They carefully follow the movements of parents or teachers mouth
and try to imitate them. They were sensitive to the rhythm and intonation of
parents /teachers talk.(Benedicto de Boysson-Bardies,1999:37).Parents provide
predictable repeated situations in which meaning of utterances are clear to the
children and the teacher do too. They did it not only using the vocal but also nonvocal language.
They learned /acquired the language from the things which are close to
them and usually used. They did like listening to the people who exposed the
language and ask what they dont know and want to know. They like listening to
the music or song and imitate it. They like to expose the language which they
have understood .They liked learning and acquiring from interesting pictures,
interesting book or booklet.
The children and the students guest the meaning from the context and the
pictures or the things show to them. The children and the students learn and
acquire step by step ,from the easy one.
The teachers and the moms used to repeat the word if the children and
the students didnt understand. The teachers and the moms encouraged the
children and the students. The moms and the teachers used to demonstrate the
language to make progress. The moms and the teachers involved to speak and
invite them to discuss or communicate.
There are many things that the students and children learn and or acquire
the language are the same.
CONCLUSION
Based on the result of the research, it can be concluded that there were a
number of learning and acquiring habit . The learning and acquiring are: Includes
listening to native speakers whether L1 or L2 for the children, listening to song,
listening on program television, speaking with friends or peers, teachers and
mothers, speaking in conversation. Reading texts, booklet or advertisements,
reading instruction, writing instruction, writing based on pictures, writing based on
559
SUGGESTION
Based on the conclusion above, the students and English teachers, and
also the mom can consider the following suggestion in order to improve the
quality of English teaching and learning and acquiring the language :
1. It is better for the students and the children to use learning habit in English as (L2
for the students and L1 for young children ) , they have to increase their intensity
of their learning habit and acquiring habit in English language as L2 and regional
language as L1 by doing various activities they can use learning or acquiring
habit inside and outside of the class or house.
2. Regarding to the importance of learning and acquiring habit in L2 and L1 to, there
are some factors to be considered; Environment, teacher or mom as motivator, in
learning the conducive environment, professional teachers or moms, plays
important roles for the successful of learning and acquiring the language.
3. As L2 teacher and mom, the teacher and mom should know students and or
children learning and acquiring habit in L2 and L1 in other to make them easier in
conducting the teaching and learning process in the class and acquiring the
language at home. By knowing the students learning habit and acquiring habit ,
the teacher and mom can design well. How to make leaning and acquire run.
560
4.
561
REFERENCES
Coronado-Aliegro,
J.
(2007).
Enhancing
Learner
Self-Efficiency
through
Gardner, R.C. 1985. Social Psychology and Language Learning. Edward Arnold.
Hornby, A. S. (1974). Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English.
Great Britain: Oxford University Press
562
Abstract: Based on observations of the author was still a lot of teachers who are less
competent in teaching and Local Studies (Mulok) due to the availability of learning
resources are minimal, the learning device is not yet available and virtually no training or
training on subjects Mulok, in addition it has not provided teachers Mulok who have
appropriate educational qualifications there are even schools that Muloknya be "English."
Mulok aims to equip students with the attitudes, knowledge and skills necessary to: get to
know to love and care for the natural environment, social, cultural, and spiritual in the
region; and preserve and develop excellence and wisdom useful area for themselves and
the local environment in order to support national development. Training Mulok model
"TPPL" with the explanation: Theory (T) is carried out when the facilitator did
Brainstrorming and exposure of the material. Prakktik Creation (PP) is implemented when
the participants identify local wisdom and sorting as well as select the type of local content
based on the results of this identification, create core competencies and basic
competencies, as well as to simulate Mulok choice in front of the other participants.
Reports (L) is implemented when the participants reported the results of its work, doing
presentations and try to simulate RPP Muloknya. This model is suitable for training model
two or three days to match 20 30 JP JP s.d, Mulok training usually does not stand alone
but combined with training Cultural Arts and crafts or other subjects. Therefore, this model
effectively, although the time provided little (JP) However the diklelola carefully if able to
produce a great understanding and skills. For example, the time available for training is
only available mulok: 8JP or 4JP. This model still needs to be developed so as to obtain
better education and training models of efficient and effective in the future.
Keywords: Local knowledge, excellence, national, Mulok, training, models TPPL
Riyanta, 2016: "Development of Local Wisdom Central Kalimantan Become a National
Excellence Through Training Local Content Model" TPPL "(Theory and Practice Creation
Report)"
A. Latar Belakang
Berdasarkan pengamatan penulis bahwa masih banyak guru yang kurang
kompeten dalam mengampu mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) terutama untuk
wilayah Propinsi Kalimantan Tengah. Hal itu karena ketersediaan sumber belajar yang
minim, perangkat pembelajaran yang belum tersedia dan hampir tidak ada pelatihan
atau diklat terhadap mata pelajaran Mulok tersebut, disamping itu belum tersedia guru
Mulok yang memiliki kualifikasi pendidikan yang sesuai dengan yang diajarkan karena
Perguruan Tinggi negeri maupun swasta di Kalimantan Tengah belum ada
program/meluluskan guru mata pelajaran Mulok tersebut. Sesungguhnya Mulok di
lingkungan Kalimantan Tengah sudah tersedia buku bahasa Daerah Dayak Ngaju
563
terutama di Kota Palangka Raya, yang diajarkan dari kelas 1 sampai kelas 6. Sungguh
tragis memang, banyak SD yang muatan lokalnya menjadi bahasa Inggris. Padahal
kearifan lokal Kalimantan Tengah sangat banyak tetapi belum tergali.
Wilayah Kalimantan Tengah yang sangat luas hampir setara luas Pulau Jawa,
tetapi belum banyak di kenal di wilayah Indonesia bahkan beberapa teman
widyaiswara masih ada
Kalimantan Tengah. Apalagi semboyan Palangka Raya Kota CANTIK hanya di kenal
secara lokal saja. Banyak ragam budaya, bahasa daerah, pakaian, adat-istiadat,
bentuk rumah, kuliner, ikan dan jamu tradisional dan lain-lain yang sesungguhnya
dapat ditampilkan di kancah nasional. Kita sendiri yang tinggal di Kalimantan Tengah
untuk urusan kuliner/makanan/jajanan belum ada nama yang populer seperti; soto
banjar, ketupat kandangan (makanan khas daerah Banjarmasin Kalimantan Selatan).
Seluang belom, pasak bumi itu sebagian jamu yang banyak terdapat di Kalteng.
Berdasarkan pengalaman penulis tahun 2014 yang melakukan pendampingan
terhadap guru kelas pada SDN-1 dan SDN-3 Baru, Kecamatan Arut Selatan
Kabupaten Kotawaringin Barat. Diklat Bimtek Guru Mata Pelajaran Mulok dan SBK
SD/MI Kab. Barito Utara tanggal, 1 s.d 3 Oktober 2015. Menunjukkan bahwa para guru
mempunyai ketertarikan yang tinggi terhadap mata pelajaran Muatan Lokal apabila
guru-gurunya mendapat pelatihan.
Pengembangan kurikulum pada satuan pendidikan terutama Mulok perlu
mendapat prioritas agar peserta didik memiliki kecakapan hidup yang dapat dicapai
melalui kompetensi dan pola hidup yang dapat menyesuaikan diri untuk berhasil di
masa mendatang. Struktur kurikulum pada satuan pendidikan terdiri dari tiga bagian
penting yaitu: pertama kelompok mata pelajaran yang dilaksanakan pada satuan
pendidikan sesuai jenjangnya, kedua; muatan lokal yang dapat dikembangkan sendiri
oleh satuan pendidikan sesuai kebutuhan dan karakteristik serta potensi daerah, dan
yang ketiga; pengembangan diri. Keanekaragaman Multikultur di Indonesia (adat
istiadat suku bangsa, tata cara, bahasa, kesenian, kerajinan, keterampilan daerah)
merupakan ciri khas yang memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Oleh
karena itu keanekaragaman tersebut harus selalu dilestarikan, dikembangkan, dan
dipertahankan melalui upaya pendidikan.
Muatan
lokal
memberikan
peluang
kepada
peserta
didik
untuk
yang bersangkutan. Oleh karena itu, Muatan lokal harus memuat karakteristik budaya
lokal, keterampilan, nilai-nilai luhur budaya setempat dan mengangkat permasalahan
564
sosial dan lingkungan yang pada akhirnya mampu membekali siswa dengan
keterampilan dasar sebagai bekal dalam kehidupan (life skill).
Muatan lokal, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan atas Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan bahan kajian
yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap potensi di
daerah tempat tinggalnya.
Muatan lokal sebagai bahan kajian yang membentuk pemahaman terhadap
potensi di daerah tempat tinggalnya bermanfaat untuk memberikan bekal sikap,
pengetahuan, dan keterampilan kepada peserta didik.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis berupaya
menyusun makalah berjudul Pengembangan Kearifan Lokal Kalimantan Tengah
Menjadi Keunggulan Nasional Melalui Pelatihan Muatan Lokal Model TPPL (Teori
Praktik Penciptaan Dan Laporan)
B. Tujuan
1.
Sebagai acuan bagi widyaiswara, fasilitator atau nara sumber pada kegiatan
pendidikan dan pelatihan (diklat) Mulok bagi; pengawas sekolah, kepala
sekolah, guru, dan komite sekolah) dalam mengembangkan muatan lokal oleh
masing-masing daerah dengan mengacu pada kearifan lokal yang sesuai
dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 22 tahun 2011.
2.
3.
Menyiapkan guru-guru Mulok yang lebih berdaya guna dan berhasil guna.
4.
C. Metodologi
Metode yang digunakan yaitu kajian dokumentasi dan demonstrasi dalam
penerapan Model diklat. Dalam Kajian dokumentasi dilakukan pengakjaian terhadap
pemberlakuan kurikulum, petunjuk teknik muatan lokan dan peraturan Gubernur
kalimantan Tengah nomor 22 tahun 2011. Metode demonstrasi dimaksudkan bahwa
penulis mencoba langsung pada pelatihan diklat Mulok dengan menggunakan model
TPPL: ini.
Pemberlakuan KTSP dan Kurikulum 2013 membawa implikasi bagi sekolah
dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sejumlah mata pelajaran,
565
dimana hampir semua mata pelajaran sudah memiliki Kompetensi Inti dan Kompetensi
Dasar, sedangkan untuk Mata Pelajaran Muatan Lokal yang merupakan kegiatan
kurikuler yang harus diajarkan di kelas belum mempunyai Kompetensi Inti dan
Kompetensi Dasar seperti halnya mata pelajaran yang lain. Hal ini membuat kendala
bagi sekolah untuk menerapkan Mata Pelajaran Muatan Lokal. Pengembangan
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar untuk mata pelajaran Muatan Lokal bukanlah
pekerjaan yang mudah, karena harus dipersiapkan berbagai hal untuk dapat
mengembangkan Mata Pelajaran Muatan Lokal sebagai konsekwensi dari penyetaraan
sebagai
mata
pelajaran.
Pengembangan
muatan
lokal
untuk
SD/MI
perlu
Muatan lokal diajarkan dengan tujuan membekali peserta didik dengan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk:
1. Mengenal untuk mencintai dan peduli terhadap lingkungan alam, sosial, budaya,
dan spiritual di daerahnya; dan
2. Melestarikan dan mengembangkan keunggulan dan kearifan daerah yang berguna
bagi diri dan lingkungan daerahnya dalam rangka menunjang pembangunan
nasional.
Langkah dalam pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal adalah sebagai berikut:
a.
Analisis Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ada di sekolah. Apakah masih
layak dan relevan Mata Pelajaran Muatan Lokal pilihan diterapkan di Sekolah?
b. Bila Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ditetapkan di sekolah tersebut masih
layak dilakukan maka kegiatan berikutnya adalah menyusun Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar
c.
Bila Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ada tidak layak lagi untuk diterapkan,
maka sekolah bisa menggunakan Mata Pelajaran Muatan Lokal dari sekolah
lain
atau
tetap
menggunakan
Mata
Pelajaran
Muatan
Lokal
yang
566
22 Tahun 2011
pasal 5; Muatan Lokal (Mulok) merupakan bagian dari struktur dan muatan
kurikulum yang terdapat pada Standar Isi di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Pasal 6; Muatan Lokal (Mulok) merupakan Mata Pelajaran, sehingga Satuan
Pendidikan terkait harus mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
untuk setiap jenis Muatan Lokal (Mulok) yang diselenggarakan. Satuan Pendidikan wajib
menyelenggarakan satu Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) pada setiap semester
sehingga terdapat dua (2) Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) dalam satu tahun
pelajaran dan pasal; Materi Muatan Lokal (Mulok) meliputi dua belas (12) kearifan lokal
berupa: (1) Bahasa dan sastera daerah, (2) Kesenian daerah, (3) Keterampilan dan
kerajinan daerah, (4) Adat-istiadat dan hukum adat, (5) Sejarah lokal, (6) Teknologi lokal,
(7) Lingkungan alam/ekosistem, (8) Obat-obatan tradisional, (9) Masakanan tradisional,
(10) Busana tradisional, (11) Olah-raga tradisional, dan (12) Nilai budaya lokal dalam
perspektif global.
Struktur kurikulum memuat tiga kelompok yang harus disampaikan kepada peserta
didik yaitu: kelompok mata pelajaran, muatan lokal dan pengembagan diri. Muatan lokal
bukan mata pelajaran, namun diajarkan dan disetarakan dengan mata pelajaran. Sebagai
konsekuensinya sekolah harus menyusun kurikulum muatan lokal sendiri sesuai dengan
potensi sekolah dan lingkungannya. Sekolah perlu menyusun dan mengembangkan
Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, silabus dan RPP dengan mengacu pada Standar Isi
yang ditetapkan oleh Kemdikbud. Penetapan Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar dan
indikator adalah langkah awal dalam membuat kurikulum muatan lokal agar dapat
dilaksanakan di sekolah. Adapun langkah- langkah dalam mengembangkan Kompetensi
Inti dan Kompetensi Dasar adalah sebagai berikut:
1.
567
No. 67 tahun 2013. Untuk materi Sejarah/Budaya Lokal dapat mengacu pada
Kompetensi Inti IPS/Sejarah. Apabila hal itu belum ada sama sekali, misalnya
Masakan Khas Daerah, Jamu ,Adat Istiadat maka perlu dibuat Kompetensi Inti
dengan memperhatikan konstruksi bahasa pada Peraturan Mendikbud tersebut.
2.
3.
Pengembangan Silabus
Pengembangan silabus secara umum mencakup:
a) Mengembangkan indikator
b) Mengidentifikasi materi pembelajaran
c) Mengembangkan kegiatan pembelajaran
d) Pengalokasian waktu
e) Pengembangan penilaian
f) Menentukan Sumber Belajar
Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Setelah silabus selesai dibuat, maka guru perlu merencanakan pelaksanaan
pembelajaran untuk satu kali tatap muka atau lebih. Adapun komponen dari RPP
minimal memuat: a). Tujuan pembelajaran, b).Indikator, c). Materi Ajar/Pembelajaran,
d). Kegiatan Pembelajaran, e) Metode Pengajaran, f). Sumber Belajar
Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan
indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk
tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya
berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri. Halhal yang perlu diperhatikan dalam penilaian.
a. Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian indikator dalam kompetensi.
568
b.
c.
penentuan jenis muatan lokal pada level provinsi dan kabupaten/kota sebagai
muatan lokal wajib yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik
daerah.
2.
Guru
Guru yang ditugaskan sebagai pengampu muatan lokal adalah yang memiliki:
a.
Guru yang mengampu mata pelajaran muatan lokal hendaknya sesuai dengan
latar belakang ijazah yang dimilikinya. Apabila tidak terpenuhi maka guru yang
akan mengampu memperoleh sertifikat pelatihan.
b.
Satuan pendidikan yang tidak memiliki tenaga khusus untuk muatan lokal
dapat bekerja sama atau menggunakan tenaga dengan pihak lain.
c.
569
d.
e.
f.
Guru muatan lokal mendapatkan penghargaan yang sama dengan guru mata
pelajaran lainnya.
g.
Guru muatan lokal dapat berasal dari luar satuan pendidikan, seperti: satuan
pendidikan terdekat, tokoh masyarakat, pelaku sosial-budaya, dan lain-lain.
3.
sarana
dan
prasarana
muatan
lokal
harus
dipenuhi
oleh
Manajemen Sekolah
Pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan dan pengelolaan muatan lokal,
antara
lain:
Satuan
sekolah/madrasah
Pendidikan,
secara
Kepala
sekolah,
guru,
bersama-sama
dan
komite
mengembangkan
Pemaparan
Panduan Teknis
MULOK
Diklat Model
TPPL
Proses
Identifikasi
Mulok
Penyusunan Silabus
Pengembangan RPP
Penetapan
Mulok
Petunjuk Penilaian
Bahan Ajar
570
D. Hasil
Kegiatan
diklat
Mulok
model
TPPL
ini
diawali
dengan
curah
Pemaparan
Materi Mulok
Diskusi 1
Identifikasi
Kearifan Lokal
Diskusi 2 Praktik
Penciptaan Mulok
Penetapan Mulok
dan Penyusunan KI
dan KD
Penyusunan Silabus
RPP, Bahan Ajar
Refleksi
a.
Laporan,
Presentasi dan
Demonstrasi
Brainstorming
Peserta melaksanakan kegiatan eksplorasi dengan cara menggali informasi
sebanyak- banyaknya melalui kegiatan brainstorming, dan menjawab pertanyaan
secara lisan berikut:
Pentingkah Mulok diajarkan ?
Apa yang dimaksud muatan lokal ?
Masih sulitkah mengajar Mulok ?
Apa saja Jenis-Jenis Muatan Lokal yang pernah diajarkan ?
Apa saja dokumen yang diperlukan dalam pembelajaran muatan lokal ?
Bagaimana tahapan pengembangan Mulok dilakukan?
Siapa saja tim pengembang muatan lokal di sekolah Anda ?
b.
571
Raga adalah sepak sawut, Muatan Lokal yang diintegrasikan pada muatan
pelajaran adat istiadat: Jipen.
Dalam hal pengintegrasian tidak dapat dilakukan, muatan pembelajaran terkait
muatan lokal dapat dijadikan mata pelajaran yang berdiri sendiri. Dengan mengacu pada
Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah nomor 22 tahun 2011 sebagai berikut; Kurikulum
Muatan Lokal (Mulok) Provinsi Kalimantan Tengah adalah Kurikulum Pendidikan yang
berbasiskan berbagai potensi daerah, ciri khas daerah, dan keunggulan daerah yang
selanjutnya disebut Kearifan Lokal (Local Wisdoms) Provinsi Kalimantan Tengah.
Kurikulum Muatan Lokal Mulok) adalah satu-satunya kurikulum yang dibuat di daerah
yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan daerah yang bercirikan kearifan lokal, untuk
mengembangkan potensi yang sesuai dengan cirri khas/potensi, dan keunggulan daerah.
Muatan Lokal (Mulok) merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi
yang sesuai dengan cirikhas/potensi/keunggulan daerah yang meterinya tidak dapat
dikelompokan ke dalam Mata Pelajaran yang sudah ada. Substansi materinya ditentukan
oleh Satuan Pendidikan yang bersangkutan.
Muatan Lokal (Mulok) merupakan bagian dari struktur dan muatan kurikulum yang
terdapat pada Standar Isi di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Muatan
Lokal (Mulok) merupakan Mata Pelajaran, sehingga Satuan Pendidikan terkait harus
mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis Muatan
Lokal (Mulok) yang diselenggarakan. Satuan Pendidikan wajib menyelenggarakan satu
Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) pada setiap semester sehingga terdapat dua (2)
Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) dalam satu tahun pelajaran. Materi Muatan Lokal
(Mulok) meliputi dua belas (12) kearifan lokal berupa: (1) Bahasa dan sastera daerah, (2)
Kesenian daerah, (3) Keterampilan dan kerajinan daerah, (4) Adat-istiadat dan hukum
adat, (5) Sejarah lokal, (6) Teknologi lokal, (7) Lingkungan alam/ekosistem, (8) Obatobatan tradisional, (9) Masakanan tradisional, (10) Busana tradisional, (11) Olah-raga
tradisional, dan (12) Nilai budaya lokal dalam perspektif global. Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota dan Provinsi wajib melaksanakan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok)
sesuai ciri khas/keunggulan/potensi daerah seperti yang tersebut di dalam dua belas (12)
kearifan lokal (bukan yang selain dari itu) agar terjadi transformasi nilai budaya lokal ke
dalam budaya globalisasi. Sekolah pada Tingkat Satuan Pendidikan masing-masing di
setiap Kabupaten/Kota wajib melaksanakan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) sesuai
dengan alokasi waktu yang tersedia untuk itu, yaitu 2 jam pertemuan per minggu.
Guru Muatan Lokal (Mulok) diangkat oleh Bupati/Walikota, Dinas Pendidikan dan
Yayasan setempat atas usul Kepala Sekolah setelah berkoordinasi dengan Komite
572
Sekolah. Guru Muatan Lokal (Mulok) adalah seseorang (diprioritaskan) dari suku Dayak
Kalimantan Tengah atau orang lain selain suku Dayak yang berpengetahuan,
berketerampilan mengenai kearifan lokal yang mempunyai rasa memiliki dan rasa ikut
bertanggung jawab serta punya komitmen untuk memajukan dan mengembangkan
potensi dan keunggulan daerah yang berbasiskan dua belas (12) kearifan lokal. Guru
Muatan Lokal (Mulok) diwajibkan untuk mengikuti pendidikan, pelatihan, dan penataran
yang diperuntukan baginya untuk pengembang diri sesuai ketentuan yang berlaku.
Kepala Sekolah dapat mengajukan calon Guru Muatan Lokal (Mulok) menjadi guru
bantu atau guru kontrak untuk mengajar mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) kepada
Bupati/Walikota dan Dinas Pendidikan Provinsi setelah berkoordinasi dengan Komiti
Sekolah. Guru Muatan Lokal (Mulok) yang berstatus guru kontrak, guru bantu, tenaga
honorer dapat diangkat atau mengikuti test CPNS yang diperuntukan baginya sesuai
ketentuan yang berlaku.
Masing-masing
SKPD
Kabupaten/Kota
dan
Provinsi
agar
menganggarkan
pembiayaan pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) melalui APBD dan didukung
oleh APBD Provinsi. Besarnya gajih atau penghasilan guru Muatan Lokal (Mulok) yang
berstatus guru kontrak atau guru bantu (tenaga honorer) ditentukan oleh Komite Sekolah
yang merujuk kepada Standar Upah Minimum Provinsi Kalimantan Tengah yang berlaku
saat itu, yang anggarannya bisa bersumber dari Anggaran Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota dan Provinsi atau anggaran lainnya yang sesuai dengan ketentuan
undang-undang.
c.
Kearifan Lokal
Bahasa dan Sastra daerah
Kesenian Daerah
573
574
tari
pembuatan perahu (miniatur) untuk cendera mata, lapok durian dan olahraga
tradisional.
Lk.02 Identifikasi KI-KD Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) kelompok 1
No
1
Penetapan Mulok
Hasil Identifikasi
Bahasa Dayak
Bakumpai Barito
Utara
KI
KD
KI.1.*
KD 1.1.*
KI 2.*
KD 2.1*
KI 3
KD 3.1
KD 3.2
KD 3. 3
KD 4.
KD 4.1
KD 4.2
KD 4.3
575
f.
kompetensi
dan
kompetensi
dasar
beserta
silabusnya
dapat
maka
No
Penetapan
Mulok Hasil
Identifikasi
Bahasa Dayak
Bakumpai
Barito Utara
KI
KI.1.*
KI 2.*
KI 3
KD
KD 1.1.*
KD 2.1*
KD 3.1
KD 3.2
KD 4.
Indikator
3.1.1
3.1.2
3.1.3
3.2.1
3.2.2
Dst
KD 3. 3
KD 4.1
KD 4.2
KD 4.3
576
A. Kompetensi Inti
B. Kompetensi Dasar dan Indikator
C. Tujuan Pembelajaran
D. Materi pelajaran
E. Metode Pembelajaran
F. Sumber dan Media
G. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
1. Pendahuluan
2. Kegiatan Inti
3. Penutup
H. Penilaian
,2016
Guru Kelas,
Mengetahui
Kepala Sekolah
..
g. Laporan, Presentasi dan Demonstrasi
..
1) Laporan
Setiap tugas yang dikerjakan hasilnya dikumpulkan sebagai bahan laporan dan
perlu dikomentari oleh fasilitaor.
2) Presentasi dan Demonstrasi
Setiap kelompok dalam menyampaikan hasil kerja dipresentasikan di depan kelas
dan untuk hasil penyusunan RPP disimulasikan atau didemonstrasikan sehingga
peserta diklat memiliki pemahaman dan pengalaman baru terkait strategi dalam
pembelajaran Mulok.
D. Diskusi
Diklat dengan menggunakan model TPPL pada dasarnya sesuai untuk
semua jenjang Pendidikan. Model ini dapat sesuai juga untuk pola diklat dua
atau tiga hari yang setara 20 s.d 30 JP. Biasanya diklat Mulok ini tidak berdiri
sendiri, melainkan digabung dengan diklat Seni Budaya dan Prakarya atau mata
pelajaran yang lain. Oleh karena itu model ini efektif meskipun waktu yang
disediakan sedikit (JP nya kecil) namum apabila diklelola secara cermat akan
menghasilkan pemahaman dan ketrampilan yang optimal. Misalnya waktu yang
disediakan untuk pelatihan MULOK tersebut tersedia 8 JP maka model
pengalokasian pada struktur program diklat Mulok model TPPL sbb:
No
Materi Diklat
1
2
Perkenalan Brainstorming
Pemaparan Materi Mulok
Alokasi
waktu*
(Model
8JP)
25
45
577
Keterangan
Tanya jawab
Penjelasan Mulok terintegrasi,
dan Mulok berdiri sendiri dan
Diskusi 1 Identifikasi
Kearifan Lokal
Diskusi 2 Praktik
Penciptaan Mulok
25
20
panduan Mulok
LK. 01 sudah disiapkan oleh
fasilitator sebelumnya
Kegiatan memilah dan memilih
dari hasil identifikasi Kearifan
Lokal
LK 02 Penyusunan Ki dan KD
6
7
8
No
Materi Diklat
Perkenalan
Brainstorming
Pemaparan
Mulok
Alokasi waktu*
(Model 4 JP)
15
Materi 30
Diskusi 1 Identifikasi
Kearifan Lokal
Diskusi 2 Praktik
Penciptaan Mulok
15
15
Keterangan
Tanya jawab
Penjelasan Mulok terintegrasi,
dan Mulok berdiri sendiri dan
panduan Mulok
LK. 01 sudah disiapkan oleh
fasilitator sebelumnya
Kegiatan memilah dan memilih
dari hasil identifikasi Kearifan
Lokal
LK 02 Penyusunan Ki dan KD
hasil
materi.
578
E. Kesimpulan
Hasil penulisan ini disiapkan untuk membantu widyaiswara/fasilitator untuk
dapat memberikan diklat dalam menyusun
Pendidikan. Pengembangan dan pelaksanaan muatan lokal harus tetap sinergi dengan
pengembangan dan pelaksanaan kurikulum pada satuan pendidikan. Keterlibatan
berbagai unsur, terutama di tingkat satuan pendidikan seperti: guru, kepala sekolah,
serta komite sekolah/madrasah diperlukan untuk mencapai tujuan muatan lokal.
Diklat Mulok model TPPL dengan uraian sebagai berikut Teori (T): dilaksanakan
ketika fasilitator melakukan Brainstrorming dan pemaparan
Penciptaan
materi.
Prakktik
dan memilah serta memilih jenis muatan lokal berdasar hasil identifikasi tersebut,
membuat Kompetensi Inti dan
Mulok
peserta
melaporkan
hasil
kerjanya,
melakukan
presentasi
dan
mencoba
579
580
Pendahuluan
Indonesia menghadapi masalah jumlah penduduk yang terus meningkat, maka dalam hal ini
pemerintah terus berupaya melaksanakan upaya-upaya preventif untuk mencegah kenaikan
angka kelahiran yang tidak terkendali. Tidak terkendalinya laju penduduk ini tidak dapat
dipisahkan dari anggapan tradisional masyarakat kita yang masih meyakini bahwa banyak anak
akan mendatangkan banyak reziki. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya
yakni semakin banyak anak di zaman sekarang justru dapat menjadi beban keluarga dan negara,
581
misalnya, untuk pengeluaran belanja pendidikan, permintaan pelayanan publik, dan kualitas
lingkungan.
Dalam konteks di atas, berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2007 dan 2012 menunjukkan bahwa angka kelahiran yang dihitung dari rata-rata kelahiran (TFR)
wanita berusia 15-49 tahun telah mengalami kenaikan dari 2,4 perwanita, menjadi 2,6. Terjadi
peningkatan dari angka kelahiran. Temuan demikian sejalan dengan hasil Sensus Penduduk
2010, dimana jumlah penduduk Indonesia melebihi perkiraan yang ditetapkan sebelumnya
(Elfindri & Fasli Jalal, 2014: 17).
Lemahnya pengendalian angka kelahiran di Indonesia menurut beberapa pengamat disebabkan
oleh
beberapa
fenomena,
yaitu;
pertama,
setelah
desentralisasi
intensitas
kebijakan
kependudukan dan segala program di daerah tidak lagi setajam di era Orde Baru; kedua, capaian
penggunaan kontrasepsi sekalipun sudah relatif tinggi namun efektifitas penggunaan alat
kontrasepsi masih rendah. Di mana peserta KB aktif umumnya adalah wanita dan berdimensi
kontrasepsi jangka pendek. Persoalan ini menjadi semakin kompleks ketika biaya untuk
mendapatkan kontrasepsi relatif tinggi untuk ukuran kurang mampu; ketiga, prioritas program KB
dalam menjangkau kelompok PUS masih belum terlayani secara maksimal. SDKI 2007 dan 2012
menunjukkan angka unmeet need yang masih berkisar antara 11-12 persen. Padahal jika
program KB diarahkan kepada kelompok ini sebenarnya akan semakin baik dampaknya terhadap
penurunan angka kelahiran.
Terkait penyelenggaran Keluarga Berencana (KB) di era otonomi daerah, pelaksanaan KB secara
struktural berada di bawah koordinasi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
hanya di tingkat provinsi, sementara pada level kabupaten/kota secara penuh dilimpahkan kepada
daerah. Sejak saat itu, muncul beragam variasi kebijakan terhadap KB di tingkat daerah/kota.
Bahkan, sebagian besar daerah menganggap program KB tidak termasuk skala prioritas dan
bukan sektor strategis. Padahal, pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkendali
mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan seperti, ekonomi, pendidikan, lingkungan,
kesehatan, dan sosial. Berbagai persoalan ini jika tidak terpenuhi akan memunculkan persoalan
sosial lainnya seperti pengangguran, pencurian, permpokan, pembegalan, dan masalah kriminal
lainnya. Masalah-masalah tersebut akan menambah beban bagi pemerintah baik pusat maupun
daerah.
582
Berkaitan dengan masalah di atas, kajian ini diharapkan dapat menggambarkan dan
mendeskripsikan Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kesertaan KB melalui metode
kontrasepsi jangka panjang (MKJP) di Kabupaten Tulang bawang Barat tahun 2014.
Metodologi
Berangkat dari hasil Telaah Program Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga Provinsi
Lampung Tahun 2014, Kabupaten Tulang Bawang Barat baru memiliki akseptor KB MKJP
sebesar 16,21%. Capaian KB melalui MKJP dari kabupaten ini berada pada kuadran IV dengan
katergori rendah. Hal ini jauh lebih rendah daripada capaian KB MKJP di tingkat provinsi, yakni
sebesar 22,03% dan di tingkat nasional sebesar 26,03%. Selanjutnya yang dijadikan sumber data
dari kajian ini adalah SKPD, PLKB dan Medis (bidan dan dokter) yang ada di wilayah Tulang
Bawang Barat. Adapun penentuan sumber data kajian ini dilakukan dengan cara purposive, yakni
mendapatkan sumber data disesuaikan dengan kebutuhan. Oleh sebab itu, sumber data kajian ini
adalah hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa informan (SKPD, PLKB dan petugas
Medis (bidan dan dokter) yang ada di daerah terteliti. Dalam hal ini, informan yang diwawancarai
dalah beberapa informan yang dibutuhkan saja (purposive) yang dianggap mampu memberikan
keterangan yang diperlukan dan tentu saja keabsahan datanya dapat dipercaya. Informan yang
diwawancarai dalam kajian ini diambil secara snowball dengan tujuan agar data yang diinginkan
benar-benar terpenuhi dan terwakili. Oleh sebab itu, pengambilan data dalam kajian ini melalui
wawancara mendalam (in depth interview) terhadap orang-orang yang dibutuhkan keterangannya
sehingga diperoleh data yang mencapai titik kejenuhan dan dapat dipertanggungjawabkan.
583
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif yang bersifat interaktif yang
disampaikan oleh Hubberman dan Miles (1992:20) di mana terdapat tiga hal utama dalam analisis
interaktif, yakni: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Hal tersebut
menurut Fuad dan Nugroho (2014) sebagai suatu yang jalin menjalin pada saat sebelum, selama,
dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk sejajar, untuk membangun wawasan umum yang
disebut analisis. Adapun langkah-langkah menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Melakukan pengumpulan data di lapangan.
2. Melakukan reduksi data dalam arti data tersebut dipilih dan difokuskan sesuai pertanyaan
penelitian serta dilakukan analisis secara deskriptif interaktif untuk mendapatkan data yang
sesungguhnya.
3. Melakukan penyajian data yang telah dianalisis sebagai upaya untuk menarik sebuah
kesimpulan dan pengambilan keputusan terhadap data yang telah dianalisis.
4. Melakukan verifikasi atau menarik sebuah kesimpulan terhadap hasil penelitian.
Hasil
Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan terungkap bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi rendahnya kesertaan keluarga berencana (KB) melalui metode kontrasepsi jangka
panjang (MKJP) di Kabupaten Tulang Bawang Barat meliputi:
a. Faktor Petugas Medis
Faktor petugas medis (bidan dan dokter) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
rendahnya kesertaan KB MKJP di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Berdasarkan keterangan
yang didapat, hal ini dikarenakan selain petugas medis yang masih masih terbatas, juga
dikarenakan petugas medis sendiri sebagai ujung tombak lebih menyukai penggunaan suntik.
Petugas medis merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi penting dan
strategis terutama dalam penurunan angka kelahiran. Maka, dalam konteks di atas cara yang
paling efektif untuk menggalakan program KB MKJP adalah melalui penguatan petugas
kesehatan dalam pelayanan dan peningkatan kualitas seperti bidan-bidan desa untuk
berperan secara aktif dalam memberikan pemahaman dan pelayanan kepada masyarakat
tentang manfaat KB MKJP. Pelatihan kepada bidan desa sangat penting digalakkan
mengingat peran bidan desa dalam pengendalian penduduk di level akar rumput sangat
584
signifikan. Untuk itu, peran bidan dan pelayanan keluarga berencana merupakan satu
kesatuan untuk mengajak masyarakat ikut program KB MKJP.
Dalam konteks di atas, untuk menguatkan petugas kesehatan dalam upaya meningkatkan
program KB di antaranya dapat dilakukan dengan penyebaran bidan ke setiap daerah di
perdesaan sehingga dapat mengatasi kebutuhan masyarakat terhadap alat kontrasepsi jangka
panjang. Di Kabupaten Tulang Bawang Barat terdapat 85 bidan yang tersebar di delapan
Puskesmas, namun yang menjadi kendala pelaksanaan program KB di kabupaten baru ini
yaitu hanya memiliki tiga (3) tenaga PLKB. Sebagaimana dimaklumi, bahwa minimnya sumber
daya manusia tersebut membuat program KB sulit dapat menyentuh hingga level akar rumput
terutama di kalangan masyarakat awam.
b. Faktor Budaya
Faktor budaya masih menjadi hambatan dalam pelaksanaan program KB di Kabupaten Tulang
Bawang Barat. Hal ini disebabkan karena pengaruh tentang nilai anak dalam masyarakat
Lampung masih tampak kental sekali. Nilai merupakan konstruksi masyarakat yang tercipta
melalui interaksi di antara para anggota masyarakat. Nilai tercipta secara sosial bukan secara
biologis atau bawaan sejak lahir. Nilai memuaskan manusia dan mengambil bagian dalam
usaha pemenuhan-pemenuhan kebutuhan sosial, nilai-nilai juga melibatkan emosi. Syani
(1995) mendefinisikan nilai sebagai kumpulan perasaan mengenai apa yang dinginkan atau
yang tidak diharapkan, mengenai yang boleh dilakukan atau yang tabu dilakukan. Kaitannya
dengan nilai tersebut, beberapa kelompok masyarakat di Kabupaten Tulang Bawang Barat
dan beberapa kabupaten di Provinsi Lampung memiliki nilai yang bertolak belakangan dengan
program KB dalam memahami kehadiran seorang anak. Diantaranya mereka berkeyakinan
bahwa setiap anak membawa rezeki sendiri sehingga banyak anak akan banyak rezeki. Selain
itu, dalam komunitas masyarakat Lampung kedudukan anak laki-laki yang dianggap sebagai
penerus keturunan keluarga, maka hal itu sangat berpengaruh terhadap jumlah anak.
Misalnya, dalam sebuah kelurga yang masih belum mendapatkan anak laki-laki maka
kehadiran seorang anak tersebut tetap menjadi penantian, sehingga dalam konteks ini
kehadiran seorang yang tidak diharapkan karena tidak sesuia dengan yang diharapkan sangat
rentan terjadi.
Masalah budaya dapat menimbulkan masalah serius dalam hubungannya dengan program
KB, sehingga perlu adanya kerjasama anggota masyarakat untuk mengontrol banyaknya anak
585
dalam satu keluarga. Dalam hal ini, peran serta masyarakat sangat penting agar dapat saling
mengingatkan, ikut serta dalam program pemerintah, menghimbau masyarakat lainnya untuk
berpartisipasi di dalamnya. Di Kabupaten Tulang Bawang Barat, berkaitan dengan nilai anak
kelompok etnik Lampung dan Batak memiliki kecenderungan memiliki jumlah anak lebih dari
dua. Bagi orang Lampung yang memiliki budaya patrenial yang sangat kuat berpengaruh
terhadap nilai anak laki-laki di mata keluarga, hal itu karena garis keturunan keluarga jatuh
pada anak laki-laki. Untuk itu, ketika dalam keluarga masih belum memiliki anak laki ada
kecenderungan mereka akan menambah anak hingga mendapatkan anak yang diharapkan
tersebut.
Selain orang Lampung, orang Batak juga memiliki nilai budaya yang bertolak belakang dengan
program KB, yaitu nilai kebanggaan terhadap jumlah komunitas keluarga yang banyak.
Menurut keyakinan mereka, ketika seseorang keluarga memiliki jumlah anak yang banyak
maka di masa tuanya mereka akan banyak yang merawat. Dalam konteks ini, meskipun orang
Batak juga memilki budaya patrineal namun selain itu mereka juga memiliki nilai yang tinggi
terhadap jumlah komunitas.
Sementara itu untuk orang Jawa, mereka yang memiliki kecenderungan punya anak lebih dari
dua adalah mereka yang bergabung dengan komunitas organisasi keagamaan tertentu.
Menurut kelompok ini Islam sangat menganjurkan untuk melahirkan anak-anak dan
memperbanyak keturunan dengan merujuk pada Al Araf: 86 yang berbunyi: Ingatlah di waktu
dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu, dan juga sabda
Rasulullah: Nikahilah wanita-wanita yang pencintan dan bisa beranak banyak. Sesungguhnya
aku akan membanggakan banyaknya umatku di hadapan umat-umat lain (HR. Abud Daud)
Pada dasarnya semakin banyak jumlah penduduk di suatu daerah, maka ini berdampak pada
jumlah penduduk ke depannya. Jika tidak ditanggulangi dari sekarang, jumlah penduduk
semakin lama semakin bertambah. Apalagi jika penduduk di suatu daerah tersebut memiliki
budaya yang variatif
terhadap KB. Masalah ini ini akan berdampak pada kesertaan KB di daerah setempat.
c. Faktor Sosial
Dari hasil temuan dilapangan membuktikan bahwa faktor sosial merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi rendahnya kesertaan KB melalaui MKJP di Kabupaten-kabupaten di
586
Lampung, baik di Kabupaten Tulang Bawang Barat maupun di Kabupaten lainnya. Masyarakat
Tulang Bawang Barat menyebar di beberapa daerah daerah yang jaraknya jauh dari kantor
SKPD KB maupun dari tempat-tempat pelayanan KB. Banyak masyarakat yang khususnya
tinggal di pelosok desa, mereka enggan untuk datang ke pertemuan-pertemuan KB dengan
alasan jauh dari tempat tinggalnya. Selain itu, masyarakat lebih menyukai KB non-MKJP
daripada KB dengan mengunakan MKJP. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain
faktor tempat tinggal yang jauh, sikap terhadap kesertaan KB melalui MKJP masih kurang,
dan pengetahuan masyarakat terhadap alat-alat KB modern itu sendiri masih rendah.
Jika dikaji lebih mendalam terlihat bahwa masyarakat yang tinggal di daerah terpencil akan
sulit mendapatkan pemahaman tentang alat kontrasepsi keluarga berencana (KB). Apalagi jika
pendidikannya masih rendah. Mereka memilih untuk pasrah dengan keadaan yang
dialaminya. Bagi mereka hidup harus dijalani kerena itu semuanya telah ditentukan oleh sang
pencipta, yaitu Allah. Prinsip hidup seperti itu sebaiknya sudah tidak digunakan lagi untuk saat
ini. Meskipun kita wajib melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, itu
bukan berarti kita tidak boleh mengubah hidup kita lebih baik daripada sebelumnya.
Pada dasarnya, masyarakat yang memiliki pengetahuan yang tinggi dan mau bergaul dengan
orang lain, serta mampu mengubah mainsednya ia akan lebih terbuka dan lebih mudah
menerima suatu pertubahan dalam hidupnya. Ia akan lebih proaktif untuk mengubah hidupnya
menjadi lebih baik. Oleh sebab itu, ia membutuhkan motivasi baik dari diri sendiri maupun dari
orang lain untuk mengubah pola hidupnya. Hal inilah yang mengharuskan masyarakat (PUS)
untuk selalu
berinteraksi
KBMKJP yang diberikan oleh petugas KB baik dari petugas medis maupun PLKB akan lebih
mudah diterima oleh PUS. Namun, kenyataan yang ada di lapangan sebagian besar peserta
KB lebih memilih suntik KB dan Pil KB.
d. Faktor Ekonomi
Dari hasil temuan di lapangan, keluarga yang memiliki ekonominya rendah atau prasejahtera
(pra KS), beberapa keluarga ini malah cenderung tidak mau masuk menjadi akseptor KB.
Kalaupun ada, kontrasepsi yang mereka pilih kebanyakan non MKJP seperti pil KB, suntik,
kondom, dan lain-lain. Oleh sebab itu, mereka lebih mengandalkan program gratis dari
pemerintah karena bagi mereka biaya KB melalui MKJP lebih mahal daripada biaya KB NonMKJP.
587
Dalam konteks di atas, sejak era otonomi daerah kewenangan Pemerintah Pusat untuk
mendorong pelaksanaan KB di daerah sangat terbatas. Bantuan pemerintah pusat kepada
daerah berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) namun hanya diperuntukkan bagi sarana dan
prasarana kesehatan seperti dipakai untuk membeli mobil unit penerangan, mobil unit
pelayanan, sepeda motor bagi petugas lapangan KB dan alat-alat keperluaan KB lainnya.
Sementara itu, untuk operasional pelaksanaan KB menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, yang
menjadi persoalan kemudian adalah banyak pejabat daerah merasa enggan secara penuh
memperhatikan program KB karena tidak mendatangkan sumber pendapatan bagi daerah,
padahal program KB sebenarnya tidak hanya membatasi angka kelahiran melainkan lebih
jauh lagi dapat meningkatkan kualitas penduduk dengan ketahanan keluarga.
Bila dibandingkan dengan masa Presiden Soeharto, program keluarga berencana menjadi
prioritas pembangunan jangka panjang setelah Indonesia menandatangani Deklarasi PBB
(Perserikatan Antar Bangsa-Bangsa) di Teheran bersama 20 Pemimpin Negara lainnya pada
tahun 1967. Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan Deklarasi PBB tersebut maka
dibentuklah Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) tahun 1969 sebagai upaya untuk
menekan angka kelahiran. LKBN yang Semi Pemerintah ini kemudian ditingkatkan menjadi
Lembaga Pemerintah Non Departemen melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 8 tahun
1970 tentang Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan tugas
menjalankan koordinasi dan integrasi terhadap pelaksanaan program nasional secara terpadu.
Atas dasar Keppres tersebut Program KB mulai digalakkan dengan mengkoordinasikan
dengan Instansi Pemerintah, Swasta dan Institusi Masyarakat serta memperkuat komitmen
politis sampai ke tingkat desa dengan target menurunkan angka kelahiran 50% pada tahun
1990 dibandingkan dengan keadaan tahun 1970. Namun, seiring jatuhnyar rezim Orde Baru
(1998) program KB 2 anak cukup mendapatkan protes kelompok reformis karena dianggap
melanggar Hak Azasi Manusia (HAM). Akibat dari desakan tersebut terbitlah Keppres No. 103
tahun 2001 tentang Tugas dan Kewenangan Lembaga Pemerintah Non Departemen. Salah
satu pasalnya menegaskan bahwa sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh
BKKBN akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah selamat-lambatnya 31 Desember 2003.
Sejak pelimpahan wewenang program kependudukan kepada pemerintah daerah (2004) di
atas program KB tidak lagi berjalan maksimal karena daerah menilai program KB tidak
penting. Sehingga komitmen anggaran terhadap bidang kependudukan menjadi sangat kecil
588
yaitu rata-rata daerah hanya mengalokasikan 0,4% dana APBD-nya untuk bidang
kependudukan.Bahkan dari 511 kabupaten/kota yang memiliki urusan kependudukan, hanya
20 daerah yang kelembagaannya utuh. Bahkan, ada daerah yang tidak memasukkan urusan
kependudukan ke satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Kondisi menjadi sangat
memprihatikan ketika banyaknya PKB/PLKB dimutasi ke unit lain yang tidak ada hubungannya
dengan bidang KB. Akibat mutasi dan PKB/PLKB yang pensiun, jumlahnya menyusut drastis
di era otonomi daerah.
e. Faktor Pendidikan
Sejalan dengan yang dikemukan dalam teori Anderson (2003) bahwa pendidikan
mempengaruhi pemilihan alat kontrasepsi. Pendidikan seorang ibu akan menentukan pola
penerimaan terhadap informasi dan pengambilan keputusan, semakin berpendidikan seorang
ibu, maka keputusan yang akan diambil akan lebih baik.
Berdasarkan keterangan yang didapat di lapangan sependapat bahwa pendidikan merupakan
salah satu faktor yang sangat menentukan terhadap pengetahuan dan persepsi seseorang
terhadap pentingnya keikutsertaan dalam KB. Seseorang yang berpendidikan tinggi umumnya
memiliki pengetahuan terhadap sesuatu hal lebih luas, termasuk tentang pembatasan angka
kelahiran. Hubungan antara pendidikan dengan pola pikir, persepsi dan perilaku masyarakat
sangatlah signifikan dalam hal pengambilan keputusan pilihan-pilihan jenis KB. Selain faktor
pendidikan, peran bidan tetaplah penting dalam menyosialisasikan jenis alat kontrasepsi
kepada masyarakat. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap jenis-jenis kontrasepsi
jangka panjang membuat program KB seakan berjalan di tempat.
Mengacu pada pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa keberhasilan program KB MKJP
setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Adapun yang
dimaksud dengan faktor internal yaitu berkaitan dengan tingkat pendidikan di mana mereka
yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung mempunyai aktivitas tinggi sehingga
berpengaruh terhadap keputusan jumlah anak dalam keluarga. mereka yang berpendidikan
tinggi memiliki pemahaman yang rasional terkait dampak tentang kepadatan penduduk.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah kemampuan bidan dalam
memberikan informasi yang objektif dan lengkap terkait keutamaan-keutamaan pemakaian
metode kontrasepsi jangka panjang.
589
f.
590
Pada dasarnya program KB melalui MKJP ini merupakan salah satu persoalan yang perlu dicari
solusinya. Kenyataan di lapangan masih banyak masyarakat yang belum memahami KB melalui
MKJP ini sehingga tingkat KB MKJP di daerah Lampung masih rendah jika dibandingkan dengan
KB melalui non-MKJP. Dalam hal ini, penyebab rendahnya PUS dalam memilih KB melalui MKJP
sebenarnya karena kurangnya sarana dalam pelayanan KB itu sendiri. sarana yang dibutuhkan
dalam pelayanan KB ini bisa berupa rumah sakit, puskesmas, bidan desa, dokter, dan petugas
PLKB itu sendiri yang harus hadir di setiap daerah dan melaksanakan fungsinya secara maksimal.
Pembahasan
Berdasarkan laporan Kontrak Kinerja Provinsi (KKP) Lampung 2014 capaian CPR Kabupaten
Tulang Bawang Barat sudah mencapai target 69,9 persen dari target 75,07 persen di tingkat
provinsi. Angka tersebut menggambarkan bahwa pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB)
di Tulang Bawang Barat sudah cukup berhasil dalam mengurangi angka kelahiran. Namun, jika
kita melihat pada capaian MKJP jauh daripada target propinsi, yaitu hanya 5,0 persen dari target
provinsi 26,03 persen. Di samping itu yang tidak kalah mengkawatirkan adalah tingkat ASFR (1519) Kabupaten Tulang Bawang Barat pada angka 67 persen. Dua fenomena tersebut
mencerminkan tingginya proyeksi penambahan jumlah penduduk di kabupaten tersebut,
kenyataan ini sudah terlihat dengan membandingkan jumlah penduduk Tulang Bawang Barat
tahun 2012 berdasarkan data Badan Pusat Statistik berjumlah 258.458 jiwa sekarang (2014)
meningkat menjadi 278.211 jiwa (Laporan Kependudukan Kabupaten Tulang Bawang Barat
Triwulan III [Juli, Agustus, September 2014]). Itu artinya kegagalan program KB MKJP di
kabupaten tersebut akan menambah sederet persoalan kependudukan baik dalam jangka
panjang maupun jangka pendek terkait dengan pemenuhan program-program kesejahteraan bagi
pemerintah daerah.
Berdasarkan sumber data yang sama, jumlah presentase peserta KB MKJP lama dan peserta KB
MKJP baru tidak mengalami perubahan yaitu tetap pada angka 11.896 atau 45,35 persen.
Kenyataan ini terjadi menurut laporan RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) Kabupaten
Tulang Bawang Barat tahun 2014 disebabkan oleh Petugas Lapangan KB (PLKB) belum optimal
dalam melakukan mekanisme operasional program sehingga berdampak terhadap keberhasilan
program. Berkaitan dengan masalah ini ketika menurut SKPD KB Tulang Bawang menjelaskan
bahwa ketidak optimalan peran PLKB tidak lain karena minimnya jumlah kader PLKB yang ada di
lapangan.
591
Kenyataan terjadinya krisis kader PLKB di daerah sebagaimana di Kabupaten Tulang Bawang
Barat tersebut diakui oleh Kepala BKKBN, Fasli Jalal, bahwa krisis PLKB terjadi secara merata
seluruh Indonesia sejak era otonomi daerah di mana tenaga PLKB banyak yang dipindahpindahkan akibat tidak ada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD).
Pada masa Orde Baru jumlah PLKB mencapai 40 ribu orang. Sementara itu saat ini hanya
berkisar
15
ribu
orang
dengan
kondisi
desa
dan
keluarga
yang
terus
bertambah
(http://www.sindotrijaya.com).
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya
kesertaan KB melalui MKJP adalah faktor petugas medis (bidan dan dokter), budaya, sosial,
ekonomi, pendidikan, sarana, dan pelayanan KB itu sendiri. Hal ini terbukti dari hasil wawancara
peneliti dengan petugas PLKB dan petugas medis (bidan dan dokter) di daerah setempat yang
isinya sebagai berikut.
1. Penggunaan IUD terkendala kerena keputusan suami yang masih beranggapan bahwa IUD itu
mengganggu hubungan seksual dan menyebabkan kurang nyaman.
2. PUS memiliki rasa malu menggunakan KB melalui MKJP (IUD) khususnya pada saat
pemasangan. Hal ini akan menghambat penggunaan MKJP.
3. Masyarakat awam memandang bahwa kalau terjadi kegagalan IUD bisa saja alat kontrsepsi
tersebut menempel di kepala bayi. Padahal itu, pendapat yang keliru (mitos).
Hasil temuan dalam kajian ini diperoleh bahwa pengaruh dukungan suami merupakan salah satu
faktor dominan yang menentukan PUS menggunakan MKJP. Hal ini sebagaimana diungkapkan
dalam teori Lawrence Green bahwa faktor dukungan suami dapat dikatakan sebagai salah satu
faktor anteseden atau pemungkin yang memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana.
Perpadauan antara dukungan suami dengan kemauan yang kuat dari isteri dalam menetapkan
pilihan pada alat kontrasepsi terbukti efektif membuahkan keputusan yang bulat bagi kedua
pasangan dalam memilih menggunakan alat kontrasepsi.
Adanya dukungan suami dalam pemilihan MKJP disebabkan factor sosial budaya yang sangat
tinggi yang mengharuskan suami memberikan dukungan dan kasih sayang untuk isterinya.
Apalagi dalam konteks Indonesia, keputusan suami dalam mengizinkan isteri adalah pedoman
penting bagi isteri untuk menggunakan alat kontrasepsi. Bila suami tidak mengizinkan atau
mendukung, hanya sedikit isteri yang berani untuk tetap memasang alat kontrasepsi tersebut.
Dukungan suami sangat berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan menggunakan atau
dipengaruhi oleh faktor sosial budaya.
592
Keengganan suami dalam memberikan dukungan terhadap isterinya bisa disebabkan kurangnya
informasi yang diperoleh suami sehingga dalam memberikan dukungan pemilihan alat kontrasepsi
secara umum. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting dalam membentuk
tindakan seseorang.
Pada dasarnya, salah satu hambatan dalam penerimaan kontrasepsi adalah malu waktu
pemasangan karena ada larangan (tabu) untuk memanipulasi alat kelamin wanita, sehingga alat
kontrasepsi tersebut menghilangkan minat wanita. Padahal itu hanyalah kesalahan persepsi
masyarakat saja. Dalam hal ini, masayarakat perlu diberi pemahaman yang mendalam tentang
pemakain alat kontrasepsi baik yang menggunakan MKJP maupun non-MKJP.
Faktor Sosio Demografi merupakan salah satu faktor yang juga mempengaruhi sesorang memilih
alat kontrasepsinya baik melalui MKJP maupun non-MKJP. Sosio Demografi ini meliputi unsur
tingkat pendidikan dan pengetahuan. Dalam hal ini, seringkali dijumpai bahwa lingkungan sosial,
budaya, stigma, dan norma lebih dominan memberikan pengaruh negatif
terhadap informan
593
Temuan lain dalam penelitian ini adalah faktor Nilai. Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian
ini faktor nilai dapat menyebabkan rendahnya kesertaan KB melalui MKJP di Lampung. Nilai
tercipta secara sosial bukan secara biologis atau bawaan sejak lahir. Nilai memuaskan manusia
dan mengambil bagian dalam usaha pemenuhan-pemenuhan perasaan mengenai apa yang
diinginkan atau yang tidak diharapkan, mengenai yang boleh dilakukan atau yang tabu dilakukan.
Keadaan ini menggambarkan bahwa nilai yang dianut masih kental di daerah-daerah yang ada di
Lampung.
Keberadaan kultur juga tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya. Melalui kultur, manusia
belajar tentang banyak hal, seperti nilai-nilai, kepercayaan, perilaku, dan objek-objek material
lainnya yang mencermintkan cara hidup masyarakat (Macionis, 1997). Kultur adalah strategu
keberlangsungan hidup bagi masyarakat. Di dalam kultur terdapat peta pemahaman (map of
understanding) yang akan mengarahkan apa yang harus dilakukan manusia dan bagaimana
mereka melakukannya (Bennet, 1998). Sebagai sebuah strategi survival, masyarakat memiliki
harapan agar kultur dapat membantu mereka dalam mengatasi persoalan hidup.
Akan tetapi, kadang-kadang kultur tidak dapat berperan sesuai harapan manusia, lebih jauh lagi
pendekatan kultural tidak selalu berhasil dalam membantu manusia memecahkan persoalannya.
Dalam konteks ini kultur, bahkan bisa menghambat dalam memecahkan persoalan mengapa hal
ini bisa terjadi? Salah satu asumsi dasarnya adalah perubahan sosial yang terjadi saat ini telah
menimbulkan persoalan-persoalan yang baru dan kompleks mengenai kehidupan manusia.
Ada pertanyaan yang membutuhkan jawaban lugas di dalam masyarakat adalah mengapa MKJP
rendah di Lampung? Perlu diketahui bahwa Fatwa Haram MUI tentang alat kontrasepsi vasektomi
berpengaruh di masyarakat. Mitos bahwa vasektomi menurunkan gairah seks juga menjadi
momok yang membatasi peran serta pria dalam KB. Selain itu juga masih ada tokoh agama yang
memimiliki interpretasi terhadap teks agama yang dianutnya yaitu adannya larangan untuk
membatasi jumlah anak dan menganggap KB merupakan perbuatan yang mutasyabihat (samarsamar, antara halal dan haram) juga mempengaruhi KB secara umum.
Di Indonesia, bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling banyak memberikan pelayanan KB.
Hal ini karena Bidan berada lebih dekat dengan masyarakat dibanding penyedia layanan KB
lainnya. Sebaliknya peran Petugas Lapangan KB (PLKB) di lapangan tidak berjalan maksimal. Hal
ini karena jumlah PLKB saat ini lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini
menyebabkan informasi mengenai KB tidak dapat tersebar merata ke seluruh lapisan masyarakat.
594
Berdasarkan fakta di atas perlu adanya kebijakan strategis dan upaya dari pemerintah untuk
meningkatkan kesertaan KB melalui MKJP (IUD, MOP, MOW, dan Implant) di Provinsi Lampung,
antara lain adalah:
a. Meningkatkan pelayanan KB melalui MKJP secara maksimal.
b. Meningkatkan komitmen dan kemitraan bersama Ormas, OSIS, Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM), Unit Kegiatan Siswa (UKS), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan lembaga-lembaga
pendidikan.
c. Memberikan pendidikan tentang alat-alat kontrasepsi KB khususnya KB-MKJP seperti IUD,
Inplant, MOW, dan MOP kepada PUS, siswa remaja, dan mahasiswa.
d. Meningkatkan anggaran/dana untuk pelaksanaan KB khususnya KB melalui MKJP yang
dituangkan dalam RAPBD dan RAPBN.
e. Meningkatkan SDM bagi petugas KB lapangan (PLKB) dan petugas medis (dokter dan bidan)
di setiap daerah di Lampung dengan mengikuti pelatihan-pelatihan secara rutin tentang
penggunaan alat kontrasepsi KB-MKJP.
f.
g. Memperbanyak petugas KB Lapangan (PLKB) dan petugas medis (bidan dan dokter) di setiap
daerah di Lampung secara merata yang bertugas melayani KB MKJP.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor penyebab rendahnya kesertaan KB melalui MKJP di Lampung adalah;
1. Faktor petugas medis, bidan yang semestinya menjadi ujung tombak pelaksanaan KB MKJP
dalam praktiknya justru bertolak belakang;
2. Faktor budaya, tidak populernya KB MKJP pada kelompok etnik tertentu karena faktor budaya
dalam kelompok tersebut, seperti etnik Lampung yang kental dengan budaya patrenial
berpengaruh terhadap jumlah anak ketika masih belum mendapatkan anak laki, begitu juga
dengan suku Batak yang memiliki kebanggaan terhadap komunitas keluarga besar membuat
program KB MKJB justru dianggap bertententangan dengan nilai budaya mereka. Hal yang
tidak jauh berbeda dalam komunitas keluarga muslim (Jawa) tertentu yang menganggap
595
pembatasan jumlah anak sebagai perbuatan yang tidak diridhoi Allah Swt. Hal ini juga
membuat program KB tidak dianjurkan dalam komunitas mereka;
3. Faktor sosial, keberadaan tempat tinggal PUS dan pemahamanan tentang KB MKJP masih
rendah berpengaruh terhadap kesertaannya untuk ber-KBMKJP;
4. Faktor ekonomi, mahalnya biaya jasa pemasangan KB MJP berpengaruh terhadap
rendahnya pemakaian alat kontrasepsi KB MKJP di masyarakat;
5. Faktor Pendidikan, rendahnya pendidikan masyarakat (PUS) berpengaruh tingkat pernikahan
dini di beberapa kelompok etnik tertentu di Lampung, sehingga hal tersebut berpengaruh
terhadap rendahnya pengetahuan masyarakat tentang arti keluarga sejahtera;
6. Faktor Sarana dan pelayanan program KB itu sendiri, di setiap desa khususnya desa terpencil
sarana untuk pelayanan program KB masih kurang dan pelayanan KB khususnya KB MKJP
pun masih belum optimal.
Berdasarkan pembahasan di atas ada beberapa hal yang dapat disarankan, yakni sebagai
berikut.
1. Perlu adanya kebijakan strategis dan upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kesertaan
KB melalui MKJP (IUD, MOP, MOW, dan Implant) di Provinsi Lampung.
2. Pemerintah perlu memberikan penghargaan dan kemudahan-kemudahan bagi masyarakat
(PUS) yang akan menjadi akseptor KB melalui MKJP.
3. Pemerintah perlu memikirkan insentif
bertugas di daerah-daerah dan di pelosok desa yang secara optimal melayani KB khususnya
KB-MKJP.
4. Petugas KB lapangan (PLKB) dan petugas Medis (bidan dan dokter) perlu proaktif melayani
kebutuhan KB bagi masyarakat (PUS) khususnya melayani KB melalui MKJP.
5. Pasangan Usia Subur (PUS) perlu menyadari bahwa mengikuti program KB melalui MKJP
seperti IUD, inflant, MOW, dan MOP lebih aman daripada melalui non-MKJP seperti pil KB,
suntikan, kondom, dan lain-lain untuk membatasi angka kelahiran dalam jangka panjang.
Dengan demikian, perlu dilakukan sosialisasi dan pemberian pemahaman secara mendalam
kepada PUS tentang pentingnya program KB melalui MKJP.
Daftar Pustaka
Asih, Oesman. (2009). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemakaian Kontrasepsi Jangka
Panjang (MKJP). Analisis Lanjut SDKI 2007. Jakarta: BKKBN.
596
597
Pendahuluan
598
diklat
aparatur
sebagai
kebutuhan.
Tantangan
pertama
terkait
599
Pemerintah
Kabupaten
Cilacap
sesuai
RPJMD
(Rencana
600
Pengembangan
Perekonomian
yang
Bertumpu
pada
diklat
sebagai
strategi
pengembangan
kompetensi,
pegawai
dinyatakan
memiliki
kesempatan
untuk
meningkatkan
pendidikan
dan
pelatihan
aparatur
serta
pembinaan
dan
601
mengikuti diklat minimal 40 jamlat (Jam Pelajaran) setiap tahunnya. Hal ini
merupakan peluang untuk peningkatan kompetensi aparatur dan dukungan
kebijakan dalam pelaksanaannya.
Pendidikan dan pelatihan merupakan langkah strategis terkait kebijakan
reformasi birokrasi yang menuntut adanya peningkatan profesionalisme PNS.
Peningkatan kualitas pelayanan publik yang yang menjadi tanggungjawab
instansi selayaknya menjadi.prioritas dalam penentuan program yang akan
dilaksanakan.
Untuk
Pemerintah
pendidikan
mewujudkan
Kabupaten
komitmen
Cilacap
dan pelatihan
profesionalisme
telah
yang
sesuai
aparatur
memrogramkan
tersebut,
penyelenggaraan
dengan kebutuhan.
Pemerintah
program-program
Diklat
merupakan
aparatur
yang
memang
602
Melalui berbagai kegiatan, Badan Diklat, Arsip dan Perpusda Kabupaten Cilacap
pada dasarnya telah mengimplementasikan program peningkatan kualitas dan
layanan diklat, dan penyelenggaraan diklat pola 1 (satu) pintu. Berbagai
kebutuhan diklat dari SKPD di Kabupaten Cilacap juga dikelola dan
diselenggarakan sesuai kebijakan.
Pelaksanaan Diklat mengacu pada kebutuhan untuk mengatasi kesenjangan
berkaitan dengan hasil kerja (job performance), pengetahuan (knowledge),
ketrampilan (skills) dan atau tingkah laku (behavior/attitude).
Arah kebijkan dalam pengembangan aparatur tidak hanya pada upaya
peningkatan kapabilitas intelektualnya saja, namun juga peningkatan sikap dan
semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman dan
pemberdayaan masyarakat. Implikasi terhadap lembaga yaitu adanya kewajiban
untuk turut serta membangun karakter (character building) aparatur di Kabupaten
Cilacap.
Isu-isu strategis
603
604
605
akhirnya,
kedepan
kegiatan-kegiatan
diklat
tidak
hanya
Kesimpulan
hak
dari
pegawai.
Setiap
pegawai
memiliki
hak
untuk
mengembangkan diri selama 12 hari per tahun. Diklat aparatur juga penting guna
menyiapkan SDM aparatur yang handal dan profesional yang mampu memenuhi
dan menjalankan fungsinya dengan baik, yakni sebagai aparatur pelayanan
masyarakat, abdi negara dan abdi pemerintah.
606
Untuk itu, diklat sebagai salah satu aspek pengembangan diri untuk
mengisi kekurangan kompetensi yang dimiliki oleh pegawai ASN dan membentuk
kompetensi menghadapi tantangan masa depan, wajib diselenggarakan secara
terprogram, berkesinambungan dengan memperhatikan kebutuhan daerah, serta
tantangan yang dihadapi.
Juga pentingnya perluasan kegiatan diklat melalui ragam program kediklatan
sesuai jumlah urusan yang menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk
menyelenggarakannya.
Kabupaten Cilacap adalah diklat yang diselenggarakan selama ini lebih banyak
terpusat pada diklat prajabatan dan diklat kepemimpinan, sedangkan perhatian
pada diklat teknis dan diklat sosio-kultural amat rendah. Badan Diklat, Arsip dan
Perpusda sebagai lembaga diklat
daerah dituntut
Referensi
607
608
IMPLEMENTASI
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
( BPJS )
Oleh : Dr. Sri Rahayu, SH.MM, Widyaiswara Madya
Pusdiklat Kementerian Ketenagakerjaan RI
Jl.Kp. Lembur, Kel./Kec. Makasar, Jakarta Timur, Kode Pos 13570
Telp. 8090804, 8090952, 8000828 Fax. : (021) 8090739
Abstract: Social Security will be held by the Social Security Agency (BPJS) which is the
institutional transformation of PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT
TASPEN (Persero) and PT Asabri (Persero). In order to provide legal certainty for the
establishment of Law No. BPJS diterbitkanlah 24 of 2011 on BPJS. Under the bill, will
be formed two BPJS namely BPJS a transformation of PT Askes (Persero) and BPJS
Employment is the transformation of PT Jamsostek (Persero). Further regulation was
issued on a program organized by BPJS ie Presidential Regulation No. 12 Year 2013
on Health Insurance. The purpose of this study was to describe the transformation of PT
Askes (Persero) to BPJS through the implementation of the Health Insurance program.
and BPJS Employment is the transformation of PT Jamsostek (Persero) This study
included descriptive research with a qualitative approach.
Pendahuluan
Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi, pemerintah bertanggung
jawab
atas
pelaksanaan
jaminan
kesehatan
masyarakat
melalui
609
pemerintah
memberikan
jaminan
melalui
Jaminan
Kesehatan
Masyarakat
(Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skemaskema tersebut masih terfrag mentasi, terbagi- bagi. Biaya kesehatan dan mutu
pelayanan menjadi sulit terkendali. Untuk mengatasi hal itu, pada tahun 2004,
dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
UU 40/2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan social wajib bagi seluruh penduduk
termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan,
Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1
Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain: Peraturan Pemerintah No.101 Tahun
2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013
tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan
Nasional).
Metode penelitian
Metode Penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundangundangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Jenis dan sumber data yang digunakan adalah bahan hukum
primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder,
yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti buku-buku atau literature-literatur karangan para sarjana dan jurnal
ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini. Untuk memperoleh bahan hukum
yang
diperlukan,
menggunakan
Data
kepustakaan
(data
skunder),
610
HASIL
Pengertian BPJS
Badan Penyelenggara Jaminan sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah
badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (UU No
24 Tahun 2011). BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS
Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan kesehatan. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan
kesehatan
agar
peserta
memperoleh
manfaat
pemeliharaan
kesehatan
dan
611
menjamin
agar
peserta
memperoleh
manfaat
pemeliharaan
kesehatan
dan
berdasarkan
prinsip
asuransi
sosial
atau
tabungan
wajib,
untuk
mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau
berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total
tetap, oleh karena itu Jaminan pensiun ini diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti.
Sedangkan program jaminan kematian diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial dengan tujuan untuk memberikan santuan kematian yang
dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia.
TUGAS
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana tersebut diatas BPJS bertugas untuk:
a. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta;
b. Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja;
c. Menerima bantuan iuran dari Pemerintah;
d. Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta;
e. Mmengumpulkan dan mengelola data peserta program jaminan sosial;
612
f.
sosialisasi
program
jaminan
sosial
dan
keterbukaan
informasi.Tugas
Mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak
memenuhi kewajibannya;
613
hal
terjadi
kewenangan
penunggakan,
melakukan
kemacetan,
pengawasan
dan
atau
kekurangan
kewenangan
pembayaran,
mengenakan
sanksi
Kesehatan.
Kewajiban Peserta:
1. Mendaftarkan dirinya sebagai peserta serta membayariuran yang besarannya
Besaran Iuran
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, Iuran adalah sejumlah uang
yang dibayar secara teratur oleh Peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah. Dalam
pasal 19 ayat 5 mengenai ketentuan lebih lanjut, di sebutkan bahwa:
a. Besaran dan tata cara pembayaran Iuran program jaminan kesehatan diatur
dalam Peraturan Presiden; dan
b. Besaran dan tata cara pembayaran Iuran selain program jaminan kesehatan
diatur dalam Peraturan Pemerintah.
614
Dalam penjelasan pasal tersebut di jelaskan bahwa besar iuran yang yang
harus di berikan bergantung pada kebijakan yang di atur oleh pemerintah, dan jenis
BPJS yang di ikuti oleh peserta iuran.Besaran pembayaran kepada fasilitas kesehatan
ditentukan berdasarkan kesepakatan BPJS Kesehatan dengan asosiasi fasilitas
kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh
Menteri.
Selain itu dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004, di sebutkan
bahwa Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Dan Iuran program jaminan
sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah.
Hak dan Kewajiban BPJS
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Bab IV Bagian Keempat di jalaskan
mengenai hak dan kewajiban BPJS, yakni:
1.
Hak
Pasal 12 : Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
BPJS berhak untuk:
a. Memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang bersumber
dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
b. Memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan
Sosial dari DJSN setiap 6 (enam) bulan.
2.
Kewajiban
a. Memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta;
b. Mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS untuk sebesarbesarnya kepentingan Peserta;
c. Memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja,
kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya;
d. Memberikan Manfaat kepada seluruh Peserta sesuai dengan Undang-Undang
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
e. Memberikan informasi kepada Peserta mengenai hak dan kewajiban untuk
mengikuti ketentuan yang berlaku;
615
f.
g. Memberikan informasi kepada Peserta mengenai saldo jaminan hari tua dan
pengembangannya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
h. Memberikan informasi kepada Peserta mengenai besar hak pensiun 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun;
i.
Membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim
dan berlaku umum;
j.
616
Janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis
Kemerdekaan; dan
617
618
Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif namun masih
ada yang dibatasi, yaitu kacamata, alat bantu dengar (hearing aid), alat bantu
gerak (tongkat penyangga, kursi roda dan korset). Sedangkan yang tidak dijamin
meliputi:
Tidak sesuai prosedur
Pelayanan diluar Faskes Yg bekerjasama dng BPJS
Pelayanan bertujuan kosmetik
General check up, pengobatan alternative
Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, Pengobatan Impotensi
Pelayanan Kesehatan Pada Saat Bencana
Pasien Bunuh Diri /Penyakit Yg Timbul Akibat Kesengajaan Untuk Menyiksa Diri
DISKUSI
DISKUSI
Pertanggung Jawaban BPJS
BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang
diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (limabelas) hari sejak dokumen klaim
diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosias Fasilitas Kesehatan
di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh enteri
Kesehatan. Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran, Menteri
Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas program JKN yang diberikan.
Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dalam JKN, peserta
dapat meminta manfaat tambahan berupa manfaat yang bersifat non medis berupa
akomodasi. Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi
dari pada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan
tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS
Kesehatan dan biaya yang harus dibayarkan akibat peningkatan kelas perawatan,
yang disebut dengan iur biaya (additional charge). Ketentuan tersebut tidak berlaku
bagi peserta PBI. Sebagai bentuk pertanggung jawaban atas pelaksanaan tugasnya,
BPJS Kesehatan wajib menyampaikan pertanggung jawaban dalam bentuk laporan
pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai
dengan 31 Desember). Laporan yang telah diaudit oleh akuntan public dikirimkan
619
kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni
tahun berikutnya. Laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif
melalui media massa elektronik dan melalui massacetak yang memilik iperedaran
luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya, paling sedikit 2
(dua) media.
Penutup
Kesimpulan
1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah
badan hukum yang bentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan
adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan
kesehatan.
2. BPJS
diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (limabelas) hari sejak dokumen klaim
diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan
berdasarkan
kesepakatan
antara
BPJS
Kesehatan
dan
asosiasi
Nasional.
620