Está en la página 1de 630

DAFTAR ISI

Hal
Kata Pengantar.......................................................................................................................i
Daftar Isi ............................................................................................................................... ii
Evaluasi Program Diklat Pemeriksa Pajak Sebagai Implementasi
Manajemen Sumber Daya Manusia Direktorat Jenderal Pajak ............................................. 1
Budi Harsono
Tantangan Widyaiswara dalam Menghadapi Perkembangan
Teknologi Pembelajaran .................................................................................................... 11
Yuliana Ria Uli Sitanggang
Angka Kredit Sebagai Ukuran Kinerja Widyaiswa ...............................................................19
Alex Oxtavianus
Rencana Stratejik dalam Perencanaan Pembangunan (Studi Kasus Aplikasi Rencana
Stratejik Kota Makassar di Kecamatan Tamalate) ..............................................................30
Hariawan Bihamding
Fenomena Go-Jek, Rekam Data Dan Isu Strategis Pembangunan ....................................56
H. Suwarli
Menumbuhkan Budaya Inovasi di Kalangan ASN .............................................................. 84
Dindin Supratman
Begini Cara Yang Fair Dalam Analisis Laporan Keuangan ............................................... 95
Muhtar Yahya
Penyiapan SDM Kependudukan Indonesia di Era Masyarakat...........................................107
Ekonomi Asean (MEA) Melalui Revolusi Diklat
Anindita Dyah Sekarpuri
Evaluasi Pelatihan Pengelolaan Dana Desa Bagi Aparatur Desa di Kabupaten Timor
Tengah Utara Tahun 2015 ................................................................................................119
Ondy Ch. Siagian
Pengaruh Pemberdayaan, Budaya Kerja, Motivasi Berprestasi Terhadap Kinerja Guru Di
Kabupaten Kapua .............................................................................................................. 119
Sugeng
Pengembangan Instrumen Penilaian Berbasis Pendekatan Saintifik Kelas IV SD Muatan
IPA pada Subtema Hewan dan Tumbuhan di Lingkungan Rumahku ................................143
Yetty Fatri Dewi

Metode Pembelajaran Berbasis Neurosain Mewujudkan Pencapaian Kompetensi Orang


Tua Dalam Menghadapi Persalinan dengan Proses PEMBELAJARAN yang
Menyenangkan .................................................................................................................155
Ina Yuniati
Keadilan dalam Proses Sengketa Pajak ........................................................................... 174
Hotmian Helena Samosir
Sistem Manajemen Keamanan Data dalam Proses Bisnis Statistik................................... 185
Arbi Setiyawan, Arry Akhmad Arman
Membumikan Internal Control System pada Instansi Pemerintah
Melalui Pendidikan dan Pelatihan SPIP ............................................................................ 198
Mohamad Syafrudin Bustomi
Mendiseminasi Inovasi Kepemimpinan untuk Meneguhkan Widyaiswara sebagai Agen
Perubahan ....................................................................................................................... 218
Hary Wahyudi
Kajian atas Penerimaan Pajak dan Defisit Anggaran Indonesia Tahun 2010-2014 .......... 233
Aniek Juliarini & Tatan Jaka Tresnajaya
Food Poisoning (Treatment and Prevention) ..................................................................... 248
Eddy Siswanto
Sanksi Pidana terhadap Korporasi dalam Tindak Pidana Perpajakan ............................. 272
Adriana Dwi Hardjanti
Rekomendasi Jalur Hijau di Bidang Kepabeanan.............................................................. 283
Ade Priaman Saeful Munajat
Interaksi Kemampuan Inovasi dan Modal Intelektual dalam Perspektif
Widyaiswara BPPK ........................................................................................................... 292
Dyah Purwanti
Teknik Delivery Pembelajaran yang Efektif Berbasis
Mesin Kecerdasan ........................................................................................................... 310
Sri Wahyuni, S.S., M.Si.
Tantangan Pelatihan Bagi Aparatur Sipil Negara ............................................................. 320
M.Retno Daru Dewi
Kajian Pelaksanaan Vat Refund For Tourist di Indonesia
dan Singapura .................................................................................................................. 329
Muhammad Taufiq Budiarto
Budaya Kerja Inovasi Dalam Organisasi Pemerintah
The Work Culture of Innovation In Government Organization ......................................... 342
Artie Pramita Aptery
vi

Improving in Inquiry-based Science Teaching Competency


As an impact of Real Incremental Inquiry Training ........................................................... 359
Eneng Susilawati
Pelaksanaan Pengujian Tagihan Atas Belanja Negara Sebagai Bagian Pengendalian
Internal Satuan Kerja ....................................................................................................... 380
Jamila Lestyowati
Penggunaan Teknik Data Mining Untuk Mengklasifikasikan Daerah Penerima
Dana Insentif Daerah ........................................................................................................ 395
Eki Mahipal
Evaluasi Hasil Tes Kebugaran Jemaah Calon Haji di Kota Padang
Tahun 2015....................................................................................................................... 417
Sry Rachmawaty
Nasionalisme Keagamaan dalam Bina Damai Terorisme ................................................. 428
Muh. Khamdan
Analisis Dampak Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap
Kinerja Pegawai melalui Motivasi Kerja sebagai Variabel Intervening
Studi Kasus pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi ................................................... 443
Lailatul Isnaini
Penerapan Konsep STIFIn dalam Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan ................... 457
Anton Suharyanto
Mapping SDM Akrual sebagai Salah Satu Strategy untuk Penguatan
Implementasi Akuntansi Akrual di Indonesia .................................................................... 471
Tohirin
Penerapan Metode Diskusi Model Pembelajaran Kooperatif TiJigsaw untuk
Meningkatkan Sikap Demokrasi peserta Diklat Prajabatan di Provinsi Bali ...................... 488
Rusmulyani
Menggugat Kurikulum Kognitif-Center di Indonesia
(Mengkritisi Kurikulum Mata Pelajaran Sejarah) ................................................................ 504
Yudi Setianto
Neuroandragogi pada Pendidikan Orang Dewasa ........................................................... 526
Rudi Mansyur
Studi Statistik Pengendalian Mutu pada Pelatihan Tenaga Kesehatan ............................ 536
Uria Guna Dharma
The Similarities Between English Learning For Language Learners (L2) and Mother
Language ( L1 ) Acquiring and learning for Children ......................................................... 550
Yahmawati

vii

Pengembangan Kearifan Lokal Kalimantan Tengah Menjadi Keunggulan Nasional


melalui Pelatihan Muatan Lokal Model TPPL
(Teori Praktik Penciptaan dan Laporan) ............................................................................563
Riyanta
Faktor yang Mempengaruhi Rendahnya Kesertaan KB Melalui Metode Kontrasepsi
Jangka Panjang (MKJP) di Kabupaten Tulang Bawang Barat...........................................581
Munawar Shodiq
Diklat dalam Perspektif Pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur
Pemerintah Daerah .......................................................................................................... 598
Erni Irawati
Implementasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial ( BPJS ) ......................................... 609
Sri Rahayu

viii

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Evaluasi Program Diklat Pemeriksa Pajak Sebagai Implementasi


Manajemen Sumber Daya Manusia Direktorat Jenderal Pajak
Budi Harsono Widyaiswara Madya
Pusdiklat Pajak, Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan
Gedung Widyaiswara, Jl. Sakti Raya No.1, Jakarta Barat

(Diterima 10 Maret; Diterbitkan 24 Maret 2016)


Abstract: Siklus Manajemen Sumber Daya Manusia di semua jenis organisasi memiliki
persamaan yang mendasar yaitu berawal dari seleksi penerimaan pegawai baru,
pengembangan, pengukuran dan penghargaan kinerja, hingga pension dan kembali
melakukan seleksi pegawai baru. Direktorat Jendeal Pajak (DJP) telah membuat kebijakan
model siklus manajemen SDM ini dalam konsep cetak biru yang diwujudkan dalam
Keputusan Dirjen Pajak Nomor Kep-233/PJ/2011 tanggal 26 September 2011. Implementasi
pengembangan kapasitas teknis bidang pajak pegawainya dilaksanakan oleh Pusdiklat
Pajak. Seberapa tepat sasaran program diklat yang disusun telah mendukung pencapaian
cetak biru manajemen sumber daya manusia DJP, perlu dilakukan kajian dan salah satu
pilihannya menggunakan model evaluasi program. Salah satu program diklat di Pusdiklat
Pajak adalah program diklat fungsional pemeriksa yang dipilih sebagai studi kasus evaluasi
program untuk mengukur secara kualitatif seberapa dalam program diklat tersebut telah
mendorong perwujudan manajemen SDM di DJP.
Keywords: manajemen SDM DJP, evaluasi program,diklat pemeriksa, Pusdiklat Pajak

Corresponding author: Budi Harsono, E-mail: budi.harsono8008@gmail.com, Tel/Fax.: +62 (021) 5481155

A. Pendahuluan
Indonesia sebagai sebuah negara dapat berdiri hingga saat ini salah satu pilarnya
adanya undang-undang dasar yang mengatur berbagai hal termasuk keuangan negara.
Keuangan negara di manapun mengatur tentang pendapatan dan pengeluaran untuk
belanja. Indonesia telah mengandalkan pendapatan negara dari unsur pajak yang
dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak. Peran yang dilakukan oleh DJP dalam
mengumpulkan uang negara dilakukan dengan beberapa fungsi yaitu pelayanan,
pengawasan dan penegakan hukum. Pada ranah penegakan hukum sebagai
konsekuensi sistem perpajakan yang menggunakan sistem self assessment maka DJP
dalam hal ini berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan

peraturan

perundang-undangan

perpajakan.1

Selanjutanya

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan pasal 29

tata

cara

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pemeriksaan diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.2 Peraturan


Menteri Keuangan yang pertama dibuat sebagai tindak-lanjut pasal 30 ini adalah
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007
tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. Perangkat peraturan ini sudah cukup bagi
Direktorat Jenderal Pajak untuk menjalankan fungsinya dalam hal fungsi pemeriksaan.
Fungsi lainnya selain fungsi pemeriksaan adalah pelayanan, kebijakan peraturan, dan
fungsi pendukung. Fungsi pemeriksaan ini sebagai salah satu instrumen dalam self
assessment system, bersamaan dengan fungsi lain yang dalam prosesnya diharapkan
dapat menghasilkan peningkatan kepatuhan Wajib Pajak. Hal ini tidak lepas dari proses
pemeriksaan yang efektif dan mencipatkan efek penggentar (deterrent effect) yang
optimal sehingga misi DJP dalam mengamankan penerimaan negera dari sektor pajak
dapat mencapai targetnya. Faktor yang sangat penting untuk menjalankan fungsi
pemeriksaan ini adalah pegawai yang memiliki kompetensi bidang pemeriksaan.
Pegawai yang melakukan pemeriksaan pajak adalah pejabat fungsional pemeriksa
pajak. Pemeriksa pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktorat Jenderal Pajak yang diberi tugas,
wewenang

dan

tanggung-jawab

untuk

melaksanakan

pemeriksaan

di

bidang

perpajakan.3 Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang akan
diangkat menjadi pemeriksa pajak harus melalui seleksi internal dan setelah lulus seleksi
mengikuti pendidikan dan pelatihan khusus yaitu Diklat Fungsional Pemeriksa Dasar
yang diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pajak (Pusdiklat Pajak).
Jumlah pemeriksa pajak sampai dengan tahun 2013 sekitar 4.200 sementara jumlah
Wajib Pajak terdaftar lebih dari 24.000.000,Fokus pemeriksaan sektor usaha yang memiliki beberapa parameter yaitu tingkat
kepatuhan yang rendah, kontribusi signifikan terhadap perekonomian, kontribusi
signifikan terhadap penerimaan pajak, memiliki likuiditas keuangan yang bagus agar
hasil pemeriksaan dapat dibayar dan memiliki tingkat pertumbuhan yang pesat. Tingkat
kepatuhan yang rendah dapat dilihat dari catatan laporan bulanan dan tahunan.
Kontribusi signifikan terhadap perekonomian dapat dilihat pada APBN. Tingkat likuiditas
dapat dilihat pada laporan keuangan yang biasannya dipublikasikan juga di media
massa.
Upaya pemeriksaan terhadap Wajib Pajak memiliki keterbatasan waktu daluarsa.
Tahun pajak yang diperiksa tidak boleh lebih dari lima tahun yang lalu sehingga
2

Ibid, pasal 30

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

disamping ada fokus jenis usaha yang menjadi prioritas maka ada juga skala prioritas
dari tahun pajak yang harus diperiksa yaitu tahun pajak yang sudah mendekati masa
daluarsa. Pemeriksaan yang dilakukan selalu mendasarkan pada Surat Pemberitahuan
(SPT) sehingga dalam rangka mengelola risiko ketidakpatuhan atas SPT yang akan
daluwarsa, maka ditetapkan rencana pemriksaan terhadap SPT Masa Pajak, Bagian
Tahun Pajak yang mendekati masa daluarsa.
Ketika ada kebutuhan mendasar tentang kompetensi yang diperlukan, maka langkah
yang paling segera untuk dilakukan adalah adanya program pendidikan dan pelatihan
(Diklat) yang tepat sasaran. Diklat yang telah dilakukan untuk pegawai yang baru masuk
di Direktorat Jenderal Pajak adalah Diklat Teknis Subtantif Dasar (DTSD). Selanjutnya
pegawai yang telah mengikuti DTSD bekerja selama kurang lebih dua tahun dan akan
menduduki jabatan antara lain sebagai Account Representative (AR) dan Fungsional
Pemeriksa Pajak. Jabatan pemeriksa pajak memiliki fungsi sebagai penegak hukum
perpajakan dan juga berperan dalam penerimaan negara karena Wajib Pajak yang
diperiksa didahului dengan analisa resiko dengan prioritas yang akan menghasilkan
penerimaan negara cukup besar.

B. Cetak Biru Manajemen Sumber Daya Manusia Direktorat Jenderal Pajak


Gilley dan Maycunich (2000:253-254) memberikan definisi Sumber Daya Manusia
(SDM)

sebagai

orang-orang

yang

dikaryakan

oleh

sebuah

organisasi.

SDM

dikembangkan berkaitan dengan pengetahuan, keterampilan, kompetensi dan perbaikan


perilaku baik untuk individu maupun profesi. Dengan demikian peningkatan perbaikan
pada individu akan meningkatkan pula perbaikan pada organisasi.

Hal ini sangat

dimungkinkan mengingat seberapapun canggihnya peran teknologi dalam menjalankan


organisasi tidak dapat lepas dari peran manusia baik dalam tahap perencanaan,
pelaksanaan maupun monitoring dan evaluasi.
Rouda dan Kusy, Jr. mengkaitkan antara pengembangan SDM dengan manajemen
SDM sebagai: 1) berbagai aktivitas pengorganisasian proses pembelajaran
untuk perbaikan kinerja dan

dikelola

pertumbuhan pribadi dengan tujuan memperbaiki

pekerjaan, individu dan organisasi, 2) berbagai bidang pelatihan dan pengembangan,


pengembangan karir, dan pengembangan organisasi. Pengembangan SDM melalui
diklat sangat berkaitan dengan manajemen SDM karena akan meningkatkan kompetensi
dalam bidang system informasi dan riset SDM, hubungan industrial, bantuan karyawan,
kompensasi dan benefit, seleksi dan penempatan, sistem menajem kinerja, perencanaan

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

SDM dan disain pekerjaan dalam organisasi. Teori ini menggambarkan betapa antara
pengembangan SDM dengan manajemen SDM itu sendiri saling berpengaruh terlebih
lagi manajemen SDM meliputi di dalamnya proses pengembangan SDM dalam setiap
tahapannya. Manajemen SDM yang diawali dengan penerimaan pegawai yang
berkualitas akan memudahkan saat dilakukan proses pengembangan melalui pendidikan
dan pelatihan.

Peta Strategi MSDM yang telah dibangun adalah seperti pada Gambar berikut:

Gambar 1: Peta Strategi MSDM

Dari Gambar 1 di atas terlihat bahwa sasaran akhir (ultimate goal) yang ingin dicapai dari
cetak biru Manajemen SDM adalah pegawai berkinerja prima (excellent performance
employee), dimana pegawai memiliki kompetensi tinggi, tingkat kepuasan tinggi, integritas
tinggi, serta budaya yang kuat.
Kompetensi merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan tingkat kinerja pegawai.
Kompetensi

diartikan

sebagai

kombinasi

antara

keterampilan

(skill),

pengetahuan

(knowledge) dan sikap (attitude) yang tercermin melalui perilaku kinerja yang dapat diamati,

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

diukur dan dievaluasi. Dalam manajemen sumber daya manusia DJP, kompetensi menjadi
sasaran yang diukur dengan kesesuaian antara kompetensi pegawai dengan standar
kompetensi jabatan.
Kepuasan karyawan merupakan salah satu elemen penting untuk membangun kinerja
pegawai, mengingat kepuasan akan membangun motivasi pegawai dalam menjalankan
tugasnya

sehingga

produktivitas

semakin

meningkat.

Melalui

serangkaian

strategi

manajemen SDM yang dijalankan, diharapkan SDM memiliki tingkat kepuasan yang tinggi,
baik kepuasan terhadap pekerjaan, kepuasan terhadap lingkungan kerja, serta kepuasan
terhadap kebijakan manajemen SDM.
Integritas (integrity) diartikan sebagai bentuk tindakan yang konsisten sesuai dengan nilainilai dan kebijakan organisasi serta kode etik profesi, walaupun dalam keadaan yang sulit
untuk melakukannya. Pegawai memiliki integritas tinggi menjadi salah satu sasaran strategis
manajemen SDM DJP mengingat proses bisnis di DJP memiliki potensi besar terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang dapat dilakukan.
Budaya diartikan sebagai sistem atau pola-pola nilai, simbol, ritual, mitos, dan praktekpraktek yang terus berlanjut yang dapat mengarahkan orang untuk berperilaku dalam upaya
memecahkan masalah. Nilai-nilai DJP (Integritas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan
Kesempurnaan) harus menjadi acuan perilaku bagi seluruh sumberdaya manusia DJP dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan. Diharapkan seluruh jajaran DJP menjunjung tinggi nilainilai tersebut dan mengaplikasikan dalam pelaksanan tugas sehingga dapat diperoleh kinerja
yang maksimal.
Sementara itu, untuk mencapai sasaran akhir pegawai berkinerja prima dimana pegawai
memiliki kompetensi tinggi, tingkat kepuasan tinggi, integritas tinggi dan budaya yang kuat,
fungsi Manajemen SDM yang dijalankan meliputi 14 (empat belas) bagian penting dengan
struktur sebagai berikut:
a)

Kemampuan Infrastruktur Manajemen SDM;

b)

Kompetensi Staf SDM;

c)

Organisasi SDM;

d)

Efektivitas Anggaran SDM;

e)

Perencanaan SDM;

f)

Administrasi Data Kepegawaian;

g)

Knowledge Management System;

h)

Pengawasan dan Pembinaan Pegawai;

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

i)

Komunikasi Internal;

j)

Rekrutmen dan Seleksi;

k)

Manajemen Kinerja;

l)

Pelatihan dan Pengembangan;

m) Manajemen Karir;
n)

Kompensasi dan Benefit.

Pengembangan kompetensi pegawai merupakan aspek penting yang harus segera


dijawab oleh pengelola SDM DJP. Namun organisasi masih dihadapkan pada beberapa
permasalahan dalam pengembangan kompetensi, diantaranya:

Kualitas assessment kompetensi pegawai yang belum maksimal;

Efektivitas pengembangan kapasitas pegawai belum optimal;

Belum adanya program pengembangan kepemimpinan yang terstruktur;

Belum adanya knowledge management system yang terintegrasi.

Organisasi mempunyai kewajiban untuk mengembangkan kapasitas pegawaianya dengan


menjadi

DJP

sebagai

organisasi

pembelajaran

(learning

organization),

sehingga

menghasilkan SDM yang menjadi pendukung penting bagi keberhasilan organisasi. Untuk
mencapai sasaran tersebut, strategi pengembangan kapasitas SDM berangkat dari
permasalahan seperti tidak bertemunya implementasi pelatihan dengan kebutuhan organisasi
baik kompetensi maupun jumlah pelatihan bagi seluruh pegawai. Untuk itu perlu:

C.

Meningkatkan kualitas assessment kompetensi pegawai;

Meningkatkan efektivitas pengembangan kapasitas;

Mengembangkan program pengembangan kepemimpinan;

Membangun knowledge management system yang terintegrasi.

Evaluai Program Diklat Fungsional Pemeriksa Pajak


Anderson dalam Arikunto memandang evaluasi sebagai sebuah proses menentukan hasil

yang telah dicapai beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya
tujuan. Sedangkan Stufflebeam, mengungkapkan bahwa evaluasi merupakan proses

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

penggambaran, pencarian dan pemberian informasi yang bermanfaat bagi pengambil


keputusan dalam menentukan alternatif keputusan.
Dari uraian di atas maka pengertian evaluasi dapat disintesiskan sebagai kegiatan untuk
mengumpulkan data dan diolah menjadi informasi tentang suatu proses yang selanjutnya
informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil
keputusan.
Jadi, pada dasarnya evaluasi adalah proses yang bertujuan mengemas informasi untuk
pengambilan keputusan melalui pencarian nilai dan kegunaan dari objek yang dievaluasi,
karenanya jika evaluasi yang dilakukan adalah untuk mengevaluasi program/kebijakan yang
menjadi objek evaluasi, maka evaluasi dilakukan untuk mencari nilai dan atau kegunaan dari
sebuah program/kebijakan. Berbagai cara pandang tentang evaluasi ini memberikan
gambaran penulis untuk merumuskan tersendiri makna evaluasi yaitu sebagai sekumpulan
kegiatan yang disusun secara sistematis meliputi kegiatan mengumpulkan dan menganalisis
data untuk menghasilkan informasi yang diperlukan untuk pertimbangan pengambilan
keputusan mengenai efektifitas dan keberlanjutan program/kegiatan yang dievaluasi melalui
kriteria-kriteria tertentu.

Kriteria yang dirumuskan untuk kepentingan evaluasi yang akan

dilaksanakan menjadi sangat penting untuk dapat menentukan kebaikan dan kelebihan dari
program/objek yang diteliti.
Ketika membahas evaluasi program, maka setelah mendefiniskan arti kata evaluasi
langkah selanjutnya adalah mendefinisikan arti kata program. Istilah program dapat
diartikan dalam dua pengertian yaitu pengertian secara umum dan pengertian secara khusus.
Pengertian secara umum dapat diartikan bahwa program adalah sebuah bentuk rencana
yang akan dilakukan. Apabila program dikaitkan langsung dengan evaluasi program maka
program didefinisikan sebagai unit atau kesatuan kegiatan yang merupakan realisasi atau
implementasi dari kebijakan, berlangsung dalam proses yang berkesinambungan dan terjadi
dalam suatu organisasi yang melibatkan sekelompok orang. Namun dapat juga diartikan
secara umum, bahwa program adalah rencana atau aplikasi. Contohnya, jika seorang
pegawai senior ditanya, apa program setelah pensiun nanti maka program di sini berarti
rencana setelah masa pensiun nanti. Secara umum program juga berarti aplikasi misalkan
seorang pegawai yang sedang mengetik menggunakan komputer lalu ditanya oleh pegawai
yang duduk disebelahnya, sedang menggunakan program apa di komputer, maka program
dalam kontek ini adalah aplikasi.
Pada bahasan tulisan ini studi kasusnya menggunakan program diklat fungsional
pemeriksa dasar tahun anggara 2014. Pertimbangannya adalah pada tahun ini hanya ada
satu angkatan sementara tahun anggaran 2013 ada tujung angkatan dan tahun 2015 ada

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

enam angkatan. Tahun 2014 mudah mengambil sampel karena memang hanya ada satu
angkatan dan tidak ada pilihan angkatan lain untuk dijadikan studi kasus.
Sumber data yang diambil berasal dari observasi, wawancara dengan pengajar,
wawancara dengan pegawai di Bidang Evaluasi dan Pelaporan, dan data skunder berupa
laporan kinerja program diklat fungsional pemeriksa dasar tahun anggaran 2014.
Penelitian dokumen berupa kalender diklat tahun 2014 dan wawancara dengan pihak
perencanaan

dan

pengembangan

program

diketahui

bahwa

penentuan

waktu

penyelenggaraan diklat menggunakan basis kalender tahun sebelumnya yaitu tahun 2013
karena penyusunan kalender diklat di Pusdiklat Pajak sudah disesuaikan dengan siklus
pekerjaan di unit kerja DJP. Siklus pekerjaan di lapangan dimaksud adalah kegiatan tahunan
penerimaan SPT Pajak Penghasilan Tahunan yaitu pada bulan Maret untuk penerimaan SPT
PPh Orang Pribadi dan bulan April untuk untuk SPT PPh Wajib Pajak Badan Usaha.
Perubahan jadwal kalender diklat tidak ada perubahan yang signifikan, kecuali perubahan
pada skala prioritas sasaran diklat. Jika pada tahun 2013 terdapat tujuh angkatan diklat
fungsional pemeriksa dasar, maka pada tahun 2014 hanya ada satu angkatan. Hal ini
dikarenakan pada tahun 2014 Pusdiklat Pajak sedang fokus pada pendidikan dan pelatihan
pegawai baru sehingga yang diprioritaskan adalah Diklat Teknis Substantif Dasar yaitu
pendidikan dasar perpajakan yang ditujukan kepada para pegawai baru yang baru masuk
atau baru diterima di Direktorat Jenderal Pajak.
Perencanaan penggunaan sarana dan prasarana diklat fungsional pemeriksa dasar tahun
pajak 2014 tidak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena sudah terstandar dan sudah
berjalan lancar. Demikian juga untuk penggunaan anggaran program berdasarkan Daftar
Isian Pelaksanaan Anggaran sebagaimana terlihat pada tabel berikut:
Tabel 4.9
Penyelenggaraan Diklat Fungsional Dasar Tahun Anggaran 2014
No.

IDENTIFIKASI

KETERANGAN

1.

Nomor DIPA

015.11.1.670142/2014

2.

Tanggal Pengesahan

05 Desember 2013

3.

Tanggal Pelaksanaan

9 Juni 2014 s.d 14 Juni 2014

4.

Kuasa Pengguna Anggaran

Kepala Pusdiklat Pajak

5.

Jumlah Pengajar

10 Orang

6.

Jumlah Jam Pelatihan

58 jamlat/6 hari

7.

Lokasi Penyelenggaraan

Pusdiklat Pajak
Jl. Sakti Raya No.1,
Kemanggisan, Jakarta Barat

Sumber: Laporan Kinerja Diklat Fungsional Pajak Tk Dasar 2014

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Biaya program diklat fungsional pemeriksa pajak tidak termasuk biaya perjalanan dinas
peserta. Biaya perjalanan dinas dibebankan pada unit masing-masing peserta berasal.
Komponen biaya terbesar dialokasikan untuk anggaran konsumsi peserta diklat.
Model

penelitian

dengan pendekatan kulaitatif

dilakukan

dengan

menggunakan

menentukan kisi-kisi penelitian dengan mengambil komponen dalam model cetak biru
manajemen SDM pegawai DJP. Aspek yang ditentukan adalah perwujudan pegawai
berkinerja prima dengan mengambil empat kriteria evaluasi sesuai empat pilar yang
mendukung perwujudan aspek yaitu adanya peningkatan kompetensi pegawai yang tinggi,
adanya kepuasan pegawai yang tinggi, peningkatan integritas yang tinggi dan peningkatan
budaya yang kuat.

Hasil penelitian dapat digambarkan pada tabel sebagai berikut:

Tabel 4.1
Matrik Hasil Evaluasi Berbasis Konsep MSDM DJP

KOMPONEN

ASPEK

KRITERIA EVALUASI

C1

C
O
N
T
E
X
T

Peran
Program
Diklat
Fungsio
nal Dasar
terhadap
Pegawai
Berkiner
ja Prima

Perwuju
dan
Pegawai
DJP Berki
nerja
Prima

Adanya
peningkatan
kompetensi
pegawai yang
tinggi

C2

Adanya
Kepuasan
Pegawai yang
Tinggi

C3

Adanya
peningkatan
integritas yang
tinggi

C4

Adanya
peningkatan
budaya yang
kuat

HASIL EVALUASI

Hasil kuisoner peserta tentang adanya


peningkatan pengetahuan pemeriksaan
ada nilai 4,38 untuk skala 1 s.d 5
dengan predikat baik sekali.
Sementara hasil peningkatan
keterampilan mendapatkan nilai 4,33
dengan skala yang sama dengan
predikat baik sekali.
Kepuaan pegawai dalam program diklat
tergambar dari kepuasan terhadap
konsumsi, asrama, sarana dan
prasarana, berdasar hasil kuesioner
sebagaimana telah dilaporkan dalam
laporan kinerja program, rata-rata
responden menilai baik.
Parameter peningkatan integritas
dalam program diklat ini tergambar
dari berhasilnya proses ujian akhir tidak
ada yang melanggar ketentuanketentuan dalam mengikuti ujian.
Budaya yang kuat tergambar dari
loyalitas pengajar, peserta dan pelajar
untuk mengikuti rencana diklat yang
sudah diformalkan dalam dokumen
pedoman diklat.

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

D.

Kesimpulan
Hasil evaluasi program diklat fungsional pemeriksa pajak tingkat dasar tahun
anggaran 2014 telah sesuai dengan cetak biru manajemen sumber daya manusia
Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini dibuktikan telah adanya korelasi yang digambarkan
secara diskriptif antara empat kriteria evaluasi dengan proses dan hasil yang telah
dicapai dalam program.

Daftar Referensi Peraturan :


Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan

10

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Tantangan Widyaiswara dalam Menghadapi Perkembangan


Teknologi Pembelajaran
Yuliana Ria Uli Sitanggang, SSi, MSi
Widyaiswara Ahli Madya Pusdiklat BPS RI
Jl. Raya Jagakarsa 70, Lenteng Agung, Jakarta 12620
(Diterima 22 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstract: Rapid computer technology developments have contributed to a rapid development
of learning technologies. The learning process is traditionally done through face-to-face in the
classroom, now it can be done online. The development of this technology pose challenges
for the lecturer to present teaching materials to the participants. To be able to survive in the
line of duty, Widyaiswara is required to adopt new technologies. Two necessary support in
this regard is to have sufficient skills to use the new learning technologies and support
infrastructure in order to access these technologies.
Keywords: development of learning technologies, challenges facing Widyaiswara,
technology intergration in learning
Corresponding author: Yuliana Ria Uli Sitanggang, E-mail: jrusitanggang@bps.go.id

Pendahuluan
Secara sederhana teknologi dapat didefinisikan sebagai suatu cara atau metode untuk
memanfaatkan pengetahuan dalam praktek kehidupan sehari-hari. Dalam perkembangannya,
antara teknologi dan pengetahuan ternyata memiliki ketergantungan yang saling mendorong
untuk berkembang. Artinya, laju perkembangan teknologi memiliki ketergantungan terhadap
stok pengetahuan yang tersedia, sementara laju akumulasi pengetahuan juga tergantung
pada tingkat teknologi yang dikuasai.
Dalam konteks pembangunan secara luas, penguasaan teknologi oleh suatu negara
memiliki korelasi yang kuat dengan kemajuan pembangunan dari negara tersebut. Dalam
pengamatannya terhadap 75 negara periode 2000-2004, Fagerberg dan Srholec (2008)
menemukan bahwa negara dengan penguasaan teknologi yang tinggi cenderung memiliki
tingkat pendapatan per kapita yang tinggi pula.
Kenyataan inilah barangkali yang menjadi salah satu pendorong bagi hampir seluruh
negara di dunia untuk mengejar ketertinggalan teknologinya. Pada kenyataannya, sebagian
besar negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, tingkat penguasaan teknologinya
masih tergolong rendah. Terdapat berbagai faktor yang menjadi penyebab dari rendahnya
penguasaan teknologi di negara-negara berkembang. Salah satunya seperti yang
dikemukakan oleh Miah dan Omar (2011) adalah keterbatasan akses dan infrastruktur.

11

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dalam mengatasi
ketertinggalan teknologinya adalah dengan memperbaiki infrastruktur internetnya. Pilihan ini
merupakan pilihan yang rasional, mengingat kemajuan teknologi internet memungkinkan
interkoneksi antar wilayah menjadi semakin mudah dan murah. Sehingga selain dapat
memudahkan dunia usaha dalam melakukan komunikasi dan eksekusi program kerjanya,
teknologi internet juga memungkinkan dunia ilmu pengetahuan untuk mempercepat
perkembangannya.
Dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan dan penguasaan teknologi, khususnya
bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), Widyaiswara memiliki peran penting. Dalam berbagai
peraturan yang dikeluarkan oleh Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia,
Widayaiswara adalah pejabat fungsional yang memiliki wewenang, tugas dan tanggung jawab
untuk mendidik, mengajar dan/atau melatih PNS pada Lembaga Pendidikan dan Pelatihan
Pemerintah.
Seiring dengan berkembangnya teknologi internet, teknologi pembelajaran juga
mengalami perkembangan yang pesat pula. Perkembangan tekknologi pembelajaran bukan
hanya dalam hal teknik atau metode yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar di
kelas, melainkan juga media yang digunakan. Dengan kemajuan teknologi internet saat ini,
sangat memungkinkan untuk dilakukan proses belajar mengajar secara daring (online)
dengan jangkauan peserta yang lebih luas dan biaya perjalanan yang lebih murah.
Dengan demikian, perkembangan teknologi di satu sisi menawarkan berbagai kemudahan
bagi Widyaiswara, terutama dalam hal penyiapan berbagai bahan atau materi yang akan
disampaikan, di sisi lain juga memunculkan berbagai tantangan yang harus dihadapi dengan
serius. Fasilitas pencarian yang tersedia di browser internet memudahkan Widyaiswara untuk
mencari berbagai bahan ajar di dunia maya. Tetapi hal yang sama dapat juga dilakukan oleh
para peserta ajar. Sehingga seorang Widyaiswara dituntut untuk secara kreatif memadukan
berbagai bahan yang diperolehnya agar peserta ajar tetap termotivasi untuk mengkuti proses
belajar mengajar.
Tulisan berikut akan mencoba menyajikan berbagai tantangan yang dihadapi oleh
Widayaiswara dalam menghadapi perkembangan teknologi. Tulisan akan dibagi ke dalam
beberapa bagian. Setelah pendahuluan ini akan diuraikan metodologi yang digunakan, sekilas
perkembangan teknologi informasi dan teknologi pembelajaran, teori determinisme teknologi
dan tantangan yang dihadapi widyaiswara.

12

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Metodologi
Tulisan ini disusun dengan sepenuhnya memanfaatkan berbagai literatur dan data yang
tersedia di internet. Sedangkan kerangka pikir yang digunakan adalah teori determinisme
teknologi yang dikemukakan oleh McLuhan yang pada intinya menyebutkan bahwa teknologi
akan mempengaruhi cara berkomunikasi yang pada akhirnya akan mempengaruhi cara
berpikir dan berperilaku dalam masyarakat. Artinya, cara berpikir dan beperilaku di dalam
masyarakat akan sangat tergantung dari teknologi yang tersedia dan dikuasai.

Perkembangan Teknologi Informasi


Nordhaus (2001) menggambarkan perkembangan pesat teknologi informasi dengan tiga
hal berikut: (1) kinerja komputer mengalami peningkatan sebesar tiga puluh persen per tahun
dalam sejak tahun 1900; (2) efisiensi komputer sebelum perang dunia kedua berkembang
lambat, tetapi dalam periode 1940 sampai dengan 2001 perkembangan efisiensi komputer
secara rata-rata mencapai 55 persen per tahun; dan (3) harga komputer menjadi semakin
murah dilihat dari sisi kemampuan atau kinerjanya.
Roser (2016) menengarai bahwa perkembangan cepat teknologi komputer seperti yang
diprediksi oleh hukum Moore telah terjadi. Hukum Moore menyatakan bahwa banyaknya
transitor dalam suatu sirkuit terintegrasi (integrated circuit, IC) akan berlipat dua setiap dua
tahun. Hukum yang dikemukakan oleh Gordon E. Moore pada tahun 1965 ini pada dasarnya
menyatakan bahwa komputer yang ukurannya sangat besar (pada waktu itu) pada akhirnya
akan mengecil karena semakin banyak transitor yang diperlukan yang dapat dikemas dan
diintegrasikan dalam satu IC.
Menurut pengamatan Roser, perkembangan seperti yang diramalkan oleh Moore ternyata
tidak hanya terjadi dalam hal kapasitas IC yang semakin besar, akan tetapi dalam berbagai
aspek lain juga berlaku hal yang sama. Kapasitas komputer mengalami perkembangan cepat,
hal ini terutama kapasitas transitor dalam CPU komputer yang juga mengalami
perkembangan cepat. Kapasitas transitor CPU yang pada tahun 1970an baru sekitar 2.300
telah menjadi sekitar 2,6 milyar pada tahun 2011. Kemampuan untuk melakukan komputasi
juga melaju sangat cepat. Kemampuan komputasi pada tahun 1950an baru sekitar 100
penghitungan per detik, tatapi pada tahun 2010 kemampuannya telah mencapai sekitar 1
trilyun hitungan per detik. Dalam hal harga dan kualitas, komputer juga menunjukkan
perkembangan yang sangat cepat. Harga komputer secara umum menjadi semakin murah
dengan kualitas yang semakin baik. Selain itu, penggunaan energi yang diperlukan untuk
bekerja dengan komputer juga menjadi semakin efisien. Salah satu perkembangan lain yang

13

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
menonjol adalah kemampuan penyimpanan yang semakin besar. Saat ini kapasitas media
penyimpan komputer telah berkembang pesat, dengan bentuk yang relatif lebih kecil media
penyimpan komputer saat ini ternyata memiliki daya tampung yang luar biasa besar dengan
kinerja yang relatif cepat dan harga relatif murah.
Tanpa disadari, berbagai perkembangan yang terjadi di dunia teknologi komputer telah
mempengaruhi cara kerja sebagian besar masyarakat saat ini. Komputer yang pada awalnya
merupakan kemewahan yang hanya dapat dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat, saat
ini telah menjangkau pengguna yang lebih luas.

Teknologi Pembelajaran
Teknologi pembelajaran mencakup teknologi komunikasi, informasi dan berbagai teknologi
terkait lainnya yang dapat digunakan untuk mendukung pembelajaran, pengajaran dan
penilaian dalam suatu proses belajar mengajar.
Kemajuan teknologi seperti telepon genggam, layanan jaringan sosial, dan komputer
personal telah mampu memberikan keleluasaan dan kendali terhadap individu dalam
memperoleh dan menggunakan informasi. Hal ini ternyata berpengaruh terhadap
perkembangan proses belajar mengajar. Penggunaan rekaman video, overhead projector,
dan pemanfaatan berbagai alat yang digunakan untuk membuat, berbagi dan berinteraksi
merupakan berbagai contoh aplikasi teknologi di dunia pendidikan.
Siemens dan Tittenberger (2009) mengidentifikasi dua kelompok teknologi pembelajaran,
yaitu sistem manajemen pembelajaran dan lingkungan pembelajaran personal. Sistem
manajemen pembelajaran seperti WebCT dan BlackBoard atau sistem-sistem sejenis
merupakan sistem yang disediakan oleh lembaga pendidikan yang dapat dimanfaatkan untuk
memberikan catatan dan sumber dari suatu materi ajar. Selain itu melalui sistem ini peserta
ajar dapat berinteraksi dengan pengajar atau peserta lain. Sementara lingkungan
pembelajaran personal adalah pemanfaatan berbagai fasilitas seperti Google Docs, Skype,
blog, wiki, pdcast, flickr, YouTube dan alat lain yang dapat dimanfaatkan oleh masing-masing
individu untuk mendukung kegiatan belajar seseorang. Pemanfaatan berbagai alat dalam
lingkungan pembelajaran personal akan sangat tergantung dari kemampuan dan kebiasaan
masing-masing individu untuk belajar dalam lingkungan online.
Untuk dapat mengambil peran optimal dalam menghadapi lingkungan belajar yang telah
berubah, seorang Widyaiswara perlu memahami konteks interaksi yang terjadi dalam proses
belajar mengajar. Dalam konteks ini maka teknologi pembelajaran dapat dikelompokkan
menjadi:

14

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Interaksi peserta dengan ahli


Teknologi pembelajaran dapat digunakan untuk membangun koneksi antara
peserta ajar dengan ahli (expert), misalnya dengan melakukan konferensi melalui
web (web conferencing), atau malakukan diskusi di forum tertentu secara daring
(online).

Interaksi peserta dengan peserta


Teknologi pembelajaran juga memungkinkan dibangun koneksi antar sesama
peserta ajar. Misalnya melalui situs yang didedikasikan untuk membahas bahan
ajar tertentu seperti wiki, forum diskusi atau micro blogging.

Interaksi peserta dengan isi


Teknologi pembelajaran dapat juga memanfaatkan berbagai sumber yang tersedia
untuk belajar, misalnya dengan streaming video atau podcast.

Interaksi peserta dengan konteks


Teknologi pembelajaran dapat juga digunakan untuk membangun koneksi antara
peserta ajar dengan lingkungannya, misalnya dengan memanfaatkan teknologi
realitas virtual yang memungkinkan peserta merasa berada di suatu lingkungan
sesuai dengan konteks materi ajar. Misalnya seseorang dapat merasakan sedang
berada di tengah jalan raya ketika sedang belajar mengendalikan kendaraan.

Selain itu, teknologi pembelajaran dapat juga dikelompokkan berdasarkan media


instruksional yang digunakan, seperti:

Sebagai sumber informasi, misalnya materi ajar yang disimpan dalam bentuk teks,
video, atau gambar.

Sebagai alat pengolah informasi, seperti wiki, pemetaan konsep, dan sejenisnya.

Untuk melakukan simulasi, seperti pemodelan, lingkungan virtual dan sebagainya.

Sebagai alat bantu instruksional seperti ujian online, tutorial online, dan
sebagainya.

Sebagai alat komunikasi yang dimediasi, seperti email, diskusi, dan web
conferencing.

Siemens dan Tittenberger (2009) membagi implementasi teknologi pembelajaran baru ke


dalam tiga kelompok:

15

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Penambahan (augmented), yaitu penggunaan teknologi untuk memperluas batas


fisik kelas. Hal ini bisa dalam bentuk penggunaan web untuk pemberian dan
evaluasi tugas yang diberikan ke peserta ajar, atau penggunaan forum diskusi
secara daring.

Campuran (blended), yaitu teknologi yang digunakan untuk menggantikan


sebagian proses belajar mengajar di dalam kelas. Hal ini misalnya dapat dilakukan
dengan mengadakan pertemuan di kelas untuk beberapa kali, yang kemudian
diikuti dengan proses belajar yang dilakukan secara daring. Konsekuensinya,
Widyaiswara harus sepenuhnya menyiapkan bahan ajar secara daring.

Daring (online), yaitu proses belajar mengajar yang sepenuhnya dilakukan secara
daring. Tidak ada tatap muka antara peserta ajar dan pengajar.

Tantangan yang Dihadapi Widyaiswara


Oleh karena semua peserta ajar yang dihadapi oleh Widyaiswara adalah orang dewasa,
maka pendekatan yang dianggap paling tepat dalam melakukan pengajaran adalah
pendekatan andragogi. Prinsip dalam pendekatan andragogi adalah:

Seorang dewasa perlu dilibatkan dalam perencanaan dan evaluasi dari instruksi
atau materi ajar yang dipelajari.

Pengalaman, termasuk kesalahan yang muncul, merupakan basis dalam kegiatan


pembelajaran.

Seorang dewasa paling tertarik untuk mempelajari subyek yang memiliki


keterkaitan kuat dengan pengalaman kerja atau pengalaman hidupnya.

Pembelajaran orang dewasa harus lebih berfokus pada masalah, bukan pada isi
pembelajarannya.

Penerapan berbagai prinsip tersebut dalam lingkungan teknologi yang semakin


berkembang ternyata tidak selalu mudah untuk dilakukan. Implementasi konsep andragogi ke
dalam pembelajaran yang mengadopsi perkembangan teknologi pembelajara sekurangkurangnya akan menghadapi dua hambatan utama:

Akses yang masih rendah terhadap teknologi pembelajaran. Rendahnya akses ini
dapat bersumber dari ketiadaan infrastruktur seperti jaringan internet dan komputer
yang dapat dimanfaatkan oleh Widyaiswara dalam melakukan kegiatan belajar
mengajarnya.

16

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Penguasaan teknologi pembelajaran yang relatif rendah. Perkembangan teknologi


komunikasi dan informasi tidak selalu dapat dengan mudah untuk diikuti oleh
Widyaiswara, lebih-lebih bagi mereka yang sebagian besar waktunya habis untuk
mengajar.

Untuk mengatasai hambatan pertama hanya dapat dilakukan melalui koordinasi dengan
lembaga tempat tugas Widyaiswara yang bersangkutan. Sedangkan untuk hambatan kedua,
diperlukan kemauan keras Widyaiswara untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi kedua hambatan tersebut
adalah dengan memanfaatkan sumberdaya di luar institusi formal. Namun demikian
keberhasilan dari pendekatan ini sangat tergantung dari tingkat penguasaan teknologi dan
kemauan dari Widyaiswara yang bersangkutan. Artinya, Widyaiswara yang berusaha
mengimplementasikan teknologi pembelajaran baru harus memiliki ketrampilan yang
dibutuhkan sekaligus mampu memiliki akses terhadap sumber daya yang berada di luar
lembaganya.
Walaupun untuk jangka pendek pendekatan informal seperti ini mungkin dapat berhasil,
tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan masalah, terutama yang menyangkut
kebijakan

birokrasi.

Oleh

karena

itu,

pendekatan

secara

informal

dalam

mengimplementasikan teknologi baru sebaiknya hanya digunakan sebagai pemicu, yang


kemudian diikuti dengan mencari dukungan dari organisasi. Dalam hal ini dua dukungan
utama yang diperlukan adalah penyediaan infrastruktur dan pengembangan kapasitas
Widyaiswara untuk mengadopsi teknologi pembelajaran baru.
Hambatan lain yang mungkin akan muncul adalah yang terkait dengan kemajuan teknologi
komunikasi. Saat ini, dengan tersedianya fasilitas jaringan sosial yang semakin mudah, murah
dan terjangkau, komunikasi antar peserta dengan pengajar, dan komunikasi antar peserta
sendiri menjadi sangat mudah dilakukan. Hal ini menuntut Widyaiswara untuk menjadi lebih
kreatif dalam menyiapkan bahan ajarnya. Dalam hal ini kreativitas yang dimaksudkan adalah
untuk memanfaatkan berbagai teknologi yang tersedia seperti akses terhadap bahan audio
dan video. Widyaiswara dituntut untuk dapat menggunakan teknologi-teknologi seperti ini,
terutama untuk menjadikan bahan ajar yang disampaikan tetap menarik dan mampu
memotivasi peserta ajar untuk menguasai bahan ajar yang disampaikan.
Selain itu, dengan kemudahan akses ke berbagai sumber, Widyaiswara juga dituntut untuk
mampu mengubah mindset dari pengajar yang mengajarkan atau melatih sesuatu menjadi
peserta proses belajar mengajar atau menjadi fasilitator yang memungkinkan proses belajar
mengajar dapat berjalan secara lancar dan mencapai tujuan. Walaupun tampaknya mudah,

17

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016
upaya ini perlu dilakukan secara serius, terutama untuk dapat menerima masukan dari seluruh
peserta ajar.

Kesimpulan
Perkembangan teknolgi yang cepat telah ikut pula mendorong perkembangan teknologi
pembelajaran. Proses belajar mengajar yang secara tradisional dilakukan melalui tatap muka
di dalam kelas, sekarang sudah dapat dilakukan secara daring (online). Perkembangan
teknologi ini ternyata menimbulkan tantangan tersendiri bagi para Widyaiswara dalam
menyajikan bahan ajar kepada para peserta. Untuk mampu bertahan dalam menjalankan
tugas dan wewenangnya, Widyaiswara dituntut untuk mampu mengadopsi teknologi
pembejaran baru. Dua dukungan utama yang diperlukan dalam hal ini adalah memiliki
ketrampilan yang cukup untuk menggunakan teknologi pembelajaran baru dan dukungan
infrastruktur agar dapat mengakses teknologi tersebut.

Daftar Pustaka
Heidegger, M., (1954). The question concerning technology. Technology and values:
Essential readings, pp.99-113.
Fagerberg, J., Srholec, M. (2008). Technology and development: Unpacking the
relationship(s). Paper presented in the IV Globelics Conference at Mexico City,
September 22-24.
Miah, M., Omar, A. (2011). Digital age: Technology progress in developing countries. 2011
ISECON Proceeding Information Systems Educators Conferences, Wilmington North
Carolina, USA.
Nordhaus, W. D. (2001). The progress of computing. Diakses tanggal 10 Maret 2016 dari
http://aida.econ.yale.edu/~nordhaus/homepage/prog_030402_all.pdf.
Roser, M. (2016). Technological progress, diakses tanggal 9 Maret 2016 dari
https://ourworldindata.org/data/technology-and-infrastructure/moores-law-other-lawsof-exponential-technological-progress/.
Siemens, G. and Tittenberger, P., (2009). Handbook of emerging technologies for learning.
Manitoba, Canada: University of Manitoba.

18

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Angka Kredit Sebagai Ukuran Kinerja Widyaiswa


Alex Oxtavianus
Widyaiswara Madya, Pusdiklat Badan Pusat Statistik
Jalan Raya Jagakarsa No. 70 Lenteng Agung
(Diterima 18 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstract: Performance appraisal of civil servants, which is stipulated in PP No. 46 - 2011 and
Perka BKN No. 1- 2013, differentiate performance appraisal of civil servants in terms SKP and
work behavior. SKP assessment methods still pose problems when applied in measuring the
performance of widyaiswara. This problem arises because failed to use credit scoring as a
measure of performance. This paper offers three alternatives to improve performance
measurement methods. First, the weighted average method, with credit scoring as a factor
weighing. Second, using the average of the issuing activities were not implemented. Third,
using the ratio of total credit scoring as a multiplier. Of the three alternatives, the third alternative
is rated as the most appropriate method.
Keywords: performance, credit scoring, widyaiswara
Corresponding author: Alex Oxtavianus, E-mail: alexo@bps.go.id

Pendahuluan
Karyawan merupakan bagian penting dari sebuah organisasi. Kualitas organisasi akan
sangat ditentukan oleh kualitas karyawan yang tergabung di dalamnya. Naik atau turunnya
kinerja karyawan juga akan berdampak langsung kepada kinerja organisasi. Oleh sebab itu,
perhatian terhadap kinerja karyawan menjadi bagian penting dalam rangka meningkatkan
kinerja organisasi.
Menurut Mangkunegara (2001), istilah kinerja berasal dari kata job performance atau actual
performance (prestasi kerja atau prestasi sesungguhnya yang dicapai oleh seseorang). Kinerja
atau yang sering diistilahkan dengan prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh seseorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Namun ada pula ahli yang memiliki pandangan bahwa terdapat perbedaan antara kinerja
dengan prestasi kerja, meskipun kedua istilah ini berasal dari kata yang sama yaitu

19

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

performance. Jika ditelaah lebih lanjut, arti prestasi kerja yaitu merupakan hasil yang dicapai
seseorang dalam bekerja. Sedangkan kinerja adalah hasil dari proses pekerjaan tertentu secara
terencana pada waktu dan tempat dari karyawan serta organisasi bersangkutan. Ukuran kinerja
dapat dilihat dari sisi jumlah dan mutu tertentu, sesuai standar organisasi atau perusahaan. Hal
itu sangat terkait dengan fungsi organisasi atau pelakunya. Bentuknya dapat bersifat tangible
dan intangible, tergantung kepada bentuk dan proses pelaksanaan pekerjaan itu sendiri. Kinerja
dapat dilihat dari proses, hasil dan outcome (Mangkuprawira dan Vitayala, 2007).
Untuk memantau kinerja karyawan, dibutuhkan alat ukur yang sensitif terhadap kinerja
karyawan yang bersangkutan. Pada saat kinerjanya baik, maka alat ukur ini akan menunjukkan
nilai yang baik, begitu pula sebaliknya. Penggunaan alat ukur yang tepat akan dapat
memberikan peringatan dini (early warning) bagi pimpinan organisasi apabila terjadi penurunan
kinerja, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah antisipasi agar penurunan kinerja karyawan
ini tidak berpengaruh pada kinerja organisasi. Sebaliknya, apabila alat ukur kinerja tidak handal,
maka akan berdampak buruk bagi organisasi. Dampak yang semakin serius bahkan dapat
terjadi bila alat ukur tersebut salah dalam mengukur kinerja karyawan.

Penghitungan Kinerja Pegawai Negeri Sipil


Sebagai bagian dari karyawan, secara berkala, Pegawai Negeri Sipil (PNS) juga dinilai
kinerjanya. Penilaian kinerja ini dikenal dengan nama Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri
Sipil (PPK-PNS). Mekanisme pelaksanaan PPK-PNS ini diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 46 Tahun 2011, dan ketentuan pelaksanaannya tertuang dalam Peraturan Kepala
Badan Kepegawaian Nasional Nomor 1 Tahun 2013. Penilaian prestasi kerja merupakan suatu
proses rangkaian manajemen kinerja yang berawal dari penyusunan perencanaan prestasi
kerja yang berupa Sasaran Kerja Pegawai (SKP), penetapan tolok ukur yang meliputi aspek
kuantitas, kualitas, waktu, dan biaya dari setiap kegiatan tugas jabatan.
Penilaian prestasi kerja PNS bertujuan untuk menjamin objektivitas pembinaan PNS yang
dilakukan berdasarkan sistem prestasi kerja dan sistem karier yang dititikberatkan pada sistem
prestasi kerja. Dalam peraturan perundangan di atas dijelaskan bahwa prestasi kerja adalah
hasil kerja yang dicapai oleh setiap PNS pada satuan organisasi sesuai dengan sasaran kerja
pegawai (SKP) dan perilaku kerja. Artinya, terdapat dua komponen dalam penentuan prestasi
kerja PNS; pertama adalah penlaian SKP dan kedua adalah penilaian perilaku kerja. SKP
adalah rencana kerja dan target yang akan dicapai oleh seorang PNS, sedangkan perilaku kerja

20

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

merupakan tingkah laku, sikap atau tindakan yang dilakukan oleh PNS. Bobot masing-masing
komponen adalah 60 persen untuk penilaian SKP dan 40 persen untuk penilaian perilaku kerja.
Aturan tentang besaran nilai untuk masing-masing komponen juga berbeda. Nilai untuk
komponen penilaian SKP boleh melebihi 100, sedangkan untuk perilaku kerja nilainya maksimal
100.
Penilaian SKP dilakukan dengan cara membandingkan antara realisasi kerja dengan target.
Penilaian tersebut meliputi kuantitas, kualitas, waktu dan biaya dari kegiatan yang telah
dilakukan oleh PNS yang bersangkutan. Kuantitas merupakan ukuran jumlah atau banyaknya
hasil kerja yang dicapai, sedangkan kualitas menunjukkan ukuran mutu dari setiap hasil kerja
yang dicapai. Waktu merujuk kepada lamanya proses setiap hasil kerja yang dicapai, dan biaya
adalah besaran jumlah anggaran yang digunakan setiap hasil kerja.
Dalam melakukan penilaian, dipergunakan rumusan umum sebagai berikut :
Aspek kuantitas :
()
100
()
Aspek kualitas :
()
100
()
Aspek waktu :
1,76 () ()
100
()
Aspek biaya :
1,76 () ()
100
()

21

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Permasalahan
Peraturan tentang penilaian prestasi kerja PNS mulai diberlakukan pada 1 Januari 2014.
Disebutkan sebelumnya, penilaian prestasi kerja PNS terdiri dari dua komponen, penilaian SKP
dan penilaian perilaku kerja. Tulisan ini secara khusus akan membahas tentang penilaian SKP,
khususnya untuk widyaiswara.
Aturan penilaian prestasi kerja berlaku untuk seluruh PNS, baik yang berstatus sebagai
pejabat struktural, fungsional tertentu ataupun fungsional umum. Perbedaan yang paling
mendasar dari ketiga jenis jabatan tersebut adalah adanya kolom angka kredit (AK) bagi PNS
yang berstatus pejabat fungsional tertentu. Penggunaan kolom angka kredit ini tentunya terkait
dengan ukuran kinerja untuk pejabat fungsional tertentu, termasuk widyaiswara. Berdasarkan
Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 22 tahun 2015, disebutkan bahwa
penilaian angka kredit jabatan fungsional widyaiswara merupakan proses untuk mengukur
kinerja widyaiswara.
Adanya kolom angka kredit dalam tabel penghitungan penilaian prestasi kerja, ternyata
tidak dimanfaatkan secara langsung dalam menentukan kinerja pejabat fungsional tertentu.
Angka kredit hanya dipergunakan pada saat penyusunan SKP, namun tidak pada saat penilaian
prestasi kerja. Tidak dipergunakannya kolom angka kredit dalam penghitungan prestasi kerja,
berpotensi menimbulkan permasalahan. Potensi masalah tersebut akan dijelaskan dalam
ilustrasi berikut.
Tabel 1. Ilustrasi Sasaran Kerja Pegawai (SKP) Tahun X
NO

I. Kegiatan Tugas Jabatan

AK

TARGET
Kuant/ Output
4
Bahan
12
tayang

Menyusun Bahan tayang

7.20

Menyusun GBPP/RBPMD dan SAP/RP

7.20

12

Melaksanakan tatap muka Diklat (PNS)

12.96

Terlibat dalam mengevaluasi


penyelenggaran diklat

Kual/Mutu
5

Waktu
6

Biaya
7

100

12

bulan

RBPMD
dan RP

100

12

bulan

216

JP

100

12

bulan

0.80

Laporan

100

12

bulan

Membuat KTI yang dimuat dalam jurnal


ilmiah nasional terakreditasi

10.00

Artikel

100

12

bulan

Membuat KTI yang dimuat dalam jurnal


ilmiah nasional tidak terakreditasi

10.00

Artikel

100

12

bulan

Membuat makalah dalam pertemuan ilmiah

2.50

Makalah

100

12

bulan

JUMLAH

50.66

22

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Penilaian prestasi kerja, dimulai dari penyusunan rencana kerja yang dikenal dengan SKP.
Bagi pejabat fungsional tertentu, penyusunan SKP mengacu pada jumlah angka kredit yang
diharapkan. Misalkan seorang widyaiswara ahli madya merencanakan pengumpulan angka
kredit pada satu tahun minimal sebesar 50 poin. Untuk mencapai rencana tersebut,
widyaiswara yang bersangkutan kemudian merinci kegiatan dengan kegiatan yang bersesuaian
dengan rincian kegiatan widyaiswara. Hasil akhir dari rencana tersebut dituangkan dalam SKP
seperti pada Tabel 1. Dalam penyusunan SKP dimungkinkan kolom biaya tidak terisi.
Dalam pelaksanaan SKP, tentu ada dua kemungkinan, sesuai dengan rencana atau tidak
sesuai dengan rencana. Pada kemungkinan yang pertama, widyaiswara tersebut berarti mampu
merealisasikan seluruh rencana yang telah disusun. Mengacu kepada aturan tentang penilaian
prestasi kerja, maka widyaiswara yang bersangkutan akan mendapatkan penilaian SKP
sebesar 94,00 (Tabel 2)
Tabel 2. Ilustrasi Penilaian SKP (Angka Kredit Realisasi = SKP)
No

I. Kegiatan Tugas
Jabatan

AK

1
2
3

Menyusun Bahan
tayang

7.20

TARGET
Kual/
Kuant/ Output
Waktu
Mutu
4
5
6
12

Bahan
tayang

Menyusun
RBPMD
GBPP/RBPMD dan 7.20 12
dan RP
SAP/RP
Melaksanakan
tatap muka Diklat
12.96 216
JP
(PNS)
Terlibat dalam
mengevaluasi
0.80 2 Laporan
penyelenggaran
diklat
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
10.00 1
Artikel
ilmiah nasional
terakreditasi
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
10.00 2
Artikel
ilmiah nasional
tidak terakreditasi
Membuat makalah
dalam pertemuan
2.50 1 Makalah
ilmiah
JUMLAH

50.66

Biaya

AK

REALISASI
Kual/
Kuant/ Output
Waktu
Mutu
9
10
11

PENGHIT
Biaya UNGAN

NILAI
CAPAIAN
SKP

12

13

14

100

12 bln

7.20

12

Bahan
tayang

100

12

bln

282.00

94.00

100

12 bln

7.20

12

RBPMD
dan RP

100

12

bln

282.00

94.00

100

12 bln

12.96

216

JP

100

12

bln

282.00

94.00

100

12 bln

0.80

Laporan

100

12

bln

282.00

94.00

100

12 bln

10.00

Artikel

100

12

bln

282.00

94.00

100

12 bln

10.00

Artikel

100

12

bln

282.00

94.00

100

12 bln

2.50

Makalah

100

12

bln

282.00

94.00

50.66
Nilai Capaian SKP

94.00

Pada kemungkinan yang kedua, artinya terjadi perbedaan antara rencana dengan realisasi.
Perbedaan ini tentunya ada yang berarti positif berupa peningkatan kinerja, atau negatif berupa

23

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

penurunan kinerja. Kembali kepada ilustrasi SKP widyaiswara yang telah disusun di atas.
Dalam SKP, widyaiswara tersebut merencanakan membuat satu makalah yang akan disajikan
dalam pertemuan ilmiah. Dalam pelaksanaannya, makalah yang disajikan tersebut juga
diterbitkan dalam jurnal ilmiah nasional yang tidak terakreditasi. Perubahan ini mengakibatkan
terjadinya perbedaan antara SKP dengan realisasinya. Pada kegiatan ke-6 (membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal ilmiah nasional tidak terakreditasi) kuantitasnya meningkat dari 2 artikel
menjadi 3 artikel. Sedangkan kegiatan-7 (membuat makalah dalam pertemuan ilmiah)
kuantitasnya menurun, dari 1 makalah menjadi tidak ada makalah. Perbedaan ini berakibat
pada berubahnya angka kredit yang diperoleh, dari 50,66 poin menjadi 53,16 poin (Tabel 3).
Jika mengacu pada perolehan angka kredit, maka perbedaan SKP dengan realisasinya ini
menunjukkan terjadinya peningkatan kinerja.
Tabel 3. Ilustrasi Penilaian SKP (Angka Kredit Realisasi > SKP)
NO

I. Kegiatan Tugas
Jabatan

AK

1
2
3

Menyusun Bahan
tayang

7.20

Menyusun
GBPP/RBPMD dan 7.20
SAP/RP
Melaksanakan
tatap muka Diklat
12.96
(PNS)
Terlibat dalam
mengevaluasi
0.80
penyelenggaran
diklat
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
10.00
ilmiah nasional
terakreditasi
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
10.00
ilmiah nasional
tidak terakreditasi
Membuat makalah
dalam pertemuan
2.50
ilmiah
JUMLAH

TARGET
Kual/
Kuant/ Output
Waktu
Mutu
4
5
6

AK

Biaya
7

REALISASI
Kual/
Kuant/ Output
Waktu
Mutu
9
10
11

NILAI
PENGHIT
CAPAIAN
UNGAN
Biaya
SKP
12
13
14

12

Bahan
tayang

100

12

bln

7.20

12

Bahan
tayang

100

12

bln

282.00

94.00

12

RBPMD
100
dan RP

12

bln

7.20

12

RBPMD
100
dan RP

12

bln

282.00

94.00

100

12

bln

12.96 216

100

12

bln

282.00

94.00

Laporan 100

12

bln

0.80

Laporan 100

12

bln

282.00

94.00

216

JP

JP

Artikel

100

12

bln

10.00

Artikel

100

12

bln

282.00

94.00

Artikel

100

12

bln

15.00

Artikel

100

12

bln

332.00

110.67

Makalah 100

12

bln

0.00

Makalah

bln

0.00

0.00

50.66

53.16
Nilai Capaian SKP

82.95

Selain berdampak pada angka kredit, perbedaan pada pelaksanaan kegiatan ini tentunya
juga akan berdampak pada penilaian SKP. Mengacu pada rumusan penilaian SKP dalam Perka
BKN Nomor 1 tahun 2013, apabila ada kegiatan yang kuantitasnya tidak ada (nol), kegiatan

24

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

tersebut tetap diperhitungkan dalam penghitungan penilaian SKP, dengan nilai capaian yang
juga nol. Dengan menerapkan aturan tersebut pada kasus di atas, maka penilaian SKP
widyaiswara yang bersangkutan adalah sebesar 82,95 (Tabel 3). Nilai ini jauh lebih rendah
dibandingkan dengan penilaian SKP pada Tabel 2 (94,00), atau mengindikasikan terjadinya
penurunan kinerja. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan aturan yang menyatakan bahwa
penilaian angka kredit merupakan ukuran kinerja bagi widyaiswara.
Dua ilustrasi penilaian SKP di atas menunjukkan bahwa aturan tentang penilaian
prestasi kerja PNS yang berlaku saat ini belum mampu memberikan penilaian kinerja yang
komprehensif untuk fungsional tertentu, khususnya widyaiswara. Formula penghitungan dapat
menghasilkan nilai prestasi yang lebih rendah, walaupun jumlah angka kredit yang diperoleh
lebih tinggi dari rencana yang telah disusun. Kondisi ini tentunya tidak sejalan dengan aturan
lain yang menyatakan bahwa angka kredit merupakan proses dalam menentukan kinerja
widyaiswara.

Menilai Kinerja Widyaiswara


Penilaian SKP melibatkan empat aspek, yaitu kuantitas, kualitas, waktu dan biaya. Bagi
PNS yang memiliki posisi sebagai pejabat struktural dan fungsional umum, empat aspek
tersebut dianggap telah cukup sebagai elemen dalam mengukur kinerjanya. Namun untuk PNS
yang menjadi fungsional tertentu, empat aspek tersebut dianggap masih belum cukup. Kinerja
fungsional tertentu harus melibatkan satu aspek lagi, yaitu angka kredit. Bagi seorang
fungsional tertentu, jenjang jabatan ditentukan oleh angka kredit yang diperoleh. Sehingga
perolehan angka kredit menjadi pertimbangan utama dalam kenaikan pangkat, yang pada
dasarnya menunjukkan kinerja dari pejabat fungsional tertentu. Absennya angka kredit sebagai
komponen penilaian SKP menjadi penyebab utama kasus di atas, seseorang dengan angka
kredit lebih tinggi namun memiliki penilaian prestasi yang lebih rendah.
Mengantisipasi terjadinya kondisi seperti ini, maka perlu disusun formula baru dalam
penilaian SKP bagi PNS yang menjadi fungsional tertentu. Formulasi yang akan disusun
tentunya dengan menggunakan angka kredit sebagai salah satu instrumen penilaian. Tulisan ini
menuliskan beberapa alternatif yang dapat dilakukan dalam menyusun formula tersebut.
Keseluruhan alternatif diupayakan untuk menghasilkan nilai yang sama dengan Tabel 2 (94,00)

25

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

jika seluruh angka kredit realisasi sama dengan SKP dan memiliki nilai yang lebih tinggi dari
94,00 bila yang terjadi angka kredit realisasi lebih besar dari SKP.

Alternatif 1
Alternatif pertama adalah menggunakan capaian angka kredit pada masing-masing kegiatan
sebagai penimbang untuk menghasilkan nilai capaian SKP. Metode ini hanya melakukan
modifikasi pada penghitungan capaian SKP. Pada aturan yang berlaku saat ini, penghitungan
SKP merupakan rata-rata (mean) dari capaian seluruh kegiatan. Metode yang ditawarkan
sebagai alternatif 1 adalah mengubah metode rata-rata biasa menjadi rata-rata tertimbang.
Alternatif 1 ini menghasilkan nilai capaian SKP sebesar 98,70.
Tabel 4. Rata-rata Tertimbang menggunakan Angka Kredit (Alternatif 1)
NO

I. Kegiatan Tugas
Jabatan

AK

TARGET
Kual/
Kuant/ Output
Waktu
Mutu
4
5
6

Biaya
7

AK
8

REALISASI
Kual/
Kuant/ Output
Waktu
Mutu
9
10
11

12

13

14

15

bln

282.00

94.00

12.73

12

bln

282.00

94.00

12.73

100

12

bln

282.00

94.00

22.92

Laporan 100

12

bln

282.00

94.00

1.41

Menyusun Bahan
1
tayang

7.20

12

Bahan
tayang

100 12 bln

7.20

12

Bahan
tayang

100

12

Menyusun
2 GBPP/RBPMD dan
SAP/RP

7.20

12

RBPMD
100 12 bln
dan RP

7.20

12

RBPMD
100
dan RP

100 12 bln

12.96 216

Laporan 100 12 bln

0.80

Melaksanakan tatap
muka Diklat (PNS)

Terlibat dalam
mengevaluasi
penyelenggaran
diklat
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
5
ilmiah nasional
terakreditasi
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
6
ilmiah nasional tidak
terakreditasi
Membuat makalah
7 dalam pertemuan
ilmiah
4

JUMLAH

12.96 216

JP

NILAI
NILAI
PENGHIT
CAPAIA TERTIM
Biaya UNGAN N SKP BANG

JP

0.80

10.00

Artikel

100 12 bln

10.00

Artikel

100

12

bln

282.00

94.00

17.68

10.00

Artikel

100 12 bln

15.00

Artikel

100

12

bln

332.00

110.67

31.23

2.50

Makalah 100 12 bln

0.00

Makalah

bln

0.00

0.00

0.00

50.66

53.16
Nilai Capaian SKP

26

98.70

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Alternatif 2
Pada alternatif kedua, rumusan yang digunakan dalam penilaian SKP masih tetap
menggunakan rumusan pada Perka BKN Nomor 1 tahun 2013, namun dengan menambahkan
perlakuan khusus bila angka kredit yang dicapai melebihi angka kredit yang direncanakan. Bila
angka kredit yang dicapai lebih tinggi dari target, maka kegiatan yang kuantitasnya nol tidak
diikutsertakan dalam penghitungan rata-rata untuk mendapatkan nilai capaian SKP. Dengan
metode ini, nilai capaian SKP yang dihasilkan adalah 96,78.
Tabel 5. Rata-rata Tanpa Kegiatan yang Tidak Dilaksanakan (Alternatif 2)
NO

I. Kegiatan Tugas
Jabatan

AK

TARGET
Kual/
Kuant/ Output
Waktu Biaya
Mutu
4
5
6
7

AK
8

REALISASI
NILAI
PENGHIT
CAPAIAN
Kual/
UNGAN
Kuant/ Output
Waktu Biaya
SKP
Mutu
9
10
11
12
13
14

Menyusun Bahan
1
tayang

7.20

12

Bahan
tayang

100 12 bln

7.20

12

Bahan
tayang

100

12 bln

282.00

94.00

Menyusun
2 GBPP/RBPMD dan
SAP/RP

7.20

12

RBPMD
100 12 bln
dan RP

7.20

12

RBPMD
100
dan RP

12 bln

282.00

94.00

100 12 bln

12.96 216

100

12 bln

282.00

94.00

Laporan 100 12 bln

0.80

Laporan 100

12 bln

282.00

94.00

Melaksanakan tatap
muka Diklat (PNS)

Terlibat dalam
mengevaluasi
penyelenggaran
diklat
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
5
ilmiah nasional
terakreditasi
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
6
ilmiah nasional tidak
terakreditasi
Membuat makalah
7 dalam pertemuan
ilmiah
4

JUMLAH

12.96 216

JP

JP

0.80

10.00

Artikel

100 12 bln

10.00

Artikel

100

12 bln

282.00

94.00

10.00

Artikel

100 12 bln

15.00

Artikel

100

12 bln

332.00

110.67

2.50

Makalah 100 12 bln

0.00

50.66

53.16
Nilai Capaian SKP

96.78

Alternatif 3
Alternatif tiga memiliki dasar pemikiran yang lebih kompleks. Angka kredit dan kuantitas
kegiatan pada dasarnya adalah dua aspek yang menjelaskan hal yang sama. Angka kredit
diperoleh dengan mengalikan kuantitas kegiatan dengan besaran angka kredit pada masingmasing kegiatan. Jika kedua aspek ini dipergunakan secara bersamaan dalam menghitung
kinerja, maka akan terjadi penghitungan ganda (double accounting) dalam penilaian kinerja.

27

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Oleh sebab itu, pada alternatif ketiga ini yang dipergunakan dalam menghitung kinerja hanya
aspek angka kredit, tanpa mengikutkan kuantitas. Aspek penilaian SKP yang lain (kualitas,
waktu dan biaya) tetap dipergunakan. Dengan demikian, penilaian SKP untuk fungsional
tertentu diukur dari aspek angka kredit, kualitas, waktu dan biaya. Kegiatan yang kuantitasnya
nol tidak diikutsertakan dalam penghitungan capaian SKP.
Untuk dapat menggabungkan keempat aspek tersebut, pada tahap pertama dilakukan
penghitungan capaian dari aspek kualitas, waktu dan biaya. Hasilnya kemudian dikalikan
dengan rasio antara angka kredit yang dicapai dengan angka kredit yang ditargetkan. Dalam
kasus di atas, dengan rasio angka kredit sebesar nilai capaian 1,05, maka nilai capaian SKP
yang diperoleh adalah sebesar 95,49.
Tabel 6. Rasio Angka Kredit sebagai Faktor Pengali (Alternatif 3)
TARGET

NO

I. Kegiatan Tugas
Jabatan

AK

REALISASI
AK

Kual/
Kuant/ Output
Waktu Biaya
Mutu
4
5
6
7

Kual/
Kuant/ Output
Waktu
Mutu
9
10
11

Capaian
Kualitas
dan
Biaya
Waktu
12
13

NILAI
CAPAIAN
SKP
14

Menyusun Bahan
1
tayang

7.20

12

Bahan
tayang

100 12 bln

7.20

12

Bahan
tayang

100

12 bln

182.00

91.00

Menyusun
2 GBPP/RBPMD dan
SAP/RP

7.20

12

RBPMD
100 12 bln
dan RP

7.20

12

RBPMD
100
dan RP

12 bln

182.00

91.00

100 12 bln

12.96 216

100

12 bln

182.00

91.00

Laporan 100 12 bln

0.80

Laporan 100

12 bln

182.00

91.00

Melaksanakan tatap
muka Diklat (PNS)

Terlibat dalam
mengevaluasi
penyelenggaran
diklat
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
5
ilmiah nasional
terakreditasi
Membuat KTI yang
dimuat dalam jurnal
6
ilmiah nasional tidak
terakreditasi
Membuat makalah
7 dalam pertemuan
ilmiah
4

JUMLAH

12.96 216

JP

JP

0.80

10.00

Artikel

100 12 bln

10.00

Artikel

100

12 bln

182.00

91.00

10.00

Artikel

100 12 bln

15.00

Artikel

100

12 bln

182.00

91.00

2.50

Makalah 100 12 bln

0.00

50.66

53.16

Nilai Capaian SKP

28

Rata-rata Capaian Kualitas dan Waktu

91.00

Rasio Angka Kredit

1.05
95.49

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kesimpulan
Metode pengukuran kinerja yang tepat akan berdampak positif bagi organisasi, sebaliknya
metode yang tidak tepat akan memberikan dampak negatif. Aturan yang menjadi acuan dalam
pengukuran kinerja widyaiswara, dinilai masih belum mampu mengukur kinerja widyaiswara
secara komprehensif. Tulisan ini menawarkan tiga alternatif untuk memperbaiki metode yang
dipergunakan saat ini. Dari tiga alternatif tersebut, alternatif ketiga dinilai tepat untuk menjadi
acuan dalam penilaian kinerja widyaiswara. Pematangan metode ini tentunya masih perlu
dilakukan, untuk mendapatkan cara pandang dari perspektif yang berbeda. Penelitian ini
diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembuat keputusan dalam mengevaluasi dan merevisi
aturan yang ada.

Daftar Pustaka
Mangkunegara, A.P. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. PT Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Mangkuprawira, Tb. S. dan A.V. Hubeis. 2007. Manajemen Mutu Sumber Daya Manusia. Ghalia
Indonesia, Bogor
Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri
Sipil
Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Nasional Nomor 1 Tahun 2013 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 Tentang Penilaian Prestasi
Kerja Pegawai Negeri Sipil

29

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

RENCANA STRATEJIK
DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN
(STUDI KASUS APLIKASI RENCANA STRATEJIK KOTA MAKASSAR DI
KECAMATAN TAMALATE)
Oleh : Dr. Drs. Hariawan Bihamding, MT
Widyaiswara Ahli Madya BPSDM Kemendagri
(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstrak
Sesuai dengan semangat reformasi dimana diperlukan perubahan mendasar dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat secara luas, diperlukan pula bentuk atau
format baku dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang termaktub
dalam Rencana Strategis (Renstra) sesuai UU no 25 tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional. Pemerintah Kota Makassar telah menetapkan
Renstra yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pembangunan, tidak terkecuali pula
di Kecamatan Tamalate yang merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kota
Makassar menerapkan pedoman ini. Namun dalam perkembangannya terkadang
format perencanaan yang dijadikan acuan belum sesuai dengan kebutuhan atau
keinginan masyarakat. Oleh sebab itu lewat penelitian ini, dengan mengambil
Rumusan Masalah tentang aplikasi Renstra ini maka penulis menetapkan Tujuan
Penelitian yakni untuk mengetahui sejauhmana aplikasi (penerapan) Renstra Kota
Makassar di Kecamatan Tamalate. Penulis menetapkan metode penelitian deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Dari hasil pengolahan data dapat dikemukakan bahwa
hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar masyarakat mendukung dan telah
mengaplikasikan Renstra dengan baik. Namun bentuk dukungan berupa keuangan
daerah dan sarana prasarana belum sepenuhnya memuaskan masyarakat. Sehingga
diperlukan pendekatan yang optimal untuk mendukung kelancaran pelaksanaan
pembangunan.
Kata kunci : Renstra dan Perencanaan Pembangunan
Latar Belakang
Gerakan reformasi dengan kebijakan otonomi daerahnya telah bergulir sejak
tahun 1998 dengan ditandai pengimplementasian Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Adanya
kebijakan penguatan kewenangan pemerintah daerah ini pun telah melewati
beberapa kali revisi yakni dengan diterbitkannya Undang-undang RI Nomor 32 Tahun

30

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

2004 dan disempurnakan lagi melalui Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2014


tentang Pemerintahan Daerah.
Pengaruh dari ketentuan tersebut membawa dampak yang besar terhadap
sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia khususnya dalam sistem
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini disebabkan karena pelaksanaan
fokus desentralisasi ditujukan pada daerah otonom kabupaten/kota, dengan
pertimbangan bahwa daerah kabupaten/kota dianggap lebih mengetahui kondisi,
potensi daerah dan aspirasi masyarakat dalam rangka pelaksanaan pembangunan
daerah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dalam kegiatan perencanaan pembangunan selama ini (masa Orba)
cenderung berasal dari atas (top down) sehingga banyak program yang direncanakan
tidak tepat sasaran dan masyarakat pun cenderung apatis terhadap program tersebut
karena tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Untuk itu peran atau keterlibatan
masyarakat dalam perencanaan pembangunan kemudian dibangun dalam kerangka
perencanaan yang stratejik dengan kontribusi masyarakat yang lebih optimal.
Mendukung kebijakan tersebut, pemerintah lalu menerbitkan Undang-undang nomor
25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Dalam aturan
ini, pemerintah mendorong lebih banyak stakeholders di unit wilayah terkecil hingga
propinsi untuk terlibat langsung dan mengawal proses perencanaan pembangunan ini
hingga pada tataran implementasi hingga monitoring dan evaluasi. Berbagai
kelemahan-kelemahan pada kebijakan perencanaan sebelumnya dicoba disempurnakan dengan beberapa metode atau kebijakan.
Dalam mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang baik berkaitan erat
dengan statemen dari United Nations Development Project (UNDP) tentang konsepsi
kepemerintahan yang baik (Good Governance) yang saat ini masih merupakan issue
nasional yang paling mengemuka dalam pengelolaan administrasi publik dewasa ini.
Terselenggaranya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan
aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cita-cita bangsa dan negara
(Anonim, 2000).
Good

governance

merupakan

paradigma

baru

dalam

manajemen

pemerintahan dan pembangunan. Dalam UNDP (Anonim, 2000) memberikan


karakteristik atau ciri-ciri dari good governance, sebagai berikut: (1). Participation; (2).
Rule of Law; (3). Transparancy; (4). Responsiveness; (5). Consensus; (6). Equity; (7).
Effectiveness and Efficiency; (8). Accountability (9). Strategic vision. Kesembilan
karakteristik tersebut saling memperkuat dan tidak dapat berdiri sendiri.

31

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Oleh

karena

itulah

sekarang

ini

penyelenggaraan

pemerintahan,

pelaksanaaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, semakin dituntut


untuk lebih demokratis, transparan dengan berorientasi pada pemberdayaan
masyarakat. Upaya ini dapat dilakukan melalui suatu pendekatan yang lebih
mengutamakan pendekatan pencapaian visi daripada pendekatan pencapaian target.
Pendekatan pencapaian visi adalah suatu pendekatan yang dianggap paling sesuai
untuk mengantisipasi dan merespon berbagai perubahan lingkungan stratejik baik
internal maupun eksternal. Selain itu pendekatan ini juga sangat fleksibel dalam arti
senantiasa dapat disesuaikan dengan dinamika perkembangan dan variasi tuntutan
aspirasi masyarakat. Keberhasilan menangkap dan mengimplementasikan aspirasi
masyarakat diukur dari kemampuan merumuskannya dalam perencanaan stratejik
atau dikenal dengan Rencana Stratejik (Renstra).
Rencana Stratejik Kota Makassar adalah salah satu dokumen perencanaan
yang bersifat taktis stratejik, dimana substansi yang terkandung di dalamnya adalah
penjabaran dari Pola Dasar Pembangunan Daerah Kota Makassar yang merupakan
dokumen perencanaan induk yang memuat komitmen politis daerah, visi, misi,
strategi dan arah kebijakan pembangunan jangka menengah. Selain itu Renstra Kota
Makassar berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Kota Makassar yang yang berisi strategi pembangunan daerah, kebijakan umum,
arah kebijakan keuangan daerah, program SKPD dan lintas SKPD.
Manajemen pembangunan kota merupakan pengelolaan barang publik yang
tidak saja melibatkan para manajer profesional tetapi terutama para pengambil
keputusan publik yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, seperti pihak
pemerintah, dunia usaha dan masyarakat (Kusbiantoro, 1999:23).
Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat sejauhmana implementasi rencana
stratejik Kota Makassar di Kecamatan Tamalate, apakah program-program yang telah
ditetapkan telah tercapai serta upaya yang proses pengaplikasian rencana stratejik
tersebut. Mencermati fenomena di atas, maka ditentukan judul penelitian, yaitu
RENCANA STRATEJIK DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN (STUDI KASUS
APLIKASI

RENCANA

STRATEJIK

KOTA

MAKASSAR

DI

KECAMATAN

TAMALATE).
Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada Latar Belakang Masalah maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah : Sejauhmana Rencana Stratejik Kota Makassar

32

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

diaplikasikan di Kecamatan Tamalate ? Bertolak dari latar belakang masalah dan


rumusan permasalahan tersebut, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengetahui sejauhmana Rencana Stratejik Kota Makassar diaplikasikan di
Kecamatan Tamalate.
Konsep Perencanaan Stratejik
Perencanaan stratejik terdiri dari dua unsur kata, yaitu kata perencanaan dan
stratejik. Menurut Siagian (1994 : 5) manajemen dapat didefinisikan sebagai
kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh sesuatu hasil dalam rangka
pencapaian

tujuan

melalui

orang

kegiatan-kegiatan

lain.

Selanjutnya,

Handayaningrat (1986 : 19) mengemukakan bahwa manajemen adalah suatu


kegiatan dengan cara memanfaatkan sumber-sumber yang tesedia (potensi) dalam
usaha pencapaian suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Terry (1986 : 25)
menggambarkan manajemen sebagai suatu proses kerja atau kerangka kerja yang
melibatkan orang atau sekelompok orang ke arah tujuan organisasi dengan
menerapkan

fungsi

perencanaan

(planning),

pengorganisasian

(organizing),

pelaksanaan (actuating) serta pengawasan (controling).


Dalam proses manajemen, perencanaan merupakan fungsi yang pertama dan
sangat penting karena adanya perencanaan yang baik dapat menjamin terlaksananya
tindakanan

selanjutnya

yang

baik

pula

tentunya

sepanjang

tidak

terjadi

penyimpangan pada pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen yang lain. Siagian (1994 :


108) mengemukakan bahwa perencanaan adalah : keseluruhan proses pemikiran
dan penetuan secara matang daripada hal-hal yang akan dikerjakan di masa yang
akan datang dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditentukan.
Terry (1986 : 163) mengemukakan bahwa perencanaan adalah tindakan
memilih dan menghubungkan fakta-fakta dan membuat serta menggunakan asumsiasumsi mengenai masa yang akan datang yang dalam memvisualisasi serta
merumuskan aktivitas-aktivitas yang diusulkan yang diaanggap perlu untuk mencapai
hasil-hasil yang diinginkan. Perencanaan merupakan aktivitas menyusun hal-hal atau
apa saja yang akan dikerjakan atau dilakukan di masa yang akan datang. sekaligus
menentukan bagaimana cara melaksanakannya. Hasil atau wujud aktivitas itu disebut
rencana.
Dalam literatur Manajemen Pemerintahan yang dikeluarkan oleh Lembaga
Administrasi Negara Republik Indonesia, perencanaan mengandung beberapa
pengertian antara lain sebagai proses penentuan tujuan, penentuan kegiatan dan

33

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

penentuan aparat pelaksana kegiatan untuk mencapai suatu tujuan. Juga sebagai
proses mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan
untuk mencapai sesuatu tujuan tertentu.
Suatu rencana dikatakan baik apabila :
1. Pertanyaan-pertanyaan what/which, why, when, where,who dan how dapat
terjawab saat menyusun rencana.
2. Dapat dilaksanakan dengan menggunakan sumber-sumber dan kemampuan
yang ada.
3. Pragmatis, yaitu didasarkan pada perhitungan-perhitungan konkret dan
perkiraan-perkiraan logis.
4. Dilaksanakan berkesinambungan sampai selesai sesuai dengan

rencana

yang telah ditetapkan .


5. Fleksibel, dapat disesuaikan dengan keadaan tanpa mengurangi atau
menjauh dari sasaran.
6. Bersifat menyeluruh (komprehensif)
7. Memiliki skala prioritas.
Konsep mengenai perencanaan sering dijelaskan sebagai suatu proses analitis dalam
pengambilan keputusan dalam menentukan berbagai langkah dan tindakan terhadap
berbagai alternatif yang ada untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sebagaimana
diungkapkan oleh Watterson (Conyers,1991 : 4), perencanaan adalah, usaha yang
secara sadar terorganisasi dan terus menerus dilakukan guna memilih alternatif yang
terbaik dari sejumlah alternatif untuk mencapai tujuan tertentu.
Lebih lanjut mengenai perencanaan dikemukakan oleh Soekartawi (1990 : 4),
bahwa, perencanaan

berarti memilih berbagai alternatif yang ada. Artinya dari

sekian banyak alternatif, maka perlu dipilih perencanaan yang didasarkan pada aspek
skala prioritas. Alternatif mana yang perlu dilaksanakan terlebih dahulu dan aktivitas
mana yang pelaksanaannya dapat ditangguhkan pada masa atau waktu berikutnya.
Memilih alternatif memang bukan pekerjaan yang mudah. Karena, hal ini menyangkut
kepentingan banyak keinginan dari berbagai lapisan masyarakat. Sehubungan
dengan hal tersebut maka dapat dirumuskan bahwa unsur-unsur perencanaan yaitu :
a. Adanya tujuan yang ingin dicapai;
b. Memiliki sumber yang tersedia baik berupa dana, tenaga, metode maupun
peralatan dan sebagainya.
Mempunyai jadwal kerja yang merupakan dasar bagi pengaturan aktivitas
perencanaan guna mencapai tujuan yang ditetapkan. Perencanaan (planning)

34

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

merupakan fungsi yang pertama dan bahkan yang sangat utama dalam setiap
aktivitas-aktivitas manajamen atau administrasi. Perencanaan merupakan dasar,
landasan atau titik tolak dalam melaksanakan tindakan-tindakan administratif
(administrative action). Dalam tahap perencanaan dirumuskan dan ditetapkan seluruh
aktivitas-aktivitas administrasi atau manajemen.
Silalahi (2000 : 167) mengemukakan beberapa tujuan perencanaan, yaitu : (1)
Perencanaan adalah jalan atau cara untuk mengantisipasi dan merekam perubahan
(a way to anticipate and offset change); (2) Perencanaan memberikan pengarahan
(direction) kepada administrator-administrator maupun non administrator; (3)
Perencanaan juga dapat menghindari atau setidak-tidaknya memperkecil atau
tumpang tindih dan pemborosan (wasteful) pelaksanaan aktivitas-aktivitas; (4)
Perencanaan menetapkan tujuan-tujuan dan standar-standar yang akan digunakan
untuk memudahkan pengawasan.
Sasaran kegiatan perencanaan adalah merumuskan dan menetapkan tujuan
yang akan dicapai dan pelaksanaan kegiatan pencapaian tujuan. Hal ini berarti
bahwa tujuan yang direncanakan merupakan landasan, dasar atau tolok ukur
penyusunan rencana pelaksanaan kegiatan. Oleh sebab itu tujuan yang hendak
dicapai harus dirumuskan dan diketahui dengan jelas sehingga rencana yang bersifat
operasional atau kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan dengan
mudah dapat dirumuskan.
Silalahi (2000 : 168) menyatakan bahwa :
perencanaan merupakan landasan atau kunci pokok pelaksanaan fungsi dan
kegiatan manajemen sebab : (1) Perencanaan memberikan arah kepada
administrator atau manajer atau non administrator atau manajer; (2)
Perencanaan merupakan cara untuk mengantisipasi perubahan; (3)
Perencanaan merupakan pusat tujuan organisasi; (4) Perencanaan dapat
menjaga agar kegiatan tidak tumpang tindih, menjaga kontinuitas tindakan,
menghindari pemborosan; (5) Tujuan dan standar yang direncanakan dapat
digunakan untuk memudahkan evaluasi dan pengawasan fasilitas; (6)
Membantu usaha penghematan biaya dengan adanya pemusatan perhatian;
dan (7) Membantu kelancaran pengambilan keputusan oleh semua tingkat
pejabat secara unit atau sektoral atau departemental.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perencanaan merupakan fungsi organik
manajemen yang di dalamnya terdapat perumusan atau pemilihan yang teliti dari
berbagai aspek dan kegiatan yang akan dilaksanakan suatu organisasi.
Adapun konsep-konsep stratejik selalu memberi perhatian serius terhadap
perumusan tujuan dan sasaran organisasi, faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan
kelemahannya serta peluang-peluang dan tantangan yang senantiasa dihadapi oleh

35

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

setiap organisasi (Salusu, 2000 : 6). Lebih lanjut oleh Hatten dan Hatten (Salusu,
2000 : 6) menegaskan bahwa intisari dari konsep stratejik dapat diringkaskan dalam
dua istilah, yaitu kompetensi distinktif (distinctive competence) dan keunggulan
kompetitif (compatitive advantage) atau ada juga yang menyebutnya keunggulan
daya saing.
Perencanaan stratejik (strategic planning) merupakan bagian yang esensial
dari manajemen stratejik karena perencanaan stratejik merupakan aspek utama
manajemen stratejik dan dapat dianggap sebagai pilar sentral manajemen stratejik
(Tunggal, 1993 :152). Intisari dari suatu perencanaan stratejik adalah kemungkinan
untuk pengenalan sistematis dari peluang-peluang dan ancaman-ancaman di masa
yang akan datang, yang dengan pilihan langkah-langkah yang lebih tepat akan lebih
menguntungkan perusahaan.
Beberapa ciri khas dari proses perencanaan stratejik adalah : (1)
Perencanaan menyangkut jangkauan masa depan dari keputusan-keputusan yang
dibuat sekarang; (2) Perencanaan stratejik adalah usaha sistematis formal untuk
menggariskan wujud utama dari organisasi, sasaran-sasaran, kebijakan-kebijakan
dan strategi-strategi untuk tercapainya sasaran-sasaran dan wujud utama tersebut;
(3) Proses perencanaan stratejik adalah sarana mengambil keputusan yang paling
penting. Di sinilah tujuan dan arah dasar ditentukan; (4) Proses perencanaan stratejik
merupakan suatu kegiatan manajemen puncak yang berlangsung terus-menerus; (5)
Perencanaan stratejik merupakan suatu struktur perencanaan yang mengintegrasikan
rencana stratejik dan rencana operasional jangka panjang; (6) Perencanaan stratejik
merupakan suatu proses menentukan terlebih dahulu mengenai apa yang dilakukan,
kapan dilakukan dan cara bagaimana melakukan dan siapa yang akan melakukan;
(7) Proses perencanaan stratejik menghasilkan sebuah dokumen tertulis atas basis
berkala; (8) Proses perencanaan stratejik merupakan sarana mengambil keputusan
yang paling penting; (9) Perencanaan stratejik merupakan suatu sikap, way of life
(falsafah) artinya perencanaan meminta suatu kebiasaan dan keharusan untuk
bekerja berdasarkan pikiran-pikiran masa depan. Perencanaan stratejik merupakan
suatu proses berpikir latihan intelektual daripada perangkat proses/ prosedur, struktur
atau teknik yang telah ditentukan.
Menurut Tunggal (1993 : 153), perencanaan stratejik tidak meramalkan
keputusan untuk masa yang akan datang. Perencanaan stratejik tidak berusaha
membuat cetak biru (blue print) bagi masa yang datang. Perencanaan stratejik juga
bukan merupakan suatu metodologi atau bagan arus atau perangkat prosedur

36

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

tunggal yang sudah ditentukan. Perencanaan stratejik merupakan proses secara


sistematis yang berkelanjutan dari pembuatan keputusan yang beresiko dengan
memanfaatkan sebanyak-banyaknya pengetahuan antisipatif, mengorganisasi secara
sistematis usaha-usaha melaksanakan keputusan tersebut dan mengukur hasilnya
melalui umpan balik yang terorganisasi dan sistematis (Anonim, 2000).
Sedangkan dalam Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang LAKIP, dirumuskan
bahwa, Perencanaan Stratejik merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil
yang ingin dicapai selama kurun waktu satu sampai dengan lima tahun dengan
memperhitungkan potensi, peluang dan kendala yang ada atau mungkin timbul.
Rencana stratejik mengandung visi, misi, tujuan, sasaran, cara mencapai tujuan dan
sasaran melalui kebijakan strategis, program dan kegiatan yang realistis untuk
mengantisipasi perkembangan masa depan.
Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 108 tahun 1999 tentang Tata
Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah Pasal 1 angka 4, dinyatakan bahwa
rencana stratejik atau dokumen perencanaan daerah lainnya yang disahkan oleh
DPRD dan kepala daerah, yang selanjutnya disebut Renstra adalah rencana lima
tahunan yang menggambarkan visi, misi, tujuan, strategi, program dan kegiatan.
Berdasarkan definisi-definisi yang telah dikemukakan oleh beberapa pakar di atas,
maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perencanaan stratejik melalui tahapan-tahapan
sebagai berikut :
1. Menetapkan visi, misi, tujuan dan sasaran yang ingin dicapai;
2. Mengenali lingkungan tempat organisasi mengimplementasikan interaksinya;
3. Melaksanakan analisis untuk mengetahui faktor-faktor kunci keberhasilan
organisasi;
4. Menetapkan kebijaksanaan strategis untuk mewujudkan tujuan dan sasaran
yang ingin dicapai dengan menetapkan program dan kegiatan yang
dilaksanakan.
Model perencanaan stratejik secara umum dapat dilihat dari contoh model
yang diberikan oleh Whittaker (1993) sebagai berikut :

37

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Internal analysis
Mission

Vision

Value
External analysis

Critical
succes
factor

Goal

Corporate
objective &
strategy

Strategic
analysis &
choice

Asumption

Monitor
implement &
provide feedback

Establish
accountability
implement plan

Gambar 1. Model Perencanaan Stratejik

Perencanaan stratejik bagi pemerintah daerah dapat dipandang sebagai suatu


proses

yang

dapat

digunakan

oleh

para

pemimpin

pemerintahan

untuk

membayangkan, memvisualisasikan masa depan organisasi pemerintahannya,


kemudian

mengembangkan

struktur,

staf,

prosedur,

operasionalisasi,

serta

pengendalian sehingga secara gemilang mampu mencapai masa depan yang


diinginkan itu (Salusu, 2000).
Perencanaan stratejik pemerintah daerah meliputi perumusan dua jenis
tujuan, yaitu (1) tujuan ideal (ideal goals) yang sesungguhnya merupakan pernyataan
tentang tujuan dan misi pemda yang diangkat dari cita-cita, tujuan dan misi nasional
bangsa Indonesia yang tampak dalam Pancasila, UUD 1945 serta GBHN, dan (2)
tujuan operasional (operational goals) yang diturunkan dari tujuan ideal, yaitu
deskripsi tentang masa depan 2 - 5 tahun mendatang. Alur perencanaan stratejik
pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pengaanggaran dapat digambarkan
sebagai berikut :

38

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Renstra
KL

RPJP
Nasional

Pedoman
n
Pedoman
RPJM
Nasional

Diacu
RPJP
Daerah

Pedoma
n

Renja KL

RPJM
Daerah

RKA-KL

Rincian
APBN

RAPBN

APBN

Diacu
Dijaba
r
kan

Dijaba
rkan

Diserasikan melalui Musrenbang


RKP
Daerah

Pedoman

Renja SKPD

Pedoma
n

RAPBD

APBD

RKA SKPD

Rincian
APBD

Diacu

Pedoman
Renstra
SKPD

Pedoma
n

Pemeri
ntah
Pusat

Pedoman
RKP

Diperhatikan

Pedoman
n

Pedoman

UU SPPN

Pemerint
ah
Daerah

UU KN

Gambar 2. Alur Perencanaan Stratejik Pemerintah Pusat dan Daerah


serta Penganggaran

Dalam pembangunan suatu kota diterapkan pula konsep perencanaan


stratejik. Menurut Weir (1992) perbedaan rencana stratejik dan rencana umum /
konvensional dipaparkan pada tabel 1 berikut ini :
Tabel 1. Perbandingan Rencana Proses dan Rencana Konvensional

No

Rencana Stratejik

1
2
3
4
5

Selektif
Beberapa persoalan kota
memenuhi syarat
Kota dalam konteks lingkungan
Tidak tergantung waktu
Proses melanjutkan aksi khusus

Besar partisipasi pemerintah kota


dan seluruh masyarakat

Rencana Konvensional
3

Luas
Hanya rencana pengembangan konvensional
Kota dalam batasannya
10 sampai 25 tahun
Proses sebagian dilaksanakan melalui
program perbaikan kota, tindakan
lingkungan, kadang-kadang pelaksanaannya
dikemukakan dengan jelas.
Sebagian besar dibatasi dengan departemen
perencanaan, komisi perencanaan dan
pendengar

39

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Dengan demikian salah satu hal yang membedakan perencanaan stratejik dan
perencanaan konvensional adalah tingkat partisipasi masyarakat. Perencanaan
stratejik dalam konteks manajemen perkotaan disusun berdasarkan aspirasi
masyarakat dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses penggalian ide/
gagasan hingga pengambilan keputusan untuk menjadi sebuah rencana stratejik
(Renstra).
Konsep Pembangunan Daerah
Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan yang terencana dari
situasional yang satu ke situasional yang lain yang dinilai lebih baik (Katz dalam
Supriatna, 2000 : 28). Menurut Bryan and White (1989 : 21) pembangunan diartikan
sebagai peningkatan kemampuan orang untuk mempengaruhi masa depannya. Hal
ini membawa implikasi bahwa :
1. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan optimal manusia, baik
individu maupun kelompok (capacity);
2. Pembangunan

berarti

mendorong

tumbuhnya

kebersamaan

dan

kemerataan nilai dan kesejahteraan (equity);


3. Pembangunan berarti menaruh kepercayaan kepada masyarakat untuk
membangun dirinya sendiri sesuai dengan kemampuan yang ada padanya
(empowerment);
4. Pembangunan berarti membangkitkan kemampuan untuk membangun
secara mandiri (sustainability);
5. Pembangun berarti mengurangi ketergantungaaan negara yang satu
dengan negara yang lain (interdependence).
Pengertian pembangunan lainnya dikemukakan oleh Tjokroamidjojo (1995 :
222) sebagai berikut : Pembangunan merupakan suatu proses pembaharuan yang
kontinyu dan terus-menerus dari suatu keadaan tertentu kepada suatu keadaan yang
dianggap lebih baik. Siagian (1990 : 2) mendefinisikan pembangunan adalah suatu
usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana yang
dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah menuju
modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building).
Berdasarkan definisi pembangunan yang dikemukakan para pakar di atas
dapat disimpulkan bahwa dalam pengertian pembangunan terkandung :
1. suatu proses usaha atau rangkaian usaha yang kontinu dan terus-menerus;
2. pertumbuhan dan perubahan ke arah yang lebih baik menuju modernitas;

40

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

3. dilakukan secara sadar dan terencana;


4. dalam rangka pembinaan bangsa (nation building).
Todaro (1994 : 3) mengemukakan bahwa pembangunan memiliki tiga konsep,
yaitu kebutuhan hidup (pertumbuhan ekonomi), kebebasan memilih (perubahan
sosial) dan harga diri (nilai etik). Perencanaan pembangunan merupakan suatu fungsi
dari manajemen pembangunan yang selalu diperlukan karena kebutuhan akan
pembangunan lebih besar dari sumber daya yang tersedia. Melalui perencanaan
pembangunan yang baik dapat dirumuskan kegiatan pembangunan yang secara
efisien dan efektif dapat memperoleh hasil yang optimal dalam pemanfaatan sumber
daya yang tersedia dan potensi yang ada.
Menurut Sorjodibroto (2001 : 72) perencanaan pembangunan adalah proses
yang berupaya mengatasi permasalahan dan atau stakeholder serta berbagai upaya
untuk mewujudkan visi. Syahroni (2001 : 63) mendefinisikan hakikat perencanaan
pembangunan daerah sebagai :
suatu usaha yang sistematik dari pelbagai pelaku (aktor) baik umum (publik)
atau pemerintah, swasta maupun kelompok masyarakat lainnya pada
tingkatan yang berbeda untuk menghadapi saling ketergantungan dan
keterkaitan aspek-aspek fisik, sosial ekonomi dan aspek-aspek lingkungan
lainnya dengan cara :
1. Secara

terus-menerus

menganalisis

kondisi

dan

pelaksanaan

pembangunan daerah.
2. Merumuskan tujuan-tujuan dan kebijakan-kebijakan pembangunan daera.
3. Menyusun konsep strategi-satrategi bagi pemecahan masalah (solusi)
4. Melaksanakannya dengan menggunakan sumber-sumber daya yang
tersedia

sehingga

peluang-peluang

baru

untuk

meningkatkan

kesejahteraan masyarakat daerah dapat ditangkap secara berkelanjutan.


Berdasarkan prosesnya, perencanaan pembangunan dibagi menjadi :
(1)

perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up planning); dan

(2)

perencanaan dari atas ke bawah (top-down planning).

Mustopadidjaja (1998 : 28) menyatakan bahwa untuk mengakomodasikan


dinamika perkembangan dan aspirasi masyarakat dikembangkan sistem dan proses
perencanaan yang berpola pada top down dan bottom up planning process.
Perencanaan dari bawah ke atas dianggap sebagai pendekatan perencanaan yang
seharusnya diikuti karena dipandang lebih didasarkan pada kebutuhan nyata.
Pandangan ini timbul karena perencanaan dari bawah ke atas ini dimulai prosesnya

41

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dengan mengenali kebutuhan di tingkat masyarakat yang secara langsung yang


terkait dengan pelaksanaan dan mendapat dampak dari kegiatan pembangunan yang
direncanakan.
Perencanaan dari atas ke bawah adalah pendekatan perencanaan yang
menerapkan cara penjabaran rencana induk ke dalam rencana rinci. Rencana rinci
yang berada di "bawah" adalah penjabaran rencana induk yang berada di "atas".
Pendekatan

perencanaan

sektoral

acapkali

ditunjuk

sebagai

pendekatan

perencanaan dari atas ke bawah, karena target yang ditentukan secara nasional
dijabarkan ke dalam rencana kegiatan di berbagai daerah di seluruh Indonesia yang
mengacu

kepada

pencapaian

target

nasional

tersebut.

Pada

tahap

awal

pembangunan, pendekatan perencanaan ini lebih dominan, terutama karena masih


serba terbatasnya sumber daya pembangunan yang tersedia.
Di dalam implementasinya tidak terdapat lagi penerapan penuh pendekatan
dari atas ke bawah. Beberapa pertimbangan, misalnya sumber pembiayaan
pembangunan dan kepentingan sektoral nasional, masih menuntut penerapan
pendekatan dari atas ke bawah. Namun, kini pendekatan tersebut tidak lagi
sepenuhnya dijalankan karena proses perencanaan rinci menuntut peran serta
masyarakat. Untuk itu, diupayakan untuk memadukan pendekatan perencanaan dari
atas ke bawah dengan perencanaan dari bawah ke atas. Secara operasional
pendekatan
perencanaan

perencanaan
di

tersebut

masing-masing

ditempuh

tingkatan

melalui

yaitu

mekanisme

Musyawarah

kegiatan

Perencanaan

Pembangunan (Musrenbang) Kelurahan, Musrenbang Kecamatan, Forum Satuan


Kerja Perangkat Daerah (SKPD), Musrenbang Kota/Kab, Musrenbang Propinsi, dan
Musrenbang Nasional.
Di setiap tingkat diupayakan untuk mengadakan koordinasi perencanaan
sektoral dan regional. Usulan atau masalah yang lintas wilayah atau lintas sektoral
yang tidak dapat diselesaikan di suatu tingkat dibawa ke tingkat di atasnya. Proses
berjenjang ini diharapkan dapat mempertajam analisis di berbagai tingkat forum
konsultasi perencanaan pembangunan tersebut. Dengan demikian, perencanaan
dari "atas ke bawah" yang memberikan gambaran tentang perkiraan-perkiraan dan
kemungkinan-kemungkinan yang ada diinformasikan secara berjenjang, sehingga
proses perencanaan dari "bawah ke atas" diharapkan sejalan dengan yang
ditunjukkan dari "atas ke bawah".
Mekanisme Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah adalah sebagai
berikut :

42

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

1.

Di tingkat Desa/Kelurahan

Musyawarah tahunan stakeholder desa/kelurahan (pihak yang berkepentingan untuk


mengatasi permasalahan desa/kelurahannya dan pihak yang akan terkena dampak
hasil musyawarah) untuk menyepakati rencana kegiatan tahun depannya.
Musrenbang Tahunan Desa/Kelurahan dilaksanakan dengan memperhatikan
rencana pembangungan jangka menengah desa/kelurahan, kinerja implementasi
rencana tahun berjalan serta masukan dari nara sumber dan peserta yang
menggambarkan permasalahan nyata yang sedang dihadapi. Masukannya yaitu
peta potensi dan permasalahan desa/kelurahan (peta kerawanan kemiskinan,
pengangguran, dll.); Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
desa/kelurahan; Hasil evaluasi pelaksanaan pembangunan desa/kelurahan pada
tahun sebelumnya; Daftar prioritas masalah dari tingkat di bawah desa/kelurahan
dan kelompok-kelompok masyarakat di tingkat desa (misalnya: kelompok tani,
kelompok nelayan, dll).
Prosesnya yaitu pemaparan prioritas program/kegiatan untuk tahun berikutnya yang
berasal dari dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Desa/Kelurahan oleh Kepala Desa/Lurah; Pemaparan informasi tentang perkiraan
jumlah dana alokasi desa/kelurahan, oleh Kepala Desa; Pemaparan masalah utama
yang dihadapi oleh masyarakat kelurahan, oleh beberapa perwakilan dari
masyarakat misalnya: ketua kelompok tani, komite sekolah, kepala dusun, dll.
Keluarannya yaitu dokumen Rencana Kerja Pembangunan Desa/Kelurahan yang
berisi: kegiatan pembangunan skala desa/kelurahan yang akan didanai oleh alokasi
dana kabupaten/kota untuk desa dan atau swadaya. Kegiatan pembangunan yang
menjadi tanggung jawab Satuan Kerja Perangkat Daerah yang akan dibahas pada
Musrenbang tingkat kecamatan.
2.

Di tingkat Kecamatan

Masukannya yaitu dokumen Rencana Kerja Pembangunan Tahunan dari masingmasing Desa/Kelurahan; Daftar/nama-nama delegasi dari desa untuk mengikuti
Musrenbang tingkat Kecamatan. Daftar para wakil kelompok fungsional/asosiasi
warga, koperasi, NGO yang bekerja di kecamatan, atau organisasi tani/nelayan skala
kecamatan. Prosesnya yaitu pemaparan masalah dan prioritas kegiatan dari masingmasing desa/kelurahan menurut fungsi/SKPD oleh Tim Penyelenggara Musrenbang
Tahunan Kecamatan : verifikasi oleh delegasi desa/kelurahan untuk memastikan
semua prioritas kegiatan yang diusulkan oleh desa/kelurahan. Pembagian peserta
Musrenbang ke dalam kelompok pembahasan berdasarkan jumlah fungsi/SKPD atau

43

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

gabungan SKPD yang tercantum. Penyepakatan prioritas kegiatan pembangunan


kecamatan yang dianggap perlu oleh peserta Musrenbang namun belum diusulkan
oleh desa/kelurahan (kegiatan lintas desa/kelurahan yang belum diusulkan
desa/kelurahan).
Keluarannya yaitu daftar prioritas kegiatan pembangunan di wilayah Kecamatan
menurut fungsi/SKPD atau gabungan SKPD yang siap dibahas pada Forum-forum
Satuan Kerja Perangkat Daerah dan Musrenbang Daerah Kabupaten/Kota, yang
akan didanai melalui APBD Kabupaten/Kota dan sumber pendanaan lainnya.
Selanjutnya, daftar tersebut disampaikan kepada masyarakat di masing-masing
Desa/Kelurahan oleh para delegasi yang mengikuti Musrenbang Kecamatan.
3.

Forum SKPD

Forum SKPD (forum yang berhubungan dengan fungsi/sub fungsi, kegiatan/sektor


dan lintas sektor) adalah wadah bersama antar pelaku pembangunan untuk
membahas prioritas kegiatan pembangunan hasil Musrenbang Tahunan Kecamatan
dengan SKPD atau gabungan SKPD sebagai upaya mengisi Renja SKPD yang tata
cara penyelenggaraannya difasilitasi oleh SKPD terkait.
Forum-SKPD bertujuan untuk : mensinkronkan prioritas kegiatan pembangunan dari
berbagai kecamatan dengan Rancangan Rencana Kerja Satuan Perangkat Daerah
(Renja-SKPD); Menetapkan prioritas kegiatan yang akan dimuat dalam Renja-SKPD;
Menyesuaikan prioritas Renja-SKPD dengan plafon/pagu dana SKPD yang termuat
dalam Rancangan RKPD; Mengidentifikasi keefektifan berbagai regulasi yang
berkaitan dengan fungsi SKPD, terutama untuk mendukung terlaksananya RenjaSKPD.
Rancangan Renja-SKPD berdasarkan hasil Forum-SKPD yang memuat kerangka
regulasi dan kerangka anggaran SKPD. Prioritas kegiatan yang termuat dalam
Rancangan Renja - SKPD disusun menurut kecamatan dan desa. Selanjutnya,
prioritas kegiatan per kecamatan disampaikan kepada masing-masing kecamatan
oleh para delegasi kecamatan.
4.

Di tingkat Kabupaten/Kota

Masukannya yaitu rancangan RKPD yang disusun oleh Bappeda berdasarkan


prioritas pembangunan daerah. Rancangan Renja-SKPD hasil Forum-SKPD yang
memuat kerangka regulasi dan kerangka anggaran; Prioritas dan Plafon anggaran
yang dikeluarkan oleh Bupati/Walikota untuk seluruh kabupaten yang terdiri atas
plafon untuk tiap SKPD dan plafon untuk alokasi dana desa; dan Daftar prioritas
kegiatan pembangunan yang berasal dari kecamatan;

44

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Prosesnya yaitu Pemaparan Rancangan RKPD dan Prioritas dan Plafon anggaran
yang dikeluarkan oleh Bupati/Walikota oleh Kepala Bappeda; Pemaparan hasil
kompilasi prioritas kegiatan pembangunan dari Forum-Forum SKPD berikut dengan
plafonnya oleh Ketua Tim Penyelenggaran; Verifikasi hasil kompilasi oleh KetuaSKPD, delegasi kecamatan, dan delegasi Forum-SKPD; Pemaparan Rancangan
Renja-SKPD (terutama SKPD yang mengemban fungsi pelayanan dasar dan yang
menjadi prioritas pembangunan Kabupaten/Kota) oleh Kepala SKPD yang meliputi :
1. Isu-isu strategis SKPD yang berasal dari Rancangan RKPD, Renstra
Kabupten/Kota (atau jika sudah ada PJM Daerah) dan Renstra-SKPD;
2. Tujuan, indikator pencapaian dan prioritas kegiatan pembangunan yang
akan dimuat dalam Renja-SKPD;
3. Penyampaian perkiraan kemampuan pendanaan terutama dana yang
berasal dari pendapatan daerah kabupaten/kota yang berasal dari APBD
Kabupaten/Kota, APBD I, DAK, Pinjaman daerah dan sumber dana lainnya.
Disampaikan juga perkiraan dana dekonsentrasi.
Keluarannya yaitu Penetapan arah kebijakan, prioritas, dan plafon/pagu dana baik
berdasarkan fungsi/SKPD maupun berdasarkan kecamatan. Daftar prioritas
kegiatan yang pembiayaannya berasal dari APBD Kabupaten/Kota; APBD I, APBN,
Dana Dekonsentrasi dan sumber dana lainnya; Daftar usulan kebijakan/regulasi
pada tingkat pemerintah Kabupaten/Kota, Provinsi dan/atau Pusat; Rancangan
pendanaan untuk Dana Alokasi Desa.
5.

Di tingkat Provinsi

Rencana/Usulan proyek yang telah diterima dari tingkat kabupaten/kota oleh


Gubernur dibantu oleh Ketua Bappeda Propinsi dan Kepala Kantor/Badan
Pemberdayaan Masyarakat Desa Provinsi dibahas dan diolah bersama dengan
semua instansi yang ada di tingkat provinsi dalam Musyawarah Perencanaan
Pembangunan Provinsi (Musrenbang Propinsi) yang dilaksanakan setiap bulan
April. Hasil pengolahan dan pembahasan dituangkan dalam satu rencana / usulan
proyek dari Provinsi. Perencanaan di tingkat provinsi meliputi :
a)

Arah dan tujuan yang hendak dicapai.

b)

Cara pembimbingan pencapaian tujuan program, untuk mendukung


tercapainya arah dan tujuan pembangunan daerah.

Metode Penelitian

45

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini yaitu penelitian deskripitif
dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian di Kecamatan Tamalate Kota
Makassar,

alasan

pemilihan

lokasi

ini

adalah

adanya

kemudahan

akses,

kompleksitas, dan juga karena Kecamatan Tamalate merupakan salah satu


kecamatan yang menjadi prioritas pembangunan di Kota Makassar.
Sumber Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder yang terdiri atas :
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber asalnya. Dalam
penelitian ini data primer diperoleh dari para kepala rumah tangga yang dijadikan
responden melalui instrumen kuesioner, serta dari tokoh masyarakat dan pejabat
Pemerintah Kota Makassar yang terkait dengan topik penelitian ini.
2. Data sekunder, yaitu data yang sudah diolah sebelumnya. Data sekunder dalam
penelitian ini diperoleh dari kantor desa/ kelurahan, kecamatan, Badan
Pemberdayaan Masyarakat, Badan Pusat Statistik, Bappeda Kota Makassar dan
pihak/ instansi lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara :
1. Wawancara mendalam, wawancara untuk kepentingan penelitian ini dilakukan
dengan cara :
a. Wawancara berstruktur dengan melakukan wawancara langsung kepada para
responden dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan.
b. Wawancara bebas, yaitu teknik pengumpulan data melalui wawancara bebas
kepada sejumlah informan.
c. Wawancara kelompok terarah (Focus Group Interviews), yaitu wawancara
tidak berstruktur dalam bentuk diskusi kelompok terarah kepada responden
mengenai topik penelitian.

2. Observasi
Pengumpulan data dalam kegiatan penelitian yang dilakukan dengan
mengamati kondisi yang berkaitan dengan obyek penelitian.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian

46

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kecamatan Tamalate merupakan salah satu dan 14 Kecamatan di Kota


Makassar yang berbatasan di sebelah utara dengan Kecamatan Mamajang dan Kec.
Mariso, di sebelah timur dengan Kecamatan Rappocini, di sebelah selatan dengan
Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar, dan di sebelah barat dengan Selat
Makassar. Jumlah kelurahan yang masuk dalam wilayah administratif Kec. Tamalate
sebanyak 10 kelurahan. 3 kelurahan merupakan daerah pantai dan 7 kelurahan
lainnya merupakan daerah bukan pantai, dengan topograti 2-10 meter di atas dari
permukaan laut.
Menurut jaraknya, letak masing-masing kelurahan ke ibukota kecamatan
bervariasi antara 1-2 km (Kel. Maccini Sombala dan BaIang Baru), antara 3-4 km
(Kel. Jongaya dan Parang Tambung), kelurahan lainnya berjarak 5-8 km. Kecamatan
Tamalate memiliki luas wilayah 20,21 km2. Dari luas wilayah tersebut tercatat bahwa
Kelurahan Barombong memiliki wilayah terluas yaitu 7,34 km2 dan terluas kedua
adalah Kelurahan Tanjung Mardeka dengan luas wilayah 3,37 km2. sedangkan yang
paling kecil luas wilayahnya adalah Kelurahan Bongaya yaitu 0,29 km2.
Hasil Penelitian
Memasuki tahap pembahasan dalam penelitian ini, perlu dipaparkan hasilhasil respon para responden dalam menjawab pertanyaan yang diberikan sesuai
dengan indikator yang telah ditetapkan. Tanggapan masyarakat (sampel) dalam
wilayah Kecamatan Tamalate tersebut cukup beragam, ada yang bertendensi positif,
netral atau bertendensi negatif. Dari hasil kuesioner responden tersebut lalu
dirangkum dan dipersentasekan untuk melihat tingkat perbandingannya. Range
jawaban sebanyak 4 buah bertujuan sebagai alternatif jawaban yang sesuai dengan
pemikiran tiap responden. Tabulasi jawaban respondensi mengenai hal tersebut
dapat disampaikan berikut ini.
Berdasarkan tabulasi data nampak bahwa sebagian besar responden (31 %)
menyatakan bahwa aplikasi rencana stratejik di Kecamatan Tamalate dari Renstra
Kota Makassar di Kelurahan Mannuruki dan Kelurahan Barombong pada umumnya
setuju dan siap mendukung sepanjang untuk kepentingan masyarakat. Namun
masyarakat menilai pula bahwa rencana stratejik harus dipelajari terlebih dahulu serta
harus melalui beberapa tahapan penting. Adapun sampel masyarakat di Kelurahan
Parang Tambung menyatakan bahwa Renstra Kota Makassar masih kurang terarah
dan masih berupa sebatas wacana. Menurut pengamatan peneliti hal ini dikarenakan

47

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kemungkinan masih kurangnya kegiatan sosialisasi dan pembangunan di kelurahan


tersebut sehingga responden kurang menanggapi secara positif rencana stratejik itu.
Rencana Stratejik diaplikasikan dalam bentuk program-program atau kegiatan
pembangunan. Sebagian sampel masyarakat Kelurahan Mannuruki menyatakan
mendukung pembangunan di Kecamatan Tamalate asal tidak sekedar slogan. Selain
itu pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan skala prioritas di semua
kelurahan untuk mengefektifkan penggunaan dana yang masih terbatas. Namun ada
pula sebagian kecil sampel yang menyatakan bahwa pembangunan di Kecamatan
Tamalate selama ini biasa-biasa saja, tidak memberikan perubahan yang mencolok.
Dari analisa peneliti pernyataan seperti ini berasal dari individu-individu masyarakat
yang kurang sejalan dengan visi pemerintah atau tidak mendapatkan kesempatan
dalam pembangunan.
Demikian pula masyarakat Kelurahan Barombong menyatakan bahwa
pembangunan di Kecamatan Tamalate ada kemajuan, terutama pembangunan
sarana transportasi dan kesehatan. Namun demikian pembangunan masih perlu
ditingkatkan terutama pada daerah-daerah pinggiran. Agak berbeda halnya dengan
tanggapan sebagian responden di Kelurahan Parang Tambung yang menyatakan
bahwa pembangunan di Kecamatan Tamalate sangat terbelakang dan tertinggal dari
kecamatan-kecamatan lain di Kota Makassar. Adanya perbedaan yang mencolok
seperti ini menimbulkan asumsi bahwa perbedaan cara pandang, pemahaman dan
standar yang diinginkan melatarbelakangi hal tersebut.
Dalam masa reformasi dan pendekatan Good Govermance saat ini, pelibatan
masyarakat sangat dikedepankan, demikian pula dalam penyusunan Rencana
Stratejik. Rencana stratejik (Renstra) Kota Makassar mengakomodasikan usulanusulan masyarakat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
mulai dari tingkat kelurahan hingga pada Musrenbang Tingkat Kota Makassar.
Adanya keterlibatan masyarakat merupakan suatu tolok ukur dari salah satu kunci
keberhasilan suatu kegiatan pembangunan. Dengan melibatkan masyarakat
memberikan suatu peran secara nyata.
Adapun tanggapan responden tentang proses keterlibatan masyarakat dalam
perencanaan, nampak bahwa sebagian besar responden hanya kadang-kadang
terlibat dalam proses perencanaan (33 %). Sedangkan untuk keterlibatan masyarakat
juga cukup besar dengan persentase sebesar 28,6 % (selalu terlibat) dan 21,4 %
(terlibat). Untuk yang tidak pernah terlibat sama sekali sebesar 16,7 %.

48

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Hasil olahan data tersebut memperlihatkan bahwa tingkat partisipasi


keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat atau perencanan pembangunan cukup
maksimal karena bila dijumlahkan kategori selalu terlibat dan sering terlibat mencapai
persentase 50 %. Sehingga bisa dikemukakan bahwa hanya separuh masyarakat
yang selalu (terlibat) memberikan partisipasi pemikirannya (bantuan moril) tersebut
dalam perencanaan suatu kegiatan. Selebihnya atau separuh lainnya masih
diragukan apakah memang diundang namun tidak pernah hadir atau ada argumen
lainnya ataukah memang acuh tak acuh terhadap program pembangunan di
daerahnya.
Dalam prinsip manajemen pengelolaan suatu usaha selalu dikaitkan akan 3
hal dasar seperti : perencanaan (planning), pelaksanaan (actuating) dan pengawasan
(controlling). Dalam penentuan tingkat aplikasi masyarakat (responden) dalam
pelaksanaan pembangunan pun di Kec. Tamalate mengacu akan hal tersebut.
Sehingga selanjutnya untuk mengetahui hasil penelitian mengenai keterlibatan
masyarakat dalam tahap pelaksanaan dikatakan bahwa sebagian besar responden
(38,1 %) hanya kadang-kadang terlibat dalam tahap pelaksanaan kegiatan-kegiatan
program yang dirumuskan dalam rencana stratejik di Kecamatan Tamalate. Namun
keterlibatan masyarakat lainnya pun tidak bisa diacuhkan dimana terdata bahwa
sejumlah 31 % mengaku terlibat dan 14,3 % menyatakan selalu terlibat dalam
pelaksanaan pembangunan, apakah dalam bentuk gotong royong atau keterlibatan
dalam kepanitiaan suatu kegiatan. Sedangkan hanya 16,7 % responden yang tidak
pernah terlibat.
Dalam bentuk partisipasi pelaksanaan suatu kegiatan umumnya masyarakat
tradisional (semi) seperti masyarakat di Kelurahan Barombong memberikan
dukungan yang sangat tinggi. Kesadaran tersebut muncul sebagai wujud rasa
kebersamaan dan kekeluargaan yang masih tinggi. Agak berbeda dengan tipikal
masyarakat yang sudah relatif maju seperti masyarakat Kelurahan Mannuruki dan
Parang Tambung, tingkat kesadaran untuk keterlibatan pelaksanaan pembangunan
masih cukup sulit ditemui. Hal ini kemungkinan besar karena tingkat apatisme
terhadap perkembangan sekitar yang tinggi dan juga rasa kebersamaan sudah
rendah serta kesibukan dalam berbagai profesi dan pekerjaan menjadi penyebab hal
tersebut.
Pada tahap pemeliharan merupakan suatu tahapan yang tidak bisa dilupakan
karena menyangkut tentang bagaimana masyarakat tersebut membantu dalam
kelangsungan kondisi yang baik dan berimplikasi pada penghematan anggaran/

49

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dana.

Bila

suatu

kegiatan

pembangunan

tidak

disertai

dengan

anggaran

pemeliharaan maka lambat laun hanya merupakan program pemborosan karena tidak
dinikmati dengan jangka waktu yang lama. Dengan pemeliharaan maka kontinyuitas
suatu hasil kegiatan dan manfaat bisa tetap berlangsung. Bentuk tahapan
pemeliharaan ini bermacam-macam tergantung partisipasi masyarakat. Untuk hasil
penelitian mengenai keterlibatan dalam pemeliharaan dapat dirangkumkan bahwa
dengan demikian nampak bahwa sebagian besar responden hanya kadang-kadang
terlibat (38,1 %) dalam pemeliharaan hasil-hasil pembangunan yang telah ditetapkan
dalam rencana stratejik. Selanjutnya 11,9 % berpendapat selalu dilibatkan dan 26,2%
responden menyatakan terlibat. Hal yang cukup memprihatinkan juga bahwa terdapat
persentase cukup tinggi (23,8 %) yang mengaku tidak pernah terlibat dalam tahap
pemeliharaan tersebut.
Hasil pengamatan peneliti menunjukkan bahwa pelibatan masyarakat dalam
pembangunan sejak proses perencanaannya hingga pemeliharaan masih kurang.
Dari tiga kelurahan yang dijakdikan sampel hanya responden-responden dari
Kelurahan Barombong yang menyatakan bahwa masyarakat dilibatkan dalam proses
pembangunan. Kalaupun ada pelibatan masyarakat hanyalah pada orang-orang
tertentu seperti Ketua RT dan RW serta pelibatannya pun hanya sebatas untuk
mendengarkan usulan dari mereka.
Responden ditanyakan pula mengenai hambatan dalam pelibatan masyarakat
dalam pembangunan. Responden di Kelurahan Barombong umumnya menyatakan
tidak ada masalah dalam pelibatan masyarakat dalam pembangunan. Responden di
Kelurahan Mannuruki menyatakan ada masalah pelibatan masyarakat dalam
pembangunan, yaitu faktor waktu, kepentingan, dan latar belakang pendidikan.
Sedangkan responden di Kelurahan Parang Tambung menyatakan terdapat banyak
hambatan dalam pelibatan masyarakat. Akibatnya masyarakat kurang dilibatkan
dalam pembangunan sehingga masyarakat pun cenderung tidak peduli terhadap
pelaksanaan pembangunan.
Tanggapan masyarakat mengenai cara yang ditempuh oleh Pemerintah Kota
Makassar dalam mengaplikasikan Rencana Stratejik (Renstra) pada ketiga kelurahan
(sampel) umumnya seragam, yaitu :
a. Melibatkan semua unsur masyarakat (RT, RW, Lembaga Pemberdayaan
Masyarakat, LSM, unsur partai politik, karang taruna, remaja mesjid, kaum
perempuan, agamawan, cendikiawan dan sebagainya).
b. Program pembangunan harus disosialisasikan lebih dahulu secara luas.

50

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

c. Mengadakan temu karya untuk menampungkan usulan masyarakat.


Berdasarkan uraian hasil wawancara di atas, nampak bahwa terdapat tiga
kecenderungan jawaban dari ketiga kelurahan tersebut. Responden di Kelurahan
Barombong umumnya memberikan jawaban yang cenderung positif terhadap aplikasi
rencana stratejik Kota Makassar. Sedangkan responden di Kelurahan Mannuruki
memberikan tanggapan positif namun juga memberikan catatan adanya beberapa
kekurangan. Sedangkan responden di Kelurahan Parang Tambung memberikan
penilaian negatif terhadap aplikasi rencana stratejik Kota Makassar di Kecamatan
Tamalate. Pemberian penilaian negatif ini mungkin terindikasi dari banyaknya
kebutuhan dan keinginan masyarakat yang belum terakomodir dengan baik
mengingat kondisi keuangan yang masih mengalami keterbatasan.
Dari hasil analisa terdapat beberapa faktor yang ikut mendukung aplikasi
rencana stratejik Kota Makassar di Kec. Tamalate, antara lain: SDM aparatur,
keuangan daerah, serta sarana dan prasarana. Untuk hasil penelitian mengenai
tanggapan responden tentang dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur
dalam aplikasi Renstra, yaitu :
Berdasarkan hasil pengolahan data terlihat bahwa sebagian besar responden
(28,6 %) menyatakan SDM Aparatur Pemerintah Kota Makassar khususnya aparat di
Kecamatan Tamalate sangat mendukung dalam aplikasi Renstra. Hal ini ditunjang
oleh tingkat pendidikan para aparatur Pemerintah Kota Makassar yang sudah cukup
baik, dimana rata-rata sudah berpendidikan S-1 sesuai tupoksinya masing-masing.
Dikecualikan dengan pegawai/staf yang bertugas di kelurahan yang rata-rata masih
berpendidikan SLTA. Demikian pula masing-masing 26,2 % responden mengatakan
bahwa SDM aparat cukup dan kurang mendukung. Sedangkan hanya 19 %
responden berpendapat bahwa SDM aparat tidak mendukung.
Masih cukup tingginya persentase responden yang berpendapat kurang dan
tidak mendukungnya SDM aparat merupakan hal yang perlu mendapat perhatian.
Olehnya itu lewat lembaga-lembaga diklat baik di tingkat Pemerintah Kota Makassar
maupun Pemerintah Propinsi Sulsel serta institusi-institusi pendidikan lainnya gencar
memberikan pelatihan, training, penyuluhan dan sebagainya yang diupayakan untuk
meningkatkan wawasan para aparatur dalam melaksanakan tugas-tugas kedinasannya.
Demikian pula faktor keuangan memegang peranan yang sangat penting
dalam jalannya suatu kegiatan. Tanpa dana operasional yang mencukupi membuat
suatu kegiatan menjadi berat dalam pelaksanaannya. Kegiatan pembangunan yang

51

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

merupakan aplikasi rencana stratejik yang telah ditetapkan membutuhkan dukungan


pendanaan dalam jumlah yang memadai. Hasil penelitian mengenai tanggapan
responden tentang dukungan keuangan daerah dalam aplikasi Renstra dapat
dipaparkan bahwa keuangan daerah menurut responden kurang mendukung (42,8 %)
dalam aplikasi Renstra. Sementara yang sangat mendukung hanya 33,3 responden
berpendapat demikian dan cukup mendukung sekitar 14,3 %. Sedangkan 9,5 %
responden menyatakan tidak mendukung.
Dengan demikian nampak bahwa sebagian besar responden menyatakan
faktor pendanaan keuangan kurang mendukung sehingga program-program yang
direncanakan terkendala dengan kondisi keuangan. Dalam suatu kegiatan, faktor
pendanaan memegang peran yang amat vital karena menyangkut dinamisasi dan
mobilitas serta kualitas dari kegiatan tersebut. Adanya kucuran anggaran yang
maksimal memungkinkan suatu program pembangunan tersebut mencapai hasil yang
optimal pula, apalagi dengan ditunjang SDM yang tinggi dan moral yang baik serta
pengawasan yang ketat. Hambatan yang paling berat dihadapi dalam pelaksanaan
berbagai program di negara kita secara umum adalah kurang maksimalnya
ketersediaan dana dan bagaimana pengelolaan dana itu sendiri.
Selanjutnya, salah satu faktor yang turut berperan penting dalam proses
pelaksanaan program pembangunan adalah ketersediaan sarana dan prasarana.
Tiap pelaksanaan suatu kegiatan akan mengalami kesulitan dan kendala jika
ketersediaan sarana dan prasarana ini amat minim. Dukungan sarana dan prasarana
yang memadai merupakan faktor penentu dalam keberhasilan suatu kegiatan.
Olehnya itu untuk mengetahui mengenai tanggapan responden tentang dukungan
sarana prasarana dalam aplikasi renstra dapat dilihat dari hasil pengolahan data
dimana menunjukkan sebagian besar responden (33,3 %) menyatakan bahwa sarana
dan prasarana yang ada sangat mendukung dalam aplikasi Renstra. Lalu sebanyak
10 responden atau 23,8 % berpendapat cukup dukungan. Selanjutnya 31 %
responden

mengaku

ketersediaan

sarana

dan

prasarana

tersebut

kurang

mendukung, dan hanya 11,9 % responden yang menyatakan bahwa hal tersebut
tidak mendukung. Hal yang menarik pula yakni cukup tingginya persentase
responden yang mengatakan bahwa adanya sarana dan prasarana kurang
mendukung dalam aplikasi Renstra tersebut.
Pernyataan ini mengandung beberapa argumen bila dianalisis, kemungkinan
pengakuan tersebut muncul karena obyek sarana dan prasarananya yang tidak
memadai baik dalam kuantitas maupun dalam kualitas. Ataukah tingkat pengelolaan

52

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dari orang (SDM) yang menjalankan yang belum bisa memaksimalkan sarana yang
ada. Atau bisa juga dimungkinkan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana ini
belum atau tidak sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai aplikasi rencana stratejik di Kecamatan
Tamalate, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :
1. Tanggapan masyarakat mengenai aplikasi Rencana Stratejik di Kecamatan
Tamalate cukup beragam. Namun dari hasil pengolahan data dirangkumkan
bahwa

masyarakat

sebagian

besar

menyatakan

mendukung

dan

telah

mengaplikasikan dengan baik Renstra tersebut terutama dalam berpartisipasi


penuh pada kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.
2. Terdapat perbedaan antara variasi kemampuan SDM aparat, keuangan daerah,
dan sarana prasarana dalam aplikasi rencana stratejik (Renstra). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kemampuan SDM aparat sudah cukup mendukung, namun
pada faktor keuangan daerah dan sarana prasarana hal tersebut tidak terlalu
membantu. Adanya keterbatasan yang dimiliki Pemerintah Kota Makassar dalam
mengoptimalkan Renstra belum diantisipasi dengan baik dari kedua faktor
kekurangan tersebut.
Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan berdasarkan hasil kajian dan
analisis yang dilakukan sebelumnya, maka dapat direkomendasikan beberapa hal,
sebagai berikut :
1. Aplikasi Renstra hendaknya dimulai dari sosialiasi kepada masyarakat,
melibatkan masyarakat dari awal, mengetahui kebutuhan yang mendasar dan
mendesak serta menentukan skala prioritas dan memberikan pemahaman yang
lebih optimal.
2. Diperlukan berbagai pendekatan dalam meminimalisir kekurangan dalam
mengaplikasikan Renstra. Salah satu pendekatan yang bisa diterapkan tersebut
yakni dengan memberdayakan masyarakat secara maksimal melalui bentuk
berpartisipasi secara aktif dan kontinyu. Demikian pula pendekatan yang lain yaitu
meningkatkan kemampuan SDM aparat dengan berbagai kegiatan pendidikan
dan pelatihan.

53

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anonim. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. LAN dan BPKP.
----------. 2000. Perencanaan Stratejik Instansi Pemerintah. LAN dan BPKP
Bryan dand White. 1989. Manajemen Pembangunan : Untuk Negara Berkembang.
LP3ES, Jakarta.
Conyers, D. 1994. Perencanaan Sosial di Dunia Ketiga, Yokyakarta; Gajah Mada
University Press.
Handayaningrat. S. 1986. Studi tentang Ilmu Administrasi dan Manajemen. Jakarta;
Masagung.
Kaho, J.R, 1998, Prospek otonomi daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta,
Rajawali.
Khairuddin. 1992. Pembangunan Masyarakat : Tinjauan Aspek Sosiologi, Ekonomi dan
Perencanaan. Liberty, Yogyakarta.
Kusbiantoro, B.S. 1999. Manajemen Pembangunan Kota Masa Depan. Buletin Tata
Ruang. 23.
Morris, M.D.. (1974) Measuring the Conditions of the Worlds Poor : The Physical Quality
of Life Index. New York, Pergamon.
Mubyarto dan Kartodirdjo, S. 1988. Pembangunan Pedesaan di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta.Salusu, J. 2000. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi
Publik dan Organisasi Nonprofit. PT Grasindo, Jakarta.
Mustopadidjaja. 1998. Sistem Perencanaan Pembangunan di Tengah Krisis Ekonomi
Politik. Majalah Walanri Edisi 9 bulan Juli.
Salusu, J. 2000. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan
Organisasi Nonprofit. PT Grasindo, Jakarta.
Sastropoetro, S. 1988. Partisipasi, Komunikasi,
Pembangunan, Alumni, Bandung.

Persuasi

dan

Disiplin

dalam

Siagian, S. P. 1990 . Pengantar Administrasi Pembangunan. Haji Masagung, Jakarta.


Silalahi, U. 2000. Studi tentang Ilmu Administrasi: Konsep, teori dan Dimensi. Bandung:
Sinar Baru Algensindo
Slamet dan Soetardjo (1978). Partisipasi Masyarakat di dalam Lembaga Sosial Desa.
Lembaga Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
Soekartawi. 1990. Prinsip Dasar Perencanaan Pembangunan, Jakarta, CV. Rajawali
Pers.

54

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sorjodibroto, Guritono. 2001. Ketika Pembangunan Memihak pada Rakyat. Dalam jurnal
Pembangunan Daerah Edisi III Tahun ke-5. 2001.
Supriatna, T. 1993. Administrasi Pemerintahan di daerah. Bumi Aksara, Jakarta.
Supiandi dkk 2000. Sistem dan Mekanisme Perencanaan Pembangunan Daerah dalam
rangka Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jakarta : majalah Pembangunan Daerah.
Suradinata, E. 1993. Kebijaksanaan Pembangunan dan Pelaksanaan otonomi daerah :
Perkembangan Teori dan Penerapan. Ramadan, Bandung.
Syahroni 2001. Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Perencanaan Pembangunan
Daerah. Dalam jurnal Pembangunan Daerah Edisi III Tahun ke-5. 2001.
Todaro,M.P. 1993. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Terry, G.R. 1986 Asas-Asas Manajemen. Alumni, Bandung.
Tjokroamidjojo, B. 1995. Pengantar Administrasi Pembangunan. PT Pustaka LP3ES
Indonesia, Jakarta.
Tunggal, A.W. 1993. Manajemen : Suatu Pengantar. Jakarta : Rineka Cipta
Weir, Sandy. 1992. Strategic Planning in Local Government. Washington: Planner Press.

Dokumen
Inpres Nomor 7 Tahun 1999 tentang LAKIP
Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban
Kepala Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional.
Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

55

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

FENOMENA GO-JEK, REKAM DATA DAN ISU STRATEGIS


PEMBANGUNAN
DR.H. SUWARLI, MSi
Widyaiswara Madya Badan Pengembangan Sumber daya Manusia (BPSDM)
Kementerian Dalam Negeri
Jl. Raya Taman Makam Pahlawan Nomor 8 Kalibata Jakarta Selatan
Telepon (021) 799 6521
(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstract: Tulisan ini mengungkap pentingnya rekam jejak data dan pengembangan isu-isu
strategis pembangunan berbasis Standar Pelayanan Minimal sebagai konsekuensi otonomi
dan capaian urusan yang diserahkan. Dari peristiwa fenomena Go-jek dan kebijakan sesaat
yang diambil pemerintah, menunjukkan rekam jejak sejarah data sangat diperlukan dalam
membuat strategi kebijakan. Terlebih ini pelajaran berharga bagi pemerintah daerah yang
masih banyak tidak data minded dalam membuat keputusan strategis khususnya kebijakan
pencapaian SPM yang diamanatkan undang-undang. Merekam jejak data itu bukan dari titik
nol, karena penyelenggaraan pemerintahan ini juga bukan dari titik nol. Strategi kebijakan
yang dibuat harus memperhatikan apa yang telah dilalui pemerintahan sebelumnya. Kita
sadari bahwa konsekuensi dari hasil pemilihan kepala daerah harus membuat produk
perencanaan berupa RPJMD sebagai wadah mengimplementasikan visi misi dan janji
politiknya. RPJMD yang dibuat tentu saja memperhatikan sejarah data pembangunan yang
sudah ditorehkan pemerintahan sebelumnya. Konsep memahami data menjadi sangat
penting karena terintegrasi dalam mengawal dokumen perencanaan pembangunan di
daerah sebagai pengejawantahan urusan yang diserahkan (wajib dan pilihan) dan visi misi
yang diusung kepala daerah terpilih.
Keyword: data, SPM, Isu Strategis

Corresponding author: DR. H. Suwarli, MSi.,E-mail: war_suwarli@yahoo.com

Latar Belakang
Banyak yang kita tidak sadari arti penting manfaat data bagi kehidupan kita.
Setiap kita ingin merencanakan apa saja dalam kehidupan ini lebih-lebih untuk
kepentingan yang berjangka panjang sudah pasti membutuhkan data sebagai
rancangan awal melangkah. Data bisa dikatakan sebagai rekam jejak suatu
peristiwa atau bisa juga diasumsi sebagai persepsi seseorang terhadap obyek yang
memiliki makna. Oleh karena itu mengapa data sebagai alat rekam jejak ini penting
untuk merencakan masa depan. Apa yang terjadi dimasa lalu bisa menjadi
guru/pengalaman belajar untuk perbaikan kinerja di masa depan.

56

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Setiap keputusan yang kita ambil tanpa menganalisis data akan berdampak
buruk bagi organisasi. Sumberdaya yang dieksplorasi bisa jadi tidak akan efektif dan
efisien dalam mencapai target organisasi. Bahkan mutu pelayanan dari produk
barang/jasa yang ditawarkan ke konsumen sudah tidak inovatif sesuai keinginan
pasar. Saat ini kita hidup seakan berada dalam ruang kaca, dunia luar yang semakin
terbuka akan melihat kita dan saling berkompetisi. Konsumen kita akan menuntut
pelayanan yang cepat dan berkualitas. Mereka akan meninggalkan organisasi kita
bila tidak mampu memenuhi dinamika kehidupan yang semakin maju. Peran rekam
jejak data menjadi sebuah kebutuhan yang wajib bagi alat analisis organisasi bisnis
termasuk organisasi pemerintah sekalipun.
Sebagai gambaran fenomena menjamurnya industri transportasi seperti GoJek saat ini menjadi kebutuhan utama masyarakat Jakarta atau kota-kota lain
dimana tingkat kemacetan begitu tinggi. Pemerintah tidak mampu menyediakan
sarana prasarana transportasi kota yang bagus. Karena memang kemampuan
analitik pejabat yang belum data minded terhadap asumsi pertumbuhan penduduk
dan penyediaan utilitas publik. Ketidak-seimbangan kebijakan pemerintah ini yang
kemudian memunculkan ide-ide kreatif pengusaha untuk melayani utilitas publik kota
seperti Go-Jek, Grabbike dan banyak lagi akan berkembang.
Masalahnya

kemudian

muncul

setelah

rame-rame

para

pengusaha

transpotasi umum resah karena merugi yang kemudian mempertanyakan legalitas


Go-jek. Secara legalilitas sudah jelas kendaraan ojek bermotor bukan kendaraan
umum, artinya seyogyanya dari dahulu sudah semestinya dilarang keberadaannya.
Sejarah alat transportasi ojek ini adalah kendaraan yang sudah lama sekali kita
kenal di Jakarta. Tahun-tahun 70-an kita sering menikmati pelayanan ojek sepeda
ontel di Jakarta Utara dan sekitarnya. Kemudian perlahan-perlahan sesuai
kebutuhan masyarakat yang makin berkembang mulai tergerus ojek ontel ini dengan
ojek bermotor.
Tetapi kenapa baru sekarang diributkan dan bahkan pelarangan ini
diumumkan secara resmi oleh pemerintah. Kamis tanggal 17 Desember 2015
Kemenhub mengeluarkan surat pemberitahuan pelarangan aktivitas seluruh ojek

57

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dan taxi berbasis daring atau transportasi berbasis aplikasi karena tidak memenuhi
ketentuan sebagai angkutan umum (bertentangan dengan dengan UU No. 22 tahun
2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta PP No. 74 Tahun 2014 Tentang
Angkutan Jalan). Suatu sikap dari keputusan/kebijakan yang salah bahkan
menimbulkan situasi yang tidak menyenangkan bukan saja bagi pelaku bisnis tetapi
juga bagi masyarakat Jakarta. Karena banyaknya protes dari masyarakat pengguna
Go-jek, pada akhirnya kebijakan pelarangan ini hanya dalam hitungan jam dicabut
kembali.
Gambaran di atas adalah contoh arti penting rekam jejak data dalam
pengambilan keputusan. Kebijakan publik sangat bergantung dari support data yang
akurat dan bertanggungjawab. Ada dua makna dari rekam jejak data dari peristiwa
tersebut di atas. Pertama, Pemerintah seharusnya cepat menganalisis fenomena
transportasi berbasis daring ini sebagai suatu isu strategis. Isu tersebut berdampak
positif bagi warga masyarakat dan menjadi solusi alternative dari kekecewaan yang
selama ini dihadapinya

yakni kemacetan yang tak berujung. Ketentuan yang

selama ini mengatur tentang angkutan jalan secepatnya dievaluasi bukan sebaliknya
membungkam fenomena dinamika yang sudah berlangsung di masyarakat. Bahkan
konyolnya secara otoriter melakukan kebijakan pelarangan dari fakta yang sudah
terjadi. Sudah pasti timbul reaksi-reaksi yang negative yang memancing kegaduhan
situasi politik jalannya pemerintahan.
Inilah salah satu contoh bagaimana sebuah fenomena atau fakta yang
berkembang di masyarakat menjadi nilai yang berharga sebagai peristiwa rekam
jejak data. Lalu pertanyaanya bagaimana dengan perencanaan pembangunan di
daerah dengan program/kegiatannya yang selalu ramai dibahas setiap tahun
(APBD)? Atau apakah yang sudah direncanakan pemerintah daerah secara
berjangka (RPJPD, RPJMD, RENSTRA), merefleksikan analisis data secara
komprehensip ? Apakah unit SKPD setiap tahun melakukan analisis rekam jejak
data sebagai upaya membangun isu-isu strategis pembangunan? Rekam jejak
data apa saja yang mestinya dianalisis oleh SKPD?
Pertanyaan-pertanyaan

seperti

di

58

atas

tersebut

seharusnya

selalu

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

direfleksikan dalam pemikiran seorang pejabat publik. Keputusan-keputusan yang


dijadikan kebijakan pemerintah benar-benar bermanfaat bagi berlangsungnya
pembangunan dan kesejahteraan. Data dan hasil analisisnya menjadi syarat utama
sebelum menjadi sebuah kegiatan pembangunan atau yang akan di bahas dalam
APBD. Oleh karena itu sesungguhnya data menjadi bahan inspirasi teknokrat dalam
rangka mengejawantahkan pisau analisis kebutuhan publik yang dilayani.

Potret Pengelolaan Data SKPD


Tugas lembaga pemerintah yang melakukan analisis rekam jejak data selama
ini yang kita kenal di Kabupaten/Kota adalah Kantor Stastistik atau di pusat dikenal
dengan Badan Pusat Statistik (BPS).

Padahal tugas penyelenggaraan statistik

kepada lembaga pemerintah di luar BPS ternyata sudah melekat ada di instansi
masing-masing. Pada era sebelum otonomi daerah, pemerintah menerbitkan UU No.
16 Tahun 1997 Tentang Statistik (Kementrian PPN/Bappenas: 2010). Pada pasal
12 undang-undang tersebut ada amanat/perintah penyelenggaraan statistik kepada
unit lain/instansi pemerintah di luar BPS yang disebut dengan penyelenggaraan
statistik sektoral, sebagai berikut:
1) Ayat (1): Statistik sektoral diselenggarakan oleh instansi pemerintah sesuai
lingkup tugas dan fungsinya, secara mandiri atau bersama dengan Badan.
2) Ayat (2): Dalam menyelenggarakan statistik sektoral, instansi pemerintah
memperoleh data dengan cara :
a. survei;
b. kompilasi produk administrasi; dan
c. cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
3) Statistik sektoral harus diselenggarakan bersama dengan Badan apabila
statistik tersebut hanya dapat diperoleh dengan cara sensus dan dengan
jangkauan populasi berskala nasional.
4) Hasil statistik sektoral yang diselenggarakan sendiri oleh instansi pemerintah
wajib diserahkan kepada Badan.

59

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Persoalan pengolahan data di era ini begitu bersifat sentralistik, sebab


semua hasil kegiatan olah data darimana pun instansinya wajib diserahkan ke
Badan Pusat Statistik (BPS). Keuntungannya ada kemudahan dan kecepatan
mendapatkan data karena terpusat di badan tersebut. Bahkan bisa terjadi ada satu
komando kebijakan dalam mengambil keputusan yang terkadang bisa menutup
keran diskresi bagi instansi pelaksana.
Pada era desentralisasi amanat penyelenggaraan statistik di drive oleh
Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Statistik. Pada
pasal 23 merinci tentang hal-hal mengenai tanggung jawab pengumpul data dan
proses pengadaan data untuk statistik dasar, statistik sektoral dan statistik
khusus

(Kementrian

PPN/Bappenas:

2010).

Instansi

pemerintah

yang

menyelenggarakan statistik sektoral disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsinya


(TUPOKSI); dan dalam penyelenggaraannya dapat mandiri atau bersama-sama
BPS. Otoritas BPS adalah penyelenggara statistik dasar, pembiayaan pengadaan
statistik dasar dibebankan ke APBN untuk kebutuhan pemerintah.

Tetapi untuk

keperluan pemerintah daerah dibebankan pada APBD.


Menjadi jelas sudah bahwa tugas peyelenggaraan statistik di daerah adalah
SKPD sesuai tugas pokok dan fungsinya. Amanat ini dikuatkan lagi dengan dengan
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian
diganti dengan UU No. 23 Tahun 2014 bahwa urusan statistik menjadi urusan wajib
daerah. Masing-masing unit SKPD wajib menyelenggarakan analisis rekam jejak
data sebagai bagian dari penyelengaraan urusan statistik tersebut.
Faktanya apakah benar setiap unit SKPD ini sudah melaksanakan tugastugas ke-statistikan tersebut dan ada di bag/subagian mana atau di bidang mana
yang menangani pekerjaan ini .? Sesuai dengan ketentuan tersebut maka tugas
ini sebenarnya melekat dengan TUPOKSI bukan diserahkan di salah satu
bag/bidang di SKPD. Bukan juga diserahkan seutuhnya kepada Bappeda, seolaholah karena ada bidang/UPT yang menangani tupoksi data di Bappeda. Bappeda
secara umum memang menganalisis trend atau proyeksi prilaku data kinerja
pembangunan.

60

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Tugas Bappeda yang visioner adalah bagaimana memilah dan memilih skala
prioritas dan treatment terbaik dari proyeksi rekam jejak data dari seluruh kinerja
SKPD sehingga menghasilkan disain kebijakan yang berkeadilan. Mengapa harus
ada prioritas ? hal ini terkait dengan pertimbangan sumberdaya pendanaan yang
relative terbatas. Keputusan ini dapat kita lihat dari produk Kebijakan Umum
Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) yang ditawarkan
untuk mendapatkan kesepakatan bersama eksekutif dan legislative.
Tugas SKPD adalah bagaimana mengargumentasikan hasil analisis data
tersebut menjadi isu strategis dan penting untuk ditangani. Oleh karena itu support
data ke Bappeda harus terus dikomunikasikan. Agar prioritas program dan kegiatan
benar-benar sesuai dengan kebenaran data. Data yang diberikan adalah yang
sudah melalui kajian antar-unit di SKPD sehingga ada keputusan skala mikro di
SKPD. Awal analisa data pada dasarnya dari SKPD yang bersangkutan, karena
perannya memang memahami kedalaman subtansi kinerja/rekam jejak data SKPD.
Mengapa dilekatkan perannya ? hal ini karena beberapa alasan strtegis :
a. Kinerja unit SKPD bertanggungjawab atas target pembangunan dan
pelayanan organisasi yang sudah ditetapkan sebelumnya baik dalam Renstra
dan turunannya Renja SKPD.
b. Rekam jejak kinerja menjadi bahan analisis data untuk evaluasi program
pembangunan berikutnya.
c. Data-data pembangunan menjadi cermin berhasil tidaknya program kerja
SKPD.
d. Data-data pembangunan menjadi alat akuntabilitas SKPD kepada masayakat.
Benarkah prakteknya pekerjaan statistik ini dilaksanakan oleh SKPD dan unit
terkecil SKPDnya ? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan pembuktian dokumen
yang dimiliki SKPD dari waktu ke waktu. Apakah ada catatan data hasil kinerja
secara baik didokumentasikan. Apakah setelah ada dokumentasi dilanjutkan dengan
analisis statistik ?. Kemudian hasil analisis data tersebut dijadikan pedoman untuk
mengembangkan

isu-isu

strategis

sebagai

tantangan

dalam

perencanaan

berikutnya. Pembuktian lain dapat dilihat dari dokumen perencanaan SKPD

61

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

khususnya melihat struktur RKA SKPD (form. RKA 2.2.1). Di dalam struktur RKA
tersebut kita dapat menilai apakah input, output dan outcome RKA sudah
mencerminkan anggaran berbasis kinerja.
Konsep anggaran berbasis kinerja akan menjawab isu-isu strategis yang
dikembangkan dari rekam jejak data yang dianalisis. Kalau RKA SKPD dibuat
dengan cara-cara lama yaitu meng-copy paste kegiatan tahun lalu hanya menambah
dan mengurangi, dapat dipastikan bahwa perencanaan yang dibuat tidak
menggunakan rekam jejak data kinerja bahkan jauh dari upaya mencapai target
RPJMD ???
Isu Strategis
Penting mengungkap isu strategis dalam perencanaan pembangunan
berjangka panjang dan menengah dan dalam konteks penyunan APBD tahunan.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan kebijakan pokok yang harus
diambil oleh para pemangku kepentingan. Setiap pilihan yang diambil memiliki
pengaruh yang amat kuat dengan menjawab pertanyaan mengapa SKPD itu yang
mengerjakannya (TUPOKSI), apa yang dikerjakannya, dan seterusnya. Suatu
kondisi/kejadian yang menjadi isu trategis adalah keadaan yg apabila tidak
diantisipasi dalam pengambilan kebijakan akan menimbulkan kerugian yg lebih
besar atau sebaliknya apabila tidak ada kebijakan untuk dimanfaatkan akan
menghilangkan peluang. Keputusan kebijakan itu semuanya bermuara dalam rangka
meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat.
Dalam rangka membuat strategi percepatan pembangunan berbasis SPM
maka kriteria isu-isu strategis:
a. Memiliki pengaruh yang besar/signifikan terhadap pelayanan publik dalam
upaya pencapaian sasaran pembangunan jangka panjang.
b. Merupakan tugas dan tanggung jawab SKPD
c. Sejalan dengan isu-isu strategis pembangunan jangka menengah daerah.
d. Adanya kemungkinan/peluang untuk ditangani.
e. Memiliki daya ungkit untuk pencapaian pembangunan berkelanjutan
Sebagai gambaran bagaimana SKPD memperoleh kriteria isu-isu strategis tersebut

62

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

adalah:
1. Lakukan analisa internal berupa identifikasi permasalahan pembangunan
berdasarkan TUPOKSI yang telah dijalankan.
2. Lakukan analisa eksternal berupa kondisi yang menciptakan peluang dan
ancaman bagi SKPD di masa lima tahun mendatang.
Hasil analisa tersebut adalah berupa data-data yang dapat diolah sebagai
bahan kebijakan. Sebagaimana kita pahami bersama bahwa setelah diterapkan
otonomi daerah, sebagian kewenangan dan fungsi pemerintah pusat, khususnya
berkaitan pembangunan berbasis SPM/kegiatan pelayanan dasar (kesehatan,
pendidikan, dan lain-lain) sudah diserahkan ke daerah. Sejarah data-data
pembangunan tersebut menjadi penting sebagai langkah awal daerah mengelola
isu-isu strategis pembangunan. Ke depan daerah sangat berkepentingan dengan
kebutuhan data dan akan menjadi meningkat terutama untuk melihat pencapaian
serta menentukan suatu perencanaan yang bersifat strategis.
Pada fase ke dua pelaksanaan otonomi daerah melalui UU No. 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintah Daerah Pasal 152 ayat 1, bidang statistik merupakan
salah satu urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan pemerintah provinsi
dan kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan dasar. Pesan pasal ini sangat
penting dan strategis sehingga persoalan data statistik menjadi urusan wajib.
Sebuah keputusan penting dari suatu kebijakan sudah barangtentu berangkat dari
data yang akan menentukan isu-isu strategis. Pesan pasal 152 juga menyatakan
Perencanaan Pembangunan Daerah harus didasarkan pada data-data dan
informasi yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan; Data/Informasi yang
dimaksud mencakup:
1. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah;
2. Organisasi Tata Laksana Pemerintah Daerah;
3. Keuangan Daerah, DPRD, Perangkat Daerah and PNS Daerah;
4. Potensi Sumberdaya Daerah;
5. Produk Hukum Daerah;
6. Kependudukan;
7. Informasi Dasar Wilayah;
8. Informasi lain terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

63

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Data yang dapat dipertanggungjawabkan, merupakan faktor penting untuk


mengetahui kemajuan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sumber data yang
resmi dan dapat dipertanggungjawabkan tersebut bisa dari statistik dasar yang
dikerjakan oleh BPS atau data statistik sektoral yang merupakan catatan kinerja
pelayanan SKPD/ catatan administrasi (input, proses dan output) program/kegiatan
pembangunan di SKPD.
Data statistik dasar dan data statistik sektoral akan berbicara pencapaian
kinerja SPM dan target tujuan pembangunan milenium (Millennium Development
Goals/MDGs). Sebab ke dua program besar tersebut (SPM dan MDGs)

telah

terintegrasi dalam program prioritas pembangunan daerah dan nasional. Oleh sebab
itu data kinerja ini juga akan mengangkat isu-isu strategis yang belum diselesaikan
dan yang akan diantispasi ke depan. Terkait dengan 8 (delapan) informasi data di
atas perlu pembahasan yang lebih mendalam khususnya point 6 (enam) tentang
kependudukan dan point 7 (tujuh) mengenai informasi dasar wilayah. Mengapa ?
karena keduanya saling memiliki kepentingan untuk sebuah keberlanjutan
kehidupan dari generasi ke generasi. Manajemen kependudukan yang salah tidak
diantisipasi dalam perencanaan akan merusak wilayah yang mereka tempati.
Begitupun sebaliknya pola ruang wilayah yang tidak direncanakan dengan baik akan
muncul resiko berbagai bencana.

Pemahaman Isu Strategis Pembangunan


Penting mengungkap isu strategis dalam perencanaan pembangunan
berjangka panjang dan menengah dan dalam konteks penyunan APBD tahunan.
Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi pilihan-pilihan kebijakan pokok yang harus
diambil oleh para pemangku kepentingan. Setiap pilihan yang diambil memiliki
pengaruh yang amat kuat dengan menjawab pertanyaan mengapa SKPD itu yang
mengerjakannya (TUPOKSI), apa yang dikerjakannya, siapa sasarannya dan
seterusnya. Suatu keadaan menjadi isu trategis adalah apabila tidak diantisipasi
dalam keputusan yang cepat akan menimbulkan kerugian yg lebih besar atau
sebaliknya apabila tidak dimanfaatkan akan menghilangkan peluang terhadap daya
ungkit pembangunan. Semua keputusan/kebijakan yang diambil, bermuara untuk

64

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat khususnya pelayanan dasar


yang mengacu pada Standar Pelayanan Minimal (SPM).
Dalam rangka membuat keputusan strategi percepatan pembangunan berbasis SPM
maka kriteria isu-isu strategis:
f. Memiliki pengaruh dan daya ungkit yang besar terhadap pelayanan publik
dalam upaya pencapaian sasaran pembangunan. Sejalan dengan isu-isu
strategis pembangunan jangka menengah daerah.
g. Memiliki daya ungkit untuk pencapaian pembangunan berkelanjutan.
h. Merupakan tugas dan tanggung jawab SKPD.
i.

Adanya kemungkinan/peluang untuk ditangani.

Sebagai gambaran bagaimana SKPD memperoleh kriteria isu-isu strategis tersebut


adalah:
1. Lakukan analisa internal berupa identifikasi permasalahan pembangunan
berdasarkan TUPOKSI yang telah dijalankan.
2. Lakukan analisa eksternal berupa kondisi yang menciptakan peluang dan
ancaman bagi SKPD di masa lima tahun mendatang.
Isu-isu kemiskinan dan ketimpangan masalah kesejahteraan sosial adalah
masalah utama yang menjadi cita-cita penyelesaian pembangunan. Secara lebih
rinci permasalahan yang harus diselesaikan SKPD misalnya hal terkait rendahnya
pencapaian IPM (angka kematian ibu dan bayi, angka pendidikan yang ditamatkan
rendah, optimalisasi UKM/UMKM, persoalan RTH perkotaan, efektifitas pelayanan
publik dan sebagainya). Hasil analisa tersebut adalah berupa data-data yang dapat
diolah dari capaian kinerja periode sebelumnya sebagai bahan kebijakan.
Sebagaimana kita pahami bersama bahwa setelah diterapkan otonomi
daerah, sebagian kewenangan dan fungsi pemerintah pusat, khususnya berkaitan
pembangunan berbasis SPM/kegiatan pelayanan dasar (kesehatan, pendidikan, dan
lain-lain) sudah diserahkan ke daerah. Sejarah data pembangunan tersebut menjadi
penting sebagai langkah awal daerah mengelola isu-isu strategis pembangunan. Ke
depan daerah sangat berkepentingan dengan kebutuhan data dan akan menjadi
meningkat

terutama

untuk

melihat

pencapaian

65

serta

menentukan

suatu

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

perencanaan yang bersifat strategis.


Pada fase ke dua pelaksanaan otonomi daerah persoalan pengolahan data
(statistik) ini menjadi sorotan dan bahkan menjadi urusan wajib yang dibebankan ke
daerah. Melalui UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah Pasal 152
ayat 1, bidang statistik merupakan salah satu urusan pemerintahan yang wajib
diselenggarakan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, berkaitan dengan
pelayanan dasar. Pesan pasal ini sangat penting dan strategis sehingga persoalan
data statistik menjadi urusan wajib. Sebuah keputusan penting dari suatu kebijakan
sudah barangtentu berangkat dari data yang akan menentukan isu-isu strategis.
Pesan pasal 152 juga menyatakan Perencanaan Pembangunan Daerah harus
didasarkan

pada

data-data

dan

informasi

yang

akurat

serta

dapat

dipertanggungjawabkan; Data/Informasi yang dimaksud mencakup:


1. Penyelenggaraan Pemerintah Daerah;
2. Organisasi Tata Laksana Pemerintah Daerah;
3. Keuangan Daerah, DPRD, Perangkat Daerah dan PNS Daerah;
4. Potensi Sumberdaya Daerah;
5. Produk Hukum Daerah;
6. Kependudukan;
7. Informasi Dasar Wilayah;
8. Informasi lain terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Banyak contoh berkenaan isu strategis pembangunan dan data di atas,
misalnya isu penyelenggaraan pemerintah daerah saat ini yang kita tunggu
pengganti PP 41 tahun 2007 karena beberapa perubahan kewenangan setelah
terbitnya UU no 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Isu ini akan
berpengaruh kepada kebijakan organisasi tata laksana pemerintah daerah.
Sedangkan data penyelenggaraan Pemerintah daerah bisa berupa tingkat prestasi
pelayanan, transparansi, akuntabilitas dan sebagainya.
Data yang dapat dipertanggungjawabkan, merupakan faktor penting untuk
mengetahui kemajuan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sumber data yang
resmi dan dapat dipertanggungjawabkan tersebut bisa dari statistik dasar yang
dikerjakan oleh BPS atau data statistik sektoral yang merupakan catatan kinerja

66

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pelayanan SKPD/catatan administrasi (input, proses dan output) program/kegiatan


pembangunan di SKPD.
Data statistik dasar dan data statistik sektoral akan berbicara pencapaian
kinerja SPM dan target tujuan pembangunan milenium (Millennium Development
Goals/MDGs). Sebab ke dua program besar tersebut (SPM dan MDGs)

telah

terintegrasi dalam program prioritas pembangunan daerah dan nasional. Oleh sebab
itu data kinerja ini juga akan mengangkat isu-isu strategis pembangunan yang belum
diselesaikan dan yang akan diantispasi ke depan.
Terkait dengan 8 (delapan) informasi data di atas perlu pembahasan yang
lebih mendalam khususnya point 6 (enam) tentang kependudukan dan point 7
(tujuh) mengenai informasi dasar wilayah. Mengapa ? karena keduanya saling
memiliki kepentingan untuk sebuah isu kebijakan publik dan dampaknya terhadap
keberlanjutan kehidupan dari generasi ke generasi. Manajemen kependudukan yang
salah tidak diantisipasi dalam perencanaan wilayah akan membuat tidak nyaman
wilayah yang mereka tempati. Begitupun sebaliknya pola ruang wilayah yang tidak
direncanakan dengan baik dan bahkan tidak tepat penggunaannya akan muncul
resiko berbagai bencana. Semua fenomena tersebut menjadi isu-isu strategis
pembangunan yang wajib dikelola secara profesinal untuk sebuah pembangunan
berkelanjutan antar-generasi.

SPM adalah Hak Dasar Masyarakat


Pembangunan berbasis Standar Pelayanan Minimal (SPM) dimaknai sebagai
inti dari fungsi pelayanan dasar atau bahkan hak dasar masyarakat yang wajib
diberikan oleh pemerintah. Konsep SPM ini lahir pasca peristiwa reformasi
mahasiswa 1998. Merupakan tuntutan langsung atau tidak langsung dari reformasi
mahasiswa, yang jelas 2 (dua) tahun setelah perisiwa tersebut terbit PP No. 25
Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom, yang salah satu pasalnya (pasal 3) mengatur kewenangan/urusan
wajib untuk pelayanan minimal sebagai hak dasar masyarakat yang dikenal
dengan SPM. Pernyataan tertulisnya di pasal 3 yaitu: pelaksanaan kewenangan
wajib merupakan pelayanan minimal Pada tahun yang sama di tahun 2000
terjadi kesepakatan tentang tujuan pembangunan Milenium (MDGs), dimana fokus

67

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pembangunan diarahkan untuk memenuhi hak dasar warga seperti upaya


pengentasan kemisikinan, pendidikan, pemberdayaan perempuan dan kesehatan.
Pengertian SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar
yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diterima oleh setiap warga
secara minimal (pasal 1: Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2005 tentang
Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM). Diperkuat lagi oleh Permendagri No. 6
Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Dan Penetapan Standar
Pelayanan Minimal bahwa tiap jenis pelayanan ada tolak ukurnya yang selanjutnya
disebut dengan indikator SPM. Indikator ini memberikan petunjuk adanya perubahan
atau penyimpangan terhadap nilai yang telah ditetapkan.
Konsep SPM lahir bukan secara langsung karena tuntutan reformasi
mahasiswa 1998, tetapi gerakkan ini utamanya secara tidak langsung melahirkan
gerakkan

otonomi daerah. Kemudian ditindaklanjuti lahirnya undang-undang

pemerintah daerah yang mengatur adanya pembagian kewenangan antara


pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Paling tidak konsep SPM ini sejalan
dengan agenda perubahan penyelenggaraan pemerintahan dari sentralisasi ke pola
desentralisasi. Ada tuntutan besar desentralisasi ini terhadap pendekatan pelayanan
kepada masyarakat. Tetapi pembagian kewenangan ke pola baru ini juga wajib
diikuti dengan pengendalian, jangan sampai salah arah/konsep pembangunan atau
bahkan tidak ada arah.

Karena bisa jadi euphoria otonomi daerah melahirkan

kesewenang-wenangan belanja dan menjadikan raja-raja baru dengan pakaian


koruptor.
SPM adalah salah satu instrumen untuk mengendalikan agar pelayanan
dasar kepada masyarakat tersebut menjadi prioritas perhatian daerah. Mengapa,
karena SPM menjamin akses dan mutu dan jenis pelayanan dasar yang berkeadilan
dan menyeluruh. Pemerintah pusat mengambil peran dengan menerbitkan konsep
SPM ini dalam PP No. 25 Tahun 2000. Selanjutnya beberapa peraturan yang terkait
dengan SPM terus bergulir diantaranya adalah:
1 UU 23/2014 tentang Pemerintah Daerah
2 UU 32/ 2004 tentang Pemerintah Daerah

68

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

3 PP 20/ 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah


4 PP 65/ 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM
5 PP 38/ 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
6 PP 6/ 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
7 Surat Edaran Mendagri No. 1006/676/SJ perihal Percepatan Penerapan
SPM.
Sebelumnya

pada

UU

32/2004

tentang

Pemerintahan

Daerah

mengamanatkan beberapa jenis kewenangan wajib dan kemudian UU 23/2014


tentang Pemerintah Daerah membagi kewenangan wajib tersebut menjadi 2 (dua)
yakni kewenangan yang berbasis pelayanan dasar dan yang bukan pelayanan
dasar.

Artinya

ada

penekanan

penting

untuk

pencapaian

SPM

terhadap

kewenangan wajib berbasis pelayanan dasar tersebut. Saat ini kita sedang
menunggu PP pengganti PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan,
untuk mempertegas urusan pemerintahan dalam rangka menjalankan kewenangan.
Regulasi-regulasi tersebut adalah penguatan dari amanat tujuan bernegara,
seperti ditegaskan oleh UU 32 tahun 2004 bahwa dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan daerah sesuai amanat UUD RI Tahun 1945: pemerintah daerah yang
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Ada 3 (tiga) pokok besar Otda
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dimulai dengan cara yang pertama
melalui peningkatan pelayanan, kedua pemberdayaan dan ketiga peningkatan
daya saing.
Tahapan logika berpikir ini mendasar sekali karena sangat tidak mungkin
langkah kedua dan ketiga dilakukan sebelum pelayanan dasar diberikan. Langkah
yang pertama ini yang kemudian menjadi urusan wajib pemerintah daerah
khususnya berbasis pelayanan dasar. Apakah pemberdayaan tidak masuk klasifikasi
urusan wajib, dapat dilihat tugas pokok dan fungsi serta program/kegiatan yang

69

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

melekat serta target capaian SPM. Alur analisa kebijakan desentralisasi dapat
digambarkan sebagai berikut:
PENINGKATAN PELAYANAN

TUJUAN OTDA

MEMPERCEPAT
TERWUJUDNYA
KESEJAHTERAAN
MASYARAKAT

PEMBERDAYAAN DAN PERAN SERTA


MASYARAKAT

MENINGKATKAN DAYA SAING

Gambar 1. Tujuan Kebijakan Desentralisasi


Dalam gambar tersebut seyogyanya pemenuhan dari 3 (tiga) upaya
mewujudkan kesejahteraan masyarakat, maka yang diutamakan atau urutan
pertama

adalah

pelayanan

dasar

pencapaian

SPM.

Posisi

SPM

dalam

penyelenggaraan urusan pemerintahan berada di urusan wajib dan fokusnya di


pelayanan dasar atau pelayanan inti yang bersifat ekstra perhatian. Urutan kedua
adalah pemberdayaan dan peran serta masyarakat kemudian terakhir meningkatkan
daya saing daerah. Urutan tersebut bukan diartikan sebagai strata prioritas
penanganan satu sisi saja karena bisa jadi tidak berkeadilan. Walaupun bisa
berjalan secara simultan tetapi prinsip dasarnya titik perhatian pada ditujukan untuk
pencapaian SPM.
Dengan semangat regulasi yang berkembang tersebut dapat disimpulkan
peran penting SPM sebagai salah satu tolok ukur keberhasilan pembangunan di
daerah. Mengapa, karena SPM memiliki nilai alat kendali mutu yang utama dalam
mencapai target sasaran, jenis pelayanan, prinsip kualitas dan standar biaya yang
dibutuhkan untuk menyelenggarakan pelayanan. SPM juga memberi kesempatan
masyarakat mengawasi penerapan standar pelayanan. Bagaimana masyarakat
mengukurnya, maka kemudian lahir PP 65/ 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan
Penerapan Standar Pelayanan Minimal, disebutkan bahwa tujuan penetapan
kebijakan tentang SPM ini dimaksudkan antara lain untuk: Menjamin hak
masyarakat menerima pelayanan dasar dengan mutu tertentu.

70

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

1. Menjadi alat menentukan jumlah anggaran suatu pelayanan dasar.


2. Sebagai media meningkatkan akuntabilitas Pemerintahan Daerah memenuhi
kewajibannya dalam menyediakan pelayanan dasar.
3. Memperjelas

tugas

pokok

Pemerintahan

Daerah

dan

mendorong

terwujudnya checks and balances yang efektif.


4. Mendorong

transparansi

dan

partisipasi

masyarakat

dalam

proses

penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.


Pemerintah bersama Pemerintah Daerah wajib menyediakan pelayanan
tersebut sesuai kemampuan. Dalam rangka kemampuan penyediaan pelayanan
dasar tersebut perlu ada identifikasi ukuran, jenis & mutu pelayanan yang disebut
dengan Penetapan Standar Pelayanan Minimal (SPM) oleh Pemerintah. Ketentuan
tentang Jenis dan Mutu Pelayanan Dasar diatur Permendagri No. 6 Tahun 2007
Tentang Petunjuk Teknis Penyusunan Dan Penetapan Standar Pelayanan Minimal.
Ruang lingkupnya dalam Pasal 3 mencakup: Jenis Pelayanan Dasar, Indikator dan
Nilai SPM, Batas Waktu Pencapaian SPM, dan Pengorganisasian Penyelenggaraan
SPM.
Penentuan jenis pelayanan dasar (pasal 4) diantaranya menegaskan bahwa
SPM merupakan pelaksanaan urusan wajib yang sangat mendasar berhak
diperoleh setiap warga secara minimal dan dijamin ketersediaannya oleh
konstitusi. Jenis pelayanan ini juga tidak untuk menghasilkan keuntungan materi.
Bagaimana caranya menentukan Indikator SPM ? dalam pasal 5 ketentuan
tersebut diukur berdasarkan: besaran sumberdaya yang digunakan (sarana dan
prasarana, dana, dan personil); tahapan yang digunakan (program/kegiatan, waktu,
lokasi); wujud capaian kinerja (persepsi, perubahan perilaku); tingkat kemanfaatan
yang dirasakan sebagai nilai tambah (kualitas hidup, kepuasan masyarakat, dunia
usaha, pemerintah; dan keberadaan dan keterbukaan sistem informasi, pelaporan
dan evaluasi pencapaian SPM). Sedangkan Nilai SPM ditentukan dari kualitas dan
cakupan jenis pelayanan dasar tersebut.
Begitu pentingnya pembangunan berbasis SPM ini, mengingat masih banyak
masyarakat yang belum menikmati kemudahan dan keterjangkauan atas pelayan
dasar. Keberhasilan pemerintah daerah memberikan akses terhadap pelayanan

71

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dasar warganya dapat mengungkit nilai IPM. Kepala Daerah terpilih diharapkan
cerdas mengarahkan belanja pembangunan bagi kemakmuran rakyat. Bukan
sebaliknya apa yang direncanakan/dijanjikan KDH dengan apa yang dilaksanakan
terkadang belum berada pada rel yang pas. Kata pas disini berarti apa yang
diberikan kepada masyarakat sesuai bukti kampanye politik. Mengapa ini bisa tidak
pas/berbeda dengan faktanya, banyak hal bisa terjadi karena kekuatan/potensi
daerahnya rendah, terbatas anggaran atau kurang dioptimalkan tingkat penerimaan
daerahnya. Atau bisa karena kreativitas tim birokratnya rendah?

SDM atau

mentalitas ? pada akhirnya menyebabkan rendahnya keseriusan daerah dalam


mengawal pembangunan SPM dalam dokumen perencanaan dan penganggaran
(APBD).
Pemerintah pusat menilai pembangunan di daerah masih dianggap belum
optimal. Ukuran penilaian ini tergambarkan dari evaluasi kinerja pemerintah daerah
dalam melaksanakan urusan wajib khususnya berkenaan dengan pelayanan dasar.
Masih banyak daerah yang belum berhasil mencapai target akhir SPM tahun 2015.
Sehingga dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah yang baru terbit ini, penekanan pelaksanaan urusan wajib dipisahkan
antara yang bersifat pelayanan dasar dan yang non dasar. Bisa jadi pemisahan ini
agar terlihat keseriusan kinerja pemerintah daerah dalam mencapai target target
pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM).
SPM sebagai wujud ukuran minimal hak dasar yang wajib diperoleh setiap
warga negara, seyogyanya ada yang sudah dituntaskan atau dipenuhi kurun waktu
akhir tahun 2015. Apa saja hak dasar yang diatur tersebut ? Dalam pasal 12 (dua
belas) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah sudah menetapkan
hak dasar yang menjadi pelayan dasar urusan wajib meliputi:
1 pendidikan;
2 kesehatan;
3 pekerjaan umum dan penataan ruang;
4 perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
5 ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindunganmasyarakat; dan
6 sosial.

72

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sedangkan urusan wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar


meliputi:
1 tenaga kerja;
2 pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
3 pangan;
4 pertanahan;
5 lingkungan hidup;
6 administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
7 pemberdayaan masyarakat dan Desa;
8 pengendalian penduduk dan keluarga berencana;
9 perhubungan;
10 komunikasi dan informatika
11 koperasi, usaha kecil, dan menengah;
12 penanaman modal;
13 kepemudaan dan olah raga;
14 statistik;
15 persandian;
16 kebudayaan;
17 perpustakaan; dan
18 kearsipan.
Dalam ketentuan undang-undang tersebut ditegaskan SPM adalah produk
kebijakan publik yang mengatur tentang jenis dan mutu pelayanan dasar
masyarakat, yang merupakan hak minimal yang diperoleh warga dan dibebankan
menjadi urusan pemerintahan wajib berbasis pelayanan dasar. Undang-undang
pemda yang lama (UU nomor 32 Tahun 2004) urusan wajib tersebut tidak ada
pemisahan yang tegas mana yang berbasis pelayanan dasar mana yang tidak
berkaitan dengan pelayanan dasar. Sehingga diharapkan perhatian pembangunan
lebih fokus dan mengarahkan sumberdaya seoptimal mungkin dalam menyelesaikan
persoalan pembangunan berbasis SPM ini.
Pertanyaannya setelah ada amanat pengaturan tersebut

bagaimana

hasilnya? Faktanya setelah hampir 15 tahun kelahiran SPM (PP No. 25 TH 2000

73

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah


Otonom), masih kita lihat banyak kebutuhan akan sarana bangunan sekolah dasar
yang rusak, jembatan yang tidak layak dilewati, infrastruktur penghubung antardistrik
dan bahkan antar wilayah khususnya daerah perbatasan masih belum memadai.
Sosialisasi pemahaman SPM bukan tidak dilakukan, bahkan sebagian besar
staf/pejabat SKPD juga bukan tidak mengerti SPM namun belum memahami
pentingnya penerapan SPM dalam pelayanan publik, termasuk unsur DPRD dan
Kepala Daerah. Pemerintah menganggap potret praktek-praktek penyelenggaraan
pembangunan di daerah khususnya berkenaan dengan pelaksanaan urusan wajib
belum diprioritaskan secara benar.
Keseriusan atas tercapainya SPM ini diperlihatkan oleh keinginan amanat UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 11 ayat (4): penyelenggaraan
urusan yang bersifat wajib berpedoman pada SPM dilaksanakan secara
bertahap.

Kemudian UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah di

pasal 18 mengamanatkan pula: ...... urusan pemerintahan wajib yang berkaitan


dengan pelayanan dasar berpedoman pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang
ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Pemerintah

pusat

menaruh

perhatian

yang

sangat

besar

terhadap

pencapaian SPM ini, bahkan standar nilai capaian diarahkan pusat. Dengan
keseriusan amanat kedua undang-undang tersebut harapan ditujukan kepada
pemerintah daerah agar target-target capaian SPM segera dimasukkan ke dalam
perencanaan dan penganggaran yang terintegrasi. Keberhasilan capaian program
SPM sebagai pengungkit untuk program-program lainnya. Tetapi ketidakberhasilan
program pelayanan dasar akan mengganggu stabilitas penyelenggaraan pemerintah
secara umum. Stabilisasi ini merupakan salah satu fungsi penting tentang eksistensi
pengelolaan APBD.
Darimana mulainya pengintegrasian SPM ini? Sejak dibuatnya dokumen
RPJMD kepala daerah terpilih sudah harus ada target capaian program-program
yang mengusung SPM. Apapun janji-janji KDH terpilih dalam kampanye di
masyarakat tetap urusan wajib ini yang menjadi prioritas utama. Integrasi SPM ke
dalam perencanaan dan penganggaran adalah
pencapaian

SPM

dengan

program/kegiatan

74

singkronisasi

target target

antar-dokumen

perencanaan

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pembangunan (RPJMD, RENSTRA, RKPD, RENJA, dioperasionalkan ke dalam


RKA SKPD). Di sisi lain dokumen RKPD itu sendiri sebagai instrumen yang
memadukan program RENSTRA K/L dalam upaya pencapaian target SPM.
Sebagaimana amanat pasal 11 ayat 1 huruf c Permendagri 54 Tahun 2010
Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang
Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, Dan Evaluasi Pelaksanaan
Rencana Pembangunan Daerah: program kegiatan alokasi dana, sumber
pendanaan dirumuskan dalam RPJMD, RKPD, Renstra SKPD dan Renja SKPD
disusun berdasarkan urusan wajib yang mengacu pada SPM sesuai dengan kondisi
daerah dan masyarakat atau urusan yang menjadi tanggung jawab SKPD.
Berkenaan dengan pengalokasian dana tersebut, maka SPM memerlukan hitungan
yang jelas berapa besaran biaya yang diperlukan untuk suatu jenis pelayanan
tertentu. Perhitungan kebutuhan biaya ini didasarkan atau disesuaikan dengan
standar biaya yang berlaku di masing-masing daerah dan menganalisa hasil
perhitungan riil atas kegiatan yang telah dilakukan sebelumnya.
Penghitungan biaya SPM dapat diformulasikan menjadi sebuah model
Standar Analisis Biaya (SAB), yaitu perhitungan kebutuhan

standar minimum

pembiayaan untuk suatu pelayanan dasar di daerah. Hal ini menjadi landasan dalam
menentukan

anggaran

berbasis

kinerja

suatu

pelayanan

mempertimbangkan kondisi geografis daerah. Penghitungan

publik

yang

SPM berbasis SAB

memudahkan model pembiayaan normatif (pembakuan biaya) yang lebih realistis


dalam menentukan total anggaran yang diperlukan untuk menyelenggarakan
pelayanan dasar. Oleh karena itu syarat utama penghitungan SPM sangat
dipengaruhi support data yang valid dan berkualitas. Data ini utamanya berkenaan
dengan kelompok sasaran pelayanan, karakteristik demografi dan kondisi geografis
daerah.
Berkenaan dengan validitas kelompok sasaran pelayanan, ini mejadi bahan
penting pengukuran indikator layanan SPM. Rumus formula indikator SPM adalah
dalam bentuk pembilang dibagi penyebut x 100%, sebagai berikut :

75

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

PEMBILANG
INDIKATOR SPM =

X 100 %
PENYEBUT

Angka pembilang menunjukkan berapa target yang sudah dilayani, sedang


penyebut menunjukkan angka keseluruhan target yang ada. Hasil akhir formula
pencapaian indikator SPM adalah persentase jumlah target kelompok sasaran yang
telah menerima pelayanan dasar SPM pada tahun yang bersangkutan. Syarat data
pembilang dan penyebut wajib diketahui dengan baik, menjadi alasan mengapa
persoalan pengumpulan data menjadi hal yang sangat penting. Karena data yang
bias dan tidak akurat, maka angka capaian yang dihasilkan tidak akan menunjukkan
kondisi yang sebenarnya dan mempengaruhi akurasi penghitungan biaya SPM.
Bias data ini sangat mungkin terjadi bila tidak dilakukan katagorisasi, tabulasi
dan proses editing dengan benar. Support data sangat terkait dengan kelompok
sasaran pelayanan, karakteristik demografi dan kondisi geografis daerah. Data untuk
perhitungan capaian SPM bisa dikalkulasi berasal dari berbagai sumber. Mengingat
konsep SPM itu sendiri ada dalam obyek ruang pembangunan wilayah, sehingga
data angka pembilang dan penyebut yang dihitung adalah bukan hanya
penjumlahan angka hasil kerja SKPD yang menangani pelayanan. Stakeholders
lainnya (swasta baik organisasi atau individu) selaku pemberi pelayanan di wilayah
tersebut perlu dihitung berapa jumlah yang sudah dan sedang ditangani.
Bila terjadi kesalahan atau data perhitungan tidak akurat terhadap jumlah
sasaran pelayanan, maka tentu saja akan mempengaruhi hasil perhitungan SPM.
Apa yang terjadi selanjutnya jika estimasi sasaran terlalu besar atau sebaliknya
terlalu kecil. Maka bila dihitung ulang ternyata angka estimasi terlalu besar akan
ada gap yang lebar antara target dengan capaian riil di lapangan. Sebaliknya jika
estimasi sasaran terlalu kecil, akan menghasilkan hitungan melebihi target maksimal
(lebih dari 100%). Padahal bisa terjadi kelompok sasaran ini masih banyak yang
belum teridentifikasi. Persoalan-persoalan ini yang harus segera diperbaiki dan

76

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

konsekuensinya dokumen perencanaan seperti RENSTRA SKPD juga harus


direvisi. Bila dokumen tersebut berubah karena kelompok sasaran pelayanan dan
tahapan

target

yang

biaya/penganggarannya
penganggaran

yang

dicapai

juga
sudah

juga

berubah.

berubah

Dengan

didokumentasikan

maka

demikian
dalam

penghitungan

perencanaan

RPJMD

dan

seyogyanya

mengalami perubahan. Mekanisme pengaturan atas berubahnya dokumen-dokumen


tersebut harus disesuaikan dengan ketentuan yang ada.
Konsekuensi

logis

upaya

mengintegrasikan

pendekatan

SPM

dan

pembiayaannya ke dalam dokumen perencanaan dan penganggaran akan


meningkatkan perbaikan kualitas pelayanan publik yang berkelanjutan (continuous
improvement).

Berkelanjutan

ini

dimaksudkan

secara

mendasar

menjamin

keberlangsungan pelayanan antar-generasi yang semakin bermutu. Kalau SPM ini


tidak berkelanjutan maka artinya tidak ada lagi makna pembangunan dan
dampaknya akan semakin mundur generasi kita. Nasib masa depan bangsa menjadi
pertaruhan di mata dunia.
Bagaimana proses atau dimulai darimana kegiatan perencanaan dan
penganggaran SPM ini?. Prosesnya dimulai dari adanya komitmen pimpinan dan
bila perlu dibuat agreement antara Kepala Daerah dan Kepala SKPD atas rencana
tersebut

yang

selanjutnya

program/kegiatan

berbasis

pencapaian

SPM

dikoordinasikan dengan Bappeda. Mengapa Bappeda dilibatkan, karena dalam


rangka prioritas penganggaran dan kesepakatan Kerangka Pengeluaran Jangka
Menengah (KPJM) agar SPM ini bisa selesai direalisasikan dalam jangka waktu
yang direncanakan. Pencapaian SPM umumnya dalam jangka menengah 3-5 tahun.
Setelah itu SKPD teknis membentuk Tim penyusun SPM bila perlu didampingi
fasilitator. Tujuan fasilitator ini agar pekerjaan dan tahapan penghitungan lebih fokus
dan efektif bila hanya diserahkan pejabat/staf di SKPD saja. Tahapan kegiatan dapat
dimulai dari :
a pertama, mengidentifikasi capaian masing-masing indikator SPM kinerja
tahun berkenaan maupun tahun-tahun sebelumnya.
b Kedua, menganalisis gap capaian SPM terhadap target yang ditetapkan
pemerintah dan apa penyebabnya berapa nilai kesejangannya. Gap antara

77

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

status capaian masing-masing indikator SPM dengan target nasional


merupakan isu dan beban kerja yang harus diselesaikan oleh pemerintah
daerah sesuai batas waktu target nasional.
c Ketiga, Hasil analisis gap capaian SPM dibuatkan matrik dari mulai yang
bernilai besar ke urutan terkecil dan dikolom keterangan nilai yang besar akan
menjadi prioritas penanganan.
d Keempat, analisis pagu anggaran indikatif untuk mengalokasikan kebutuhan
pendanaan berdasarkan skala prioritas. Bila perlu buatkan nota dinas kepada
Kepala Daerah untuk permintaan tambahan pagu dalam rangka pencapaian
SPM.

Disposisi

persetujuan

Kepala

Daerah

akan

menjadi

bahan

pertimbangan Bappeda untuk merubah pagu indikatif yang setiap tahun


ditetapkan.
Langkah-langkah tersebut bagian dari upaya mengintegrasikan target SPM ke
dalam dokumen perencanaan dan penganggaran SKPD.

Bahkan bila perlu

disosialisakan bahwa kebijakan Kepala Daerah dalam menambah pagu indikatif


untuk capaian SPM secara resmi diintegrasikan juga ke dalam RENTRA, RKPD
bahkan merevisi anggaran di RPJMD. Sekaligus mendeklarasi agar dipedomani
dalam penyusunan KUA-PPAS, RENJA sampai RKA SKPD.
Bagaimana menyusun program/kegiatan yang benar-benar dapat memiliki
daya ungkit pencapaian SPM ? Yang menjadi persoalan daerah sebenarnya adalah
bagaimana mengungkit kesenjangan capaian SPM dari target nasional. Adanya nilai
kesenjangan yang terlalu besar menunjukkan bahwa ada masalah dalam
pelaksanaan SPM tersebut. Langkah awal adalah menyusun rencana intervensi
dengan melakukan analisis terlebih dahulu untuk mengetahui

apa penyebab

terjadinya gap. Sampai kita dapat mengetahui akar penyebab utama terjadinya gap
tersebut, tujuannya agar intervensi menjadi lebih akurat, fokus, efektif dan efisien.
Teknik identifikasi faktor-faktor penyebab masalah/kesenjangan yang cukup
populer adalah fishbone diagram dan problem tree (pohon masalah).

Metode

sederhana seperti analisis pohon masalah atau fishbone cukup representatif untuk
menyusun program-kegiatan. Metode ini bisa dibuat simulasi dalam rangka

78

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

mengatasi masalah sekaligus membuat prioritas strategi pemecahan masalah.


Teknik teknik tersebut memiliki pendekatan yang kurang lebih sama, bagaimana
mengkalisifikasi atau memilah faktor penyebab terjadinya masalah secara
berjenjang. Analisanya dimulai dari penyebab primer, sekunder, hingga tersier.
Perlu pembahasan khusus terkait contoh atau simulasi dengan metode fishbone
atau problem tree, khususnya bagi pelaksana yang ingin memahami secara
mendalam latar belakang kegiatan itu dibuat.
Kita menyadari bahwa potret kinerja beberapa pemerintah daerah dalam
pembangunan berbasis SPM masih kurang maksimal. Masih banyak daerah belum
menindaklanjuti kebijakan SPM dalam kegiatan perencanaan, implementasi maupun
evaluasi kebijakan Daerah. Faktor penyebabnya kemungkinan belum banyak
diberikan kapasitas pengembangan tentang makna penting SPM. Sehingga belum
memahami kebijakan SPM secara benar sehingga timbul anggapan bahwa
kebijakan SPM bukan merupakan kebijakan yang menjadi prioritas. Akibatnya
kebijakan SPM tidak dimasukkan dalam perencanaan, bahkan tidak mendapat
alokasi anggaran yang memadai.
Di sisi lain sebagai reward daerah, seharusnya kebijakan SPM dijadikan
sebagai unsur penilaian kinerja PEMDA sehingga SPM dijadikan salah satu indikator
alat ukur keberhasilan kinerja Kepala Daerah. SPM sebagai standar pelayanan
dasar atau pelayanan minimum warga/konsumen (minimum service standard)
memiliki nilai yang cukup strategi. Dengan standar dasar tersebut dapat dihitung
tolok ukur biaya yang diperlukan untuk unit penyediaan pelayanan tertentu. Bagi
penerima

manfaat

(konsumen/warga

masyarakat)

nilai

strategis

SPM

unit

penyediaan layanan adalah ukuran kualitas dan kuantitas yang diberikan


pemerintah.
Banyak kasus yang kita lihat dari berita-berita di televisi yang menayangkan
bagaimana nasib seorang anak SD bersekolah melewati jembatan yang sudah rusak
dan sangat mengkhawatirkan keselamatannya. Di sisi lain ada banyak kasus kepala
daerah yang terseret persoalan hukum karena belanja hibah bansos

yang

sebenarnya bukan prioritas pembangunan daerah. Persoalan-persoalan besar ini


harus segera diluruskan mulai dari subtansi filsafat yang mendasari prioritas rencana

79

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

belanja sampai dengan aksi penganggaran dalam APBD. Lihat gambar berikut
adalah ada salah photo. suasana pagi anak-anak sekolah di desa Sanghiang
Tanjung, Lebak Banten.

sumber:www.kompasiana.com/murtadha/semangat bersekolah anak anak di dunia


Reaksi kita pertama melihat photo-photo ini hanya merasa kasihan dan iba
betapa beratnya perjuangan anak-anak untuk pergi ke sekolah. Siapa sebenarnya
yang paling bertanggung jawab ? Sejauhmana belanja cerdas APBD melihat
fenomena ini ? Masihkah eksekutif dan legislative membagi kue pembangunan
hanya untuk kepentingan pribadi dengan memperbesar belanja hibah bansos yang
tidak signifikan itu ?
Sebagai contoh kalau kita lebih mendalami lagi SPM pendidikan hal-hal seperti :
1 jarak maksimum siswa mengakses sekolah,
2 rasio rombongan belajar dan ketersediaan kelas,
3 ketersediaan ruangan guru,
4 ketersediaan minimal 6 orang guru,
5 ketersediaan guru berpendidikan sarjana/setara dan memiliki sertifikasi
pendidik,

80

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

6 ketersediaan kepala sekolah yang berpendidikan sarjana/ setara dan memiliki


sertifikasi pendidik,
7 kunjungan supervisi pengawas,
8 ketersediaan buku teks, ketersediaan alat peraga IPA dan
9 ketersediaan buku pengayaan dan referensi.
Untuk

point 1 dan 2 bisa digambarkan dari tujuan Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010 Tentang SPM


Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota, pasal 2 menyebutkan : Pelayanan pendidikan
dasar oleh kabupaten/kota diantaranya: Wajib menyediakan sekolah dalam jarak
yang terjangkau dengan berjalan kaki yaitu maksimal 3 km untuk SD/MI dan 6 km
untuk SMP/MTs dari kelompok permukiman permanen di daerah terpencil;
Jumlah peserta didik dalam setiap rombongan belajar untuk SD/MI tidak melebihi
32 orang, dan untuk SMP/MTs tidak melebihi 36 orang. Untuk setiap rombongan
belajar tersedia 1 (satu) ruang kelas yang dilengkapi dengan meja dan kursi yang
cukup untuk peserta didik dan guru, serta papan tulis.
Sulit bagi kita menyimak kinerja penyelenggaraan pembangunan di daerah
kalau persoalan kecil seperti jembatan penyeberangan saja dibiarkan dan tidak
segera diperbaiki. Apalagi sampai ke persoalan SPM mengenai batas maksimal
jarak jangkau anak-anak SD dan SMP berjalan kaki ke sekolahnya.
Contoh lain yang tidak kalah pentingnya persoalan SPM penyediaan ruang
terbuka hijau (RTH) di perkotaan. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 14
/PRT/M/2010 Tentang SPM Bidang Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, bahwa
untuk Jenis Pelayanan Dasar berupa Penyediaan RTH Publik , indikatornya adalah:
Tersedianya luasan RTH publik sebesar 20% dari luas wilayah kota/kawasan
perkotaan dengan batas waktu pencapaian tahun 2014. Faktanya bisa kita lihat
ruang RTH di perkotaan yang semakin menurun. Pemda DKI misalnya sampai
dengan capaian akhir SPM tahun 2014 masih belum mampu menyediakan 20 %.
APBD DKI yang penerimaan pendapatan lebih dari 70 trilyun saja tidak
optimal

mencapai

pelayanan

dasar

tersebut.

81

Artinya

belum

ada

atensi

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

penganggaran untuk keberlanjutan sebuah kehidupan yang nyaman di perkotaan.


Padahal belanja program RTH publik seyogyanya menjadi prioritas utama ketimbang
belanja lainnya lebih-lebih terhadap belanja pegawai. Kinerja belanja program yang
kurang terhadap pencapaian SPM sudah sewajarnya dievaluasi secara lebih cermat.
Dampaknya sangat boleh jadi hampir setiap akhir pekan warga Jakarta berbondongbondong ke Puncak Bogor, hanya untuk menikmati suasana rimbun hijau daun.
Padahal kalau saja Jakarta bisa mencontoh semangat Kota Curitiba di Brasil
dengan perluasan RTH publik yang menjadi andalanya. Cerita sukses ini bisa dilihat
dalam kasus kota ini dalam 30 tahun berkembang dari kota kumuh menjadi kota
yang paling diminati wisatawan. Tahun 1970-an RTH publik Kota Curitiba hanya 1
m2 per kapita. Saat ini telah berkembang menjadi kota yang nyaman dengan 17
taman-taman baru, dimana tingkat ruang terbuka hijaunya meningkat dari 1 m 2
menjadi 55 m2 per kapita. Disadari atau tidak oleh kita, RTH publik merupakan hak
dasar warga masyarakat untuk hidup lebih sehat. Berikut perbandingan luas RTH
perkapita pada beberapa kota besar dunia .

Stockholm
Vienna
Curitiba
New York
Berlin
Vancouver
London
Paris
Jakarta
Tokyo
0

20

40

60

80

RTH per kapita m2/penduduk


Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, Direktorat Jenderal
Penataan Ruang (2006).

Gambar 4 Perbandingan luas RTH perkapita pada beberapa kota besar dunia

Data tersebut menunjukkan Jakarta masih di bawah angka 10 m 2 perkapita,


bagaimana dengan Bekasi, Tanggerang atau kota besar lainnya seperti Kota

82

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Semarang dan Kota Jogyakarta sebagainya. Kota Surabaya dan Kota Bandung saat
ini terus berbenah dengan taman-taman kotanya, kinerja Kepala Daerah diapresiasi
oleh masyarakatnya.
Potret kinerja ini menunjukkan masih banyak daerah kab/kota dan propinsi
yang belum cukup paham berkaitan dengan capaian

SPM RTH Publik sebagai

urusan wajib pelayanan dasar. Hal yang sama tidak berbeda dengan upaya capaian
SPM Pendidikan Dasar. Bahkan bisa jadi perhatian pemerintah daerah belum atau
kurang menerapkan SPM dalam perencanaan dan penganggaran daerah.
Bagaimana dengan 14 bidang yang lain dan sudah memiliki SPM seperti: SPM
Kesehatan, SPM Keluarga Berencana, Lingkungan Hidup, Ketahanan Pangan,
Kesenian, Ketenagakerjaan, Kominfo, Pekerjaan Umum, Pemberdayaan dan
Perlindungan Anak, Pemerintahan Dalam Negeri, Penanaman Modal, Perhubungan,
Perumahan rakyat dan Sosial. Semua ini harus diberi penguatan yang lebih dari
sekedar belanja program/kegiatan rutinitas pembangunan.
Penutup
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, penulis mengajukan beberapa rekomendasi
sebagai berikut:
1. Pencapaian target-target pembangunan dalam konteks perencanaan dan
penganggaran daerah harus diawali dan dipahami dengan konsep dan rekam
jejak data yang valid.
2. Data pembangunan adalah data-data terkait dengan upaya pencapaian IPM
dengan melihat dari capaian target SPM urusan yang diserahkan (wajib dan
pilihan) dan mengalisan kondisi gambaran umum daerah yang mendukung
capaian kinerja pembangunan tersebut.
3. Pada akhirnya tujuan akhir pembangunan itu tidak semata pemerataan ekonomi
tetapi yang lebih penting adalah keberlanjutan pembangunan itu sendiri. Bisa jadi
disebut pembangunan berbasis ekonomi hijau terutama melalui; (1) integrasi tata
ruang dalam pembangunan; (2) Pemakaian sumberdaya alam yang bijaksana dan
berkelanjutan; (3) Kebijakan perencanaan dan penganggaran berbasis lingkungan
(green budgeting).

83

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

MENUMBUHKAN BUDAYA INOVASI DI KALANGAN ASN


Dindin Supratman
Widyaiswara Ahli Pertama Balai Diklat BNN
Jl. Mayjen H.R Edi Sukma Km 21 Cigombong Lido Bogor Jawa Barat 16740

(Diterima 10 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstrak : Innovation is the production or adoption , assimilation and exploitation of added


value in economic and social fields ; renewal and enlargement of products , services and
markets ; the development of production methods ; and the establishment of a new
management system in terms of process and outcome. In conventional development theory,
human resource quality problem still has not received the attention secira proportionate .
This view still believe that the source of economic growth that lies in the concentration of
capital invested in a production process..Creativity and innovation of individuals or
communities to produce high adaptability to all kinds of needs and changes. This change
process occurs continuously and in a faster tempo . Thus the adaptability of individuals and
communities must develop faster . In the process occurs naturally and the mechanism of
natural selection . Individuals or communities who make it through the selection process was
not an individual who can not adapt to the changes through "learning proces, subsequent
creation process is the power of innovation . What is happening here is not only adjust but
the ability of an individual or society manipulate or intervene in the interests of an individual
or communities concerned.

Keywords : Innovation, Creativity, Culture, Reformation, Bureaucracy


Corresponding author: Dindin Supratman, E-mail: dindin_supratman03@yahoo.com,Telep
Kantor: 0251-8222244/Fax: 0251-8222260, Hp. 081320053166

I. Pendahuluan

a. Latar Belakang
Globalisasi telah melahirkan keterhubungan masyarakat dunia dalam berbagai aspek
kehidupan baik dalam hal budaya, sosial, ekonomi, politik, teknologi, maupun lingkungan.
Globalisasi juga mendorong persaingan tidak hanya pada tingkatan individu ataupun
korporasi, namun juga menyentuh tataran pemerintahan atau negara.

84

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Untuk menghadapi arus globalisasi tersebut, saat ini Indonesia sedang melakukan
berbagai terobosan dan upaya. Salah satu terobosan yang dilakukan oleh pemerintahan
Indonesia adalah dengan membangun birokrasi kelas dunia melalui pengembangan
komitmen dan budaya berinovasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Sekarang ini era inovasi telah menjadi katalisator utama dalam mengakselerasi
gerakan revolusi mental yang digaungkan oleh Presiden Jokowi melalui program Nawa
Cita. Betapa banyak acara yang didesain untuk mendorong munculnya inovasi di tubuh
pemerintah, baik oleh Kementerian, Lembaga, dan Daerah. Betapa banyak pula inovasi
tercipta dari K/L/D saat ini.
Melihat kondisi tersebut, tentunya kita semua bangga dengan capaian ini. Kondisi
tersebut menunjukan telah terjadinya perubahan iklim birokrasi dimana budaya status quo
perlahan-lahan ditinggalkan dan digantikan oleh budaya perubahan. Pemerintahan,
pelayanan publik, dan pembangunan bertransformasi ke dalam ragam bentuk kebaruan
dan kemanfaatan mengikuti tantangan dan kebutuhan lingkungan strategisnya.
b. Tujuan yang Akan Dicapai
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penulisan makalah adalah sebagai
berikut.
1.

Memberikan gambaran pentingnya sebuah inovasi untuk Aparatur Sipil Negara.

2.

Untuk mengetahui dampak budaya inovasi dalam perbaikan kinerja organisasi


pemerintah

c. Sistematika Penyajian
Adapun sistematika penyajian dalam penulisan makalah adalah sebagai berikut.
a.

Peran ASN dalam menghadapi tantangan perubahan jaman.

b.

Inovasi bisa di budayakan di kalangan ASN.

c.

Peranan lembaga diklat dalam mendukung budaya inovasi di kalangan ASN.

II.

METODOLOGI

a.

Metode Penelitian
Makalah ini dibuat dengan menggunakan metode deskriptif melalui studi literature
dengan pendekatan kualitatif berbasis data sekunder. Obyek penelitian yang digunakan
adalah aparatur birokrasi pemerintahan di lingkungan BNN.

85

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

b. Tinjauan Pustaka
Budaya menurut bahasa adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang
sukar diubah (KBBI, 2003, hal.169). Sementara para pakar antropologi budaya
Indonesia umumnya sependapat bahwa kata kebudayaan berasal dari bahasa
Sanskerta buddhayah. Kata buddhayah jamak dari kata buddhi yang berarti hal-hal
yang berkaitan dengan akal. Namun ada pula anggapan bahwa kata budaya berasal
dari kata majemuk budi daya yang berarti daya dari budi atau daya dari akal yang
berupa cipta, karsa, dan rasa (Maran, 2000, hal. 24).
Inovasi adalah produksi atau adopsi, asimilasi dan eksploitasi nilai tambah di
bidang ekonomi dan sosial; pembaruan dan pembesaran produk, Layanan, dan pasar;
pengembangan metode produksi; dan pembentukan sistem manajemen baru dalam hal
proses dan hasil.(Edison et al, 2013). Dalam teori pembangunan konvensional, masalah
kualitas sumber daya manusia masih belum mendapat perhatian secira proporsional.
Pandangan ini masih meyakini bahwa sumber pertumbuhan ekonomi itu terletak pada
konsentrasi modal yang diinvestasikan dalam suatu proses produksi.
Namun akhir-akhir ini pandangan tersebut mulai bergeser, bahwa yang bisa
memacu pertumbuhan ekonomi justru faktor kualitas sumber daya manusia. Pergeseran
pandangan ini terjadi bersamaan dengan pergeseran paradigma pembangunan, yang
semula bertumpu pada kekuatan sumb er daya alam (natural resource based),
kemudian bertumpu pada kekuatan sumber daya manusia (human resource based)
atau lazim pula disebut knowledge based economy.
Rahardi Ramelan (1997) Pergeseran paradigma semakin menegaskan betapa
aspek sumber daya manusia bernilai sangat strategis dalam pembangunan. Sebab,
sumber daya manusia merupakan pelaku utama dalam kegiatan perekonomian dan
pembangunan suatu negara. Malahan akhir-akhir ini juga disoroti bukan hanya sumber
daya manusia selaku individu-individu, tetapi keterkaitannya dalam masyarakat yang
merupakan kebiasaan-kebiasaan sebagai budaya merupakan modal yang kuat yang
sering disebut dengan social capital (modal sosial).
Menurut Bank Dunia bahwa modal manusia merupakan faktor paling penting dan
mempunyai peran amat dominan dalam mendorong kemajuan masyarakat. Dengan
demikian, peningkatan mutu sumber daya manusia, yang antara tain dicirikan oleh
tingginya tingkat pendidikan, merupakan kata kunci dalam pembangunan ekonomi dan
sekaligus merupakan agenda utama

86

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

III. HASIL
a. Pembahasan
Pembangunan nasional. Menurut Boediono (1996) keberhasilan dalam meningkatkan
mutu pendidikan akan berpengaruh terhadap empat hal, yaitu (l) meningkatkan
produktivitas kerja, (2) membentuk lapisan konsumen bagi barang dan jasa yang lebih
canggih, (3) membentuk produsen teknologi, dan (a) meningkatkan kemampuan
komunikasi. Keempat hal tersebut dapat menunjang proses pertumbuhan ekonomi
secara dinamis dan bertahap ke arah peningkatan kesejahteraan yang lebih tinggi.
Perubahan jaman yang begitu cepat dan arus globalisasi yang begitu besar
dampaknya, membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap konidisi masyarakat
secara umum, tidak terkecuali dengan Aparatur Sipil Negara. Sebagai pengayom dan
pelayan masyarakat yang dituntut tetap konsisten dalam menjalankan tugasnya, korps
ASN diharapkan mampu memiliki kompetensi dan keperibadian yang mumpuni. Hal
tersebut dikarenakan, selera dan tuntutan masyarakat yang semakin tinggi serta
harapan yang semakin besar menjadikan ASN harus mampu berinovasi dalam segala
hal. Upaya itu dilakukan untuk tetap menjaga kualitas pelayanan sekaligus
meningkatkan pelayanan serta kinerja individual maupun organisasi ke arah yang lebih
baik.
Seperti diketahui bahwa Reformasi Birokrasi adalah proses menata-ulang,
mengubah, memperbaiki, dan menyempurnakan birokrasi agar menjadi lebih efisien,
efektif dan produktif (BEEP). Tantangan dan tuntutatn birokrasi saat ini tidak lagi
sekedar menjalankan rutinitas, akan tetapi lebih jauh dari itu adalah upaya nyata dalam
melayani kebutuhan masyarakat sebagai user.
Pembangunan

nasional.

Menurut

Boediono

(1996)

keberhasilan

dalam

meningkatkan mutu pendidikan akan berpengaruh terhadap empat hal, yaitu (l)
meningkatkan produktivitas kerja, (2) membentuk lapisan konsumen bagi barang dan
jasa yang lebih canggih, (3) membentuk produsen teknologi, dan (a) meningkatkan
kemampuan komunikasi. Keempat hal tersebut dapat menunjang proses pertumbuhan
ekonomi secara dinamis dan bertahap ke arah peningkatan kesejahteraan yang lebih
tinggi.
Di luar sana, masih banyak K/L/D yang bertahan dengan kultur tradisional,
bergerak dalam rutinitas, dan tidak menempatkan masyarakat dan dinamikanya sebagai
konteks dimana organisasi pemerintah berada. Mereka perlu diprovokasi agar mau
berinovasi dan menempatkan diri dalam arena kompetisi global. Kita adalah bangsa

87

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

besar, oleh karenanya, keraguan, ketakutan, atau bahkan keengganan untuk


melakukan inovasi perlu dihilangkan.
Inovasi harus menjadi gerakan nasional. Pemerintah butuh melakukan continous
improvement agar masyarakat merasakan kehadiran negara dalam keseharian mereka.
Saat ini kita masuk dalam dunia yang semakin terbuka, dengan kompetisi yang amat
tinggi. Kita harus mampu memenangkan kompetisi itu. Karena itu, inovasi harus
diletakkan secara sinergi, kerjasama antara pusat, propinsi, kabupaten/kota, harus terus
ditingkatkan. Keberhasilan K/L/D dalam berinovasi perlu dipublikasi untuk mendorong
munculnya inovasi-inovasi lain, melalui replikasi maupun inspirasi perubahan.
Meskipun inovasi telah menjadi gerakan yang masif, namun peringkat inovasi
Indonesia pada tataran global masih berada pada level yang relatif rendah bahkan di
level ASEAN sekalipun. Padahal, akhir tahun ini telah dibuka Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) yang tidak dapat diprediksi dampaknya bagi masyarakat dan bangsa
Indonesia.
Satu perbedaan kecil yang menciptakan jurang perbedaan yang sangat lebar
antara negara maju dan negara berkembang adalah kemampuan berinovasi. Disaat
peradaban dunia bergerak dalam iklim perubahan yang begitu cepat, maka hanya
mereka yang mampu mengimbangi ritme perubahan sajalah yang dapat menempatkan
diri di puncak peradaban. Oleh karena itu, kita perlu memulai langkah membangun
kapasitas inovasi administrasi negara di lingkungan K/L/D sebagai respon terhadap
tuntutan perubahan.
Perkembangan inovasi saat ini telah menunjukkan arah yang positif. Melihat kondisi
yang ada, saya memiliki keyakinan bahwa inovasi akan tumbuh subur dan
menempatkan kita di jajaran terdepan dalam kompetisi, bersaing dengan negara-negara
di ASEAN ini.
Kreativitas dan inovasi individu atau masyarakat menghasilkan daya adaptasi yang
tinggi terhadap segala bentuk kebutuhan dan perubahan. Proses perubahan ini terjadi
secara berkesinambungan dan dalam tempo yang makin cepat. Dengan demikian
kemampuan adaptasi individu dan masyarakat harus berkembang lebih cepat. Dalam
proses tersebut terjadi mekanisme seleksi secara wajar dan alamiah. Individu atau
masyarakat yang berhasil melalui proses seleksi itu bukanlah individu yang tidak dapat
menyesuaikan diri terhadap perubahan melalui "learning proces,. proses kreasi
selanjutnya adalah daya inovasi. Yang terjadi disini bukan hanya menyesuaikan tetapi
kemampuan individu atau masyarakat memanipulasikan atau mengintervensi menurut
kepentingan dari individu atau masyarakat yang bersangkutan.

88

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

b.

Peranan Lembaga Diklat dalam Menumbuhkan Budaya Inovasi ASN


Keberadaan Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) merupakan bagian penting
dalam suatu institusi (pemerintah). Pada era yang penuh dengan nuansa kompetensi,
pemberdayaan sumber daya manusia dalam suatu institusi perlu untuk selalu
ditingkatkan dan dipertahankan kualitasnya, sehingga mampu melaksanakan tugas
secara profesional sebagaimana tuntutan masyarakat pada aparatur negara.
Profesionalisme sumber daya manusia suatu institusi juga sangat menentukan
keberhasilan organisasi tersebut dalam perwujudan pemerintahan yang baik dan
bersih.
Semua program diklat harus disusun berdasarkan hasil analisis kebutuhan,
rancang bangun program diklat yang mengacu pada standar kompetensi yang
dibutuhkan pengguna, penyelenggara diklat yang kompeten, dan ketersediaan sarana
dan teknologi diklat yang representatif dan mutakhir. Dalam rangka mewujudkan
upaya tersebut dibutuhkan komitmen serta komponen pendukung yang mampu
melahirkan sumber daya aparatur yang kompeten serta handal dibidangnya.
Paradigm lama yang lebih berorientasi kepada sukses penyelenggaraan dan
terserapnya anggaran harus di ubah menjadi berorientasi kepada peningkatan mutu
lulusan. Untuk mewujudkan peningkatan mutu kedua hal tadi, tidaklah mudah namun
bisa dilakukan. Lembaga diklat harus open minded terhadap masukan dan koreksi
serta tuntutan perubahan yang sifatnya membangun karena sejatinya perubahan
adalah suatu proses yang sistimatis dengan menerapkan pengetahuan, sarana dan
sumber daya yang diperlukan suatu organisasi dari kondisi saat ini (lama) menjadi
kondisi yang diinginkan (baru) menuju kearah kinerja yang lebih baik. Perubahan
bukanlah satu proses yang sederhana, melainkan sangat komplek karena menyangkut
struktur, proses, orang, pola pikir dan budaya kerja.
Perubahan dalam reformasi birokrasi mengharuskan adanya transparansi,
komunikasi dan keterlibatan semua pihak dalam proses perubahan reformasi
birokrasi. Perubahan tidak harus selalu berarti mengganti sama sekali kondisi lama,
akan tetapi juga dapat berbentuk terobosan baru, peningkatan pola lama, memberikan
nilai tambah yang lebih ekonomis, efisien atau melakukan modifikasi dengan hasil
yang lebih menguntungkan.
Untuk menjadi organisasi yang reformis, perubahan positif haruslah dilakukan di
semua bidang, termasuk di antaranya perubahan di bidang Sumber Daya Manusia
(SDM) sebagai salah satu komponen penting dalam terlaksananya reformasi birokrasi.
Memberikan pendidikan dan pelatihan (DIKLAT) bagi pegawai merupakan langkah

89

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

awal dan mendasar agar tahapan dalam proses perubahan kearah reformatif dipahami
sesuai dengan visi, misi, dan keinginan organisasi. Dan disinilah widyaiswara atau
para trainer memainkan peran yang strategis.
Orientasi dari sebuah pelatihan sejatinya adalah perubahan sikap, menurut teori
nilaiekspektansi (expectancyvalue theory) sikap akan terbentuk apabila ada rasa
percaya bahwa suatu proses perilaku akan membawa kepada suatu peristiwa atau hal
tertentu. Edward Chace Tolman dalam Saifuddin (2003) mengemukakan, kepercayaan
(belief) adalah ekspektasi yang selalu mendapat konfirmasi secara konsisten. Manusia
akan belajar untuk mengulang perilaku yang memiliki nilai positif.
Menurut teori ini bila seseorang harus memilih dan menentukan perilakunya ia akan
memilih alternatif yang mengandung utilitas (manfaat) subjektif tertinggi, yaitu yang
akan membawa kepada hasil yang paling menguntungkan. Dengan demikian menurut
teori ini sikap seseorang terhadap suatu akan terbentuk dari interaksi kumulatif antara
harapan

individu

akan

konsekuensi

perilaku

dan

penilaiannya

akan

hasil

perbuatannya.
Ada cara pandang baru atas pengembangan kompetensi pegawai dimana
pengembangan kompetensi adalah hak. Hak yang sejajar dengan hak-hak yang
lainnya yaitu gaji, cuti dan perlindungan. Artinya, pegawai ASN bisa menuntut untuk
mendapatkannya dan menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya. Hal ini
masuk akal karena pegawai harus

memadai kompetensinya

dalam memberikan

pelayanan publik. Pegawai dituntut mampu bekerja secara profesional, bebas dari
intervensi politik, serta bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Disinilah lembaga diklat mempunyai posisi dan peran yang penting meskipun
pendidikan dan pelatihan bukan satu-satunya cara. Ada metode-metode lain untuk
mengembangkan kompetensi pegawai. UU ASN mengakomodasi seminar, kursus,
dan penataran. Selain itu pengembangan kompetensi juga bisa dilakukan dengan
pertukaran PNS dengan pegawai swasta atau

praktik kerja di instansi lain

dan

pertukaran antara PNS dengan pegawai swasta dalam waktu paling lama satu tahun.
Cara yang terakhir ini didasari asumsi banyaknya inovasi yang dilakukan di
kalangan swasta. Manajemen publik juga banyak mengadopsi konsep-konsep
manajemen bisnis. Ambil contoh konsep New Public Management dimana pemerintah
mengadopsi model swasta dalam menyediakan barang-barang publik.
Wahana yang paling efektif untuk memenuhi kebutuhan tersebut ditinjau dari segi
pengembangan sumber daya manusia adalah melalui pendidikan dan latihan (Diklat).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, disebutkan bahwa diklat
adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka meningkatkan

90

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kemampuan Pegawai Negeri Sipil (Pasal 1 ayat 1). Selanjutnya dalam pasal 2
dijelaskan bahwa Diklat bertujuan untuk : a. meningkatkan pengetahuan, keahlian,
keterampilan, dan sikap untk dapat melaksanakan tugas jabatan secara profesional
dengan dilandasi kepribadian dan etika PNS sesuai dengan kebutuhan instansi; b.
menciptakan aparatur yang mampu berperan sebagai pembaharu dan perekat
persatuan dan kesatuan bangsa; c. memantapkan sikap dan semangat pengabdian
yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman, dan pemberdayaan masyarakat; d.
menciptakan kesamaan visi dan dinamika pola pikir dalam melaksanakan tugas
pemerintahan umum dan pembangunan demi terwujudnya kepemerintahan yang 13
baik (good governance).

IV.

DISKUSI
Menurut Siagian (1987) paling tidak ada tiga manfaat yang didapat melalui diklat:
1. Cakrawala pandangan yang makin luas yang memungkinkan seseorang untuk lebih
mampu memahami dan mengantisipasi perubahan dan perkembangan yang pasti
akan terjadi;
2. Peningkatan produktivitas yang pada gilirannya dapat meningkatkan penghasilan
seseorang sekaligus menambah kepuasan batin;
3. Kemungkinan promosi yang lebih besar sebagai penghargaan dan pengakuan
organisasi atas kemampuan kerja yang semakin meningkat sehingga kepada yang
bersangkutan dapat diberikan wewenang dan tanggung jawab yang lebih besar dan
lebih luas.

Boston Consulting Group. High Performance Organisations: The Secrets of their


success (2011) menyebutkan ada lima karatkter kinerja yang berkelanjutan sebagai
kondisi dimana sebuah organisasi telah berjalan baik dalam sisi inovasinya, yaitu:
1. Leadershipkoordinasi yg jelas antara top, middle, lower dan pegawai;
2. Designstruktur org yg ramping, fokus pada visi, misi dan tujuan org, peran dan
tanggung jawab yg jelas;
3. Peoplepengembangan pegawai sesuai talentanya;
4. Change managementkemampuan utk mengatur dan menjaga perubahan,
mencoba mengantisipasi segala peluang, tantangan dan masalah yg muncul;
5. Culture and engagementpembentukan mind set dan culture set yg mendukung
kinerja, pengembangan share value dan share beliefs.

91

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Selain lima karakter kinerja buruk, Insync Surveys juga menyebutkan tujuh
kebiasaan kinerja tinggi yaitu:
1.

Live an inspiring vision;

2.

Communicate clear strategies and goals;

3.

Develop your people;

4.

Go out of your way to recognise your people;

5.

Genuinely care for your people;

6.

Listen and adapt to your customers needs;

7.

Continually improve your systems.

Selama ini diklat dipengaruh tiga komponen yaitu peserta, penyelenggara, dan
Widyaiswara. Dengan diakomodasinya pertukaran PNS-pegawai swasta akan
menambah satu komponen diklat yaitu swasta. Perubahan ini tentu berpengaruh
terhadap berbagai aspek seperti anggaran, kurikulum, keluaran, manfaat diklat dan
sebagainya.
Selain perubahan metode diklat, kini kompotensi pegawai ASN menjadi syarat
utama seseorang diangkat dalam suatu jabatan. Artinya sebagai lembaga pemerintah
yang bertanggung jawab dalam pengembangan kompetensi pegawai, Lembaga diklat
bisa memainkan peran yang lebih besar. Terkait dengan itu lembaga diklat harus
mampu mewujudkan tiga kompetensi pegawai yang dipersyaratkan dalam UU ASN
yaitu teknis, manajerial dan sosial kultural.
Indikator tiap kompetensi secara jelas dijabarkan dalam UU ASN. Kompetensi
teknis, misalnya,

diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis

fungsional dan pengalaman kerja secara teknis. Sedangkan kompetensi manajerial


diukur dari tingkat pendidikan, pelatihan struktural atau manajemen dan pengalaman
kepemimpinan. Terakhir, kompetensi sosial kultural diukur dari pengalaman kerja
berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya sehingga
memiliki wawasan kebangsaan.
Dari tiga kompetensi yang disyaratkan dalam UU ASN, kompetensi sosial kultural
adalah hal baru. Selama ini diklat lebih cenderung menonjolkan dua ranah yaitu
knowledge

dan

skill.

Ranah

sikap-perilaku

belum

menjadi

indikator

utama

keberhasilan proses pembelajaran. Oleh karena itu kompetensi sosial kultural sebagai
syarat pengangkatan dalam jabatan bagi pegawai ASN akan berpengaruh terhadap
proses pengembangan kompetensi pegawai. Sebaiknya Lembaga diklat mulai
mengembangkan sebuah model diklat yang lebih menonjolkan aspek sosial kultural
dalam kurikulumnya. Saat diklat kepemimpinan pembaharuan sudah mengadopsinya.

92

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pengembangan

kompetensi

sosial-kultural

dilatarbelakangi

kebhinekaan

Indonesia. Kompetensi ini penting karena pegawai bertugas sebagai pelaksana


kebijakan dan pelayanan masyarakat sekaligus perekat persatuan dan kesatuan
NKRI. Pengetahuan dan penanaman nilai-nilai keragaman sosial-budaya Indonesia
menjadi hal yang perlu ditanamkan kepada pegawai saat mengikuti pendidikan dan
pelatihan. Tujuannya agar bangsa Indonesia tetap kokoh berdiri dengan prinsip
Bhineka Tunggal Ika.
Melihat komitmen dan kesadaran yang mulai tumbuh dalam diri ASN saat ini dalam
berinovasi maka kita optimis bahwa perubahan yang sudah dan sedang berlangsung
dalam birokrasi melalui inovasi akan semakin memperkuat sistem birokrasi saat ini
dan yang akan datang menuju birokrasi kelas dunia. Marilah kita jaga dan dukung
keberlangsungan Inovasi sebagai bukti terbangunnya budaya inovasi di Indonesia.
V. KESIMPULAN
Arah

baru

atau

model

reformasi

birokrasi

perlu

dirancang

untuk

mendukung demokratisasi dan terbentuknya clean and good governance yaitu


tumbuhnya pemerintahan yang rasional, melakukan transparansi dalam berbagai
urusan publik, memiliki sikap kompetisi antar lembaga dalam memberikan
pelayanan,

mendorong

tegaknya

hukum

dan

bersedia memberikan

pertanggungjawaban terhadap publik (public accountibility) secara teratur.


Tujuan reformasi birokrasi: Memperbaiki kinerja birokrasi, Terciptanya good
governance, yaitu tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa, Pemerintah
yang bersih (clean government), bebas KKN, meningkatkan kualitas pelayanan
terhadap masyarakat.
Dari apa yang diuraikan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
1.

Menuju organisasi berkinerja tinggi harus melalui inovasi;

2.

Inovasi membutuhkan dukungan semua pihak (top, middle, lower and people);

3.

Inovasi bisa dikembangkan, dilaksanakan, diimplementasikan apabila ada


budaya inovasi yg mencakup adanya share value, beliefs, harapan dan tujuan
organisasi di semua level;

4.

Untuk berinovasi, berkembang, dan berubah modal utamanya adalah


willingness;

5.

Keberadan lembaga kediklatan sangat penting dalam rangka pengembangan


SDM.

93

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

VI. DAFTAR PUSTAKA

Artikel
Pratikno. (2015) Sambutan Inagara. Jakarta : Lembaga Administrasi Negara.

Website
Gunawan Hendar. (2015) Peran Pendidikan dan Pelatihan dalam Membentuk Agen
Perubahan

di

BMKG.

Diundur

dari

http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Publikasi/Artikel pada tanggal 4 Maret 2015.


Ramelan Rahardi. (1997) Menumbuhkan Budaya Kreatif dan Inovatif dalam Rangka
Pengembangan

SDM

Menghadapi

Tuntutan

Kebutuhan

Era

Globalisasi

dan

Pembangunan Industri Pasca 2000. Diunduh dari : http://perpustakaan.bappenas.go.id


pada tanggal 4 Maret 2015.
Taufiqurrohman

S.

(2015)

Diklat

dan

Budaya

Kerja

PNS.

Diunduh

dari

http://sumsel.kemenag.go.id pada tanggal 5 Maret 2015.


Nur Basuki. (2015) UU ASN : Tantangan dan Peluang Diklat. Diunduh dari
http://www.diklatdki.ac.id pada tanggal 5 Maret 2015.

94

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

BEGINI CARA YANG FAIR DALAM ANALISIS LAPORAN KEUANGAN


Muhtar Yahya, Ak., CA., CPSAK., CIFRS., CMFT., PIA., MSF
Widyaiswara Madya Pusdiklat Keuangan Umum
Jl. Pancoran Timur II No. 1, Jakarta Selatan
(Diterima 11 Maret; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstract
Financial Statement is the only one media of financial information of entities during or at certain
period. Often, in this financial statement, entities report the information about revenue,
expenses and other information that are relevant to the decision making. The information must
be based on real data during the period. The presentation of this information is also
accommodate some assumption and estimation for doing so that is called professional
judgments. So the presentation of financial statement, includes The Statement of Financial
Position, Profit or Loss Statement and Cash Flow Statement must be supported by Notes to
Financial Statement that represent these assumptions.
Furthermore, before delivering to decion makers, the financial statement also should be audited
by an independent auditor. The auditor should give an opinion about the financial statement that
indicate the fairness of this presentation to the standards and common pratices. The decision
maker will use the financial statement for making some decisions by a different matter. In one
side, some analyst use an only simple or very simple way for analyzing this financial statement
and then, they make some decisions. But, the other ones use a complex or a very complex
model of analysis.
In the actual analysis, the analysis will consider liquidity, solvability, profitability and activity
dimension of analysis. There is no single formula for analysis. Nobody may judgment right or
wrong about others model. The most important thing is the reason and the background of
formula or the way of thinking behind the formula.
Keyword:
Financial Statement, Liquidity, Solvability, Profitability, Activity, Analysis
Correspondence author: Muhtar Yahya, Email: muhtaryahya@gmail.com Telp: 0856.9468.3054

95

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pendahuluan
Dalam mempertanggungjawabkan amanah uang yang diberikan oleh pemegang saham atau
pemilik entitas (perusahaan) maka manajemen harus membuat laporan keuangan. Dengan
laporan keuangan inilah, pihak manajemen memberikan informasi tentang berbagai macam
kondisi yang terjadi pada entitas tersebut. Hal yang dilaporkan menyangkut kondisi keuangan
entitas pada suatu saat tertentu, tanggal tertentu bulan tertentu dan tahun tertentu pula. Juga
dilaporkan kinerja keuangan entitas tersebut selama periode tertentu.
Biasanya pada laporan keuangan, entitas menyajikan informasi tentang jumlah aset, liabilitas
dan ekuitas yang dimiliki entitas atau perusahaan tersebut, dalam Laporan Posisi Keuangan
atau Neraca. Sedangkan informasi pendapatan dan beban dilaporkan dalam Laporan Laba
Rugi. Untuk data penerimaan dan pengeluaran kas akan disajikan dalam Laporan Arus Kas,
yang mencakup berbagai kegiatan dari jenis operasional, pendanaan dan investasi.
Penyajian laporan keuangan didasarkan kepada data dan fakta yang terjadi selama periode
berjalan. Pada akhir tahun, sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan prinsip akrual maka penyaji
laporan keuangan akan melakukan berbagai pertimbangan profesional berupa asumsi dan
estimasi. Juga dilakukan pemilihan metode yang dipergunakan dalam membukukan suatu
kejadian atau transaksi. Oleh karena itu semua asumsi, pertimbangan profesional atau pun
metode yang dipergunakan dalam penyajian laporan keuangan akan sangat mempengaruhi
laporan keuangan yang dihasilkan. Sebagai konsekuensinya maka semua asumsi, estimasi dan
metode yang dipakai juga harus dicantumkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.
Sebagai suatu hasil final maka pihak manajemen menghasilkan satu paket Laporan Keuangan
yang siap untuk didistribusikan kepada para pengguna laporan keuangan. Karena laporan
keuangan tersebut akan dipergunakan oleh berbagai pihak maka keakuratan penyajian laporan
keuangan seharusnya diperiksa terlebih dahulu oleh Kantor Akuntan Publik, sebagai pihak
independen. Pihak independen seharusnya memberikan opini atas penyajian laporan keuangan
tersebut. Harapannya adalah para pengguna laporan keuangan, insyaAlloh, menjadi tidak
terjebak dalam mengambil keputusan yang strategis sehubungan dengan entitas tersebut.

Dimensi Kinerja
Subramanyam (2013) menjelaskan bahwa dimensi kinerja, adalah sisi kinerja yang menjadi
perhatian analis dalam menentukan bagaimana capaian kinerja entitas tersebut. Berbagai

96

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

macam dimensi yang sering dibahas oleh para analis, diantaranya adalah likuiditas, solvabilitas,
profitabilitas dan aktivitas.

Dimensi 1 - Likuiditas
Likuiditas didefinisikan sebagai kemampuan suatu perusahaan untuk

memenuhi semua

liabilitas jangka pendek yang akan segera jatuh tempo. Likuiditas sesungguhnya berkaitan erat
dengan efisiensi pemanfaatan aset, dimana ketidakefisienan dalam pemanfaatan aset dapat
menyebabkan masalah likuditas. Likuiditas dapat dimaknai sekedar sebagai perbandingan
antara jumlah aset lancar yang dimiliki dengan jumlah hutang jangka pendek yang harus
dipenuhi. Namun dipihak lain, juga bermaknakan sebagai indikator berapa lama sebuah
persediaan sudah berada di toko perusahaan. Juga bisa menjadi indikator berapa lama piutang
dapat ditagih oleh perusahaan. Walaupun untuk hal yang kedua ini, para analis lebih sering
mengklasifikasikan kepada kegiatan aktivitas perusahaan.
Sejalan dengan pengertian likuiditas dan ukuran-ukurannya tersebut, maka agar dapat
menafsirkan rasio lancar secara lebih baik, juga perlu menganalisis jenis usaha, komponen dan
kualitas dari aset lancar maupun liabilitas jangka pendeknya. Perusahaan yang tidak
memberikan kredit (sebagian besar penjualan tunai) dan tidak memiliki persediaan, misalnya
perusahaan jasa transportasi, mungkin sekali beroperasi dengan rasio lancar kurang dari 1, jika
pendapatannya menghasilkan kas yang cukup untuk melunasi liabilitas lancarnya tepat waktu.
Sebaliknya, perusahaan yang menjual furnitur berharga tinggi kemungkinan memerlukan rasio
lancar lebih tinggi. Tentunya jenis usaha menentukan daur normal suatu usaha, yakni berapa
lama kas yang diinvestasikan ke dalam aset lancar kembali menjadi kas.

Dimensi 2 Solvabilitas
Solvabilitas didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk melunasi liabilitas jangka
panjang. Dengan demikian solvabilitas mengacu kepada kesinambungan dan kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan aset yang dapat dipergunakan untuk melunasi liabilitas jangka
panjang. Semua kegiatan bisnis suatu perusahaan mempengaruhi solvabilitas perusahaan,
namun salah satu komponen penting analisis solvabilitas adalah komposisi modal atau struktur
modal perusahaan. Struktur modal terdiri dari utang jangka panjang dan modal (ekuitas).
Dengan demikian analisis struktur modal merupakan kunci dalam mengevaluasi solvabilitas.

97

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Seperti halnya dimensi likuditas, maka pada dimensi solvabilitas ini analis juga harus
memperhatikan berbagai sisi lain, diantaranya adalah komposisi aset jangka pendek dan jangka
panjang. Termasuk komposisi risiko dari liabilitas jangka panjang tersebut. Indikator
kemampuan ini mencakup rasio liabilitas dan modal, hubungan antara aset dan liabilitas dan
relasi antara modal dan aset perusahaan serta kapasitas perusahaan menghasilkan laba yang
cukup untuk membayar beban bunga.

Dimensi 3 Profitabilitas
Profitabilitas didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk mendapatkan laba usaha.
Para analis tertarik untuk mengevaluasi kemampuan perusahaan dalam memanfaatkan aset
secara efisien untuk menghasilkan laba. Profitabilitas

mengacu kepada kemampuan

perusahaan untuk menghasilkan imbalan yang layak atas modal yang diinvestasikan. Imbalan
ini dievaluasi dengan menganalisis laba dihubungkan dengan sumber pendanaan.
Dalam anlisis ini, juga tidak boleh dilupakan untuk mengevaluasi lebih jauh tentang komposisi
dari laba yang dihasilkan. Pengguna informasi keuangan harus paham bahwa laba terakhir
yang dihasilkan perusahaan bisa berasal dari beberapa sumber. Tentu berbeda, jika laba yang
dihasilkan tersebut berasal dari kegiatan utama dan dari kegiatan pendukung. Laba rugi terakhir
(bottom line) harus dievulasi dari mana sumbernya. Hal tersebut berarti anlis harus peduli
dengan kualitas sumber dari pendapatan maupun beban yang ada dalam perusahaan.

Dimensi 4 Aktivitas
Aktivitas didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan untuk mengunakan aset yang dimiliki
entitas dalam rangka menghasilkan pendapatan dan laba. Biasanya para analis ingin menjawab
pertanyaan tentang seberapa efisien kebijakan manajemen dalam melakukan operasionalnya,
seperti seberapa tepat kebijakan pemberian kredit penjualan. Juga sejauh mana keakuratan
kebijakan pengadaan barang dagangan maupun kontrak pembayaran dengan para pemasok.
Sebenarnya pada dimensi ini, para analis tertarik untuk mengevaluasi kemampuan perusahaan
dalam memanfaatkan aset secara efisien untuk menghasilkan laba.
Seperti halnya likuditas maka analis juga perlu mengevaluasi jenis usaha, komponen dan
kualitas dari aset lancar terhadap penjualan maupun harga pokoknya. Perusahaan yang tidak
memberikan kredit (sebagian besar penjualan tunai) dan tidak memiliki persediaan, misalnya

98

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

perusahaan jasa transportasi tentu akan sangat berbeda dengan perusahaan yang operasional
utamanya adalah berdagang. Oleh karena itu dalam pembuatan kesimpulan haruslah
memperhatikan sudut pandang tersebut.

Metode Analisis
Sudana (2011) menjelaskan bahwa rasio merupakan alat analisis keuangan yang paling
popular. Rasio ini digunakan secara luas karena memberikan petunjuk dan gejala mengenai
kondisi yang melatarbelakangi. Jika diinterpretasikan secara tepat, rasio bisa mengarahkan
kepada sisi yang memerlukan penelaahan lebih lanjut. Rasio dapat membantu mengungkapkan
kondisi dan kecenderungan yang sulit ditemukan dalam analisis sederhana.

Analis rasio

merupakan suatu hubungan matematis antara beberapa sisi. Sangat banyak jenis analisis rasio
yang dipakai oleh para analis, semuanya sangat tergantung kepada pertimbangan analis
bersangkutan. Pilihan jenis rasio dalam tulisan ini adalah sekedar contoh sehingga tidak terlalu
banyak yang dibahas.
Rasio dapat dinyatakan dalam bentuk persen atau proporsi. Penghitungan rasio ini cukup
sederhana, namun penafsirannya memerlukan penjelasan yang tidak mudah. Supaya lebih
mengena kepada tujuan analisis maka rasio harus mengacau kepada suatu hubungan yang
secara teroitis relevan. Sebagai tambahan bahwa tidak ada kata sepakat dari para analis untuk
membuat batasan yang baku tentang berapa nilai yang dianggap baik. Yang menjadi poin
penting adalah bahwa batasan baik atau tidaknya suatu keadaan adalah sesuatu yang harus
disepakati dulu oleh analis.

Dimensi Likuiditas
1. Rasio Lancar (Current Ratio)
Rumus yang dipakai adalah:
=

Satuan rasio ini bisa persen atau kali


Makna rasio lancar tersebut adalah seberapa besar kemampuan untuk membayar hutang
jangka pendeknya. Jika semakin tinggi angka rasio lancar maka semakin tinggi pula
kemampuan perusahaan untuk membayar hutang jangka pendeknya.

99

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

2. Rasio Cepat (Acid Test Ratio)


Rumus yang dipakai adalah:
=

Satuan rasio ini bisa persen atau kali


Makna rasio cepat tersebut adalah seberapa besar kemampuan untuk membayar hutang
jangka pendeknya, dengan tanpa memperhitungkan aset yang relatif lama untuk dicairkan
menjadi uang. Seperti misalnya persediaan, yang sulit diprediksi kapan akan laku
terjualnya, maka akan diabaikan dalam analisis ini. Jika semakin tinggi angka rasio cepat
maka semakin tinggi pula kemampuan perusahaan untuk membayar hutang jangka
pendeknya.

Dimensi Solvabilitas
1. Rasio Liabilitas dibandingkan Ekuitas (Debt to Equity Ratio)
Rumus yang dipakai adalah:
=

Satuan rasio ini bisa persen atau kali


Makna rasio hutang liabilitas dibandingkan ekuitas adalah seberapa besar porsi pengaruh
pihak eksternal terhadap pihak internal. Jika semakin tinggi angka rasio ini maka semakin
tinggi pula ancaman pihak luar kepada pihak internal.

2. Rasio Liabilitas dibandingkan Aset (Debt to Asset Ratio)


Rumus yang dipakai adalah:
=
Satuan rasio ini bisa persen atau kali

100

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Makna rasio hutang liabilitas dibandingkan ekuitas adalah seberapa besar porsi pengaruh
pihak eksternal terhadap total aset yang dimiliki perusahaan. Jika semakin tinggi angka
rasio ini maka semakin tinggi pula dominasi pihak luar terhadap eksistensi perusahaan.

Dimensi Profitabilitas
1. Rasio Laba Bersih terhadap Pendapatan (Return on Sales)
Rumus yang dipakai adalah:
=

Satuan rasio ini biasanya dalam persen.


Makna rasio laba bersih terhadap pendapatan adalah seberapa besar hasil yang dihasilkan
perusahaan terhadap pendapatan kotornya. Jika semakin tinggi angka rasio ini maka
semakin bagus kinerja perusahaan karena penjualannya efisien.

2. Rasio Laba Bersih terhadap Total Aset (Return on Aset)


Rumus yang dipakai adalah:
=

Satuan rasio ini biasanya dalam persen.


Makna rasio laba bersih terhadap total aset adalah seberapa besar hasil yang dihasilkan
perusahaan terhadap total aset yang dipakai untuk melakukan usaha. Jika semakin tinggi
angka rasio ini maka semakin bagus kinerja perusahaan karena pemakaian aset
perusahaan efisien.

Dimensi Aktivitas
1. Rasio Perputaran Persediaan (Inventory Turn Over)
Rumus yang dipakai adalah:
=
Satuan rasio ini biasanya dalam kali.

101

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Makna rasio perputaran persediaan adalah seberapa besar persediaan tersebut berputar
menghasilkan harga pokok penjualan. Dengan rasio in akan diketahui seberapa laris barang
dagangan yang dimiliki perusahaan. Jika semakin tinggi angka rasio ini maka semakin
bagus kinerja perusahaan karena barang dagangan yang ada sangat diminati oleh
konsumen.
2. Rasio Perputaran Piutang (Account Receivable Turn Over)
Rumus yang dipakai adalah:
=

Satuan rasio ini biasanya dalam kali.


Makna rasio perputaran piutang adalah seberapa besar piutang

tersebut berputar

menghasilkan total penjualan. Dengan rasio in akan diketahui seberapa cepat piutang akan
tertagih menjadi uang. Jika semakin tinggi angka rasio ini maka semakin bagus kinerja
perusahaan karena piutang bisa segera tertagih menjadi uang.

Apa kata para analis laporan keuangan?


Analisis laporan keuangan dengan menggunakan setiap dimensi seperti yang diuraikan di atas
adalah cocok, sejauh relevan dengan kebijakan yang akan diambil. Namun demikian jika
analisis tersebut dilakukan secara partial dari dimensi yang ada maka simpulan yang diambil
menjadi sangat beraneka ragam tergantung selera analisnya. Oleh karena itu para analis
kemudian mencoba membuat rumusan yang dianggapnya cocok untuk melakukan analisis
secara komprehensif. Analis akan mempergunakan berbagai dimensi seperti diuraikan di
bagian atas tulisan ini, dengan ketentuan bahwa tidak ada keharusan untuk memilih angka
rasio tertentu.
Prihadi (2013) menyatakan bahwa salah satu contoh dari analis tersebut adalah Altman, yang
telah menelorkan sebuah rumus analisi yang sangat populer. Pada tahun 1968, Edward Altman
memberikan formula yang berfungsi untuk memprediksi potensi kebangkrutan suatu
perusahaan. Altman mempergunakan angka-angka di dalam laporan keuangan dan
merepresentasikannya dalam suatu angka, yaitu Z-Score yang dapat menjadi acuan untuk
menentukan apakah suatu perusahaan berpotensi untuk bangkrut atau tidak. Output tunggal ini

102

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

diharapakan dapat membantu memecahkan kebuntuan jika menganalisis berbagai rasio secara
parsial yang terkadang penafsirannya saling bertentangan.
Formula untuk mendapatkan Altman Z-Score adalah sebagai berikut:
Z-Score = 1.2 A + 1.4 B + 3.3 C + 0.6 D + 0.999 E

Keterangan:
=

Setelah dilakukan perhitungan maka score Alltman tersebut kemudian akan dianalisis dan
disimpulkan dengan menggunakan ketentuan berikut ini:
Z-Score > 3,00 Berdasarkan laporan keuangan, perusahaan dianggap aman
2,70 Z-Score < 2,99 Terdapat kondisi yang membutuhkan perhatian khusus
1,80 Z-Score < 2,70 Mungkin bangkrut dalam 2 tahun mendatang
Z < 1,80 Potensi bangkrut sangat besar
Penjelasan tentang alasan penentuan faktor yang akan dianalisis dan batasan score untuk
pengambilan keputusan adalah mutlak merupakan pengolahan data yang disimpan oleh
Edward Altman. Namun demikian semua unsur yang dikemukan oleh Altman tersebut tidak
keluar dari angka yang ada dalam laporan keuangan. Dimensi yang dibahas pun juga berkisar
pada 4 dimensi seperti yang telah diuraikan dalam bagian di atas dari tulisan ini.
Sehubungan dengan rumus analisis ini, Prihadi (2013) menyatakan bahwa Z Score Altman
merupakan model yang paling cocok digunakan di Indonesia, mengingat sampelnya emerging
market dengan rasio yang tidak membutuhkan market value of equity. Pendapat ini mungkin

103

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

saja benar, sesuai dengan analisis yang bersangkutan. Namun beliau tidak juga memberikan
penjelasan tentang alasan pemilihan faktor dan penentuan angka tersebut. Oleh karena itu
penjelasan mengenai filosofi bagaimana rumus tersebut muncul adalah merupakan bagian
yang tidak bisa dilupakan.

Cara Analisis Yang Fair atas Laporan Keuangan

Selanjutnya jika apa yang dilakukan oleh Altman tersebut kemudian dijadikan acuan oleh para
analis dalam menentukan layak tidaknya suatu proses analisis, maka dapat ditarik sebuah
prosedur dalam membuat analisis. Rangkaian prosedur inilah yang dalam tulisan ini dianggap
sebagai urutan paling logis dalam pelaksanaan analisis. Kondisi logis diharapkan menjadi
sesuatu yang fair dalam melakukan penilaian atas suatu laporan keuangan. Prosedur tersebut
adalah:
1. Penjelasan tentang tujuan analisis
Dalam contoh tersebut, Altman membuat sebuah rumus dalam rangka mendapatkan
masukan atau indicator apakah suatu perusahaan terancam bangkrut atau tidak. Rumus
yang dibuat tersebut mungkin tidak cocok jika diterapkan kepada tujuan lain seperti
penentuan apakah perusahaan tersebut akan mampu membayar dividen atau tidak,
penentuan apakah harga saham perusahaan akan naik atau turun. Tujuan analisis menjadi
penentu dari proses selanjutnya.
2. Penentuan faktor yang dipertimbangkan
Tujuan analisis adalah acuan dalam penentuan faktor yang akan dipilih. Dalam rumus
tersebut Altman memilih lima unsur A, B, C, D dan E sebagai faktor atau variable yang akan
dijadikan pertimbangan. Pemilihan unsur tersebut didasarkan kepada dasar teori dan
asumsi yang diyakini oleh analis. Lebih lanjut, bahwa penentuan faktor tersebut adalah hak
prerogratif analis yang akan menggunakan rumus tersebut sebagai alat pengambilan
keputusan. Apakah penentuan tersebut masuk akal dan logis atau tidak, akan ditentukan
dalam komentar analis berikutnya. Oleh karena itu mungkin saja nanti ada analis yang
sependapat atau bahkan menentangnya.
3. Penentuan rumus umum

104

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Jika Altman memilih lima faktor yaitu A, B, C, D dan E sebagai hal yang menjadi
pertimbangan maka kemudian timbul pertanyaan lanjutan, bagaimana rumus akan didapat.
Sebagian ada yang berpendapat, dijumlahkan saja semua unsur tersebut, yang lain
berpendapat, dirata-rata saja, atau bahkan mungkin ada yang berpendapat agar dijumlah
tapi dibobot dulu. Semua pola dalam pembuatan rumus tersebut sangat ditentukan oleh
latar belakang analis yang membuatnya. Pembobotan yang dibuat oleh Altman tersebut
kemungkinan diperoleh dari pengolahan data mentah yang ada. Caranya, mungkin dengan
regresi sederhana, regresi berganda atau mungkin dengan pengolahan yang lain.
4. Penentuan kriteria simpulan
Setelah rumus diperoleh dan ditetapkan maka analis masih dituntut untuk memberikan
makna dari rumus tersebut. Angka terakhir dari rumus tersebut harus dijelaskan sehingga
artinya menjadi sebuah indicator atas kondisi tertentu. Dalam rumus Altman tersebut,
kriteria diungkapkan dalam batasan score angka kebangkrutan dari perusahaan yang
dianalis. Mengapa angka yang ditentukan adalah 1,8 dan seterusnya adalah hasil dari
pengolahan data yang ada. Biasanya analis merahasiakan dari mana angka tersebut
muncul. Akan tetapi sebagai konsep dasar yang perlu diyakini adalah bahwa kriteria
tersebut harus dibuat sebelum dilakukannya analisis atas laporan keuangan tersebut.
Tujuannya agar analisis dapat dilakukan secara obyektif dan tidak bias yang hanya
mengikuti selera dari analis bersangkutan.
5. Pelaksanaan analisis
Analisis laporan keuangan merupakan suatu proses analisis yang mendasarkan kepada
informasi yang ada di laporan keuangan. Sangat disarankan bahwa semua dalam laporan
keuangan yang dianalisis adalah angka yang wajar sesuai dengan prinsip yang berlaku.
Tanpa adanya keakuratan angka tersebut maka secanggih apapun rumus yang telah dibuat
maka rumus tersebut tidak akan menghasilkan simpulan yang akurat. Pelaksanaan analisis
selanjutnya adalah mengambil data dan informasi yang diperlukan untuk kemudian
dimasukkan dalam rumus yang ada. Setelah diperoleh hasil akhir maka angka tersebut
kemudian dibandingkan dengan kriteria yang sudah ditentukan di awal tadi. Hasil
perbandingan itu lah yang menjadi simpulan analisis untuk kemudian bisa dipergunakan
untuk pengambilan keputusan.

105

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Simpulan
Laporan keuangan adalah satu-satunya jendela informasi yang menyajikan berbagai informasi
keuangan dari sebuah entitas. Pengguna laporan keuangan kadang-kadang adalah orang
eksternal dari entitas tersebut yang sama sekali tidak ikut terlibat dalam penyajian laporan
keuangan. Sementara itu penyajian laporan keuangan sangat tergantung kepada berbagai
asumsi dan metode yang dipakai oleh penyaji laporan keuangan.
Dalam sebuah laporan keuangan yang lengkap, sebuah entitas hendaknya menyajikan laporan
keuangan yang terdiri dari Laporan Posisi Keuangan, Laporan Laba Rugi dan Laporan Arus
Kas, sebagai ikhtisar yang mewakili seluruh transaksi keuangan. Tentunya akan menjadi
lengkap dengan ditambahkannya Catatan Atas Laporan Keuangan (CALK) yang memberikan
penjelasan tentang semua hal dibalik penyajian laporan keuangan tersebut. Akan menjadi lebih
lengkap lagi, jika penyajian laporan keuangan tersebut kemudian diaudit (diperiksa) oleh pihak
yang independen.
Selanjutnya laporan keuangan yang sudah wajar tersebut digunakan untuk pengambilan
keputusan. Berbagai metode dilakukan untuk melakukan analisis laporan keuangan. Ada yang
sangat simpel hanya melibatkan satu dua unsur, ada pula yang lebih lengkap dengan
melibatkan lebih banyak unsur. Logika analisis yang wajar mempunyai langkah berikut
penjelasan tentang tujuan analisis, penentuan faktor yang dipertimbangkan, penentuan rumus
umum, penentuan kriteria simpulan, pelaksanaan analisis. Tidak ada satu pun, analisis yang
mampu mewakili semua kepentingan. Semua analisis adalah benar, sesuai dengan keperluan
dari analis yang akan mengambil keputusan. Inilah yang namanya fair dalam melakukan
analisis laporan keuangan.

Daftar Pustaka
Dewan Standar Akuntansi Keuangan. (2013). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan, Ikatan
Akuntan Indonesia. Jakarta. IAI Pusat.
Subramanyam dan John J. Wild. (2013). Analisis Laporan Keuangan. Edisi 10. Jakarta:
Salemba Empat.
Sudana, I Made. (2011). Manajemen Keuangan Perusahaan Teori & Praktik. Jakarta: Erlangga.
Toto Prihadi. (2013). Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: Pusat Pengembangan Manajemen.

106

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

PENYIAPAN SDM KEPENDUDUKAN INDONESIA DI ERA MASYARAKAT


EKONOMI ASEAN (MEA) MELALUI REVOLUSI DIKLAT
Oleh: Anindita Dyah Sekarpuri, S.Psi, MSR
Widyaiswara Ahli Pertama Balai Diklat KKB Bogor
Jl. Kesehatan No. 3 Bogor Jawa Barat 16161
(Diterima 14 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstract:
ASEAN Free Trade era, which had begun in 2015, is increasingly focused population of
Indonesia as a central point in development (people centered development) built into the
concept of sustainable development as it is mandated by the state constitution on amendment
2 1945 Article 28h Paragraph ( 1) as well as Law No. 52 of 2009 on Population Development
and Family Development. On the other hand, fact due to the high level of unemployment in
Indonesia according to the BPS Indonesia productive population status work only amounted
109.67 million. While unemployed in 2011 with the highest educational background is High
School (Indonesian Central Bureau of Statistics/BPS, 2011). The low quality of Indonesian
which is reflected from the Human Development Index (HDI) is a matter that needs to be a
shared concern for the absence of an increase in the level of education, awareness of the
importance of health and the degree of Indonesian economic community. It will be very difficult
for the Indonesian human resources to be able to survive in the ASEAN free market
competition. According to the results of population projection by BPS for the year 2014-2025,
it is projected that the productive age would quickly become unmanageable, especially the
younger group (15-49 years) coupled with the mobility of labor between countries makes the
challenge of working harder. Therefore, through this paper will set out the strategy for
population policy maker in preparing human resources through education and training
revolution primarily on the implementation of development policies pertaining to the population
to the community, which will fully sustain the nation's progress and prosperity to the future
through continuous population education as a long-term investment.
Keywords: human resources, population, HDI, sustainable development, ASEAN Free Trade,
training revolution
Corresponding author: Anindita, E-mail: anindita@bkkbn.go.id, Tel/Fax.: (0251) 8333057 / (0251)
8384851

107

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pendahuluan
Era Pasar Bebas ASEAN yang telah dimulai pada akhir tahun 2015 ini semakin menitikberatkan
penduduk

Indonesia

development) yang

sebagai

dibangun

titik

sentral

dalam

pembangunan (people

dalam

konsep

pembangunan

centered

berkelanjutan (sustainable

development) sebagaimana amanat konstitusi negara pada amandemen ke-2 UUD 1945 Pasal
28h Ayat (1) serta Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga. Disisi lain, pada kenyataannya karena dengan tingginya tingkat
pengangguran di Indonesia menurut data BPS penduduk usia produktif Indonesia yang berstatus
bekerja hanya sebesar 109,67 juta. Sedangkan penganggur pada tahun 2011 dengan latar
belakang pendidikan tertinggi adalah SMA (BPS, 2011).

Kondisi ini menyebabkan tingginya

beban ketergantungan yang harus dipertimbangkan oleh Pemerintah Indonesia dalam


menentukan kebijakan pengembangan program ke depan. Khususnya dalam program
peningkatan kualitas kehidupan manusia yang tergambar melalui Indeks Pembangunan Manusia
(IPM).
Data Sensus Penduduk tahun 2010 menunjukkan masih banyaknya penduduk Indonesia yang
dianggap tidak berkontribusi secara ekonomi dengan persentase terbesar dalam kategori
mengurus rumah tangga (BPS, 2014). Selain makin bertambahnya jumlah penduduk yang diukur
melalui Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) dan angka fertilitas total/Total Fertility Rate (TFR)
sebagai ukuran besarnya pertambahan penduduk karena kelahiran juga perlu adanya kepedulian
akan makin banyaknya isu kerusakan lingkungan karena ulah manusia.
Saat ini, Indonesia menduduki peringkat keempat sebagai negara dengan penduduk terbanyak
di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Badan PBB bidang kependudukan juga telah
memprediksi bahwa Indonesia

akan

masuk

ke dalam

lima negara

penyumbang

pertambahan penduduk terbesar dunia sampai tahun 2050 setelah India, Pakistan, Brazil,
dan Nigeria. Kondisi kehidupan masyarakat di kota-kota besar di Indonesia sebenarnya tidak
jauh berbeda dengan banyak negara berkembang lain seperti India. Di Jakarta dan kota-kota
besar lainnya, setiap hari kita bisa menyaksikan kesenjangan sosial, merasakan kemacetan
yang luar biasa karena jumlah kendaraan tidak sebanding dengan ruas jalan yang tersedia
dan kriminalitas semakin

meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pengangguran.

Hal ini menjadikan sebuah pekerjaan besar bagi pemerintah dalam menyiapkan SDM

108

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kependudukan yang bisa menanggulangi mega tren persoalan kependudukan Indonesia.


Tulisan ini mencoba mendeskripsikan hasil kajian

mengenai penyiapan SDM Kependudukan

melalui revolusi Diklat kependudukan yang disebabkan adanya keprihatinan akan rendahnya
kualitas manusia Indonesia yang tergambar dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan
suatu hal yang perlu menjadi kepedulian bersama karena tanpa adanya peningkatan tingkat
pendidikan, kesadaran pentingnya kesehatan dan derajat ekonomi masyarakat Indonesia maka
akan sangat sulit bagi SDM Indonesia untuk dapat bertahan dalam persaingan pasar bebas
ASEAN. Sesuai hasil proyeksi penduduk oleh BPS untuk tahun 2014-2025, maka diproyeksikan
bahwa usia produktif akan membludak terutama kelompok muda (15-49 tahun) ditambah dengan
mobilitas tenaga kerja antar negara membuat tantangan kerja semakin berat.
Oleh karena itu melalui tulisan ini diharapkan dapat menggambarkan strategi penyiapan SDM
Kependudukan sejak dini tentang kebijakan pembangunan yang berwawasan kependudukan
kepada masyarakat, yang sepenuhnya akan menopang kemajuan bangsa dan kesejahteraan
masyarakat ke depan melalui pendidikan kependudukan secara terus menerus sebagai investasi
jangka panjang.

Metodologi
Keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh kualitas penduduk dan bukan oleh
ketersediaan sumberdaya alam dan keberhasilan pembangunan ini merupakan konsekuensi dari
pembangunan kependudukan karena penduduk adalah obyek dan subyek dari pembangunan
(Samosir,

2008)

Pembangunan

harus

berpusatkan

pada

penduduk

(people-centered

development), yaitu pembangunan yang berorientasi kepada potensi dan kebutuhan penduduk
namun saat ini pembangunan belum sepenuhnya berwawasan kependudukan dengan tantangan
berupa besarnya kuantitas penduduk ang tergambar dari masih tingginya laju dan jumlah
penduduk, struktur penduduk tidak menguntungkan, kepadatan dan persebaran penduduk yang
tidak merata (BKKBN, 2012).
Besarnya penduduk akan meningkatkan kebutuhan energi, makanan dan air, yang tanpa
upaya teknologi
alam.

akan berarti terjadi

pengurasan

besar-besaran terhadap

sumber daya

Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk tetap harus dikelola dengan baik agar tidak

menjadi beban sosial, ekonomi, politik dan lingkungan.

109

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Gambar 1. Kerangka Berfikir Pembangunan SDM Kependudukan Indonesia dalam Pembangunan


Berkelanjutan

Dalam skema tersebut diperlihatkan arus logis untuk dapat mencapai pembangunan berkelanjutan
yaitu dengan meningkatkan daya saing ekonomi yang dapat tercapai dengan adanya
keseimbangan proporsi antara peningkatan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber
Daya Alam (SDA) dan Ilmu Pengetahuan Teknologi (IPTEK). Ada 9 bidang yang menjadi sasaran
utama dalam ketiga pembangunan tersebut yaitu sosial budaya dan kehidupan beragama,
ekonomi, IPTEK, sarana dan prasarana, politik, pertahanan keamanan, hukum dan aparatur,
wilayah dan tata ruang serta SDA dan Lingkungan Hidup (LH). Kesembilan pembangunan ini
tergambar dalam kebijakan pemerintahan Joko Widodo dalam Nawacita Pembangunan Nasional
dan dalam melakukan analisis tulisan ini dimulai dengan evaluasi program kependudukan yang
telah dilakukan instansi pemerintahan terkait dengan kebijakan pemerintah untuk dapat
menyiapkan kondisi perekonomian lebih baik dalam meletakkan dasar pembangunan SDM
utamanya dalam bidang kependudukan.

110

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pelaksanaan kajian strategi penyiapan SDM Kependudukan melalui studi kajian yang
dilakukan di Balai Diklat KKB Bogor Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) berdasarkan Undang-undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Pengkajian dilaksanakan pada pelaksanaan Mata
Diklat Kebijakan Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga
(KKBPK) pada bulan Agustus 2015. Modul yang dipergunakan adalah modul yang diterbitkan oleh
BKKBN sesuai dengan standar Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (LAN-RI) dan
modul Pendidikan Kependudukan yang menjadi acuan studi kajian ini. Pengkajian menggunakan
metode kepustakaan (library research) dan metode analisis isi (content analysis) serta metode
penelitian lapangan (field study) menggunakan eksperimen yaitu dengan menggunakan
percobaan di lapangan yaitu kepada peserta diklat yang terdiri dari Aparatur Sipil Negara (ASN)
dan masyarakat umum (tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat) yang dilaksanakan pada
5 angkatan diklat dengan jumlah responden sebanyak 150 orang.
Menurut Ravers dalam Husein (2004), metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan
sifat sesuatu yang sedang berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebabsebab dari suatu gejala tertentu.

Sedangkan menurut Newman (2009) menyatakan bahwa

penelitian deskirptif adalah penelitian yang bertujuan untuk merekam kejadian sejelas-jelasnya
sehingga tidak memerlukan suatu hipotesis karena penelitian deskriptif menuturkan dan
menafsirkan data sebagaimana adanya. Untuk dapat memaknai data maka dilakukan analisis
kualitatif yaitu dengan memberikan makna atas berbagai deskripsi data yang ditemukan dalam
suatu penelitian dengan menggnakan metode:
a. Induksi, yaitu kesimpulan yang ditarik dari kejadian yang sifat khusus ke hal yang umum
b. Deduksi, yaitu kesimpulan yang ditarik dari kejadian bersifat umum ke hal yang bersifat
khusus.
Kedua metode ini digunakan secara bersama-sama saling melengkapi sehingga diharapkan dapat
mendeskripsikan asumsi yang diajukan lewat kerangka berfikir konseptual.

Hasil
Berdasarkan hasil pembahasan kerangka berfikir strategi penyiapan SDM Kependudukan dalam
rangka pembangunan berkelanjutan, maka disepakati bahwa dalam pelayanan dasar untuk dapat

111

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang berupa pelayanan pendidikan, kesehatan dan
perbaikan kondisi perekonomian bangsa sebagian besar dipengaruhi oleh kualitas SDM (sebesar
80%) yang menentukan kemajuan bangsa sebagaimana yang disampaikan oleh Samosir (2008).
Hal ini bertentangan dengan paradigma umum yang selama ini dijalankan pemerintah yaitu
kebijakan pembangunan yang memprioritaskan infrastruktur dan optimalisasi pengolahan SDA.
Pembangunan SDM kependudukan diuntungkan dengan adanya fenomena besarnya proporsi
penduduk usia muda dan usia produktif yang berdampak pada menurunnya angka ketergantungan
(dependency ratio) yang disebut dengan bonus demografi yang terus meningkat. Indonesia saat
ini sedang menikmati bonus demografi sejak tahun 2000, dan bergerak menuju terbukanya jendela
peluang (windows of opportunity) di 2020-2030, yaitu Indonesia harus melakukan investasi secara
efektif dan efisien dalam SDM, terutama dalam kelompok usia muda untuk dapat menyiapkan
prasyarat bonus demografi yaitu ketika rasio ketergantungan pada level yang terendah yaitu 44
per 100 orang usia produktif namun rasio ini akan meningkat lagi sesudah 2030 karena
meningkatnya penduduk lansia Perubahan dalam struktur umur merupakan adalah sebuah
kesempatan untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi (Moerdianingsih, 2012). Persiapan untuk
menyambut momen emas ini harus dimulai dari sekarang dengan memperkuat dan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia demi mendorong pertumbuhan ekonomi sebelum rasio
ketergantungan meningkat.
Di sisi lain, ternyata globalisasi telah menantang kebijaksanaan konvensional bahwa kekayaan
negara bersumber dari peningkatan eksploitasi SDA besar-besaran bukanlah prioritas bagi
negara-negara berkembang. Globalisasi adalah proses dimana negara menjadi lebih terintegrasi
melalui gerakan barang, modal, tenaga kerja dan ide-ide untuk dapat menghadang masuknya
tenaga kerja dari luar wilayah negara tersebut (Thirwall, 2011). Proses ini difasilitasi oleh
kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam pengaturan ini ide-ide baru yang cepat
membawa ke hasil, teknologi baru yang dikembangkan dan digantikan cepat daripada waktu
lainnya dalam sejarah. Lebih penting daripada waktu lain di masa lalu, pengetahuan sekarang
telah menjadi penentu semakin penting dari kekayaan negara. Pentingnya pengetahuan telah
dihidupkan kembali perhatian pada peningkatan kemampuan sistem dan lembaga pendidikan.
Proses globalisasi telah membuat lebih maju dan keterampilan khusus yang lebih penting dari
sebelumnya, bahkan negara-negara miskin tidak bisa lagi mengabaikan pengembangan
pendidikan tinggi. Globalisasi memungkinkan negara melalui peningkatan keterampilan tenaga

112

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kerja mereka untuk melompat ke kurva belajar berkembang tanpa harus menjalani proses yang
panjang dan mahal melalui peningkatan penemuan dengan meningkatkan keterampilan dasar
melalui pendidikan dan pelatihan.
Untuk negara-negara berkembang prioritasnya adalah untuk menekankan pada primer sebelum
pindah ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Ada dua tujuan yang ingin dicapai pada
pelaksanaan

kegiatan

pengembangan

tersebut.

Pertama

adalah

untuk

meningkatkan

produktivitas dengan memungkinkan mayoritas penduduk bekerja di industri padat karya terutama
ditujukan untuk pasar ekspor, di mana upah jauh lebih tinggi. Tujuan kedua adalah konsekuensi
dari yang pertama, dengan memiliki lebih penduduk yang bekerja di sektor pendapatan yang lebih
tinggi, kemiskinan akan menurun dan naiknya pendapatan akan memungkinkan sektor lain untuk
ikut berkembang juga.
Model pembangunan ekonomi melalui pemantapan SDM kependudukannya telah diterapkan
dengan sukses terkenal di negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan Taiwan dan telah
direplikasi dengan sukses di banyak negara berkembang termasuk Indonesia namun tahap
berikutnya dari pembangunan ekonomi terbukti lebih sulit. Cepat atau lambat model
pembangunan yang berorientasi ekspor berdasarkan surplus tenaga kerja murah dengan
pendidikan dasar akan buang potensinya sebagai kemajuan ekonomi akan mendorong upah dan
aspirasi buruh (Thirwall, 2011).
Hasil telaah modul kependudukan menghasilkan respon dari para responden yang menyebutkan
bahwa adanya kebutuhan mengenai isu terkini merupakan hal yang perlu disediakan oleh para
penyelenggara diklat (77%) dan menjadi suatu keharusan bahwa pemateri/fasilitator mampu
memfasilitasi peserta tanpa kesan menggurui (82%). Pelaksanaan pelatihan yang menggunakan
modul yang berbasis case based learning (CBL) merupakan suatu pendekatan yang dirasakan
pas karena peserta dapat menerapkan ilmu kebijakan kependudukan yang didapatkan selama
diklat dengan kenyataan kasus di lapangan.

Hal ini disebutkan oleh 87% responden yang

menyatakan puas dengan adanya modul kependudukan berbasis CBL ini meski belum semuanya
memahami apa yang dimaksud dengan CBL (95% responden menyatakan baru mendengar
mengenai konsep CBL ketika pelatihan dilaksanakan). Adanya penerapan praktek lapangan yang
dikaitkan dengan ketrampilan baru peserta merupakan hal yang menguntungkan bagi peserta
karena mereka dapat mencoba mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilan baru yang
didapatkan selama pelatihan dengan tetap beberapa saran masukan perbaikan ke depannya.

113

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Diskusi
Pendidikan menjadi kunci untuk dapat meningkatkan kualitas SDM Kependudukan, dan
kepedulian pemerintah dalam meningkatkan kualitas tenaga kerja sebagai upaya peningkatan
daya saing di era pasar bebas ASEAN 2015 telah dilakukan salah satunya melalui Program Wajib
Belajar 9 Tahun (WAJAR) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tabel 1 menunjukkan bahwa terjadi kenaikan kecenderungan pendidikan tenaga kerja Indonesia
yang pada tahun 2000 didominasi oleh pendidikan sekolah dasar maka terjadi peningkatan
kecenderungan pada pendidikan SMU dan SMK ke atas pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan
adanya perkembangan yang signifikan terhadap program WAJAR tersebut dalam mendukung
peningkatan kualitas tenaga kerja/SDM Indonesia.
Tabel 1: Persentase Pendidikan Tenaga Kerja Indonesia
Tingkat Pendidikan
2000
2005
2010
Tidak/Belum tamat Sekolah
21.4
15.1
19.8
Sekolah Dasar
36.5
36.2
27.2
Sekolah Menengah Pertama
15.1
19.0
17.7
SMP Kejuruan
1.2
1.9
1.2
Sekolah Menengah Umum
15.3
14.8
16.0
Sekolah Menengah Kejuruan
5.5
7.0
9.1
Diploma 1
1.0
1.0
1.2
Diploma 3
1.4
1.5
1.9
Universitas (S1/S2/S3)
2.6
3.5
5.4
Sumber: SAKERNAS berbagai tahun
Pendidikan formal ini hendaknya dapat diikuti dengan pembangunan karakter individu tersebut
karena dengan makin tingginya persaingan tenaga kerja karena adanya kebijakan Masyarakat
Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan APEC pada tahun 2020 akan menimbulkan tingginya
kebutuhan tenaga kerja ahli yang tidak hanya terampil namun juga tangguh serta memiliki
berbagai karakter positif.

Solusi untuk mengatasi kekurangan tenaga kerja ahli adalah untuk

melakukan perekrutan tenaga asing, dengan pindah ke nilai tambah yang lebih tinggi produk yang
bisa mempertahankan upah yang lebih tinggi. Beberapa negara seperti Korea Selatan dan Taiwan
telah berhasil lulus dari nilai rendah produsen ditambahkan ke produsen nilai produk yang lebih
tinggi dengan konten teknologi tinggi. Korea Selatan bahkan telah memulai produk teknologi tinggi
dalam elektronik dengan melakukan sistem perlindungan tenaga kerja negara tersebut dari
masuknya tenaga asing dengan memberlakukan sistem regulasi tenaga kerja yang jelas.

114

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Indonesia telah berupaya mengantisipasi serbuan tenaga kerja asing dengan memberlakukan
berbagai regulasi, salah satunya dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2013 pasal 45 yang
menyebutkan setiap tenaga kerja asing wajib melakukan alih tekhnologi dan alih keahlian serta
memberikan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja Indonesia. setelah berhasil menjalani
tahap pertama berorientasi ekspor industrialisasi - Indonesia kini hampir terkunci di spesialisasi
nilai tambah rendah produk seperti sepatu-tekstil low end dan pakaian dan sebagainya. Situasi ini
tidak dapat dipertahankan terlalu lama sebagai produsen biaya rendah baru seperti Sri Lanka,
Vietnam, Kamboja dan sejenisnya sudah mulai memasuki pasar, sementara kebijakan pemerintah
serta situasi politik terus mendorong naiknya biaya upah/penggajian tenaga kerja.
Untuk naik tangga untuk produk bernilai tinggi Indonesia harus meningkatkan keterampilan dasar
yang

tidak

terlalu mengandalkan lulusan sekolah dasar-menengah,

dan mulai untuk

mengeksploitasi kemampuan orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi termasuk lulusan
panggilan. Tentu saja, ada banyak masalah melanda sistem pendidikan di Indonesia yang
membuat lulusannya kurang kompetitif dibandingkan dengan pesaing terdekatnya seperti
Malaysia, Thailand dan Filipina, apalagi Singapura, tapi ini bukan alasan untuk tidak bertindak.
Pembangunan SDM Indonesia perlu mendapat prioritas utamanya dalam hal pembangunan
karakter dan soft skill lainnya yang dipengaruhi oleh berbagai sistem pembangunan SDM
Kependudukan sebagaimana tertera pada Gambar 2.
Pada Gambar 2 oleh Bronfenbenner (2004) disebutkan bahwa dalam rangka pengembangan
Diklat Kependudukan, maka hendaknya dimulai dari sistem mikro yang ada di sekeliling Diklat
tersebut yaitu widyaiswara dan kurikulum serta berbagai perangkat kediklatan terkait yang
memuat peranan orang tua, saudara kandung, 8 fungsi keluarga dan anggota keluarga lainnya
dalam rangka pembentukan SDM Kependudukan dimulai dari keluarga. Sedangkan sistem kedua
adalah sistem meso yaitu adanya lingkungan pelayanan diklat/ SDM struktural dan fungsional
lainnya yang mumpuni dan memahami pelayanan prima dalam rangka mewujudkan Diklat
Kependudukan Pola Baru yang mengacu pada semangat revolusi mental.

115

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sistem MAKRO

Sistem EKSO

Sistem MESO

ss

SISTEM
MIKRO

Diklat Ke

Pendudukan

Sumber: modifikasi dari Bronfenbrenner, 2004


Gambar 2. Sistem Revolusi Diklat Kependudukan
Sistem ketiga adalah ekso yaitu lingkungan pelayanan diklat berupa sarana prasarana serta
adanya perlindungan serta pemberdayaan hasil diklat di dalam masyarakat yang lebih luas.
Sistem terakhir adalah sistem makro yaitu adanya hukum/regulasi yang kondusif, kebudayaan,
norma, agama, adanya jaminan sosial serta pembiayaan yang memadai untuk dapat
mengembangkan SDM kependudukan ini melalui Diklat Kependudukan. Keempat sistem ini akan
saling berinteraksi untuk dapat menghasilkan pergeran paradigma pembangunan yaitu melalui
transformasi keluarga menuju pembangunan kesejahteraan berbasis peradaban karena
peradaban sebagai modal pembangunan utama.
SDM berkualitas merupakan prasyarat modal pembangunan tersebut dan penduduk Indonesia
sebagai pelaku/produsen utama dalam pelaksanaan program kerjasama Masyarakat Ekonomi
ASEAN ini. Upaya pembangunan SDM kependudukan dalam mewujudkan SDM berkualitas ini
dikatakan berhasil apabila dalam pencapaiannya telah dapat mewujudkan SDM yang
berpendidikan (berpengetahuan dan berketerampilan), sejahtera psikologis dan sejahtera
ekonomi, serta Sehat (diwujudkan dalam fisik sehat, cukup gizi dan mental tangguh).

116

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa dalam upaya
penyiapan revolusi Diklat Kependudukan maka diperlukan upaya :
a. Meningkatkan pengarusutamaan program kependudukan yang terpadu dalam kebijakan
dinamis program pembangunan nasional dan daerah
b. Perluasan jangkauan dan pemerataan pelayanan dasar yang berkualitas
c. Mengembangkan dan sosialisasi model pembangunan keluarga
d. Memperkuat kemitraaan strategis dengan stakeholders, Mitra kerja dan penggerakan
partisipasi aktif masyarakat.
e. Menyediakan dan penyebarluasan data dan informasi pembangunan SDM kependudukan
dan Keluarga berbasis Teknologi Informasi
f.

Meningkatkan kapasitas SDM berbasis kompetensi serta penelitian dan pengembangan


program kependudukan, KB dan pembangunan keluarga

g. Meningkatkan kualitas manajemen dan kapasitas kelembagaan serta meningkatkan


pembiayaan dan pengelolaan keuangan secara efektif dan efisein
Ke depannya, perkembangan negara akan sangat dipengaruhi oleh sumbangan kualitas SDM
kependudukan. Untuk dapat mewujudkan pembangunan SDM Kependudukan yang optimal, maka
perlu adanya kerjasama yang harmonis antara keempat sistem

pembangunan SDM

Kependudukan mulai dari mikro sampai dengan makro.

Daftar Pustaka
Adioetomo, Sri Moertiningsih, et.al. 2010. Dasar-dasar Demografi. Jakarta : Lembaga Demografi
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia;
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), 2014. Proyeksi Penduduk Indonesia.
Jakarta: BAPPENAS;
BKKBN, 2012. Modul Pendidikan Kependudukan. Jakarta: BKKBN;

117

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

BKKBN, 2014. Modul Diklat Teknis Kebijakan Program Kependudukan, Keluarga Berencana dan
Pembangunan Keluarga (KKBPK). Jakarta: BKKBN;
BKKBN, 2015. RPJMN BKKBN Tahun 2015-2019. Jakarta: BKKBN;
BPS. 2011. Tabel Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Provinsi. Jakarta:BPS. Diakses pada
tanggal 13 Juli 2015. Sumber URL :
http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=26&notab=2
BPS. 2015. Survei Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS). Jakarta:BPS;
Bronfenbrenner. 2004. Making Human Beings Human. USA:Carlton;
Newman. 2009. Methodology of Social Research. New York : Catalyst;
Samosir, Omas Bulan. Strategi Pembangunan Manusia. Artikel Harian Kompas. Tanggal 25
November 2011;
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).2011. Ulasan Perkembangan
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Diakses pada tanggal 19 Juli 2015. Sumber
URL : http://tnp2k.go.id/downloads/viewdownload/27-publikasi-ulasan/115-ulasan-tnp2knov-2011-perkembangan-ipm-2011.html
Thirwall, A.P. 2006. Growth & Development : With Special Reference to Developing Economies.
New York : Palgrave MacMilan;
UNDP. 2011. Human Development Reports 2011. UNDP; Diakses pada tanggal 10 Juli 2015.
Sumber URL : http://hdr.undp.org/en/media/FAQs_2011_Human_Development_Report.pdf

118

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

EVALUASI PELATIHAN PENGELOLAAN DANA DESA


BAGI APARATUR DESA DI KABUPATEN TIMOR TENGAH
UTARA TAHUN 2015
Ondy Ch. Siagian, SE.,M.Si
Widyaiswara Muda pada Badan Diklat Provinsi NTT
(Diterima 18 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstract: The Law Number 6 Year 2014 on Village has been becoming the regulatory
base of the government to promulgate various implementation regulations, in particular to
Village Fund allocated in the National Budget (APBN), such as regulations of the
allocation and channelling mechanism of Village Fund, the use and reporting of Village
Funds, monitoring and evaluation of Village Funds as the references of their
implementation and management. In 2015, Provinsi and Kabupaten governments have
been facilitating technical guidance for the Village Fund management. It is expected that
through these technical guidance it can provide a good understanding of village
government apparatuses in dealing with the Village Fund management. The relatively
low intake of Village Fundshas been becoming major issues to many related people
instigated by regulations misinterpretations; regulations which are burdening village
government apparatuses or complicated reporting mechanisms; limited human resources
(HR) capacity in the village governance, so that they lead to anxieties of village
government apparatuses as they are potentially criminalized. From the writers
monitoring results within several villages in the Kabupatenof Timor Tengah Utara NTT,
the most crucial part of Village Fund management is that village government apparatuses
have not possessed yet a good and proper understanding of procurement of goods/
services mechanisms in village level, though the Village Fund is mainly used for
development investment expenditures whereas their processes are through the
procurement of goods/ services mechanisms. This matter results in the low intake of the
Village Fund in Year 2015.
Keywords: Village Fund, the Village Government Apparatuses, Goods and Services
Procurement in the village
Corresponding author: Ondy Ch. Siagian, SE.,M.Si, E-mail:
Ondysiagian19@gmail.com Telp: 081246421232

119

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

A.

PENDAHULUAN
Sejak dialokasikannya Dana Desa bagi seluruh desa di wilayah Indonesia dengan

total anggaran Dana Desa secara Nasional untuk Tahun Anggaran 2015 sebesar
Rp.20,7 triliun dan masing-masing desa sedikitnya menerima Dana Desa sebesar
Rp.254 juta, membuat desa saat ini mendadak menjadi daya tarik.
Regulasi menyangkut desa diawali dari amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa, selanjutnya pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah
Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015.
Pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain,
mengenai mekanisme pengalokasian dan penyaluran Dana Desa, penggunaan dan
pelaporan Dana Desa, monitoring dan evaluasi Dana Desa serta roadmap Dana Desa.
Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015, telah
pula ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.07/2015 tentang Tata Cara
Pengalokasian, Penyaluran, Penggunaan, Pemantauan dan Evaluasi Dana Desa, yang
mengatur secara detail mengenai tata cara pengalokasian Dana Desa untuk
Kabupaten/Kota penerima Dana Desa dan tata cara pengalokasian Dana Desa untuk
setiap Desa. Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut juga diatur mengenai Sanksi
terhadap kabupaten/kota/desa yang tidak mematuhi ketentuan peraturan perundangundangan. Sanksi terhadap Desa dapat berupa penundaan penyaluran dan/atau
pemotongan penyaluran Dana Desa.
Dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, setelah Dana Desa diterima di Rekening Kas
Umum Daerah bupati/walikota harus segera mentransfer ke Rekening Kas Desa, dengan
catatan Desa tersebut telah menetapkan APB Desa dan telah menyampaikannya kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota.
Hampir seluruh desa telah diberikan bimbingan teknis pengelolaan keuangan Dana
Desa oleh aparatur pemerintah Kabupaten dan Provinsi yang sebelumnya telah
mendapat pembekalan di tingkat nasional. Selanjutnya Pemerintah Provinsi masingmasing memberikan pelatihan dalam bentuk Training of Trainers bagi aparaturnya untuk
selanjutnya memberikan pelatihan di tingkat Kabupaten yang diikuti oleh aparat desa.

120

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

B.

PERMASALAHAN
Dari pemberitaan media cetak maupun televisi tentang dana desa, disampaikan

bahwa permasalahan utama dari Dana Desa saat ini adalah rendahnya penyerapan yang
disebabkan banyaknya aturan yang multitafsir [antara lain Permen Desa PDTT
Nomor 5/2015 (yang menyatakan dana desa diprioritaskan untuk belanja pembangunan
dan pemberdayaan masyarakat desa) dan Permendagri Nomor 114/2014 (yang
menyebutkan dana untuk penyelenggaraan pemerintahan desa, pembangunan desa,
pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa)], regulasi yang
memberatkan aparatur pemerintah desa atau mekanisme pelaporan yang rumit
[misalnya Permendagri Nomor 113/2014 yang meminta desa menyusun laporan realisasi
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) setiap semester],
terbatasnya kualitas sumber daya manusia (SDM) di pemerintahan desa, dan juga
ketakutan aparat pemerintah desa dikriminalisasi apabila salah dalam pengelolaannya.
Penulis berpikir bahwa pemberitaan tersebut sangat tidak mendukung dan cenderung
mencari kesalahan, aturan yang dikeluarkan Kemdes PDTT dan Kemendagri sudah
cukup lengkap, sehingga dapat digunakan sebagai acuan oleh pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota dalam menyusun pedoman atau petunjuk operasional yang lebih teknis.
Menurut penulis tidak ada aturan dan mekanisme pelaporan yang rumit karena
instrumen yang tertuang dalam pertaruran-peraturan tentang dana desa sudah cukup
jelas, terkait dengan tiga syarat pencairan dana dari kabupaten/kota ke desa: (1) Harus
memiliki APBDes; (2) Harus memilki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJM Desa); dan (3) Harus membuat Rencana Kerja Pemerintahan Desa (RKPDes).
Tiga syarat tersebutpun sudah merupakan hal rutin yang dilakukan oleh desa dalam
proses perencanaan selama ini.
Yang harus menjadi perhatian Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota adalah
memiliki pemahaman tentang kondisi desa, serta tidak lagi hanya menunggu dan tidak
berinisiatif, terlebih lagi dokumen untuk memenuhi tiga syarat tersebut harus/wajib
diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota lalu diteruskan ke pusat. Walaupun ada
banyak lembaran dokumen yang harus diisi, hal ini seharusnya tidak malah menyulitkan
aparatur desa karena petunjuk pengisiannnya sudah cukup jelas.
Tenaga pelatih dan fasilitator pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terlebih
dahulu harus memiliki kemampuan dan pemahaman yang baik tentang aturan dana desa
dan praktek pengelolaannya, kalau tidak maka akan berpengaruh terhadap proses

121

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pembimbingan yang dilakukan. Pada kenyataannya bimbingan hanya dilakukan


semacam sosialisasi program, padahal aparat desa mengharapkan mendapat bimbingan
secara teknis sehingga dapat langsung diterapkan. Para narasumber yang membawakan
materi bimbingan seharusnya juga menguasai substansi materi dan memiliki
pengalaman tentang sistem administrasi dan pemerintah desa yang memiliki kondisi dan
karakteristik yang berbeda pada setiap desa. Penyederhanaan administrasi dana desa
memang merupakan solusi untuk mempercepat pencairan, namun administrasi dan
pengelolaan keuangan yang baik dan benar merupakan hal yang penting sebagai
pertanggung jawaban atas pemanfaatan dan pengelolaan dana desa.
Presiden Jokowi mengamanatkan bahwa sebagian besar dana desa digunakan
untuk membiayai kegiatan pembangunan di desa terutama pembangunan infrastruktur
yang disesuaikan dengan kebutuhan prioritas desa. Karena prioritas pemanfaatannya
untuk pembangunan infrastruktur, maka hal yang krusial dari pengelolaan dana desa
untuk membiayai belanja pembangunan infrastruktur adalah aparat desa harus memiliki
pemahaman yang baik dan benar tentang metode pengadaan barang/jasa di desa,
terutama memahami tata nilai pengadaan sebagai prinsip dasar yaitu: efisien, efektif,
transparan, pemberdayaan masyarakat, gotong-royong dan akuntabel.

Skema diatas menjelaskan bahwa penetapan metode pengadaan barang dan jasa
di desa tidak serta merta memilih antara swakelola dan/atau penyedia sebagai dasar
melaksanakan

pekerjaan

pembangunan,

namun

harus

diawali

dengan

kajian

perencanaan. Sehingga penentuan pekerjaan mana yang akan di swakelolakan dan


yang dikerjakan oleh penyedia haruslah tepat.

122

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

C.

PEMBAHASAN/HASIL EVALUASI
Berdasarkan Peraturan Kepala Perka LKPP Nomor 13 Tahun 2013 jo Perka LKPP

Nomor 22 Tahun 2015 tentang Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa,
Pengadaan barang dan jasa di desa yang pembiayaannya besumber dari APBDes tidak
mengikuti aturan dalam Perpres 54 tahun 2010. Jika Perpres 54/2010 mengatakan
bahwa pengadan barang dan jasa dilaksanakan dengan dua cara yaitu melalui penyedia
dan swakelola, maka pengadaan barang dan jasa di desa pada prinsipnya dilakukan
secara swakelola dengan aturan sebagai berikut:
1.

Memaksimalkan penggunaaan material/bahan dari wilayah setempat

2.

Dilaksanakan secara gotong royong dengan melibatkan partisipasi masyarakat


setempat

3.

Untuk memperluas kesempatan kerja

4.

Untuk pemberdayaan masyarakat setempat


Namun pada pelaksanaannya tidak semua pengadaan barang/ jasa di desa

dilaksanakan secara swakelola. Jika dalam proses pengadaan tersebut ada yang tidak
dapat dilaksanakan secara swakelola, baik sebagian maupun keseluruhan, dapat
dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa yang dianggap mampu.
Oleh karenanya cara penetapan metode pengadaan barang dan jasa di desa
melalui swakelola atau penyedia bukan pada besaran biaya pekerjaannya tetapi pada
prinsip-prinsip swakelola sebagaimana telah diuraikan di atas.

123

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Disinalah pentingnya pemahaman Kepala Desa sebagai Pemegang Kekuasaan


Pengelolaan Keuangan Desa (PKPKDes) mendelegasikan tanggung jawab dengan
menetapkan Perangkat Desa sebagai Pelaksana Teknis Pengelolaan Keuangan Desa
(PTPKDes) yang bertanggung jawab mengelola keuangan desa dan Tim Pengelola
Kegiatan (TPK) sebagai pengelola Pengadaan Barang/Jasa di Desa.
Gambar organisasi pengadaan barang dan jasa di desa di atas menjelaskan bahwa
ada tiga pihak sebagai pengelola pengadaan barang dan jasa di desa. Kepala Desa
sebagai penanggung jawab utama dalam pengelolaan pengadaan barang dan jasa di
desa, dalam hal teknis pengelolaannya menetapkan TPK yang terdiri dari unsur
perangkat desa dan lembaga kemasyarakatan desa, TPK menyusun perencanaan
pengadaan barang dan jasa

di desa setelah penetapan APBDesa dengan

menginventarisir pekerjaan yang akan di swakelolakan dan pekerjaan yang dilakukan


oleh penyedia, menyusun harga satuan pekerjaan dan RAB, serta Kerangka Acuaan
Kerja (KAK) untuk setiap pekerjaan. TPK akan melaporkan kemajuan pekerjaan dan
membuat pertanggung jawaban kepada Kepala Desa sebagai PKPKDes, dan
pertanggung jawaban dimaksud sebagai dasar bagi Kepala Desa untuk proses keuangan
yang dilakukan oleh PTPKDes. Dari penjelasan singkat ini dapat terlihat tugas dan fungsi
ketiga pihak dalam pengelolaan pengadaan barang dan jasa di desa.
Pada kenyataannya sebagaimana hasil monitoring penulis di sebagian besar desa
di Kabupaten Timor Tengah Utara, pekerjaan pengadaan barang dan jasa di desa
dilaksanakan oleh penyedia tanpa mengkaji sesuai dengan ketentuan peraturan di atas.
Hasil evaluasi yang dipaparkan dalam makalah ini adalah keterlibatan penulis
sebagai Widyaiswara dengan latar belakang spesialisasi Pengelolaan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah yang secara pribadi menawarkan diri untuk mendapat
kesempatan membimbing para Kepala Desa, Sekretaris Desa dan Bendahara Desa
dalam Pelatihan Pengelolaan Dana Desa di Kabupate Timor Tengah Utara (TTU)
Provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan hasil sebagai berikut:
1.

Kabupaten TTU memiliki 160 Desa yang memperoleh dana desa Tahun Anggaran
2015 dengan total dana sebesar Rp.43.016.882.000,00 atau tiap desa rata-rata
memperoleh

Rp.280.000.000,00.

Hampir

seluruh

desa

telah

melakukan

penyesuaian terhadap APBDes, sebagian besar telah mereview RPJMDes dan


RKPDes, sehingga dari sisi perencanaan anggaran tidak ada masalah.

124

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

2.

Aparat desa telah mengikuti pelatihan/bimbingan teknis pengelolaan dana desa


sebanyak 3 (tiga) tahap, tahap pertama dengan Narasumber yang dilatih di tingkat
nasional, tahap ke dua oleh Narasumber dari Provinsi yang telah mengikuti ToT
Pengelolaan Keuangan Desa, dan tahap ke tiga merupakan pelatihan terakhir di
Tahun 2015 dan penulis di undang untuk memberikan materi tentang Metode
Pengadaan Barang dan Jasa di Desa. Dari ketiga tahap pelatihan yang telah
dilakukan dapat dievaluasi sebagai berikut:
a.

Sekretaris Desa dan Bendahara Desa, melalui pengalaman dan pengurusan


keuangan desa selama ini telah memiliki kemampuan yang cukup dan
Pelatihan pengelolaan keuangan kali ini merupakan pendalaman terhadap
penambahan beberapa akun baru terkait sumber-sumber pendapatan baru
diantaranya transfer dana desa, dibekali juga dengan format-format
administrasi keuangan yang dengan mudah dapat di praktekan dan
diterapkan.

b.

Fokus Pemerintah terhadap penyaluran keuangan sampai ke rekening desa


dan selanjutnya pemberian sanksi apabila desa tidak memanfaatkan, dengan
ketentuan serapan minimal 70% dari dana desa yang dialokasikan harus
dapat dimanfaatkan setiap desa sampai akhir tahun anggaran 2015.

c.

Kondisi yang terjadi adalah, dalam rangka mempercepat penyerapan dana


desa dipenghujung tahun 2015 dan dikarenakan kebingungan aparat desa
dalam pengelolaan dana desa tersebut, serta bagaimana cara menentukan
metode pengadaan barang dan jasa melalui Swakelola atau Penyedia? Maka
langkah yang ditempuh adalah menyerahkan pekerjaan pengadaan barang
dan jasa kepada pihak kontraktor tanpa melalui kajian perencanaan.

d.

Aparat desa pada Pelatihan tahap ke tiga, merasakan bahwa materi Metode
Pengadaan Barang/Jasa di Desa merupakan materi pokok yang dapat
memberikan solusi terhadap percepatan penyerapan dana desa, yang disesali
adalah karena sebagian besar desa sudah memanfaatkan dana, namun
belum sesuai dengan metode pengadaan barang/jasa di desa.

3.

Uji petik pemanfataan dana desa dilakukan pada 3 (tiga) desa di Kabupaten TTU
masing-masing: Desa Takin Kecamatan Bikomi Tengah, Desa Naiola Kecamatan
Bikomi Selatan dan Desa Oelneke Kecamatan Musi. Dari ketiga desa tersebut
hanya desa Oelneke yang berhasil mengelola dana desa dengan baik termasuk
pengadaan barang/jasa melalui metode Swakelola. Swakelola di Desa Oelneke

125

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

untuk pembangunan 4 buah jembatan kecil/dekker, dan saluran air/drainase yang


dilakukan secara gotong royong oleh masyarakat desa, seluruh proses telah
dilakukan sesuai ketentuan dan peraturan tentang dana desa, masyarakat desa
menyambut antusias program dana desa dan berpartisipasi aktif dalam
pengelolaannya, keberhasilan desa Oelneke bisa menjadi contoh bagi desa-desa
lainnya.
D.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


1. Kesimpulan
a.

Penyusunan RPJMDes, RKPDes dan APBDes merupakan dokumen


administrasi perencanaan yang setiap aparatur desa selalu mendapat
bimbingan

teknis

dan

pelatihan

penyusunannya,

keterlambatan

penyusunan perencanaan seharusnya tidak menjadi alasan karena


merupakan dokumen wajib bagi pemerintah desa.
b.

Peningkatan kapasitas aparatur desa melalui pelatihan dan bimbingan


teknis yang telah dilakukan ternyata belum memberikan pemahaman yang
komprehensif terhadap aparatur desa, semata-mata hanya dibekali
dengan kebijakan pemerintahan desa dan keuangan desa, serta
manajemen dana desa. Bagaimana dengan pengelolaan dana desa
melalui pengadaan barang/jasa di desa? Aparat desa belum memiliki
pemahaman terhadap metode pengadaan barang/jasa di desa, disamping
itu tidak banyak instruktur/narasumber yang mendalami secara benar
tentang metode pengadaan barang/jasa di desa.

c.

Dalam pengadaan barang/jasa di Desa, Kepala Desa sebagai PKPKDes,


menetapkan PTPKDes sebagai pengelola keuangan desa dan TPK
sebagai
pengelola

pengelola
yang

Pengadaan

mempunyai

Barang/Jasa
peran

strategis

di

Desa.
dalam

Komponen
pengelolaan

pengadaan barang/jasa adalah TPK, oleh karenanya TPK yang harus


diberikan pelatihan teknis tentang pengelolaan pengadaan barang/jasa di
desa.
d.

Secara pribadi dengan pengalaman melatih aparatur desa, saya optimis


dana desa ini akan memberikan dampak nyata bagi kesejahteraan
masyarakat asalkan seluruh pihak terkait memiliki tujuan dan motivasi
yang sama bekerja bersama masyarakat desa membangun desa.

126

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

2. Rekomendasi
a.

Praktek Pengadaan barang/jasa di desa harus dipahami secara baik oleh


komponen

pengelola

dana

desa,

sehingga

masing-masing

pihak

mengetahu tugas dan kewenangannya. Tim Pengelola Kegiatan (TPK)


merupakan faktor kunci keberhasilan pengadaan barang/jasa di desa
sekaligus merupakan keberhasilan pengelolaan dana desa, karena dana
desa seluruhnya digunakan untuk belanja barang dan belanja modal
melalui pengadaan barang/jasa di desa, Sehingga TPK perlu memahami
tugas dan kewenangannya dalam pengelolaan pengadaan barang/jasa di
desa, oleh karenanya sangatlah penting melakukan pelatihan dan
bimbingan teknis terhadap TPK.
b. Pelatihan dan bimbingan teknis pengadaan barang/jasa di desa juga perlu
diberikan kepada para calon Pendamping Dana Desa, sehingga baik
komponen pengelola dana desa dan TPK maupun calon Pendamping dana
desa memiliki pemahaman yang sama bukan hanya mekanisme keuangan
tapi juga pemahaman yang baik dan benar tentang pengadaan barang/jasa
di desa. Melalui Kementerian Desa PDTT dan Kemendagri perlu
memberikan

fokus

kepada

pelatihan

dan

bimbingan

pengadaan

barang/jasa di desa, karena percepatan penyerapan dana desa akan dapat


tercapai dengan penerapan metode pengadaan barang/jasa di desa yang
sesuai, hal ini sekaligus menghindari aparat desa dari ketakutan terhadap
kriminalisasi.
c. Perlu dibentuk Forum Tenaga Pelatih yang telah dibekali dengan
keterampilan melatih pengelolaan dana desa di tiap Provinsi sehingga
selalu terjalin komunikasi dan tukar informasi mengenai kendala yang
ditemui di tiap-tiap daerah dan mencari solusi untuk mengatasi kendala,
serta sebagai sarana untuk berbagi pengelaman.
d. Tahun 2015 merupakan awal dari program dana desa dan merupakan
tahun

persiapan

dan

seluruh

pihak

wajib

mengevaluasi

guna

penyempurnaan pada tahun selanjutnya.


e. Sehubungan dengan pengelaman saya melatih aparatur desa yang sudah
barang tentu masih jauh dari kesempurnaan, tetapi dengan niat yang tulus
bersama-sama membangun desa, maka penulis akan terus berbagi
pengalaman dan terlibat memberikan pelatihan dan bimbingan teknis
khususnya untuk pengadaan barang/jasa di desa.

127

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Referensi:
Abu Saman Lubis (2014). Prinsip-Prinsip Pengadaan Barang dan Jasa Apakah Harus
Dipedomani?. http://www.bppk.kemenkeu.go.id pada tanggal 30 Agustus 2015.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Sumatera Utara
(2015). Rancangan Peraturan Kepala Daerah tentang Tata Cara Pengadaan
Barang/Jasa di Desa. Bidang Akuntabilitas Pemerintah Daerah.
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 13
Tahun 2013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Lembaga
Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang
Pedoman Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa.

128

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

PENGARUH PEMBERDAYAAN, BUDAYA KERJA,


MOTIVASI BERPRESTASI TERHADAP KINERJA GURU
DI KABUPATEN KAPUAS
Dr. SUGENG, M.Pd
Widyaiswara Ahli Madya
pada LPMP Provinsi Kalimantan Tengah
Jalan Tjilik Riwut Km 4,5 No. 74 Kota Palangka Raya 73112
(Diterima 2 Maret 2014; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstract: The purpose of this study was to describe the presence or absence of the
influence of empowerment, work culture, achievement motivation on teacher
performance at Kapuas District. This study includes a quantitative study using
survey methods and observation. Instruments used in data collection observation
guide/teacher assessment of learning plan, implement learning and
assessment/evaluation, as well as using a Likert scale questionnaire. Sample size
was 98 people who were taken through the method of randomly proportionally. The
technique of data analysis used the technique of path analysis (path analysis). The
conclusion of this study were (1) Empowerment has a direct positive effect on
teacher performance, (2) work culture has a direct positive effect on teacher
performance, (3) Achievement motivation has a positive direct effect on teacher
performance, (4) Empowerment has a direct positive influence on achievement
motivation, (5) work culture has a direct positive effect on achievement motivation.
Keywords: empowerment, cultural work, achievement motivation, and teacher
performance.
Corresponding author: HP. 0852 9241 7449, Email: sugeng64ramlan@gmail.com
Pendahuluan
Guru merupakan tenaga profesional yang bertanggung jawab melaksanakan
sistem pendidikan nasional, dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Oleh
karena itu sesuai peran dan tanggung jawabnya, guru dituntut memiliki kinerja yang
tinggi.
Salah satu tolok ukur kinerja guru adalah keberhasilannya dalam
melaksanakan tugas utamanya. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 39 ayat (2) tugas utama guru adalah
merencanakan

dan

melaksanakan

proses

pembelajaran,

menilai

hasil

pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan. Jadi, kinerja guru


merupakan hasil kerja guru dalam pengelolaan pembelajaran, yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan menilai hasil belajar. Uno
(2009) menegaskan bahwa kinerja guru merupakan gambaran hasil kerja yang

129

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dilakukan guru sesuai tugas yang diembannya dan merupakan tanggung jawabnya.
Dalam hal ini tugas-tugas rutin sebagai seorang guru adalah merencanakan
pembelajaran, melaksanakan kegiatan pembelajaran, dan menilai hasil belajar.
Kinerja guru sebenarnya tidak hanya dalam pengelolaan pembelajaran,
tetapi lebih luas lagi mencakup hak dan wewenang guru yang dimiliki. Namun
demikian pengelolaan pembelajaran dipandang sebagai sebuah posisi dimana
muara segala kinerja guru ditampung di dalamnya. Dengan kedudukan dan fungsi
guru seperti itu, maka sebagai tenaga profesional guru dituntut mampu
mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan
keahliannya agar memperoleh hasil kerja yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan
tuntutan masyarakat yang menginginkan suatu pendidikan yang berkualitas.
Namun kenyataannya, kinerja guru dalam beberapa hal masih belum
optimal. Dari hasil Evaluasi Diri Sekolah/Madrasah (EDS/M) pada Kabupaten
Kapuas yang dilaksanakan oleh LPMP Provinsi Kalimantan Tengah pada tahun
2012, kinerja guru dalam pemenuhan standar isi, standar proses, dan standar
penilaian pada umumnya masih pada level 1 dan 2 dari 4 level yang ada. Masalah
tersebut antara lain disebabkan oleh; (a) kurang efektifnya pemberdayaan guru oleh
atasan, (b) rendahnya budaya kerja, dan (c) rendahnya motivasi berprestasi guru.
Dari hasil Monitoring dan Evaluasi yang dilaksanakan oleh LPMP Provinsi
Kalimantan Tengah tahun 2012 di Kabupaten Kapuas juga menunjukkan bahwa
kinerja guru dalam empat komponen tugas utama secara rata-rata adalah 2,48,
termasuk dalam kategori cukup. Empat komponen tugas utama guru tersebut
adalah: (a) Pengembangan KTSP dan silabus, (b) Pengembangan RPP, (c)
Penyusunan kisi-kisi dan bank soal, dan (d) Pelaksanaan Pembelajaran Aktif,
Kreatif, Evektif, dan Menyenangkan. Data ini menunjukkan bahwa kinerja guru
dalam tugas utamanya masih belum optimal.
Masalah tersebut antara lain disebabkan oleh: (a) belum optimalnya
pemberdayaan guru oleh atasan (b) belum terbangunnya budaya kerja guru, (c)
belum optimalnya penghargaan/pengakuan terhadap hasil kerja guru, dan (d)
rendahnya motivasi berprestasi guru.
Kenyataan di atas, sejalan dengan pernyataan Sudarminto (2001) bahwa
rendahnya kinerja guru disebabkan oleh rendahnya motivasi berprestasi, tidak
punya etos kerja yang tinggi, dan insentif yang rendah. Uraian di atas menunjukkan
bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kinerja guru dalam melaksanakan
tugas/pekerjaannya. Oleh sebab itu untuk mengetahui secara jelas dan nyata

130

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

tentang beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja guru, khususnya guru SD/MI,
melalui penelitian ini akan diungkap faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru,
khususnya pemberdayaan, budaya kerja, dan motivasi berprestasi.
Secara teori, pemberdayaan mempunyai pengaruh terhadap kinerja. Kinlaw
(1995) menyatakan:
Empowerment is the process of achieving continuous improvement in a
organizations performance by developing and extending the compotent
influence of individual and teams areas and functions which affect their
performance and that of the total organization.
Short (1994) mengatakan bahwa Empowerment as any process that
provides greater autonomy through the sharing of relevant information and the
provision of control over factors affecting job performance. Sedang Erstad (1997)
menegaskan, Whatever the definition of empowerment used, the end goal is to
develop the performance and potential of the individual as well as that of the
organization. Apapun definisi pemberdayaan yang digunakan, tujuan akhir adalah
untuk mengembangkan kinerja dan potensi individu maupun organisasi.
Variabel lain yang mempengaruhi kinerja adalah budaya kerja. Daft (2010)
mengatakan bahwa budaya memberikan dampak yang sangat besar terhadap
kinerja. Ndraha (2002) juga menyatakan bahwa terdapat korelasi positif dan
signifikan antara budaya organisasi, lebih-lebih budaya kuat, dengan prestasi kerja
(performance) karyawan.
Di sisi lain, motivasi berprestasi juga berpengaruh terhadap kinerja. George
dan Jones (2001) menyatakan:
The motivation of organizational members to make important contributions to
their job and organizations can have a major impact on organizational
performance. An understanding of motivation is of utmost importance for
organizational performance.
Notoadmodjo (2009) menegaskan bahwa motivasi merupakan faktor yang
berpengaruh dalam kinerja seorang karyawan atau tenaga kerja. Oleh sebab itu,
dalam rangka upaya meningkatkan kinerja organisasi, maka intervensi terhadap
motivasi sangat penting dan dianjurkan.
Pemberdayaan juga berpengaruh terhadap motivasi berprestasi. Daft (2010)
mengatakan bahwa satu cara signifikan yang dapat dilakukan manajer untuk
memenuhi kebutuhan motivasi tingkat tinggi adalah dengan memindahkan
kekuasaan dari atas ke bawah dan membagi kekuasaan tersebut bersama para
pegawai untuk memungkinkan mereka meraih tujuan (empowerment). Sunyoto dan
Burhanudin (2011) menegaskan bahwa pemberdayaan merupakan salah satu cara

131

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

yang digunakan oleh pimpinan untuk memotivasi bawahan, yaitu dengan cara
memberikan kekuasaan dan tanggung jawab kepada bawahan.
Budaya kerja juga berpengaruh terhadap motivasi berprestasi. Sembiring
(2012) mengatakan betapa kuatnya pengaruh budaya organisasi terhadap motivasi
dan

perilaku

para

anggota

organisasi,

maka

budaya

organisasi

mampu

menunjukkan tapal batas organisasi untuk membedakan dengan organisasi lain. Hal
senada dikemukakan Deal dan Peterson bahwa culture amplifies the energy,
motivation, and vitality of a school staff, students, and community.
Berdasarkan kajian teori di atas, maka konstelasi masalah yang dikaji dalam
penelitian ini sebagai berikut.

Pemberdayaan

Motivasi
Berprestasi

Kinerja Guru

Budaya Kerja
Gambar 1. Konstelasi Masalah yang Akan Dikaji dalam Penelitian

Metodologi
Proses penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode survei dan observasi dengan
model kausal, yaitu sistem aliran ke satu arah, sehingga tidak ada arah terbalik.
Model kausal merupakan analisis ada atau tidak ada pengaruh antara satu variabel
dengan variabel lainnya.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan analisis jalur (path analysis) yang
merupakan suatu metode yang tepat digunakan pada model kausal yang telah
dirumuskan peneliti berdasarkan substansi keilmuan yaitu landasan teoritis dan
pengalaman peneliti.
Teknik pengumpulan data untuk variabel terikat, yaitu kinerja guru dilakukan
dengan

menggunakan

instrumen

berupa

panduan

observasi/

penilaian

perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran dan penilaian/evaluasi


pembelajaran. Sedang untuk variabel bebas, yaitu pemberdayaan, budaya kerja,

132

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dan motivasi berprestasi menggunakan instrumen dalam bentuk kuesioner dengan


5 (lima) alternatif jawaban, yaitu menggunakan skala Likert.
Butir

instrumen dikembangkan berdasarkan indikator masing-masing

variabel. Sebelum instrumen dikenakan pada responden, telah diujicobakan dan


dianalisis validitas dan realibilitasnya. Hasil analisis instrumen menunjukkan jumlah
item instrumen yang valid seperti berikut: variabel kinerja guru 32 butir, variabel
pemberdayaan 25 butir, budaya kerja 28 butir, dan motivasi berprestasi 25 butir.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistika
deskriptif dan statistika inferensial. Analisis deskriptif digunakan untuk menyajikan
data berupa ukuran sentral dan ukuran penyebaran masing-masing variabel secara
tunggal. Penyajian data berupa ukuran sentral yang terdiri atas mean (rata-rata),
median (nilai tengah), modus (nilai yang sering muncul), skor minimum, skor
maksimum, rentang skor dan total skor. Ukuran penyebaran berupa varian dan
simpangan baku (standar deviasi). Hasil perhitungan data dibuat dalam tabel
distribusi frekuensi dan histogram dari masing-masing variabel penelitian.
Analisis inferensial digunakan untuk menguji hipotesis penelitian dengan
menggunakan analisis jalur (path analysis) yang didahului dengan uji persyaratan
analisis berupa perhitungan dan pengujian normalitas dan pengujian linieritas.
Selanjutnya analisis dilakukan untuk menguji hubungan antara variabel bebas
dengan variabel terikat dengan analisis korelasi dari pengujian linieritas serta
pengujian signifikansi dengan persamaan regresi yang menggunakan tabel anova.
Analisis akhir dilakukan dengan menghitung persamaan jalur, yang menggunakan
koefisien korelasi dengan mencari nilai koefisien diterminan, untuk pengaruh
antarvariabel.
Hasil
Pengaruh Langsung Pemberdayaan (X1) terhadap Kinerja Guru (Y)
Uji hipotesis dilakukan dengan bantuan komputer melalui program SPSS seri
18 dengan taraf alpha 0,05. Hipotesis penelitian yang diuji menyatakan bahwa
terdapat pengaruh langsung positif pemberdayaan terhadap kinerja guru.
Hipotesis statistik yang diuji adalah:
Ho : Y1 0
Ha : Y1 > 0

133

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Hasil analisis dengan program SPSS dapat dilihat pada tabel 4.1 berikut.
Tabel 4.1 Koefisien Pengaruh Pemberdayaan (X1) terhadap
Kinerja Guru (Y)

Model
1

(Constant)
X1
X2
X3

Unstandardized
Coefficients
B
Std. Error
63,004
11,520
,226
,093
,272
,101
,215
,105

Standardized
Coefficients
Beta
,238
,255
,211

t
5,469
2,436
2,690
2,040

Sig.
,000
,017
,008
,044

Dependent Variable: Kinerja Guru (Y).


Berdasarkan hasil perhitungan koefisen jalur seperti pada tabel 4.1 di atas
diperoleh pY1 sebesar 0,238, thitung = 2,436 lebih besar dari pada ttabel = 1.985 karena
itu Ho ditolak dan koefisien jalur signifikan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis yang diajukan yaitu
terdapat pengaruh langsung positif pemberdayaan terhadap kinerja guru dapat
diterima. Dengan ditolaknya Ho, maka diyakini bahwa pemberdayaan mempunyai
pengaruh langsung positif terhadap kinerja guru.
Pengaruh Langsung Budaya Kerja (X2) terhadap Kinerja Guru (Y)
Uji hipotesis dilakukan dengan bantuan komputer melalui program SPSS seri
18 dengan taraf alpha 0,05. Hipotesis penelitian yang diuji menyatakan bahwa
terdapat pengaruh langsung positif budaya kerja terhadap kinerja guru.
Hipotesis statistik yang diuji adalah:
Ho : Y2 0
Ha : Y2> 0
Hasil analisis menggunakan program SPSS dapat dilihat pada tabel 4.1.
Berdasarkan hasil perhitungan koefisen jalur seperti pada tabel 4.1 di atas diperoleh
pY2 sebesar 0,255, thitung = 2,690 lebih besar dari pada ttabel = 1.985, karena itu Ho
ditolak dan koefisien jalur signifikan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hipotesis yang diajukan yaitu
terdapat pengaruh langsung positif budaya kerja terhadap kinerja guru dapat
diterima. Dengan ditolaknya Ho maka diyakini bahwa budaya kerja mempunyai
pengaruh langsung positif terhadap kinerja guru.

134

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pengaruh Langsung Motivasi Berprestasi (X3) terhadap Kinerja Guru (Y)


Uji hipotesis dilakukan dengan bantuan komputer melalui program SPSS seri
18 dengan taraf alpha 0,05. Hipotesis penelitian yang diuji menyatakan bahwa
terdapat pengaruh langsung positif penghargaan terhadap kinerja guru.
Hipotesis statistik yang diuji adalah:
Ho : Y3 0
Ha : Y3 > 0
Hasil analisis menggunakan program SPSS dapat dilihat pada tabel 4.1 di
atas. Berdasarkan hasil perhitungan koefisen jalur seperti pada tabel 4.1 di atas
diperoleh Y3 sebesar 0,211, thitung = 2,040 lebih besar dari pada ttabel = 1.985
dengan demikian Ho ditolak dan koefisien jalur signifikan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis yang diajukan yaitu
terdapat pengaruh langsung positif motivasi berprestasi terhadap kinerja guru dapat
diterima. Dengan ditolaknya Ho maka diyakini bahwa motivasi berprestasi
mempunyai pengaruh langsung positif terhadap kinerja guru.
Pengaruh Langsung Pemberdayaan (X1) terhadap Motivasi Berprestasi (X3)
Uji hipotesis dilakukan dengan bantuan komputer melalui program SPSS
seri 18 dengan taraf alpha 0,05. Hipotesis penelitian yang diuji menyatakan bahwa
terdapat pengaruh langsung positif pemberdayaan terhadap budaya kerja.
Hipotesis statistik yang diuji adalah:
Ho: 31 0
Ho: 31 > 0
Hasil analisis menggunakan program SPSS dapat dilihat pada tabel 4.2
berikut.
Tabel 4.2 Koefisien Pengaruh Pemberdayaan terhadap Motivasi Berprestasi

Model
1

(Constant)
X1
X2

Unstandardized
Standardized
Coefficients
Coefficients
B
Std. Error
Beta
22,869
10,985
,356
,083
,383
,315
,093
,301

t
2,082
4,310
3,385

Sig.
,040
,000
,001

Dependent Variable: Motivasi Berprestasi (X3).


Berdasarkan hasil perhitungan koefisen jalur seperti pada tabel 4.2 di atas
diperoleh p31 sebesar 0,383, thitung = 4,310, lebih besar dari pada ttabel = 1.985,
karena itu Ho ditolak dan koefisien jalur signifikan.

135

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis yang diajukan yaitu


terdapat pengaruh langsung positif pemberdayaan terhadap Motivasi berprestasi
dapat diterima.Dengan ditolaknya Ho maka diyakini bahwa pemberdayaan
mempunyai pengaruh langsung positif terhadap budaya kerja.

Pengaruh Langsung Budaya Kerja (X2) terhadap Motivasi Berprestasi (X3)


Uji hipotesis dilakukan dengan bantuan komputer melalui program SPSS
seri 18 dengan taraf alpha 0,05. Hipotesis penelitian yang diuji menyatakan bahwa
terdapat pengaruh langsung positif pemberdayaan terhadap penghargaan.
Hipotesis statistik yang diuji adalah:
Ho: 32 0
Ho: 32 > 0
Berdasarkan hasil perhitungan koefisen jalur seperti pada tabel 4.2 di atas
diperoleh 32 sebesar 0,301, thitung = 3.385 lebih besar dari pada ttabel = 1.985 oleh
karena itu Ho ditolak dan koefisien jalur signifikan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hipotesis yang diajukan yaitu
terdapat pengaruh langsung positif budaya kerja terhadap motivasi berprestasi
dapat diterima. Dengan ditolaknya Ho maka diyakini bahwa budaya kerja
mempunyai pengaruh langsung positif terhadap motivasi berprestasi.
Berdasarkan hasil uji hipotesis penelitian yang diajukan, semuanya menolak
Ho dan menerima Ha. Rangkuman hasil uji hipotesis tersebut dapat dilihat pada
tabel 4.3 berikut.

Tabel 4.3 Rangkuman Hasil Uji Hipotesis


No
1

Hipotesis Penelitian
Terdapat pengaruh
langsung positif
Pemberdayaan terhadap
kinerja guru
Terdapat pengaruh
langsung positif budaya
kerja terhadap kinerja
guru
Terdapat pengaruh
langsung positif motivasi
berprestasi terhadap
kinerja guru

Koefisien

thitung

ttabel

Kesimpulan

0.238

2.436

1.985

Berpengaruh
langsung
positif

0.255

2.690

1.985

Berpengaruh
langsung
positif

0.211

2.040

1.985

Berpengaruh
langsung
positif

136

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

No

Hipotesis Penelitian
Terdapat pengaruh
langsung positif
Pemberdayaan terhadap
motivasi berprestasi
Terdapat pengaruh
langsung positif budaya
kerja terhadap motivasi
berprestasi

Koefisien

thitung

ttabel

Kesimpulan

0.383

4.310

1.985

Berpengaruh
langsung
positif

0.301

3,385

1.985

Berpengaruh
langsung
positif

Diskusi

a. Pengaruh Langsung Pemberdayaan terhadap Kinerja Guru


Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberdayaan berpengaruh langsung
positif terhadap kinerja guru. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan yang sesuai
dengan pekerjaan guru mengakibatkan meningkatnya kinerja guru.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Kinlaw (1995) bahwa:
Empowerment is the process of achieving continuous improvement in a
organizations performance by developing and extending the compotent
influence of individual and teams areas and functions which affect their
performance and that of the total organization.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pernyataan Short (1994) bahwa,
Empowerment as any process that provides greater autonomy through the sharing
of relevant information and the provision of control over factors affecting job
performance. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan pernyataan Awamleh (2013)
bahwa Empowerment is very significant to the performance of organizations.
Pemberdayaan

mempunyai pengaruh yang

sangat

signifikan

bagi kinerja

organisasi.

b. Pengaruh Langsung Budaya Kerja terhadap Kinerja Guru


Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya kerja berpengaruh langsung
positif terhadap kinerja guru. Hal ini berarti bahwa budaya kerja yang kuat/positif
dari guru mengakibatkan meningkatnya kinerja guru.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Daft (2010) bahwa budaya
memberikan dampak yang sangat besar terhadap kinerja. Terbukti bahwa
perusahaan yang secara sengaja mengelola nilai-nilai budaya, menunjukkan kinerja
yang lebih baik daripada perusahaan-perusahaan serupa yang tidak mengelola
nilai-nilai budayanya. Pernyataan senada dikemukakan oleh Bangun (2008) bahwa
budaya kuat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kinerja organisasi.

137

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Muntaha (2011)
dengan judul, Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan dan Motivasi Kerja
terhadap Kinerja Karyawan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dokter Soedarso
Pontianak dimana pada salah satu simpulannya dia juga menyatakan bahwa
budaya organisasi berpengaruh langsung positip terhadap kinerja karyawan. Hasil
perhitungan koefisien jalur pengaruh langsung budaya organisasi terhadap kinerja
sebesar 0,56 dengan thitung = 9,67 > ttabel = 1,65 pada = 0,05.
c. Pengaruh Langsung Motivasi Berprestasi terhadap Kinerja Guru
Hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi berprestasi berpengaruh
langsung positif terhadap kinerja guru. Hal ini berarti bahwa motivasi berprestasi
yang tinggi dari guru mengakibatkan meningkatnya kinerja guru.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan George dan Jones (2001)
bahwa:
The motivation of organizational members to make important contributions to
their job and organizations can have a major impact on organizational
performance. An understanding of motivation is of utmost importance for
organizational performance.
Hal senada juga dikemukakan Daft (2010) bahwa motivasi pekerja akan
memengaruhi produktivitasnya. Oleh karena itu, salah satu tugas manajer adalah

menyalurkan motivasi ke arah pencapaian tujuan organisasi.


Hasil

Penelitian

Syamsiah

Zees

(2010)

dengan

judul,

Hubungan

Komunikasi Akademik, Iklim Kerja, dan Motivasi Kerja dengan Kinerja Dosen
Universitas Negeri Menado di salah satu simpulannya juga menyatakan bahwa
terdapat hubungan positif antara motivasi kerja dengan kinerja dosen. Apabila
motivasi kerja ditingkatkan satu unit, maka kinerja dosen cenderung meningkat
sebesar 0,436 pada konstanta 72,639.
d. Pengaruh Langsung Pemberdayaan terhadap Motivasi Berprestasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberdayaan berpengaruh langsung
positif terhadap motivasi berprestasi. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan yang
sesuai dengan pekerjaan guru mengakibatkan meningkatnya motivasi berprestasi
guru.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan Daft (2010) bahwa satu cara
signifikan yang dapat dilakukan manajer untuk memenuhi kebutuhan motivasi
tingkat tinggi adalah dengan memindahkan kekuasaan dari atas ke bawah dan

138

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

membagi kekuasaan tersebut bersama para pegawai untuk memungkinkan mereka


meraih tujuan (empowerment).
Suwatno dan Priansa (2011) juga mengatakan ada hubungan kausal antara
pemberdayaan

SDM

dengan

motivasi

berprestasi.

Apabila

SDM

dapat

diberdayakan dengan optimal, maka motivasi untuk berprestasi dalam pekerjaan


yang diembannya akan semakin meningkat.
Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Hartono (2013) yang
berjudul, Pengaruh Pemberdayaan, Kompensasi psikologis dan Motivasi Kerja
terhadap Kinerja Kepala Desa (Studi: Kepala Desa Di wilayah Kabupaten
Sukoharjo). Salah satu hasil penelitiannya menunjukkan bahwa berdasarkan hasil
perhitungan koefisien jalur besarnya pengaruh langsung pemberdayaan terhadap
motivasi kerja = 0,344. Hasil uji signifikansi koefisien jalur diperoleh t hitung = 2.540 >
ttabel = 1,67 pada n = 60 = 0,05. Sehingga Ho ditolak dan H1 diterima atau
pemberdayaan berpengaruh langsung positif terhadap motivasi kerja.

e. Pengaruh Langsung Budaya Kerja terhadap Motivasi Berprestasi


Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya kerja berpengaruh langsung
positif terhadap motivasi berprestasi. Hal ini berarti bahwa budaya kerja yang
kuat/positif dari guru mengakibatkan meningkatnya motivasi berprestasi guru.
Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Deal and Peterson (1991)
bahwa, Culture amplifies the energy, motivation, and vitality of a school staff,
students, and community. Sembiring (2012) juga menyatakan bahwa betapa
kuatnya pengaruh budaya organisasi terhadap motivasi dan perilaku para anggota
organisasi, maka budaya organisasi mampu menunjukkan tapal batas organisasi
untuk membedakan dengan organisasi lain. Budaya organisasi yang kuat akan
mempengaruhi keseluruhan anggota organisasi untuk bermotivasi dan berperilaku
kerja untuk menghasilkan kinerja sehari-hari dalam upaya mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan.
Hal senada dikemukakan oleh Sudaryono (2014) bahwa budaya organisasi
dapat mempengaruhi perilaku dan motivasi sumber daya manusia sehingga
meningkatkan kinerja organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Uha (2013) juga
mengatakan bahwa organisasi dengan budaya yang kuat dan positif akan
mempengaruhi motivasi orang untuk berkembang, belajar dan memperbaiki diri.
Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian Rubadi (2013) dengan
judul, Pengaruh Pemberdayaan, Kultur Kerja, Trust dan Motivasi Terhadap Kinerja

139

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pegawai pada Unit Pengelola Anggaran Kantor Pusat Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI dimana pada salah satu simpulannya dia menyatakan bahwa kultur
kerja berpengaruh langsung positif terhadap motivasi. Hasil analisis data
menunjukkan bahwa harga koefisien jalur sebesar 0,553 dengan harga thitung =
8,362 dan harga ttabel ( = 0,05) sebesar 1,98 yang berarti Ho ditolak dan H1
diterima. Artinya perbaikan terhadap kultur kerja akan secara langsung berpengaruf
terhadap motivasi.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data, maka kesimpulan penelitian dapat
disampaikan sebagai berikut: (1) Pemberdayaan berpengaruh langsung positif
terhadap kinerja guru. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan yang sesuai dengan
pekerjaan guru mengakibatkan meningkatnya kinerja guru. (2) Budaya kerja
berpengaruh langsung positif terhadap kinerja guru. Hal ini berarti bahwa budaya
kerja yang kuat/positif dari guru mengakibatkan meningkatnya kinerja guru. (3)
Motivasi berprestasi berpengaruh langsung positif terhadap kinerja guru. Hal ini
berarti bahwa motivasi berprestasi yang tinggi dari guru mengakibatkan
meningkatnya kinerja guru. (4) Pemberdayaan berpengaruh langsung positif
terhadap motivasi berprestasi. Hal ini berarti bahwa pemberdayaan yang sesuai
dengan pekerjaan guru mengakibatkan meningkatnya motivasi berprestasi guru. (5)
Budaya kerja berpengaruh langsung positif terhadap motivasi berprestasi. Hal ini
berarti bahwa budaya kerja yang kuat/positif dari guru mengakibatkan meningkatnya
motivasi berprestasi guru.

Rekomendasi
Berdasarkan kesimpilan Penelitian ini, maka rekomendasi yang diberikan
adalah sebagai berikut: (1) Pimpinan institusi (Kepala Sekolah) hendaknya secara
konsisten memberdayakan guru: melibatkan guru dalam pengambilan keputusan
yang

terkait

dengan

kemajuan

individu

dan

sekolah;

memberikan

bimbingan/mentoring untuk menyelesaikan tugas; mengikutsertakan guru dalam


pelatihan (seperti melalui wadah KKG); memberikan tugas, tanggung jawab dan
wewenang kepada guru sesuai kompetensi/spesifikasinya; menciptakan komunikasi
yang sehat dan terbuka kepada semua warga sekolah. (2) Pembina institusi
(Pengawas Sekolah, Dinas Pendidikan, Mapenda) hendaknya secara konsisten dan
berkelanjutan menumbuhkan budaya kerja yang kuat: menunjukkan kecintaan dan

140

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kecenderungan terhadap pekerjaan, mempraktikan perilaku kerja yang disiplin, kerja


keras, ulet, tertib; secara berkala memperbaharui komitmen bersama untuk
konsisten menerapkan budaya kerja yang disepakati. (3) Pengelola pendidikan di
tingkat daerah hendaknya secara konsisten dan berkelanjutan menumbuhkan
motivasi berprestasi warga sekolah melalui: pemberian penghargaan (secara sosial
maupun material) kepada warga sekolah yang berprestasi, memberikan promosi
berdasarkan prestasi, menumbuhkan budaya mutu melalui siklus kegiatan:
perencanaan, pelaksanaan, cek dan action. (4) Guru hendaknya secara konsisten
dan berkelanjutan untuk meningkatkan kinerjanya dengan memanfaatkan hasil
penilaian kinerja guru pada setiap akhir semester/akhir tahun sebagai dasar untuk
menyusun program pembinaan/pengembangan kinerja guru secara berkelanjutan.
(5)

Bagi

para

peneliti

bidang

manajemen

pendidikan,

perlu

melakukan

pengembangan penelitian lanjutan mengenai variabel-beriabel lain yang secara


langsung berpengaruh terhadap peningkatan kinerja guru.

DAFTAR PUSTAKA
Awamleh, Nail AHK. (2012), Enhancing Employees Performance via
Empowerment. Science University (Bahrain), Asian Journal of Business
Management, 2013.h. 315. http://www.maxwellsci.com/ print/ajbm/v5-313319.pdf (diakses 5 September 2013).
Bangun, Wilson. (2008). Intisari Manajemen. Bandung: Refika Aditama.
Bernadin, John H. & Joyce E. Russel. (1993). Resource Management: An
Experiential Approach. New Jersey: Prentice Hall.
Daft, Richard L., (2011). Era Baru Manajemen, Jakarta: Salemba Empat.
Deal, Terrence E. & Kent D. Peterson, (1991). Shaping School Culture. San
Francisco: Jossey-Bass Publishers.
Ernawan, Erni R., (2011). Organisasional Culture, Bandung: Alfabeta.
Erstad, Margaret. (1997). Empowerment and Organizational Change, MCB
University Press, International
Journal of Contemporary Hospitality
Management, 1997. http://www.ceroaverias.com/empower5.pdf. (diakses 5
Juni 2013).
Garet R. Jones and Jennifer M. George. (2008). Contemporary Management, Fifth
Edition. USA: McGraw Hill International.
Hartono. Pengaruh Pemberdayaan, Kompensasi Psikologis dan Motivasi Kerja,
Studi: Kepala Desa Di Wilayah Kabupaten Sokoharjo. Sinopsis Disertasi,
Jakarta: UNJ, 2013.

141

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kinlaw, Dennis. The Practice of Empowerment, Making the Most of Human


Competence Greath. Britain: Gower Publishing Ltd., 1995.
Ladden, Brian. (2012). Benefits of Empowerment. http://www.ap-partners.com
(diakses 12 Juni 2013).
Muntaha. Pengaruh Budaya Organisasi, Kepemimpinan dan Motivasi Kerja
terhadap Kinerja Karyawan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dokter
Soedarso Pontianak. Disertasi, Universitas Negeri Jakarta, 2011.
Ndraha, Taliziduhu, (2002). Pengantar Teori Pengembangan Sumber Daya
Manusia, Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. (2009). Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta:
Rineka Cipta.
Robbins, Stephen P. (1997). Essentials of Organization Behavior, New Jersey:
Prentice Hall. Inc.
Rubadi. (2013). Pengaruh Pemberdayaan, Kultur Kerja, Trust dan Motivasi
Terhadap Kinerja Pegawai pada Unit Pengelola Anggaran Kantor Pusat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Disertasi, Universitas Negeri
Jakarta.
Short, Paula M. Defining Teacher Empowerment. Academic journal article, Vol.
114, No. 4 , Summer 1994.
Sembiring, Masana. (2012). Budaya dan Kinerja Organisasi (Perspektif Organisasi
Pemerintah). Bandung: Fokus Media.
Sudarminta, J. (2001). Citra Guru dalam Pendidikan, Kegelisahan Sepanjang
Jaman, Yogyakarta: Kanisius.
Sudaryono. (2014). Budaya dan Perilaku Organisasi. Jakarta: Lentera Ilmu
Cendikia.
Sunyoto dan Burhanudin, (2011). Perilaku Organisasional, Yogyakarka: Caps.
Suwatno dan Donni Juni Priansa, (2011). Manajemen SDM dalam Oganisasi Publik
dan Bisnis, Bandung: Alfabeta.
Uha, Ismail Nawawi. (2013). Budaya Organisasi Kepemimpinan dan Kinerja.
Jakarta: Kencana.
Uno, Hamzah B. (2009). Teori Motivasi dan Pengukurannya Analisis Di Bidang
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Zees, Syamsiah, (2010). Hubungan Komunikasi Akademik, Iklim Kerja, dan Motivasi
Kerja dengan Kinerja Dosen Universitas Negeri Manado. (Sinopsis
Disertasi), (Jakarta: UNJ).

142

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pengembangan Instrumen Penilaian Berbasis Pendekatan Saintifik


Kelas IV SD Muatan IPA pada Subtema Hewan dan Tumbuhan
di Lingkungan Rumahku
The Development of Assessment Instrument of Scientific Approach
Based for the Theme Animals and Plants in My Surrounding at Grade 4
Yetty Fatri Dewi
Widyaiswara Muda LPMP Provinsi Jambi
Jl.H.M. Yusuf Singadekane No. 31 Telanaipura Jambi

(Diterima 10 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)


Abstract: The purpose of this

study was to develop an instrument

to measure the

knowledge and skills of fourth grade students in conducting scientific activitiesin the subtheme of animals and plants in my environment . The instrument consists of a number of
items made of activities that lead students to conduct scientific activities (observe, ask,
gather information, process and communicate information) that is equipped with a scoring
rubric. The model used is a model development 4-D consisting of 4 stages, namely define,
design, develop, and desimanate. Results of the validation and testing of limited use the
instruments developed shows that the assessment instruments developed scientific
approach based feasible to use. Assessment instruments developed can be used to evaluate
the learning process and assists teachers in developing competences of knowledge and
skills of students in conducting scientific activities

Keywords : Assessment instruments , scientific approach , Sains , and Sub theme Animals
and Plants in the my house Environment
Corresponding Author: Yetty Fatri Dewi,M.Pd Email: jasmineoriza@yahoo.co.id Telp :
085266147739

PENDAHULUAN

Pembelajaran di SD berdasarkan Kurikulum 2013 adalah pembelajaran tematik


terpadu untuk semua jenjang kelas. Pembelajaran tematik terpadu merupakan suatu proses
pembelajaran yang menjadikan tema sebagai pemersatu kegiatan pembelajaran yang
memadukan beberapa pembelajaran dalam satu kali tatap muka. Salah satu muatan
pembelajaran yang disatukan oleh tema adalah muatan pembelajaran Ilmu Pengetahuan
Alam (IPA).

143

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kegiatan penilaian dalam proses pembelajaran dilakukan untuk memperoleh,


menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang
dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang
bermakna dalam pengambilan keputusan (Kemdiknas, 2006). Jadi penilaian yang dilakukan
tidak hanya penilaian hasil belajar di akhir pembelajaran saja, tapi proses selama
pembelajaran berlangsung juga harus dinilai. Penilaian selama proses pembelajaran
berdasarkan kurikulum 2013 dilakukan tidak terpisah dari proses pembelajaran yang
dilakukan dengan menerapkan pendekatan saintifik. Oleh karena itu selain penilaian
terhadap pencapaian tiga ranah kompetensi, penilaian juga perlu dilakukan terhadap
kemampuan siswa melakukan kegiatan ilmiah melalui proses pembelajaran dengan
pendekatan saintifik. Untuk mengukur kompetensi siswa baik dari segi pengetahuan maupun
keterampilan melakukan kegiatan saintifik, diperlukan alat ukur yang menggambarkan
kegiatan saintifik itu sendiri. Instrumen yang disiapkan guru untuk mengukur kompetensi
siswa pada umumnya berupa tes objektif yang hanya mengukur kemampuan peserta didik
dalam penguasaan bahan yang diuji saja. Keterampilan melakukan kegiatan saintifik tidak
dapat diukur melalui soal objektif yang dikembangkan. Oleh karena itu diperlukan alat ukur
yang tidak hanya mampu mengukur pengetahun peserta didik, tetapi juga dapat mengukur
keterampilan peserta didik dalam melakukan kegiatan saintifik secara autentik. Menurut Frey
et al (2012), istilah autentik sering kali dikaitkan dengan tugas-tugas atau ekspektasi dari
alam nyata (real word).

Penilaian autentik dipandang sebagai model penilaian yang paling cocok, lengkap, dan
objektif, dan telah digunakan di berbagai negara dan berbagai bidang. Lowery (2003),
menjelaskan para guru sekolah di Texas secara intensif dilatih agar memiliki keterampilan
dalam menyusun dan menerapkan instrumen penilaian autentik dalam pembelajaran.
Berbagai jenis instrumen telah dikembangkan oleh para peneliti, pendidik dan praktisi
pendidikan. Fatonah et al (2013) telah mengembangkan model autentik asesmen untuk
pembelajaran IPA di SD. Sementara, Moon et al (2005) mengembangkan instrumen autentik
asesmen untuk siswa cerdas SMP.

Salah satu instrumen yang dapat mengukur kemampuan peserta didik baik
pengetahuan maupun keterampilan melakukan kegiatan saintifik secara autentik adalah
instrumen berupa butir kegiatan yang harus dilakukan langsung oleh peserta didik.
Instrumen dilengkapi dengan rubrik penilaian yang sesuai dengan komponen kegiatan
saintifik dan pedoman penilaian.

144

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Menurut Enger and Yager (2000) ranah proses dalam IPA terdiri dari tiga belas proses
yang akan diidentifikasi melalui sebuah pendekatan proses. Tiga belas item tersebut meliputi
pengamatan, penggunaan ruang dan waktu, klasifikasi, penggunaan angka, mengukur,
mengkomunikasikan,
variabel,

menyimpulkan,

menginterprestasikan

data,

memprediksi,

mengidentifikasi

merumuskan

hipotesis,

dan

mengontrol

menentukan

definisi

operasional dan melakukan eksperimen. Kemampuan menggunakan tiga belas item tersebut
dapat dijadikan target dalam pembelajaran dan penilaian. Hal tersebut berkaitan dengan
Komponen-komponen pendekatan saintifik menurut Dyers yang dijelaskan dalam Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 104 Tahun 2014 yang meliputi kemampuan
mengamati,

menanya,

mengumpulkan

informasi,

menalar/mengasosiasi,

dan

mengomunikasikan. Berikut ditampilkan sasaran penilaian keterampilan peserta didik.


Tabel. 2.2. SasaranPenilaianKeterampilanpesertadidik
KemampuanBelajar
Mengamati

Deskripsi
Perhatian
pada
waktu
mengamati
suatu
objek/membaca suatu tulisan/mendengar suatup
enjelasan, catatan yang dibuat tentang yang diamati,
kesabaran, waktu (on task) yang digunakan untuk
mengamati
Menanya
Jenis, kualitas, dan jumlah pertanyaan yang diajukan
peserta didik (pertanyaan faktual, konseptual,
prosedural, dan hipotetik)
Mengumpulkaninformasi Jumlah dan kualitas sumber yang dikaji/digunakan,
kelengkapan informasi, validitas informasi yang
dikumpulkan, dan instrumen/alat yang digunakan
untuk mengumpulkan data.
Menalar/mengasosiasi
Mengembangkan interpretasi, argumentasi dan
kesimpulan mengenai keterkaitan informasi dari dua
fakta/konsep, interpretasi argumentasi dan kesimpulan
mengenai keterkaitan lebih dari dua fakta/konsep/teori,
mensintesis dan argumentasi serta kesimpulan
keterkaitan antar berbagai jenis fakta/konsep/teori/
pendapat; mengembangkan interpretasi, struktur baru,
argumentasi, dan kesimpulan yang menunjukkan
hubungan fakta/ konsep/teori dari dua sumber atau
lebih yang tidak bertentangan; mengembangkan
interpretasi,
struktur
baru,
argumentasi
dan
kesimpulan dari konsep/teori/pendapat yang berbeda
dari berbagai jenis sumber.
Mengomunikasikan
Menyajikan hasil kajian (dari mengamati sampai
menalar) dalam bentuk tulisan, grafis, media
elektronik, multi media dan lain-lain

145

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas maka komponen kegiatan saintifik dalam


muatan pembelajaran IPA yang digunakan adalah mengamati, menanya, mengumpulkan
informasi, mengolah/mengasosiasikan, dan mengomunikasikan. Setiap komponen kegiatan
saintifik dijabarkan kedalam indikator-indikator yang dituangkan dalam kisi-kisi instrumen.
Kisi-kisi instrumen dijadikan dasar untuk mengembangkan instrumen penilaian berbasis
pendekatan saintifik.Karateristik instrumen penilaian yang dikembangkan adalah instrumen
penilaian dapat digunakan untuk mengukur kompetensi pengetahuan, dan keterampilan
abstrak maupun kongkrit muatan IPA subtema hewan dan tumbuhan di lingkungan rumahku
melalui pembelajaran tematik terpadu dengan pendekatan saintifik

METODE PENGEMBANGAN

Model

pengembangan

yang

digunakan

dalam

penelitian

ini

adalah

model

pengembangan 4D. Model pengembangan ini terdiri dari 4 tahapan yaitu Tahap
pendefinisian (Define) yang terdiri dari 5 langkah pokok, yaitu analisis kebutuhan, analisis
siswa, analisis tugas, analisis konsep dan perumusan indikator dan tujuan pembelajaran.
Tahap perancangan (Design) terdiri dari 4 langkah, yaitu pembuatan jadwal, pembuatan tim
kerja, penyusunan instrumen, dan penentuan produk. Tahap Pengambangan (Develop)
terdiri dari 3 langkah, yaitu validasi oleh tim ahli materi dan desain produk, dan uji coba
terbatas yang melibatkan 3 orang guru kelas IV SD dan 32 orang peserta didik. Tahap
penyebaran (Desiminate) yang merupakan tahap terakhir yang merupakan tahap
mempublikasikan produk.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian pengembangan ini adalah kuantitatif dan
kualitatatif. Data kuantitatif didapat dari skor dari angket tanggapan dari guru, dan data uji
validitas dan reliabilitas. Data kualitatif diperoleh dari tanggapan dan saran yang di berikan
oleh ahli validasi dan guru sebagai praktisi.
Penelitian pengembangan dilengkapi dengan penggunaan instrumen penelitian.
Insrumen penelitian berupa lembar validasi oleh tim ahli materi dan desain produk serta
angket tanggapan guru terhadap instrumen penilaian berbasis pendekatan saintifik muatan
IPA pada subtema hewan dan tumbuhan di lingkungan rumahku.
Pada uji terbatas diperoleh data dari tanggapan guru berupa skor. Skor angket
dianalisis dengan terlebih dahulu membuat tabel interval. Jarak interval dihitung dengan
menggunakan rumus berikut (Ridwan, 2010) :

146

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Setelah diperoleh jarak interval, maka ditentukan klasifikasi untuk tanggapan guru sebagai
berikut :
9,77 12,00

: sangat layak

7,51 9,76

: layak

5,26 7,50

: cukup layak

3,00 5,25

: kurang layak

Selain data tanggapan guru pada uji terbatas juga diperoleh data hasil belajar siswa
yang akan di gunakan untuk menentukan validitas dan reliabilitas. Validitas dan reliabilitas
diperoleh dengan menggunakan rumus korelasi product-moment (Arikunto,1999). Pada uji
coba terhadap siswa, kemampuan siswa melakukan kegiatan saintifik dapat di analisis
dengan teknik penghitungan presentase dengan rumus :

Rata-Rata Nilai = Rata-Rata Nilai =


HASIL PENGEMBANGAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian pengembangan dimulai dengan tahap difine. Berdasarkan hasil wawancara
diperoleh informasi bahwa pembelajaran yang dilakukan adalah pembelajaran tematik
terpadu dengan menggunakan pendekatan saintifik. Terkait dengan penilaian yang
dilakukan, guru menggunakan instrumen penilaian berupa soal uraian singkat pada setiap
pembelajaran. Untuk memberi skor pada setiap soal yang digunakan guru hanya
menggunakan rubrik yang sederhana bahkan ada guru yang belum memiliki rubrik penilaian.
Analisis siswa menunjukkan bahwa usia siswa di kelas IV SD rata-rata 9 s.d. 10 tahun.
Siswa sudah terbiasa belajar menggunakan pendekatan saintifik. Analisis tugas berupa
analisis kompetensi inti dan kompetensi dasar yang diberlakukan pada kurikulum 2013 pada
sub tema hewan dan tumbuhan di lingkungan rumahku. Analisis konsep yang dilakukan
adalah analisis konsep muatan IPA materi bentuk luar tubuh hewan dan tumbuhan serta
fungsinya yang dijelaskan pada tabel berikut:

147

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Tabel.4.1. Analisi Konsep Pengembangan Instrumen Penilaian


Berbasis Pendekatan Saintifik
Tumbuh-tumbuhan
Akar
Batang
Daun
1. Deskripsi
akar 1. Deskripsi
1. Deskripsi
tumbuhan
batang
Daun
2. Bagian-bagian
tumbuhan
tumbuhan
akar tumbuhan
2. Bagian-bagian 2. Bagian-bagian
3. Fungsi
akar
batang
daun
tumbuhan
tumbuhan
tumbuhan
3. Fungsi batang 3. Fungsi daun
tumbuhan
tumbuhan
Hewan
1. Deskripsi tubuh hewan
2. Bagian-bagian tubuh hewan
3. Fungsi bagian tubuh hewan

Bunga
1. Deskripsi
akar
tumbuhan
2. Bagianbagian akar
tumbuhan
3. Fungsi akar
tumbuhan

Selain analisis konsep juga dilakukan perumusan indikator dan tujuan pembelajaran
berbasis pendekatan saintifik yang akan digunakan untuk menyusun instrumen dan rubrik
penilaian. Indikator yang dirumuskan berkaitan dengan 5 komponen pendekatan saintifik,
yaitu

mengamati,

menanya,

mengumpulkan

informasi,

mengolah

informasi,

dan

mengkomunikasikan.
Tahap perancangan (design)

terdiri dari empat langkah yaitu pembuatan jadwal

selama 6 bulan. Penentuan tim kerja yang terdiri dari dua validator ahli, 3 orang guru kelas
IV SD, dan 32 orang siswa kelas IV pada uji coba terbatas. Spesifikasi desain instrumen
penilaian berbasis pendekatan saintifik muatan IPA pada subtema hewan dan tumbuhan di
lingkungan rumahku dirancang dengan menggunakan teknik penugasan yang dilakukan
dalam proses pembelajaran. Instrumen yang digunakan dalam bentuk lembar kegiatan siswa
yang dilengkapi dengan rubrik penilaian. Instrumen dan rubrik yang sudah disusun berbasis
pendekatan saintifik.
Pada tahap pengembangan (development) di lakukan validasi ahli. Berdasarkan hasil
validasi, dilakukanlah revisi terhadap produk yang dikembangkan. Validasi dilakukan sampai
produk yang dikembangkan dinyatakan valid untuk di uji coba. Uji coba dilakukan secara
terbatas.
Pada uji coba terbatas diperoleh data tanggapan guru dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan tanggapan dari tiga orang guru yang menggunakan instrumen penilaian yang
dikembangkan melalui angket tanggapan guru di peroleh informasi bahwa instrumen
penilaian yang dikembangkan mudah digunakan untuk mendapatkan data tentang
ketercapaian kompetensi siswa. Kemudahan tersebut juga didukung dengan adanya rubrik

148

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

penilaian dan pedoman penilaian yang dikembangkan. Selanjutnya berdasarkan skor dari
angket tanggapan guru di peroleh skor rat-rata 10,1 atau berada pada rentang 9,77 s/d
12.00 dengan kategori sangat layak untuk digunakan.
Pada uji coba terbatas instrumen penilaian juga diperoleh data tentang validitas dan
reliabilitas instrumen yang dikembangkan. Validitas dan reliabilitas diperoleh dari analisis
hasil belajar siswa. Uji coba dilakukan pada 32 orang siswa kelas IV SDN 01/IV Kota Jambi.
Uji coba menggunakan instrumen penilaian berbasis pendekatan saintifik pada sub tema
hewan dan tumbuhan di lingkungan rumahku yang terdiri dari lima kali pembelajaran.
Pembelajaran 1, 2 dan 3 terdiri dari 7 kegiatan, pembelajaran 4 terdiri dari 11 kegiatan, dan
pembelajaran 5 terdiri dari 8 kegiatan.
Hasil analisis memberi informasi, bahwa instrumen pada pembelajaran 1, 2 dan 3
yang terdiri dari 7 item dinyatakan valid dengan tingkat kevalitan sedang, tinggi dan sangat
tinggi. Butir kegiatan dengan validitas sedang dilakukan revisi.Pembelajaran 4 memiliki
jumlah item kegiatan yang dinilai yaitu 11 item kegiatan. 11 kegiatan dinyatakan valid namun
ada satu kegiatan yang memiliki validitas yang rendah yaitu item nomor 3. Pembelajaran 5
memiliki jumlah item kegiatan yang dinilai yaitu 8 item. Dari 8 item kegiatan semua
dinyatakan valid, namun ada 2 item yang memiliki validitas rendah yaitu item nomor 1dan 2.
Selain validatas instrumen, pada uji coba terbatas ini data yang diperoleh juga
digunakan untuk menentukan reliabilitas instrumen yang dikembangkan. Semua item
kegiatan reliabel Ini berarti bahwa hasil penilaian dengan menggunakan instrumen yang
dikembangkan dapat dipercaya.
Hasil belajar siswa diperoleh dari dua kompetensi yaitu pengetahuan dan
keterampilan. Untuk keterampilan ada dua hasil belajar yaitu keterampilan abstrak dan
keterampilan kongkrit. Untuk keterampilan abstrak terkait dengan kemampuan melakukan
kegiatan saintifik, yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah informasi
dan mengkomunikasikan. Sedangkan keterampilan kongkrit yaitu kemampuan menulis yang
disajikan dalam bentuk laporan hasil pengamatan. Hasil belajar siswa diperoleh dari setiap
pembelajaran yang dilakukan. Pengukuran kompetensi siswa dilakukan di kelas IV SDN
01/IV Kota Jambi. Jumlah siswa yang terlibat sebanyak 32 orang siswa.
Berdasarkan pengukuran pengetahuan diperoleh informasi bahwah rata-rata nilai
pengetahuan

siswa

dalam

mendeskripsikan

bagian

bentuk

luar

tubuh

hewan,

mengidentifikasi bagian-bagian tubuh hewan, dan menjelaskan fungsi bagian tubuh hewan
adalah 3,00 dengan predikat (B) atau berada pada kriteria baik. Ini berarti bahwa
pembelajaran 1 yang dilakukan secara klasikal mencapai ketuntasan minimal yang

149

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

ditetapkan. Selain pengetahuan, dengan menggunakan instrumen penilaian berbasis


pendekatan saintifik, juga diperoleh data tentang keterampilan siswa dalam melakukan
kegiatan saintifik, yaitu mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah informasi
dan mengkomunikasikan. Berdasarkan analisis data terlihat bahwa rata-rata nilai
kemampuan siswa melakukan kegiatan saintifik adalah 2,88 atau dengan kriteria baik. Dari
lima kegiatan saintifik yang dilakukan kegiatan menanya memiliki rata-rata nilai yang terkecil
yaitu 2,27 atau dengan kriteria cukup. Dari tabel hasil pengukuran kemampuan keterampilam
melakukan kegiatan ilmiah pembelajaran 1 juga diperoleh informasi, bahwa kemampuan
siswa menyajikan data secara tertulis dalam bentuk laporan hasil pengamatan yaitu 3,03
atau dengan kriteria baik.
Pembelajaran 2 dengan materi pokok bentuk luar tubuh tumbuhan dan fungsinya.
siswa melakukan 7 item kegiatan berbasis saintifik. Dari kegiatan yang dilakukan oleh siswa
diperoleh data tentang pengetahuan dan keterampilan siswa. Berdasarkan pengukuran
pengetahuan diperoleh informasi bahwah rata-rata nilai pengetahuan siswa dalam
mendeskripsikan bagian bentuk luar tubuh tumbuhan, mengidentifikasi bagian-bagian
tumbuhan, dan menjelaskan fungsi bagian tumbuh-tumbuhan adalah 3,14 dengan predikat
(B) atau berada pada kriteria baik. Ini berarti bahwa pembelajaran 2 yang dilakukan secara
klasikal mencapai ketuntasan minimal yang ditetapkan. Rata-rata nilai kemampuan siswa
melakukan kegiatan saintifik adalah 3,12 atau dengan kriteria baik. Dari lima kegiatan
saintifik yang dilakukan kegiatan menanya memiliki rata-rata nilai yang terkecil yaitu 2,81
atau dengan kriteria baik. Dari tabel hasil pengukuran kemampuan keterampilam melakukan
kegiatan ilmiah pembelajaran 1 juga diperoleh informasi, bahwa kemampuan siswa
menyajikan data secara tertulis dalam bentuk laporan hasil pengamatan yaitu 3,06 atau
dengan kriteria baik.
Pembelajaran 3 dengan materi pokok bentuk luar akar tumbuhan dan fungsinya. siswa
melakukan 7 item kegiatan berbasis saintifik. Dari kegiatan yang dilakukan oleh siswa
diperoleh data tentang pengetahuan dan keterampilan siswa. Berdasarkan pengukuran
pengetahuan diperoleh informasi bahwah rata-rata nilai pengetahuan siswa dalam
mendeskripsikan bentuk luar akar tumbuhan, mengidentifikasi bagian-bagian akar
tumbuhan, dan menjelaskan fungsi akar tumbuhan adalah 3,17 dengan predikat (B) atau
berada pada kriteria baik. Ini berarti bahwa pembelajaran 3 yang dilakukan secara klasikal
mencapai ketuntasan minimal yang ditetapkan.Rata-rata nilai kemampuan siswa melakukan
kegiatan saintifik adalah 3,12 atau dengan kriteria baik. Dari lima kegiatan saintifik yang
dilakukan kegiatan menanya memiliki rata-rata nilai yang terkecil yaitu 2,81 atau dengan
kriteria baik. Dari tabel hasil pengukuran kemampuan keterampilam melakukan kegiatan

150

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

ilmiah pembelajaran 3 juga diperoleh informasi, bahwa kemampuan siswa menyajikan data
secara tertulis dalam bentuk laporan hasil pengamatan yaitu 3,06 atau dengan kriteria baik.
Pembelajaran 4 dengan materi pokok bentuk luar daun dan bunga dan fungsinya.
siswa melakukan 11 item kegiatan berbasis saintifik. Dari kegiatan yang dilakukan oleh
siswa diperoleh data tentang pengetahuan dan keterampilan siswa. Berdasarkan
pengukuran pengetahuan diperoleh informasi bahwah rata-rata nilai pengetahuan siswa
dalam mendeskripsikan bentuk luar daun dan bunga, mengidentifikasi bagian-bagian daun
dan bunga, dan menjelaskan fungsi daun dan bunga adalah 3,13 dengan predikat (B) atau
berada pada kriteria baik. Ini berarti bahwa pembelajaran 4 yang dilakukan secara klasikal
mencapai ketuntasan minimal yang ditetapkan.Rata-rata nilai kemampuan siswa melakukan
kegiatan saintifik adalah 3,07 atau dengan kriteria baik. Dari lima kegiatan saintifik yang
dilakukan kegiatan menanya memiliki rata-rata nilai yang terkecil yaitu 2,72 atau dengan
kriteria baik. Dari tabel hasil pengukuran kemampuan keterampilam melakukan kegiatan
ilmiah pembelajaran 4 juga diperoleh informasi, bahwa kemampuan siswa menyajikan data
secara tertulis dalam bentuk laporan hasil pengamatan yaitu 3,12 atau dengan kriteria baik.
Pembelajaran 5 bentuk luar batang dan fungsinya. siswa melakukan 8 item kegiatan
berbasis saintifik. Dari kegiatan yang dilakukan oleh siswa diperoleh data tentang
pengetahuan dan keterampilan siswa. Berdasarkan tabel pengukuran pengetahuan
diperoleh informasi bahwah rata-rata nilai pengetahuan siswa dalam mendeskripsikan
bentuk luar batang, mengidentifikasi bagian-bagian batang, dan menjelaskan fungsi batang
adalah 3,22 dengan predikat (B) atau berada pada kriteria baik. Ini berarti bahwa
pembelajaran 5 yang dilakukan secara klasikal mencapai ketuntasan minimal yang
ditetapkan.Rata-rata nilai kemampuan siswa melakukan kegiatan saintifik adalah 3,15 atau
dengan kriteria baik. Dari lima kegiatan saintifik yang dilakukan kegiatan menanya memiliki
rata-rata nilai yang terkecil yaitu 2,88 atau dengan kriteria baik. Dari tabel hasil pengukuran
kemampuan keterampilam melakukan kegiatan ilmiah pembelajaran 5 juga diperoleh
informasi, bahwa kemampuan siswa menyajikan data secara tertulis dalam bentuk laporan
hasil pengamatan yaitu 3,13 atau dengan kriteria baik.
Dari lima pembelajaran yang dilakukan rata-rata kemampuan peserta didik dalam
melakukan kegiatan saintifik baik. Keterampilan siswa untuk kegiatan mengamati dari lima
pembelajaran nilai tertinggi (optimum) 3,44.
Dari lima pembelajaran yang dilakukan nilai optimum untuk keterampilan menanya
yaitu 2,88. Jika dikonversikan 2,88 berada pada rentang 2,815-3,17 atau berada pada
kriteria baik. Melalui kegiatan menanya terjadi pengembangan kompetensi peserta didik

151

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

yang terdiri dari kreativitas, rasa ingin tahu, dan membentuk pikiran kritis (Kemendikbud
2014;5).Berdasarkan hasil belajar siswa diperolah informasi bahwa, dari lima pembelajaran
yang dilakukan nilai optimum keterampilan mengumpulkan informasi adalah 3,35. Jika di
konversikan dengan tabel konversi nilai berada pada rentang 3,18-3,50 dengan predikat B+
atau dengan kriteria baik. Kegiatan mengumpulkan informasi dapat melatih peserta didik
mengembangkan sikap teliti, jujur, sopan, menghargai pendapat orang lain dan kemampuan
berkomunikasi. Dari lima pembelajaran yang dilakukan nilai optimum untuk keterampilan
mengolah informasi yaitu 3,17. Jika dikonversikan dengan tabel konversi nilai berada pada
rentang 3,18-3,50 dengan predikat B+ atau dengan kriteria baik. Melalui kegiatan mengolah
informasi dapat mengembangkan kompetensi siswa dalam mengembangkan sikap jujur,
teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, dan kemampuan menerapkan prosedur
Dalam lima pembelajarn yang dilakukan komunikasi lebih difokuskan pada komunikasi
tertulis yaitu menulis dan menyajikan data hasil pengamatan dalam bentuk laporan dengan
ktiteria yang telah ditetapkan. Dari lima pembelajaran yang dilakukan nilai capain optimun
siswa untuk kegiatan komunikasi yaitu 3,13 atau berada pada rentang nilai 2,85 - 3,17
dengan predikat B atau berada pada kategori baik. Dengan kegiatan mengkomunikasikan
dapat mengembangkan siskap jujur, telit, toleransi, berfikir sistimatis dan mengembangkan
kemampuan berbahasa tulis ataupun lisan.
Dari lima kegiatan saintifik yang dilakukan rata-rata nilai siswa berada pada kategori
baik. Nilai rata-rata terendah dari lima komponen tersebut adalah kegiatan menanya yaitu
2,88. Berdasarkan rata-rata nilai tersebut guru masih perlu meningkatkan kemampuan
peserta didik dalam bertanya. Faizal (2014;62) dijelaskan bahwa kegiatan menanya
diharapkan selalu muncul dari siswa. Untuk memancing peserta didik mengungkapkan
pertanyaan, guru harus lebih banyak memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
bertanya. Ada beberapa fungsi bertanya dikembangkan pada siswa, antara lain (1)
membangkitkan rasa ingin tahu, minat dan perhatian peserta didik tentang suatu tema, (2)
mendorong dan mengispirasi peserta didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan
pertanyaan dari dan untuk dirinya sendiri, (3) membangkitkan keterampilan siswa berbicara,
(4) mendorong partisipasi siswa dalam berdiskusi, argumentasi, mengembangkan
kemampuan berfikir dan menarik kesimpulan.
IPA sebagai suatu proses seperti yang telah suatu metode yang dikenal dengan
metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan suatu sarana yang digunakan dalam pembelajaran
IPA untuk mengenali suatu masalah, memikirkan kemungkinan pemecahannya dan menguji
setiap kemungkinan untuk mendapatkan hasil pemecahan terbaik. Kegiatan dalam metode
ilmiah terdiri dari beberapa kegiatan salah satunya adalah menentukan atau perumusan

152

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

masalah (Mariana, 2009;28). Masalah yang dimaksud dalam IPA merupakan sesuatu untuk
dipecahkan. Peserta didik dalam merumuskan suatu permasalahan dapat mengajukan
pertanyaan apa, mengapa atau bagaimana tentang objek yang diteliti. Pertanyaan yang
dibuat harus jelas tentang batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang
terkait di dalamnya. Pertanyaan yang diajukan atau dirumuskan sebagai acuan bagi peserta
untuk melakukan kegiatan pembelajaran berikutnya. Dengan adanya rumusan pertanyaan
peserta dituntut untuk mampu menjawab pertanyaan tersebut melalui kegiatan pengumpulan
informasi.

KESIMPULAN
Pengembangan Instrumen Penilaian Berbasis Pendekatan Saintifik pada Subtema
Hewan dan Tumbuhan di Lingkungan Rumahku menggunakan model pengembangan 4D
oleh Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974). Pengembangan menggunakan empat tahap
yang terdiri dari tahap pendefinisian (define), tahap perancangan (design), tahap
pengembangan (develop), dan tahap penyebaran (disseminate). Dari tahap pengembangan
yang dilakukan menghasilkan produk berupa instrumen penilaian berbasis pendekatan
saintifik yang dapat digunakan pada kelas IV SD untuk mengumpulkan data tentang
ketercapaian kompetensi siswa pada muatan IPA dengan sub tema hewan dan tumbuhan di
lingkungan rumahku. Aspek penilaian yang di masukkan dalam instrumen penilaian yang
dikembangkan adalah pengetahuan tentang bagian-bagian tubuh hewan dan tumbuhan dan
fungsinya, dan

keterampilan tentang kemampuan menulis hasil pengamatan berbasis

pendekatan saintifik. Instrumen penilaian disusun berdasarkan kisi-kisi instrumen. Kisi-kisi


instrumen disusun dengan tetap beracuan pada kompetensi dasar dari kompetensi inti 3 dan
kompetensi dasar dari kompetensi inti 4. Untuk menyatakan instrumen penilaian berbasis
pendekatan saintifik yang dikembangkan layak untuk digunakan, maka berbagai validasi
dilakukan. Berdasarkan hasil validasi dari ahli desain dan materi, dinyatakan bahwa
instrumen penilaian berbasis pendekatan saintifik yang dikembangkan layak untuk
digunakan. Begitu juga dengan hasil dari uji coba terbatas menunjukkan bahwa ketiga orang
guru kelas IV SD memberi rata-rata skor untuk tiap item yaitu 10,1 atau berada pada
kategori layak untuk digunakan ini berarti instrumen yang dikembangkan dapat memberi
kemudahan kepada guru untuk mengumpulkan data kompetensi pengetahuan dan
keterampilan siswa. Berdasarkan hasil validitas dan reliabilitas soal yang digunakan sudah
valid dan reliabel. Namun ada beberapa soal pada beberapa pembelajaran yang memiliki
validasai rendah. Maka perlu dilakukan revisi terhadap soal tersebut. Hasil pengukuran
kemampuan siswa melakukan kegiatan saintifik pada muatan IPA sub tema hewan dan

153

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

tumbuhan di lingkungan rumahku menunjukkan bahwa kemampuan rata-rata berada pada


kategori baik. Masih perlu peningkatan pada kompetensi siswa merumuskan/ mengajukan
pertanyaan. Dalam penggunaan instrumen penilaian yang dikembangkan pada proses
pembelajaran, peserta didik harus diberi informasi tentang kegiatan yang harus dilakukan
dan aspek yang akan dinilai. Data kelayakan instrumen penilaan berbasis pendekatan
saintifik yang dikembangkan diperoleh dengan adanya kerjasama antara peneliti, guru yang
menggunakan dalam proses pembelajaran dan siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 1999. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), PT Rineka Cipta:
Jakarta.
Enger ,K Sandra., Yager,E Robert. 2000. Assesing Student Understanding In Science.
Corwin Press, INC: California.
Fatonah, S., Suyata, P., Prasetyo, Z. K., 2013, Developing an Authentic Assessment Model
in Elementary SchoolScience Teaching, Journal of Education and Practice, Vol.4,
No.13, 1-13.
Faizal. 2014. Sukses Mengawal Kurikulum 2013 di SD (Teori & Aplikasi). Diandra Kreatif.
Yogyakarta.
Frey, B. B., Schmitt, V. L., Allen, J. P.,2012, Defining Authentic Classroom Assessment,
Practical Assessment, Research & Evaluation, Vol 17, No 2, 118.
Kemendiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.22 Tahun 2006 tentang
Standar Isi. Kementerian Pendidikan Nasional: Jakarta.
Kemendikbud. 2014. Peraturan Menteri Pendidikan dan KebudayaanNo. 104 Tahun 2014
tentang Penilaian Hasil Belajar oleh Pendidik pada Pendidikan Dasar dan
Menengah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan : Jakarta
Lowery, N. V., 2003, Assessment Insights from the Classroom, Mathematics Educator, Vol.
13, No. 1, 1521
Mariana, I.M.A., dan Praginda. W. (2009). Hakikat IPA dan Pendidikan IPA. Pusat
Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Ilmu
Pengetahuan Alam (PPPPTK IPA). Bandung
Riduwan. (2010). Dasar-Dasar Statistika. Alfabeta: Bandung

154

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

METODE PEMBELAJARAN BERBASIS NEUROSAIN


MEWUJUDKAN PENCAPAIAN KOMPETENSI ORANG TUA
DALAM MENGHADAPI PERSALINAN DENGAN PROSES
PEMBELAJARAN YANG MENYENANGKAN
Dr. Ina Yuniati, MSc
The Training and Education Centre, Ministry Of Health. Indonesia
(Diterima 16 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstract: This paper exposes the new model of childbirth training using learning methode
based on neurosaince to empower parents competency for childbirth with enjoy learning
process. The purpose of this study is to create the efective learning to solve the problems of
childbirth preparedness, improving the parent competency for childbirth. The research was
conducted at community setting in the Bandung rural area. The research and development
used mix method approach. Research finding showed that the learning strategy produced
active and enjoy learning, stimulated learner and facilitator enthusiasm, then improved
parent competency for childbirth. Learning products increasing the mental process for parent
and baby bounding attachment since pregnant. Simulation, roleplay, game, case study,
reflection, and pairs assignment in the enjoy situation built the parents responsibility to
handle childbirth task and newborn baby care. Increasing of parent knowledge, attitude,
skills influence parent confidence for childbirth. The research findings recommended to use
the new model of childbirth training using learning methode based on neurosaince by enjoy
learning on the all setting area for childbirth preparation in the hospital, midwifery clinic, or
community, in order to help parent confidence for childbirth.
Keywords: learning methode based on neurosaince, enjoy learning, childbirth training,
Parent,s competency for childbirth.
Corresponding author: Dr. Ina Yuniati, MSc., E-mail: inayuniati@gmail.com
A.

PENDAHULUAN
Pasangan suami istri memiliki peran dan tanggung jawab sebagai orang tua, saat

menghadapi kehamilan dan kehadiran seorang anak. Perubahan yang terjadi secara drastis
pada fisik perempuan saat kehamilan dan persalinan, menimbulkan pengaruh psikologis,
dan sosial pada pasangan untuk berperan sebagai orang tua. Proses pematangan jiwa
menjadi seorang ayah dan ibu terjadi, sebagai insting yang terjadi secara otomatis dan
alamiah.
Masa transisi terjadi saat istri mulai hamil. Masa tersebut menuntut adanya komunikasi
antara ayah, ibu, dan bayi sedini mungkin. Sementara

proses adaptasi terjadi secara

cepat, sehingga timbul panik dan stres pada pasangan (Nolan, 2002: 90-91).
Berbagai ketidaksiapan dalam menghadapi kehamilan, persalinan, dan merawat
anaknya yang baru lahir, menimbulkan permasalahan psikologis yang menyebabkan

155

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

perasaan cemas. Sebagaimana hasil penelitian Fair dan Morrison (2012) menunjukkan,
bahwa ketidaksiapan ibu dalam menghadapi kehamilan, ternyata dapat menyebabkan
ketidaksiapan saat persalinan, berdampak pada kondisi psikologis ibu paskapersalinan,
menjadi depresi. Oleh karena itu, upaya persiapan calon orang tua menghadapi kehamilan
dan persalinan, sangat penting untuk kesiapan mental ayah ibu.
El-Qudsy (2013; 27-29) menegaskan pandangan spiritual, bahwa kehamilan merupakan
salah satu Sunatullah dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidup manusia. Oleh
karena itu, kehamilan dan persalinan merupakan salah satu tanda keagungan dan
kebesaran Tuhan, yang menuntut tugas dan tanggung jawab pasangan orang tua untuk
berkorban, dan menempatkannya kepada posisi kemuliaan orang tua. Kejadian tersebut
wujud kesempurnaan seorang perempuan. Nilai keyakinan ini merupakan modal kekuatan
bagi orang tua dalam menghadapi masa transisinya. Pengorbanannya akan mendapatkan
balasan pahala yang berlipat.
Nilai budaya masyarakat Indonesia, memandang bahwa semua peran tersebut menjadi
tanggung jawab perempuan, sehingga laki-laki tidak dilibatkan. Namun, pengambilan
keputusan dalam keluarga merupakan tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga.
Kondisi

ini

merupakan kesenjangan yang menimbulkan permasalahan tersendiri pada

kesehatan ibu dan anak. Dampaknya sering terjadi kesalahan dan keterlambatan dalam
pengambilan keputusan, karena ibu tidak berdaya, sementara suami tidak tahu keputusan
yang terbaik untuk kesehatan istri dan anaknya. Dampaknya kehamilan terabaikan, dan
risiko meningkat bagi keselamatan ibu dan bayi.
Ketidak setaraan gender tersebut menyebabkan kondisi yang sangat memprihatinkan
untuk ibu dan anak. Kondisi ironis terjadi, karena dalam menjalankan peran mulianya,
seorang perempuan harus mengakhiri hidup. Hasil Survey Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI) tahun 2007 menunjukkan bahwa AKI di Indonesia 226/100.000 kelahiran hidup.
Angka tersebut menunjukkan bahwa setiap satu jam terjadi kematian seorang ibu di
Indonesia. (Depkes RI, 2008). Kondisi yang sangat mencengangkan semua pihak, bahwa
hasil SDKI tahun 2012 menunjukkan peningkatan yang sangat melonjak, angka kematian
ibu menjadi 359/ 100.000 kelahiran hidup. (Rachmaningtyas, 2013:1). Fakta ini
menunjukkan perlu adanya keseriusan dalam menggerakkan kemampuan keluarga, karena
sebenarnya kesehatan ibu dapat ditingkatkan dengan upaya mendidik dan memberdayakan
keluarga.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, mulai Gerakan Safe Motherhood pada
tahun 1987, keputusan Presiden Republik Indonesia menempatkan Bidan di Desa, agar
dapat memberikan pelayanan kesehatan ibu dan anak langsung di wilayahnya. Namun,

156

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

ternyata keberadaan bidan di desa belum mampu untuk memberdayakan ibu dan
keluarganya secara optimal
Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap kesehatan ibu dan anak, tahun
2007 dicanangkan Desa Siaga, bertujuan

meningkatkan keterlibatan suami dalam

perencanaan persalinan. Tahun 2008 diprogramkan Persiapan Persalinan dan Pencegahan


Komplikasi (P4K). Buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) sebagai sarana pendidikan untuk
ibu dan keluarga telah didistribusikan kepada masayarakat, namun hasil evaluasi
menunjukkan bahwa tidak semua ibu membaca buku tersebut dengan berbagai kendala.
Upaya pemecahannya, dibuat kelas ibu hamil, sehingga dapat mengajarkan langsung buku
tersebut kepada ibu hamil.

Namun, kelas tersebut hanya mendidik ibu, tidak melibatkan

suami sejak awal kehamilan. Hal tersebut menunjukkan kesenjangan program, karena tidak
memberdayakan suami sebagai kepala keluarga. Akibatnya terjadi ketidak siapan sikap dan
perilaku dalam pengambilan keputusan. Semua upaya belum menghasilkan kesejahteraan
ibu dan bayi. Keterlambatan pengambilan keputusan dalam keluarga masih menjadi
masalah. Berdasarkan prediksi regresi linier data SDKI, menegaskan bahwa target
pencapaian AKI pada tahun 2015 sulit untuk tercapai. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan
upaya yang lebih konkrit dan menyentuh langsung keluarga dan masyarakat (Depkes RI,
2011).
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Rumah Sakit Pertamina Jakarta dan Rumah
Sakit Ibu dan Anak Putra Dalima Serpong, menunjukkan bahwa ibu membutuhkan informasi
yang jelas tentang apa yang harus dilakukan, dan harus dihindari. Sangat membutuhkan
dukungan dan keterlibatan suami. Ketua Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Jawa
Barat dalam sambutannya pada Seminar Pelayanan Kebidanan pada tanggal 12 Agustus
2012. Menyebutkan sumber keprihatinan penyebab kematian ibu di kabupaten Bandung
karena keterlambatan keluarga membawa istrinya ke tempat pelayanan kesehatan.
Proses belajar merupakan aktifitas manusia yang menggunakan kekuatan otak dalam
menangkap berbagai memori, oleh karena itu penggunaan kekuatan otak untuk
mengefektifkan proses belajar merupakan hal yang sangat penting dan menjadi perhatian
setiap orang.
Sebagaimana dijelaskan oleh berbagai hasil riset, bahwa fungsi otak berjalan
karena adanya harmonisasi berbagai sirkuit yang ada dan tercipta secara anatomis
otak, oleh karena itu proses belajar akan berjalan optimal jika mampu mengaktifkan
sirkuti-sirkuit otak secara seimbang. Sesuai dengan filosofi pendidikan bahwa fungsi
pendidikan bukan hanya mengoptimalkan aspek rasional/ kognitif, tetapi juga aspek

157

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

emosi , fisik dan spiritual sehingga dapat menghasilkan peserta yang unggul secara
fisik dan mental. Mampu berkreasi dan bekerja secara cerdas, inovatif dan imajinatif.

Menyingkapi fenomena tersebut, perlu dikembangkan upaya pembelajaran yang


mampu mengembangkan kemampuan orang tua dalam menghadapi kehamilan, persalinan
dan merawat bayi yang akan dilahirkannya. Oleh karena itu, penulis terdorong untuk
melakukan penelitian Pengembangan model pembelajaran berbasis neurosain dalam
peningkatan kompetensi orang tua menghadapi persalinan dengan metode yang
membangkitkan kemampuan otak kanan dan kiri.

B.

KAJIAN TEORETIK
Reigeluth dan Chellman (2009) memandang bahwa pembelajaran merupakan segala

sesuatu yang dilaksanakan dengan tujuan

untuk memfasilitasi belajar.

Menggunakan

metode-metode yang membangun dan mengarahkan diri, dan bimbingan langsung.


Sedangkan Carey, dan Carey (2005: 1-3) mengemukakan bahwa pengembangan model
pembelajaran merupakan sistem yang berupaya menciptakan suatu proses pembelajaran
yang efektif dan efisien, sehingga tercipta situasi belajar yang kondusif. Tidak boleh ada
komponen yang diabaikan, karena akan menggangu pencapaian tujuan belajar.
Cruckshank, Jenkins, dan Metcalf (2006: 255) menjelaskan proses pembelajaran
konstruktivisme

bertujuan

untuk

membangun

pengetahuan

baru,

dan

mengubah

kepercayaan yang lama, melalui kekuatan berpikir dan pengalaman peserta. Proses
pembelajaran menekankan peran aktif peserta dalam memahami makna pembelajaran dari
konteks

lingkungannya

secara

kolaborasi.

Menciptakan

aktivitas

belajar

yang

menyenangkan dan menantang, dengan tugas yang kongkrit, dan menghubungkan


pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Proses belajar
konstruktivisme ini sangat baik untuk pembelajaran di masyarakat yang tidak terlepas dari
konteks sosial.
Teori- teori tersebut menjelaskan bahwa proses pembelajaran merupakan proses yang
sistimatis, melibatkan semua unsur yang terlibat dalam proses memahami dan mamaknai
suatu materi, serta mencapai suatu perubahan, dengan mengaktifkan peserta sebagai
pembelajar yang mampu membangun dan mengembangkan kemampuan dirinya. Dalam
pandangan ini, proses pembelajaran lebih diciptakan oleh peserta sebagai pembelajar,
komitmen dan partisipasi aktif daeri peserta merupakan syarat yang harus dimiliki. Oleh
karena itu widiyaiswara sebagai fasilitator lebih berperan sebagai pemberi dukungan,
semangat, memfasilitasi dan memberi penghargaan atas perubahan yang terjadi pada
pembelajar.

158

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Teori pembelajaran sosial menurut Joyce, Weil, dan Calhoun (2009: 295-296)
menekankan interaksi sosial untuk mencapai hasil pembelajaran. Oleh karena itu, peran
utama pendidik adalah untuk mempersiapkan dan mengembangkan perilaku yang
demokratis dalam tataran individu maupun sosial, sehingga tercapai kehidupan sosial yang
produktif. Pembelajaran bukan merupakan kelompok individu yang belajar masing-masing.
Pembelajaran sosial ini sangat cocok digunakan dalam mengaktifkan peserta dalam
berinteraksi dengan pasangan, dan kelompoknya.

Memfasilitasi peserta agar mampu

memecahkan permasalahan yang sering terjadi saat kehamilan, persalinan dan bayi baru
lahir. Hal tersebut sesuai dengan teori Gredler (2001:15) yang menegaskan bahwa
pemecahan masalah merupakan metode pembelajaran yang sangat bermanfaat. Oleh
karena itu, pengelolaan belajar harus diciptakan sesuai dengan permasalahan yang
dihadapi dalam masyarakat, menggunakan sumber kekuatan yang dimiliki oleh masyarakat.
(Gredler, 2009). Efektifitas pembelajaran akan semakin meningkat dengan mengembangkan
pikiran peserta untuk selalu bertanya satu dengan yang lainnya. Belajar dari interaksi sosial
dengan peserta lain, saling menghargai satu dengan yang lainnya, dan saling mempelajari
berbagai perbedaan. Proses interaksi ini akan membuat proses belajar semakin dalam dan
dinamis (Reid dan Green, 2009: 76-77).
Teori pembelajaran sosial tersebut menjadi landasan yang dikembangkan dalam proses
pembelajaran karena pada prinsipnya peran, tugas, dan tanggung jawab orang merupakan
tugas sosial yang membutuhkan rasa saling pengertian, saling menghargai, dan saling
memberi dukungan antara ayah dan ibu, serta masyarakat yang ada disekitarnya.
Proses belajar sangat ditentukan oleh motivasi peserta. Faktor lingkungan seperti
tempat, waktu pembelajaran, suhu udara, dan berbagai gangguan. Serta faktor personal
seperti pengetahuan dan keterampilan awal yang dimiliki, cara pengaturan diri, kekuatan
bertahan, dan kemampuan merefleksikan pengetahuan dan pengalamannya berpengaruh
terhadap motivasi belajar. (Schunk ,2012:356-358). Oleh karena itu, persiapan lingkungan
yang menyenangkan, akan membangkitkan motivasi peserta untuk belajar.
Metode bermain ( game) menjadi berarti dalam belajar jika mampu melibatkan
fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta, mampu menghasilkan kompetensi baru,
menggunakan teknologi yang efektif, dan dapat dilaksanakan sesuai dengan waktu yang
ada. (Shute, Rieber, dan Eck dalam Reiser dan Dempsey, (2012:117).
Berbagai penelitian telah menunjukkan kuatnya pengaruh otak dalam keberhasilan
proses belajar dan penangkapan memori. Melalui pembelajaran berbasis masalah
merupakan metode

efektif untuk

mengoptimalkan keseimbangan otak kiri dan kanan,

melibatkan peserta secara aktif, menumbuhkan motivasi belajar untuk berfikir kreatif dalam

159

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

konteks materi yang dipelajarinya. Metode simulasi dan bermain peran dapat memotivasi
peserta lebih memusatkan perhatian, dan terlibat aktif secara emosional, sehingga
pemahaman terhadap konteks materi lebih cepat. Diskusi aktif merupakan metoda yang
meningkatkan keterlibatan kognitif dan emosional, sehingga menghasilkan proses belajar
yang lebih baik. Aktivitas kognisi akan membangun koneksi sinaptik dan cara-cara baru
dalam menggunakan informasi. (Schunk, 2012: 62-67).
Berlandaskan beberapa teori dan konsep yang telah dijelaskan, maka untuk
menciptakan proses pembelajaran yang lebih cepat, dikembangkan suasana pembelajaran
yang menyenangkan, menggunakan metode yang interaktif dan bervariasi, yang dapat
mengaktifkan otak kanan dan kiri pada setiap sesi. Menciptakan suasana yang santai dan
kekeluargaan, penggunaan musik, bernyanyi dengan yel yel optimis berisi pesan penting
sesuai materi.

Berbagai metode pembelajaran berbasis neurosains dikombinasikan dalam

setiap sesi.
Otak kanan merupakan gudang yang sangat besar menyimpan memori jangka
panjang, tersimpan dalam pikiran bawah sadar. Tersimpan semua ingatan dan
kebiasaan, semua kepribadian dan citra diri. Oleh karena itu otak kanan merupakan
gudang yang menakjubkan, menyimpan jutaan pengalaman masa lalu. Adapun cara
untuk mengaktifkan memori yang ada tersebut dengan menciptakan kondisi alpha, yaitu
kondisi seseorang dalam keadaan relaks, menyenangkan dan tidak stress atau tidak
dalam tekanan. Widyaiswara, trainer dan dosen sebagai pendidik harus mampu
mengaktifkan kondisi ini, mengoptimalkan pikiran bawah sadar melalui pengendalian
pikiran sadar. Dengan menciptakan keadaan relaks dan menyenangkan, maka
kekuatan otak kanan akan membantu kekuatan otak kiri dalam menerima informasi
yang ada. Otak kanan akan mampu menggali memori masa lalu yang terkait dengan
informasi yang dipelajari tersebut. Kerjasama tersebut merupakan rahasia dari kekuatan
Otak dalam Proses Pembelajaran.
Reid G & Green S (2009) menegaskan bahwa factor pemahaman dari peserta
merupakan factor penting dalam penyimpanan memori, jika peserta mengerti informasi
yang diterimanya maka otak kiri akan mampu menyimpan sebagai memori jangka
pendek, kemudian dalam waktu tertentu memori tersebut tidak diingat lagi. Jika proses
penerimaan informasi telah berjalan dengan sempurna, memori tersebut telah berubah
menjadi memori jangka panjang yang tersimpan dalam otak kanan. Namun jika proses
penerimaan informasi tidak sempurna karena tidak terjadi pemahaman, maka memori
tersebut hilang selamanya. Hal ini menjadi kunci bagi widiyaiswara sebagai pendidik
untuk memahami bahwa Situasi yang menyenangkan akan mempercepat proses

160

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

penyimpanan informasi sebagai memori, dan pemahaman dalam proses belajar


merupakan aspek kunci untuk proses penyimpanan memori jangka pendek dan
panjang.
1.

Metode Refleksi
Pembelajaran dengan metode Refleksi akan mengaktifkan pengalaman yang

tersimpan dalam pikiran bawah sadar. Maka peserta akan lebih mudah memahami
materi yang diajarkan, karena pengalaman nyata membantu mengkonkritkan teori atau
konsep yang dibahas. Proses pemahaman akan lebih cepat, karena secara otomatis
semua memori jangka panjang yang terkait akan muncul. Seluruh peserta menjadi
terlibat penuh terhadap materi yang sedang dipelajari. Dalam proses refleksi ini,
widiyaiswara lebih berperan sebagai fasilitator yang perlu memberikan stimulus untuk
menggali pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki peserta, memberikan
reward sebagai penghargaan atas pendapat dan pengalamannya, menegaskan
pemaknaan dari pengalaman dengan materi yang sedang dibahas, menyimpulkan
materi dan upaya penerapannya dalam dunia kerja peserta.

2.

Studi Kasus
Studi kasus merupakan metode yang dapat digunakan untuk mengaktifkan otak

kiri dan kanan, karena peserta dituntut untuk berfikir kritis menganalisis kasus yang ada,
dan berusaha memecahkan permasalahan yang ada dengan berfikir kreatif. Dalam
upaya pemecahan perlu di stimulus otak kanan sebagai otak kreatif, dengan menggali
pengalaman dan menentukan tindakan yang paling efektif, serta kemampuan
mengimajinasikan efektifitas dari tahapan tindakan yang akan diambil dalam
menyelesaikan permasalahan. Semakin banyak pengalaman dalam memorinya,
semakin cepat peserta menemukan alternative tindakan, semakin mudah proses
imajinasi terbentuk.

Peran widyaiswara sebagai fasilitator hendaknya memberikan

situasi yang menyenangkan, memberi kebebasan peserta untuk berkreasi, menghargai


pendapat dan memberikan reward atas segala ideu dan pemecahan yang ditemukan.
Menggali potensi yang dimiliki peserta, memberikan tantangan sebagai stimulus untuk
berfikir kritis dan kreatif.
3.

Game/ Permainan
Shute VJ, Rieber LP, dan Eck RV menegaskan bahwa

berdasarkan hasil

penelitiannya belajar menjadi sangat baik jika dilakukan secara aktif, berorientasi pada
tujuan, sesuai dengan konteks dari materi dan menyenangkan. Lingkungan belajar

161

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

harus interaktif, memberikan feedback yang berkesinambungan, penuh perhatian,


memiliki kesesuaian dan memberikan tantangan. Oleh karena itu permainan yang baik
akan

memberikan dukungan dalam pemaknaan belajar. Permainan menjadi berarti

dalam belajar jika mampu melibatkan fenomena yang harus dipecahkan oleh peserta,
mampu menghasilkan kompetensi baru, menggunakan teknologi yang efektif, dapat
dilaksanakan sesuai dengan waktu yang ada sampai pemberian feedback terhadap
peserta, tugas yang dimainkan dan hambatan yang ada dalam mencapai keterampilan
peserta.( Robert A. Reiser and John V.Dempsey , 2012) Widyaiswara dapat
menggunakan metode belajar game dalam proses belajar, karena melalui game peserta
akan terlibat secara penuh pikiran dan perasaannya, bahkan secara otomatis pikiran tak
sadarnya akan membantu menggali memori yang tersimpan. Secara spontan muncul
kreatifitas dan ideu-ideunya tentang materi yang terkait, dan akan terekam mejadi
memori baru yang tersimpan dalam waktu lama (long term memory) yang bermanfaat
untuk digunakan saat dibutuhkan nanti dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya..

4.

Simulasi/ Praktik dan Role Play


Keberadaan otak limbic merupakan bagian otak kecil yang dapat mengontrol tiga hal

seperti; emosi, seksualitas dan pusat kenikmatan. Emosi sangat erat kaitannya dengan
penciptaan ingatan dan merupakan dasar dalam pengelolaan memori. Maka terlihat adanya
kaitan emosi dan memori secara bersamaan. Widyaiswara harus memanfaatkan kekuatan
ini dalam mengoptimalkan proses belajar, menggunakan metode belajar yang melibatkan
emosi peserta, seperti role play, simulasi dan praktik. Keterlibatan emosi dapat
mempercepat proses internalisasi dan penyerapan memori sehingga meningkatkan kualitas
proses belajar. Perubahan sikap dan prilaku akan lebih cepat dicapai.
Metode simulasi dan bermain peran dilakukan dalam setting khusus, sehingga dapat
memotivasi peserta untuk lebih memusatkan perhatian, dan melibatkan secara aktif secara
emosional, oleh karena itu pemahaman terhadap konteks materi lebih terfokus dengan
melihat dan merasakan langsung.
5.

Pemecahan Masalah (problem solving)


Menyingkapi kemampuan otak, berbagai penelitian tentang otak telah membuktikan

kuatnya pengaruh otak dalam keberhasilan proses belajar dan penangkapan memori.
Pembelajaran berbasis masalah merupakan metode yang efektif karena mengoptimalkan
keseimbangan otak kiri dan kanan, melibatkan peserta secara aktif, menumbuhkan motivasi

162

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

belajar untuk berfikir kreatif dalam konteks materi yang dipelajarinya. Sekaligus menstimulus
potensi otak pada sirkuit untuk menyelesaikan masalah.
6.

Diskusi
Diskusi aktif merupakan metoda yang meningkatkan keterlibatan kognitif dan

emosional sehingga menghasilkan proses belajar yang lebih baik, mendorong peserta untuk
menggabungkan ideu-ideu baru dengan konsepsi yang telah dimiliki sebelumnya. Aktififitas
kognisi ini akan membangun koneksi sinaptik dan cara-cara baru dalam menggunakan
informasi.( Dale H Schunk , 2012).
Dalam rangka mengembangkan model pembelajaran yang lebih kondusif, lebih cepat,
dan menyenangkan, maka berbagai metode pembelajaran yang mengaktifkan otak kanan
dan kiri digunakan, dengan mengkombinasikan berbagai metode sesuai dengan tujuan dan
kompetensi yang diharapkan dalam setiap sesi.

Penggunaan metode yang berbasis

neurosains tersebut dapat mengaktifkan ketiga cara belajar yang bersifat visual, auditory,
dan kinestetic. Hal tersebut dapat menghasilkan proses belajar yang lebih cepat, lebih
mudah, dan lebih menyenangkan.
Model strategi pembelajaran yang dikembangkan seperti pada tabel 1 berikut.
Tabel .1
Model Strategi Pembelajaran Dalam Sesi Pelatihan
Tahap
Pembukaan

Inti

Penutup

Strategi Pembelajaran
Seting ruangan santai & musik
Sapaan bersahabat
Perkenalan / Permainan
Refleksi Pengalaman, dikaitkan dengan materii
Tujuan
Kemanfaatan
Pemutaran Video
Refleksi
Penugasan kelompok/ pasangan
Latihan/ simulasi/ Bermain peran
Praktik / Bermain
Ceramah Tanya Jawab
Diskusi/ studi kasus
Refleksi
Penegasan/ Rangkuman
Bernyanyi
Yel-yel Optimis
Evaluasi

Tabel 1 tersebut, menunjukan bahwa strategi pembelajaran yang diciptakan


meyenangkan, rileks, dengan metode yang bervariasi. Setiap tahapan sesi pelatihan peserta

163

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dilibatkan secara aktif, dan diberi kesempatan untuk merefleksikan pengalaman,


pengetahuan, nilai dan kebiasaan yang dimilikinya sesuai dengan konteks materi. Pada
akhir sesi peserta difasilitasi untuk merangkum materi yang telah dipelajari dengan cara
yang menyenangkan dan santai. Strategi tersebut bertujuan mengaktifkan pikiran bawah
sadar, sehingga pembelajaran mudah diserap. Motivasi dan konsentrasi peserta dapat
terpelihara selama sesi.

164

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

C.

METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dan Pengembangan dilakukan menggunakan pendekatan mix methode

kualitatif dan kuantitatif. Bertujuan untuk menghasilkan produk pengembangan model


pelatihan

yang

mempersiapkan

ibu

hamil dan

pasangannya

dalam

menghadapi

kehamilan,persalinan dan menjadi orang tua yang mandiri. Tujuan khusus penelitian ini
secara rinci adalah sebagai berikut;
1. Mengkaji karakteristik peserta, latar belakang pendidikan, jumlah anak, jumlah
persalinan.
2. Mendesain model pembelajaran berbasis fungsi otak, yang dapat menyiapkan mental
dan kemandirian orang tua.
3. Menghasilkan produk pembelajaran dalam bentuk; strategi

istruksional, panduan

fasilitator, alat evaluasi, dan media pembelajaran yang bervariasi.


4. Melaksanakan evaluasi formatif untuk mendapatkan umpan balik, dan merevisi produk
pengembangan.

Metode pengumpulan data yang digunakan melalui wawancara, kelompok diskusi


terfokus, observasi, tes pengetahuan dan tes keterampilan. Proses analisis data
menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif.
Penelitian dilakukan di kelompok masyarakat kampung Palintang Desa Cipanjalu
Kecamatan Cilengkrang Kabupaten Bandung,

melibatkan 3 orang bidan dan 2 orang

widyaiswara Balai Pelatihan Kesehatan Propinsi Jawa Barat sebagai fasilitator. Bidan desa,
Bidan Koordinator, Ketua STIKES Dharma Husada, Ketua PKK, dan Kader kesehatan
sebagai observer.
Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2012 sampai September 2013.
Menggunakan tahapan penelitian sebagai berikut; Tahap awal pengumpulan data secara
kualitatif untuk menggali kebutuhan dan masalah yang dihadapi oleh ibu hamil dan
pasangannya. Observasi beberapa kelas ibu hamil yang sedang berjalan untuk mengkaji
kesenjangan dalam proses pembelajaran, wawancara bidan yang memberikan pelayanan di
poliklinik kehamilan, ruang bersalin dan ruang paskasalin untuk menggali kebutuhan dan
kesenjangan yang terjadi pada pasangan saat pelayanan. Berdasarkan kebutuhan dan
kesenjangan yang ditemukan dikembangkan strategi instruksional, bahan ajar, media
belajar, instrumen evaluasi, dan panduan fasilitator. Untuk menguji validasi produk yang
dikembangkan dilakukan evaluasi formatif melalui tanggapan ahli, evaluasi perorangan,
evaluasi kelompok kecil dan kelompok besar sebagai uji lapangan.

165

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Tahap uji lapangan kelompok besar, dilakukan pada 12 orang pasangan yang sedang
menghadapi kahamilan trimester pertama, kedua, dan ketiga. Kegiatan insturksional
diberikan dalam 5 sesi, setiap sesi lamanya 2-3 jam. Melibatkan 5 orang fasilitator, 5 orang
observer.
D.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan hasil kajian tahap awal yang dilaksanakan pada tanggal 20-22 Desember

2012, ditemukan adanya kesenjangan pengetahuan dan keterampilan, dan ketidaksiapan


pasangan menghadapi kehamilan, persalinan dan perawatan bayi. Kelas ibu hamil yang
sedang berjalan tidak melibatkan suami, menggunakan metode pembelajaran satu arah
dengan ceramah, sehingga peserta pasif dalam proses belajar. Proses evaluasi hanya
mengukur pengetahuan melalui post test. Kesenjangan ini menunjukkan adanya kebutuhan
untuk dikembangkan model

yang mampu meningkatkan kompetensi orang tua dalam

menghadapi persalinan, dan menumbuhkan peran tanggung jawab ayah dan ibu secara
mandiri.
Tahap kedua sebagai tahap pengembangan, dikembangkan strategi instruksional
dengan menggunakan metode pembelajaran berbasis kerja otak yang variatif, sehingga
mampu mengaktifkan peran serta peserta, interaksi sosial diantara peserta, dan
menumbuhkan tanggung jawab peserta sebagai pasangan calon orang tua untuk
menghadapi peran dan tugasnya. Pembelajaran praktik dikembangkan dengan simulasi,
dan role play, agar seluruh peserta siap secara mental, dan terampil dalam melakukan
perannya. Dalam rangka mengaktifkan otak kanan dan kiri, dikembangkan media
audiovisual dalam bentuk video kehamilan, video persalinan, kartu kehamilan, kartu
persalinan dan kartu bayi baru lahir. Berbagai metode yang dikembangkan bertujuan untuk
menciptakan pembelajaran yang lebih mudah, nyata, dan jelas. Secara mental dan emosi
seluruh peserta terlibat penuh, sehingga pemahaman lebih cepat, mendalam, dan terfokus.
Hasil validasi ahli materi, ahli desain pembelajaran, dan ahli media menyatakan bahwa
strategi instruksional sesuai standar, metode yang dikembangkan dapat membangkitkan
kerja otak kanan dan kiri, media yang dikembangkan mampu mengaktifkan fungsi otak
kanan dan kiri. Media yang dikembangkan jelas, konkrit, menarik, sehingga mampu
membangkitkan motivasi belajar. Saran yang diberikan agar

pedoman fasilitator

ditambahkan gambar sebagai visualisasi dari materi.


Hasil evaluasi perorangan, bahwa responden merasa senang, metode yang digunakan
sangat menyenangkan, menarik, santai dan menciptakan suasana kekeluargaan. Materi
menjadi mudah diingat. Penggunaan yel, dan lagu sangat membantu mempercepat untuk

166

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

mengingat materi. Pemutaran film tentang proses perkembangan bayi selama kehamilan,
sangat mengesankan.
Berdasarkan respon yang didapatkan sebagai hasil evaluasi, berdasarkan masukan
dari tim ahli, dan tim perorangan (one to one evaluation), dilakukan revisi untuk digunakan
dalam evaluasi kelompok kecil. Berdasarkan hasil evaluasi kelompok kecil, ditemukan feed
back sebagai masukan dan sekaligus respon sebagai berikut; dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel .3. Hasil Evaluasi Kelompok Kecil
Responden
Peserta
Fasilitator

Observer

Tanggapan & masukan


Pembelajaran menyenangkan, mudah dipahami, tidak cape.
Pembelajaran menyenangkan, fasilitator jadi semangat, media
film, gambar dan kartu mempermudah pemberian materi,peserta
menjadi aktif. Sebaiknya pedoman fasilitator dibuat lebih rinci,
saat senam hamil tidak perlu pake slide.
Proses pembelajaran sangat interaktif, seluruh peserta aktif,
interaksi antar peserta dan fasilitator sangat antusias sampai
akhir sesi.

Hasil evaluasi kelompok kecil, menunjukkan bahwa proses pembelajaran terjadi secara
interaktif, seluruh peserta terlibat aktif, terjadi hubungan yang yang harmonis antara peserta
dan fasilitator.
Proses evaluasi kelompok besar sebagai uji lapangan, dilaksanakan pada tanggal 2529 September 2013, responden 12 orang ibu hamil dan pasangannya. Melibatkan 5 orang
fasilitator dan 5 orang observer. Hasil evaluasi menunjukkan, adanya perubahan
pengetahuan dan keterampilan dari peserta, rata-rata nilai pre tes: 51, dan rata-rata pos
tes: 73, terjadi peningkatan yang signifikan. Seluruh peserta kompeten melakukan aktifitas
relaksasi dan mengedan, merawat bayi, dan menyusui.
Hasil catatan refleksi menunjukkan bahwa hampir seluruh peserta berpendapat proses
pembelajaran sangat menyenangkan (83%). menambah ilmu dan pengalaman, sehingga
siap menghadapi persalinan. Materi mudah dipahami, banyak manfaatnya, tidak jenuh, dan
senang sehingga tahu persis tentang proses persalinan dan tidak bingung menghadapi
kehamilan dan persalinan. Metode pembelajaran yang digunakan sangat menyenangkan
(60 %), bagus, komplit, tidak jenuh dan bermanfaat.
Metode praktik membuat keberanian untuk melaksanakan peran dan tanggung
jawab, menambah pengalaman baru. Peserta menilai sikap fasilitator ramah dan baik,
menyenangkan, tidak jenuh dan tidak canggung. Membuat peserta menjadi semangat, dan
dalam memberikan materi mudah dipahami. Peserta menilai bahwa media yang digunakan

167

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

sangat menyenangkan. Kemanfaatan pelatihan untuk dirinya sangat banyak, karena


mengetahui persalinan yang aman dan suami menjadi perhatian.
Seluruh fasilitator berpendapat bahwa aktivitas pembukaan sangat baik, menimbulkan
antusias seluruh peserta, menciptakan suasana yang mencair, tidak tegang. Aktivitas inti
telah berjalan sesuai panduan dan perencanaan pembelajaran yang telah dibuat, sehingga
mampu menciptakan peserta lebih aktif / interaktif dan tujuan tercapai. Aktivitas penutup
baik sekali, menyenangkan, terjalin kedekatan fasilitator dengan peserta, dan yel-yel optimis
sangat membangkitkan semangat peserta sehingga merasa puas sampai akhir sesi.
Seluruh fasilitator juga berpendapat bahwa respon peserta aktif dan antusias selama
sesi. Suasana belajar menjadi Interaktif, santai dan ceria. Metode yang digunakan sangat
bagus sekali, menarik, beragam. Sebagai fasilitator menjadi semangat, khususnya metode
penugasan dan praktik berpasangan meningkatkan semangat dan keterlibatan pasangan.
Media yang digunakan dalam proses pelatihan sangat baik, penggunaan video, kartu dan
gambar sangat membantu, sehingga proses pembelajaran lebih dimengerti dan lebih
semangat.
Berdasarkan hasil evaluasi menunjukkan kemanfaatan yang signifikan dalam
meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap orang tua dalam menghadapi
perubahan kehamilan, persalinan dan perawatan anak. Kondisi ini sangat dibutuhkan untuk
menumbuhkan rasa percaya diri ayah dan ibu untuk menghadapi peran barunya.
Sebagaimana Hasil penelitiannya Matthey, et al (2004:113-126) menunjukkan pengaruh
yang signifikan kelas antenatal terhadap kondisi ibu dan peningkatan harga diri ibu dalam
menerima kondisi yang dialaminya. Meningkatkan kemampuan mengelola perasaannya
(mood), sehingga meningkatkan harga dirinya dan menurunkan ketegangan. Model
persiapan persalinan yang dikembangkan dapat menumbuhkan kesiapan mental ayah dan
ibu dalam menghadapi perubahan dan peran barunya.
Respon peserta dan fasilitator terhadap proses pembelajaran yang dikembangkan
sangat positif, merasa senang, semangat dan tidak jenuh, sehingga seluruh peserta
antusias mengikuti kegiatan pembelajaran secara aktif. Hal ini disebabkan karena metode
yang dikembangkan sangat konstruktif, mampu membangun motivasi peserta untuk
berkonstribusi mengeluarkan ide dan permasalahan yang dialaminya. Setiap peserta diberi
kebebasan untuk berpendapat, bertanya, dan menentukan pilihan

upaya penyelesaian

masalah dalam pembahasan kasus yang ditugaskan. Situasi yang humanistis ini sangat
cocok untuk pasangan yang sedang menghadapi masa transisi. Sebagaimana Sweet (1997:
308-310) menegaskan bahwa keterampilan menjadi orang tua sangat kompleks, seperti
kompleknya kehidupan. Olehkarena itu, kelas berbentuk kelompok kecil agar memberikan

168

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

keleluasaan untuk

berdiskusi tentang masalah yang dihadapinya. Situasi tidak formal,

bersahabat, dan memberikan kebebasan untuk

bertanya. Waktu pembelajaran dibatasi

hanya 2 - 4 jam. Membahas materi aspek fisik dan emosi, bertujuan untuk: memelihara
kesehatan, memberikan informasi dan dukungan, menyiapkan persalinan, mengembangkan
rasa percaya diri dan keterampilan menjadi orang tua, membangkitkan pasangan untuk
saling menberi dukungan.
Penggunaan

musik

yang

mengalun

lembut,

menciptakan

situasi

kehangatan

kekeluargaan dan kebersamaan yang tinggi, memberi rasa nyaman untuk peserta. Kondisi
santai tersebut mengaktifkan kekuatan otak kanan untuk siap menerima informasi, dengan
bantuan pikiran bawah sadar. Suasana relaks yang menyenangkan dapat menciptakan
kondisi alfa, sehingga otak kanan mengaktifkan pikiran bawah sadar untuk bekerja secara
optimal. Proses penerimaan dan penyimpanan

memori terjadi secara cepat, dan

menciptakan keberhasilan pembelajaran.


Penghargaan yang diberikan pada setiap peserta dapat membangkitkan harga diri
peserta, sehingga muncul rasa percaya diri untuk melakukan hal yang baru dan mencoba
untuk memberikan pendapatnya . Penegasan materi melalui lagu, dengan syair yang diambil
dari materi yang dibahas, serta yel-yel optimis membangkitkan perasaan senang seluruh
peserta, sehingga secara emosi terlibat dengan mendalam.
Penggunaan media gambar, video, dan simbol dengan warna dan bentuk yang menarik
membangkitkan seluruh indera dominan dari peserta. Sehingga, membuat perasaan (mood)
peserta menjadi terjaga sepanjang proses pembelajaran. Oleh karena itu, peserta merasa
tidak jenuh, konsentrasi penuh. Membantu mempercepat proses pemahaman.
Penugasan pasangan dan kelompok untuk penyelesaian kasus, menumbuhkan rasa
tanggung jawab, kepedulian sosial, rasa menghargai dan kepedulian untuk menolong
pasangan. Rasa kebersamaan dan saling membutuhkan ini sangat dibutuhkan sebagai
kesiapan mental orang tua dalam menghadapi masa transisinya yang kompleks. Latihan
kerjasama ini sangat sesuai dengan kondisi pasangan ibu hamil, seperti dijelaskan oleh
Handerson dan Jones bahwa masa transisi menjadi orang tua dapat menurunkan keintiman
secara emosional, prinsip kesamaan dalam hak dan tanggung jawab antara perempuan dan
laki-laki. Jika tidak disiapkan kerjasama ini, dukungan emosi dari laki-laki dan
keterlibatannya selama hamil menjadi kurang, bahkan rendahnya penerimaan perempuan
saat

setelah

melahirkan.

Upaya

melibatkan

keduanya

membantu

pemahaman

perkembangan emosi anak, penerimaan secara psikologi tentang masa transisi menjadi
orang tua, dan dukungan suami untuk istri. Calon ayah dilibatkan dalam persalinan,
perawatan bayi, dan proses menyusui. Oleh karena itu, pendidikan antenatal disiapkan

169

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

bukan hanya untuk menjadi ibu (motherhood) tetapi juga menjadi ayah (fatherhood).
(Henderson dan Jones, 1997: 320).

170

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

E.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.

Hasil identifikasi masalah menunjukkan adanya ketidaksiapan pasangan suami


istri dalam menghadapi perubahan pada kehamilan, persalinan dan perawatan
bayi baru lahir. Terjadi

kesenjangan sikap dan perilaku pasangan, yang dapat

berakibat fatal dan berisiko terhadap kesehatan ibu dan bayi. Kelas ibu hamil
yang berjalan menunjukkan kondisi pembelajaran yang tidak kondusif, ratio
fasilitator dengan peserta tidak seimbang. Interaksi fasilitator dan peserta pasif,
tidak menumbuhkan kesiapan mental dan kemandirian pasangan dalam
menghadapi masa transisinya sebagai orang tua. Kondisi ini menunjukan adanya
kebutuhan pengembangan model pelatihan persiapan persalinan, yang dapat
menciptakan kondisi pembelajaran yang kondusif, mampu membentuk kesiapan
mental dan kemandirian peserta dalam menghadapi peran barunya.
2.

Metode pembelajaran yang dikembangkan berdasarkan neurosains mampu


mengaktifkan fungsi otak kanan dan kiri, menghasilkan proses pembelajaran
yang melibatkan partisipasi aktif peserta, menyenangkan dan menumbuhkan
antusias peserta dan fasilitator.

3.

Proses pembelajaran yang tercipta menyenangkan, antusias, terjadi interaksi


kerjasama yang baik antara peserta dengan pasangan dan kelompok. Mampu
mencairkan suasana, membangkitkan semangat dan rasa tanggung jawab,
untuk melakukan tugas dan peran sebagai ayah dan ibu. Percaya diri, karena
memahami proses kehamilan dan persalinan. Mampu merawat bayi dan
mengatasi ketidak nyamanan, tanda bahaya yang sering muncul.

4.

Hasil evaluasi menunjukkan perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan


peserta tentang kehamilan, persalinan dan perawatan bayi baru lahir.
Menunjukkan peningkatan pengetahuan 31%, seluruh peserta mencapai standar
kelulusan dan kompeten dalam melakukan pernafasan dan pengedanan,
perawatan bayi dan menyusui (100%). Respon peserta, fasilitator dan observer
memandang pelatihan ini sangat berbeda, menarik, metode yang bervariasi
membangkitkan semangat seluruh peserta, menciptakan keharmonisan interksi
belajar.

F.

SARAN
Berdasarkan kesimpulan di atas, bahwa model pembelajaran berbasis neurosains

untuk membantu menyelesaikan permasalahan dan kesenjangan kompetensi orang tua,


dalam persiapan persalinan, dapat diterapkan dengan;

171

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

1.

Mengimplementasikan di Rumah Sakit, Klinik, Rumah Bersalin, dan di masyarakat.

2.

Metode pembelajaran berbasis neurosains, dapat dipergunakan untuk proses


pembelajaran yang lain, dalam semua situasi, yang bersifat teknis, manajemen, dan
fungsional.

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Departemen Kesehatan RI, Analisis Kematian Ibu di Indonesia, Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, 2011.
_______, Kelas Ibu Hamil, Jakarta, JICA, 2008.
Dick.W, Carey.L, dan Carey.JO, The Sistematic Design of Instruction Sixth Edition,United
States of America: Library of Congress Cataloging in-Publication Data, 2005).
El-Qudsy. H, Dahsyatnya Bacaan Al-Quran bagi Ibu Hamil, Surakarta: Al-Qudwah
Publishing, 2013.
Cruickshank. DR, Jenkins. DB, dan Metcalf. KK, The Act of Teaching Fourth Edition, New
York: Mc Graw Hill, 2006.
Fair.Cynthia D dan Morrison.Taylor E, The Relationship between Prenatal Control,
Expectation, Experienced Control, and Birth Satisfaction, Midwifery Journal, no 28,
2012.
Gredler.ME, Learning and Instruction Theory into Practice, Ochio: Pearson, 2009.
Henderson.C dan Jones.K, Essential Midwifery, London: Mosby, 1997.
Joyce.B, Weil.M, dan Calhoun. E, Models of Teachinf, New Jersey: Pearson Education,
2009.
Kwast. BE, Safe Motherhood-The first decade, Midwifery, no 9, 1993.
Lin Lin Su, at all, Antenatal Education and Postnatal Support Strategies for Improving Rates
of Exclusive Breast feeding: Randomised Controlled Trial Bio Medical Journal Online
First, Singapore, 2007.
Matthey.S, at al, Preventionof postnatal distress or depression: an evaluation of an
intervention at preparation for parenthood classes Journal of Affective Disorders 79,
2004.
Nolan. M, Education and Support for Parenting A Guide for Health Professionals, London:
Bailliere Tindall, 2002.
Reid. G dan Green. S, Effective Learning, London: Continuum International Publishing
Group, 2009.

172

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Reigeluth.CM dan Carr-Chellman.AA, Instruktional-Design Theories and Models Volume III


Building a Common Knowledge Base, New York: Taylor and Francis Publishers, 2009.
Sapkota.S, Kobayaki.T, dan Takase.M, Husbands Experiences of Supporting Their Wives
during Childbirth in Nepal, Midwifry Journal 28, 2012.
Schunk. DH, Learning Theories An Educational Perspective Sixth Edition, Boston: Pearson ,
2012.
Reiser. Robert A dan Dempsey. John V, Trends and Issues in Instruction al Design and
Technology Third Edition, Boston, 2012.
Sweet. BR, Mayes Midwifery A Textbook for Midwives 12th edition , London: Tindall, 1997.
Sweeney.MS, Brain The Complete Mind How it Develops, How it Works, and How to keep it
sharp, Washington: National Geograhic, 2011.

173

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Keadilan dalam Proses Sengketa Pajak


Hotmian Helena Samosir
Widyaiswara Madya Pusdiklat Pajak
Jln. Sakti Raya No 1 Kemanggisan, Jakarta Barat 11480
(Diterima 21 April 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstract:
Everybody loves justice and wants to be treated equally. Some of the purpose of law are
not only to actualize and expedience the fairness, but also the legal certainty. Those purposes
of law cannot be created at once to settle the tax disputes. It can be a tax dispute between Tax
Payer and Tax Officer in case of a tax assesment publishing. This dissent has to be solved by
other institutes. Tax Payer, that is disadvantaged, will do legal action. The Legal Action of
Objection and Appeal, included the meanings of tax dispute, that Tax Payer has done for the
taxes field. It is an absolute for Tax Payer to propose objection for the Tax Assesment, or
appeal for The Dessicion on the objection if Tax Payer doesnt agree for the amount that listed
on the Tax Assesment and also on The Dessicion on the objection. However, on RUU KUP
drafts about Objections Article, that submitted by goverment to The House of Representative, is
changed to : The request of objection doesnt delay the responsibility to pay taxes and the
implementation of tax billing which means if Tax Payer appeals and havent got the dessicion
but doesnt pay the tax billing, Tax Officer will insist in many ways such as auctioning Tax
Payers properties, probihiting them to go aboard, and hastaging Tax Payer. This scientific
paper is the continuation and completion of the previous one.
Keywords: justice, objection, appeal, tax collection.
Helen Samosir, E-mail:hotmianhelenasamosir@yahoo.com. HP:08121320941

Pendahuluan
Ketika pemerintahan rakyat terbentuk secara demokratis, daulat ekonomi menjadi milik
sendiri dan mempunyai ruang sendiri yang dinamakan ruang kontrak sosial. Negara dalam
bentuk kontrak sosial akan menjaga dan melindungi prinsip ekonomi masyarakat. Negara

174

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

meminta bayaran pada kontrak sosial melalui pajak dan rakyat membutuhkan suatu rasa
keadilan. Karena dongengan dari masa lalu, entah dari perjuangan bangsa melawan
penjajahahan, yang hendak mereka ceritakan kembali kepada anak-anak dan generasi
penerus, semuanya mengenai tentang diterapkan rasa adil. Karena pada intinya, kontrak sosial
adalah perjanjian antar individu dengan negara dan hukumnya agar tercipta rasa adil di tengah
masyarakat. Jangan sampai negara jatuh dalam posisi kebebasan absolut atau tirani absolut.
Akhirnya, kontrak sosial menjadi kesempatan, suatu langkah yang ingin diwujudkan,
melalui penerapan pelbagai teori, agar negara sanggup dan harus menjadikan keadilan itu
suatu hak dasar. Masyarakat berkeadilan akan menciptakan habitus yang akan menjadikan
warga negara berpikir sebagiamana negara, dan negara akan berpikir sebagaimana keinginan
rakyatnya. Sia-sialah apabila kita mengharapkan negara bisa menarik pajak orang dengan
kontribusi maksimal, rasa sukarela dan suportif dari masyarakat, tanpa adanya mindset sosial
kontrak yang benar. Pajak yang berkeadilan menjadi bagian dari kontrak sosial kini menjelma
dalam bentuk pajak yang memiliki watak tidak sekedar mengeruk kekayaan orang. Nah
bagaimana kita mewujudkan pajak yang berkeadilan dan bagaimana kita meyakinkan warga
negara untuk bertindak sebagai habitus adalah tugas kita di pemerintahan untuk menerapkan
rasa adil terlebih dahulu.
Kepedulian akan pentingnya kebanggaan terhadap pembangunan bangsa dan infra
struktur yang modern dapat memacu semangat masyarakat untuk membayar pajak. Mustahil
pembangunan akan dapat dijalankan tanpa kepedulian masyarakat dalam hal membayar pajak.
Pemahaman manfaat pajak atau bahkan pengertian pajak merupakan hal yang tidak terpisah
dari pengetahuan masyarakat tentang perpajakan. Seberapa banyak masyarakat yang paham
pajak, belum pernah ada penelitian yang terukur untuk menjabarkannya. Disinilah perlunya kita
sebagai masyarakat indonesia untuk lebih memahami atau bahkan berusaha meningkatkan
pengetahuan kita tentang manfaat pajak dan kegunaannya untuk pembangunan, yang pada
akhirnya dapat mensejahterakan dan menikmati buah hasil mebayar pajak.
Dalam hidup bernegara, tentu pemerintah perlu bahkan harus memberikan rasa
keadilan bagi setiap Warga Negaranya. Hukum barulah sesuai dengan daya guna atau
berfaedah, jika ia sebanyak mungkin mengejar keadilan. Jadi tujuan hukum adalah tata tertib
masyarakat yang damai dan adil. Meniadakan pandangan keadilan dari hukum berarti
menyamakan hukum dengan kekuasaan.

175

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Draf RUU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan yang akan diajukan pemerintah
menyebutkan: Pengajuan keberatan atau permohonan banding tidak menunda kewajiban
membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.
Beberapa waktu yang lalu penulis sudah pernah membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI)
mengenai draf RUU KUP tentang upaya hukum keberatan, dimana KTI ini merupakan
kelanjutan atau penyempurnaan dari KTI sebelumnya. Sepanjang yang penulis ketahui belum
ada penelitian terdahulu mengenai KTI ini sebelumnya.
Tentu topik ini penting dan perlu dibahas karena akan menyangkut masyarakat Wajib
Pajak pencari keadilan. Sebagaimana diketahui pajak telah menyumbang lebih dari 70% dari
keseluruhan APBN. Bagaimana kita dapat mengharapkan seseorang membayar pajak dengan
benar dan patuh melaksanakan kewajibannya kalau mereka (Wajib Pajak) belum diperlakukan
dengan adil, dimana adil disini paling tidak dapat diterima oleh logika kita sebagai manusia yang
berakal.
KTI ini dibuat dengan tujuan agar para konseptor yang membuat Draf RUU KUP lebih
dapat merasakan tuntutan masyarakat Wajib Pajak, jadi bukan hanya untuk memenuhi target
penerimaan semata dan tidak memandang Wajib Pajak dengan negative thingking saja. Atau
apabila ada suatu surat ketetapan pajak langsung menganggap yang salah adalah Wajib Pajak,
padahal hal tersebut masih memerlukan pengujian. Kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
yang mewakili rakyat juga harus sungguh-sungguh memahami bagaimana masyarakat Wajib
Pajak yang sedang mencari keadilan melalui upaya hukum yang ditempuh dapat diperlakukan
dengan benar dan masuk akal dan tidak merasa dibuat sengaja dirugikan.
Sistematika penyajian dalam KTI ini adalah terdiri dari Abstrak, Pendahuluan,
Metodologi, Hasil, Diskusi, Kesimpulan, dan Daftar Pustaka.

Metodologi
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif
dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Penelitian ini akan
membahas mengenai tindakan yang dilakukan oleh petugas pajak atau fiskus mewakili negara
dalam proses upaya hukum yang sedang dijalani oleh Wajib Pajak yang tercantum dalam draf
RUU KUP. Dalam kaitannya dengan penelitian normatif, digunakan pendekatan perundangundangan dan pendekatan perbandingan. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

176

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

digunakan berkenan dengan peraturan hukum yang mengatur ketentuan mengenai upaya
hukum yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Sedangkan pendekatan perbandingan merupakan
suatu cara yang digunakan dalam penelitian normatif untuk membandingkan salah satu
lembaga hukum dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum yang lain. Disini penulis
membandingkan ketentuan dalam perkara pidana maupun perdata apabila para pihak sedang
bersengketa

dan

belum

ada

suatu

keputusan/putusan

atau

dengan

kata

lain

keputusan/putusan belum inkrah, apa yang dilakukan oleh negara sebagai penguasa.

Hasil
Upaya hukum Keberatan
Sengketa adalah suatu hal yang lumrah dalam kehidupan manusia. Dalam kondisi
demikian, hal penting untuk diperhatikan adalah mekanisme penyelesaian sengketa. Pasal 26
UU KUP disebutkan Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas
bulan) sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberikan keputusan atas keberatan
yang diajukan. Terhadap surat keberatan yang diajukan Wajib Pajak, kewenangan
penyelesaian dalam tingkat pertama diberikan kepada Direktur Jenderal Pajak. Atau dengan
kata lain Undang-undang memberikan kewenangan kepada Direktur Jenderal Pajak sebagai
penengah atau hakim dalam memutuskan suatu perkara keberatan dimana para pihak tersebut
adalah Wajib Pajak sebagai pemohon keberatan dan Direktur Jenderal Pajak itu sendiri.
Lembaga keberatan merupakan upaya hukum yang dapat digunakan oleh Wajib Pajak
untuk memohon keadilan. Tentu upaya hukum tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak apabila
tidak setuju dengan jumlah pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam surat
ketetapan pajak yang diterbitkan atas dirinya.
Untuk memberikan kesempatan yang lebih luas kepada Wajib Pajak untuk memperoleh
keadilan dengan kemungkinan timbulnya sengketa serta memberikan sarana dan solusi bagi
para Wajib Pajak yang tidak dapat menerima atau menolak penetapan pajak yang ditetapkan
fiskus, Wajib Pajak dapat mempertahankan hak-haknya serta mendapatkan perlindungan,
sebaliknya fiskus mempertahankan kewenangannya dalam penegakan kepatuhan perpajakan.
Untuk lebih jelasnya berikut tabel mengenai ketentuan keberatan yang membandingkan
keberatan sesuai dengan UU KUP No 16 Tahun 2009 (yang berlaku saat ini) dengan Draf RUU
KUP (yang akan diajukan pemerintah):

177

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

No

UU KUP No 16 Tahun 2009

Draf RUU KUP

1.

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan


keberatan, jangka waktu pelunasan
pajak tertangguh s.d. 1 (satu) bulan
sejak tanggal penerbitan Surat
Keputusan Keberatan.

Pengajuan keberatan tidak menunda


kewajiban membayar pajak dan
pelaksanaan penagihan pajak.

2.

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan


keberatan atas surat ketetapan
pajak, Wajib Pajak wajib melunasi
pajak yang masih harus dibayar
paling sedikit sejumlah yang telah
disetujui WP dalam pembahasan
akhir hasil pemeriksaan, sebelum
surat keberatan disampaikan.

Penagihan Pajak
Dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan pajak dengan Surat
Paksa disebutkan bahwa Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung
Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan,
melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan
pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang
disita. Ketentuan dalam UU KUP yang berlaku saat ini tidak langsung dapat menetapkan Wajib
Pajak yang akan dilakukan tindakan penagihan, karena harus diketahui terlebih dahulu tanggal
jatuh tempo ketetapan tersebut.
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tanggal jatuh tempo suatu ketetapan pajak
seperti: nilai ketetapan yang disetujui oleh Wajib Pajak, ada tidaknya upaya hukum yang
dilakukan oleh Wajib Pajak. Apabila hal ini sudah diketahui barulah tindakan penagihan dapat

178

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, jadi tidak serta merta apabila atas Wajib
Pajak dikenakan ketetapan pajak yang menyebutkan adanya pajak yang masih harus dibayar
oleh Wajib Pajak penagihan dapat dilaksanakan.
Saat ini ketentuan yang berlaku adalah pada intinya apabila Wajib Pajak sedang
melakukan upaya hukum keberatan maupun banding maka pelaksanaan penagihan untuk
sementara tidak dilakukan sampai ada Surat Keputusan maupun Putusan yang sudah inkracht
yang artinya kalau ternyata upaya hukum Wajib Pajak diterima maka tidak perlu ada
pembayaran dan jikalau upaya hukum Wajib Pajak ditolak maka penagihan pajak akan
dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajaknya.
Keadilan
Perpajakan di Indonesia mengalami reformasi yang sesungguhnya pada Tahun 1983,
dengan diundangkannya UU KUP dan UU KUP tersebut sudah beberapa kali diubah. Ada 3 hal
penting yang dijadikan dasar oleh pembentuk UU yaitu:
1. Adanya upaya memberikan keadilan dan meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak.
2. Diciptakannya kepastian hukum akan meningkatkan investasi langsung maupun tidak
langsung disertai dengan beberapa fasilitas perpajakan.
3. Dengan terbitnya UU KUP sistem dan mekanisme pemungutan pajak mempunyai corak
tersendiri dan merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta Wajib Pajak
untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang
diperlukan untuk pembiayaan dan pembangunan negara.

Di dalam sistem perpajakan nasional terdapat aspek-aspek antara lain seperti:


-

Keadilan, merupakan tujuan dari perpajakan, oleh karena itu perpajakan akan bertindak
netral dan tidak diskriminatif, dalam arti terhadap Wajib Pajak diperlakukan sama dalam
hal dan kondisi yang sama.

Kelayakan administrasi, yaitu pelaksanaan administrasi yang lebih tertib, terkendali,


sederhana dan mudah dipahami.

Kepentingan penerimaan negara, dalam arti ketentuan perundang-undangan perpajakan


telah memperhatikan segi-segi stabilitas, potensial dan fleksibilitas dari penerimaan,
sehingga dapat menjamin peningkatan penerimaan negara.

179

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kemandirian bangsa dalam pembiayaan negara dan pembiayaan pembangunan yang


bersumber dari perpajakan.
Hukum

mempertahankan

perdamaian

dengan

menimbang

kepentingan

yang

bertentangan secara teliti dan mengadakan keseimbangan diantaranya, karena hukum hanya
dapat mencapai tujuan (mengatur pergaulan hidup secara damai) jika ia menuju peraturan yang
adil, artinya peraturan mana terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang
dilindungi, dimana setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya.
Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan persamarataan. Keadilan bukan berarti
bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.
Upaya hukum di Pengadilan Negeri
Pada asasnya upaya hukum biasa menangguhkan eksekusi. Upaya hukum banding
merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu atau kedua belah
pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak dapat
mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Negeri kepada
Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai asasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan Pengadilan
Negeri belum dapat dilaksanakan karena putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum
yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi.
Tenggang waktu mengajukan banding yang diatur dalam Undang-undang Nomor 14
Tahun 1985 menyebutkan apabila jangka waktu pernyataan permohonan banding telah lewat,
maka terhadap permohonan banding yang diajukan akan ditolak oleh Pengadilan Tinggi karena
terhadap putusan Pengadilan Negeri yang bersangkutan dianggap telah mempunyai kekuatan
hukum tetap sehingga dapat dieksekusi. Contohnya: Wanita yang berada dalam proses cerai
dan belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa
perceraian telah resmi terjadi, berarti perkawinannya belum putus. Oleh karena itu wanita
tersebut belum boleh menikah lagi secara hukum karena putusannya belum inkrah.

Diskusi
Apabila dibaca dalam konsiderans bagian menimbang poin c Draf RUU KUP
disebutkan: bahwa dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan dan meningkatkan
pelayanan kepada Pembayar Pajak dan

seterusnya. Terlihat jelas Negara dalam hal ini

180

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pemerintah berkeinginan untuk memberikan rasa keadilan yang lebih dibanding sebelumnya,
bukan

mengurangi rasa keadilan atau bahkan menghilangkannya. Hal ini terlihat dari

rancangan Pasal mengenai keberatan yang menghilangkan rasa keadilan itu yang
bertentangan dengan konsiderans Undang-undang itu sendiri.
Lembaga keberatan merupakan sarana yang disediakan oleh Undang-undang untuk
menyelesaikan sengketa. Keberatan merupakan hak setiap Wajib Pajak dan merupakan
manifestasi atas ketidaksetujuan atau penolakan Wajib Pajak terhadap keputusan atau
penetapan perpajakan. Sesuai dengan ketentuan Undang-undang yang mengatur mengenai
penetapan pajak, semua ketetapan harus didasarkan atas alasan-alasan yang jelas, benar dan
transparan, sehingga setiap Wajib Pajak mengerti atau memahami tentang dasar penetapan
tersebut. Sengketa perpajakan merupakan hak dari masyarakat untuk mendapatkan kejelasan,
kebenaran, dan keadilan. Agar supaya hal itu dapat tercapai dan dalam rangka memberikan
perlindungan kepada masyarakat pemerintah menciptakan lembaga-lembaga sebagai sarana
masyarakat.
Mengenai lembaga keberatan ini, menurut R.Santoso B, setiap pelaksanaan Undangundang pajak, fiskuspun dengan aparaturnya mempunyai tugas untuk melaksanakan bunyi
peraturan yang terdapat dalam Undang-undang; ia tidak sekali-sekali diperkenankan bertindak
sewenang-wenang walaupun misalnya dengan maksud untuk menguntungkan negara sebesarbesarnya dengan cara menggencet para Wajib Pajak.
Kata keadilan berasal dari kata adil yang artinya: tidak berat sebelah, tidak memihak,
berpihak kepada yang benar, sepatutnya, tidak sewenang-wenang. Dari beberapa definisi dapat
disimpulkan bahwa pengertian keadilan adalah semua hal yang berkenan dengan sikap dan
tindakan dalam hubungan antar manusia. Hal ini diharapkan berlaku juga untuk hubungan
antara Warga Negara dengan Penguasa/Pemerintah atau antara Wajib Pajak dengan fiskus.
Tentu akan tidak adil jikalau Wajib Pajak yang sedang dalam melaksanakan upaya
hukum keberatan maupun banding Wajib Pajak sedang dalam proses sengketa pajak harus
dipaksa untuk tetap melunasi utang pajak yang tidak disetujuinya tersebut dimana hasilnya
berupa Surat Keputusan maupun Putusan belum ada. Hal ini juga bertentangan dengan upaya
hukum yang dikenal dalam perkara perdata maupun pidana. Sesuai asasnya dengan
diajukannya upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi maka pelaksanaan isi putusan

181

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pengadilan Negeri (sebelumnya) belum dapat dilaksanakan karena putusan tersebut belum
mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi.
Walaupun ada juga yang mengatakan jika dalam hukum pidana berlaku asas praduga
tak bersalah sehingga terdakwa dianggap tidak bersalah sampai ada vonis atau putusan hakim.
Dalam Hukum Tata Negara berlaku hal yang sama, bahwa keputusan penguasa dianggap
benar sampai ada keputusan yang lebih tinggi yang memutuskan lain. Inilah yang mendasari
mengapa surat ketetapan pajak tetap harus dibayar walaupun Wajib Pajak mengajukan
sengketa keberatan atau banding, namun adagium ini gugur oleh UU KUP yang menyatakan
utang pajak tertangguh sampai dengan inkracht.
Dari pernyataan tersebut jelas lah terlihat kalau pembentuk Undang-undang sudah
melihat apa yang baik atau apa yang hidup ditengah-tengah masyarakat Wajib Pajak sehingga
saat ini ketentuan yang berlaku adalah apabila Wajib Pajak melakukan upaya hukum maka
utang pajak yang disengketakan pembayarannya tertangguh sampai keputusan atau putusan
inkracht. Jadi tidak ada alasan untuk kembali kepada ketentuan yang memaksakan Wajib Pajak
untuk membayar seluruh utang pajak yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang belum teruji
kebenarannya.

Kesimpulan
Saat ini pajak merupakan pendapatan negara yang sangat potensial untuk menunjang
keberhasilan pembangunan nasional dimana peran para Wajib Pajak sangat besar. Sehingga
pajak sebagai fungsi budgetair hendaknya tidak terlalu dikedepankan tanpa memperhatikan apa
yang ideal dan apa yang riil dalam kehidupan masyarakat Wajib Pajak. Wajib Pajak merupakan
mitra yang potensial yang harus selalu dijaga eksistensinya. Apabila draf RUU KUP tersebut
masih dipertahankan, berarti Negara/Pemerintah dengan dalih penegakan hukum sebagai
monopoli penguasa akan melaksanakan penagihan terhadap Wajib Pajak yang sedang dalam
proses upaya hukum seakan-akan Wajib Pajak sudah terbukti bersalah dan akan lebih
menyakitkan lagi apabila ternyata Wajib Pajak terbukti tidak bersalah dengan keluarnya Surat
keputusan atau Putusan yang menerima permohonan Wajib Pajak.
Tentu hal ini tidak boleh terjadi karena Wajib Pajak merupakan mitra sejajar dari
pemerintah dalam keberhasilan pembangunan. Lembaga keberatan maupun banding
merupakan sarana yang disediakan oleh Undang-undang untuk menyelesaikan sengketa.
Keberatan merupakan hak setiap Wajib Pajak dan merupakan manifestasi atas ketidaksetujuan
atau penolakan Wajib Pajak terhadap keputusan atau penetapan perpajakan. Sesuai dengan

182

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

ketentuan Undang-undang yang mengatur mengenai penetapan pajak, semua ketetapan harus
didasarkan atas alasan-alasan yang jelas, benar dan transparan, sehingga setiap Wajib Pajak
mengerti atau memahami tentang dasar penetapan tersebut dan dapat menchalenge dimana
negara harus memberikan ruang untuk hal tersebut. Sebenarnya saat ini negara telah
mengakomodasi hal tersebut sehingga tidak patut rasanya ketentuan yang sudah sangat baik
dan ideal akan dirubah dengan ketentuan yang tidak dapat mengakomodir kedua belah pihak
namun hanya mengakomodir satu pihak saja.
Saran
Direktorat Jenderal Pajak dapat memanfaatkan lembaga Penagihan Seketika dan
Sekaligus secara maksimal yang sudah ada diatur dalam Pasal 20 UU KUP apabila ditemukan
Wajib Pajak yang mengajukan keberatan atas suatu surat ketetapan pajak yang tidak disetujui
dan belum melakukan pembayaran namun memenuhi syarat ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 20 ayat (2) UU KUP. Misalnya: Atas Wajib Pajak yang sedang melakukan upaya
hukum keberatan apabila petugas pajak mengetahui Wajib Pajak tersebut akan meninggalkan
Inonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu maka atas Wajib Pajak yang
bersangkutan dapat dilaksanakan Penagihan Sektika dan Sekaligus.

Daftar Pustaka
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Undang-undang tentang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2000 (Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa)
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan 30, 2004
Dedi Ismatullah, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan 1, Bandung, 2012.
R.Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Edisi ketiga, Bandung, 1991.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Cetakan VI, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2006.
Sudikno, Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Edisi Revisi, Yogya 2010.
Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Edisi 3, Jakarta 2003.

183

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Erwin Eka Kurniawan, 4 Prinsip Dasar Fiskal, Penerbit PT Fiskal Indonesia, Oktober 2015.
Johnny Ibrahim, Teori and Metodologi penelitian hukum formatif, Bayu Media Publishing, Mei
2012.
Raharjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Cetakan VIII, Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti, 2014.
Soetandyo W, Hukum konsep dan metode, Penerbit Setara Press, Nopember 2013.

184

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sistem Manajemen Keamanan Data dalam Proses Bisnis Statistik


Arbi Setiyawan1, Arry Akhmad Arman2
1

Widyaiswara Ahli Muda, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Pusat Statistik
Jalan Raya Jagakarsa No. 70 Lenteng Agung, Jakarta Selatan
2
Sekolah Teknik Elektro dan Informatika, Institut Teknologi Bandung
Jalan Ganesha No. 10 Bandung
(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstract The main threats that can damage an organization's data are unauthorized
access, modification, destruction, and disclosure. The threat can undermine the
confidentiality, integrity and availability of data. Data security solutions, technically and
non-technically, are required to preserve and protect the organization's data. Nontechnical solution can be done by creating a data security policies and procedures. Data
security policy and procedure is a foundation of the program and technical solutions
within an organization's data security. Data security policy is an essential requirement for
designing security measures to protect the data in the whole organization. In this study
the data security policies and procedures are made tailored to the needs and business
processes of statistical activities that suit the Generic Statistical Business Process Model
(GSBPM). So that policies and procedures are made include the entire business process
that occurs in the office daily statistics / National Statistics Office (NSO). Then, data
security policies and procedures were made following the reference Data Management
Body of Knowledge (DAMA-DMBOK) and ISO / IEC 27001.
Keywords : Data, Statistics, Security, Policy, DAMA, GSBPM
Corresponding author: arbies@bps.go.id, ,arman@stei.itb.ac.id

Pendahuluan
Dalam rangka memenuhi tugas dan peranan sebagai penyedia data statistik bagi
pemerintah dan masyarakat, kantor statistik/ National Statistics Office (NSO) melakukan
berbagai macam survei dan sensus. Kegunaan data statistik, yang dikumpulkan dan
dihasilkan oleh NSO, bagi pemerintah dan masyarakat adalah sebagai bahan rujukan
untuk menyusun perencanaan, melakukan evaluasi, membuat keputusan, dan
memformulasikan kebijakan (Badan Pusat Statistik, 2012). Untuk keperluan tersebut,
NSO dituntut untuk menghasilkan data yang berkualitas. Dengan dukungan dan
pemanfaatan teknologi informasi, NSO berusaha menghasilkan data yang berkualitas
tersebut. Penggunaan teknologi informasi meliputi seluruh proses bisnis, mulai dari

185

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

perencanaan, pengumpulan data di lapangan, pengolahan data, analisis, diseminasi dan


pengarsipan (Tentang Badan Pusat Statistik, 2013).
Penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi tidak dapat mencapai hasil yang
maksimal tanpa memperhatikan aspek keamanan. Data yang merupakan aset berharga
NSO bisa mengalami permasalahan seperti, manipulasi, pencurian dan serangan serta
ketersediaan data, apabila aspek keamanan tidak diperhatikan. Banyak organisasi yang
baru memperhatikan keamanan data setelah ada serangan yang terjadi (Armoni, 2002).
Aspek keamanan harus diperhatikan seawal mungkin untuk melindungi tiga prinsip
keamanan yang utama yang sering disebut sebagai CIA Triad yaitu Confidentiality
(kerahasiaan data), Integrity (keutuhan data) dan Availability (ketersediaan data) (T. R.
Peltier, J. Peltier, and J. Blackley, 2005; Dey, 2007).
Kerahasiaan data yaitu memastikan bahwa seluruh data tidak diakses oleh
individu/sistem yang tidak berhak untuk mengaksesnya (T. R. Peltier, J. Peltier, and J.
Blackley, 2005). Berdasarkan amanah Undang-undang, NSO harus menjamin
kerahasiaan keterangan individu responden yang dikumpulkan (Undang-undang No. 16
Tahun 1997 tentang Statistik, 1997). Dengan sifat data survei dan sensus yang rahasia
dan

berharga,

NSO menerapkan langkah-langkah keamanan informasi

untuk

mengontrol akses dan transfer data survei dan sensus. Penyelenggara statistik tidak
akan dapat memperoleh data yang akurat apabila mengabaikan aspek kerahasiaan data.
Kerahasiaan data merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam bidang
keamanan data (A. F. Karr and A. P. Sanil, 2004; Fundamental Principles of Official
Statistics, 2013). Kerahasiaan data mempunyai dua prinsip yang utama, yaitu data atau
keterangan hanya digunakan oleh pihak yang berwenang dan data dipergunakan hanya
untuk tujuan yang dimaksudkan pada saat pengumpulan (G. T. Duncan, M. Elliot, and
J.J. Salazar-Gonzlez, , 2011).
Disamping kerahasiaan, pilar keamanan selanjutnya yang perlu untuk diperhatikan
adalah keutuhan data. Keutuhan data yaitu memastikan bahwa data masih utuh dan
benar tanpa adanya perubahan secara ilegal. Masalah yang terkait dengan keutuhan
data dapat disebabkan oleh virus dan pengubahan oleh pihak lain (unauthorized user).
Sebagai contoh, website dengan domain .go.id pada tahun 2013 menempati urutan
pertama yaitu sebesar 27,42% dari total serangan hampir 40 juta (periode Januari
September) (Sumantri, 2013). Sementara di Badan Pusat Statistik (BPS) selaku NSO di
Indonesia, serangan peretas terbesar terjadi pada 9 Juli hingga 20 Juli 2012, tercatat
sebanyak 364 website dibawah domain BPS mengalami serangan (Defacement Archive,
2013).

186

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pilar keamanan yang ketiga adalah ketersediaan data. Ketersediaan data yaitu
memastikan bahwa data tersedia ketika dibutuhkan. Masalah ketersediaan data meliputi
data hilang, data tidak tersedia, dan data tersedia tetapi pelayanan lambat. Untuk
mendukung pengambilan keputusan diperlukan ketersediaan informasi yang akurat,
komprehensif, dan tepat waktu. Saat ini, data yang dibutuhkan untuk mendukung
pengambilan keputusan masih tersebar di masing-masing direktorat dan subject matter
area (SMA). Hal ini menyebabkan keterlambatan dalam proses pengambilan keputusan
dan berdampak pada menurunnya kepuasan konsumen (Badan Pusat Statistik, 2011).
Berbagai masalah yang ada saat ini terjadi seperti akses yang tidak sah, modifikasi,
manipulasi, pengungkapan, penghancuran data, pencurian dan serangan serta
ketersediaan data akan semakin bertambah kompleks jika tidak segera diselesaikan dan
akan berpengaruh terhadap prestasi dan kinerja organisasi (Setiawan, 2011). Sejalan
dengan kebutuhan, merujuk Undang-undang

yang berlaku, NSO dituntut untuk

menyediakan sistem elektronik untuk pelayanan publik yang andal dan aman yang
mengacu

pada

ISO/IEC

27001

(Direktorat

Keamanan

Informasi

Kementerian

Komunikasi dan Informatika, 2011). Andal artinya sistem elektronik memiliki kemampuan
yang sesuai dengan kebutuhan penggunaannya. Aman artinya sistem slektronik
terlindungi secara fisik dan nonfisik (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, 2008).
Berdasarkan hal-hal diatas, NSO perlu melakukan pengelolaan data khususnya pada
masalah keamanan dengan cara membuat kebijakan dan keamanan data. Solusi
keamanan data secara teknis saja tidak cukup dan perlu didukung oleh kebijakan dan
prosedur (Kee, 2002). Kebijakan dan prosedur adalah elemen kunci dalam proses bisnis
dan pondasi keamanan data dalam sebuah organisasi (Peltier, 2004; A. Nigam and M.
Siponen , 2011). Kebijakan keamanan merupakan kebutuhan mendasar untuk
merancang langkah-langkah keamanan secara menyeluruh dalam rangka melindungi
organisasi dari ancaman internal dan eksternal (Dey, 2007).

187

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Gambar 1 Solusi Keamanan Data secara manajerial dan teknis (J. Anttila, K. Jussila, J.
Kajava and I. Kamaja, 2012)
Agar dapat dijalankan, kebijakan dan prosedur keamanan data harus ditulis dengan
baik dan lengkap sesuai dengan referensi yang telah ada serta sesuai dengan
kebutuhan organisasi. Pada penelitian ini kebijakan dan prosedur keamanan data yang
dibuat mengikuti referensi The Data Management Association (DAMA) Guide to The
Data Management Body of Knowledge (DMBOK) dan ISO/IEC 27001. Kemudian,
dengan mengikuti Generic Statistical Business Process Model (GSBPM), kebijakan dan
prosedur yang dibuat tersebut meliputi seluruh proses bisnis yang terjadi sehari-hari,
sehingga dapat memberikan solusi atas permasalahan mengenai keamanan data yang
telah dipetakan dan diidentifikasikan.

Tinjauan Pustaka
Data merupakan bahan baku yang akan menciptakan informasi. Kemudian pada
tahap selanjutnya, informasi yang dihasilkan akan berubah menjadi

pengetahuan

(knowledge). Pengetahuan merupakan ringkasan dan organisasi dari informasiinformasi untuk membentuk pemahaman dan kesadaran pada sebuah situasi yang
kompleks (M. Mosley, D. Henderson, M. H. Brackett, & S. Earley, 2010). Organisasi saat
ini bergantung pada aset data mereka untuk membuat keputusan yang lebih tepat dan
efektif. Jumlah data yang tersedia di dunia ini meningkat dengan pesat. Setiap
organisasi perlu untuk mengelola secara efektif data dan sumber informasi yang
semakin penting (M. Mosley, D. Henderson, M. H. Brackett, & S. Earley, 2010).
Berdasarkan

Surat

Edaran

Menteri

Komunikasi

dan

Informatika

Nomor:

05/SE/M.KOMINFO/07/2011 Tentang Penerapan Tata Kelola Keamanan Informasi Bagi


Penyelenggara Pelayanan Publik, setiap Penyelenggara Pelayanan Publik harus
menerapkan Tata Kelola Keamanan Informasi yang aman dan andal berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar SMKI, yaitu SNI ISO/IEC
27001:2009 (Direktorat Keamanan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika,
2011).
Penelitian ini akan membahas manajemen keamanan data yang merupakan solusi
keamanan secara managerial bagi organisasi dengan menerapkan ISO/IEC 27001
dalam bisnis proses statistik. Penelitian ini secara spesifik membahas mengenai
perancangan manajemen keamanan data pada lembaga pemerintah, yaitu BPS sebagai
instansi penyedia data statistik, dengan menggunakan dua pendekatan utama yaitu dari
DAMA-DMBOK untuk memandang data sebagai sumber informasi yang harus dikelola

188

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

organisasi secara umum diselaraskan dengan proses bisnis statistik yang sesuai
dengan GSBPM.
Pada penelitian ini, penulis mengusulkan penambahan manajemen keamanan data
pada proses bisnis statistik. Usulan ini dapat diterapkan pada proses bisnis statistik.
Penambahan manajemen keamanan data pada proses bisnis statistik ini akan
memberikan jaminan bahwa dalam mengelola data responden dan meyediakan data
statistik kepada konsumen, NSO telah memperhatikan aspek keamanan data selama
proses bisnis dilakukan. Manajemen keamanan data dilakukan untuk menghindari
berbagai ancaman terhadap data yang bisa berupa pengrusakan, penyadapan,
pencurian, perubahan dan pemalsuan data.
Merujuk pada penelitian sebelumnya mengenai integrasi manajemen keamanan data
dengan proses bisnis (P. Herrmann and G. Herrmann, 2006; S. Taubenberger and J.
Jrjens, 2008), penulis menambahkan manajemen keamanan data pada model proses
bisnis statistik. Proses integrasi ini dilakukan dengan melakukan identifikasi kebutuhan
keamanan data pada proses bisnis dengan cara identifikasi aktor, identifikasi artifak
pada setiap tahapan proses bisnis dan identifikasi kontrol keamanan yang diperlukan
untuk menanggulangi ancaman yang ada pada proses bisnis. Kontrol keamanan
dilakukan saat proses terjadi dan saat komunikasi data antar proses (S. Taubenberger
and J. Jrjens, 2008).

Metodologi
Untuk mencapai tujuan penelitian, penulis memilih pendekatan Design Research
Methodology (DRM). Menurut (Blessing, L.T.M.; Chakrabarti, A., 2009), terdapat 4
tahapan dalam melakukan penelitian berorientasi desain yaitu sebagai berikut.
1) Research Clarification
Tahap ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan memastikan masalah penelitian yang
meliputi : (1) identifikasi tujuan penelitian yang ingin dicapai dan masalah penelitian, (2)
Initial Reference, gambaran keadaan saat ini.
2) Understanding Design
Dengan menggunakan data pada tahap sebelumnya, tahapan ini bertujuan untuk
menentukan pemahaman yang lebih baik terhadap kondisi dengan melakukan
identifikasi dan klarifikasi secara lebih detail faktor faktor yang mempengaruhi aspek
aspek dalam tahap pertama.
3) Developing Design

189

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Tahap ini membahas bagaimana dengan menggunakan informasi yang di dapat dari
dua tahap sebelumnya, penelitian membuat desain yang dapat diterapkan sebagai
solusi untuk mencapai tujuan.
4) Evaluating Design
Tahap ini membahas bagaimana studi empiris dapat digunakan untuk mengevaluasi
hasil dan dampak pengembangan desain yang telah dilakukan.
Selain empat tahapan tersebut, terdapat satu tahapan lagi yang dapat dilakukan yaitu
mempublikasikan hasil penelitian dalam komunitas peneliti.

Identifikasi
Masalah dan
Kebutuhan
Keamanan Data
pada Proses Bisnis
Statitik

Solusi Manajemen
Keamanan Data
- DAMA-DMBOK
- ISO 27000

Daftar
Masalah dan
Kebutuhan

-Aktifitas
-Kontrol
Keamanan

Kustomisasi dan
Pemilihan Kontrol
Keamanan sesuai
proses bisnis

Pembuatan
rancangan
kebijakan

Pembuatan
rancangan
Prosedur

Kontrol
Keamanan

Kebijakan
Keamanan
Data

Prosedur
Keamanan
Data

Gambar 2 Alur Penelitian


Penelitian ini dimulai dengan melakukan identifikasi permasalahan terkait dengan
keamanan data dan mendefinisikan kebutuhan. Permasalahan terkait keamanan data
tersebut dilihat berdasarkan pada bisnis proses statistik yang mengikuti GSBPM.
Dengan mengikuti GSBPM, permasalahan keamanan data akan dapat diidentifikasikan
secara menyeluruh. Selain kebutuhan bisnis, hal lain yang mendasari adalah adanya
peraturan yang mengharuskan pengembangan dan penerapan sistem keamanan data.
Untuk menyelesaikan permasalahan dan memenuhi kebutuhan keamanan data, penulis

190

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

mengajukan sebuah solusi dengan melakukan Manajemen Keamanan Data. Hasil akhir
dari Manajemen Keamanan Data berupa kebijakan dan prosedur keamanan data.

Hasil Penelitian
A. Mendefinisikan Kebutuhan Keamanan pada Proses Bisnis

Kebutuhan keamanan pada proses bisnis statistik disampaikan dibawah ini.


1) Kebutuhan Keamanan Tahap Perencanaan

SMA melakukan pengamanan atas akses terhadap rencana kebutuhan data,

Unit bina program melakukan pengamanan atas akses rencana anggaran,

HRM melakukan pengamanan atas akses daftar kebutuhan tenaga,

SMA dan unit bina program melakukan pengamanan saat melakukan komunikasi
dan transfer data kebutuhan anggaran,

SMA dan unit metodologi melakukan pengamanan saat melakukan komunikasi


dan transfer data rencana metode dan populasi/sample, dan

SMA dan HRM melakukan pengamanan saat melakukan komunikasi dan


transfer data rencana rencana kebutuhan personel.

2) Kebutuhan Keamanan Tahapan Metodologi

Unit metodologi melakukan pengamanan atas akses terhadap kerangka sampel,


daftar sample, peta wilayah dan metode sampling yang digunakan,

Unit metodologi melakukan pengamanan saat melakukan transfer data kepada


SMA, dan

SMA melakukan pengamanan atas akses terhadap kerangka sampel, daftar


sample, peta wilayah dan metode sampling yang digunakan.

3) Kebutuhan Keamanan Tahapan Persiapan

SMA/ Kantor Perwakilan NSO melakukan pengamanan atas akses terhadap aset
berupa kuesioner dan buku pedoman.

Unit pengolahan / Kantor Perwakilan NSO melakukan pengamanan atas akses


terhadap aplikasi/ sistem pengolahan data.

4) Kebutuhan Keamanan Tahap Pengumpulan

SMA/ Kantor Perwakilan NSO pengamanan atas akses terhadap aset data berupa
alokasi petugas pencacahan kegiatan survei/ sensus

Pengamanan dan perlindungan kerahasiaan data pada saat petugas melakukan


pengumpulan data (wawancara).

191

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pengamanan dan perlindungan kerahasiaan data pada saat pengiriman kuesioner


hasil pencacahan dari petugas ke pusat entri data di SMA/ Kantor Perwakilan NSO.

Pengamanan dan perlindungan kerahasiaan data saat penyimpanan kuesioner


hasil pencacahan selama dan setelah proses entri data.

Melakukan entri data, pengecekan kelengkapan dan validasi isian secara benar.

SMA/ Kantor Perwakilan NSO melakukan pengamanan atas akses terhadap


laporan progres kegiatan pengumpulan data dan entri data

Pengamanan dan perlindungan kerahasiaan data saat pengiriman hasil entri data.

Pengamanan dan perlindungan kerahasiaan data atas raw data hasil entri.

Gambar 3 Proses Bisnis BPS dan GSBPM


5) Kebutuhan Keamanan Tahap Pengolahan

SMA melakukan pengamanan atas akses terhadap raw data,

SMA melakukan pengolahan data validasi, integrasi, imputasi, pembobotan dan


agregasi raw data secara benar,

SMA menjaga kerahasiaan data responden dalam raw data dan tabulasi.

6) Kebutuhan Keamanan Tahap Analisis

SMA melakukan pengamanan atas akses terhadap raw data dan rencana tabulasi,

SMA memastikan bahwa pengolahan data dan analisis raw data dilakukan secara
benar,

SMA menjaga kerahasiaan data responden dalam raw data dan tabulasi.

192

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

7) Kebutuhan Keamanan Tahap Diseminasi

SMA/ Unit diseminasi melakukan pengamanan atas akses terhadap hasil tabulasi
dan keluaran final,

SMA melakukan pengamanan saat pengiriman hasil tabulasi dan keluaran final
kepada unit diseminasi,

Unit diseminasi melakukan pengamanan terhadap hasil tabulasi dan keluaran final
yang ditampilkan di website dan perpustakaan.

8) Kebutuhan Keamanan Tahap Evaluasi

SMA melakukan pengamanan atas akses terhadap data kegiatan survei/ sensus
dan data kepuasan pengguna data.

Pada analisa setiap proses bisnis statistik diatas, dapat diidentifikasi kebutuhan
keamanan data. Selanjutnya dibuat kebijakan yang dapat dijakdikan sebagai solusi
manajemen keamanan data. Kebijakan yang dibutuhkan dalam memberikan solusi
keamanan data adalah sebagai berikut:

kebijakan keamanan data yang mengatur keamanan data dalam setiap proses
bisnis statistik,

kebijakan yang mengatur dan menangani peran dan tanggung jawab setiap elemen
BPS dalam menjaga keamanan data pada setiap bisnis proses,

kebijakan yang mengatur dan menangani data pada saat proses bisnis terjadi yang
meliputi mengakses, memperbaharui, menggunakan, menyimpan dan menghapus,

kebijakan yang mengatur dan menangani data pada saat komunikasi terjadi antar
proses bisnis,

kebijakan yang mengatur dan menangani klasifikasi data menurut penggunaan dan
tingkat kerahasiaan,

kebijakan yang mengatur dan menangani akses data oleh pihak ketiga,

kebijakan yang mengatur dan menangani manajemen pengguna data,

kebijakan yang mengatur dan menangani manajemen keamanan sumber daya


(peralatan dan sarana pendukung) yang digunakan dalam melakukan pemrosesan
data, dan

kebijakan yang mengatur dan menangani keamanan secara fisik, misalkan


ruangan, gedung dan lain-lain.

B. Pengembangan Dokumen Manajemen Keamanan Data

1) Kontrol Keamanan Data


Setelah melakukan identifikasi kebutuhan keamanan data pada proses bisnis beserta
aset yang dipakai dalam proses bisnis, langkah selanjutnya yang dilakukan adalah

193

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

memilih dan menentukan kontrol keamanan yang dapat diaplikasikan pada setiap
tahapan proses bisnis. Kontrol keamanan dipilih dari ISO/IEC 27001 adalah meliputi:

Pengelolaan aset

Keamanan sumberdaya manusia

Keamanan fisik dan lingkungan

Manajemen komunikasi dan operasi

Pengendalian akses

Akuisisi, pengembangan dan pemeliharaan sistem informasi

Manajemen insiden keamanan informasi

Manajemen keberlanjutan bisnis

2) Kebijakan Keamanan Data


Sesuai

dengan

kontrol

keamanan

data

yang

diperlukan

NSO

dan

telah

diidentifikasikan, dibuatlah kebijakan yang mendukung kontrol keamanan data tersebut.


Kebijakan ini mencakup proses bisnis dan meliputi aset yang ada pada proses bisnis
tersebut, serta berlaku bagi aktor dan pegawai yang terlibat.
3) Perangkat Implementasi Kebijakan Keamanan Data
Kebijakan merupakan pernyataan tingkat tinggi dari tujuan dan sasaran organisasi,
serta perangkat umum untuk pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Kebijakan
bersifat umum dan tidak bersifat operasional. Untuk mendukung dan melaksanakan
kebijakan, perlu dibuat peraturan dibawahnya yang bersifat operasional. Dari kebijakan
yang telah ditetapkan diatas, prosedur untuk mendukung dan melaksakan kebijakan
tersebut dapat diidentifikasikan 18 prosedur keamanan.
Prosedur Keamanan (PK) Sistem Manajemen Keamanan Data meliputi:

PK00 Review dan Update PK,

PK01 Perjanjian Kerahasian Data,

PK02 Pelaporan Insiden Keamanan Data,

PK03 Pelaporan Kerusakan Peralatan ,

PK04 Klasifikasi Data,

PK05 Pemusnahan Data dan Media,

PK06 Kontrol Akses,

PK07 Manajemen Password, dan

PK08 Penggunaan Sumber Daya Sistem Informasi, akses Internet dan Email.

194

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Diskusi
Evaluasi terhadap hasil penelitian dilakukan dengan tiga cara yaitu uji kelengkapan
hasil penelitian dengan kebutuhan dan kesesuaian dengan standar, uji kebijakan dalam
mencapai tujuan keamanan data dan Expert Judgement.
1) Uji kelengkapan hasil penelitian dengan kebutuhan dan kesesuaian dengan standar
Evaluasi ini digunakan untuk melihat dan membandingkan kebutuhan kebijakan
keamanan data dengan hasil penelitian yang dilaksanakan dan kesesuaian dengan
standar yang dipakai. Hasil evaluasi memberikan hasil bahwa kebutuhan manajemen
keamanan data di BPS dapat dipenuhi dengan menerapkan kebijakan keamanan data
yang sesuai dengan standar SNI ISO/IEC 27001.
2) Uji kebijakan dalam mencapai tujuan keamanan data
Uji ini dilakukan untuk mengukur tingkat kesuksesan kebijakan dan prosedur
keamanan data dalam melindungi tiga tujuan keamanan data, yaitu kerahasiaan data,
integritas data dan ketersediaan data. Untuk menilai kebijakan dan prosedur keamanan
data yang telah dibuat ini sukses dan berhasil, diperlukan penerapan pada organisasi.
Apabila ada kebijakan dan prosedur yang tidak berhasil dalam mencapai tujuan
mengamankan data, kebijakan dan prosedur harus diperbaiki.
Tetapi, untuk melakukan penerapan kebijakan dan prosedur memerlukan waktu
tersendiri, maka dalam penelitian ini digunakan asumsi bahwa semua kebijakan dan
prosedur dilakukan dengan baik oleh seluruh elemen organisasi maka dapat dinilai
keberhasilan kebijakan dan prosedur yang telah dibuat.
Hasil evaluasi memberikan hasil bahwa akan ada perbedaan antara proses bisnis
yang mengunakan kebijakan dan prosedur dengan proses bisnis yang tidak
menggunakan kebijakan dan prosedur keamanan data.
3) Expert Judgement
Hasil evaluasi dengan metode Expert Judgement terhadap hasil perancangan
kebijakan dan prosedur keamanan data menunjukan bahwa secara keseluruhan hasil
perancangan dinilai cukup baik dan jelas dalam mengatur keamanan data dalam setiap
proses bisnis.

195

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kesimpulan
Hasil evaluasi terhadap hasil penelitian yang dilakukan dengan tiga cara menunjukan
bahwa:

Kebijakan yang dibuat dapat dipakai untuk menyelesaikan masalah keamanan data
di BPS dengan melindungi data dari ancaman keamanan sehingga kerahasiaan,
integritas dan ketersediaan data terjaga.

Dokumen kebijakan yang dibuat dalam penelitian ini telah mengikuti referensi yang
ada yaitu SNI ISO/IEC 27001:2009 dan kebijakan yang dirancang sudah meliputi
seluruh proses bisnis BPS,

References
A. F. Karr and A. P. Sanil. (2004). Data Quality and Data Confidentiality for Microdata:
Implications and Strategies. North Carolina: National Institute of Statistical
Sciences.
A. Nigam and M. Siponen . (2011). Designing Information Systems Security Policy
Methods: A Meta-Theoretical Approach.
Armoni, A. (2002). Data Security Management in Distributed Computer Systems.
Informing Science, 5(1), 19-28.
Badan Pusat Statistik. (2011). BPS Analysis Document, Version 3.1. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. (2012). Rencana Strategis Badan Pusat Statistik 2010 2014,
Review Kedua. Jakarta.
Blessing, L.T.M.; Chakrabarti, A. (2009). DRM, a Design Research Methodology. Verlag
- London: Springer.
Defacement Archive. (2013). Dipetik Juni 1, 2013, dari http://www.zoneh.org/archive/filter=1/domain=.BPS.GO.ID/page=1
Dey, M. (2007). Information Security Management - A Practical Approach. AFRICON, 16.
Direktorat Keamanan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2011).
Panduan Penerapan Tata Kelola Keamanan Informasi bagi Penyelenggara
Pelayanan Publik, Edisi 2. Jakarta.
Fundamental Principles of Official Statistics. (2013). Dipetik Juni 1, 2013, dari
http://unstats.un.org/unsd/dnss/gp/FP-New-E.pdf
G. T. Duncan, M. Elliot, and J.J. Salazar-Gonzlez, . (2011). Statistical Confidentiality:
Principles and Practice. New York: Springer.
J. Anttila, K. Jussila, J. Kajava and I. Kamaja. (2012). Integrating ISO/IEC 27001 and
other managerial discipline standards with processes of management in

196

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

organizations. Availability, Reliability and Security (ARES), 2012 IEEE Seventh


International Conference.
Kee, C. K. (2002). Security Policy Roadmap-Process for Creating Security Policies.
Dipetik September 30, 2013, dari http://www.sans.org/rr/papers/50/494.pdf
M. Mosley, D. Henderson, M. H. Brackett, & S. Earley. (2010). The DAMA Guide to The
Data Management Body of Knowledge (DAMA-DMBOK Guide). . New Jersey:
Technics Publications.
P. Herrmann and G. Herrmann. (2006). Security requirement analysis of business
processes. Electronic Commerce Research , 6, 305-335.
Peltier, T. R. (2004). Information Security Policies and Procedures: A Practitioner's
Reference. Washington: CRC Press.
S. Taubenberger and J. Jrjens. (2008). IT Security Risk Analysis based on Business
Process Models enhanced with Security Requirements. Modeling Security
Workshop. Toulouse, France.
Setiawan, A. B. (2011). Peran Government Chief Information Officer (Gcio) dalam Tata
Kelola Keamanan Informasi Nasional. Jurnal Penelitian dan Pengembangan
Komunikasi dan Informatika, 2.4, 395.
Sumantri, I. (2013, November). Kebijakan Keamanan Informasi. Dipetik November 29,
2013, dari http://folder.idsirtii.or.id/pdf/Kebijakan_Keamanan_Informasi.pdf
T. R. Peltier, J. Peltier, and J. Blackley. (2005). Information Security Fundamentals.
Florida: CRC Press LLC.
Tentang Badan Pusat Statistik. (t.thn.). Dipetik Juli 1, 2013, dari http://www.bps.go.id
(1997).Undang-undang No. 16 Tahun 1997 tentang Statistik.
(2008).Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.

197

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

MEMBUMIKAN INTERNAL CONTROL SYSTEM PADA INSTANSI PEMERINTAH


MELALUI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN SPIP

Mohamad Syafrudin Bustomi


Widyaiswara Muda, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP
Jalan Beringin II Pandansari Ciawi Bogor 16720

Abstract
To implement internal control system, it must be done seriously by all government agencies at
both central and local levels. Moreover, it was mandated by Government Regulation Number 60
Year 2008 on Government Internal Control System (SPIP). This paper described some of the
ways government agencies disseminating the awareness of internal control through education
and training of SPIP. The outcomes of the training are expected not only to alumni of the training
but also delivered to other personnels in the unit of organization of training alumni through
promoting and disseminating the results of the training.
Keywords:
internal control, government internal control system, training and education, implementation,
dissemination
Corresponding author: Mohamad Syafrudin Bustomi, e-mail: masbustomi2013@gmail.com

A. PENDAHULUAN
A.1. Latar Belakang
Isu nasional yang mengemuka akhir-akhir ini antara lain adalah opini1 laporan keuangan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang belum Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dan

Terdapat lima opini/pendapat hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan
keuangan; yaitu (1) Wajar Tanpa Pengecualian/WTP (Unqualified Opinion), (2) WTP Dengan Paragraf
Penjelasan/WTP-DPP, (3) Wajar Dengan Pengecualian/WDP (Qualified Opinion), (4) Tidak Wajar/TW
(Adverse Opinion), dan (5) Tidak Menyatakan Pendapat/TMP (Disclaimer Opinion). Wajar Tanpa
Pengecualian merupakan opini peringkat tertinggi. Opini WTP adalah opini audit yang akan diterbitkan oleh
BPK jika laporan keuangan dianggap memberikan informasi yang bebas dari salah saji material. Jika
laporan keuangan diberikan opini jenis ini, artinya auditor meyakini berdasarkan bukti-bukti audit yang
dikumpulkan, perusahaan/pemerintah dianggap telah menyelenggarakan prinsip akuntansi yang berlaku
umum dengan baik, dan kalaupun ada kesalahan, kesalahannya dianggap tidak material dan tidak
berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan.

198

hasil pemeriksaan lain2 yang dilakukan oleh BPK yang masih banyak memperlihatkan kelemahan
dalam pengelolaan keuangan negara/daerah, yang dapat menurunkan kepercayaan publik
terhadap kemampuan pemerintah dalam mengelola keuangan negara.
Mengacu pada hasil pemeriksaan BPK semester II tahun 20143, terdapat 7.950 temuan dari
651 laporan yang diterbitkan atas pemeriksaan pada pemerintah pusat, pemerintah daerah dan
BUMD, serta BUMN dan Badan Lainnya.
Lebih lanjut, permasalahan-permasalahan yang disebabkan oleh kelemahan sistem
pengendalian intern (SPI) untuk tiga jenis pemeriksaan adalah sebanyak 2.482 kejadian, dengan
rincian kelemahan SPI pada pemerintah pusat sebanyak 421 buah; pada pemerintah daerah dan
BUMD sebanyak 1.810 buah, dan pada BUMN dan Badan Lainnya sebanyak 251 buah.
Kelemahan pada sistem pengendalian intern berdampak pada ketidakyakinan yang memadai
atas tercapainya tujuan instansi secara efektif dan efisien, ketidakandalan pelaporan keuangan,
pengamanan aset Negara/daerah yang kurang memadai, dan kekurangtaatan terhadap
peraturan yang berlaku.

A.2. Permasalahan
Upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan pengelolaan keuangan negara/daerah
yang disebabkan antara lain oleh kelemahan SPI ini adalah dengan menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP).
Peraturan

Pemerintah

tersebut

mewajibkan

seluruh

instansi

pemerintah

untuk

menyelenggarakan SPIP. Dalam pasal 47 PP tersebut dinyatakan bahwa menteri/pimpinan,


gubernur, dan bupati/walikota bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan SPI di
lingkungan masing-masing.
Sebagai pembina penyelenggaraan SPIP, seperti yang dinyatakan dalam pasal 59 PP
60/2008, BPKP dalam membantu pemerintah mengimplementasikan sistem pengendalian intern
ini melaksanakan penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan SPIP, sosialisasi SPIP,
pendidikan dan pelatihan SPIP, pembimbingan dan konsultasi SPIP, dan peningkatan
kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah (APIP).
2

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara, terdapat tiga jenis pemeriksaan, yaitu; (1) Pemeriksaan Keuangan/Pemeriksaan
atas Laporan Keuangan, (2) Pemeriksaan Kinerja, dan (3) Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu/PDTT.
Pemeriksaan Keuangan menghasilkan opini atas laporan keuangan. Pemeriksaaan Kinerja menghasilkan
temuan, kesimpulan, dan rekomendasi. Sedangan PDTT menghasilkan kesimpulan.
3

Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK Semester II Tahun 2014 bulan Maret 2015.

199

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan (Pusdiklatwas) BPKP dan Perwakilan BPKP
di Provinsi berperan penting dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan SPIP. Pendidikan
dan pelatihan SPIP telah dilaksanakan beberapa kali yang disesuaikan dengan kalender diklat,
namun dari hasil evaluasi yang dilaksanakan penyelenggara diklat masih terdapat permasalahan
dan hal-hal yang perlu mendapat perhatian dalam penyelenggaran diklat SPIP ini antara lain;
diklat agar diarahkan ke implementasi SPIP dalam organisasi (lebih implementatif), materi/modul
diklat yang sulit dipahami dan sulit diimplementasikan di lapangan, dan adanya instruktur diklat
dalam menyampaikan materi membosankan/monoton.

B. SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH


B.1. Pengertian
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 20084, SPIP didefinisikan sebagai
proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh
pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan
organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan,
pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan penjelasan PP tersebut5, unsur Sistem Pengendalian Intern (SPI) mengacu
pada unsur SPI yang telah dipraktikkan di lingkungan pemerintahan di berbagai negara, yaitu:

1. Lingkungan pengendalian
2. Penilaian risiko
3. Kegiatan pengendalian
4. Informasi dan komunikasi
5. Pemantauan
Beberapa konsep dasar yang melekat dalam definisi SPIP tersebut, yaitu6:

1. Sistem pengendalian intern (SPI) merupakan komponen operasi organisasi atau kegiatan
yang terpasang secara terus-menerus (a continuos built-in component of operations)

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah.
Penjelasan umum PP Nomor 60 Tahun 2008 tentang SPIP.
6
Modul Implementasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah: Penyelenggaraan SPIP Integratif, Pusdiklatwas
BPKP, 2013.
5

200

2. Pengendalian intern dipengaruhi oleh manusia


3. Pengendalian intern hanya memberikan keyakinan yang memadai, bukan keyakinan mutlak

B.2. Penyelenggaraan SPIP Tingkat Entitas


Sesuai definisinya, penyelenggaraan SPIP harus dilakukan baik pada tingkat entitas maupun
aktivitas. Berdasarkan Peraturan Kepala BPKP Nomor PER-1326/K/2009 tanggal 7 Desember
2014 tentang Pedoman Teknis Umum Penyelenggaraan SPIP, proses penyelenggaraan pada
tingkatan entitas diuraikan sebagai berikut:
1.

Pada tingkat instansi, setelah melaksanakan berbagai kegiatan dalam tahap pemahaman,
dimulai dengan menilai kondisi sistem pengendalian yang ada. Penilaian dilakukan terhadap
keberadaan dan implementasi unsur lingkungan pengendalian. Hasil pemetaan akan
menunjukkan sub unsur yang telah diterapkan atau yang penerapannya belum memadai
atau sub unsur yang belum diterapkan.

2.

Hasil pemetaan atas kondisi lingkungan pengendalian dijadikan dasar dalam melakukan
penilaian risiko.

3.

Dasar pemikiran SPI adalah mengidentifikasi risiko dalam pencapaian tujuan instansi dan
mengelola risiko tersebut.

4.

Penilaian risiko yang dilakukan terhadap tujuan kegiatan sebagai dasar penentuan kebijakan
dan prosedur untuk mengelola risiko.

5.

Analisis terhadap hasil pemetaan atas kebijakan dan prosedur yang berisi kegiatan
pengendalian yang dipandang dapat mengurangi timbulnya risiko atau meminimalkan
dampaknya.

6.

Hasil pemetaan dapat memberi simpulan bahwa instansi pemerintah perlu membangun dan
mengembangkan kebijakan dan prosedur pengendalian.

7.

Dengan melakukan penilaian risiko dan merumuskan kebijakan serta kegiatan pengendalian
yang tepat, pimpinan dapat menentukan jenis informasi yang perlu dikomunikasikan kepada
pihak yang membutuhkan.

B.3. Penyelenggaraan SPIP Tingkat Aktivitas


Berdasarkan Peraturan Kepala BPKP Nomor PER-1326/K/2009 tanggal 7 Desember 2014
tentang Pedoman Teknis Umum Penyelenggaraan SPIP, aktivitas adalah seluruh kegiatan
sesuai dengan tugas dan fungsi yang dilakukan di instansi pemerintah tersebut, baik yang

201

merupakan implementasi dari kebijakan yang telah ditetapkan oleh instansi pemerintah yang
lebih tinggi maupun implementasi atas kebijakan yang ditetapkan instansi itu sendiri.
Penyelenggaraan SPIP di tingkat aktivitas menggunakan pendekatan analisis value chain,
yaitu dengan mengenal aktivitas utama dan aktivitas pendukung. Setiap instansi memiliki value
chain yang berbeda. Dengan demikian instansi pemerintah harus terlebih dahulu mengidentifikasi
kegiatan yang termasuk kegiatan yang utama yang dipandang penting dalam mencapai
tujuan/sasaran tingkat instansi pemerintah, dan yang termasuk kategori kegiatan penunjang.
C. PEMBAHASAN
C.1. Survey atas Pelaksanaan Diklat SPIP
Pendidikan dan Pelatihan SPIP merupakan salah satu diklat teknis substansi yang
diselenggarakan oleh Pusdiklatwas BPKP. Sebagai bahan analisis, penulis melakukan survey
atas pelaksanaan Diklat SPIP pada dua kementerian, yang untuk keperluan hasil analisis, dua
kementerian tersebut diberikan inisial Kementerian A dan Kementerian B. Pendidikan dan
pelatihan SPIP bagi pegawai di lingkungan Kementerian A dilaksanakan tanggal 6 sampai
dengan 10 Oktober 2014 yang dikiuti oleh 40 orang peserta, sedangkan Diklat SPIP bagi pegawai
di lingkungan Kementerian B dilaksanakan tanggal 13 sampai dengan 17 Oktober 2014 diikuti
oleh 64 orang peserta.
Materi-materi yang disajikan dalam diklat tersebut, antara lain; overview penyelenggaraan
SPIP, rencana kerja, konsep sub unsur lingkungan pengendalian, cara pengisian control
environment evaluation (CEE), analisis tujuan, tabulasi dan validasi CEE, rencana tindak
pengendalian (RTP) lingkungan pengendalian, konsep penilaian risiko, identifikasi risiko, analisis
risiko, konsep kegiatan pengendalian dan konsep informasi dan komunikasi, evaluasi dan
perumusan existing control, perumusan informasi dan komunikasi, penyempurnaan kebijakan,
konsep monitoring, serta monitoring penyelenggaraan SPIP dengan total 50 jam pelatihan
selama lima hari kerja.

C.2. Metodologi Survey


Survey dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada peserta pada hari terakhir diklat.
Dari 40 kuesioner yang dibagikan kepada peserta diklat dari Kementerian A, sebanyak 33
kuesioner (82,5%) valid, sedangkan 64 kuesioner yang dibagikan kepada peserta diklat dari
Kementerian B sebanyak 58 kuesioner (90,6%) terisi dan valid. Peserta diklat baik dari

202

Kementerian A maupun Kementerian B berasal dari seluruh Indonesia (unit kerja di kantor pusat,
kantor wilayah dan UPT di daerah) sehingga keterwakilan peserta cukup baik.
Kuesioner terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu profil responden dan mengenai sesi diklat
yang diikuti peserta. Bagian profil responden menjaring data-data umum peserta yang meliputi
jenis kelamin, umur (terbagi menjadi lima kategori usia), jabatan (terbagi menjadi kategori jabatan
struktural dan fungsional atau pelaksana), dan tingkat pendidikan peserta (terbagi menjadi lima
kategori pendidikan yaitu SLTA, diploma, sarjana/S1, magister/S2, dan doktoral/S3).
Terkait dengan sesi diklat, kuesioner terbagi menjadi dua bagian besar yaitu; diklat SPIP
sebelumnya

(3

pertanyaan),

dan

diklat

yang

berlangsung

saat

ini

(terdiri

dari

pertanyaan/pernyataan mengenai materi diklat sebanyak 7 pertanyaan, instruktur/widyaiswara


diklat sebanyak 9 pertanyaan/penyataan, serta diseminasi dan implementasi hasil diklat
sebanyak 17 pertanyaan/pernyataan).
Pertanyaan-pertanyaan terkait dengan materi dan instruktur/widyaisawara diklat sebagian
mengacu pada Evaluasi Materi Diklat (Form EMD-01) dan Evaluasi Widyaiswara/Instruktur (Form
WI-01) yang dikembangkan oleh Pusdiklatwas BPKP dengan modifikasi pilihan penilaian.
Untuk tujuan pembandingan, responden dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu
responden (peserta diklat) dari Kementerian A sebagai Kelompok I yang merepresentasikan
responden dari kalangan manajer menengah dan pengambil keputusan; dan responden
(peserta diklat) dari Kementerian B sebagai Kelompok II yang merepresentasikan responden
tingkat pelaksana operasional.
Kemudian sebagai langkah terakhir adalah mentabulasikan dan mengelompokkan
pertanyaan/atribut kuesioner yang sudah terisi tersebut dalam kategori pertanyaan yang sama
dan menyajikan hasil tabulasi survey tersebut.

203

C.3. Hasil Survey


I.

Profil Responden
Uraian

Kelompok I
Jumlah
%

Kelompok II
Jumlah
%

Jenis Kelamin
Pria
Wanita
Jumlah

23
10
33

70
30
100

33
25
58

57
43
100

4
20
9
33

12
61
27
100

2
13
25
12
6
58

3
22
43
21
10
100

Eselon II
Eselon III
Eselon IV

28
3

85
9

10

Fungsional/Pelaksana
Jumlah

2
33

6
100

52
58

90
100

Tingkat Pendidikan
SLTA
Diploma
Sarjana (S1)
Magister (S2)
Doktoral (S3)
Jumlah

8
25
33

24
76
100

14
3
33
7
1
58

24
5
57
12
2
100

Umur

II.
< 25 tahun
25 30 tahun
31 40 tahun
41 50 tahun
>51 tahun
Jumlah

Jabatan
Struktural

Dilihat dari jenis kelamin, mayoritas responden baik dari Kelompok I maupun
Kelompok II adalah pria dengan besaran 70% (Kelompok I) dan 57% (Kelompok II).
Menurut usia, Kelompok II lebih bervariasi dibandingkan dengan Kelompok I.
Mayoritas responden Kelompok II berusia antara 31-40 tahun, sedangkan responden
Kelompok I lebih senior dengan mayoritas berusia antara 41-50 tahun. Dengan kata
lain, dari sisi pengalaman kerja, Kelompok I rata-rata lebih lama dibandingkan dengan
Kelompok II.
Menyangkut jabatan, responden Kelompok I mayoritas pejabat struktural eselon III,
sedangkan responden Kelompok II lebih banyak sebagai fungsional/pelaksana

204

operasional. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, responden Kelompok I lebih


banyak bertindak sebagai decision maker di unit kerjanya dibandingkan dengan
responden Kelompok II yang lebih banyak banyak bertindak sebagai pelaksana kegiatan
operasional.
Menurut jenjang pendidikan tertinggi, Kelompok I mayoritas jenjang tertinggi
pendidikan adalah magister/S2, sedangkan Kelompok II mayoritas adalah sarjana/S1.

II. Mengenai Sesi Pendidikan dan Pelatihan (Diklat)

a. Diklat SPIP Sebelumnya

1.

Uraian
Pertanyaan/Pernyataan
Apakah Anda pernah mengikuti diklat SPIP sebelum diklat ini?
Ya
Tidak
Tidak Menjawab
Jumlah

2.

Kelompok II
Jumlah
%

4
28
1
33

12
85
3
100

2
56
58

3
97
100

4
29
33

12
88
100

11
47
58

19
81
100

32
1
33

97
3
100

2
54
2
58

3
93
3
100

Berapa kali Anda mengikuti diklat SPIP sebelum diklat ini?


1 Kali
> 1 kali
Tidak Menjawab
Jumlah

3.

Kelompok I
Jumlah
%

Apakah Anda pernah mengikuti diklat SPIP selain yang diadakan oleh
BPKP?
Ya
Tidak
Tidak Menjawab
Jumlah

Mayoritas responden, baik Kelompok I maupun Kelompok II, mengakui bahwa


mereka baru pertama kali mengikuti diklat SPIP.
Responden Kelompok I sebanyak 4 orang (12%) mengakui mereka pernah mengikuti
diklat SPIP sebelumnya, sementara responden Kelompok II yang pernah mengikuti
diklat SPIP sebelumnya berjumlah 11 orang (19%).
Mayoritas responden, baik Kelompok I maupun Kelompok II, menyatakan mereka
tidak pernah mengikuti diklat SPIP selain yang diselenggarakan oleh BPKP.

205

b. Diklat yang Berlangsung Saat Ini


b. 1 Materi Diklat

1.

Uraian
Pertanyaan/Pernyataan
Menurut saya suasana selama diklat kondusif sehingga materi diklat

Kelompok I
Jumlah
%

Kelompok II
Jumlah
%

bisa dipahami dengan baik


Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
Jumlah
2.

1
5
26
1
33

3
15
79
3
100

1
5
51
1
58

2
9
88
2
100

2
2
28
1
33

6
6
85
3
100

5
3
50
58

9
5
86
100

2
30
1
33

6
91
3
100

1
4
53
58

2
7
91
100

1
2
29
1
33

3
6
88
3
100

4
11
43
58

7
19
74
100

2
31
33

6
94
100

8
49
1
58

14
84
2
100

1
9
23
33

3
27
70
100

32
26
58

55
45
100

Menurut saya materi dan modul diklat pada umumnya baru dan
informatif
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
Jumlah

3.

Menurut saya materi diklat mengakomodasi perkembangan perubahan


dan/atau peraturan yang berlaku
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
Jumlah

4.

Menurut saya materi diklat relevan dengan kebutuhan tugas pekerjaan


Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
Jumlah

5.

Menurut saya contoh kasus atau metode yang diberikan yang relevan
dengan pekerjaan sehari-hari sehingga peserta diklat memahami
materi diklat
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
Jumlah

6.

Menurut saya penyajian/lay out konten modul menarik (dilengkapi


dengan ilustrasi/gambar yang menarik/penyajian tidak membosankan)
Tidak Setuju
Cukup
Setuju
Tidak Menjawab
Jumlah

206

7.

Menurut saya kualitas penggandaan bahan modul memadai


Tidak
Cukup
Baik
Tidak Menjawab
Jumlah

4
9
19
1
33

12
27
58
3
100

27
31
58

47
53
100

Terhadap pertanyaan-pertanyaan mengenai materi diklat, hasil survey adalah


sebagai berikut: baik responden Kelompok I maupun Kelompok II menyatakan setuju
bahwa suasana selama berlangsungnya diklat kondusif sehingga materi-materi dapat
diterima dengan baik; responden Kelompok I dan Kelompok II menyatakan bahwa materi
dan modul yang digunakan dalam diklat mengadopsi hal-hal yang terkini dan informatif;
mayoritas responden Kelompok I dan Kelompok II sependapat bahwa materi diklat
mengakomodasi perkembangan perubahan dan/atau peraturan yang berlaku; hasil
survey menunjukkan mayoritas responden setuju bahwa materi diklat relevan dengan
pelaksanaan tugas; mayoritas responden, baik Kelompok I maupun Kelompok II, setuju
bahwa contoh kasus atau metode dalam materi relevan dengan pelaksanaan tugas;
mayoritas responden Kelompok I 70% setuju bahwa penyajian layout modul sudah
menarik, namun responden Kelompok II berpendapat masih perlu ditingkatkan lagi;
responden Kelompok I yang menyatakan tidak setuju dan cukup setuju sebesar 39%
dan Kelompok II yang menyatakan cukup setuju dengan kualitas penggandaan modul
sebesar 47%, walaupun mayoritas responden kedua kelompok menyatakan bahwa
kualitas penggandaan bahan modul sudah memadai.

207

b. 2 Instruktur/Widyaiswara

1.

2.

Uraian
Pertanyaan/Pernyataan
Menurut saya disiplin kehadiran instruktur sudah baik

Kelompok I
Jumlah
%

Kelompok II
Jumlah
%

Tidak Setuju
Cukup
Setuju
Tidak Menjawab

33
-

100
-

58
-

100
-

Jumlah

33

100

58

100

Tidak
Cukup
Ya
Tidak Menjawab

9
24
-

27
73
-

15
42
1

26
72
2

Jumlah

33

100

58

100

Tidak
Cukup
Ya
Tidak Menjawab

8
25
-

24
76
-

17
41
-

29
71
-

Jumlah

33

100

58

100

Tidak
Cukup
Ya
Tidak Menjawab

4
28
1

12
85
3

16
42
-

28
72
-

Jumlah

33

100

58

100

Tidak
Cukup
Ya
Tidak Menjawab

9
23
1

27
70
3

17
40
1

29
69
2

Jumlah

33

100

58

100

11
22

33
67

1
21
35

2
36
60

Menurut saya manajemen waktu yang diterapkan oleh


instruktur/widyaiswara telah memadai

3.

Menurut saya sistematika dan kemampuan menyajikan materi oleh


instruktur/widyaiswara pada umum telah memadai

4.

Menurut saya penguasaan materi oleh instruktur/widyaiswara telah


memadai

5.

Menurut saya kemampuan instruktur/widyaiswara dalam melakukan


komunikasi dan menjawab pertanyaan peserta sudah memadai

6.

Menurut saya instruktur/widyaiswara telah memberikan motivasi dan


perhatian kepada peserta secara memadai
Tidak
Cukup
Ya

208

Tidak Menjawab

33

100

58

100

Tidak
Cukup
Ya
Tidak Menjawab

9
24
-

27
73
-

11
46
1

19
79
2

Jumlah

33

100

58

100

Jumlah
7.

Menurut saya instruktur/widyaiswara memberikan kecukupan waktu


dan kesempatan peserta berpartisipasi dalam diskusi

8.

Menurut saya instruktur/WI memberikan porsi latihan/aplikasi dalam


diklat ini

9.

Tidak
Cukup
Ya
Tidak Menjawab

15
18
-

45
55
-

1
17
39
1

2
29
67
2

Jumlah

33

100

58

100

Menurut saya gaya/sikap dan perilaku instruktur/widyaiswara sudah


baik
Tidak
Cukup
Ya
Tidak Menjawab

7
25
1

21
76
3

14
42
2

24
72
3

Jumlah

33

100

58

100

Terhadap pertanyaan/pernyataan terkait widyaiswara/instruktur diklat, hasil survey


menyatakan bahwa: responden Kelompok I dan Kelompok II seluruhnya menyatakan
bahwa kehadiran instruktur/widyaiswara sudah baik; mayoritas responden menyatakan
bahwa manajemen waktu instruktur/widyaiswara telah memadai (Kelompok I sebesar
73% dan Kelompok II sebesar 72%). Namun demikian, sebagian responden (Kelompok
I sebesar 27% dan Kelompok II sebesar 26%) menyatakan manajemen waktu
instruktur/widyaiswara cukup memadai; mayoritas responden Kelompok I dan Kelompok
II menyatakan bahwa instruktur/widyaiswara telah sistematis dan mampu dalam
menyajikan materi. Namun demikian, 24% responden dari Kelompok I dan 29% dari
responden Kelompok II menyatakan instruktur/widyaiswara memberikan penilaiain
dengan predikat cukup; mayoritas responden Kelompok I (85%) dan Kelompok II (72%)

209

menyatakan bahwa penguasaan materi oleh instruktur/ widyaiswara telah memadai.


Namun demikian,

sebagian responden Kelompok I (12%) dan Kelompok II (28%)

memberikan penilaian tentang hal ini dengan level cukup; mayoritas responden, baik
dari Kelompok I (70%) dan Kelompok II (69%), memberikan penilaian sudah memadai.
Namun demikian, sebagian responden baik di Kelompok I dan II masih memberikan
penilaian cukup memadai untuk hal tersebut; sebagian besar responden baik
Kelompok I maupun Kelompok II menyatakan bahwa instruktur/widyaiswara telah
memberikan motivasi dan perhatian kepada peserta secara memadai. Namun demikian,
masih ada responden Kelompok I (33%) dan Kelompok II (36%) yang memberikan
penilaian cukup memadai; sebagian besar responden menyatakan bahwa para
instruktur/widyaiswara sudah memberikan waktu dan kesempatan yang memadai ke
peserta kepada peserta. Namun demikian, sebagian responden dari Kelompok I (27%)
dan Kelompok II (19%) masih memberikan penilaian cukup atas hal ini.
Selanjutnya , mayoritas responden kedua kelompok menyatakan bahwa pemberian
porsi latihan tersebut sudah memadai, namun demikian masih ada sebagian responden
dari Kelompok I (45%) dan Kelompok II (29%) yang memberikan penilaian cukup
memadai; Terkait dengan gaya/sikap dan perilaku instruktur/widyaiswara, mayoritas
responden di kedua kelompok menyatakan sudah baik. Namun demikian, masih
terdapat sebagian dari responden di Kelompok I (21%) dan Kelompok II (24%)
memberikan penilaian cukup untuk hal tersebut.

210

b. 3 Diseminasi dan Implementasi Hasil Diklat

1.

Uraian
Pertanyaan/Pernyataan
Saya akan menyebarkan pengetahuan yang saya peroleh dalam diklat

Kelompok I
Jumlah
%

Kelompok II
Jumlah
%

ini kepada pegawai lain di unit kerja saya

2.

Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab

1
5
27

3
15
82

1
16
40

2
28
69

Jumlah

33

100

58

100

Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab

6
27
-

18
82
-

2
22
34
-

3
38
59
-

Jumlah

33

100

58

100

Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab

1
11
21
-

3
33
64

1
8
49

2
14
84

Jumlah

33

100

58

100

Tidak
Ragu-ragu
Ya
Tidak Menjawab

10
23
-

30
70
-

3
21
33
1

5
36
57
2

Jumlah

33

100

58

100

Tidak
Ragu-ragu
Ya
Tidak Menjawab

1
32
-

3
97

2
13
42
1

3
22
72
2

Jumlah

33

100

58

100

Saya sependapat bahwa setiap pegawai yang telah mengikuti diklat


harus menyebarluaskan hasil diklat kepada pegawai lain di unit kerja
yang bersangkutan (sebagai narasumber/pembicara)

3.

Saya sependapat bahwa peserta diklat yang telah menjadi


narasumber/pembicara dan menyebarluaskan hasil diklat menunjukkan
bahwa ia telah memahami materi diklat dengan sangat baik

4.

Saya selalu membaca materi dalam diklat pascadiklat dan


menggunakannya sebagai standar/referensi dalam melaksanakan
tugas saya.

5.

Hasil dari diklat memfasilitasi pelaksanaan tugas saya

211

6.

Pengalaman diklat saya telah secara substansial meningkatkan


keterampilan dan kompetensi saya

7.

8.

Tidak
Ragu-ragu
Ya
Tidak Menjawab

5
27
1

15
82
3

12
45
1

20
78
2

Jumlah

33

100

58

100

Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab

4
29
-

12
88
-

11
46
1

19
79
2

Jumlah

33

100

58

100

Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab

6
27
-

18
82
-

1
16
39
2

2
28
67
3

Jumlah

33

100

58

100

Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab

5
28
-

15
85

28
29
1

48
50
2

Jumlah

33

100

58

100

6
27
33

18
82
100

7
50
1
58

12
86
2
100

Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab

5
28
-

15
85

14
43
1

24
74
2

Jumlah

33

100

58

100

Diklat akan sangat efektif dalam meningkatkan kinerja pekerjaan saya

Secara umum materi diklat dapat diterapkan dalam praktik/pekerjaan


saya

9.

Menurut saya penyelenggaraan SPIP tingkat entitas dapat diterapkan


di unit organisasi saya

10. Menurut saya penyelenggaraan SPIP tingkat aktivitas dapat diterapkan


di unit organisasi saya
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab
Jumlah
11. Menurut saya tahap persiapan dan penanaman kepedulian terhadap
SPIP dapat diterapkan di unit organisasi saya

212

12. Menurut saya tahap penilaian atas SPI yang ada dapat diterapkan di
unit organisasi saya
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab

6
27
-

18
82

17
40
1

29
69
2

Jumlah

33

100

58

100

Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab

3
30
-

9
91
-

16
41
1

28
71
2

Jumlah

33

100

58

100

Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab

4
29
-

12
88
-

19
38
1

33
66
2

Jumlah

33

100

58

100

Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab

4
29
-

12
88
-

12
45
1

20
78
2

Jumlah

33

100

58

100

Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Tidak Menjawab

4
29
-

12
88
-

1
13
43
1

2
22
74
2

Jumlah

33

100

58

100

33
33

100
100

4
52
2
58

7
90
3
100

13. Menurut saya tahap penyusunan rencana tindak pengendalian (RTP)


dapat diterapkan di unit organisasi saya

14. Menurut saya tahap implementasi rencana tindak pengendalian (RTP)


dapat diterapkan di unit organisasi saya

15. Menurut saya pemantauan pengendalian intern dapat diterapkan di unit


organisasi saya

16. Menurut saya pelaporan hasil pemantauan harus dilakukan dan dapat
diterapkan di unit organisasi saya

17. Apakah Anda memerlukan diklat SPIP lebih lanjut untuk meningkatkan
kompetensi Anda dan meningkatkan kinerja unit organsasi Anda?
Tidak
Ya
Tidak Menjawab
Jumlah

213

Terkait dengan implementasi dan diseminasi hasil diklat, diperoleh hasil survey
sebagai berikut: mayoritas kedua kelompok setuju untuk menyebarkan pengetahuan
yang diperoleh dalam diklat kepada pegawai lain di unit kerja masing-masing.
Persentase responden yang menyatakan setuju diseminasi lebih besar di Kelompok I
(82%), sebaliknya responden yang menyatakan ragu-ragu diseminasi ada di Kelompok
II (28%); mayoritas kedua kelompok setuju untuk menjadi narasumber/pembicara
diseminasi di unit kerja masing-masing. Persentase responden yang menyatakan setuju
diseminasi lebih besar di Kelompok I (82%), sebaliknya responden yang menyatakan
ragu-ragu diseminasi ada di Kelompok II (38%); mayoritas kedua kelompok setuju
menyatakan bahwa materi diklat dan kesediaan menjadi narasumber berkorelasi dengan
pemahaman materi diklat. Persentase responden yang menyatakan setuju lebih besar
di Kelompok II (84%), sebaliknya responden yang menyatakan ragu-ragu lebih besar
pada Kelompok I (33%).
Selanjutnya, mayoritas kedua kelompok setuju materi diklat digunakan sebagai
referensi. Persentase responden yang menyatakan setuju lebih besar di Kelompok I
(70%), sebaliknya responden yang menyatakan ragu-ragu lebih banyak di Kelompok II
(36%); mayoritas kedua kelompok setuju menyatakan bahwa hasil diklat memfasilitasi
pelaksanaan tugas. Persentase responden yang menyatakan setuju lebih besar di
Kelompok I (97%), sebaliknya responden yang menyatakan ragu-ragu ada di
Kelompok II (22%); mayoritas kedua kelompok setuju menyatakan bahwa diklat
meningkatkan keterampilan dan kompetensi. Persentase responden yang menyatakan
setuju lebih besar di Kelompok I (82%), sebaliknya responden yang menyatakan raguragu lebih banyak pada Kelompok II (20%).
Kemudian, mayoritas kedua kelompok setuju menyatakan bahwa setelah diklat
terdapat peningkatan kinerja pelaksanaan kerja. Persentase responden yang
menyatakan setuju lebih besar di Kelompok I (88%), sebaliknya responden yang
menyatakan ragu-ragu ada di Kelompok II (19%); mayoritas kedua kelompok setuju
menyatakan penerapan materi diklat dalam pelaksanaan pekerjaan. Persentase
responden yang menyatakan setuju lebih besar di Kelompok I (82%), sebaliknya
responden yang menyatakan ragu-ragu diseminasi ada di Kelompok II (28%); mayoritas
kedua kelompok setuju penerapan penyelenggaraan SPIP Tingkat Entitas. Persentase
responden yang menyatakan setuju lebih besar di Kelompok I (85%), sebaliknya
responden yang menyatakan ragu-ragu ada di Kelompok II (48%); mayoritas kedua

214

kelompok setuju untuk menerapkan penyelenggaraan SPIP Tingkat Aktivitas.


Persentase responden yang menyatakan setuju diseminasi lebih besar di Kelompok II
(86%), sebaliknya responden yang menyatakan ragu-ragu lebih banyak ada di Kelompok
I (18%).
Mayoritas kedua kelompok setuju untuk menerapkan tahapa persiapan dan
penanaman kepedulian terhadap SPIP. Persentase responden yang menyatakan setuju
lebih besar di Kelompok I (85%), sebaliknya responden yang menyatakan ragu-ragu
lebih banyak ada di Kelompok II (24%); mayoritas kedua kelompok setuju untuk
menerapkan tahap penilaian atas SPI di unit kerja masing-masing. Persentase
responden yang menyatakan setuju lebih besar di Kelompok I (82%), sebaliknya
responden yang menyatakan ragu-ragu lebih banyak ada di Kelompok II (29%);
mayoritas kedua kelompok setuju untuk menerapkan tahap penyusunan RTP di unit
kerja masing-masing. Persentase responden yang menyatakan setuju lebih besar lebih
besar di Kelompok I (91%), sebaliknya responden yang menyatakan ragu-ragu
diseminasi ada di Kelompok II (28%); mayoritas kedua kelompok setuju untuk tahap
implementasi RTP di unit kerja masing-masing. Persentase responden yang
menyatakan setuju lebih besar di Kelompok I (88%), sebaliknya responden yang
menyatakan ragu-ragu diseminasi ada di Kelompok II (33%).
Selanjutnya, mayoritas kedua kelompok setuju untuk menerapkan pemantauan
pengendalian intern di unit kerja masing-masing. Persentase responden yang
menyatakan setuju lebih besar di Kelompok I (88%), sebaliknya responden yang
menyatakan ragu-ragu diseminasi ada di Kelompok II (20%); mayoritas kedua kelompok
setuju untuk menerapkan pelaporan hasil pemantauan di unit kerja masing-masing.
Persentase responden yang menyatakan setuju lebih besar di Kelompok I (88%),
sebaliknya responden yang menyatakan ragu-ragu lebih besar ada di Kelompok II
(22%); dan terakhir, mayoritas kedua kelompok setuju memerlukan diklat SPIP lebih
lanjut untuk meningkatkan kompetensi dan meningkatkan kinerja unit organisasi.

215

D. SIMPULAN DAN SARAN


Substansi yang dibahas pada makalah ini difokuskan pada pelaksanaan survey atas
penyelenggaraan diklat Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang merupakan salah
satu diklat teknis substansi yang diadakan oleh Pusdiklatwas BPKP. Pendekatan survey dalam
makalah ini ditujukan untuk mengetahui perbandingan pelaksanaan diklat pada level posisi
organisasi yang berbeda, yaitu di tingkat manajerial dan pelaksana kegiatan.
Responden survey adalah peserta Diklat SPIP dari dua Kementerian yang untuk keperluan
pembandingan dibagi dalam dua kelompok, yaitu; Kelompok I (level manajerial) dan Kelompok
II (level staf/pelaksana kegiatan). Terlihat bahwa pengelompokkan peserta diklat SPIP
berdasarkan strata jabatan yang sama akan lebih efektif dari segi penyerapan materi dan
pemahaman peserta.
Beberapa saran yang dapat penulis sampaikan, antara lain: Pertama, penyusunan database
alumni diklat SPIP oleh Pusdiklatwas BPKP, Perwakilan BPKP, serta instansi lain yang
menyelenggarakan diklat. Penyusunan database dimaksudkan agar pegawai mereka yang
pernah mengikuti diklat tidak berhenti dan terus di-maintain oleh instansi masing-masing dan
BPKP sebagai pembina SPIP. Kedua, perlunya kurikulum diklat yang berbeda antara kurikulum
diklat SPIP untuk level pelaksana kegiatan (penyelenggaraan SPIP tingkat aktivitas) dan level
manajer (penyelenggaraan SPIP tingkat entitas). Ketiga, perlunya seleksi calon peserta diklat
SPIP baik oleh instansi pengirim maupun oleh penyelenggara diklat lainnya. Seleksi diperlukan
agar peserta nantinya ditempatkan pada kelas yang homogen sehingga hasil diklat akan lebih
efektif dan implementatif. Alumni peserta juga diberi mandat untuk mendiseminasikan hasil-hasil
diklat di lingkungan unit kerjanya. Keempat, meningkatkan kualitas penyajian lay out

dan

penggandaan modul. Konten modul/materi diupayakan menarik dan tidak membosankan serta
disesuaikan dengan levelling peserta diklat. Kelima, perlunya memperbanyak instruktur diklat
SPIP yang bersertifikat TOT dari unit kerja dan badan diklat lain sehingga SPIP tersosialisasi dan
terimplementasi lebih cepat.

216

DAFTAR PUSTAKA

Kasali, Rhenald. 2006. Change! Tak Peduli Berapa Jauh Jalan Salah yang Anda
Jalani, Putar Arah Sekarang Juga (Manajemen Perubahan dan Manajemen Harapan).
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lawson,

Karen.

2006.

The

Trainer

Handbook.

Penerjemah Wakhyudi.

Pusdiklatwas BPKP, Bogor.


Modul Implementasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah: Penyelenggaraan
SPIP Integratif, Pusdiklatwas BPKP, 2013
Modul Pemantauan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah: Penyelenggaraan
SPIP Integratif, Pusdiklatwas BPKP, 2013
Modul Simulasi Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah:
Penyelenggaraan SPIP Integratif, Pusdiklatwas BPKP, 2013
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah.

217

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

MENDISEMINASI INOVASI KEPEMIMPINAN UNTUK


MENEGUHKAN WIDYAISWARA SEBAGAI AGEN PERUBAHAN
DR. Hary Wahyudi, SH, MSi

abstrak
Salah satu kompenen dalam penilaian akreditasi A adalah peran tenaga pengajar
kediklatan (widyaiswara) yang mampu menunjukan pengalaman yang mendukung
penguasaan substansi, yang berperan sebagai konsultan, riset dan praktisi diluar
lembaga diklat. Serta kapasitas widyaiswara dalam pengembangan profesi melalui
penerbitan karya tulis ilmiah dalam bentuk buku, proceeding maupun jurnal ilmiah.
Serta hasil penyelenggaraan diklat berupa produk yang dihasilkan oleh penyelenggara
diklat, yakni yang dinilai dari kualitas produk yang dihasilkan oleh seluruh peserta
diklat kepemimpinan dan diklat prajabatan dalam mengimplementasikan proyek
perubahan maupun aktualisasi nilai-nilai diinstansinya. Widyaiswara sebagai agen
perubahan adalah individu/kelompok terpilih yang menjadi pelopor perubahan dan
sekaligus dapat menjadi contoh dan panutan dalam berperilaku yang mencerminkan
integritas dan kinerja yang tinggi di lingkungan organisasinya. Widyaiswara agen
perubahan bertanggung jawab untuk selalu mempromosikan dan menjalankan
keteladanan mengenai peran tertentu yang berhubungan dengan pelaksanaan peran,
tugas dan fungsi yang menjadi tanggung jawabnya.
Kata Kunci : Inovasi, Kepemimpinan, Widyaiswara, Agen Perubahan
Corresponding
author:
DR.
Hary
Wahyudi,
SH,
MSi:,
hary_wahyudi2003@yahoo.com
A.

E-mail:

Latar Belakang
Pada awal tahun 2016 Lembaga Administrasi Negara memberikan Akreditasi

kepada seluruh lembaga diklat instansi pemerintah dan Badan Diklat Jatim
mendapatkan nilai akreditasi A (sangat baik). Akreditasi merupakan penilaian dan
kelayakan lembaga dalam menyelenggarakan diklat kepemiminan II, III, IV dan diklat
prajabatan III , II dan I. Tujuan akreditasi adalah untuk meningkatkan mutu, efisiensi,
akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan.
Salah satu kompenen dalam penilaian akreditasi A adalah peran tenaga pengajar
kediklatan (widyaiswara) yang mampu menunjukan pengalaman yang mendukung
penguasaan substansi, yang berperan sebagai konsultan, riset dan praktisi diluar
lembaga diklat. Serta kapasitas widyaiswara dalam pengembangan profesi melalui
penerbitan karya tulis ilmiah dalam bentuk buku, proceeding maupun jurnal ilmiah
Serta hasil penyelenggaraan diklat berupa produk yang dihasilkan oleh
penyelenggara diklat, yakni yang

dinilai dari kualitas produk yang dihasilkan oleh

218

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

seluruh

peserta

diklat

kepemimpinan

dan

diklat

prajabatan

dalam

mengimplementasikan proyek perubahan maupun aktualisasi nilai-nilai diinstansinya.


Output (hasil) produk pembelajaran peserta diklat

juga dilakukan diseminasi

kepada user (instansi peserta) dan kepada stakeholder yang lebih luas, diseminasi
dilakukan dengan cara display, koleksi dan dokumentasi pada perpustakaan, upload
website, pameran dan alumni gathering.
Penelitian/pengkajian karya tulis ini didasarkan

pada agumentasi tentang

pentingya meneliti/mengkaji promosi dan inovasi yang dilakukan oleh peserta Diklat
Kepemimpinan Tingkat III dan Tingkat IV sebagai peneguhan Badan Diklat Jawa Timur
sebagai pencetak agen perubahan.
Dewasa ini, tidak dapat dipungkiri bahwa kemauan berinovasi (willingness to
innovate) dan kemampuan berinovasi (ability to innovate) di lingkungan birokrasi
dirasakan masih rendah. Inovasi masih merupakan hal yang aneh, tidak disukai,
bahkan cenderung dihindari karena pandangan yang keliru bahwa inovasi merupakan
sesuatu yang tidak sejalan dengan kebijakan.
Kondisi ini tentu tidak dapat dibiarkan berjalan terus namun harus dihentikan dan
bahkan perlu dibalik. Kalangan birokrasi pemerintah perlu diyakinkan bahwa berinovasi
di sektor publik itu menyenangkan dan mudah dilakukan oleh pemimpin (pejabat)
pemerintahan.
Dalam sistem manajemen kepegawaian, pejabat struktural memainkan peranan
yang sangat menentukan dalam membuat perencanaan pelaksanaan kegiatan instansi
dan memimpin bawahan dan seluruh pemangku kepentingan stratejik untuk
melaksanakan kegiatan tersebut secara efektif dan efisien. Tugas ini menuntutnya
memiliki kompetensi kepemimpinan,yaitu kemampuan dalam

mempengaruhi serta

memobilisasi bawahan dan pemangku kepentingan strategisnya dalam melaksanakan


kegiatan yang telah direncanakan.
Untuk dapat membentuk sosok pejabat struktural seperti tersebut di atas,
penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan (Diklatpim)

bertujuan

membekali peserta dengan kompetensi yang dibutuhkan menjadi pemimpin yang


inovatif,

yaitu

penyelenggaraan

Diklat

yang

memungkinkan

peserta

mampu

menerapkan kompetensi yang telah dimilikinya.


Dalam penyelenggaraan Diklatpim seperti ini, peserta dituntut untuk menunjukkan
kinerjanya dalam merancang suatu perubahan di unit kerjanya dan memimpin
perubahan tersebut sehingga memberikan hasil yang signifikan.

219

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Dengan demikian, pembaharuan

diharapkan dapat menghasilkan alumni yang

tidak hanya memiliki kompetensi kepemimpinan, tetapi juga mampu menunjukkan


kinerjanya dalam memimpin perubahan dan menyebar semangat kebaruan melalui
promosi hasil

inovasi yang telah dirancang dan diimplementasikan selama diklat.

Seorang pemimpin perubahan dituntut untuk mampu menyebar semangat kebaruan


dalam berinovasi di sektor publik yaitu willingnes to inovate dan ability to innovate.
B.

Pokok Permasalahan
Sebagaimana

acuan/pedoman

Lembaga

Administrasi

Negara

perihal

pengelolaan laboratorium inovasi, ditegaskan bahwa pengelolaan laboratorium inovasi


ditempuh melalui lima tahap yaitu tahap drum up, diagnose, design, deliver dan display
(promosi).
Dalam kajian/penelitian ini yang hendak diteliti dibatasi pada tahap akhir, yakni display
(promosi) dengan menyodorkan permasalah Bagaimana Diseminasi Inovasi Hasil
Produk Peserta Diklat Kepemimpinan dalam upaya meneguhkan Badan Diklat
Jatim Sebagai Agen Perubahan?
C.

Metodologi
Metodologi penelitian yang digunakan merupakan pilihan strategi dalam rangka

pengumpulan dan proses analisis terhadap bukti empiris. Oleh sebab itu, metode
penelitian yang digunakan dapat berupa metode kualitatif atau kuantitatif dengan teknik
pengumpulan data, baik melalui eksperimen, studi lapangan, maupun studi pustaka.
Namun dari dua piilihan metodologi tersebut, dipilih metodologi penelitian
kualitatif dalam melakukan penelitian/kajian, fakta diungkap secara obyektif, tidak bias
pada suatu kepentingan tertentu. Setelah itu hasil penelitian/kajian tersebut
diklasifikasikan secara sistematis.
Metode pendekatan dalam penulisan naskah ini merupakan totalitas cara kerja
yang dipakai

dalam mendeskripsikan permasalahan sebagaimana yang telah

ditetapkan diatas. Metodologi dalam kajian/penelitian karya tulis ilmiah ini adalah
metode penelitian kualitif yang didasarkan pertanyaan penelitian yang telah
dirumuskan.
Metodologi penelitian/kajian tentang promosi dan inovasi proyek perubahan
peserta diklat dilakukan dengan pendekatan kajian kualitatif, yakni cara sistematik
yang digunakan peneliti dalam pengumpulan data yang diperlukan dalam proses

220

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

analisa deskriptif. Setidaknya, ada enam jenis metode penelitian

kualitatif yang

dipergunakan dalam menyusun karya tulis ilmiah ini, yaitu:


1.

Observasi terlibat diskusi secara langsung dengan peserta diklat;

2.

Deskripsi dan analisa percakapan dalam coaching, konseling dengan peserta


diklat;

3.

Deskripsi dan analisa penggalian ide dan pilihan gagasan rancangan inovasi
dengan peserta;

4.

Deskripsi dan analisa isi implementasi inovasi dengan peserta dan mentor;

5.

Pengambilan data pembuktian hasil-hasil inovasi yang telah dipromosikan, dan

6.

Analisa penyusunan rekomendasi dan komitmen tindak lanjut yang hendak


dilanjutkan secara berkelanjutan.
Gaya penelitian kualitatif dalam karya tulis ini mengkonstruksikan realitas dan

makna,

menjalin

fokus

pada

proses

dan

peristiwa

secara

interaktif,

otentisitas/orisinalitas adalah kunci, hadirnya nilai secara eksplisit, Dibatasi situasi,


Sedikit kasus dan subjek, Analisis tematik, Peneliti terlibat, Sumber: W. Lawrence
Neuman,

Social

Research

Methods:

Qualitative

and

Quantitative

Approaches,(Needham Heights, MA: Allyn& Bacon, 1997), hlm. 14


Asumsi Paradigmatik Penelitian

Kualitatif dalam karya tulis ini dengan

mendasarkan pada realitas bersifat subjektif dan ganda sebagaimana terlihat oleh
partisipan dalam studi, Peneliti berinteraksi dengan yang diteliti, Sarat nilai dan bias,
Informal, Mengembangkan keputusan-keputusan Personal, Menggunakan bahasa
kualitatif,

Proses

induktif,

Faktor-faktor

dibentuk,secara

simultan,

Desain

berkembangkategori,diidentifikasiselama proses penelitian, Ikatan konteks, Pola dan


teori dibentuk untuk pemahaman, Akurasi dan reliabilitasdibentuk melalui verifikasi
(Sumber: John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantitative
Approaches, (California: Sage Publications, Inc, 1994), hlm. 5.

D.

Analisa Fokus Hasil Inovasi


Analisa karya tulis ini difokuskan untuk menjawab permasalahan, yakni

mendeskripsikan tentang bagaimana promosi hasil inovasi perubahan peserta diklat


kepemimpinan tingkat III dan tingkat IV, sebagaimana yang telah dilakukan dilakukan
oleh peserta, penyelenggara dan coach.
Fokus yang hendak dikaji adalah dipilih sebanyak 83 buah kertas kerja yang
disusun oleh 83 peserta diklat kepemimpinan tingkat III dan tingkat IV yang

221

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dilaksanakan pada tahun 2015, baik yang diselenggarakan di kampus Badan Diklat
Surabaya dan kampus Badan Diklat Malang yang diikuti peserta dari berbagai SKPD
pemerintah provinsi jawa timur dan SKPD dari kabupaten/kota provinsi jawa timur serta
peserta dari berbagai pemerintah/kota luar provinsi jawa timur.
Analisa datan penelitian/kajian karya tulis ilmiah ditujukan untuk mendapatkan
deskripsi penyebaran semangat kebaruan melalui promosi

hasil inovasi diklat

kepemimpinan, sebagai berikut :


1. Jenis-jenis hasil inovasi yang telah dihasilkan 83 peserta, yang terdiri dari peserta
diklat kepemimpian tingkat III dan tingkat IV tahun 2015;
2.Hasil inovasi peserta diklat yang telah

dipromosikan, baik yang dilakukan oleh

peserta, penyelenggara dan coach.


3. Media media massa cetak, elektronik dan alat publikasi hasil inovasi yang telah
digunakan untuk menyebarkan semangat kebaruan;
4. Deskripsi tentang hambatan dan dukungan yang dihadapi dan upaya mengatasinya
dalam menyebar semangat kebaruan melalui promosi hasil inovasi diklat
kepemimpian.
E.

Analisa Teoritik
Diseminasi (Bahasa Inggris: Dissemination) adalah suatu

kegiatan yang

ditujukan kepada kelompok target atau individu agar mereka memperoleh informasi,
timbul kesadaran, menerima, dan akhirnya memanfaatkan informasi tersebut.
Diseminasi adalah proses penyebaran inovasi yang direncanakan, diarahkan, dan
dikelola.Diseminasi merupakan tindak inovasi yang disusun menurut perencanaan
yang matang, melalui diskusi atau forum lainnnya yang sengaja diprogramkan,
sehingga terdapat kesepakatan untuk melaksanakan inovasi.
Kata diseminasi memang jarang digunakan dalam percakapan atau penulisan
sehari-hari. Kata diseminasi lebih banyak digunakan atau menjadi "jargon" di kalangan
akademis (perguruan tinggi), misalnya "diseminasi hasil penelitian", atau di kalangan
instansi

pemerintah

(birokrasi),

misalnya

"diseminasi

hasil

pelatihan",

yakni

menyebarkan hasil atau materi pelatihan kepada pegawai/karyawan lain.


Diseminasi

secara

khusus

diartikan

sebagai

penyebarluasan

informasi,

pemikiran, kebijakan, dan hasil penelitian.Ada juga yang mendefinikan diseminasi


sebagai "suatu kegiatan yang ditujukan kepada kelompok target atau individu agar
mereka

memperoleh

informasi,

timbul

memanfaatkan informasi tersebut.

222

kesadaran,

menerima,

dan

akhirnya

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

E.1 Teori Promosi


Penjelasan mengenai arti promosi diantaranya adalah Philip Kotler (2002)
mengemukakan lima jenis promosi yang biasa disebut sebagai bauran promosi
adalah iklan (advertising), penjualan tatap muka (personal selling), Promosi
penjualan (sales promotion), hubungan masyarakat (sosialization relation) dan
publikasi (publlicity). Semua alat promosi ini bekerja sama untuk mencapai sasaran
komunikas, juga selalu mencari cara untuk bisa mencapai efektivitas dengan beralih
dari satu alat promosi ke alat promosi yang lain karena nilai capaiannya lebih baik,
atau mungkin saja suatu perusahaan ingin mencapai tingkat penjualan tertentu
dengan beragam bauran promosi.
Dalam berpromosi ada beberapa hal yang diutamakan. Hal-haltersebut mencakup
informasi mengenai apa yang dipromosikan dengan meyakinkan atas kelebihan
dari sebuah produk, juga memiliki sifat mempengaruhi, sehingga mendorong
sasaran untuk mengenal atas produk yang dipromosikan adalah hal utamadalam
melakukan kegiatan promosi.
Promosi merupakan kegiatan promosi dilakukan dalam rangka mempromosikan
sebuah produk yang bersifat informatif,persuasif dan komersial.
Dilihat dari deskripsi mengenai promosi yang telah diuraikan, maka maksud dari
promosi ini adalah suatu kegiatan dengan menginformasikan kepada khalayak
mengenai produk yang disampaikan.
Kegiatan promosi memiliki tujuan tertentu yang pada akhirnya dapat menyelesaikan
permasalahan yang ada pada hal yang dipromosikan.
Dalam buku Strategi Promosi Yang Kreatif (Rangkuti,2009:51),ada empat tujuan
dasar dalam sebuah kegiatan promosi yakni;
1.Modifikasi Tingkah laku
Tujuan dari promosi ini merupakan usaha mengubah tingkah laku dan isu-isu
didalam masyarakat tertentu, dari tidak menerima produk menjadi setia terhadap
produk.
2.Memberitahu
Kegiatan ini memiliki sifat yang informative kepada pasar mengenai produk
tersebut

berkaitan

dengan

harga,kualitas,

keistimewaan dan sebagainya.


3.Mempengaruhi

223

syarat

pembeli,

kegunaan,

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Promosi ini dimaksudkan untuk memberi pengaruh atau dorongan kepada pasar
agar membeli produk yang dipromosikan.
4.Mengingatkan
Hal ini ditujukan untuk mempertahankan suatu merk produk dihati masyarakat, agar
produk bertahan dipasar secara terus menerus.
E.2. Teori Inovasi
Hand Book Inovasi Administrasi Negara yang diterbitkan Lembaga Administrasi
Negara (2014), inovasi bukan lagi alternatif tetapi menjadi jalan utama yang harus
ditempuh untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, daya saing nasional, dan
meningkatkan kesejahteraan bangsa. Inovasi merupakan kunci untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi, daya saing nasional, dan meningkatkan kesejahteraan
bangsa.
Teori inovasi dikemukakan oleh Djamaludin Ancok dalam bukunya Psikologi
Kepemimpinan & Inovasi (2007) sebagaimana dikutib dalam Hand Book Inovasi
Administrasi Negara (LAN,2014). Menurutnya, inovasi terdiri atas 8 jenis inovasi
yakni

proses,

metode,

teknologi,

produk,

konsep,

struktur,

hubungan,

pengembangan SDM dan jenis inovasi lainnya.

F.

Widyaiswara sebagai Agen Perubahan


Menurut Rogers dan Shoemaker dalam Nasution (2014), agen perubahan

dalam orang/lembaga yang melaksanakan tugasnya mewujudkan perubahan pada


lingkungannya. Mereka mempelopori, mengerakkan dan menyebarluaskan proses
perubahan.
Agen Perubahan berkewajiban untuk mempromosikan agar yang lain paham
dan tahu atas rancanan perubahan yang telah disiapkan, selanjutnya menjelaskan
agar yang lain berminat, mencari Informasi, mendemonstrasikan dan melatih agar
yang lain mau mencoba. Sekaligus mambantu, melayani, mendampingi agar yang lain
bisa menerima dan menjadi bagiannya. Kemudian secara perlahan menarik diri agar
dilanjutkan yang lain secara mandiri dan berkelanjutan.
Kualifikasi agen perubahan memiliki beberapa kualifikasi, antara lain :
Kualifikasi teknis: tugas spesifik dari proyek perubahan, Kemampuan administratif :
persyaratan administratif dasar dan elementary, Hubungan antar pribadi : empati ;
kemampuan mengidentifikasi diri dengan orang lain, berbagi perspektif dan perasaan.

224

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Fungsi Agen Perubahan adalah sebagai mata rantai komunikasi antar dua atau lebih
sistem yang mempelopori dengan sistem sosial yang menjadi klien dalam usaha
perubahan.
Peranan Utama

Widyaiswara sebagai Agen Perubahan yakni Katalisator :

menggerakkan masyarakat untuk melakukan perubahan, Pemberi Pemecahan


Persoalan : kreatif dan inovatif dalam mencari solusi, Pembantu Proses Perubahan :
Membantu Pemecahan masalah, penyebaran inovasi, memberikan petunjuk dalam hal
:Merumuskan kebutuhan, Mendioagnosa, Mendapatkan sumber yang relevan,
Menciptakan

pemecahan

masalah,

Merencanakan

pentahapan

penyelesaian,Penghubung (linker) dengan sumber-sumber yang berkaitan untuk


pemecahan masalah
Dalam menjalankan peranannya kelompok Agen Perubahan berupa :Laten :
Peran yang tidak di nampakkan, Sebagai Pengembang Kepemimpinan, Penganalisa,
Pemberi Informasi, Penhubung, Organizer dan pemantap hasil. Manifest : Peran yang
kelihatan Dipermukaan dilakukan secara sadar dan dipersiapkan sebelumnya yang
meliputi perannya sebagai pengerak (fungsi fasilitator, penganalisa, pengembang
kepemimpinan), perantara ( Pemberi Informasi dan Penhubung) dan penyelesai
(Pengoranisir, evaluator dan penetap hasil).
Widyaiswara sebagai agen perubahan memiliki tugas utama, yakni :
Menumbuhkan keinginan

untuk melakukan perubahan, Membina hubungan dalam

rangka perubahan, Mendiagnosa permasalahan, Menciptakan keinginan perubahan,


Menerjemahkan keinginan perubahan menjadi tindakan nyata, Menjaga kestabilan
perubahan, Mencapai terminal target yang telah ditetapkan.
Secara normatif yang mengatur tentang agen perubahan dapat mempedomani
PermenPAN dan RB No 27 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Agen
Perubahan di Instansi Pemerintah, bahwasannya diperlukan individu atau kelompok
anggota organisasi dari tingkat pimpinan sampai dengan pegawai untuk dapat
menggerakkan perubahan pada lingkungan kerjanya dan sekaligus dapat berperan
sebagai teladan (role model) bagi setiap individu organisasi yang lain dalam
berperilaku sesuai dengan nilai-nilai yang dianut organisasi. Individu atau kelompok
anggota ini disebut dengan Agen Perubahan.
Agen Perubahan adalah individu/kelompok terpilih yang menjadi pelopor
perubahan dan sekaligus dapat menjadi contoh dan panutan dalam berperilaku yang
mencerminkan integritas dan kinerja yang tinggi di lingkungan organisasinya.

225

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Individu yang ditunjuk sebagai Agen Perubahan bertanggung jawab untuk


selalu mempromosikan dan menjalankan keteladanan mengenai peran tertentu yang
berhubungan dengan pelaksanaan peran, tugas dan fungsi yang menjadi tanggung
jawabnya.
F.1

Hasil Analisa Subjek Kajian/Penelitian


Praktik Implementasi Teori Promosi dan Inovasi Peserta Diklat Kepemimpinan

Tingkat III dan Tingkat IV Tahun 2015, dapat disajikan (sebagian) sebagai berikut :
DIKLAT KEPEMIMPIAN TINGKAT III Angkatan XXXV (APBD Prov Jatim), seminar
17 Nopember 2015.
No

Nama

Jabatan/
Instansi
3

1.

R. Henggar
Sulistiarto,
SH, MM

Biro Administrasi
Pembangunan
Setda Jatim

2.

Kartono
Umar, S.Pi,
MAP

UPT Pelabuhan
Tamperan Pacitan
Dinas Perikanan
dan Kelautan Prov
Jatim

3.

Riyama
Budiawati

Dinas Perikanan
dan Kelautan Prov
Jatim

4.

Endah
Kristiarni

UPT
Pengembangan
Budidata Laut
Situbondo
Dinas Perikanan
dan Kelautan
Prov Jatim

5.

Hari Susilo,
SP, MP

UPT Pembibitan
Hortikultura
Dinas Pertanian
Prov Jatim

Fachrudin

Dinas PU
Pengairan Prov
Jatim
UPT Pengelolaan
Sumber Daya Air
di Lumajang

Moch.Jusro

Biro Administrasi

Judul Proper

Percepatan Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa
melalui Aplikasi
Elektronik Pengadaan
Langsung (E-PL)
Peningkatan Pelayanan
di UPT Pelabuhan
Perikanan Tamperan
Pacitan melalui
Pembangunan Docking
Kapal
Program Sertifikasi Cara
Budidaya Ikan Yang
Baik (CBIB) melalui
Layanan Jemput Bola

Peningkatan Kaji
Terap dan Desiminasi
Teknologi Perikanan
Budidaya Laut
melalui Aplikasi
Imunostimulan pada
Pakan Pembenihan
Ikan Kerapu Macan
Percepatan
Penjuangan Bibit
Hortikultura melalui
Marketing Mix

Program Penguatan
Tebing Tanggul
Saluran Induk Sungai
Bondoyudo Melalui
Metode Vegetatif
(Penanaman Rumput
Vetiver)
Program Revitalisasi

226

Jenis
Inovasi
5

Jenis Promosi

Teknologi
Aplikasi
Sofware
Lelang

Sosialisasi Indoor,
Bimbingan Teknis

Metode
Perbaikan
Kapal
Nelayan

Sosialisasi Indoor, door


to door

Proses
Layanan
Jemput Bola

Sosialisasi indoor, door


to door bimbingan
teknis, spanduk, benner,
leafet, media massa
cetak/koran

Teknologi
Aplikasi
Campuran
Pakan

Sosialisasi indoor,
door to door
bimbingan teknis,
spanduk, benner,
leafet,

Metodologi
Bauran
Pemasaran
Produk

Sosialisasi indoor,
door to door
bimbingan teknis,
spanduk, benner,
leafet, media massa
cetak/koran, radio,
pameran, web site
Sosialisasi indoor,
door to door
bimbingan teknis,

Metode
Ramah
Lingkunga
n

Teknologi

Sosialisasi in door

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

No

Nama

2
n, S.Sos,
Msi

Jabatan/
Instansi
3
Kesmas Setda
Jatim

Dra. Endang
Sekar
Wulan, MM

Biro Humas dan


Protokol Setda
Jatim

Imam
Asyari, MT

UPT Laboratorium
Uji Kualitas Air
dan Mineral
Dinas ESDM Prov
Jatim

Judul Proper
4
Perpustakaan Islamic
Center Berbasis IT

Peningkatan Kualitas
Pelayanan Informasi
Melalui Penyebaran
Kliping Media Cetak
kepada SKPD dengan
Sistem Digiltalisasi
Program Promosi
Layanan Jemput Bola
Laboratorium Dinas
ESDM

Jenis
Inovasi
5
Aplikasi
Sofware
Perpustakaan

Jenis Promosi
6
dan bimbingan teknis

Teknologi
Dokumentasi
dan
Informasi

Sosialisasi in door dan


bimbingan teknis

Proses
Layanan
Jemput Bola

Sosialisasi indoor,
bimbingan teknis,
spanduk, benner, leafet,
gathering, web site

DIKLAT KEPEMIMPIAN TINGKAT III Angkatan XXXI (Kabupatan/Kota) seminar 6 Oktober 2015.
No
Nama
Jabatan/Instansi
Judul Proper
Jenis
Jenis Promosi
Inovasi
1
2
3
4
5
6
10 Amiruddin,
Kecamatan Proppo
10 Menit Pelayanan
Proses
Sosialisasi indoor,
S.Sos, M.Si
Kabupaten
Adiministrasi Terpadu
layanan
spanduk, banner
Pamekasan
Kecamatan (PATEN)
Paten maks.
dan Tanpa Biaya
10 Menit
(Gratis)
11
Sri Puja
Badan Kepegawaian
Program Pelayanan
Proses
Sosialisasi indoor,
Astutik, SE
Daerah Kabupaten
Administrasi
layanan
spanduk, banner
Pamekasan
Kepegawaian Daerah
Pegawai
Terpencil
Terpencil
12
Ulung
Balitangda
Penanganan Limbah
Teknologi
Sosialisasi indoor,
Sedjati
Kabupaten Pasuruan
Batik di Desa Klampar
Tepat Guna
outdoor, spanduk,
Wirjawan,
Kec Proppo Kab
Limbah
banner
ST
Pamekasan
13
Ir.Moh.
Dinas Perikanan dan
Teknologi Geoisolator
Teknologi
Sosialisasi indoor,
Istamam,
Kelautan Kabupaten
untuk Mewujudkan
Tepat Guna
outdoor, spanduk,
Msi
Pamekasan
Swasembada Petani
Pengolahan
banner
Garam di Pamekasan
Garam
14
Arifani
Dinas Pendapatan,
Program Extra Service
Proses
Sosialisasi indoor,
Yahya, SH
Pengelolaan
dalam rangka
Pelayanan
outdoor, spanduk,
Keuangan dan Aset
Percepatan Pencairan
Publik
banner, Koran, Mobil
Kota Mojokerto
Tunggakan Pajak dan
secara Extra
keliling, Konfrensi Pers
Bangunan di Kota
berupa
Mojokerto
pembebasan
denda
administrasi
15
Dra. Ec.
RSUD Ibnu Sina
Smart Card Pelayanan
Teknologi
Sosialisasi indoor,
Anna Sri
Kabupaten Gresik
Kesehatan di RSUD
Kartu
spanduk, bimbingan
Asih, M.Ak
Ibnu Sina Kabupaten
Pembayaran
teknis
Gresik
16
Hidayatul
Badan KB dan PP
Mewujudkan Best
Hubungan
Sosialisasi indoor,
Muslimah,
Kabupaten Gresik
Practices Kelompok
sumber daya
spanduk
SKM, MM
Bina Keluarga Balita
secara
Holistik Integratif di
holistik
Kabupaten Gresik
integratif
17
Drs. Nur
Badan Kepegawaian
Pelayanan
Teknologi
Sosialisasi indoor,
Hariyanto
Daerah Kota
Kepegawaian secara On
Aplikasi
spanduk, bimbingan
Mojokerto
Line
Software on
teknis
line

227

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

No

Nama

Jabatan/Instansi

Judul Proper

1
18

2
Moh.
Nadlelah, SP,
M.Si

3
Kecamatan Manyar
Kabupaten Gresik

19

dr.
Mukhibatul
Khusnah,
MM

Dinas Kesehatan
Kabupaten Gresik

4
Implementasi Desa
Model Penerapan
APBD Desa sesuai UU
Desa
Menggali Potensi dan
Partisipasi Masyarakat
dalam upaya Promosi
Preventif Pengendalian
Penyakit Tidak Menular

Jenis
Inovasi
5
Metode
penyusunan
APBD Desa
Hubungan
sumber daya
pembentukan
kelompok
partisipatif

Jenis Promosi
6
Sosialisasi indoor,
spanduk, bimbingan
teknis
Sosialisasi indoor, door
to door bimbingan
teknis, spanduk, benner,
leafet, media massa
cetak/koran, radio

DIKLAT KEPEMIMPIAN TINGKAT III Angkatan XXXVII (Kota Pasuruan) seminar 1 Desember 2015.
No
Nama
Jabatan/Instansi
Judul Proper
Jenis
Jenis Promosi
Inovasi
1
2
3
4
5
6
20
Yudhi
Bagian Hukum
Penerbitan Peraturan
Produk
Sosialisasi indoor,
Harnendro,
Setda Kota
Walikota Pasuruan
Peraturan
spanduk, bimbingan
SH, Msi
Pasuruan
Tentang Pedoman
Perundangteknis legal drating
Pembentukan Peraturan
undangan
Walikota dan
Daerah
Keputusan Walikota
21
dr. Hendra
Dinas Kesehatan
Model Poliklinik
Pembentuka
Sosialisasi indoor,
Romodhon
Kota Pasuruan
Terpadu Empati (Empat
n struktur
spanduk
Upaya Sehat Jiwa) di
organ
Puskesmas
Poliklinik
22 dr.Sudarmant
RSUD
Peningkatan Pelayanan
Teknologi
Sosialisasi indoor
o
dr.R.Soedarsono
RSUD dr.
Aplikasi
Kota Pasuruan
R.Soedarsono melalui
Sofware RS
Pengembangan Sistem
Informasi Manajemen
RS
23 Mansur, S.Pt Dinas Pemuda Olah
Penyampaian Informasi
Teknologi
Sosialisasi indoor,
Raga dan
Cagar Budaya Berbasis
website
spanduk, banner,
Kebudayaan Kota
Menu/Kontain pada
televisi, media masa
Pasuruan
Website Pemerintah
cetak/koran, leafet
Kota Pasuruan
24
Imam
Badan Penanaman
Percepatan Proses
Teknologi
Sosialisasi indoor,
Subekti,
Modal dan
Penyelesaian Perijinan
Aplikasi
spanduk, banner,
S.Sos, MM
Pelayanan Perijinan
melalui Software
Software
cetak/koran, leafet
Terpadu Kota
Aplikasi Si-Cepat
perijinan
Pasuruan
25 Sunarno, SH
Dinas Pemuda Olah
Penanganan Anak
Hubungan
Sosialisasi indoor,
Raga dan
Jalanan melalui
sumber daya
spanduk
Kebudayaan Kota
Pendekatan Persuasif
secara
Pasuruan
dan Pendampingan
persuasif
26
Fendi
Dinas Pendapatan
Fasilitasi Pembukuan
Teknologi
Sosialisasi indoor,
Krisdiyono,
Kota Pasuruan
dan Pelaporan
Aplikasi
spanduk, banner, door
SP, MP
Pembayaran Pajak
Software
to door, media masa
Restoran secara On
pembayaran
cetak/koran, leafet
Line di Kota Pasuruan
pajak daerah
on line
27
Sri Rejeki
Dinas Pendapatan
Penyampaian Informasi
Metode
Spanduk, SMS, WA,
Andayani,
Kota Pasutuan
Pelayanan Bea
Penyampaia
Website, Koran,
S.Sos
Perolehan Hak atas
n Informasi
Sosialisasi indoor
Tanah dan Bangunan
Pajak
(BPHTB) melalui
Daerah
Media Sosial
Masyarakat
28
dr.Shierly
Dinas Kesehatan
Pembentukan Pilot
Pembetukan
Spanduk, Sosalisasi

228

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

29

Marlena

Kota Pasuruan

Project Poliklinik
Sanitasi di Puskesmas

Drs. Yohanes
Kasirin,
S.Pd, MM

Dinas Pemuda Olah


Raga dan
Kebudayaan Kota
Pasuruan

Peningkatan Peran
Pemuda dalam
Pembangunan melalui
Workshop Wawasan
Pemuda pada Siswa
SLTA di Kota Pasuruan

struktur
organ
Puskesmas
Metode
Worskshop
plus
aktualisasi
nilai
kebangsaan

indoor, outdoor

Sosialisasi outdoor,
koran, spanduk

DIKLAT KEPEMIMPIAN TINGKAT IV AngkatanLXV (Nasional) seminar 29 Sep 2015.


No
Nama
Jabatan/Instansi
Judul Proper
Jenis
Jenis Promosi
Inovasi
1
2
3
4
5
6
30

Zulkifli,
S.Sos

Inspektorat Provinsi
Kalimantan Utara

31

Anang Dwi
Candra, ST

DPU dan TU
Provinsi Kalimantan
Utara

32

M. Faizal,
ST

Bappeda Kabupaten
Paser Prov
Kalimantan Utara

33

Brimadi, ST

DPU Kota Waringin


Barat

34

Herman, ST

Badan Lingkungan
Hidup Provinsi
Kalimantan Utara

F.2

Peningkatan Pelayanan
Konsultasi melalui
Layanan Online pada
Blog Inspektorat
Kaltara.Blogspot.Com
Peningkatan Partisipasi
Swasta/BUMN/BUMD
dalam Memaksimalkan
Fungsi Ruang Terbuka
Hijau Kota Tanjung
Selor melalui
Kemitraan dengan DPU
dan TU Kaltara dan
Dinas Kebersihan
Pertamanan
Pemakaman PMK
Kabupaten Bulungan
Meningkatkan Kualitas
Penyusunan Anggaran
melalui Juknis Sistem
Evaluasi Perencanaan
Infrastruktur
Manual Operasi
Pemeliharaan Jaringan
Reklamasi Rawa
Pasang Surut
Penyusunan SOP
Pengelolaan Barang
dalam rangka
Meningkatkan
Efektifitas Pengelolaan
Barang

Metode
Layanan
Online

Sosialisasi indoor

Hubungan
Sumber
Daya antar
Governance

Sosialisasi indoor,
spanduk, banner, door
to door

Proses
Layanan
sesuai Juknis

Sosialisasi indoor

Proses
Pemeliharaa
n sesuai
Manual
Operasi
Proses
Pengeloaan
Barang
sesuai SOP

Sosialisasi indoor,
outdoor, spanduk,
banner

Sosialisasi indoor,
outdoor, spanduk,
banner

Penerapan Teori Promosi


Dalam teori promosi dikenal beberapa jenis promosi, yakni jenis :
1.Iklan (advertising);
2.Penjualan tatap muka (personal selling);
3.Promosi penjualan (sales promotion);
4.Hubungan masyarakat (sosialization relation); dan

229

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

5.Publikasi (publlicity).

Hal tersebut dilakukan untuk mencapai empat tujuan dasar.


1.Modifikasi Tingkah laku
2.Memberitahu
3.Mempengaruhi
4.Mengingatkan

Penerapan teori promosi yang dilakukan peserta diklat, sebagai berikut :

NO

JENIS PROMOSI

JUMLAH

PERWUJUDAN

Iklan

2 2.4

Kolam Koran

Tatap Muka

12 14.4

Door to door

Penjualan

2 2.4

Sosialisasi

43 51.9

Pertemuan

Publikasi

24 28.9

Televisi, radio, spanduk,


koran, website

JUMLAH

83 100%

Pameran, pemesanan

Promosi yang dilakukan oleh peserta diklat kepemimpinan dilakukan secara berbauran
antar jenis promosi, kemudian dilakukan yang paling nampak dilakukan pemilihan dan
disesuaikan dengan kontensi proyek perubahan yang dilakukan.

F.3. Penerapan Teori Inovasi


Penerapan teori inovasi yang dilakukan peserta diklat, sebagai berikut :
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
9.

JENIS INOVASI
Proses
Metode
Produk
Konseptual
Teknologi
Struktur Organisasi
Hubungan
Pengembangan SDM
Lainnya
JUMLAH

JUMLAH
23
16
1
27
2
13
1
83

27.7 SOP, Pedoman


19.3 Jemput bola
1.2 Hasil
32.5
2.4
15.7
1.2
100%

230

PERWUJUDAN

Aplikasi
Penambahan organ
Pendampingan
Worskshop

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Inovasi yang dilakukan oleh peserta diklat kepemimpinan dilakukan secara berbauran
antar jenis inovasi, kemudian dilakukan pemilihan yang paling nampak dilakukan dan
disesuaikan dengan kontensi proyek perubahan yang dilakukan.

G.

Kesimpulan
Widyaiswara sebagai agen Perubahan yang merupakan individu atau kelompok

anggota organisasi dari tingkat pimpinan sampai dengan staf yang dapat dapat
menggerakan perubahan pada lingkungan kerjanya dan sekaligus dapat berperan
sebagai teladan bagi setiap individu organisasi yang lain dalam berperilaku sesuai
dengan nilai-nilai yang dianut organisasi.
Individu yang ditunjuk sebagai Agen Perubahan bertanggung jawab untuk selalu
mempromosikan dan menjalankan keteladanan mengenai peran tertentu yang
berhubungan dengan program yang menjadi tanggung jawabnya.

DAFTAR PUSTAKA
W. Lawrence Neuman, Social Research Methods: Qualitative and Quantitative
Approaches,(Needham Heights, MA: Allyn& Bacon, 1997), hlm. 14
John W. Creswell, Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches,
(California: Sage Publications, Inc, 1994), hlm. 5.
Djamaludin, Ancok. 2012. Psikologi Kepemimpinan & Inovasi. Jakarta: Erlangga
Handbook Inovasi Administrasi Negara, LAN 2014, Penulis Tim Pusat Inovasi Tata
Pemerintahan, Lembaga Administrasi Negara, Jakarta
Menurut Rogers dan Shoemaker dalam Nasution (2014),
Peraturan Perundangan-undangan:
PermenPAN dan Reformasi Birokrasi ( Permen PAN & RB ) Nomor 11 Tahun 2015
tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2015-2019
PermenPAN dan RB No 27 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Agen
Perubahan di Instansi Pemerintah

231

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 19 Tahun 2015 Tentang


Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat III
Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 20 Tahun 2015
Tentang Pedoman Penyelenggarjaan Pendidikan Dan Pelatihan Kepemimpinan
Tingkat IV.

232

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

KAJIAN ATAS PENERIMAAN PAJAK DAN DEFISIT ANGGARAN


INDONESIA TAHUN 2010-2014
Aniek Juliarini 1)
Widyaiswara Madya, Balai Diklat Keuangan Yogyakarta
Jl. Solo Km. 11, Kalasan, Sleman, Yogyakarta 55571
Tatan Jaka Tresnajaya 2)
Widyaiswara Madya, Pusdiklat Pajak
Jl. Slipi Raya No. 1 Kemanggisan, Slipi, Jakarta Barat
(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstrak
Dari tahun ke tahun target penerimaan pajak senantiasa meningkat, begitupun realisasi
penerimaan pajak secara nominal selalu meningkat. Sekalipun demikian, data menunjukkan
bahwa sejak tahun 2009 hingga tahun 2015 target penerimaan pajak tidak tercapai.
Sementara itu kebutuhan belanja negara terus bertambah. Pajak merupakan sumber utama
penerimaan negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang porsinya
saat ini telah mencapai sekitar 80%. Tax ratio (proporsi antara penerimaan pajak dan Produk
Domestik Bruto (PDB)) yang merupakan salah satu indikator suksesnya penerimaan pajak,
pada tahun 2010 baru mencapai 11,30%, tahun 2011 meningkat menjadi 11,80% dan tahun
2012 mencapai 12,25%, namun menurun menjadi 11,86 % pada tahun 2013 dan turun lagi
menjadi 11,36% pada tahun 2014. Menurunnya tax rasio menunjukkan kinerja pajak yang
kurang optimal. Akibat tidak tercapainya target penerimaan pajak maka salah satu jalan
yang dilakukan pemerintah untuk menutup defisit anggaran adalah dengan menambah
utang, baik utang dalam negeri maupun utang luar negeri. Utang yang terus meningkat tentu
mengkhawatirkan. Besarnya rasio defisit anggaran terhadap PDB pada tahun 2010 hanya
mencapai 0,73%, naik menjadi 1,14% pada tahun 2011, 1,83% pada tahun 2012, naik lai
menjadi 2,33% pada tahun 2013, dan tahun 2014 sedikit turun menjadadi 2,15.%. Nilai rasio
defisit anggaran tersebut masih berada dibawah ketentuan Undang-undang Keuangan
Negara yang menetapkan bahwa besarnya rasio defisit anggaran terhadap PDB maksimal
3%. Dari penelitian yang dilakukan terhadap data penerimaan pajak dan defisit anggaran
tahun 2010-2014 ini disimpulkan bahwa pajak masih memiliki ruang untuk dioptimalkan baik
melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi perpajakan, agar tax ratio meningkat sejajar
dengan negara-negara Asia Tenggara. Defisit anggaran masih memungkinkan untuk
ditambah,utang Indonesia masih lebih rendah jika dibandingkan kebanyakan negara lain,
kebutuhan pembangunan cukup besar. Namun demikian pemerintah harus berhati-hati
dalam menetapkan kebijakan karena jika pajak terus digenjot maka bisa berefek
kontraproduktif terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian pula jika defisit terus membesar
dan utang membengkak maka dapat menyulitkan keuangan negara.

Key words: Indonesia National Budget, tax ratio, debt, defisit of budget, Gross
National Product
Corresponding author: Aniek Juliarini, E-mail: ajuliarini@gmail.com;Tatan Jaka
Tresnajaya, E-mail: tatan.jaka@gmail.com

233

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pendahuluan
Dari tahun ke tahun target dan realisasi penerimaan pajak senantiasa meningkat.
Porsi penerimaan perpajakan sebagai sumber pendapatan Negara semakin besar,
seiring menurunnya peran hasil minyak bumi. Sejak tahun 2007 hingga tahun 2015
target penerimaan pajak tidak pernah tercapai kecuali pada tahun 2008 yang dapat
mencapai 108,12%. Tax ratio yang merupakan perbandingan antara penerimaan pajak
dengan Produk Domestik Bruto (PDB), yang merupakan salah satu tolok ukur kinerja
penerimaan pajak, belum mencapai angka seperti yang diharapkan. Pada tahun 2011,
tax ratio Indonesia baru mencapai sekitar 11,77% dan masih di bawah kebanyakan
negara-negara di Asia Tenggara yang rata-rata mencapai 12,24% (Setjen DPR RI).
Rendahnya tax ratio mengindikasikan bahwa masih terdapat peluang untuk
meningkatkan penerimaan pajak. Realisasi penerimaan pajak tahun 2007--2013 dapat
dilihat pada Grafik 1.
Grafik 1. Realisasi penerimaan pajak terhadap target tahun 20072013

Sumber: Amir, Hidayat (2014)

Berdasarkan Grafik 1 terlihat bahwa dalam kurun 20072013, total penerimaan


pajak berada di bawah target, kecuali penerimaan pajak pada tahun 2008. Sementara
itu

kebutuhan belanja Negara terus meningkat.

Jika pajak sebagai sumber

penerimaan utama Negara yang saat ini telah mencapai lebih dari 80% dari
pendapatan Negara tidak tercapai, maka defisit anggaran akan melebar. Rasio antra
defisit anggaran terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)

234

pada tahun 2013 telah

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

melewati angka 2%. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan


Negara mengatur bahwa besarnya defisit anggaran maksimal 3% dari PDB.
Selanjutnya, salah satu jalan yang dilakukan pemerintah untuk menutup defisit
anggaran adalah dengan melakukan utang, baik utang luar negeri maupun dalam
negeri dan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN).

Utang dapat menutup deficit

anggaran. Tidak tercapainya penerimaan pajak dan terus meningkatnya defisit


anggaran dan utang pemerintah perlu dicermati dan disikapi dengan hati-hati agar
tidak menyulitkan keuangan negara di masa depan.

Penelitian Terdahulu
Nasir, Muhammad (2014) melakukan penelitian Analisis Daya Bayar Utang Luar
Negera menyimpulkan bahwa Indonesia dapat menjadi mendekati kondisi insolvency
regarding pada kemampuan bayar pada utang luar negeri. Hal itu dapat dilihat dari
enam indikator yang ada, Indonesia memiliki dua indikator yang buruk yaitu pada
indikator rasio utang luar negeri terhadap ekspor yang pada tahun 2012 mencapai
34,92% , berada di atas DSF Treshold sebesar 20%, dan rasio antara PV utang luar
negeri terhadap rencana penerimaan yang hanya mencapai 150,8%, berada di bawah
DSF treshold sebesar 250%. Indonesia yang memiliki defisit anggaran, yang jika terjadi
terus menerus, dapat menyebabkan gagal bayar.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN Setjen DPR RI (2014)
menuliskan bahwa tax ratio Indonesia masih berada di urutan terbawah dalam G20.
Untuk bisa setara dengan negara-negara berkembang di dunia, Indonesia perlu
mencapai tax ratio 20%. Namun hal ini tidak bisa dicapai secara cepat perlu waktu
sekitar 4-5 tahun, bahkan jika Indonesia masih terus mengalami krisis bisa perlu waktu
8 tahun. Melihat hal tersebut maka perlu dilihat kembali adanya kecenderungan
gagalnya pencapaian target penerimaan pajak dan gejala meningkatnya defisit
anggaran sehingga berpotensi melonjaknya utang pemerintah.
Kajian ini menganalisis bagaimana perkembangan penerimaan pajak periode
20102014 dan bagaimana perkembangan defisit anggaran sebagai efek dari
penerimaan pajak serta mengkaji perkembangan utang pemerintah sebagai efek dari
adanya defisit anggaran.

Hasil kajian ini akan memberikan gambaran kondisi

keuangan negara terkini sehingga dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak


terkait. Sistematika penulisan diawali dengan metodologi penelitian, kerangka teori,
hasil dan pembahasan, serta kesimpulan dan rekomendasi.

235

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Metodologi
A. Kerangka teori
1.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara


Pajak merupakan sumber utama penerimaan Negara.

Selain penerimaan

perpajakan, sumber pendapatan Negara yang lainnya adalah penerimaan negara


bukan pajak (PNBP) dan hibah. Struktur APBN adalah sebagai berikut:
I.

Pendapatan Negara dan Hibah


a. Penerimaan perpajakan
b. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)
c. Hibah

II.

Belanja Negara
a. Belanja Pemerintah Pusat
b. Transfer ke Daerah

III.

Surplus/deficit Anggaran

IV.

Pembiayaan
a. Pembiayaan dalam negeri
b. Pembiayaan luar negeri

V.

Sisa Lebih/Kurang Pembiayaan Anggaran

Pada prinsipnya pajak merupakan kontribusi wajib kepada Negara yang


pemungutannya dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang, di mana
pembayar pajak tidak mendapat imbalan prestasi langsung , dan rakyat akan
menerima manfaat pajak melalui pelayanan public, barang public, subsidi,
pembangunan, dan sebagainya. Penerimaan perpajakan dalam negeri saat ini
terdiri dari atas pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan
barang mewah, pajak bumi dan bangunan sektor perkebunan, pehutanan,
pertambangan dan lainnya, pajak lainnya, dan cukai. Sementara pajak
perdagangan internasional bersumber dari bea masuk dan bea keluar.
Utang pemerintah atau dalam APBN disebut sebagai pembiayaan, merupakan
utang yang diambil pemerintah untuk menutup defisit anggaran. Defisit terjadi
akibat pendapatan negara tidak cukup untuk menutup anggaran belanja negara.
Pembiayaan atau utang dapat dilakukan baik kepada masyarakat dalam negeri
maupun utang ke negara lain atau pihak luar.

236

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

2. Produk Domestik Bruto


Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi pada suatu
negara dalam suatu periode tertentu adalah data Produk Domestik Bruto (PDB),
baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar harga konstan. PDB pada
dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha
dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir
yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. PDB atas dasar harga berlaku
menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga
yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDB atas dasar harga konstan
menunjukkan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan
harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai dasar. PDB atas dasar
harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran dan struktur ekonomi,
sedang harga konstan digunakan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi dari
tahun ke tahun.
Produk Domestik Bruto merupakan salah satu data ekonomi yang
dapat digunakan untuk mengevaluasi kinerja pembangunan ekonomi suatu
negara/wilayah. Namun, perangkat data ini juga dapat digunakan untuk
kepentingan

dan

pengembangan

tujuan

lain, bahkan

model-model

ekonomi

digunakan

dalam

sebagai

dasar

rangka menyusun formulasi

kebijakan, tingkat peredaran uang, penetapan pajak, kajian ekspor dan impor dsb.
Sampai saat ini, penghitungan PDB Indonesia dilakukan melalui dua pendekatan,
yaitu dari sisi lapangan usaha (industry) dan sisi pengeluaran (expenditure).
Pendekatan dari sisi lapangan usaha menjelaskan agregat PDB yang terkait
dengan penciptaan nilai tambah, yang dihasilkan oleh berbagai lapangan
usaha atau industri. Sebagian besar nilai tambah ini merupakan sumber
pendapatan bagi masyarakat, baik dalam bentuk upah dan gaji, pendapatan
kapital, serta pendapatan atas pemilikan faktor produksi lain. Pendekatan dari sisi
pengeluaran menjelaskan pengeluaran pendapatan baik untuk aktivitas konsumsi
akhir dan investasi riil. PDB penggunaan merupakan ukuran dasar (basic
measure) atas penggunaan produk berupa barang dan jasa yang dihasilkan
melalui

proses

produksi.

Dalam

konteks

tersebut,

ukuran

PDB

dapat

menggambarkan aktivitas dan hasil akhir dari suatu proses produksi yang
berlangsung

di

dalam

batas-batas

teritori

suatu

negara

atau

wilayah.

Berbagai agregat yang dapat diturunkan dari PDB, di antaranya adalah


permintaan konsumsi akhir, pembentukan modal tetap atau investasi fisik,

237

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

ekspor dan impor. Berbagai jenis barang dan jasa akhir tesebut, ditujukan
untuk memenuhi permintaan akhir berbagai pelaku atau sektor ekonomi
domestik maupun luar negeri. Penghitungan PDB

melalui

pendekatan

penggunaan, merupakan hal yang tidak terpisahkan dari penghitungan PDB


melalui pendekatan lapangan usaha (industri), yang ditampilkan dalam suatu
kerangka kerja data ekonomi. Sungguhpun demikian, penghitungan PDB
penggunaan dilakukan secara independen dengan menggunakan data dasar
yang relatif berbeda. PDB lapangan usaha lebih menjelaskan tentang proses
produksi, serta pendapatan faktor yang berhasil diciptakan (balas jasa faktor
produksi), sedangkan PDB penggunaan menjelaskan tentang pengeluaran
yang

dilakukan

untuk mendapatkan

barang

dan

jasa

yang

diproduksi

tersebut. Semakin tinggi PDB sebuah negara menunjukkan bahwa pertumbuhan


ekonomi negara tersebut semakin baik.

3. Tax Ratio
Pajak merupakan sumber penerimaan negara yang utama. Secara nominal, dari
tahun ke tahun jumlah penerimaan pajak senantiasa meningkat, seiring dengan
peningkatan target penerimaan. Namun demikian, jika dibandingkan dengan PDB,
nampaknya penerimaan pajak serasa jalan di tempat. Secara garis besar, PDB
merupakan jumlah nilai barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu perekonomian.
PDB bisa pula dilihat sebagai seluruh penghasilan yang diproduksi di dalam suatu
negara. Dengan demikian PDB pada hakikatnya adalah potensi dasar pemungutan
pajak. Oleh karena itu seiring dengan meningkatnya PDB Indonesia, penerimaan
pajak juga diharapkan meningkat. Hal ini diejawantahkan dengan peningkatan tax
ratio, yang merupakan nisbah antara penerimaan pajak dengan PDB. (Kristian
Agung Prasetyo, 2014).

PENERIMAAN PAJAK
TAX RATIO = ---------------------------------------------PRODUK DOMESTIK BRUTO

Berdasarkan cara pemungutannya, pajak dibedakan menjadi pajak langsung dan


pajak tidak langsung. Pajak Penghasilan merupakan contoh pajak langsung dan
PPN&PPnBM merupakan pajak tidak langsung. Untuk meningkatkan penerimaan
negara, pemerintah melalui regulasinya

238

dapat

mengusahakan peningkatan

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

penerimaan pajak langsung maupun tidak langsung. Dalam proses pertumbuhan


suatu negara, akan terjadi perubahan struktur perekonomian. Salah satu struktur
yang berubah adalah penerimaan pajak negara. Perubahan struktur pajak ini
ditandai oleh peranan pajak langsung terhadap total pajak yang semakin
meningkat dibandingkan dengan peranan pajak tak langsung terhadap total pajak
semakin menurun.
Sementara itu penerimaan pajak dipengaruhi oleh

faktor

eksternal

maupun

faktor internal. Faktor eksternal yang mempengaruhi penerimaan pajak suatu


negara antara lain pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, nilai tukar rupiah, harga
minyak internasional, produksi minyak mentah, harga minyak internasional, dan
tingkat suku bunga. Sedangkan faktor internal yang mempengaruhi penerimaan
pajak adalah tarif pajak itu sendiri. (Syahputra, 2006). Pertumbuhan ekonomi
berpengaruh

positif

terhadap

meningkatnya pendapatan

penerimaan pajak, khususnya melalui

masyarakat

dan

tingkat konsumsi. Pertumbuhan

ekonomi mengindikasikan perubahan dalam pendapatan yang diterima oleh


masyarakat. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi yang disertai dengan
pemerataan pendapatan, menunjukkan semakin tinggi pula

pendapatan

masyarakat. Semakin tinggi pendapatan masyarakat menyebabkan penerimaan


pajak akan bertambah karena ada perubahan jumlah pembayar pajak, yaitu dari
yang tidak dikategorikan sebagai pembayar pajak menjadi pembayar pajak, dan
dari yang membayar pajak pada tarif tertentu menjadi naik sebagai pembayar
pajak pada tarif yang lebih tinggi seiring kenaikan pendapatan terutama terjadi
pada pajak dengan tarif progresif.

B.

METODE PENELITIAN

Penelitan ini dilakukan berdasarkan studi literatur dengan analisis kuantitatif


deskriptif. yaitu dengan berdasarkan data yang berasal dari Kementerian
Keuangan, LKPP, penelitian-penelitian terdahulu, buku, tulisan, undang-undang
dan peraturan terkait lainnya. Berdasarkan data yang ada akan dilihat
perkembangan penerimaan pajak dan utang terhadap PDB. Selanjutnya akan
dianalisis apakah penerimaan pajak masih memiliki potensi untuk ditingkatkan,
dan apakah defisit anggaran serta jumlah utang masih cukup aman. Data yang
diamati adalah data time series tahun 20102014.

239

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Hasil
Berdasarkan data yang diperoleh, perkembangan PDB berdasarkan harga
berlaku tahun Seri 2000, realisasi belanja negara, realisasi penerimaan pajak
pusat, defisit anggaran, dan besarnya tax ratio serta proporsi antara defisit
anggaran dengan PDB adalah sebagaimana Tabel 1.

Tabel 1. Data PDB, belanja negara, penerimaan pajak, tax ratio, dan defisit anggaran
tahun 20102014

2010

2011

2012

2013

2014

RERATA

TAHUN
REALISASI PERTUMBUHAN REALISASI PERTUMBUHAN REALISASI PERTUMBUHAN REALISASI PERTUMBUHAN REALISASI PERTUMBUHAN

PDB
BELANJA NEGARA
PENERIMAAN PAJAK
DEFISIT ANGGARAN
TAX RATIO (%)
DEFISIT/PDB (%)

6.446.900

114,85% 7.419.200

1.042.120

111,17% 1.295.000

723.307

116,68% 873.874

46.850

52,87%

84.400

11,30

46,03%

11,80

104,42%

12,50 105,93%

0,73

81,32%

1,14

156,54%

1,86 163,72%

115,08% 8.230.900

110,94% 9.087.280

110,40% 10.094.930

111,09%

124,27%

115,17%

110,67%

107,67%

120,82%

1.491.410
980.518

180,15% 153.300

112,20%

1.650.560
1.077.307

181,64% 211.670

109,87%

1.777.180
1.146.866

106,46%

138,08%

226.690

107,10%

11,86

94,88%

11,36

95,78%

2,33

125,06%

2,25

96,41%

REALISASI

PERTUMBUHAN

8.255.842,00

112,47%

1.451.254,00

113,79%

960.374,40

113,21%

144.582,00

131,96%

11,76

89,41%

1,66

124,61%

Ctt : PDB seri 2000 atas dasar harga berlaku


Sumber: LKPP Audited, diolah

Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa capaian PDB pada tahun 2010 mengalami
pertumbuhan 114,85% dari tahun 2009, pada tahun 2011 tumbuh 115,08% dari
tahun 2010, tahun 2012 tumbuh 110,94 dari tahun 2011, tahun 2013 tumbuh
110,40% dari tahun sebelumnya, dan PDB tahun 2014 tumbuh 111,09% dari
tahun 2013. Pertumbuhan PDB pada tahun 20102014 rata-rata mencapai
112, 47% per tahun .
Realisasi anggaran belanja negara pada tahun 2010 mengalami pertumbuhan
111,17% dari tahun 2009, pada tahun 2011 tumbuh 124,27% dari tahun 2010,
tahun 2012 tumbuh 115,7% dari tahun 2011, tahun 2013 tumbuh 110,67% dari
tahun sebelumnya, dan belanja negara tahun 2014 tumbuh 107,67% dari tahun

240

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

2013.

Pertumbuhan belanja negara pada tahun 20102014 rata-rata

mencapai 113,79% per tahun.


Penerimaan pajak pada tahun 2010 mengalami pertumbuhan 116,68% dari
tahun 2009, pada tahun 2011 tumbuh 120,82% dari tahun 2010, tahun 2012
tumbuh 112,20% dari tahun 2011, tahun 2013 tumbuh 109,87% dari tahun
sebelumnya, dan penerimaan pajak tahun 2014 tumbuh 106,46% dari tahun
2013.

Pertumbuhan penerimaaan pajak pada tahun 20102014 rata-rata

mencapai 113,21% per tahun.


Defisit anggaran pada tahun 2010 mengalami pertumbuhan 52,87% dari tahun
2009, pada tahun 2011 tumbuh 180,15 dari tahun 2010, tahun 2012 tumbuh
181,64% dari tahun 2011, tahun 2013 tumbuh 138,08% dari tahun sebelumnya,
dan defisit anggran tahun 2014 tumbuh 107,10% dari tahun 2013.
Pertumbuhan defisit anggaran pada tahun 20102014 rata-rata mencapai
131,96% per tahun.

Diskusi
1. Tax ratio
Pertumbuhan penerimaaan pajak pada tahun 20102014 rata-rata mencapai
Rp960.374, 40 milyar. Perbandingan antara penerimaan pajak dan PDB (tax
ratio) rata-rata hanya mencapai 11,76%.

Perkembangan tax ratio setiap

tahunnya tergambar pada Grafik 2.


Grafik 2. Tax ratio Indonesia tahun 20102014

241

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sumber: LKPP 2014,audited

Seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan belanja pemerintah,


seharusnya penerimaan pajak menunjukkan performa yang lebih baik. Data
menunjukkan bahwa performa penerimaan pajak melalui tax ratio-nya, pada
tahun 2010 meningkat dari 11,30% menjadi 11,80%, pada tahun 2011 hingga
12,5% pada tahun 2012. Namun demikian, besaran tax ratio tersebut masih
cukup rendah. Sayangnya tax ratio kemudian bergerak menurun pada tahun
2013 menjadi 11,86% dan pada tahun 2014 melorot ke11,36%. Jika dihitung
tax ratio atas seluruh penerimaan pajak pusat dan daerah (tax ratio secara
luas), pada tahun 2013 tax ratio mencapai 14,3%. (Setjen DPR RI,2014).
Namun demikian, angka ini masih tetap berada di bawah negara-negara maju.
Grafik 3 menunjukkan tax ratio Indonesia diantara beberapa negara di dunia.

Grafik 3. Kedudukan tax ratio Indonesia diantara beberapa negara di dunia.

Sumber: Setjen DPR RI


Berdasarkan Grafik 3, posisi tax ratio Indonesia berada di atas India, sama
dengan Filipina, namun masih di bawah China dan Meksiko, yang memiliki tax
ratio hampir 20%, Korea Selatan yang mencapai 24,3%, dan sangat jauh di
bawah Inggris, Jepang dan Jerman yang memiliki tax ratio di atas 30%. Hal ini

242

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

tentunya menjadi tantangan bagi Ditjen Pajak untuk terus mengopimalkan


penerimaan pajak, baik dengan intensifikasi maupun ekstensifikasi perpajakan,
dengan tetap memperhatikan fungsi regulerend (mengatur) dari pajak.
2. Defisit anggaran
Belanja pemerintah selama tahun 20102014 rata-rata tumbuh 113,79%,
sementara penerimaan pajak sebagai sumber utama penerimaan negara hanya
tumbuh rata-rata 113,21%. Dengan menurunnya proporsi penerimaan pajak
maka ruang defisit anggaran semakin melebar. Perkembangan defisit anggaran
ditunjukkan oleh Grafik 4.

Grafik 4. Rasio defisit anggaran terhadap PDB tahun 20102104

Sumber: LKPP 2014,audited


Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keungan Negara mengatur
bahwa rasio defisit anggaran terhadap PDB tidak boleh melebihi 3%.
Berdasarkan Grafik 4, pada tahun 2010 defisit anggaran kita sangat kecil yakni
hanya 0,73% terhadap PDB. Namun angka ini terus meningkat menjadi 1,14%
pada tahun 2011 dan 1,83% pada tahun 2012. Defisit anggaran pada tahun
2013 dan 2014 telah melewati angka 2%, yakni 2,33% pada tahun 2013 dan
2,25% pada tahun 2014. Angka tersebut masih berada di bawah batas tertinggi
yang ditentukan undang-undang, maksimal sebesar 3%. Namun hal ini tetap
menjadi warning bagi pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam menyusun

243

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

APBN mengingat kondisi ekonomi dunia dan ekonomi nasional yang kurang
mendukung penerimaan pajak.
Defisit anggaran akan dapat meningkatkan jumlah utang pemerintah. Data
Statistik Utang Sektor Publik .(SUSPI) Tahun 2014 menunjukkan adanya
kecenderungan jumlah utang yang terus meningkat, terutama pada tahun 2014.
Rasio utang sektor publik konsolidasi terhadap Produk Domestik Bruto tahun
2010-2014 ditunjukkan oleh Grafik 5.
Grafik 5. Rasio utang sektor publik konsolidasi terhadap Produk
Domestik Bruto

Sumber: SUSPI 2014, Kemenkeu dan Bank Indonesia


Dari Grafik 5 terlihat bahwa rasio defisit terhadap PDB pada tahun 2010
mencapai 25,2%.

Tahun 2011 turun menjadi 23,4%, tahun 2012 naik lagi

menjadi 25,5% dan terus naik hingg 29,9% pada tahun 2013 hingga 47,3%
pada tahun 2014. Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, utang
Indonesia masih relatif lebih kecil. Bahkan negara-negara kaya dan besar pun
memiliki rasio utang yang besar. Rasio utang terhadap PDB yang besar tidak
selalu buruk jika utang tersebut dipergunakan dengan benar sehingga dapat
meningkatkan perekonomian (PDB), meningkatkan ekspor (perolehan devisa),
dan sebagainya Jika dilihat perkembangan utang tahun 2005 dan 2015 maka
perbandingannya sebagaimana Grafik 6.

244

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Grafik 6. Rasio utang terhadap PDB Indonesia dan berbagai negara

Sumber: Kementerian Keuangan RI, 2016


Grafik 6 menunjukkan bahwa pada tahun 2015 rasio utang terhadap PDB
Indonesia cukup rendah, dengan proporsi yang hampir sama dengan Turkey,
Philina, dan Australia. Rasio yang rendah menunjukkan jumlah utang yang
rendah dibandingkan PDB. Dengan demikian kondisi utang tersebut masih
cukup aman. Rasio utang dan PDB yang tinggi terjadi di Italia, Jepang dan
Amerika Serikat.

Rsio yang tingi tidak selalu buruk asalkan utang tersebut

dipergunakan untuk menggerakkan ekonomi negara sehingga kemampuan


keuangan negara pun meningkat pula.
Kesimpulan
Kinerja penerimaan pajak yang tercermin lewat nilai tax ratio (penerimaan
pajak/PDB) menunjukkan peningkatan dari 11,30% pada tahun 2010 menjadi
11,80% pada tahun 2011 dan 12,50 % pada tahun 2012. Sayangnya tax ratio
mengalami penurunan pada tahun 2013 menjadi 11,86% dan turun lagi pada
tahun 2014 menjadi 11,36%. Dibandingkan negara lain, nilai tax ratio ini masih
di bawah rata-rata tax ratio negara-negara Asia Tenggara yang dapat mencapai
20% dan negara-negara maju seperti Jepang yang mencapai tax ratio hingga
30%. Peningkatan tax ratio masih sangat mungkin dilakukan, baik dengan cara
intensifikasi maupun ekstensifikasi perpajakan.

245

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Penurunan tax ratio di tengah gencarnya pemerintah melakukan pembangunan


infrastruktur, pengucuran dana desa yang cukup besar, peningkatan dana
kesehatan, dan lain-lain, memberikan dampak pada meningkatnya defisit
anggaran. Rasio antara defisit anggaran dengan PDB pada tahun 2010 hanya
sebesar 0,73%, meningkat pada tahun 2011 menjadi 1,14%, tahun 2012
1,83%, dan naik lagi menjadi 2,33% pada tahun 2013. Pada tahun 2014 rasio
defisit turun menjadi 2,25%.

Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003

mensyaratkan rasio defisit anggaran terhadap PDB maksimal 3%. Angka defisit
dalam periode 20102014 masih berada di bawah angka maksimal, dan
berada di bawah Namun demikian, pemerintah tetap harus berhati-hati karena
jika defisit semakin besar akibat tidak tercapainya target penerimaan pajak dan
sumber-sumber pendapatan negara lainnya, maka

defisit yang semakin

melebar akan mengurangi likuiditas keuangan walaupun mungkin tidak sampai


menjadi gagal bayar.
Defisit anggaran yang melebar berdampak pada meningkatnya utang
pemerintah. Rasio utang terhadap PDB pada tahun 2010 mencapai 25,2%.
Tahun 2011 turun menjadi 23,4%, tahun 2012 naik lagi menjadi 25,5% dan
terus naik hingg 29,9% pada tahun 2013 hingga 47,3% pada tahun 2014. Jika
dibandingkan dengan negara-negara lain, utang Indonesia masih relatif lebih
kecil. Bahkan negara-negara kaya dan besar pun memiliki rasio utang yang
besar. Rasio utang terhadap PDB yang besar tidak selalu buruk jika utang
tersebut

dipergunakan

perekonomian

(PDB),

dengan

benar

meningkatkan

sehingga

ekspor

dapat

(perolehan

meningkatkan
devisa),

dan

sebagainya

Keterbatasan Penelitian
Karena sempitnya waktu penelitian maka pada penelitian ini belum dilakukan
pengukuran indikator-indikatator tingkat keamanan nilai utang. Supaya lebih
sempurna, penelitian berikutnya dapat mengukur tingkat keamanan nilai utang
misalnya dengan mengukur Debt Service Ratio (DSR), dan lain-lain. Kesulitan
dalam memeroleh data yang lengkap, konsisten, dan mudah diolah merupakan
kendala dalam penelitian ini.

246

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Daftar Pustaka
Nasir, Mohamad. 2014 Solvency Analysis on Indonesias External Debt Analisis
Daya Bayar Utang Luar Negeri Indonesia. Kajian Ekonomi dan Keuangan.
Volume 18 No. 2 Juli 2014 hal: 99118.
Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan
Republik Indonesia. (2016). Profil Utang Pemerintah Pusat (Pinjaman dan
Surat Berharga Negara) EDISI Februari 2016.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Statistik Utang Sektor Publik, 2014


Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2014 (Audited). (Mei 2015).

Setjen DPR RI. (2014). Meningkatkan Tax Ratio Indonesia. Diunduh dari
http://www.dpr.go.id/doksetjen/dokumen/apbn_Meningkatkan_Tax_Ratio_Indo
nesia20140602100259.pdf tanggal 17 Maret 2016

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2013 tentang Keuangan


Negara

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2014 tentang Perubahan


atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang
Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2014

247

tentang Anggaran

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

FOOD POISONING (TREATMENT AND PREVENTION)


Eddy Siswanto, M.D., M.P.H.M.
Widyaiswara Madya, Balai Besar pelatihan Kesehatan (BBPK) Ciloto
Jl. Raya Puncak Cianjur Km. 90, Cipanas Cianjur
(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstract: Penyakit bersumber makanan atau lebih dikenal sebagai keracunan


makanan adalah masalah kesehatan yang sering terjadi di masyarakat, namun dapat
dicegah dengan pengelolaan dan penanganan makanan yang memadai. Keracunan
makanan dapat diderita oleh seseorang dan bahkan dapat meluas menjadi wabah
yang menyerang sekelompok orang bila mengkonsumsi makanan yang tercemar.
Penyakit ini diderita oleh 60 80 juta jiwa di seluruh dunia setiap tahunnya dan bahkan
mengakibatkan kematian pada sekitar 6 8 juta jiwa. Begitu banyak kasus keracunan
makanan terjadi di masyarakat. Namun tidak semuanya tercatat dikarenakan
kebanyakan keracunan makanan menimbulkan gejala yang ringan dan proses
penyembuhannya juga cepat. Demikian pula beberapa faktor dari lingkungan ikut serta
menyebabkan mikroorganisme penyebab keracuman makanan ini tumbuh dengan
subur. Orang yang terkena keracunan makanan bisa terlihat sehat tanpa gejala,
namun dapat pula mengalami sakit perut, sampai terjadi dehidrasi berat dan disentri.
Beberapa gejala yang lazim muncul bila seseorang mengalami keracunan makanan
adalah mual-mual, muntah, kram perut, dan mencret (diare) yang muncul tiba-tiba
(kurang dari 48 jam) setelah mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar.
Demam, menggigil, disentri, dehidrasi, dan gangguan sistem saraf pusat dapat muncul
kemudian, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Perawatan di rumah secara
mandiri menjadi tindakan utama untuk menilai dan mengobati orang yang mengalami
keracunan makanan. Dapat dikatakan bahwa semakin baik perawatan mandiri di
rumah, semakin tinggi harapan kesembuhannya. Selanjutnya, keracunan makanan
tentunya tetap membutuhkan pengobatan yang baik serta pengawasan yang
berkelanjutan. Disamping itu, tindakan pencegahan di masyarakat menjadi hal yang
sangat penting, terutama berbagai langkah dalam memutus rantai keracunan
makanan, pengendalian kuman penyakit, kebersihan pribadi, pengawasan kualitas
makanan, pendekatan HACCP, serta tindakan-tindakan keamanan makanan.
Keywords: FOOD/ POISONING/ ASSESSMENT/ TREATMENT/ PREVENTION
Corresponding author: Eddy Siswanto, M.D., M.P.H.M., Tel/Fax.: +62 813 8773 6648
E-mail: siswantoeddy2012@gmail.com

248

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

FOOD POISONING OVERVIEW


Food borne illness or in the famous term called food poisoning is an ever-present
threat that can be prevented with proper care and handling of food products. It is
estimated that between 24 and 81 million cases of food borne diarrhea disease
occur each year in the United States, costing between $5 billion and $17 billion in
medical care and lost productivity.
Food poisoning can affect one person or it can occur as an outbreak in a group
of people who all ate the same contaminated food. It affects between 60 and 80
million people worldwide each year and results in approximately 6 to 8 million
deaths. Food poisoning tends to occur at picnics, school cafeterias, and large social
functions. These are situations where food may be left unrefrigerated too long or
food preparation techniques are not clean. Food poisoning often occurs from
undercooked meats or dairy products (like mayonnaise mixed in coleslaw or potato
salad) that have sat out too long.
Food poisoning is a common, usually mild, but sometimes deadly illness. It can
be recognized also as travelers diarrhea, diarrhea, food-borne illness, salmonella,
salmonellae,
campylobacter,

Escherichia
Norwalk

coli,
virus,

coli,

Montezumas

rotavirus,

clostridium,

revenge,
Giardia,

vomiting,
giardiasis,

cryptosporidium, ciguatera, scombroid.


Typical symptoms include nausea, vomiting, abdominal cramping, and diarrhea
that come on suddenly (within 48 hours) of consuming a contaminated food or drink.
Depending on the contaminant, fever and chills, bloody stools, dehydration, and
nervous system damage may follow. Food poisoning is the result of eating
organisms or toxins in contaminated food. Most cases of food poisoning are from
common bacteria like Staphylococcus or E. coli.
These symptoms may affect one person or a group of people who ate the same
thing (this would be called an outbreak).
1. The Centers for Disease Control and Prevention (CDC) estimates that in the
United States alone, food poisoning causes about 76 million illnesses, 325,000
hospitalizations, and up to 5,000 deaths each year. One of the most common
bacterial forms of infection, the salmonellae organisms, account for $1 billion in
medical costs and lost work time.
2. Worldwide, diarrheal illnesses are among the leading causes of death. Travelers
to developing countries often encounter food poisoning in the form of travelers

249

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

diarrhea or "Montezumas revenge." Additionally, there are new global threats to


the world's food supply through terrorist actions using food toxins as weapons.
The main objective of this review is to explain Food Poisoning and other things
those are related with it. The spesific objectives are:
1. To mention food poisoning causes
2. To identify food poisoning symptoms
3. To mention food poisoning treatment and assessment
4. To describe food poisoning expectations (prognosis)
5. To identify food poisoning complications
6. To explain food poisoning prevention

METHODOLOGY
Narative-descriptive method was using to compose this literature review. This
literature review was written by using simple terms and it can be understand by
health workers, health practitioners, and community.
The references were taken from research literatures, popular literatures, and
internet. This references were collected, validity tested, and written selected within
15 years. More of them were collected from popular literatures, as compared with
research literatures or textbooks. Therefore, this literature review contained
applicable matter according to food poisoning assessment, treatment, and
prevention.

RESULT
A.

Food Poisoning Causes


More than 200 known diseases can be transmitted through food. Those are
just the ones we know about. The CDC estimates unknown or undiscovered
agents cause 81% of all food-borne illnesses and related hospitalizations. Many
cases of food poisoning are not reported because people suffer mild symptoms
and recover quickly. Also, doctors do not test for a cause in every suspected
case because it does not change the treatment or the outcome.
1.

The known causes of food poisoning can be divided into 2 categories:


infective agents and toxic agents.

250

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

a. Infective agents include viruses, bacteria, and parasites. Such as Staph

aureus, E. coli enteritis, Salmonella, Shigella, Campylobacter, Cholera,


Botulism, Listeria, Baccillus ceureus and Yersinia.
b. Toxic agents include poisonous mushrooms, improperly prepared exotic

foods (such as barracuda or other fish poisoning), or pesticides on fruits


and vegetables.
2.

Food usually becomes contaminated from poor sanitation or preparation.


Food handlers who do not wash their hands after using the bathroom or have
infections themselves often cause contamination. Improperly packaged food
stored at the wrong temperature also promotes contamination.

One that should be concern is to separate food poisoning with food spoilage.
Food spoilage means food decays or goes off, due to the micro-organisms that always
exist in food; they are not necessarily the bacteria that cause food poisoning. The signs
that food is spoiling are:
1. Odours - "off odours" are smells (sometimes like rotten eggs) that are produced
when bacteria break down the protein in food, (usually fatty foods). This process
is called putrefaction. Taints due to flavour change may also occur.
2. Sliminess - Food becomes slimy as the bacterial population grows.
Moulds may also form slimy whiskers.
3. Discoloration - Foods can become discolored by microbial growth.
Some moulds have colored spores that give the food a distinctive color, for
example, black pin mould on bread, or blue and green mould on citrus fruit and
cheese.
4. Souring - Foods go sour when certain bacteria produce acids. A common
example is when milk sours from the production of lactic acid.
5. Gas - Bacteria and yeasts often produce gaseous by-products that can affect
food. You may have noticed meat becoming spongy, or packages and cans
swelling or having a popping or fizzing sound on opening.
There are certain environmental conditions that must be
met for micro-organisms to grow and multiply and when
these conditions exist they can very quickly increase in
number. These conditions are:
1. Time is needed for the organism to grow and reach
maturity.

251

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

In most cases we try to prevent an organism from maturing by making its


environment unsuitable for growth.
2. Food. All organisms need food for growth and energy.
3. Temperature. Each micro-organism has an optimum temperature where it
grows most rapidly and a maximum and minimum temperature at which it will
grow. Outside this range it will grow very slowly, or not at all.

FIGURE 1: TEMPERATURE RELATIONSHIP TO GROWTH AND DESTRUCTION OF


BACTERIA

4. PH. The numbers on the pH scale, as shown in the following diagram, indicate
the acidity or alkalinity of a fluid. Micro-organisms can grow and multiply only
within a certain pH range. Most prefer to live in a neutral environment around

252

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pH 7. A small group of micro-organisms prefer an acid environment and do not


grow in the neutral range. Low pH generally inhibits microbial growth. Yeasts
and moulds are the most capable of growth at low pH.Other acid-producing
bacteria such as lactic acid bacteria also predominate at low pH.

FIGURE 2: Approximate pH Growth Ranges for some Food-borne Illness Causing


Micro-Organisms

253

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

5. Water. Without water, Dehydration (loss of moisture) occurs and the life and
growth processes of micro-organisms slow down and may stop. The microorganisms might not be destroyed however. The use of salt or syrups (sugar) in
various foods is a way of activating this process. These salts and sugars are
crystals that compete with the micro-organisms for the available water that they
need for survival.
It is now generally accepted that the water requirements of micro-organisms
should be defined in terms of the water activity (aw) in the environment. This is
a measure of the availability of water to micro-organisms for metabolism (the
processes of life). The (aw) of pure water is 1.00, - a 22% salt solution has an
(aw) of 0.86 and a saturated salt solution is 0.75. The (aw) value for most fresh
foods is above 0.99.
TABLE 1: Approximate Minimum (aw) Values for Growth
ORGANISMS

WATER ACTIVITY

GROUPS
MOST SPOILAGE BACTERIA 0.90
MOST SPOILAGE YEASTS

0.88

MOST SPOILAGE MOULDS

0.80

6. Oxygen.
a. Availability of Oxygen

Micro-organisms respires. That is, they get energy by breaking down


chemicals, usually sugars, inside the cell. Aerobic organisms must use
oxygen obtained from their environment (usually air) before they can produce
energy for life and growth. Anaerobic organisms can produce this energy
only in the absence of oxygen. Facultative organisms can respire in either
aerobic or anaerobic conditions.
b. Oxygen Tension

This is the availability of oxygen to micro-organisms, and can be controlled


by packaging, e.g. by gas flushing.

254

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Chemicals, heavy metals, parasites, fungi, viruses and bacteria can cause food
borne illness. Bacteria related food poisoning is the most common, but fewer than
20 of the many thousands of different bacteria actually are the culprits. More than
90 percent of the cases of food poisoning each year are caused by
Staphylococcus aureus, Salmonella, Clostridium perfringens, Campylobacter,
Listeria monocytogenes, Vibrio parahaemolyticus, Bacillus cereus, and Enteropathogenic Escherichia coli. These bacteria are commonly found on many raw
foods.
Infants and elderly people have the greatest risk for food poisoning. You are
also at higher risk if you have a serious medical condition, like kidney disease or
diabetes, a weakened immune system, or you travel outside of the U.S. to areas
where there is more exposure to organisms that cause food poisoning. Pregnant
and breastfeeding women have to be especially careful. Botulism is a very serious
form of food poisoning that can be fatal. It can come from improper home canning.

B. Food Poisoning Symptoms


Symptoms of food poisoning depend on the type of contaminant and the
amount eaten. The symptoms can develop rapidly, within 30 minutes, or slowly,
worsening over days to weeks. Most of the common contaminants cause nausea,
vomiting, diarrhea, and abdominal cramping. Usually food poisoning is not serious,
and the illness runs its course in 24-48 hours.
Food poisoning is a common, yet distressing and sometimes life-threatening
problem for millions of people in the U.S., and throughout the world. People
infected with food borne organisms may be symptom-free or may have symptoms
ranging from mild intestinal discomfort to severe dehydration and bloody diarrhea.
Depending on the type of infection, people can even die as a result of food
poisoning.
More than 250 different diseases can cause food poisoning. The most common
diseases are infections caused by bacteria, such as campylobacter, salmonella,
shigella, E. coli, listeria and botulism.
1. Viruses account for most food poisoning cases where a specific contaminant is
found.
a. Norwalk virus: Causes a mild illness with nausea, vomiting, diarrhea,

abdominal pain, headache, and low-grade fever. These symptoms usually


resolve in 2-3 days. It is the most common viral cause of adult food poisoning

255

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

and is transmitted from water, shellfish, and vegetables contaminated by


feces, as well as from person to person.
b. Rotavirus: Causes moderate to severe illness with vomiting followed by

watery diarrhea and fever. It is the most common cause of food poisoning in
infants and children and is transmitted from person to person by fecal
contamination of food and shared play areas.
c. Hepatitis A: Causes mild illness with sudden onset of fever, loss of appetite,

and feeling of tiredness followed by jaundice, which is a yellowing of the eyes


and skin. It is transmitted from person to person by fecal contamination of
food.
2. Bacteria can cause food poisoning 2 different ways. Some bacteria infect the
intestines, causing inflammation and problems with normal absorption of
nutrients and water that leads to diarrhea. Other bacteria produce chemicals
(known as toxins) on food that is poisonous to the human digestive system.
When eaten, these chemicals can lead to nausea and vomiting, kidney failure,
and even death.
a. Salmonellae: Causes moderate illness with nausea, vomiting, cramps
diarrhea, and headache, which may come back a few weeks later as arthritis
(joint pains). In people with impaired immune systems (such as people with
kidney

disease

or

HIV/AIDS

or

those

on

chemotherapy

for

cancer), salmonellae can become a life-threatening illness. It is transmitted


by undercooked foods such as eggs, poultry, dairy products, and seafood.
b. Campylobacter: Causes mild illness with fever, watery diarrhea, headache,
and muscle aches. Campylobacter is the most commonly identified foodborne bacterial infection encountered in the world. It is transmitted by raw
poultry, raw milk, and water contaminated by animal feces.
c. Staphylococcus aureus: Causes moderate to severe illness with rapid onset
of nausea, severe vomiting, dizziness, and abdominal cramping. This
contaminant produces a toxin on foods such as cream-filled cakes and pies,
salads (most at risk are potato, macaroni, egg, and tuna salads, for example)
and dairy products. Contaminated potato salad at a picnic is common if the
food is not chilled properly.
d. Bacillus cereus: Causes mild illness with rapid onset of vomiting, with or
without diarrhea and abdominal cramping. It is associated with rice (mainly

256

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

fried rice) and other starchy foods such as pasta or potatoes. May also be
used as a potential terrorist weapon.
e. Escherichia coli (E coli): Causes moderate to severe illness that begins as
large amounts of watery diarrhea, and then turns into bloody diarrhea. There
are many different types of this bacterium. The worst strain can cause kidney
failure and death (about 3-5% of all cases). It is transmitted by eating raw or
undercooked hamburger, unpasteurized milk or juices, or contaminated well
water.
f. Shigella (travelers diarrhea): Causes moderate to severe illness with fever,
diarrhea containing blood or mucus or both, and the constant urge to have
bowel movements. It is transmitted in water polluted with human wastes.
g. Clostridium botulinum (botulism): Causes severe illness affecting the nervous
system. Symptoms start as blurred vision. The person then has problems
talking and overall weakness. Symptoms then progress to breathing difficulty
and inability to move arms or legs. Infants and young children are particularly
at risk. It is transmitted in foods such as home-packed canned goods, honey,
sausages, and seafood.
h. Vibrio cholerae: Causes mild to moderate illness with crampy diarrhea,
headache, nausea, vomiting, and fever with chills. It strikes mostly in the
warmer months of the year and is transmitted by infected, undercooked, or
raw seafood.
3. Parasites rarely cause food poisoning. When they do, they are usually
swallowed in contaminated or untreated water and cause long-lasting but mild
symptoms.
a. Giardia (beaver fever): Causes mild illness with watery diarrhea often lasting
1-2 weeks. It is transmitted by drinking contaminated water, often from lakes
or streams in cooler mountainous climates.
b. Cryptosporidium: Causes moderate illness with large amounts of watery
diarrhea lasting 2-4 days. May become a long-lasting problem in people with
poor immune systems (such as people with kidney disease or HIV/AIDS or
those on chemotherapy for cancer). It is transmitted by contaminated
drinking water.
4. Toxic agents are the least common cause of food poisoning. Illness is often an
isolated episode caused by poor food preparation or selection (such as picking
wild mushrooms).

257

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

a. Mushroom toxins: Illness can range from mild to deadly depending on the
type of mushroom eaten. Often there is nausea, vomiting, and diarrhea.
Some types of mushrooms produce a nerve toxin, which causes sweating,
shaking, hallucinations, and coma.
b. Ciguatera poisoning: Causes moderate to severe illness with numbness of
the area around the mouth and lips that can spread to the arms and legs,
nausea, vomiting, muscle pain and weakness, headache, dizziness, and
rapid heartbeat. It is transmitted by eating certain large game fish from
tropical watersmost specifically barracuda and jacks.
c. Scombroid: Causes mild to moderate illness with burning around the mouth
and lips, a red rash to the upper body, dizziness, headache, and itchy skin. It
is transmitted in seafood, mostly mahi-mahi and tuna, but can also be in
Swiss cheese.
d. Pesticides: Cause mild to severe illness with weakness, blurred vision,
headache, cramps, diarrhea, increased saliva, and shaking of the arms and
legs. Toxins are transmitted by eating unwashed fruits or vegetables
contaminated with pesticides.

C. Seeking Medical Care


Contact doctor if any of the following situations occur:
1.

Nausea, vomiting, or diarrhea lasts for more than 2 days.

2.

The ill person is younger than 3 years.

3.

The abdominal symptoms are associated with a low-grade fever.

4.

Symptoms begin after recent foreign travel.

5.

Other family members or friends who ate the same thing are also sick.

6.

Cannot keep any liquids down.

7.

It does not improve within 2 days even though drinking large amounts of fluids.

8.

Have a disease or illness that weakens your immune system (for example,
HIV/AIDS, cancer and undergoing chemotherapy, kidney disease).

9.

Cannot take normal prescribed medications because of vomiting.

10. Have any nervous system symptoms such as slurred speech, muscle
weakness, double vision, or difficulty swallowing.
Go to the nearest hospital's emergency department if any of the following
situations occur:

258

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

1.

Pass out or collapse, become dizzy, lightheaded, or have problems with your
vision.

2.

A fever higher than 101F occurs with the abdominal symptoms.

3.

Sharp or cramping pains do not go away after 10-15 minutes.

4.

Stomach or abdomen swells.

5.

The skin and/or eyes turn yellow.

6.

Vomiting blood or having bloody bowel movements.

7.

Stop urinating, have decreased urination, or have urine that is dark in color.

8.

Develop problems with breathing, speaking, or swallowing.

9.

One or more joints swell or a rash breaks out on your skin.

10. The ill person or caretaker considers the situation to be an emergency.


When visiting a doctor or a hospital emergency department because it may be
caused by food poisoning, a thorough examination including taking blood pressure,
pulse, breathing rate, and temperature will be done.
The doctors will perform a physical exam, which screens for outward signs and
symptoms of the illness, such as stomach problems and dehydration. They will
also ask about foods those have eaten recently. They will assess how dehydrated
you are and examine your abdominal area to make sure your illness is not serious.
Tests of vomit, blood, stool, and any leftover food may identify the cause. Even if
someone has food poisoning, however, these tests may not be able to verify it.
1. The doctor may need to do a rectal examination. The doctor performs this test

by inserting a lubricated and gloved finger gently into your rectum. The purpose
is to make sure there are no breaks in your rectal wall. A sample of your stool is
taken and tested for blood and mucus. In some cases, a sample of stool or
vomit can be sent to the laboratory for further testing to find out which toxin
caused the illness. In a majority of cases, a specific cause is not found.
2. A urine sample helps assess how dehydrated you are and indicates possible

kidney damage.
3. Blood tests may be performed to determine the seriousness of your illness. An

x-ray of the abdomen or a CT scan may be taken if the doctor suspects your
symptoms may be caused by another illness.

DISCUSSION
A.

Food Poisoning Treatment and Assessment

259

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

1. Self-Care at Home
Short episodes of vomiting and small amounts of diarrhea lasting less than
24 hours can usually be cared for at home.
a. Do not eat solid food while nauseous or vomiting but drink plenty of fluids.
1) Small, frequent sips of clear liquids (those you can see through) are the

best way to stay hydrated.


2) Avoid alcoholic, caffeinated, or sugary drinks, if possible. Over-the-

counter rehydration products made for children such as Pedialyte and


Rehydralyte are expensive but good to use if available.
3) Sports drinks such as Gatorade and Powerade are fine for adults if they

are diluted with water because at full strength they contain too much
sugar, which can worsen diarrhea.
b. After successfully tolerating fluids, eating should begin slowly, when nausea

and vomiting have stopped. Plain foods that are easy on the stomach should
be started in small amounts. Consider eating rice, wheat, breads, potatoes,
cereals (low-sugar cereals), lean meats, and chicken (not fried) to start. Milk
can be given safely, although some people may experience additional
stomach upset due to lactose intolerance.
c. Most food poisonings do not require the use of over-the-counter medicines to

stop diarrhea, but they are generally safe if used as directed. It is not
recommended that these medications be given to children. If there is a
question or concern, you should always check with your doctor.
2. Medical Treatment
The main treatment for food poisoning is putting fluids back in the body (the
process of rehydration) through an IV and by drinking. Person with food
poisoning may need to be admitted to the hospital. This depends on the severity
of the dehydration, his/her response to therapy, and his/her ability to drink fluids
without vomiting. Children, in particular, may need close observation.
a. Anti vomiting and diarrhea medications may be given.
b. The doctor may also treat any fever to make you more comfortable.
c. Antibiotics are rarely needed for food poisoning. In some cases, antibiotics
would worsen it. Only a few specific causes are improved by using these
medications. The length of illness with travelers diarrhea (shigellae) can be
decreased with antibiotics, but this specific illness usually runs its course and
improves without treatment.

260

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

d. With mushroom poisoning or eating foods contaminated with pesticides,


aggressive treatment may include pumping the stomach (lavage) or giving
medications as antidotes. These poisonings are very serious and may
require intensive care in the hospital.
3. Follow-up
After visiting doctor or the emergency department, follow any specific
directions and take any medications prescribed exactly as directed. Continue to
drink extra fluids until the diarrhea stops completely. It may need to miss 1-2
days of work or school to let the body recover. If any symptoms change or
continue to worsen, its necessary to contact doctor.
B. Expectations (Prognosis)
Full recovery from the most common types of food poisoning usually occurs
within 12 and 48 hours. Serious complications can arise, however, from certain
types of food poisoning. Some of the most severe food poisoning can result in
long-term illness and death. However, most food poisoning is not serious. Most
people begin feeling better within 24-48 hours. Queasiness or nausea and slight
diarrhea may stay for 1-2 days longer.
C. Complications
Dehydration is the most common complication. This can occur from any of the
causes of food poisoning. Less common but much more serious complications
include:
1. Respiratory distress, including the need for support on a breathing machine

(botulism)
2. Kidney problems (Shigella, E. coli)
3. Bleeding disorders (E. coli and others)
4. Arthritis (Yersinia and Salmonella)
5. Nervous system disorders (Botulism, Campylobacter)
6. Pericarditis (Salmonella)
7. Death -- 50% of people with mushroom or certain fish poisonings (like puffer

fish) die and 10% with botulism

261

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

D.

Food Poisoning Prevention


Normally a large number of food-poisoning bacteria must be present to cause

illness. Therefore, illness can be prevented by (1) controlling the initial number of
bacteria present, (2) preventing the small number from growing, (3) destroying the
bacteria by proper cooking and (4) avoiding re-contamination.
1.

Food Poisoning Chain


In most cases of food poisoning a chain of events takes place, and if we are
to reduce the incidence of illness, this chain must be broken.

FIGURE 3: THE FOOD POISONING CHAIN

There are three main ways of breaking the food poisoning chain:
a. Protecting food from contamination.
b. Preventing any bacteria present in the food from multiplying.
c. Destroying those bacteria that are present in the food.

Protecting food from contamination by:


a. Inspecting all food and washing fruit and vegetables

before preparation.
b. Separating raw and high risk/ready to eat foods at all

stages

of

preparation,

storage,

display

and

distribution. The same equipment, utensils and


working surfaces must not be used to handle raw and
high risk/ready to eat foods.

262

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

c. Only handling food when unavoidable.

Gloves, tongs and other utensils, plates and


trays should be used in preference to
hands, (but must be washed or changed
frequently).
d. Keeping food covered as much as

possible.
e. Preventing insects, animals and birds

from entering food rooms.


f. Not using unsuitable, defective, or dirty

equipment.
g. Using good personal hygiene practices

- always.
h. Not coughing or sneezing over or

around food.
i. Not handling the food contact surfaces

of crockery, cutlery or utensils.


j. All

food handlers wearing suitable

protective clothing.
k. Using the correct cleaning procedures.
l. Promptly removing unfit or waste food and refuse from food areas.

Preventing any bacteria present in the food from multiplying by:


a. Keeping high risk foods at temperatures that inhibit the growth of bacteria (ie.

out of the danger zone). Food should be kept below 4C in a refrigerated


unit, or above 70C in a suitable warming unit.
b. Ensuring that during preparation, food is in the danger zone for as short a

time as possible. High risk foods must not be left sitting out at room
temperature.
c. Using suitable preservatives such as salt and sugar.
d. Using various packing methods like gas flushing or vacuum packing.
e. Not allowing dried foods to absorb moisture.

Destroying those bacteria that are present in the food by:


a.

Adequately cooking food, ensuring that a minimum internal cooking temperature


of 80C is reached.

263

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Heat processing such as pasteurisation, sterilisation or canning. A combination of

b.

a suitable temperature and sufficient time is always required to destroy bacteria.


The time and temperature required will depend on the particular organism, (eg.
spores of Clostridium perfringens are much more heat resistant than Salmonella
bacteria).
2.

Personal Hygiene
Good personal hygiene reduces the chance of contamination of

food.
a.

Hands must be washed before and after handling food.

b.

If unwell, do not handle food until cleared by a doctor.

c.

The hair, nose and mouth must not be touched during food
preparation.

d.

Suitable light colored protective clothing should be worn.

e.

Cuts and abrasions should be covered with waterproof


bandages and if on the hands suitable gloves worn.

f.

Rings and other jewellery should not be worn as they can harbor dirt and bacteria
and could they fall into the food being prepared.

3.

Micro-organisms control
Control of micro-organisms is needed to prevent:
a.

The spread of disease and infection.

b.

The spoilage of foodstuffs.

c.

Contamination of food.
The most common ways of killing micro-organisms are by heat and by

chemicals. Other less common means include, irradiation, ultrasonic sound and
very high pressure. Some bacteria and almost all virus, yeast and mould cells are
killed by a temperature of 60C for 10 to 20 minutes. Yeast and mould spores and
most other bacteria are destroyed at temperatures between 70 - 100C for 5 to 10
minutes exposure. Bacterial spores however, are very difficult to destroy. Some for
example, need at least 10 minutes at 100 to 120C. The following terms are
commonly used in cleaning:
a.

Sterilization - The process of destroying or removing all microbial life.

b.

Disinfection - The killing of disease causing bacteria as well as other living


micro-organisms, but not usually bacterial spores.

264

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Disinfection does not necessarily kill all micro-organisms, but reduces them
to a level not usually harmful to health. In this group are the fungicides (kills
fungi), bactericides (kills bacteria) and virucides (kills viruses).
c.

Sanitizing - A term meaning that an article or surface is visibly clean and is


free of disease producing organisms.

4.

Quality control
The general purpose of quality control is to ensure that a maximum amount of the

product being processed reaches the desired level of quality with minimum variation
and that this is achieved as economically as possible. The products of natural raw
materials are never exactly the same, so control is necessary to keep product quality
within the standards set. Raw materials should be purchased from reliable suppliers
who hold a current food manufacturer's registration.
Quality control generally involves inspections of three kinds:
a. Raw materials
b. Materials in process
c. Finished product

If effective raw material and process controls are not put in place and only
examination of the finished product is done, then quality control stops being a control
and becomes merely an inspection. A good control system rejects substandard
ingredients before the process begins and once it has begun, prevents wastage of
good raw material.
5.

Hazard analysis Critical Control Point (HACCP)


It is recommended that every food business adopt the HACCP approach to identify

all potential hazards and control them before they result in problems. Setting up a
HACCP system will involve the following:
a.

Set up a HACCP team - of those people who fully understand the product.

b.

Draw up flow charts - that define all stages in the preparation process, from raw
materials through to consumption or sale.

c.

Identify all potential hazards - (eg. physical, chemical, bacterial) etc.

d.

Identify the critical control points - consider all preventive measures and decide
which are needed to eliminate or reduce potential hazards to acceptable levels.

265

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

e.

Determine target levels and tolerances for control points - (eg. time).

f.

Establish monitoring systems for critical control points - (eg. work out who
should act and when, where and what action should be taken).

g.

Establish a recording and documentation system.

h.

Review the HACCP system - annually and when changes are made to any
process.

6.

Food Safety
Food safety in community can be mentioned as guidelines below to keep
contaminants away:
a. Safe shopping
1) Buy cold foods last. Get it home fast.
2) Never choose torn or leaking packages.
3) Do not buy foods past their "sell-by" or expiration dates.
4) Keep raw meat and poultry separate from other foods.
5) Place refrigerated or frozen items in the shopping cart last, right before

heading for the checkout counter.


b. Safe storage of foods
1) Keep it safe; refrigerate.
2) Unload perishable foods first and immediately refrigerate them. Place raw

meat, poultry, or fish in the coldest section of your refrigerator.


3) Check the temperature of your appliances. To slow bacterial growth, the

refrigerator should be at 40F, the freezer at 0F.


4) Cook or freeze fresh poultry, fish, ground meats, and variety meats within

2 days.
c. Safe food preparation
1) Keep everything clean!
2) Wash hands before and after handling raw meat and poultry.
3) Sanitize cutting boards often in a solution of 1 teaspoon chlorine bleach in

1 quart of water.
4) Do not cross-contaminate. Keep raw meat, poultry, fish, and their juices

away from other food. After cutting raw meats, wash hands, cutting board,
knife, and counter tops with hot, soapy water.
5) Marinate meat and poultry in a covered dish in the refrigerator. Discard

any uncooked/unused marinade.

266

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

d. Thawing food safely


1) Refrigerator: Allows slow, safe thawing. Make sure thawing juices do not

drip on other foods.


2) Cold water: For faster thawing, place food in a leak-proof plastic bag and

submerge in cold tap water.


3) Microwave: Cook meat and poultry immediately after microwave thawing.
e. Safe cooking
1) Use a meat thermometer.
2) Cook ground meats to 160F; ground poultry to 165F. Beef, veal, and

lamb steaks, roasts and chops may be cooked to 145F; all cuts of fresh
pork, 160F. Whole poultry should reach 180F in the thigh; breasts
170F.
3) Keep hot foods hot and cold foods cold.
4) Never leave food out more than 2 hours (or more than 1 hour in

temperatures above 90F).


5) Bacteria that cause food poisoning grow rapidly at room temperature.
6) Use cooked leftovers within 4 days.

To prevent food poisoning, take the following steps when preparing food:
a.

Carefully wash your hands and clean dishes and utensils.

b.

Use a thermometer when cooking. Cook beef to at least 160F, poultry to at


least 180F, and fish to at least 140F.

c.

DO NOT place cooked meat or fish back onto the same plate or container that
held the raw meat, unless the container has been thoroughly washed.

d.

Promptly refrigerate any food you will not be eating right away. Keep the
refrigerator set to around 40F and your freezer at or below 0F. DO NOT eat
meat, poultry, or fish that has been refrigerated uncooked for longer than 1 to
2 days.

e.

DO NOT use outdated foods, packaged food with a broken seal, or cans that
are bulging or have a dent.

f.

DO NOT use foods that have an unusual odor or a spoiled taste.

Other steps to take:


a.

If you take care of young children, wash your hands often and dispose of
diapers carefully so that bacteria can't spread to other surfaces or people.

267

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

b.

If you make canned food at home, be sure to follow proper canning techniques
to prevent botulism.

c.

DO NOT feed honey to children under 1 year of age.

d.

DO NOT eat wild mushrooms.

e.

When traveling where contamination is more likely, eat only hot, freshly
cooked food. Drink water only if it's been boiled. DO NOT eat raw vegetables
or unpeeled fruit.

f.

DO NOT eat shellfish exposed to red tides.

g.

If you are pregnant or have a weakened immune system, DO NOT eat soft
cheeses, especially imported from countries outside the U.S.

If other people may have eaten the food that made you sick, let them know. If you
think the food was contaminated when you bought it from a store or restaurant, tell the
store and your local health department.
Infants, older persons, women who are pregnant and anyone with a compromised
immune system are especially susceptible to food-borne illness. These people should
never consume raw fish, raw seafood, or raw meat type products. Especially for food
poisoning those are caused by bacteria, which can be summarized as table below.

TABLE 2: THE SYMPTOMS OF FOOD POISONING


Bacteria
Responsible

Description

Types of
Foods

Habitat

Staphylococcus Produces a Nose and


aureus
heat-stable throat of 30 to
toxin
50 percent of
healthy
population;
also skin and
superficial
wounds.

Symptoms

Cause

Temperture
Sensitivity

Meat and
seafood
salads,
sandwich
spreads and
high salt
foods.

Nausea,
vomiting and
diarrhea
within 4 to 6
hours. No
fever.

Poor personal
hygiene and
subsequent
temperature
abuse.

No growth
below 40o F.
Bacteria are
destroyed by
normal
cooking but
toxin is heatstable.

Salmonella

Produces
Intestinal tracts High protein
an intestinal of animals and foods infection
man
meat;
poultry, fish
and eggs.

Diarrhea
nausea,
chills,
vomiting and
fever within
12 to 24
hours.

contamination of
ready-to-eat
foods,
insufficient
cooking and
recontamination
of cooked foods.

No growth
below 40o F.
Bacteria are
destroyed by
normal
cooking.

Clostridium
perfringens

Produces a dust, soil and Meat and


spore and
gastrointestinal poultry
prefers low tracts of
dishes,

Cramps and Improper


diarrhea
temperature
within 12 to control of hot

268

No growth
below 40o
degrees F.

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Bacteria
Responsible

Description

Types of
Foods

Habitat

oxygen
animals and
atmosphere. man.
Live cells
must be
ingested.

Clostridium
botulinum

Produces a
spore and
requires a
low oxygen
atmosphere.
Produces a
heatsensitive
toxin.

Symptoms

Cause

Temperture
Sensitivity

sauces and 24 hours. No foods, and


Bacteria are
gravies.
vomiting or
recontamination. killed by
fever.
normal
cooking but a
heat-stable
spore can
survive.

Soils, plants, Homemarine


canned
sediments and foods.
fish.

Blurred
vision,
respiratory
distress and
possible
DEATH.

Improper
methods of
homeprocessing
foods.

Type E and
Type B can
grow at 38o
F. Bacteria
destroyed by
cooking and
the toxin is
destroyed by
boiling for 5
to 10
minutes.
Heatresistant
spore can
survive.

Fish and
shellfish

Raw and
cooked
seafood.

Diarrhea,
cramps,
vomiting,
headache
and fever
within 12 to
24 hours.

Recontamination
of cooked foods
or eating raw
seafood.

No growth
below 40o F.
Bacteria
killed by
normal
cooking.

Bacillus cereus Produces a soil, dust and


spore and
spices.
grows in
normal
oxygen
atmosphere.

Starchy
food.

Mild case of
diarrhea and
some nausea
within 12 to
24 hours.

Improper holding
and stroage
temperatures
after cooking.

No growth
below 40o F.
Bacteria
killed by
normal
cooking, but
heat-resistant
spore can
survive.

Listeria
Survives
monocytogenes adverse
conditions
for long time
periods.

Milk, soft
cheeses,
vegetables
fertilized
with
manure.

Mimics
Contaminated
meningitis.
raw products.
Immunocompromised
individuals
most
susceptible.

Vibrio
Requires
parahaemolyticus salt for
growth.

Soil,
vegetation and
water. Can
survive for
long periods in
soil and plant
materials.

269

Grows at
refrigeration
(38-40o F.)
temperatures.
May survive
minimum
pasturization
tempertures
(161o F. for
15 seconds.)

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Bacteria
Responsible

Description

Habitat

Types of
Foods

Campylobacter
jejuni

Oxygen
sensitive,
does not
grow below
86o F.

Animal
reservoirs and
foods of
animal origin.

Meat,
poulty, milk,
and
mushrooms.

Versinia
enterocolitica

Not frequent
cause of
human
infection.

Poultry, beef, Milk, tofu,


swine. Isolated and pork.
only in human
pathogen.

Diarrhea,
Improper
Grows at
abdominal
cooking. Cross- refrigeration
pain,
contamination. temperatures
vomiting.
(35-40o F.)
Mimics
Sensitive to
appendicitis.
heat (122 oF.)

Feces of
infected
humans.

Diarrhea,
abdominal
cramps, no
fever.

Enteropathogenic Can
E. coli
produce
toxins that
are heat
stable and
others that
are heatsensitive.

Meat and
cheeses.

Symptoms
Diarrhea,
abdomianl
cramps and
nausea.

Cause
Improper
pasteuriztion or
cooking. crosscontamination.

Inadequate
cooking.
Recontamination
of cooked
product.

Hypertext markup by Gretchen Eagle and Dan Lineberger. Http://aggiehorticulture.tamu.edu/ extension/poison.html

CONCLUSION
Food borne illness or in the famous term called food poisoning is an everpresent threat that can be prevented with proper care and handling of food products.
It affects many people in the world each year and results more deaths. Based on its
causes, food poisoning has variety of signs and symptoms, complications, prognosis,
early assessments and medical treatments.
The most important issue is food poisoning prevention. Break the food
poisoning chain, micro-organisms control, personal hygiene, food quality control,
HACCP approach, and food safety should be concerned to prevent food poisoning in
community. Finally, safe food for eat is ultimate goal to achieve in community to get
better life and health.

REFERENCES

270

Temperture
Sensitivity
Sensitive to
drying or
freezing.
Survives in
milk and
water at 39 o
F for several
weeks.

Organisms
can be
controlled by
heating. Can
grow at
refrigeration
temperatures.

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

BBC

News

UK.

Fatal

food

poisoning.

http://news.bbc.co.uk/2/hi/programmes/real_story/ 4404536.stm. Accessed: 29


November 2006.
Cunha JP, Shaphiro T, Plantz SH, et al. Food poisoning.

E-Medicine Health.

http://www.emedicinehealth.com/food_poisoning/page14_em.htm. Accessed: 29
November 2006.
American Medical Association, Centers for Disease Control and Prevention, Center
for Food Safety and Applied Nutrition, Food and Drug Administration, Food
Safety and Inspection Service, US Department of Agriculture. Diagnosis and
management of foodborne illnesses: a primer for physicians. MMWR Recomm
Rep. 2001; Atlanta: 50(RR-2): 1-69.
Tam CC. Campylobacter coli - an important foodborne pathogen. J Infect. 2003;
47(1): 28-32.
Perez EP. Food poisoning. Medline Plus. http: // www.nlm.nih.gov / medlineplus /
ency / article/001652.htm. Accessed: 29 November 2006.
Medicinenet. Com. Food poisining. http: // www.medicinenet.com / food_poisoning
/article.htm. Accessed 29 November 2006.
Christchurch city council. Food poisoning, micro-organisms; A food safety for food
workers

information

source.

http://www.ccc.govt.nz/Health/foods3.asp.

Accessed 30 November 2006.

271

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

SANKSI PIDANA TERHADAP KORPORASI


DALAM TINDAK PIDANA PERPAJAKAN
Adriana Dwi Hardjanti
Widyaiswara Madya, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pajak
Jalan Sakti Raya No. 1, Kemanggisan, Jakarta Barat, 11480
(Diterima 18 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstract: The existing General Provisions and Tax Procedures Law (Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan/KUP Law) does not regulate corporation as the subject of
criminal law. However, in the Concept of KUP Law in the future, corporation will be
subject to criminal law (tax crime). With the acceptance of the corporation as the
subject of criminal law, it will cause some consequences that could potentially cause
problems in its application. One of these problems are related to the type of criminal
sanctions which can be imposed to the corporation. Fines sanction is always be
applied as a main punishment for a corporation. It is less effective if there is no
provisions of substitute criminal fines for the corporation when the corporation is unable
to pay the fines. Another alternative form of criminal sanctions for the corporation was
treatment. By using double track system, the imposition of criminal sanctions against
the corporation could be punishment and treatment. Unfortunately, in Indonesia the
treatment sanctions are not widely used and recognized in the formulation of sanctions
for corporation. Therefore it is really needed to analysed the effective and appropriate
sanctions for corporation in the Concept of KUP Law. Type of research that used is
yuridis-normative method Data that used in this research is seconder data. The technic
to collecting data is literature study. Then, all data are analysed qualitatively.
Keywords: criminal sanction, corporation, tax crime.
Adriana Dwi Hardjanti, hardjanti.dwi@gmail.com, 0817710592

Pendahuluan
Pajak merupakan salah satu penerimaan negara dalam Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN) yang memiliki peranan penting dalam menunjang
penyelenggaraan negara. Tahun 2015, penerimaan dari sektor pajak mencapai
Rp1,061 triliun atau sekitar 74,62% dari total penerimaan negara. Kontribusi pajak
dalam mendanai pengeluaran negara membutuhkan dukungan berupa peningkatan
kesadaran masyarakat Wajib Pajak untuk memenuhi kewajibannya secara jujur dan
bertanggung jawab. Namun dalam praktik perpajakan di Indonesia tidak semua Wajib

272

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pajak mematuhi apa yang menjadi kewajibannya/ diperintahkan oleh ketentuan


perpajakan yang berlaku. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP), ketidakpatuhan Wajib
Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dapat berakibat Wajib Pajak
dikenai sanksi administrasi atau sanksi pidana. Sanksi pidana diberlakukan apabila
Wajib Pajak terbukti melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Dalam prakteknya tindak pidana dapat dilakukan oleh orang pribadi atau badan/
korporasi. Namun sayangnya UU KUP yang berlaku saat ini tidak mengatur korporasi
sebagai subjek tindak pidana perpajakan. Dengan kata lain, hanya manusia yang
dapat melakukan tindak pidana dan hanya manusia yang dapat dituntut serta dibebani
tanggungjawab pidana perpajakan. Di luar UU KUP, sudah banyak undang-undang
tindak pidana khusus yang mengatur korporasi sebagai subjek yang dapat melakukan
tindak pidana dan dapat pula dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Misal,
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah
diubah terakhir dengan (stdd) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, UU Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi stdd UU Nomor 20 Tahun
2001, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup,

Undang-Undang

Nomor

Tahun

2010

tentang

Pencegahan

dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Melihat perkembangan tersebut,


dalam konsep Rancangan UU KUP korporasi telah menjadi subjek tindak pidana
perpajakan.1
Dengan diaturnya korporasi sebagai subjek tindak pidana di bidang perpajakan,
salah satu masalah yang perlu dikaji adalah bagaimana memformulasikan pengenaan
jenis sanksi pidana (stafsoort) untuk korporasi yang melakukan tindak pidana di bidang
perpajakan.
Berdasarkan permasalahan di atas, maka maksud dan tujuan penulisan ini
adalah untuk meneliti bentuk atau jenis sanksi pidana bagi korporasi yang melakukan
tindak pidana di bidang perpajakan serta memberikan sumbangan pemikiran mengenai
kebijakan dalam memformulasikan bentuk atau jenis sanksi pidana terhadap korporasi
dalam UU KUP di masa datang.

Disampaikan dalam Seminar Kajian Draft RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang
diselenggarakan oleh Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pajak pada tanggal 4-5 Nopember 2015.

273

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Agar lebih sistematis dan mudah dipahami, penulisan karya tulis ilmiah ini
disusun menjadi empat bab. Bab I (Pendahuluan) seperti telah diuraikan di atas,
dilanjutkan Bab II, III, dan IV. Pada Bab II adalah Tinjauan Pustaka. Bab III berisikan
analisis terkait jenis-jenis sanksi pidana yang dapat diterapkan terhadap korporasi. Bab
terakhir yaitu bab IV Penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.

Metodologi
Metode penelitian yang digunakan yaitu yuridis normatif dan komparatif.
Penelitian

ini

menggunakan

metode

yang

menitikberatkan

pada

penelitian

kepustakaan (data sekunder). Adapun caranya yaitu menelaah dan menganalisis


berbagai peraturan perundang-undangan setelah terlebih dahulu menginventarisasi,
menemukan teori dan asas hukum, serta menemukan hukum yang berkaitan dengan
permasalahan dan hasilnya dipaparkan secara deskriptif analisis.

Tinjauan Pustaka
Blacks Law Dictionary memberikan definisi pidana sebagai a sanction-such a fine,
penalty, confinement, or loss property, right, or loss propery, right, or previlegeassessed against a person who has violated the law. Pengertian sederhana pidana
diberikan oleh Sudarto yaitu penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang
melakukan perbuatan dan memenuhi syarat tertentu.2
Secara umum teori pemidanaan dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok
teori yaitu teori absolut/ pembalasan, teori relatif/ tujuan, dan teori gabungan.3 Menurut
teori absolut pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan kejahatan. Pidana
sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang
melakukan kejahatan. Teori relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir
sebagai reaksi terhadap teori absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori
relatif bukanlah sekedar pembalasan, akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di
dalam masyarakat. Sedangkan teori gabungan menggunakan kedua teori di atas yaitu
teori absolut dan teori relatif sebagai dasar pemidanaan, dengan pertimbangan bahwa
kedua teori tersebut memiliki kelemahan-kelemahan. Menurut teori gabungan tujuan
pidana itu selain membalas kesalahan penjahat juga dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat, dengan mewujudkan ketertiban. Tujuan pemidanaan menurut teori
2
3

Eddy O. S. Hiariej. (2014). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka. hal. 30.
E. Utrecht. (1958). Hukum Pidana I. Jakarta:Universitas Jakarta. hal. 157

274

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

gabungan adalah penjatuhan pidana tidak hanya membuat jera pelaku tetapi juga
harus memberikan perlindungan, pendidikan terhadap masyarakat dan pelaku.
Sistem Pemidanaan
Dalam merumuskan sanksi pidana dikenal dua macam sistem pemidanaan, yaitu
single track system (hanya sanksi pidana) dan double track system (pidana dan
tindakan). Pengertian dari double track system adalah selain dijatuhkan sanksi pidana,
sanksi tindakan dikenakan juga terhadap pelaku tindak pidana. Pengertian dari sanksi
tindakan adalah pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi
mendidik dan mengayomi, tujuannya mengamankan masyarakat dan memperbaiki
terpidana.4
Di Indonesia tidak ada keseragaman pola formulasi kebijakan sistem
pemidanaan, misalnya ada yang menganut double track system, ada yang single track
system, dan bahkan ada yang semu (hanya menyebut sanksi pidana, tetapi
mengandung/ terkesan sebagai sanksi tindakan). Dalam hal penggunaan sanksi
pidana, ada yang hanya pidana pokok dan ada yang menggunakan pidana pokok dan
pidana tambahan. Dalam hal menggunakan pidana pokok, ada yang hanya
menggunakan pidana denda, ada yang menggunakan pidana penjara/ kurungan dan
denda, bahkan ada yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup. Ada
pidana tambahan yang terkesan sebagai (mengandung) tindakan dan sebaliknya
ada sanksi tindakan yang terkesan sebagai (mengandung) pidana tambahan.5

Sistem Pemidanaan di KUHP


Pemidanaan tidak terlepas dari dari jenis-jenis pidana yang diatur dalam hukum
positif suatu negara. Jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP adalah:
1. Pidana pokok:
a. Pidana mati
b. Pidana penjara
c. Pidana kurungan
d. Pidana denda
2. Pidana tambahan

4
5

Andi Hamzah. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineke Cipta. hal. 127
Barda Nawawi. (2013). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. hal. 12

275

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

a. Pencabutan hak-hak tertentu,


b. Perampasan barang-barang tertentu,
c. Pengumuman putusan hakim.
Pidana tambahan tidak boleh dijatuhkan tanpa adanya pidana pokok oleh karena
sifatnya hanya merupakan tambahan dari sesuatu hal yang pokok. Namun tidak
sebaliknya, pidana pokok dapat dijatuhkan tanpa harus adanya pidana tambahan.
Dilihat dari ketentuan pidana tersebut, semua sanksi pidana hanya dapat diterapkan
pada manusia kecuali sanksi pidana denda dan pengumuman putusan hakim juga
dapat dikenakan terhadap korporasi.
Berbeda dengan sistem pemidanaan KUHP yang berlaku sekarang, sistem
pemidanaan yang digunakan dalam RUU KUHP (2015) terdiri dari dua jenis yaitu
pidana dan tindakan (double track system). Pidana pokok diatur dalam Pasal 66 terdiri
atas:
a. pidana penjara,
b. pidana tutupan,
c. pidana pengawasan,
d. pidana denda, dan
e. pidana kerja sosial.
Pasal 68 RUU KUHP mengatur pidana tambahan yang terdiri atas:
a. pencabutan hak tertentu
b. perampasan barang tertentu, dan/ atau tagihan,
c. pengumuman putusan hakim,
d. pembayaran ganti kerugian, dan
e. pemenuhan kewajiban adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang
hidup dalam masyarakat.
Sedangkan sanksi tindakan yang diatur dalam Pasal 103 ayat (2) RUU KUHP
antara lain diatur perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana,
perbaikan akibat tindak pidana. Tindakan tersebut dikenakan bersama-sama dengan
pidana pokok.
Dalam RUU KUHP, korporasi sudah dimasukan menjadi subjek tindak pidana.
Pidana pokok untuk korporasi adalah pidana denda. Pasal 87 RUU KUHP juga
mengatur pidana pengganti denda untuk korporasi berupa pencabutan izin usaha atau
pembubaran koperasi.

276

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sistem Pemidanaan di Luar KUHP


Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana ditemukan dalam berbagai
peraturan di luar KUHP. Terkait sistem pemindaan korporasi, pengenaan pidana pokok
denda terhadap korporasi masih menjadi pilihan utama. Contoh: UU Lingkungan
Hidup, UU Kepabeanan, UU Tipikor, semuanya menerapkan pidana pokok denda
untuk korporasi yang melakukan tindak kejahatan.
Meskipun hampir semua menerapkan pidana pokok denda untuk korporasi,
ketentuan mengenai pidana tambahan atau tindakan, di luar KUHP, tidak sama. Misal
UU Tipikor dan UU Kepabeanan tidak mengatur pidana tambahan atau tindakan untuk
korporasi. Terkait dengan hal UU Tipikor, Barda Nawawi menyatakan bahwa Di
samping pidana denda, sebenarnya terdapat beberapa jenis pidana tambahan dalam
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dapat dijadikan pidana
pokok untuk korporasi atau setidak-tidaknya sebagai pidana tambahan yang dapat
dijatuhkan mandiri. Apabila pidana penjara merupakan pidana pokok untuk orang,
maka pidana pokok yang dapat diidentikkan dengan pidana perampasan kemerdekaan
adalah sanksi berupa penutupan perusahan atau korporasi untuk waktu tertentu atau
pencabutan hak ijin usaha.6
Lain halnya dalam UU Lingkungan Hidup. Pasal 119 UU Lingkungan Hidup
sudah mengatur pidana lain selain pidana denda terhadap korporasi. Menurut UU
Lingkungan Hidup, korporasi yang melakukan tindak pidana tidak hanya dikenakan
pidana denda namun juga dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan
administratitf berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana,
penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/ atau kegiatan, perbaikan akibat
tindak pidana, pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, dan penempatan
perusahaan di bawah pengampuan paling lama tiga tahun.
Mengenai alternatif lain dari pidana denda untuk korporasi, Suprapto juga
menyatakan bahwa hukuman yang dapat dikenakan pada perusahaan adalah:7
1. Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan si terhukum untuk waktu
tertentu,

6
7

Ibid. hal. 66
Muladi dan Dwija Priyatno. (1991). Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana. Bandung:
STHB. hal. 114.

277

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

2. Pencabutan seluruhnya atau sebagian fasilitas-fasilitas tertentu yang telah atau


dapat diperolehnya dari pemerintah oleh perusahaan selama waktu tertentu
3. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan selama waktu tertentu.
Untuk pengenaan jenis-jenis sanksi yang dapat dikenakan kepada korporasi,
sebagai perbandingan dapat disampaikan hasil International Meeting of Experts on
the Use of Criminal Sanction in the Protection of Environment yang diadakan di
Portland, USA, semua sanksi di bawah ini dapat dikenakan kepada korporasi, yaitu:8
a. Sanksi bernilai uang (monetary sanctions)
1. Mengganti keuntungan ekonomis (recoups any economic benefit) yang diperoleh
sebagai hasil dari kejahatan.
2. Mengganti (recover) semua atau sebagian biaya pengusutan/ penyidikan dan
melakukan perbaikan (reparation) setiap kerugian yang ditimbulkan.
3. Denda
b. Pidana tambahan berupa:
1. Larangan melakukan perbuatan yang dapat menyebabkan berlanjutnya atau
terulangnya kejahatan itu;
2. Perintah untuk mengakhiri atau tidak melanjutkan kegiatan (untuk sementara
atau selamanya) pencabutan izin kegiatan dan pembubaran usaha bisnis;
3. Perampasan kekayaan (aset/ properti) dan hasil kejahatan
4. Mengeluarkan atau mendiskualifikasi korporasi dari kontrak pemerintah,
keuntungan fiskal, atau subsidi.
5. Memerintahkan

pemecatan

manajer

dan

mendiskualifikasi

petugas

dari

jabatannya;
6. Memerintahkan publikasi fakta-fakta yang berhubungan dengan putusan
pengadilan;
7. Memerintahkan korporasi untuk memberitahukan kepada publik di semua negara
tempat beroperasinya korporasi itu, kepada cabang-cabangnya, kepada para
direktur, petugas, manajer, atau karyawannya mengenai pertanggungjawaban/
sanksi yang dikenakan.

Barda Nawawi. Op.cit. hal 115-116

278

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sanksi Pidana Korporasi dalam Tindak Pidana Perpajakan


Dalam UU KUP yang berlaku sekarang secara eksplisit tidak diatur bahwa
korporasi/ badan merupakan subjek tindak pidana. Namun demikian, sebagaimana
telah diuraikan di atas, dalam konsep RUU KUP diatur bahwa korporasi menjadi subjek
tindak pidana perpajakan. Dengan diaturnya korporasi dapat menjadi subjek tindak
pidana perpajakan maka yang harus diteliti adalah bentuk atau jenis sanksi pidana
yang akan dikenakan terhadap korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana
perpajakan.
Melihat jenis sanksi pidana yang diberikan kepada korporasi senantiasa berupa
pidana denda, maka pidana denda dapat menjadi pilihan utama. Namun sebaiknya
dalam perumusan sanksi pidana harus dibarengi juga dengan pidana pengganti denda
hal ini dimaksudkan apabila denda tidak dibayar oleh terpidana. Contoh UU
Kepabeanan dan UU Tipikor hanya mengatur pidana pokok terhadap korporasi berupa
pidana denda saja. Kedua undang-undang tersebut tidak mengatur lebih lanjut untuk
menjerat korporasi yang tidak mampu atau tidak mau membayar denda. Dengan tidak
adanya peraturan tindak pidana pengganti denda tersebut, maka pemberian sanksi
pidana denda kepada korporasi menjadi kurang efektif. Hal ini dikarenakan dalam
pelaksanaan pidana denda tidak dapat dijalankan dengan paksaan secara langsung
seperti penyitaan atas barang-barang terpidana.
Dapat dipergunakan sebagai contoh adalh rumusan dalam UU Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang
juga mengatur tentang tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan ancaman
pidana pokoknya juga berupa pidana denda. Bedanya, undang-undang tersebut,
dalam Pasal 9, mengatur lebih lanjut apabila denda tidak dibayar oleh terpidana
korporasi, sehingga lebih jelas pengaturan sanksi pidananya. Bunyi Pasal 9 UU
Pencucian Uang selengkapnya:
(1) Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), pidana denda tersebut diganti dengan
perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personil pengendali korporasi
yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan.
(2) Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda

279

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan


denda yang telah dibayar.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam merumuskan sanksi pidana pokok
terhadap korporasi, sebagaimana telah dijelaskan di muka, adalah penggunaan sanksi
lain di luar pidana denda yaitu sanksi tindakan. Misalnya, pencabutan seluruhnya atau
sebagian fasilitas yang telah diberikan oleh pemerintah dan sebagainnya.
Dengan merumuskan sanksi pidana bagi korporasi tidak secara tunggal (dalam
hal ini pidana denda saja) akan lebih efektif. Perumusan sanksi pidana yang bersifat
tunggal akan sangat kaku dan dapat menimbulkan kesulitan dalam penerapannya.
Oleh karena itu sebaiknya dalam merumuskan sanksi pidana terhadap korporasi yang
melakukan tindak pidana perpajakan dilakukan secara alternatif. Menurut penulis hal
ini merupakan pilihan yang sesuai untuk memformulasikan bentuk atau jenis tindak
pidana yang dilakukan oleh korporasi yang melakukan tindak pidana.
Contoh Kasus Pemidanaan Korporasi Dalam Tindak Pidana Perpajakan
Meskipun UU KUP yang berlaku sekarang tidak mengatur korporasi merupakan
subjek tindak pidana perpajakan, namun suatu terobosan baru telah dibuat oleh
Majelis Hakim dalam memutus kasus tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh
Asian Agri Group. Untuk pertama kalinya, Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan sanksi
bagi terdakwa dan mengenakan denda kepada perusahaan yang diwakilinya.
Dalam kasus Asian Agri ini, awalnya penuntut umum mendakwa Suwir Laut
(manager perpajakan Asian Agri Group) melanggar Pasal 39 ayat (1) UU KUP, yang
bunyi secara lengkapnya sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja:
a) tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak
melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b) menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak
atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c) tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan;
d) menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau keterangan yang isinya tidak
benar atau tidak lengkap;
e) menolak untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29;

280

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

f)

memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau


dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya;

g) tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak


memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h) tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan
atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari
pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara
program aplikasi on-line di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (11); atau
i)

tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan


pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan
denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.
Dalam putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor Nomor 2239K/PID.SUS/2012
tanggal 18 Desember 2012, Majelis Hakim menghukum Manajer Perpajakan Asian
Agri Group, Suwir Laut selama dua tahun penjara dengan masa percobaan tiga tahun.
Di samping itu pula, Majelis Hakim juga menjatuhkan pidana denda terhadap 14
perusahaan yang berada di bawah Asian Agri Group untuk membayar dua kali pajak
terutang, yaitu sekitar Rp2,519 triliun. Meskipun dalam UU KUP tidak ada pengaturan
pidana pengganti denda, kasus Asian Agri dapat diselesaikan dengan baik hal ini
dikarenakan Asian Agri Group kooperatif dalam menjalankan pidana dendanya.
Mekanisme pembayaran eksekusi denda sebesar RP2,519 triliun ini dilakukan oleh
Asian Agri secara bertahap atau dengan cara mencicil. Kejaksaan sebagai eksekutor
sepakat memberikan kesempatan pada Asian Agri untuk melakukan pembayaran
dengan sistem mencicil karena menimbang aspek mendasar dari hukum itu sendiri
yakni keadilan. Dimana ada puluhan ribu para pekerja serta petani plasma yang
selama ini menggantungkan nasibnya pada 14 perusahaan yang tergabung di Asian
Agri.

Kesimpulan
Dengan dimasukkannya korporasi sebagai subjek tindak pidana dalam konsep RUU
KUP, akan menimbulkan konsekuensi atau masalah lain dalam penerapannya. Salah

281

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

satu permasalahan yang muncul adalah sistem pemidanaan untuk korporasi. Agar
korporasi yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dapat dijatuhi pidana
sesuai dengan kejahatannya, penentuan jenis-jenis sanksi pidana yang dapat
diterapkan badan/ korporasi menjadi hal yang penting.
Mengingat akibat dari tindak pidana di bidang perpajakan ini merugikan keuangan
negara, harus juga mulai dipertimbangkan tidak hanya memberikan pidana pokok
denda terhadap korporasi. Dikarenakan penghukuman tidak semata-mata sebagai
pembalasan atas perbuatan jahat yang telah dilakukan, tetapi ia juga berfungsi sebagai
alat penjera agar pelaku yang lain tidak melakukan perbuatan itu (prevensi) hendaknya
pemberian sanksi pidana terhadap korporasi perlu dipikirkan alternatif pidana lain
seperti sanksi tindakan..

Daftar Pustaka
Arief, Barda Nawawi. (2013). Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti.
Hiariej, Eddy, O.S. (2014). Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka.
Leaza, E. Z. (2010). Penerapan Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan (Double Track
System) Dalam Kebijakan Legislasi. Jurnal Sasi. Vol.16. 4. 51-56.
M. Hadjon, Philipus, dkk. (1994). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Muladi dan Dwidja Priyatno. (1991). Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum
Pidana. Bandung: STHB.

282

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

REKOMENDASI JALUR HIJAU DI BIDANG KEPABEANAN


Ade Priaman Saeful Munajat
Widyaiswara Muda, Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Badan Koordinasi Penanaman Modal,
Jl. Jend Gatot Subroto No. 44, Jakarta Selatan, DKI Jakarta, Indonesia 12190
(Diterima 18 Maret 2016.; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstract: Continuous governments efforts to boost realization of direct investment is
needed to be carried by relevant stakeholders including related ministries and
government agencies, since it is inevitable that each has specific role regarding to each
responsibility and sector. To start a business, a company must through three (3)
phases; preparation phase, construction phase and production/commercial phase.
Government should not only focus on preparation phase, a phase that a company
obtains required licenses, but also to nurture a company into a commercial phase,
when the company is still in the construction phase. In particular, for company that will
use imported machineries and tools that will require certain amount of time to process
the importation and custom issues. This review will describe an incentive for investors
that is called as customs green line that can speed up procurement process of
imported machineries and tools to save construction time and cost of investment
projects.
Keywords : Investment, Customs, BKPM recommendations, Importer Profiling, Green
Line.
Korespondensi: Ade Priaman S. M., E-Mail: ade.priaman@bkpm.go.id, HP:
082155023236

Pendahuluan
Pada tahun 2016, pemeritah telah menetapkan target realisasi investasi untuk
Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)
sebesar Rp. 594,8 triliun. Berdasarkan Siaran Pers yang dilaksanakan di Kantor Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada tanggal 21 Januari 2016, target realisasi

283

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

investasi tahun 2016 dinilai cukup optimis bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya
2015 yang sebesar 519,5 triliun, dengan capaian target sebesar 545,4 triliun atau
sebesar 105%. Untuk capaiaan target realisasi investasi tahun 2016 kedepan,
pemerintah dituntut dapat terus berupaya melakukan penguatan ekonomi secara
berkelanjutan ditengah perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia. Bagi penanam
modal, target realisasi ini dapat terpenuhi dengan kondisi dimana sebagian besar
perusahaan dapat merealisasikan rencana investasinya sesuai dengan jangka waktu
penyelesaian proyek yang telah ditetapkan dalam izin prinsip penanaman modal.

Berbagai penyempurnaan kebijakan pemerintah dalam mendorong percepatan


realisasi investasi, secara terus-menerus dilakukan guna perbaikan iklim investasi
yang lebih kondusif dan tepat guna. Mulai dari pemberian kemudahan, kepastian, dan
transparansi proses pelayanan perizinan dan nonperizinan yang lebih sederhana
sampai

dengan

penyelesaian

permasalahan/hambatan

dalam

pelaksanaan

penanaman modal, semuanya menjadi objek perhatian pemerintah untuk dilakukan


perbaikan iklim investasi guna meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi serta
percepatan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar.

Dalam rangka penyederhanaan perizinan dan nonperizinan, peran koordinasi


antar kementerian dan lembaga sangat menentukan lahirnya ketentuan baru yang
lebih tanggap atas perkembangan permasalahan yang timbul dalam pelaksanaan
realisasi investasi. Perhatian dan tanggapan dari pemerintah ini sangat diharapkan
bagi pelaku usaha agar proses pembangunan/kontruksi dapat berjalan dengan lancar
dengan tetap memenuhi peraturan dan ketentuan yang berlaku. Peran koordinasi ini
juga dibutuhkan guna persamaan persepsi dan sinkronisasi proses birokrasi antar
kementerian/lembaga, dimana masing-masing kementerian/lembaga memiliki tugas
dan wewenangnya masing-masing.

Dalam merealisasikan investasi, perusahaan akan melalui 3 (tiga) tahapan dalam


pelaksanaan kegiatan penanaman modal, pertama adalah tahap persiapan, dimana
perusahaan harus menyiapkan dokumen administrasinya berupa izin prinsip
penanaman modal, akte pendirian perusahaan bagi yang belum memiliki, pembuatan
NPWP, TDP, HO, Izin Lingkungan, rekomendasi teknis bila dipersyaratkan dan
dokumen perizinan/nonperizinan lainnya yang dibutuhkan. Tahap kedua adalah tahap

284

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pembangunan atau kontruksi, dimana perusahaan mulai merealisasikan investasi


modal tetapnya secara fisik mulai dengan pemanfaatan lahan, pembangunan
gedung/kantor atau dapat juga sewa gedung/kantor, instalisasi bangunan pabrik bagi
yang bergerak di sektor industri, dan sarana pendukung lainnya yang diperlukan di
lokasi proyek. Yang kemudian diikuti dengan menyiapkan modal kerjanya untuk
pelaksanaan kegiatan investasinya. Tahap ketiga adalah tahap produksi atau
pelaksanaan komersial, dimana perusahaan sudah harus memiliki Izin Usaha sesuai
dengan bidang usahanya, merekrut tenaga kerja, untuk dapat berproduksi secara
komersial atau melakukan kegiatan jasa secara komersial.

Bagi perusahaan yang menggunakan mesin atau peratatan utama dari luar negeri
untuk kegiatan investasinya, salah satu permasalahan yang dihadapi penanam modal
dan menjadi perhatian pemerintah dalam pelaksanaan realisasi rencana investasinya
adalah lamanya waktu yang harus ditempuh di pelabuhan dalam melalui proses
prosedur importasi. Masih banyaknya perusahaan yang belum dapat merealisasikan
investasinya dengan lancar pada tahap kontruksi ini, mendorong BKPM selaku satah
satu institusi yang memeiliki peran dan tanggung jawab dalam pelaksanaan
penanaman modal, bersama-sama dengan Direktorat jenderal Bea dan Cukai selaku
institusi yang berwenang dalam proses pemasukan barang ke daerah pabean,
membuat terobosan baru dalam pelaksanaan pelayanan importasi berupa peningkatan
status penetapan jalur pelayanan impor bagi perusahaan yang masih dalam tahap
pembangunan atau kontruksi. Percepatan dalam pemberian pelayanan ini tentunya
dilaksanakan dengan tetap menjaga prinsip good governance dan memenuhi
ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Hasil
Berdasarkan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor P-42/BC/2008 tentang
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang Impor untuk dipakai sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor P-08/BC/2009, secara
umum urutan proses pengeluaranbarang impor dibagi dalam empat tahap,
diantaranya:
tahap pertama pendaftaran Pemberitahuan Impor Barang (PIB),
Tahap kedua penetapan jalur pelayanan impor,
tahap ketiga pengeluaran barang impor dan

285

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

tahap keempat pasca persetujuan pengeluaran barang.

Dalam rangka pemeriksaan barang yang masuk ke daerah pabean, secara selektif
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan penetapan jalur pengeluaran barang
impor. Penetapan jalur tersebut diantaranya:

1. Jalur Mitra Utama (MITA) Prioritas adalah proses pelayanan dan pengawasan yang
diberikan kepada MITA Prioritas untuk pengeluaran Barang Impor tanpa dilakukan
pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen

2. Jalur MITA Non Prioritas adalah proses pelayanan dan pengawasan yang diberikan
kepada MITA Non Prioritas untuk pengeluaran Barang Impor tanpa dilakukan
pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen, kecuali dalam hal:
a. barang ekspor yang diimpor kembali;
b. barang yang terkena pemeriksaan acak; atau
c. barang impor sementara
dilakukan pemeriksaan fisik ditempat Importir

3. Jalur Hijau adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor
dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian dokumen
setelah penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).

4. Jalur Kuning adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang


Impor dengan tidak dilakukan pemeriksaan fisik, tetapi dilakukan penelitian
dokumen sebelum penerbitan SPPB. Namun tetap diperlukan pemeriksaan
laboratorium.

5. Jalur Merah adalah proses pelayanan dan pengawasan pengeluaran Barang Impor
dengan dilakukan pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen sebelum penerbitan
SPPB.

Pada umumnya perusahaan baru yang masih dalam tahap kontruksi sebagian
besar adalah perusahaan yang secara prosedural ditetapakan masuk sebagai jalur
merah, atau ditetapakan dengan kreteria high risk karena perusahaan secara profil
memang belum dapat dinilai rekam jejaknya baik profil perusahaan selaku importir itu
sendiri, profil barang /komoditi, profil harga, profil bisnis dan nota intelijen. Proses
penetapan jalur secara otomasi sistem (komputerisasi) dapat diinformasikan secara
otomatis berdasarkan data profil importir yang terbagi atas tingkatan resiko, dimana
tingkat resiko terbagi dalam 3 (tiga) kategori, diantaranya tinggi, menengah dan

286

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

rendah. Dengan demikian, apabila perusahaan importir ditetapakan termasuk dalam


klompok high risk, maka secara otomatis ditetapakan masuk jalur merah atau harus
melalui proses pemeriksaan fisik dan penelitian dokumen sebelum diterbitkan Surat
Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). Pengenaan ketentuan tersebut tentunya
berbeda dengan importir yang masuk jalur hijau, dimana perusahaan sudah dapat
diberikan SPPB yang selanjutnya hanya dilakukan pemeriksaan dokumen.

Berdasarkan hasil koordinasi dan pertemuan antara BKPM dan Ditjen Bea dan
Cukai pada tanggal 14 Desember 2015, dalam rangka percepatan realisasi investasi,
perusahaan yang masih dalam tahap kontruksi dapat diberikan rekomendasi dari
BKPM untuk dapat dinaikan setatusnya masuk pada jalur hijau oleh Ditjen Bea dan
Cukai. Tentunya kebijakan ini memiliki syarat tersendiri dan tidak secara otomatis
seluruh perusahaan yang masih dalam tahap kontruksi dapat diberikan penetapan jalur
hijau ini. Dalam pemberian rekomendasi ini, BKPM akan melakukan profiling
perusahaan melalui proses penelitian dokumen perizinan dan nonperizinan yang telah
dimiliki perusahaan yang diantaranya, Izin Prinsip Penanaman Modal, Angka Pengenal
Importir (API-P), Nomor Identitas Kepabeanan (NIK), bukti penguasaan lahan dan
Surat Persetujuan Pabean. Untuk selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan langsung
ke lokasi proyek perusahaan dan dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
Disamping itu, perusahaan juga harus rutin menyampaikan Laporan Kegiatan
Penanaman Modal (LKPM) dan membuat surat pernyataan untuk tidak akan
menyalahgunakan importasi barang-barang yang diimpor (barang yang diimpor harus
sesuai dengan dokumen impor dan peruntukannya digunakan untuk implementasi Izin
Prinsip Penanaman Modal) sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini
dilakukan untuk menghindari terjadiya pelanggaran ketentuan dan peraturan yang
berlaku. Dalam siaran pers yang dilaksanakan di kantor BKPM pada tanggal 14
Desember 2015, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Heru Pambudi juga menyampaikan
bahwa :
Dalam hal ini, pengawasan oleh Bea dan Cukai dilakukan menggunakan
mekanisme pemeriksaan sewaktu-waktu secara acak (randomly) dan melalui
kegiatan intelijen. Disamping itu, pengawasan juga akan dilakukan melalui
peningkatan koordinasi unit pengawas di BKPM dan DJBC yang dalam hal
tertentu dapat melakukan pengawasan secara bersama,

287

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Dalam menindaklanjuti rekomendasi yang disampaikan BKPM, selanjutnya Ditjen


Bea dan Cukai menetapakan lebih lanjut mekanisme penetapan jalur hijau ini
berdasarkan Instruksi Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor INS-01/BC/2016
tanggal 6 Januari 2016 tentang Pemutakhiran Profil Importir. Dengan demikian secara
otomasi sistem, rekomendasi BKPM yang selanjutnya disetujui oleh Dirjen Bea dan
Cukai selanjutnya direkam dalam sistem dan menjadi acuan untuk penetapan jalur
hijau.

Fasilitas yang diberikan pemerintah tersebut diharapkan dapat memberikan solusi


bagi perusahaan yang menggunakan mesin peralatan dari luar negeri dalam proses
pembangunan atau kontruksinya, sehingga dapat mempercepat proses importasi
dimana sebelumnya bagi perusahaan yang masuk dalam kategori high risk
memerlukan waktu 3-5 hari untuk dilakukan pemeriksaan fisik pada jalur merah.
Namun dengan rekomendasi dari BKPM maka perusahaan sudah dapat diterbitkan
Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) dan selanjutnya hanya dilakukan
pemeriksaan dokumen dalam waktu 30 menit. Dalam siaran pers yang dilaksanakan di
kantor BKPM pada tanggal 14 Desember 2015, Kepala BKPM Franky Sibarani
menyampaikan bahwa:
Dengan percepatan jalur hijau itu, maka proses tersebut dapat dikeluarkan
dalam waktu 30 menit,

Namun demikian, Ditjen Bea dan Cukai tetap menerapkan prosedur pemeriksaan
fisik dengan menggunakan alat pemindai peti kemas sewaktu-waktu bagi importir yang
masuk jalur hijau dengan sistem acak di Kantor Pabean yang telah memiliki alat
pemindai peti kemas. Berdasarkan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor P42/BC/2008, pemindai peti kemas (container scanner) adalah alat yang digunakan
untuk melakukan pemeriksaan fisik barang dalam peti kemas atau kemasan dengan
menggunakan teknologi sinar X (X-Ray) atau sinar gamma (Gamma Ray).

288

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Diskusi
Dengan tetap menjaga proses clearance yang efektif dan efisien guna pemasukan
barang yang sesuai dan tepat, tentunya pemanfaatan teknologi alat pemindai peti
kemas pada beberapa kantor pabean dan penerapan integrasi sistem pelayanan antar
kementrian, menjadi pertimbangan prioritas dan mengurangi resiko ketidakpatuhan
perusaahan yang memasukan barang impor. Walaupun dalam penetapan jalur hijau
tersebut, perusahaan yang masuk kategori high risk telah melalui proses profiling
secara bersama antara BKPM dan Ditjen Bea dan Cukai.

Penetapan jalur hijau ini juga menjadi salah satu, kebijakan yang diambil dalam
mendukung target pemerintah untuk mengatasi masalah dwelling time yang dalam
pelaksanaannya tidak hanya menjadi tanggung jawab Ditjen Bea dan Cukai namun
juga kementerian teknis lainnya.
Kesimpulan
Peran koordinasi antar Kementerian dan Lembaga Pemerintah dalam upaya
percepatan peningkatan realisasi investasi khususnya bagi penanam modal yang
masih terkendala dalam tahap pembangunan atau kontruksi masih perlu ditingkatkan
guna mendorong percepatan realisasi rencana investasinya di lokasi proyek, sehingga
dengan percepatan kontruksi/pembangunan proyek prusahaan secara nyata maka
diharapakan dapat mempercepat penyerapan tenaga keja dan dapat segera mulai
produksi komersial. Sehingga, dengan kebijakan percepatan proses importasi ini
kepada penanam modal yang melakukan usaha khususnya yang menggunakan mesin
dan peralatan dari luar negeri, diharapkan tidak lagi terkendala pada laanya proses
pemasukan mesin di pelabuhan. Dengan demikian target percepatan peningkatan
realisasi investasi pada sektor riil dapat tercapai dan mampu mendorong laju
pertumbuhan ekonomi kedepan.
Ucapan terima kasih
Bersama ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Pendidikan
dan Pelatihan BKPM yang telah memberikan kesempatan kepada widyaiswara untuk
memenuhi tugas fungsi khususnya pengembagan profesi dalam membuat Karya Tulis
Ilmiah (KTI). Serta tidak lupa ucapan terima kasih disampaikan kepada Pengurus

289

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pusat Ikatan Widyaiswara Indonesia yang telah memberikan kesempatan dan


berkenannya sehingga ulasan ini dapat diterima untuk dapat dipresentasikan pada
saat Rakornas IWI dan dimuat dalam proceeding.
Daftar Pustaka
Badan Koordinasi Penanaman Modal (2015). Siaran Pers BKPM dan Ditjen Bea Cukai
Fasilitasi Percepatan Importasi Mesin/Peralatan Perusahaan Yang Sedang
Konstruksi tanggal 14 Desember 2015, Jakarta, Badan Koordinasi Penanaman
Modal
Badan Koordinasi Penanaman Modal (2016). Siaran Pers Lampaui Target, Realisasi
Investasi

2015

Rp

545,4

T.

http://www.bkpm.go.id/images/uploads/file_siaran_pers/

Diunduh

dari:

Press_Release_-_IND_-

_TW_IV_2015.pdf pada tanggal 22 Januari 2016.


Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2008), Peraturan Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai No P-42/BC/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengeluaran Barang
Impor untuk dipakai, Indonesia: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2016), Instruksi Direktur Jenderal Bea dan Cukai
Nomor INS-01/BC/2016 tanggal 6 Januari 2016 tentang Pemutakhiran Profil
Importir Berdasarkan Rekomendasi Badan Koordinasi Penanaman Modal,
Indonesia: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (2016). Kerja Sama Bea Cukai dan BKPM Dukung
Peningkatan Investasi. Diunduh dari: http://www.beacukai.go.id/berita/kerja-samabea-cukai-dan-bkpm-dukung-peningkatan-investasi-.html pada tanggal 20 Januari
2016.
Hukum

online.com

(2015).

BKPM

Fasilitsi

Jalur

Hijau.

Diunduh

dari:

http://www.hukumonline. com/berita/ baca/lt566e9f7fab8fe/bkpm-fasilitasi-jalur-hijau


pada tanggal 20 Januari 2016
Online Sentananews (2016). BKPM: 24 Perusahaan Dapat Fasilitas Jalur Hijau.
Diunduh dari: http://sentananews.com/news/ekonomi/bkpm-24-perusahaan-dapatfasilitas-jalur-hijau-13026 pada tanggal 20 Januari 2016

290

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Warta Ekonomi (2015). BKPM Rekomendasikan 48 Perusahaan Dapat Jalur Hijau.


Diunduh

dari:

http://wartaekonomi.co.id/berita83501/bkpm-rekomendasikan-48-

perusahaan-dapat-jalur-hijau.html pada tanggal 20 Januari 2016.

291

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

INTERAKSI KEMAMPUAN INOVASI DAN MODAL INTELEKTUAL


Dalam perspektif Widyaiswara BPPK
Oleh :
Dyah Purwanti
Widyaiswara BPPK
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK)
Alamat : Kampus STAN, Jl Bintaro Utama Sektor 5, Bintaro, Tangerang Selatan, 15225
(Diterima 21 Maret 2016; diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstracts :
This study aimed to examine the effect of intellectual capital to innovative capability,
both incremental and radical, in the perspective of BPPKs trainers. In this study we found
that human capital and social capital are significant positive effect on incremental innovative
capability. While the radical innovative capability, the third aspect of intellectual capital has
no significant effect. This study was conducted using a questionnaire survey, as many as 68
respondents from the BPPK trainers. We used Likert scale of 1-6, starting from strongly
disagree to strongly agree is used to measure the perceptions of each item in the statement
of this research questionnaire. In addition to using primary data, the researchers also used
the study of literature to supplement the discussion on the results of this study.
This study still contains a limitations, first, the substance of the questionnaire should
be reviewed in terms of the validity of construct, though of testing the validity and reliability
are met. Secondly, it is necessary plus respondents, not only of trainers, but also of the
structural and other related parties within the scope of internal of the organization. Third, this
research needs to be done again within the next few years, to retake what happened the
changing dynamics of intellectual capital relationship with the innovative capabilities of
BPPKs trainers.
Keywords: intellectual capital, social capital, organizational capital, human capital, innovative
capability incremental, radically innovative capabilities.
Corresponding author : Dyah Purwanti, email : dyahpurwanti@gmail.com, Hp. 0812-9535-6312

292

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

A. PENDAHULUAN
Terkait dengan munculnya Undang Undang (UU) Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara (ASN), memiliki implikasi luas terhadap manajemen ASN. Banyak aspek yang
terkena dampak dengan diundangkannya peraturan ini, terutama yang menyangkut
pengembangan kompetensi, keahlian dan sertifikasi ASN, yaitu kewajiban bagi tiap ASN
untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan selama 40-80 jam pelatihan (jp)/tahun (BPPK,
2014). Bagi Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK), sebagai unit vertikal di
lingkungan Kementerian Keuangan yang memiliki tugas dan fungsi dalam melaksanakan
kegiatan pendidikan dan pelatihan bagi 69.605 orang ASN di lingkup Kementerian
Keuangan, merupakan peluang sekaligus tantangan dalam menyelenggarakan kegiatan
pendidikan dan pelatihan sesuai tuntutan UU ASN tersebut.
BPPK, dengan 175 tenaga pengajar (widyaiswara) dan dibantu sumber daya struktural,
tentunya tertantang untuk melakukan inovasi dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan,
apalagi ASN tersebut terbagi-bagi menjadi beberapa jenis jabatan, golongan, fungsi dan
lintas keahlian dalam pengelolaan keuangan Negara. Inovasi dalam keragaman substansi
diklat, bentuk diklat apakah dalam bentuk e-learning, metode tatap muka di kelas, atau
blended learning, sesuai dengan kebutuhan peningkatan kompetensi ASN di masa sekarang
dan yang akan datang. Meski belum dibuat aturan teknis kapan mulai dilaksanakan wajib
diklat tersebut, akan lebih baik bagi BPPK untuk berbenah dan mempersiapkan diri dalam
menghadapi wacana ini.
Subramaniam & Youndt (2005), menyatakan bahwa kemampuan organisasi melakukan
inovasi terkait erat dengan modal intelektual yang dimilikinya, dan juga kemampuan inovasi
merupakan perwujudan kemampuan organisasi memanfaatkan sumberdaya knowledge
management-nya.

Momentum penting ini penulis jadikan sebagai materi penulisan

sederhana ini, memaparkan bagaimana interaksi kemampuan inovatif dan modal intelektual
yang dimiliki organisasi dalam menangkap peluang sekaligus menghadapi tantangan
dengan munculnya UU ASN tersebut.
Dalam penelitian ini, kami berupaya untuk mengidentifikasi

interaksi pengetahuan-

inovasi organisasi sector public, yaitu Badan Diklat Keuangan (BPPK), Kementerian
Keuangan, dengan memfokuskan pada Widyaiswara BPPK. Widyaiswara sebagai salah
satu komponen human capital yang dimiliki BPPK, memiliki kapabilitas berinovasi,
memenuhi kebutuhan pemangku kepentingan, dalam kegiatan pendidikan, pelatihan
keuangan. Sehingga dari hasil penelitian diharapkan mampu mengidentifikasi interaksi

293

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

modal intelektualitas dan kemampuan inovasi dari Widyaiswara BPPK dan memberikan
masukan kepada pimpinan Badan Diklat atas kondisi yang ada.
Peneliti memanfaatkan dan mensintesis wawasan dari penelitian sebelumnya yang telah
meneliti aspek yang berbeda dari modal intelektual (manusia, organisasi, dan modal sosial)
dan berbagai jenis kemampuan inovatif (inkremental dan radikal) dalam upaya untuk
mengembangkan wawasan baru seputar koneksi intrinsik mereka. Lebih khusus, dari studi
tentang modal intelektual, kita menafsirkan bagaimana modal manusia (human capital),
modal organisasi (organizational capital), dan modal sosial (social capital) memungkinkan
organisasi untuk baik memperkuat (incremental innovative capabilities) atau mengubah
pengetahuan mereka berlaku (radical innovative capabilities). Penelitian ini disusun terdiri
dari lima bagian, yaitu bagian pendahuluan, metodologi, hasil, diskusi dan kesimpulan.

B. METODOLOGI PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam penelitian kuantitatif, dengan menggunakan data primer
dan diolah dengan bantuan statistic, serta dilengkapi dengan data wawancara dan data
sekunder. Penelitian ini termasuk penelitian dasar (basic research) karena bertujuan untuk
mengembangkan dan mengevaluasi konsep-konsep yang berakitan dengan modal
intelektualitas dengan inovasi dalam suatu organisasi. Pendekatan penelitian ini
menggunakan pendekatan deduktif, dimana hasil pengolahan dan pengujian data digunakan
sebagai dasar untuk pengambilan keputusan (Indriartono dan Supomo, 2013).
2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Jakarta, pada saat acara Semiloka Widyaiswara, bulan
Desember 2015. Pada saat itu sebagian widyaiswara sebagai responden berkumpul dan
peneliti membagikan kuesioner, yang dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian ini.
3. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah widyaiswara, yaitu pejabat fungsional dalam lingkup
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang memiliki tugas dan fungsi dalam bidang
pengajaran, pendidikan dan pelatihan Pengelolaan Keuangan Negara.
Dari populasi widyaiswara Kemenkeu diambil sampel sebanyak 74 orang sebagai
responden, yang bersedia menjawab kuesioner. Dari jumlah tersebut, 6 kuesioner tidak

294

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

lengkap, dan hanya 68 kuesioner yang dijadikan sebagai sampel akhir dan diolah dalam
penelitian ini. Jumlah tersebut menurut Uma Sekaran, jumlah yang sudah representatif,
karena memenuhi syarat jumlah sampel sebesar 30 sampai dengan 500 responden
(Sekaran, 2003).
4. Definisi Konseptual dan Operasional Variabel
Definisi konseptual dan operasional variabel dijelaskan secara ringkas dalam tabel berikut :
Simbol

Variabel

Pengukuran

II

Kapabilitas inovasi incremental

5 butir pertanyaan (skala Likert 1-6)

RI

Kapabilitas inovasi radikal

5 butir pertanyaan (skala Likert 1-6)

HC

Modal manusia (Human Capital)

4 butir pertanyaan (skala Likert 1-6)

SC

Modal Sosial (Social Capital)

3 butir pertanyaan (skala Likert 1-6)

OC

Modal Organisasional

3 butir pertanyaan (skala Likert 1-6)

(Organizational Capital)
Sumber : diolah dari data penelitian
Skala Likert yang digunakan dalam mengukur pendapat atau persepsi setiap pernyataan
menggunakan 6 skala, dimulai dari sangat tidak setuju hingga sangat setuju. Dan dalam
data kuesioner kepada responden, peneliti mengumpulkan data tambahan berupa gender
(jenis kelamin), pendidikan dan lama bekerja sebagai Widyaiswara, yang nantinya dijadikan
sebagai variabel control dan diberikan pengukuran secara dummy.

Modal intelektual
Lima item pertanyaan menilai modal manusia didasarkan pada diskusi seputar
human capital (Schultz, 1961) serta pada kajian strategis kontemporer manajemen sumber
daya manusia (Snell & Dean, 1992), dan mereka mencerminkan keterampilan secara
keseluruhan, keahlian, dan tingkat pengetahuan karyawan organisasi. Demikian juga, modal
organisasi diukur dengan skala enam item yang menilai kemampuan organisasi untuk
menyediakan dan menyimpan pengetahuan dalam organisasi-tingkat fisik repositori seperti
database, manual, dan paten (Davenport & Prusak, 1998) serta dalam struktur, proses,
budaya , dan cara melakukan bisnis (Walsh & Ungson, 1991). Dan terakhir, lima item
mengukur modal sosial menarik pada ide-ide inti dari struktur sosial sastra (Burt, 1992) serta
pada lebih spesifik literatur manajemen pengetahuan (Gupta & Govindarajan, 2000); item ini

295

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dinilai sebuah atau kemampuan organisasi keseluruhan untuk berbagi pengetahuan dan
pengaruh di antara dan antara jaringan karyawan, pelanggan, pemasok, dan mitra aliansi.
Kemampuan inovatif.
Langkah-langkah kami untuk dua jenis kemampuan inovatif didasarkan pada diskusi
yang disediakan oleh Tushman dan Anderson (1986) dan Henderson dan Clark (1990).
Kemampuan inovatif inkremental diukur dengan skala tiga-item menilai kemampuan
organisasi untuk memperkuat dan memperluas keahlian saat ini dan lini produk / jasa.
Demikian pula, kemampuan inovatif radikal diukur dengan skala tiga-item menilai
kemampuan organisasi untuk membuat lini produk / jasa kini usang.
5. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer, baik melalui
kuesioner maupun wawancara. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari
sumber data. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah
metode survei, dengan teknik menggunakan pertanyaan tertulis dalam bentuk kuesioner
6. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini kami mengumpulkan data melalui kombinasi kuesioner dan sumber
data eksternal. Selain itu kami melakukan wawancara mendalam dengan beberapa
narasumber terpilih untuk memperkaya dan mendalami permasalahan dalam penelitian ini.
Selain itu, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat bantu analisis Stata-12 dan MS
Excel .
7. Hipotesis
Hipotesis 1. Semakin besar modal organisasi dalam organisasi, semakin tinggi kemampuan
inovatif inkremental (incremental innovative capabilities) mereka.
Hipotesis 2. Semakin besar modal sosial dalam organisasi, semakin kuat pengaruh modal
organisasi pada kemampuan inovatif inkremental (incremental innovative
capabilities).
Hipotesis 3. Semakin besar modal mHipotesis 4. Semakin besar modal sosial dalam
organisasi, semakin kuat pengaruh modal manusia pada kemampuan inovatif
radikal.

296

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Gambar 1 Hubungan antara Modal Intelektual dengan Inovasi

Modal Organisasi
Inovasi
Inkremental

Modal Sosial
Organisasi

Inovasi Radikal
Modal Manusia
Sumber : diolah dari berbagai sumber
C. HASIL
1. Statistik Deskriptif
Secara demografis, penelitian ini berhasil mengambil sampel dari populasi dengan
kriteria sebagai berikut, reponden laki laki 51 orang (75%) dan responden perempuan 17
orang (25%). Jumlah responden laki-laki memang lebih banyak dibanding responden
perempuan, karena dalam populasi Widyaiswara BPPK secara keseluruhan jumlah
widyaiswara perempuan lebih sedikit dalam populasi Widyaiswara BPPK. Dari sisi
pendidikan, sebanyak 3 responden berpendidikan S3 4%), 53 responden berpendidikan S2
(78%) dan 11 responden berpendidikan D4/S1 (18%). Dilihat dari sisi lama bekerja, kami
membagi menjadi dua, yaitu < 10 tahun dan > 10 tahun. Responden yang telah menjadi
Widyaiswara > 10 tahun 17 orang (25%) , dan 51 orang menjadi widyaiswara 10 tahun
(75%).
Statistik deskriptif lain yang diperoleh dari pengolahan data dalam penelitian ini tersaji
dalam tabel 1. Dari 68 responden yang bersedia memberikan pendapatnya, rata rata dari
kelompok pertanyaan human capital memiliki rata rata 5,302, standar deviasi 0.5119, nilai
minimum 3.6 dan nilai maksimal 6. Sedangkan rata rata dari kelompok pertanyaan modal
social (social capital) memiliki rata rata 5,200 , standar deviasi 0.577, nilai minimum 3.2 dan
nilai maksimal 6, dan rata rata dari kelompok pertanyaan modal organisasional

297

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

(organizational capital) memiliki rata rata 4.551, standar deviasi 0.6237, nilai minimum 2.266
dan nilai maksimal 6.

Tabel 1 Statistik Deskriptif


Variable

Obs

Mean

hc1
hc2
hc3
hc4
hc5

68
68
68
68
68

5.632353
5
5.294118
5.397059
5.191176

sc1
sc2
sc3
sc4
sc5

68
68
68
68
68

oc1
oc2
oc3
oc4
ii1
ii2
ii3
ri1
ri2
ri3

Std. Dev.

Min

Max

.5705303
.7917485
.5999707
.6262827
.7581862

3
3
4
3
3

6
6
6
6
6

5.235294
5.338235
5.058824
5.147059
5.220588

.6717686
.6135362
.8443376
.8510697
.5421237

3
3
1
2
4

6
6
6
6
6

68
68
68
68
68

4.676471
4.25
4.661765
4.617647
5.573529

.7617963
1.097827
.8215438
.8469332
.527347

2
1
2
2
4

6
6
6
6
6

68
68
68
68
68

5.588235
5.588235
4.485294
4.691176
4.25

.4958121
.5250528
1.203138
1.187715
1.407602

5
4
1
2
1

6
6
6
6
6

Sumber : pengolahan data Stata-12


Adapun distribusi jawaban yang diberikan oleh responden dapat dilihat pada
table 2 berikut ini. Pada kelompok pertanyaan kemampuan inovasi incremental (II),
responden menjawab terbanyak (59,79%) pada skala Likert 6 (sangat setuju),
39,68% menjawab pada skala Likert 5 (setuju). Pada kelompok pertanyaan
kemampuan inovatif radikal (RI), jawaban responden cukup variatif, mulai dari skala
Likert 1 sampai dengan Skala Likert 6. Sedangkan pada kelompok pertanyaan modal
manusia (HC), tidak ada responden yang menjawab pada skala Likert 1 dan 2,
artinya semua responden mayoritas menyatakan setuju pada Skala Likert 3, 4,5,6.
Pada kelompok pertanyaan modal sosial (SC) dan modal organisasional (OC),
jawaban responden beragam dari Skala Likert 1 hingga 6.
Tabel 2 Distribusi Jawaban Responden
Variabel
1

Prosentase Jawaban Responden


3
4
5

298

Rata
rata

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

II
RI
HC
OC
SC

0%
2,500%
0
0,784%
0,313%

0%
6,599%
0
2,353%
0,313%

0%
15,736%
5,800%
10,196%
1,881%

0.053%
12,183%
10,400%
25,098%
8,150%

39,68%
42,640%
10,400%
54,510%
54,859%

59,79%
20,305%
73,400%
7,059%
34,483%

jawaban
5,140
4,314
5,150
4,510
5,200

Sumber : diolah dari MS Excell


Uji Validitas dan Reliabilitas
Hasil pengujian validitas dan reliabilitas dari butir-butir kelompok pertanyaan
Human Capital, Social Caiptal dan Organizational Capital disajikan pada Lampiran
2. Dari hasil pengolahan data dengan menggunakan Stata-12, semua butir
pertanyaan memiliki nilai di atas > 1.667 (t-tabel pada df=68-1), sehingga semua
butir pertanyaan valid. Dan hasil Cronbach Alpha 0.8653, yang menunjukkan bahwa
kelompok pertanyaan sudah reliable (Lihat Lampiran 1).
2. Hasil
a. Uji asumsi klasik
Pengolahan data dengan menggunakan Stata-12 untuk melakukan uji asumsi
klasik, seperti pada Lampiran 2, dengan hasil berikut, Prob>Chi2 sebesar 0,0510
pada uji normalitas. Hasil tersebut > 5% sehingga dapat dikatakan bahwa data
terdistribusi normal. Sementara pada uji heteroskedastisitas, menunjukkan angka pvalue 0.6374 (>5%), berarti data terbebas dari masalah heteroskedastisitas. Dan
juga terbebas dari masalah multikolinearitas dengan ditunjukkan angka VIF 1.31
(<5.0 atau < 10) (Lihat Lampiran 1).

b.

Uji Korelasi
Dari hasil uji korelasi antar variabel baik independen maupun dependen,

ditampilkan pada table 3 berikut. Semua variabel menunjukkan korelasi < 0.6, yang
artinya korelasi antar variabel lemah, sehingga terbebas dari autokorelasi antar
variabel.

Tabel 3 Hasil uji Korelasi dengan Spearman Rank

299

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

human_~l organi~l social~l increm~s radica~s


human_capi~l
organizati~l
social_cap~l
incrementa~s
radical_in~s

1.0000
0.2147 1.0000
0.3116 0.3246 1.0000
0.4612 0.0126 0.4609
0.1414 -0.1412 -0.1704

1.0000
0.0553

1.0000

Sumber : diolah dari Stata-12


3) Hasil Uji Regresi
Dengan menggunakan aplikasi Stata-12, kami melakukan pengolahan data
yang dihimpun dari hasil kuesioner responden, terdiri dari variabel independen,
variabel dependen dan variabel kontrol.
Tabel 4. Hasil analisis regresi untuk intelektual capital dan kapabilitas inovatif
Variabel

Kapabilitas Inkremental
1

Kapabilitas Radikal
4

Modal Intelektual :
-

Organizational

-0,206

-0,195

-0,221

-0,206

-0,049

-0,041

-0,041

-0,107

Capital

(0,032)

(0,053)

(0,021)

(0,006)

(0.845)

(0,873)

(0,873)

(0,693)

Social Capital

Human Capital

0,387

0,404

0,4564

0,479

-0,472

-0,496

-0,496

-0,618

(0,000)

(0,001)

(0,000)

(0,000)

(0,095)

(0,103)

(0,103)

(0,071)

0,315

0,304

0,306

0,306

0,483

0,507

0,507

0,471

(0,004)

(0,007)

(0,005)

(0,006)

(0,081)

(0,081)

(0,081)

(0,117)

Interaksi modal intelektual :


-

Organizational

0,036

0,026

-0,080

-0,073

capital x social

(0,355)

(0,494)

(0,431)

(0,493)

capital
-

Human capital x

-0.037

-0,011

-0,019

-0,037

social capital

(0,483)

(0,845)

(0,892)

(0,805)

Variabel Kontrol:
-

Gender

Pendidikan

Lama bekerja

0,074

0,073

0,056

0,050

(0,650)

(0,532)

(0,858)

(0,874)

0,293

0,285

-0,129

-0,145

(0,047)

(0,062)

(0,746)

(0,725)

-0,012

-0,011

0,015

0,016

(0,236)

(0,280)

(0,555)

(0,570)

Adjusted R2

0,323

0,312

0,342

0,324

0,030

0,012

-0,011

-0,033

Prob > F

0,000

0,000

0,000

0,000

0.182

0,343

0,519

0,656

Keterangan : barisan pertama (koefisien regresi); baris kedua (signifikansi pada p < 0,05)

Sumber : diolah dari analisis regresi dengan Stata-12

300

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Berdasarkan table 4 di atas, kami melakukan beberapa tahapan pengujian


terhadap variabel independen dan variabel dependen, juga melibatkan variabel
control dan variabel moderasi. Pada tahap pertama, kami menguji pengaruh modal
intelektual terhadap kapabilitas inovatif. Dan untuk memudahkan analisis, kami
membagi menjadi dua kelompok pengujian, yaitu (1a) pengujian pengaruh modal
intelektual terhadap kapabilitas inovatif incremental, dan (1b) pengujian pengaruh
modal intelektual terhadap kapabilitas inovatif radikal. Pada tahap kedua, kami juga
melakukan pengujian yang sama seperti pengujian pertama, ditambah dengan
memasukkan variabel moderasi yaitu modal social yang memperkuat modal
organisasi dalam mempengaruhi kapabilitas inovatif incremental. Hal ini sejalan
dengan premis Nonaka (1994) dan Subramaniam & Venkatraman (2001), bahwa
kerja kelompok, sharing dan kolaborasi antara individu, akan memainkan peran
besar dalam meningkatkan dan memperkuat kodifikasi pengetahuan organisasi,
dalam bentuk paten,

database pengetahuan dan lisensi yang menjadi produk

organisasi. Pada tahap ketiga, kami mencoba bereksperimen dengan memasukkan


variabel control yaitu, pendidikan, lama bekerja dan gender. Dan pada tahap
keempat kami memasukkan semua variabel independen (modal intelektual), variabel
moderasi dan variabel control.
Dari semua pengujian di atas, kami mendapatkan hasil bahwa pengaruh
modal intelektual yaitu modal manusia dan modal social, yang diukur dengan
persepsi widyaiswara BPPK, berpengaruh positif signifikan terhadap kapabilitas
inovatif incremental. Dan besarnya koefisien regresi variabel modal social lebih besar
dalam ke 4 langkah pengujian, dibandingkan variabel modal manusia, pengaruhnya
terhadap kapabilitas inovatif incremental. Sedangkan modal organisasi berpengaruh
secara negative signifikan terhadap kapabilitas inovatif incremental.
D. DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Secara keseluruhan hasil pengujian pada data yang dikumpulkan pada penelitian ini,
dengan responden Widyaiswara BPPK tidak sejalan dengan hipotesis yang dirumuskan
dalam penelitian ini. Tetapi hasil pengujian yang tidak dihipotesiskan mendukung premis
bahwa modal social dan modal manusia berpengaruh hanya pada kapabilitas inovatif
incremental. Sedangkan modal organisasional berpengaruh negative signifikan terhadap
kapabilitas inovatif incremental widyaiswara BPPK.
Analisis yang pertama adalah pengaruh positif dan signifikan terhadap kapabilitas
inovatif incremental oleh modal manusia dan modal social. Dari table 4, terlihat setiap

301

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kenaikan 1 poin modal manusia, menaikkan 32% kapabilitas inovatif inkrementalnya,


dan rata rata 43% kenaikan kapabilitas inovatif incremental dipengaruhi oleh modal
social. Hal ini mengindikasikan bahwa widyaiswara memiliki kapabilitas individual
sebagai manusia yang memiliki keahlian dan kecerdasan melalui pendidikan dan
pelatihan yang telah dilakukan dan interaksi social dengan rekan kerja, peserta didik
serta pemangku kepentingan lainnya, mampu meningkatkan kapabilitas inovatif
inkremental. Seperti yang dinyatakan oleh Dewar dan Dutton (1986) bahwa kapabilitas
inovatif incremental merupakan a low degree for new knowledge, kemampuan untuk
memperbaiki dan memperkuat produk atau jasa yang sudah ada, belum sampai pada
tingkatan inovasi yang mengganti produk lama menjadi produk baru yang unik dan sama
sekali baru.
Yang paling menarik dari hasil penelitian ini adalah pengaruh modal organisasional
ternyata negative terhadap kapabilitas inovatif incremental. Dari 4 langkah variasi
pengujian yang dilakukan terhadap variabel kapabilitas inovatif, baik incremental
maupun radikal, modal organisasional memiliki pengaruh negatif, signifikan terhadap
kapabilitas inovatif incremental dan tidak signifikan terhadap kapabilitas inovatif radikal.
Hal ini dibahas dalam penelitian Subramaniam & Youndt (2005), bahwa pengetahuan
yang dikumpulkan, disusun, dibakukan dan dikodifikasikan oleh organisasi (BPPK)
terlihat tidak membantu meningkatkan dan memperkuat kapabilitas inovatif, baik
incremental maupun radikal. Hal ini dilihat pada table 4, pada pengujian 1, 2, 3 dan 4,
koefisien regresi variabel modal organisasional bernilai negatif.
Pada pengujian 2, kami memasukkan variabel moderasi yaitu social capital, yang
memperkuat pengaruh variabel modal organisasional terhadap variabel kapabilitas
inovatif incremental. Dan hasil pengujian menunjukkan bahwa modal organisasional
tidak berpengaruh signifikan terhadap kapabilitas inovatif, baik incremental maupun
radikal. Serta pengaruh yang tidak signifkan dari moderasi modal social dalam rangka
memperkuat hubungan modal organsasi terhadap kapabilitas inovatif. Sejalan dengan
Subramaniam et al (2005), hubungan antar widyaiswara, kolaborasi dan kerja kelompok
tim, belum atau tidak meningkatkan dan memperkuat produk atau jasa, tidak
menguatkan pengetahuan yang dilestarikan dan dibakukan oleh BPPK dalam bentuk
manual, buku, tradisi, kebiasaan yang bermanfaat untuk meningkatkan dan memperkuat
kemampuan inovatif. Tetapi pengujian secara parsial, pengaruh modal social terhadap
kapabilitas inovatif incremental menghasilkan pengaruh yang positif dan signifikan, dan
koefisien regresi paling besar di antara variabel independen lainnya. Hal ini
mengisyaratkan bahwa secara kolaborasi antar widayiswara, sharing knowledge, belum

302

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

mampu mengintegrasikan pengetahuan yang sudah dihimpun oleh organisasi untuk


membuat inovasi yang memperkuat atau meningkatkan kapabalitas inovatif incremental
(tambahan). Dan sejalan dengan pengujian dengan variabel moderasi, memperlihatkan
bahwa baik secara parisal maupun simultan , modal social dan modal manusia memiliki
pengaruh positif yang signifikan terhadap kapabilitas inovatif incremental. Hal ini dapat
diinterprestasikan belum adanya sinergi modal organisasional dengan gabungan modal
social dan modal manusia, dalam meningkatkan kapabilitas inovatif. Sehingga sebagai
individu dan dengan berkolaborasi dengan kelompok, widyaiswara memiliki kemampuan
dan keahlian yang mampu meningkatkan kapabilitas inovasi incremental saja, belum
menunjukkan pengaruh signifikan untuk meningkatkan kapabilitas inovatif radikal.
Dari hasil penelitian ini, peneliti memiliki pemahaman tentang hubungan dan
pengaruh modal intelektual dengan kapabilitas innovative

widayiswara

BPPK.

Sebelumnya sudah terlihat peran modal social yang paling besar dalam hasil pengujian
1, 2, 3, dan 4, terutama yang mempengaruhi kapabilitas innovative incremental. Hal ini
sejalan dengan pendapat Nonaka (1994) yang menyatakan bahwa kerja berkelompok,
sharing knowledge, berkolaborasi dengan rekan sejawat atau anggota tim lainnya dalam
organisasi, membawa pengaruh paling besar dibanding dengan aspek modal intelektual
lainnya. Oleh karena itu, peneliti menyarankan baik kepada organisasi, BPPK maupun
widyaiswara untuk memperkuat kolaborasi dan kerjasama dengan tim kerja dalam
membuat terobosan dan inovasi baru, tidak hanya menguatkan inovasi yang sudah ada.
E. SIMPULAN, SARAN DAN KETERBATASAN
Dari hasil pengujian dan pembahasan di atas kami menemukan hasil dari penelitian
ini adalah modal manusia dan modal social berpengaruh positif signifikan terhadap
kapabilitas

inovatif

incremental,

dalam

persepsi

widyaiswara

BPPK.

Modal

organisasional berpengaruh negative signifikan terhadap kapabilitas inovatif incremental.


Modal intelektual (dari persepsi widyaiswara BPPK) tidak berpengaruh signifikan
terhadap kapabilitas inovatif radikal. Dan variabel modal social yang dijadikan sebagai
variabel moderasi, sama sekali tidak memperkuat pengaruh modal organisasional
terhadap kapabilitas inovatif incremental, dan juga tidak memperkuat hubungan modal
manusia terhadap kapabilitas inovatif radikal.
Karena modal organisasional dalam delapan kali pengujian menghasilkan pengaruh
negative dan tidak signifikan, terhadap kapabilitas inovatif maupun radikal, bahkan
diperkuat dengan modal social, dalam bentuk kolaborasi tim dan sharing knowledge,

303

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

belum mampu mempengaruhi merubah pengetahuan, produk yang sudah ada, baru bisa
memperkuat dan meningkatkan pengetahuan dan produk yang ada. Saran kami,
pengetahuan yang sudah dilestarikan, dikodifikasi dan disusun dalam bentuk manual,
data base bahan ajar dan pengetahuan di BPPK, perlu dievaluasi dalam hal
keberdayaannya dalam mendorong munculnya inovasi.
Penelitian ini masih banyak mengandung keterbatasan, pertama, substansi
kuesioner perlu ditinjau ulang dari segi validitas konstruknya, meskipun dari pengujian
validitas dan reliabilitas sudah terpenuhi. Kedua, perlu ditambah respondennya, tidak
hanya dari widyaiswara tetapi juga dari pihak structural dan pihak terkait lainnya dalam
lingkup internal BPPK. Ketiga, penelitian ini perlu dilakukan lagi dalam waktu beberapa
tahun mendatang, untuk memotret kembali apakah terjadi dinamika perubahan
hubungan modal intelektual dengan kapabilitas inovatif widyaiswara BPPK.

F. DAFTAR PUSTAKA
BPPK, 2014. Laporan Akuntabilitas dan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) BPPK Tahun
2014. Jakarta.
Davenport, T.H., & Prusak, L., 1998. Working knowledge : How organizations manage what
they know. Boston : Harvard Business School Press.
Dewar, R. D., & Dutton, J. E. 1986. The adoption of radical and incremental innovations : An
empirical analysis. Management Science, 31: 1432-1433.
Gupta, A. K., & Govindarajan, V. 2000. Knowledge man agement's social dimension:
Lessons from Nucor Steel. Sloan Management Review, 42(1) 71-79.
Indriartono, N dan Supomo. 2013. Metodologi Penelitian Bisnis. Yogyakarta : Andi.
Nonaka, I. 1994. A dynamic theory of organizational knowledge creation. Organization
Science, 5: 14 37.
Nonaka, L, & Takeuchi, H. 1995. The knowledge-creat ing company: How Japanese
companies create the dynamics of innovation. New York: Oxford Press.
Schultz, T. W. 1961. Investment in human capital. American Economic Review, 51: 1-17.
Skaggs, B. C, & Youndt, M. A. 2004. Strategic position ing, human capital, and performance
in service or ganizations: A customer interaction approach. Strategic Management
Journal, 25: 85-99.
Snell, S. A., & Dean, J. W. 1992. Integrated manufacturing and human resources
management: A human capital perspective. Academy of Management Journal, 35:
467-504.
Subramaniam, M., & Youndt. 2005. The Influence of Intellectual Capital on The Type of
Innovative Capabilities. The Academy of Management, Vol 48, No 3 (jun 2005), pp.
450-463.

304

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Subramaniam, M., & Venkatraman, N. 2001. Determi nants of transnational new product
development ca pability: Testing the influence of transferring and deploying tacit
overseas knowledge. Strategic Management Journal, 22: 359-378.
Tushman, M., & Anderson, P. 1986. Technological discontinuities and organizational
environments. Administrative Science Quarterly, 31: 439-65.
Walsh, J. P., & Ungson, G R. 1991. Organizational mem ory. Academy of Management
Review, 16: 57-91.
Youndt, M. A., Subramaniam, M., & Snell, S. A. 2004. Intellectual capital profiles: An
examination of in vestments and returns. Journal of Management Studies, 41: 335362.

Lampiran 1 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas

Item
hc1
hc2
hc3
hc4
hc5
ratahc
sc1
sc2
sc3
sc4
sc5
ratasc
oc1
oc2
oc3
oc4
rataoc
ii1
ii2
ii3
rataii
ri1
ri2
ri3
ratari

Obs
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68
68

Sign
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

item-test
correlation
0.5387
0.3226
0.4954
0.5041
0.4391
0.5894
0.5975
0.6471
0.6958
0.7170
0.5909
0.8027
0.5370
0.3824
0.4414
0.4886
0.6433
0.4932
0.5127
0.4858
0.5347
0.3772
0.3642
0.5182
0.5069

item-rest
correlation
0.4953
0.2473
0.4470
0.4540
0.3733
0.5536
0.5506
0.6084
0.6470
0.6705
0.5530
0.7801
0.4780
0.2806
0.3700
0.4184
0.6036
0.4508
0.4739
0.4432
0.4982
0.2646
0.2522
0.4008
0.4194

Test scale

average
interitem
covariance
.1344776
.1374095
.1349614
.1344245
.1344766
.1344477
.1316018
.1314854
.1259572
.125194
.1339028
.128981
.1317986
.1336831
.1337867
.1321276
.1313804
.1359799
.1360716
.1361491
.1359349
.1333569
.1339728
.1255274
.1291971

0.8616
0.8676
0.8624
0.8622
0.8640
0.8609
0.8595
0.8587
0.8554
0.8546
0.8606
0.8553
0.8610
0.8692
0.8642
0.8627
0.8587
0.8628
0.8626
0.8629
0.8623
0.8713
0.8716
0.8679
0.8634

.1326514

0.8673

Sumber : diolah dari Stata 12


Keterangan : Tingkat validitas > 1.667 (t-tabel pada df=68-1)
Lampiran 2 Hasil Uji Asumsi Klasik
a) Normalitas

305

alpha

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Skewness/Kurtosis tests for Normality


Variable

Obs

resid

68

Pr(Skewness)

Pr(Kurtosis)

0.0321

0.1900

joint
Prob>chi2

adj chi2(2)
5.95

0.0510

Sumber : pengolahan data dari Stata-12

b) Heteroskedastisitas

Cameron & Trivedi's decomposition of IM-test

Source

chi2

df

Heteroskedasticity
Skewness
Kurtosis

7.00
3.63
0.04

9
3
1

0.6374
0.3037
0.8363

Total

10.67

13

0.6381

Sumber : pengolahan data dari Stata-12

c) Multikolinearitas

Variable

VIF

1/VIF

ratasc
rataoc
ratahc

1.43
1.30
1.21

0.699302
0.768783
0.827752

Mean VIF

1.31

Sumber : pengolahan data dari Stata-12

306

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Lampiran 2
Daftar Kuesioner Penelitian

No

Sangat
Tidak
Setuju

Pernyataan

Human Capital
1
Widyaiswara adalah tenaga pengajar
yang terdidik dan terampil di bidang
keahliannya
2
Widyaiswara secara umum dikenal
sebagai pengajar/pendidik terbaik
dalam bidang pendidikan.
3
Widyaiswara adalah pengajar yang
kreatif dan cerdas
4
Widyaiswara adalah pribadi yang ahli
dan berkompeten dalam bidang yang
menjadi keahliannya
5
Widyaiswara mengembangkan ide-ide
baru dan pengetahuan/keahlian di
bidangnya
Social Capital
6
Widyaiswara terbiasa berkolaborasi
dengan sesama widyaiswara lainnya
dalam mendiagnosa dan
menyelesaikan masalah terkait dengan
diklat
7
Widyaiswara saling berbagi (sharing)
informasi dan saling belajar dengan
rekan kerja.
8
Widyaiswara berinteraksi dan bertukar
ide dengan pihak lain dalam Unit Diklat
(misalnya pihak struktural).

307

Tidak
Setuj
u

Kurang

Ragu

Setuju

Ragu

Sangat
Setuju

Setuju

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Widyaiswara bermitra dengan Unit


Kerja user, atasan/unit kerja peserta
diklat untuk mengembangkan solusi
permasalahan yang dihadapi terkait
kompetensi peserta diklat.
10 Widyaiswara menerapkan
pengetahuan dari satu keahlian diklat,
menjadi masukan bagi
pengembangan mata diklat yang lain.
Organizational Capital
11 Pihak Unit Diklat (Es II) menggunakan
hasil pengembangan metode
pembelajaran atau manual pengajaran
sebagai cara untuk memperkaya
referensi pengetahuan (as a way to
store knowledge)
12 Banyak pengetahuan (knowledge) di
BPPK (Unit Diklat) yang dibakukan
menjadi bentuk Properti Intelektual
(tulisan/artikel, hasil riset), manual
(modul), data base (bahan ajar/bank
soal) dan lain-lain.
13 Budaya organisasi Unit Diklat
(termasuk ritual/ kebiasaan)
mengandung nilai nilai yang
bermanfaat dan cara terbaik untuk
mendidik/mengajar
14 Unit Diklat mengintegrasikan
pengetahuan (termasuk knowledge
dan informasi) dalam struktur, sistem
dan proses operasionalnya.
15
16
17

18

19

20

Inovasi akan memperkuat hasil


pengajaran Anda.
Inovasi akan memperkuat keahlian
yang sudah kuasai
Inovasi akan memperkuat daya saing
Anda.
Inovasi akan membuat hasil
pengajaran (jasa/produk) yang sudah
ada terlihat usang (obsolete).
Inovasi akan merubah
keahlian/pengetahuan Anda secara
fundamental.
Inovasi akan membuat
keahlian/pengetahuan yang sudah
Anda kuasai sebelumnya menjadi
terlihat usang.
Lebih lemah dari
kompetitor

308

Sama dengan
kompetitor

Lebih kuat dari


kompetitor

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Berikan peringkat (rating) atas


kapabilitas organisasi Anda untuk
menumbuhkan berbagai jenis inovasi
(pilih salah satu)
1 = lebih lemah dari kompetitor ,
4 = sama dengan kompetitor ,
7 = lebih kuat dibanding kompetitor
Sumber : diolah dari Subramaniam, M., & Youndt. 2005. The Influence of Intellectual Capital
on The Type of Innovative Capabilities. The Academy of Management, Vol 48, No 3
(jun 2005), pp. 450-463.

309

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

TEKNIK DELIVERY PEMBELAJARAN YANG EFEKTIF


BERBASIS MESIN KECERDASAN
Sri Wahyuni, S.S., M.Si.
Widyaiswara Ahli Madya, BPPK Kementerian Keuangan
Jalan Pancoran Timur II No. 1 Pancoran, Jakarta Selatan 12770
(Diterima 16 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstract: This article discusses how to deliver training material that has implications for the
training participants. Techniques of good delivery must be carried out in three stages: the
opening, the delivery, and the closing. At the opening, there are three things that must be done,
which is to find out Why the material is important for participants of the training, make
introduction,
and
build
rapport
with
the
participants
of
the
training.
The delivery section needs to accommodate the needs of the training participants in accordance
with the character of their Intelligent Engine , namely Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling, and
instinct which each have different learning styles. Sensing people like variations of words and
visual aids. People Thinking like data and facts, evocative questions and intelligent humors.
Intuiting people like the analogy and Versus. Feeling People love stories and contemplation, as
well as Instinct people like the involvement in activities and take lessons/insight from the
activities. At the closing, there are three things you need to do, is to do the 3-R, raising the
energy and spirit of training participants, and calling to the action. If these techniques are
applied well in all three phases of the training will be more fun for the participants of the training
and training material will be remembered as long as possible.
Keywords: training delivery, techniques, opening, delivery, closing.
Corresponding author: Sri Wahyuni, yuni.okta@gmail.com Tlpn: 082113832010

Pendahuluan
Menyampaikan materi diklat bukanlah sesuatu yang sulit, melainkan juga bukan suatu
hal yang mudah. Apalagi bagi Widyaiswara yang salah satu tugas utamanya adalah
melaksanakan dikjartih (mendidik, mengajar, dan melatih) peserta diklat. Namun, seringkali
penulis menjumpai, bahkan sering juga mengalami ketika menjadi peserta diklat, peserta diklat
yang tidak antusias menyimak Pengajar yang sedang memberikan materi, tidak fokus kepada
materi yang diberikan, sibuk sendiri bermain gadget, mengantuk, bahkan sampai tertidur di
kelas. Masih banyak penulis jumpai Widyaiswara yang ketika menyampaikan materi hanya
berfokus pada materi yang disampaikan dan cenderung mengabaikan unsur-unsur non verbal.

310

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kadang Widyaiswara terjebak pada GBPP atau cakupan materi yang harus

disampaikan

sehingga merasa sudah sukses mengajar apabila seluruh materi sudah diberikan, terlepas dari
peserta memahami atau tidak materi tersebut dan sesuai atau tidak dengan mataeri itu dengan
kebutuhan mereka. Yang penting materi sudah diberikan sesuai dengan GBPP dan sesuai
dengan jamlat yang dialokasikan, habis perkara! Padahal tugas seorang Widyaiswara,
sesungguhnya tidak sekadar menyampaikan materi (knowledge/skill) tetapi juga mengubah
attitude atau sikap peserta terhadap hal yang disampaikan tersebut.
Topik ini penting untuk diangkat karena selain memberikan materi, tugas Widyaiswara
berikutnya adalah menginspirasi peserta diklat agar setelah keluar dari kelas, mereka mau
belajar lagi, memperdalam lagi, dan mencari lebih banyak lagi terkait hal-hal yang sudah
mereka dapatkan di dalam kelas. Sesungguhnya pembelajaran yang sebenarnya terjadi ketika
mereka kembali ke kantor dan menindaklanjuti proses belajar di dalam kelas. Ketika seorang
Widyaiswara menyampaikan informasi atau materi diklat, sesungguhnya ada 4 tingkatan tujuan
yang ingin dicapai, yaitu: 1). Mengubah knowledge (hanya menjelaskan sesuatu atau sekadar
memberikan informasi), 2). Mengubah orang untuk meningkatkan skill, 3). Memengaruhi orang
untuk mengubah belief, dan 4). Memengaruhi orang untuk action sesuai dengan yang
diinginkan (dalam kapasitas kecil atau besar). (Azzaini, 2015).
Untuk itu, dalam tulisan ini akan diberikan tips-tips men-deliver materi

diklat untuk

memperkaya Widyaiswara tentang khasanah metodologi pembelajaran, sehingga dapat


memberikan materi diklat yang sungguh-sungguh berdampak dan menginspirasi peserta diklat.
Setidaknya Widyaiswara dapat membuat para peserta diklat terjawab kebutuhannya dan
merasakan bahwa diklat ini gue banget dan saya butuh diklat ini.
Tulisan ini akan dibagi menjadi 3 bagian, bagian pertama yaitu bagaimana memberikan
opening yang mengesankan, bagian kedua membahas content delivery yang memuaskan
berbagai karakter peserta diklat, dan bagian ketiga adalah bagaimana menutup sesi
pembelajaran dengan closing yang impresif.

Diskusi
Begitu seorang Widyaiaswara memasuki kelas dan berdiri di depan audiens, maka
tampilan yang wajib diperlihatkan kepada audiens sebagai default seorang Widyaiswara ada 3,

311

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

yang disingkat dengan S-E-O, yaitu Smile, Eye Contact, dan Open Posture. Poin pertama
dalah Smile atau senyum. Sudah banyak riset yang membuktikan bahwa senyuman bisa
meredakan ketegangan. Hati yang sedang galau dan gelisah bisa terobati oleh senyuman.
Senyum merupakan hal sepele tetapi efeknya luar biasa. Senyum juga ada rumusnya, yaitu 22-7, artinya bibir ditarik ke kanan dan kekiri masing-masing sepanjang 2 cm dan ditahan selama
7 detik. Senyum 2-2-7 bisa dilakukan kapan saja di sepanjang sesi pembeljaran untuk membuat
peserta diklat merasa nyaman. Selain rumus 2-2-7, senyum yang tulus adalah senyum yang
datang dari hati. Walaupun datangnya dari hati, ciri-cirinya tetap dapat dilihat di wajah yaitu dari
adanya jejak cakar ayam di sudut luar mata. Itulah yang membedakan antara senyum dari hati
dan senyum terpaksa.
Default yang kedua adalah kontak mata. Ketika berbicara dengan audiens maka harus
ada kontak mata sebagai sarana untuk membangun kedekatan (rapport) dan untuk melihat
ekspresi dan feedback yang diberikan oleh audiens. Orang bijak mengatakan bahwa mata
adalah jendela hati, dari ekspresi mata bisa diketahui apa yang dirasakan dan diinginkan oleh
audiens. Agar perhatian dapat diberikan secara merata kepada audiens, dapat digunakan
rumus jam 10-02, yaitu mengarahkan pandangan secara bergantian ke arah pukul 10, 11, 12,
1, 2 dan sebaliknya. Dengan demikian peserta diklat akan mendapatkan perhatian secara
merata tanpa ada yang merasa dilupakan.
Default yang ketiga adalah open posture atau postur tubuh terbuka. Untuk
mendapatkan postur tubuh yang terbuka ini, seorang Widyaiswara harus dengan rileks dan
senyaman mungkin, tidak kaku atau tegang seperti tentara yang sedang bersikap sempurna.
Posisi kepala, tangan, kaki, dan tubuh perlu diatur seenak mungkin. Jika ada ruang gerak, bisa
bergerak seperlunya, misalnya bisa maju mendekat kepada audiens ketika ada yang bertanya.
Atau bisa juga bergerak ke kiri dan ke kanan secara seimbang dan proporsional (prinsipnya
play and pause). Yang harus dihindari adalah diam di satu titik saja karena hal itu akan
membuat jadi monoton dan membosankan. Selain itu juga harus dihindari memberikan
presentasi sambil duduk di belakang meja karena itu menandakan bahwa ada jarak antara
Widyaiswara dan peserta diklat dan memberikan kesan bahwa Widyaiswara tersebut ingin
bersembunyi dari audiens. Posisi tubuh harus agar tetap menghadap audiens dengan tangan
diletakkan di samping tubuh. Perlu dihindari tangan bersedekap atau dimasukkan ke saku
celana. Tangan disamping tubuh selain menandakan rasa percaya diri dan dapat dipercaya
oleh audiens, juga memudahkan untuk menggerakan tangan. Jika tangan kanan memegang

312

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

mikrofon, tangan kiri bisa memegang pointer dan bergerak dengan leluasa atau sebaliknya.
Membelakangi audiens harus dihindari, termasuk ketika sedang menjalankan slide dengan
laser pointer maupun ketika sedang menulis di papan tulis atau flipchart.
Demikianlah tiga hal yang merupakan penampilan wajib (default) seorang Widyaiswara
yang perlu selalu diingat dan ditampilkan sepanjang berada di depan audiens.

1. OPENING YANG BERKESAN! - Lima Menit Pertama Sangat Menentukan


Lima menit pertama merupakan saat yang paling menentukan apakah peserta diklat
akan merasa antusias terhadap materi yang disampaikan oleh Widyaiswara. Pada bagian ini
tugas Widyaiswara adalah membuat audiens tertarik, bersemangat, dan termotivasi untuk
mempelajari materi yang akan disampaikan. Untuk itu Widyaiswara harus memahami apa yang
sangat dibutuhkan audiens, apa yang ditakutkan audiens, solusi apa yang dinanti oleh audiens,
dan hal-hal menarik apa yang diharapkan oleh audiens. (Azzaini, 2015).
Untuk itulah Widyaiswara pada awal sesi harus bisa menjawab pertanyaan Why
atau Mengapa saya harus menyimak materi ini? yang ada di benak audiens. Jika Widyaiswara
mampu menjawab pertanyaan ini, niscaya peserta diklat akan antusias, fokus, dan termotivasi
untuk menyimak materi yang diberikan sampai tuntas. Dan sebaliknya jika Widyaiswara tidak
mampu menjawab pertanyaan Why ini, jangan berharap peserta diklat akan terarik untuk
menyimak materi yang disampaikan. Bisa jadi mereka hanya akan menganggap diklat yang
diikuti hanya sebagai refreshing atau hiburan dari rutinitas di kantor atau sekadar menjalankan
penugasan dari atasan tanpa hasil atau dampak yang berarti.
Untuk menjawab pertanyaan Why ini, ada beberpa alternatif yang bisa dipilih, antara
lain menyajikan pilihan, menyajikan isu atau fakta yang mengejutkan, dan analogi yang
menohok. Semua teknik tersebut bisa dipilih untuk membuka sesi pembelajaran dan menjawab
Why atau menggugah peserta. Pada tahap pembukaan ini peserta diklat sudah harus ngeh
dan memahami bahwa materi yang akan disampaikan adalah untuk kepentingan mereka.
Opening itu ibaratnya foreplay yang akan sangat menentukan puas atau tidaknya audiens
dengan materi yang disampaikan pada sesi-sesi selanjutnya. Saat mereka mengerti bahwa apa
yang disampaikan adalah untuk kepentingan mereka, berarti audiens sudah siap untuk
menerima materi.

313

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Selain membangun Why, hal yang perlu Anda lakukan sebelum masuk ke materi adalah
perkenalan dan building rapport. Untuk perkenalan, bisa dilakukan dengan mengeksplorasi
nama dan reputasi Widyaiswara sendiri terkait dengan kompetensinya di bidang tersebut.
Misalnya dengan menyampaikan pengalaman ketika mengisi diklat atau lokakarya di kota-kota
lain atau di event yang lain dengan cara yang rendah hati tanpa terkesan menyombongkan diri.
Adapun, untuk membangun rapport atau relation dengan peserta, bisa dengan mencari
sebanyak mungkin kesamaan dengan audiens atau mengapresiasi mereka tentang apa saja
yang relevan dengan diklat. Misalnya dengan menanyakan siapa yang asalnya paling jauh atau
yang datang paling duluan dan memberikan apresiasi kepadanya. Selain itu dapat dilakukan
dengan membangun kemiripan dengan peserta, misalnya mengenakan dresscode yang sama,
menanyakan peserta yang asal kampungnya sama, asal sekolahnya sama, dan sebagainya.
Semakin banyak kesamaan yang diperoleh, semakin baik dan membuat peserta semakin
nyaman.

2. CONTENT DELIVERY YANG BERDAMPAK


Bagaimana teknik penyampaian materi diklat yang berdampak bagi peserta? Sebelum
membahas tentang hal yang lebih teknis tentang delivery, sebaiknya dibahas terlebih dahulu
karakteristik peserta diklat. Pada pembahasan kali ini, penulis ingin memperkenalkan sebuah
konsep yang ditemukan oleh Farid Poniman, yaitu STIFIn. STIFIn sendiri merupakan singkatan
dari Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling, dan Insting. STIFIn adalah sebuah konsep yang
memetakan mesin kecerdasan seseorang berdasarkan belahan otak yang dominan dan lapisan
otak yang aktif. Konsep ini mengadopsi dari teori-teori besar yang sudah ada sebelumnya baik
teori dari para ahli psikologi, neurosaintis, maupun pakar SDM, antara lain Carl Gustav Jung,
John Holland, Paul Brocca, Paul McLean, Hiprocrates-Galenus, dan lain-lain. Berdasarkan
teori-teori tersebut, dikembangkanlah konsep STIFIn yang memetakan kecerdasan genetik
seseorang berdasarkan belahan otak yang dominan dan lapisan otak yang aktif, yang oleh
Poniman disebut dengan Mesin Kecerdasan. Oleh karena itu, kemudian berdasarkan konsep
STIFIn manusia dikelompokkan hanya ke dalam 5 mesin kecerdasan, yaitu: Sensing, Thinking,
Intuiting, Feeling, dan Insting. Masing-masing Mesin Kecerdasan dan bagian otak yang
berhubungan dapat dilihat pada gambar berikut ini.

314

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Untuk memuaskan semua peserta diklat, pada saat menyampaikan materi, menurut
Azzaini (2015) seorang Widyaiswara perlu menggunakan teknik-teknik yang bisa memuaskan
kelima mesin kecerdasan. Hal ini sesuai dengan kebutuhan gaya belajar manusia berdasarkan
mesin kecerdasarnnya yang dikelompokkan menjadi 5 yaitu Sensing, Thinking, Intuiting,
Feeling, dan Insting (disingkat STIFIn).
Orang dengan mesin kecerdasan Sensing (S), bagian otak yang paling aktif atau
dominan adalah limbik kiri. Mereka akan sangat mengandalkan kelima inderanya. Mereka
adalah orang-orang yang teliti, teratur, sangat memperhatikan susunan kata, peduli dengan
kerapian dan ketertiban. Orang-orang ini menyukai contoh dan fakta yang terlihat. Untuk tipe ini
diperlukan seorang pengajar dengan gaya penampil atraktif yang bisa memainkan variasi kata
dan alat bantu visual. Orang Sensing yang mengandalkan kekuatan panca indera sangat
senang dengan permainan kata. Variasi kata yang kaya akan membuat presentasi lebih hidup
dan dinamis. Hindari penggunaan kata-kata, frasa, kalimat, atau cerita yang sama berulangulang karena hal itu akan membuat presentasi Anda monoton dan membosankan. Sebaliknya
variasikan dengan kata, frasa, kalimat yang berbeda walupun maknanya tetap sama. Misalnya
untuk menyebut sukses bisa digunakan kata-kata: berhasil, berjaya, berkembang, maju,
bertumbuh, gol, lulus, lolos, beruntung, menang, tercapai, berjalan, selamat, dan lain-lain. Untuk
menyebut kerja sama Atau bisa juga digunakan kata-kata: kolaborasi, koordinasi, sinergi,
gotong royong, tolong menolong, saling membantu, dan lain-lain.

315

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sedangkan untuk olah suara, perlu dilakukan pada beberpa bagian penting dengan
tujuan untuk membuat presentasi lebih hidup. Bayangkan jika mengajar di diklat diklat selama
5 hari dan para pengajarnya bicara dengan nada yang datar (monoton), apa yang dirasakan
para peserta diklat? Setelah itu bayangkan Pengajar yang menyampaikan materi menggunakan
suara yang hidup, apa kira-kira yang dirasakan peserta diklat? Mana yang lebih menarik dan
menyenangkan?
Untuk memainkan suara ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan sehingga pesan
yang disampaikan menancap ke dalam pikiran dan hati peserta diklat. Bagian yang dimainkan
tersebut merupakan pesan utama yang ingin ditekankan. Ada 4 teknik memainkan suara, yaitu:
Tinggikan Volume. Pada bagian tersebut, kita volume suara lebih tinggi daripada bagian
yang lain dalam kalimat tersebut.
Intonasi Diayun. Pada bagian yang ingin ditekankan, intonasi dinaik-turunkan sedemikian
rupa sehingga berbeda dengan intonasi pada bagian kalimat yang lain.
Tempo Diperlambat. Kata diucapkan seolah-olah terputus-putus, misalnya berkembang
diucapkan ber...kem...bang. Karena kata-kata yang lain diucapkan secara biasa saja, maka
bagian ini akan ditangkap sebagai pesan utama.
Kata diulang-ulang (repetisi). Untuk menancapkan pesan utama dan bagian yang
dipentingkan, dilakukan dengan mengucapkan kata tersebut berulang-ulang. Terlebih lagi,
jika pengulangannya melibatkan audiens, tentu efeknya akan lebih terasa.
Tipe berikutnya adalah orang dengan mesin kecerdasan Thinking (T), yaitu mereka
yang bagian otaknya paling dominan adalah neokorteks kiri. Mereka ini orang-orang yang
sangat logis, memperhatikan data, senang dengan hal-hal yang terstruktur dan sistematis, serta
suka humor-humor cerdas. Untuk peserta diklat dengan tipe ini, pengajar perlu memberikan
pencerah pikiran berupa data dan fakta, pertanyaan menggugah, dan humor cerdas.
Pertanyaan reflektif biasanya membuat orang tercerahkan dan tergugah untuk membuat
perubahan, menjadi pribadi yang lebih positif, terus belajar dan bertumbuh, dan mau melakukan
introspeksi diri.
Untuk menampilkan humor, ada beberapa tips yang perlu diingat, yaitu gunakan anonim
(atau kata ganti), letakkan hal yang lucu di akhir cerita, dan buat humor yang berhubungan
dengan materi diklat. Pada dasarnya humor itu hanya bumbu yang bertujuan agar peserta diklat
tetap enjoy menyimak materi diklat.

316

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Tipe ketiga adalah Intuiting (I), yaitu orang yang dominan otaknya pada bagian
neokorteks kanan. Mereka menyukai sesuatu yang baru, kreatif, dan inovatif. Daya imajinasi
orang-orang ini sungguh luar biasa. Mereka sangat menyukai analogi dan sesuatu yang
berlawanan (versus). Banyak sekali analogi yang bisa kita buat untuk menjelaskan materi yang
kita sampaikan. Misalnya untuk menggambarkan perjuangan hiduo, bisa digunakan analogi
orang bersepeda. Pada saat sedang mengayuh sepeda dengan kencang dan sekuat tenaga,
artinya kehidupan sedang menanjak, dan sebaiknya pada saat sepeda itu tidak dikayuh, artinya
sedang menurun. Untuk menjelaskan materi, bisa juga dengan mengontraskan sesuatu yang
berlawanan (versus), misalnya mengontraskan karakter seorang leader dengan seorang
manager sehingga menjadi lebih jelas perbedaan di antara keduanya.
Tipe keempat adalah Feeling (F), yaitu orang-orang yang otaknya dominan pada limbik
kanan. Ciri-ciri meraka adalah sangat perasa, empatik, mudah tersentuh, hangat, senang
bergaul, suka dengan cerita, dan suka berinteraksi dengan orang lain. Mereka juga menyukai
kata bermakna. Untuk memuaskan tipe F, bisa digunakan teknik story telling untuk membuat
materi yang disampaikan lebih berdampak. Cerita yang baik adalah yang di dalamnya terdapa
dialog karena akan membuat cerita lebih hidup dan bisa menyihir peserta diklat. Berikut ini
beberapa prinsip yang perlu diterapkan dalam teknik story telling: tetapkan tujuan cerita, buat
alur cerita, ubah me menjadi us, libatkan visual, auditori dan kinestetik audiens, buat dialog, dan
buat penutup cerita yang mengejutkan.
Teknik lain untuk memuaskan orang F adalah dengan perenungan (kontemplasi), atau
mencari sesuatu yang bernilai dengan mengerahkan pikiran dan perasaan. Di ujung
komtemplasi harus ada ajakan kepada peserta diklat untuk menjadi lebih positif, punya
harapan, lebih bersemangat, dan berkomitmen untuk menjadi lebih baik.
Dan terakhir tipe kelima yaitu orang-orang yang dominan otak reptil atau otak tengah
atau disebut mesin kecerdasannya Insting (In). Mereka adalah orang-orang yang responsif,
spontan, mudah beradaptasi, senang dilibatkan, senang dengan kasus-kasus yang unik dan
menarik. Untuk memuskan orang-orang dengan mesin kecerdasan In adalah dengan
melibatkan mereka dalam kegiatan pembelajaran, baik melalui diskusi kelompok, games,
rolepaly, maupun penugasan individu. Hal yang utama dari melibatkan peserta diklat adalah
untuk mendapatkan insight dari kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan. Insight adalah
penjelasan yang mendalam dari suatu permainan atau kegiatan. Dari insight ini, peserta

317

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

mendapatkan wawasan, makna, pengetahuan, dan hikmah baru yang meresap ke dalam
pikiran dan hatinya. (Azzaini, 2015).

CLOSING YANG IMPRESIF


Bagian terakhir dari sesi penyampaian materi adalah closing (penutup). Salah satu
tujuan penutup adalah menanamkan kesan positif yang sulit dilupakan oleh audiens. Oleh
karena itu dalam bagian closing terdapat 3-R (Review, Ringkas, Resapkan). Untuk lebih
meresapkan materi yang sudah disampaikan dalam sesi penyajian, ada 3 hal kunci yang peru
dilakukan oleh Widyaiswara, yaitu menanamkan pesan utama, menaikkan energi peserta
kemudian undur diri, dan call to action.
Untuk menanamkan pesan utama, bisa dilakukan dengan beragam cara, misalnya
dengan mengucapkan ikrar bersama, dengan cerita, dengan Sikut Lapan (puisi, kutipan, lagu,
pantun). Setidaknya bisa digunakan salah satu dari teknik Sikut Lapan tersebut di akhir sesi
untuk membuat pesan utama dikenang dan sulit dilupakan oleh peserta diklat.
Pada bagian penutupan, peserta juga perlu diajak untuk melakukan aksi. Aksi yang
ditawarkan tidak perlu banyak, cukup 1 saja tetapi sungguh-sungguh (bukan basa basi). Aksi
yang diminta disesuaikan dengan topic materi yang disampaikan.
Sebelum mengakhiri pembelajaran dan meninggalkan ruang kelas, ada baiknya
semangat dan energi peserta diklat dinaikkan terlebih dahulu, bisa dengan yel-yel, tepuk tangan
yang meriah, menaikkan volume suara, atau dengan cara lainnya. Setelah energi dan
semangat peserta meningkat, segera dilakukan closing yang singkat.

Kesimpulan
Untuk menghasilkan delivery materi diklat yang berdampak bagi peserta diklat, perlu
dilakukan teknik-teknik yag benar dalam tiap bagian: opening, delivery, dan closing. Dalam
opening harus dibangun Why (mengapa materi itu penting bagi peserta), perkenalan, dan
membangun rapport dengan peserta diklat. Dalam delivery materi diklat, perlu dilakukan teknikteknik sesuai dengan karakter 5 mesin kecerdasan, yaitu Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling,

318

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dan Insting agar kebutuhan gaya belajar tiap-tiap mesin kecerdasan dapat diakomodasi. Dalam
closing, perlu dilakukan 3-R, menaikkan energi peserta, dan mengajak peserta untuk action.
Jika teknik-teknik dalam tiap harapan pembelajaran tersebut dapat dilakukan dengan
baik, maka penyampaikan materi oleh Widyaiswara tidak akan lagi membosankan bagi peserta
diklat, bahkan peserta diklat akan merasakan bahwa Widyaiswawa A ini gue banget!

Daftar Pustaka
Azzaini, Jamil. (2015). Speak to Change. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Poniman, Farid. (2011). STIFIn Personality. Jakarta: Griya STIFIn.
Suharyanto, Anton dan Egrita Buntara (2016). Leader Speaks! Jurus Andalan Pemimpin
Perubahan. Yogyakarta: Diandra.
Materi Pelatihan Influence Your Audience, 2016. Jakarta: Pusdiklat Pengembangan SDM
Kementerian Keuangan & Akademi Trainer.

319

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

TANTANGAN PELATIHAN BAGI APARATUR SIPIL NEGARA


(CHALLENGE TRAINING APPARATUS FOR CIVIL STATE )
M.Retno Daru Dewi
Widyaiswara Ahli Muda Balai Diklat BNN
Jl.Mayjen HR Edi Sukma KM 21 Lido Wates Jaya Cigombong Bogor

Abstract: State Civil Apparatus (Aparatur Sipil Negara) Professional is the hope for
this nation. Hence, the ability and professionalism of the Aparatur Sipil Negara needs
to be improved. To be able to maintain professionalism, the need to improve the
development and training of Aparatur Sipil Negara. Development and training aims to
improve performance. Additionally destination Aparatur Sipil Negara held for
development and training to equip, improve, and develop job competence.
Development can be done through orientation, training, and education.This paper
focuses on the discourse of development and training will be given to the Aparatur Sipil
Negara. This paper is a descriptive narrative, that is an article that depicts or describes
a situation in words. This is the result of observation of the planned release of
Government Regulation as a derivative of the Act No. 5 of 2014 on Aparatur Sipil
Negara.Lack of training opportunities and the uneven rotation training for Aparatur Sipil
Negara behind the existence of this paper. As we all know Aparatur Sipil Negara plays
an important role in this nation. The main function of the government apparatus is to
serve the community and the public interest. The data collection is done by the study of
literature. Aspects of education and training to be a very major to improve quality. In
addition, as long-term investments. Aparatur Sipil Negara problems and improved
performance in the face of global competition, conducted continuously, more effective
and efficient This remains the responsibility of the joint, especially in education and
training. Apparatus Challenge Training for Civil State
Keywords: Training, Civil Apparatus State
Corresponding author : M.Retno Daru Dewi, E-mail : retno.mrdd@yahoo.co.id
Tel/Fax : 0821-1217-0450/ 0251-8222260

PENDAHULUAN

Pendidikan dan Pelatihan menjadi tantangan tersendiri bagi Aparatur Sipil


Negara. Bukan hanya pendidikan dan pelatihan, tetapi bagaimana setiap Aparatur Sipil
Negara

mempunyai

hak

dalam

mengembangkan

kompetensi

diri.

Pelatihan

seharusnya sesuai dengan kebutuhan setiap aparatur. Dengan adanya pelatihan,


diharapkan dapat menghasilkan aparatur yang profesional. Peraturan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Sipil Negara dan Reformasi Birokrasi merupakan momen

320

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

yang tepat bagi Seorang Aparatur Sipil Negara untuk dapat melakukan pengembangan
profesi.

Institusi/lembaga pemerintah sebagai salah satu bentuk organisasi diharapkan mampu


mencapai keberhasilan sangat tergantung kepada sumber daya manusianya. Dalam
hal ini, aparatur tidak dapat dipegang oleh sembarang orang. Diperlukan persiapan
untuk pelaksanaan pendidikan dan pelatihan. Dasar untuk meningkatkan kualitas
sumber daya dan peningkatan kinerja SDM dalam menghadapi persaingan global.
Dalam kaitan ini, salah satu aspek (indikator) keberhasilan suatu organisasi
pemerintah yakni kelancaran pelayanan di sektor publik. Hingga saat ini, pelayanan
belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat luas.

Dengan adanya Undang-Undang RI Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil


Negara, diharapkan mampu memperbaiki manajemen pemerintahan yang beorientasi
pada pelayanan publik sebab PNS tidak lagi berorientasi melayani atasannya,
melainkan untuk melayani masyarakat.

Di negara-negara yang tergolong sedang berkembang seperti Indonesia, masalah


organisasi pelayanan di sektor publik belum sepenuhnya dapat memuaskan
masyarakat. Lemahnya sistem birokrasi yang kita lihat dan rasakan. Aparatur Sipil
Negara merupakan salah satu pilar dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik
(Good Governance) bersama dengan dunia usaha (Corporate Governance) dan
masyarakat madani (civil society). Ketiga unsur tersebut harus berjalan selaras dan
serasi dengan peran dan tanggungjawab masing- masing.

Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugas, harus mampu menjalankan revolusi
mental sesuai dengan tuntutan saat ini. Menjalankan kehidupan beragama secara
benar, selalu memiliki komitmen dalam melayani masyarakat sehingga tercipta good
governance. Di setiap organisasi akan bisa tercapai tujuan organisasi. Aparatur yang
memiliki kesadaran diri dan mempunyai etos kerja yang baik sudah barang tentu akan
menghasilkan kinerja yang baik. Aparatur Sipil Negara professional sangatlah
dibutuhkan bagi organisasi. Aparatur Sipil Negara dalam menjalankan revolusi mental
harus membentengi dan mewarisi nilai nilai kepahlawanan. Nilai- nilai moral dengan
menjalankan/mengamalkan kehidupan beragama secara konsisten.

321

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Menurut Drs. H. Taufiq Efendi, MBA bahwa aspek pendidikan dan pelatihan menjadi
sangat utama untuk meningkatkan kualitas Aparatur Sipil Negara. Pendidikan dan
pelatihan juga merupakan proses investasi jangka panjang. Permasalahan dan
peningkatan

kinerja

Aparatur Sipil Negara dalam menghadapi persaingan global

dilaksanakan secara terus- menerus dengan motivasi untuk mencari cara yang lebih
efektif dan efisien.(Efendi,2008).

Menjawab

tantangan-tantangan

tersebut

diatas,

maka

sudahlah

menjadi

tanggungjawab kita bersama, terutama sebagai tenaga pendidik. Untuk itulah penulis
tertarik menulis dengan judul Tantangan Pelatihan bagi Aparatur Sipil Negara

KERANGKA TEORI

A.

Pelatihan Yang Kita Perlukan


Aparatur Sipil Negara adalah keseluruhan lembaga dan pejabat negara serta

pemerintahan. Aparatur negara dan pemerintahan sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat. Aparatur negara bertugas dan bertanggung jawab atas penyelenggaraan
negara dan pembangunan.

Aparatur senantiasa mengabdi dan setia kepada

kepentingan akan nilai- nilai dan cita- cita perjuangan bangsa dan Negara berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (TAP MPR nomor II tahun 1998). Aparatur
Sipil Negara sebagai penyelenggara pemerintahan diberikan tanggung jawab untuk
merumuskan langkah-langkah strategis dan upaya-upaya kreatif guna mewujudkan
kesejahteraan masyarakat secara adil, demokratis dan bermartabat.

Dengan adanya Undang-Undang RI nomor 5 tahun 2014, tentang Aparatur Sipil


Negara, diharapkan mampu memperbaiki manajemen pemerintahan yang beorientasi
pada pelayanan publik karena PNS tidak lagi berorientasi melayani atasannya,
melainkan masyarakat. Aturan ini menempatkan PNS sebagai sebuah profesi yang
bebas dari intervensi politik dan akan menerapkan sistem karier terbuka yang
mengutamakan prinsip professionalisme yang memiliki kompetensi, kualifikasi, kinerja,
transparansi, objektivitas, serta bebas dari KKN yang berbasis pada manajemen
Aparatur Sipil Negaradan mengedepankan sistem merit menuju terwujudnya birokrasi

322

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pemerintahan yang professional (//pemerintah.net/uu-Aparatur Sipil Negara-aaratursipil-negara/tgl 3 Juli 2015 jam 10.25).

Tantangan yang dihadapi Aparatur Sipil Negara hingga saat ini antara lain,
adanya peluang penyalah gunaan wewenang/kekuasaan yang akan merugikan negara
dan masyarakat, mafia hukum, menghadapi persaingan global yang semakin
kompleks, dan berbagai masalah krusial lain. Pada saat ini untuk mewujudkan
Aparatur Sipil Negara yang bisa dipertanggung jawabkan, reformasi aparatur perlu
dilaksanakan secara terus-menerus dengan ditopang oleh motivasi untuk mencari cara
yang lebih efektif dan efisien. (Efendi,2008).

Keberhasilan dan berdaya gunanya suatu organisasi, dapat dilihat pada salah
satu aspek yang terkandung di dalamnya, yaitu kualitas sumber daya manusia. Untuk
mencapai keberhasilan tersebut, maka pengelolaan organisasi yang baik dan benar
pada suatu institusi pemerintahan tentunya sangat tergantung kepada Aparatur Sipil
Negaradalam hal ini aparatur yang mewakilinya yang tidak dapat dipegang oleh
sembarang orang, karena memerlukan persiapan dengan melalui pendidikan dan
pelatihan yang memadai. Aparatur Sipil Negara diharapkan dapat memberikan
pelayanan yang baik manakala memiliki semangat kerja, budaya dan etos kerja, serta
motivasi tinggi, yang konsisten di dijalankan bagi kepentingan masyarakat luas.

Menyikapi situasi dan kondisi pemerintah Indonesia saat ini yang banyak
menghadapi permasalahan kompleks, tidak lepas dari kualitas moral dan perilaku
(karakter) para aparat birokasi yang mengawakinya. Seperti diketahui hampir semua
bidang

di Institusi / lembaga pemerintah cenderung

cukup banyak

terjadi

penyalahgunaan wewenang baik untuk kepentingan pribadi maupun kelompoknya.


Paska pemerintahan Orde Baru khususnya pada masa reformasi, telah mebawa
dampak sosial, politis dan perekonomian yang mengkhawatirkan bagi kesehatan
kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga dalam kurun waktu 10 tahun
belakangan ini, pemerintah telah menggalakkan perlu dilakukan reeformasi birokrasi.

Aparatur pemerintah yang professional, menurut Setiabudi dalam Jurnal


Perencanaan Pembangunan 9 hal 7-9, sedikitnya terdapat lima ciri sebagai prinsip
utama yang harus dipenuhi untuk bisa mewujudkan pmerintahan yang bersih dan

323

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

berwibawa. Sedikitnya ada 5 kriteria good public governace, sebagai prinsip yang
saling terikat, yaitu:
1.

Akuntabilitas ialah kewajiban untuk bertanggungjawab,(accountability)

2.

Keterbukaan dan transparan (openness and transparency)

3.

Ketaatan pada aturan hukum

4.

Komitmen yang kuat untuk bekerja bagi kepentingan bangsa dan Negara dan
bukan kelompok atau individu

5.

Komitmen

untuk

mengikutsertakan

dan

memberi

kesempatan

kepada

masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan


Dalam Undang- Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,
kehadiran UU ASN ini berdasarkan pada 2 hal yakni, pertama memantapkan aparatur
sebagai abdi negara yang melayani kepentingan publik. Aparatur Sipil Negara,
diharapkan mampu memperbaiki manajemen pemerintahan yang beorientasi pada
pelayanan publik, sebab PNS tidak lagi berorientasi melayani atasannya, melainkan
masyarakat Sehingga diperlukan birokrat yang professional dan memiliki integritas
serta memiliki kompetensi dibidangnya. Kedua adalah masih identiknya birokrasi yang
bekerja untuk kepentingan politik. Kedua hal itu menjadi , daya dorong untuk
melakukan perubahan terhadap tatanan birokrasi melalui UU ASN yaitu perubahan
dalam

sistem,

manajemen,

rekruitmen

dan

budaya

pegawai

negeri

sipil

(//pemerintah.net/uu-Aparatur Sipil Negara-aparatur-sipil-negara/ tgl 3 Juli 2015 jam


10.25 WIB)

Sedangkan tujuan utama UU ASN yang handal

adalah Independensi dan

netralitas, dimana Aparatur Sipil Negara dilindungi dari kepentingan politis dengan
adanya system merit protection. Kompetensi, hal yang dinilai dari Aparatur Sipil
Negara adalah kemampuan, keahlian, profesionalitas, dan pengalaman. Kinerja /
produktivitas kerja, Integritas, Kesejahteraan. Kualitas pelayanan public, pengawasan
dan akuntabilitas (pemerintahan.net/uu-Aparatur Sipil Negara-aparat-sipil Negara/tgl
15 Juni 2004)

Undang- Undang ASN inilah merupakan benteng yang membekali para Aparatur
Sipil Negara untuk menjalankan revolusi mental seperti yang disampaikan Yudi Latif
(Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan dalam kompas tgl 21 Agustus 2014 hal 6)
disampaikan bahwa begitu terang benderang bahwa krisis mentalitas merupakan akar

324

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

tunjang dari krisis kebangsaan. Bisa dipahami apabila pesan lagu kebangsaan lebih
mendahulukan pembangunan jiwa dari pada raga. Celakanya, perhatian yang
berlebihan terhadap investasi material membuat kita mengabaikan investasi mental.

Substansi Pelatihan Aparatur Sipil Negara memiliki dua unsur. Pertama,


kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Aparatur Sipil Negara yang
terdiri atas berbagai suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa
Aparatur Sipil Negara dalam menghapuskan segala bentuk pensubordinasian,
penjajahan, dan penindasan dari bumi Aparatur Sipil Negara. Semangat dari dua
substansi tersebutlah yang kemudian tercermin dalam Sumpah Pemuda dan
Proklamasi serta dalam Pembukaan UUD 1945.

Usaha mengubah mentalitas bangsa tidak bisa ditempuh secara mudah dan
waktu singkat. Misi revolusi mental harus dilakukan secara terencana, bertahan, dan
terstruktur, yang secara sinergis mentrasformasikan metalitas-karakter bangsa menuju
kemandirian dalam ekonomi, kedaulatan dalam politik, dan berkepribadian dalam
kebudayaan. Betapapun hal ini merupakan proyek raksasa yang maha berat, tetapi
kita tak boleh kehilangan optimisme. Dengan semangat gotong royong, kita bisa atasi
segala rintangan. Mempertahankan Negara buat selama-lamanya itu tidaklah mudah.
Aparatur Sipil Negara diharapkan dapat memberikan pelayanan yang baik manakala
memiliki semangat kerja, budaya dan etos kerja, serta motivasi tinggi, yang konsisten
di dijalankan bagi kepentingan masyarakat luas

Di sisi lain, bahwa aspek pendidikan dan pelatihan menjadi hal sangat utama
(mutlak) untuk meningkatkan kualitas Aparatur Sipil Negara dan sekaligus sebagai
proses investasi jangka panjang (Efendi, Taufiq, 2008). Dengan adanya pendidikan
dan pelatihan, maka akan didapatkan Aparatur Sipil Negara yang berkualitas.
B.

Hasil/ Realita yang ada


Pengembangan dan Pelatihan yang diadakan untuk Aparatur Sipil Negara sudah

banyak dilakukan, walau harus diakui hal tersebut belumlah merata. Masih banyak
yang tidak memiliki kesempatan pendidikan dan pelatihan.

Tujuan utama UU ASN adalah:

325

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

1. Independensi dan netralitas, dimana Aparatur Sipil Negara dilindungi dari


kepentingan politis dengan adanya system merit protection.
2. Kompetensi, hal yang dinilai dari Aparatur Sipil Negara adalah kemampuan,
keahlian, profesionalitas, dan pengalaman.
3. Kinerja / produktivitas kerja
4. Integritas
5. Kesejahteraan
6. Kualitas pelayanan publik
7. pengawasan dan akuntabilitas (pemerintahan.net/uu-Aparatur Sipil Negaraaparat-sipil Negara/tgl 15 Juni 2004)
Undang-Undang Aparatur Sipil Negara inilah merupakan benteng yang
membekali para Aparatur Sipil Negara untuk menjalankan revolusi mental seperti yang
disampaikan Yudi Latif (Pemikir Kebangsaan dan Kenegaran dalam kompas tgl 21
Agustus 2014 hal 6) disampaikan bahwa begitu terang benderang bahwa krisis
mentalitas merupakan akar tunjang dari krisis kebangsaan. Bisa dipahami apabila
pesan lagu kebangsaan lebih mendahulukan pembangunan jiwa dari pada raga.
Celakanya, perhatian yang berlebihan terhadap investasi material membuat kita
mengabaikan investasi mental.
KESIMPULAN

Dalam membangun ide pelatihan secara utuh memerlukan pemahaman dan


organisasi berbasis gerakan untuk bertransaksi secara sosial dengan masyarakat,
sehingga pada akhirnya terjadi interaksi kuat antara organisasi dan massa dalam satu
ide, yaitu Pelatihan. Aparatur Sipil Negara yang handal dalam melaksanakan tugas
sebagai Aparatur Sipil Negara harus mampu menjalankan revolusi mental dengan
menjalankan tuntunan kehidupan beragama secara benar, selalu memiliki komitmen
dalam melayani masyarakat sehingga tercipta good governance disetiap organisasi
akan bisa dicapai melalui kesadaran diri Aparatur Sipil Negara yang mempunyai etos
kerja yang baik sudah barang tentu akan menghasilkan kinerja yang baik, sehingga
akan didapatkan Aparatur Sipil Negara yang professional.

Aparatur

Sipil

Negara

dalam

menjalankan

revolusi

mental

harus

membentengidengan cara mewarisi nilainilai kepahlawanan kemerdekaan para

326

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pendahulu kita ditambah nilai- nilai moral kehidupan beragama yang diamalkan
dengan secara benar dan konsisten. Hal ini diharapkan akan dapat memberikan
pelayanan yang lebin baik manakala memiliki semangat kerja, budaya dan etos kerja,
serta motivasi yang tinggi.

Petunjuk operasional revolusi mental melalui aspek pendidikan dan pelatihan,


merupakan hal yang sangat utama sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas
Aparatur Sipil Negara dan sekaligus sebagai proses investasi jangka panjang, bagi
peningkatan kinerja Aparatur Sipil Negara dalam menghadapi tantangan internal
bangsa dan persaingan global.

Pada akhir tulisan ini, marilah kita sebagai Sumber Daya Manusia yang handal
dalam melaksanakan tugas sebagai Aparatur Sipil Negara harus mampu menjalankan
revolusi mental dengan menjalankan tuntunan kehidupan beragama secara benar,
selalu memiliki komitmen

dalam melayani masyarakat sehingga tercipta good

governance disetiap organisasi akan bisa dicapai melalui kesadaran diri Aparatur Sipil
Negara yang mempunyai etos kerja yang baik sudah barang tentu akan menghasilkan
kinerja yang baik, sehingga akan didapatkan Aparatur Sipil Negara yang professional.

Aparatur Sipil Negara dalam menjalankan revolusi mental harus membentengi


dengan cara mewarisi nilai nilai kepahlawanan kemerdekaan para pendahulu kita
ditambah nilai- nilai moral kehidupan beragama yang diamalkan dengan secara benar
dan konsisten. Hal ini diharapkan akan dapat memberikan pelayanan yang lebin baik
manakala memiliki semangat kerja, budaya dan etos kerja, serta motivasi yang tinggi.

Petunjuk operasional revolusi mental melalui aspek pendidikan dan pelatihan,


merupakan hal yang sangat utama sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia dan sekaligus sebagai proses investasi jangka panjang, bagi
peningkatan kinerja aparatur negara dalam menghadapi tantangan internal bangsa dan
persaingan global.

327

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

DAFTAR PUSTAKA

http://www.kabarAparatur;
Negara.com/berita.php?pil=8&jd=Pengaruh+Globalisasi+Terhadap+NilaiNilai+Pelatihan&dn=20090607183541
http://suarapembaca.detik.com/read/2008/08/28/173328/996440/471/PelatihanAparatur Sipil Negara
http://id.wikipedia.org/wiki/Pelatihan
Undang-Undang No 5 Tahun 2009 tentang Aparatur Sipil Negara
Effendi, Taufiq, 2008, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada Seminar
Pembangunan Sumber Daya Manusia Aparatur Negara, Makalah,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Setio Budi,1997: Jurnal Perencanaan Pembangunan, Nomor 17,Oktober.
pemerintahan.net/uu-Aparatur Sipil Negara-aparat-sipilNegara/tgl 15 Juni
2004
pemerintah.net/uu-Aparatur Sipil Negara-aparatur-sipil-negara/tgl 3 Juli 2015
jam 10.25

328

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

KAJIAN PELAKSANAAN VAT REFUND FOR TOURIST


DI INDONESIA DAN SINGAPURA

Muhammad Taufiq Budiarto


Widyaiswara MudaPusdiklat Pajak
Gedung Widyaiswara, Jl. Sakti Raya No.1, Jakarta Barat

(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstract:The Indonesian government has issued a fiscal policy since April 1, 2010 in
order to inccrease national revenue by supporting tourism promotion activities. Support
are given through the fiscal side in the form of a tax refund (VAT refund) for foreign
tourists who have spent their money in tax refund service areas such as Denpasar,
Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, and Medan. The mechanism of VAT Refund for
tourists in Indonesia is conducted by Government Process Model (GPM) fully, which
Directorate General of Taxation (DGT) endorse and gives direct payments in airports to
tourists who claim their VAT refund. The VAT Refund can also be done with other
methods as in the case of Singapore. This paper gives an overview, evaluation and
policy analysis related to the government tax refund using the Government Process
Model (GPM) in Indonesia and Refund Process Model Operator (ROPM) in Singapore.
It will also show many advantages and disadvantages that each of the methods have.

Keywords: Vat refund, turis asing, Government Process Model (GPM), Indonesia,
Refund Process Model Operator (ROPM), Singapore.
Corresponding author: Muhammad Taufiq Budiarto E-mail: taufiqbudiarto@yahoo.com

PENDAHULUAN

Tantangan pariwisata ke depan akan mengalami kesulitan karena prediksi


ekonomi akan terjadi pelemahan ekonomi. Sehingga untuk mengupayakan agar terjadi
peningkatan kunjungan wisatawan asing diperlukan kebijakan pemerintah guna
mendukung kunjungan wisatawan dimaksud termasuk kebijakan Vat refund yang telah
dilakukan pertama kali pada 1 April 2010. Disadari bahwa kebijakan ini akan

329

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

menimbulkan potential loss atau penurunan pendapatan negara dari pajak, tetapi
dalam jangka panjang kebijakan ini akan meningkatkan penerimaan pemerintah
terutama dari Pajak Penghasilan (PPh).
Untuk itu guna mendorong peningkatan jumlah wisatawan asing yang
berkunjung ke Indonseia maka dari sisi kebijkan fiskal pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan tax refund yang tertuang dalam Undang-undang nomor 42 tahun 2009.
Kebijakan ini diharapkan dapat menarik wisman sekaligus mendorong minat wisman
berbelanja di Indonesia. Dampak ini tentu saja akan mempunyai nilai positif terhadapat
perkembangan ekonomi lokal dan menumbuhkan industri kreatif lainnya di tanah air.
Dalam pelayanan VAT refund baru ada 5 bandara yang dapat melayani fasilitas
tersebut.

Bandara tersebut adalah Bandara Internasional yaitu Bandara

Sukarno

Hatta Jakarta dan Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar, Bandara Internasional
Adi Sutjipto Yogyakarta, Bandara Internasional Juanda Surabaya dan Bandara
Internasional Polonia Medan. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut maka telah di
laksanakan mekanisme pengembalian PPN kepada turis asing dengan Government
Process Model (GPM) sepenuhnya, dimana Direktorat Jenderla Pajak (DJP)
melaksanakan endorsement dan pembayaran secara langsung di bandar udara
kepada turis yang meminta pengembalian PPN. Untuk melakukan evaluasi atas
kebijakan tersebut penulis tertarik membuat kajian tentang kelebihan dan kekurangan
metode ini. Dan sebagai pembanding maka penulis akan memaparkan metode yang
digunakan Negara terdekat kita yaitu negara Singapore.
Seperti kita ketahui tujuan utama turis Indonesia dikenal memiliki hobi belanja
dan wisata keluar negeri adalah ke Singapore selain ke negara Malaysia atau Thailand
atau negara asia lainya bahkan sampai eropa dan amerika.
Metodologi
A. Metode Penelitian

Metode yang digunakan untuk menganalisis dan mengevaluasi penerapan


kebijakan tax refund di Indonesia adalah metode atau pendekatan deskriptif.
Pendekatan deskriptif eksploratif (Philip, Kotler & Kevin L. Keller, 2006) adalah
metode penelitian yang bertujuan menghimpun informasi awal yang akan
membantu

upaya

menetapkan

masalah

330

dan

merumuskan

pemecahan

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

masalahnya. Sedangkan pendekatan deskriptif adalah metode penelitian yang


bertujuan memaparkan (mendeskripsikan) berbagai hal. Jadi pendekatan ini
bertujuan untuk mendalami, mengevaluasi dan menganalisis kebijakan penerapan
VAT refund di Indonesia, termasuk membandingkan dengan penerapan tax refund
dari negara lain.
Dalam mengevalusasi dan menganalisis penambahan pelayanan

pada

beberapa bandara yang perlu dilakukan dalam fasilitas tax refund diperlukan data
kedatangan jumlah wisman. Demikian juga dilihat potensi perkembangan daerah
serta ekonomi daerah yang bersangkutan. Sedangkan peningkatan fasilitas,
teknologi dan pelayanan tax refund serta infrastruktur yang diperlukan dapat
mencontoh penerapan (lesson learn) dari negara lain.
Adapun bahan-bahan penulisan berasal dari berbagai sumber dan data
sekunder. Demikian juga informasi didapat dari penggalian beberapa informasi
yang berasal dari berbagai sumber, bahan seminar, makalah serta didukung pula
dengan kajian pustaka.

B. Ketentuan dan Perundang-undangan VAT Refund Bagi Turis Asing di


Indonesia
Dalam rangka menarik orang pribadi pemegang paspor luar negeri untuk
berkunjung ke Indonesia, kepada orang pribadi tersebut diberikan insentif
perpajakan. Insentif tersebut berupa pengembalian Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang sudah dibayar
atas pembelian Barang Kena Pajak di Indonesia yang kemudian dibawa oleh
orang pribadi tersebut ke luar Daerah Pabean.
Barang Kena Pajak yang dibeli dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum
orang pribadi pemegang paspor luar negeri meninggalkan Indonesia dianggap
akan dikonsumsi di luar Daerah Pabean. Oleh karena itu, Faktur Pajak yang dapat
digunakan sebagai dasar untuk meminta kembali Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dipersyaratkan hanya untuk Faktur Pajak
yang diterbitkan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum orang pribadi
pemegang paspor luar negeri tersebut meninggalkan Indonesia.
Bagi orang pribadi pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Faktur Pajak yang dapat dipergunakan untuk

331

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

meminta kembali PPN dan Pajak Penjualan atas barang Mewah harus
mencantumkan identitas berupa nama, nomor paspor, dan alamat lengkap orang
pribadi tersebut di negara yang menerbitkan paspor.
Tax Refund bagi wisatawan asing di Indonesia diatur pada Pasal 16E UU
nomor 42 Tahun 2009, yang menyebutkan bahwa:
1.

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
sudah dibayar atas pembelian barang kena pajak yang dibawah ke luar
Daerah Pabean oleh orang pribadi paspor luar negeri dapat diminta kembali.

2.

Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang
dapat diminta kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (1)harus
memenuhi syarat :
a)

Nilai Pajak Pertambahan Nilai paling sedikit Rp 500.000 (lima ratus ribu
rupiah) dan dapat disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah.

b)

Pembelian barang kena pajak dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu)


bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean, dan

c)

Semua Faktur pajak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud


dalam pasal 13 (5), kecuali pada kolom Nomor Pokok Wajib Pajak dan
alamat pembeli diisi dengan nomor paspor dan alamat lengkap di
negara yang menerbitkan paspor atas penjualan kepada orang pribadi
pemegang paspor luar negeri yang tidak mempunyai NPWP.

3.

Permintaan kembali Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan


atas Barang Mewah (PPnBM) sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada saat orang pribadi pemegang paspor luar negeri
meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak
melalui Kantor Direktur Jenderal Pajak.

4.

Dokumen yang harus ditunjukkan pada saat meminta kembali Pajak


Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas barang Mewah adalah :
a.

Paspor

b.

Pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan orang pribadi


sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke luar Daeah Pabean.

c.

Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada (2) huruf c.

332

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

5.

Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian permintaan


kembali PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.

Sejak 1 April 2010, untuk Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri
(selanjutnya diistilahkan sebagai Wisatawan Mancanegara atau Turis Asing) yang
berbelanja barang yang dikenakan PPN (Barang Kena Pajak) di Daerah Pabean,
apabila barang tersebut dibawa pulang ke negara asalnya (keluar Daerah Pabean),
maka PPN yang telah dibayarkannya pada saat pembelian barang tersebut dapat
dimintakan kembali (diistilahkan sebagai Value Added Tax Refund). Ketentuan
mengenai Value Added Tax Refund ini diatur dalam Pasal 16E Undang-Undang PPN
Nomor 42 Tahun 2009. Turis Asing yang dapat memperoleh Tax Refund ini serta
bagaimana mekanisme proses Tax Refund diatur dalam Pasal 16E ayat (2), ayat (3),
ayat (4) UU PPN dan aturan pelaksanannya adalah Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 76/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-20/PJ/2010 tanggal 31 Maret 2010, secara garis besar ketentuan
mengenai pemberian Tax Refund kepada Wisman (Turis Asing) adalah sebagai
berikut :
a.

Pengembalian

PPN

bagi

wisatawan

asing

hanya

berlaku

untuk

pembelanjaan pada toko yang sudah ditunjuk.


b.

Hanya boleh dilakukan oleh wisatawan asing yang datang ke Indonesia


dalam jangka waktu tidak lebih dari 2 (dua) bulan serta memiliki paspor
luar negeri.

c.

Hanya boleh dilakukan untuk pembelian dalam jangka waktu 1 (satu) bulan
sebelum yang bersangkutan meninggalkan Indonesia.

d.

Diberikan jika wisatawan asing menunjukkan barang yang dibelinya


tersebut.

e.

Wisatawan asing hanya dapat meminta tax refund untuk pembelian barang
yang jumlah PPN minimal Rp 500.000,00 dengan meminta Faktur Pajak
Khusus (bentuk Faktur Pajak Khusus dapat dilihat di Lampiran
76/PMK.03/2010) dari toko yang ditunjuk.

333

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sampai saat ini, Direktur Jenderal Pajak telah menetapkan sejumlah toko yang
ditunjuk untuk dapat mengeluarkan Faktur Pajak dalam penyerahan Barang Kena
Pajak kepada Turis Asing, sehingga mereka dapat melakukan proses Tax Refund.
Toko yang telah ditunjuk telah tersebar di Jakarta, Tangerang, Bali, Yogyakarta,
Surabaya dan Medan. Proses pemberian Tax Refund saat ini juga hanya dilakukan di
Bandar Udara (bandara) khusus yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Sampai
dengan saat ini Bandara yang telah ditetapkan sebagai tempat untuk memproses Tax
Refund adalah:
1) Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang (Keputusan Menteri
Keuangan No. 141/KMK.03/2010)
2) Bandara Internasional Ngurah Rai, Denpasar (Keputusan Menteri
Keuangan No. 141/KMK.03/2010)
3) Bandara Internasional Adisutjipto, Yogyakarta (Keputusan Menteri
Keuangan No. 427/KMK.03/2010)
4) Bandara Internasional Juanda, Surabaya (Keputusan Menteri Keuangan
No. 287/ KMK.03/2011)
5) Bandara Internasional Polonia, Medan (Keputusan Menteri Keuangan
No.287/ KMK.03/2011)

Hasil

Sehubungan dengan pelaksanaan VAT Refund di Indonesia yang mulai berlaku


sejak 1 April 2010 dan hasil studi pelaksanaan GST Refund di Singapura disampaikan
hal-hal sebagai berikut:
1.

Vat Refund untuk turis di Indonesia dilaksanakan dengan Government Process


Model

(GPM)

sepenuhnya,

dimana

Direktorat

Jenderla

Pajak

(DJP)

melaksanakan endorsement dan pembayaran secara langsung di bandar udara


kepada turis yang meminta pengembalian PPN. Pembayaran PPN dilakukan
secara kas ataupun transfer sesuai besarnya PPN yang dikembalikan dan turis
tidak dikenakan biaya administrasi oleh DJP, sehingga jumlah yang diterima turis
adalah total sejumlah PPN yang dikembalikan, kecuali dalam hal transfer, maka
jumlah pengembalian PPN dikurangi biaya transfer yang dikenakan oleh Bank

334

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

yang merupakan fee atas transaksi keuangan tersebut. Skema VAT Refund di
Indonesia adalah sebagai berikut:
Bayar PPN

PKP

Lapor SPT Masa


PPN paling lambat
akhir Masa Pajak
berikutnya

Konsumen

Pembayaran
PPN kepada
Tourists

SP2D

DJP

KPPN
Dalam Hal
Restitusi :
SKPKPP &
SPMKP

2.

VAT Refund untuk turis dapat juga dilakukan dengan metode yang berbeda
dengan government process model, sebagaimana yang terjadi di Singapura,
yang menggunakan 2 model, yaitu:
a. Retailer Operated Scheme (ROS)
Pada model ini, setelah turis mendapatkan endorsement dari petugas Bea
dan Cukai di bandara dan meminta pengembalian PPN kepada toko retail,
toko retail membayarkan PPN tersebut kepada turis, selanjutnya toko retail
mengurangkan jumlah yang dibayar tersebut dalam pembayaran SPT
Masa PPN yang akan disampaikan. Jumlah pajak yang dikembalikan oleh
toko retail kepada turis dikurangi biaya administrasi yang dikenakan oleh
toko retail. Sebagai catatan metode ROS ini sudah semakin ditinggalkan
karena dinilai tidak efisien.
b. Central Refund Agency (CRA)
Turis, setelah mendapatkan endorsement dari petugas Bea dan Cukai di
Bandara, langsung menerima pembayaran dari CRA (Global Blue) secara
tunai, cheque, atau melaui kartu kredit, dengan dikenakan biaya
administrasi sebesar 10% s/d 20% oleh CRA. Selanjutnya CRA akan
meminta kembali pengembalian pajak tersebut dengan 2 opsi:

335

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

1)

Kepada otoritas pajak (IRA), melalui SPT PPN yang restitusinya akan
diproses dengan jangka waktu maksimal 1 (satu) bulan, atau;

2)

Kepada toko retail, untuk selanjutnya toko retail akan mengurangkan


jumlah tersebut dalam pembayaran pajak pada SPT PPN.

Skema pengembalian dengan model ROS dan CRA adalah sebagai berikut:
a.

Skema ROS

1. Skema ROS
Payment,
Including GST

Retailer

TOURISTS

Verification and
endorsement
Goods
+ invoice

2
Invoice endorsed
(by mail/drop box)

4
GST return
Minus GST
refunded

Customs
At Changi

Refunded Cheque
(by mail)

IRA

b.

Skema CRA model 1

Skema Refund Operator Process (CRA 1)


Verification and
endorsement

Payment,
Including GST

Retailer

TOURISTS

1
Goods
+ invoice

GST return
(normal)

Invoice endorsed
by CUSTOMS

Refund is:
-Cash
-Cheque
-- Credit Card

GST
Returned

Tax Office

4
Payment of GST
refunded

336

Refund
Provider

Customs/
DJP

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

c.

Skema CRA model 2

Skema Refund Operator Process (CRA 2)


Verification and
endorsement

Payment,
Including GST

Retailer

TOURISTS

Goods
+ invoice
Invoice endorsed
by CUSTOMS

GST return
(restitusi)

DJP

Refund is:
-Cash
-Cheque
-- Credit Card

Tax Office

Payment of GST
refunded

Refund
Provider

Diskusi

Berdasarkan hasil kajian dan sharing dengan pihak terkait selama penulis
bertugas di Direktorat Peraturan Perpajakan I (Subdit PPN) Kantor Pusat
Direktorat Jenderal Pajak , dan juga dengan peserta diklat baik DTSD maupun
DTSS, maka dapat di sampaikan kekurangan dan kelebihan masing masing
metode sebagai berikut :

Keterangan
Kelebihan

Government Process
Model
1. Pembayaran

Refund Operator
Refund Operator
Process Model 1
Process Model 2
1. Mengurangi beban 1. Mengurangi
beban

melalui mekanisme

kerja dan SDM DJP

kerja dan SDM DJP

cash atau transfer,

untuk

untuk menangani hal

dikembalikan 100%

hal tersebut, karena

tersebut,

tanpa

hanya

berperan

hanya berperan dalam

Lebih

dalam

memeriksa

menguntungkan

barang bawaan dan

bawaan

bagi turis asing

mengendors;

mengendors;

potongan.

337

menangani

memeriksa

karena

barang
dan

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Keterangan

Government Process
Refund Operator
Refund Operator
Process Model 1
Process Model 2
Model
2. DJP
dapat 2. Adanya
berbagai 2. Adanya
berbagai
memantau
online

secara

bentuk

setiap

promosi

bentuk

promosi

kepariwisataan

kepariwisataan

transaksi turis asing

yang dilakukan oleh

dilakukan oleh refund

di Toko Retail dan

refund

operator,

pengembalian yang

karena layanan ini

layanan

dilakukan

bersifat

seluruh dunia;

di

bandara;

operator,

seluruh

dunia;

yang

karena
ini

bersifat

3. Tersedianya

3. Tersedianya

pembayaran

dalam

pembayaran dalam

bentuk lain yang juga

bentuk

bersifat on the spot.

lain

yang

juga bersifat on the


spot.
Kekurangan

1. Promosi

1. Tidak

sesuai 1. Adanya

kepariwisataan

dengan

ketentuan

berjalan lambat di

karena

refund

bervariasi

banding

operator

bukan

negara,

Refund

Operator;

PKP;

2. Terbatasnya

pembayaran
dilakukan

yang
di

asing

bervariasi di setiap

kecil;

yang

diterima

kembali

turis

asing

menjadi lebih kecil;


3. DJP

memerlukan

pengawasan
terhadap

lebih
kinerja

Refund Operator;
4. Jangka

waktu

pengembalian PPN
yang singkat tidak

338

di

setiap

oleh

turis

menjadi

lebih

sehingga 2. DJP

jumlah

oleh

besarnya

sehingga

kembali

fee yang besarnya

negara,

bandara;

yang

jumlah yang diterima

2. Adanya commission

mekanisme

fee

commission

memerlukan

pengawasan
terhadap

lebih
kinerja

Refund Operator;

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Keterangan

Government Process
Model

Refund Operator
Process Model 1
dapat
diakomodir
dengan

Refund Operator
Process Model 2

ketentuan

yang ada sekarang.

SIMPULAN

Sehubungan dengan hal tersebut maka dapat diambil kesimpulan dan


rekomendasi sebagai berikut:
a. Kesimpulan:
1) Pada dasarnya baik Government Process Model (GPM) yang diterapkan di
Indonesia maupun Refund Operator Process Model (ROPM) yang
diterapkan di Singapura memiliki kelebihan dan kekurangan masingmasing. Secara umum GPM memiiki kelebihan yaitu tidak ada biaya
administrasi yang dibebankan kepada turis dan sistem pengawasan yang
baik (on line) terhadap toko retail dalam pelaksanaan pengembalian di
bandara. Sedangkan kekurangannya adalah kurang lengkapnya pelayanan
bagi turis.
2) ROPM secara umum memiliki kelebihan yang mendasar berupa dukungan
promosi kepariwisataan bagi Indonesia. Sedangkan kelemahan yang
mendasar dalam penerapan ROPM di Indonesia adalah:
a) Dari sisi ketentuan, refund operator pada dasarnya bukan Pengusaha
Kena Pajak (PKP) sehingga mekanisme ROPM 1 tidak memiliki
landasan hukum yang kuat.
b) Jika Refund Operator adalah PKP maka proses pengembalian PPN
melalui

restitusi

belum

memungkinkan

secara

ketentuan

untuk

dilaksanakan secara singkat, misalnya 5 (lima) hari seperti di Singapura.


c) Perlu diatur pengawasan untuk refund operator dan toko retailer karena
diluar sistem DJP.
3) Dalam hal RO/CRA ini melalui mekanisme penunjukkan langsung maka
harus menyesuaikan dengan ketentuan tentang persaingan usaha;

339

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

b. Rekomendasi:
1) Tetap menggunakan GPM existing; atau
2) Dalam hal diterapkan ROPM, namun dengan kondisi sebagai berikut:
a) Refund Operator langsung mengajukan pengembalian ke KPPN
mengingat dokumen yang sudah di endorse oleh petugas DJP pada
dasarnya dapat dipersamakan sebagai SPMKP.
b) ROPM diterapkan bersama GPM sehingga turis memilik pilihan.
c) Sistem on line antara toko retail dengan DJP tetap dipertahankan.

Skema Refund Operator Process Modified


Verification and
endorsement

Payment,
Including GST

Retailer

TOURISTS

Goods
+ invoice

Tax Office

Customs/
DJP

Refund is:
-Cash
-Cheque
-- Credit Card

3
GST return
(normal)

Invoice endorsed
by CUSTOMS

GST
Returned
Refund
Provider

KPPN

Payment of GST
refunded

3. Disamping hal-hal tersebut, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan dalam
rangka lebih mengefektifkan pelaksanaan VAT Refund, dengan tujuan untuk
mendorong wisatwan mancanegara semakin banyak berbelanja di Indonesia, yaitu:
a. Mengubah batasan pengembalian yang berlaku sekarang yaitu untuk nilai PPN
minimal Rp 500.000,- agar menjadi lebih kecil sesuai dengan benchmarking di
Singapura.
b. Tidak membatasi jumlah toko retail

yang berpartisipasi dalam skema VAT

Refund, tapi hanya menetapkan kriteria agar suatu toko dapat masuk ke dalam
skema VAT Refund.

340

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Daftar Pustaka
Agung, Mulyo, Teori dan Aplikasi Perpajakan Indonesia, Penerbit Dinamika Ilmu,
Jakarta, 2007 Hadinoto, Kusudianto. Perencanaan dan Pengembangan
Destinasi Pariwisata, UI Press Jakarta, 1996 Ilyas, B. Wirawan, Suhartono,
Rudy, Panduan Komprehensif dan Praktis Pajak Penghasilan, Lembaga
Penerbit FEUI, Jakarta, 2007 Kodyat, H. , Sejarah Pariwisata dan
Perkembangannya di Indonesia, Liberty, Jakarta, 1996
Observation & Research of Taxation (ORTAX), Susunan Dalam Satu Naskah 9
st

(Sembilan) Undang-Undang Perpajakan, The 1

Indonesia Tax Community

Media (http://www.ortax.org), 2009.


Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 dan
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2010 tanggal 31 Maret
2010 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permintaan Kembali
Pajak Pertambahan Nilai Barang Bawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor
Luar Negeri.

341

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Budaya Kerja Inovasi Dalam Organisasi Pemerintah


The Work Culture of Innovation In Government Organization
Artie Pramita Aptery
Widyaiswara Ahli Muda Balai Diklat Badan Narkotika Nasional
Jl. Mayjen H.R. Edi Sukma Km 21 Lido, Bogor, Jawa Barat
Telepon : 0251-8222244 Fax : 0251-8222260
(Diterima 16 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstract Entering globalization and MEA, Indonesia must improve the competence in
order to can compete and to answer the challenges of the future especially in
government organizations. It is important to realize good governance. So government
organizations must changes and reform to build positive work culture especially to
develop work culture of innovation. Build innovation in government organizations has
become a global phenomenon. In Indonesia it is marked by The Bureaucratic Reforms.
Therefore, government organizations should also be clean and build a positive work
culture, especially the work culture of innovation in order to form the civil servant that is
able to compete, competitive so as to realize a good government organization. This
paper use quantitative research methods. With the aim to understand the work culture
of innovation practices and to explore some inhibiting factors also supporting factors
that encourage innovation practices work culture in government organizations.

Keywords: Work Culture, Innovation, Government Organization


Corresponding author : Artie Pramita Aptery, artiepramita@gmail.com, 082112980274

Pendahuluan
Di era globalisasi saat ini dengan diberlakukannya MEA pada negara negara
ASEAN, penting bagi Indonesia untuk dapat bersaing serta mewujudkan organisasi
pemerintahan yang baik. Merujuk pada penilaian yang dilakukan oleh Bank Dunia
bahwa Indonesia masih dibawah dibanding dengan negara lain. Adapun kondisi
birokrasi saat ini (menurut Waluyo, KASN, 2015) antara lain : Corruption Perception
Index juga di posisi rendah. Score 3,4 dari skala 0 10 ; Manajemen Kinerja

342

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pelaksanaannya lemah, Pelayanan Publik masih sering dikeluhkan serta masih adanya
pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Pejabat Publik. Dalam The Global
Competitiveness Report 2015-2016 yang dikeluarkan oleh Forum Ekonomi Dunia
(WEF) dilaporkan pula bahwa daya saing Indonesia pada tahun 2015 berada di posisi
37 dunia, atau turun 3 peringkat dibandingkan tahun lalu. Sementara Swiss,
Singapura, dan Amerika Serikat masih menjadi penghuni 3 besar negara paling
berdaya saing di dunia pada tahun 2015.
Hal ini menunjukkan bahwa perlunya diadakan perbaikan dan perubahan dalam
organisasi pemerintah seiring dengan semakin tingginya tuntutan masyarakat.
Membangun inovasi pada organisasi pemerintah telah menjadi fenomena global. Di
Mexico, Presiden Vicente Fox mencanankan reformasi sektor publik dengan prinsip
prinsip utama : govrnment that cost less, quality government, professional government,
digital government, government with regulatory reform, honest and transparent. Di
Indonesia sendiri, dalam Pola Pikir Pencapaian Visi Reformasi Birokrasi yang tertuang
di Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand
Design Refromasi Birokrasi 2010-2025 pada area perubahan ke delapan menyebutkan
perlunya perubahan pola pikir dan budaya kerja aparatur dimana diharapkan Aparatur
dapat berubah pola pikir dan budaya kerjanya.
Berbagai permasalahan birokrasi diatas juga terkait dengan budaya kerja dalam
organisasi pemerintahan sebagaimana diatur dalam pedoman pengembangan budaya
kerja aparatur negara yang dapat diidentifikasi sebagai patologi birokrasi. Kepercayaan
masyarakat yang menjadi sasaran akhir reformasi birokrasi dapat dilakukan dengan
perubahan pola pikir / mind set untuk membangun budaya kerja inovasi dalam
organisasi pemerintah.
Dengan
pembahasan

demikian
umum

permasalahan

terkait

dengan

pada

tulisan

budaya

kerja

ini

akan

inovasi

dibatasi

dalam

pada

organisasi

pemerintahan agar memahami praktek membangun budaya kerja inovasi dalam


organisasi pemerintah dan faktor faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan
inovasi dalam organisasi pemerintah.

Metodologi
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif. Menurut
Sugiono, metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian berdasarkan pada

343

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

filsafat postpositivisme yang biasa di gunakan untuk meneliti pada kondisi alamiah
dimana peneliti berperan sebagai instrumen kunci (Sugiono, 2008:15). Menurut
Sukmadinata (2005) dasar penelitian kualitatif adalah konstruktivisme yang berasumsi
bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman
sosial yang diinterpretasikan oleh setiap individu. Peneliti kualitatif percaya bahwa
kebenaran adalah dinamis dan dapat ditemukan hanya melalui penelaahan terhadap
orang-orang melalui interaksinya dengan situasi sosial mereka (Danim, 2002).
Menurut

Nawawi

dan

Martini

metode

deskriptif

adalah

metode

yang

menggambarkan keadaan suatu objek atau peristiwa tertentu berdasarkan fakta-fakta


yang tampak atau sebagaimana mestinya yang kemudian di iringi

dengan upaya

pengambilan kesimpulan umum berdasarkan fakta-fakta historis tersebut (Hadawi


Nawawi dan Mimi Martini, 1994:73). Teknik pengumpulan data kualitatif dilakukan
dengan cara pengumpulan data yang bersifat deskriptif maksudnya data berupa gejala
gejala yang di kategorikan atau dalam bentuk lainnya seperti foto, dokumen,artefak,
dan

catatancatatan

lapangan

saat

penelitian

dilaksanakan

(Jonathan

Sarwono, 2006:259). Dalam tulisan ini penulis menggunakan catatan lapangan.

Hasil Tinjauan Teori Budaya Kerja


Menurut Kamus Besar Bahasa Indoneisa (KBBI), pengertian Budaya adalah
pikiran, akal budi, adat istiadat, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sudah
sukar diubah. Menurut Koentraningrat Kebudayaan adalah keseluruhan manusia dari
kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur oleh tata kelakuan yang harus didapatnya
dengan belajar dan semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.
Budaya kerja adalah kumpulan pola perilaku diri setiap individu yang melekat
secara keseluruhan kemudian bergabung dalam sebuah organisasi. Membangun
budaya memiliki arti meningkatkan dan mempertahankan hal hal positif serta berusaha
membiasakan proses pola perilaku tertentu agar tercipta pola perilaku baru yang lebih
baik dalam suatu organisasi. Dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia
(2003), Hadari Nawawi menjelaskan bahwa Budaya Kerja adalah kebiasaan yang
dilakukan berulangulang oleh pegawai dalam suatu organisasi, dimana pelaku
organisasi secara moral telah menyepakati bahwa kebiasaan tersebut harus ditaati
dalam rangka pelaksanaan pekerjaan untuk mencapai tujuan.

344

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Adapun menurut Triguno (2004) budaya kerja adalah suatu falsafah yang
didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai nilai yang menjadi sifat, kebiasaan, dan
kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau
organisasi yang tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat
dan tindakan yang terwujud sebagai kerja atau bekerja.
Jika dihubungkan dengan organisasi, maka budaya kerja dalam organisasi
menunjukkan bagaimana nilai nilai organisasi dipelajari, ditanam, dan dinyatakan
dengan mempergunakan alat / sarana (vehicle) tertentu berkali-kali agar masyarakat
dapat mengamati dan merasakannya. Seperti Taliziduhu Ndraha menyatakan budaya
kerja merupakan sekelompok pikiran dasar atau pola pikir / mental yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan efisiensi kerja dan kerjasama manusia yang dimiliki
oleh suatu golongan.

Inovasi
Pengertian Inovasi dalam kamus Bahasa Indonesia adalah memasukkan atau
pengenalan hal-hal yang baru, penemuan baru yang berbeda dari yang sudah ada
atau yang sudah dikenal sebelumnya (gagasan, metode, atau alat). Menurut Rogers
(2003), menjelaskan bahwa inovasi adalah sebuah ide, gagasan, praktek atau objek
yang dianggap baru oleh individu satu unit adopsi lainnya. Halvorsen (2005)
menekankan 2 (dua) hal penting dari inovasi yaitu : sifat kebaruan (novelty) dari
sebuah produk dan inovasi berhubungan dengan proses pencarian aplikasi komersial
di sektor bisnis. Selanjutnya Shapiro (2002) melihat inovasi sebagai sebuah
keunggulan kompetitif dari suatu perusahaan. Berinovasi dengan melihat lima elemen
kapabilitas inovasi yaitu : strategi, pengukuran, proses, sumberdaya manusia, dan
teknologi. Sedangkan menurut Albury (2003) mendefinisikan secara sederhanan
inovasi sebagai new ideas that work. Hal ini berarti inovasi memang berhubungan erat
dengan ide baru yang bermanfaat, yang menghasilkan perbaikan signifikan dalam hal
efisiensi, efektif dan kualitas.
Robbins (2007) memfokuskan inovasi pada tiga hal utama yaitu gagasan baru
terhadap fenomena yang sedang terjadi, produk dan jasa yang siap dikembangkan dan
diimplementasikan, serta upaya perbaikan yang terus menerus sehingga bisa
dirasakan manfaatnya.

345

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Inovasi dalam dalam organisasi pemerintah ditentukan tidak hanya penciptaan


pengetahuan baru, tetapi juga mendifusi ide baru dan aplikasi pengetahuan tersebut
dalam konteks baru yang merubah metode kerja untuk memecahkan masalah
organisasi (Newell, 2002:146). Lebih lanjut Halvorsen (2005) membagi tipologi inovasi
di sektor publik ke dalam enam kelompok, yaitu : pelayanan baru atau pelayanan yang
diperbaiki, inovasi proses, inovasi administrasi, inovasi sistem, inovasi konseptual, dan
perubahan radikal. Sedangkan Hartley (2005) mengidentifikasikan tujuh jenis inovasi
adalah inovasi produk, inovasi layanan, inovasi proses (cara cara baru dimana
proses organisasi dirancang), inovasi posisi (konteks baru bagi pengguna), inovasi
strategis (tujuan baru atau tujuan organisasi), inovasi di pemerintahan (bentuk - bentuk
baru dalam pengaturan warga, dan inovasi retoris.
John Bessant and Joe Tidd, 2007, menyatakan bahwa Innovation is driven by the
ability to see connections, to spot opportunities and to take advantage of them.
Innovation is also strongly associated with growth. Innovation does make a huge
difference to organizations of all shapes and sizes. Hal ini dapat diartikan bahwa
dalam melakukan Inovasi harus dapat melihat peluang dan mengambil manfaat dari
inovasi yang telah dilakukan. Inovasi sendiri juga tidak membuat perbedaan yang
besar dari bentuk dan ukuran dalam sebuah organisasi.
Inovasi administrasi negara dapat diartikan sebagai proses memikirkan dan
mengimplementasikan kebijakan penyelenggaraan kepentingan publik yang original,
penting, dan berdampak (HIAN, LAN, 2014). Kebijakan Inovasi yang dirumuskan
dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pasal
387 mengacu pada prinsip antara lain peningkatan efisiensi, perbaikan efektivitas,
perbaikan kualitas pelayanan, tidak ada konflik kepentingan, berorientasi kepada
kepentingan umum, dilakukan secara terbuka, memenuhi nilai nilai kepatuhan dan
dapat dipertanggungjawabkan hasilnya tidak untuk kepentingan diri sendiri.
Peter Thiel pendiri PayPal, penulis Zero to One (2014) menyebutkan ada dua
jenis Inovasi yaitu Inovasi 0 to 1 dan inovasi 1 to n. Inovasi 0 to 1 adalah inovasi
.yang menghasilkan sesuatu yang sama sekali baru, sesuatu yang fresh dan ganjil
karena belum pernah ada sebelumnya. Inovasi 0 ke 1 jauh lebih rumit karena tidak
ada satu pun orang yang pernah melakukannya. Ini berbeda dengan inovasi 1 ke n
dimana cukup meniru atau menyempurnakan sesuatu yang telah ada. Untuk
mewujudkan inovasi 0 ke 1, tidak perlu memiliki teori, formula, ataupun panduan yang
bisa diikuti. Semuanya serba gelap, tak berpola, dan sarat ketidakpastian

346

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Organisasi Pemerintah
Menurut Stephen P. Robbins dalam Ismi (2014) menyatakan bahwa Organisasi
merupakan kesatuan sosial yang dikoordinasikan secara sadar dengan sebuah
batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja atas dasar yang relatif terus
menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama atau sekelompok tujuan.
G.R. Terry (2012:233) mendefinisikan pengorganisasian adalah tindakan
mengusahakan hubungan-hubungan kelakuan yang efektif antara orang-orang, hingga
mereka dapat bekerja sama secara efisien dan demikian memperoleh kepuasan
pribadi dalam hal melaksanakan tugas-tugas tertentu dalam kondisi lingkungan
tertentu guna mencapai tujuan atau sasaran tertentu.
Aspek dari pengertian lain yang dikemukakan oleh Weber dalam Thoha
(2012:113) menyatakan bahwa suatu organisasi atau kelompok kerja sama ini
mempunyai unsur kekayaan sebagai berikut : (a) Organisasi merupakan tata hubungan
sosial, dalam hal ini seseorang individu melakukan proses interaksi sesama didalam
organisasi tersebut, (b) Organisasi mempunyai batasan-batasan tertentu (boundaries),
dengan demikian seseorang yang melakukan hubungan interaksi dengan lainnya tidak
atas kemauan sendiri. Mereka dibatasi oleh aturan-aturan tertentu, (c) Organisasi
merupakan suatu kumpulan tata aturan, yang bisa membedakan suatu organisasi
dengan kumpulan-kumpulan kemasyarakatan. Tata aturan ini menyusun proses
interaksi di antara orang-orang yang bekerja sama di dalamnya, sehingga interaksi
tersebut tidak muncul begitu saja dan (d) Organisasi merupakan suatu kerangka
hubungan yang berstruktur di dalamnya berisi wewenang, tanggung jawab, dan
pembagian kerja untuk menjalankan suatu fungsi tertentu. Istilah lain dari unsur ini
ialah terdapatnya hierarki (hierarchy). Konsekuensi dari adanya hierarki ini bahwa di
dalam organisasi ada pimpinan atau kepala dan bawahan atau staf.

Perilaku organisasi
Perilaku organisasi adalah suatu studi yang menyangkut aspek-aspek tingkah
laku manusia dalam suatu organisasi atau kelompok tertentu. Rangkuman yang
menyeluruh bahwa perilaku organisasi adalah secara langsung berhubungan dengan
pengertian, ramalan, dan pengendalian terhadap tingkah laku orang-orang dalam

347

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

suatu organisasi dan bagaimana perilaku orang-orang tersebut mempengaruhi usahausaha pencapaian tujuan organisasi.
Model birokrasi Weber merupakan salah satu model ideal dan sesuai untuk
merancang teori-teori mengenai organisasi. Secara teori, suatu birokrasi mempunyai
berbagai sifat yang dapat dibedakan dari ketentuan-ketentuan lain dari suatu
organisasi. Beberapa sifat yang amat penting dapat dikemukakan sebagai berikut : (1)
Adanya spesialisasi, atau pembagian kerja, (2) Adanya hirarki yang berkembang, (3)
Adanya suatu sistem dari suatu prosedur dan aturan-aturan, (4) Adanya hubunganhubungan kelompok yang bersifat impersonalita, (5) Adanya promosi dan jabatan yang
berdasarkan kecakapan.

Gambar 1. Model Umum Perilaku dalam Organisasi


Karakteristik Individu
Kemampuan Kebutuhan
Kepercayaan Pengalaman
Pengharapan dan lainnya

Perilaku Individu
dalam Organisasi
Karakteristik
Organisasi
Hierarki
Tugas-tugas Wewenang
Tanggung JawabSistem
Reward Sistem Kontrol dan
lainnya

Sumber : Miftah Thoha (2013:35)

Globalisasi, Reformasi dan Daya Saing


Globalisasi adalah proses integrasi internasional yang terjadi karena pertukaran
pandangan dunia, produk, pemikiran, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. Kemajuan
infrastruktur transportasi dan telekomunikasi, termasuk kemunculan telegraf dan
Internet, merupakan faktor utama dalam globalisasi yang semakin mendorong saling
ketergantungan (interdependensi) aktivitas ekonomi dan budaya. Reformasi secara
umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa.

348

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Definisi daya saing (competitiveness) menurut World Economic Forum (WEF)


dalam Hermana (2012) adalah "the set of institutions, policies, and factors that
determine the level of productivity of a country." Keberhasilan pembangunan dan daya
saing suatu negara sangat ditentukan oleh komitmen dan usaha sistematik untuk
membenahi aparatur pemerintah. Betapa tidak karena aparatur pemerintah bukan saja
pelaksana kebijakan, melainkan juga fasilitator pembangunan bagi masyarakat.
Daya saing (competitiveness) adalah "memiliki keinginan untuk bersaing". Kata
bersaing menunjukkan arti menjadi "saingan" atau berupaya menyamai (yang lain atau
menyamai kualitas), dan pada akhirnya "berupaya keras meraih keunggulan".
Daya saing adalah meraih sesuatu tetapi tidak merugikan yang lain (jelas, perilaku
korup bukan prinsip daya saing). Tujuan akhir daya saing adalah meningkatkan
keseluruhan

tingkat

kemakmuran

sebuah

Negara

beserta

masyarakatnya.

Menghasilkan suasana yang harmonis diantara sesama bangsanya dan dengan umat
manusia di dunia ini.
Disamping itu, melalui otonomi yang luas, daerah diharapkan mampu
meningkatkan

daya

saing

dengan

memerhatikan

prinsip-prinsip

demokrasi,

pemerataan, keadilan, keistimewaan, kekhususan, serta potensi dan keanekaragaman


daerah dalam sistem negara kesatuan Republik Indonesia.
Professional
Istilah profesional berasal dari kata professional yang dasar katanya adalah
profession. Sudarwan Danim (2002:22) menyatakan kata profesional merujuk pada
dua hal: Pertama, adalah orang yang menyandang suatu profesi, orang yang biasanya
melakukan pekerjaan secara otonom dan dia mengabdikan diri pada pengguna jasa
disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan profesionalnya, atau penampilan
seseorang yang sesuai dengan ketentuan profesi. Kedua, adalah kinerja atau
performance seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya.
Pada tingkat tinggi, kinerja itu dimuati unsur-unsur kiat atau seni (art) yang menjadi ciri
tampilan profesional seorang penyandang profesi.
Dana P. Hammer, et al (2003:5) mendefinisikan Professionalisme sebagai: "the
conduct, aims or qualities that characterize or mark a profession or professional
person". Sementara itu Tommy Boone dalam Journal Physiologists (2001:1)
mendefinisikan Professionalism sebagai: " commitment to one's work and the
orientation toward service rather than personal profit ".

349

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Terbentuknya aparatur profesional menurut pendapat diatas memerlukan


pengetahuan dan keterampilan khusus yang dibentuk melalui pendidikan dan pelatihan
sebagai instrumen pemutakhiran. Dengan pengetahuan dan keterampilan khusus yang
dimiliki oleh aparat memungkinnya untuk menjalankan tugas dan menyelenggarakan
pelayanan publik dengan mutu tinggi, tepat waktu, dan prosedur yang sederhana.
Terbentuknya kemampuan dan keahlian juga harus diikuti dengan merubah iklim
dalam dunia birokrasi yang cenderung bersifat kaku dan tidak fleksibel.
Menurut Siagian (2000) profesionalisme diukur dari segi kecepatannya dalam
menjalankan fungsi dan mengacu kepada prosedur yang telah disederhanakan.
Menurut pendapat tersebut, konsep profesionalisme dalam diri aparatur dilihat dari
segi:
1. Kreatifitas (creativity)
Kemampuan aparatur untuk menghadapi hambatan dalam memberikan pelayanan
kepada publik dengan melakukan inovasi. Hal ini perlu diambil untuk mengakhiri
penilaian miring masyarakat kepada birokrasi publik yang dianggap kaku dalam
bekerja. Terbentuknya aparatur yang kreatif hanya dapat terjadi apabila; terdapat
iklim yang kondusif yang mampu mendorong aparatur pemerintah untuk mencari ide
baru dan konsep baru serta menerapkannya secara inovatif; adanya kesediaan
pemimpin untuk memberdayakan bawahan antara lain melalui partisipasi dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut pekerjaan, mutu hasil pekerjaan, karier
dan penyelesaian permasalahan tugas.
2. Inovasi (innovation)
Perwujudannya berupa hasrat dan tekad untuk mencari, menemukan dan
menggunakan cara baru, metode kerja baru, dalam pelaksanaan tugasnya.
Hambatan yang paling mendasar dari perilaku inovatif adalah rasa cepat puas
terhadap hasil pekerjaan yang telah dicapai.
3. Responsifitas (responsivity)
Kemampuan aparatur dalam mengantisipasi dan menghadapi aspirasi baru,
perkembangan baru, tuntutan baru, dan pengetahuan baru, birokrasi harus
merespon secara cepat agar tidak tertinggal dalam menjalankan tugas dan
fungsinya.

350

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Diskusi
Laporan yang dikeluarkan oeh World Economic Forum yang bertajuk The Global
Competitiveness Report menempatkan Indonesia pada peringkat ke-55 pada tahun
2008-2009 yang kemudian meningkat menjadi urutan ke-38 pada tahun 2014. sebagai
perbandingan berturut-turut posisi negara tetangga yakni urutan ke-2 ditempati oleh
Singapura, urutan ke-24 ditempati oleh Malaysia, urutan ke-26 ditempati oleh Brunei
Darussalam dan urutan ke-37 ditempati oleh Thailand.
Data tersebut diatas menunjukkan tingkat kompetitif birokrasi tidak hanya
rendah dalam memberikan pelayanan publik tetapi juga tertinggal dari negara-negara
tetangga. Sejak tahun 1995, BPKP telah merilis penyebab rendahnya budaya kerja
disebutkan antara lain :
1. Kurangnya komitmen dari pimpinan atas pelaksanaan pengembangan budaya kerja;
2. Struktur organisasi kelompok budaya kerja tidak terikat dengan struktur formal;
3. Tidak ada monitoring secara konsisten.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa filosofi budaya kerja bersumber dari agama,
kepercayaan, tradisi maupun dari ilmu pengetahuan. Adapun filosofi budaya kerja yang
dimaksud antara lain, sebagai berikut :
1. Bekerja adalah suatu ibadah, panggilan atau tugas mulia;
2. Bekerja dengan mengutamakan kualitas pelayanan kepada konsumen (stake
holders);
3. Bekerja dengan melibatkan semua lapisan pegawai dari pimpinan sampai bawahan;
4. Bekerja dengan melakukan perbaikan secara terus menerus dari waktu ke waktu
(continous improvement).
Laporan lainnya yang dirilis oleh Political and Economic Risk Consultancy
(PERC) menunjukkan bahwa skor efficiency of bureaucracy pada tahun 2012
Indonesia memiliki skor 8,37 dari skala 10 yang paling buruk. Sementara urutan
pertama yang paling efisien ditempati oleh Negara Singapura dengan skor 2,25 dari
nilai skala 0 yang paling baik.
Adapun faktor-faktor yang menghambat terciptanya aparatur yang profesional
antara lain lebih disebabkan tidak adanya iklim yang kondusif dalam dunia birokrasi
untuk menanggapi aspirasi masyarakat dan tidak adanya kesediaaan pemimpin untuk
memberdayakan bawahan. Pendapat tersebut meyakini bahwa sistem kerja birokrasi
publik yang berdasarkan juklak dan juknis membuat aparat menjadi tidak responsif

351

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

serta juga karena tidak berperannya pemimpin sebagai pengarah (katalisator) dan
pemberdaya bagi bawahan (Siagian, 2000:164).
Untuk mewujudkan aparatur yang professional diperlukan political will dari
pemerintah dalam melakukan perubahan besar pada organisasi birokrasi publik agar
dapat bekerja secara profesional dan responsif terhadap aspirasi dan kebutuhan
publik. Perubahan tersebut meliputi perubahan dalam filsafat atau cara pandang
organisasi untuk mencapai tujuan yang dimulai dengan membangun budaya kerja
inovasi dalam organisasi pemerintah. .
Konsep dasar budaya kerja merupakan turunan dari budaya organisasi yang
dikembangkan antara lain dengan mempertimbangkan ajaran-ajaran agama, konstitusi
(peraturan perundang-undangan), kondisi sosial dan budaya setempat. Ketika individuindividu masuk ke dalam sebuah organisasi, maka akan terjadi penyesuaian nilai-nilai,
norma-norma, sikap dan perilaku yang diinginkan oleh organisasi demi mencapai citacita atau tujuannya. Perubahan tersebut membutuhkan waktu, komitmen, kedisiplinan
dan upaya yang luar biasa. Organisasi yang memiliki budaya kerja yang kuat akan
dapat memperoleh hasil yang lebih baik.
Dari uraian dari para ahli diatas, dapat didskusikan bahwa memang perlu
membangun budaya inovasi dalam organisasi pemerintah. Kemudian selain adanya
faktor faktor pendukung, dalam implementasi membangun budaya kerja inovasi juga
memiliki faktor faktor penghambat. Ketika kita sudah mengetahuinya maka kita dapat
memaksimalkan faktor pendukung tersebut dan meminimalisir faktor penghambatnya.
Upton dan Swiden (1998) mencatat bahwa dalam abad informasi, organisasi
pemerintah telah berubah menjadi semacam joint-up government or citizen-centric
government, yang menyebabkan pelayanan publik lebih berorientasi pada konsumen.
Inovasi organisasi pemerintahan melalui penciptaan dan berbagai pengetahuan dapat
dilakukan melalui perubahan sistemik yang dilakukan secara sengaja oleh anggota dan
pimpinan organsiasi. Keberhasilan proses perubahan ditentukan oleh beberapa faktor :
(1) orang-orang yang terlibat dalam proses governance itu sendiri adalah mereka yang
menciptakan dan memelihara perubahan, yang komit dan adaptif (Sumarto, 2003:10);
(2) pemimpin yang memiliki kekuatan untuk mengubah dalam lingkup kekuasaannya;
(3) komunikasi antar pencetus perubahan dengan pihak lain; (4) dedikasi bawahan
atau pegawai dalam melakukan perubahan; dukungan dari publik dan politisi.

352

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sementara itu, dari hasil studi institue of Development Studies (IDS)


mengelompokkan tiga kemampuan organisasi dalam memfasilitasi inovasi dan
pendekatan partisipatoris, yakni pertama, kemampuan level personal berupa
kemampuan mendengar dan terlibat dalam dialog, pemelajaran bersama, keinginan
dan keterbukaan untuk berubah dan kapasitas untuk melihat ke depan; kedua, faktorfaktor yang berkaitan dengan prosedur, yaitu apresiasi pada proses dan peningkatan
kapasitas dan adanya mekanisme insentif

baru untuk menghargai perilaku

participatory; ketiga, faktor faktor yang berkaitan dengan sistem dan struktur, seperti
adanya ruang untuk pembelajaran yang lebih fleksibel, inovatif, keuangan yang
fleksibel, akuntabilitas dan transparansi ke bawah, struktur organisasi dan manajemen
yang mendatar (flat) (Blackburn, dalam Sumarto, 2003;13-14).
Dengan demikian dapat dipahami bahwa inovasi dalam organsiasi pemerintah
ditentukan oleh individu, pemimpin, struktur organsisai, proses pembelajaran,
komunikasi dan dukungan eksternal. Pemimpin orgnisasi sangat menentukan inovasi
organisasi. Pemimpin yang baik adalah yang dapat mengelola perubahan dengan
tingkat resistensi yang minimal (Sumarto, 2003:11). Dalam studinya menyimpulkan
bahwa pemerintah yang berhasil melakukan inovasi dengan mempertahankan dedikasi
yang tinggi para pegawainya dengan cara mempublikasikan capaian program, bahkan
untuk sukses sekecil apapun. Dengan menunjukkan keberhasilan program, mereka
secaa tidak langsung telah memberikan beban moral kepada pegawai untuk bersikap
bertanggungjawab.
Kotter (2002:2) bahkan menyebutkan bahwa, the central issue is never strategy,
structure, culture or systems. All those elements, and others, are important. But the
core of matter is always about changing the behavior of people, behavior change
happens in highly successful situations mostly by speaking to people's feelings.
Pandangan Kotter tersebut menjelaskan bahwa sikap atau perilaku seseorang dapat
dengan mudah berubah jika leader mampu untuk berkomunikasi atau mendorong
perasaan atau emosi orang tersebut. Ketika hal ini mampu dilaksanakan maka
perubahan dapat terwujud dan bahkan akan menjadi sistem dan membudaya.
Henry N, (1988) mengupas konsep inovasi sebagai salah satu konsep dari teori
organisasi. Henry mengemukakan bahwa kemampuan untuk mengadakan perubahan,
dibutuhkan inovasi, adaptasi dalam setiap bentuk kehidupan organisasi. Perubahan
organisasi dipengaruhi oleh tiga faktor : teknologi organisasi, lingkungan organisasi
(tugas dan fungsi), dan interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungannya.

353

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Dalam penelitiannya Achmad Nurmandi (2006) menyatakan bahwa faktor


faktor pendorong inovasi antara lain

354

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Adapun faktor penghambatnya adalah

Kesimpulan
Agar Indonesia mampu berdaya saing, berkompetisi dan menjadi pemerintahan
kelas dunia maka diperlukan perubahan, reformasi dalam organisasi pemerintah.
Perubahan tersebut diantaranya berupaya untuk membangun budaya kerja yang positif
dalam organisasi pemerintah seperti meningkatkan profesionalitas, kompetisi, kreatis,
responsibiltas dan inovatif.
Untuk menumbuhkan budaya kerja seperti uraian diatas tentunya tidaklah
semudah membalikkan telapak tangan. Ada faktor faktor yang menjadi pendukung
serta faktor penghambat. Inovasi dalam organisasi pemerintah ditentukan oleh
individu, pemimpin, struktur organisasi, proses pembelajaran, komunikasi dan
dukungan eksternal. Dalam inovasi organisasi pemerintah peran pemimpin organisasi
sangatlah menentukan.
Ada satu hal yang harus diperhatikan pimpinan organisasi dalam membangun
budaya kerja inovasi, yakni pegawai harus mengetahui permasalahan yang ada dalam

355

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

organisasi dan memahami jenis inovasi yang sesuai untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Dalam membangun Budaya Kerja Inovasi di Organisasi Pemerintah Leader
juga harus mampu untuk berkomunikasi atau mendorong perasaan atau emosi orang
bawahannya.
Adapun Langkah-langkah konkrit yang harus dilakukan dalam membangun
budaya kerja inovasi dalam organisasi:
1.

Pimpinan organisasi membentuk tim pelaksana membangun budaya kerja


inovasi

2.

Bekerjasama dengan LAN untuk membentuk Lab Inovasi pada K/L/Daerah


yang dipimpinnya

3.

Pimpinan organisasi bersama Tim:


a.

Mengenali permasalahan permasalahan yang muncul dalam organisasi.

b.

Menentukan budaya kerja inovasi apa yang sesuai dengan kebutuhan


organisasi

c.

Mengidentifikasi kemungkinan-kemungkinan faktor hambatan yang akan


muncul

d.

Merumuskan alternative cara mengatasi faktor hambatan

e.

Meliskan faktor pendukung untuk memperkuat

f.

Melakukan sosialisasi untuk mengkomunikasikan budaya kerja inovasi

g.

Membentuk kelompok-kelompok budaya kerja

h.

Membuat agenda kegiatan atau kompetisi untuk mendorong tumbuhnya


budaya kerja inovasi dalam organisasi pemerintah

i.

Melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan budaya kerja


inovasi dalam organisasi pemerintah

Sasaran akhir dari budaya kerja yaitu terciptanya perubahan pola pikir dan
budaya kerja aparatur negara menjadi budaya yang mengembangkan sikap dan
perilaku kerja yang Inovasi, berorientasi pada hasil (outcome) yang diperoleh dari
produktivitas kerja dan kinerja yang tinggi untuk memberikan pelayanan masyarakat.
Namun tetap upaya pengembangan tersebut harus memperhatikan salah satu syarat
terpenting dalam mendorong keberhasilan pengembangan budaya kerja yaitu
komitmen dari pimpinan pemerintahan tertinggi baik di Pusat maupun Daerah

356

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Daftar Pustaka

Ahmad, Badu. (2015). Inovasi Pelayanan Perizinan di Lingkungan Pemerintah Kota


Makassar, Jurnal Ilmiah PKP2A II LAN Makasar. Pp. 111-119.
Bessant, John dan Tidd, Joe. (2007). Innovation and Enterpreneurship, pp 4-9.
Borin, S. (2001). What Border? Public Management Innovation in The United Stated
and Canada.
Hadawi Nawawi, Hadawi dan Martini, Mimi (1994). Penelitian Terapan. Yogyakarta :
Gajah Mada University Press, hal 73.
Hadawi Nawawi. (2003). Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : Gajah
Mada University Press, cetakan kelima hal 65
Halvorsen, Thomas. (2005). On The Differences between Public and Private Sector
Innovation. Publin report, Oslo.
Hartley, Jean. (2005). Innovation in Governance and Public Services : Past and
Present. CIPFA. Public Money and Management, Vol 25 No 1 pp 27-34.
Suhartika, Ika. (2011). Budaya Kerja dalam Organisasi Pemerintah.
Koentjaraningrat. (2004). Kebudayaan Mentaliter dan Pembangunan, Jakarta :
Gramedia, hal 2.
Kotter & Cohen. (2002). The Heart of Change: Real Life Stories of How People Change
Their Organization. Boston, Massachusetts: Harvard Business Review Press.
Manley, Karel. (2001). Innovation in The Public Sector, Queensland Innovation
Council, January.
Nurmandi, Achmad. (2006). Inovasi Organisasi Publik : Implementasi Knowledge
Management Mendorong Inovasi. Jogjakarta: Jurnal Kebijakan Administrasi
Publik UGM Volume 10, Nomor 2.

357

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Prasetya, Triguno. (2001). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara,
cetakan kelima hal 13.
Robbins, Stephen P. (2007). Organizational Behavior. 12th Edition, New Jersey :
Prentice Hall.
Shapiro, Stephen, M. (2002). Innovation : A Blue Print for Surviving And Thriving in an
Age of Change. New York : Mc-Graw Hill
Sugiono. (2008). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D, Bandung : Alfabeta, hal 15
Sumarto, Hetifah Sj., (2003). Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, 20 Prakarsa
Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Inonedisa.
Upton dan Swiden in Eileen M.Ilner. (1998). Managing Information and Knowledge in
Public Sector. London : Routledge.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design
Reformasi Birokrasi 2010-2025
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 39
Tahun 2012 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja
Surat Edaran Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
Nomor 10 Tahun 2014 tentang Peningkatan Efektifitas dan Efisiensi Kerja
Aparatur Negara
https://arozieleroy.wordpress.com/2010/07/13/budaya-kerja/ tanggal 15 Maret 2016
http://kamusbahasaindonesia.org/inovasiKamusBahasaIndonesia.org 15 Maret 2015

358

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

IMPROVING IN INQUIRY-BASED SCIENCE TEACHING COMPETENCY


AS AN IMPACT OF REAL INCREMENTAL INQUIRY TRAINING
Eneng Susilawati
Centre Development and Empowerment Teacher and Educational Personnel
in Science, (CDETEP)
(Diterima 29 Februari 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstract: A study was conducted to develop and investigate the effectiveness of a


Real Incremental Inquiry Training Model (RIITM) to improve in pedagogical inquiry
competency at the secondary level of science teacher. The RIITM covers the basic and
advanced level. The study utilized quasi-experimental method, one group pre-test posttest design.The author selected the purposive sample, a total of 36 teachers
participated in the study. The instrument for data collection used
Pedagogy
Competence Assessment Scale (PCAC) of the learning implementation aspects of
inquiry-based science. The Data of learning implementation at every level of training
was analyzed using t-test. Data were analyzed descriptive quantitatively. Results
reveal pedagogical inquiry competency of teachers in inquiry-based science teaching
at both of training and for each level of inquiry increase significantly (sig <0.05) with a
large effect size. The RIITM model may be advocated as a better tool for profesional
development of science teacher. However, the work carried out is having certain
limitations such as training model had only done up to preliminary field testing.
Keywords: pedagogical competency, teaching skill, real incremental inquiry training
Corresponding author: Eneng Susilawati, E-mail: eneng.sedec@gmail.com

INTRODUCTION
Teaching is a profession when teachers practice learning the general knowledge
base and use the knowledge for effective teaching practices (NSTA, 2003). To achieve
effective learning, teachers need some skills. Teaching is a pedagogic competence
that must be mastered by teachers and quite complex because it is the integration of a
variety of teacher competence completely and thoroughly. Professional competence is
demonstrated by mastery of the material, structure, concept, and the mindset of
scientific support of teaching subjects; developing professionalism through reflective
action. The ability of teachers to understand concepts in depth, mastery of pedagogy,
strategies deliver material to students becomes very important as stated in the
standard of teaching competency of teachers (MONE, 2003) that one of the six
competency mastery learning which educates is master approaches, methods, media ,
and assessment of learning. Pedagogical competence becomes an important part of

359

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

learning because what is presented by the teacher will influence what students learn
(NRC, 1996:28).
Teaching science is more appropriate to use the approach of inquiry (Mao and
Chang, 1998), as a method of learning that can develop all domains educational
purposes, including the attitudes and behavior (Opara, 2011), an effective method as it
pertains to the activities and skills active focus on the quest for knowledge or
understanding to satisfy curiosity (Haury, 1993), the most promising learning method
because not only is able to motivate the students but also science teachers (tRNA,
Trnova, and Sibor, 2012). Science teacher should be prepared to guide students to
make observations, experiments, collecting data, and inference to test Ideas and build
scientific concepts (NSTA, 2011).
The ability of inquiry held by teachers can be seen from the way teachers resolve
issues related to knowledge, science teaching skills, and demonstrate an attitude like
scientists (NRC, 2000). Lack of knowledge about what and how to make the teachers
confused how to apply real inquiry approach in the classroom (Yager & Akcay, 2009)
and also the lack of experience of the application of inquiry (Gengarelly & Abrams,
2009).
During teacher run their professional duties, teachers should improve the
competence in performing professional obligations or processes of growth and
development of the profession (eg Rogan & Grayson, 2004; Tecle 2006; Komba &
Nkumbi, 2008). Improved in change of teaching meaningful can be seen when
teachers teach collaboratively and systematic inquiry, led by its chairman, using the
inquiry focused on the guidelines, and has a stable order for pushing

improve

continuous learning (Ermeling, 2010).


The junior high school science teachers in Indonesia are required to have the
qualifications and competency standards, as mentioned in the Ministerial Regulation
No. 16/2007 one of which is pedagogy competence, where the teacher is able to
organize an educational learning. In the real situation shows that in general junior high
school science teachers have not had a pedagogical competence of inquiry as required
by the regulation. The problem is how to improve the competency of junior high school
science teacher pedagogical inquiry in Indonesia. National Research Council (1996, p.
57) states that the pedagogical competence improvement standardized, can be
obtained through the development of self-sustained and lifelong. Self-development can
be obtained them through education and training. Science teacher should receive

360

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

continuous education to create a creative learning (Bianchini, et al. 2003; Crawford,


2000). Professional development inquiry-based undertaken throughout life, sustained,
and comprehensive an absolute requirement for successful standardization of teaching
(NRC, 2000: 113; 1996: 57).
Inquiry training in general carried out separately, consisting of short workshop
and have nothing to do either with one another or with the work of teachers in the
classroom (NRC, 2000). Implementation of inquiry training in a short time does not
change the practices of teachers in the classroom and training programs deemed
ineffective (Bush, 1984; Yoon et al., 2007; Darling-Hammond, et al., 2009). Though
better professional development in science education carried out within a period not
too short and sustainable, tailored to the context, and involving participants reflect on
their practice and work collegially with other educators so that professional
development becomes more effective (NRC, 2000; Garet, 2001; Loucks-Horsley, 2003;
Gulamhussein, 2013).
Wenning (2011) developed a model of inquiry-levels for teacher, where the level
of inquiry provide a framework which helps ensure that teaching students grow
intellectually and in terms of science process skills. Similarly, research on the use of a
sequence for teaching science inquiry learning, Wenning (2010) states that teach using
the learning spectrum sequence can enhance students 'understanding of concepts in
addition to developing students' understanding of scientific inquiry and the nature of
science.
Given some of the problems related to the professional development of science
teachers, especially in improving the pedagogical abilities of inquiry, it is necessary to
have training model of inquiry which has specific characteristics (Wenning, 2005) and
may increase pedagogical inquiry competence for junior high school science teacher.
Based on this

background, this

study was conducted to determine "Is inquiry-

incremental training can improve the competence of teachers' pedagogical inquiry in


implementing inquiry-based science learning?". With good teaching ability is expected
to improve the quality of student learning outcomes in schools.
METHOD
Participants.
The participants of this study were 36 junior high school teachers, selected with
purposive sample based on the recommendation of the Department of Education.
Schools determination were based on: 1) clustering, namely the upper, middle

361

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Interactive, and bottom; 2) characteristics of schools, made up of public and private


schools; 3) the commitment and spirit of teachers in teaching science in schools, which
is realized with the approval and support of the school principal so that teachers can
follow the training from beginning to end. The composition of teachers as the study
participants are shown in Table 1.

Table 1. The Composition of Teachers as The Study Participants


School
Criteria

Educational Qualification
Undergraduate

Graduate

25
4
29

7
0
7

State
Private
Total

Educational
Background
Biology
Physics
16
2
18

Work Period
1-10 years

16
2
18

7
2
9

11-20 years
13
1
14

21 years
12
1
13

Procedures.
To improve teachers' pedagogical inquiry competence inquiry-based science
teaching aspect, teachers follow an incremental training covering basic level and
advanced level. Implementation of an incremental training is listed in Table 2.

Table 2. Implementation of an Incremental Training


Basic Level
Stage of In
Service
Learning (ISL)
5 days (a=8
hour)
5 dayX8
hour=40 hour

Advanced Level

Stage of On the Job


Learning (OJL)

Stage of In Service
Learning (ISL)

Stage of On the Job


Learning (OJL)

Implementation:
1 week=24hour=12X
meeting
3week=72hour=36X
meeting

5 hari (a=8 hour)

Implementation:
1 week=24hour=12X
meeting
3week=72hour=36X
meeting

5 dayX8 hour=40
hour

Accompaniment:
1 level=2X meeting
4 level=8X meeting
1 week=8X meeting
3 week=24X meeting
1X meeting=2hour
24 meetingx 2
hour=48hour
40 hour + 48 hour = 88 hour

Accompaniment:
1 level=2X meeting
2 level=4X meeting
1 week=4X meeting
3 week=12X meeting
1X meeting=2hour
12meeting x2
hour=24hour
40 hour + 24 hour = 64 hour

Basic+ Advanced = 152 hour

Table 2 shows that the training of basic level, in service learning stage was
conducted for five days, eight hours of training each day. The number of training hours

362

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

is 40 hour. On the job learning phase was conducted over three weeks as much as 36
hour, 1 week equal 12 hour. Assuming 1 times meeting equal 2 hours, then every 12
weeks hours equal 6 times meeting, so that 36 hours equal 18 times meeting. At
advanced level training is done the same thing. The implementation of the basic
training level and advanced level consists of a total of 80 hours of face to face at some
stage in service learning (1 hour = 45 minutes), and 72 hours in the classroom
implementation in stages on the job learning. Competence pedagogy of inquiry that is
trained includes six levels (Wenning, 2010) namely discovery learning (DL), interactive
demostration (ID), inquiry lesson (I Les), inquiry laboratory (I Lab), real-world
application (RWA), and hypothetical inquiry (HI) as shown in Table 3.
The results of training are implemented in schools in the stage of on the job
learning to see the implementation and improvement of pedagogical competence of
inquiry in learning. On the job learning for the basic level training held for three weeks
before continuing to the advanced level training with the aim to give teachers time to
internalize the experience gained during the training into real learning experience. At
the training of the basic level, the teachers got a chance to implement the results of
training each week were 24 hours equal 12 times meeting (1 times meetings equal 2
hours) face to face in the classroom using the different of lesson plan, so the
experience of implementation for three weeks as much as 3 times 24 hours equal 72
hours. It is equal 36 times meeting. At the training of advanced level was done the
same thing so that the total implementation time for training basic level and advanced
level was 3 weeks times 2 level equal 6 weeks, equivalent to 72 hours times 2 (1 hour
= 45 minutes) = 144 hours.
During the on-the-job learning school teachers get 12 times mentoring is spread
over six weeks to two levels. On-the-job learning basic level, accompanied by as much
as 8 times to observe the implementation of learning using four levels (DL, ID, I Les,
and I Lab), while the advanced level for on the job learning accompanied by as much
as 4 times to observe the implementation of learning to use two levels (RWA and HI ).
Each level accompanied by two times with the objective of observing simultaneously
retrieve data at the beginning and at the end. Researchers also analyzed the research
findings in the form of the supporting factors and barriers faced by teachers during
lessons.

363

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Table 3. Pedagogical Inquiry Competencies

Data collection and analysis.


The data were collected from August to October 2014 used observation sheet,
documentation, and field notes. The data were taken after the completion of phase-in
service learning are at the time of implementation of the outcomes of education and
training (phase on the job learning) both basic level and advanced level. Teachers
teaching skills using pedagogical inquiry competence in the implementation of early
learning compared to the end of the study. The instrument used for data collection
were the Pedagogical Competence Assessment Scale (PCAS) for the implementation
of inquiry-based science learning aspects. Instrument used Likert format with a scale of
1-4 assessment score. Instruments used after being considered by the expert
associated with the validation of the content related to the indicators and explanations
contained in the instrument.
Data were analyzed using descriptive quantitative. Data obtained either from the
total value of all levels of inquiry, any inquiry or competency level for each level of
inquiry. To determine the level of significance, the data capabilities and the ability to
end early analyzed using t-test (SPSS 19) at the 0.05 significance level and effect size
of the increase (Cohen, 1988).

364

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

(d) =

mean post mean pre


standar deviasi pre

Note:
(d) : 0.2, small
(d) : 0.21- 0.5, medium
(d) : 0.51-0.6, large
(d) : 0.61, very large

RESULTS
The overall data obtained from the research that pedagogical competence of
teachers in the implementation of inquiry-based science learning has increased after
participating in the training.

Basic level.
The result of t-test and analysis description of skills

of junior high school

teachers in inquiry-based science teaching at the basic level of overall training are
shown in Table 4.
Table 4. Summary of Science Teaching Skills at The Basic Level of Training
Inquiry Level
Discovery Learning Post
Discovery Learning Pre
Interactive Demonstration Post
Interactive Demonstration Pre
Inquiry Lesson post
Inquiry Lesson pre
Inquiry Laboratory post
Inquiry Laboratory pre
Note: p <0.05

M
3.7300
2.7633
3.5600
2.4267
3.6850
2.4950
3.7300
2.5325

SD
.16407
.07992
.09571
.23771
.10368
.07148
.15556
.05620

t
p
23.415 .000

d
Magnitude
4.73
Large

17.155 .000

6.02

Large

26.177 .000

4.94

Large

23.841 .000

6.61

Large

Based on the initial results of different test scores and final scores use pedagogical
competence in teaching inquiry-based science inquiry of four levels that exist at the
level of basic training (Table 4), all showed very significant difference (sig< 0.05) with a
large effect size. Statistically it appears that the ability of teachers in teaching using
inquiry pedagogical competence inquiry laboratory higher level (Mpre = 2.5325 SDpre =
.05620, Mpost=3.7300 SDpost = .15556) compared to the use of pedagogical competence
of inquiry as a whole, t (35) = 23.8, p = 0.00. The use of pedagogical competence
discovery learning inquiry lowest level (Mpre = 2.7633 SDpre = .07992, Mpost = 3.7300
SDpost = .16407) between the three other levels but still show significant differences, t
(35) = 23.4, p = 0.00.

365

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Table 5. Science Teaching Skills Based on Pedagogical Inquiry Competencies


in Discovery Learning (DL) Level
Pedagogical inquiry competencies
Observing post
Observing pre
Estimating post
Estimating pre
Formulating concepts post
Formulating concepts pre
Classifying results post
Classifying results pre
Drawing conclusiions post
Drawing conclusiions pre
Comunicating results post
Comunicating results pre
Note: p <0.05

M
3.8611
2.8333
3.7222
2.7778
3.6111
2.6389
3.8333
2.8056
3.4722
2.6944
3.8889
2.8333

SD
.35074
.56061
.45426
.42164
.49441
.48714
.37796
.40139
.50631
.46718
.31873
.37796

t
9.428

p
.000

9.723

.000

8.377

.000

10.129

.000

7.897

.000

15.440

.000

Table 5 shows that teachers teach skills using six competencies inquiry at the
level of the discovery learning as a whole show a highly significant difference (sig
<0.05). The use of communicates competence is higher (Mpre = 2.8333 SDpre = .37 796,
Mpost = 3.8889 SDpost = . 31873) than the use of other competencies, t(35) = 15.4, p =
0.00. Drawing conclusions is the lowest competence (Mpre = 2.6944 SDpre = .46718,
Mpost = 3.4722 SDpost = .50631) compared to five other competencies, as well as the
competence of the lowest among all levels of competence in basic, but still show a
significant difference t (35) = 7.89, p = 0.00.
Table 6 Science Teaching Skills Based on Pedagogical Inquiry Competencies
in Interactive Demonstration (ID) Level
Pedagogical inquiry competencies
Predicting post
Predicting pre
Explaining post
Explaining pre
Estimating post
Estimating pre
Acquiring and processing data post
Acquiring and processing data pre
Formulating scientific explanations post
Formulating scientific explanations pre
Analyzing alternative explanations post
Analyzing alternative explanations pre
Note: p <0.05

M
3.5556
2.4167
3.8611
2.6111
3.6389
2.6667
3.6944
2.5833
3.4722
2.1111
3.4444
2.1667

SD
.50395
.50000
.35074
.49441
.48714
.47809
.46718
.50000
.50631
.31873
.50395
.37796

t
14.028

p
.000

11.553

.000

9.582

.000

9.413

.000

15.050

.000

10.929

.000

Of the six competencies that are used at the level of interactive demonstration all
show a very significant difference (sig< 0.05) as shown in Table 6. The ability of
teachers to use the competence to formulate a scientific explanation is higher (Mpre =

366

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

2.1111 SDpre = .31873, Mpost = 3, 4722 SDpost = .50631) than other competencies, t
(35) = 15.0, p = 0.00. Estimating is the lowest competence (Mpre = 2.6667 SDpre =
.47809 Mpost = 3.6389 SDpost = .48714) compared to five other competencies, but still
show a significant difference t (35) = 9.58, p = 0.00.
Table 7. Science Teaching Skills Based on Pedagogical Inquiry Competencies in
Inquiry Lesson (I Les) Level.
Pedagogical Inquiry competencies
Measuring post
Measuring pre
Collecting and recording data post
Collecting and recording data pre
Constructing a table of data post
Constructing a table of data pre
Designing and conducting scientific investigations post
Designing and conducting scientific investigations pre
using technology and math during investigations post
using technology and math during investigations pre
Drawing conclussions post
Drawing conclussions pre
Note: p <0.05

M
3.6111
2.5000
3.8611
2.5833
3.6667
2.5556
3.6389
2.4444
3.5833
2.5000
3.7500
2.3889

SD
.49441
.50709
.35074
.55420
.47809
.50395
.48714
.50395
.50000
.50709
.43916
.49441

t
p
9.413 .000
11.625 .000
12.759 .000
9.115 .000
10.013 .000
15.050 .000

Statistically, Table 7 indicates that the six competencies at the level inquiry
lesson used in teaching science show a highly significant difference (sig <0.05). The
use of competency describes the relationship is the highest competence (Mpre = 2.3889
SDpre = .49441, Mpost = 3.7500 SDpost = .43916) than other competencies t (35) = 15.0,
p = 0.00. Among the six competencies are trained, measure is the lowest competence
(Mpre = 2.5000 SDpre = .50709, Mpost = 3.6111 SDpost = .49441) but still show a
significant difference t (35) = 9.41, p = 0.00.
Table 8. Science Teaching Skills Based on Pedagogical Inquiry Competencies in
Inquiry Laboratory (I Lab) Level
Pedagogical Inquiry competencies
Measuring metrically post
Measuring metrically pre
Establishing emphirical laws on the basis of evidence and
logic post
Establishing emphirical laws on the basis of evidence and
logic pre
Designing and conducting scientific investigations post
Designing and conducting scientific investigations pre
Using technology and math during investigations post
Using technology and math during investigations pre
Note: p <0.05

M
3.8333
2.5833
3.6389

SD
.37796
.50000
.48714

2.5000

.50709

3.8889
2.5833
3.5556
2.4722

.31873
.50000
.50395
.50631

t
p
12.426 .000
10.688 .000

13.584 .000
9.396 .000

Table 8 describes the t-test of competency on the level of inquiry laboratory. The
results show significant differences in all competencies (sig <0.05). Designing and
conduct scientific investigations competency is the highest competence (Mpre = 2.5833
SDpre = .50000, Mpost = 3.8889 SDpost = .31873) than the three other competencies, t

367

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

(35) = 13.58, p = 0.00. Using technology and mathematics during the investigation is
the lowest competency (Mpre = 2.4722 SDpre = .50631, Mpost = 3.5556 SDpost = .50395)
among all the competencies, but still show significant differences, t (35) = 9.39, p =
0.00.
It can be concluded, from all of competencies on the basic level of training, the
highest level difference based on the mean (1.36) is to formulate a scientific
explanation on the level of interactive demonstration and describes the relationship at
the level of Inquiry lesson, while the lowest is make conclusion (0.77) at the level of the
discovery learning. However, all three is significantly different.
Advanced Level
The result of t-test and

analysis description of skills

of junior high school

teachers in inquiry-based science teaching at the advanced level of overall training are
shown in Table 9.
Table 9. Summary of Science Teaching Skills in The Advanced Level of Training
Level of Inquiry

SD

real world application post

3.6720

.23446

real world application pre

2.4120

.09680

hypothetical inquiry post

3.5900

.21389

hypothetical inquiry pre


Note: p <0.05

2.1340

.10945

Magnitude

12.198

.000 3.98

Large

27.438

.000 6.09

Large

Based on the results of t-test on the initial

scores and final scores using

pedagogical competence in teaching inquiry-based science inquiry of two levels that


existed at the level of advanced training, all show high significant difference (sig< 0.05)
with a large effect size. Statistically, it appears that the ability of teachers to teach
science using inquiry pedagogical competence at the level of hypothetical inquiry is
higher (Mpre = 2.1340 SDpre = .10945, Mpost = 3.5900 SDpost = .21 389) compared to the
use of pedagogical competence inquiry at the level of real world application t (35) =
27.4, p = 0.000.
The result of t-test show that the competency of pedagogical inquiry for teaching
science at two level at advanced stage inquiry training are presented in Table 10 and
Table 11.
Table 10. Science Teaching Skills Based on Pedagogical Inquiry Competencies in Real
World Application (RWA) Level
Pedagogical Inquiry competencies
Collecting data from a variety of sources post
Collecting data from a variety of sources pre

368

M
3.8889
2.4722

SD
.31873
.55990

t
15.337

p
.000

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Constructing logical arguments based on scientific


evidence post
Constructing logical arguments based on scientific
evidence pre
Making and defending evidence-based decission and
judgments post
Making and defending evidence-based decission and
judgments pre
Clarifying values in relation to natural and civil rights post
Clarifying values in relation to natural and civil rights pre
Practicing interpersonal skills post
Practicing interpersonal skills pre
Note: p <0.05

3.5556

.50395

2.5278

.50631

3.5833

.50000

2.4167

.60356

3.3889
2.2778
3.9444
2.3611

.49441
.51331
.23231
.63932

8.856

.000

13.804

.000

9.413

.000

14.634

.000

Table 10 shows that all the competencies that are used in the teaching of science
at the level of real world application show a highly significant difference (p< 0.05). The
Ability of teachers in using competencies exercixe of interpersonal skills is higher (Mpre
= 2.3611 SDpre = .63932, Mpost = 3.9444

SDpost = .23231) than the other four

competencies t (35) = 14.6, p=0.00. Construct a logical argument is the lowest


competency (Mpre = 2.5278 SDpre=.50 631, Mpost=3.5556 SDpost=.50 395) among the
five competencies trained, as well as the competence of the lowest among all levels of
competence in advanced, but still shows a difference significant, t (35) = 8.85, p = 0.00.
Table 11. Science Teaching Skills Based on Pedagogical Inquiry Competencies in
Hypothetical Inquiry (HI) Level
Pedagogical Inquiry competencies
Synthesizing complex hypothetical explanations post
Synthesizing complex hypothetical explanations pre
Analyzing and evaluating scientific arguments post
Analyzing and evaluating scientific arguments pre
Generating predictions through the process of deduction post
Generating predictions through the process of deduction pre
Revising hypotheses and predictions in light of new evidence
post
Revising hypotheses and predictions in light of new evidence
pre
Solving complex real world problems post
Solving complex real world problems pre
Note: p <0.05

M
3.5000
2.0278
3.8333
2.2778
3.4167
2.0833
3.3889

SD
.50709
.16667
.37796
.45426
.50000
.50000
.49441

p
t
15.777 .000

2.0556

.47476

3.8056
2.2222

.40139 15.740 .000


.54043

14.310 .000
12.649 .000
12.649 .000

At the level of hypothetical inquiry, five competencies is drill show significant


differences (sig <0.05). Competence of solve real problems is a higher

level of

competence (Mpre = 2.2222 SDpre = .54 043, Mpost = 3.8056 SDpost = .40139) than
other competencies

t(35) = 15.7, p = 0.00, as well as being highest competence

among all competencies trained on advanced level.


It can be concluded that all of the competencies at the advanced level, the
highest difference based on the mean (1.58) is to train interpersonal skills at the level

369

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

of real world application and solve real problems at the level of hypothetical inquiry,
while the lowest is to build a logical argument (1.02) at the level of real world

Score Increase

application. However, all three is significantly different.

3.73
3.73
3.69
3.67
4.00
3.59
3.56
3.50
3.00 2.76
2.53
2.50
2.43
2.41
2.50
2.13
2.00
1.46
1.26
1.19
1.19
1.50
1.13
0.97
1.00
0.50
0.00
DL
ID
ILES
ILAB
RWA
HI
Level of Inquiry

Pre Score Mean


Post Score Mean
Score Increase

Figure 1. Increasing Scores Mean from Early Learning to the End


Figure 1 shows that teachers' skills in teaching

science using pedagogical

inquiry competence at all levels have increase from early learning to the end. The
highest increase is obtained in the level of hypothetical inquiry (1.46), while the lowest
is in the discovery learning level (0.97).

DISCUSSION AND CONCLUSION

Design of Real Incremental Inquiry Training Model


Real Incremental Inquiry Training was conducted for five days in service learning
(ISL) and three weeks on the job learning (OJL) at the basic level plus five days in
service learning and three weeks on the job learning at the advanced level has
successfully significantly improve pedagogical competence of inquiry in the
implementation of inquiry-based science learning. This is probably because the teacher
has the opportunity to learn longer and sustainable as well as focus on studying the
investigation material. Results of the study reinforced previous research showing that
effective professional development in science education is best done in a long term
and sustainable (Garet, 2001; Ermeling, 2010; Gerard, 2011; Gulamhussein, 2013).
Results of this research also proves what was predicted by Kalia (2005) which states
that the implementation of the Training of inquiry with a long time will probably take a

370

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

significant impact on the achievement of goals, because the training of inquiry with a
short time is not enough to bring about change, in which the inquiry training conduct in
a short time, does not change the practices of teachers in the classroom and training
programs deemed ineffective (Bush, 1984; Yoon et al., 2007; Darling-Hammond, et al.,
2009).
With a long training time allows for social interaction between teachers and build
a new community of fellow learners science teachers, thus making teachers learn from
one another in a collaboration to develop new knowledge and experiences. This view is
supported by the results of previous studies stating that the competence of the
teachers will be higher if the learning use collaborative and systematic than learning
individually (McBride et al., 2004; Henze, 2009; Ermeling, 2010).
Using of inquiry approach in the implementation of real incremental inquiry
training justified by Vigotsky in constructivist theory that explains that the construction
of knowledge occurs through social interaction, as well as with forms of cognitive
development that occurs as the relationship between the individual and the social
context. There is an increasing competence pedagogy to teachers, may be the result
of reflection experiences that occur during training and built into new knowledge
resulting in balance, this concept is in accordance with the principles of constructivism
being applied in teaching and learning process (Piaget, 1952; Simon, 1994; Gillani
2010).
There is several level

on the implementation of Education and Training has

significantly increase teachers' understanding of inquiry-based science learning. This is


probably because during training, on two levels of inquiry with performed six levels of
different competencies that teachers undergo a process of continuous practice inquiry.
These findings are supported by previous studies that state that the competence of
teachers increased significantly after the training is done repeatedly, learning in the
cycle by sharing and discussions with the group to reach an agreement and
generalization, then use this generalization to new situations and start again with a new
cycle at higher levels (Simon, 1994; Hanuscin, 2013).
Design model apply the pattern in service learning and on the job learning allows
teachers have the opportunity to implement the results of training in a real learning
process in schools. Between in service learning and on the job learning there is a time
lag for the internalization. upon internalization occurs the rebuilding of the cognitive
competence of teachers in response to the presence of new learning gained from the

371

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

training. This concept is a process of assimilation and accommodation of Piaget that


may help improve teachers' pedagogical competence. The findings of this study are
supported by the results of previous research which states that an important factor of a
model of training is to give teachers sufficient time for implementation and learn in their
own views and provIde an opportunity to internalize the proceedings so as to be
comfortable using the inquiry in the classroom (Smith & Enfield, 2002; Banerjee, 2010;
Gulamhussein, 2013).
Implementation of real incremental Inquiry training model increase the
competence of science teachers pedagogical inquiry probably because the model is in
accordance with the needs of teachers who require training. Results of this study
confirmed the results of a study of the challenges facing teachers in the 21st century
related to cognitive development (Rotherham 2009) stating that what teachers need is
supporting and training which is much more powerful than what they receive today.

The efectivity of real incremental inquiry training model to increase pedagogical


inquiry competencies.
Increasing in knowledge of teaches inquiry may have been applied in the
implementation of learning because overall results differ significantly between early
learning implementation and execution of the final study. These results are supported
by the results of research Lakshmanan et al. (2010) which states that the effectiveness
of teacher professional development is characterized by changes in teachers'
knowledge and skills included in the terms of the practice of learning.
Based on the results of the assessment of teaching skills using inquiry approach
of four levels tested at the level of basic training, the teachers show the highest
increase in the level of Inquiry laboratory, in which all the inquiry competence level of
the Inquiry laboratory show a highly significant difference. Improvement of teaching
skills at the highest level of Inquiry laboratory likely caused by the understanding of
teachers during this time who think that inquiry is synonymous with activities in the
laboratory. The success of teachers in teaching science-based inquiry as the
implications of the increase knowledge acquired during the training in particular in the
Inquiry laboratory level is supported by previous studies (Lee, et al., 2004; Cacciatore
& sevian, 2006; Blanchard, et al., 2010; Maurer, et al., 2010), as evidence in the
teaching of inquiry open (Shedetzky, 2005) and in the implementation of guided inquiry
learning lab (Rissing & Cogan, 2009; Banerjee, 2010). Meanwhile, the increase inquiry

372

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

teaching skills of teachers in the level of discovery learning is positioned on the bottom
than the five other levels. In this case there probably a relationship between the
knowledge of the practice of preparing teachers with lesson plans and implement them.
At the advanced level training, improving teaching skills of the hypothetical
inquiry level is higher than the level of real world application. Higher increasing in the
competence of inquiry-based science teaching skills of the hypothetical inquiry level
due to the possibility of hypothetical inquiry level is the last level of the practice of
science teaching in schools so that teachers have received repeated experience of
learning from the previous level. Meanwhile, increasing of inquiry competency of the
discovery learning level is lower than the other levels. This is probably due to the
discovery learning level is the first level in the practice of science teaching so that
teachers still need time for adaptation. Improving the competence to teach science very
significant demonstrated by the teacher during on-the-job learning is likely due to the
fascilitator modeling have done repeatedly at the six level during in service learning, so
teachers get an Idea of how to teach science in accordance with the essence because
the modeling teachers learn how to teach, This is supported by other research that
modeling can improve the quality of science teachers in implementing the strategy of
inquiry learning in the classroom (Chinn & Hmelo-Silver, 2002; Smith & Enfield, 2002;
McBride et al., 2004), providing conceptualization of teaching which facilitates
appearance teachers in teaching (Fieman-Nemser, 1998; Lunenberg & Korthagen,
2003), later reinforced with Gulamhusen statement (2013) that the modeling has been
found as a very effective way to introduce new concepts and help teachers understand
new practices.
Other possibilities are the teacher have teaching practice in schools (Real
Teaching) at the basic level for in service learning and teaching practices in the
classroom Training (Peer Teaching) at the time in service learning for advanced level.
Teaching practice during training has provide a learning experience directly to teachers
as learners. This is in line with the results Wenning (2005) which states that the training
effective when teachers can act both as teachers and learners. Modeling is important in
creating change in depth view of the teaching and learning process (Segall, 2002).
Training which recommends ways to teach innovative but do not model it is apparent to
the teacher, then the changes in training it will not be a success (Russell, 1999, in
Bashan and Holsblat, 2012) because the teacher will bring a different message through
the pedagogic (Wood & Geddis, 1999).

373

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Judging from the acquisition of an average score on the discovery learning level
of competence in learning to draw conclusions is lowest among other competencies.
This is probably because there are no teachers invite students to make conclusions at
the end of the study due to lack of time. The teacher still needs to exercise more in
terms of set up time at the time of inquiry learning. The findings in this study are
supported by other studies that stated that teaching with inquiry takes much time. It is
necessary to the efficiency of time to conduct inquiry learning so as not to serve as a
barrier to the implementation of inquiry learning in school (Welch et al. 1981; Gengarely
& Abrams, 2009; Baseya & Francis, 2011).
Implementation of on the job learning in school has made teachers learn together
guided facilitator, either at the time of preparing the necessary media for learning and
teaching process itself because teachers who are not teaching present in the
classroom becomes an observer. Guidance given facilitators by means of discussion in
phase reflection during the process of learning together that might make the
competence of teachers increased significantly as confirmed by the results Ermeling
(2010) which states that the teaching of inquiry collaboratively, systematically, guided
by facilitators , using material that focus in inquiry, can see the causal emergence of
the problems found in the classroom teaching plan, the implementation of learning, and
student achievement.
During the on-the-job learning is also find that the teacher is able to evoke the
spirit and enthusiasm of students were high when following the inquiry-based science
learning. Almost 98% of students are actively involved in all activities, even though they
come from different intellectual backgrounds (intelligence level). High student
enthusiasm is also reflected in the questions some students in some classes, such as:
"Mom, what is the activities for tomorrow's? We have to bring anything from home?
"Students' high interest in participating in learning probably due to teachers teaching in
the form of varied activities such as exemplified in the activity guidelines and it is a new
activity for students. This is supported by the results of Wang et al. (2009) that inquiry
approach is still remains effective to classes with different initial knowledge. Reinforced
by several studies whose results stating that the inquiry learning has a positive effect
on student interest. Students show great interest in learning because of the novelty,
physical activity, and social engagement. (David, 2009; Opara, 2011).
Based on interviews at the end of basic level training and implementation phase
of reflection on the job learning for basic level training which is delivered in the initial

374

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

teacher training activity for advanced level, the teacher reveal an increase in
knowledge and competence in teaching science have pushed their confidence.
Teachers are motivated to develop a lesson plan that is more creative and innovative
ways to teach it. Results of this study are supported by the results of previous research
which states that the criteria for the success of the development program is to improve
the competence and increased motivation, interests, and confidence. (Lee, 2004;
Ostermeier, 2010; tRNA, Trnova, and SIBOR, 2012). Improved knowledge of inquiry as
a result of training effect on teacher beliefs inquiry-based science teaching in the
classroom (Saad & BouJaoude, 2012).
Implementation of the training which equips teachers with six pedagogical
competence level of inquiry is given in stages, the implementation in school has
managed to shift the locus of control between the roles of teachers and students in the
learning process. Teachers are able to position students more dominant when it is at a
higher level (hypothetical inquiry), while teachers act as facilitators.
Pedagogical competence of six level of inquiry ruled teachers, causing an
increase in intellectual perfection. For example, in practice, at the end of the activities
the teachers encourage the students to find a concept that is taught based on
experimental data and then explain it back scientifically. The acquisition of an average
score of competence to formulate the concept is not as high as competence to explain,
but the two differ significantly between early competence and the end. These research
findings in line with expectations, where the higher the competence of inquiry used by
teachers in learning science, the higher the intellectual level of the student. The results
are consistent with what has been done by Wenning (2010) concerning the use of a
sequence for teaching science inquiry learning. Wenning state that teaching by using a
sequence of learning spectrum, can enhance students 'understanding of concepts in
addition to developing students' understanding of scientific inquiry and the nature of
science. Wenning (2011) stated about the increased inquiry level of the teacher provide
a framework that helps ensure teaching that students thrive in terms of intellectual and
science process skills.
From the description above, it can be concluded that the inquiry level of junior
high school science teacher can be improved through education and training. Real
Incremental Inquiry Training Model with specific characteristics is the right model.
RIITM can be used to improve the pedagogycal inquiry competence, as reinforced by
Mao and Chang (1998), which suggests that the learning-oriented inquiry should be

375

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

used as the base vehicle to help learning science at the junior high school level.
Training of incremental inquiry proved to have a positive impact on the improvement of
pedagogical competence of teachers in the implementation of inquiry-based science
learning. Teachers competency in teaching science using various aspects of the
inquiry capability levels increased in both basic and advaced levels of education and
training. Ability to develop aspects of the inquiry at every level shows an increase, this
is proved by a significant difference between the initial score and the final score with a
large effect size. Implementation of the inquiry competency based on each stage in the
training makes learning more effective. Increase levels of competency for teachers
inquiry will be useful for developing higher skills in order to improve the quality of
science education in junior high school. The findings of the research can be used as
empirical data to become an alternative contribution to the development of education

and training.
REFERENCES
Baseya, J.M. & Francis, C.D. (2011). Design of inquiry-oriented science labs: impacts
on students attitudes. Research in Science & Technological Education, 29 (3),
241-255.
Bashan, B., & Holsblat. R. (2012). Co-teaching Through Modeling Processes:
Professional Development of Students and Instructors in a Teacher Training.
Program Mentoring & Tutoring: Partnership in Learning, 20(2), 207226.
Blanchard, M.R., Southerland, S.A., Osborne, J.W., Sampson, V.D., Annetta, L.A., &
Granger, E.M. (2010).Is inquiry possible in light of accountability?: A quantitative
comparison of the relative effectiveness of guided inquiry and verification
laboratory. Instruction Science Education, 94, 577 616.
Cacciatore, K.L. & Sevian, H. 2006. Teaching lab report writing through inquiry: A
green chemistry stoichiometry experiment for general chemistry. Journal of
Chemical Education. 83(7).
Chinn, C.A. & Hmelo-Silver, C.E. (2002). Authentic inquiry: Introduction to the special
section. Science Education, 86(2), 171174.
Cohen, J. (1988). Statistical power analysis for the behavioral science (2nd ed).
Hillsdale, NJ: Lawrence Earlbaum Associations.
Crawford, B. A. (2000). Embracing the essence of inquiry: New roles for science
teachers. Journal of Research in Science Teaching, 37(9), 916937.

376

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

David ,H. Palmer. (2009). Student interest generated during an inquiry skills lesson.
Journal of Research in Science Teaching, 46(2), 147-165.
Ermeling, B.A. (2010). Tracing the effects of teacher inquiry on classroom practice.
Teaching and Teacher Education. 26, 377388
Fieman-Nemser, S. (1998). Teachers as teacher educators. European Journal of
Teacher Education, 21(4), hlm. 337397.
Gall, D. M., & Borg, W. R. (1989). Educational research, an introduction. Boston: Allyn
and Bacon.
Gengarelly, L.M. & Abrams, E.D. (2009). Closing the gap: Inquiry in research and the
secondary science classroom. J Sci Educ Technol, 18, 7484
Henze, I., Driel, J.H., & Verloop, N. (2009). Experienced science teachers' learning in
the context of educational innovation. Journal of Teacher Education, 31 (11).
Komba,W.L & Nkumbi,E. (2008). Teacher professional development in Tanzania:
perceptions and practice, CICE Hiroshima University, Journal of International
Cooperation in Educaion.
Lakshmanan, A. (2010). The impact of science content and professional learning
communities on science teaching efficacy and standards-based instruction.
Journal of Research in Science Teaching , 48(5), 534551.
Lee, O. Hart, E.J, Cuevas, V. Enders, C. (2004). Professional development in inquirybased science for elementary teachers of diverse student groups. Journal of
Research in Science Teaching, 41(10), 10211043.
Loucks-Horsley, S., & Mundry. (2003). Designing professional development for
teachers of science and mathematics (2nd ed.). Thousand Oaks, CA, USA:
Corwin Press.
Lunenberg, M., & Korthagen, F. A. J. (2003). Teacher educators and student-directed
learning. Teaching and Teacher Education, 19(1), 2944.
Mao, S.L. & Chang, C.Y. (1998). Impacts of an inquiry teaching method on earth
science students learning outcomes and attitudes at the secondary school
level. Proc. Natl. Sci. Counc. ROC(D, 8 (3), 93-101.
Maurer, M.K., Bukowski, M.R., Monachery, M.D., & Zatorsky,A.R. (2010). Inquirybased Arson Investigation for general chemistry using GC-MS. Journal of
Chemical Education. 87(3), 311 313.

377

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

McBride, J.W. Bhatti, I.M. Hannan, A.M. Feinberg, M. (2004). Using an inquiry
approach to teach science to secondary school science teachers. Journal of
Physics Education, 39 (5). Retrieved from http:// www.iop.org/journal/physed.
Ministry of National Education (2003). Competency standard for teacher. Jakarta.
Ministry of National Education (2005). Government of Regulation Nomor 19/ 2005
about National Education Standard. Jakarta: Indonesia.
National

Research

Council

(1996).

National

Science

Education

Standards.

Washington: National Academy Press.


National Research Council. (2000). Inquiry and the National Science Education
Standards, a Guide for Teaching and Learning. Washington: National Academy
Press.
National Science Teacher Association (2003). Standard for Science Teacher
Preparation. America.
National Science Teacher Association (2011). Standard for Science Teacher
Preparation. America.
Opara, J.A. (2011). Inquiry method and student academic achievement in biology:
lessons and policy implications. American-Eurasian Journal of Scientific
Research, 6 (1), 28-31.
Saad, R. & BouJaoude, S. (2012). The Relationship between teachers knowledge and
beliefs about science and inquiry and

their classroom practices. Eurasian

Journal of Mathematics, Sci and Technology Education, 8(2), 113-8.


Segall, A. (2002). Disturbing practice: Reading teacher education as text. New York,
NY: Peter Lang.
Trna, J., Trnova., & Sibor, J. (2012). Implementation of inquiry-based science
education in science teacher training. Journal of educational and Instructional
Studies in The World, 2 (4), 23.
Wang, J.R., Wang,Y.C., Tai, H.J., & Chen,W.J. (2009). Investigating the effectiveness
of inquiry-based instruction on students with different prior knowledge and
reading abilities. International Journal of Science and Mathematics Education.
8(5), 801-820.
Wendt, G. (1962). 700 Science Experiments for Everyone, UNESCO Source Book for
Science Teaching.USA
Wenning, C.J. (2005) Implementing inquiry-based instruction in the science classroom:
A new model for solving the improvement-of-practice problem

378

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Wenning, C. J. (2010). Levels of inquiry: Using inquiry spectrum learning sequences to


teach science. Journal of Physics Teacher Education Online, 5(4), 11-19.
Wenning, C. J. (2011). The Levels of inquiry model of science teaching. Journal of
Physics Teacher Education Online, 6(2), 2-9.
Wood, E., & Geddis, A. N. (1999). Self-conscious narrative and teacher education:
Representing practice in professional course work. Teaching and Teacher
Education,15(1), 107119.
Yager, R.E. & Akcay,H. (2010 ). The advantages of an inquiry approach for science
instruction in middle grades. School Science and Mathematics. 110(1), 512.

379

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

PELAKSANAAN PENGUJIAN TAGIHAN ATAS BELANJA


NEGARA SEBAGAI BAGIAN PENGENDALIAN INTERNAL
SATUAN KERJA
Jamila Lestyowati
Balai Diklat Keuangan Yogyakarta
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan
Jl Yogya Solo Km 11 Purwomartani Kalasan Sleman DIY, 55571
(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstract: A Verification of finances bill is one form of state financial management
oversight with examining and analyzing evidence or proof of expenditure bill before
publish an Letter of Payment Order (Surat Perintah Membayar) that will burden the
state budget. PPSPM carry out the test based on wetmatigheid, rechtmatigheid and
doelmatigheids aspects. Tests carried out on the legal basis of the onset of the bill on
the load state expenditures, tests on the rights of the collectors and the validity of a bill
and tests on the intended use of the funds. PPSPM the last filter before the money out
of the treasury account. The task of testing is done before the issuance of documents
Letter to Payment Order. This study reveals how the implementation of the three
aspects of government spending bill in testing conducted by PPSPM. The analytical
method used is descriptive analysis with qualitative research. This study use
respondent from the training of Official Signatory Of Letter to Payment Order as a
PPSPM and treasury officials in unit labor ministry / agency. The results showed that
the verification of finances claim on the state budget has been executed, although
there are still obstacles on several sides.
Keywords : Verification of finances bill, Letter of Payment Order, Official Signatory Of
Letter to Payment Order, disbursement of state budget
Corresponding author: Jamila Lestyowati, Email jlestyowati@depkeu.go.id, Telepon
087868095807

380

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

PENDAHULUAN
a.

Latar Belakang
Pengujian tagihan merupakan salah satu rangkaian proses dari mekanisme

pencairan anggaran belanja negara. Mekanisme ini merupakan prosedur yang harus
dijalani dalam rangka memindahkan uang dari kas negara ke tangan yang berhak
menerimanya. Dalam mekanisme pencairan anggaran belanja negara ini, diperlukan
pihak yang terkait yaitu bendahara pengeluran, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan
Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM). Produk yang dihasilkan
dalam proses ini adalah Surat Perintah Membayar (SPM). Melalui SPM uang negara
kemudian dicairkan dan masuk ke rekening penerima yang berhak atas tagihan
belanja negara, baik bendahara pengeluran maupun pihak ke tiga.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara
Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
merupakan

salah

satu

aturan

yang

harus

dipedomani

dalam

pelaksanaan

perbendaharaan negara.
Secara eksplisit ketentuan mengenai pengujian tagihan belanja negara ada di
pasal 16 PMK 190/PMK.05/2012. Pengujian tagihan ini dilakukan dengan cara menguji
dokumen dan bukti yang terkait dengan belanja. Dalam praktiknya peran pengujian
yang seharusnya dilakukan oleh PPSPM ternyata ada yang dilakukan oleh staf
keuangan sekaligus yang menerbitkan SPMnya melalui aplikasi SPM.
Kenyataan lain yang dijumpai adalah pengujian tagihan sebagian besar hanya
dilakukan melalui dokumen kertas dan tidak melihat bukti fisiknya. Terdapat berbagai
hambatan yang menyebabkan pengujian tagihan ini tidak dilaksanakan sebagaimana
yang seharusnya. Pekerjaan pengujian yang dilakukan oleh bawahan PPSPM ini
banyak terjadi sedangkan PPSPM tinggal menandatangani SPM tersebut. Bahkan
untuk injek PIN SPM juga dilakukan oleh orang lain.
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin mengetahui sejauh mana
peran pengujian tagihan belanja negara ini dilakukan oleh PPSPM dan bagaimana
mekanisme pengujian yang dilakukannya melalui paper ini dengan judul Pengujian
Tagihan Atas Belanja Negara Sebagai Bagian Pengendalian Internal Satuan Kerja.
b.

Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dan dapat dijadikan referensi
adalah:

381

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

1. Amanina (2011) melakukan penelitian tentang evaluasi terhadap sistem


pengendalian intern pada proses pemberian kredit mikro. Hasil evaluasi
tersebut menunjukkan bahwa sistem yang diterapkan dalam proses pemberian
kredit telah memenuhi sebagian besar dari unsur-unsur pengendalian intern.
2. Hermiyetti

(2010)

melakukan

penelitian

tentang

pengaruh

penerapan

pengendalian internal terhadap pencegahan fraud pengadaan barang. Hasilnya


terdapat dampak dari pengendalian internal dalam pencegahan penyimpangan
dalam proses pelelangan. Artinya bahwa risiko penyimpangan dalam proses
pelelangan dapat ditekan dengan adanya sistem pengendalian internal yang
baik.
3. Rapina (2011) melakukan penelitian mengenai peranan sistem pengendalian
internal

yang

dihubungkan

dengan

efektivitas

dan

efisiensi

kegiatan

operasional pada siklus persediaan dan pergudangan. Hasilnya adalah sistem


pengendalian internal berperan sebesar 86,7 % dalam meningkatkan
efektivitas dan efisiensi kegiatan operasional pada siklus persediaan dan
pergudangan, sementara sebanyak 13,3 % terdapat faktor-faktor lain yang
memiliki peran.
4. Habibie (2013) melakukan analisis pengendalian intern piutang usaha pada PT
Adira Finance Cabang Manado. Hasilnya secara keseluruhan pengendalian
intern piutang usaha efektif.
5. Nugroho

(2014)

melakukan

penelitian

mengenai

pengaruh

intervensi

pengendalian dalam sistem pengendalian manajemen dan kaitannya dengan


kinerja perusahaan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pengendalian hasil
berpengaruh terhadap kinerja perusahaan.
6. Dico (2015) melakukan analisis pengelolaan dan pelaporan keuangan pada
satuan kerja bidang keuangan Polda Sulawesi Utara. Hasilnya adalah
pengelolaan dan pelaporan keuangan telah dijalankan dengan baik antara lain
melalui pengendalian.
7. Novitasari (2015) melakukan penelitian menganai pengaruh pengendalian
anggaran pada senjangan anggaran dan orientasi jangka pendek manajer.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengendalian anggaran berpengaruh
negatif pada senjangan anggaran dan berpengaruh positif pada orientasi
jangka pendek manajer.

382

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

8. Bakri (2015) melakukan penelitian tentang pengaruh efektivitas pengendalian


anggaran terhadap pelaksanaan anggaran berbasis kinerja pada Dinas
Pendidikan Kabupaten Boalemo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Efektifitas Pengendalian Anggaran (X) berpengaruh positif dan signifikan
terhadap Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja.

c.

Urgensi Topik
Penelitian ini mengambil tema pengujian tagihan atas tagihan belanja negara.

Topik ini sangat urgen dan penting mengingat filter terakhir sebelum uang keluar dari
kas negara adalah mekaniseme pengujian tagihan ini. PPSPM memiliki perananan
besar untuk melakukan pengendalian internal karena kewenangan pengujian tagihan
dan pembebanan anggaran belanja satuan kerja terletak di pundaknya.
Jumlah anggran belanja semakin meingkat setiap tahun di APBN sehingga
membutuhkan akuntabilitas dalam tahapan pelaksanaan sebagai bentuk penggunaan
anggaran tersebut di setiap satuan kerja. Sementara pelaksanaan tugas pengujian
tagihan ini belum sepenuhnya dilaskanakan dengan baik. Penelitian ini mencoba
menjadi bagian dari pemecahan masalah yang terjadi dalam proses pengujian tagihan
tersbut.

d.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membuat rumusan masalah
sebagai berikut:
a. Apakah latar belakang dilakukannya pengujian atas tagihan belanja negara?
b. Apa peran PPSPM dalam pengujian tagihan belanja negara?
c. Bagaimanakah mekaniseme pengujian yang dilakukan oleh PPSPM
d. Apa hambatan yang dihadapi PPSPM dalam melakukkan pengujian tagihan
belanja negara?
e. Bagaimana solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam pengujian tagihan?

e.

Tujuan Penelitian
Paper ini dibuat dengan tujuan sebagai berikut:
a. Untuk memahami latar belakang dilakukannya pengujian atas tagihan belanja
negara
b. Untuk mengetahui peran PPSPM dalam pengujian tagihan belanja negara

383

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

c. Untuk menjabarkan mekanisme pengujian yang dilakukan oleh PPSPM


d. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi PPSPM dalam melakukan
pengujian tagihan belanja negara
e. Untuk menemukan solusi atas permasalahan yang dihadapi dalam pengujian
tagihan

f.

Sistematika Penyajian
Paper ini terdiri dari lima bagian yaitu bagian pertama pendahuluan yang terdiri

dari beberapa subbagian yaitu latar belakang, penelitian terdahulu, urgensi topik,
rumusan masalah, tujuan penelitian dan sistematika penyajian.
Bagian kedua adalah Metodologi Penelitian yang berisi kerangka konseptual.
Bagian berikutnya adalah hasil, diskusi dan kesimpulan.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Metode penelitian deskriptif
bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala
yang ada, mengindetifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang
berlaku, membuat perbandingan atau evaluasi dan menentukan apa yang dilakukan
orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman
mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.
Dengan demikian metode penelitian deskriptif ini digunakan untuk melukiskan
secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu, dalam
hal ini bidang secara aktual dan cermat. Metode deskriptif bukan saja menjabarkan
(analitis), akan tetapi juga memadukan. Bukan saja melakukan klasifikasi, tetapi juga
organisasi.
Sumber data berasal dari data primer yaitu hasil kuesioner, wawancara,
pengamatan yang dilakukan selama proses penelitian dengan lokasi data yaitu BDK
Yogyakarta dengan lokus responden tersebar di Indonesia. Selain itu juga dilakukan
penelitian kepustakaan dengan menggunakan literatur dan peraturan perundangundangan yang berhubungan dengan topik ini.
Data diambil menggunakan metode kuesioner dan wawancara kepada pihak
terkait, yaitu Pejabat Penandatangan SPM, staf keuangan satker. Jumlah kuesioner
sebanyak 25 orang dengan teknik purposive sampling. Penentuan sampel digunakan
teknik teknik sampling purposive yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan

384

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

tertentu. Pertimbangan yang digunakan dalam penelitian adalah sehubungan dengan


penugasan dari instansi kepada peneliti untuk mengampu materi-materi pada Dikalt
Penguji Tagihan (DTSS) di Balai Diklat Keuangan Yogyakarta.
Penelitian ini akan mencoba untuk melihat kegiatan pengujian tagihan oleh
PPSPM sebagai salah satu mekanisme pencairan anggaran belanja satuan kerja.

Kerangka Konseptual
Tahapan pelaksanaan anggaran merupakan tahapan yang krusial dari
rangkaian siklus anggaran. Tahap inilah yang sering disorot publik karena di tahap ini
terlihat jelas kegiatan pemerintahan itu diselenggarakan. Pemerintahan yang reformatif
menjadi tumpuan pelaksanaan tahapan ini berjalan dngan baik. Menurut David Osborn
dan Ted Geble, salah satu prinsip program Reinventing Government Management
(REGOM) adalah pemerintahan yang berorientasi hasil yaitu mendanai hasil bukan
masukan (Sinambela, 2014).
Jika kepemerintahan sudah baik maka langkah berikutnya adalah melakukan
manajemen yang baik pula. Salah satu unsur manajemen adalah pengendalian.
Berikut

adalah

gambar

manajemen

dihubngakan

dengan

pencapaiantujuan

organiasasi.
Gambar 1. Pengendalian sebagai hubungannya dengan organisasi
Proses Manajemen

Input

Perencanaan Pengorganisasian

Tujuan

Sumberdaya

Pengarahan

Efektif dan

Pengendalian

efisien
Sumber : Adisaputro (2011) hal 4

Anggaran
Dalam perspektif manajemen, anggaran bukan sesuatu yang tercipta dalam
lingkungan yang hampa, tetapi merupakan komponen integral

dari perencanaan

anggaran sistem pengontrolan (budgetary planning and control system). Suatu sistem
perencanaan dan pengontrolan secara esensial adalah sebuah sistem untuk menjamin
bahwa terciptanya komunikasi, koordinasi dan pengontrolan dalam organisasi sektor
publik.(Harun, 2009)

385

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pengendalian (Controlling)
Sumarsan (2013) menyebutkan pengendalian didefinisikan sebagai hubungan
antara prosedur dan sistem yang berkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan.
Pengendalian akuntansi meliputi:
1. Penyusunan anggaran dan perencanaan berfungsi sebagai alat untuk
mencapai tujuan dan sebagai alat untuk mengukur kinerja perusahaan
2. Pelaksanaan rencana
3. Pemantauan kinerja
4. Mengevaluasi kinerja aktual terhadap rencana
5. Memperbaiki pengendalian terhadap hal yang terjadi diluar situasi

Menurut Konsorium Organisasi Profesi Audit Internal dalam bukunya Standar


Profesi Audit Internal dalam Rapina, fungsi audit internal harus mengevaluasi
kecukupan dan efektivitas sistem pengendalian internal, yang mencakup governance,
kegiatan operasi dan sistem informasi organisasi. Evaluasi sistem pengendalian
internal harus mencakup :
1. Efektivitas dan efisiensi kegiatan operasi
2. Keandalan dan integritas informasi
3. Keandalan terhadap peraturan perundang undangan yang berlaku
4. Pengamanan aset organisasi
Sedangkan sistem pengendalian internal didefinisikan sebagai berikut :
Semua tindakan yang dilakukan oleh manajemen, direksi, komisaris, ataupun pihak
lain untuk mengelola resiko dan meningkatkan kemungkinan tercapainya sasaran dan
tujuan yang ditetapkan. Manajemen merencanakan, mengorganisir dan mengarahkan
pelaksanaan tindakan yang memadai untuk meningkatkan kepastian bahwa tujuan
akan tercapai. Sistem pengendalian internal terdiri atas lingkungan pengendalian,
assesment resiko, kegiatan (prosedur) pengendalian, informasi dan komunikasi, serta
pemantauan pengendalian.
Pengujian Tagihan
PPSPM adalah pejabat yang diberi kewenangan oleh PA/KPA untuk
melakukan pengujian atas permintaan pembayaran dan menerbitkan perintah
pembayaran. Perintah pembayaran tersebut diwujudkan dalam dokumen Surat

386

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Perintah Membayar (SPM) yaitu dokumen yang diterbitkan oleh PPSPM untuk
mencairkan dana yang bersumber dari DIPA.
PMK

190/PMK.05/2012

menyatakan

bahwa

PPSPM

melaksanakan

kewenangan KPA untuk melakukan pengujian atas tagihan dan menerbitkan SPM.
Dalam melakukan pengujian tagihan dan menerbitkan SPM, PPSPM memiliki tugas
dan wewenang sebagai berikut:
a. menguji kebenaran SPP beserta dokumen pendukung;
b. menolak dan mengembalikan SPP, apabila SPP tidak memenuhi persyaratan
untuk dibayarkan;
c. membebankan tagihan pada mata anggaran yang telah disediakan;
d. menerbitkan SPM;
e. menyimpan dan menjaga keutuhan seluruh dokumen hak tagih;
f.

melaporkan pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran kepada KPA;


dan

g. melaksanakan

tugas dan

wewenang

lainnya

yang

berkaitan

dengan

pelaksanaan pengujian dan perintah pembayaran.

Sebagai salah satu pejabat perbendaharan yang harus ada di satuan kerja,
peran ini dilaksanakan oleh Kasubag Umum satuan kerja. Ketika akan menerbitkan
SPM, PPSPM melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. mencatat pagu, realisasi belanja, sisa pagu, dana UP/TUP, dan sisa dana
UP/TUP pada kartu pengawasan DIPA;
b. menandatangani SPM; dan
c. memasukkan Personal Identification Number (PIN) PPSPM sebagai tanda
tangan elektronik pada ADK SPM.
Sebelum menerbitkan SPM, PPSPM harus melakukan pengujian terlebih dahulu.
Pengujian terhadap SPP beserta dokumen pendukung yang
dilakukan oleh PPSPM meliputi:
a. kelengkapan dokumen pendukung SPP;
b. kesesuaian penanda tangan SPP dengan spesimen tanda tangan PPK;
c. kebenaran pengisian format SPP;
d. kesesuaian kode BAS pada SPP dengan DIPA/POK/Rencana Kerja Anggaran
Satker;

387

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

e. ketersediaan pagu sesuai BAS pada SPP dengan DIPA/ POK/ Rencana Kerja
Anggaran Satker;
f.

kebenaran

formal

dokumen/surat

keputusan

yang

menjadi

persyaratan/kelengkapan pembayaran belanja pegawai;


g. kebenaran formal dokumen/surat bukti yang menjadi persyaratan/kelengkapan
sehubungan dengan pengadaan barang/jasa;
h. kebenaran pihak yang berhak menerima pembayaran pada SPP sehubungan
dengan perjanjian/kontrak/surat keputusan;
i.

kebenaran perhitungan tagihan serta kewajiban di bidang perpajakan dari pihak


yang mempunyai hak tagih;

j.

kepastian telah terpenuhinya kewajiban pembayaran kepada negara oleh pihak


yang mempunyai hak tagih kepada negara; dan

k. kesesuaian

prestasi

pekerjaan

dengan

ketentuan

pembayaran

dalam

perjanjian/kontrak.
Salah satu butir pengujian diatas adalah pengujian kode Bagan Akun Standar
(BAS). Hal ini termasuk menguji kesesuaian antara pembebanan kode mata anggaran
pengeluaran (akun 6 digit) dengan uraiannya. Mekanisme pencairan anggaran belanja
negara dilakukan melalui dua mekanisme yaitu mekanisme Uang Persediaan (UP) dan
mekanisme Langsung (LS). UP adalah uang muka kerja dalam jumlah tertentu yang
diberikan kepada Bendahara Pengeluaran untuk membiayai kegiatan operasional
sehari-hari Satker atau membiayai pengeluaran yang menurut sifat dan tujuannya tidak
mungkin

dilakukan

melalui

mekanisme

pembayaran

langsung.

Sedangkan

Pembayaran LS adalah pembayaran yang dilakukan langsung kepada Bendahara


Pengeluaran/penerima hak lainnya atas dasar perjanjian kerja, surat keputusan, surat
tugas atau surat perintah kerja lainnya melalui penerbitan SPM LS. Dua mekanisme ini
membawa implikasi perbedaan dokumen yang harus dilampirkan ketika mengajukan
permintaan pembayaran kepada PPSPM.
HASIL
Responden dalam penelitian ini adalah peserta diklat Penguji Tagihan (DTSS)
di Balai Diklat Keuangan Yogyakarta. Data responden lebih jelasnya ditampilkan pada
Tabel 1 berikut ini.

388

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Tabel 1
Data Responden
No

Karakteristik

Jumlah

Asal Kementerian/ Kemenkeu

22

Lembaga

Non Kemenkeu

Kedudukan

PPSPM

11

Perbendaharaan

Staf Keuangan

Pejabat

Pengadaan/

Pejabat lain
PPK
3

Lamanya

s.d. 1 tahun

13

menduduki

Diatas 1 s.d. 3 tahun

jabatan

Diatas 3 tahun

Pendidikan

Diploma

S1

12

S2

s.d. 30 tahun

31 s.d. 40 tahun

10

41 s.d. 50 tahun

10

Diatas 50 tahun

Usia

Sumber : Data Primer, 2015

Adapun ringkasan hasil kuesioner terhadap penguji tagihan disajikan pada


Tabel 2.
Tabel 2
Ringkasan respon penguji tagihan terhadap kegiatan pengujian

No Pertanyaan

10

Score rata-rata

4.4

4.72

3.24

3.52

4.52

4.6

4.08

3.92

4.32

4.12

No Pertanyaan

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

Score rata-rata

4.24

4.32

4.4

4.28

4.08

3.96

3.84

4.52

4.44

Sumber: Data Primer, 2015

389

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

DISKUSI
Berdasarkan tabel 2 disampaikan hal-hal sebagai berikut:
a. item 1 : berhubungan dengan pemahaman bahwa PPSPM melaksanakan
pengujian berdasarkan pelimpahan kewenangan KPA. Hampir semua peserta
menyadari bahwa pelaksanaan tugas mereka karena ada pelimpahan sebagian
kewenangan KPA kepada PPSPM (score 80). Bahkan salah satu hasil
wawancara menunjukkan bahwa ketika responden sedang dalam perjalanan
dinas keluar kantor responden ingin mengembalikan kewenangan yang
dilimpahkan itu kembali kepada KPA
b. item 2: berhubungan dengan koordinasi dan komunikasi dengan pejabat
perbendaharaan lainnya yaitu PPK dan bendahara pengeluaran. Responden
sebagain besar (score 90) menyadari perlunya melakukan komunikasi secara
intens dengan koleganya di kantor agar dapat melaksanakan pencaairan
anggaran dengan baik.
c. Item 3: berhubungan dengan siapa yang melaksanakan pekerjaan pengujian di
kantor. Jawaban responden bervariasi. Hasil wawancara mengemukakan
bahwa PPSPM sering menyerahkan pekerjaan pengujian kepada bawahannya
dan memastikan semua dokumen lengkap, sehingga PPSPM tinggal tanda
tangan di dokumen SPM. Bahkan untuk aplikasi SPM sendri juga dikerjakan
oleh pihak lain.
d. Item 4 : berhubungan dengan kepemilikan atas staf PPSPM. Jawaban
responden juga bervariansi. Ada yang tidak memiliki staf

di kantornya

sehingga mereka sendiri yang melasanakan pekerjaan itu, ada yang memiliki
secara terstruktur dan ada yang tidak memliki staf sehingga pekerjaan
pengujian ditumpangkan kepada pihak lain.
e. Item 5: berhubungan dengan pemahaman akan beratnya tanggung jawab
sebagai PPSPM sebagai filter terakhir pengeluaran negara. Sebagian besar
respnden menyadari bahwa mereka memiliki kewenangan sekaligus tanggung
jawab yang besar dalam mekanisme pancairan anggaran belanja negara
f.

Item 6: berhubungan dengan tanggung jawab PPSPM secara hukum. Walupun


sebagain besar sependapat bahwa tanggung jawab PPSPM secara hukum
hanya secara formula namun ada juga yang memberikan pandangan
sebaliknya dengan score 2 dan 6

390

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

g. Item 7: berhubungan dengan kewenangan PPSPM juga menyangkut efisiensi


dan efektivitas serta kesesuain fisik. Jawaban bervariasi diberikan, dan
memang di kelas terdapat perbedaan pendapat yang cukup tajam, bahwa ada
yang berpendapat bahwa sebaiknya PSPM juga berhubungan dengan
tanggung jawab materiil, sementara yan lain hanya sebatas pada dokumen
saja
h. Item 8: menyangkut lembar kontrol dokumen. Jawaba yang bervariasi atas item
ini karena tidak semua PPSPM memiliki lembar kontrol ini. Padahal mereka
menyadari pentingnya lembar kontrol ini untuk memudahkan pengujian tagihan.
i.

Item 9: berhubungan dengan memastikan lampiran SPP benar. Sebagian


besar responden sepakat bahwa mereka memastikan semua dokumen harus
lengkap dulu sebelum menerbitkan SPM

j.

Item 10: berhubungan dengan pemahaman akan Bagan Akun Standar.


Sebagain besar responden (score 64) memahamai akun-akun yang ada di BAS
walaupun masih ada yang belum secara detail mengetahui kode akun-akun
BAS.

k. Item 11: berhubungan dengan pemahaman akan klasifikasi anggaran.


Responden mengetahui klasifikasi anggaran ini dengan baik.
l.

Item 12: berhubungan dengan pemahaman isi Petunjuk Operasional Kegiatan


(POK). Responden memahami isi POK dengan baik.

m. Item 13: berhubungan dengan pemahaman substansi Surat Permintaan


Pembayaran (SPP). Responden mengetahui SPP dengan baik.
n. Item 15: berhubungan dengan pengetahuan dan pemahaman jenis belanja
dalam DIPA. Sebagian besar responden memahami jenis belanja dengan baik.
o. Item 16: berhubungan dengan pengetahuan perhituangan perpajakan.
Sebagian

besar

responden

memiliki

pengetahuan

tentang

perpajakan

walaupun masih ada beberapa yang belum tahu dan ragu-ragu mengenai hal
ini.
p. Item 17: berhubungan dengan penyimpanan semua dokumen pengeluaran
dengan rapi. Terdapat variasi jawaban atas pertanyaan ini. Berdasarkan hasil
wawancara masih ada yang belum menyimpan dokumennya dengan rapi.
q. Item 18: berhubungan kelayakan untuk menjadi PPSPM. Bervariasinya
jawaban atas pertanyaan ini. Tidak semua responden merasa layak sebagai

391

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

PPSPM, namun ada beberapa responden yang merasa kurang atau tidak layak
menjadi PPSPM.
r.

Item 19: berhubungan tekad dan komitmen untuk bekerja dengan baik dalam
melakukan

pengujian

dan

pembebanan

tagihan.

Jawaban

responden

menunjukkan bahwa ada kemauan untuk bekerja dengan baik, muncul


komitmen untuk melakukan pengujian tagihan sesuai dengan aturan.
s. Item 20: berhubungan dengan kesadaran bahwa PPSPM merupakan bagian
dari perubahan besar ke arah Indonesia yang lebih baik. Respon sebagian
besar menjawab memahami peranan PPSPM sangat besar, walaupun ada
satu orang yang masih belum memahami bahwa peranan PPSPM ini juga
menentukan bagaimana Indoneisa lebih baik di masa depan.
KESIMPULAN
Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan berdasarkan uji coba dan
merujuk pada permasalahan penelitian ini sebagai berikut:
1. Pengujian tagihan merupakan salah satu tahapan dalam proses pencairan
anggaran belanja negara. Dengan jumlah anggaran satuan kerja yang besar
menjadikan tahapan pelaksanaan harus dilaksanakan secara akuntabilitas
dengan menerapkan prinsip-prinsip

pengendalaian

internal yang baik.

Pengujian merupakan salah satu bentuk pengendalian internal agar pencairan


anggaran belanja baik melalui UP maupun LS tepat sasaran, dilaksanakan
secara efisien dan efeketif.
2. PPSPM berperan besar dalam pengujian tagihan belanja negara ini. PPSPM
adalah filter terakhir sebelum uang negara keluar dari rekening kas negara
beralih ke rekning yang berhak menerima baik itu bendahara pengeluaran
maupun pihak ketiga.
3. Pengujian tagihan belanja dilakukan dengan cara menguji dokumen dan sema
kelengkapan yang diperlukan untuk pembayaran. Setiap jenis mekanisme
pembayaran memiliki dokumen dan bukti-bukti yang berbeda. Pengujian
dilakukan dengan aspek wetmatighheid, rechmatigheid dan doelmatigheid.
4. Dalam melaksanakan tugasnya, PPSPM menghadpai hambatan antara lain
keterbatasan kewenangan yang dimiliki PPSPM sebatas bentuk formal yaitu
melihat dokumen saja. Walaupun memang kewenangan materiil lebih banyak
ada pada PPK, namun PPSPM juga diajak berkoordinasi karena hal ini terkait

392

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dengan saat pencairan tagihan tersebut. Maka seyogyanya PPSPM juga


mengetahui sisi materiil sehingga disitulah implementasi sisi doelmatigheid
dalam pengujian. Selain itu juga PPSPM tidak memiliki staf yang membantu
pekerjaan pengujian tagihan.
5. Atas permasalahan tersebut, maka usulan solusi yang dapat dilakukan adalah
sebagai berikut:
a. PPSPM diberikan satu orang staf khusus membantu pengujian tagihan,
sehingga pekerjaan ini tidak ditimpakan kepada pihak lain yang sebenarnya
memiliki tugas dalam menghandle masalah keuangan juga.
b. Atas dasar pelaksanaan aspek doelmatigheid, maka PPSPM juga diajak ketika
PPK atau bendahara pengeluran melaksanakan tugasnya. Sehingga PPK
mengetahui sisi materiil dari tagihan belanja.
c. Masih ada PPSPM yang belum memahami peraturan dan tata cara pengujian,
maka

PPSPM

perlu

diikutkan

dalam

pelatihan

untuk

meningkatkan

pengetahuan dan keterampilan terkait pekerjaannya sehari-hari.


DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Republik Indonesia, UU nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara


----------------------------, UU nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
----------------------------,Keputusan Presiden nomor 42 tahun 2002 jo keppres nomor 72
tahun 2004 tentang pedoman pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara
----------------------------,PMK nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran
Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

Buku
Adisaputro, Gunawan, Anggraini, Yunita (2011). Anggaran Bisnis:
Perencanaan, dan Pengendalian Laba. Yogyakarta: UPP STIM YKPN.

Analisis,

Harun. (2009). Reformasi Akuntansi dan Manajemen Sektor Publik di Indonesia.


Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Hartadi, Bambang (1992). Sistem Pengendalian Intern dalam Hubungannya Dengan
Manajemen dan Audit, Yogyakarta, BPFE

393

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sinambela, Lijan Poltak. (2014). Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan dan
Implementasi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Sumarsan, Thomas . (2013). Sistem Pengendalian Manajemen: Konsep,
dan Pengukuran Kinerja Edisi 2. Jakarta: Penerbit PT Indeks.

Aplikasi,

Jurnal
Amanina (2011). Evaluasi Terhadap Sistem Pengendalian Intern Pada Proses
Pemberian Kredit Mikro (Studi Pada PT. Bank Mandiri (Persero) TBK Cabang
Majapahit Semarang), Undip.
http://eprints.undip.ac.id/26647/ diunduh 15 Maret 2016
Bakri (2015), Pengaruh Efektivitas Pengendalian Anggaran
Terhadap Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja pada Dinas Pendidikan Kabupaten
Boalemo. Al-Buhuts Volume 11 Nomor 1 Juni 2015,Hal 167-184
http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/ab diunduh 15 Maret 2016
Dico (2014), Analisis Pengelolaan dan Pelaporan Keuangan pada Satuan Kerja
Bidang Keuangan Polda Sulawesi Utara. Jurnal EMBA Vol.2 No.2 Juni 2014, Hal.
1130-1140 ejournal.unsrat.ac.id/index.php/emba/article/.../4516 diunduh 15 Maret
2016
Habibie, Nabila (2013). Analisis Pengendalian Intern Piutang Usaha Pada
PT Adira Finance Cabang Manado, Jurnal EMBA. 1 (3), pp. 494-502
ejournal.unsrat.ac.id/index.php/emba/article/.../1460 diunduh 15 Maret 2016
Hermiyetti (2010). Pengaruh Penerapan Pengendalian Internal Terhadap
Pencegahan Fraud Pengadaan Barang, JAAI UII 2010
journal.uii.ac.id/index.php/JAAI/article/.../2054 diunduh 15 Maret 2016
Novitasari (2015), Pengaruh Pengendalian Anggaran pada Senjangan Anggaran dan
Orientasi Jangka Pendek Manajer. E-Jurnal Akuntansi Universitas Udayana. Vol.13.3
(2015). 1199-1227 ojs.unud.ac.id/index.php/Akuntansi/article/.../11929 diunduh 15
Maret 2016
Nugroho (2014) Pengaruh Intervensi Pengendalian Dalam Sistem
Pengendalian Manajemen dan Kaitannya Dengan Kinerja Perusahaan (Studi Pada
PDAM Kabupaten Wonogiri), skripsi UMS
eprints.ums.ac.id/30348/ diunduh 15 Maret 2016
Rapina, Christyanto, Leo (2011). Peranan Sistem Pengendalian Internal Dalam
Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi Kegiatan Operasional Pada Siklus Persediaan
dan Pergudangan (Studi Kasus Pada PT.Ultrajaya Milk Industry & Trading Company
Tbk Bandung), Akurat Jurnal Ilmiah Akuntansi, 06 (2).
majour.maranatha.edu/index.php/maksi/article/.../610 diunduh 15 Maret 2016

394

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

PENGGUNAAN TEKNIK DATA MINING UNTUK


MENGKLASIFIKASIKAN DAERAH PENERIMA
DANA INSENTIF DAERAH
Eki Mahipal
Direktorat Transformasi Perbendaharaan, Kementerian Keuangan
Gedung Prijadi Praptosuhardjo IIIB Jl. Wahdin 2 No 3,
Jakarta Pusat 10710 Indonesia
Khamami Herusantoso
Pusdiklat Keuangan Umum, Kementerian Keuangan
Jl. Pancoran Timur 2 No 1, Jakarta 12780 Indonesia
(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstract: Regional Incentive Fund (DID) is allocated to a particular area by considering the
specific criteria for the implementation of educational functions. In 2015 the allocation looks
uneven. 7 provinces and 61 regencies/cities get only minimum allocation. This raises the
question of which variables determine the allocation of Regional Incentive Fund. With the
current technology, the problems can be solved by using the Knowledge Discovery from
Data (KDD) or data mining. Data mining is the process of discovering patterns in large data
sets. The process of data mining with classification method and decision tree produced 9
models that will be evaluated to get the best model. The selected classification model can
explain the classification of the DID receiving area based on attributes of the area.
Keywords: data mining, regional incentive fund, classification, decision tree
Corresponding author: Khamami Herusantoto, E-mail: email : khamami2005@gmail.com
Tel/Fax.: 021-7996019

Pendahuluan
Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dalam desentralisasi, di
mana daerah otonom diberikan kewenangan untuk menggali potensi sumber-sumber
pendapatan daerah, yaitu melalui pajak/retribusi, yang disebut Pendapatan Asli Daerah
(PAD). Namun, sumber pendapatan tersebut sangat terbatas dan tidak mencukupi dalam
memenuhi kebutuhan daerah. Oleh karena itu, pemerintah pusat memberikan dukungan
pendanaan lain kepada pemerintah daerah yang disebut transfer ke daerah dalam bentuk
Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian. Dana Perimbangan
bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah

395

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Daerah dan antar-Pemerintah Daerah. Dana Otonomi Khusus merupakan dana yang
dialokasikan untuk membiayai pelaksanaan otonomi khusus suatu daerah, dan Dana
Penyesuaian merupakan kebijakan pemerintah untuk membantu daerah dalam rangka
melaksanakan kebijakan tertentu sesuai dengan peraturan perundangan.
Sejak tahun 2010, Pemerintah Pusat mengeluarkan kebijakan pemberian Dana
Penyesuaian kepada daerah berupa Dana Insentif Daerah (DID). Dalam Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 8/PMK.07/2014 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Insentif
Daerah Tahun Anggaran 2014, DID merupakan Dana Penyesuaian yang digunakan dalam
rangka fungsi pendidikan, yang dialokasikan kepada daerah dengan mempertimbangkan
kriteria kinerja tertentu, yaitu kriteria kinerja utama, kriteria kinerja keuangan, kriteria kinerja
pendidikan, kriteria kinerja ekonomi dan kesejahteraan, dan batas minimum kelulusan
kinerja. Alokasi DID bertujuan untuk mendorong agar daerah berupaya mengelola
keuangannya lebih baik yang ditunjukkan dengan perolehan opini Badan Pemeriksa
Keuangan atas laporan keuangan pemerintah daerah dan selalu menetapkan APBD tepat
waktu.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2015, Alokasi DID tahun 2015
Rp1.664.500.000.000,00,

dengan

proporsi

10%

untuk

provinsi

adalah sebesar

dan

90%

untuk

kabupaten/kota. Total daerah penerima DID tahun 2015 berjumlah 135 daerah, yang terdiri
dari 13 daerah provinsi, dan 122 daerah kabupaten/kota. Namun, alokasi DID tahun 2015
pada tiap-tiap daerah provinsi ataupun daerah kabupaten/kota terlihat tidak merata. Dari 13
provinsi penerima, sebanyak 7 (tujuh) provinsi hanya mendapatkan alokasi minimum, dan
dari 122 kabupaten/kota penerima, sebanyak 61 kabupaten/kota hanya mendapatkan
alokasi minimum. Hal ini menimbulkan pertanyaan variabel apa yang menentukan
penetapan daerah penerima DID dan bagaimana klasifikasi daerah sehingga mendapatkan
alokasi yang berbeda. Pengetahuan mengenai variabel dan klasifikasi daerah penerima DID
sangat diperlukan agar pemerintah daerah dapat memperkirakan pendapatan daerah
sehingga menyusun program-program sesuai fungsi pendidikan yang akan dilakukan
dengan dana tersebut dalam APBD dan berupaya untuk mengelola keuangan dengan lebih
baik.
Salah satu cara untuk menemukan pola-pola tersembunyi dalam suatu data yang
berjumlah besar adalah dengan menggunakan data mining. Penggunaan data mining telah
banyak dilakukan dalam pengambilan keputusan. Chopoorian et al. dalam Liu dan Chen
(2009)

menyatakan

bahwa

dengan

396

menggunakan

data

mining

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

perusahaan dapat memahami pelanggannya dengan lebih baik. Salah satu teknik dalam
data mining adalah klasifikasi. Menurut Fu (1997), klasifikasi dalam data mining adalah
turunan dari suatu fungsi atau model yang menggambarkan kelas dari suatu objek
berdasarkan atributnya. Algoritma yang digunakan dalam penelitian ini adalah decision tree.
Alasan penggunaan metode ini adalah karena selain pembangunan model yang relatif
cepat, hasil dari model yang dibangun pun mudah untuk dipahami. Dengan menerapkan
teknik klasifikasi dan metode decision tree pada data alokasi Dana Insentif Daerah,
diharapkan nantinya dapat digunakan untuk mengklasifikasikan daerah penerima DID
berdasarkan atribut yang dimiliki daerah tersebut.

Metode
Data mining dapat disamakan dengan Knowledge Discovery in Databases (KDD) atau
dapat juga dikatakan sebagai salah satu langkah penting dalam menemukan pengetahuan
di dalam databases. Secara umum, proses KDD terdiri dari langkah-langkah berikut (Han et
al. 2012):
a.

Pembersihan data (data cleaning), yaitu menghilangkan noise atau data yang tidak
relevan.

b.

Integrasi data (data integration), yaitu menggabungkan beberapa sumber data.

c.

Pemilihan data (data selection), yaitu pemilihan data relevan yang didapat dari
database.

d.

Transformasi data (data transformation), yaitu melakukan transformasi dan konsolidasi


pada data ke dalam bentuk yang sesuai untuk dilakukan penggalian.

e.

Data mining, yaitu proses untuk mendapatkan pola tertentu dengan melakukan metode
tertentu.

f.

Evaluasi pola (pattern evaluation), yaitu proses identifikasi pola yang menarik yang
merepresentasikan suatu informasi atau pengetahuan.

g.

Knowledge presentation, yaitu penggunaan teknik tertentu untuk merepresentasikan


suatu pengetahuan yang telah digali kepada pengguna.
Menurut Han et al. (2012), klasifikasi adalah proses menemukan sebuah model (atau

fungsi) yang menjelaskan dan membedakan kelas-kelas atau konsep-konsep tertentu. Hal
ini sejalan dengan Fu (1997), yang menyatakan klasifikasi dalam data mining adalah
turunan dari suatu fungsi atau model yang menggambarkan kelas dari suatu objek
berdasarkan atributnya. Atribut adalah field data yang menggambarkan karakteristik atau
fitur dalam suatu objek data (Han et al. 2012). Fungsi atau model klasifikasi dibangun
dengan

menganalisis

hubungan

antara

397

atribut

dan

kelas

objek

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dalam set pelatihan (training set). Fungsi atau model klasifikasi seperti ini dapat
digunakan untuk memprediksi kelas dari objek-objek yang belum diketahui kelasnya.
Menurut Gorunescu (2011), komponen dasar dari proses klasifikasi terdiri dari empat
komponen, yaitu kelas (class), prediktor (predictors), set data pelatihan (training dataset),
dan set data pengujian (testing dataset).
a.

Kelas (class).

Kelas merupakan variabel dependen dalam model yang berupa variabel kategorikal yang
merepresentasikan label yang diberikan pada objek setelah dilakukan klasifikasi.
Contohnya adalah kelas loyalitas pelanggan, kelas bintang-bintang dalam galaksi, kelas
kondisi keuangan perusahaan, kelas gempa bumi, dan sebagainya.
b.

Prediktor (predictors).

Prediktor merupakan variabel independen dalam model yang direpresentasikan oleh


karakteristik/atribut data yang akan diklasifikasikan dan menjadi dasar pembuatan
klasifikasi. Contoh-contoh prediktor adalah frekuensi pembelian, rasio keuangan, jumlah
konsumsi alkohol, tekanan darah, status pernikahan, dan sebagainya.
c.

Set data pelatihan (training dataset).

Set data pelatihan adalah sekumpulan data yang berisi nilai-nilai dari komponen kelas
dan prediktor, dan digunakan untuk melatih model untuk mengenali kelas yang sesuai
berdasarkan prediktor yang tersedia. Contoh set data pelatihan antara lain sekelompok
pasien yang telah diuji pada serangan jantung, sekelompok pelanggan supermarket yang
telah disurvey sebelumnya, dan sebagainya.
d.

Set data pengujian (testing dataset).

Set data pengujian adalah sekumpulan data baru yang akan diklasifikasikan dengan
model yang telah dibangun (klasifikator), sehingga akurasi model klasifikasi ini (performa
model) dapat dievaluasi.
Kerangka kerja proses klasifikasi yang ditunjukkan pada Gambar 1 terdiri dua langkah,
yaitu induksi dan deduksi. Induksi merupakan langkah untuk membangun model klasifikasi
dari data latih yang diberikan, yang disebut juga dengan proses pelatihan, sedangkan
deduksi merupakan langkah untuk menerapkan model pada data uji, sehingga dapat
diketahui kelas dari data uji yang sesungguhnya, yang dapat disebut juga dengan proses
prediksi. (Prasetyo 2014).

398

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Gambar 1 Proses Klasifikasi

Input Data
Latih (x,y)

Algoritma
Pelatihan

Pembangunan
Model

Input Data Uji


(x,?)

Penerapan
Model

Output Data
Uji (x,y)

Hasil dan Diskusi


Input dari proses KDD ini adalah file Nominasi Daerah Penerima DID 2015.xls, file Data
BPS KEK DID.xls, dan KFD untuk DID 2015 yang berisi data-data yang diperlukan dalam
proses data mining. Data yang digunakan merupakan penggabungan dari beberapa
worksheet yang terdapat pada file input dan yang dijadikan dasar untuk proses KDD adalah
Worksheet yang terdapat pada file Nominasi Daerah Penerima DID 2015.xls.
Data mining dilakukan dengan menggunakan tahapan Knowledge Discovey from Data
(KDD). Tahapan tersebut terdiri dari data cleaning, data integration, data selection, data
transformation, data mining, pattern evaluation, dan knowledge presentation.
1.

Data cleaning.

Atribut Opini atas LKPD 2012-2013 yang berisi sub atribut Tetap WTP, WDP ke WTP,
Belum Susun/ TMP ke WTP, Tetap WDP, Adverse ke WDP, Belum Susun ke WDP, dan
Disclaimer ke WDP dihapus karena akan dijadikan label dalam atribut Opini. Atribut Resume
Perda, Resume Opini, Resume PAD, Reduction Shortfall IPM, Jumlah LKPD tepat waktu,
Filter Elig, KKD, KK Pendidikan, KEK, Skor Final, Skor Daerah yang Eligible, dan Skor
daerah yang lulus Passing Grade, dihapus karena merupakan perhitungan skor, sedangkan
yang ingin diketahui adalah atribut sumber sebelum dilakukan perhitungan skor.
2.

Data integration.

Data diambil dari worksheet Opini BPK 2011, Perda APBD Tepat Waktu DID, Tgl
Laporan, PAD, IPM shortfall, KEK, Oprekan APK, dan Alokasi DID pada file Nominasi
Daerah Penerima DID 2015.xls, worksheet Pengangguran, Kertas Kerja Kemiskinan, dan
Laju PDRB ADHK TM pada file Data BPS KEK DID.xls diambil, serta worksheet Provinsi
dan Kabkot pada file KFD untuk DID 2015.xls.

399

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

3.

Data selection.

Data selection merupakan pemilihan data yang akan dijadikan atribut dalam menentukan
klasifikasi daerah penerima DID. Jumlah data yang akan digunakan adalah 456 data, dan
jumlah atribut yang akan digunakan dalam proses data mining adalah 44 atribut, yang terdiri
dari 43 atribut prediktor, dan 1 atribut kelas.
Dari worksheet Opini BPK 2011, atribut prediktor yang digunakan adalah OP1, OP2, dan
OP3. Atribut tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Atribut Opini BPK atas LKPD
Atribut

Keterangan

OP1

Opini BPK atas LKPD


Tahun ke-t

Nilai
WTP
WDP
TMP
TW

Opini BPK atas LKPD


Tahun ke-(t-1)
Opini BPK atas LKPD
Tahun ke-(t-2)

OP2
OP3

Atribut yang digunakan dari worksheet Perda APBD Tepat Waktu DID dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2 Perda APBD Tepat Waktu
Atribut
PER1

PER2

PER3

Keterangan
Penetapan
Perda
APBD tahun ke-t tepat
waktu
Penetapan
Perda
APBD tahun ke-(t-1)
tepat waktu
Penetapan
Perda
APBD tahun ke-(t-2)
tepat waktu

Nilai
Y: Ya
N: Tidak

Atribut yang digunakan dari worksheet Tgl Laporan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Atribut Penyampaian LKPD Tepat Waktu
Atribut
LK1
LK2

LK3

Keterangan
Penyampaian
LKPD
tahun ke-t tepat waktu
Penyampaian
LKPD
tahun ke-(t-1) tepat
waktu
Penyampaian
LKPD
tahun ke-(t-2) tepat
waktu

Nilai
Y: Ya
N: Tidak

Atribut yang digunakan dari worksheet PAD dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Atribut PAD
Atribut
PAD1

Keterangan
Nilai
PAD periode ke-(t-1) Y: Ya
meningkat di atas rata- N: Tidak
rata nasional

400

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

PAD2

PAD3

PAD4
PAD5

PAD
periode
ke-t
meningkat di atas ratarata nasional
PAD
periode
ke-t
meningkat
di
atas
periode ke-(t-1)
Persentase peningkatan Numerik
PAD periode ke-(t-1)
Persentase peningkatan Numerik
PAD periode ke-t

Atribut yang digunakan dari worksheet Oprekan APK dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Atribut Angka Partisipasi Sekolah
Atribut
APK1

APK2

APK3

SD
SMP

Keterangan
APK SD atau APK
SMP tahun ke-t > ratarata nasional
APK SD dan APK SMP
tahun ke-t > rata-rata
nasional
APK SD dan APK SMP
tahun ke-t > rata-rata
nasional, serta APK
SMP > APK SD
APK SD tahun ke-t
APK SMP tahun ke-t

Nilai
Y: Ya
N: Tidak

Numerik
Numerik

Atribut yang digunakan dari worksheet IPM shortfall dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Atribut Reduction Shortfall IPM
Atribut
IPM1
IPM2
IPM3
IPM4
IPM5

Keterangan
IPM periode ke-(t-1) >
rata-rata nasional
IPM periode ke-t >
rata-rata nasional
IPM periode ke-t >
IPM periode ke-(t-1)
IPM periode ke-(t-1)
IPM periode ke-t

Nilai
Y: Ya
N: Tidak

Numerik
Numerik

Atribut yang digunakan dari worksheet Laju PDRB ADHK TM dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Atribut Pertumbuhan Ekonomi
Atribut
PDRB1

PDRB2

PDRB3

Keterangan
Pertumbuhan PDRB
tahun ke-t > rata-rata
nasional
Pertumbuhan PDRB
tahun ke-t dan ke-(t1)
>
rata-rata
nasional,
dan
pertumbuhan PDRB
tahun
ke-(t-1)
>
pertumbuhan PDRB
tahun ke-t
Pertumbuhan PDRB
tahun ke-t dan ke-(t1)
>
rata-rata

Nilai
Y: Ya
N: Tidak

401

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

PDRB4
PDRB5

nasional,
pertumbuhan
tahun
t
pertumbuhan
tahun ke-(t-1)
Pertumbuhan
tahun ke-(t-1)
Pertumbuhan
tahun ke-t

dan
PDRB
>
PDRB
PDRB

Numerik

PDRB

Numerik

Atribut yang digunakan dari worksheet Kertas Kerja Kemiskinan dapat dilihat pada Tabel
8.
Tabel 8 Atribut Tingkat Kemiskinan
Atribut
TM1

TM2
TM3

TM4

TM5

Keterangan
Pengurangan
tingkat
kemiskinan periode ke(t-1)
Pengurangan
tingkat
kemiskinan periode ke-t
Pengurangan
tingkat
kemiskinan periode ke-t
> rata-rata nasional
Pengurangan
tingkat
kemiskinan periode t
dan periode ke-(t-1) >
rata-rata nasional, dan
pengurangan
tingkat
kemiskinan periode ke(t-1) > periode t
Pengurangan
tingkat
kemiskinan periode ke-t
dan periode ke-(t-1) >
rata-rata nasional, dan
pengurangan
tingkat
kemiskinan ke-t di atas
periode ke-(t-1)

Nilai
Numerik

Numerik
Y: Ya
N: Tidak

Atribut yang digunakan dari worksheet Pengangguran dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Atribut Tingkat Pengangguran
Atribut
TPT1
TPT2
TPT3
TPT4

TPT5

TPT6

Keterangan
TPT tahun ke-t
TPT tahun ke-(t-1)
TPT tahun ke-(t-2)
Pengurangan
TPT
periode ke-t > rata-rata
nasional
Pengurangan
TPT
periode ke-t dan periode
ke-(t-1)
>
rata-rata
nasional,
serta
pengurangan
TPT
periode
ke-(t-1)
>
pengurangan
TPT
periode ke-t
Pengurangan
TPT
periode ke-t dan periode
ke-(t-1)
>
rata-rata

Nilai
Numerik
Numerik
Numerik
Y: Ya
N: Tidak

402

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

nasional,
pengurangan
periode
ke-t
pengurangan
periode ke-(t-1)

serta
TPT
>
TPT

Atribut yang digunakan dari worksheet Provinsi dan Kabkot dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Atribut Kemampuan Fiskal Daerah
Atribut
KFD
KUADRAN

PRIORITAS

Keterangan
Nilai
Angka Kapasitas Numerik
Fiskal Daerah
4: Kapasitas > rata-rata
nasional, IPM < rata-rata
nasional
3: Kapasitas < rata-rata
nasonal, IPM < rata-rata
nasional
1: Kapasitas > rata-rata
nasional, IPM > rata-rata
nasional
2: Kapasitas < rata-rata
nasional, IPM > rata-rata
nasional
Prioritas Daerah

Atribut kelas yang digunakan adalah Alokasi DID. Atribut ini merepresentasikan label
yang diberikan pada objek setelah dilakukan klasifikasi. Dalam penelitian ini, label kelas
didasarkan pada alokasi yang diterima oleh pemerintah daerah. Hal ini sesuai tujuan
penelitian yang ingin melihat bagaimana klasifikasi daerah penerima DID sehingga
mendapatkan alokasi yang berbeda. Atribut Alokasi DID memiliki nilai 0-26.162.830.000
yang merupakan rupiah alokasi DID yang diterima oleh daerah. Karena masih berupa
angka, maka nilai harus diubah terlebih dahulu menjadi label agar dapat terlihat pola dari
hasil klasifikasi yang akan dilakukan. Nilai dibagi menjadi 5 kelas yang didasarkan pada
hasil perhitungan oleh Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. Label kelas yang
digunakan adalah sebagai berikut:

P2, berisi daerah yang mendapatkan alokasi minimum ditambah alokasi berdasarkan
kriteria kinerja. Untuk provinsi yaitu yang mendapatkan alokasi lebih dari Rp20,87 miliar
ditambah dengan alokasi minimum sebesar Rp2-3 miliar. Untuk kabupaten/kota yaitu
yang mendapatkan alokasi lebih dari Rp17,63 miliar ditambah dengan alokasi minimum
sebesar Rp2-3 miliar.

P1, berisi daerah yang hanya mendapatkan alokasi berdasarkan kriteria kinerja. Untuk
provinsi yaitu yang mendapatkan alokasi lebih dari Rp20,87 miliar dan untuk
kabupaten/kota yaitu yang mendapatkan alokasi lebih dari Rp17,63-22,37 miliar, dan
tidak memenuhi kriteria untuk mendapatkan alokasi minimum.

403

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

AM2, berisi daerah yang hanya mendapatkan alokasi minimum senilai Rp3 miliar.

AM1, berisi daerah yang hanya mendapatkan alokasi minimum senilai Rp2 miliar.

NA, berisi daerah yang tidak mendapatkan alokasi.


4.

Data transformation.

Pada tahap ini data yang telah dibentuk akan diubah ke format yang sesuai dengan
software yang digunakan. File Dataset_DID yang akan digunakan dalam proses data mining
masih dalam bentuk .xls. Pada aplikasi Weka format yang dapat digunakan antara lain
format .csv dan .arff. Untuk itu, file tersebut terlebih dahulu akan diubah ke dalam format
.csv.
5.

Data mining.

Proses data mining dalam penelitian ini menggunakan teknik klasifikasi. Teknik klasifikasi
dilakukan dengan metode decision tree C4.5 dan mode pengujian 10 fold cross-validation
untuk mendapatkan beberapa model dengan mengatur paramater-parameter tertentu
hingga diperoleh model yang terbaik yang akan dijadikan pengetahuan. Aplikasi yang
digunakan dalam proses data mining adalah Weka 3.6.11 dan data yang digunakan adalah
Dataset_DID.csv. Teknik klasifikasi dengan metode decision tree C4.5 yang pada aplikasi
Weka disebut dengan J48.
Sebuah model yang dihasilkan dengan penggunaan metode decision tree biasanya
memiliki akurasi yang tinggi namun diiringi dengan output model yang rumit, sehingga untuk
memahami pola yang dihasilkan diperlukan penjelasan yang cukup panjang. Untuk
menghasilkan model yang lebih sederhana, dapat digunakan fitur pruning, yaitu fitur untuk
merampingkan model yang dihasilkan sehingga output lebih mudah dipahami.
Oleh karena itu, pembentukan model klasifikasi daerah penerima DID dibagi menjadi
menjadi dua bagian, yaitu model yang tidak menggunakan fitur pruning atau disebut dengan
unpruned dan model dengan menggunakan fitur pruning.
a.

Model tanpa fitur pruning (unpruned).

Model dibuat tanpa menggunakan fitur pruning. Artinya tidak ada perampingan model
yang dihasilkan. Untuk menghasilkan model, parameter unpruned pada J48 diset ke pilihan
TRUE dan parameter lain diset pada default. Parameter yang digunakan untuk
menghasilkan model D1 dapat dilihat pada Tabel 11.

404

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Tabel 11 Parameter untuk Model D1


Parameter
binarySplits
confidenceFactor
debug
MinNumObj
numFolds
reduceErrorPruning
saveInstanceData
seed
subtreeRaising
unpruned
useLaplace

Isi
FALSE
0,25
FALSE
2
3
FALSE
FALSE
1
TRUE
TRUE
FALSE

Model D1 memiliki jumlah daun 34 dan jumlah pohon 62. Jumlah ini masih terbilang
banyak untuk ukuran data yang digunakan.
b.

Model dengan fitur pruning.

Untuk mengurangi ukuran daun dan pohon yang terbentuk, selanjutnya digunakan fitur
pruning. Pruning terdiri atas dua bagian, yaitu pre pruning dan post pruning.
1)

Pre pruning.

Pre pruning merupakan fitur pruning dengan cara membatasi jumlah minimum instance
pada setiap daun. Jika suatu daun memiliki instance kurang dari jumlah minimum yang
ditetapkan, maka daun tersebut akan dipangkas sehingga menghasilkan pohon keputusan
yang lebih sederhana.
Pada Weka, membuat model dengan fitur pre pruning dilakukan dengan cara mengubah
parameter unpruned menjadi FALSE, artinya model dibuat dengan fitur pruning. Parameter
berikutnya yang diubah adalah Confidence Factor menjadi mendekati angka 1, yaitu menjadi
0,95. Confidence Factor merupakan parameter yang digunakan dalam fitur post pruning
yang akan dibahas pada bagian berikutnya.
Parameter lain yang diubah dalam pre pruning adalah minNumObj. Parameter
minNumObj merupakan parameter yang berfungsi untuk menentukan jumlah minimum
instance pada setiap daun. Parameter minNumObj dijadikan dasar dalam pembentukan
model D2, D3, D4, dan D5. Model D2, D3, D4, dan D5 secara berurutan menggunakan
minNumObj sebesar 2, 5, 10, dan 15.
Model yang dibuat dengan menggunakan fitur pre pruning menghasilkan pohon
keputusan dengan jumlah daun dan ukuran pohon yang lebih kecil daripada Model D1.
Model D2 dengan minNumObj sebesar 2 menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah
daun 33 dan ukuran pohon 60. Model D3 dengan minNumObj 5 menghasilkan pohon

405

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

keputusan dengan jumlah daun 22 dan ukuran pohon 39. Model D4 dengan minNumObj 10
menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah daun 15 dan ukuran pohon 27. Model D5
dengan minNumObj 15 menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah daun 9 dan ukuran
pohon 15. Perbandingan model yang dihasilkan dengan fitur pre pruning dapat dilihat pada
Tabel 12.
Tabel 12 Parameter dan hasil pohon keputusan menggunakan pre pruning

2)

Parameter

D2

D3

D4

D5

confidenceFactor
MinNumObj
numFolds
Num of Leaves
Size of Tree

0,95
2
3
33
60

0,95
5
3
22
39

0,95
10
3
15
27

0,95
15
3
9
15

Post pruning.

Post pruning merupakan fitur untuk menyederhanakan pohon keputusan yang dibuat
dengan cara mengatur parameter Confidence Factor. Skala yang dapat digunakan dalam
parameter ini adalah 0,1 - 1, di mana semakin mendekati 0 maka proses pruning yang
dilakukan semakin banyak dan model pohon keputusan yang dihasilkan semakin
sederhana.
Pada Weka parameter Confidence Factor secara default bernilai 0,25. Untuk pembuatan
model D6, D7, D8, D9 nilai Confidence Factor secara berurutan adalah 0,75, 0,5, 0,25, dan
0,1. Parameter lain yang akan diatur adalah minNumObj sebesar 5 dan numFold sebesar
10. Selain parameter yang telah diatur, nilainya disamakan dengan parameter pada saat
menggunakan fitur pre pruning.
Model D6 yang menggunakan Confidence Factor bernilai 0,75 menghasilkan pohon
keputusan dengan jumlah daun 22 dan ukuran pohon 39. Model D7 yang menggunakan
Confidence Factor bernilai 0,5 menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah daun 20 dan
ukuran pohon 35. Model D8 yang menggunakan Confidence Factor bernilai 0,25
menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah daun 20 dan ukuran pohon 35. Model D9
yang menggunakan Confidence Factor bernilai 0,1 menghasilkan pohon keputusan dengan
jumlah daun 13 dan ukuran pohon 23. Perbandingan model yang dihasilkan dengan fitur
post pruning dapat dilihat pada Tabel 13.

406

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Tabel 13 Parameter dan hasil pohon keputusan menggunakan post pruning


Parameter
confidenceFactor
MinNumObj
numFolds
Num of Leaves
Size of Tree

6.

D6
0,75
5
10
22
39

D7
0,5
5
10
20
35

D8
0,25
5
10
20
35

D9
0,1
5
10
13
23

Pattern evaluation.

Setelah membuat beberapa model melalui proses data mining dengan menggunakan
teknik klasifikasi dan metode J48, tahap selanjutnya adalah melakukan evaluasi atas kinerja
model-model tersebut dan kemudian melakukan pemilihan model terbaik yang akan
dijadikan pengetahuan. Tahap ini disebut dengan pattern evaluation. Dalam mengevaluasi
kinerja model yang dihasilkan dengan penggunaan teknik klasifikasi dan metode J48, hal-hal
yang dijadikan perhatian antara lain ukuran pohon keputusan yang dihasilkan, nilai Kappa
Statistic, akurasi model, dan kinerja lain yang dilihat dengan Confusion Matrix.
Kappa statistic merupakan ukuran tingkat kesepakatan prediksi (agreement of prediction)
dengan kelas yang benar. Nilai yang dapat ditunjukkan dalam Kappa Statistic berkisar dari 1 hingga 1, di mana nilai 1 menunjukkan prediksi yang sempurna.
Akurasi dari model yang dihasilkan dapat dilihat dengan Confusion Matrix. Confusion
Matrix menunjukkan jumlah instance yang dapat diprediksi dengan benar oleh model.
Akurasi pada Weka ditunjukkan dengan Correctly Classified Instance. Correctly Classified
Instance merupakan persentase dari jumlah prediksi yang dengan tepat diklasifikasikan ke
dalam kelas yang benar dibagi jumlah prediksi yang dilakukan. Selain akurasi, Confusion
Matrix juga menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas, yang dapat dilihat pada nilai True
Positive (TP) Rate dan False Positive (FP) Rate, serta Precision, Recall, dan ROC Area.
Setelah melakukan evaluasi terhadap model secara keseluruhan, langkah selanjutnya
adalah pemilihan model yang akan dijadikan pengetahuan. Pemilihan model dilakukan
berdasarkan perbandingan statistik yang ada pada tiap model, yaitu berupa kombinasi
ukuran pohon dan akurasi yang paling baik.
Dari sisi ukuran pohon, Model D1 merupakan model yang menghasilkan pohon
keputusan yang paling besar dengan jumlah daun sebesar 34 dan ukuran pohon 62. Hal ini
disebabkan Model D1 dibentuk tanpa menggunakan fitur pruning. Model D2, D3, D4, dan D5
menggunakan fitur pre pruning yang dilakukan dengan mengatur nilai parameter

407

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

minNumObj. Semakin tinggi nilai minNumObj, maka semakin banyak proses pruning yang
dilakukan dan pohon keputusan yang dihasilkan menjadi semakin kecil. Model D6, D7, D8,
dan D9 menggunakan fitur post pruning yang dilakukan dengan mengatur parameter
confidenceFactor. Semakin kecil nilai confidenceFactor, maka proses pruning yang
dilakukan semakin banyak dan pohon keputusan yang dihasilkan menjadi semakin kecil.
Ukuran pohon keputusan yang terkecil dihasilkan oleh Model D5 dengan jumlah daun
sebesar 9 dan ukuran pohon 15.
Dari sisi akurasi, semua model yang dibentuk memiliki nilai yang sangat tinggi baik yang
tanpa menggunakan fitur pruning, maupun yang menggunakan fitur pruning. Akurasi model
ditunjukkan oleh nilai Correctly Classified Instances. Nilai Correctly Calssified Instances
merupakan jumlah data yang diklasifikasikan oleh model secara benar dibagi dengan jumlah
data secara keseluruhan. Model yang memiliki akurasi paling rendah adalah Model D1, D2,
dan D4, yaitu 89,0351%, sedangkan yang paling tinggi adalah Model D9, yaitu sebesar
90,7895%.
Tabel 14 menunjukkan perbandingan pohon keputusan dan akurasi dari setiap model
yang dibentuk. Model yang dibentuk dengan menggunakan fitur pre pruning menghasilkan
jumlah daun dan ukuran pohon yang lebih kecil dari model yang lain. Sedangkan model
yang dibentuk dengan fitur post pruning memiliki akurasi yang lebih tinggi.
Pemilihan model yang akan digunakan untuk klasifikasi ditentukan dengan pohon
keputusan yang tidak terlalu kecil dan juga tidak terlalu besar. Pohon yang terlalu besar
menjadikan model sulit untuk dipahami. Pohon yang terlalu kecil menyebabkan kurangnya
pengetahuan yang didapat dari model. Selain itu, model yang akan dipilih juga harus
memiliki tingkat akurasi yang baik. Setelah dilakukan evaluasi, terdapat 4 (empat) buah
model yang memiliki pohon keputusan dengan jumlah daun dan ukuran pohon yang kecil,
yaitu Model D4, D5, D7, D8 dan D9.
Tabel 14 Perbandingan Pohon Keputusan dan Akurasi Model
Model

Fitur
Pruning

D1
D2
D3
D4
D5
D6
D7
D8
D9

Unpruned
On-line
On-line
On-line
On-line
Post
Post
Post
Post

Pohon Keputusan
Jumlah Ukuran
Daun
Pohon
34
62
33
60
22
39
15
27
9
15
22
39
20
35
20
35
13
23

408

Akurasi
(%)
89,0351
89,0351
89,693
89,0351
90,3509
89,693
90,1316
90,5702
90,7895

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Karena hanya satu model yang akan dipilih, Model D4, D5, D7, D8 dan D9 akan
dibandingkan dengan menggunakan nilai Kappa statistic dan ROC Area. Model D4 dan D5
masing-masing memiliki nilai Kappa statistic 0,7608 dan 0,7895, dan nilai ROC Area
masing-masing sebesar 0,944 dan 0,952. Model D9 memiliki nilai Kappa statistic yang
paling tinggi, yaitu sebesar 0,7986, namun memiliki nilai ROC Area yang lebih rendah
daripada model lainnya, yaitu sebesar 0,947. Model D8 memiliki Kappa statistic yang lebih
tinggi dari model lainnya, namun masih lebih rendah dibandingkan Model D9, yaitu sebesar
0,7971, sedangkan Model D8 memiliki nilai ROC Area yang paling tinggi di antara modelmodel lainnya, yaitu sebesar 0,963. Perbandingan dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Perbandingan Kappa Statistic dan ROC Area
Model
D4
D5
D7
D8
D9

Kappa statistic
0,7608
0,7895
0,7904
0,7971
0,7986

ROC Area
0,944
0,952
0,955
0,963
0,947

Oleh karena itu, model yang dipilih untuk klasifikasi adalah Model D8. Model D8 memiliki
pohon yang tidak besar dan juga tidak terlalu kecil, yaitu memiliki jumlah daun sebesar 20
dan ukuran pohon sebesar 35. Selain itu, akurasi yang dimiliki Model D8 bernilai tinggi yaitu
sebesar 90,5702% dan memiliki ROC Area yang paling tinggi, yaitu sebesar 0,963.
7.

Knowledge presentation.

Tahap akhir dalam proses data mining adalah knowledge presentation. Tahap ini
bertujuan untuk visualisasi dan mempresentasikan pengetahuan dari model yang dihasilkan
dari proses data mining. Model yang dipilih adalah Model D8. Model D8 menghasilkan
pohon keputusan dengan jumlah daun sebesar 20 dan ukuran pohon 35. Dari pohon
keputusan Model D8 dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut.
Model D8 memiliki jumlah data sebesar 456 data dan 44 atribut, yaitu 43 atribut prediktor
dan 1 atribut kelas. Jika dilihat dari pohon keputusan yang dihasilkan, Model D8 hanya
menggunakan 14 atribut prediktor dalam membuat klasifikasi.
Atribut pertama yang dijadikan dasar klasfikasi adalah OP1, yaitu opini BPK atas LKPD
tahun ke-t. Opini terdiri dari empat jenis, yaitu Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar
Dengan Pengecualian (WDP), Tidak Memberi Pendapat (TMP), dan Tidak Wajar (TW). Dari
keempat jenis opini tersebut, pemerintah daerah yang mendapatkan opini WDP dan WTP
dilanjutkan ke atribut berikutnya, sedangkan opini TMP dan TW langsung diklasifikasikan
sebagai NA atau daerah yang tidak mendapatkan alokasi DID. Hal ini sesuai dengan

409

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

ketetapan dalam PMK tentang Pedoman Umum dan Alokasi DID, yaitu kriteria kinerja utama
yang harus dipenuhi sebagai penentu kelayakan daerah penerima adalah mendapatkan
opini WTP atau WDP atas LKPD dan menetapkan Peraturan Daerah mengenai APBD
secara tepat waktu. Sampai dengan tahap ini, visualisasi sebagian pohon klasifikasi dapat
dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Potongan Tree View Model D8

Untuk daerah yang mendapatkan opini WDP, atribut selanjutnya yang dilihat adalah
IPM3, yaitu apakah IPM periode ke-t > IPM periode ke-(t-1) atau tidak. Jika tidak, maka
daerah diklasifikasikan sebagai NA atau daerah tidak mendapatkan alokasi DID. Jika ya,
maka model akan melanjutkan klasifikasi ke atribut PER3, yaitu apakah daerah menetapkan
Perda mengenai APBD tahun ke-(t-2) secara tepat waktu. Jika daerah tidak menetapkan
Perda APBD tahun ke-(t-2) secara tepat waktu, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai
NA atau daerah yang tidak menerima alokasi DID. Jika daerah menetapkan Perda APBD
tahun ke-(t-2) secara tepat waktu, maka klasifikasi dilanjutkan ke atribut APK1, yaitu apakah
APK SD tahun ke-t atau APK SMP tahun ke-t > rata-rata nasional atau tidak. Jika tidak,
maka daerah akan diklasifikasikan sebagai NA atau daerah yang tidak menerima alokasi
DID. Jika ya, maka klasifikasi dilanjutkan ke atribut PDRB2, yaitu apakah pertumbuhan
PDRB tahun ke-t dan ke-(t-1) > rata-rata nasional, dan pertumbuhan PDRB tahun ke-(t-1) >
pertumbuhan PDRB tahun ke-t atau tidak. Jika tidak, maka daerah akan diklasifikasikan
sebagai NA atau daerah yang tidak menerima alokasi DID. Jika ya, maka daerah akan
diklasifikasikan sebagai P1 atau daerah yang menerima alokasi DID tanpa tambahan alokasi
minimum. Visualisasi hingga tahap ini dapat dilihat pada Gambar 3.

410

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Gambar 3 Potongan kedua Tree View Model D8

Untuk daerah yang mendapatkan opini WTP, atribut yang selanjutnya dilihat adalah
PER1, yaitu apakah daerah menetapkan Perda mengenai APBD tahun ke-t secara tepat
waktu. Jika daerah tidak menetapkan Perda mengenai APBD tahun ke-t secara tepat waktu,
maka akan diklasifikasikan sebagai NA atau daerah tidak menerima alokasi DID. Jika Perda
APBD tahun ke-t ditetapkan secara tepat waktu, maka atribut yang dilihat selanjutnya adalah
LK1, yaitu apakah daerah menyampaikan LKPD tahun ke-t kepada BPK secara tepat waktu
atau tidak.
Jika daerah tidak menyampaikan LKPD tahun ke-t kepada BPK secara tepat waktu,
atribut selanjutnya yang akan dilihat adalah TPT2, yaitu Tingkat Pengangguran Terbuka
(TPT) tahun ke-(t-1). Atribut ini merupakan label numeric, sehingga klasifikasi yang
dilakukan adalah jika TPT tahun ke-(t-1) <= 4,93, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai
AM1 atau daerah mendapatkan alokasi minimum DID sebesar Rp2 miliar. Kemudian jika
TPT tahun ke-(t-1) > 4,93 maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2 atau daerah
mendapatkan alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Visualisasi hingga tahap ini
dapat dilihat pada Gambar 4.

411

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Gambar 4 Potongan ketiga Tree View Model D8

Masih dalam atribut LK1, jika LKPD tahun ke-t diserahkan secara tepat waktu maka
model akan melanjutkan klasifikasi ke atribut IPM3, yaitu apakah IPM periode ke-t > IPM
periode ke-(t-1) atau tidak. Jika ya, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2, yaitu
daerah yang mendapatkan alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Jika tidak,
atribut selanjutnya yang akan dilihat adalah PER2, yaitu apakah penetapan Perda APBD
tahun ke-(t-1) tepat waktu atau tidak. Jika tidak, daerah akan diklasifikasikan sebagai AM2,
yaitu daerah yang mendapatkan alokasi minimum sebesar Rp3 miliar. Jika ya, maka akan
dilanjutkan ke atribut PDRB1, yaitu apakah pertumbuhan PDRB tahun ke-t > rata-rata
pertumbuhan PDRB nasional atau tidak. Visualisasi hingga tahap ini dapat dilihat pada
Gambar 5.

412

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Gambar 5 Potongan keempat Tree View Model D8

Jika pertumbuhan PDRB tahun ke-t tidak > rata-rata nasional, maka klasifikasi
dilanjutkan ke atribut PAD2, yaitu apakah peningkatan PAD periode ke-t > rata-rata nasional
atau tidak. Jika peningkatan PAD periode ke-t > rata-rata nasional, maka daerah
diklasifikasikan sebagai P2, yaitu daerah yang mendapatkan alokasi kinerja ditambah
dengan alokasi minimum. Jika tidak, maka daerah diklasifikasikan sebagai AM2, yaitu
daerah yang menerima alokasi minimum sebesar Rp3 miliar. Masih dalam pertumbuhan
PDRB, jika pertumbuhan PDRB tahun ke-t > rata-rata pertumbuhan PDRB nasional, maka
klasifikasi dilanjutkan ke IPM1, yaitu apakah IPM periode ke-(t-1) > rata-rata nasional atau
tidak. Jika ya, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2, yaitu daerah yang
mendapatkan alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Jika tidak model akan
melanjutkan ke atribut OP3, yaitu opini atas LKPD tahun ke-(t-2). Jika Opini tahun ke-(t-2)
adalah WTP, maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2 yaitu daerah yang
mendapatkan alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Jika opini atas LKPD tahun
le-(t-2) bernilai TMP atau TW maka daerah diklasifikasikan sebagai AM2 yaitu daerah yang
mendapatkan alokasi minimum. Jika Opini atas LKPD tahun ke-(t-2) bernilai WDP, maka
akan dilanjutkan ke atribut PDRB5 yaitu angka pertumbuhan PDRB tahun ke-t. Jika angka
pertumbuhan PDRB tahun ke-t <= 7,58, maka daerah akan diklasfikasikan sebagai AM2,
yaitu daerah yang menerima alokasi minimum DID Rp3 miliar. Jika angka pertumbuhan
PDRB tahun ke-t > 7,58 maka daerah akan diklasifikasikan sebagai P2 yaitu daerah yang
menerima alokasi kinerja ditambah dengan alokasi minimum. Visualisasi sampai dengan
tahap ini dapat dilihat pada Gambar 6.

413

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Model D8 menunjukkan bahwa untuk daerah yang mendapatkan opini WTP atas LKPD
tahun ke-t dan menetapkan Perda tahun ke-t secara tepat waktu telah memenuhi syarat
untuk ditetapkan sebagai daerah penerima DID. Hal ini dapat dilihat pada hasil klasifikasi
atribut-atribut selanjutnya, di mana sudah tidak ada lagi yang diklasifikasikan sebagai NA
atau daerah yang tidak menerima alokasi DID. Klasifikasi atribut selanjutnya akan
menentukan kelas alokasi DID, yaitu AM1, AM2, atau P2. Hal ini sesuai dengan tujuan
penelitian yang dilakukan, yaitu untuk mengidentifikasi variabel atau atribut yang
menentukan penetapan daerah penerima dan alokasi DID.
Gambar 6 Potongan kelima Tree View Model D8

Kesimpulan
Teknik Decision Tree J48 menghasilkan 9 model klasifikasi Daerah Penerima Dana
Insentif Daerah. Dari kesembilan model tersebut, Model D8 dipilih untuk mengklasifikasikan
Daerah Penerima DID. Model D8 menghasilkan pohon keputusan dengan jumlah daun
sebesar 22 dan ukuran pohon sebesar 39, serta memiliki akurasi 90,5702%.
Model D8 menghasilkan pohon keputusan yang mampu menjelaskan variabel-variabel
atau atribut yang menentukan penetapan daerah penerima dan alokasi DID. Variabel yang
menentukan terdiri dari 14 variabel yaitu:
1. opini BPK atas LKPD tahun ke-t;
2. opini BPK atas LKPD tahun ke-(t-2);
3. penetapan Perda mengenai APBD tahun ke-t secara tepat waktu;

414

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

4. penetapan Perda mengenai APBD tahun ke-(t-1) secara tepat waktu;


5. penetapan Perda mengenai APBD tahun ke-(t-2) secara tepat waktu;
6. penyampaian LKPD tahun ke-t kepada BPK secara tepat waktu;
7. Angka Partisipasi Kasar (APK) Sekolah Dasar tahun ke-t > rata-rata nasional atau
APK Sekolah Menengah Pertama tahun ke-t > rata-rata nasional;
8. pertumbuhan PDRB tahun ke-t dan pertumbuhan PDRB tahun ke-(t-1) > rata-rata
nasional, serta pertumbuhan PDRB tahun ke-(t-1) > pertumbuhan PDRB tahun ke-t;
9. pertumbuhan PDRB tahun ke-t > rata-rata nasional;
10. angka pertumbuhan PDRB tahun ke-t;
11. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tahun ke-(t-1);
12. IPM periode ke-t > IPM periode ke-(t-1) ;
13. IPM periode ke-(t-1) > rata-rata nasional;
14. peningkatan PAD periode ke-t > rata-rata nasional.

Atribut-atribut yang ada pada pohon keputusan yang dihasilkan dari Model D8 dapat
memberikan informasi kepada Pemda mengenai kinerja daerah yang harus ditingkatkan
untuk mendapatkan alokasi Dana Insentif Daerah. Dengan demikian tujuan alokasi DID yaitu
meningkatkan pengelolaan keuangan daerah dapat tercapai.

Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan. 2014. DID 2015 Kebijakan dan Meta Data.
Jakarta: Kementerian Keuangan.
Fu, Yongjian. 1997. Data Mining: Tasks, Techniques, and Applications. Missouri: University
of Missouri Rolla.
Gorunescu, Florin. 2011. Data Mining: Concepts, Models and Techniques. New York:
Springer-Verlag.
Han, J., Micheline Kamber, dan Jian Pei. 2012. Data Mining: Concepts and Techniques
Edisi ke-3. San Fransisco: Morgan Kaufman.
Liu, Sandra S. dan Jie Chen. 2009. Using data mining to segment healthcare markets from
patients preference perspectives. International Journal of Healthcare Quality
Assurance Vol. 22: 117-134.
Prasetyo, Eko. 2014. Data Mining: Mengolah Data Menjadi Informasi Menggunakan Matlab.
Yogyakarta: Penerbit Andi.

415

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.


Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Peimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah.
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2014 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Tahun Anggaran 2015.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.07/2014 tentang Pedoman Umum dan Alokasi
Dana Insentif Daerah Tahun Anggaran 2014.

416

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

EVALUASI HASIL TES KEBUGARAN


JEMAAH CALON HAJI DI KOTA PADANG TAHUN 2015
Sry Rachmawaty
Widyaiswara Ahli Muda, BKOM Pelkes Sumatera Barat
Alamat: BKOM Pelkes Sumatera Barat, Komp.Kesehatan , Gunung Pangilun , Kota Padang
Sumatra Barat
(Diterima 219 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

ABSTRACT: Act 13 year 2008 concerning the legal basis for the accomplishment of the Hajj
Health Coaching. Particularly in chapter VIII, article 31 becomes a solid legal basis for
conducting the Hajj health coaching by the health centers in particular and BKOM Pelkes in
general.Factually speaking, health is the most significant factor of the Islamic pilgrimage. Thus
there is no doubt that without adequate health conditions, the achievement of the worship rituals
will not be optimal. Therefore, Each pilgrims needs to prepare in order to have the optimal
health and fitness status.One of the efforts can be the physical fitness examination, prior to
departure to the holy land. The goal is to predict high-risk diseases and discover the level of
physical fitness. The next purpose is to reduce the number of mortality and morbidity.The first
medical examination for the health coaching is conducted in accordance with the standard
medical protocol including medical examination as follows: 1. Anamnesa 2. Physical
examination 3. Investigations 4. Assessment of independence and 5. Fitness test.Health
coaching of hajj activities after the fitness test conducted is by enhancing the prospective hajj
pilgrims' fitness through a physical exercise that is good, correct, regular, and measured
(GCRM).Then the GCRM physical exercise is held in accordance with the precise fitness level,
which is obtained from the result of the physical fitness test.Nevertheless, the fitness checks are
not conducted for the entire pilgrims of the hajj until recently hence they do not get any
information about their fitness levels. As the result, the pilgrims do not do any physical exercise,
which is appropriate with their fitness levels. Describing the physical test result of some
prospective hajj pilgrims from Padang. Method: This research uses the descriptive
method.Result: The total of Padang's prospective hajj pilgrim are 1023 people, nonetheless,
only 145 of them being the participants of the fitness examination. Thus, only 12% from the

417

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

whole pilgrims of the city were examined. From the total examined participants, 30% of them
are male and the rest 70% are female. More specifically, there are 50% ofthem are pre-elderly
participants between the ages of 45-59 years old. Also, young age <44 years old amounted to
20% and age>60 years old amounted to 30%. In epidemiology, many of pre-elderly age
participants have already suffered by non-communicable diseases. The field data that is
processed in form of the participants travel time result then matched with the value of VO2
Max.Evidently, the fitness test of the participants shows that 15% of the participants are in a
primely fitness category, 50% are in a good category, 33% are in sufficient category, 2,07% are
in deficient category, and only 1 person who could not be assessed. Advice, it is necessary to
examine the fitness level of the pilgrims at least 6 (six) month before the due time for the
intervention in order to increase the physical fitness by doing the good, correct, regular, and
measured exercise. Hopefully, all of the prospective hajj pilgrims become self-sufficient, as they
are healthy.
Keywords: evaluation, physical fitness test, prospective hajj pilgrims.
Corresponding author: Sry Rachmawaty, E-mail: sry.rachmawaty Tel/Fax.: 08129092762

Pendahuluan
Ibadah haji adalah rukun islam ke 5 yang diidam-idamkan bagi setiap muslim di dunia.
menurut Surat Al Imran ayat 97 merupakan kewajiban bagi orang-orang yang sanggup
mengadakan perjalanan ke Baitullah yaitu mampu dalam pembiayaan, pengetahuan, kesehatan
jasmani dan rohani. Ibadah haji merupakan ibadah yang mempunyai waktu tertentu, tempat
tertentu dan cara tertentu. Ibadah haji hanya dilaksanakan pada bulan zulhijjah, tempat
pelaksanaannya di Mekah Arab Saudi, dan caranya adalah adanya rukun yang tidak boleh
ditinggalkan yaitu wukuf di Arafah. Karena sifatnya yang khusus tersebut maka semua muslim
sangat mendambakan dapat menunaikan ibadah haji. Besarnya animo untuk melaksanakan
ibadah haji membuat jemaah calon haji menunggu cukup lama untuk dapat diberangkatkan ke
tanah suci. Disamping memerlukan biaya yang cukup besar, waktu antrian yang lama ini
menjadikan usia jemaah haji yang berangkat ke tanah suci juga semakin tua. Ibadah haji
sebagai rukun Islam ke-5 merupakan kewajiban umat islam karena Allah SWT dan Kemampuan
jasmani dan rohani merupakan salah satu syarat kelayakan untuk beribadah haji (istithoah)
berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan sebagai bagian dari penyelenggaraan ibadah haji.

418

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Ibadah haji juga merupakan ibadah fisik karena memerlukan stamina yang prima untuk
menjalankan seluruh rangkaian ibadah selama kurang lebih 38-40 hari waktu tinggal disana.
Waktu tinggal di tanah suci yang cukup lama membuat jemaah calon haji memanfaatkan waktu
dengan banyak melakukan ibadah wajib dan sunah semaksimal mungkin.
Faktor-faktor internal dan eksternal jemaah haji mempengaruhi angka kesakitan dan angka
kematian jemaah haji . Faktor internal antara lain tingkat kebugaran jasmani yang masih kurang
dan sudah menderita penyakit sejak dari tanah air. Data dari KKP Kelas 2 Padang sewaktu
pemberangkatan jemaah haji tahun 2014 adalah senility 29,87% , hipertensi 26,58%, NIDDM
5.76%, Asma 1,096%, Atherosclerotic Heart Disease 1,052%, Chronic Ischemic Heart Disease
0.789%. terlihat jemaah haji sudah mempunyai penyakit kronis dan usia yang lanjut ketika
berangkat ke tanah suci.
Berkaitan dengan kondisi diatas, perlu dilaksanakan pembinaan kesehatan. Salah satu
cara pembinaan kebugaran jemaah calon haji adalah pemeriksaan kebugaran jemaah calon
haji untuk kemudian dilakukan pembinaan kebugaran jemaah calon haji oleh puskesmas
sebagai pembina wilayah kerja kesehatan.

I.

Tujuan
Tujuan Umum
Meningkatkan kualitas pembinaan kebugaran jasmani bagi jemaah haji di
Puskesmas sehingga tercapai jemaah haji Indonesia yang sehat dan bugar.
Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat kebugaran jemaah calon haji Kota Padang
tahun 2015
Tujuan Khusus
Mengetahui kategori tingkat kebugaran jemaah calon haji kota Padang tahun
2015

II. Manfaat
1. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah kota Padang membuat kebijakan
pemeriksaan kebugaran untuk seluruh jemaah calon haji kota Padang

419

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

2. Sebagai masukan bagi pemerintah daerah kota Padang membuat kebijakan


pembinaan kebugaran jasmani bagi seluruh jemaah calon haji kota Padang minimal
6 bulan sebelum keberangkatan
3. Sebagai bahan informasi dan referensi bagi penelitian selanjutnya yang sejenis.

Metodologi
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dengan
cara pemilihan responden adalah secara accidental sampling yang mana sampel adalah
jemaah calon haji yang akan berangkat ke tanah suci pada tahun 2015. Jemaah juga tergabung
pada beberapa KBIH. Pada penelitian ini sampel adalah merupakan pilihan dari KBIH yang ada
di kota Padang.

Hasil
Pemeriksaan dilakukan pada 45 jemaah calon haji yang akan berangkat pada tahun
2015. Total jemaah yang akan berangkat sebanyak 1023 jemaah calon haji untuk kota padang.
Tabel 1. Perbandingan JCH yang di periksa dengan Total Keseluruhan JCH yang berangkat
tahun 2015

Perbandingan Jemaah Calon Haji yang diperiksa kebugaran nya


dengan Total JCH yang Berangkat

12%

1 jemaah haji kota


padang yang diperiksa
kebugran jasmani

88%
2 total jemaah haji kota
padang

420

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Hanya 12% jemaah haji yang di periksa kebugaran jasmani tahun 2015 dari keseluruhan
jemaah haji yang berangkat pada tahun 2015

Tabel2. Jenis Kelamin JCH yang diperiksa Kebugarannya

Jenis kelamin jemaah calon haji


2015
1 Laki-laki

2 Perempuan

30%
70%

Dari tabel 2 terlihat jumlah JCH perempuan dua kali lipat JCH Laki-laki
Tabel 3. Usia jemaah calon haji 2015

Usia Jemaah Calon Haji Padang


2015
20%
30%
<44 tahun
45-59 tahun
>60 thaun
50%

421

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Dari hasil perbandingan ini terlihat jemaah haji yang berangkat setengahnya berusia pralansia ,
30% berusia lansia dan hanya 20% berusia muda. Artinya jemaah dengan usia relative muda
yang lebih sedikit . Jemaah calon haji pralansia dan lansia yang lebih banyak.

Kondisi ini

mempunyai dampak yang cukup besar pada kebugaran jemaah calon haji bila jemaah calon
haji tidak memelihara kebugaran dan kesehatannya.

Usia Jemaah Calon Haji


Padang 2015

30%

20%
<44 tahun
45-59 tahun
>60 thaun
50%

Tabel 4. Indeks massa tubuh jemaah calon haji


Perbandingan Indeks Massa tubuh Jemaah haji yang diperiksa
kebugarannya
1 Kurus sekali

2 Kurus sekali

3 Normal

4 Overweight

5 Pra obes

6 Obesitas

7 Tidak diketahui

5%

3% 2%
19%

18%
13%
40%

422

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Dari tabel 4. Sebanyak 40% normal. Bila dijumlahkan jemaah yang mempunyai indeks massa
tubuh lebih dari normal 36% dan indeks massa tubuh kurang dari normal adalah 7%. Terlihat
bahwa jemaah yang bermasalah dengan berat badan mempunyai prosentase yang hampir
sama dengan berat badan yang normal.
Tabel 5.Tingkat kebugaran jemaah haji kota padang 2015

Tingkat kebugaran jemaah calon haji kota padang 2015


1 kurang

2 cukup

3 baik

4 baik sekali

2%
15%
33%

50%

Dari hasil pemeriksaan kebugaran jemah calon haji, didapatkan jemaah yang mempunyai
tingkat kebugaran baik sebanyak 50%, kebugaran cukup 33%, tingkat kebugaran kurang 2%
dan yang mempunyai tingkat kebugaran baik sekali sebanyak 15%

Diskusi
Dari hasil pemeriksaan kebugaran jasmani yang sudah dilakukan , didapatkan hasil:
1. Total jemaah haji kota Padang adalah 1023 orang. Namun hanya 45 orang yang diperiksa
kebugarannya. Jadi hanya 12% dari total jemaah haji keseluruhan kota yang diperiksa
kebugarannya. Ibadah haji adalah ibadah individual (fardu Ain) bukan ibadah dalam grup atau
(fardu kifayah). Pemeriksaan kebugaran jasmani idealnya adalah minimal 6 bulan sebelum
keberangkatan. Sehingga ada waktu untuk mengintervensi tingkat kebugaran jemaah calon
haji. Setelah pemeriksaan kebugaran yang pertama maka jemaah calon haji diberikan dosis

423

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

latihan kebugaran sesuai dengan tingkat kebugaran dan penyakit yang diderita dan dilakukan
pembinaan selama 3 bulan. Setelah 3 bulan pembinaan, jemaah calon haji di evaluasi tingkat
kebugarannya dengan melakukan pemeriksaan kebugaran yang ke dua. Selain pemeriksaan
kebugaran yang kedua jemaah haji juga dievaluasi kesehatan dan penyakit penyerta lainnya.
2. Pemeriksaan didapatkan jemaah calon haji yang diperiksa kebugarannya lebih banyak
perempuan dibandingkan laki-laki. Tidak ada perbedaan tingkat kebugaran walaupun jenis
kelamin berbeda. Pada pemeriksaan kebugaran jasmani dengan metode Rockport ,
perhitungan VO2 Max sudah disesuaikan dengan jenis kelamin. Namun dari segi kekuatan otot
sudah pasti berbeda. Dalam penelitian ini kekuatan otot jemaah calon haji tidak diteliti.
3. Pada hasil pemeriksaan diperoleh jemaah pralansia dari usia 45-59 th sebanyak 50%. Usia
muda <44tahun berjumlah 20% dan usia >60 th berjumlah 30%. Secara epidemiologi, usia
pralansia sudah banyak yang menderita penyakit tidak menular. Dengan bertambahnya usia
maka pada usia lansia akan lebih banyak yang menderita penyakit degenerative. Pada
penelitian ini penyakit degenerative yang diderita oleh lansia tidak dicantumkan dalam catatan
pelaporan hasil pemeriksaan kebugaran jasmani.

Pada pemeriksaan kebugaran jasmani,

pertanyaan yang terangkum dalam ParQ dapat menjadi salah satu pertimbangan dokter dalam
memberikan dosis olah raga atau latihan fisik yang tepat bagi jemaah calon haji. Oleh karena itu
pemeriksaan kebugaran jemaah calon haji semestinya dilakukan untuk setiap jemaah calon
haji.
4. Pada hasil pemeriksaan ada sebanyak 40% indeks massa tubuh normal. Bila dijumlahkan
jemaah yang mempunyai indeks massa tubuh lebih dari normal 36% dan indeks massa tubuh
kurang dari normal adalah 7%. Terlihat bahwa jemaah yang bermasalah dengan berat badan
mempunyai prosentase yang hampir sama dengan berat badan yang normal yaitu 43%.
Pembinaan kebugaran dan kesehatan jemaah haji dapat dipengaruhi oleh indeks massa tubuh.
Maka sangat penting bagi jemaah calon haji untuk mendapatkan pemeriksaan kebugaran
jemaah haji 2 kali sebelum berangkat ke tanah suci.
5. Pada hasil kategori tingkat kebugaran jemaah haji, terlihat bahwa 15% baik sekali, 50%
jemaah haji mempunyai kategori kebugaran yang baik, 33% tingkat kebugaran cukup dan
masih ada 2% yang mempunyai kategori kurang. Pemeriksaan kebugaran yang dilakukan oleh
BKOM-PELKES Sumbar dilaksanakan tanggal 27 April 2015 sedangkan pemeriksaan

424

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kebugaran haji oleh DKK Padang pada tanggal 1 Juni 2015. Atau sekitar 3 bulan sebelum
keberangkatan jemaah calon haji ke tanah suci.
III.

Masalah

Masalah yang ditemukan dalam pemeriksaan kebugaran jemaah calon haji adalah
1.

Total jemaah haji yang diperiksa hanya 12% dari seluruh jemaah haji yang akan
berangkat ke tanah suci. Dari hasil wawancara singkat dengan petugas puskesmas
didapatkan keterangan bahwa pemeriksaan kebugaran ini dananya hanya untuk 100
orang. Padahal untuk membina kesehatan dan kebugaran jemaah haji bersifat individual .
karena kondisi tubuh dan penyakit penyerta lainnya tidak akan sama untuk setiap orang.
Maka karena sedikitnya jemaah haji yang diperiksa kebugaran jasmaninya sehingga
pembinaan kesehatan dan kebugaran haji tidak optimal.

2.

Jemaah haji Indonesia 30% nya adalah resiko tinggi usia yaitu berusia >60tahun. Maka
jemaah haji yang memiliki resiko umur saja sudah 344 orang dan bila ditambah dengan
jemaah pra lansia yang memliki penyakit atau resiko tinggi penyakit akan lebih tinggi
resiko yang terdapat pada jemaah haji kota padang. Maka, pembinaan kesehatan dan
kebugaran jemaah haji menjadi penting keberadaannya. Yaitu untuk memantau resiko
tinggi penyakit, mengevaluasi beban latihan yang sudah diberikan oleh dokter, memantau
sejauh mana kebugaran jasmani jemaah calon haji meningkat.

3.

Pemeriksaan kebugaran jemaah haji yang dilakukan hanya berjarak 3-4 bulan sebelum
keberangkatan. Pada pemeriksaan tersebut , masih ada jemaah haji yang memperoleh
hasil tes kebugaran dengan kategori kurang (2%) dan yang mempunyai kategori cukup
sebanyak 33%. Jemaah calon haji tidak mendapatkan dosis latihan yang sesuai dengan
kebutuhan individual. Sehingga kemungkinan besar dosis latihan yang dijalankan tidak
berasal dari dosis latihan yang diberikan oleh dokter. Atau dosis latihan tidak adekuat.
Lebih ringan daripada yang seharusnya .

4.

Penelitian ini merupakan evaluasi dari pemeriksaan yang dilakukan oleh BKOM Pelkes
Sumatera Barat dengan dana dari DEKON. BKOM Pelkes sendiri belum menyediakan
anggaran untuk pemeriksaan kebugaran untuk jemaah haji atau lainnya. Keadaan ini
cukup menyulitkan karena sulit sekali menggabarkan keadaan sesungguhnya dari
kebugaran jemaah haji Sumatera Barat.

425

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kesimpulan
1. Pentingnya pemeriksaan kebugaran jemaah calon haji sebelum keberangkatan minimal
6 bulan.
2. Pembinaan jemaah calon haji seharusnya berdasarkan dari hasil tes pemeriksaan
kebugaran . sehingga jemaah haji menjalani proses peningkatan kebugaran secara utuh
karena latihan fisik yang dijalani sesuai dengan kebutuhan tubuhnya sendiri dengan
mempertimbangkan penyakit penyerta yang ada pada tubuhnya.
3. Pemeriksaan kebugaran jemaah haji seharusnya diterapkan untuk seluruh jemaah haji.
Karena setelah pemeriksaan kebugaran jasmani akan didapat tingkat kategori
kebugaran dan disusul dengan kebutuhan latihan, pembinaan kesehatan dan kebugaran
yang berbeda untuk setiap individu. Maka penting bagi pemerintah daerah untuk
mendukung kegiatan pemeriksaan kebugaran jemaah haji dan pembinaan kesehatan
jemaah calon haji tersebut.
4. Dukungan pemerintah daerah untuk peningkatan kebugaran jemaah haji dan pembinaan
kesehatan bagi jemaah haji sangat dibutuhkan oleh jemaah haji sehingga jemaah haji
dapat menjalankan ibadah secara paripurna dan memperoleh haji mabrur. Pemerintah
daerah seharusnya sudah menjadi khadimul waliyullah .

Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 442 /MENKES/ SK/VI/ 2009
tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan Haji
http://www.gizikia.depkes.go.id/wp-content/uploads/downloads/2012/04/PedomanPembinaan-Kebugaran-Jasmani-Jemaah-Haji-Bagi-Petugas-Kesehatan.pdf

http://dinkes.balangankab.go.id/post/read/148/sosialisasi-kebugaran-jemaah-haji2014.html#.VaarUfmqqkq dilihat 7/7/2015 pukul02.06 WIB

426

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

http://www.indonesian-publichealth.com/2014/06/penyelenggaraan-kesehatan-haji.html
diunduh 7/7//2015 pukul02.00 WIB

http://www.jpnn.com/read/2014/10/21/264885/Angka-Jamaah-Meninggal-Hampir-SamaiCatatan-2013- di unduh 7/7/2015 pukul 01.57WIB.

http://www.merdeka.com/peristiwa/menkes-angka-kematian-jemaah-haji-turun.html di unduh
7/7/2015 pukul 01.51 WIB

427

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Nasionalisme Keagamaan dalam Bina Damai Terorisme


Muh. Khamdan, MA.Hum
(Widyaiswara Kementerian Hukum dan HAM)

(Diterima 8 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstrak: Tulisan ini membuktikan bahwa bina damai terorisme yang dilakukan di dalam Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) dan di luar Lapas dapat berjalan baik dengan pendekatan nasionalisme
keagamaan. Keberhasilan strategi bina damai ditandai kesediaan narapidana terorisme bekerjasama
dengan pemerintah untuk memberi informasi jaringan dan kepatuhan terhadap Pancasila sebagai
dasar negara Indonesia. Tulisan ini menggunakan pendekatan teori konflik dan teori identitas sosial
dalam menganalisis pelaku tindak pidana terorisme dan masyarakat partisipan. Pelaku teror
merupakan
kelompok
minoritas
yang
mengalami
kekecewaan
akibat
tidak
terakomodirkepentingannya.

Keyword: bina damai, terorisme, identitas, nasionalisme, Pancasila.


Corresponding author Muh. Khamdan, MA.Hum.:, E-mail: khamdanwi@gmail.com

Pendahuluan
Berbagai peristiwa teror berupa peledakan bom yang terjadi di Indonesia sejak 2002, 1 telah
menimbulkan banyak korban nyawa dan harta benda. Keprihatinan terjadi ketika agama justru
dianggap sebagai sumber kekerasan atau dijadikan dasar untuk membenarkan teror terhadap penganut
agama lain. Kondisi demikian memberikan kesadaran perlunya berbagai kegiatan resolusi konflik dan
pemahaman kembali terhadap teks keagamaan yang damai. Bina damai dapat dilakukan dengan
mengedepankan semangat toleransi, mengedepankan perdamaian, menjunjung hak asasi manusia,
serta menghormati orang yang berbeda agama maupun berbeda keyakinan.
Seseorang atau kelompok yang melakukan kekerasan dengan pengaruh sumber-sumber
radikalisme, tidak memandang bahwa aksi kekerasan yang dilakukan sebagai sebuah kejahatan. Aksi
kekerasan tersebut menjadi kebanggaan karena merasa sebagai pasukan pertempuran yang sah dalam
memperjuangkan kebenaran apa yang diyakininya.2 Radikalisme yang ditentukan oleh persepsi

Ledakan bom pada 12 Oktober 2002 pukul 23:05 WITA di Paddy's dan Sari Club (SC) Jalan Legian
Kuta, Badung, Bali, menjadi titik awal penanganan tindak pidana terorisme di Indonesia.
2
Ramzi Yousef setelah diputus pengadilan dengan hukuman penjara seumur hidup atas aksi pengeboman
Menara WTC pada Pebruari 1993 di New York, justru dengan bangga mengumumkan I am a terrorist and
proud of it as long as it is against the U.S. government. yang berarti saya adalah teroris dan bangga
mengakuinya sebagai perlawanan terhadap pemerintah Amerika Serikat. Peg Tyre, 'Proud terrorist' gets life for

428

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

individu tentu tidak hanya dipengaruhi suatu landasan ideologi tertentu, namun dapat dipengaruhi
oleh beragam faktor lain dalam lingkup isu global, regional, maupun lokal. Isu-isu yang dapat
mempengaruhi radikalisme seperti faktor ekonomi, sosial budaya, pendidikan, psikologi, kegagalan
tujuanpolitik, pemahaman agama, maupun kebijakan pemerintah yang berlawanan kepentingan.
Penanganan radikalisme yang kemudian disebut sebagai aksi terorisme di Indonesia mulai
dilakukan sejak terjadinya Kasus Bom Bali I pada 12 Oktober 2002. Hal ini juga menjadi satu
rangkaian agenda internasional penanganan terorisme yang dikampanyekan oleh Amerika Serikat
pasca-peristiwa 11 September 2001 dengan terjadinya pemboman gedung World Trade Center (WTC)
di New York.3 Agenda penanganan terorisme yang dilakukan pemerintah Indonesia pada akhirnya
menjadi diplomasi politik internasional sekaligus memperkuat komitmen kerjasama internasional.
Penggunaan cara-cara kekerasan terhadap narapidana terorisme dapat berakibat memperkuat
identitas sebagai teroris. Penguatan identitas yang diiringi persepsi negatif terhadap tindakan aparat
berpengaruh pada semangat balas dendam terhadap aparat keamanan.4 Terlebih mendefinisikan
terorisme atau penyebutan seseorang sebagai teroris masih menjadi perdebatan dan tarik ulur
kepentingan internasional. Persepsi merupakan suatu rangkaian proses yang dilakukan oleh seseorang
dalam mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera yang diterima sehingga memberikan makna
pada lingkungannya untuk menjadi suatu sikap dan perbuatan.5
Terorisme memiliki latar belakang persoalan yang kompleks sehingga penanganannya tidak
cukup hanya menggunakan dasar pendekatan ideologi. Gerakan terorisme terbangun dari sekelompok
individu rasional yang membangun identitas kolektif bersama untuk sebuah tujuan tertentu melalui
aksi teror. Para pelaku tindak terorisme melakukan berbagai strategi kekerasan dan memunculkan
konflik sosial guna menyampaikan pesan kepada masyarakat luas melalui beberapa pertimbangan
strategis. Ho-Won Jeong dalam memetakan sumber konflik sosial, termasuk di dalamnya adalah kasus
terorisme, menyatakan bahwa konflik sosial di tengah masyarakat dipengaruhi adanya kekerasan atau
gangguan dari orang lain, adanya identitas sosial yang mengganggu, dan adanya ketidakadilan dari
pemegang otoritas.6
Pemerintah telah membangun hubungan kerjasama dengan para ulama melalui berbagai
pendekatanuntuk mengeliminir ideologi radikal yang diyakini para teroris. Pendekatan dengan
melibatkan peran para ulama dirasa efektif untuk mengkampanyekan pemahaman anti-radikalisme

Trade Center bombing, (8 Januari 1998), http://edition.cnn.com/US/9801/08/yousef.update/ (diakses 20


Pebruari 2012).
3
Kent Roach, The 9/11 Effect: Comparative Counter-Terrorism (New York: Cambridge University Press,
2011), 25.
4
Michael A. Hogg dan Dominic Abrams, Social Identification: A Social Psychology of Intergroup
Relations and Group Processes (London: Routledge, 1988), 8.
5
Stephen P. Robbins, Organizational Behavior (New Jersey: Prentice-Hall Internasional, 2001), 88.
6
Ho-Won Jeong, Peace and Conflict Studies an Introduction (Burlington: Ashgate Publishing Company,
2006), 65.

429

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kepada masyarakat luas sehingga terbangun imunitas pada diri masyarakat terhadap pemahamanpemahaman yang dianggap radikal. Terlebih konflik ataupun aksi kekerasan pada dasarnya bukan
disebabkan oleh agama tertentu, namun adanya berbagai sebab yang saling berhubungan.
Agama biasanya digunakan sebagai faktor legitimasi atau untuk menutupi konflik yang
sesungguhnya. Adapun faktor lain diluar agama seperti adanya krisis di berbagai bidang menciptakan
hilangnya kepercayaan sebagian masyarakat terhadap pemerintahsehingga melahirkan sikap saling
curiga di tengah kelompok masyarakat. Berdasarkan latar belakang yang melandasi lahirnya gerakan
terorisme di Indonesia maupun di berbagai negara lain, menunjukkan bahwa terorisme merupakan
gejala sosial yang memiliki kompleksitas persoalan baik dari politik, sosial, budaya dan ekonomi.
Radikalisme sebagai Titik Awal
Radikalisme sebagai suatu faham tidak selalu ditandai dengan aksi-aksi kekerasan, namun
dapat juga sebatas pemikiran dan ideologi yang tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam
melaksanakan pemikiran tersebut. Radikalisme yang ditentukan oleh persepsi individu tentu tidak
hanya dipengaruhi suatu landasan ideologi tertentu, namun dapat juga dipengaruhi oleh beragam
faktor lain dalam isu global, regional, maupun lokalitas. Fanatisme ideologi sehingga menganggap
yang lain salah, dapat menjadi penyebab radikalisme dengan penggunaan senjata. Kondisi kekerasan
yang berdalih sebagai perjuangan ideologi melahirkan ekstrimisme dan menguat sebagai aksi
terorisme dengan tujuan-tujuan politik tertentu.
Faktor ekonomi dalam tindakan radikalisme dicontohkan pada seringnya terjadi kudeta militer
dan konflik politik di negara-negara berkembang maupun negara miskin.7 Aspek sosial budaya dan
psikologi dalam mempengaruhi munculnya radikalisme dapat dilihat dari persepsi pelaku yang
merasakan adanya tekanan serangan, tidak dihargai, dan adanya kekerasan yang dirasakan.8 Aspek
teologis atau agama dapat mempengaruhi munculnya radikalisme karena memahami agama dalam
dua kutub yang berseberangan, yaitu merasa lebih benar atau lebih berhak untuk masuk surga serta
adanya dendam sejarah dalam setiap perkembangan agama. Al-Jabiri menegaskan bahwa radikalisme
tidak lebih dari sekadar fenomena yang muncul dari persoalan sosial politik, kemudian dikemas
dengan isu agama.9
Ideologi keagamaan sering menjadi motivasi sekaligus dorongan untuk membenarkan aksi teror
yang dilakukan. Penguatan aksi teror yang mengatasnamakan agama dianggap sebagai bentuk
perjuangan keyakinan yang sangat mendasar atau fundamental. Fundamentalis agama lebih
mengutamakan doktrin agama daripada toleransi yang berdasar cinta dan penghormatan hak asasi
manusia. Sikap demikian sebagai akibat pelaku atau aktivis fundamentalisme agama lebih
7

Sukawarsini Djelantik, Terorisme: Tinjauan Psikoanalitis, Peran Media, Kemiskinan, dan Keamanan
Nasional (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010), 256.
8
Mark Jurgensmayer, Terorisme Para Pembela Agama (Yogyakarta: Tarawang Press, 2003), 16.
9
Muhammad Abid al-Jbiri, Qadaya al-Fikr al-Arbi: al-Mas-alah al-Thaqfiyyah (Beirut: Markaz
Dirsah al-Wahidah al-Arbiyyah, 1994), 134-135.

430

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

mengedepankan kebenaran yang bersifat sektarian daripada penghargaan perbedaan. Keadaan ini
yang menjadikan penyebaran radikalisme agama dipengaruhi keyakinan sepihak dan dipaksakan
untuk diikuti oleh orang lain.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) masa 2010-2014, Ansyad Mbai,
menyatakan bahwa radikalisme adalah akar dari terorisme sehingga aksi terorisme akan selalu ada
jika pergerakan radikalisme tidak dihentikan beserta sumber-sumber lahirnya radikalisme itu sendiri.
Para pelaku terorisme sejak peristiwa pengeboman World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat
pada 11 September 2001 mengaku tindakannya sebagai bentuk jihd f sablillh. Hal demikian
sebagaimana pengakuan Ali Imron dalam aksi bom Bali I yang dipengaruhi adanya beberapa alasan,
yaitu ketidakpuasan terhadap pemerintah yang tidak berdasarkan syariat Islam dan tidak adanya
immah, rusaknya moralitas dan akidah masyarakat, melindungi umat Islam, pembalasan terhadap
kafir yang memerangi kaum Muslim.10
Imam Samudra dalam penjelasannya tentang bom Bali menjelaskan bahwa aksi yang dilakukan
merupakan salah satu bentuk jawaban yang dilakukan segelintir kaum Muslimin yang sadar dan
mengerti akan arti sebuah pembelaan dan harga diri atas kesewenangan negara penjajah sehingga
menjadi jihad yang harus dilakukan.11 Seseorang atau kelompok yang melakukan tindakan karena
dipengaruhi adanya sumber-sumber radikalisme, tidak memandang bahwa aksinya tersebut sebagai
sebuah kejahatan, tetapi justru muncul rasa kebanggaannya karena merasa telah menjadi pasukan
yang memperjuangkan kebenaran apa yang diyakininya. Kelompok-kelompok pejuang radikal ini
seringkali menggunakan simbol-simbol militer dalam organisasi gerakannya12 seperti Irish of
Republican Army (IRA) di Irlandia, Euskadi Ta Askatasuna (ETA) di Spanyol, Hizbullah di Libanon,
Harakat al-Muqawwama al-Islamiyyah (Hamas) di Palestina, Front Islamique du Salut (FIS) di
Aljazair, Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia (FARC) di Kolombia, The Moro National
Liberation Front (MNLF) dan Abu Sayyafs Group (ASG) di Filipina, Al-Qaeda dan Taliban di
Afghanistan.
Veldhuis dan Staun (2009) menguraikan bahwa akar penyebab dari radikalisme dibedakan
menjadi dua faktor yaitu pada level makro dan level mikro. Level makro adalah prasyarat
terbangunnya radikalisme yang bersifat global seperti politik pendudukan Negara Barat atas negaranegara Islam. Pada level mikro adalah kondisi yang menjadi faktor langsung terjadinya radikalisme

10

Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom, Cet. 1 (Jakarta: Republika, 2007), 41-71; Kumar Ramakrishna,
Delegitimizing Global Jihadi Ideology in Southeast Asia Contemporary Southeast Asia, Vol. 27, No. 3
(Desember 2005), 343-369.
11
Imam Samudra, Aku Melawan Terorisme (Solo: al-Jazera, 2004), 114-115; Asep Adisaputra, Imam
Samudra Berjihad, Cet. 1 (Jakarta: Grafika Indah, 2006), 62-69; Wawan H. Purwanto, Terorisme Ancaman
Tiada Akhir: Bahaya dan Strategi Pemberantasan di Indonesia, Cet. II (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu,
2004), 53-55.
12
Anisseh Van Engeland dan Rachael M. Rudolph, From Terrorism to Politics (Ethics and Global
Politics) (Burlington: Ashgate Publishing Company, 1988).

431

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pada diri seseorang atau kelompok tertentu sehingga dalam level mikro dibedakan sebagai faktor
individual yang erat hubungannya dengan perubahan tingkah laku atau aspek psikologi, dan faktor
sosial yang terkait identitas diri dalam lingkungan sosial.

Pemahaman Tekstualis Pemicu Radikalisme


Penolakan penafsiran hermeneutik karena dianggap menodai kesucian agama mempengaruhi
pemahaman radikalisme karena teks dalil tidak dilihat berdasarkan konteks kehidupan masyarakat.
Pemahaman tekstual tersebut biasanya dikaitkan dengan dalil tidak ada hukum kecuali dari Allah (l
ukma illa lillh), dan barangsiapa yang menggunakan hukum selain dari Allah adalah kafir.13 Dalil
ini tentu menjadi pondasi pemikiran bahwa Islam adalah agama yang sudah sangat sempurna dan
paripurna untuk mengatur segala aspek kehidupan,14 termasuk politik. Pandangan demikian
sebagaimana menjadi garis ideologi Hasan al-Banna, Sayyid Quthb, Rashid Ridha, Taqiyudin anNabhani, dan al-Mawdudi.
Dalam sejarah pemikiran Islam awal, dalil kekafiran tersebut telah digunakan oleh kelompok
Khawarij untuk menghakimi Ali bin Abi Thalib, Amr bin Ash, dan Muawiyah bin Abi Sufyan, Abu
Musa al-Asyari yang melakukan tahkm (perdamaian) dalam perang siffn pada 37 H / 657 M dengan
mengangkat al-Quran di atas ujung tombak.15 Golongan yang menolak tahkim karena dianggap tidak
sesuai dengan hukum Allah sehingga keluar dari barisan Ali dalam musyawarah perdamaian di
Daumatul Jandal dengan mengkafirkan para sahabat senior ini, dipimpin oleh Abdullah Ibn Wahab
Al-Rasyidi dengan jumlah 12.000 pasukan.16
Perkembangan corak pemikiran kelompok khawarij dengan berbagai sekte-sekte di dalamnya
setidaknya dapat difahami melalui identitas yang sama, yaitu membatasi dalil agama hanya pada alQuran dan al-Hadits. Oleh karenanya, terjadi penolakan atas ijma (kesepakatan para ulama) dan
qiys (analogi) yang keduanya sangat dekat dengan penggunaan akal atau logika dalam penentuan
hukum yang tidak terdapat di dalam al-Quran dan al-Hadits terutama menyangkut urusan duniawi.17
Metodologi tawil (penafsiran terhadap dalil) dengan menggunakan akal atau logika dianggapnya
hanya akan membuat agama tidak murni lagi karena terkontaminasi pendapat-pendapat manusia yang
tidak memiliki wewenang menetapkan syariat.

13

QS. Al-Maidah ayat 44


QS. Al-Maidah ayat 3
15
Muhammad Ab Zahrah, Trkh al-Madhhib al-Islmiyah (Cairo: Dr el-Fikr al-Arbi, tt), 99; Ab
Jafar Muhammad ibn Jarr al-abar, Trkh al-abar: Trikh al-Rasl wa al-Muluk, juz III (Kairo: Dr alMarif, 1963), 540-543.
16
Harun Nasution, Theologi Islam, Sejarah Analisa dan Perbandingan (Jakarta: UI Press, 1991), 23;
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Bandung: Mizan, 1999), 112-113; Philip K. Hitti, History of The
Arabs (London: The Macmilan Press LTD, 1974), 181-183.
17
Abu Muhammad Ibn Hazm, al-Ikm f Ul al-Akm, Vol. 1 (Beirut: Dr al-Afaq al-Jaddah, 1980),
27.
14

432

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Purifikasi hukum Tuhan sebagaimana menjadi garis ideologi Ikhwanul Muslimin (IM)
menganggap hukum hanya bersumber dari Islam, bukan bersumber dari agama-agama lain.
Pandangan demikian yang telah memicu suburnya benih-benih fanatisme keberagamaan yang
mengarah pada ekstrimisme.18 Hukum Tuhan dalam QS. Al-Maidah ayat 44 difahami sebagai hukum
kelompok tertentu yang telah dikodifikasi, sebagaimana hukum yang telah dikodifikasi oleh ulama
Syiah atau ulama Sunni. Konteks historis turunnya ayat tersebut berkaitan orang Yahudi yang
dihukum cambuk dan dipanasi badannya karena melakukan perzinahan dan sudah berkeluarga.19 Hal
ini menjelaskan bahwa ayat tersebut tidak berkaitan dengan pendirian negara Islam atau sistem
khilafah tetapi kewajiban bagi agama samawi untuk melaksanakan hukum dalam kitab sucinya
sendiri.
Tabel Dalil Kekerasan Atas Nama Agama20
No
1
2
3
4
5

Dalil

Pemahaman
Berhukum selain hukum Allah adalah kafir
Islam sudah sempurna mengatur semua bidang
Bersikap keras terhadap orang-orang kafir
Perintah untuk membunuh, menangkap, dan
mengintai orang-orang musyrikin
Yahudi dan Nasrani selalu memiliki rencana untuk
menyerang umat Muslim

QS. Al-Maidah ayat 44


QS. Al-Maidah ayat 3
QS. Al-Fath ayat 29
QS. At-Taubah ayat 5
QS. Al-Baqarah ayat 120:

Metode memahami pemahaman dalil secara tekstual dengan menolak pendekatan-pendekatan


lainnya menjadikan kelompok ini cenderung bersifat eksklusif dan fanatik. Kelompok literalis ini
tidak bersahabat dengan kelompok di luar bagiannya serta selalu berfikir negatif dengan kelompok
lain. Bersikap keras atas kekafiran bukanlah menyerang fisik orang kafir, tetapi pemahaman untuk
melawan nilai-nilai kekafiran dalam konteks toleransi, yaitu ketidakadilan, dan kediktatoran dalam
masyarakat.21

Radikalisme versus Nasionalisme Kebangsaan


Intervensi pendampingan sekaligus pembinaan dalam aspek keagamaan disesuaikan dengan
hasil asesmen

resiko kekerasan beserta kondisi wilayah dan sosial budaya di mana mantan

narapidana berada. Proses pembinaan tersebut berasal dari kesadaran bahwa keyakinan kelompok
18
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (Jakarta:
Penerbit Fitrah, 2007), 401.
19
Imm al-Widi, Asbb al-Nuzl (Kairo: Dr al-adth, 2003), 150.
20
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2014), 83-232.
21
Kafir sebagai upaya menghalangi keadilan dan kesejahteraan (QS. Ali Imran: 21-22, QS. An-Nisa: 167,
QS. Muhammad: 32, QS. Al-Araf:45), kafir sebagai penindasan atau tirani (QS. Al-Baqarah: 256), dan kafir
sebagai monopoli ekonomi (QS. Al-Maun: 1-3, QS. Al-Humazah: 1-4). Farid Esack, Quran Liberation and
Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression (London: One World Oxford,
1997), 134-140.

433

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Islam radikal atas kebenaran tekstual agama, melahirkan keyakinan yang diklaim sebagai cara
beragama yang paling benar. Keberagamaan yang paling benar dalam pandangan ini adalah cara
beragama yang memolakan dua sisi perbedaan berupa benar-salah, Islam-kafir, pahala-dosa, sesattidak sesat maupun surga-neraka. Memperdebatkan atau menggugat konsep agama dalam klaim yang
berlawanan sebagaimana tertulis dalam teks keagamaan adalah kebablasan berfikir yang sesat.
Wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad sesungguhnya tidak terlepas dari
kondisi masyarakat yang menyertai. Suatu gagasan termasuk gagasan dalam kewahyuan tentu terkait
dengan problem historis dan kulturalnya.22 Pendekatan historis dalam memahami suatu dalil agama
dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi sejarah pada saat dalil tersebut disampaikan.
Memahami dalil dari perspektif sosiologis menjadikan agama difahami dari pola perilaku masyarakat
dan tata nilai yang dianutnya.
Kategori teologis dalam pembinaan keagamaan adalah konstruksi yang dibangun berdasarkan
pada informasi teks keagamaan, serta isu-isu terkait fenomena sosial yang dikaitkan dengan teks
keagamaan tersebut. Tentu saja, mengubah pemahaman keagamaan yang bernuansa intoleran menjadi
pemahaman yang toleran merupakan langkah yang tidak mudah. Pondasi yang harus dibangun dalam
pembinaan keagamaan adalah kesadaran bahwa Islam sebagai agama kemanusiaan. Kateori teologis
untuk dilakukan perubahan pemahaman terdiri atas relasi Islam dengan non-Islam, hukum Tuhan
dalam agama-agama, Islam rahmatan lil lamn, serta paradigma jihad dan perang.23

1. Muslim versus Non-Muslim


Pemilihan ayat yang sangat populer bagi kalangan Islam radikal dalam hal hubungan antara
Islam dengan agama lain adalah QS. Al-Baqarah ayat 120: Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak
akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya
petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan
mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan
penolong bagimu..
Terdapat 3 (tiga) problem atas ayat tersebut yang digunakan untuk memerangi atau mencurigai
kalangan non-Islam.24 Pertama, munculnya persepsi bahwa orang di luar Islam terutama umat Kristen
dan Yahudi sebagai musuh abadi, yang dikuatkan adanya beberapa ayat yang mengecam perilaku
kaum Yahudi dan Kristen atas Nabi Muhammad beserta para pengikutnya. Kedua, hubungan
permusuhan diberlakukan dalam jangka waktu yang tidak terbatas sehingga memandang semua orang
Yahudi dan Kristen sebagai musuh. Ketiga, hilangnya perhatian terhadap ayat-ayat lain yang
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis (Jakarta: Elex Media Komputindo,
2014), 54.
23
Materi Pembinaan Keagamaan di LP Cipinang, 2010-2011.
24
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme (Jakarta:
Penerbit Fitrah, 2007), 383-384.
22

434

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

menyerukan aspek toleransi sehingga Al-Quran yang terdiri dari ribuan ayat seolah digeneralisir
dalam ayat tertentu saja.
Pembinaan yang diberikan terkait penjelasan ayat tentang relasi Islam dan non-Islam adalah
menyadarkan bahwa memahami ayat perlu terlebih dahulu memahami latar belakang sejarah
penurunan ayat. Dalam QS. Al Baqarah ayat 120, Imm al-Wid menerangkan bahwa suatu saat
orang Yahudi dan Kristen mengajukan gencatan senjata kepada Rasulullah. Pada saat Rasulullah
hampir menerima gencatan senjata, Allah mengingatkan melalui ayat tersebut bahwa orang Yahudi
dan Kristen selamanya tidak akan rela mengikuti gencatan senjata atau perjanjian damai dengan
Islam.25 Latar belakang kedua berkaitan dengan permintaan orang Yahudi dan Kristen untuk tetap
menghadapkan kiblat ke arah Masjid al-Aqsha, Jerussalem.
Konteks sejarah dalam mewarnai lahirnya teks keagamaan tentu memiliki nuansa yang berbeda
jika dihubungkan dalam ruang kerjasama di bidang pendidikan, ekonomi, politik, kebudayaan, dan
lainnya. Hal demikian disebabkan karena ayat tersebut berkaitan dengan gencatan senjata dan
pemindahan arah kiblat. Permusuhan terhadap Yahudi dan Nasrani yang digeneralisasikan untuk
semua bidang maka akan berlawanan dengan ayat yang menyatakan pentingnya memahami
keragaman suku, bangsa, dan agama.
Perubahan pemahaman relasi antara Islam dengan non-Islam dapat digambarkan dalam
pernyataan salah seorang mantan narapidana terorisme dari Lapas Kedung Pane.
Permusuhan saya terhadap Kristen itu bukan karena agamanya, tetapi aktivitas tokoh dan umat
Kristen yang sering melecehkan Islam itu yang menjadikannya musuh di mata saya.26

Pada masa Rasulullah, sebutan yang diberikan terhadap orang-orang non-muslim adalah ahlu
dzimmah. Penyebutan orang kafir dengan istilah dzimmah mengajarkan adanya praktik toleransi dan
perlindungan terhadap orang yang beragama lain. Pada masa Umar bin Khattab terdapat hubungan
harmonis antara Islam dan Kristen yang diatur dalam Perjanjian Elia,27 yaitu perjanjian pascca Perang
Yarmuk yang dimenangkan oleh tentara Umar dan mendapatkan hak pengelolaan terhadap wilayah
kota Al-Quds.

2. Hukum Tuhan versus Hukum Manusia


Pemahaman yang mendasari gerakan keagamaan pada kewajiban menegakkan hukum Tuhan,
sudah dilakukan oleh Wahabisme yang disponsori oleh Arab Saudi dengan melakukan

Imm al-Wid, Asbb al-Nuzl (Kairo: Dr al-adith, 2003), 39.


Wawancara dengan mantan narapidana Lapas Kedung Pane, Juli 2013.
27
Zuhairi Misrawi, Al-Quran Kitab Toleransi, 385.
25
26

435

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

institusionalisasi paham keagamaan.28 Imbasnya, hukum Tuhan dianggap sebagai hukum yang
bersumber dari Islam saja dengan meniadakan agama lain. Hukum Islam juga mengalami
pengerucutan sebagai hukum yang diturunkan kepada kelompok tertentu, misal hukum Islam yang
dikodifikasi ulama Sunni maka dianggap bukan sebagai hukum Tuhan oleh kalangan Syiah.
Kenyataan tersebut dapat dilihat dari apa yang pernah dipraktikkan kalangan Khawarij dengan
menyatakan Ali bin Abu Tholib dan Muawiyah sebagai orang kafir.
Memperhatikan QS. Al-Maidah ayat 44 dan 47 dijelaskan adanya hukum yang diatur bukan
hanya hukum Islam, tetapi juga hukum Tuhan di dalam Kitab Taurat dan Kitab Injil. Pandangan
demikian yang sekiranya menjadikan 47 (empat puluh tujuh) narapidana terorisme LP Cipinang dari
58 (lima puluh delapan) orang, dan para mantan narapidana terorisme dapat menerima Pancasila
sebagai sumber hukum di Indonesia karena konsep Pancasila diambil dari teks keagamaan Islam oleh
para perumusnya.
Tabel Hubungan Dalil Islam dan Sila Pancasila29
No
1

Sila Pancasila
Ketuhanan Yang
Maha Esa

Kemanusiaan yang
adil dan beradab

Persatuan Indonesia

Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam
pemusyawaratan
perwakilan
Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat
Indonesia

Dalil Islam
Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa (QS. Al-Baqarah: 163)
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. (QS. Al-Maidah:
8)
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu
(QS. Al-Hujurat: 10)
Bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. (QS. Al-Imran: 159)

Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat kebajikan,


memberi kepada kaum kerabat (QS. An-Nahl:90)

Quraish Shihab menjelaskan bahwa orang-orang yang berhukum dengan menggunakan Kitab
Taurat dan Kitab Injil di dalam Al-Quran disebut Ahlul Kitb sebanyak 31 kali, Al-Yahd sebanyak 8
28

Khaled Abou el-Fadl, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (New York: harperSan
Fransisco, 2005), 45-94.
29
Douglas E. Remagee, Pemahaman Abdurrahman Wahid Tentang Pancasila dan Penerapannya Dalam
Era Paska Azaz Tunggal (Yogyakarta: LKiS, 1994).

436

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kali, An-Nara sebanyak 14 kali, dan Ban Isril sebanyak 41 kali.30 Ahlul Kitab atau penyebutan
yang sejenis tersebut diartikan sebagai konsep yang memberikan pengakuan kepada agama di luar
Islam yang memiliki kitab suci. Sikap pengakuan ini bermaksud untuk memberi pengakuan hak
eksistensi dalam menjalankan aturan agama masing-masing.

Nasionalisme Kebangsaan ala Pancasila


Istilah kebangsaan merupakan gambaran ciri-ciri terhadap kesatuan orang yang bersamaan asal
keturunan, budaya, bahasa, dan akar sejarahnya pada suatu lokasi tertentu. Kesamaan ciri terhadap
kelompok manusia sehingga dapat disebut bangsa mulai berkembang pada abad ke-18 di Eropa, dan
mengalami transformasi ideologi ke dunia Islam. Penyebaran ideologi kebangsaan tersebut
berkembang seiring agresi Napoleon Bonaparte ke Mesir pada Juli 1978 yang mempropaganda diri
sebagai muslim yang taat.31 Propaganda melalui penyebaran panflet oleh 36.000 pasukan diawali
dengan ungkapan Bismillahirrahmanirrahim untuk menunjukkan sebagai saudara.
Strategi membangkitkan kesadaran berdasarkan kesamaan asal dan wilayah membuat sebagian
umat Islam merasa bahwa nasionalisme menjadi sebab terpecahnya dunia Islam. Bagi kelompok
islamisme semacam HTI, nasionalisme dianggap sebagai primordialisme dan fanatisme kebangsaan
(ashabiyah) yang dihukumi haram.32 Pendapat itu menjadi pandangan politik mayoritas kelompok
Islam radikalis di Indonesia. Kelompok ini berpegang teguh pada prinsip kesatuan umat yang
didasarkan atas ikatan aqidah atau ideologi keislaman, bukan ikatan kebangsaan. Hal demikian
mengacu pada QS. Al-Hujurat ayat 10, Sesungguhnya orang-orang beriman adalah bersaudara.
Perkembangan ideologi kebangsaan sesungguhnya telah dilakukan oleh Nabi Muhammad
dalam proses membangun masyarakat baru kota Yatsrib. Nasionalisme modern itu ditandai dengan
penyusunan konstitusi Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah) untuk mengikat seluruh masyarakat
Madinah tanpa membedakan agama, suku, maupun kelas sosial yang ada. Komposisi masyarakat
Madinah pada saat itu terdiri atas suku Auz dan Khazraj yang sebagian memeluk Islam, dan suku
Quraizhah, Nadhir, dan Qaynuqa yang memeluk Yahudi.

33

Piagam Madinah diberlakukan untuk

seluruh suku guna membela kedaulatan kota Yatsrib yang kemudian berubah menjadi Kota Madinah.
Strategi yang dilakukan Nabi Muhammad di Madinah memiliki kesamaan dengan kehidupan
kebangsaan Indonesia yang tidak menerapkan konstitusi berdasarkan hukum agama tertentu untuk
seluruh suku, tetapi menerapkan konstitusi atas dasar kesepakatan bersama yang bermodalkan

30
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung:
Penerbit Mizan, 2003), 348.
31Shmuel Moreh (terj), Napoleon in Egypt: Al-Jabartis Chronicle of The French Occupation, 1798
(Princeton: Marcus Wiener Publishing, 1993), 24-26.
32
M. Kusman Sadik, Nasionalisme dan Separatisme Haram! (31 Maret 2013), http://www.hizbuttahrir.or.id/2013/03/31/nasionalisme-dan-separatisme-haram/ (diakses 10 Pebruari 2014).
33Munim

A. Sirry, Membendung Militansi Agama: Iman dan Politik dalam Masyarakat Modern (Jakarta: Erlangga, 2003), 175.

437

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

semangat prinsip-prinsip persamaan. Kebersamaan membela masyarakat berdasarkan aspek


kewilayahan menunjukkan adanya bela negara yang dibangun oleh masyarakat Madinah.
Dalam kosakata Arab, istilah yang memiliki makna bangsa antara lain qaum dan syab. Kata
qaum di dalam Al-Quran disebut sebanyak 322 kali, sebagaimana di dalam QS. Hud ayat 63-84.
Sedangkan kata syab hanya ditemukan dalam 1 ayat sebagaimana pada QS. Al-Hujurat ayat 13:
Ideologi kebangsaan atau nasionalisme jelas memiliki dasar dalam Al-Quran dengan adanya
inklusivitas untuk saling mengenal identitas satu dengan yang lain. Tentu kebangsaan tersebut akan
dijumpai adanya kebhinekaan dalam hal agama, suku, warna kulit, status sosial, dan perbedaan lain
dengan dibatasi penghargaan melalui ketaqwaan, yaitu memanusiakan manusia dengan tidak saling
melecehkan.
Titik temu antara kebangsaan dengan keislaman dapat dilihat pada prinsip yang harus
dijunjung. Berbangsa menuntut adanya persatuan masyarakat (al-ummah), perlindungan hak
masyarakat (al-adalah), prinsip permusyawaratan (al-syura), dan persamaan perlakuan (al-musawah).
Nasionalisme merupakan tampilan konsep yang dibangun oleh Nabi Muhammad untuk
memperhatikan kepentingan persatuan masyarakat (al-ummah al-wahidah). Atas dasar kesepakatan
dan kontrak sosial, negara kota Madinah dibangun oleh generasi muslim pertama dengan
menghormati kebhinekaan dalam tujuan yang sama, yaitu keadilan dan kesejahteraan. Keterbukaan
masing-masing anggota masyarakat dan kesediaan para pemimpin menerima usulan merupakan
model masyarakat berbangsa yang modern.
Masyarakat muslim di Indonesia sejak perkembangannya sudah mengenal makna persaudaraan
bukan sekadar saudara atas dasar agama (ukhuwah Islamiyah), tetapi juga persaudaraan sebangsa
(ukhuwah wathaniyah), dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah). Hal demikian
dirumuskan oleh para pendiri bangsa dengan ikatan Pancasila.
Aksi kekerasan atasnama agama yang masih marak terjadi di Indonesia mengindikasikan
bahwa sikap dan perilaku sebagian masyarakat Indonesia tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip
Pancasila. Masyarakat cenderung memilih aksi kekerasan atau adu kuat dalam menghadapi
perbedaan. Tindakan demikian menyuburkan intoleransi beragama, pembakaran rumah ibadah, dan
frustasi beragama dengan ideologisasi Islam menjadi jaringan terorisme.
Masyarakat muslim Indonesia banyak yang tidak memandang bahwa Pancasila adalah prinsip
beragama Islam. Dalam epistemologi hukum Islam (ushul fiqih), Pancasila sama halnya dengan alkulliyat al-khams, yaitu prinsip dasar tujuan pemberlakuan hukum Islam. Panca prinsip hukum Islam
tersebut adalah perlindungan agama (hifzh din), perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), perlindungan
keturunan (hifzh al-nasl), perlindungan akal (hifzh alaql), perlindungan harta (hifzh mal).
Al-kulliyat al-khams dalam konteks Indonesia sudah tercermin pada rumusan Pancasila. Silasila dasar negara yang merupakan asli produk budaya bangsa Indonesia, sudah memberikan

438

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

perlindungan agama pada sila pertama. Perlindungan jiwa dan aspek-aspek kemanusiaan pada sila
kedua. Perlindungan keturunan sebagai bentuk hak kewarganegaraan dalam sila ketiga. Perlindungan
akal dan kebebasan berserikat berkumpul dalam sila keempat. Sedangkan perlindungan harta serta
akses sumber ekonomi tercermin dalam sila kelima.
Posisi Pancasila yang berkesesuaian dengan pokok-pokok tujuan pemberlakuan hukum Islam,
maka muslim Indonesia wajib menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, sekaligus mazhab dalam
berkebangsaan yang meliputi bidang hukum, politik, ekonomi, budaya, dan lainnya.
Pancasila merupakan pondasi norma atas hukum-hukum yang berlaku di Indonesia. Hal
demikian berimplikasi pada pemberlakuan dan penerapan syariat Islam tidak boleh berlawanan
dengan nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, perastuan, permusyawarakatan, dan
keadilan. Hukum Islam ditempatkan sebagai sumber pembentukan hukum nasional yang berinteraksi
dengan agama-agama lain. Pancasila sebagai mazhab berkebangsaan ditempatkan untuk meneguhkan
Islam di Nusantara guna mengembangkan peradaban Indonesia dan peradaban dunia yang damai.
Penutup
Pertemuan damai antara nasionalisme dengan agama di Indonesia berwujud dengan
keberhasilan rumusan Pancasila. Karakter kebhinekaan mendapatkan posisi penghargaan yang baik
guna menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat atau kearifan lokal masyarakat Nusantara. Hal
tersebut membentuk sistem sosial yang kemudian memetakan identitas kebangsaan itu sendiri.
Formulasi Islam dan negara yang terbentuk menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
NKRI adalah negara yang mendasarkan pola interaksi masyarakatnya menjadi terbuka, ramah,
dan bersahabat dengan lingkungan budaya. Oleh karena itu Islam sebagai agama yang bersinergi
dengan budaya, mengedepankan sikap jalan tengah atau moderasi (tawasut). Corak Islam di Indonesia
sebagai darussalam melahirkan tegaknya Pancasila dan NKRI sebagai intisari dari ajaran Islam
ahlussunnah wal jamaah. Kolaborasi antara Pancasila dan NKRI menjiwai karakteristik bangsa
Indonesia yang damai, membina keberagaman, serta mampu bekerjasama dalam kebhinekaan.
Program bina damai dengan menggunakan pendekatan kebangsaan dapat dilakukan terhadap
pelaku tindak pidana terorisme di dalam Lapas dan di luar Lapas. Strategi tersebut perlu adanya
identifikasi kebutuhan sekaligus analisis resiko kekerasan para pelaku konflik sosial maupun pelaku
tindak pidana terorisme.
Tiga pilar utama yang mendukung keberhasilan program bina damai dengan menggabungkan
antara pendekatan agama dengan pendekatan kebangsaan adalah membangun kerjasama lintas
sektoral. Hubungan kerjasama mesti didukung dengan pemanfaatan kekuatan struktural, dan otoritas
keislaman. Sinergi kerjasama yang dilakukan antara Kemenkumham dengan BNPT serta Kementerain
Agama telah menjadikan beberapa tokoh inti jaringan terorisme mengakui kesalahan dan membangun
rasa nasionalisme terhadap NKRI, seperti Ali Imron, Nasir Abas, dan Umar Patek.

439

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Program bina damai tindak pidana terorisme sesungguhnya telah berlangsung sejak 2011
seiring berdirinya BNPT. Hal demikian sudah mengalami perkembangan yang baik dalam
mengurangi potensi kekerasan narapidana terorisme. Pada akhir Maret 2015, BNPT menyatakan
bahwa 201 narapidana terorisme yang ada di pelbagai Lapas sudah bersedia untuk bekerjasama
dengan pemerintah dalam program pembinaan, sedangkan 25 narapidana terorisme lainnya masih
melakukan aksi penolakan.
Keberhasilan program bina damai di luar Lapas ditentukan pada kemauan mantan narapidana
dan masyarakat untuk berbaur sekaligus bekerjasama dengan sikap yang toleran terhadap masyarakat
sebagaimana dengan membuka bisnis usaha bersama. Tumbuhnya sel jaringan baru setelah adanya
penangkapan menunjukkan bahwa ideologi radikal masih memiliki pengikut atau partispan di
masyarakat. Keberhasilan Ormas Islam di Indonesia yang dipelopori Nahdhatul Ulama (NU) dalam
memetakan aliran radikal memberikan sumbangan tersendiri bagi negara untuk mengurangi potensi
kekerasan atas nama agama.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program bina damai terorisme di luar Lapas
adalah strategi komunikasi aparat, kejelasan standar operasional program, koordinasi kewenangan
yang baik, dan ketersediaan sumber daya. Dalam bahasan ini, belum optimalnya program
deradikalisasi disebabkan adanya kekerasan senjata untuk mengungkap aksi terorisme sehingga
menimbulkan balas dendam, dan pembiaran terhadap pengajaran ideologi radikal yang mendorong
perlawanan terhadap negara melalui aksi kekerasan. Terorisme di Indonesia termasuk kategori subrevolusioner yang dilakukan oleh warga sipil untuk mengubah kebijakan politik atau balas dendam
terhadap pemerintah sehingga perlu memahami penyebab munculnya terorisme yang sangat
dipengaruhi faktor politik dan pemahaman agama yang tekstual.
Arogansi Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dalam penindakan terorisme yang terkesan
main hakim sendiri membangkitkan para anggota jaringan kelompok teroris untuk membalas dendam.
Sasaran teror yang semula ditujukan pada orang asing atau obyek vital milik Negara Barat berubah
kepada polisi maupun kantor polisi. Aparat pemerintah yang tidak tegas menindak kemaksiatan
menjadi faktor tetap berlangsungnya kekerasan yang dilakukan oleh beberapa mantan narapidana
beserta jaringan kelompok sebelumnya dengan dalih penegakan hukum Islam di tengah masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Abas, Nasir. Membongkar Jamaah Islamiyah; Pengakuan Mantan Anggota JI. Jakarta: Penerbit
Grafindo Khazanah Ilmu, 2005.
Black, Anthony. The History of Islamic Political Thought: From the Prophet to the Present.
Edinburgh: Edinburgh University Press, 2011.

440

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Bolz, Frank. The Counterterrorism Handbook: Tactics, Procedures, and Techniques. Boca Raton:
CRC Press Taylor & Francis Group, 2012.
Bruinessen, Martin van. NU: Tradisi, Relasi-Relasi, Pencarian Wacana Baru. Yogyakarta: LKiS,
1994.
B, Muhammad Said Raman. Al-Jihd fi al-Islm Kaifa Nafhamuhu? Wa Kaifa Numrisuhu?.
Beirut: Dr al-Fikr al-Masir, 1993.
Fatoohi, Louay. Jihad in the Quran: The Truth from the Source. Kuala Lumpur: As. Noordeen, 2002.
Gunaratna, Rohan. Inside Al-Qaeda, Global Network of Terror. New York: Columbia University
Press, 2002.
Imron, Ali. Ali Imron Sang Pengebom. Jakarta: Republika, 2007.
Izzuddn, Ahmad Jall. Al-Irb wa al-Unf al-Siysi. Kairo: Dr al-urriyah, 1986.
Jurgensmayer, Mark. Terror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence (California:
University of California Press, 2001)
Keppel, Gilles. Jihad: The Trial of Political Islam. Cambridge: Harvard University Press, 2002.
Khamdan, Muh. HAM Bagi Narapidana. Kudus: Parist, 2011.
Khamdan, Muh. Pesantren di Dalam Penjara; Sebuah Model Pembangunan Karakter. Kudus: Parist,
2012.
Kushner, Harvey. Holy War on the Home Front. New York: Sentinel, 2004.
Laquaer, Walter. New Terrorism: Fanatisme dan Senjata Pemusnah Massal. Yogyakarta: Juxtapose
Research Study Club dan Kreasi Wacana, 2005.
Lewis, Bernard. Krisis Islam: Antara Jihad dan Teror yang Keji. Jakarta: PT Ina Publikatama, 2004.
Mwardy, Ab asan. al-Akam as-Sulniyyah. Beirut: Dr al-Fikr, tth.
Misrawi, Zuhairi. Al-Quran Kitab Toleransi Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme.
Jakarta: Penerbit Fitrah, 2007.

441

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Moesa, Ali Maschan. Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Jogjakarta: LKiS, 2007.
Mohindra, Maj Gen. S.. Terrorist Games Nations Play. New Delhi: Lancer Publisher Pvt, 1991.
Muhammad Ibn Hazm, Abu. al-Ikm f Ul al-Akm, Vol. 1. Beirut: Dr al-Afaq al-Jaddah, 1980.
Qarw, Ysuf. Dirsah Muqranah li Akmihi wa Falsafatihi f au Al-Quran wa As-Sunnah.
Kairo: Maktabah Wahbah, 2009.
Rabasa, Angel. Deradicalizing Islamist Extremists. Pittsburgh: The RAND Corporation, 2010.
Ramakhrisna, Kumar. Radical Pathways: Understanding Muslim Radicalization in Indonesia.
London: Praeger Security International, 2009.
Roy, Olivier. Genealogi Islam Radikal. Yogyakarta: Genta Press, 2005.
Roy, Olivier. The Failure of Political Islam. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press,
1994.
Samharny, Asad. L li al-Irb, Naam li al-Jihd. Beirut: Dr al-Nafis, 2003.
Schmid, Alex P. Radicalisation, De-Radicalisation, Counter-Radicalisation: A Conceptual
Discussion and Literature Review. Hague: The International Centre for Counter-Terrorism (ICCT),
2013.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhui Atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung:
Mizan, 1996.
Shihab, Quraish. Kekerasan Atas Nama Agama. Jakarta: Pusat Studi Al Quran, 2008.
Ungerer, Carl. Jihadists in Jail: Radicalisation and the Indonesian Prison Experience. Australia: The
Australian Strategic Policy Institute, 2011.
Wiktorowicz, Quintan. The Management of Islamic Activism: Salafis, the Muslim Brotherhood, and
State Power in Jordan. New York: State University of New York Press, 2001.
Zahrah, Muhammad Ab. Trkh al-Madhhib al-Islmiyah. Cairo: Dr el-Fikr al-Arbi, tth.
Zuhail, Wahbah. al-Fiqh al-Islm wa Adillatuhu. T.tp,t.p, 1418 H/ 1997 M.

442

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Analisis Dampak Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap


Kinerja Pegawai melalui Motivasi Kerja sebagai Variabel Intervening
Studi Kasus pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi
Lailatul Isnaini
Widyaiswara Ahli Muda
Bandiklatda Provinsi Jambi

(Diterima 17 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)


Abstract: Penelitian ini bersifat deskriptif dan verifikatif. Penelitian ini dilakukan di
Badan Diklat Daerah Daerah Provinsi Jambi, responden yang digunakan sebanyak
75 orang, menggunakan metode Analisis Jalur. Hasil penelitian menunjukkan gaya
kepemimpinan dan budaya organisasi mempunyai pengaruh positif dan signifikan
terhadap motivasi dalam meningkatkan kinerja karyawan. Pengaruh
kepemimpinan

terhadap

motivasi

dari

gaya

kerja adalah positif; pengaruh dari budaya

organisasi terhadap motivasi kerja adalah signifikan dan positif; pengaruh gaya
kepemimpinan

terhadap

kinerja pegawai adalah signifikan dan positif; pengaruh

motivasi terhadap kinerja adalah signifikan dan positif; dan gaya kepemimpinan dan
budaya organisasi melalui motivasi berpengaruh signifikan terhadap kinerja.
Kata Kunci: gaya kepemimpinan, budaya organisasi, motivasi, dan kinerja
Corresponding author: Lailatul Isnaini, E-mail:anand.isnanini@gmail.com

PENDAHULUAN
Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) mempunyai peranan yang sangat penting
dalam mempengaruhi jalannya organisasi karena merupakan penentu bagi keefektifan
berjalannya kegiatan di dalam organisasi tersebut. Oleh sebab itu SDM harus benar-benar
menjadi aset

yang mempunyai loyalitas tinggi terhadap organisasi, memiliki

profesionalitas yang terdepan serta prestasi yang dapat diandalkan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan oleh organisasi.
SDM tidak dapat menjalankan aktifitasnya sendiri tanpa didukung oleh faktor
faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja. Hal tersebut karena SDM mempunyai

443

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

keterbatasan dalam menjalankan fungsinya dalam menajemen dan pertumbuhan


organisasi. Faktor-faktor tersebut antara lain kepemimpinan, budaya oganisasi dan
motivasi.
Kepemimpinan merupakan pengarahan langsung dan tidak langsung kepada
karyawan untuk melakukan pekerjaan. Kepemimpinan dalam konteks penelitian ini yang
akan dikaji adalah mengenai gaya kepemimpinan (leadership style). Cara atau gaya yang
digunakan pemimpin untuk melaksanaannya banyak berpengaruh terhadap keberhasilan
pemimpin mempengaruhi pengikutnya. Gaya kepemimpinan seorang pemimpin juga
merupakan hal yang penting dalam meningkatkan motivasi karyawan dalam bekerja,
sedangkan budaya organisasi akan meningkatkan motivasi staf dengan memberi mereka
perasaan memiliki, loyalitas, kepercayaan, dan nilai-nilai, dan menolong mereka berfikir
positif tentang mereka dan organisasi (Nawawi, 2015).
Dalam suatu organisasi pertukaran pemimpin akan dapat mempengaruhi motivasi
dan kinerja pegawai. Bertukar pemimpin berarti berbeda cara atau gaya dalam memimpin.
Motivasi mempunyai peranan yang sangat penting bagi seorang pemimpin, dan
merupakan usaha sadar untuk mempengaruhi dan mengarahkan perilaku bawahan agar
kegiatanya mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan ( Wahjosumijo, 1987: 209).
Pegawai yang tidak termotivasi memiliki rasa tidak bergairah dalam bekerja, sehingga
pekerjaan yang dilakukan tidaklah maksimal dan memiliki dampak produktivitas yang
tidak sesuai dengan keinginan. Mutasi, salah satu cara yang diajukan oleh pegawai untuk
mendapatkan kepuasan bekerja dan diharapkan dapat meningkatkan motivasi kerja di
tempat yang baru. Jika hal tersebut tidak bisa diwujudkan, maka yang bersangkutan akan
melaksanakan pekerjaanya hanya sekedar melakukan kerja atau bahkan kehadirannyapun
hanya sekedar mengisi daftar hadir.
Sejumlah pegawai pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi yang mengajukan
mutasi ke SKPD lain selama 5 (lima) tahun terakhir dapat terlihat pada Tebel 2 berikut;
Tabel. 1.1
Mutasi Pegawai Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi Ke SKPD
Lain Tahun 2010 - 2015.
Tahun

Mutasi

444

Ket

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Keinginan
Kebijakan
Jumlah
Sendiri
Pimpinan
2010
8
3
11
2011
7
3
10
2012
9
2
11
2013
8
4
12
2014
5
3
8
2015
0
0
0
Jumlah
37
15
52
Sumber : Sekretariat Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi (sudah diolah)
Dari Tabel diatas terlihat bahwa dalam 5 (lima) tahun terakhir sebanyak 52 orang
telah pindah dari Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi dengan rincian ; Tahun 2010
pegawai yang pindah 11 orang, tahun 2011 sebanyak 10 orang, tahun 2012 pegawai yang
pindah 11 orang, tahun 2013 pegawai yang pindah 12 orang, tahun 2014 sebanyak 8
orang, dan tidak terjadi mutasi keluar SKPD sampai bulan Agustus 2015. (Sekretariat
Bandiklatda Provinsi Jambi Tahun 2015)
Selain kepemimpinan dan motivasi, budaya organisasi memiliki peran penting
dalam sebuah organisasi. Penelitian mengenai pengaruh budaya organisasi terhadap
motivasi dan kinerja telah dilakukan oleh Koesmono (2005) menunjukkan secara
langsung motivasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja dan kinerja, kepuasan kerja
berpengaruh terhadap kinerja, dan budaya organisasi berpengaruh terhadap motivasi,
kepuasan kerja, dan kinerja.
Kinerja pegawai pada sebuah instansi diantaranya akan tercermin dari beberapa
jauh target program kerja tersebut dapat direalisasikan dan berapa besar serapan
anggarannya. Melalui perkembangan pelaksanaan program dan kegiatan inilah kinerja
suatu instansi dapat dinilai baik dan buruknya. Kinerja Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi dapat terlihat dari realisasi kinerja selama kurun waktu dua tahun terakhir pada
Tabel 2 .

445

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Tabel 1.2
Rekapitulasi Perkembangan Pencapaian Atau Realisasi Kinerja Pada
Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi
Periode 2013 Dan 2014
Keadaan Tahun 2013
No

Keadaan Tahun 2014

Bidang
Dana
(Rp.000)

Serapan
(Rp.000)

Kinerja
%

Dana
(Rp.000)

Serapan
(Rp.000)

Kinerja
%

Sekretariat

7.132.306

6.709.416

94,07

8.099.528

7.791.564

96,20

Struktural

3.959.104

3.054.916

77,16

2.253.166

1.531.633

67,98

Teknis

109.129

106.497

97,58

643.600

583.988

90,74

Manajemen
Pemerintahan

224.315

216.072

527.850

485.849

92,04

Fungsional

133.820

129.487

641.365

407.311

63,50

11.558.674

10.216.388

12.165.506

10.800.345

88,78

Jumlah

96,32

96,72
88,38

Sumber : Sekretariat Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi Tahun 2015


Dari Tabel terlihat bahwa pada tahun 2013, anggaran yang tersedia sebesar Rp.
11.558.674,- berhasil diserap sebesar Rp. 10.216.388,- dengan kinerja sebesar 88,38%.
Tahun 2014, anggaran yang tersedia Rp. 12.165.506 berhasil diserap sebesar Rp.
10.800.345, dan kinerja sebesar 88,78%. (Sekretariat Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi Tahun 2015). Dari data tersebut terlihat bahwa kinerja Badan Diklat Daerah
Provinsi Jambi meningkat sebesar 0,50% antara periode tahun 2013 dan tahun 2014 dalam
realisasi pencapaian kinerja, dan hampir seluruh bidang mampu mencapai target yang
telah ditetapkan. Meskipun demikian, ditinjau dari jumlah persentase pencapaian secara
keseluruhan

perolehan

masih berada di bawah 100%, maka pencapaian kinerja

pegawainya dihampir seluruh unit pelaksana (bidang) menjadi relatif belum maksimal.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai tersebut. Apakah faktor gaya
kepemimpinan dan budaya organisasi juga dapat mempengaruhi motivasi kerja

446

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pegawai, yang selanjutnya dapat mempengaruhi kinerja pegawai?. Penelitian ini akan
menganalisa pengaruh gaya kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap

kinerja

pegawai melalui motivasi kerja sebagai variabel antara. Penelitian ini akan dilakukan pada
unit organisasi Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi dengan rumusan masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana gambaran budaya organisasi (X1), gaya kepemimpinan (X2), motivasi kerja
(Y) dan Kinerja pegawai (Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi?.
2. Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan (X1) dan budaya organisasi (X2) terhadap
motivasi pegawai (Y) secara simultan dan parsial pada Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi?
3. Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan (X1) dan budaya organisasi (X2) terhadap
kinerja pegawai (Z) secara simultan dan parsial pada Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi ?
4. Bagaimana pengaruh motivasi (Y) terhadap kinerja (Z) pada Badan Diklat Daerah
Provinsi Jambi
5. Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan (X1) dan budaya organisasi (X2) melalui
motivasi pegawai (Y) terhadap kinerja (Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi?.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui gambaran kondisi gaya kepemimpinan (X1), budaya organisasi (X2),
motivasi kerja (Y) dan Kinerja pegawai (Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi.
2. Untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan (X1), dan budaya organisasi (X2),
terhadap motivasi pegawai (Y) secara simultan dan parsial pada Badan Diklat Daerah
Provinsi Jambi.
3. Untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan (X1), dan budaya organisasi (X2),
terhadap kinerja pegawai (Z) secara simultan dan parsial pada Badan Diklat Daerah
Provinsi Jambi.
4. Untuk mengetahui pengaruh motivasi (Y) terhadap kinerja (Z) pada Badan Diklat
Daerah Provinsi Jambi.

447

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

5. Untuk mengetahui pengaruh gaya kepemimpinan (X1), dan budaya organisasi (X2),
melalui motivasi pegawai (Y) terhadap kinerja (Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi.
KAJIAN TEORI.
Kepemimpinan adalah upaya memengaruhi banyak orang melalui komunikasi
untuk mencapai tujuan (Dubrin ,2009). Robbins (2003) dalam Fahmi (2013:15)
mengungkapkan

kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu

kelompok kearah tercapainya tujuan. Sedangkan gaya kepemimpinan merupakan norma


perilaku yang digunakan oleh seseorang pada seseorang tersebut mencoba mempengaruhi
perilaku orang lain atau bawahan Miftah Toha (2010). Selanjutnya Hersey dan Blanchard
(1995), menyusun definisi konseptual Gaya Kepemimpinan dipandang sebagai gaya
kepemimpinan situasional yang terbentuk dari dinamika hubungan kerja di antara unsurunsur pimpinan dan staf yang terungkap dari kadar bimbingan dan arahan yang diberikan
pemimpin; Perilaku hubungan diantara pemimpin dan pengikut; dan level kesiapan
pengikut dalam melaksanakan tugas, fungsi, atau tujuan tertentu.
Budaya organisasi sebagai sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para
anggota organisasi yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi yang lain
(Robbins dan Judge dalam Sunyoto (2013:225). Indikator budaya organisasi yaitu,
Inovasi, perhatian pada hal-hal yang rinci (attention to detail), orientasi hasil (outcome
orientation), orientasi pada orang (people orientation) orientasi tim (tim orientation),
keagresifan (Agressiveness) dan stabilitas (stability). Budaya organisasi membentuk
perilaku staf dengan mendorong pencampuran core values dan perilaku yang diinginkan,
sehingga memungkinkan organisasi bekerja dengan lebih efesien dan efektif,
meningkatkan konsistensi, menyelesaikan konflik, dan memfasilitasi koordinasi dan
control. Budaya organisasi akan meningkatakan motivasi staf dengan memberi mereka
perasaan memiliki, loyalitas, kepercayaan, dan nilai-nilai, dan menolong mereka berfikir
positif tentang mereka dan organisasi (Nawawi, 2015).
Motivasi merupakan dorongan terhadap serangkaian proses perilaku manusia pada
pencapaian tujuan (Wibowo, 2013) . Beberapa faktor dapat mepengaruhi motivasi kerja,

448

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

faktor tersebut antara lain atasan, kolega, sarana fisik, kebijaksanaan, peraturan, imbalan
jasa uang dan non-uang, jenis pekerjaan dan tantangan.
Kinerja adalah prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas
yang dicapai persatuan periode waktu dalam melaksanakan tugas kerjanya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara, 2012). Wibowo (2013)
mengemukakan bahwa indikator kinerja yang dapat digunakan sebagai tolok ukur dari
kinerja individu seorang tenaga kerja (pegawai), yakni tujuan, Standar, umpan balik, alat
atau sarana, kompensasi, motif, dan peluang. Tujuan kerja merupakan suatu keadaan yang
lebih baik yang ingin dicapai dimasa yang akan datang, tujuan menunjukkan kearah mana
kinerja harus dilakukan.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
dan kuantitatif dengan pertimbangan efektifitas, efisiensi. Hal tersebut peneliti ambil
karena keterbatasan waktu, tenaga, dana dan kemampuan yang ada pada peneliti.
Pendekatan Deskriptif dilaksanakan untuk menganalisis secara menyeluruh tentang gaya
kepemimpinan dan budaya organisasi terhadap motivasi kerja dan dampaknya terhadap
kinerja pegawai pada Bandiklatda Provinsi Jambi. Sedangkan untuk mengumpulkan dan
menganalisis bukti empiris (data) peneliti melakukan pendekatan kuantitatif dengan
melakukan pengujian data secara statistik, serta dilakukan secara sistematis agar dapat
memahami fenomena sosial yang sedang diteliti (Sugiyono, 2005).
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat analisis jalur (path
analysis). Perhitungan menggunakan analisis jalur ini sendiri mensyaratkan data yang
digunakan memiliki skala pengukuran interval. Karena tingkat pengukuran skala dari
Likerts Summated Rating adalah ordinal, maka agar dapat diolah lebih lanjut harus diubah
terlebih dahulu menjadi skala interval dengan menggunakan Method Of Succesive Interval
(MSI). Data yang telah diolah melalui proses interval, selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan program SPSS.19.
Penelitian ini dilakukan di Bandiklatda Provinsi Jambi, sedangkan yang menjadi
unit analisis adalah pegawai yang ada pada SKPD tersebut yang berstatus sebagai Pegawai
Negeri Sipil (PNS) berjumlah 75 orang. Instrumen pengumpulan data melalui kuesioner
dan observasi, serta wawancara tidak langsung.

449

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

TEMUAN.
1. Gaya kepemimpinan (X1) dan budaya organisasi (X2), motivasi (Y) dan kinerja
pegawai (Z) Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi.
Hasil penelitian ditemukan bahwasanya kepemimpinan (X1) mendapatkan total skor
3.186 yang berarti baik, sedangkan budaya organisasi (X2) pegawai di Bandiklatda
Provinsi Jambi Tinggi dengan total skor 2.830, motivasi (Y) mendapatkan total skor
sebesar 4.079 ini berarti Tinggi, dan kinerja pegawai Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi mendapatkan total skor sebesar 3.240, yang artinya Sering.
2. a. Pengaruh secara Simultan Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
terhadap Motivasi kerja pegawai Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi
Hasil pengujian dengan uji simultan (uji F) adalah sebagai berikut : Secara simultan
antara variabel Gaya Kepemimpinan (X1), dan variable Budaya Organisasi (X2)
dengan variabel Motivasi Kerja menunjukkan bahwa F hitung sebesar 88,407
dengan taraf signifikansi 0,000. Kriteria keputusan jika Sig. penelitian < 0,05 maka
H0 di tolak dan H1 di terima artinya signifikan, tetapi jika Sig. penelitian > 0,05
maka H0 di terima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan. Dari Hasil
penelitian menunjukkan bahwa secara simultan variable Gaya Kepemimpinan (X1),
dan variabel Budaya Organisasi (X2)

berpengaruh terhadap Motivasi Kerja

pegawai pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi. Berpengaruh secara positif dan
signifikan karena 0,000 < 0,05 maka H0 di tolak dan H1 di terima.
b. Pengaruh secara Parsial Gaya Kepemimpinan dan

Budaya Organisasi,

Terhadap Motivasi kerja pegawai Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi


Dari hasil pengujian dengan uji parsial (uji t) menyatakan bahwa Gaya
Kepemimpinan (X1), dan Budaya Organisasi (X2), berpengaruh signifikan terhadap
Motivasi Kerja pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi. Secara parsial antara
variabel Budaya Organisasi (X2) dengan variabel Motivasi (Y) menunjukkan bahwa
t hitung 6,012 dengan nilai Sig. 0,000. Kriteria keputusan jika Sig. penelitian < 0,05
maka H0 di tolak dan H1 di terima artinya signifikan, tetapi jika Sig. penelitian >
0,05 maka H0 di terima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan. Karena 0,000
< 0,05 maka H0 di tolak dan H1 di terima. Hasil ini menunjukkan bahwa Budaya
Organisasi (X2) pegawai pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi berpengaruh

450

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

positif dan secara signifikan terhadap Motivasi (Y) dan ini terbukti sehingga
hipotesis di terima.
Pembahasan dari variable Gaya Kepemimpinan (X1) terhadap Motivasi (Y)
pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi. Hasil perhitungan dengan menggunakan
software SPSS 19 seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.27 di atas secara parsial
antara Gaya Kepemimpinan (X1) dengan variabel Motivasi (Y) menunjukkan bahwa
t hitung 6,895 dengan Sig. 0,000. Kriteria keputusan jika Sig. penelitian < 0,05 maka
H0 di tolak dan H1 diterima artinya signifikan, tetapi jika Sig. penelitian > 0,05
maka H0 diterima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan. Karena 0,027 < 0,05
maka H0 di terima dan H1 ditolak. Hasil ini menunjukkan bahwa Gaya
Kepemimpinan (X1) pegawai pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi secara
positif dan signifikan berpengaruh terhadap Motivasi (Y) dan hipotesis di terima.
3. a. Pengaruh secara Simultan Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi
terhadap Kinerja pegawai Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi
Hasil pengujian uji simultan (uji F) adalah sebagai berikut : Secara simultan
antara variabel Gaya Kepemimpinan (X1), dan variabel Budaya Organisasi (X2)
dengan variabel Kinerja(Z) menunjukkan bahwa F hitung 120,442 dengan taraf
signifikansi 0,000.Kriteria keputusan jika Sig. penelitian < 0,05 maka H0 di tolak
dan H1 di terima artinya signifikan, tetapi jika Sig. penelitian > 0,05 maka H0 di
terima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan. Dari Hasil penelitian
menunjukkan bahwa secara simultan Gaya Kepemimpinan (X1), dan variabel
Budaya Organisasi (X2) berpengaruh terhadap Kinerja(Z) pegawai pada Badan
Diklat Daerah Provinsi Jambi berpengaruh secara positif dan signifikan karena
0,000 < 0,05 maka H0 di tolak dan H1 di terima.
b. Pengaruh secara Parsial Gaya Kepemimpinan,

dan

Budaya Organisasi

terhadap Kinerja Pegawai Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi


Hasil pengujian dengan uji parsial (uji t) secara parsial antara variabel Gaya
Kepemimpinan (X1) dengan variabel Kinerja pegawai (Z) menunjukkan bahwa t
hitung 1,994 dengan taraf signifikansi 0,05. Kriteria keputusan jika Sig. penelitian
< 0,05 maka H0 di tolak dan H1 di terima artinya signifikan, tetapi jika Sig.
penelitian > 0,05 maka H0 di terima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan.
Karena 0,05= 0,05 maka H0 di tolak dan H1 di terima. Hasil ini menunjukkan

451

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

bahwa secara parsial Gaya Kepemimpinan (X1) berpengaruh terhadap Kinerja


pegawai (Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambidan hipotesis di atas di
terima.
Untuk variabel Budaya Organisasi (X2) dengan variabel Kinerja pegawai (Z)
menunjukkan bahwa t hitung 12,016 dengan taraf Sig. 0,000. Kriteria keputusan
jika Sig. penelitian < 0,05 maka H0 di tolak dan H1 di terima artinya signifikan,
tetapi jika Sig. penelitian > 0,05 maka H0 di terima dan H1 di tolak yang berarti
tidak signifikan. Karena 0,000 < 0,05 maka H0 di tolak dan H1 di terima. Hasil ini
menunjukkan bahwa secara parsial Budaya Organisasi (X2) berpengaruh terhadap
Kinerja pegawai (Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi dan hipotesis di
atas di terima.
4.

Pengaruh Motivasi (Y) terhadap

Kinerja pegawai (Z) Badan Diklat Daerah

Provinsi Jambi.
Hasil pengujian dengan uji parsial (uji t) menunjukkan bahwa t hitung variabel
Motivasi (Y) sebesar 10,507 dengan taraf signifikansi 0,000.Kriteria keputusan jika
Sig. penelitian < 0,05 maka H0 di tolak dan H1 di terima artinya signifikan, tetapi jika
Sig. penelitian > 0,05 maka H0 di terima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan.
Karena 0,661 > 0,05 maka H0 di terima dan H1 di tolak. Hasil ini menunjukkan
bahwa secara parsial Motivasi (Y) berpengaruh signifikan terhadap Kinerja pegawai
(Z) pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi.
5. Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi, melalui Motivasi Kerja
terhadap kinerja pegawai pada Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi.
Hasil pengujian uji simultan (uji F) secara simultan antara variabel Gaya
Kepemimpinan (X1), variabel Budaya Organisasi (X2), dan variabel Motivasi (Y)
dengan variabel Kinerja pegawai (Z) menunjukkan bahwa F hitung 12.269 dengan
taraf signifikansi 0,000. Kriteria keputusan jika Sig. penelitian < 0,05 maka H0 di
tolak dan H1 di terima artinya signifikan, tetapi jika Sig. penelitian > 0,05 maka H0 di
terima dan H1 di tolak yang berarti tidak signifikan. Karena 0,000 < 0,05 maka H0 di
tolak dan H1 di terima. Hasil ini menunjukkan bahwa secara simultan Gaya
Kepemimpinan (X1) dan Budaya Organisasi (X2) melalui variabel Motivasi (Y)
berpengaruh signifikan terhadap Kinerja pegawai (Z) pada Badan Diklat Daerah
Provinsi Jambi.

452

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dengan variabel, gaya kepemimpinan, budaya
organisasi, motivasi kerja, dan kinerja yang dilakukan di Badan Diklat Daerah Provinsi
Jambi terhadap 75 responden, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Penelitian terhadap variable Gaya Kepemimpinan (X1), Budaya organisasi (X2),
Motivasi pegawai (Y) dan Kinerja pegawai (Z). Untuk variabel Gaya kepemimpinan
secara rata-rata Baik hal ini mengandung makna adanya tujuan kemampuan,
kepemimpinan, balas jasa, pengawasan, ketegasan pada akhirnya dapat meningkatkan
kinerja pegawai. Variabel Budaya Oganisasi

rata-rata

pada kondisi / kategori

Tinggi ini berarti bahwa organisasi ada keinginan melembagakan budaya kerja lebih
baik. Variabel Motivasi secara rata-rata Tinggi hal mempunyai arti bahwa prestasi
kerja yang tinggi, gaji yang tinggi, tanggung jawab yang tinggi, dedikasi yang tinggi,
menyenangi profesi, penghargaan dari pimpinan dapat meningkatkan kinerja.
Variabel Kinerja secara rata-rata juga Sering ini mempunyai makna bahwa kualitas
kerja, ketepatan waktu, inisiatif, kesanggupan kerja bisa menyumbangkan prestasi
kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat.
2. Pengaruh Kepemimpinan dan Budaya Organisasi, terhadap Motivasi secara simultan
dan parsial adalah sebagai berikut : Gaya kepemimpinan dan Budaya organisasi
secara simultan berpengaruh signifikan terhadap Motivasi, dan Gaya Kepemimpinan
dan Budaya Organisasi secara parsial mempengaruhi Motivasi pegawai Badan Diklat
Daerah Provinsi Jambi.
Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi secara simultan berpengaruh signifikan
terhadap Kinerja . Gaya kepemimpinan secara parsial cukup perpengaruh terhadap
Kinerja, sedangkan Budaya Organisasi secara parsial berpengaruh signifikan terhadap
Kinerja pegaawai Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi.
Motivasi berpengaruh secara signifikan terhadap Kinerja pegawai Badan Diklat
Daerah Provinsi Jambi.
Gaya kepemimpinan dan Budaya Organisasi melalui Motivasi berpengaruh signifikan
terhadap Kinerja pegawai Badan Diklat Daerah Provinsi Jambi.

453

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Saran
Berdasarkan hasil temuan penelitian maka perlu dilakukan upaya-upaya peningkatan
kinerja kerja pegawai melalui :

1.

Perlunya peningkatan komitmen pemimpin untuk memberikan rasa nyaman dan aman
dalam bekerja dengan cara memberikan perhatian yang lebih dari atasan terhadap
bawahan dan menciptakan Komunikasi yang lebih erat antara atasan dan bawahan
ataupun sesama rekan pegawai agar dapat bekerja dengan lebih optimal.

2.

Perlunya peningkatan budaya kerja organisasi yang memberikan rasa aman bagi
anggotanya dan pada saat yang sama atasan dapat menjadikan dirinya sebagai panutan
dalam bersikap, berprilaku bermoral, profesional, disiplin, hemat, hidup sederhana,
jujur, produktif, menghargai waktu, menjadi panutan dan keteladanan, serta mendapat
kepercayaan dari para pegawainya.

3.

Perlunya peningkatan motivasi dari atasan kepada bawahan, mengingat motivasi


dapat memberikan pengaruh menurun atau meningkatkan kinerja para pegawai secara
keseluruhan, maka diperlukan adanya upaya oleh pimpinan dalam memperhatikan
hal-hal apa saja yang membuat motivasi para pegawai dalam bekerja menurun, dan
segera dapat mengambil tindakan yang tepat. Sehingga, pegawai merasa diperhatikan
dan hal ini akan menjadi pendorong bagi terciptanya motivasi kerja yang lebih baik.

4.

Peningkatan sarana dan sarana pendukung dan lingkungan kerja yang nyaman serta
tugas yang diberikan kepada bawahan sesuai dengan deskripsi kerjanya untuk
menghindari stress kerja yang berlebihan guna mengoptimalkan kinerja pegawai.

5.

Perlu kiranya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh gaya kepemimpinan,
budaya organisasi, , motivasi kerja terhadap kinerja pegawai untuk menguji kesahihan
hasil penelitian ini dan untuk menambah cakrawala pengembangan ilmu manajemen
sumber daya manusia.

Daftar Pustaka
1.
2.

Arikunto, Suharsimi. (2007). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi


Revisi. PT. Rineka Cipta. Jakarta
Daft, Richart C.( 2003). Manajemen. Edisi Kelima. Erlangga. Jakarta

454

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.

16.

17.
18.
19.
20.
21.
22.

Dubrin, Andre J. (2009). The Complete Ideals Guides: Leadership. Edisi Kedua.
Cet. 3. Prenada. Jakarta
Fahmi, Irham. (2011). Manajemen Kepemimpinan Teori dan Aplikasi. Alfabeta.
Bandung.
Handoko, T.H. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia. BPFE UGM.
Yogyakarta.
Hasibuan, Malayu SP. (2003). Organisasi dan Motivasi Peningkatan Produktivitas.
Bumi Aksara. Jakarta.
Kotter. John P. (1997). Faktor Kepemimpinan. (Terj) Hari Suminto. Preehallindo.
Jakarta
Kartini. Kartono. (1994). Pemimpin dan Kepemimpinan. PT. Raja Grafinda. Jakarta
Ken Blanchard dan Mark Miller. (2005).The Secret. (Terj) Marianto Samosir.PT
Elex Media Komputindo. Jakarta
Mangkunegara, Anwar Prabu. (2005). Perilaku dan Budaya Organisasi. Refika
Aditama Bandung
Mangkunegara, Anwar Prabu. (2012). Perilaku dan Budaya Organisasi. Refika
Aditama Bandung
Matondang, H.M. (2008). Kepemimpinan Budaya Organisasi dan Manajemen
Strategik. Graha Ilmu. Yogjakarta.
Thoha, Miftah. (2005). Perilaku Organisasi: Konsep dasar san Aplikasinya. PT Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Nawawi, Hadari. (2001). Manajemen Stratejik 0rganisasi Non Profit Bid Pemerintah
dengan Ilustrasi di Bid Pendidikan. Gajah Mada Pres. Yogjakarta.
Nawawi Ismail. (2015). Budaya Organisasi Kepemimpinan dan Kinerja, Proses
Terbentuk , Tumbuh Kembang, Dinamika, dan Kinerja Organisasi. Ed. Kedua.
Prenadamedia Grup. Jakarta
Peraturan Daerah No. 15 tahun (2008). Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata
Kerja Inspektorat Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis
Daerah Provinsi Jambi.
Robbins, Stepphen P. (1999). Perilaku Organisasi (Terj) Hadyana Pujaatmaka Jilid
1&2. PT Bhuana Ilmu Popular. Jakarta
Siagian, Sondang P. (2002). Meningkatkan Produktivitas Kerja. Rineka Cipta.
Jakarta.
Somamora,
Henry. 1997. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua.
Yogyakarta : Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.
Sugiyono. (2005). Statistik Untuk Penelitian. CV. Alfabeta. Bandung.
Sunyoto, Danang.( 2013). Manajemen Sumber Daya Manusia. Cetakan Kedua.
Center For Academic Publising Service (CAPS). Yogjakarta.
Thoyib, Armanu. (2005). Hubungan Kepemimpinan, Budaya, Strategi dan kinerja
Pendekatan Konsep. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan. Volume 7 No. 1, Meret
2005. 60 73.

455

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

23. Wahjosumijo. (1994). Kepemimpinan dan Motivasi. Cet. Keempat. Ghalia


Indonesia. Jakarta
24. Wibowo. (2013). Manajemen Kinerja Edisi Ketiga , Cetakan ke 7. Rajawali Pers
Devisi Buku Perguruan Tinggi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
25. Zainal Rivai Veithzal. Hadad Darmansyah Muliaman. Ramly Mansyur. (2014).
Kepemimpinan dan Perilaku organisasi. Cet.11.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
26. Fuad, Masud, (2004). Survai Diagnosis Organisasional (Konsep dan Aplikasi).
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
27. Siagian, P.S. (1997). Organisasi Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi. Gunung
Agung. Jakarta
28. Sutoro. (2015), Pengaruh Budaya Organisasi Dan Tipe Kepemimpinan Melalui
Motivasi Terhadap Kinerja Pegawai Pada Badan Pendidikan Dan Pelatihan Daerah
Provinsi Jambi. Tesis (tidak dipublikasikan). Universitas Batanghari Jambi

456

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Penerapan Konsep STIFIn dalam Pendidikan dan Pelatihan


Kepemimpinan
Anton Suharyanto SE MM CH CHt
Widyaiswara Ahli Madya pada Balai Pendidikan dan Pelatihan
Kepemimpinan, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengembangan SDM,
Badan Diklat Keuangan Gedung A Lt.II, Jalan Alun-Alun Utara No.2
Magelang, 56117
(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstract: Everybody is unique. Nevertheless, some scientist in field of psychology and
another, have tried to classified peoples personality into clusters to simplifies the
recognizing persons behaviours and thoughts. There are some concepts of personality
classification such as Myers- Briggs Type Indicators (MBTI) offered 16 types of
personality. DISC offered only 4 types, those are Dominan, Influence, Steadyness, and
Compliance. Another concepts are Controller-Achiever- Performer-Supporter, and what
Hippocrates Galenus offered, those are Kholeris, Flegmatis, Melankoli, and Sanguins.
Here is another ones, STIFIn, Sensing-Thinking-Intuiting-Feeling- Instinct, found by an
Indonesian inventor, Farid Poniman.
Poniman find that there was the fifth basic function that never discovered before by Jung
nor Myers-Briggs. He compleated these concepts based on theory of Triune Brains by
Paul McLean which was mentioning Reptilian Brains. Farid calls the five basic function as
intelligence engines and when combined with intelligence drive (introvert and extrovert)
they became 9 personality genetics.
In this paper, there will be discussion about the appliance of STIFIn concept in leadership
training especially at coaching and mentoring process when participants developing their
project of change. By STIFIn approach, every participant had recognized as a person
with a certain personality which who had their primary potential and charaters. Mentor
and coach would be easier for sure to support participants successfullness. And these
benefits would last continues as long as the organization maintenancing the dynamics of
STIFIns circulation concept.
Keywords: Personality, Intelligence Engine, STIFIn, leadership, training
Corresponding author: Anton Suharyanto, E-mail: anton1173@gmail.com
HP.087834320007

457

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pendahuluan
Setiap manusia adalah unik. Baik dari segi fisik maupun kecerdasan dan
kepribadiannya, setiap manusia berbeda-beda. Secara fisik setiap manusia memang
memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki manusia lainnya, misalnya susunan DNA,
guratan kulit ujung jari (sidik jari), dan pola retina mata. Tidak ada manusia yang memiliki
kesamaan identik dengan milyaran manusia lainnya, bahkan dengan kembarannya sendiri
(jika

terlahir

sebagai

anak

kembar).

Demikian

pula

dengan

kecerdasan

dan

kepribadiannya, setiap orang memiliki cara berfikir dan gaya sikap tersendiri yang berbeda
dengan orang lain.
Namun demikian, untuk memudahkan interaksi dan saling kenal dengan sesamanya,
telah dilakukan beberapa pengelompokkan tertentu, misalnya berdasakan jenis kelamin,
warna kulit, suku/ras keturunan, tingkat intelektual, atau golongan darah. Dengan
pengelompokkan yang sederhana dan jenius tersebut interaksi manusia menjadi lebih
mudah dan dengan pemahaman yang baik maka dapat dilakukan sikap/tindakan yang
lebih tepat. Seorang wanita akan lebih respek terhadap pria yang bersikap sopan,
seorang ras/suku tertentu akan lebih nyaman jika seseorang berbicara dalam bahasa
ibunya, seorang yang tingkat intelektualnya rendah akan kebingungan jika kita
menggunakan istilah teknis yang tidak dikuasainya, dan tubuh seorang bergolongan darah
A akan menolak transfusi darah dari pendonor yang bergolongan darah B. Demikianlah
contoh kecil manfaat yang dapat diperoleh dari pengelompokkan manusia.
Di bidang psicho-analysis dan neuro-science, telah banyak pihak yang berusaha
mengelompokkan manusia

dalam

kategori-kategori

tertentu.

Myer

dan

putrinya

menggagas konsep personality yang terdiri dari 16 kategori kepribadian manusia dan
dikenal sebagai Myer- Briggs Typologi Indicator (MBTI). Thomas International secara lebih
sederhana mengelompokkan manusia dalam 4 macam saja kategori kepribadian, yaitu
Dominan, Influence, Steadyness, Compliance, disingkat DISC. Adapula yang membuat
kategori serupa: Controller, Achiever, Performer, Supporter (CAPS), sedangkan
Hippocrates Galenus mengelompokkannya menjadi Kholeris, Flegmatis, Melankoli, dan
Sanguins. Adapun yang paling terkini, Farid Poniman, seorang berkewarganegaraan
Indonesia, memperkenalkan 5 jenis mesin kecerdasan, yaitu Sensing, Thinking, Intuiting,
dan Feeling serta Instinct, yang kemudian diberi nama STIFIn.
Hal-hal yang khusus dalam konsep STIFIn ini adalah karena mesin kecerdasan
dinyatakan sebagai faktor bawaan lahir (genetic inheredity), sehingga bersifat permanen

458

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dan tidak berubah seiring dengan usia dan pengalaman hidup seseorang. Selain itu, untuk
keperluan diagnosis dan assessment, STIFIn telah meninggalkan teknik paper n pencil
dan selangkah lebih maju dengan menyederhanakannya menjadi teknik analisis pola sidik
jari terkomputasi yang merupakan paduan teknik Dactyloscopy dan Dermatoglyphic.
Topik mengenai konsep personality dan mesin kecerdasan STIFIn ini perlu
mendapatkan perhatian khusus dari berbagai pihak mengingat pendekatan yang
dilakukan dengan konsep terkini tersebut terbilang sederhana dan aplikatif. Sederhana
karena hanya dengan menemukan salah satu dari lima jenis mesin kecerdasan yang
merupakan belahan otak yang kerap digunakannya, maka seseorang dapat mengungkap
banyak hal dalam dirinya termasuk potensi terbaiknya yang dapat menjadi titik awal
gelaran karpet merah dalam menjalani kehidupannya. Aplikatif karena konsep ini bersifat
multi-angle-field sehingga dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, antara lain
meliputi bidang pendidikan, parenting, leadership, human resources, couple relationship,
politik, dan sebagainya.
Tujuan dari penyusunan tulisan ini adalah untuk menelaah mengenai konsep
personality khususnya mesin kecerdasan STIFIn dan mengkaji bagaimana penerapan
konsep ini di bidang pengembangan SDM dan khususnya dalam konteks pelaksanaan
coaching dan mentoring pada proyek perubahan yang dilakukan oleh peserta pendidikan
dan pelatihan kepemimpinan.
Tulisan ini disusun dalam sistematika berupa pendahuluan yang memuat latar
belakang, penelitian/gagasan yang telah ada sebelumnya, arti penting topik ini dan tujuan
penulisan serta sistematikanya. Selanjutnya metodologi yang digunakan dalam penulisan
yang

merupakan

kerangka

teori/konsep

yang

digunakan

oleh

penulis

dalam

penyusunannya, dilanjutkan dengan diskusi setentang topik dan penarikan kesimpulan


dari hasil diskusi tersebut.

Metodologi
Dalam penyusunan tulisan ini, penulis melakukan penelaahan landasan teori dari
berbagai literatur yang ada untuk mendeskripsikan konsep-konsep pemikiran yang
dikemukakan, kemudian menganalisis dan mendiskusikan kemungkinan penerapan
konsep yang dikaji tersebut di lapangan lalu menarik kesimpulan dari hasil diskusi dan
merekomendasikan hal-hal yang dimungkinkan untuk diterapkan.

459

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Hasil
A. Konsep STIFIn
STIFIn adalah nama konsep pengelompokkan kepribadian yang diambil dari singkatan
5 jenis mesin kecerdasan, 4 diantaranya adalah sebagaimana yang dimaksud sebagai
fungsi dasar otak oleh Carl Gustaav Jung, yaitu Sensing (S), Thinking (T), Intuiting (I),
Feeling (F), dan dilengkapi oleh satu mesin kecerdasan lagi hasil temuan Farid Poniman,
yaitu Instinct (In) sehingga membentuk akronim STIFIn. Jika dikombinasikan dengan
salah satu dari dua jenis kemudinya (drive) berjenis introvert (i) dan ekstrovert (e), maka
mesin kecerdasan itu menjadi salah satu dari sembilan jenis kepribadian yang khas, yaitu
Sensing introvert (Si), Sensing ekstrovert (Se), Thinking introvert (Ti), Thinking ekstrovert
(Te), Intuiting introvert (Ii), Intuiting ekstrtovert (Ie), Feeling introvert (Fi), dan Feeling
ekstrovert (Fe), serta jenis mesin kecerdasan yang terakhir ditemukan tanpa kemudi, yaitu
Instinct (In).
Pijakan konsep STIFIn dibangun berdasarkan elaborasi dari teori-teori yang pernah
ada sebelumnya, antara lain teori fungsi dasar otak manusia yang dikemukakan oleh
perintis psycho- analysis berkebangsaan Swiss bernama Carl Gustaav Jung (1875-1961).
Terdapat empat fungsi dasar manusia yakni fungsi pengindraan (sensing), fungsi berpikir
(thinking), fungsi merasa (feeling), dan fungsi intuisi (intuition). Namun dari keempat fungsi
dasar itu, pada diri setiap manusia hanya salah satu saja diantaranya yang dominan dan
memimpin fungsi dasar lainnya sehingga perilaku manusia cenderung masuk dalam salah
satu dari empat kategori tersebut. Sejauh hal tersebut, Jung belum mengkaitkan antara
fungsi dasar dengan keberadaan fisiknya.
Keberadaan organ fisik otak yang dikaitkan dengan fungsi dasarnya mulai terkuak oleh
seorang neuro-scientist Ned Hermann (1922-1999) yang membagi otak manusia menjadi
empat kuadran yakni limbik kiri dan kanan, serta cerebral kiri dan kanan. Sebelumnya,
Roger Wolcott Sperry (1913-1994) pemenang hadiah Nobel tahun 1981 telah
mengelompokkan manusia dalam dua kategori, pengguna dominan otak kiri dan
pengguna dominan otak kanan. Pengguna dominan otak kiri cenderung bersikap
konvensional dan disiplin sedangkan pengguna dominan otak kanan cenderung berpikir
kreatif dan artistik. Adapun Paul Broca (1824-1880) juga membuat dua kategori manusia
berdasarkan belahan otaknya, yaitu pengguna dominan neokorteks dan pengguna
dominan limbik. Kelompok neokorteks cenderung bersikap investigatif sedangkan

460

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kelompok limbik cenderung bersikap sosial. Keberadaan fisik organ otak dan fungsi
dasarnya semakin diverifikasi dengan hasil riset Dario Nardi (2007) yang memetakan
fungsi beberapa area otak menggunakan teknologi EEG.
Empat fungsi dasar otak yang terletak pada masing-masing kuadran otak kanan-kiri dan
atas- bawah ternyata belum final. Berpijak dari teori Triune Brains yang digagas neuroscientist lain berkebangsaan Amerika Serikat, Paul D. MacLean yang membagi otak
manusia berdasarkan hasil evolusinya: otak insani (neokorteks), otak mamalia (limbik), dan
otak reptilian (basal ganglia) dan hasil observasi internal yang dilakukannya, Farid
Poniman mendapati adanya jenis kepribadian yang tidak tepat untuk dikategorikan ke
dalam

salah

satu

dari

kelompok

mesin

kecerdasan

yang

ada.

Jenis

kecerdasan/kepribadian tersebut adalah Instinct (In) yang letak fisiknya berada pada
cerebellum, medulia, midbrain, pons, brain stem dan tersambung langsung dengan tulang
belakang.
Konsep mesin kecerdasan dan personality yang dikembangkan dalam framing STIFIn
bersifat genetic inheredity, artinya merupakan bawaan sejak lahir dan tetap tidak berubah
sepanjang hidup seseorang. Dalam postulat/rumus yang menyatakan: Fenotif (100%) =
Genetik (20%) + Lingkungan (80%), maka berarti konsep STIFIn menggunakan
pendekatan genetik yang 20%, bukan yang fenotif (100%), namun demikian justru yang
genetik itulah yang secara aktif terus menerus mencari lingkungan yang cocok buatnya
sehingga 100% fenotif itu banyak dikontribusi oleh 20% genetik. Meskipun tidak selalu
80% lingkungan berhasil dicapai sepenuhnya sesuai dengan genetik, namun sadar
ataupun tidak, kebebasan berkehendak pada manusia akan cenderung berkeinginan
mencari lingkungan yang sesuai dengan dirinya, karena hanya lingkungan yang sesuai
sajalah yang dapat membuat dirinya merasa nyaman. Rhenald Khasali (2010)
menyebutnya sebagai genetika perilaku: Para ahli genetika mulai masuk ke cabang baru
dari genetika biologi, yakni genetika perilaku (behavioural genetics), karena berdasar
penelitian mutakhir terungkap adanya pengaruh genetika terhadap perilaku perubahan.
Adapun mengenai metode identifikasi jenis mesin kecerdasan dan kepribadian
seseorang yang telah disederhanakan dari semula teknik psikodiagnosis dan assessment
menggunakan paper n pencil menjadi analisis Dactyloscopy dan Dermatoglyphic adalah
suatu lompatan besar dan tidak tertutup kemungkinan di masa yang akan datang akan
menggunakan kombinasi DNA dan atau pola retina mata.
Berikut ini adalah kepribadian dalam keseharian untuk setiap jenis mesin kecerdasan:

461

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

1) Orang berkarakter Sensing yang dominan dalam menggunakan kuadran otak limbik
kiri, dalam kesehariannya adalah sebagai berikut:
Berpijak pada yang nyata dan aktual
Mengolah informasi berdasarkan apa yang diterima panca indera
Lebih berminat pada aplikasi praktis
Faktual dan memperhatikan detil
Menguraikan peristiwa secara urut/sekuensial
Orientasi pada saat ini
Menyerap gagasan secara bertahap (tidak langsung sekaligus)
Menyukai kesempatan untuk praktek
Mengandalkan pengalaman dan mengingat masa lalu dengan akurat
Pola bicara yang jelas dan teratur
Pikiran yang terangkai satu diikuti yang lainnya
Berpikir linier menggunakan fakta dan contoh yang konkrit
Menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi
Lebih memahami tubuhnya
Menyukai cerita non-fiksi
Cenderung mendengar sampai lengkap
Langsung menuju sasaran

2) Orang berkarakter Thinking yang dominan dalam menggunakan kuadran otak


neokorteks kiri dalam keseharainnya adalah sebagai berikut:
Lebih menggunakan pikiran, memecahkan masalah secara logis
Menggunakan pendekatan hubugan kausalistik (sebab-akibat)
Melakukan analisis tanpa mempertimbangkan privat
Menghargai sesuatu yg masuk akal
Adil, keputusannya didasarkan pada kriteria yang obyektif
Dingin, menjaga jarak dengan orang lain
Berargumen dan berdebat sebagai panggilan kritis
Jarang bertanya, menunjukkan data
Memberikan pujian formal
Menggunakan bahasa yang tidak privat

462

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Percaya diri untuk mengatasnamakan diri sendiri


Lebih kritis membenahi pekerjaan
Lebih seperti sikap maskulin (lebih dari 65%)
3) Orang berkarakter Intuiting yang dominan dalam menggunakan kuadran otak
neokorteks kanan dalam kesehariannya adalah sebagai berikut:
Perhatiannya pada gambaran umum dan hal-hal besar/strategis
Mengolah informasi berdasarkan intuisi
Lebih berminat pada pemahaman imajinatif
Abstrak teoritis, melihat pola dan makna
Orientasi pada masa depan, memiliki visi ke depan
Menyukai cerita fiksi
Menyukai kemungkinan untuk berdaya cipta/berkreasi
Pola bicara beragam, cenderung untuk menyelesaikan kalimat orang lain
Banyak menggunakan kalimat metafora dan analogi
Memberi ruang bagi alternatif dan tidak cepat menyimpulkan
Tertarik pada pekerjaan yang melibatkan kreatifitas
Penampilan intelek dan berkelas
4) Orang berkarakter Feeling yang dominan dalam menggunakan kuadran otak limbik
kanan dalam keseharainnya adalah sebagai berikut:
Lebih banyak menggunakan perasaan
Ingin menyenangkan orang lain, mencari keharmonisan, menghargai perasaan
orang lain
Memulai dengan pembicaraan kecil, bertanya tiap kali memungkinkan
Pertimbangan lebih emosional dan melibatkan kemungkinan akibatnya bagi orang
lain
Kurang tegas dalam menuntut hak, menghindari argumen, konflik, dan konfrontasi
Bekerja sama dengan baik dalam komunitas sosial yang baik
Perasaan mudah terluka atau dendam
Ingin selalu memimpin
Mampu menunjukkan kekaguman
Pandai berempati
Sering menyebutkan nama orang lain
Lebih seperti sikap feminin (lebih dari 65%)

463

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

5) Orang berkarakter Instinct yang dominan dalam menggunakan otak midbrain dalam
keseharainnya adalah sebagai berikut:
Bereaksi secara spontan dan to the point
Mengolah informasi menggunakan naluri
Lebih berminat memberikan kontribusi
Pragmatis, tapi memiliki insight
Menyukai pekerjaan sosial, menolong orang
Orientasi mencari kebahagiaan
Pola bicara singkat, seperti ya atau tidak
Pemikiran sederhana, polos, dan tidak neko-neko
Keterampilan serba bisa
Mengingat hal-hal yang berkesan, dan traumatik dengan kejadian buruk
Tidak suka konflik, mudah beradaptasi
Menjadi penghubung untuk mendamaikan suatu pertikaian

B. Pola Sirkulasi, Pendukungan dan Penaklukkan Antar Mesin Kecerdasan


Sesuai dengan masing-masing karakteristiknya, setiap mesin kecerdasan memiliki
kelebihan/ keunggulan dan kelemahannya yang apabila dihadapkan satu sama lain antara
mesin kecerdasan satu dengan lainnya, maka terjadi chemistry tertentu yang memiliki
dinamika tersendiri. Tidak ada satu pun jenis mesin kecerdasan yang paling unggul dalam
setiap aspek dibandingkan dengan jenis mesin kecerdasan lainnya dan sebaliknya tidak
ada pula yang paling lemah dalam setiap aspeknya. Dalam aspek tertentu, suatu jenis
mesin kecerdasan memiliki keunggulan dari jenis lainnya namun juga memiliki kelemahan
dalam aspek lainnya. Di sisi yang lain, setiap jenis mesin kecerdasan secara alamiah pula
cenderung mendukung salah satu jenis mesin kecerdasan lainnya.
Mesin kecerdasan Sensing, misalnya, yang karakternya rajin, teliti, memiliki banyak
rekaman fakta pengalaman dalam ingatannya yang kuat, dan bersifat praktis-konkrit
secara alamiah cenderung mendukung mesin kecerdasan Thinking yang karakternya
berpikir secara analitis, logis, tegas, karena jenis mesin ini dalam proses berpikirnya
memerlukan banyak pasokan data hal mana data berupa rekaman fakta tersebut
merupakan keunggulan tipe Sensing. Jadi Sensing mensupport Thinking.
Sensing yang meskipun bersifat rajin, teliti, memiliki banyak rekaman fakta masa lalu
dalam memorinya, dan bersifat praktis-konkrit sebagaimana tersebut di atas secara

464

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

alamiah cenderung takluk oleh mesin kecerdasan Intuiting yang karakternya kreatif,
berorientasi pada masa depan dan menghasilkan gagasan-gagasan out of the box
sebagai solusi yang memudahkan pekerjaan. Kerajinan, ketelitian, dan pengalaman dapat
ditaklukkan oleh kreatifitas. Jadi Intuiting menaklukkan Sensing
Jika Sensing mendukung Thinking, maka Thinking mendukung Instinct, dan Instinct
mendukung Intuiting, lalu Intuiting mendukung Feeling, kemudian Feeling mendukung
Sensing. Demikianlah pola chemistry pendukungannya menjadi suatu sirkulasi yang
menggambarkan dinamika bahwa setiap mesin kecerdasan saling mendukung satu sama
lainnya.
Jika Sensing ditaklukkan oleh Intuiting, maka Intuiting ditaklukkan oleh Thinking, dan
Thinking ditaklukkan oleh Feeling, lalu Feeling ditaklukkan oleh Instinct, kemudian Instinct
ditaklukkan oleh Sensing. Demikian pola chemistry penaklukkan pun merupakan suatu
sirkulasi yang menggambarkan dinamika bahwa setiap mesin kecerdasan saling
menaklukkan satu sama lainnya.
Untuk

menyederhanakannya,

keseluruhan

pola

penaklukan

antar

tersebut

dapat

pendukungan
mesin

Instinct

dan

kecerdasan

digambarkan

dalam

Thinking

Intuiting

diagaram sebagai berikut:


Gambar panah besar adalah bentuk
pendukungan,

sedangkan

panah

tipis

Sensing

Feeling

adalah bentuk penaklukkan.

C. Penerapan Konsep STIFIn dan Pola Sirkulasinya dalam Organisasi


Berdasarkan konsep personality dan pola pendukungan dan penaklukkan tersebut
diatas, maka suatu organisasi dapat lebih mudah dalam mengatasi konflik antar
anggotanya dan mengelola dinamika kelompoknya untuk diarahkan pada sinergi antar
jenis mesin kecerdasan dengan memanfaatkan karakter-karakter yang menjadi
keunggulannya masing-masing yang diharapkan dapat berpengaruh secara signifikan
dalam peningkatan kinerja organisasi.
Dalam proses rekrutmen, baik penerimaan pegawai baru maupun mutasi/promosi, pola
tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal karena

465

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

memperkaya opsi dalam pengambilan keputusan. Sedangkan dalam hal pimpinan suatu
unit kerja tidak memiliki kewenangan memilih sendiri personil-personil yang ditempatkan
dalam unit kerjanya, maka yang dapat dilakukan adalah dengan pendekatan-pendekatan
tertentu yang sesuai dengan mesin kecerdasan anggota unit kerja secara individual. Hal
ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengenali mesin kecerdasan masing-masing
anggota unit kerjanya.
Terkait dengan kepentingan penyelesaian proyek perubahan yang dilakukan peserta
Diklat Kepemimpinan, terdapat kegiatan mentoring antara atasan peserta diklat selaku
mentor dengan peserta diklat selaku mentee, dan kegiatan coaching antara fasilitator diklat
selaku coach dengan peserta diklat selaku coachee. Idealnya, sesuai pola pendukungan
dan penaklukkan adalah mentor yang memiliki mesin kecerdasan menaklukkan mesin
kecerdasan mentee dan coach yang memiliki mesin kecerdasan mendukung mesin
kecerdasan coachee. Misalnya, peserta diklat yang bertipe Sensing akan lebih ideal jika
dimentori oleh atasan yang bertipe Intuiting (menaklukkan Sensing), dan di coaching oleh
fasitator yang bertipe Feeling (mendukung Sensing).
Apabila penentuan mentor dan coach karena satu dan lain hal ternyata tidak
menggunakan pola sirkulasi tersebut di atas, maka yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan pendekatan-pendekatan tertentu yang sesuai dengan tipe mesin kecerdasan
masing-masing peserta diklat selaku mentee/coachee secara individual. Hal ini dapat
dilakukan dengan terlebih dahulu mengenali mesin kecerdasan masing-masing peserta
diklat.

Diskusi
Atmosfer organisasi atau tim kerja yang dibangun berdasarkan kepribadian alami
peserta diklat secara tepat akan memberikan akibat yang positif baik bagi peserta diklat
selaku pimpinan maupun bagi anak buahnya. Sebagai pimpinan, peserta diklat akan
merasa nyaman karena eksistensinya benar benar ada dan merasa diakui oleh
lingkungan kerjanya. Adapun bagi anak buah akan merasa nyaman karena mereka secara
pasti dapat memposisikan diri dalam berbagai hal, termasuk dalam mengembangkan
potensinya, dan tidak mengalami kebingungan akan pola kepemimpinan dan pola
bimbingan. Peserta diklat dapat menerapkan gaya kepemimpinan situasional sesuai
mesin kecerdasannya sendiri dan sesuai kepribadian masing-masing anak buahnya,
tetapi dengan atmosfer yang konsisten dan tidak membingungkan.

466

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Peserta diklatpim yang bermesin kecerdasan jenis Sensing dan Thinking sama-sama
dominan dalam penggunaan belahan otak kiri sehingga atmosfer yang dibangun dalam
gaya kepemimpinannya adalah Gaya Kiri, yaitu menguasai anak buah, membangun rasa
hormat secara vertikal antara atasan dan bawahan, memberikan pola keseragaman dan
pengulangan rutin, sangat peduli secara detil terhadap tindakan dan perilaku anak buah,
serta memberikan dan melembagakan peraturan dan kepatuhan. Sebaliknya, peserta
diklatpim yang bermesin kecerdasan Intuiting dan Feeling dominan dalam penggunaan
belahan otak kanannya sehingga atmosfer dalam gaya kepemimpinannya adalah Gaya
Kanan, yaitu memberi kelonggaran kepada anak buahnya, membangun rasa hormat
dengan kesetaraan, memberikan pilihan dengan segala konsekuensinya, peduli pada
langkah besar dan arahan hidup anak buahnya, serta memberikan dan melembagakan
kebebasan dan kemerdekaan bagi kemajuan anak buahnya.
Peserta diklat yang bermesin kecerdasan jenis Thinking dan Intuiting sama-sama
dominan dalam penggunaan neokorteks sehingga atmosfer yang dibangun dalam
organisasi/tim kerja adalah Gaya Atas, yaitu yang mementingkan kualitas individu,
menjejali dengan wawasan dan pengetahuan, mengandalkan kecerdasan anak buah,
mengajarkan prinsip dan logika dan menekankan bahwa kepandaian adalah modal untuk
dapat meraih bahagia. Adapun peserta diklat yang bermesin kecerdasan jenis Sensing
dan Feeling dominan dalam penggunaan limbik sehingga atmosfer dalam gaya
kepemimpinannya

adalah

Gaya

Bawah,

yaitu

yang

mementingkan

hubungan

interpersonal, memperbanyak keterlibatan, mengandalkan daya juang anak buah,


mengajarkan tradisi dan fanatisme, serta menekankan bahwa usaha adalah modal untuk
bisa memberikan kebahagiaan.
Berkaitan dengan upaya pencapaian tujuan organisasi/ tim kerja maka peserta diklatpim
harus menyesuaikan gaya kepemimpinannya dengan orientasi dari mesin kecerdasannya,
apakah berorientasi pada organisasional atau berorientasi pada produksi. Bagi mereka
yang memiliki mesin kecerdasan jenis Thinking dan Feeling, dapat menggunakan Gaya
Organisasi, yaitu yang menanamkan tanggung jawab dan kematangan, mengkader anak
buah agar dapat menjadi pemimpin, membangun harga diri dengan hal-hal yang bersifat
personal, dan mementingkan untuk berada pada jalur yang benar, serta menegakkan
benar-salah. Sementara bagi mereka dengan mesin kecerdasan jenis Sensing dan
Intuiting, dapat menggunakan Gaya Produksi, yang mementingkan hasil karya cipta anak
buah, membimbing anak buah untuk produktif dan berkinerja tinggi, membangun harga
diri dari hal-hal yang bersifat lingkungan, mementingkan kesejahteraan dan kesehatan,

467

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

serta menghidupkan baik-buruk.


Khusus bagi peserta diklat dengan jenis mesin kecerdasan Instinct yang serba bisa dan
naluri tinggi, dapat mengakses keempat gaya Kiri-Kanan dan Atas-Bawah, serta memilih
orientasinya pada gaya organisasi ataupun produksi. Namun perlu diwaspadai dengan
segala kemampuan keserba-bisaannya, mereka yang bermesin kecerdasan Instinct akan
lebih mudah berganti-ganti gaya sesuai nalurinya, sehingga dikhawatirkan para bawahan
akan merasakan kebingungan atas inkonsistensi, sehingga sejak awal seorang pimpinan
yang bermesin kecerdasan Instinct perlu memilih salah satu saja gaya kepemimpinan
yang paling nyaman untuknya sebagai atasan dan mempertahankannya secara konsisten
sepanjang waktu.
Coach seyogyanya mengupayakan agar peserta diklat konsisten di jalur gaya
kepemimpinan masing-masing peserta diklat yang sesuai dengan mesin kecerdasannya
dengan harapan peserta diklat dapat mengerahkan segenap potensi dan semangatnya
dalam menyelesaikan proyek perubahan masing-masing. Coach juga perlu jeli dalam
mengantisipasi kemungkinan hambatan dan gangguan yang mungkin dihadapi coachee
terkait dengan sisi lemah peserta diklat sesuai karakter mesin kecerdasannya. Sebagai
contoh, peserta diklat yang bertipe Sensing meskipun rajin dengan berstamina tinggi dan
cermat terhadap detil, namun bisa jadi kelemahan karakternya yang kurang imajinatif
sehingga kehabisan ide-ide untuk menambahkan inovasi dalam proyeknya sehingga
perubahan yang tuntut tidak nampak dan seolah-olah hanya doing bussiness as usual
tanpa ada kreatifitas baru yang signifikan. Untuk itu coach perlu menggali lebih dalam
pemikiran-pemikiran coachee dan mendorong coachee untuk membuka diri terhadap ideide segar yang mungkin dimiliki anggota organisasi/tim kerjanya dengan memastikan
bahwa proyek perubahan yang disusun telah melibatkan sebanyak mungkin pihak-pihak
terkait dalam perancangannya. Jika mentor peserta diklat adalah atasan yang bertipe
Intuiting, maka hal ini akan sangat menguntungkan peserta karena selaku mentor, atasan
peserta diklat memiliki mesin kecerdasan yang cenderung mengolah informasi
berdasarkan intuisi dan memandang jauh ke depan karena perhatiannya lebih pada
gambaran umum dan hal-hal besar yang strategis.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan diskusi sebagaimana diuraikan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa konsep STIFIn merupakan sintesa dari teori-teori yang dikemukakan

468

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

oleh Roger Sperry, Paul Broca, Ned Herrman, Carl Gustav Jung dan Paul McLean;
Berbeda dengan sudut pandang penganut aliran perilaku (behaviorism) yang hanya
mengobservasi perilaku yang tampak dan terukur (fenotif) memandang bahwa manusia
sepenuhnya dapat dibentuk menjadi seperti apapun sesuai dengan apa yang dialaminya,
STIFIn menggunakan pendekatan nature, yaitu bahwa manusia memiliki jalan sendiri
sesuai dengan potensi genetiknya. Untuk dapat mencapai performance terbaiknya,
potensi genetik tersebut harus mendapatkan stimulus yang cocok pada jalur terbaiknya.
Konsep STIFIn telah menjadi konsep yang lebih kekinian, lebih sederhana, dan aplikatif
dengan multi-angle-field, dalam arti dapat diterapkan dalam bidang parenting, pendidikan,
human resources, leadership, couple-relations, politik, dan sebagainya. Khusus dalam
bidang leadership, konsep STIFIn dapat diaplikasikan untuk menemukan gaya
kepemimpinan yang efektif, yaitu suatu model yang menyederhanakan pola interaksi
antara pimpinan dengan atasan, peers, dan anak buahnya demi mewujudkan dinamika
positif dalam organisasi yang mampu meningkatkan produktifitas dan kinerja karena
setiap orang yang terlibat di dalamnya dapat memahami dan menjadi dirinya sendiri serta
menjalankan perannya masing-masing dengan rasa nyaman, bahkan diharapkan mampu
memahami cara berpikir dari sudut pandang orang lain yang berbeda dengan dirinya.
Bahkan lebih spesifik lagi dalam konteks Diklat Kepemimpinan halmana mensyaratkan
mekanisme coaching dan mentoring antara peserta dengan fasilitator diklat dan atasan
peserta, pendekatan konsep STIFIn patut diberikan kesempatan tidak hanya sebagai teori
yang dibekalkan untuk peserta diklat agar dapat diterapkan dalam kepemimpinannya
kelak di lingkungan organisasinya, tetapi juga agar dapat langsung diaplikasikan oleh
masing-masing coach dan mentor yang terlibat dalam proyek perubahan pada masa
laboratorium kepemimpinan (Breakthrough ke-2) agar peserta diklat selaku pimpinan
proyek dapat menikmati proses coaching dan mentoring yang efektif, sesuai dengan
potensi dan kepribadiannya.

Daftar Pustaka
Farid Poniman, Yayan Hadiyat (2015). Manajemen HR STIFIn: Terobosan untuk
Mendongkrak Produktifitas. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Farid Poniman, Indrawan Nugroho, Jamil Azzaini (2006). Kubik Leadership: Solusi Esensial
Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup. Jakarta: Penerbit Hikmah.
Goleman Daniel, Boyatzis Richard, Annie McKee (2004). Primal Leadership: Realizing the
Power of Emotional Intelligence. Jakarta: Gramendia Pustaka Utama

469

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Masduki Asbari, Ida Aya Sophia (2015). Fokus Satu Hebat. Jakarta: Dapurbuku.
Wikipedia (2016). Triune Brain. Diunduh dari: https://en.wikipedia.org/wiki/Triune_brain
tanggal 19 Maret 2016.
Wikipedia

(2016).

Myers-Briggs

Tipe

Indicator.

Diunduh

dari:

https://id.wikipedia.org/wiki/Myers- Briggs_Type_Indicator tanggal 19 Maret 2016.

470

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

MAPPING SDM AKRUAL


SEBAGAI SALAH SATU STRATEGY UNTUK PENGUATAN
IMPLEMENTASI AKUNTANSI AKRUAL DI INDONESIA
Tohirin, Ak., MM, CA
Widyaiswara Madya pada Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kemenkeu
Jalan Raya Puncak KM 72 Gadog, Ciawi, Bogor.
(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstract This study discusses the condition of human resources especially in
accounting field in Indonesia when the Indonesian Government has an obligation to
implementing accrual accounting for the preparation of financial statements. This
research is qualitative. The study uses data sample of 10 cities in organizing training
accruals in the last year. The sampling technique used in this study was a nonprobability sampling with a convenience sampling. The data was processed using
descriptive statistics. The results of data processing showed that the condition of the
human resource competency is inadequate to support the implementation of accrual
accounting in Indonesia properly. Data processing is taken from 909 respondents.
The result showed that there were 751 error or 82,62%. Another indicator is the
result of the accrual of education and training post test showed the average value is
61.28. The government also does not have the mapping of competencies in accrual
field. This mapping is required for strengthening human resources strategy in
accounting field
.
Keyword : accrual , mapping competencies, training and education.
Corresponding author:Tohirin, Email : tohirinak@gmail.com HP: 081311681991

PENDAHULUAN
Dalam rangka mendukung pelaksanaan Program Reformasi Birokrasi di
bidang Manajemen Sumber Daya Manusia Departemen Keuangan, diperlukan
informasi profil kompetensi pegawai. Oleh karena itu Kementerian keuangan
menerbitkan PMK no 47 tahun 2008 tentang Assesment Center di lingkungan
Kementerian Keuangan. Assesment Center di lingkungan Kementerian keuangan
dilakukan dengan tujuan untuk untuk memperoleh profil kompetensi pegawai.
Assessment Center Departemen Keuangan, yang selanjutnya disebut Assessment
Center, adalah penilaian berbasis kompetensi dengan melibatkan beragam teknik
evaluasi, metode, dan alat ukur terhadap Pegawai Negeri Sipil Departemen
Keuangan. Tujuan Assessment Center adalah untuk memperoleh informasi profil
kompetensi setiap Pegawai Negeri Sipil Kementerian Keuangan, dalam rangka

471

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Perencanaan karir, Mutasi jabatan, dan Pengembangan pegawai berbasis


kompetensi.
Assesment Center yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan berfokus
pada assesment soft kompetensi pejabat baik struktural dan fungsional di lingkungan
Kementerian Keuangan. Dalam konteks implementasi akuntansi akrual, sudahkah
Pemerintah Republik Indonesia melakukan assement SDM di bidang akuntansi
akrual? Penelitian ini mencoba menguraikan tentang apa yang telah dilakukan terkait
pengembangan atau penguatan Sumber Daya Manusia di bidang akuntansi akrual
PPAKP dan apa yang perlu menjadi perhatian berkaitan dengan assement SDM
Akuntansi akrual.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang Standar
Akuntansi Pemerintah, maka Pemerintah baik tingkat pusat maupun tingkat daerah
sudah harus menyusun laporan keuangan pemerintah menggunakan basis akuntansi
akrual. Pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa Peraturan Menteri Keuangan
yang mengatur tentang akuntansi akrual. Pada Tahun 2013, Kementerian Keuangan
menerbitkan beberapa Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang
akuntansi akrual diantaranya PMK nomor 213 tahun 2013 tentang Sistem Akuntansi
Pemerintah Pusat, PMK nomor 214 tahun 2013 tentang Bagan Akun Standar, PMK
nomor 215 tahun 2013 tentang Jurnal standar dan PMK nomor 219 tahun 2013
tentang Kebijakan Akuntansi berbasis Akrual. Kemudian pada tahun 2014,
Kementerian Keuangan menerbitkan PMK nomor 270 tahun 2014 tentang
Implementasi akuntansi akrual pada pemerintah pusat.
Kementerian Keuangan menerbitkan

Pada tahun 2015

PMK nomor 177 tahun 2015

tentang

pelaksanaan akuntansi akrual di tingkat Pemerintah Pusat.


Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan adalah salah satu unit eselon dua
yang berada di bawah Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan Kementerian
Keuangan. Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan yang mempunyai tugas
menyelenggarakan kediklatan dalam bidang anggaran dan kebendaharaan umum
menyelenggarakan Diklat Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual dan Aplikasi
Sistem Akuntansi Instansi Berbasis Akrual (SAIBA). Program pelatihan Program
Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPAKP) yang diselenggarakan
oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPBn) sampai dengan tahun 2013
telah mencapai sekitar lebih dari 30.000 lulusan dengan fokus pada program
pelatihan. Jumlah lulusan tersebut dicapai melalui variasi peserta dan variasi

472

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

penyelenggaraan. Dalam variasi peserta, peserta yang mengikuti PPAKP


dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu peserta dari level staf/operator dan peserta
dari level manajerial. Dalam variasi penyelenggaraan, PPAKP diselenggarakan baik
melalui metode konvensional di kelas, maupun metode e- learning.
Satu tahun sebelum implementasi akuntansi akrual, pada tahun 2014,
Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) diberi amanah untuk
melaksanakan program PPAKP secara penuh, yang diselenggarakan oleh
Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan dalam kegiatan Workshop Akuntansi
Pemerintahan Berbasis Akrual dan Aplikasi SAIBA. Tantangan ini dijawab
Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan dengan strategi jitu dengan beberapa
tahapan disebabkan 25.000 satuan kerja yang akan dididik dengan dana yang
jauh di bawah penyelenggaraan workshop PPAKP yang diselenggarakan DJPBn.
Tahapan penyelenggaraan Tahap I (2014) diikuti oleh 8.428 peserta yang terbagi
menjadi 230 kelas dan tersebar di 55 Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
(KPPN) di seluruh Indonesia.

Selain itu, Direktorat Akuntansi dan Pelaporan

Keuangan (Dit. APK) DJPBn juga menyelenggarkan bimbingan teknis akuntansi


akrual dan aplikasi SAIBA dengan waktu penyelenggaraan 2 hari kerja dengan
cakupan 4,264 satuan kerja di 42 KPPN selain yang dilaksanakan oleh Pusdiklat
Anggaran dan Perbendaharaan. Tahap pelaksanaan workshop meliputi kelas
piloting/percobaan, strategi awalnya dengan mendidik narasumber yang berlokasi
dekat dengan tempat penyelenggaraan workshop, penyelenggaraan workshop di
lokasi KPPN dan penyelenggaraan Training For Master Trainer (TFMT) bagi
Pegawai di lingkungan kantor pusat K/L.
Kegiatan yang dilaksanakan di tahun 2014, belum mampu mendidik seluruh
calon operator untuk menyusun laporan keuangan berbasis akrual. Untuk
melanjutkan dukungan terhadap terlaksananya penerapan basis akrual di tahun
2015, Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan yang bertajuk Diklat Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual dan
Aplikasi Sistem Akuntansi Instansi Berbasis Akrual (SAIBA) TA 2015. Peserta
sebanyak 8.636 peserta yang dibagi menjadi 234 angkatan dan diselenggarakan di
68 KPPN. Penyelenggaraan diklat dimulai pada bulan Maret hingga November
2015 di daerah-daerah. Tak ada penyelenggaraan diklat di Jakarta dan Pulau Jawa
karena semua satker di wilayah tersebut telah tercakup dalam peserta Diklat
Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual dan Aplikasi SAIBA yang dilaksanakan

473

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pada tahun 2014. Diklat di daerah dilaksanakan di KPPN-KPPN dengan


kepanitiaan yang dibentuk oleh Balai Diklat Keuangan bekerja sama dengan KPPN
lokasi penyelenggaraan diklat. Adapun BDK yang ikut dalam kepanitiaan diklat ini
adalah BDK Medan, BDK Pekanbaru, BDK Palembang, BDK Balikpapan, BDK
Pontianak, BDK Denpasar, BDK Makassar, dan BDK Manado.
Pada tanggal 2 Oktober tahun 2015, dilaksanakan rapat kerja akuntansi
bertempat di gedung Dhanapala Kementerian Keuangan. Rakernas akuntansi
merupakan agenda rutin di bidang akuntansi setiap tahun. Rakernas akuntansi ini
merupakan rakernas yang istimewa karena rakernas akuntansi di tahun 2015 ini
dilaksanakan pada saat pemerintah Indonesia pertama kali menyelenggarakan
akuntansi berbasis akrual. Di dalam rakernas ini diberikan penghargaaan bagi
Kementerian/Lembaga maupun pemerintah daerah yang opini laporan keuanganya
adalah WTP. Selain itu diselenggarakan seminar dengan mengundang beberapa
narasumber dari Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangungunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK).
Ada hal yang menarik dari acara rakernas akuntansi tahun 2015. Salah satu
pembicara rakernas akuntansi yang berasal dari Badan Pemeriksa Keuangan
menyatakan bahwa Pemerintah Pusat belum sepenuhnya siap di dalam
implementasi akuntansi akrual untuk pertama kalinya pada tahun 2015. Masih
banyak hal yang harus dibenahi agar implementasi akuntansi akrual yang pertama
kali berjalan lancar tahun 2015.
Hal yang dibahas di dalam acara Rakernas Akuntansi tahun 2015 ini selaras
dengan surat yang dikirimkan oleh badan Pemeriksa keuangan kepada Menteri
Keuangan pada akhir tahun 2015. Surat dari BPK Kepada Menteri Keuangan
nadanya sama, yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat belum sepenuhnya
siap di dalam implementasi akuntansi akrual yang pertama kali.
Menanggapi surat yang dibuat oleh BPK kepada Menteri Keuangan atas
kekurangsiapan Pemerintah Pusat di dalam mengimplementasikan akuntansi
akrual pada tahun 2015, maka Kementerian Keuangan melakukan langkah langkah
antara lain:
Pertama, Bekerjasama dengan KSAP untuk melakukan sosialisasi Buletin
Teknis ke seluruh Indonesia. Kegiatan sosialisasi Bultek Akuntansi diselenggarakan

474

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

di bulan Desember 2015 di 11 kota yang tujuannya memberikan informasi dan


sosialisasi terkait beberapa Bultek yang diterbitkan oleh KSAP.
Kedua, Di bulan Januari 2016, BPPK dan Ditjen Perbendaharaan
menyelenggarakan TOT bagi tenaga pendamping. Peserta TOT berasal dari
seluruh KPPN dan Kanwil Ditjen Perbendaharaan dari seluruh Indonesia. Tahap
berikutnya KPPN dan Kanwil akan menyebarkan ilmu akrualnya kepada seluruh
satker sebanyak kurang lebih duapuluh lima ribu di seluruh Indonesia
Ketiga, kegiatan pendampingan satker. Pendampingan dilakukan oleh KPPN
kepada seluruh satker pemerintah pusat di wilayah binaannya masing-masing.
Kegiatan ini dilakukan dalam rangka memberikan dukungan kepada satuan kerja
pemerintah pusat dalam menyusun laporan keuangan tahun 2015 yang untuk
pertama kalinya disusun berdasarkan basis akrual.
Sepuluh tahun yang lalu, Pemerintah Republik Indonesia menyusun laporan
keuangan untuk yang pertama kali. Laporan Keuangan disusun berdasarkan basis
CTA atau Cash Toward Accrual atau basis Kas Menuju Akrual. Periode
penyusunan menggunakan basis ini berlangsung selama 10 tahun dimulai tahun
2005 dan berakhir tahun 2014. Sebenarnya secara Undang-Undang, Pemerintah
sudah harus menyusun laporan keuangan pemerintah berbasis akrual di tahun
2008. Namun kondisi yang ada saat itu sangat tidak memungkinkan Indonesia
menerapkan akuntansi akrual. Penyusunan pelaporan keuangan untuk pemerintah
dengan menggunakan ilmu akuntansi baru berjalan lima tahun. SDM yang dimiliki
masih jauh pemahamannya di bidang akuntansi. Penyusunan laporan keuangan
dengan basis CTA sangatlah mudah. SDM dari berbagai disiplin ilmu dengan cepat
bisa menyusun laporan keuangan dengan catatan menguasai aplikasi yang diberi
nama SAKPA.
Implementasi akrual oleh PP nomor 71 tahun 2010 diberi opsi boleh dimulai
tahun 2011 dan paling lambat tahun 2015. Beberapa pemerintah daerah telah
menyusun laporan akrual sebelum tahun 2015. Pada tahun 2014, ada 10 Pemda
yang telah menyusun laporan akuntansi pemerintah daerah berbasis akrual. Ada dua
kondisi terkait opini atas laporan keuangan pemda tahun 2014:
Pertama, opini bersifat tetap. Misalnya tahun 2013, mendapatkan opini WTP dan
tahun 2014 tetap mendapatkan opini WTP.

475

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kedua, opini bersifat turun. Misal tahun 2013 mendapatkan opini WTP, namun pada
tahun 2014 mendapatkan opini WDP. Contoh lain, pada tahun 2013 mendapatkan
opini WDP, dan Kepala Daerah berharap mendapatkan opini WTP, namun yang
diperoleh justru opini disclaimer.

METODOLOGI
`Metodologi yang ditempuh dalam penelitian ini adalah mengambil data yang
diperoleh dari proses evaluasi pasca diklat yang dilakukan oleh Pusdiklat Anggaran
dan Perbendaharaan tahun 2016. Kegiatan Evaluasi pasca diklat telah dilakukan
oleh Kementerian Keuangan di bulan Januari 2016. Dengan menggunakan data
yang diperoleh dari kegiatan evaluasi pasca diklat yang dilakukan di 10 kota, penulis
melakukan analisis data yang diperoleh dikaitkan dengan mapping kompetensi SDM
di Bidang akrual. Evaluasi Pasca diklat dilakukan hanya untuk mengetahui diklat
tersebut bermanfaat atau tidak, namun tidak dilakukan pembahasan mendalam
dikaitkan dengan konsep mapping terhadap kompetensi SDM akrual, dan juga tidak
dilakukan pembahasan mendalam apa pengaruhnya terhadap kualitas laporan
keuangan. Sampai saat tulisan ini dibuat, pusdiklat AP belum menyelesaikan laporan
evaluasi pasca diklat. Tulisan ini bukanlah laporan evaluasi pasca diklat, namun
tulisan ini dikhususkan bagi forum rapat kerja nasional IWI, sebagai sebuah ajang
sumbang saran atau gagasan Widyaiswara di dalam pembangunan SDM manusia
khususnya SDM di bidang Akuntansi Akrual.
Untuk keperluan pengolahan data, digunakan statistika deskriptif. Dari hasil
data yang diperoleh yang berupa angka-angka akan dilakukan deskripsi,
pendalaman dan analisis untuk memudahkan interpretasi. Data-data yang diperoleh
akan dikaitkan satu data dengan data lainnya. Dari informasi tersebut akan dicoba
dianalisis apa dampaknya bagi para pengambil kebijakan di masa depan.
Seperti yang kita ketahui, tahu 2015 adalah tahun pertama implementasi
akuntansi akrual. Belum banyak penelitian yang bersifat komprehensif dan nasional
yang bisa dijadikan rujukan bagi para pengambil keputusan di bidang pengelolaan
SDM bidang akrual. Semoga penelitian ini merupakan penelitian awal yang akan
segera ditindaklanjuti dengan penelitian berikutnya yang lebih fokus dan terstruktur
serta komprehensif sehingga hasilnya bisa bermanfaat bagi para pengambil
keputusan.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah non-probability
sampling dengan menggunakan convenience sampling. Teknik sampling ini dipilih

476

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

sesuai dengan keterbatasan waktu, dana dan kesempatan dilakukan untuk


melakukan penelitian ini. Teknik ini juga dipilih dengan pertimbangan agar penelitian
ini bisa selesai tepat waktu sebelum penyelenggaraan acara Rakerna IWI Nasional
tanggal 24 Maret 2016. Dengan segala keterbatasan waktu penulis berusaha
menyajikan informasi yang bermanfaat bagi pengambil keputusan. Sebagai sebuah
kebijakan baru, implementasi akuntansi akrual di pemerintah pusat membutuhkan
masukan dari banyak peneliti (terutama dari kalangan widyaiswara) untuk mengambil
beberapa kebijakan penting di bidang akuntansi akrual.
HASIL
Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan telah melakukan evaluasi pasca
diklat pada awal tahun 2016. Evaluasi yang dilakukan di tahun 2014, 2015, serta
evaluasi pasca diklat di 10 kota terpilih dilakukan untuk mengetahui bagaimana
kemampuan SDM di dalam menghadapi akuntansi akrual di tahun 2015.
Mitra KPPN yang dipilih menjadi responden adalah mitra KPPN yang
menyelenggaran diklat PPAKP SAIBA tahun 2015 karena pada tahun 2015 terdapat
updating kurikulum diklat. Kegiatan pendampingan dilakukan di seluruh KPPN di
seluruh Indonesia. Pada kegiatan evaluasi pascadiklat ini dipilih sampel sebanyak 10
mitra KPPN yang menyelenggarakan diklat PPAKP tahun 2015 dan data kesepuluh
KPPN tersebut adalah:
Tabel 1
Sebaran Peserta Diklat PPAKP SAIBA tahun 2015 (dari Kota Terpilih sebagai Sampel)
No

KPPN

JUMLAH SATKER

JUMLAH PESERTA

Banda Aceh

38

463

Bukittinggi

23

172

Palembang

14

39

Batam

25

122

Bengkulu

35

265

Mataram

32

250

Palangkaraya

33

277

Banjarmasin

42

359

9
10

Palu
Kendari

36
43

276
301

477

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Responden dari penelitian ini memiliki latar belakang pendidikan yang relatif beragam.
Pada Tabel 2 di bawah ini, disajikan latar belakang pendidikan dari para responden.
Tabel 2.
Tingkat Pendidikan para Responden
No

Lokasi

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Banda Aceh
Bukittinggi
Palu
Banjarmasin
Kendari
Palangkaraya
Bengkulu
Palembang
Batam
Mataram
Total

SMA/D1
13
37
15
37
22
23
18
2
16
30
213

D3/lain
nya
16
6
0
0
0
0
0
0
0
0
22

D4/S1

S2

65
67
42
79
85
56
68
16
18
63
559

3
3
3
9
7
10
0
2
0
3
40

Tidak
Menjawab
0
8
1
4
2
4
2
1
1
3
26

Pada tabel 2 tersebut di atas terdapat 213 orang atau 24,77% dengan
pendidikan SMA/D1, D3 sebanyak 22 atau 2,56%, sebanyak 559 orang atau 65%
dengan pendidikan D4/S1, 40 orang atau 4,65% dengan pendidikan S2, 26 orang atau
3,02% tidak menjawab.
Peserta yang berlatar pendidikan S2 terlalu tinggi spesifikasi SDMnya untuk
menjadi operator. SDM yang berlatar belakang pendidikan S2 lebih cocok untuk
pekerjaan yang bersifat strategic. Pekerjaan sebagai operator SAIBA cenderung bersifat
klerikal. Oleh karena itu, SDM yang berlatar pendidikan S2 kurang cocok menjadi
operator.
Kepada para responden ditanyakan apakah mereka mengalami kesalahan
dalam pelaporan keuangan. Jawabannya bisa dilihat di dalam Tabel 3.
Tabel 3.
Kesalahan Pada Laporan Keuangan

No
1
2

KPPN
Banda Aceh
Bukittinggi

Total
Responden

Terjadi
Kesalahan
Pelaporan

91
123

74
91

478

Letak Kesalahan
dokumen
salah
salah
sumber pencatatan sistem
9
50
16
6
76
39

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

3
4
5
6
7
8
9
10

Palembang
24
Bengkulu
96
Batam
45
Palangkaraya
102
Banjarmasin
144
Kendari
119
Palu
63
Mataram
102
Total
909
Persentase Kesalahan

15
62
29
83
120
90
53
67
684

6
8
2
5
11
19
8
13
87
12,72

8
49
21
62
96
63
34
42
501
73,25

4
9
6
18
23
18
16
14
163
23,83

DISKUSI
Dari data yang tersaji di dalam bagian hasil penelitian, terlihat besarnya
kesalahan yang dialami oleh para responden. Untuk mendalami apa yang menjadi
penyebab terhadap tingginya tingkat kesalahan, kami melakukan pengujian ke
database evaluasi pengajar PPAKP. Hasilnya, nilai rata-rata atas pengajar di atas 4.
Artinya penyebab dari banyaknya kesalahan adalah bukan karena faktor evaluasi
pengajar. Peserta memberikan nilai tinggi terhadap pengajar. Hal ini bisa dijelaskan
lebih lanjut, bahwa pengajar merupakan orang terbaik di wilayah kabupaten/kota,
sementara para responden sedang ingin tahu tentang ilmu akrual. Akibatnya adalah
peserta memberikan evaluasi baik kepada pengajar saat mereka memberikan materi
baru yaitu akuntansi pemerintah berbasis akrual.
Karena tidak memperoleh argumen yang baik yang bisa menjelaskan dari
evaluasi pengajar, maka dilakukan penelusuran lebih jauh dilakukan ke nilai pre test
dan post test. Dari 10 kota yang dijadikan sampel, maka hasil pre test dan post test
tersaji sebagaimana terdapat di dalam tabel 4 berikut ini:
Tabel 4
Nilai pre test dan post test untuk
10 kota penyelenggara PPAKP yang dijadikan sampel.

No

KPPN

Palembang

Akt
I
II
III

Nilai
Tahun Rata-Rata
Pretest
2014
2014
2014

48
41
40

479

Nilai
RataRata
Posttest
69
57
57

Nilai RataRata
Posttest
KPPN

Presentase
Kenaikan
(%)

61,20

0,44
0,39
0,43

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

No

KPPN

Banjarmasin

Mataram

Kendari

Palu

Aceh

Bukittinggi

Akt

Nilai
Tahun Rata-Rata
Pretest

IV
I
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
I
II
III
IV
V
I
II
III
IV
V
VI
VII
I
II
III
IV
V
VI
VII
I
II
III
IV
V
VI
I
II
III
IV

2014
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015

35
45
41
45
46
46
43
48
38
50
51
49
44
45
40
49
44
45
44
47
44
43
40
42
43
40
47
37
35
41
38
37
26
33
46
42
42
52
52

480

Nilai
RataRata
Posttest
53
70
60
68
54
68
62
58
52
67
66
61
60
65
56
66
58
66
61
66
62
66
61
53
59
71
58
55
56
57
63
61
44
45
46
62
62
67
66

Nilai RataRata
Posttest
KPPN

61,13

61,60

63,57

59,00

52,67

64,25

Presentase
Kenaikan
(%)
0,51
0,56
0,46
0,51
0,17
0,48
0,44
0,21
0,37
0,34
0,29
0,24
0,36
0,44
0,40
0,35
0,32
0,47
0,39
0,40
0,41
0,53
0,53
0,26
0,37
0,78
0,23
0,49
0,60
0,39
0,66
0,65
0,69
0,36
0,00
0,48
0,48
0,29
0,27

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

No

KPPN

Batam

Bengkulu

Palangkaraya

10

Dari

data

Akt

Nilai
Tahun Rata-Rata
Pretest

I
II
III
I
II
III
IV
V
VI
I
II
III
IV
V
VI
VII

2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015
2015

di

tabel,

52
47
49
45
48
47
40
41
39
48
43
47
44
45
47
39
44,17

terlihat

Nilai
RataRata
Posttest
74
63
68
82
92
86
83
61
59
60
52
60
61
59
58
53
61,28

bahwa

dari

Nilai RataRata
Posttest
KPPN

0,42
0,34
0,39
0,82
0,92
0,83
1,08
0,49
0,51
0,25
0,21
0,28
0,39
0,31
0,23
0,36
0,44

68,33

77,17

57,57

sampel

Presentase
Kenaikan
(%)

10

kota

yang

menyelenggarakan PPAKP, rata-rata nilai pre test adalah 44,17. Setelah peserta
mengikuti diklat PPAKP selama 4 hari yang diselenggarakan oleh KPPN (DJPBn)
bekerjasama dengan BPPK maka posttest menjadi 61,28. Nilai 61,28 masih jauh
dari memadai agar mereka bisa mengerjakan akuntansi akrual yang pertama kali
dengan baik
Hal berikutnya yang menarik dan menjadi catatan adalah hasil inventarisasi
terhadap penyusunan laporan akuntansi akrual yang pertama kali. Ada 909
responden dari 10 kota yang dijadikan sampel evaluasi pasca diklat. Hasilnya
sungguh mengejutkan karena terdapaty 751 kesalahan yang dijumpai dalam
menyusun laporan keuangan. Ada tiga jenis kesalahan:
1. kesalahan dokumen sumber.
2. Kesalahan penyajian laporan keuangan.
3. Kesalahan aplikasi.

481

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kesalahan

dan

menjadi

tanggungjawab

kementerian/lembaga.

Sedangkan kesalahan 3 menjadi tanggungjawab Kementerian keuangan. Jumlah


kesalahan melebihi jumlah responden menunjukkan ada sati satker yang memiliki
kesalahan lebih dari satu. Data ini juga memberikan informasi kepada kita semua
bahwa kemampuan dan kesiapan SDM di bidang akuntansi akrual belum sesuai
seperti yang kita harapkan.
Dari pembahasan tersebut di atas bisa dilihat bahwa kemampuan atau
kompetensi SDM belum sesuai dengan harapan. Adanya banyak kesalahan dari
para responden dan nilai post test sebesar 61,28 menunjukan bahwa kompetensi
SDM Akrual masih relatif rendah.
PPAKP yang dilakukan di tahun 2014 dan 2015 jauh berbeda dengan PPAKP
di tahun 2007 sd 2013. & tahun pertama penyelenggaraan PPAKP, dana yang
tersedia masih besar. Peserta bisa mengikuti kegiatan diklat untuk kurun waktu ratarata 3 minggu. Namun, saat PPAKP tahun 2014 dan 2015, pelaksanaan diklat hanya
dalam waktu 4 hari. Pendeknya waktu yang tersedia disebabkan oleh keterbatas
waktu, dan dan pihak narasumber. Idealnya, dalam kegiatan seperti ini dilakukan
ujian atau uji kompetensi. Mengapa tidak melakukan uji kompetensi ? hal ini
disebabkan oleh minimnya batas waktu. Selama 7 tahun, kemenkeu bisa mendidik
sekitar tigapuluh ribu SDM Akrual. Dalam waktu 1 tahun harus mendidik sekita
25ribu satker. Ada masalah lain selain konstrain waktu yaitu masalah dana. Dana
PPAKP semula disediakan untuk bisa merancang kegiatan diklat selama 12 hari
meliputi

level

admin,

perencanaan,

pelaksanaan

dan

pelaporan.

Karena

keterbatasan dana dan waktu, yang dilaksanakan hanya untuk level pelaporan
dengan jangka waktu 5hari. Ternyata, saat tahun 2014, kebutuhan dana untuk
pilpres dan lain-lain, sehingga ada pemotongan dana, maka kegiatan dipaksakan
harus selesai dalam waktu 4 hari. Akibatnya terjadi perubahan juga terhadap
kurikulum yang dibuat dalam program PPAKP.
Diklat PPAKP, karena keterbatasan waktu, tidak dilakukan uji kompetensi
terhadap para peserta dengan melalui ujian. Yang terbaik adalah diklat dilakukan uji
kompetensi dengan pelaksanaan ujian di akhir diklat sebagai uji kompetensi atas
kemampuan peserta. Namun demikian, kita perlu alat ukur sederhana dalam
pelaksanaan PPAKP. Oleh karena itu di dalam diklat PPAKP dilaksanakan pretest
dan post test. Sesungguhnya ini kurang memiliki presisi yang baik di dalam menilai
kompetensi peserta. Namun pelaksanaan pretest dan posttest bisa sebagai alat ukur
keberhasillan program.

482

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Dari paparan tersebut di atas, sesungguhnya saat ini pemerintah pusat belum
memiliki mapping atau pemetaan yang akurat atas SDM di bidang akuntansi akrual.
Pemetaan atau mapping atas SDM akrual dilakukan melalui kegiatan assesment
akrual atau uji kompetensi akrual terhadap SDM pelaksana akrual. Untuk pemetaan
yang lebih baik, harusnya pemerintah sudah memiliki kamus kompetensi. Seperti
halnya assesment center memerlukan kamus kompetensi, maka assesment akrual
juga membutuhkan kamus kompetensi. Adanya mapping terhadap SDM akrual akan
memudahkan

bagi

pemerintah untuk

melakukan manajemen

SDM akrual.

Pemerintah bisa tahu bagaimana gap yang terjadi antara kondisi SDM ideal dengan
kondisi SDM yang saat ini dimiliki oleh pemerintah. Dengan adanya gap kompetensi
maka akan memudahkan pemerintah di dalam merancang strategi peningkatan
kualitas SDM akrual.
Selain masalah kompetensi, kita masih menjumpai beberapa problematika di
dalam implementasi akuntansi akrual. Tahun 2015 merupaklan tahun pertama di
dalam implementasi akuntansi akrual. Ruang lingkup serta jumlah satker yang
dimiliki juga sangat besar sekita 25 ribu satker. Sehubungan dengan implementasi
akuntansi akrual untuk pertama kali di Indonesia, ada sejumlah problematika yang
perlu menjadi perhatian kita semua.
Pertama, Kemampuan SDM di bidang akuntansi akrual yang belum memadai.
Setiap Kementerian/Lembaga memiliki kemampuan SDM di bidang akuntasi yang
berbeda-beda. Ada Kementerian yang relatif sudah siap, namun ada juga yang
persiapannya masih jauh.
Kedua, Infrastruktur belum sepenuhnya sempurna di dalam mendukung akuntansi
akrual.
Ketiga, Reward yang diterima oleh para operator SAIBA maupun SIMAK BMN belum
memadai. Faktor reward ini mempengaruhi motivasi kerja SDM Akrual.
Keempat, Belum sama pemahaman akrual di beberapa level birokrasi. Pada level
tinggi, pimpinan menuntut opini laporan keuangannya WTP. Opini WTP dipengaruhi
oleh banyak faktor. Sementara SDM di level operator merasakan masih banyak
kendala dalam implementasi akuntansi akrual.
Kelima, Adanya beberapa faktor yang mempengaruhi implementasi akuntansi akrual
pertama kali.
Implementasi akuntansi akrual dalam penyusunan laporan keuangan,
dilaksanakan baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Dalam
hal implementasi di tingkat Pemerintah Daerah, ada yang menarik dari implementasi

483

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

akuntansi pemerintah berbasis akrual

secara terbatas (10)

di level Pemerintah

Daerah. Minimal ada 3 hal menarik yang bisa kita pelajari dari implementasi akrual di
tingkat Pemerintah Daerah, yaitu:
Pertama, Sangat sedikit pemerintah daerah yang implementasi akuntansi
akrual untuk menyusun laporan keuangan pemerintah daerah. Dari 500 lebih
pemerintah daerah, hanya 10 yang menyusun laporan keuangan menggunakan
basis akuntansi akrual. Artinya yang menyusun laporan berbasis akrual hanya 2
persen saja dari seluruh pemerintah daerah. Analisa yang bisa digunakan adalah
SDM pemerintah daerah sesungguhnya belum siap untuk menerapkan akuntansi
akrual pada tahun 2014.
Kedua, Ada pemerintah daerah yang pada tahun 2013 menggunakan
akuntansi berbasis akrual. Tahun 2014 pemda tersebut menggunakan akuntansi
berbasis akrual sekaligus mengharapkan peningkatan opini. Opini yang diperoleh
pada tahun 2013 adalah WDP, dan harapan kepala daerah opini bisa meningkat
menjadi WTP pada tahun 2014. Yang diperoleh justru sebaliknya, opini yang
diperoleh bukannya naik atau tetap, malah turun dari WDP ke Disclaimer.
Ketiga, Ada pemda yang sering dijadikan role model untuk akuntansi akrual.
Pada tahun 2013, pemda ini telah menerapkan akuntansi akrual dan mendapatkan
opini WTP. Banyak pemda lain melakukan studi banding dan belajar kepada pemda
tersebut dalam hal implementasi akuntansi akrual. Yang terjadi justru pemda ini
mengalami penurunan opini menjadi WDP di tahun 2014.
Pelajaran penting yang bisa diperoleh dari implementasi akuntansi akrual di
Pemda adalah implementasi akuntansi akrual lebih sulit dari akuntansi berbasis CTA,
dan ada resiko yang cukup besar akan adanya penurunan dalam hal opini laporan
keuangan oleh BPK.
Di tengah banyaknya problematika tersebut ada catatan prestasi tersendiri di
dalam implemntasi akrual. Saat ini, Indonesia adalah negara pertama di Asean yang
menerapkan akuntansi akrual di dalam penyusunan laporan keuangan. Ini tentu
membanggakan kita semua. Dibandingkan akuntansi berbasis CTA, kita ketahui
akuntansi berbasis akrual jauh lebih bermanfaat. Pemerintah Malaysia pernah
melakukan studi banding ke Indonesia untuk melihat implementasi akuntansi akrual
di Indonesia.

484

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

KESIMPULAN DAN SARAN


Simpulan yang bisa diperoleh dari penelitian ini:
1. Pemerintah pusat baru pertama kali menyusun laporan keuangan berbasis
akrual pada tahun 2015. Kualitas SDM akrual masih relatif rendah. Hal ini
dibuktikan dengan banyaknya kesalahan yang terjadi saat mereka menyusun
laporan keuangan. Hal ini juga diperkuat dengan data bahwa nilai rata-rata
sampel 10 kota PPAKP sebesar 61,28 jauh dari memadai untuk bisa
menyusun laporan keuangan dengan baik Oleh karena itu, masih diperlukan
penguatan SDM di bidang akuntansi akrual.
2. Beberapa Pemda (10) sudah pernah menyusun laporan akuntansi akrual
pada tahun 2014. Opininya ada yang tetap, dan ada yang mengalami
penurunan.
3. Ada beberapa problematika yang dijumpai pada saat pemerintah pusat
melakukan implementasi akuntansi akrual untuk yang pertama kali.
4. Sampai saat ini belum pernah dilakukan mapping atau pemetaan terhadap
kompetensi SDM di bidang akuntansi akrual. Mapping SDM Akrual sangat
memudahkan di dalam pengembangan kompetensi SDM akrual untuk
memperkuat implementasi akuntansi pemerintah berbasis akrual yang
dimulai sejak tahun 2015. Mapping atau pemetaan SDM Akrual dilakukan
dengan assesment akrual atau

uji kompetensi SDM di bidang akrual

(operator) yang bertugas melakukan penyusunan atau mereview laporan


keuangan berbasis akrual.
5. Saat ini SDM akrual sudah mendapatkan reward. Namun demikian, jumlah
reward yang mereka terima belum memadai jika dibandingkan dengan
tuntutan pekerjaan mereka serta kontribusi mereka di dalam penyusunan
laporan keuangan. Tunjangan yang diterima oleh para operator SAIBA dan
SIMAK BMN Akrual sebagai tulang punggung di dalam penyusunan laporan
keuangan pemerintah berbasis akrual relatif belum memadai.

Saran yang ingin disampaikan oleh penulis di dalam penelitian ini adalah:
1. Perlu dilakukan pemetaan kompetensi SDM di bidang akuntansi akrual
melalui uji kompetensi akrual atau assesment akrual. Oleh karena itu
disarankan kepada BPPK (Kementerian Keuangan) diharapkan segera
penyusunan peta kompetensi SDM di bidang akrual sebagai sebuah strategy

485

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

di dalam penguatan SDM di Bidang Akuntansi Akrual. Pemetaan SDM Akrual


terhadap SDM di bidang akrual membutuhkan kamus kompetensi akrual.
2. Perlu dilakukan assesment akrual atau uji kompetensi terhadap kompetensi
SDM di bidang akuntansi akrual

bertugas melakukan tugas di bidang

penyusunan akuntansi akrual.


3. Perlu segera direalisasikan reward yang memadai terhadap para operator
yang sudah berkontribusi signifikan dalam mensukseskan implementasi
akuntansi akrual. Wacana reward yang memadai sudah dilakukan sejak 2007
atau 10 tahun yang lalu. Perlu percepatan realisasi rencana ini mengingat
reward berpengaruh signifikan terhadap motivasi kerja para SDM akrual.
4. Upaya penguatan SDM di bidang akuntansi akrual perlu dilanjutkan pada
tahun tahun berikutnya. Program PPAKP akrual yang sudah dimulai sejak
tahun 2014, masih terus dilanjutkan mengingat kualitas SDM akrual belum
sekuat seperti yang kita harapkan.
5. Untuk memperdalam analisa terkait implementasi akuntansi akrual di
pemerintah, maka perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui
pengaruh implementasi akuntansi akrual pertama kali terhadap kualitas
laporan keuangan (opini).

486

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Daftar Pustaka
1. Peraturan Pemerintah nomor 71 tahun 2010 tentang standar akuntansi
Pemerintahan.
2. PMK nomor

47 tahun 2008 tentang Assesment Center di lingkungan

Kementerian Keuangan.
3. Laporan

Evaluasi

Pasca

Diklat

tahun

2015,

Perbendaharaan, BPPK, Kementerian Keuangan.

487

Pusdiklat

anggaran

dan

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Penerapan Metode Diskusi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe


Jigsaw untuk Meningkatkan Sikap Demokrasi peserta Diklat
Prajabatan di Provinsi Bali
Rusmulyani
WI Madya. Badan Diklat Provinsi Bali

(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)


Abstract Dalam setiap proses pembelajaran pada pelajaran apa pun kita lebih banyak
mendorong agar peserta diklat dapat menguasai sejumlah materi pelajaran. Strategi yang di
bahas adalah strategi yang diharapkan dapat meningkatkan sikap demokrasi peserta diklat.
Salah satu model pembelajaran yang dapat diterapkan adalah metode diskusi model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw. Ibrahim, dkk. (2000:6) menyatakan bahwa proses
belajar mengajar dengan model pembelajaran tipe jigsaw ini adalah proses belajar mengajar
yang menempatkan peserta diklat untuk aktif dimana fasilitator/ widyaiswara membagi
peserta diklat ke dalam beberapa kelompok dan kelompok diberikan tugas dengan meteri
yang berbeda-beda. Dari tugas yang diberikan kelompok diharapkan mampu
mengembangkan materi yang diberikan dan peserta harus aktif dan bekerja sama. Sehingga
akan berdampak positif terhadap peningkatan kompetensi peserta diklat prajabatan.
Berdasarkan hasil analisis tes awal tes awal yang telah dilakukan, didapatkan rata-rata sikap
demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali sebesar 97,80, nilai tengah sebesar
96,5, nilai yang paling sering muncul sebesar 108, simpangan baku sebesar 11,22, dan
varians sebesar 125,96 Berdasarkan tabel kategori yang telah dibuat, rata-rata sikap
demokrasi peserta diklat prajabatan Provinsi Bali pada tes awal berada pada kategori
rendah, sedangkan pada tes akhir pembelajaran, didapatkan rata-rata sikap demokrasi
peserta diklat prajabatan sebesar 122,93, nilai tengah sebesar 123, nilai yang paling sering
muncul sebesar 122, simpangan baku sebesar 3,71, dan varians sebesar 13,76.
Berdasarkan tabel kategori yang telah dibuat, rata-rata sikap demokrasi peserta diklat
prajabatan pada tes akhir berada pada kategori sedang. Peningkatan rata-rata dari tes awal
dan tes akhir terlihat cukup signifikan (cukup tinggi), selain itu kategori sikap demokrasi
peserta diklat prajabatan Provinsi Bali pun terlihat meningkat dari kategori rendah menjadi
sedang. Dapat disimpulkan bahwa penerapan metode diskusi model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw secara efektif dapat meningkatkan sikap demokrasi peserta Diklat
Prajabatan di Provinsi Bali.
Key Word: metode diskusi,pembelajaran type Jigsaw,sikap demokrasi,diklat Prajabatan.

Corresponding author: Ketut Rusmulyani, E-mail: chaketut@gmail.com

I.

Latar Belakang
Sumber Daya Manusia merupakan suatu asset yang tidak ternilai harganya yang dimiliki

suatu organisasi serta dapat memberikan konstribusi yang sangat berarti kepada satuan
kerja secara efektif dan efisien, serta produktif dan kompetitif. Sumber Daya Manusia

488

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

merupakan penentu keberhasilan bagi setiap organisasi untuk menjadi lebih profesional dan
sebagai pembangun citra pelayanan publik.
Peningkatan kualitas sumberdayamanusia merupakan suatu yang sangat penting untuk
penigkatan akselerasi suatu pembangunan dalam bidang apapun juga. Karena kualitas
menyangkut peningkatan mutu sumberdayamanusia itu sendiri baik kemampuan fisik
maupun kemampuan non fisik.Upaya inilah yang dimaksudkan dengan pengembangan
sumberdayamanusia. Setiap organisasi harus memperhatikan skills, knowledge, dan ability
atau kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap aparatur.
Dalam Peraturan Pemerintah No.101 Tahun 2000 tentang jabatan PNS disebutkan
diklat jabatan PNS adalah proses penyelenggaraan belajar mengajar dalam rangka
meningkatkan kemampuan PNS. Salah datu jenis diklat PNS adalah diklat Pra Jabatan,
diklat ini meruapakan salah satu syarat pengangkatan CPNS menjadi PNS, yang bertujuan
untuk memberikan pengetahuan pengembangan sikap dan keterampilan peserta dalam
rangka pembentukan wawasan kebangsaan kepribadian dan etika PNS. Disamping
pengetahuan dan kompetensi dasar tentang system penyelenggaraan pemerintahan serta
bidang tugas dan budaya organisasi agar mampu melaksanakan tugas dan perannya
sebagai pelayan masyarakat.
Oleh karena itu, sumber daya manusia yang professional sangat mendukung
keberhasilan suatu organisasi untuk bisa bersaing di era global dalam rangka mewujudkan
Pembangunan Nasional. Untuk mewujudkan Pembangunan Nasional, dituntut adanya peran
sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh sebab itu kegiatan pengembangan SDM
aparatur

sangat

dibutuhkan

dalam

proses

pembangunan

itu

sendiri.

Kegiatan

pengembangan diharapkan dapat memperbaiki dan mengatasi kekurangan dalam


melaksanakan pekerjaan lebih baik sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Sejalan dengan itu, kedudukan dan peranan aparatur sangat penting dalam
menentukan berhasil atau tidaknya tugas dari penyelenggara pemerintah dan pembangunan
dalam rangka pencapaian tujuan.
Sejalan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 Pasal 70 ayat 1 menyebutkan
setiap pegawai Aparatur Sipil Negara memiliki

kesempatan untuk mengembangkan

komptensi. Lebih lanjut disebutkan pada ayat 2 berbunyi Pengembangan kompetensi


sebagaimana dimaksud ayat 1 antara lain melalui Pendidikan dan Pelatihan, seminar,
kursus dan penataran. Peraturan tersebut juga mengamanatkan bahwa Lembaga Diklat

489

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

memiliki fungsi diantaranya pengembangan standar kualitas pendidikan dan pelatihan


Pegawai ASN; pembinaan pendidikan dan pelatihan kompetensi manajerial Pegawai ASN.
Pada penyelenggaraan Diklat, proses belajar mengajar merupakan bagian terpenting
dalam proses pendidikan yang didalamnya terdapat fasilitator/widyaiswara sebagai pengajar
dan peserta diklat sebagai pembelajar. Pemilihan metode pembelajaran merupakan salah
satu faktor yang sangat mempengaruhi hasil belajar mengajar

dan pemilihan metode

dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain Widyaiswara/pengajar, peserta diklat, materi
diklat, metode, tujuan pembelajaran,fasilitas,dan juga sarana dan prasarana. Metode
pengajaran

harus

memberikan

kesempatan

kepada

peserta

diklat

untuk

dapat

mengembangkan kecerdasan secara optimal, sebab pemilihan metode yang tidak sesuai
akan mengakibatkan proses belajar mengajar yang tidak optimal. Salah satu model
pembelajaran yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw.
Ibrahim, dkk. (2000:6) menyatakan bahwa proses belajar mengajar dengan model
pembelajaran tipe jigsaw adalah proses belajar mengajar yang menempatkan peserta diklat
untuk aktif dimana fasilitator/widyaiswara membagi peserta diklat ke dalam beberapa
kelompok dan masing-masing kelompok diberikan tugas dengan meteri yang berbeda-beda.
Dari tugas yang diberikan masing-masing kelompok diharapkan mampu mengembangkan
materi yang diberikan sesuai dengan materi yang sudah diajarkan.
Berdasarkan proses pembelajaran di atas, terlihat bahwa dalam penerapan metode
diskusi model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, peserta diklat dituntut untuk aktif dan
harus bekerja sama dalam memahami suatu materi diklat yang diberikan, sehingga akan
berdampak positif terhadap peningkatakan kompetensi peserta diklat. Maka dari itu dalam
kesempatan ini penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Penerapan
Metode Diskusi Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw untuk Meningkatkan
Sikap Demokrasi peserta Diklat Prajabatan di Provinsi Bali.

II.

Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang diteliti dirumuskan

sebagai berikut.
Apakah penerapan metode diskusi model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw dapat
meningkatkan sikap demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali?

490

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

III. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui peningkatan sikap demokrasi
peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali setelah penerapan metode diskusi model
pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw.

IV. Manfaat Penelitian


Manfaat dalam penelitian ini mengarah pada dua aspek sebagai berikut :
1. Manfaat Akademis
Dalam penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi yang dapat
menunjang untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan sebagai bahan masukan
bagi penelitian-penelitian yang akan datang.
2. Manfaat Praktis
Pada penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan acuan atau
masukan bagi pemerintah khususnya Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Bali
dalam mengefektifkan pelaksanaan Diklat Prajabatan.

V. TINJAUAN PUSTAKA
1. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Jigsaw
Menurut Ibrahim, dkk. (2000:6) menyatakan bahwa proses belajar mengajar
dengan model pembelajaran tipe jigsaw ini berarti proses belajar mengajar yang
menempatkan peserta diklat untuk aktif dimana fasilitator/widyaiswara membagi peserta
diklat ke dalam beberapa kelompok dan masing-masing kelompok diberikan tugas
dengan meteri yang berbeda-beda. Dari tugas yang diberikan masing-masing kelompok
diharapkan mampu mengembangkan materi yang diberikan sesuai dengan materi yang
sudah diajarkan.
Arnyana (2007:52) mengemukakan, pada penerapan kooperatif tipe jigsaw,
peserta diklat bekerja berkelompok dengan 5-6 anggota kelompok belajar yang
heterogen. Materi pelajaran diberikan kepada peserta diklat dalam bentuk teks. Setiap
anggota bertanggung jawab untuk mempelajari bagian tertentu bahan yang diberikan
itu. Sebagai contoh, jika materi yang diajarkan adalah alat ekskresi, seorang peserta
diklat mempelajari tentang ginjal, peserta diklat lain mempelajari tentang hati, peserta
diklat lain mempelajari tentang paru-paru dan yang terakhir belajar tentang kulit. Semua

491

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

anggota kelompok yang mempelajari tentang topik yang sama berkumpul dan
berdiskusi tentang topik tersebut. Kelompok ini disebut kelompok ahli. Dengan demikian
terdapat kelompok ahli kulit, ahli ginjal, ahli paru-paru, dan ahli hati.
Selanjutnya, anggota tim ahli ini kembali ke kelompok asal dan mengajarkan
tentang apa yang dipelajarinya dan didiskusikan di kelompok ahlinya untuk diajarkan
pada kelompok temannya sendiri. Setelah proses belajar dilaksanakan diadakan
evaluasi dan penghargaan.
Menurut Trianto (2009: 73) langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
adalah:
a. Peserta diklat dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok anggotanya 5-6
orang).
b. Materi pelajaran diberikan kepada peserta diklat dalam bentuk teks yang telah
dibagi-bagi menjadi beberapa sub bab.
c. Setiap anggota kelompok membaca subbab yang ditugaskan dan bertanggung
jawab untuk mempelajarinya.
d. Anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub bab yang sama bertemu
dalam kelompok-kelompok ahli untuk mendiskusikannya.
e. Setiap anggota kelompok ahli setelah kembali ke kelompoknya bertugas
mengajar teman-temannya.
f.

Pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, peserta diklat-peserta diklatdikenai


tagihan berupa kuis individu.

Dari langkah-langkah pembelajaran yang dipaparkan oleh para ahli di atas, maka
untuk penelitian ini, peneliti menerapkan langkah-langkah pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw adalah:
1) membentuk kelompok asal yang heterogen (jenis kelamin dan tingkat kemampuan)
2) membagikan materi pelajaran kepada masing-masing anggota kelompok
3) anggota kelompok yang mendapatkan materi yang sama berkumpul dalam kelompok
ahli dan mengkaji materi yang didapat
4) anggota kelompok ahli kembali ke kelompok asal dan menyampaikan hasil diskusi
dalam kelompok ahli
5) presentasi beberapa kelompok dan kelompok lain menanggapinya
6) pemberian tes secara individual
7) pemberian penghargaan kepada kelompok yang mendapatkan nilai tertinggi.

492

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Model pembagian kelompok dalam model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat
digambarkan seperti bagan 01.
A1 B1 C1
D1 E1

A2 B2 C2
D2 E2

A3 B3 C3
D3 E3

A4 B4 C4
D4 E4

A1 A2 A3
A4 A5
x1 x1

B1 B2 B3
B4 B5

C1 C2 C3
D1 D2 D3
C4 C5
D4 D5
(Arnyana, 2007;52)

A5 B5 C5
D5 E5

E1 E2 E3
E4 E5

Bagan 01. Model Pembagian Kelompok dalam Model Tipe Jigsaw


2. Konsep Pendidikan dan Pelatihan
Pendidikan dan Pelatihan bagi sumber daya manusia merupakan topik yang
sangat penting dalam rangka menajemen sumber daya manusia, yaitu dalam usaha
meningkatkan keunggulan bersaing dalam organisasi. Adanya berbagai perubahan
di lingkungan kerja menghendaki organisasi harus melakukan pendidikan dan
pelatihan bagi sumber daya manusia secara proaktif demi mencapai produktivitas
kerja yang lebih baik.
Jhon Kendrick dalam simanjuntak (1989) mengatakan bahwa pendidikan dan
pelatihan tidak saja menambah pengetahuan akan tetapi juga meningkatkan
keterampilan bekerja, sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja organisasi.
Dalam konteks pengembangan sumber daya manusia, pendidikan dan
pelatihan merupakan upaya untuk mengembangkan kemampuan intelektual dan
kepribadian manusia. Pendidikan (formal) dalam suatu organisasi adalah suatu
proses pengembangan kemampuan kearah yang diinginkan oleh organisasi yang
bersangkutan, sedangkan pelatihan (Training) merupakan bagian dari suatu proses
pendidikan yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilan
khusus seseorang atau kelompok orang.
3. Sikap Demokrasi
Dimyati dan Mujiono (2002: 239) menyatakan bahwa sikap merupakan
kemampuan memberikan penilaian tentang sesuatu yang membawa diri sesuai
penilaian. Adanya penilaian tentang sesuatu mengakibatkan terjadinya sikap
menerima,

menolak

atau

mengabaikan.

493

Pengertian

sikap

pada

umumnya

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dikelompokkan dalam tiga kerangka pemikiran. Pertama, sikap didefinisikan sebagai


suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Kedua, sikap merupakan semacam
kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara-cara tertentu. Ketiga,
sikap merupakan konstelasi komponen-komponen kognitif, afektif dan konatif yang
saling berinteraksi dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu
obyek. (Azwar, 2002: 4-5 ).
Berbicara

tentang

demokrasi,

pada

permasalahan yang klasik, fundamental,

dasarnya

berhadapan

dengan

namun tetap aktual.Permasalahan

demokrasi dikatakan klasik karena hal ini sudah menjadi fokus perhatian dalam
wacana filsafati semenjak Yunani Kuno.Selanjutnya permasalahan demokrasi juga
dikatakan bersifat fundamental, karena hakikat demokrasi menyentuh nilai-nilai
kehidupan manusia.Yang terakhir permasalahan ini dikatakan aktual, karena dewasa
ini demokrasi menjadi dambaan setiap bangsa dan negara untuk menerapkannya.
Menurut Abraham Lincoln (Wiharyanto, 2004 : 2), mengatakan demokrasi adalah
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam perkembangannya,
demokrasi bermakna semakin spesifik lagi yaitu fungsi-fungsi kekuasaan politik
merupakan sarana dan prasarana untuk memenuhi kepentingan rakyat.Konsep
demokrasi ini memberi keyakinan bahwa unsur-unsur rakyat senantiasa menjadi
faktor utama yang dilibatkan dalam pemerintahan.Oleh karena itu, demokrasi
mendapat sambutan yang luar biasa di dalam hati sanubari rakyat karena demokrasi
lebih berpihak kepada rakyat.Dengan demokrasi, rakyat boleh berharap bahwa masa
depannya ditentukan oleh dan untuk rakyat.Untuk mengetahui suatu negara
demokrastis atau tidak terdapat beberapa ciri.
Bentuk masyarakat demokratis akan tumbuh kokoh jika dikalangan
masyarakat tumbuh kultur dan nilai-nilai demokrasi. Nilai-nilai demokrasi yang
diterapkan di masyarakat menurut Zamroni (2001: 33), adalah toleransi, bebas
mengemukakan

dan

menghormati

perbedaan

pendapat,

memahami

keanekaragaman dalam masyarakat, terbuka dalam komunikasi menjunjung nilai


dan martabat kemanusiaan, tidak menggantungkan diri pada orang lain, saling
menghargai, mampu mengekang diri, kebersamaan dan keseimbangan. Lebih lanjut
(Sihabuddin, 2002: 144), menjelaskan nilai-nilai demokratis

itu adalah mengakui

persamaan derajat, menghargai pihak lain, mau bekerja sama dengan orang lain,
menghargai pendapat orang lain, menerima dan menghargai perbedaan kultur dalam
masyarakat, peka terhadap kesulitan orang lain, berlaku adil, memiliki kemauan
berpartisipasi dalam kehidupan politik dan sosial. Nilai-nilai demokrasi tersebut

494

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

hendaknya dapat diaktualisasikan di dalam kehidupan nyata melalui suatu


transformasi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sikap demokratis adalah
predisposisi seseorang terhadap salah satu aspek sosial yakni demokrasi.
Pengetahuan tentang demokrasi akan mendorong orang untuk bertindak sesuai
dengan nilai-nilai demokrasi.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi sikap demokratis peserta diklat.
Menurut Purnomo (1999: 11), berdasarkan hasil penelitiannya bahwa sikap
demokratis peserta diklat dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling kait-mengkait,
seperti fasilitator/widyaiswara, teman, penyelenggara, dan lingkungan. Keseluruhan
unsur ini saling berinteraksi dalam pikiran peserta diklat, yang menghasilkan sikap
demokratis.Tujuan dari demokratisasi pendidikan adalah menghasilkan lulusan yang
merdeka, berpikir kritis dan sangat toleran dengan pandangan dan praktik-praktik
demokrasi (Suryadi, 1999: 23).

4. Kerangka Pemikiran
Model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw merupakan proses belajar
mengajar

yang

menempatkan

peserta

diklat

untuk

aktif

dimana

fasilitator/widyaiswara membagi peserta diklat ke dalam beberapa kelompok dan


masing-masing kelompok diberikan tugas dengan meteri yang berbeda-beda. Dari
tugas yang diberikan masing-masing kelompok diharapkan mampu mengembangkan
materi yang diberikan sesuai dengan materi yang sudah diajarkan.
Dalam penerapan metode diskusi model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
ini, peserta diklat dituntut untuk aktif dan bekerjasama dalam mencapai tujuan materi
dalam pelaksaan diklat. Aktif dan bekerjasamanya peserta diklat dalam pelatihan,
tentunya akan dapat memberikan dampak yang positif terhadap peningkatan sikap
demokrasi peserta diklat. Peningkatan sikap demokrasi peserta diklat dapat dilihat
dari adanya kerjasama yang baik antar peserta diklat, tanggung jawab terhadap
tugas, dan adanya sikap tenggang rasa antar peserta diklat.

495

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Untuk lebih jelasnya, kerangka pemikiran di atas, dapat digambarkan sebagai


berikut :

Pelaksanaan

Peningkatan Sikap
Demokrasi
Peserta Diklat
Prajabatan

Model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Jigsaw

Diklat

Gambar 02. Kerangka Pemikiran


VI. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kuantitatif dimana dalam
penelitian

yang

dilakukan

bersifat

deskriptif

yaitu

untuk

mengetahui

atau

menggambarkan kenyataan dari kejadian yang diteliti sehingga memudahkan penulis


untuk mendapatkan data yang objektif dalam rangka mengetahui dan memahami
apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dapat meningkatkan
sikap demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali.

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode kuesioner


yang dibuat menggunakan skala likert 1-5. Sehingga data yang didapatkan nantinya
adalah data interval.
2. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan dalam peneltian ini yaitu penelitian tindakan. Agung
(2010:3) menyatakan bahwa penelitian tindakan sebagai suatu bentuk penilaian yang
bersifat relatif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki
atau meningkatkan praktek-praktek pembelajaran di kelas secara lebih profesional.
3. Lokasi dan Waktu Penelitian
Adapun lokasi penelitian ini yaitu di BadanPendidikan dan Pelatihan Provinsi Bali
selama satu bulan (Pebruari-Maret 2016)
4. Jenis dan Sumber Data

496

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan adalah data kuantitatif yang
didapatkan dari penyebaran kuesioner sikap demokrasi kepada peserta diklat
prajabatan di Provinsi Bali, khususnya pada Diklat Prajabatan Golongan III Provinsi Bali.

5. Teknik Pengumpulan Data


Untuk mengumpulkan data mengenai sikap demokrasi peserta diklat dikumpulkan
menggunakan kuesioner yang dibuat berdasarkan syarat-syarat pembuatan instrumen
dengan modifikasi dari skala Likert.Riduwan (2005:25) berpendapat bahwa angket
(questionnaire) adalah daftar pertanyaan yang diberikan kepada orang lain yang
bersedia memberikan respon (responden) sesuai dengan permintaan pengguna.
Penelitian ini, menggunakan jenis angket tertutup untuk menggali informasi mengenai
sikap demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali.
6. Metode Analisis Data
Setelah data dalam penelitian ini terkumpul selanjutnya dilakukan analisis data. Ada
dua jenis metode analisis statistik yaitu metode analisis statistik deskriptif dan metode
analisis statistik inferensial. Dalam hubungannya, Agung (2011:61) menjelaskan bahwa:
Metode analisis statistik deskriptif ialah suatu cara pengolahan data yang dilakukan
dengan jalan menerapkan rumus-rumus statistik deskriptif seperti: distribusi frekuensi,
grafik, angka rata-rata (Mean), median (Me), modus (Mo) untuk menggambarkan suatu
objek/variabel tertentu, sehingga diperoleh kesimpulan umum.
Dalam penerapan metode analisis statistik deskriptif ini, data yang diperoleh dari hasil
penelitian dianalisis dan disajikan ke dalam: a) menghitung angka rata-rata (Mean), b)
menghitung median, c) menghitung modus. Mean, median modus dihitung dengan
bantuan Microsoft excel.
Selanjutnya, rata-rata persen dibandingkan dengan Pedoman Konversi Skala Lima
sebagai berikut.

497

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Tabel 01. Pedoman Konversi Skala Lima


NO

SKALA

KLASIFlKASI

1.

X > Mi + 1,5 SDi

sangat tinggi

2.

Mi + 1,5 SDi > X > Mi + 0,5 SDi

tinggi

3.

Mi + 0,5 SDi > X > Mi - 0,5 SDi

sedang

4.

Mi - 0,5 SDi > X > Mi -1,5 SDi

rendah

5.

X < Mi - 1,5 SDi

sangat rendah

Keterangan :
Mi
= (skor maksimum + skor minimum)
SDi
= 1/6 (skor maksimum - skor minimum)
(Dantes, 1983 :25)

VII. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN


a. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Badan Diklat sebagai institusi yang secara formal diberi kewenangan dalam
penyelenggaraan Diklat dituntut untuk mampu melaksanakan tugasnya tersebut
dengan baik. Berbagai upaya seperti penciptaan rancang-bangun diklat yang
tepat, strategi pembelajaran yang efektif, tenaga pengajar yang profesional,
pengembangan kurikulum dan bahan ajar sesuai kebutuhan organisasi publik
adalah beberapa agenda penting yang harus dilakukan oleh Badan Diklat.
Struktur kelembagaan Badan Diklat Provinsi Bali yang diatur dalam
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2013 tentang Perubahan
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2011 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Bali menyebutkan bahwa Badan Diklat
Provinsi Bali adalah salah satu Lembaga Teknis Daerah (LTD) yang berbentuk
Badan, yang mendukung tugas Gubernur didalam Peningkatan Kapasitas
Sumber

Daya

Aparatur

yang

dipimpin

oleh

seorang

Kepala

Badan,

berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui


Sekda.
Mengenai struktur organisasi Badan Diklat dijelaskan dalam Perda Nomor 4
tahun 2011. Dalam Pasal tersebut dijelaskan bahwa susunan organisasi Badan

498

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Diklat terdiri dari Sekretariat, Bidang, Sub Bagian, Sub Bidang, dan Kelompok
Jabatan Fungsional.
Secara terperinci struktur organisasi Badan Diklat berdasarkan Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2011disajikan dalam Bagan berikut ini:

Gambar. Struktur Organisasi Badan Diklat


Berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2011

Dalam melaksanakan tugas pokok Badan Diklat Provinsi Bali didukung oleh
sumberdaya aparatur serta sarana dan prasarana. Seluruh pegawai berjumlah 64
orang yang terdiri dari 17 orang pejabat struktural, 14 orang Widyaiswara, 2 orang
Pustakawan serta 31 orang staf.

Visi dan Misi


Visi Pemerintah Provinsi Bali menjadi acuan dalam penetapan Visi Badan
Diklat.Visi Provinsi Bali yaitu Bali Mandara ,artinya Bali yang Maju, Aman, Damai,
Sejahtera. Dengan memperhatikan Visi tersebut serta memperhatikan perubahan
paradigma kondisi yang akan dihadapi pada masa yang akan datang, diharapkan
Bali tetap eksis terutama dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berdaya
saing.

499

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Visi :
Mewujudkan Badan Pendidikan Dan Pelatihan Provinsi Bali sebagai pusat
peningkatan kapasitas aparatur berbasis kompetensi.
Sedangkan Motto Badan Diklat Provinsi Bali untuk mewujudkan Visi adalah
TIADA PERUBAHAN TANPA DIKLAT
Misi
Dalam upaya mewujudkan visi tersebut Badan Diklat Provinsi Bali memiliki misi
sebagai berikut :
1. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan (Diklat) berbasis kompetensi
bagi sumberdaya aparatur pemerintah.
2. Meningkatkan koordinasi dalam pengembangan program kediklatan.
3. Mengembangkan kerjasama kediklatan.
4. Meningkatkan mutu sumberdaya dan profesionalisme tenaga kediklatan.
5. Melaksanakan

evaluasi

kediklatan

dan

merumuskan

kebijakan

pengembangan mutu sumberdaya aparatur.


b. Hasil Penelitian
Berdasarkan tes awal yang telah dilakukan, didapatkan rata-rata sikap
demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali sebesar 97,80, nilai tengah
sebesar 96,5, nilai yang paling sering muncul sebesar 108, simpangan baku sebesar
11,22, dan varians sebesar 125,96 Berdasarkan tabel kategori yang telah dibuat,
rata-rata sikap demokrasi peserta diklat prajabatan Provinsi Bali pada tes awal
berada pada kategori rendah.
Rendahnya sikap demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali pada
tes awal dikarenakan pada item kuesioner masih banyaknya peserta diklat
prajabatan Provinsi Bali yang menunjukkan sikap demokrasi yang kurang optimal.
Hal tersebut ditunjukkan dari: 1) rendahnya kesadaran akan kewajiban peserta
diklat, 2) masih adanya peserta diklat yang kurang mematuhi peraturan yang
berlaku, 3) masih adanya sikap peserta yang menunjukkan sikap kurang
menghargai pendapat antara peserta diklat, 4) kurang percaya diri, dan 5)
kurangnya sikap pengendalian diri yang ditunjukkan oleh peserta diklat seperti sikap
merasa bisa, jutek, ego,sombong atau S.O.K (salahkan, omel, kritik).

500

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Untuk mengatasi permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini dilakukan


upaya yang lebih intensif dengan memperhatikan refleksi dari tes awal yang telah
dilakukan. Pada pembelajaran yang berlangsung fasilitator/widyaiswara akan lebih
mengintensifkan

dalam

kegiatan

pembelajaran

diskusi

kelompok.

Hal

itu

dikarenakan pada pembelajaran berkelompok, dapat menumbuhkan rasa saling


menghargai,

menumbuhkan

kesadaran

akan

kewajiban

pada

tugasnya,

menumbuhkan sikap mematuhi peraturan yang telah dibuat oleh kelompoknya, dan
menumbuhkan sikap pengendalian diri peserta diklat prajabatan Provinsi Bali. Selain
itu, fasilitator/pengajar juga harus memberikan motivasi-motivasi, agar peserta diklat
prajabatan Provinsi Bali lebih semangat untuk meningkatkan sikap demokrasi yang
dimilikinya.
Pada kegiatan pembelajaran terlihat bahwa peserta diklat sudah lebih
mencerminkan sikap demokrasi yang lebih baik. Berdasarkan analisis data yang
telah dilakukan pada tes akhir pembelajaran, didapatkan rata-rata sikap demokrasi
peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali sebesar 122,93, nilai tengah sebesar 123,
nilai yang paling sering muncul sebesar 122, simpangan baku sebesar 3,71, dan
varians sebesar 13,76. Berdasarkan tabel kategori yang telah dibuat, rata-rata sikap
demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali pada tes akhir berada pada
kategori sedang.
Peningkatan rata-rata dari tes awal dan tes akhir terlihat cukup signifikan
(cukup tinggi), selain itu kategori sikap demokrasi peserta diklat prajabatan Provinsi
Bali pun terlihat sudah meningkat dari kategori rendah menjadi sedang. Untuk lebih
jelasnya, peningkatan sikap demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali
dapat digambarkan pada histogram berikut.

501

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

140
120
100
80
Tes Awal

60

Tes Akhir

40
20
0
rata-rata

nilai tengah

nilai paling sering


muncul

Gambar 01. Histogram Peningkatan Sikap Demokrasi


Berdasarkan histogram di atas, dapat dilihat bahwa pada tes akhir skor sikap
demokrasi peserta diklat prajabatan di Provinsi Bali mengalami peningkatan yang cukup
baik. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa penerapan metode diskusi model
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw secara efektif dapat meningkatkan sikap demokrasi
peserta Diklat Prajabatan di Provinsi Bali.

IX. PENUTUP
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa penerapan
metode diskusi model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw secara efektif

dapat

meningkatkan sikap demokrasi peserta Diklat Prajabatan di Provinsi Bali. Hasil ini
ditunjukkan dari rata-rata sikap demokrasi pada tes awal sebesar 97,8 meningkat menjadi
122,93 pada tes akhir.
Adapun saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Peserta diklat diharapkan untuk selalu meningkatkan sikap demokrasi yang
dimilikinya, karena sikap demokrasi merupakan sikap yang sangat penting yang
dapat menunjang pekerjaannya dimasing-masing unit kerjasanya,
2) Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa metode diskusi model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw secara efektif dapat meningkatkan sikap demokrasi peserta
Diklat Prajabatan di Provinsi Bali, sehingga diharapkan para fasilitator/pengajar

dapat menerapkan model pembelajaran ini dengan metode diskusi untuk

502

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

materi/mata diklat lainnya, serta mengarahkan pada perubahan dari teacher


centered kepada student centered.
3) Peneliti lain diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini agar permasalahan
yang terjadi pada bidang pendidikan dan pelatihan khususnya dalam menerapkan
metode pembelajaran bagi orang dewasa dapat lebih efektif

DAFTAR PUSTAKA

Agung, A. A. Gede. 2011. Metodologi Penelitian Pendidikan (Suatu Pengantar). Singaraja:


Fakultas Ilmu Pendidikan Undiksha Singaraja.
-------, 2010.Penelitian tindakan kelas (teori dananalisis data dalam PTK).Makalah disajikan
dalam workshop Jur. PGSD FIP undiksha, singaraja 27 september 2010.
Arnyana, Ida Bagus Putu. 2007. Strategi Belajar Mengajar. Singaraja: Undiksha
Azwar.2002. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya Edisi Ke 2.Yogyakarta; Pustaka
Belajar.
Dantes, Nyoman. 1983. Statistika Non Parametrik. Singaraja: Biro Penerbitan FIP Unud.
Dimyati, dan Moedjiono. 1994. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Depdikbud.
Ibrahim, Muslimin, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: University Press.
Purnomo, A. 1999. Sikap Demokratis Peserta diklat

Sekolah Menengah Umum di

Yogyakarta.Tesis, tidak diterbitkan, Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.


Riduwan.2005. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian.Bandung; Alfabeta.
Sihabuddin R. 2002. Pendidikan demokrasi melalui pengelolaan asertivitas dan atribusi
peserta diklat terhadap sikap dan perilaku berdemokrasi : studi pengembangan
model pendidikan demokrasi untuk sekolah lanjutan tingkat pertama di kecamatan
lembang kabupaten bandung. Jurnal Pendidikan Program Pascasarjana UPI, 1, 140158
Suryadi. 1999. Demokratisasi pendidikan demokrasi, Mimbar pendidikan. Jurnal Pendidikan
No. 1 Tahun XVIIIVIII SMP gugus II.
Trianto. 2009. Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Surabaya: Prenada Media
Group.
Zamroni. 2001. Pendidikan untuk demokrasi tantangan menuju civil society. Yogyakarta:
Bigraf.
UU No.43 tahun 1999 tentang Pokok- Pokok KeKepegawaian.

503

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

MENGGUGAT KURIKULUM KOGNITIF-CENTER DI INDONESIA


(Mengkritisi Kurikulum Mata Pelajaran Sejarah)
Oleh: Yudi Setianto
Widyaiswara Kemdikbud
Bekerja di PPPPTK PKn-IPS Malang
Email: yudiroyan@gmail.com

(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstraks
Tujuan penulisan artikel ini untuk mengkritisi kurikulum sekolah di Indonesia, yang selalu
fokus pada kognitif dan mengesampingkan aspek afektif, khususnya untuk kurikulum mata
pelajaran sejarah di SMA/SMK. Penulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif.Kearifan lokal yang dimiliki bangsa berupa nilai-nilai sosial dan karakter bangsa
akhirnya menghilang disebabkan tidak ada instrumen yang menjaga nilai-nilai dan karakter
bangsa. Padahal hal tersebut dapat dipertahankan melalui jalur pendidikan, terutama
melalui kurikulum. Mata pelajaran sejarah sebagai pembentuk karakter bangsa dan
nasionalisme selama ini juga difokuskan pada kognitif semata.
Permasalahan dan kritik terhadap kurikulum sejarah dalam kajian ini dibagi 4 hal, yakni
pertama, mata pelajaran sejarah hanya menekankan materi/ kognitif-center. Kedua,
Kurikulum sejarah di Indonesia, bersifat java centris. Ketiga, Sejarah didominasi materi
perang dan politik. Keempat, Permasalahan mata pelajaran sejarah dalam Kurikulum 2013.
Permasalahan tersebut dapat diatasi jika perancang kurikulum termasuk kurikulum sejarah
merubah midset dengan memperhatikan ranah afektif. Hal ini penting agar bangsa
Indonesia menemukan kembaki jati dirinya sebagai bangsa yang beragama, kerja-sama,
toleransi serta nilai-nilai penting lainnnya yang sekarang mulai ditinggalkan oleh bangsanya
sebagai dampak dari globalisasi dan modernisasi.

A. Pendahuluan
Masyarakat

Indonesia

selalu

mengidentifikasikan

dirinya

sebagai

bangsa

berbudaya, bermoral, beragama serta hal-hal positif lainnya jika dikaitkan dalam hubungan
bermasyarakat, berbangsa,bernegara. Sebaliknya, masyarakat Barat diidentifikasikan
sebagai bangsa individual, liberal, sekuler serta hal-hal negatif lainnya. Namun faktanya
muncul paradoksal dari hal di atas. Bangsa Indonesia sampai saat ini tak lepas dari
permasalahan sosial yang dikaitkan dengan budaya, moral serta religius. Fenomena
perilaku amoral yang melibatkan hampir semua status sosial dalam lapisan masyarakat
serta kasus-kasus korupsi dan kolusi yang melibatkan pejabat yang dipastikan sebagai
orang-orang terdidik

menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan yang idealnya

504

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

melahirkan generasi-generasi terdidik dan beretika. Sebaliknya, bangsa Barat yang


dipandang minor berdasar identifikasi di atas, malah dikenal sebagai bangsa yang
berdisiplin, jujur. kerja keras, humanis serta hal-hal positif lainnya.
Sebenarnya dalam social historis, bangsa Indonesia memiliki kearifan lokal (local
genius) yang dapat dibanggakan sebagaimana karakter dan identitas bangsa. Secara umum
kearifan lokal dibedakan menjadi dua yaitu kerifan lokal yang dapat dilihat dengan mata
(tangible) seperti objek-objek budaya, warisan budaya bersejarah dan kegiatan keagamaan
dan kearifan lokal yang tidak dapat dilihat oleh mata (intangible) yang berupa nilai atau
makna dari suatu objek atau kegiatan budaya. Namun bentuk kearifan lokal berupa nilai,
norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus pada
akhirnya mengalami kemunduran seiring perjalanan waktu dan pengaruh globalisasi.
Kearifan lokal sudah semestinya dapat berkolaborasi dengan aneka perkembangan budaya
yang melanda dan untuk tidak larut dan hilang dari identitasnya sendiri.
Kearifan lokal bangsa tidak dapat dipertahankan disebabkan dibiarkan hidup liar dan
akhirnya mati. Seharusnya hal tersebut dapat dipupuk secara terus menerus melalui jalur
formal yaitu pendidikan yang dituangkan dalam kurikulum. Pendidikan di Indonesia selama
ini krisis dalam pembentukan karakter (kepribadian) disebabkan kurikulum difokuskan pada
materi kognitif semata, tanpa memperhatikan secara serius hal-hal afektif atau perilaku.
Mata pelajaran yang efektif dalam membangun karakter bangsa, menumbuhkan
nasionalisme, mempertahankan kearifan lokal antara lain mata pelajaran sejarah. Namun
selama ini mata pelajaran sejarah menjadi mati suri terhadap pembelajaran yang dikaitkan
dengan ranah afektif. Hal ini disebabkan mata pelajaran tersebut dirancang pada domain
kognitif semata.
Dalam masa pembangunan bangsa, salah satu fungsi utama pendidikan adalah
pengembangan kesadaran nasional sebagai sumber daya mental dalam proses
pembangunan kepribadian nasional beserta identitasnya (Sartono Kartodirdjo, 1993:247).
Hal ini juga diperkuat oleh pemerintah melalui Undang-undang Republik Indonesia No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan: Pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU. Sisdiknas, 2003:7).

505

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Mata pelajaran sejarah merupakan salah satu bagian penting dalam perjalanan
kurikulum di Indonesia sejak masa kolonial sampai Masa Reformasi. Sebagai mata
pelajaran di sekolah, sejarah merupakan mata pelajaran yang tertua dibandingkan disiplin
ilmu sosial lainnya. Pendidikan sejarah diajarkan di sekolah sejak zaman penjajah, sesudah
kemerdekaan

hingga

Jepang,pembelajaran

sekarang.
pendidikan

Pada

masa

sejarah

tentu

Kolonial

Belanda

diorientasikan

dan

Pendudukan

kepada

kepentingan

penguasa. Selanjutnya setelah Indonesia merdeka, periode tertentu

dalam pelajaran

sejarah Indonesia juga dijadikan alat mendukung penguasa, hal ini jika menyangkut
masalah sejarah politik yang menyangkut kepentingan langsung kekuasaan, seperti zaman
Orde Baru.
Meski kurikulum mengalami dinamika sesuai perkembangan, mata pelajaran sejarah
tetap menjadi mata pelajaran wajib bagi siswa sekolah. Walau peristiwa sejarah bersifat
dinamis mengikuti kronologi perjalanan waktu, namun pembelajaran sejarah di Indonesia
sering

kali

bersifat

statis.

Statis

disini

diartikan

mempertahankan

status

quo,

mempertahankan hal-hal yang sudah ada tanpa ada kreasi dan inovasi, meski kurikulum
telah berganti-ganti. Sebenarnya status quo dalam pembelajaran sejarah di dunia sebagai
hal yang wajar, hal seperti ini juga berlaku bagi negara-negara yang menganut sistem
pemerintahan

rezim non-demokrasi. Pada umumnya setiap negara di dunia dalam

menjabarkan sejarah masing-masing negaranya dikenal adanya official history atau sejarah
resmi. Penulisan sejarah resmi sebagai produk pemegang kekuasaan sering dijadikan
rujukan dalam pembelajaran sejarah, apalagi menyangkut sejarah kontemporer. Official
history sangat efektif dalam membentuk legitimasi kekuasaan sekaligus public opinion dari
kekuasaan jaman tradisional (kerajaan-kerajaan zaman dulu) sampai

sejarah kekinian.

Apalagi jika menyangkut kekuasaan politik saat ini, sebagai instrumen pendukung penguasa
politik.
Pelbagai fungsi sejarah dapat dikatagorikan sebagai sejarah yang berfungsi secara
pragmatis, antara lain untuk legitimasi dan justitikasi eksistensi suatu bangsa, keduanya
menyangkut fungsi pragmatis. Di samping itu, ada dua fungsi lain yang mempunyai
relevansi bagi pembelajaran sejarah, yaitu fungsi genetis dan didaktis (Sartono Kartodirdjo,
1993:251).

Inti

pembelajaran

sejarah

adalah

bagaimana

menanamkan

nilai-nilai

kepahlawanan, kecintaan terhadap bangsa, jati diri dan budi pekerti kepada anak didik.
Buku pelajaran sejarah hendaknya disusun dengan ketentuan-ketentuan ilmiah yang
berlandaskan pada tujuan pendidikan nasional ( Hugiono & Poerwantana, 1987:90).
Berpijak dari hal tersebut, kita dapat melihat kurikulum pembelajaran di Inggris,
dimana kurikulum dalam ranah praktis diserahkan kepada otonomi sekolah kecuali mata

506

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pelajaran sejarah. Khusus bidang sejarah, desain kurikulum dari tingkat teori dan content
merupakan kewenangan pemerintah pusat. Ini menunjukkan betapa pentingnya mata
pelajaran sejarah bagi negara tersebut. Sentralisasi kurikulum sejarah sebagai hal yang
wajar agar sejarah bukan merupakan pedang bermata dua atau

bipolar yang

menguntungkan sekaligus merugikan bagi negara, bangsa dan rakyat Inggris. Bagi negara
dengan sejarah yang panjang seperti Inggris, manajemen materi sejarah dimaksudkan agar
keagungan sejarah bangsanya tetap dapat memberi inspirasi dan motivasi kepada
rakyatnya dalam mempertahankan kebesaran bangsanya. Sebaliknya jangan sampai
menciptakan generasi yang melegitimasi konflik dan separatisme, karena secara historis
Britania Raya terdiri berbagai negara yaitu Inggris, Wales, Skotlandia dan Irlandia Utara.
B. Permasalahan Kurikulum Mata Pelajaran Sejarah
Kurikulum sejarah di Indonesia yang bersifat statis perlu dikritisi sekaligus dicari jalan
keluarnya, agar pembelajaran lebih bermakna. Selama ini materi kurikulum dikembangkan
berdasarkan pemikiran peristiwa penting dalam sejarah, dan bukan berdasarkan peristiwa
sejarah apa yang penting bagi siswa. Permasalahan dan kritik terhadap kurikulum sejarah
dalam kajian ini dibagi 4 hal, yakni pertama, mata pelajaran sejarah hanya menekankan
materi/ kognitif-center. Kedua, Kurikulum sejarah di Indonesia, bersifat java centris. Ketiga,
Sejarah didominasi materi perang dan

politik. Keempat, Permasalahan mata pelajaran

sejarah dalam Kurikulum 2013. Tulisan berikut bertujuan melihat mendalam tentang apa
sebenarnya yang terjadi dalam kurikulum sejarah di Indonesia sekaligus mencari solusi
dibalik permasalahan yang ada.

1. Sejarah Fokus pada Kognitif


Sebenarnya, salah satu mata pelajaran pembentuk utama karakter bangsa adalah
mata pelajaran sejarah. Peranan strategis pengajaran sejarah dalam rangka pembangunan
bangsa menuntut suatu penyelenggaran pengajaran sejarah sebagai pemahaman dan
penyadaran, sehingga mampu membangkitkan semangat pengabdian yang tinggi, penuh
rasa tanggung jawab serta kewajiban. Kepekaannya terhadap sejarah akan melahirkan
aspirasi dan inspirasi untuk melaksanakan tugasnya sebagai warga negara (Sartono
Kartodirdjo 1993:258). Peran pendidikan sejarah dalam pembentukan sikap nasionalisme
guna mengantisipasi tantangan global dan berbagai gejolak disintegrasi yang melanda
Indonesia akhir-akhir ini sangat dibutuhkan, hal ini mengingat pengalaman sejarah
membuktikan sikap nasionalisme mampu membangkitkan dinamika sosial di masa lalu.
Sikap nasionalisme yang

dimiliki rakyat Indonesia telah mampu menghantarkan

507

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kemerdekaan bangsa di tengah keterbelakangan pengetahuan rakyat Indonesia dan


kuatnya persenjataan

penjajah,

pendidikan sejarah patut

dalam

kontek

dipertanyakan,

saat

itu.

Namun

saat

ini

peran

sikap nasionalisme yang dimiliki bangsa

menunjukkan kerapuhan. Konflik antar suku dan agama karena perbedaan nilai, dan
upaya beberapa daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia merupakan bukti

bahwa

kesatuan

nasional

masih

rapuh (Ibnu

Hizam:2007:288).
Meskipun pengajaran sejarah telah diberikan pada setiap tingkatan sekolah, namun
sekarang ini sikap nasionalis generasi muda dinilai oleh banyak pihak mengalami
penurunan.

Salah satu masalah yang kita hadapi dewasa ini adalah kemerosotan

patriotisme dan pudarnya rasa kebangsaan. Masalah tersebut erat kaitannya dengan
integritas nasional dan kepribadian nasional. Kepribadian nasional merupakan endapan
refleksi diri yang terus menerus, dari sikap mawas diri dan usaha merenungkan dirinya
sebagai bangsa (Soedjatmoko, 1985 : 10). Strategi pedagogis sejarah Indonesia sangat
lemah. Pendidikan sejarah di sekolah masih berkutat pada pendekatan chronicle dan
cenderung menuntut anak agar menghafal suatu peristiwa. Pengaruh pembelajaran sejarah
nasional masih terus dipertanyakan keberhasilannya, mengingat fenomena kehidupan
berbangsa dan bernegara Indonesia khususnya generasi muda makin hari makin diragukan
eksistensinya. Dengan kenyataan tersebut artinya ada sesuatu yang harus dibenahi dalam
pelaksanaan pendidikan sejarah (Magdalia Alfian, 2007:1-2).
Ketika Orde Baru berkuasa lebih dari 30 tahun dengan sistem pemerintahan represif,
menjadikan pelajaran sejarah sebagai salah satu komiditi untuk meligitimasi kekuasaan.
Imbasnya, official history yang digunakan sebagai rujukan dalam pembelajaran sejarah
sebagai sesuatu hal yang tidak boleh dibantah, apalagi jika terkait masalah sosial-politik
kontemporer dimana para jajaran birokrasi Orde Baru menjadi bagian penting dari pelaku
dan saksi sejarah yang ada. Dalam kekuasaan rezim otoriter di negara manapun di dunia,
pelajaran sejarah menjadi sesuatu yang beku dan menjemukan. Hal ini disebabkan , content
materi didominasi kepentingan kekuasaan. Materi pelajaran hanya berisi fakta, angka tahun,
tempat, tokoh-tokoh serta sesuatu yang bersifat hapalan semata. Doktrinasisi melalui dunia
pendidikan menjadi instrumen penting menciptakan generasi loyalis penguasa yang
bertujuan melanggengkan kekuasaan.
Ketika Orde Baru jatuh, angin segar diharapkan terjadi dalam banyak hal, termasuk
pembelajaran di sekolah . Reformasi memberi peluang luas bagi pengembang kurikulum
khususnya mata pelajaran sejarah, untuk merubah hal yang kaku dan beku menuju
pembelajaran yang dinamis, kreatif dan bermakna tanpa mengurangi nilai-nilai pembelajaran

508

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

yang selalu beririsan dengan tujuan pendidikan, dengan menggabungkan ilmu sejarah dan
nilai-nilai pendidikan. Munculnya era reformasi , yang membawa pengaruh demokrasi di
masyarakat ternyata belum banyak merubah mindset para pengembang kurikulum. Hal ini
tampaknya sebagai bagian dari psikologi comfort zone dan save zone dari para
pengembang kurikulum sejarah. Zona nyaman dan aman yang dilakukan dapat diartikan
sebagai menghindar dari resiko akademis jika harus meninjau ulang kurikulum mata
pelajaran sejarah peninggalan Orde Baru.
Sikap konservatif dalam pembaharuan kurikulum terletak juga pada satuan
pendidikan. Sekolah cenderung konservatif, karena salah satu fungsi yang penting adalah
mengkonversi,memelihara kebudayaan untuk diteruskan kepada generasi muda. Guru pada
umumnya juga berpegang pada tradisi dan pekerjaan rutin. Inovasi dianggap mengandung
hal-hal yang mempersulit pelaksanaannya (S. Nasution,1986: 155). Masa Reformasi
ditandai dengan dua perubahan kurikulum, yakni KBK-KTSP tahun 2006, dan yang terbaru
Kurikulum 2013 secara substansi tetap sama, materi sejarah hanya berisi peristiwa
kronologis yang kental dengan muatan kognitif semata. Di dalamnya memuat materi Sejarah
Nasional dari masa Praaksara (prasejarah) sampai sejarah kontemporer (kekinian).
Demikian juga jika menyangkut sejarah dunia hanya menyangkut kronologi fakta semata.
Menanggapi hal di atas,kita dapat merenungkan pendapat Hamid Hasan yakni
terdapat beberapa pemaknaan terhadap pendidikan sejarah. Pertama, secara tradisional
pendidikan sejarah dimaknai sebagai upaya untuk mentransfer kemegahan bangsa di masa
lampau kepada generasi muda. Dengan posisi yang demikian maka pendidikan sejarah
adalah wahana bagi pewarisan nilai-nilai keunggulan bangsa. Melalui posisi ini pendidikan
sejarah ditujukan untuk membangun kebanggaan bangsa dan pelestarian keunggulan
tersebut. Kedua, pendidikan sejarah berkenaan dengan upaya memperkenalkan peserta
didik terhadap disiplin ilmu sejarah. Oleh karena itu kualitas seperti berpikir kronologis,
pemahaman sejarah, kemampuan analisis dan penafsiran sejarah, kemampuan penelitian
sejarah, kemampuan analisis isu dan pengambilan keputusan (historical issues-analysis and
decision making) menjadi tujuan penting dalam pendidikan sejarah (Hamid Hasan, 2007 : 7).
Makna dari pendidikan sejarah ini, dapat ditafsirkan sebagai keseimbangan antara berbagai
ranah pembelajaran disamping pemahaman materi sejarah , tersampikan pesan yang
terkandung dari

nilai-nilai moral, etika serta nilai lainnya sebagai bagian dari tujuan

mempelajari materi sejarah.


Melihat fenomena di atas, tentunya perlu adanya revolusi kurikulum mata pelajaran
sejarah agar pembelajaran sejarah mempunyai kegunaan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Widja (1988: 49-51) bahwa sejarah mempunyai empat kegunaan yaitu edukatif, inspiratif,

509

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

rekreatif, dan instruktif. Guna edukatif adalah

sejarah memberikan kearifan dan

kebijaksanaan bagi orang yang mempelajarinya. Guna inspiratif terutama berfungsi bagi
usaha menumbuhkan harga diri

dan identitas sebagai suatu bangsa. Guna sejarah

semacam ini sangat berarti dalam rangka pembentukan nation building. Di negara-negara
yang sedang berkembang, guna inspiratif sejarah menjadi bagian yang sangat penting,
terutama dalam upaya menumbuhkan kebanggaan kolektif. Guna rekreatif menunjuk
kepada nilai estetis dari sejarah, terutama kisah yang runtut tentang tokoh dan peristiwa.
Guna

instruktif

adalah

fungsi

sejarah

dalam

menunjang

bidang-bidang

studi

kejuruan/ketrampilan seperti navigasi, teknologi senjata, jurnalistik, taktik militer, dan


sebagainya.Meski sejarah tidak terlepas dari peristiwa kronologis, namun kurikulum selama
ini masih bersifat kaku dengan penonjolan muatan materi berdasar periodisasi.
Secara umum tujuan pembelajaran yaitu instructional effect dan nurturant effect.
Instructional effect yaitu tujuan yang ingin dicapai melalui pembelajaran berbentuk
pengetahuan dan keterampilan. Nurturant effect adalah tujuan pembelajaran sebagai hasil
sampingan seperti berpikir kritis, bersifat terbuka menerima pendapat orang lain, kreatif,
disiplin dan sebagainya. Mata pelajaran sejarah mempunyai spesifikasi tersendiri dalam
domain ilmu sosial, yang membedakan mata pelajaran ini dengan mata pelajaran serumpun
dalam ilmu-ilmu sosial. Selama ini muncul pertentangan yang menonjol sesama ahli ilmu
sosial dalam pendidikan jika dikaitkan paradigma yang ada. Menurut Keller, pelajaran ilmu
sosial seperti ekonomi, sosiologi, antropologi, geografi, antropologi dan sejarah harus
diajarkan menurut struktur dan metode berpikir ilmu sosial. Pendapat ini kurang setuju
apabila nilai-nilai untuk menumbuhkan sikap dan moral masyarakat, dimasukkan kedalam
pendidikan ilmu sosial. Alasannya, nilai-nilai , norma, dan sikap sebagai nurturant effect
(efek samping) saja dan akan datang dengan sendirinya dari pengalaman mempelajari ilmuilmu sosial. Hal ini berbeda dengan sosial studi atau IPS Terpadu, bahan pelajaran ilmu
sosial diintegrasikan dan membentuk disiplin ilmu baru. IPS dalam tingkat sekolah, tidak
sama dengan disiplin ilmu di perguruan tinggi, karena di tingkat sekolah bukan untuk
memahami konsep dan metode berpikir ilmu sosial, melainkan menumbuhkan warga negara
yang baik (Numan Somantri, 2001: 42-43). Jika IPS dikaitkan dengan tujuan untuk
menumbuhkan warga negara yang baik dengan mengintegrasikan mata pelajaran ilmu
sosial, hal ini merupakan bagian dari instructional effect yang memasukkan pembelajaran
nilai dan sikap secara langsung dalam konten materi pelajaran.
Tampaknya, dalam ranah idealis mata pelajaran sejarah di Indonesia dapat
mengambil posisi yang berbeda terhadap perbedaan pendapat tersebut. Sebagai sebuah
mata pelajaran, sejarah tidak dapat dilepas dari struktur dan metode berpikir dalam ilmu

510

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

sejarah. Dengan demikian, pelajaran nilai, norma dan sikap sebagai bagian dari nurturant
effect. Mata Pelajaran Sejarah Indonesia sebagai instrumen pendidikan karakter bangsa dan
dituntut memiliki perspektif kebangsaan, mengembangkan historical thinking untuk
ditransformasikan kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan Sejarah
merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai, pengetahuan dan keterampilan kesejarahan
dari serangkaian peristiwa yang dirancang dan disusun sedemikian rupa.
Dari gambaran tersebut, mata pelajaran sejarah tetap menganggap pelajaran nilai
dan sikap sebagai nurturant effect.

Meskipun demikian, jika menyangkut materi-materi

sejarah yang dapat diintegrasikan dengan pelajaran nilai dan sikap, maka hal tersebut dapat
menjadi bagian dari instructional effect. Aspek moral dan keteladanan juga merupakan nilai
yang amat penting dalam pembelajaran Sejarah Indonesia. Inilah keunikan mata pelajaran
sejarah jika dibandingkan dengan mata pelajaran rumpun ilmu-ilmu sosial lainnya.
Meski demikian, bukan berarti materi sejarah di sekolah ditoleransi untuk
menyimpang demi tujuan internalisasi nilai-nilai kebangsaan dan kemasyarakatan. Untuk hal
ini, perlu memperhatikan pendapat sejarawan Taufik Abdullah bahwa materi pelajaran di
sekolah, sejarah harus menghindarkan hal-hal sebagai berikut : pertama, sejarah sebagai
bahan pelajaran harus dihindarkan pada kecenderungan antikuriat, yaitu kisah masa lalu
dipelajari hanya sekedar pelipur lara atau bahan hafalan yang menjemukan. Kedua,
pelajaran sejarah sebaiknya menjauhkan diri dari keterangan sejarah (historical explanation)
yang ideologis tanpa pertanggungjawaban yang rasional (Taufik Abdullah 1996:11).
Dalam ranah penerapan kurikulum sejarah, merubah mindset pembelajaran di
Indonesia tidaklah mudah. Selama ini hampir semua materi mata pelajaran dalam setiap
kurikulum di Indonesia, menonjolkan kognitif dan bersandar kepada instructional effect.
Tampaknya hal ini bagian dari perjalanan sejarah kurikulum itu sendiri. Pascakonflik politik
internal di Indonesia, puncaknya peristiwa G-30-S/PKI muncul pemerintahan Orde Baru.
Pemerintahan baru ini menerapkan Kurikulum 1975 dengan mengedepankan Pancasila
sebagai ideologi , falsafat bangsa, mengedepankan persatuan bangsa, memahami
keanekaragaman budaya, serta karakter-karakter yang perlu dikembangkan dalam
masyarakat. Hal ini sebagai suatu yang sangat positif dalam menghadapi potensi tantangan
bangsa berikutnya.
Ciri yang menonjol dari pengetahuan materi dalam Kurikulum 1975 adalah
pengembangan dimensi nilai berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Sapriya, 2009:42). Hal
ini berubah tujuan pendidikan nasional di masa pemerintahan Soekarno yaitu melahirkan
warga-warga sosialis Indonesia yang susila, bertanggungjawab atas terselenggaranya
masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik spritual maupun material dan yang

511

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

berjiwa Pancasila. Sebelumnya PKI berhasl melakukan infiltrasi dalam pendidikan nasional,
untuk menjauhkan materi spiritual yakni mata pelajaran agama dalam kurikulum pendidikan.
Hal ini terkait Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 pasal 2 ayat 3.......murid-murid berhak
tidak ikut (pelajaran agama) serta apabila wali murid dewasa menyatakan keberatannya.....
Namun intervensi komunisme dengan segera dapat diatasi melalui Ketetapan MPRS RI N0.
XXVII/MPRS/1960 Bab. I tentang agama , pasal 1, dengan kalimat Menetapkan
Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran di sekolah dari Sekolah Dasar sampai
universitas.
Namun dalam ranah implementasi kurikulum di pemerintahan Orde Baru tampaknya
terjadi misunderstanding terhadap frame kurikulum yang berkaitan dengan ranah sikap.
Orde Baru diwarnai semangat serba Pancasila, semangat ini ditekankan dalam bidang
politik

maupun

pendidikan.

Mata

Pelajaran

Pendidikan

Moral

Pancasila

(PMP)

mempengaruhi kenaikan kelas atau kelulusan sekolah ( Abd. Rachman Assegaf, 2005:86).
Dalam pelaksanaan kurikulum, terjadi pemahaman yang keliru terhadap ranah sikap,
seolah-olah dalam hal sikap spiritual dan sikap sosial, merupakan domain mata pelajaran
agama dan PMP. Mata pelajaran lainnya, termasuk guru-guru sejarah berpandangan bahwa
mereka hanya menyajikan kognitif dan psikomotorik. Pemahaman semacam ini telah
mendarah daging selama kurikulum Orde Baru dari

Kurikulum 1975 sampai Kurikulum

1994.
Sementara kurikulum di era reformasi yaitu Kurikulum 2006 dan KTSP juga kurang
menekankan aspek sikap dalam implementasi pendidikan dalam pembelajaran di sekolah.
Dalam kurikulum ini proses pembelajaran selalu berusaha memenuhi target, yakni
ketercapaian Kompetensi Dasar (KD) yang dikaitkan dengan materi pelajaran. Sebenarnya
para guru berusaha memperhatikan keseimbangan ranah yakni kognitif, afektif dan
psikomotor. Usaha tersebut seringkali dibatasi beban materi yang telah digariskan dalam
kurikulum. Pada akhirnya konsentrasi guru dan siswa hanya terfokus pada ranah kognitif
saja. Permasalahan tersebut terulang dan berulang meski kurikulum pendidikan dasar dan
menengah di Indonesia telah beberapa kali berganti.
2. Sejarah yang Jawa Sentris
Salah satu kritik tajam pembelajaran sejarah Indonesia adanya eksplotasi materi
yang Jawa Sentris. Kritikan ini disebabkan Sejarah Indonesia sangat identik dengan
sejarah di Jawa menyangkut

periodisasi zaman praaksara sampai sejarah Indonesia

kontemporer, dari masa dahulu sampai saat ini. Kritik semacam ini banyak diungkapkan
para pendidik sejarah, terutama para guru di luar Jawa yang sering mendapat pertanyaan

512

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kritis siswanya, mengapa yang diajarkan guru dan materi yang terdapat di buku pelajaran
sejarah, didominasi oleh sejarah Jawa saja. Jika demikian, siswa di luar Jawa tentunya
menjadi kehilangan sejarah di daerahnya masing-masing. Melihat fakta demikian,
bagaimana jawaban dan solusinya?.
Sejarawan pada umumnya tertarik pada peristiwa-peristiwa yang mempunyai arti
istimewa. Untuk itu, Reiner (1997:99) membedakan apa yang disebut occurrence dengan
event. Occurrence menunjuk pada peristiwa biasa, sedangkan event merupakan peristiwa
istimewa. Ada pula yang menggunakan istilah kejadian non historis untuk peristiwa biasa,
dan kejadian historis untuk peristiwa istimewa (Widja, 1988: 18). Terkadang batas antara
peristiwa biasa dan peristiwa istimewa bersifat subyektif, tergantung dari sudut pandang
masyarakat dan tentunya sejarawan. Hal ini disebabkan sering kali adanya keterkaitan
antara peristiwa biasa dan istimewa, sebagai bagian dari rekonstruksi yang utuh tentang
peristiwa masa lampau.
Terlepas adanya dikotomi tentang peristiwa tersebut, faktanya Jawa secara
geografis dan etnis menjadi bagian penting dari sejarah di Nusantara. Secara kronologis,
dimulai pada era prasejarah, penemuan situs manusia purba di Nusantara berada di Pulau
Jawa, demikian juga sesudahnya. Meski berakhirnya prasejarah di Nusantara ditandai
penemuan Prasasti Yupa dari Kerajaan Kutai yang bercorak Hindu di wilayah Kalimantan,
ataupun munculnya pengaruh Islam pertama di Nusantara berada di Sumatera, dengan
adanya Perlak dan Samudera Pasai, namun dalam perkembangan sejarah di Nusantara
yang menyangkut segala periodisasi sejarah di Indonesia, Jawa sebagai pusat dari fakta
dan peristiwa sejarah itu sendiri.
Selanjutnya

di

masa kolonilaisme-imperialisme,

pergerakan

nasional,

masa

kemerdekaan dan sesudahnya sampai sejarah kontemporer episentrum fakta dan peristiwa
sejarah tidak bergeser dari Jawa. Jika membicarakan prasejarah di Indonesia, fakta tidak
dapat dibantah bahwa situs-situs Sangiran, Trinil, Wajak, Pacitan dan lainnya memang
berada di Jawa. Selanjutnya jika berbicara fakta sejarah Hindu-Budha, banyak peninggalan
besar kerajaan seperti Borobudur, Prambanan, Mataram Kuno, Majapahit. Hal seperti ini
akan berlanjut sebagaimana periodisasi dalam sejarah Indonesia, kronologis peristiwa
terkait dalam wilayah yang sama yaitu Pulau Jawa.
Dari fakta di atas, pandangan bahwa sejarah Indonesia cenderung jawa sentris
sebagai hal yang tidak terbantahkan. Namun membagi sejarah dalam ranah pemerataan,
agar sejarah daerah lain juga dipaksa diungkap, akan menyalahi makna dan hakekat ilmu
sejarah itu sendiri. Namun sebenarnya ada solusi yang dapat digunakan dalam memahami
permasalahan tersebut, yakni sejarah lokal. Adapun ruang lingkup sejarah lokal ialah

513

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

keseluruhan lingkungan sekitar yang bisa berupa kesatuan wilayah seperti desa,
kecamatan, kabupaten, kota, atau kesatuan wilayah lain seukuran itu beserta unsur-unsur
institusi sosial dan budaya yang berada lingkungan tersebut, seperti: keluarga, pola
pemukiman, mobilitas penduduk, kegotong-royongan, pasar, teknologi pertanian, lembaga
pemerintahan setempat, monumen, perkumpulan kesenian, dan lain-lain (Widja, 1991:1415).
Jika Sejarah Nasional memuat berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di suatu
tempat di wilayah Nusantara dan memiliki pengaruh terhadap kehidupan kebangsaan maka
Sejarah Lokal adalah suatu peristiwa sejarah yang terjadi di suatu tempat di wilayah
Nusantara dan memiliki pengaruh hanya di wilayah tersebut. Hal ini diperkuat dalam
Permendikbud no 59 tahun 2014 lampiran III Umum, bahwa Mata pelajaran Sejarah
Indonesia dikembangkan atas dasar : a. Semua wilayah/daerah memiliki kontribusi terhadap
perjalanan Sejarah Indonesia hampir pada seluruh periode sejarah; b. Pemahaman tentang
masa lampau sebagai sumber inspirasi, motivasi, dan kekuatan untuk membangun
semangat kebangsaan dan persatuan; c. Setiap periode Sejarah Indonesia memiliki
peristiwa dan atau tokoh di tingkat nasional dan daerah serta keduanya memiliki kedudukan
yang sama penting dalam perjalanan Sejarah Indonesia.
Dalam Permendikbud no 59 tahun 2014 lampiran III Peminatan dijelaskan Beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran Sejarah di SMA/MA adalah: Pertama.
Pembelajaran Sejarah didasarkan atas kesinambungan apa yang terjadi di masa lampau
dengan kehidupan masa kini, antara peristiwa sejarah tingkat nasional dan tingkat lokal, dan
pemahaman peristiwa sejarah di tingkat lokal berdasarkan keutuhan suatu peristiwa sejarah.
Kedua. Dalam mengembangkan pemahaman mengenai kesinambungan antara apa yang
terjadi di masa lampau dengan kehidupan masa kini, dalam tugas untuk setiap periode
sejarah peserta didik diarahkan agar mampu menemukan peninggalan fisik (terutama
artefak) dan peninggalan abstrak (tradisi, pikiran, pandangan hidup, nilai, kebiasaan) di
masyarakat yang diwarisi dari peristiwa sejarah pada suatu periode. Ketiga. Dalam
mengembangkan keterkaitan antara peristiwa sejarah di tingkat nasional dan tingkat lokal,
dalam tugas setiap peserta didik diarahkan untuk mengkaji peristiwa sejarah di daerahnya,
terutama peristiwa sejarah sejak masa pergerakan nasional, dan membuat analisis
mengenai keterkaitan dan sumbangan peristiwa tersebut terhadap peristiwa yang terjadi di
tingkat nasional.
Tampaknya dengan penjelasan demikian, dikotomi permasalahan pembelajaran
sejarah sudah dapat diatasi. Namun permasalahan ini sebenarnya baru diselesaikan dalam

514

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kerangka besarnya saja. Berhasil tidaknya implementasi permasalahan ini, tergantung dari
guru-guru sejarah di lapangan, untuk berani mengembangkan materi pembelajaran, dan
tidak hanya bersandar buku-buku teks yang sudah ada. Jika buku-buku teks menjadi acuan
total dalam pembelajaran sejarah, maka roh sejarah lokal akan mati suri. Hal ini disebabkan
buku teks dirancang untuk pembelajaran sejarah dengan wilayah nasional.
Suatu catatan penting adalah materi sejarah lokal harus pula disajikan tidak dalam
perspektif ilmu sejarah tetapi dalam perspektif pendidikan. Oleh karena itu keterkaitan dan
penafsiran materi sejarah lokal jangan sampai menimbulkan konflik dengan kepentingan
sejarah nasional dan upaya membangun rasa persatuan, perasaan kebangsaan, dan
kerjasama antar daerah dalam membangun kehidupan kebangsaan yang sehat, cinta
damai, toleransi, penuh dinamika, kemampuan berkompetisi dan berkomunikasi. Arah
tafsiran sejarah lokal ditentukan dalam bentuk keterkaitan dengan sejarah nasional.
Kehidupan individual yang bukan menjadi kepedulian utama sejarah tetapi menjadi penting
bagi pendidikan sejarah diperlukan dalam membangun berbagai nilai positif pada diri
peserta didik. Ruang lingkup tema sejarah juga beragam dan tidak dibatasi pada tema
sejarah politik memberikan gambaran kehidupan masyarakat dan tokoh secara utuh dan
bagi peserta didik sebagai sesuatu yang isomorphic dengan apa yang mereka alami seharihari.
Posisi materi sejarah lokal yaitu peristiwa sejarah lokal tidak lagi sebagai sumber
semata tetapi juga menjadi objek studi sejarah peserta didik. Dalam kesempatan inilah
mereka belajar mengembangkan wawasan, pemahaman, dan ketrampilan sejarah. Mereka
dapat berhubungan langsung dengan sumber asli dan mengkaji sumber asli dalam suatu
proses penelitian sejarah. Mereka dapat melatih diri dalam penafsiran sejarah dan kalau pun
terjadi berbagai perbedaan di antar mereka maka itu akan memiliki nilai pendidikan yang
sangat tinggi. Lagipula, para sejarawan tidak pernah memiliki suatu pandangan dan tafsiran
yang sama terhadap suatu peristiwa sejarah.
Permasalahan besar yang dihadapi dalam mengembangkan materi sejarah lokal
dalam kurikulum pendidikan sejarah adalah ketersediaan sumber. Pendidikan sejarah,
sebagaimana pendidikan lainnya, tidak mungkin dapat dilakukan dengan baik apabila
sumber tidak tersedia. Tulisan- tulisan mengenai berbagai peristiwa sejarah lokal belum
banyak tersedia. Tentu saja ini tantangan bagi sejarawan dan guru sejarah untuk dapat
menghasilkan tulisan sejarah lokal sebagai dasar untuk mengembangkan materi pendidikan
sejarah lokal.

515

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

3. Sejarah Fokus pada Politik dan Perang


Dalam sejarahnya, historiografi atau penulisan sejarah sejak zaman Herodotus
hanya bersifat naratif atau kronologis peristiwa. Penulisan sejarah seperti ini kurang
mendapat tempat di dalam ranah ilmiah karena data yang digunakan untuk penulisan
kurang bisa dipertanggungjawabkan. Penulisan sejarah modern abad ke-19 adalah Leopold
von Ranke dengan pendekatan penulisan sejarah yang ilmiah. Model penulisan sejarah
modern yang dimaksud adalah model penulisan sejarah methodique, yang hanya fokus
kepada kejadian politik (perang) dan orang-orang terkenal, Thomas Cartyle dengan the
great man theory-nya berpendapat bahwa, the great man dominates all history.
Fokus politik dan orang besar sebagai hal wajar di era itu, karena tidak semua
masa lalu sebagai kajian sejarah. Masa lalu yang menonjol dan berpengaruhlah yang
akhirnya akan menjadi fokus dalam penelitian sejarah. Hal ini diperkuat, ketika masyarakat
pada umumnya lebih tertarik membahas politik, kekuasaan dan tokoh. Hal ini berakibat
sejarah lainnya seperti sejarah sosial, budaya, pendidikan, perekonomian tersingkirkan dari
aliaran sejarah ini. Namun aliran penulisan sejarah methodique mendapat kritik tajam
karena hanya menyembah hal-hal seperti sejarah politik, perang dan kekuasan, serta the
great man theory (teori orang-orang besar).
Dalam abad ke-20, muncul aliran baru yang tidak hanya menekankan fokus kajian
sejarah pada politik, perang dan tokoh dengan lahirnya aliran Les Annales di Perancis. Ciri
khas dari sejarawan abad ke-20 adalah orientasi mereka kepada ilmu sosial lain dalam
melakukan pendekatan-pendekatan ilmiah terhadap sejarah dengan tidak mengabaikan
batasan-batasan dari pendekatan tersebut. Hal ini merupakan hantaman keras terhadap
sejarawan dengan model penulisan methodique yang hanya berkecimpung di dalam sejarah
politik kronologis dan orang-orang terkenal di dalamnya. Aliran Les Annales menggunakan
metodologi struktural dalam dasar setiap penelitiannya, dan menurut aliran Les Annales
sejarah tidak hanya menyoroti tokoh-tokoh ternama, tetapi juga mencakup seluruh lapisan
masyarakat yang tergabung ke dalam struktur tertentu. Aliran ini membuka cakrawala dalam
penelitian sejarah yang lebih terbuka pada bidang lain sebagai bagian dari sejarah itu
sendiri.
Dalam penerapannya, antarnegara satu dengan lainnya tidak mungkin sama
membandingkan model penulisan methodique dan aliran Les Annales. Di negara-negara
yang secara politik telah mapan seperti Inggris, Perancis, Amerika Serikat dan lainnya maka
intrik-intrik politik bukan sesuatu yang menonjol. Persoalan sosial, ekonomi, pendidikan

516

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

menjadi suatu kajian penting sehingga kajian sejarah di negara maju lebih bervariasi.
Sebaliknya, di negara berkembang, termasuk Indonesia permasalahan kekuasaan, politik
dan tokoh masih menjadi sesuatu yang seksi untuk dibahas. Keseksian masalah politik,
kekuasaan, perang dan tokoh masih mendominasi kajian sejarah sampai saat ini. Hal inilah
menjadikan sejarah dengan topik lain masih kurang diperhatikan. Sebagai referensi dapat
dibandingkan, materi

sejarah dalam pembelajaran di

Perancis berisi tentang masalah

sejarah buruh dan dinamikanya. Ini menunjukkan pengembangan kurikulum sejarah di


Perancis

bersifat

multidimensional.

Dalam

membahas

Revolusi

Perancis

dalam

perkembangan pembelajaran tidak hanya menitikberatkan bidang politik dan kekuasaan


saja, namun juga terkait masalah sosial. Buruh sangat berperan dalam revolusi tersebut,
dan tetap menjadi kajian penelitian sejarah di Perancis dalam sejarah kontemporernya. Hal
inilah yang menempatkan kajian masalah buruh menjadi salah satu materi pembelajaran
sejarah di Perancis.
Sebaliknya, sejarawan di Indonesia belum maksimal melakukan penelitian di luar
masalah politik, perang, serta tokoh berdampak dalam proses pembelajaran khususnya
materi sejarah di sekolah. Sejarawan sebagai hulu materi sejarah, berdampak pada hilir
dalam hal ini guru-guru di lapangan. Bahkan para perancang kurikulum, secara materi
pembelajaran sangat tergantung hasil penelitian sejarawan. Jika hasil penulisan non-politik
masih minim, berdampak pada rancangan kurikulum sejarah. Permasalahan ini dapat diatasi
jika dalam penelitian sejarah Indonesia menekankan pada pendekatan multidisipliner.
Kedudukan sejarah dan ilmu-ilmu sosial (bahasa, geografi, ekonomi, sosiologi, ilmu politik,
antropologi) adalah saling memerlukan dan saling memberikan kontribusi. Dalam hal ini,
penelitian dan penulisan sejarah senantiasa memerlukan bahasa sebagai sarana primer
untuk mengungkapkan data, analisis, dan kesimpulan yang terkait dengan seluruh aspek
yang terkait dengan manusia dan waktunya. Jika permasalahan ini dapat dilakukan,
pandangan yang mengatakan bahwa sejarah di Indonesia didominasi perang dan
kekuasaan, dengan sendirinya akan bergeser ke sejarah yang lebih variatif atau tematis.
4. Permasalahan Mata Pelajaran Sejarah dalam Kurikulum 2013
Sebelum membahas materi sejarah dalam Kurikulum 2013, perlu kiranya dibahas
model-model pembelajaran sejarah yang digunakan di negara lain. Hal ini dapat
dibandingkan dengan penggunaan metode dan model pembelajaran sejarah di luar negeri.
Steele (dalam Isjoni, 2007:98) menjabarkan strategi belajar mengajar sejarah, yaitu 1. Model
kronologis, 2. Model tematis,3. Model garis perkembangan khusus, 4. Model regresi. Model
kronologis merupakan model yang umum dalam pembelajaran sejarah dengan implementasi

517

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

sejalan esensi pokok sejarah sebagai evolusi dan proses berkelanjutan. Model tematis
adalah model pembelajaran sejarah untuk mengembangkan pengertian mendalam periode
tertentu peristiwa sejarah, dilaksanakan dengan memilih tema-tema menarik, kontekstual,
dan aktual dikaji secara interdisipliner dengan multidimensional approach. Model garis
perkembangan khusus adalah model yang berangkat dari perpaduan model kronologid dan
tematis. Kronologis menjadi fokus utama dengan memperhatikan aspek-aspek tertentu, unik
dan strategis dari peristiwa sejarah. Model garis perkembangan khusus ini menelusuri
beberapa aspek khusus yang menarik saja dalam kehidupan. Model regresif kebalikan
model garis besar kronologis, dengan memanfaatkan situasi sekarang sebagai langkah awal
pengkajian sejarah. Permasalahan masa kini dikaji berdasarkan perspektif sejarah sebagai
background.
Dalam pembelajaran sejarah di Indonesia selama ini termasuk Kurikulum 2013,
fokusnya pada model kronologis semata. Pembelajaran sejarah akan menarik jika
mengunakan model lainnya berdasar karakter materi sehingga dapat menerapkan model
lainnya. Hal ini perlu dikritisi dan kemudian dievaluasi dan diubah.Variasi model
pembelajaran ini sangat penting agar pembelajaran sejarah lebih hidup, bermakna dan
kontektual.
Kurikulum

2013

muncul

Sejarah

Indonesia

(wajib/umum)

dan

Sejarah

(Peminatan)untuk SMA, namun hal tersebut juga perlu dikritisi dari sisi content yang
dikaitkan dengan tujuan pembelajaran sejarah.

Hal ini disebabkan peranan pendidikan

sejarah sebagai landasan utama penanaman nilai-nilai yang digunakan membentuk


identitas nasional, belum dilakukan secara maksimal dalam kurikulum ini. Berikut kita
bandingkan content Sejarah Indonesia dan Sejarah (peminatan) dalam Kurikulum 2013.

Sejarah Indonesia (Umum) Kelas X

KOMPETENSI INTI
1. Menghayati
dan
mengamalkan ajaran
agama
yang
dianutnya

KOMPETENSI DASAR

1.1.

1.2.
(K.I. 1 /Sikap
Spiritual)

Sejarah (Peminatan) Kelas X

Menghayati keteladanan
para pemimpin dalam
mengamalkan ajaran
agamanya.
Menghayati keteladanan
para pemimpin dalam
toleransi antar umat
beragama dan
mengamalkannya dalam
kehidupan sehari-hari

518

KOMPETENSI INTI
1. Menghayati dan
mengamalkan ajaran
agama yang
dianutnya
(K.I. 1 /Sikap
Spiritual)

KOMPETENSI
DASAR
1.1 Menghayati
proses
kelahiran
manusia
Indonesia
dengan rasa
bersyukur.
1.2 Menghayati
keteladanan
para pemimpin
dalam
mengamalkan

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sejarah Indonesia (Umum) Kelas X

KOMPETENSI INTI

Sejarah (Peminatan) Kelas X

KOMPETENSI DASAR

KOMPETENSI INTI

KOMPETENSI
DASAR
ajaran
agamanya.

2. Mengembangkan
perilaku (jujur, disiplin,
tanggung
jawab,
peduli, santun, ramah
lingkungan,
gotong
royong,
kerjasama,
cinta damai, responsif
dan pro-aktif) dan
menunjukan
sikap
sebagai bagian dari
solusi atas berbagai
permasalahan bangsa
dalam
berinteraksi
secara efektif dengan
lingkungan sosial dan
alam serta dalam
menempatkan
diri
sebagai
cerminan
bangsa
dalam
pergaulan dunia.

2.1.

2.2.

2.3.

Menunjukkan sikap
tanggung jawab, peduli
terhadap berbagai hasil
budaya pada zaman pra
aksara, Hindu-Buddha
dan Islam.
Meneladani sikap dan
tindakan cinta damai,
responsif dan pro aktif
yang ditunjukkan oleh
tokoh sejarah dalam
mengatasi masalah
sosial dan
lingkungannya.
Berlaku jujur dan
bertanggungjawab
dalam mengerjakan
tugas-tugas dari
pembelajaran sejarah.

2.Menghayati
dan
mengamalkan perilaku
jujur, disiplin, tanggung
jawab, peduli (gotong
royong,
kerjasama,
toleran, damai), santun,
responsif dan pro-aktif
dan menunjukkan sikap
sebagai bagian dari
solusi atas berbagai
permasalahan dalam
berinteraksi
secara
efektif
dengan
lingkungan sosial dan
alam
serta
dalam
menempatkan
diri
sebagai
cerminan
bangsa
dalam
pergaulan dunia.
(K.I. 2/Sikap Sosial)

(K.I. 2/Sikap Sosial)

3. Memahami,
menerapkan,
dan
menganalisispengeta
huan
faktual,
konseptual,
proseduraldalamilmu
pengetahuan,
teknologi,
seni,
budaya,
dan
humaniora
dengan
wawasan
kemanusiaan,
kebangsaan,
kenegaraan,
dan
peradaban
terkait
fenomena
dan
kejadian,
serta
menerapkan

3.1.

3.2.
3.3.

3.4.

Memahami dan
menerapkan konsep
berpikir kronologis
(diakronik), sinkronik,
ruangdan waktu dalam
sejarah.
Memahami corak
kehidupan masyarakat
pada zaman praaksara.
Menganalisis asal-usul
nenek moyang bangsa
Indonesia (Proto,
Deutero Melayu dan
Melanesoid).
Menganalisis
berdasarkan tipologi
hasil budaya Praaksara
Indonesia termasuk yang

519

3. Memahami
,menerapkan,
menganalisis
pengetahuan faktual,
konseptual, prosedural
berdasarkan rasa
ingintahunya tentang
ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, budaya,
dan humaniora dengan
wawasan
kemanusiaan,
kebangsaan,
kenegaraan, dan
peradaban terkait
penyebab fenomena
dan kejadian, serta
menerapkan
pengetahuan

2.1 Menunjukkan
sikap tanggung
jawab, peduli
terhadap
berbagai hasil
budaya zaman
praaksara,
Hindu-Buddha
dan Islam.
2.2 Meneladani
sikap dan
tindakan cinta
damai,
responsif dan
pro aktif yang
ditunjukkan
oleh tokoh
sejarah dalam
mengatasi
masalah sosial
dan
lingkungannya.
2.3 Berlaku jujur
dan
bertanggungjaw
ab dalam
mengerjakan
tugas-tugas
dari
pembelajaran
sejarah.
Manusia dan
Sejarah
3.1 Menganalisis
keterkaitan
konsep
manusia hidup
dalam ruang
dan waktu.
3.2 Menganalisis
konsep
manusia hidup
dalam
perubahan dan
keberlanjutan.
3.3 Menganalis
keterkaitan
peristiwa
Sejarah tentang
manusia di

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sejarah Indonesia (Umum) Kelas X

KOMPETENSI INTI

Sejarah (Peminatan) Kelas X

KOMPETENSI DASAR

pengetahuan
prosedural
pada
bidang kajian yang
spesifik
sesuai
dengan bakat dan
minatnya
untuk
memecahkan
masalah.
(K.I. 3/Pengetahuan)

berada di lingkungan
terdekat.
......dan seterusnya

KOMPETENSI INTI
prosedural pada bidang
kajian yang spesifik
sesuai dengan bakat
dan minatnya untuk
memecahkan masalah
(K.I. 3/Pengetahuan)

KOMPETENSI
DASAR
masa lalu untuk
kehidupan
masa kini.
Sejarah Sebagai
Ilmu
3.4 Menganalisis
ilmu sejarah.
.....dan seterusnya

4.

Mengolah, menalar,
dan menyaji dalam
ranah konkret dan
ranah abstrak terkait
dengan
pengembangan dari
yang dipelajarinya di
sekolah secara
mandiri, dan mampu
menggunakan
metoda sesuai
kaidah keilmuan.
(K.I. 4/Ketrampilan)

4.1.

4.2.

Menyajikan informasi
mengenai keterkaitan
antara konsep berpikir
kronologis
(diakronik),sinkronik,
ruang dan waktu dalam
sejarah.
Menyajikan hasil
penalaran mengenai
corak kehidupan
masyarakat pada zaman
praaksara dalam bentuk
tulisan.
........dan seterusnya

4. Mengolah, menalar,
dan menyaji dalam
ranah konkret dan
ranah abstrak terkait
dengan
pengembangan dari
yang dipelajarinya di
sekolah secara
mandiri, dan mampu
menggunakan metoda
sesuai kaidah keilmuan
(K.I. 4/Ketrampilan)

4.1 Menyajikan
hasil kajian
tentang konsep
manusia hidup
dalam ruang
dan waktu,
dalam berbagai
bentuk
komunikasi.
4.2 Menyajikan
hasil telaah
tentang konsep
bahwa manusia
hidup dalam
perubahan dan
keberlanjutan,
dalam berbagai
bentuk
komunikasi.
........dan
seterusnya

Sebelum mengupas hal di atas, terlebih dahulu kita merenung kembali pendapat
Sartono Kartodirdjo bahwa fungsi didaktis pengetahuan sejarah ialah agar generasi yang
berikut dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari pengalaman nenek moyangnya. Lagi
pula, agar suri tauladan mereka dapat menjadi model bagi keturunannya. Sejarah dianggap
sebagai perbendaharaan kebijaksanaan nenek moyang, termasuk nilai-nilainya. Selama ini,
dalam pembelajaran sejarah materi kurikulum dikembangkan berdasarkan pemikiran
peristiwa penting dalam sejarah, dan bukan berdasarkan peristiwa sejarah apa yang penting
bagi siswa.
Sebelum membahas materi atau pengetahuan sejarah, kita melihat Kerangka Dasar
dari Kerangka Inti 1 dan 2 untuk SMA/SMK kelas X (Sejarah Umum) dan Sejarah
(Peminatan) . Bagi pengembangan sejarah, Kerangka Dasar 1 dan 2 (Sikap Spiritual dan
Sosial) terlalu dangkal dan membatasi kebebasan dalam mengeksplore fakta sejarah yang

520

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dikaitkan dengan permasalahan nilai spiritual dan sosial. Sikap Spiritual dan Sosial dalam
Kerangka Dasar di Mata Pelajaran Sejarah, perlu diperluas dan bersifat fleksibel. Hal ini
penting agar pembelajaran sejarah yang menyangkut afektif lebih variatif , sinkron dan
kontektual dengan materi kognitif yang diajarkan. Jika Kerangka Dasar Sikap Spiritual dan
Sosial bersifat dangkal seperti dalam Kurikulum 2013 tersebut, maka guru akan terpaku
pada yang tertulis dalam ranah afektif bahkan cenderung pada pemahaman afektif yang
dikognitifkan.
Selain itu, sistem evaluasi atau penilaian dalam Kurikulum 2013 untuk sikap spiritual
dan sosial sebagai sebuah penilaian yang ambigu. Kurikulum 2013 mempersyaratkan
penggunaan penilaian autentik (authentic assesment) termasuk dalam penilaian sikap
dengan menggunakan instrumen observasi, penialaian diri,

peer assessment , penilaian

jurnal yang kemudian dituangkan dalam rapor siswa. Penilaian ranah afektif tidaklah
sesederhana sebagaimana dalam kurikulum baru tersebut. Siswa dalam ranah sikap yang
bersifat abstrak tidak dapat dievaluasi dan dinilai dengan cara sempit. Jika demikian, sikap
spiritual seperti taat beribadah, pandai bersyukur serta sikap sosial kerja sama , berdisiplin,
menghargai pendapat orang lain serta hal-hal lainnya, tumbuh dan berkembang hanya
karena keterpaksaan sebagai akibat dari penilaian

guru dan satuan pendidikan .

Pembentukan sikap spiritual dan sosial dalam Kurikulum 2013 bukan melalui hal yang alami
dan berdasar kesadaran. Jika model penilaian semacam ini diterapkan, dalam jangka waktu
tertentu akan membentuk generasi bangsa berkarakter hipokrit atau munafik.
Selanjutnya, Kerangka Dasar menyangkut materi pengetahuan bisa dianalisis bahwa
hal ini sebagai pengulangan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya yang lebih menekankan
penguasaan materi tanpa memperhatikan nilai-nilai tertentu yang ada dalam setiap materi
sejarah. Terlepas adanya kontroversi implementasi

Kurikulum 2013 , harus diakui jika

kurikulum ini berusaha merubah mindset pembelajaran yang sebelumnya menekankan


domain kognitif , dirubah dengan pemerataan ranah yang lainnya. Kurikulum 2013
menggunakan modus pembelajaran langsung (direct instructional) dan tidak langsung
(indirect instructional). Pembelajaran langsung adalah pembelajaran yang mengembangkan
pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan menggunakan pengetahuan peserta
didik melalui interaksi langsung dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan
RPP. Dalam pembelajaran langsung menggunakan pendekatan saintifik, peserta didik
melakukan

kegiatan

mengamati,

menanya,

mengumpulkan

informasi/mencoba,

menalar/mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Pembelajaran langsung menghasilkan


pengetahuan dan keterampilan langsung, yang disebut dengan dampak pembelajaran
(instructional effect). Pembelajaran tidak langsung adalah pembelajaran yang terjadi selama

521

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

proses pembelajaran langsung yang dikondisikan menghasilkan dampak pengiring


(nurturant effect). Pembelajaran tidak langsung berkenaan dengan pengembangan nilai dan
sikap yang terkandung dalam KI-1 dan KI-2.
Namun, kendala utama yang dialami para praktisi pendidikan untuk melakukan
dampak pengiring (nurturant effect), terlalu beratnya beban kognitif yang harus sampaikan
kepada siswa, karena masih menggunakan pola model kronologis dalam pembelajaran
sejarah. Model kronologis dalam pembelajaran sejarah lebih sesuai diterapkan untuk mata
pelajaran Sejarah Umum (Peminatan), karena siswa berusaha mendalami fakta-fakta
sejarah sebagai bagian dari ilmu sejarah. Sebaliknya jika menyangkut mata pelajaran
Sejarah Indonesia (Umum), yang didalamnya muncul sejarah dalam ranah pendidikan
dengan tujuan bukan hanya kemampuan intelektualitas saja tetapi lebih menekankan
kepada tiga ranah secara merata yaitu kognitif, afektif dan psikomotor . Berkaitan dengan
itulah, disamping di sekolah diajarkan ilmu-ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan dan
ketrampilan, maka dilengkapi juga dengan pengetahuan yang mampu membentuk sikap dan
mentalitas. Terkait dengan hal tersebut, pembelajaran sejarah untuk mata pelejaran Sejarah
Indonesia (Umum) dalam Kurikulum 2013 tidak menggunakan model kronologis, namun
menggunakan model-model lainnya seperti model tematis, model garis perkembangan
khusus, dan model regresi.
Ilmu sejarah adalah ilmu yang menyelidiki dan menceritakan peristiwa-peristiwa
dalam waktu dan ruang yang dihubungkan dengan perkembangan aktivitas manusia.
Sementara itu,

pendidikan sejarah yang merupakan pembelajaran sejarah di sekolah,

mengungkap fakta sejarah secara lebih bijak. Untuk menghindari materi sejarah berfokus
pada kognitif, perlu keberanian guru dalam menyajikan pembelajaran nilai dalam sejarah
serta penerapan nurturant effect. Pembelajaran sejarah di Indonesia juga perlu
mengembangkan sejarah lokal agar nilai-nilai local historis menjadikan siswa merasa
memiliki sejarah yang paling dekat dengan lingkungannya. Tantangan dari sejarah lokal
karena kajian sejarah lokal belum merata di semua daerah di Indonesia. Hal ini dapat diatasi
jika mulai saat ini kajian dan penelitian sejarah lokal dapat dikembangkan untuk mengiringi
materi sejarah nasional.
Di samping itu perlu adanya pendekatan multidimensional dalam penelitian sejarah.
Hal ini dimaksudkan agar kajian sejarah tidak didominasi politik , kekuasaan dan perang.
Variasi dalam penelitain sejarah seperti sejarah ketatanegaraan, sejarah sosial, sejarah
kebudayaan, sejarah perokonomian serta sejarah dalam dimensi lainnya akan menambah
khasanah materi sejarah di sekolah. Jika demikain, kritik terhadap materi sejarah yang
berfokus pada perang, akan bergeser bahwa sejarah berisi materi komplek yang tidak

522

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

menjemukan bagi siswa namun sangat berguna bagi perkembangan dan masa depan siswa
itu sendiri.
Selanjutnya, pendekatan saintifik dalam Kurikulum 2013 dengan tahap-tahap
kegiatan yang bertujuan menerapkan student center, sangat menarik dalam proses kegiatan
belajar mengajar. Namun pendekatan tersebut mempunyai beberapa kendala, karena tidak
semua materi mata pelajaran dapat diterapkan dengan pendekatan saintifik. Semua sangat
tergantung dari spesifikasi mata pelajaran, dan lebih khusus lagi spesifikasi materi yang
diajarkan ke siswa. Pendekatan saintifik telah merubah paradigma pembelajaran selama ini
menyangkut

pendekatan

pembelajaran,

strategi

pembelajaran,

model

dan

teknik

pembelajaran. Pendekatan saintifik belum mempunyai rujukan teoritis yang kuat dalam teori
pembelajaran.
Kendala lainnya, bahwa sarana dan prasarana sekolah di Indonesia, pada umumnya
belum maksimal mendukung pendekatan santifik dengan adanya buku-buku atau sumber
bacaan yang lengkap di perpustakaan, jaringan internat beserta perangkat pendukungnya
sebagai sumber belajar serta hal-hal teknis lainnya. Kesimpulannya, pendekatan saintifik
akan efektif diterapkan di sekolah-sekolah dengan fasilitas standar.

C.Kesimpulan

Masyarakat

Indonesia

selalu

mengidentifikasikan

dirinya

sebagai

bangsa

berbudaya, bermoral, beragama serta hal-hal positif lainnya jika dikaitkan dalam hubungan
bermasyarakat, berbangsa,bernegara. Kearifan lokal bangsa tidak dapat dipertahankan
disebabkan dibiarkan hidup liar dan akhirnya mati. Seharusnya hal tersebut dapat dipupuk
secara terus menerus melalui jalur formal yaitu pendidikan yang dituangkan dalam
kurikulum.
Salah satu mata pelajaran pembentuk utama karakter bangsa adalah mata pelajaran
sejarah. Peranan strategis pengajaran sejarah dalam rangka pembangunan bangsa
menuntut suatu penyelenggaran pengajaran sejarah sebagai pemahaman dan penyadaran,
sehingga mampu membangkitkan semangat pengabdian yang tinggi, penuh rasa tanggung
jawab serta kewajiban. Kepekaannya terhadap sejarah akan melahirkan aspirasi dan
inspirasi untuk melaksanakan tugasnya sebagai warga negara.
Di samping itu, kritik terhadap kurikulum sejarah di Indonesia yang java-centris akan
tereliminasi jika dimunculkan pembelajaran sejarah lokal sebagai pendamping sejarah
nasional. Kendala utama dari pembelajaran sejarah lokal adalah masih sedikitnya sumber

523

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

sejarah lokal. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi sejarawan dan guru-guru sejarah
untuk melakukan penulisan sejarah lokal di daerahnya masing-masing, yang dikaitkan
dengan sejarah nasional.
Kritik lain adalah sejarah hanya membahas politik dan perang. Hal ini juga dapat
diatasi jika dalam pembelajaran sejarah menggunakan model-model pembelajaran sejarah
yang bervariasi. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah agar penelitian sejarah Indonesia
menekankan pada pendekatan multidisipliner. Kedudukan sejarah dan ilmu-ilmu sosial
(bahasa, geografi, ekonomi, sosiologi, ilmu politik, antropologi) adalah saling memerlukan
dan saling memberikan kontribusi.
Kurikulum 2013 sebagai kurikulum pembaharu dari kurikulum sebelumnya. Namun
untuk mata pelajaran sejarah ada beberapa hal yang diperbaharui, yakni perlunya model
pembelajaran yang variatif, bentuk penilaian sikap yang komprehensif, materi yang perlu
disederhanakan dan dikaitkan dengan model pembelajaran yang sesuai.
Dengan berbagai catatan di atas, maka kurikulum sejarah sebagai salah satu
instrumen penting dalam membentuk generasi bangsa dapat terwujud. Pergantian
kurikulum yang selalu terjadi sebagai bagian dari dinamika pendidikan akan bermanfaat
bagi setiap generasi.
Daftar Pustaka

Abd. Rachman Assegaf.2005. Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Penerbit Kurnia


Kalam
Hamid Hasan, S. 1997. Kurikulum dan Buku Teks Sejarah dalam Kongres Nasional
Sejarah 1996 Jakarta Sub Tema Perkembangan Teori dan Metodologi dan
Orientasi Pendidikan Sejarah. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi
Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
_____________2007. Kurikulum Pendidikan Sejarah Berbasis Kompetensi. Makalah pada
Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Se-Indonesia (Ikahimsi)
XII. Semarang, 16 April 2007.
Hugiono & Poerwantana,P.K. 1987: Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta : PT Bina Aksara
Ibnu Hizam. 2007. Kontribusi Minat Belajar dan Kemampuan Klarifikasi Nilai Sejarah dalam
Pembentukan Sikap Nasionalisme dalam Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 3, No.
2, Juni 2007.
I Gde Widja. 1988. Pengantar Ilmu Sejarah: Sejarah dalam Perspektif Pendidikan.
Semarang: Satya Wacana.

524

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

_____. 1991. Sejarah Lokal Suatu Perspektif dalam Pengajaran Sejarah. Bandung :
Angkasa.
Isjoni. 2007. Pembelajaran Sejarah pada Satuan Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Magdalia Alfian .2007. Pendidikan Sejarah dan Permasalahan yang Dihadapi. Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah SeIndonesia (IKAHIMSI). Universitas Negeri Semarang, Semarang, 16 April 2007
Numan Somatri. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Sapriya. 2009. Pendidikan IPS Konsep dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Sartono Kartodirdjo.1993.Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama
Soedjatmoko. 1985. Dimensi Manusia dalam Pembangunan. Jakarta: LP3ES
S. Nasution. 1986. Pengembangan Kurikulum. Bandung: Penerbit Alumni
Taufik Abdullah . 1996. Di Sekitar Pengajaran Sejarah yang Refkletif dan Inspiratif. Dalam
Jurnal Sejarah Pemikiran, Rekonstruksi, Persepsi 6 oleh Masyarakat Sejarawan
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Peraturan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 59 Tahun 2014 tentang Kurikulum
2013 Sekolah Menengah Atas
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Pada Pendidikan Dasar dan Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 104 Tahun 2014 tentang Penilaian
Hasil Belajar oleh Pendidik

525

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Neuroandragogi pada Pendidikan Orang Dewasa


* Rudi Mansyur
Widyaiswara LPMP Sulsel
(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstract
Neuroscience is a field of science that studies the neuron system or a system of
neurons in the human brain. While andragogy is the art and science of teaching
adults. This paper will discuss the links between neuroscience and andragogy, or in
terms Clive Wilson known as Neuroandragogy, and how to apply them in adult
education. This paper is a scientific idea and is expected to provide input to the
facilitator, instructor and policy makers to formulate and define systems and models
of effective education for adults.
Keywords: Neuroscience, Andragogy, Neuroandragogy

PENDAHULUAN
Orang dewasa adalah orang yang telah memiliki banyak pengalaman,
pengetahuan, kecakapan dan kemampuan mengatasi permasalahan hidup secara
mandiri(Sudjarwo:2012). Keikutsertaan orang dewasa dalam belajar memberikan
dampak positif dalam melakukan perubahan hidup kearah yang lebih baik. Orientasi
belajar berpusat pada kehidupan, dengan demikian orang dewasa belajar tidak
hanya untuk mendapatkan nilai yang bagus akan tetapi orang dewasa belajar untuk
meningkatkan kehidupannya. Melalui proses belajar orang dewasa akan
mendapatkan pengalaman yang lebih banyak lagi, sehingga belajar bagi orang
dewasa lebih fokus pada peningkatan pengalaman hidup, tidak hanya pada
pencarian ijazah saja.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan pada pembelajaran orang dewasa
memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan pembelajaran pada anak-anak.
Andragogi merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang didasarkan pada
karakteristik khusus orang dewasa, khususnya dalam proses belajar. Andragogi
merupakan istilah yang diperkenalkan oleh alexander Kapp seorang guru Jerman,
dan dipopulerkan oleh Malcolm Knowles.
Teori belajar mengenai orang dewasa yang telah digunakan selama ini perlu
ditinjau kembali. Sebagian besar teori dikembangkan dari hasil penelitian pada
anak-anak dan binatang, sementara kesimpulannya hampir tidak memisahkan
antara pendidikan anak-anak dan dewasa. Andragogi yang digunakan di masa lalu
belum mempertimbangkan otak sebagai pusat pengendali aktifitas belajar.

526

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Brookfield mengatakan masih belum jelas bagaimana orang dewasa belajar, dia
menanggapi bahawa teori selama ini tidak membahas semua aspek mengenai
pembelajaran orang dewasa. Fakta ilmiah menunjukkan bahwa Perubahan fisik dan
neurologis yang terjadi seiring bertambahnya usia akan mempengaruhi bagaimana
manusia belajar (Cercone, 2008).
Manusia adalah makhluk yang dibekali kemampuan berpikir untuk mengolah
informasi dan pengetahuan menjadi informasi baru dan pengetahuan baru. Proses
ini terus berlangsung dan berkelanjutan sehingga lahirlah produk kreatifitas
manusia. Hal inilah yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang
berperadaban tinggi dibandingkan makhluk hidup yang lain. Proses kelahiran
pemikiran kreatif manusia tidak bisa dipisahkan dengan organ tubuh paling unik
dalam dirinya, yang dikenal dengan otak.
Otak memiliki karakteristik unik, bukan hanya karena struktur dan fungsinya,
tetapi karena kemampuan sel-sel saraf untuk mengubah diri tak terbatas.
Ketakterbatasan kemampuan sel-sel saraf telah menjadi daya tarik dan menarik
minat para ilmuwan dan peneliti untuk terus menyingkap fakta terkait organ tubuh
paling urgen dalam berpikir ini.
Konsep Neurosains yang dijelaskan oleh Harun dalam Resti (2010)
merupakan suatu bidang kajian mengenai sistem saraf yang terdapat di dalam otak
manusia yang berhubungan dengan kesadaran dan kepekaan otak dari segi biologi,
persepsi, ingatan, dan kaitannya dengan pembelajaran.
Profesor Marian Diamond dalam Rakhmat (2005) lebih lanjut
mengungkapkan bahwa otak dapat berubah secara positif jika dihadapkan pada
lingkungan yang diberi rangsangan, dan otak akan dapat menjadi negatif jika tidak
diberi rangsangan. Pemikiran inilah yang mendasari teori perkembangan otak,
bahwa otak orang dewasa memiliki potensi untuk terus berkembang, tidak kaku,
statis dan cenderung menutun seiring dengan pertambahan usia.
Neurosains dan Andragogi selama beberapa dekade terakhir telah
berkembang sebagai bidang kajian dan terapan yang berdiri sendiri. Clive Wilson
adalah orang pertama yang mencoba mensintesis dua bidang kajian ini, dan
selanjutnya dikenal dengan istilah Neuroandragogi. Neuroandragogi didasarkan
pada konsep bahwa terdapat perbedaan cara kerja otak orang dewasa dan anakanak, hal ini menyebabkan perbedaan pendekatan pembelajaran yang digunakan.
Masalah yang dikaji dalam tulisan adalah (1) Bagaimana konsep Neurosains
dan andragogi? (2) bagaimana Kinerja otak orang dewasa? (3) Bagaimana konsep
neuroandragogi? (4) dan bagaimana penerapan neuroandragogi pada pendidikan
orang dewasa?
Berdasarkan rumusan masalah maka tujuan yang diharapkan dalam tulisan
ini, yaitu: (1) menjelaskan konsep neurosains dan andragogi, (2) menjelaskan

527

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kinerja otak orang dewasa, dan (3) menjelaskan konsep neuroandragogi, (4)
menjelaskan penerapan neuroandragogi pada pendidikan orang dewasa.

PEMBAHASAN
Konsep Andragogi dan Neurosains
Sifat belajar orang dewasa bersifat subyektif dan unik, hal itulah yang membuat
orang dewasa berupaya semaksimal mungkin dalam belajar, sehingga apa yang menjadi
harapan dapat tercapai. Andragogi lahir dari dasar pemikian bahwa orang dewasa memiliki
karakteristik sendiri dalam belajar, sehingga teori-teori mengenai pembelajaran yang selama
ini berlaku untuk anak-anak dan dewasa, tidak relevan untuk digunakakan khusus pada
pendidikan orang dewasa.
Menurut Knowles dalam Sudjarwo (2012), Andragogy is therefore, the art and
science of helping adults learn. Andragogi adalah suatu ilmu dan seni dalam membantu
orang dewasa belajar. Dilihat dari segi epistemologi, andragogi berasal dari bahasa Yunani
dengan akar kata:Aner yang artinya orang untuk membedakannya dengan paed yang
artinya anak.

Knowles dalam bukunya The modern practice of Adult Education,

mengatakan bahwa semula ia mendefinisikan andragogi sebagai seni dan ilmu membantu
orang dewasa belajar.
Kajian dan penelitian tentang Andragogy sebagaimana halnya neurosains telah
menarik perhatian peneliti dan ilmuwan pendidikan. Alexander Kapp, seorang guru di
Jerman adalah orang pertama yang memperkenalkan istilah andragogy, Kapp mulai
memperkenalkan istilah andragogy pada tahun 1833. Pada abad 18 sekitar tahun 1833:
Alexander Kapp menggunakan istilah pendidikan orang dewasa unutk menjelaskan teori
pendidikan yang dikembangkan dan dilahirkan ahli-ahli filsafat seperti plato. Kapp
menekankan pentingnya andragogy dalam pendidikan orang dewasa. Istilah ini telah
digunakan selama lebih dari 85 tahun.
Demikian halnya ahli pendidikan orang dewasa bangsa Belanda Gernan Enchevort
membuat studi tentang asal mula penggunaan istilah andragogy. Setelah era Kapp, pada
abad 19 tepatnya tahun 1919, Adam Smith memberi sebuah argumentasi tentang
pendidikan untuk orang dewasa pendidikan juga tidak hanya untuk anak-anak, tetapi
pendidikan juga untuk orang dewasa. Tiga tahun setelah Adam Smith tepatnya tahun 1921:
Eugar Rosentock menyatakan bahwa pendidikan orang dewasa menggunakan guru khusus,
metode khusus dan filsafat khusus.

528

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pada tahun 1926: The American For Adult Education mempublikasikan bahwa
pendidikan orang dewasa mendapat sumbangan dari: 1) Aliran ilmiah seperti Edward L
Thorndike. Dan 2) Aliran artistic seperti Edward C Lindeman. Edward Lendeman
menerbitkan buku Meaning of adult education yang pada intinya buku tersebut berisi
tentang : 1) Pendekatan pendidikan orangd ewasa dimulai dari situasi, 2) Sumber utama
pendidikan orang dewasa adalah pengalaman belajar ia juga menyatakan ada 4 asumsi
utama pendidikan orang dewasa, yaitu orang dewasa termotivasi belajar oleh kebutuhan
pengakuan, 2) orientasi orang dewasa belajara dalah berpusat pada kehidupan, 3)
pengalaman adalah sumber belajar, 4) pendidikan orang dewasa memperhatikan
perbedaan bentuk, waktu, tempat dan lingkungan. Pada perkembangan selanjutnya Edward
C. Lindeman menerbitkan Journal of adult Education.
Pada tahun 1957 publikasi andragogi di Eropa diawali

oleh seorang guru Jerman

bernama Franz Poeggler yang menulis buku berjudul: Introduction to Andragogi-Basic


Issues in Adult education. Pada tahun 1968 Malcolm Knowless mempublikasikan untuk
pertama kalinya sebuah artikel yang sangat provokativ dengan judul andragogi, not
Pedagogi. Pada tahun 1981, Mezirow mempublikasikan konsepnya tentang andragogy
dalam sebuah artikel berjudul Acritical Theory of Adult Learning and Education.
Neurosains merupakan bidang kajian sistem saraf otak manusia yang berhubungan
dengan kesadaran dan kepekaan otak dari segi biologi, persepsi, ingatan, dan
pembelajaran. Penelitian dalam bidang Neurosains tentang bagaimana fungsi otak
merupakan kajian yang menarik. Pengetahuan orang tentang otak, diperoleh dari proses
pengkajian selama ratusan tahun. Penemuan penting tentang Neurosains dimulai ketika
Cajal, ilmuwan Spanyol pemenang Nobel 1906 menemukan 4 doktrin neuron. Kemudian
Charles Sherrigon menemukan bahwa neuron tidak hanya dapat bersifat aktif (mengirimkan
sinyal 0), tapi juga ada yang menggunakan terminal. Selanjutnya Luigi Galvani ( 1971 ) dan
kemudian Herman Von Helmhotz (1859) menemukan bahwa terdapat aktivitas listrik pada
sel-sel otot binatang. Lazimnya, penelitian-penelitian tentang Neurosains dipakai dan hanya
dipakai dikalangan terbatas dunia kedokteran untuk kepentingan farmakologi, ilmu saraf,
ilmu kedokteran jiwa, atau ilmu bedah otak (Pasiak:2007).
Pada

tahun

1990an

barulah

pertama

kalinya

dilakukan

penelitian

yang

menghubungkan antara Neurosains dan pendidikan. Hubungan ini tentang bagaimana


fungsi sistem neuron pada anak-anak, dan dikenal dengan istilah pendidikan berbasis otak
(Wilson:2006). Penelitian tentang Neurosains dalam bidang pendidikan menarik perhatian

529

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

banyak orang, sehingga lahirlah penemuan-penemuan brilian yang cukup berpengaruh


dalam dunia pendidikan. Penemuan-penemuan tersebut diantaranya Ned Hermann yang
terkenal dengan konsep Hemispheric Dominance; Tony Buzan dengan Mind Mappping;
Edward de Bono dengan berpikir lateral; Bobby de Porter dengan Quantum Learning; Geil
Browning dengan Emergenetics; Daniel Golman dengan Emotional Intellegence; Danah
Zohar dengan Spritual Intellegence; Pierce Howard dengan The Big Five-nya atau bahkan
Howard Garner yang sangat terkenal dengan Multiple intellegences-nya (Pasiak:2007).

Kinerja Otak Orang Dewasa


Hasil dari beberapa kajian dan penelitian telah menghasilkan teori belajar yang
banyak dimanfaatkan dalam dunia pendidikan, banyak guru yang telah menerapkannya
dalam ruang-ruang kelas. Dalam 20 tahun terakhir telah terjadi penemuan penting mengenai
bagaimana proses belajar terjadi. Melalui penggunaan teknologi pencitraan otak, peneliti
telah mampu melihat otak bekerja, sehingga memberikan informasi penting bagaimana otak
manusia bekerja. Temuan ini adalah kemajuan berharga yang telah menghasilkan teori
pembelajaran berbasis kemampuan otak, paradigma baru mengenai pembelajaran yang
didasarkan pada bagaimana otak bekerja secara alamiah.
Memahami cara otak belajar, maka terlebih dahulu harus dipahami anatomi dan
fisiologi otak (Cercone:2006). Fokus utama pembelajaran berbasis kemampuan otak adalah
bagaimana otak belajar secara alamiah. Hal ini digerakkan secara biologis dan
memungkinkan untuk mengalami perubahan.
Otak bekerja dengan menggunakan prinsip sirkuit, bukan kerja sendiri. Sebuah
fungsi dapat terjadi karena semua bagian otak bekerja dalam sebuah sirkuit canggih, setiap
bagian menyumbang kelebihannya masing-masing dalam sirkuit itu. Sirkuit otak bekerja
mengikuti prinsip respirokal, konvergen dan divergen, susunan serial atau paralel dan
fungsi-fungsi spesifik (Pasiak:2007).
Empat fakta terkait kinerja otak orang dewasa(Wilson:2012) adalah sebagai berikut:
1) Neurofisilogy dan otak orang dewasa
Pada otak orang dewasa, koneksi sinapstik berpotensi untuk berkembang
dengan pesat dalam jangka waktu yang lama. Sebuah stimulasi memungkinkan
terbentuknya jaringan syaraf yang mampu bertahan selama berjam-jam, berhari-hari

530

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

atau minggu, bahkan bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama. Penemuan ini
membantah pendapat yang menyatakan bahwa otak kita akan menjadi kaku dan tidak
berkembang seiring dengan perkembangan usia.
2) Neurodevelopment dan otak orang dewasa
Ahli saraf menemukan bahwa otak memiliki sifat fleksibel, termasuk pada otak
orang dewasa. Jaringan saraf baru akan tumbuh sebagai hasil dari stimulasi, hal ini
terjadi sampai usia tua. Selain kemunculan jaringan/sirkuit baru, otak juga mengalami
pemangkasan jaringan. Jaringan saraf akan bertahan jika sering digunakan, karena itu
jaringan baru yang koneksinya lemah membutuhkan aktivitas untuk bisa bertahan. Jika
tidak, maka gerakan akson akan melambat atau merosot dan menyebabkan neuron
memulai denan pemula yng baru. Otak yang seirng digunakan akan memumgkinkan
terjadinya sinapsis, dan yang jarang digunakan akan memungkinkan kehilangan sinapsis
yang sudah ada (cercone, 2006).
3) Neurogenesis dan otak orang dewasa
Hasil penelitian menunjukkan lingkungan yang diperkaya sangat mempengaruhi
otak yang belajar. Hill dalam Wilson (2006) mengatakan selama hidup rentang otak terus
berubah dan mereorganisasi dalam menanggapi rangsangan lingkungan. Kegiatan otak
dikendalikan oleh genetika, pengembangan, pengalaman, budaya, lingkunan, dan
emosi. Hal inilah yang terus merangsang otak untuk berubah.
Sebuah penelitian pada tikus dewasa yang hidup pada lingkungan yang
diperkaya menunjukkan bahwa pada tikus dewasa tersebut tumbuh neuron baru lebih 60
%, hal ini berpengaruh baik terhadap proses pembelajaran. Hasil yang sama juga
diperoleh pada orang dewasa berusia lima puluh hingga tujuh puluh tahun. Pertumbuhan
baru ini ditemukan pada hyppocampus dan daerah olfactory bulb, dua bidang utama
untuk belajar dan memori (Wilson, 2006). Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa untuk
pertumbuhan maksimum otak kita harus memiliki lingkungan yang diperkaya,
penggunaan sinaptik ditentukan oleh lingkungan.
4) Neuroplasisitas dan otak orang dewasa
Hebb (1949) seorang ahli terbaik

dalam kajian Neuroplastisitas menemukan

bahwa otak memiliki kemampuan untuk berubah karena terjadi perubahan pada tingkat
sel saraf. Perkembangan otak terjadi melalui perubahan koneksi pada tingkat sinaps.

531

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Jika beberapa sel saraf menerima stimulus pada saat yang sama akan menghasilkan
potensi aksi. Sel saraf itu kemudian menyebar dan menjadikan lebih banyak koneksi
sinaptik. Cara lain untuk melihat neuroplatisitas menurut howard adalah kemampuan
otak untuk belajar, mengingat, menngorganisir ulang, dan memulihkan dari kerusakan

Konsep Neuroandragogi
Blomm dan kawan-kawan dalam wilson (2012) mengemukakan tentang tiga tahap
perkembangan saraf , tahap pertama pada masa kanak-kanak, tahap kedua pada tahap
remaja, dan tahap ketiga masa dewasa. Hasil kajian tentang otak orang dewasa dan
fungsinya kognitifnya memungkinkan bagi kita untuk mengembangkan

paradigma baru

pendidikan orang dewasa. Hasil analisis beberapa praktisi berdasarkan fakta ilmiah dan
penerapan di lapangan menunjukkan bahwa Neurosains dan andragogi bisa disintesiskan
dalam satu konsep yang dikenal dengan neuroandragogi.
Prinsip neuroandragogi adalah sebagai berikut:
1)

Otak orang dewasa berpotensi untuk terus tumbuh dan berkembang. Di masa lalu
banyak literatur mengungkapkan bahwa orang dewasa mengalami pelemahan fungsi
otak seiring bertambahnya usia. Teori baru mengenai plastisitas otak memberi harapan
kepada kita bahwa otak orang dewasa memiliki potensi untuk terus berkembang dan
mengalami pertumbuhan.

2)

Otak orang dewasa yang sering digunakan akan memungkinkan terbentuknya jaringan
sel baru, sedangkan otak yang jarang digunakan maka sirkuit sel yang terbentuk
perlahan mengabur dan perlahan hilang.

3)

Pembelajaran orang dewasa dipengaruhi oleh pengalaman hidup, hal ini dapat
dilakukan melalui melakukan kebiasaan baru, penyesuaian diri dengan kondisi baru,
dan belajar cara-cara baru. Semakin tua otak, pengembangan mental juga semakin
khas. Hal inilah yang Membuat kita memahami dan belajar hal-hal baru dengan cara
berbeda. Orang Dewasa sering menunjukkan rasa frustasi terhadap pelajaran yang
susah dipahami atau menunjukkan ketidaktertarikan karena pengalaman belajar yang
diberikan tidak terhubung dengan pengalaman hidup mereka.

4)

Otak orang dewasa akan berkembang jika tumbuh dalam lingkungan yang diperkaya
dan bersifat menantang.

532

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Penerapan Neuroandragogi pada proses pendidikan orang dewasa


Peserta didik dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan umumnya adalah orang
dewasa. Pendidikan bagi orang dewasa tidak dapat disamakan dengan pendidikan anak di
sekolah. Hasil pembelajaran yang baik memerlukan pengenalan terhadap kinerja otak orang
dewasa sebagai pembelajar. Pembelajaran berbasis kemampuan otak, merupakan
paradigma baru dalam pembelajaran.
Menurut Jansen (2012) ada tujuh tahapan pembelajaran berbasis kemampuan otak
yaitu (1) Pra-Pemaparan. Tahap ini memberi gambaran awal terhadap pembelajaran baru
sebelum dikaji lebih jauh dan mendalam. Pra-pemaparan membantu otak membangun peta
konseptual yang lebih baik, (2) Persiapan. Dalam tahap ini, Fasilitator menciptakan
keingintahuan dan kesenangan, (3) Inisiasi dan akuisisi. Tahap ini merupakan tahap
penciptaan koneksi atau pada saat neuron-neuron itu saling berkomunikasi satu sama lain,
(4) Elaborasi. Tahap elaborasi memberikan kesempatan kepada otak untuk menyortir,
menyelidiki, menganalisis, menguji, dan memperdalam pembelajaran, (5) Inkubasi dan
memasukkan memori. Tahap ini menekankan bahwa waktu istirahat dan waktu untuk
mengulang kembali merupakan suatu hal yang penting , (6)Verifikasi dan pengecekan
keyakinan. Dalam tahap ini, fasilitator mengecek apakah peserta sudah paham dengan
materi yang telah dipelajari atau belum, (7) Perayaan dan integrasi. Tahap ini menanamkan
semua arti penting dari kecintaan terhadap belajar.
Strategi pembelajaran utama yang dapat dikembangkan dalam menerapkan
neuroandragogi yaitu: (1) menciptakan sistem Pengembangan diri yang berkelanjutan. Otak
yang sering digunakan akan memungkinkan terbentuknya jaringan sel baru. Berdasarkan
hal tersebut seorang pembelajar dewasa harus terus mengkaji dan mengembangkan
ilmunya, karena ilmu yang tidak dikaji dan dikembangkan perlahan akan berkurang dan
bahkan hilang sama sekali.

(2) menciptakan lingkungan belajar yang menantang

kemampuan berpikir. Beberapa peneliti menemukan bahwa aktifitas yang sifatnya


menantang akan meningkatkan kesehatan otak, kemampuan intelektual dan cadangan otak,
(3) menciptakan lingkungan pembelajaran yang diperkaya. lingkungan pembelajaran yang
diperkaya

termasuk penggunaan music, pengaturan tempat duduk yang bervariasi,

penampilan dinding kelas yang bermakna, pemanfaatan ruang kelas yang lebih bervariasi
(4) menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi peserta (5) menerapkan
strategi dan materi pembelajaran yang selalu terbarukan. Orang dewasa harus didorong
untuk mengelola informasi baru yang diperoleh untuk menjaga pertumbuhan sel baru.
Memori jangka panjang sangat bergantung pada kelangsungan hidup sel baru yang

533

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

terbentuk. Sel baru yang terbentuk akan mati dalam hitungan minggu jika tidak digunakan.
Menurut Hyland dalam wilson (2012) Orang dewasa membutuhkan kegiatan-kegiatan yang
akan membuat sel-sel hidup, belajar bahasa baru atau musik merupakan contoh yang baik
bagaimana kenangan baru disimpan atau hilang karena pemangkasan sel baru.

PENUTUP
Hasil pengkajian dan penelitian mengenai bagaimana otak belajar telah melahirkan
teori dan praktik dalam pendidikan. Neuroandragogi merupakan salah satu bentuk sintesis
antara konsep neurosains dan andragogi. Neuroandragogi merupakan konsep pendidikan
orang dewasa yang didasarkan pada bagaimana otak orang dewasa bekerja secara alami.
Prinsip konsep neuroandragogi adalah (1) otak orang dewasa berpotensi untuk terus
tumbuh dan berkembang (2) Otak orang dewasa yang sering digunakan akan
memungkinkan terbentuknya jaringan sel baru, (3) Pembelajaran orang dewasa dipengaruhi
oleh pengalaman hidup, (4) Otak orang dewasa akan berkembang jika tumbuh dalam
lingkungan yang diperkaya dan bersifat menantang.
Strategi pembelajaran utama yang dapat dikembangkan dalam menerapkan
neuroandragogi

pada

pendidikan

orang

dewasa

yaitu:

(1)

menciptakan

sistem

Pengembangan diri yang berkelanjutan, (2) menciptakan lingkungan belajar yang


menantang kemampuan berpikir, (3) menciptakan lingkungan pembelajaran yang diperkaya
(4) menciptakan situasi pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi peserta (5) menerapkan
strategi dan materi pembelajaran yang selalu terbarukan.

534

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

DAFTAR PUSTAKA
Jensen, E. (2008). Brain- Based Learning, Pembelajaran Berbasis
Kemampuan Otak. Cara baru dalam Pembelajaran dan Pelatihan. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar
Cercone, K. (2008). Characteristics of adult learners with implications for online
learning design. AAACE Journal. 16(2). 137-159.
Cercone, K. (2006). Brain Based Learning. In E. K. Sorensen and D. O.
Murchu, Enhancing Learning Through Technology. Idea Group, Inc.
Mandar, S. D. Peranan Cognitive Neurosains dalam Dunia Pendidikan. 7
Januari 2015.http://www.slideshare.net/larasratih/cognitive-neuroscience-danimplementasinya-dalam-pembelajaran.
Rakhmat, J. (2010). Belajar Cerdas, Kaifa Learning, Jakarta
Resti, V. D. A. Kajian Neurosains dalam Pembelajaran Biologi Abad XXI. 7
Januari 2015. http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/prosbio/article/view/3155
Sujarwo. Strategi Pembelajaran Orang Dewasa (Pendekatan Andragogi). 14
Januari
2015.
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Sujarwo,%20M.Pd./Mak
alah-Strategi%20Pembelajaran%20Orang%20dewasa%20(Repaired). pdf
Pasiak, T. (2007). Belajar Memakai Otak: Sebuah Pengantar (Pengantar buku
Brain Based Teaching), Kaifa Learning, Jakarta
Wilson, C. A. (2006). Neuroandragogy: Making the case for a Link with
Andragogy and Brain-Based Learning

535

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Studi Statistik Pengendalian Mutu pada Pelatihan Tenaga Kesehatan


(Statistical Quality Control Study for Health Training Services )
Uria Guna Dharma
(Widyaiswara Muda, Balai Pelatihan Kesehatan
Provinsi Kalimantan Tengah)

(Diterima 21 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstrak
Penyelenggaraan pelatihan merupakan salah satu pelayanan yang diberikan oleh
institusi penyelenggara pelatihan untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia
yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, sikap dan perilaku. Suatu pelatihan
dikatakan efektif apabila mampu menghasilkan perubahan yang signifikan bagi yang
dilatih (Munir, 2004). Untuk itu suatu penyelenggaraan pelatihan perlu penataan
yang lebih jelas agar menghasilkan keluaran yang bermutu.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan (KepMenkes) Nomor 725 Tahun
2003, tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Bidang Kesehatan, telah
disusun standar penyelenggaraan pelatihan, termasuk didalamnya pelu dilakukan
pengendalian mutu terhadap proses penyelenggaraan pelatihan.
Penelitian deskriptif kuantitatif ini merupakan analisis pengendalian mutu terhadap
penyelenggaraan pelatihan tenaga kesehatan menggunakan Basic Quality Tools
untuk Statistical Quality Control.
Hasil analisis checklist dan Histogram diketahui, ada 6 (enam) variabel pengamatan
yang menyimpang pada proses persiapan, sedangkan terhadap proses
pembelajaran dan evaluasi hasil belajar, menunjukkan ada 5 (lima) variabel
pengamatan yang tidak sesuai atau terjadi penyimpangan mutu. Hasil analisis
dengan diagram pareto untuk membantu menemukan permasalahan yang
terpenting untuk segera diselesaikan, dapat diketahui bahwa penyimpangan mutu
atau ketidaksesuaian terhadap pelaksanaan rapat tim dan pembagian tugas tim
relatif lebih penting untuk segera dikendalikan. Sedangkan hasil analisis diagram
pareto terhadap pengendalian mutu proses pembelajaran dan evalusasi hasil belajar
menunjukkan bahwa, variabel sequensi penyampaian materi dan ketidaksesuaian
metode pembelajaran lebih dominan dan relatif lebih penting untuk dikendalikan.
Hasil analisis fishbone chart, menunjukan faktor Manusia dan Metode lebih dominan
dalam penyebab dari ketidaksesuaian atau penyimpangan mutu.
Kata kunci : Basic Quality Tools, Statistical Quality Control, Fishbone Chart

536

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pendahuluan
Saat ini setiap organisasi atau instansi penyelenggara pelayanan publik
dituntut untuk dapat memberikan pelayanan yang bermutu kepada pelanggan.
Pelayanan publik merupakan kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara
dan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh
penyelenggara pelayanan publik (UU No 25 Tahun 2009).
Mutu suatu pelayanan sangat ditentukan oleh perencanaan mutu yang baik,
pengendalian mutu yang tepat, dan peningkatan mutu yang berkelanjutan.
Pengendalian mutu merupakan salah satu fungsi dari manajemen mutu, yang
merupakan suatu proses pengawasan yang dilakukan oleh internal organisasi itu
sendiri secara berkesinambungan, sistematis, dan obyektif untuk memantau dan
menilai barang, jasa, maupun pelayanan yang dihasilkan dibandingkan dengan
standar yang telah ditetapkan (Juran, 1992).
Penyelenggaraan pelatihan merupakan salah satu pelayanan yang diberikan
oleh institusi penyelenggara pelatihan untuk meningkatkan mutu sumber daya
manusia yang meliputi pengetahuan, ketrampilan, sikap dan perilaku. Suatu
pelatihan dikatakan efektif apabila mampu menghasilkan perubahan yang signifikan
bagi yang dilatih (Munir, 2004). Untuk itu suatu penyelenggaraan pelatihan perlu
penataan yang lebih jelas agar menghasilkan keluaran yang bermutu.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan (KepMenkes) Nomor 725
Tahun 2003, tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Bidang Kesehatan, telah
disusun standar penyelenggaraan pelatihan, termasuk didalamnya pelu dilakukan
pengendalian

mutu

penyelenggaraan

terhadap

pelatihan

proses penyelenggaraan

bidang

kesehatan

ini

juga

pelatihan.

Pedoman

menjadi

pedoman

penyelenggaraan pelatihan tenaga kesehatan di Balai Pelatihan Kesehatan


(Bapelkes) Provinsi Kalimantan Tengah.
Pengendalian mutu pelatihan tenaga kesehatan yang dilaksanakan oleh
Bapelkes sesuai dengan KepMenkes Nomor 725 Tahun 2003, selama ini hanya
sebatas pengumpulan data dengan menggunakan daftar tilik dan tidak diketahui
bagaimana hasil pengendalian mutu statistiknya. Menurut 14 prinsip mutu Deming,
ada 2 (dua) hal yang berkaitan dengan metode statistik, yaitu : (1) hentikan

537

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

ketergantungan pada inspeksi dalam membentuk mutu produk tapi bergantunglah


pada pengendalian statistik; dan (2) gunakan metode statistik untuk memperbaiki
mutu dan produktivitas.

Penelitian ini merupakan kajian dan analisis pengendalian mutu terhadap


penyelenggaraan pelatihan tenaga kesehatan yang dilaksanakan oleh Bapelkes
Provinsi

Kalimantan

Tengah,

dengan

tujuan

untuk

mengetahui

efektifitas

pengendalian mutu yang ada dengan menggunakan metode statistik pengendalian


mutu.

Metode
Penelitian ini menggunakan desain deskriptif kuantitatif untuk mendapatkan
gambaran

mengenai

karakteristik

data

berupa

hasil

pengendalian

mutu

penyelenggaraan pelatihan, dengan Basic Tools untuk Statistical Quality Control.


Dilaksanakan di Bapelkes Provinsi Kalimantan Tengah, pada bulan Maret 2016,
dengan menganalisa hasil pengendalian mutu penyelenggaran pelatihan yang
dilaksanakan pada bulan Januari - Juli Tahun 2015.
Analisis data merupakan analisis univariat, dengan menggunakan check list,
untuk mengetahui seberapa banyaknya ketidaksesuaian atau penyimpangan mutu
dari kegiatan persiapan penyelenggaraan pelatihan dibandingkan dengan pedoman
dan standar yang ditetapkan, Selanjutnya dari hasil checklist dilakukan analisis
dengan menggunakan Histogram dan Diagram Pareto untuk melihat klasifikasi
jumlah serta nilai data dan untuk mengurutkan klasifikasi data menurut urutan
ranking, selain itu juga membantu menemukan permasalahan yang terpenting untuk
segera diselesaikan.
Analisis Fishbone Chart atau cause-effect diagram merupakan rangkaian
analisis selanjutnya, yang digunakan untuk menyajikan suatu sebab permasalahan
atau penyimpangan mutu dengan mengidentifikasi berbagai kemungkinan penyebab
potensial dengan metode brainstorming atau curah pendapat.

538

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Hasil
Pelaksanaan
kesehatan

yang

pengendalian

dilaksanakan

di

mutu

penyelenggaraan

Bapelkes

Provinsi

pelatihan

Kalimantan

tenaga
Tengah,

menggunakan check list atau daftar tilik berdasarkan pedoman dan standar
pengelenggaraan pelatihan bidang kesehatan yang dikeluarkan oleh Pusdiklat
Aparatur Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI tahun 2012.
Proses pengendalian mutu dimulai dari persiapan penyelenggaraan
pelatihan, persiapan administrasi, proses pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar.
Dalam persiapan penyelenggaraan pelatihan ada 22 (dua puluh dua) variabel
pengamatan, untuk persiapan administrasi pelatihan ada 26 (dua puluh enam)
variabel pengamatan, dan pada proses pembelajaran serta evaluasi hasil belajar
ada 16 (enam belas) variabel pengamatan.
Hasil analisis check list terhadap 22 (dua puluh dua) variabel pengamatan dari 9
(sembilan) jenis pelatihan yang dilaksanakan dalam periode Januari Juli 2015,
untuk mengetahui seberapa banyaknya ketidaksesuaian dan penyimpangan mutu
dari kegiatan persiapan penyelenggaraan pelatihan dibandingkan dengan pedoman
dan standar yang ditetapkan (Tabel 1), ada 6 (enam) variabel pengamatan yang
menyimpang.

539

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Tabel 1. Analisis Check list Pengendalian Mutu Persiapan Penyelenggaraan Pelatihan

No

Variabel
Pengamatan

Ketidaksesuaian

Frekuensi

1 Rapat Persiapan Pembentukkan Tim Penyelenggara

IIII III

2 Pembagian Tugas Tim Penyelenggara

IIII III

3 Pengiriman Surat Pemanggilan Peserta

IIII II

4 Struktur Program Pelatihan

IIII

5 Jumlah dan Kriteria Peserta

IIII

6 Keseuaian Kerangka Acuan PKL

IIII

(Sumber : Laporan Audit Mutu Bapelkes Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2015)

Analisis histogram dengan grafik batangan tunggal terhadap checklist pengendalian


mutu persiapan penyelenggaraan pelatihan, untuk melihat klasifikasi jumlah dan nilai
data (Grafik 1.). Garfik Histogram menjelaskan variasi proses, namun belum
mengurutkan ranking dari variasi. Untuk mengurutkan ranking variasi dari terbesar
sampai dengan yang terkecli, dengan menggunakan Diagram Pareto (Gambar 2.)

540

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Gambar 1. Grafik Frekuensi Ketidaksesuaian Persiapan Penyelenggaraan Pelatihan

Hasil

analisis

diagram

pareto

terhadap

pengendalian

mutu

persiapan

penyelenggaraan pelatihan, untuk mengurutkan klasifikasi data menurut urutan


ranking dan membantu menemukan permasalahan yang terpenting untuk segera
diselesaikan, dapat diketahui, diagram batang sebelah kiri yaitu, penyimpangan
mutu atau ketidaksesuaian pelaksanaan rapat tim dan pembagian tugas tim relatif
lebih penting untuk dikendalikan.

Gambar 2. Diagram Pareto Analisa Pengendalian Mutu Persiapan Penyelenggara Pelatihan

541

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Hasil analisis check list pengendalian mutu terhadap 16 (enam belas) variabel
pemngamatan proses pembelajaran dan evaluasi hasil belajar (Tabel 2),
menunjukkan ada 5 (lima) variabel pengamatan yang tidak sesuai atau terjadi
penyimpangan mutu. Variabel pengamatan yang frekuensi kejadian penyimpangan
yang tertinggi adalah penyimpangan mutu terhadap sequensi penyampaian materi
sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Tabel 2. Analisis Check list Pengendalian Mutu Proses Pembelajaran dan Evaluasi Hasil
Belajar

Analisis histogram terhadap checklist pengendalian mutu proses pembelajaran dan


evaluasi hasil belajar, ditunjukkan dalam Gambar 3 berikut ini :

No

Variabel
Pengamatan

Ketidaksesuaian

Frekuensi

IIII II

2 Pemilihan Metode Pembelajaran

IIII

3 Penggunaan Alat Bantu

IIII

4 Evaluasi Sessi

III

5 Evaluasi Hasil Belajar mengacu pada Tujuan


Pembelajaran

II

1 Sequensi Penyampaian Materi sesuai dengan


Tujuan Pembelajaran

542

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Gambar 3. Grafik Frekuensi Ketidaksesuaian Proses Pembelajaran dan Evaluasi Hasil Belajar

Hasil analisis diagram pareto terhadap pengendalian mutu proses pembelajaran dan
evalusasi hasil belajar (Gambar 4), menunjukkan bahwa dari 5 (lima) variabel
pengamatan yang tidak sesuai atau terjadi penyimpangan mutu, variabel sequensi
penyampaian materi dan ketidaksesuaian metode pembelajaran lebih dominan dan
relatif lebih penting untuk dikendalikan.

Gambar 4. Diagram Pareto Analisa Pengendalian Mutu Proses Pembelajaran dan Evaluasi Hasil Belajar

543

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Ketidaksesuaian atau penyimpangan mutu yang sering terjadi berdasarkan hasil

EFFECT

CAUSE
kurang kepercayaan
pimpinan
METODE

MATERIAL

pengarahan kerja kurang

sebagian
anggota tim
belum dilatih
SOP ada tapi
tidak
disosialisasikan

Pengawasan kurang

koordinasi rendah

terburu-buru

tidak ada
dokumen
tertulis

kurang kepercayaan
pimpinan

pembagian tugas
tidak merata

Checklist
pelaksanan tugas
tidak ada

Pembentukkan susunan
kepanitiaan lemah
pengarahan kerja kurang

sebagian anggota
tim belum dilatih

kurang
pendelegasian

terburu-buru

tidak semua
JUKNIS pelatihan
tersedia

jumlah tenaga
terbatas

tidak ada tools


evaluasi

Ketidaksesuaian
(Rapat Persiapan
& Pembagian
Tugas)

sebagian anggota tim


belum dilatih

yang mengerjakan
orangnya itu-itu saja
beban kerja ganda

terjebak rutinitas

sebagian anggota
tim belum dilatih

yang mengerjakan orangnya


itu-itu saja

MACHINE/TOOLS
yang mengerjakan
orangnya itu-itu saja

analisis

diagram

MAN

Pareto

perlu

kurang kepercayaan
pimpinan

diidentifikasi

menggunakan Fishbone Chart (Gambar 5).

penyebab

potensial

dengan

Diagram ini mempresentasikan

hubungan antara cause dan effect, yang ditunjukkan dengan garis. Effect
(ketidaksesuaian / penyimpangan mutu) diletakkan disebelah kanan, sedangkan
cause (penyebab) diletakkan disebelah kiri.
Gambar 5. Analisis Fishbone Chart terhadap Penyimpangan Mutu Persiapan Penyelenggaraan Pelatihan

Pengkategorian penyebab menjadi 4 (empat) faktor (Man, Metode, Material, dan


Machine/Tools), menunjukan faktor Man dan Metode lebih dominan dalam penyebab
dari ketidaksesuaian atau penyimpangan mutu. Penyebab dari faktor manusia,
diketahui adalah beban kerja ganda dari beberapa staf, terjebak dalam rutinitas, dan
terburu-buru dalam mengerjakan tugas. Sedangkan penyebab dari faktor metode,

544

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

adalah : kurangnya pengawasan terhadap pekerjaan staf, pembagian tugas antar


staf yang tidak merata, koordinasi antara pimpinan dan staf rendah, serta metode
pembentukkan susunan kepanitiaan yang dinilai masih lemah.

Hasil analisis fishbone chart, dirangkum dalam Tabel 4.


Tabel 4. Rangkuman Hasil Analisis Fishbone Chart
No

Kategori

Faktor Penyebab

Akar Permasalahan

1. Terburu-buru dalam mengerjakan


tugas;
2. Terjebak dalam rutinitas;
3. Beban kerja ganda;

1. Sebagian besar staf yang terlibat


belum pernah dilatih pengelolaan
diklat, sehingga tidak bisa
diandalkan;
2. Kurangnya pendelegasian tugas dan
kepercayaan terhadap staf yang lain;

Metode

1. Rendahnya pengawasan;
2. Pembagian tugas tidak merata;
3. Koordinasi rendah;
4. Pembentukkan susunan
kepanitiaan yang kurang tepat

1. Pengarahan kerja kurang;


2. Sebagian besar staf yang terlibat
belum pernah dilatih pengelolaan
diklat, sehingga tidak bisa
diandalkan;
3. Kurangnya kepercayaan pimpinan
terhadap staf yang lain

Material

1. SOP ada tetapi tidak


disosialisasikan;
2. Tidak ada dokumen tertulis
3. Checklist pelaksanaan tugas
masing-masing staf tidak ada

1. Informasi dari pimpinan tidak sampai


level bawah;
2. Terburu-buru dalam mengerjakan
tugas;

Machine / Tools

1. Tidak semua juknis pelatihan


tersedia;
2. Tidak ada tools evaluasi untuk
mengukur kinerja staf

1. Pelaksanaan pengkajian pelatihan tidak


tajam;
2. Perencanaan pelatihan yang tidak
berbasis data pengkajian pelatihan;
3. Pemahaman pentingnya tools evaluasi
kinerja masih rendah

Manusia (MAN)

Pembahasan
Hasil dari analisis univariat dengan menggunakan checklist dan histogram,
diketahui bahwa terhadap 22 (dua puluh dua) variabel pengamatan dari kegiatan
persiapan penyelenggaraan pelatihan dibandingkan dengan pedoman dan standar
yang ditetapkan, ada 6 (enam) variabel pengamatan yang menyimpang.

545

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sedangkan terhadap 16 (enam belas) variabel pengamatan proses pembelajaran


dan evaluasi hasil belajar, menunjukkan ada 5 (lima) variabel pengamatan yang
tidak sesuai atau terjadi penyimpangan mutu.
Hasil analisis dengan diagram pareto untuk membantu menemukan
permasalahan yang terpenting untuk segera diselesaikan, dapat diketahui bahwa
penyimpangan mutu atau ketidaksesuaian

terhadap pelaksanaan rapat tim dan

pembagian tugas tim relatif lebih penting untuk segera dikendalikan. Sedangkan
hasil analisis diagram pareto terhadap pengendalian mutu proses pembelajaran dan
evalusasi hasil belajar menunjukkan bahwa dari 5 (lima) variabel pengamatan yang
tidak sesuai atau terjadi penyimpangan mutu, variabel sequensi penyampaian materi
dan ketidaksesuaian metode pembelajaran lebih dominan dan relatif lebih penting
untuk dikendalikan.
Berdasarkan analisis diagram pareto, dicari akar penyebab penyimpangan
mutu dengan fishbone chart, untuk mempermudah dan mempertajam pengambilan
keputusan. Hasil analisis fishbone chart, seperti diketahui (Tabel 4) dijelaskan
bahwa terjadinya penyimpangan mutu disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1) Faktor Manusia (MAN)
Beban kerja ganda pada beberapa staf, sehingga menyebabkan beberapa
tugas dikerjakan oleh staf yang itu-itu saja atau menimbulkan ketergantungan
pada beberapa staf sedangkan staf yang lain tidak terlibat aktif; kemudian
terburu-buru dalam mengerjakan tugas sehingga banyak dokumen tertulis yang
seharusnya ada tidak tersedia dan ini menyebabkan terjebak dalam rutinitas
yang salah.
Akar permasalahan dari faktor manusia ini, disebabkan lebih pada banyak staf
yang tidak bisa diandalkan karena tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan
pengelolaan diklat, yang bisa diperoleh melalui pelatihan pengelolaan diklat.
Keandalan staf akan muncul apabila yang bersangkutan sudah memperoleh
pengetahuan dan ketrampilan melalui pelatihan pengelolaan diklat, sehingga
dapat meningkatkan kepercayaan pimpinan dan pendelegasian tugas yang
tepat.

2) Faktor Metode

546

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kurangnya pengawasan terhadap pekerjaan staf, pembagian tugas antar staf


yang tidak merata, koordinasi antara pimpinan dan staf rendah, serta metode
pembentukkan susunan kepanitiaan yang dinilai masih lemah.
Akar permasalahan dari faktor metode ini, sebenarnya lebih pada disebabkan
faktor manusia, yaitu : banyak staf yang tidak bisa diandalkan karena tidak
memiliki pengetahuan dan ketrampilan pengelolaan diklat, yang bisa diperoleh
melalui pelatihan pengelolaan diklat.
Keandalan staf akan muncul apabila yang bersangkutan sudah memperoleh
pengetahuan dan ketrampilan melalui pelatihan pengelolaan diklat, sehingga
dapat

meningkatkan

kepercayaan

pimpinan

dalam

pembagian

serta

pendelegasian tugas yang tepat.

3) Faktor Material
Tidak adanya dokumen tertulis, hal ini juga akan bisa dikendalikan apabila
pembagian tugas yang merata dan pendelegasian tugas yang tepat, yang
ditunjang dengan meningkatnya pengetahuan dan ketrampilan staf yang sudah
dilatih.

4) Faktor Machine / Tools


Tidak tersedia tools evaluasi untuk mengukur kinerja staf. Ketersediaan tools
evaluasi untuk menilai kinerja staf dalam persiapan penyelenggaraan pelatihan
sangat penting, jadi ini menuntut kesiapan pimpinan untuk membentuk tim
penyusunan tools evaluasi, berdasarkan spesifikasi tugas pokok pekerjaan
staf.

Kesimpulan
Pengendalian mutu pelatihan tenaga kesehatan dengan Basic Tools untuk
Statistical Quality Control sangat membantu Bapelkes Provinsi Kalimantan Tengah
dalam memperbaiki mutu dan produktivitas.

547

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Hasil analisis checklist dan Histogram diketahui, ada 6 (enam) variabel


pengamatan proses persiapan penyelenggaraan pelatihan yang menyimpang.
Sedangkan terhadap proses pembelajaran dan evaluasi hasil belajar, menunjukkan
ada 5 (lima) variabel pengamatan yang tidak sesuai atau terjadi penyimpangan
mutu.
Hasil analisis dengan diagram pareto untuk membantu menemukan
permasalahan yang terpenting untuk segera diselesaikan, dapat diketahui bahwa
penyimpangan mutu atau ketidaksesuaian

terhadap pelaksanaan rapat tim dan

pembagian tugas tim relatif lebih penting untuk segera dikendalikan. Sedangkan
hasil analisis diagram pareto terhadap pengendalian mutu proses pembelajaran dan
evalusasi hasil belajar menunjukkan bahwa dari 5 (lima) variabel pengamatan yang
tidak sesuai atau terjadi penyimpangan mutu, variabel sequensi penyampaian materi
dan ketidaksesuaian metode pembelajaran lebih dominan dan relatif lebih penting
untuk dikendalikan.
Hasil analisis fishbone chart, menunjukan faktor Man dan Metode lebih dominan
dalam penyebab dari ketidaksesuaian atau penyimpangan mutu.

Saran
Faktor manusia dan metode yang perlu menjadi perhatian, terutama masih
banyak staf yang belum pernah dilatih pengelolaan diklat. Hal pertama yang dapat
dilakukan oleh pimpinan adalah dengan melaksanakan in house training atau on the
job training kepada staf yang belum pernah dilatih pengelolaan diklat dengan
memanfaatkan tenaga widyaiswara dan staf yang sudah dilatih.
Ketersediaan tools evaluasi untuk menilai kinerja staf dalam persiapan
penyelenggaraan pelatihan sangat penting, jadi ini menuntut kesiapan pimpinan
untuk membentuk tim penyusunan tools evaluasi, berdasarkan spesifikasi tugas
pokok pekerjaan staf.
Pertemuan rutin perlu dijadwalkan untuk menggali permasalahan secara
brainstorming dengan seluruh staf menggunakan metode fishbone chart. Hal ini
sangat membantu dalam menentukan keputusan dan metode fishbone chart sangat
sederhana serta mudah dalam pengaplikasiannya.

548

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Daftar Pustaka
1. Carey, Raymond G.,2001, Measuring Quality Improvement in Healtcare : A
Guide to Statistical Process Control Aplication, American Society for Quality,
Winconsin
2. Deming, W.E, Out of The Crisis: Quality Productivity and Competitive Position,
Cambridge University Press, Cambridge, 1986
3. Ishikawa, Kaoru, 1989., Introduction to Quality Control. Japan : JUSE Press Ltd
4. Juran, J.M., 1992, Juran on Quality by Design, The Free Press, New York.
5. Munir, Baderel.,2004, Pengkajian Kebutuhan Pelatihan, Jakarta
6. Pohan, Imbalo, 2004., Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan, EGC, Jakarta
7. Pusdiklat Kemenkes RI, 2000., Modul Audit Mutu Internal, Jakarta
8. Pusdiklat Kemenkes RI, 2000., Modul Pemecahan Masalah QA, Jakarta

549

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

THE SIMILARITIES BETWEEN ENGLISH LEARNING ( L2 )


FOR LANGUAGE LEARNERS AND MOTHER LANGUAGE ( L1 ) ACQUIRING
AND LEARNING FOR CHILDREN
Yahmawati
LPMP Jambi
yahmabela@gmail.com

ABSTRACT
Students and the children learning

and acquiring habits have great

potential influences to students and childrens achievement in learning and


acquiring the language. The purpose of the research is to investigate students
and children learning habits in term of their habits in performing learning and
acquiring activities.
The research design which is used in this research is descriptive
research. The sample of the research is 30 of second year students of SMP 5
Jambi City and 30 mothers of the children. The instruments of the research were
questionnaire and observation .There were three learning and acquiring habits in
learning and acquiring. 1. They were Look for Pattern in a language; the students
and children learned language systematically, naturally, did not worry about the
grammar too much, concentrated on communicating, and never formally learned
the grammar on EFL. 2. Guess; Hazard , guess a new word, Use contextual text,
Use structural clues such as gesture, and tone of voice. And 3. Practice,
includes: Practice language with friends, with whom they only spoke using the
language, Practice language by reading in language, Practice English by
translating paper, and with language

television. Finally, it was strongly

recommended: more attention should be paid to intensively practice language


better achievement in language. It was found that between the L2 students and
the L1 children had the same strategies in learning and acquring the language.

Key words: English learning, mother language, acquire, learning

550

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

INTRODUCTION
The face of teaching and learning English has changed with the
emergence of firstly behaviorism and later cognitivism. Both have contributed
insights of how one should perceive learning and acquiring the language. In this
case English language ,is possible to establish a generic similarities between
acquiring and learning the L1 language for the children and the students
acquiring and learning the L2 language( English Language ).

One of the

remarkable characteristics of human beings is that the virtually every single one
acquires and learns the language at a very young age .Here the research focuses
on between how the students and the very young age children acquire and learn
the language as L1 and L2. It must be very complex of the system.
In discussing second language acquisition,there are some factors should
be considered The environment ( parents or adults and peers for children and
teachers and peers for students ) influence the children /students language
development very much. They carefully follow the movements of parents or
teachers mouth and try to imitate them. They are sensitive to the rhythm and
intonation

of

parents

/teachers

talk.(Benedict

de

Boysson-

Bardies,1999:37).Parents provide predictable repeated situations in which


meaning of utterances are clear to the children and the teacher do too. They do it
not only using the vocal but also non-vocal language.

METHOD
The research used a qualitative descriptive approach. The problem is
about the similarities between english learning ( l2 ) for language learners and
mother language ( l1 ) acquiring and learning for children.It is qualitative
because the writer observed the language acquisition and learning of the children
which requires a case study method .A case study is a research study that aims
at analyzing a phenomenon in its real life context.(Goode and Hutt 1982)
Library research is also employed for obtaining comprehensive data. In
the library research, the information is collected at the basis of the studying
references books.
In collecting the data, the subjects were investigated directly by the
researcher and the childrens mothers. Questionnaires were also distributed to

551

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

the students and the childrens mothers to obtain the comprehensive data. The
results were analyzed.
FINDINGS AND DISCUSSIONS
Environment has influenced the children and also the students in the
conversation very much.

Usually children like to talk about what they know

already, and they begin by talking about their surroundings.(Slob in and Sinclair
de Zwart,1973;in Clark and Clark 1977) Children build directly on this knowledge
when they come to formidable task of mapping ideas as communicative intention
onto language. But the first thing to be considered then is that one child has in
different mind , surroundings, and so on.
Attention getters and attention holders fall into two broad classes. The first
consists of names and exclamations. For example, often use the childs name at
the beginning of an utterance. This is an effective way to make the very young
children attends, even the one year old child. Their preference for the human
speech voice appears early on;in fact it seems quite likely that children are
innately predisposed attended prudentially to human speech versus other sounds.
According to Abdul Majid (Perencanaan Pembelajaran ,2008:16 ),
Learning is a process of teaching which is done by the a teacher in guiding,
assisting students in having the experience of knowledge or relatively permanent
change in a behavioral tendency which is caused the experience done
continuously in the time and is the result of reinforced practice of how to prepare
the learning experience for the students (Hilgard & Bower in Pupuh Fathurrohman
& M.Sobry Sutikno ,2007:5).
Acquisition learning is seen as going on all the time. It is 'concrete,
immediate and confined to a specific activity; it is not concerned with general
principles' (Rogers 2003: 18).
Formalized learning arises from the process of facilitating learning. It is
'educative learning' rather than the accumulation of experience. To this extent
there is a consciousness of learning - people are aware that the task they are
engaged in entails learning. 'Learning itself is the task.
In the past, learning used to be regarded as a passive process since the
students are just received the information without giving converse information.
Nowadays, leaning is not merely noticed as a passive process because it requires

552

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

other elements; motivation of the learners to form learning habits. As quoted from
Deci, E. (1972), motivation is the set of reasons that determines one to engage in
a particular behavior. While Hornby (1974:285) stated that habit is ones settled
practice. Activities which are done frequently will finally create a habit. In this
way, learning activity which is conducted frequently will create learning habit.
Learning habits which are formed by motivation not clearly showed the
interference of teacher and or schools prerequisites dealing with EFL. Some
experts of EFL endeavor to relate to what they see as their students sense of
motivation in class. Often, the motivation has positive impact in raising students
proficiency of EFL and the effect is usually long. In general, then, the students
natural interest is not, therefore, something which we can rely on to generate
sustained motivation in language learning.
Motivation, later, have a close relationship to students attitude in learning
EFL. Most of the students, when they feel that they are fail in learning process,
they admit to felling of frustration. In the other hand, students become
demotivated when they realize the importance in learning EFL.
There are four skills in learning language and also acquiring the
language.They are listening,speaking ,reading and writing. This research used
obseration to the chidren and questionnaires to the English teacher, students and
chidrens mom.
This research found learning habit used by the students in learning
English ( L2 ) and acquiring the language by the children (L1) as follows:
The finding is gathered from students questionnaire and observation done by the
childrenmoms

in listening ,speaking,reading and writing habit are similar for

students in learning L2 and the children acquire the L1:

Listening Habit
1. They liked to learn by listening to foreign language speakers,
2. They liked to listen teachers speaking English
3. They liked to listen to the language target songs.
4.

They liked to watch the language target in television movie

Speaking Habit
1. They liked to practice the language target with friends .

553

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

2. They liked to learn the target language by talking in pairs /peers.


3. They liked to talk in the target the language even mistakes.
4. They like to practice the target language .

Reading Habit
1. They liked to read books in target language .
2. They liked to read interesting instruction..
3. They liked to read advertisement in target language.

Writing Habit
1.

They liked to write the target language.

2. They liked to write exercise in free writing.


3.

They liked to write text presented visually.

4.

They liked to write down orally presented text.

5.

They liked to write everything in target language.

After giving the questionnaire to English teachers and observation by the mom
(Students learning the L2 in the class and children acquiring the language),
the finding are found .
1. The children learned the language step by step from the closest things.
The students learned English step by step from the most difficult to the easiest .
2. The children always asked the mom many times about the things he asks or
listen .
The teacher set up a need to communicate
3. The children liked Interesting magazine, book, and booklets.
The teacher presented some vocabulary using pictures .
4. The children learned from mistake in using the language.
The students learned from mistake in using the language .
5. The children made discussion with parents .
The teacher showed something interested in the students opinion and related to
the content of the lesson.
6. The children imitated language as native like .
The students imitated English as native like .
7. The children concentrated using the language on communicating.

554

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

8. The children screamed /cried /grumbled when they were not cared about.
The teacher challenged the students to think. .
9. The children showed something and ask.
The children eager to know by pointing something and asked.
10. The children tried to understand language by attending the parents said.
The teacher regularly demonstrated progress through repeating activities .
11. The direct guess a new word when he listened to language.
12. The children guess meanings from word context.
The teacher presented some vocabularies using explanation .
13. The children payed attention to tone of voice in speaking,
The teacher

helped

students to develop positive ,individual strategies for

learning.
14. The children read and guessed the story based on the pictures.
The teacher presented some vocabularies using mime .
15. The children read based on the pictures.
The students read based on the pictures.
16. The children listened to the language from the parents.
The teacher

helped

students to develop positive ,individual strategies for

learning.
17. The children repeated language from the parents and audiotape
The students imitate English as native like
18. The children practiced talkng by him/heself.
The teacher

helped students to develop positive ,individual strategies for

learning.
19. The children analyzed reading /listened based on the pictures /tape tv
The children free writo on his own.
20. The children talked to peers using their own language.
The teacher invited students to talk to friend in English
21. The children sang songs.
The students sang songs in English
22. The children practiced pronouncing the correct words.
The students practiced pronouncing correct word in English.
23. The children made discussion with friends/parents to solve problem.
The students discussed with students to solve English problem

555

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

From the questionaire ,it is found that how the children and the students
acquire and learn the language steps by steps are always the same. The children
and students always ask the mom /teacher many times about the things they
asked or listened that interest on them. The children likes Interesting magazine,
book, and booklets, while the teacher present some vocabulary using pictures to
make easy to understandfor the students. The children made discussion with
parents, while the teacher involve students in discussion.
The children imitate language as native like while the teacher imitates
English as native like. The children concentrate using the language on
communicating and the teacher practices conversation with the students. The
children scream / cry /grumble when they are not cared about. The children show
something and ask .The children try to understand language by attending the
parents say while the teacher uses English in teaching to make the students
familiar of English
The direct guess a new word when they

listen to language. While

regularly the teacher demonstrates progress through repeating activities.


The children guess meanings from word

context while the teacher

ensures that initial learning activities lead to success.


. The children pay attention to tone of voice in speaking. While the teacher
pays attention to tone of voice in speaking,
The children read based on the pictures while the parents presents some
vocabulary using pictures.
The children listen to the language from the parents while the teacher
gives instruction shortly and clearly.
The children repeat language from the parents and audiotape. The child
doesnt learn grammar.
The children practice talking by himself while the teacher practices
conversation with the students.
. The children analyze reading /listening based on the pictures /tape TV .
The children free write on his own. While the teacher shows interest in the
students opinion and relates the content of the lesson.
The children talk to peers using their own language. The children use
language on the phone The children sing songs.

556

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

The children practice pronouncing the correct words while the teacher
practices pronouncing correct word in English
. The children make discussion with friends/parents to solve problem while
the teacher makes discussion with students to solve English problem .
The research uses a qualitative descriptive approach. The problem is
about The similarities activities between the children in acquiring and learning
mother language ( L1 ) and students in learning the second language (L2 ).It is
qualitative because the writer observed the language acquisition and learning of
the children which requires a case study method .A case study is a research
study that aims at analyzing a phenomenon in its real life context.(Goode and
Hutt 1982)
Library research is also employed for obtaining comprehensive data. In
the library research, the information is collected at the basis of the studying
references books.
In collecting the data, the subjects were investigated directly by the
researcher and the childrens mothers. Questionnaires were also distributed to
the students and the childrens mothers to obtain the comprehensive data. The
results are analyzed.
DISCUSSION.

Based on the description of the finding above, the researcher presents the
following points to answer the first research question:
1. What are the habits and activities of the students in learning the language ( L2)
?
2. What are the habits and activities of the children in learning and acquiring the
language (L1)?
3. Is it similar between L1 and L2 acquiring and learning language for the children
and students?
For questions no.1 and 2, from the questionnaire given to 30 students,
mothers of the young children and the teachers , the learning habit that the
students use in learning English as L2 and the children acquire the language (L1)
divided into four skills, they are:

557

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

a. Listening habit ( students in L2 as foreign language ( English and


chidren in L1 as mother tongue )
The listening habit include: Listening foreign language speakers ( L2 ) and
L1 for children, listening to language cassette ( L2 /L1 ), listening to( L2/ L1)
song, listening to (English/L1 ) on television.

b. Speaking habit( students in L2 as foreign language ( English and chidren


in L1 as mother tongue )
The speaking habit include: Speaking with friend/peers in class/home,
speaking

impairs in (L2/L1), speaking in conversation in class/home,

speaking of out the class/home.

c. Reading habit
The reading habit include: Reading text, reading interesting novel , reading
magazine and reading advertisement . While for the children they read
pictures wether from books or magazine or advertisements .

d. Writing habit
The writing habit include: Writing instruction ,writing exercise in conference
meeting writing exercise in free writing in, writing text presented visually,
writing down orally presented text, and writing everything.

However, the category of the students and the children use learning
/acquiring habit for the four skills of language different each other for example the
students and the children sometimes listen to targetlanguage, sometimes reading
English /language, sometimes writing English/language , sometimes speaking
English language.
From the observation done by the mom and asked directly to the
mom of the children and the English teachers found as follows.
Language

acquisition

and

learned

occurs

when

conversation.

Conversation occured in the environment. Speaking to the children /students


needed a special way, which makes the conversation go on. How parents talk to
children had certain incidental consequences ,teachers do too. The children and

558

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

students are presented with specially tailored model of language use, adjusted to
fit, as far as possible, what they appear to understand.
The environment (parents or adults and peers for children and teachers
and peers for students ) influence the children /students language development
very much. They carefully follow the movements of parents or teachers mouth
and try to imitate them. They were sensitive to the rhythm and intonation of
parents /teachers talk.(Benedicto de Boysson-Bardies,1999:37).Parents provide
predictable repeated situations in which meaning of utterances are clear to the
children and the teacher do too. They did it not only using the vocal but also nonvocal language.
They learned /acquired the language from the things which are close to
them and usually used. They did like listening to the people who exposed the
language and ask what they dont know and want to know. They like listening to
the music or song and imitate it. They like to expose the language which they
have understood .They liked learning and acquiring from interesting pictures,
interesting book or booklet.
The children and the students guest the meaning from the context and the
pictures or the things show to them. The children and the students learn and
acquire step by step ,from the easy one.
The teachers and the moms used to repeat the word if the children and
the students didnt understand. The teachers and the moms encouraged the
children and the students. The moms and the teachers used to demonstrate the
language to make progress. The moms and the teachers involved to speak and
invite them to discuss or communicate.
There are many things that the students and children learn and or acquire
the language are the same.
CONCLUSION
Based on the result of the research, it can be concluded that there were a
number of learning and acquiring habit . The learning and acquiring are: Includes
listening to native speakers whether L1 or L2 for the children, listening to song,
listening on program television, speaking with friends or peers, teachers and
mothers, speaking in conversation. Reading texts, booklet or advertisements,
reading instruction, writing instruction, writing based on pictures, writing based on

559

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

advertisements, free writing, writing presented visually, writing down orally


presented text, writing everything.
In brief, it is clear that students and children are different in some cases
but they also have similarities in perceiving and believing, something that mostly
influenced their ability in learning the language or acquiring the language.
The use of various learning habit will improve the understanding and
performance of the students and the children about learning and acquiring the
language habit. What this research shows is to obtain a wealth of useful
information on students and children habit in learning and acquiring the language
whether as L1 and L2 . A teacher and a Mom can then use this data in the
learning and acquiring the language and execution of learning and acquiring
habits that will let the students discover more about themselves as language
learners, encourage the students to evaluate the learning habit and gives the
students the opportunity to explore new learning approaches/ techniques and
make any personal improvement to their existing learning behavior.

SUGGESTION
Based on the conclusion above, the students and English teachers, and
also the mom can consider the following suggestion in order to improve the
quality of English teaching and learning and acquiring the language :
1. It is better for the students and the children to use learning habit in English as (L2
for the students and L1 for young children ) , they have to increase their intensity
of their learning habit and acquiring habit in English language as L2 and regional
language as L1 by doing various activities they can use learning or acquiring
habit inside and outside of the class or house.
2. Regarding to the importance of learning and acquiring habit in L2 and L1 to, there
are some factors to be considered; Environment, teacher or mom as motivator, in
learning the conducive environment, professional teachers or moms, plays
important roles for the successful of learning and acquiring the language.
3. As L2 teacher and mom, the teacher and mom should know students and or
children learning and acquiring habit in L2 and L1 in other to make them easier in
conducting the teaching and learning process in the class and acquiring the
language at home. By knowing the students learning habit and acquiring habit ,
the teacher and mom can design well. How to make leaning and acquire run.

560

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

4.

Considering many problems in teaching and learning English ( L2 ), the


students should more pay attention to practice English.

561

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

REFERENCES

Ary, d., Jacobs, L. C., and Razavieh, A. (2002). Introduction to Research in


Education (4th ed.). Belmont: Wadsworth, Thomson Learning, Inc.

Coronado-Aliegro,

J.

(2007).

Enhancing

Learner

Self-Efficiency

through

Continuous Self-Assessment: Implication for the foreign language classroom. In


A. J. Moeller (ed.), 2007 Report of the Central State Conference on the Teaching
of Foreign Language (pp. 127-141). Milwaukee, WI: RMT

Coronado-Aliegro, J. (2008). The Effect of Self-Assessment on the Self-Efficiency


of Students. University of Pittsburgh.

Fraenkel, J. R. and Wallen, N. E. (1993). How to Design and Evaluate Research


in Education (2nd ed.). Singapore: McGraw-Hill.

Gardner, R.C. 1985. Social Psychology and Language Learning. Edward Arnold.
Hornby, A. S. (1974). Oxford Advanced Learners Dictionary of Current English.
Great Britain: Oxford University Press

Illeris,K. (2002) The Three Dimensions of Learning. Contemporary learning theory


in the tension field between the cognitive, the emotional and the social,
Frederiksberg: Roskilde University Press.

Mills, N. A. (2004). Self-Efficiency of College Intermediate Students: Relation to


motivation, achievement, and proficiency. Dissertation Abstracts International
Section: A: Humanities and Social Sciences, 65 (2-A), 440.

562

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

PENGEMBANGAN KEARIFAN LOKAL KALIMANTAN TENGAH


MENJADI KEUNGGULAN NASIONAL MELALUI PELATIHAN
MUATAN LOKAL MODEL TPPL
(TEORI PRAKTIK PENCIPTAAN DAN LAPORAN)
Penulis : Drs. Riyanta, M.Pd, Widyaiswara Madya LPMP Propinsi Kalteng)

Abstract: Based on observations of the author was still a lot of teachers who are less
competent in teaching and Local Studies (Mulok) due to the availability of learning
resources are minimal, the learning device is not yet available and virtually no training or
training on subjects Mulok, in addition it has not provided teachers Mulok who have
appropriate educational qualifications there are even schools that Muloknya be "English."
Mulok aims to equip students with the attitudes, knowledge and skills necessary to: get to
know to love and care for the natural environment, social, cultural, and spiritual in the
region; and preserve and develop excellence and wisdom useful area for themselves and
the local environment in order to support national development. Training Mulok model
"TPPL" with the explanation: Theory (T) is carried out when the facilitator did
Brainstrorming and exposure of the material. Prakktik Creation (PP) is implemented when
the participants identify local wisdom and sorting as well as select the type of local content
based on the results of this identification, create core competencies and basic
competencies, as well as to simulate Mulok choice in front of the other participants.
Reports (L) is implemented when the participants reported the results of its work, doing
presentations and try to simulate RPP Muloknya. This model is suitable for training model
two or three days to match 20 30 JP JP s.d, Mulok training usually does not stand alone
but combined with training Cultural Arts and crafts or other subjects. Therefore, this model
effectively, although the time provided little (JP) However the diklelola carefully if able to
produce a great understanding and skills. For example, the time available for training is
only available mulok: 8JP or 4JP. This model still needs to be developed so as to obtain
better education and training models of efficient and effective in the future.
Keywords: Local knowledge, excellence, national, Mulok, training, models TPPL
Riyanta, 2016: "Development of Local Wisdom Central Kalimantan Become a National
Excellence Through Training Local Content Model" TPPL "(Theory and Practice Creation
Report)"

A. Latar Belakang
Berdasarkan pengamatan penulis bahwa masih banyak guru yang kurang
kompeten dalam mengampu mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) terutama untuk
wilayah Propinsi Kalimantan Tengah. Hal itu karena ketersediaan sumber belajar yang
minim, perangkat pembelajaran yang belum tersedia dan hampir tidak ada pelatihan
atau diklat terhadap mata pelajaran Mulok tersebut, disamping itu belum tersedia guru
Mulok yang memiliki kualifikasi pendidikan yang sesuai dengan yang diajarkan karena
Perguruan Tinggi negeri maupun swasta di Kalimantan Tengah belum ada
program/meluluskan guru mata pelajaran Mulok tersebut. Sesungguhnya Mulok di
lingkungan Kalimantan Tengah sudah tersedia buku bahasa Daerah Dayak Ngaju

563

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

terutama di Kota Palangka Raya, yang diajarkan dari kelas 1 sampai kelas 6. Sungguh
tragis memang, banyak SD yang muatan lokalnya menjadi bahasa Inggris. Padahal
kearifan lokal Kalimantan Tengah sangat banyak tetapi belum tergali.
Wilayah Kalimantan Tengah yang sangat luas hampir setara luas Pulau Jawa,
tetapi belum banyak di kenal di wilayah Indonesia bahkan beberapa teman
widyaiswara masih ada

yang belum tahu bahwa Palangka Raya ibukota Propinsi

Kalimantan Tengah. Apalagi semboyan Palangka Raya Kota CANTIK hanya di kenal
secara lokal saja. Banyak ragam budaya, bahasa daerah, pakaian, adat-istiadat,
bentuk rumah, kuliner, ikan dan jamu tradisional dan lain-lain yang sesungguhnya
dapat ditampilkan di kancah nasional. Kita sendiri yang tinggal di Kalimantan Tengah
untuk urusan kuliner/makanan/jajanan belum ada nama yang populer seperti; soto
banjar, ketupat kandangan (makanan khas daerah Banjarmasin Kalimantan Selatan).
Seluang belom, pasak bumi itu sebagian jamu yang banyak terdapat di Kalteng.
Berdasarkan pengalaman penulis tahun 2014 yang melakukan pendampingan
terhadap guru kelas pada SDN-1 dan SDN-3 Baru, Kecamatan Arut Selatan
Kabupaten Kotawaringin Barat. Diklat Bimtek Guru Mata Pelajaran Mulok dan SBK
SD/MI Kab. Barito Utara tanggal, 1 s.d 3 Oktober 2015. Menunjukkan bahwa para guru
mempunyai ketertarikan yang tinggi terhadap mata pelajaran Muatan Lokal apabila
guru-gurunya mendapat pelatihan.
Pengembangan kurikulum pada satuan pendidikan terutama Mulok perlu
mendapat prioritas agar peserta didik memiliki kecakapan hidup yang dapat dicapai
melalui kompetensi dan pola hidup yang dapat menyesuaikan diri untuk berhasil di
masa mendatang. Struktur kurikulum pada satuan pendidikan terdiri dari tiga bagian
penting yaitu: pertama kelompok mata pelajaran yang dilaksanakan pada satuan
pendidikan sesuai jenjangnya, kedua; muatan lokal yang dapat dikembangkan sendiri
oleh satuan pendidikan sesuai kebutuhan dan karakteristik serta potensi daerah, dan
yang ketiga; pengembangan diri. Keanekaragaman Multikultur di Indonesia (adat
istiadat suku bangsa, tata cara, bahasa, kesenian, kerajinan, keterampilan daerah)
merupakan ciri khas yang memperkaya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Oleh
karena itu keanekaragaman tersebut harus selalu dilestarikan, dikembangkan, dan
dipertahankan melalui upaya pendidikan.
Muatan

lokal

memberikan

peluang

mengembangkan kemampuan dan keterampilan

kepada

peserta

didik

untuk

yang dianggap perlu oleh daerah

yang bersangkutan. Oleh karena itu, Muatan lokal harus memuat karakteristik budaya
lokal, keterampilan, nilai-nilai luhur budaya setempat dan mengangkat permasalahan

564

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

sosial dan lingkungan yang pada akhirnya mampu membekali siswa dengan
keterampilan dasar sebagai bekal dalam kehidupan (life skill).
Muatan lokal, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan atas Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan bahan kajian
yang dimaksudkan untuk membentuk pemahaman peserta didik terhadap potensi di
daerah tempat tinggalnya.
Muatan lokal sebagai bahan kajian yang membentuk pemahaman terhadap
potensi di daerah tempat tinggalnya bermanfaat untuk memberikan bekal sikap,
pengetahuan, dan keterampilan kepada peserta didik.
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, penulis berupaya
menyusun makalah berjudul Pengembangan Kearifan Lokal Kalimantan Tengah
Menjadi Keunggulan Nasional Melalui Pelatihan Muatan Lokal Model TPPL (Teori
Praktik Penciptaan Dan Laporan)

B. Tujuan
1.

Sebagai acuan bagi widyaiswara, fasilitator atau nara sumber pada kegiatan
pendidikan dan pelatihan (diklat) Mulok bagi; pengawas sekolah, kepala
sekolah, guru, dan komite sekolah) dalam mengembangkan muatan lokal oleh
masing-masing daerah dengan mengacu pada kearifan lokal yang sesuai
dengan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 22 tahun 2011.

2.

Mengembangkan kearifan lokal Kalimantan Tengah agar menjadi keunggulan


nasional baik bidang budaya, adat-istiadat, busana maupun kuliner

3.

Menyiapkan guru-guru Mulok yang lebih berdaya guna dan berhasil guna.

4.

Memperbaiki kekurangan dan kelemahan model diklat TPPLini.

C. Metodologi
Metode yang digunakan yaitu kajian dokumentasi dan demonstrasi dalam
penerapan Model diklat. Dalam Kajian dokumentasi dilakukan pengakjaian terhadap
pemberlakuan kurikulum, petunjuk teknik muatan lokan dan peraturan Gubernur
kalimantan Tengah nomor 22 tahun 2011. Metode demonstrasi dimaksudkan bahwa
penulis mencoba langsung pada pelatihan diklat Mulok dengan menggunakan model
TPPL: ini.
Pemberlakuan KTSP dan Kurikulum 2013 membawa implikasi bagi sekolah
dalam melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) sejumlah mata pelajaran,

565

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dimana hampir semua mata pelajaran sudah memiliki Kompetensi Inti dan Kompetensi
Dasar, sedangkan untuk Mata Pelajaran Muatan Lokal yang merupakan kegiatan
kurikuler yang harus diajarkan di kelas belum mempunyai Kompetensi Inti dan
Kompetensi Dasar seperti halnya mata pelajaran yang lain. Hal ini membuat kendala
bagi sekolah untuk menerapkan Mata Pelajaran Muatan Lokal. Pengembangan
Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar untuk mata pelajaran Muatan Lokal bukanlah
pekerjaan yang mudah, karena harus dipersiapkan berbagai hal untuk dapat
mengembangkan Mata Pelajaran Muatan Lokal sebagai konsekwensi dari penyetaraan
sebagai

mata

pelajaran.

Pengembangan

muatan

lokal

untuk

SD/MI

perlu

memperhatikan beberapa prinsip pengembangan sebagai berikut:


a. Kesesuaian dengan perkembangan peserta didik;
b. Keutuhan kompetensi;
c. Fleksibilitas jenis, bentuk, dan pengaturan waktu penyelenggaraan;
d. Kebermanfaatan untuk kepentingan lokal, nasional dan menghadapi tantangan
global; dan
e. Untuk kegiatan rekreatif yang bersifat menggembirakan dan menyenangkan.

Muatan lokal diajarkan dengan tujuan membekali peserta didik dengan sikap,
pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk:
1. Mengenal untuk mencintai dan peduli terhadap lingkungan alam, sosial, budaya,
dan spiritual di daerahnya; dan
2. Melestarikan dan mengembangkan keunggulan dan kearifan daerah yang berguna
bagi diri dan lingkungan daerahnya dalam rangka menunjang pembangunan
nasional.

Langkah dalam pengembangan Mata Pelajaran Muatan Lokal adalah sebagai berikut:
a.

Analisis Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ada di sekolah. Apakah masih
layak dan relevan Mata Pelajaran Muatan Lokal pilihan diterapkan di Sekolah?

b. Bila Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ditetapkan di sekolah tersebut masih
layak dilakukan maka kegiatan berikutnya adalah menyusun Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar
c.

Bila Mata Pelajaran Muatan Lokal yang ada tidak layak lagi untuk diterapkan,
maka sekolah bisa menggunakan Mata Pelajaran Muatan Lokal dari sekolah
lain

atau

tetap

menggunakan

Mata

Pelajaran

Muatan

Lokal

yang

dikembangkan oleh Tim Pengembang Kurikulum Dinas Kabupaten atau KKG/


MGMP yang lebih sesuai dengan potensi sekolah.

566

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Berdasarkan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor:

22 Tahun 2011

Tentang Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) Provinsi Kalimantan Tengah


menurut

pasal 5; Muatan Lokal (Mulok) merupakan bagian dari struktur dan muatan

kurikulum yang terdapat pada Standar Isi di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP). Pasal 6; Muatan Lokal (Mulok) merupakan Mata Pelajaran, sehingga Satuan
Pendidikan terkait harus mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
untuk setiap jenis Muatan Lokal (Mulok) yang diselenggarakan. Satuan Pendidikan wajib
menyelenggarakan satu Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) pada setiap semester
sehingga terdapat dua (2) Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) dalam satu tahun
pelajaran dan pasal; Materi Muatan Lokal (Mulok) meliputi dua belas (12) kearifan lokal
berupa: (1) Bahasa dan sastera daerah, (2) Kesenian daerah, (3) Keterampilan dan
kerajinan daerah, (4) Adat-istiadat dan hukum adat, (5) Sejarah lokal, (6) Teknologi lokal,
(7) Lingkungan alam/ekosistem, (8) Obat-obatan tradisional, (9) Masakanan tradisional,
(10) Busana tradisional, (11) Olah-raga tradisional, dan (12) Nilai budaya lokal dalam
perspektif global.
Struktur kurikulum memuat tiga kelompok yang harus disampaikan kepada peserta
didik yaitu: kelompok mata pelajaran, muatan lokal dan pengembagan diri. Muatan lokal
bukan mata pelajaran, namun diajarkan dan disetarakan dengan mata pelajaran. Sebagai
konsekuensinya sekolah harus menyusun kurikulum muatan lokal sendiri sesuai dengan
potensi sekolah dan lingkungannya. Sekolah perlu menyusun dan mengembangkan
Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar, silabus dan RPP dengan mengacu pada Standar Isi
yang ditetapkan oleh Kemdikbud. Penetapan Kompetensi Inti, Kompetensi Dasar dan
indikator adalah langkah awal dalam membuat kurikulum muatan lokal agar dapat
dilaksanakan di sekolah. Adapun langkah- langkah dalam mengembangkan Kompetensi
Inti dan Kompetensi Dasar adalah sebagai berikut:

1.

Menetapkan Kompetensi Inti


Kompetensi Inti adalah menentukan kompetensi yang didasarkan pada materi
sebagai basis pengetahuan, ketrampilan dan sikap. Kompetensi dinyatakan dalam
bentuk kompetensi inti kelas yang dirinci lebih lanjut dalam kompetensi dasar
matapelajaran. Kompetensi inti kelas menjadi unsur pengorganisasi (organizing
elements) kompetensi dasar, dimana semua kompetensi dasar dan proses
pembelajaran dikembangkan untuk mencapai kompetensi yang dinyatakan dalam
kompetensi inti. Untuk mata pelajaran Mulok tertentu misalnya : Seni Tari Daerah,
Olahraga Tradisional, Ketrampilan/Kerajinan sebaiknya mengacu pada Kompetensi
Inti Seni Budaya dan Prakarya (SBDP) yang sudah ada dalam Peraturan Mendikbud

567

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

No. 67 tahun 2013. Untuk materi Sejarah/Budaya Lokal dapat mengacu pada
Kompetensi Inti IPS/Sejarah. Apabila hal itu belum ada sama sekali, misalnya
Masakan Khas Daerah, Jamu ,Adat Istiadat maka perlu dibuat Kompetensi Inti
dengan memperhatikan konstruksi bahasa pada Peraturan Mendikbud tersebut.
2.

Pengembangan Kompetensi Dasar


Kompetensi dasar dikembangkan didasarkan pada prinsip akumulatif, saling
memperkuat (reinforced) dan memperkaya (enriched) antarmatapelajaran dan
jenjang pendidikan (organisasi horizontal dan vertikal). Penentuan ini dilakukan
dengan melibatkan guru, ahli bidang kajian, ahli dari instansi lain yang sesuai. Untuk
mata pelajaran Mulok tertentu misalnya : Seni Tari Daerah, Olahraga Tradisional,
Ketrampilan/Kerajinan sebaiknya mengacu pada Kompetensi Dasar Seni Budaya dan
Prakarya (SBDP) yang sudah ada dalam Peraturan Mendikbud No. 67 tahun 2013.
Untuk materi Sejarah/Budaya Lokal dapat mengacu pada Kompetensi Dasar
IPS/Sejarah. Apabila hal itu belum ada sama sekali, misalnya Masakan Khas Daerah,
Jamu, Adat Istiadat maka perlu dibuat Kompetensi Dasar dengan memperhatikan
konstruksi bahasa pada Peraturan Mendikbud tersebut.

3.

Pengembangan Silabus
Pengembangan silabus secara umum mencakup:
a) Mengembangkan indikator
b) Mengidentifikasi materi pembelajaran
c) Mengembangkan kegiatan pembelajaran
d) Pengalokasian waktu
e) Pengembangan penilaian
f) Menentukan Sumber Belajar
Menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP).
Setelah silabus selesai dibuat, maka guru perlu merencanakan pelaksanaan
pembelajaran untuk satu kali tatap muka atau lebih. Adapun komponen dari RPP
minimal memuat: a). Tujuan pembelajaran, b).Indikator, c). Materi Ajar/Pembelajaran,
d). Kegiatan Pembelajaran, e) Metode Pengajaran, f). Sumber Belajar
Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan
indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk
tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya
berupa tugas, proyek dan/atau produk, penggunaan portofolio, dan penilaian diri. Halhal yang perlu diperhatikan dalam penilaian.
a. Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian indikator dalam kompetensi.

568

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

b. Penilaian menggunakan acuan kriteria; yaitu berdasarkan apa yang bisa


dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran, dan bukan
untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya.
c. Sistem yang direncanakan adalah sistem penilaian yang berkelanjutan.
Berkelanjutan dalam arti semua indikator ditagih, kemudian hasilnya dianalisis
untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dimiliki dan yang belum
tercapai, serta untuk mengetahui kesulitan peserta didik.
d. Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut. Tindak lanjut berupa
perbaikan proses pembelajaran berikutnya, program remedi dan pengayaan.
e. Sistem penilaian harus disesuaikan dengan pengalaman belajar yang
ditempuh dalam proses pembelajaran.
Muatan lokal dirumuskan dalam bentuk dokumen yang terdiri atas: Kompetensi Inti
dan kompetensi dasar; Silabus serta RPP dan buku teks pelajaran.
Daya dukung pelaksanaan muatan lokal meliputi segala hal yang dianggap perlu dan
penting untuk mendukung keterlaksanaan muatan lokal di satuan pendidikan. Beberapa
hal penting yang perlu diperhatikan adalah kebijakan mengenai muatan lokal, guru,
sarana dan prasarana, dan manajemen sekolah.
1.

Kebijakan Muatan Lokal


Pelaksanaan muatan lokal harus didukung kebijakan, baik pada level pusat,
provinsi, kabupaten/kota, dan satuan pendidikan. Kebijakan diperlukan dalam hal:
a.

kerja sama dengan lembaga lain, baik pemerintah maupun swasta;

b.

pemenuhan kebutuhan sumber daya (ahli, peralatan, dana, sarana) dan

c.

penentuan jenis muatan lokal pada level provinsi dan kabupaten/kota sebagai
muatan lokal wajib yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik
daerah.

2.

Guru
Guru yang ditugaskan sebagai pengampu muatan lokal adalah yang memiliki:
a.

Guru yang mengampu mata pelajaran muatan lokal hendaknya sesuai dengan
latar belakang ijazah yang dimilikinya. Apabila tidak terpenuhi maka guru yang
akan mengampu memperoleh sertifikat pelatihan.

b.

Satuan pendidikan yang tidak memiliki tenaga khusus untuk muatan lokal
dapat bekerja sama atau menggunakan tenaga dengan pihak lain.

c.

Penambahan jumlah jam yang dilaksanakan melampaui jumlah yang ada di


struktur kurikulum nasional menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

569

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

d.

Mata pelajaran yang dikembangkan sendiri oleh daerah menjadi tanggung


jawab pemerintah daerah.

e.

Mata pelajaran yang dikembangkan sendiri oleh satuan pendidikan menjadi


tanggung jawab satuan pendidikan.

f.

Guru muatan lokal mendapatkan penghargaan yang sama dengan guru mata
pelajaran lainnya.

g.

Guru muatan lokal dapat berasal dari luar satuan pendidikan, seperti: satuan
pendidikan terdekat, tokoh masyarakat, pelaku sosial-budaya, dan lain-lain.

3.

Sarana dan Prasarana


Kebutuhan

sarana

dan

prasarana

muatan

lokal

harus

dipenuhi

oleh

satuanpendidikan. Jika satuan pendidikan belum mampu memenuhi kebutuhan


sarana dan prasarana, maka pemenuhannya dapat dibantu melalui kerja sama
dengan pihak tertentu atau bantuan dari pihak lain.
4.

Manajemen Sekolah
Pihak-pihak yang terkait dengan pengembangan dan pengelolaan muatan lokal,
antara

lain:

Satuan

sekolah/madrasah

Pendidikan,
secara

Kepala

sekolah,

guru,

bersama-sama

dan

komite

mengembangkan

materi/substansi/program muatan lokal yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi


di sekitarnya.
5.

Model Konseptual Diklat TPPL


Model Mulok Terintegrasi

Pemaparan
Panduan Teknis
MULOK

Model Mulok Berdiri Sendiri


Pergub. Kearifan Lokal

Diklat Model
TPPL

Diskusi 1 identifikasi Kearifan lokal

Proses
Identifikasi
Mulok

Diskusi 2 Pemilihan Kearifan lokal


dan Penyusunan KI ,KD

Penyusunan Silabus

Pengembangan RPP

Penetapan
Mulok
Petunjuk Penilaian

Bahan Ajar

570

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

D. Hasil
Kegiatan

diklat

Mulok

model

TPPL

ini

diawali

dengan

curah

pendapat/brainstroming dilanjutkan pemaparan materi diteruskan dengan diskusi ,


penyusunan silabus, RPP diakhiri dengan laporan sekaligus presentasi. Untuk lebih
jelasnya perhatikan skema berikut :
Skema Pelaksanaan Diklat Muatan Lokal Model TPPL sebagai berikut ;
Brainstorming

Pemaparan
Materi Mulok

Diskusi 1
Identifikasi
Kearifan Lokal

Diskusi 2 Praktik
Penciptaan Mulok

Penetapan Mulok
dan Penyusunan KI
dan KD
Penyusunan Silabus
RPP, Bahan Ajar

Refleksi

a.

Laporan,
Presentasi dan
Demonstrasi

Brainstorming
Peserta melaksanakan kegiatan eksplorasi dengan cara menggali informasi
sebanyak- banyaknya melalui kegiatan brainstorming, dan menjawab pertanyaan
secara lisan berikut:
Pentingkah Mulok diajarkan ?
Apa yang dimaksud muatan lokal ?
Masih sulitkah mengajar Mulok ?
Apa saja Jenis-Jenis Muatan Lokal yang pernah diajarkan ?
Apa saja dokumen yang diperlukan dalam pembelajaran muatan lokal ?
Bagaimana tahapan pengembangan Mulok dilakukan?
Siapa saja tim pengembang muatan lokal di sekolah Anda ?

b.

Pemaparan Materi Mulok


Pembelajaran terkait muatan lokal, dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran
antara lain mata; pelajaran seni budaya, prakarya, dan/atau pendidikan jasmani
olahraga, dan kesehatan. Contoh: Muatan lokal yang diintegrasikan ke dalam
muatan pelajaran Seni Budaya dan Prakarya adalah seni Karungut, dan Muatan
Lokal yang diintegrasikan pada muatan pelajaran Pendidikan Jasmani dan Olah

571

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Raga adalah sepak sawut, Muatan Lokal yang diintegrasikan pada muatan
pelajaran adat istiadat: Jipen.
Dalam hal pengintegrasian tidak dapat dilakukan, muatan pembelajaran terkait
muatan lokal dapat dijadikan mata pelajaran yang berdiri sendiri. Dengan mengacu pada
Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah nomor 22 tahun 2011 sebagai berikut; Kurikulum
Muatan Lokal (Mulok) Provinsi Kalimantan Tengah adalah Kurikulum Pendidikan yang
berbasiskan berbagai potensi daerah, ciri khas daerah, dan keunggulan daerah yang
selanjutnya disebut Kearifan Lokal (Local Wisdoms) Provinsi Kalimantan Tengah.
Kurikulum Muatan Lokal Mulok) adalah satu-satunya kurikulum yang dibuat di daerah
yang dikembangkan berdasarkan kebutuhan daerah yang bercirikan kearifan lokal, untuk
mengembangkan potensi yang sesuai dengan cirri khas/potensi, dan keunggulan daerah.
Muatan Lokal (Mulok) merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi
yang sesuai dengan cirikhas/potensi/keunggulan daerah yang meterinya tidak dapat
dikelompokan ke dalam Mata Pelajaran yang sudah ada. Substansi materinya ditentukan
oleh Satuan Pendidikan yang bersangkutan.
Muatan Lokal (Mulok) merupakan bagian dari struktur dan muatan kurikulum yang
terdapat pada Standar Isi di dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Muatan
Lokal (Mulok) merupakan Mata Pelajaran, sehingga Satuan Pendidikan terkait harus
mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis Muatan
Lokal (Mulok) yang diselenggarakan. Satuan Pendidikan wajib menyelenggarakan satu
Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) pada setiap semester sehingga terdapat dua (2)
Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) dalam satu tahun pelajaran. Materi Muatan Lokal
(Mulok) meliputi dua belas (12) kearifan lokal berupa: (1) Bahasa dan sastera daerah, (2)
Kesenian daerah, (3) Keterampilan dan kerajinan daerah, (4) Adat-istiadat dan hukum
adat, (5) Sejarah lokal, (6) Teknologi lokal, (7) Lingkungan alam/ekosistem, (8) Obatobatan tradisional, (9) Masakanan tradisional, (10) Busana tradisional, (11) Olah-raga
tradisional, dan (12) Nilai budaya lokal dalam perspektif global. Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota dan Provinsi wajib melaksanakan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok)
sesuai ciri khas/keunggulan/potensi daerah seperti yang tersebut di dalam dua belas (12)
kearifan lokal (bukan yang selain dari itu) agar terjadi transformasi nilai budaya lokal ke
dalam budaya globalisasi. Sekolah pada Tingkat Satuan Pendidikan masing-masing di
setiap Kabupaten/Kota wajib melaksanakan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) sesuai
dengan alokasi waktu yang tersedia untuk itu, yaitu 2 jam pertemuan per minggu.
Guru Muatan Lokal (Mulok) diangkat oleh Bupati/Walikota, Dinas Pendidikan dan
Yayasan setempat atas usul Kepala Sekolah setelah berkoordinasi dengan Komite

572

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Sekolah. Guru Muatan Lokal (Mulok) adalah seseorang (diprioritaskan) dari suku Dayak
Kalimantan Tengah atau orang lain selain suku Dayak yang berpengetahuan,
berketerampilan mengenai kearifan lokal yang mempunyai rasa memiliki dan rasa ikut
bertanggung jawab serta punya komitmen untuk memajukan dan mengembangkan
potensi dan keunggulan daerah yang berbasiskan dua belas (12) kearifan lokal. Guru
Muatan Lokal (Mulok) diwajibkan untuk mengikuti pendidikan, pelatihan, dan penataran
yang diperuntukan baginya untuk pengembang diri sesuai ketentuan yang berlaku.
Kepala Sekolah dapat mengajukan calon Guru Muatan Lokal (Mulok) menjadi guru
bantu atau guru kontrak untuk mengajar mata pelajaran Muatan Lokal (Mulok) kepada
Bupati/Walikota dan Dinas Pendidikan Provinsi setelah berkoordinasi dengan Komiti
Sekolah. Guru Muatan Lokal (Mulok) yang berstatus guru kontrak, guru bantu, tenaga
honorer dapat diangkat atau mengikuti test CPNS yang diperuntukan baginya sesuai
ketentuan yang berlaku.
Masing-masing

SKPD

Kabupaten/Kota

dan

Provinsi

agar

menganggarkan

pembiayaan pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) melalui APBD dan didukung
oleh APBD Provinsi. Besarnya gajih atau penghasilan guru Muatan Lokal (Mulok) yang
berstatus guru kontrak atau guru bantu (tenaga honorer) ditentukan oleh Komite Sekolah
yang merujuk kepada Standar Upah Minimum Provinsi Kalimantan Tengah yang berlaku
saat itu, yang anggarannya bisa bersumber dari Anggaran Dinas Pendidikan
Kabupaten/Kota dan Provinsi atau anggaran lainnya yang sesuai dengan ketentuan
undang-undang.
c.

Diskusi 1 Identifikasi Kearifan Lokal


Peserta diklat yang berjumlah 40 orang dibagi menjadi 8 kelompok jadi masing masing kelompok berjumlah 5 orang. Setiap kelompok berdiskusi membahas kearifan
lokal untuk dijabarkan menjadi jenis-jenis Mulok :
Lk.01 Identifikasi Muatan Lokal (Mulok)
No
1

Kearifan Lokal
Bahasa dan Sastra daerah

Kesenian Daerah

Ketrampilan dan Kerajinan


Daerah
Dll.

Jenis-jenis Identifikasi Mulok


1.
2.
1.
2.
1.
2.

Untuk kelompok 1 dan 5 dengan kearifan Lokal : 1,2,3


Untuk kelompok 2 dan 6 dengan kearifan Lokal : 4,5,6
Untuk kelompok 3 dan 7 dengan kearifan Lokal : 7,8,9
Untuk kelompok 4 dan 8 dengan kearifan Lokal : 10,11,12

573

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kelompok yang demikian untuk mendapatkan keaneragaman jenis-jenis


Mulok yang banyak, sehingga penggalian atau eksplorasi kearifan lokal secara
sungguh-sungguh yang sesuai dengan kondisi sekitar tempat tinggal guru. Hasil
diskusi diperoleh sebagai berikut :
1. Bahasa dan Sastra daerah teridentifikasi Mulok sebagai berikut : Bahasa Dayak
Ngaju, bahasa Bakumpai. Dua bahasa daerah ini paling banyak dipakai oleh
masayakat di Muara Teweh Kabupaten Barito Utara.
2. Kesenian Daerah teridentifikasi Mulok sebagai berikut : Untuk Tari ; tari Manase,
tari Giring-giring, tari Dadas, Batirik dan tari Mandau
3. Ketrampilan dan Kerajinan teridentifikasi Mulok sebagai berikut : anyaman rotan
untuk berbagai bentuk seperti tas, topi, vas bunga dan daur ulang dari sampah
plastik untuk berbagai kerajinan, dekorasi.
4. Adat istiadat dan hukum adat teridentifikasi Mulok sebagai berikut : Jipen,
upacara Wara, upacara tiwah dan sandung.
5. Sejarah lokal teridentifikasi Mulok sebagai berikut : Sejarah Panglima Batur,
Pahlawan Tjilik Riwut.
6. Teknologi lokal teridentifikasi Mulok sebagai berikut : pembuatan perahu
(miniatur) dari kayu dan pembuatan jukung, pembuatan rumah betang (mini)
pembuatan/pengawetan; ikan asin.
7. Lingkungan alam / ekosistem teridentifikasi Mulok sebagai berikut : briket dari dari
tanah gambut, green house (hutan mini), pelestarian hewan dan tumbuhan yang
dilindungi.
8. Obat-obatan tradisional teridentifikasi Mulok sebagai berikut : tanaman Toga
(tanaman obat untuk keluarga) Jamu tradisional, tanaman obat khas Kalteng;
pasak bumi, bawang hutan, seluang belom dll.
9. Masakan tradisional teridentifikasi Mulok sebagai berikut : jajanan lapok durian,
lamang, sayur umbut rotan, sayur pisang muda, daun umbi tumbuk dan
pembuatan wadi dan tempuyak.
10. Busana Tradisonal teridentifikasi Mulok sebagai berikut : batik motif khas
Kalteng, ukiran khas Dayak, ikat kepala/kopiah (lawung) khas Kalteng, baju
pengantin.
11. Olahraga tradisional teridentifikasi Mulok sebagai berikut : sepak sawut, bese
kambe, gasing, sumpit, balogo dll.
12. Nilai budaya lokal perspektif global teridentifikasi Mulok sebagai berikut :
mengenal simbol-simbol daerah Kalteng dan maknanya (misalnya; Isen mulang
artinya maju terus/pantang menyerah),

574

budaya huma betang, makna batang

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

garing dan makna burung tingang.


d. Diskusi 2 Praktik Penciptaan Mulok
Setelah melakukan identifikasi kearifan lokal maka kegiatan selanjutnya
melakukan praktik penciptaan Mulok sesuai dengan kekuatan dan kemampuan
sekolah masing masing. Dari hasil identifikasi 12 kearifan lokal maka dipilah dan
dipilih dengan kebutuhan sekolah masing-masing. Praktik penciptaan Mulok terjadi
ketika peserta dapat memilah dan memilih dari bermacam macam jenis Mulok hasil
identifikasi Kearifan Lokal. Konsekwensinya peserta dapat melaksanakan Mulok di
satuan pendidikannya berdasarkan pilihannya tersebut, karena Mulok inilah yang
sesuai dengan kondisi daerah di sekitar sekolahnya. Maka Mulok yang layak dan
wajar dilaksanakan seperti :

bahasa Dayak Bakumpai Barito Utara,

tari

mandau, tari giring-giring, anyaman rotan, jipen, pembuatan perahu (miniatur)


untuk cendera mata, lapok durian dan olahraga tradisional.
e. Penetapan Mulok dan Penyusunan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar
(KD)
Setiap kelompok berdiskusi membahas satu pilihan Muatan Lokal untuk
dijabarkan dalam Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar. Sehingga tiap kelompok
fokus untuk menyusun dan mengembangkan KI dan KD Mulok. Pembagian
kelompok tetap (8 kelompok) dengan tugas masing masing : bahasa Dayak
Bakumpai Barito Utara, tari mandau,

tari giring-giring, anyaman rotan, jipen,

pembuatan perahu (miniatur) untuk cendera mata, lapok durian dan olahraga
tradisional.
Lk.02 Identifikasi KI-KD Mata Pelajaran Muatan Lokal (Mulok) kelompok 1

No
1

Penetapan Mulok
Hasil Identifikasi
Bahasa Dayak
Bakumpai Barito
Utara

KI

KD

KI.1.*

KD 1.1.*

KI 2.*

KD 2.1*

KI 3

KD 3.1
KD 3.2
KD 3. 3

KD 4.

KD 4.1
KD 4.2
KD 4.3

* Untuk KI 1 s.d KI 4 serta KD 1. dan KD 2. mengacu pada Bahasa Indonesia


pada Permendikbud

575

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

f.

Penyusunan Silabus RPP, Bahan Ajar


Satuan pendidikan yang mampu mengembangkan kompetensi inti/
standar

kompetensi

dan

kompetensi

dasar

beserta

silabusnya

dapat

melaksanakan mata pelajaran muatan lokal. Apabila satuan pendidikan belum


mampu mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar beserta
silabusnya,

maka

satuan pendidikan dapat melaksanakan muatan lokal

berdasarkan kegiatan-kegiatan yang direncanakan oleh satuan pendidikan, atau


dapat meminta bantuan kepada satuan pendidikan terdekat yang masih dalam
satu daerahnya. Beberapa satuan pendidikan dalam satu daerah yang belum
mampu mengembangkannya dapat meminta bantuan tim pengembang kurikulum
daerah atau meminta bantuan dari Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan
(LPMP) di propinsinya.
Sebelum membuat silabus perlu terlebih dahulu KI dan KD yang disusun
tersebut perlu diverifikasi dan selanjutnya dibuatkan indikator per KD. Barulah per
kelompok berdiskusi menyusun Silabus dengan LK. 03 Menyusun silabus

No

Penetapan
Mulok Hasil
Identifikasi
Bahasa Dayak
Bakumpai
Barito Utara

KI

KI.1.*
KI 2.*
KI 3

KD

KD 1.1.*
KD 2.1*
KD 3.1

KD 3.2

KD 4.

Indikator

3.1.1
3.1.2
3.1.3
3.2.1
3.2.2
Dst

KD 3. 3
KD 4.1
KD 4.2
KD 4.3

Selanjutnya barulah menyusun RPP dengan LK.04 Menyusun RPP


Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Satuan Pendidikan
:
Kelas/semester
:
/
Tema/ Sub tema
:
Pembelajaran ke:
Waktu
:
Hari/tanggal
:

576

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

A. Kompetensi Inti
B. Kompetensi Dasar dan Indikator
C. Tujuan Pembelajaran
D. Materi pelajaran
E. Metode Pembelajaran
F. Sumber dan Media
G. Langkah-langkah Kegiatan Pembelajaran
1. Pendahuluan
2. Kegiatan Inti
3. Penutup
H. Penilaian
,2016
Guru Kelas,

Mengetahui
Kepala Sekolah
..
g. Laporan, Presentasi dan Demonstrasi

..

1) Laporan
Setiap tugas yang dikerjakan hasilnya dikumpulkan sebagai bahan laporan dan
perlu dikomentari oleh fasilitaor.
2) Presentasi dan Demonstrasi
Setiap kelompok dalam menyampaikan hasil kerja dipresentasikan di depan kelas
dan untuk hasil penyusunan RPP disimulasikan atau didemonstrasikan sehingga
peserta diklat memiliki pemahaman dan pengalaman baru terkait strategi dalam
pembelajaran Mulok.

D. Diskusi
Diklat dengan menggunakan model TPPL pada dasarnya sesuai untuk
semua jenjang Pendidikan. Model ini dapat sesuai juga untuk pola diklat dua
atau tiga hari yang setara 20 s.d 30 JP. Biasanya diklat Mulok ini tidak berdiri
sendiri, melainkan digabung dengan diklat Seni Budaya dan Prakarya atau mata
pelajaran yang lain. Oleh karena itu model ini efektif meskipun waktu yang
disediakan sedikit (JP nya kecil) namum apabila diklelola secara cermat akan
menghasilkan pemahaman dan ketrampilan yang optimal. Misalnya waktu yang
disediakan untuk pelatihan MULOK tersebut tersedia 8 JP maka model
pengalokasian pada struktur program diklat Mulok model TPPL sbb:
No

Materi Diklat

1
2

Perkenalan Brainstorming
Pemaparan Materi Mulok

Alokasi
waktu*
(Model
8JP)
25
45

577

Keterangan

Tanya jawab
Penjelasan Mulok terintegrasi,
dan Mulok berdiri sendiri dan

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Diskusi 1 Identifikasi
Kearifan Lokal
Diskusi 2 Praktik
Penciptaan Mulok

25
20

panduan Mulok
LK. 01 sudah disiapkan oleh
fasilitator sebelumnya
Kegiatan memilah dan memilih
dari hasil identifikasi Kearifan
Lokal
LK 02 Penyusunan Ki dan KD

Penetapan Mulok dan


45
Penyusunan KI dan KD
Mulok
Penyusunan silabus dan 90
LK 03 Merumuskan Indikator
RPP serta bahan ajar
dari KD Mulok
Laporan, Presentasi dan 90
Mensimulasikan pembelajaran
simulasi
Mulok
Refleksi
20
LK 04 Mengisi lembar Refleksi
Untuk alokasi waktu 4 JP dapat menggunakan pola sebagai berikut:

6
7
8
No

Materi Diklat

Perkenalan
Brainstorming
Pemaparan
Mulok

Alokasi waktu*
(Model 4 JP)
15
Materi 30

Diskusi 1 Identifikasi
Kearifan Lokal
Diskusi 2 Praktik
Penciptaan Mulok

15
15

Keterangan
Tanya jawab
Penjelasan Mulok terintegrasi,
dan Mulok berdiri sendiri dan
panduan Mulok
LK. 01 sudah disiapkan oleh
fasilitator sebelumnya
Kegiatan memilah dan memilih
dari hasil identifikasi Kearifan
Lokal
LK 02 Penyusunan Ki dan KD

Penetapan Mulok dan


30
Penyusunan KI dan KD
Mulok
6
Penyusunan silabus dan 30
LK 03 Merumuskan Indikator
RPP serta bahan ajar
dari KD Mulok
7
Laporan, Presentasi dan 30
Mensimulasikan pembelajaran
simulasi
Mulok
8
Refleksi
15
LK 04 Mengisi lembar Refleksi
*Catatan untuk model 4JP ini dapat disiasati dengan LK 01 yang sudah sebagian
5

hasil

Identifikasi Kearifan Lokal sehingga peserta tinggal menambahkan

identifikasi yang belum tercantum pada kolom tersebut.


Penjelasan singkat maksud Diklat Mulok model TPPL adalah Teori (T) ;
dilaksakan ketika fasilitator melakukan Brainstrorming dan pemaparan

materi.

Prakktik Penciptaan (PP); dilaksanakan ketika peserta melakukan identifikasi


kearifan lokal dan memilah serta memilih jenis muatan lokal berdasar hasil
identifikasi tersebut, membuat Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar, sekaligus

578

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dapat mensimulasikan Mulok pilihannya di hadapan peserta lainnya. Laporan (L);


dilaksanakan ketika peserta melaporkan hasil kerjanya, melakukan presentasi dan
mencoba mensimulasikan RPP Muloknya.

E. Kesimpulan
Hasil penulisan ini disiapkan untuk membantu widyaiswara/fasilitator untuk
dapat memberikan diklat dalam menyusun

muatan lokal bagi setiap Satuan

Pendidikan. Pengembangan dan pelaksanaan muatan lokal harus tetap sinergi dengan
pengembangan dan pelaksanaan kurikulum pada satuan pendidikan. Keterlibatan
berbagai unsur, terutama di tingkat satuan pendidikan seperti: guru, kepala sekolah,
serta komite sekolah/madrasah diperlukan untuk mencapai tujuan muatan lokal.
Diklat Mulok model TPPL dengan uraian sebagai berikut Teori (T): dilaksanakan
ketika fasilitator melakukan Brainstrorming dan pemaparan
Penciptaan

materi.

Prakktik

(PP) : dilaksanakan ketika peserta melakukan identifikasi kearifan lokal

dan memilah serta memilih jenis muatan lokal berdasar hasil identifikasi tersebut,
membuat Kompetensi Inti dan
Mulok

Kompetensi Dasar, sekaligus dapat mensimulasikan

pilihannya di hadapan peserta lainnya. Laporan (L): dilaksanakan ketika

peserta

melaporkan

hasil

kerjanya,

melakukan

presentasi

dan

mencoba

mensimulasikan RPP Muloknya.


Model ini masih perlu terus diupayakan untuk dikembangkan sehingga
memperoleh model diklat yang semakin baik yang berdaya guna dan berhasil guna
dalam mengembangkan kearifan lokal di wilyayah Indonesia, khusunya Propinsi
Kalimantan Tengah.
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Menterian Pendidikan dan Kebudayaan. 2014. Panduan Teknis
Pendampingan di SD. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar.
Panduan Teknis Pendampingan Kurikulum 2013 di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Di SD.
Panduan Teknis Pembelajaran di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Penilaian di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Pengisian Rapor dan Buku Induk di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Remedial Dan Pengayaan di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Pengembangan Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Pelaksanaan Bimbingan Psiko-Edukatif di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Interaksi Sekolah Dengan Orangtua di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Pemanfaatan TIK Dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Panduan Teknis Pengembangan Muatan Lokal di Sekolah Dasar

579

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Panduan Teknis Menyusun Buku I Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di


Sekolah Dasar
Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor:
22 Tahun 2011 Tentang
Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal (Mulok) Provinsi Kalimantan Tengah
Permendikbud RI Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar
dan Menengah.
Permendikbud RI Nomor 66 Tahun 2013 tentang Standar Penilaian Pendidikan
Dasar dan Menengah.
Permendikbud RI Nomor 67 Tahun 2013 tentang Struktur dan Kerangka Dasar
Kurikulum Sekolah Dasar/ Madrasah.
Permendikbud Nomor 79 Tahun 2014 Tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013

580

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RENDAHNYA KESERTAAN KB


MELALUI METODE KONTRASEPSI JANGKA PANJANG (MKJP)
DI KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT
Oleh: MUNAWAR SHODIQ, S.A.N.
Widyaiswara Ahli Pertama Perwakilan BKKBN Provinsi Lampung
Jl. Abdi Negara No. 3 Teluk Betung Utara 35214
(Diterima 14 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstract:
This research aims to know and decribe factors of the low rate of family planning participation of
the long-term contraceptive methods in the West Tulang Bawang District. This essay based on the
analysis influencing of the long term contraceptive method in the West Tulang Bawang District
and the data was taken from the analysis of the 2014 family planning and population program of
the Lampung province, which shown that the achievement of the long term contraceptive method
was 16.21%, it was much lower than the acievement in the province level (22.03%), and in the
national level (26.03%). This research methods used a qualitative descriptive method with a
triangulation data and was analyzed using an interactive descriptive model. Based on the results
shown that factors influencing the low rate of family planning participation using the long term
contraceptive method in the West Tulang Bawang District are (1) medical personnels, (2)cultural;
(3)Social; (4)Economic factor; (5)Education factor; (6)Family Planning facilities and services
Keywords: Medical personnels, cultural, social ; Economic factor; Education factors, Family
Planning facilities and services, the long-term contraceptive methods
Corresponding author: Munawar Shodiq, E-mail: munawarshodiq.bkkbn@gmail.com

Pendahuluan
Indonesia menghadapi masalah jumlah penduduk yang terus meningkat, maka dalam hal ini
pemerintah terus berupaya melaksanakan upaya-upaya preventif untuk mencegah kenaikan
angka kelahiran yang tidak terkendali. Tidak terkendalinya laju penduduk ini tidak dapat
dipisahkan dari anggapan tradisional masyarakat kita yang masih meyakini bahwa banyak anak
akan mendatangkan banyak reziki. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan sebaliknya
yakni semakin banyak anak di zaman sekarang justru dapat menjadi beban keluarga dan negara,

581

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

misalnya, untuk pengeluaran belanja pendidikan, permintaan pelayanan publik, dan kualitas
lingkungan.
Dalam konteks di atas, berdasarkan hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2007 dan 2012 menunjukkan bahwa angka kelahiran yang dihitung dari rata-rata kelahiran (TFR)
wanita berusia 15-49 tahun telah mengalami kenaikan dari 2,4 perwanita, menjadi 2,6. Terjadi
peningkatan dari angka kelahiran. Temuan demikian sejalan dengan hasil Sensus Penduduk
2010, dimana jumlah penduduk Indonesia melebihi perkiraan yang ditetapkan sebelumnya
(Elfindri & Fasli Jalal, 2014: 17).
Lemahnya pengendalian angka kelahiran di Indonesia menurut beberapa pengamat disebabkan
oleh

beberapa

fenomena,

yaitu;

pertama,

setelah

desentralisasi

intensitas

kebijakan

kependudukan dan segala program di daerah tidak lagi setajam di era Orde Baru; kedua, capaian
penggunaan kontrasepsi sekalipun sudah relatif tinggi namun efektifitas penggunaan alat
kontrasepsi masih rendah. Di mana peserta KB aktif umumnya adalah wanita dan berdimensi
kontrasepsi jangka pendek. Persoalan ini menjadi semakin kompleks ketika biaya untuk
mendapatkan kontrasepsi relatif tinggi untuk ukuran kurang mampu; ketiga, prioritas program KB
dalam menjangkau kelompok PUS masih belum terlayani secara maksimal. SDKI 2007 dan 2012
menunjukkan angka unmeet need yang masih berkisar antara 11-12 persen. Padahal jika
program KB diarahkan kepada kelompok ini sebenarnya akan semakin baik dampaknya terhadap
penurunan angka kelahiran.
Terkait penyelenggaran Keluarga Berencana (KB) di era otonomi daerah, pelaksanaan KB secara
struktural berada di bawah koordinasi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)
hanya di tingkat provinsi, sementara pada level kabupaten/kota secara penuh dilimpahkan kepada
daerah. Sejak saat itu, muncul beragam variasi kebijakan terhadap KB di tingkat daerah/kota.
Bahkan, sebagian besar daerah menganggap program KB tidak termasuk skala prioritas dan
bukan sektor strategis. Padahal, pertambahan jumlah penduduk yang tidak terkendali
mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan seperti, ekonomi, pendidikan, lingkungan,
kesehatan, dan sosial. Berbagai persoalan ini jika tidak terpenuhi akan memunculkan persoalan
sosial lainnya seperti pengangguran, pencurian, permpokan, pembegalan, dan masalah kriminal
lainnya. Masalah-masalah tersebut akan menambah beban bagi pemerintah baik pusat maupun
daerah.

582

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Untuk mempercepat pengendalian fertilitas melalui penggunaan kontrasepsi, program keluarga


berencana nasional di Indonesia lebih diarahkan kepada pemakaian Metoda Kontrasepsi Jangka
Panjang (MKJP), karena metode ini dikenal efektif dan efisien untuk tujuan pemakaian
menjarangkan kelahiran atau mengakhiri kehamilan pada pasangan yang sudah tidak ingin
tambah anak lagi. sekaitan dengan hal tersebut, Kabupaten Tulang Bawang Barat merupakan
salah satu daerah di Provinsi Lampung yang memiliki capaian rendah dalam penggunaan MKJP.
Berdasarkan hasil Telaah Program Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga Provinsi
Lampung Tahun 2014, Kabupaten Tulang Bawang Barat baru memiliki akseptor KB MKJP
sebesar 16,21%. Capaian KB melalui MKJP dari kabupaten ini berada pada kuadran IV dengan
katergori rendah. Hal ini jauh lebih rendah daripada capaian KB MKJP di tingkat provinsi, yakni
sebesar 22,03% dan di tingkat nasional sebesar 26,03%.

Berkaitan dengan masalah di atas, kajian ini diharapkan dapat menggambarkan dan
mendeskripsikan Faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya kesertaan KB melalui metode
kontrasepsi jangka panjang (MKJP) di Kabupaten Tulang bawang Barat tahun 2014.

Metodologi
Berangkat dari hasil Telaah Program Kependudukan, KB dan Pembangunan Keluarga Provinsi
Lampung Tahun 2014, Kabupaten Tulang Bawang Barat baru memiliki akseptor KB MKJP
sebesar 16,21%. Capaian KB melalui MKJP dari kabupaten ini berada pada kuadran IV dengan
katergori rendah. Hal ini jauh lebih rendah daripada capaian KB MKJP di tingkat provinsi, yakni
sebesar 22,03% dan di tingkat nasional sebesar 26,03%. Selanjutnya yang dijadikan sumber data
dari kajian ini adalah SKPD, PLKB dan Medis (bidan dan dokter) yang ada di wilayah Tulang
Bawang Barat. Adapun penentuan sumber data kajian ini dilakukan dengan cara purposive, yakni
mendapatkan sumber data disesuaikan dengan kebutuhan. Oleh sebab itu, sumber data kajian ini
adalah hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa informan (SKPD, PLKB dan petugas
Medis (bidan dan dokter) yang ada di daerah terteliti. Dalam hal ini, informan yang diwawancarai
dalah beberapa informan yang dibutuhkan saja (purposive) yang dianggap mampu memberikan
keterangan yang diperlukan dan tentu saja keabsahan datanya dapat dipercaya. Informan yang
diwawancarai dalam kajian ini diambil secara snowball dengan tujuan agar data yang diinginkan
benar-benar terpenuhi dan terwakili. Oleh sebab itu, pengambilan data dalam kajian ini melalui
wawancara mendalam (in depth interview) terhadap orang-orang yang dibutuhkan keterangannya
sehingga diperoleh data yang mencapai titik kejenuhan dan dapat dipertanggungjawabkan.

583

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif yang bersifat interaktif yang
disampaikan oleh Hubberman dan Miles (1992:20) di mana terdapat tiga hal utama dalam analisis
interaktif, yakni: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Hal tersebut
menurut Fuad dan Nugroho (2014) sebagai suatu yang jalin menjalin pada saat sebelum, selama,
dan sesudah pengumpulan data dalam bentuk sejajar, untuk membangun wawasan umum yang
disebut analisis. Adapun langkah-langkah menganalisis data dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Melakukan pengumpulan data di lapangan.
2. Melakukan reduksi data dalam arti data tersebut dipilih dan difokuskan sesuai pertanyaan
penelitian serta dilakukan analisis secara deskriptif interaktif untuk mendapatkan data yang
sesungguhnya.
3. Melakukan penyajian data yang telah dianalisis sebagai upaya untuk menarik sebuah
kesimpulan dan pengambilan keputusan terhadap data yang telah dianalisis.
4. Melakukan verifikasi atau menarik sebuah kesimpulan terhadap hasil penelitian.

Hasil
Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan terungkap bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi rendahnya kesertaan keluarga berencana (KB) melalui metode kontrasepsi jangka
panjang (MKJP) di Kabupaten Tulang Bawang Barat meliputi:
a. Faktor Petugas Medis
Faktor petugas medis (bidan dan dokter) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
rendahnya kesertaan KB MKJP di Kabupaten Tulang Bawang Barat. Berdasarkan keterangan
yang didapat, hal ini dikarenakan selain petugas medis yang masih masih terbatas, juga
dikarenakan petugas medis sendiri sebagai ujung tombak lebih menyukai penggunaan suntik.
Petugas medis merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi penting dan
strategis terutama dalam penurunan angka kelahiran. Maka, dalam konteks di atas cara yang
paling efektif untuk menggalakan program KB MKJP adalah melalui penguatan petugas
kesehatan dalam pelayanan dan peningkatan kualitas seperti bidan-bidan desa untuk
berperan secara aktif dalam memberikan pemahaman dan pelayanan kepada masyarakat
tentang manfaat KB MKJP. Pelatihan kepada bidan desa sangat penting digalakkan
mengingat peran bidan desa dalam pengendalian penduduk di level akar rumput sangat

584

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

signifikan. Untuk itu, peran bidan dan pelayanan keluarga berencana merupakan satu
kesatuan untuk mengajak masyarakat ikut program KB MKJP.
Dalam konteks di atas, untuk menguatkan petugas kesehatan dalam upaya meningkatkan
program KB di antaranya dapat dilakukan dengan penyebaran bidan ke setiap daerah di
perdesaan sehingga dapat mengatasi kebutuhan masyarakat terhadap alat kontrasepsi jangka
panjang. Di Kabupaten Tulang Bawang Barat terdapat 85 bidan yang tersebar di delapan
Puskesmas, namun yang menjadi kendala pelaksanaan program KB di kabupaten baru ini
yaitu hanya memiliki tiga (3) tenaga PLKB. Sebagaimana dimaklumi, bahwa minimnya sumber
daya manusia tersebut membuat program KB sulit dapat menyentuh hingga level akar rumput
terutama di kalangan masyarakat awam.
b. Faktor Budaya
Faktor budaya masih menjadi hambatan dalam pelaksanaan program KB di Kabupaten Tulang
Bawang Barat. Hal ini disebabkan karena pengaruh tentang nilai anak dalam masyarakat
Lampung masih tampak kental sekali. Nilai merupakan konstruksi masyarakat yang tercipta
melalui interaksi di antara para anggota masyarakat. Nilai tercipta secara sosial bukan secara
biologis atau bawaan sejak lahir. Nilai memuaskan manusia dan mengambil bagian dalam
usaha pemenuhan-pemenuhan kebutuhan sosial, nilai-nilai juga melibatkan emosi. Syani
(1995) mendefinisikan nilai sebagai kumpulan perasaan mengenai apa yang dinginkan atau
yang tidak diharapkan, mengenai yang boleh dilakukan atau yang tabu dilakukan. Kaitannya
dengan nilai tersebut, beberapa kelompok masyarakat di Kabupaten Tulang Bawang Barat
dan beberapa kabupaten di Provinsi Lampung memiliki nilai yang bertolak belakangan dengan
program KB dalam memahami kehadiran seorang anak. Diantaranya mereka berkeyakinan
bahwa setiap anak membawa rezeki sendiri sehingga banyak anak akan banyak rezeki. Selain
itu, dalam komunitas masyarakat Lampung kedudukan anak laki-laki yang dianggap sebagai
penerus keturunan keluarga, maka hal itu sangat berpengaruh terhadap jumlah anak.
Misalnya, dalam sebuah kelurga yang masih belum mendapatkan anak laki-laki maka
kehadiran seorang anak tersebut tetap menjadi penantian, sehingga dalam konteks ini
kehadiran seorang yang tidak diharapkan karena tidak sesuia dengan yang diharapkan sangat
rentan terjadi.
Masalah budaya dapat menimbulkan masalah serius dalam hubungannya dengan program
KB, sehingga perlu adanya kerjasama anggota masyarakat untuk mengontrol banyaknya anak

585

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

dalam satu keluarga. Dalam hal ini, peran serta masyarakat sangat penting agar dapat saling
mengingatkan, ikut serta dalam program pemerintah, menghimbau masyarakat lainnya untuk
berpartisipasi di dalamnya. Di Kabupaten Tulang Bawang Barat, berkaitan dengan nilai anak
kelompok etnik Lampung dan Batak memiliki kecenderungan memiliki jumlah anak lebih dari
dua. Bagi orang Lampung yang memiliki budaya patrenial yang sangat kuat berpengaruh
terhadap nilai anak laki-laki di mata keluarga, hal itu karena garis keturunan keluarga jatuh
pada anak laki-laki. Untuk itu, ketika dalam keluarga masih belum memiliki anak laki ada
kecenderungan mereka akan menambah anak hingga mendapatkan anak yang diharapkan
tersebut.
Selain orang Lampung, orang Batak juga memiliki nilai budaya yang bertolak belakang dengan
program KB, yaitu nilai kebanggaan terhadap jumlah komunitas keluarga yang banyak.
Menurut keyakinan mereka, ketika seseorang keluarga memiliki jumlah anak yang banyak
maka di masa tuanya mereka akan banyak yang merawat. Dalam konteks ini, meskipun orang
Batak juga memilki budaya patrineal namun selain itu mereka juga memiliki nilai yang tinggi
terhadap jumlah komunitas.
Sementara itu untuk orang Jawa, mereka yang memiliki kecenderungan punya anak lebih dari
dua adalah mereka yang bergabung dengan komunitas organisasi keagamaan tertentu.
Menurut kelompok ini Islam sangat menganjurkan untuk melahirkan anak-anak dan
memperbanyak keturunan dengan merujuk pada Al Araf: 86 yang berbunyi: Ingatlah di waktu
dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu, dan juga sabda
Rasulullah: Nikahilah wanita-wanita yang pencintan dan bisa beranak banyak. Sesungguhnya
aku akan membanggakan banyaknya umatku di hadapan umat-umat lain (HR. Abud Daud)

Pada dasarnya semakin banyak jumlah penduduk di suatu daerah, maka ini berdampak pada
jumlah penduduk ke depannya. Jika tidak ditanggulangi dari sekarang, jumlah penduduk
semakin lama semakin bertambah. Apalagi jika penduduk di suatu daerah tersebut memiliki
budaya yang variatif

sehingga mereka memiliki pandangan atau persfektif sendiri-sendiri

terhadap KB. Masalah ini ini akan berdampak pada kesertaan KB di daerah setempat.
c. Faktor Sosial
Dari hasil temuan dilapangan membuktikan bahwa faktor sosial merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi rendahnya kesertaan KB melalaui MKJP di Kabupaten-kabupaten di

586

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Lampung, baik di Kabupaten Tulang Bawang Barat maupun di Kabupaten lainnya. Masyarakat
Tulang Bawang Barat menyebar di beberapa daerah daerah yang jaraknya jauh dari kantor
SKPD KB maupun dari tempat-tempat pelayanan KB. Banyak masyarakat yang khususnya
tinggal di pelosok desa, mereka enggan untuk datang ke pertemuan-pertemuan KB dengan
alasan jauh dari tempat tinggalnya. Selain itu, masyarakat lebih menyukai KB non-MKJP
daripada KB dengan mengunakan MKJP. Hal ini disebabkan beberapa faktor, antara lain
faktor tempat tinggal yang jauh, sikap terhadap kesertaan KB melalui MKJP masih kurang,
dan pengetahuan masyarakat terhadap alat-alat KB modern itu sendiri masih rendah.
Jika dikaji lebih mendalam terlihat bahwa masyarakat yang tinggal di daerah terpencil akan
sulit mendapatkan pemahaman tentang alat kontrasepsi keluarga berencana (KB). Apalagi jika
pendidikannya masih rendah. Mereka memilih untuk pasrah dengan keadaan yang
dialaminya. Bagi mereka hidup harus dijalani kerena itu semuanya telah ditentukan oleh sang
pencipta, yaitu Allah. Prinsip hidup seperti itu sebaiknya sudah tidak digunakan lagi untuk saat
ini. Meskipun kita wajib melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, itu
bukan berarti kita tidak boleh mengubah hidup kita lebih baik daripada sebelumnya.
Pada dasarnya, masyarakat yang memiliki pengetahuan yang tinggi dan mau bergaul dengan
orang lain, serta mampu mengubah mainsednya ia akan lebih terbuka dan lebih mudah
menerima suatu pertubahan dalam hidupnya. Ia akan lebih proaktif untuk mengubah hidupnya
menjadi lebih baik. Oleh sebab itu, ia membutuhkan motivasi baik dari diri sendiri maupun dari
orang lain untuk mengubah pola hidupnya. Hal inilah yang mengharuskan masyarakat (PUS)
untuk selalu

berinteraksi

dengan masyarakat. Dengan demikian, pemahaman terhadap

KBMKJP yang diberikan oleh petugas KB baik dari petugas medis maupun PLKB akan lebih
mudah diterima oleh PUS. Namun, kenyataan yang ada di lapangan sebagian besar peserta
KB lebih memilih suntik KB dan Pil KB.

d. Faktor Ekonomi
Dari hasil temuan di lapangan, keluarga yang memiliki ekonominya rendah atau prasejahtera
(pra KS), beberapa keluarga ini malah cenderung tidak mau masuk menjadi akseptor KB.
Kalaupun ada, kontrasepsi yang mereka pilih kebanyakan non MKJP seperti pil KB, suntik,
kondom, dan lain-lain. Oleh sebab itu, mereka lebih mengandalkan program gratis dari
pemerintah karena bagi mereka biaya KB melalui MKJP lebih mahal daripada biaya KB NonMKJP.

587

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Dalam konteks di atas, sejak era otonomi daerah kewenangan Pemerintah Pusat untuk
mendorong pelaksanaan KB di daerah sangat terbatas. Bantuan pemerintah pusat kepada
daerah berupa Dana Alokasi Khusus (DAK) namun hanya diperuntukkan bagi sarana dan
prasarana kesehatan seperti dipakai untuk membeli mobil unit penerangan, mobil unit
pelayanan, sepeda motor bagi petugas lapangan KB dan alat-alat keperluaan KB lainnya.
Sementara itu, untuk operasional pelaksanaan KB menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah melalui dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, yang
menjadi persoalan kemudian adalah banyak pejabat daerah merasa enggan secara penuh
memperhatikan program KB karena tidak mendatangkan sumber pendapatan bagi daerah,
padahal program KB sebenarnya tidak hanya membatasi angka kelahiran melainkan lebih
jauh lagi dapat meningkatkan kualitas penduduk dengan ketahanan keluarga.
Bila dibandingkan dengan masa Presiden Soeharto, program keluarga berencana menjadi
prioritas pembangunan jangka panjang setelah Indonesia menandatangani Deklarasi PBB
(Perserikatan Antar Bangsa-Bangsa) di Teheran bersama 20 Pemimpin Negara lainnya pada
tahun 1967. Sebagai tindak lanjut dari penandatanganan Deklarasi PBB tersebut maka
dibentuklah Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) tahun 1969 sebagai upaya untuk
menekan angka kelahiran. LKBN yang Semi Pemerintah ini kemudian ditingkatkan menjadi
Lembaga Pemerintah Non Departemen melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 8 tahun
1970 tentang Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dengan tugas
menjalankan koordinasi dan integrasi terhadap pelaksanaan program nasional secara terpadu.
Atas dasar Keppres tersebut Program KB mulai digalakkan dengan mengkoordinasikan
dengan Instansi Pemerintah, Swasta dan Institusi Masyarakat serta memperkuat komitmen
politis sampai ke tingkat desa dengan target menurunkan angka kelahiran 50% pada tahun
1990 dibandingkan dengan keadaan tahun 1970. Namun, seiring jatuhnyar rezim Orde Baru
(1998) program KB 2 anak cukup mendapatkan protes kelompok reformis karena dianggap
melanggar Hak Azasi Manusia (HAM). Akibat dari desakan tersebut terbitlah Keppres No. 103
tahun 2001 tentang Tugas dan Kewenangan Lembaga Pemerintah Non Departemen. Salah
satu pasalnya menegaskan bahwa sebagian tugas pemerintahan yang dilaksanakan oleh
BKKBN akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah selamat-lambatnya 31 Desember 2003.
Sejak pelimpahan wewenang program kependudukan kepada pemerintah daerah (2004) di
atas program KB tidak lagi berjalan maksimal karena daerah menilai program KB tidak
penting. Sehingga komitmen anggaran terhadap bidang kependudukan menjadi sangat kecil

588

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

yaitu rata-rata daerah hanya mengalokasikan 0,4% dana APBD-nya untuk bidang
kependudukan.Bahkan dari 511 kabupaten/kota yang memiliki urusan kependudukan, hanya
20 daerah yang kelembagaannya utuh. Bahkan, ada daerah yang tidak memasukkan urusan
kependudukan ke satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Kondisi menjadi sangat
memprihatikan ketika banyaknya PKB/PLKB dimutasi ke unit lain yang tidak ada hubungannya
dengan bidang KB. Akibat mutasi dan PKB/PLKB yang pensiun, jumlahnya menyusut drastis
di era otonomi daerah.
e. Faktor Pendidikan
Sejalan dengan yang dikemukan dalam teori Anderson (2003) bahwa pendidikan
mempengaruhi pemilihan alat kontrasepsi. Pendidikan seorang ibu akan menentukan pola
penerimaan terhadap informasi dan pengambilan keputusan, semakin berpendidikan seorang
ibu, maka keputusan yang akan diambil akan lebih baik.
Berdasarkan keterangan yang didapat di lapangan sependapat bahwa pendidikan merupakan
salah satu faktor yang sangat menentukan terhadap pengetahuan dan persepsi seseorang
terhadap pentingnya keikutsertaan dalam KB. Seseorang yang berpendidikan tinggi umumnya
memiliki pengetahuan terhadap sesuatu hal lebih luas, termasuk tentang pembatasan angka
kelahiran. Hubungan antara pendidikan dengan pola pikir, persepsi dan perilaku masyarakat
sangatlah signifikan dalam hal pengambilan keputusan pilihan-pilihan jenis KB. Selain faktor
pendidikan, peran bidan tetaplah penting dalam menyosialisasikan jenis alat kontrasepsi
kepada masyarakat. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap jenis-jenis kontrasepsi
jangka panjang membuat program KB seakan berjalan di tempat.
Mengacu pada pernyataan di atas dapat dikatakan bahwa keberhasilan program KB MKJP
setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Adapun yang
dimaksud dengan faktor internal yaitu berkaitan dengan tingkat pendidikan di mana mereka
yang memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung mempunyai aktivitas tinggi sehingga
berpengaruh terhadap keputusan jumlah anak dalam keluarga. mereka yang berpendidikan
tinggi memiliki pemahaman yang rasional terkait dampak tentang kepadatan penduduk.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan faktor eksternal adalah kemampuan bidan dalam
memberikan informasi yang objektif dan lengkap terkait keutamaan-keutamaan pemakaian
metode kontrasepsi jangka panjang.

589

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

f.

Faktor sarana dan pelayanan KB


Faktor sarana dan pelayanan KB sangat menunjang untuk mendukung kesuksesan program
KB MKJP di lapangan. Berdasarkan temuan di lapangan, sarana dan pelayanan KB di daerah
khususnya di pelosok-pelosok desa masih sangat terbatas. Mengingat begitu pentingnya
peran bidan maka idealnya dibutuhkan koordinator bidan di masing-masing daerah yang
bertugas melakukan kegiatan supervisi dan pendampingan kepada bidan praktik. Tujuannya
adalah untuk mengoptimalkan peran bidan sebagai lini depan pelayanan alat kontrasepsi.
Dalam konteks ini peran bidan koordinator tidak hanya menjalankan kegiatan pencatatan yang
bersifat administratif melainkan juga melakukan pengawasan dan pendampingan. Langkah
menempatkan bikor bertujuan agar strategi penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang
(MKJP) bisa berhasil dengan meningkatkan fasilitas dan keterampilan bidan.
Dengan keberadaan bidan koordinator diharapkan dapat meningkatan kualitas pelayan,
seperti bidan-bidan desa untuk berperan secara aktif dalam memberi pemahaman dan
pelayanan kepada masyarakat terkait KB MKJP. Namun selain itu, pemerintah daerah juga
harus melengkapi sarana dan prasana kesehatan termasuk jumlah alat MKJP karena
rendahnya PUS memilih KB MKJP diantaranya disebabkan minimnya sarana pelayanan KB
seperti rumah sakit, puskesmas, bidan desa, dan dokter. Faktor ini sangat berpengaruh dalam
meningkatkan kesertaan KB.
Tabel 1. Permasalahan Bidang Urusan Kependudukan Tulang Bawang Barat 2014
Kelurga
Permasalahan
Faktor Keberhasilan
Berencana dan Petugas Lapangan KB yaitu
Tersedianya Petugas Lapangan KB
Keluarga
PLKB belum optimal dalam
yang berpengalaman melaksanakan
Sejahtera
melakukan mekanisme
mekanisme operasional program.
operasional program sehingga
berdampak terhadap
keberhasilan program.
Peran Pria dalam KB masih
Meningkatnya peran pria dalam KB
rendah hal ini dapat dilihat dari
hal ini dapat dilihat dari Meningkatnya
masih rendahnya Pencapaian
pencapaian peserta KB baru MOP
peserta KB baru MOP dan
dan akseptor KB Kondom
Akseptor Kondom
Anggaran
operasional
untuk Tersedianya Anggaran operasional
penggerak program KB di tingkat untuk penggerak program KB di
lini lapangan seperti Pos KB dan tingkat lini lapangan seperti Pos KB
Subpos KB masih terbatas dan Sub Pos KB sehingga
sehingga berpengaruh terhdap berpengaruh terhadap tingkat
tingkat partisipasi
partisipasi masyarakat.
Sumber: RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) Kabupaten Tulang Bawang Barat
2014. Halaman. 21.

590

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pada dasarnya program KB melalui MKJP ini merupakan salah satu persoalan yang perlu dicari
solusinya. Kenyataan di lapangan masih banyak masyarakat yang belum memahami KB melalui
MKJP ini sehingga tingkat KB MKJP di daerah Lampung masih rendah jika dibandingkan dengan
KB melalui non-MKJP. Dalam hal ini, penyebab rendahnya PUS dalam memilih KB melalui MKJP
sebenarnya karena kurangnya sarana dalam pelayanan KB itu sendiri. sarana yang dibutuhkan
dalam pelayanan KB ini bisa berupa rumah sakit, puskesmas, bidan desa, dokter, dan petugas
PLKB itu sendiri yang harus hadir di setiap daerah dan melaksanakan fungsinya secara maksimal.

Pembahasan
Berdasarkan laporan Kontrak Kinerja Provinsi (KKP) Lampung 2014 capaian CPR Kabupaten
Tulang Bawang Barat sudah mencapai target 69,9 persen dari target 75,07 persen di tingkat
provinsi. Angka tersebut menggambarkan bahwa pelaksanaan program Keluarga Berencana (KB)
di Tulang Bawang Barat sudah cukup berhasil dalam mengurangi angka kelahiran. Namun, jika
kita melihat pada capaian MKJP jauh daripada target propinsi, yaitu hanya 5,0 persen dari target
provinsi 26,03 persen. Di samping itu yang tidak kalah mengkawatirkan adalah tingkat ASFR (1519) Kabupaten Tulang Bawang Barat pada angka 67 persen. Dua fenomena tersebut
mencerminkan tingginya proyeksi penambahan jumlah penduduk di kabupaten tersebut,
kenyataan ini sudah terlihat dengan membandingkan jumlah penduduk Tulang Bawang Barat
tahun 2012 berdasarkan data Badan Pusat Statistik berjumlah 258.458 jiwa sekarang (2014)
meningkat menjadi 278.211 jiwa (Laporan Kependudukan Kabupaten Tulang Bawang Barat
Triwulan III [Juli, Agustus, September 2014]). Itu artinya kegagalan program KB MKJP di
kabupaten tersebut akan menambah sederet persoalan kependudukan baik dalam jangka
panjang maupun jangka pendek terkait dengan pemenuhan program-program kesejahteraan bagi
pemerintah daerah.
Berdasarkan sumber data yang sama, jumlah presentase peserta KB MKJP lama dan peserta KB
MKJP baru tidak mengalami perubahan yaitu tetap pada angka 11.896 atau 45,35 persen.
Kenyataan ini terjadi menurut laporan RKPD (Rencana Kerja Pembangunan Daerah) Kabupaten
Tulang Bawang Barat tahun 2014 disebabkan oleh Petugas Lapangan KB (PLKB) belum optimal
dalam melakukan mekanisme operasional program sehingga berdampak terhadap keberhasilan
program. Berkaitan dengan masalah ini ketika menurut SKPD KB Tulang Bawang menjelaskan
bahwa ketidak optimalan peran PLKB tidak lain karena minimnya jumlah kader PLKB yang ada di
lapangan.

591

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kenyataan terjadinya krisis kader PLKB di daerah sebagaimana di Kabupaten Tulang Bawang
Barat tersebut diakui oleh Kepala BKKBN, Fasli Jalal, bahwa krisis PLKB terjadi secara merata
seluruh Indonesia sejak era otonomi daerah di mana tenaga PLKB banyak yang dipindahpindahkan akibat tidak ada Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah (BKKBD).
Pada masa Orde Baru jumlah PLKB mencapai 40 ribu orang. Sementara itu saat ini hanya
berkisar

15

ribu

orang

dengan

kondisi

desa

dan

keluarga

yang

terus

bertambah

(http://www.sindotrijaya.com).
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya
kesertaan KB melalui MKJP adalah faktor petugas medis (bidan dan dokter), budaya, sosial,
ekonomi, pendidikan, sarana, dan pelayanan KB itu sendiri. Hal ini terbukti dari hasil wawancara
peneliti dengan petugas PLKB dan petugas medis (bidan dan dokter) di daerah setempat yang
isinya sebagai berikut.
1. Penggunaan IUD terkendala kerena keputusan suami yang masih beranggapan bahwa IUD itu
mengganggu hubungan seksual dan menyebabkan kurang nyaman.
2. PUS memiliki rasa malu menggunakan KB melalui MKJP (IUD) khususnya pada saat
pemasangan. Hal ini akan menghambat penggunaan MKJP.
3. Masyarakat awam memandang bahwa kalau terjadi kegagalan IUD bisa saja alat kontrsepsi
tersebut menempel di kepala bayi. Padahal itu, pendapat yang keliru (mitos).
Hasil temuan dalam kajian ini diperoleh bahwa pengaruh dukungan suami merupakan salah satu
faktor dominan yang menentukan PUS menggunakan MKJP. Hal ini sebagaimana diungkapkan
dalam teori Lawrence Green bahwa faktor dukungan suami dapat dikatakan sebagai salah satu
faktor anteseden atau pemungkin yang memungkinkan suatu motivasi atau aspirasi terlaksana.
Perpadauan antara dukungan suami dengan kemauan yang kuat dari isteri dalam menetapkan
pilihan pada alat kontrasepsi terbukti efektif membuahkan keputusan yang bulat bagi kedua
pasangan dalam memilih menggunakan alat kontrasepsi.
Adanya dukungan suami dalam pemilihan MKJP disebabkan factor sosial budaya yang sangat
tinggi yang mengharuskan suami memberikan dukungan dan kasih sayang untuk isterinya.
Apalagi dalam konteks Indonesia, keputusan suami dalam mengizinkan isteri adalah pedoman
penting bagi isteri untuk menggunakan alat kontrasepsi. Bila suami tidak mengizinkan atau
mendukung, hanya sedikit isteri yang berani untuk tetap memasang alat kontrasepsi tersebut.
Dukungan suami sangat berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan menggunakan atau
dipengaruhi oleh faktor sosial budaya.

592

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Keengganan suami dalam memberikan dukungan terhadap isterinya bisa disebabkan kurangnya
informasi yang diperoleh suami sehingga dalam memberikan dukungan pemilihan alat kontrasepsi
secara umum. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang penting dalam membentuk
tindakan seseorang.
Pada dasarnya, salah satu hambatan dalam penerimaan kontrasepsi adalah malu waktu
pemasangan karena ada larangan (tabu) untuk memanipulasi alat kelamin wanita, sehingga alat
kontrasepsi tersebut menghilangkan minat wanita. Padahal itu hanyalah kesalahan persepsi
masyarakat saja. Dalam hal ini, masayarakat perlu diberi pemahaman yang mendalam tentang
pemakain alat kontrasepsi baik yang menggunakan MKJP maupun non-MKJP.
Faktor Sosio Demografi merupakan salah satu faktor yang juga mempengaruhi sesorang memilih
alat kontrasepsinya baik melalui MKJP maupun non-MKJP. Sosio Demografi ini meliputi unsur
tingkat pendidikan dan pengetahuan. Dalam hal ini, seringkali dijumpai bahwa lingkungan sosial,
budaya, stigma, dan norma lebih dominan memberikan pengaruh negatif

terhadap informan

(PUS) dalam memilih alat kontrasepsi yang digunakannya.


Tingginya pemilihan metode non-MKJP di Tulang Bawang Barat ini dipengaruhi juga oleh
pekerjaan akseptor yang mayoritas bekerja di sektor perkebunan dan pertanian. Dalam hal ini,
pekerjaan juga mempunyai peranan penting dalam pemilihan jenis alat kontrasepsi bagi PUS
tersebut.
Faktor Sosio Psikologis juga berpengaruh terhadap rendahnya kesertaan KB melalui MKJP.
Dalam hal ini, tentu saja masih banyak masyarakat yang percaya bahwa kalau belum dapat anak
laki-laki berarti belum boleh berhenti untuk memiliki anak. Kepercayaan masyarakat seperti itu
masih tampak di daerah Tulang Bawang Barat. Masyarakat masih memegang teguh adat istiadat
dari suku asalnya. Pada suku Batak dan Lampung tidak mungkin menggunakan kontrasepsi
MKJP sebelum mendapatkan anak laki-laki, belum ada pengakuan kalau anak perempuan bisa
meneruskan keturunan. Pada suku Batak memandang semakin banyak anak semakin banyak
tempat orang tua tinggal ketika dia tua atau semakin banyak anak yang akan memberikan
bantuan. Dalam hal ini, Suku Jawa adalah kelompok suku yang lebih mudah menerima terhdap
perubahan sehingga semua program pemerintaha akan terlaksana dengan baik jika
masyarakatnya banyak bersuku Jawa.

593

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Temuan lain dalam penelitian ini adalah faktor Nilai. Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian
ini faktor nilai dapat menyebabkan rendahnya kesertaan KB melalui MKJP di Lampung. Nilai
tercipta secara sosial bukan secara biologis atau bawaan sejak lahir. Nilai memuaskan manusia
dan mengambil bagian dalam usaha pemenuhan-pemenuhan perasaan mengenai apa yang
diinginkan atau yang tidak diharapkan, mengenai yang boleh dilakukan atau yang tabu dilakukan.
Keadaan ini menggambarkan bahwa nilai yang dianut masih kental di daerah-daerah yang ada di
Lampung.
Keberadaan kultur juga tidak dapat dipisahkan dari masyarakatnya. Melalui kultur, manusia
belajar tentang banyak hal, seperti nilai-nilai, kepercayaan, perilaku, dan objek-objek material
lainnya yang mencermintkan cara hidup masyarakat (Macionis, 1997). Kultur adalah strategu
keberlangsungan hidup bagi masyarakat. Di dalam kultur terdapat peta pemahaman (map of
understanding) yang akan mengarahkan apa yang harus dilakukan manusia dan bagaimana
mereka melakukannya (Bennet, 1998). Sebagai sebuah strategi survival, masyarakat memiliki
harapan agar kultur dapat membantu mereka dalam mengatasi persoalan hidup.
Akan tetapi, kadang-kadang kultur tidak dapat berperan sesuai harapan manusia, lebih jauh lagi
pendekatan kultural tidak selalu berhasil dalam membantu manusia memecahkan persoalannya.
Dalam konteks ini kultur, bahkan bisa menghambat dalam memecahkan persoalan mengapa hal
ini bisa terjadi? Salah satu asumsi dasarnya adalah perubahan sosial yang terjadi saat ini telah
menimbulkan persoalan-persoalan yang baru dan kompleks mengenai kehidupan manusia.
Ada pertanyaan yang membutuhkan jawaban lugas di dalam masyarakat adalah mengapa MKJP
rendah di Lampung? Perlu diketahui bahwa Fatwa Haram MUI tentang alat kontrasepsi vasektomi
berpengaruh di masyarakat. Mitos bahwa vasektomi menurunkan gairah seks juga menjadi
momok yang membatasi peran serta pria dalam KB. Selain itu juga masih ada tokoh agama yang
memimiliki interpretasi terhadap teks agama yang dianutnya yaitu adannya larangan untuk
membatasi jumlah anak dan menganggap KB merupakan perbuatan yang mutasyabihat (samarsamar, antara halal dan haram) juga mempengaruhi KB secara umum.
Di Indonesia, bidan merupakan tenaga kesehatan yang paling banyak memberikan pelayanan KB.
Hal ini karena Bidan berada lebih dekat dengan masyarakat dibanding penyedia layanan KB
lainnya. Sebaliknya peran Petugas Lapangan KB (PLKB) di lapangan tidak berjalan maksimal. Hal
ini karena jumlah PLKB saat ini lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi ini
menyebabkan informasi mengenai KB tidak dapat tersebar merata ke seluruh lapisan masyarakat.

594

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Berdasarkan fakta di atas perlu adanya kebijakan strategis dan upaya dari pemerintah untuk
meningkatkan kesertaan KB melalui MKJP (IUD, MOP, MOW, dan Implant) di Provinsi Lampung,
antara lain adalah:
a. Meningkatkan pelayanan KB melalui MKJP secara maksimal.
b. Meningkatkan komitmen dan kemitraan bersama Ormas, OSIS, Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM), Unit Kegiatan Siswa (UKS), Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), dan lembaga-lembaga
pendidikan.
c. Memberikan pendidikan tentang alat-alat kontrasepsi KB khususnya KB-MKJP seperti IUD,
Inplant, MOW, dan MOP kepada PUS, siswa remaja, dan mahasiswa.
d. Meningkatkan anggaran/dana untuk pelaksanaan KB khususnya KB melalui MKJP yang
dituangkan dalam RAPBD dan RAPBN.
e. Meningkatkan SDM bagi petugas KB lapangan (PLKB) dan petugas medis (dokter dan bidan)
di setiap daerah di Lampung dengan mengikuti pelatihan-pelatihan secara rutin tentang
penggunaan alat kontrasepsi KB-MKJP.
f.

Membangun dan mengembangkan tempat-tempat pelayanan KB seperti Pos-Pos KB di setiap


Dusun/Desa, Puskesmas Pembantu, Puskesmas, Rumah Sakit yang mampu melayani KBMKJP seperti pemasangan IUD, Inplant, operasai pada wanita (MOW), dan operasi pada Pria
(MOP).

g. Memperbanyak petugas KB Lapangan (PLKB) dan petugas medis (bidan dan dokter) di setiap
daerah di Lampung secara merata yang bertugas melayani KB MKJP.
Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa
faktor-faktor penyebab rendahnya kesertaan KB melalui MKJP di Lampung adalah;
1. Faktor petugas medis, bidan yang semestinya menjadi ujung tombak pelaksanaan KB MKJP
dalam praktiknya justru bertolak belakang;
2. Faktor budaya, tidak populernya KB MKJP pada kelompok etnik tertentu karena faktor budaya
dalam kelompok tersebut, seperti etnik Lampung yang kental dengan budaya patrenial
berpengaruh terhadap jumlah anak ketika masih belum mendapatkan anak laki, begitu juga
dengan suku Batak yang memiliki kebanggaan terhadap komunitas keluarga besar membuat
program KB MKJB justru dianggap bertententangan dengan nilai budaya mereka. Hal yang
tidak jauh berbeda dalam komunitas keluarga muslim (Jawa) tertentu yang menganggap

595

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pembatasan jumlah anak sebagai perbuatan yang tidak diridhoi Allah Swt. Hal ini juga
membuat program KB tidak dianjurkan dalam komunitas mereka;
3. Faktor sosial, keberadaan tempat tinggal PUS dan pemahamanan tentang KB MKJP masih
rendah berpengaruh terhadap kesertaannya untuk ber-KBMKJP;
4. Faktor ekonomi, mahalnya biaya jasa pemasangan KB MJP berpengaruh terhadap
rendahnya pemakaian alat kontrasepsi KB MKJP di masyarakat;
5. Faktor Pendidikan, rendahnya pendidikan masyarakat (PUS) berpengaruh tingkat pernikahan
dini di beberapa kelompok etnik tertentu di Lampung, sehingga hal tersebut berpengaruh
terhadap rendahnya pengetahuan masyarakat tentang arti keluarga sejahtera;
6. Faktor Sarana dan pelayanan program KB itu sendiri, di setiap desa khususnya desa terpencil
sarana untuk pelayanan program KB masih kurang dan pelayanan KB khususnya KB MKJP
pun masih belum optimal.

Berdasarkan pembahasan di atas ada beberapa hal yang dapat disarankan, yakni sebagai
berikut.
1. Perlu adanya kebijakan strategis dan upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kesertaan
KB melalui MKJP (IUD, MOP, MOW, dan Implant) di Provinsi Lampung.
2. Pemerintah perlu memberikan penghargaan dan kemudahan-kemudahan bagi masyarakat
(PUS) yang akan menjadi akseptor KB melalui MKJP.
3. Pemerintah perlu memikirkan insentif

lebih bagi petugas KB (PLKB, bidan, dokter) yang

bertugas di daerah-daerah dan di pelosok desa yang secara optimal melayani KB khususnya
KB-MKJP.
4. Petugas KB lapangan (PLKB) dan petugas Medis (bidan dan dokter) perlu proaktif melayani
kebutuhan KB bagi masyarakat (PUS) khususnya melayani KB melalui MKJP.
5. Pasangan Usia Subur (PUS) perlu menyadari bahwa mengikuti program KB melalui MKJP
seperti IUD, inflant, MOW, dan MOP lebih aman daripada melalui non-MKJP seperti pil KB,
suntikan, kondom, dan lain-lain untuk membatasi angka kelahiran dalam jangka panjang.
Dengan demikian, perlu dilakukan sosialisasi dan pemberian pemahaman secara mendalam
kepada PUS tentang pentingnya program KB melalui MKJP.
Daftar Pustaka
Asih, Oesman. (2009). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemakaian Kontrasepsi Jangka
Panjang (MKJP). Analisis Lanjut SDKI 2007. Jakarta: BKKBN.

596

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Azwar, Saifuddin. (2013). Sikap Manusia:Teori dan Pengukurannya. Yogyakarata: Pustaka


Pelajar.
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.(2011). Pedoman Pelaksanaan Pelayanan KB
Metode Kontrasepsi Jangka Panjang (MKJP). Jakarta: BKKBN.
Dewi, Maria Ulfa.K. (2013). Buku Ajar: Kesehatan Produksi dan Keluarga Berencana (untuk
Mahasiswa Bidan). Jakarta: Trans Info Media.
Elfindri & Jalal, Fasli. (2014). Keluarga Berencana Inklusif (Membangun Karakter Keluarga dan
Pekerjaan untuk Kesejahteraan). Jakarta: Baduose Media.
Handayani, Sri. (2010). Buku Ajar: Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta: Pustaka Rihama.
Laporan Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi Lampung
2014, Pemantapan Pengendalian Program dan Anggaran Bulan November.
Laporan Kependudukan Kabupaten Tulang Bawang Barat Triwulan III (Juli, Agustus, September
2014): Arsip BKKBN Tulang Bawang Barat.
Laporan Rekapitulasi Hasil Pendataan Keluarga Tingkat Provinsi 2013: Arsip BKKBN Provinsi
Lampung.
Mulyani, Nia S dan Rinawati, Mega. (2013). Keluarga Berencana dan Alat Kontrasepsi.
Yogyakarta: Naha Medika.
Nasution, Sri Lilestina. (2011). Fakktor-Faktor yang Mempengaruhi Penggunaan MKJP di Enam
Wilayah Indonesia. Analisis Lanjut 2011. Jakarta: BKKBN.
Setiyaningrum, Erna & Aziz, Zulfa B. (2014). Pelayanan Keluarga Berencana & Kesehatan
Reproduksi. Jakarta: Trans Info Media.
Suryanto, dkk. (2014). Optimalisasi Pelaksanaan Advokasi dan KIE dalam Pencapaian Program
KKBJ di Provinsi Lampung: Arsip BKKBN Lampung
Wicaksono. (2014). Kebijakan dan Strategi Program Kesehatan Reproduksi dalam Upaya
Peningkatan Kesehatan Ibu dan Anak, Makalah dipresentasikan dalam Seminar BKKBN
Lampung pada tanggal 14 Maret 2014.,

597

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

DIKLAT DALAM PERSPEKTIF PENGEMBANGAN


SUMBER DAYA MANUSIA APARATUR
PEMERINTAH DAERAH
ERNI IRAWATI. S.E., M.Pd.
Widyaiswara Muda Badan Diklat, Arsip dan Perpusda Kabupaten Cilacap
Jalan dr. Sutomo No. 5 Cilacap 53223
(Diterima 16 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)
Abstract:
Education and training program as one of the resource development strategies of
local government personnel is a concrete step in preparing the personnel to be
professional in his field. It has a high work spirit and upholds ethical and moral
both in its theoretical and practical. Optimization of training in order to develop
the Human Resources (HR) personnel based on competency is a strategic step
to achieve good governance and the realization of high-quality public services.
This strategy aims to provide the personnel becoming reliable, skillful, well
performed and can contribute in the achievement of the organizational goals,
amid the challenges of advance of age and the dynamics of the development of
increasingly criticalsociety. The personnel is driven to transform from the comfort
zone towards the competitive zone. The strategy for improving the capacity of
education and training can be done by applying the management of education
and training into one way policy and in accordance as the need, the support
budget, as well as the commitment of the organizers at all levels. The design of
education and training programs should be able to provide overall change
through the optimization of education and training activities ranging from
planning, implementation and utilization of the results of the training.
Keywords: educational training, personnel, professional

Corresponding author: Erni Irawati, ernira234@yahoo.co.id HP. 0813 23129006

Pendahuluan

Sejalan upaya pemerintah mewujudkan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang


profesional, saat ini kebijakan peningkatan kualitas Sumber Daya Aparatur
menjadi salah satu prioritas utama pemerintah, tak terkecuali Pemerintah
Kabupaten Cilacap. Pendidikan dan pelatihan sebagai strategi pengembangan
kompetensi, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang nomor 5 tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki kontribusi besar dalam

598

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

mempersiapkan aparatur yang profesional di bidangnya, memiliki etos kerja


tinggi serta menjunjung tinggi etika dan moral baik pada tataran teoritis maupun
praktis.
Pada kenyataannya butuh kesiapan dan komitmen yang besar dari
semua pemangku kepentingan, khususnya di daerah yang belum sepenuhnya
melihat

diklat

aparatur

sebagai

kebutuhan.

Tantangan

pertama

terkait

penyelenggaraan Diklat ini adalah ketersediaan infrastruktur diklat, anggaran,


dukungan SDM serta komitmen pada tingkat top manager (Kepala Daerah).
Selama ini, banyak terjadi di pemerintahan penyelenggaraan diklat bagi aparatur
tak lebih sebatas kewajiban formal terhadap program kegiatan yang tertuang
pada Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) tahunan, tanpa outcome yang
jelas. Karena itu, harus ada perubahan mindset terhadap penyelenggaraan
diklat, baik oleh penyelenggara, peserta diklat maupun penerima manfaat
(pemerintah daerah).
Seperti yang dikemukakan oleh Aprillia Chartiani Takaonselang, dalam
penelitiannya yang berjudul Efektifitas Diklat Dalam Meningkatkan Kualitas
Sumberdaya Manusia Aparatur Pemerintah Di Kantor Sekretariat Daerah
Kabupaten Kepulauan Sangihe, disimpulkan bahwa Pelaksanaan Diklat di Kantor
Sekretariat Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe hasilnya kurang efektif
khususnya diklat Pim III dan IV. Hal ini disebabkan karena dalam merekrut PNS
yang akan duduk dalam jabatan tertentu sering kali tidak mengikuti persyaratan
yang ada, karena adanya faktor non teknis seperti nepotisme, yang
menyebabkan terjadinya kesenjangan antara kompetensi individu dengan
jabatan yang di duduki dan karena PNS ditempatkan di disiplin ilmu yang
berbeda. sehingga sulit untuk mengimplementasikan hasil pendidikan dan
pelatihan yang didapatkannya.
Diklat aparatur adalah kebutuhan sekaligus kunci utama bagi upaya
memenuhi fungsi-fungsi utama hadirnya pemerintahan, yaitu melayani dan
menyejahterakan masyarakatnya
Ini dimaksudkan untuk menjembatani gap antara kebutuhan SDM pegawai yang
kompeten dengan tuntutan dan tantangan kemajuan global, serta dinamika
masyarakat yang semakin kritis

599

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Untuk itu, disain pelaksanaan diklat di daerah harus mampu memberikan


perubahan secara menyeluruh melalui optimalisasi pelaksanaan diklat mulai dari
perencanaan, pelaksanaan serta pemanfaatan hasil-hasil diklat yang ada.
Berdasarkan dialektika pemikiran di atas, dalam paper singkat ini kami
akan memaparkan upaya Optimalisasi Diklat Dalam Pengembangan SDM
Aparatur Pemerintah Daerah, khususnya di Kabupaten Cilacap, yang diharapkan
menjadi model bagi pengembangan diklat Kabupaten Cilacap ke depan.

Perspektif Pengembangan SDM Aparatur

Kabupaten Cilacap merupakan daerah terluas di Jawa Tengah, dengan


batas wilayah sebelah selatan Samudra Indonesia, sebelah utara berbatasan
dengan Kabupaten Banyumas, Kabupaten Brebes dan Kabupaten Kuningan
Propinsi Jawa Barat, sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Kebumen dan
sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar Propinsi
Jawa Barat. Terletak diantara 10804-300 - 1090300300 garis Bujur Timur dan 70300
- 70450200 garis Lintang Selatan, mempunyai luas wilayah 225.360,840 Ha, yang
terbagi menjadi 24 Kecamatan 269 desa dan 15 Kelurahan.
Wilayah tertinggi adalah Kecamatan Dayeuhluhur dengan ketinggian 198
m dari permukaan laut dan wilayah terendah adalah Kecamatan Cilacap Tengah
dengan ketinggian 6 m dari permukaan laut. Jarak terjauh dari barat ke timur 152
km dari Kecamatan Dayeuhluhur ke Kecamatan Nusawungu dan dari utara ke
selatan sepanjang 35 km yaitu dari Kecamatan Cilacap Selatan ke Kecamatan
Sampang. Jumlah PNS Daerah sebesar 13.744 yang tersebar di seluruh wilayah
Kabupaten Cilacap.
Visi

Pemerintah

Kabupaten

Cilacap

sesuai

RPJMD

(Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Daerah) Kabupaten Cilacap Tahun 2012-2017


adalah "Menjadi Kabupaten Cilacap yang Sejahtera secara Merata"
Untuk mewujudkan visi tersebut, Pemerintah Kabupaten Cilacap merumuskan 6
(enam) misi,

sebagai berikut : Pengembangan Sumber Daya Manusia

Berkualitas dan Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Perwujudan


Demokratisasi dan Peningkatan Kualitas Penyelenggara Pemerintahan yang
Bersifat Entrepreneur, Profesional dan Dinamis Mengedepankan Prinsip Good
Governance dan Clean Government ; Peningkatan dan Perbaikan Layanan

600

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Pendidikan dan Pelatihan, Peningkatan Derajat Kesehatan Individu dan


Masyarakat

Pengembangan

Perekonomian

yang

Bertumpu

pada

Pengembangan Potensi Lokal dan Regional Melalui Sinergi Fungsi-Fungsi


Pertanian, Kelautan dan Perikanan, Pariwisata, Perdagangan, Industri dan
dengan Penekanan pada Peningkatan Pendapatan Masyarakat dan Penciptaan
Lapangan Kerja ; Pemberdayaan Masyarakat dan Seluruh Kekuatan Ekonomi
Daerah, Terutama Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) serta Koperasi,
Membangun dan Mengembangkan Pasar bagi Produk Lokal, serta Pemerataan
dan Keseimbangan Pembangunan Secara Berkelanjutan Untuk Mengurangi
Kesenjangan Antar Wilayah dengan Tetap Memperhatikan Aspek Lingkungan
Hidup dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam Secara Rasional, Efektif dan
Efisien.
Sejalan dengan visi dan misi tersebut, diperlukan suatu langkah konkrit
bagi terlaksananya kegiatan yang berfokus pada upaya peningkatan kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM) aparatur. Salah satu upaya adalah dengan
penyelenggaraan

diklat

sebagai

strategi

pengembangan

sebagaimana diamanatkan Undang-Undang nomor

kompetensi,

5 tahun 2014 tentang

Aparatur Sipil Negara (ASN).


Secara yuridis formal, kewajiban peningkatan kualitas SDM aparatur
tertuang dalam Undang Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2014 ASN. Dalam UU ini
setiap

pegawai

dinyatakan

memiliki

kesempatan

untuk

meningkatkan

pengetahuan, keterampilan, dan mengembangkan sikap mental yang baik dalam


rangka suksesnya pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara, abdi
masyarakat sekaligus abdi pemerintahan.
Undang-undang ini tidak hanya mengatur mengenai masalah administrasi
kepegawaian tetapi lebih kepada manajemen kepegawaian mulai dari proses
rekruitmen,

pendidikan

dan

pelatihan

aparatur

serta

pembinaan

dan

pengembangan karir yang jelas. Aparatur didorong bertransformasi dari comfort


zone menuju competitive zone.
Namun demikian, dua tahun sejak diundangkan implementasinya di
lapangan tidak semudah membalik telapak tangan. Berbagai peraturan
turunanannya hingga saat ini belum semua dituntaskan oleh pemerintah pusat.
Ini berimplikasi pada penjabaran item-item pokok dalam UU tersebut, salah
satunya kewajiban Diklat bagi setiap PNS minimal 40 jam pelajaran per tahun.

601

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Dalam UU dimaksud, pasal 70 ayat 1 disebutkan bahwa setiap pegawai ASN


memiliki hak dan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi. Sedangkan
pada ayat 2 pasal disebutkan bahwa pengembangan kompetensi antara lain
melalui pendidikan dan pelatihan, seminar, kursus, dan penataran.UU ini
mengharuskan PNS mengikuti diklat sebanyak 5 (lima) persen dari waktu jam
kerja selama setahun, atau dengan kata lain

setiap pegawai ASN wajib

mengikuti diklat minimal 40 jamlat (Jam Pelajaran) setiap tahunnya. Hal ini
merupakan peluang untuk peningkatan kompetensi aparatur dan dukungan
kebijakan dalam pelaksanaannya.
Pendidikan dan pelatihan merupakan langkah strategis terkait kebijakan
reformasi birokrasi yang menuntut adanya peningkatan profesionalisme PNS.
Peningkatan kualitas pelayanan publik yang yang menjadi tanggungjawab
instansi selayaknya menjadi.prioritas dalam penentuan program yang akan
dilaksanakan.
Untuk
Pemerintah
pendidikan

mewujudkan
Kabupaten

komitmen

Cilacap

dan pelatihan

profesionalisme

telah

yang

sesuai

aparatur

memrogramkan

tersebut,

penyelenggaraan

dengan kebutuhan.

Pemerintah

Kabupaten Cilacap juga telah menetapkan kebijakan perencanaan diklat,


termasuk di dalamnya Training Need Analysis atau Analisa Kebutuhan Diklat
(AKD).

Meskipun dari hasil AKD tersebut belum sepenuhnya dilaksanakan,

namun prioritas penyelenggaraan diklat sudah mengacu pada pengembangan


PNS, dan berorientasi pada diskrepansi kemampuan kerja aparatur yang ada.
Peserta

program-program

Diklat

merupakan

aparatur

yang

memang

membutuhkan kompetensi yang akan dibangun pada program diklat tersebut.


Badan Diklat, Arsip dan Perpusda Kabupaten Cilacap sebagai pengelola
diklat daerah dengan visi Terdepan dalam Menciptakan Aparatur Handal dan
Masyarakat yang Cerdas yang dijabarkan dalam beberapa misi diantaranya;
Menyiapkan Program Kerja yang Berkualitas, Menyelenggarakan Diklat Aparatur
secara Efektif dan Efisien dalam Rangka Mewujudkan Alumni Diklat yang
kompeten dan berdaya-saing, bekerja maksimal untuk mewujudkan komitmen
membentuk sumber daya manusia yang unggul melalui berbagai inovasi untuk
mengakselerasi kinerja sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat
sebagaimana visi dan misi Pemerintah Daerah.

602

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Melalui berbagai kegiatan, Badan Diklat, Arsip dan Perpusda Kabupaten Cilacap
pada dasarnya telah mengimplementasikan program peningkatan kualitas dan
layanan diklat, dan penyelenggaraan diklat pola 1 (satu) pintu. Berbagai
kebutuhan diklat dari SKPD di Kabupaten Cilacap juga dikelola dan
diselenggarakan sesuai kebijakan.
Pelaksanaan Diklat mengacu pada kebutuhan untuk mengatasi kesenjangan
berkaitan dengan hasil kerja (job performance), pengetahuan (knowledge),
ketrampilan (skills) dan atau tingkah laku (behavior/attitude).
Arah kebijkan dalam pengembangan aparatur tidak hanya pada upaya
peningkatan kapabilitas intelektualnya saja, namun juga peningkatan sikap dan
semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman dan
pemberdayaan masyarakat. Implikasi terhadap lembaga yaitu adanya kewajiban
untuk turut serta membangun karakter (character building) aparatur di Kabupaten
Cilacap.

Isu-isu strategis

Dalam mengoptimalkan kinerja lembaga melalui pelaksanaan berbagai


kegiatan pendidikan dan pelatihan ditemukan berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan pelayanan SKPD terhadap pemangku kepentingan dan
masyarakat pada umumnya. Terbatasnya anggaran untuk membiayai berbagai
jenis diklat selama ini hanya 0, 69 % dari APBD, sehingga obyek kerja yang
mencakup keseluruhan SKPD di Kabupaten Cilacap tidak terjangkau.
Saat ini kegiatan diklat lebih difokuskan pada beberapa diklat yang
menjadi prioritas di Kabupaten Cilacap, diantaranya adalah Diklat Prajabatan,
Diklat Kepemimpinan, Diklat Teknis dan Diklat Fungsional. Penerapan program
diklat 1(satu) pintu terutama untuk pelaksanaan diklat teknis belum sepenuhnya
dilakukan, karena masih adanya beberapa keterbatasan. Salah satunya adalah
belum tersedianya sumber daya, dan juga terkait beberapa kebijakan
penyelenggaraan.

Kurang berkembangnya inovasi jenis-jenis diklat teknis,

dikarenakan lembaga diklat hanya fokus menyelenggarakan jenis-jenis diklat


yang sama dari tahun ke tahun. Padahal, inovasi jenis diklat teknis sangat
diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok aparatur pemerintah di lapangan.

603

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Demikian pula dengan adanya UU ASN Nomor 5 Tahun 2014 dimana


pengembangan kompetensi PNS meliputi 3 hal pokok, yakni kompetensi teknis,
manajerial dan sosio-kultural tentunya harus mendapat perhatian pada desain
program kediklatan yang dilaksanakan. Dimana kompetensi sosio kultural sangat
penting bagi aparatur karena manusia merupakan makhluk sosial yang harus
berinteraksi dengan individu lain. Tidak jarang konflik-konflik sesama pegawai
lahir dari adanya perbedaan sosio kultural. Sehingga metode-metode yang
digunakan dalam penyelesaian konflik harus melihat sisi sosio kultural dengan
sudut pandang yang tepat.
Banyak aparatur yang kurang memahami pentingnya peranan aspek sosio
kultural dalam penerapannya. Meskipun pada kenyataan yang sebenarnya
aparatur di daerah telah merasakan aspek ini tanpa disadari.
Sosio Kultural merupakan soft competence untuk menopang manajerial
dan teknis. Tentunya untuk penyelenggaraan kepemerintahan yang baik,
kompetensi ini tidak dapat diabaikan. Kompetensi sosio kultural meliputi sistem
integritas & manajemen diri, keteladanan dan kepeloporan, membangun budaya
organisasi, serta membangun karakter kepribadian dan nasionalisme pelayanan
publik.
Strategi Optimalisasi Penyelenggaraan Diklat

Berkaitan dengan isu dalam lingkup kediklatan di Kabupaten Cilacap,


Badan Diklat, Arsip dan Perpusda sebagai ujung tombak menerapkan beberapa
strategi antara lain dengan memaksimalkan fungsi sentral organisasi untuk
mendapat dukungan pemerintah dan masyarakat, memaksimalkan sarpras yang
memadai untuk melaksanakan kegiatan secara mandiri, mengoptimalkan tenaga
fungsional untuk melaksanakan tupoksi organisasi, serta memaksimalkan fungsi
lembaga untuk mendapatkan program Corporate Social Responsibility (CSR)
sektor swasta.
Guna mengoptimalisasikan kinerja Badan Diklat, Arsip dan Perpusda Kabupaten
Cilacap, beberapa kebijakan yang dilakukan adalah dengan meningkatkan
kualitas SDM, sarana dan prasarana, serta meningkatkan kerjasama dan
koordinasi dengan pihak ketiga maupun stakeholder terkait.

604

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Optimalisasi dalam perencanaan program diklat harus mampu menjawab


kebutuhan riil pengembangan kompetensi pegawai di lingkungan Pemerintah
Kabupaten Cilacap. Optimalisasi perencanaan program diklat tersebut akan
terwujud dengan adanya data yang valid. Pemutakhiran data calon peserta diklat
menjadi prioritas dalam menentukan program yang akan dilaksanakan. Tentunya
faktor lain yang sangat berpengaruh adalah hasil analisis kebutuhan diklat yang
tepat dan benar. Dengan Analisis Kebutuhan Diklat akan diperoleh suatu
perencanaan diklat yang mencerminkan kebutuhan nyata organisasi dalam
menciptakan pola pengembangan karier SDM aparatur. Program diklat yang
telah direncanakan Pemerintah Kabupaten Cilacap dilaksanakan sesuai tujuan
dengan strategi yang disusun dengan mempertimbangkan rencana strategis,
keterkaitan tugas dengan satuan kerja, kompleksitas dan tantangan tugas,
kapasitas lembaga dan tenaga kediklatan, kebutuhan belajar peserta, dan hasil
evaluasi diklat.
Dengan dukungan kebijakan pemerintah daerah peningkatan manajemen
diklat, kualitas tenaga kediklatan, anggaran, sarana dan prasarana kediklatan
diharapkan penyelenggaraan diklat di Kabupaten Cilacap dapat berjalan secara
efektif dan efisien
Diskusi

Kegiatan-kegiatan diklat tak cukup lagi dilaksanakan sekadar untuk


memenuhi kewajiban normatif atas pelaksanaan Undan-Undang. Harus ada
inovasi dalam pelaksanaan setiap jenis diklat. Diklat aparatur adalah kebutuhan
sekaligus kunci utama bagi upaya memenuhi fungsi-fungsi utama hadirnya
pemerintahan, yaitu melayani dan menyejahterakan masyarakatnya.
Penyelenggaraan kediklatan di daerah khususnya Pemerintah Kabupaten
Cilacap berimplikasi terhadap pembangunan pada umumnya mengingat SDM
aparatur mempunyai peran yang sangat besar dalam setiap aspek kehidupan
masyarakat. Tentunya keberhasilan tujuan program diklat dalam rangka
pengembangan kompetensi ini harus mendapat dukungan anggaran serta
komitmen penyelenggara pada semua tingkatan. Harus di tekan dan diminimalisir
adanya ego sektoral maupun subyektivitas dari penyelenggara maupun
pemangku kepentingan terkait. Dari sisi penyelenggara diklat, harus ada upaya

605

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

sungguh-sungguh untuk mewujudkan penyelenggaraan diklat yang berhasil,


melalui peningkatan kapasitas lembaga diklat, dukungan penganggaran serta
penyusunan program diklat sesuai kebutuhan organisasi dan tuntutan akan
penyelenggaraan layanan publik yang baik. Sementara dari sisi peserta diklat,
muara kebijakan penyelenggaraan diklat tidak hanya diarahkan pada upaya
peningkatan kapabilitas intelektual mereka, namun juga peningkatan sikap dan
semangat pengabdian yang berorientasi pada pelayanan, pengayoman dan
pemberdayaan masyarakat.
Kondisi ini tentu berimplikasi terhadap kesiapan lembaga pendidikan dan
pelatihan Kabupaten Cilacap yang kewajiban untuk turut serta membangun
karakter (character building) aparatur Pemerintah Kabupaten Cilacap yang saat
ini jumlahnya mencapai 13. 744 orang (BKD Kab. Cilacap).
Hal lain yang perlu dipersiapkan adalah ketersediaan tenaga Widyaiswara
baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dalam rangka mewujudkan SDM
kediklatan yang profesional. Perlunya perhatian dan dukungan terhadap kegiatan
pendidikan dan pelatihan yang berkaitan langsung dengan jabatan fungsional
Widyaiswara. Seiring dengan peningkatan kesadaran terhadap peningkatan
kompetensi dan kapasitas serta tuntutan pekerjaan mereka, maka setiap
Widyaiswara yang ada layaknya terus didorong mengikuti berbagai kegiatan
kediklatan dan pendidikan kewidyaiswaraan, baik yang diselenggarakan oleh
LAN maupun lembaga diklat lainnya.
Pada

akhirnya,

kedepan

kegiatan-kegiatan

diklat

tidak

hanya

dilaksanakan sekedar untuk memenuhi kewajiban normatif atas pelaksanaan


Undang-Undang tetapi harus ada inovasi dalam program kediklatan yang
dilaksanakan.

Kesimpulan

Peningkatan kualitas SDM aparatur daerah melalui kegiatan diklat


merupakan

hak

dari

pegawai.

Setiap

pegawai

memiliki

hak

untuk

mengembangkan diri selama 12 hari per tahun. Diklat aparatur juga penting guna
menyiapkan SDM aparatur yang handal dan profesional yang mampu memenuhi
dan menjalankan fungsinya dengan baik, yakni sebagai aparatur pelayanan
masyarakat, abdi negara dan abdi pemerintah.

606

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Untuk itu, diklat sebagai salah satu aspek pengembangan diri untuk
mengisi kekurangan kompetensi yang dimiliki oleh pegawai ASN dan membentuk
kompetensi menghadapi tantangan masa depan, wajib diselenggarakan secara
terprogram, berkesinambungan dengan memperhatikan kebutuhan daerah, serta
tantangan yang dihadapi.
Juga pentingnya perluasan kegiatan diklat melalui ragam program kediklatan
sesuai jumlah urusan yang menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk
menyelenggarakannya.

Persoalan pada dunia kediklatan khususnya di

Kabupaten Cilacap adalah diklat yang diselenggarakan selama ini lebih banyak
terpusat pada diklat prajabatan dan diklat kepemimpinan, sedangkan perhatian
pada diklat teknis dan diklat sosio-kultural amat rendah. Badan Diklat, Arsip dan
Perpusda sebagai lembaga diklat

daerah dituntut

untuk lebih intensif

berkoordinasi dengan lembaga teknis (SKPD), agar bersama SKPD merancang


berbagai diklat teknis dan fungsional untuk peningkatan kompetensi teknis
aparatur. Diperlukan adanya sinergi dan harmonisasi dalam perancangan
maupun penyelenggaraan program kediklatan daerah sehingga kebutuhan
kompetensi dan profesionalisme aparatur dapat terpenuhi guna peningkatan
kinerja SKPD dan Pemerintah Daerah pada umumnya.
Badan Diklat, Arsip dan Perpusda, Pemerintah Kabupaten Cilacap tentunya
harus segera melakukan pembenahan dan persiapan untuk menyesuaikan
seluruh sumberdaya guna menghadapi tuntutan Undang-Undang ASN tersebut.
Pembenahan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia maupun produkproduk sistem kediklatan harus mampu menjawab tantangan dimaksud,
sehingga pegawai ASN Kabupaten Cilacap dimasa mendatang mampu menjadi
ASN yang berkualitas world-class civil service.

Referensi

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara


Peraturan Pemerintah RI Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan
Pelatihan Jabatan PNS

607

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pedoman


Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan di Lingkungan Departemen Dalam
Negeri dan Pemerintahan Daerah
Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 3 Tahun 2013 tentang
Pedoman Penyelenggraan Diklat Teknis, Analisa Kebutuhan Diklat
Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap Nomor 13 Tahun 2010 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Dinas Daerah Kabupaten Cilacap

608

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

IMPLEMENTASI
BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL
( BPJS )
Oleh : Dr. Sri Rahayu, SH.MM, Widyaiswara Madya
Pusdiklat Kementerian Ketenagakerjaan RI
Jl.Kp. Lembur, Kel./Kec. Makasar, Jakarta Timur, Kode Pos 13570
Telp. 8090804, 8090952, 8000828 Fax. : (021) 8090739

(Diterima 6 Maret 2016; Diterbitkan 24 Maret 2016)

Abstract: Social Security will be held by the Social Security Agency (BPJS) which is the
institutional transformation of PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT
TASPEN (Persero) and PT Asabri (Persero). In order to provide legal certainty for the
establishment of Law No. BPJS diterbitkanlah 24 of 2011 on BPJS. Under the bill, will
be formed two BPJS namely BPJS a transformation of PT Askes (Persero) and BPJS
Employment is the transformation of PT Jamsostek (Persero). Further regulation was
issued on a program organized by BPJS ie Presidential Regulation No. 12 Year 2013
on Health Insurance. The purpose of this study was to describe the transformation of PT
Askes (Persero) to BPJS through the implementation of the Health Insurance program.
and BPJS Employment is the transformation of PT Jamsostek (Persero) This study
included descriptive research with a qualitative approach.

Keywords: BPJS Health, and Employment BPJS


Corresponding author: Dr. Sri Rahayu, SH.MM; E-mail: yayukphilip@yahoo.co.id
8090804, 8090952, 8000828 Fax. : (02) 8090739

Pendahuluan
Untuk mewujudkan komitmen global dan konstitusi, pemerintah bertanggung
jawab

atas

pelaksanaan

jaminan

kesehatan

masyarakat

melalui

JaminanKesehatanNasional (JKN) bagikesehatanperorangan. Usaha kearah itu


sesungguhnya telah dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan beberapa bentuk
jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui PT Askes (Persero)
dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima
pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu,

609

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

pemerintah

memberikan

jaminan

melalui

Jaminan

Kesehatan

Masyarakat

(Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skemaskema tersebut masih terfrag mentasi, terbagi- bagi. Biaya kesehatan dan mutu
pelayanan menjadi sulit terkendali. Untuk mengatasi hal itu, pada tahun 2004,
dikeluarkan Undang-Undang No.40 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
UU 40/2004 ini mengamanatkan bahwa jaminan social wajib bagi seluruh penduduk
termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS). Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan,
Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri atas BPJS
Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Khusus untuk Jaminan Kesehatan Nasional
(JKN) akan diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang implementasinya dimulai 1
Januari 2014. Secara operasional, pelaksanaan JKN dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah dan Peraturan Presiden, antara lain: Peraturan Pemerintah No.101 Tahun
2012 tentang Penerima Bantuan Iuran (PBI); Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013
tentang Jaminan Kesehatan; dan Peta Jalan JKN (Roadmap Jaminan Kesehatan
Nasional).

Metode penelitian
Metode Penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundangundangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual
approach). Jenis dan sumber data yang digunakan adalah bahan hukum
primer, terdiri dari peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder,
yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer,
seperti buku-buku atau literature-literatur karangan para sarjana dan jurnal
ilmiah yang berkaitan dengan penelitian ini. Untuk memperoleh bahan hukum
yang

diperlukan,

menggunakan

Data

kepustakaan

(data

skunder),

penggumpulan data dengan study dokumentasi adalah pengumpulan data


dengan cara menghimpun dan mengkaji data kepustakaan yang terdiri dari
peraturan perundang-undangan, literatur-literatur serta pendapat para sarjana
yang terkait dengan pokok permasalahan yang dibahas. Pada penelitian ini
ditemukan adanya kekaburan norma, sehingga alat analisis yang digunakan
adalah Penafsiran Ekstensif. Yaitu penafsiran yang memperluas pengertian
atau istilah yang ada di dalam suatu rumusan Undangundang.2

610

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

HASIL
Pengertian BPJS
Badan Penyelenggara Jaminan sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah
badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial (UU No
24 Tahun 2011). BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS
Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan kesehatan. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan
kesehatan

agar

peserta

memperoleh

manfaat

pemeliharaan

kesehatan

dan

perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada


setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (UU BPJS), secara tegas menyatakan bahwa BPJS yang dibentuk dengan UU
BPJS adalah badan hukum publik. BPJS yang dibentuk dengan UU BPJS adalah
BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.
Kedua BPJS tersebut pada dasarnya mengemban misi negara untuk memenuhi
hak konstitusional setiap orang atas jaminan sosial dengan menyelenggarakan
program jaminan yang bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penyelenggaraan jamianan sosial yang adekuat
dan berkelanjutan merupakan salah satu pilar Negara kesejahteraan, disamping pilar
lainnya, yaitu pendidikan bagi semua, lapangan pekerjaan yang terbuka luas dan
pertumbuhan ekonomi yang stabil dan berkeadilan.
Mengingat pentingnya peranan BPJS dalam menyelenggarakan program
jaminan sosial dengan cakupan seluruh penduduk Indonesia, maka UU BPJS
memberikan batasan fungsi, tugas dan wewenang yang jelas kepada BPJS. Dengan
demikian dapat diketahui secara pasti batas-batas tanggung jawabnya dan sekaligus
dapat dijadikan sarana untuk mengukur kinerja kedua BPJS tersebut secara
transparan.
FUNGSI
UU BPJS menetukan bahwa BPJS Kesehatan berfungsi menyelenggarakan
program jaminan kesehatan. Jaminan Kesehatan menurut UU SJSN diselenggarakan
secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas, dengan tujuan

611

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

menjamin

agar

peserta

memperoleh

manfaat

pemeliharaan

kesehatan

dan

perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.


BPJS Ketenagakerjaan menurut UU BPJS berfungsi menyelenggarakan 4
program, yaitu Program :
1. Jaminan Kecelakaan Kerja,
2. Jaminan Hari Tua,
3. Jaminan Pensiun, Dan
4. Jaminan Kematian.
Menurut UU SJSN program jaminan kecelakaan kerja diselenggarakan secara
nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial, dengan tujuan menjamin agar peserta
memperoleh manfaat pelayanan kesehatan dan santunan uang tunai apabila seorang
pekerja mengalami kecelakaan kerja atau menderita penyakit akibat kerja. Selanjutnya
program jaminan hari tua diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial atau tabungan wajib, dengan tujuan untuk menjamin agar peserta
menerima uang tunai apabila memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap,
atau meninggal dunia. Kemudian program jaminan pensiun diselenggarakan secara
nasional

berdasarkan

prinsip

asuransi

sosial

atau

tabungan

wajib,

untuk

mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau
berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total
tetap, oleh karena itu Jaminan pensiun ini diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti.
Sedangkan program jaminan kematian diselenggarakan secara nasional berdasarkan
prinsip asuransi sosial dengan tujuan untuk memberikan santuan kematian yang
dibayarkan kepada ahli waris peserta yang meninggal dunia.
TUGAS
Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana tersebut diatas BPJS bertugas untuk:
a. Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta;
b. Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja;
c. Menerima bantuan iuran dari Pemerintah;
d. Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan peserta;
e. Mmengumpulkan dan mengelola data peserta program jaminan sosial;

612

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

f.

Membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai


dengan ketentuan program jaminan sosial; dan

g. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan program jaminan sosial


kepada peserta dan masyarakat.
Dengan kata lain tugas BPJS meliputi pendaftaran kepesertaan dan
pengelolaan data kepesertaan, pemungutan, pengumpulan iuran termasuk menerima
bantuan iuran dari Pemerintah, pengelolaan Dana jaminan Sosial, pembayaran manfaat
dan/atau membiayai pelayanan kesehatan dan tugas penyampaian informasi dalam
rangka

sosialisasi

program

jaminan

sosial

dan

keterbukaan

informasi.Tugas

pendaftaran kepesertaan dapat dilakukan secara pasif dalam arti menerima


pendaftaran atau secara aktif dalam arti mendaftarkan peserta.
WEWENANG
Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimakksud di atas BPJS berwenang:
a. Menagih pembayaran Iuran;
b. Menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka
panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian,
keamanan dana, dan hasil yang memadai;
c. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi
kerja dalam memanuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan jaminan sosial nasional;
d. Membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran
fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh
Pemerintah;
e. Membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan;
f.

Mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak
memenuhi kewajibannya;

g. Melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai


ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. Melakukan kerjasama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan
program jaminan sosial.

613

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Kewenangan menagih pembayaran Iuran dalam arti meminta pembayaran


dalam

hal

terjadi

kewenangan

penunggakan,

melakukan

kemacetan,

pengawasan

dan

atau

kekurangan

kewenangan

pembayaran,

mengenakan

sanksi

administratif yang diberikan kepada BPJS memperkuat kedudukan BPJS sebagai


badan hukum publik.
DasarHukum
1. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem

Jaminan Sosial Kesehatan


2. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial


3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 Tentang

Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan


4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan

Kesehatan.
Kewajiban Peserta:
1. Mendaftarkan dirinya sebagai peserta serta membayariuran yang besarannya

sesuai dengan ketentuan yang berlaku


2. Melaporkan perubahan data peserta, baik karena pernikahan, perceraian,

kematian, kelahiran, pindah alamat atau pindah fasilitas kesehatan


3. Menjaga Kartu Peserta agar tidak usak, hilang atau dimanfaatkan oleh orang

yang tidak berhak


4. Mentaati semua ketentuan dan tata cara pelayanan kesehatan.

Besaran Iuran
Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011, Iuran adalah sejumlah uang
yang dibayar secara teratur oleh Peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah. Dalam
pasal 19 ayat 5 mengenai ketentuan lebih lanjut, di sebutkan bahwa:
a. Besaran dan tata cara pembayaran Iuran program jaminan kesehatan diatur
dalam Peraturan Presiden; dan
b. Besaran dan tata cara pembayaran Iuran selain program jaminan kesehatan
diatur dalam Peraturan Pemerintah.

614

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Dalam penjelasan pasal tersebut di jelaskan bahwa besar iuran yang yang
harus di berikan bergantung pada kebijakan yang di atur oleh pemerintah, dan jenis
BPJS yang di ikuti oleh peserta iuran.Besaran pembayaran kepada fasilitas kesehatan
ditentukan berdasarkan kesepakatan BPJS Kesehatan dengan asosiasi fasilitas
kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh
Menteri.
Selain itu dalam pasal 17 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004, di sebutkan
bahwa Setiap peserta wajib membayar iuran yang besarnya ditetapkan berdasarkan
persentase dari upah atau suatu jumlah nominal tertentu. Dan Iuran program jaminan
sosial bagi fakir miskin dan orang yang tidak mampu dibayar oleh Pemerintah.
Hak dan Kewajiban BPJS
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Bab IV Bagian Keempat di jalaskan
mengenai hak dan kewajiban BPJS, yakni:
1.

Hak
Pasal 12 : Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11,
BPJS berhak untuk:
a. Memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program yang bersumber
dari Dana Jaminan Sosial dan/atau sumber lainnya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
b. Memperoleh hasil monitoring dan evaluasi penyelenggaraan program Jaminan
Sosial dari DJSN setiap 6 (enam) bulan.

2.

Kewajiban
a. Memberikan nomor identitas tunggal kepada Peserta;
b. Mengembangkan aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS untuk sebesarbesarnya kepentingan Peserta;
c. Memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja,
kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya;
d. Memberikan Manfaat kepada seluruh Peserta sesuai dengan Undang-Undang
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional;
e. Memberikan informasi kepada Peserta mengenai hak dan kewajiban untuk
mengikuti ketentuan yang berlaku;

615

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

f.

Memberikan informasi kepada Peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak


dan memenuhi kewajibannya;

g. Memberikan informasi kepada Peserta mengenai saldo jaminan hari tua dan
pengembangannya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;
h. Memberikan informasi kepada Peserta mengenai besar hak pensiun 1 (satu) kali
dalam 1 (satu) tahun;
i.

Membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim
dan berlaku umum;

j.

Melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku dalam


penyelenggaraan Jaminan Sosial; dan

k. Melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, secara


berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN.
Kepesertaan BPJS
Peserta BPJS Kesehatan adalah setiap orang, termasuk orang asing yang
bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia, yang telah membayar iuran,
meliputi :
1. Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (PBI) : fakir miskin dan orang tidak
mampu, dengan penetapan peserta sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
2. Bukan Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Non PBI), terdiri dari :
- Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya
a) Pegawai Negeri Sipil;
b) Anggota TNI;
c) Anggota Polri;
d) Pejabat Negara;
e) Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri;
f)

Pegawai Swasta; dan

g) Pekerja yang tidak termasuk huruf a sd f yang menerima Upah.


h) WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan
- Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya
a) Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri; dan
b) Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah.

616

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

c) Termasuk WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan.


- Bukan pekerja dan anggota keluarganya
a. Investor;
b. Pemberi Kerja;
c. Penerima Pensiun, terdiri dari :
1) Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;
2) Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;
3) Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;
4) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun yang
mendapat hak pensiun;
5) Penerima pensiun lain; dan
6) Janda, duda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun lain
yang mendapat hak pensiun.
d. Veteran;
e. Perintis Kemerdekaan;
f.

Janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis
Kemerdekaan; dan

g. Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sd e yang mampu membayar


iuran.
ANGGOTA KELUARGA YANG DITANGGUNG
1. Pekerja Penerima Upah :
Keluarga inti meliputi istri/suami dan anak yang sah (anak kandung, anak
tiri dan/atau anak angkat), sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
Anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang
sah, dengan kriteria:
a. Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan
sendiri;
b. Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua
puluh lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.
2. Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja : Peserta dapat mengikut
sertakan anggota keluarga yang diinginkan (tidak terbatas).
3. Peserta dapat mengikut sertakan anggota keluarga tambahan, yang meliputi
anak ke-4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua.

617

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

4. Peserta dapat mengikut sertakan anggota keluarga tambahan, yang meliputi


kerabat lain seperti Saudara kandung/ipar, asisten rumah tangga, dll.
Sitem Rujukan
1. Pelayanan kesehatan rujukan menerapkan pelayanan berjenjang yang dimulai dari
Puskesmas, kemudian kelas C, kelas D selanjutnya RS kelas B dan akhirnya ke RS
kelas A.
2. Pelayanan kesehatan rujukan dapat berupa rujukan rawat jalan dan rawat inap yang
diberikan berdasarkan indikasi medis dari dokter disertai surat rujukan, dilakukan
atas pertimbangan tertentu atau kesepakatan antara rumah sakit dengan pasien
atau keluarga pasien.
3. Rumah sakit kelas C/D dapat melakukan rujukan ke rumah sakit tipe B atau A di
kabupaten/kota yang telah di tetapkan.

Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional


Ada 2 (dua) manfaat Jaminan Kesehatan, yakni berupa pelayanan kesehatan
dan Manfaat non medis meliputi akomodasi dan ambulans. Ambulans hanya diberikan
untuk pasien rujukan dari Fasilitas Kesehatan dengan kondisi tertentu yang ditetapkan
oleh BPJS Kesehatan.Paket manfaat yang diterima dalam program JKN ini adalah
comprehensive sesuai kebutuhan medis. Dengan demikian pelayanan yang diberikan
bersifat paripurna (preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif) tidak dipengaruhi oleh
besarnya biaya premi bagi peserta. Promotif dan preventif

yang diberikan dalam

kontek supayakesehatan perorangan (personal care). Manfaat pelayanan promotif dan


preventif meliputi pemberian pelayanan:
1. Penyuluhan kesehatan perorangan, meliputi paling sedikit penyuluhan mengenai
pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat.
2. Imunisasi dasar, meliputi Baccile Calmett Guerin (BCG), Difteri Pertusis Tetanus
dan HepatitisB (DPTHB), Polio, dan Campak.
3. Keluarga berencana, meliputi konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi, dan
tubektomi bekerjasama dengan lembaga yang membidangi keluarga berencana.
Vaksin untuk imunisasi dasar dan alat kontrasepsi dasar disediakan oleh
Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
4. Skrining kesehatan, diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi
risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.

618

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

Meskipun manfaat yang dijamin dalam JKN bersifat komprehensif namun masih
ada yang dibatasi, yaitu kacamata, alat bantu dengar (hearing aid), alat bantu
gerak (tongkat penyangga, kursi roda dan korset). Sedangkan yang tidak dijamin
meliputi:
Tidak sesuai prosedur
Pelayanan diluar Faskes Yg bekerjasama dng BPJS
Pelayanan bertujuan kosmetik
General check up, pengobatan alternative
Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, Pengobatan Impotensi
Pelayanan Kesehatan Pada Saat Bencana
Pasien Bunuh Diri /Penyakit Yg Timbul Akibat Kesengajaan Untuk Menyiksa Diri

Sendiri/ Bunuh Diri/ Narkoba

DISKUSI

DISKUSI
Pertanggung Jawaban BPJS
BPJS Kesehatan wajib membayar Fasilitas Kesehatan atas pelayanan yang
diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (limabelas) hari sejak dokumen klaim
diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan
berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosias Fasilitas Kesehatan
di wilayah tersebut dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh enteri
Kesehatan. Dalam hal tidak ada kesepakatan atas besaran pembayaran, Menteri
Kesehatan memutuskan besaran pembayaran atas program JKN yang diberikan.
Asosiasi Fasilitas Kesehatan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Dalam JKN, peserta
dapat meminta manfaat tambahan berupa manfaat yang bersifat non medis berupa
akomodasi. Misalnya: Peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi
dari pada haknya, dapat meningkatkan haknya dengan mengikuti asuransi kesehatan
tambahan, atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin oleh BPJS
Kesehatan dan biaya yang harus dibayarkan akibat peningkatan kelas perawatan,
yang disebut dengan iur biaya (additional charge). Ketentuan tersebut tidak berlaku
bagi peserta PBI. Sebagai bentuk pertanggung jawaban atas pelaksanaan tugasnya,
BPJS Kesehatan wajib menyampaikan pertanggung jawaban dalam bentuk laporan
pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan (periode 1 Januari sampai
dengan 31 Desember). Laporan yang telah diaudit oleh akuntan public dikirimkan

619

Prosiding Pertemuan Ilmiah Ikatan Widyaiswara Indonesia


Rapat Kerja Nasional Pengurus Pusat IWI
Jakarta, 24 Maret 2016

kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN paling lambat tanggal 30 Juni
tahun berikutnya. Laporan tersebut dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif
melalui media massa elektronik dan melalui massacetak yang memilik iperedaran
luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya, paling sedikit 2
(dua) media.
Penutup
Kesimpulan
1. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah
badan hukum yang bentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial.
BPJS terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan
adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan
kesehatan.
2. BPJS

Kesehatan wajib membayar asilitas Kesehatan atas pelayanan yang

diberikan kepada Peserta paling lambat 15 (limabelas) hari sejak dokumen klaim
diterima lengkap. Besaran pembayaran kepada Fasilitas Kesehatan ditentukan
berdasarkan

kesepakatan

antara

BPJS

Kesehatan

dan

asosiasi

Fasilitas Kesehatan di wilayah tersebut dengan mengacu pada standartarif yang


ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Daftar Pustaka :
1. Utri P, Novana. 2013. Konsep pelayanan primer di era JKN. Direktorat bina

upaya kesehatan dasar Ditjenbina upaya kesehatan Kemenkes RI : Jakarta.


2. Tridarwati, Sri Endang. BPJS Kesehatan. PT. ASKES :Jawa Tengah.
3. Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara

aminan Sosial (BPJS).


4. Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial

Nasional.

620

También podría gustarte