Está en la página 1de 3

MEMPREDIKSI KEDUDUKAN PERADILAN DESA

KE MASA DEPAN (PENDEKATAN FUTURISTIK)


Diakuinya peradilan adat dalam Undang-undang Otonomi Khusus
Bagi

Provinsi

peraturan

Papua

merupakan

perundang-undangan

suatu
Republik

dinamika
Indonesia

tersendiri
yang

dalam

memberi

harapan bahwa di masa depan eksistensi peradilan adat akan diakui


secara nasional. Bandul politik hukum nasional tampaknya mengarah
kepada pengakuan ekplisit terhadap peradilan adat yang ada dalam
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat yang masih hidup dan
tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Tanda-tanda ke arah itu tampak
dari telah disiapkannya rancangan undang-undang tentang kesatuan
masyarakat hukum adat yang sudah masuk dalam program legislasi
nasional (prolegnas). Dalam dua rancangan undang-undang tentang
kesatuan masyarakat hukum adat yang disiapkan oleh dua lembaga resmi
negara yang berbeda, yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
(DPD RI) dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI),
eksistensi peradilan adat sudah diakomodasi dalam rancangan pasalpasalnya. Dalam naskah rancangan undang-undang yang disiapkan oleh
Panitia Ad. Hoc. I Dewan Perwakilan Daerah tahun 2009, pengakuan
peradilan adat diakomodir dalam rancangan Pasal 7 dan Pasal 8 di mana
dikonsepsikan bahwa peradilan adat sebagai bagian dari lembaga adat
berwenang mengadili semua perkara yang terjadi yang dilakukan oleh
anggota masyarakat adat dan di wilayah adat yang bersangkutan.
Sedangkan dalam naskah rancangan undang-undang yang disiapkan
tahun 2012 oleh Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat, pengakuan

terhadap peradilan adat diakomodir dalam rancangan Pasal 18 yang


menyatakan

bahwa

masyarakat

hukum

adat

berhak

untuk

menyelenggarakan sistem peradilan adat dalam penyelesaian sengketa


terkait dengan hak-hak adat dan pelanggaran atas hukum adat.
Kedua rancangan undang-undang di atas sama-sama disiapkan
sebagai penjabaran politik hukum pemerintahan daerah, khususnya yang
tercantum dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Walaupun konsep
peradilan adat yang dituangkan dalam rancangan undang-undang di atas
masih perlu dikritisi, namun upaya yang telah dilakukan oleh Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat patut mendapat
apresiasi. Peluang pengaturan masalah peradilan dalam undang-undang
di

luar

undang-undang

kekuasaan

kehakiman

dimungkinkan

oleh

konstitusi, yaitu berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Dalam pasal
tersebut dinyatakan bahwa Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan
dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang. Frasa
diatur dalam undang-undang mengandung makna bahwa pengaturan
peradilan adat tidak harus diatur dalam undang-undang yang secara
khusus mengatur tentang peradilan (kekuasaan kehakiman), melainkan
dapat diatur dalam undang-undang sektoral lainnya, seperti misalnya
dalam undang-undang yang mengatur tentang kesatuan masyarakat
hukum adat.
Namun demikian, penting diingatkan bahwa peradilan adat adalah
suatu sistem peradilan berdasarkan hukum adat yang juga melaksanakan
fungsi kekuasaan kehakiman. Dari perspektif ini, idealnya di masa depan

masalah peradilan adat semestinya juga diatur dalam undang-undang


tentang

kekuasaan

kehakiman

sehingga

terjadi

konsistensi

antara

undang-undang yang mengatur tentang peradilan dengan undang-undang


lainnya yang juga mengatur peradilan adat. Agar politik hukum kekuasaan
kehakiman dapat mengakomodasi pengakuan terhadap peradilan adat,
maka revisi terhadap Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman relevan dilakukan.

También podría gustarte