Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
1. Yapwan awaja sampe buddhi ning aweh dna, tan raddh kunang, tan abungah mituhu
hana ning karmaphala, kaniadna ngaranika, kaniaphala ika jmah, ling sang paita.
(Srasamuccaya, loka 210)
Terjemahan:
Apabila dana punia itu kita berikan dengan penghinaan dan kemarahan, tanpa tulus ikhlas,
serta tidak percaya akan adanya hukum karmaphala, maka pemberian kita itu merupakan
sedekah yang hina, dan amat rendah pulalah pahalanya kelak. Demikian kata orang
bijaksana.
2. Ndtan prama kwehnya, yadyapin sakweha ning dbya nikang wwang puyknya, ndn
yan aglh buddhinya, kaplang-alang tan tulus tyga, tan paphala ika. Sangkepanya,
raddh ning manah prasiddha kraa ning phala.
(Srasamuccaya, loka 205)
Terjemahan:
Biarpun dana punia kita banyak jumlahnya, ataupun semua harta milik kita didanapuniakan,
bilamana dalam memberikannya itu dengan pikiran keruh dan tidak dengan tulus ikhlas,
maka dana punia kita itu tidak berguna. Singkatnya, kesucian pikiran kitalah yang
menyebabkan keberhasilan itu.
3. Kunang lwiring ujarakna nihan, satya ta ya makwak hings, haywa makwak upt,
hitwasna ta ya, haywa ta pruya, haywa kasltan glng, haywa nangsa, haywa
paiunya, mangkana lwir ning tan yogya ujarakna.
(Srasamuccaya, loka 132)
Terjemahan:
Adapun jenis perkataan yang patut kita ucapkan, adalah ucapan yang mengandung
kebenaran. Janganlah berkata menyakiti hati orang lain! Janganlah suka mengumpat!
Berkatalah yang bermanfaat! Janganlah berkata kasar! Janganlah berkata marah! Jangan
berkata sombong! Janganlah berkata memfitnah! Demikianlah jenis perkataan yang tidak
pantas diucapkan.
4. Nihan lakaa ning satya, hana ya tinaanta, tan pawuni mjar ta ya, yathbhta, torasi
ikang sakawruhnya, prawttinya ikang mangkana, yatika lakaa ning kasatyan.
5. Kalinganya, yan purnama tilm, kla sang sdhujana manghankn puyadna, tunggal
mulih sapuluh ika de bhatara, kunang yan candragrahana, suryagrahana, kala sang sdhu
manghankn puyadana, tunggal mulih stus ika de bhatra, kunang yan kanyagatakala,
sang sdhu manghankn puyadna, tunggal mulih sewu ika de bhatara, kunang yan
sdng ing yugntakla sang sdhu manghankn puyadna ika, tunggal mulih tan
pahingan ika de bhatra, kengtakna de sang mangusir kapradhnan ika.
(lokntara, loka 17)
Terjemahan:
Pada hakikatnya: jika pada bulan purnama dan bulan mati (tilem) kita memberikan dana
punia, pemberian yang satu akan dikembalikan sepuluh kali oleh Tuhan. Adapun jika pada
waktu gerhana bulan dan gerhana matahari kita memberikan dana punia, pemberian yang
satu akan dikembalikan seratus kali oleh Tuhan. Adapun jika pada saat pemujaan arwah
leluhur, kita memberikan dana punia, pemberian yang satu akan dibalas seribu kali oleh
Tuhan. Adapun pada waktu masa akhir yuga kita berdana punia, pemberian yang satu akan
dibalas tak terhitung jumlahnya oleh Tuhan, hendaknya selalu diingat oleh kita sebagai
orang yang mencari kesucian.
6. Tlu tikang prasiddha dbya, mas manik ngaranya, ling sang paita, pratyekana, si tan
mahyun mamatya-matyani, si tan drohi, si mujaraknang satya, nahan ta dbya wastu ning
mlya, ling sang mahpurua.
(Srasamuccaya, loka 151)
Terjemahan:
Ada tiga hal yang pantas kita miliki, ibarat emas permata menurut sang pendeta, yaitu: sifat
kita yang tidak suka membunuh, tidak suka berkhianat, suka mengucapkan kata-kata yang
benar; itulah merupakan harta milik kita yang sungguh-sungguh berharga, menurut orang
bijaksana.
7. Kalingnya ikang str yan halmbknya, ring lakinya yogya tinggalakna. Mangkana teka
sang prabhu yan ahala budhi nira, kadi ambk ring raray angwan, tinggalakna ika dening
mantri nira. Mangkana swabhawa ning ratu lawan ikang str, yan ahala pamarydn ika,
tan rakann, lunghnana rehnya. Hawya tan makalakaa ng prayatnngdehana, ling sang
hyang aji.
(lokntara, loka 41)
Terjemahan:
Hakikatnya, seorang istri yang tidak berprilaku baik dan tidak setia kepada suami, pantas
ditinggalkan. Demikian pula seorang raja jika berprilaku buruk, bagaikan prilaku anak-anak,
ia akan ditinggal oleh para menterinya. Demikianlah perbuatan seorang raja dan seorang istri
jika prilakunya tidak baik, tinggalkanlah dia. Janganlah dipelihara, jauhilah perbuatannya
itu. Kita tidak boleh lengah mengawasinya! Demikian menurut ajaran suci.
Sumber
1. Adiparwa I, II, oleh Siman Widyatmanta, 1958
2. Srasamuccaya, oleh G. Pudja, M.A., S.H., 1984/1985
3. Slokntara, oleh Prof. Dr. Tjok Rai Sudharta, M.A., 2003
1. Ikang kla wtu nikang rare, asam ukla sdng tngah ng we, jyea nakatra, Indra
dewat. Abhijit muhrta, uttama kla. Hana ta dewatabda ring ka, lingnya: Ea
dharmawidhi rea. Yek wruh ing dharma dlha. Mangkana ling kawkya. Inaran
tang rare sang Yudhihirnak atuha ri sang Pu.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:
Pada waktu anak itu lahir tepat tengah hari paroh terang ke delapan bulan Jyesta, bintangnya
Indra dewata, Abhijit muhrta, waktu yang sangat baik. Maka terdengarlah sabda dewa dari
angkasa, ucapnya: Ea dharmawidhi rea. Anak itu kelak mengetahui tentang dharma.
Demikianlah sabda angkasa. Lalu anak itu diberi nama Sang Yudhiira, anak tertua Sang
Pu.
2. Muwah ta sang Kunt kinon angradhan bhara Byu, narapwan mnaka akti.
Inrdhana nira ta sang hyang Prabhajana. Inanugrahan ta sirnaka, ring Poya ukla
wtu nira. Hana tkaabda: Sarwabalinm reah. Yeka uttama mahakti dlha.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:
Kemudian Dewi Kunti disuruh memuja Dewa Bayu, supaya mempunyai putra yang sakti.
Dipujalah Dewa Bayu. Beliau dianugrahi seorang putra lahir pada bulan Posya. Lalu
terdengar suara dari langit: Sarwabalinm reah. Anak ini kelak akan sangat sakti.
4. Kunng paramrthanya nihan, tan ikang ujar adwa tikang mithy ngaranya, tan ikang si
tuhu satya ngaranya, kunng prasiddhanya, mon mithy ikang ujar, thr mangde hita juga,
magawe sukhwasna ring sarwabhwa, ya satya ngaranika, mon yathbtha towi, yan tan
pangde sukhwasna ring sarwabhwa, mithy ngaranika.
(Srasamuccaya, loka 134)
Terjemahan
Pada hakikatnya adalah demikian, bukanlah perkataan yang tidak benar itu disebut bohong,
dan bukan pula perkataan yang benar itu disebut jujur, melainkan sesungguhnya, walaupun
perkataan kita itu bohong, tetapi menimbulkan kebaikan, membuat senang semua mahluk,
itulah jujur namanya. Meskipun perkataan kita sesuai dengan apa yang terjadi, namun tidak
dapat menyenangkan semua mahluk, dusta namanya.
5. Kunang ulaha, yan pasahya kita, sang sdhu juga sahayanta, yan ta gawaya pakadangan,
sang sdhu juga kadanganta, yadyapin patukara tuwi, nguniweh yan samitra lawan sang
sadhu juga, apan pisaningun han kayogya ning tan sadhu.
(Srasamuccaya, loka 305)
Terjemahan
Adapun yang harus dilakukan, kalau engkau hendak mencari sahabat, carilah orang yang
berbudi luhur. Jika engkau berdebat, berdebatlah dengan orang yang bijaksana. Apalagi jika
kita bersahabat, hendaklah bersahabat dengan orang yang baik budi, sebab mustahil kita
tidak akan kelimpahan budi luhur itu.
6. Lawan ta waneh tar angn-angn dosa ning len, pisaningun ujaraknang parpawda,
guanya, mwang ulahnya, rahayu juga kengt nira, tatan hana gantanira manasara sakeng
icra, apagh juga sira ri marydanira, mangkana lakaa sang sdhu, sira
purusottama ngaranira waneh.
(Srasamuccaya, loka 304)
Terjemahan
Lagipula tidak memikir-pikirkan dosa orang lain, dan tidak akan mengeluarkan kata-kata
celaan, hanya kebajikan dan perbuatan baik orang lain dipikirkannya, tidak mungkin orang
bijaksana akan menyimpang dari tatakrama, ia tetap teguh berpegang pada sopan santun;
demikianlah prilaku seorang bijaksana, ia disebut pula sebagai manusia utama.
7. Paramrthanya upaama ta pwa sang sdhu ngaranira, tumungkul dening kweh ning gua
nira, mwang wruh nira, kadyangga ning pari, tumungkul dening bwat ning wwahnya,
mwang pang ning kayu, tumungkul dening tb ning phalanya.
(Srasamuccaya, loka 307)
Terjemahan
Tujuan terpentingnya, ketenangan sebagai pembawaan orang bijak, menunduk karena
banyak kebajikan dan ilmunya, sebagai halnya padi menunduk karena berat buahnya, dan
dahan pohon kayu menunduk, karena lebat buahnya.
8. Kunang ika wwang tapwan hana pwa inalapnya, drbya ning asing-asing, ya ika wastu ning
tan hana katakutnya, lila sing saparanya, kunang ikang maling ngaranya, sakwanyan sarwa
sangaya i ri ya, nihan padanya kadi krama ning mga mara ring grma.
(Srasamuccaya, loka 150)
Terjemahan
Adapun orang yang sama sekali tidak pernah mencuri harta milik siapa pun, menyebabkan
tidak ada yang ditakutinya; selalu gembira ke mana pun perginya. Sebaliknya, yang disebut
pencuri, kemana pun ia pergi kecurigaan selalu ada pada dirinya, ibarat binatang buruan
masuk ke perkampungan desa.
Sumber:
Srasamuccaya, oleh G. Pudja, M.A., S.H., 1984/1985
1. Anaku sang wetaketu! Hawya ta kita krodha ri sang brhmaa tamuy, yan
pamarigraheng ibunta, apan tan adharma ng ulah mangkana kramanya. Mangkana ling
sang bapa. Sumahur sang wetaketu: Bapa! Tan ahyun nghulun ing maryada mangkana,
apan waltkra katonanya. Nghulun mangke magawaya ng sngkr: Wyuccaranty
patim nry. Yan hana ta pwa str majalun hana swminya.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:
Anakku Sang Swetaketu! Janganlah engkau marah kepada tamu brahmana, yang
mengawini ibumu, karena perbuatanmu itu tidak sesuai dengan dharma. Demikian perkataan
bapaknya. Sang Swetaketu menjawab: Ayah! Aku tidak menginginkan perbuatan seperti
itu, karena kelihatannya seperti perkosaan. Sekarang aku membuat larangan:
Wyuccaranty patim nry. Jika ada seorang istri yang masih bersuami, memilih laki-laki
lain, sama dengan perbuatan bhrahaty.
2. Bhrahaty ktam param. Salwir ing ppa ning bhrahaty tinmunya, pada lawan
ppa ning amt rare jro wtng ptakanya. Mangkana prawttyanya. Mangkana tekang
jalu-jalu ywt yan harp ing str patiwrata, mahyuna ring str brahmacr kunang,
mangguhakna bhrahaty, ppa tinmunya.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:
Bhrahaty ktam param. Akan menemukan penderitaan seperti orang menggugurkan
kandungan, demikian malapetakanya. Demikian akibatnya. Demikian pula seorang laki-laki
menginginkan wanita yang masih setia pada suaminya, menginginkan seorang perempuan
brahmacari akan menemukan malapetaka seperti orang menggugurkan kandungan,
demikian penderitaan yang ditemukannya.
1. Swabhwa nikanang lalr maharp ing braa, purih ika darpa ning kanin. Ikng wayasa
kka darpa harp ing kunapa, midr ing ambarnglayang. Ikng kujana dadya ning kulaha
kahyun ika mulati duhkha ning para. Kam mudit kahyun sujana, dharma nira mulata
tua ning para.
(Kitab Nitistra III. 11)
Terjemahan:
Sifat lalat ialah suka sekali akan luka, dan lupa segalanya jika telah mengisap luka. Burung
gagak buas terbang melayang-layang di udara menginginkan bangkai. Orang jahat sangat
senang melihat orang lain sengsara. Memaafkan dan bersimpati merupakan peringai orang
bijak, sikap prilakunya senang melihat orang lain bahagia.
2. Kalinganya, ikang ul ring huntunya unggwan ing wia nika, mangkana ikang durjana
mrkha, ring cittanya unggwan ing mo wianya, kunang ikang wwang tan rowang ing enak,
amatyani pinaka wianya, muwah ikang str, canggih ring lakinya, unggwan ing wia nika,
mangkana ling ning aji.
(lokntara, loka 32)
Terjemahan:
Pada hakikatnya, racun ular itu terletak di giginya. Demikian orang jahat dan loba, racunnya
berada dalam pikiran. Bagi orang yang tidak berteman dengan kebahagiaan, racunnya adalah
membunuh diri. Dan racun wanita adalah berzinah terhadap suaminya. Demikian menurut
ajaran agama.
3. Kunang yan apadharma mwang tan pnak, konn ya strnymetnaknya, tan ilwa
ikmangguha ng ppa, apan dharmn pnak nika. Mangkana ling sang wetaketu,
magawe yaa sira. Ya ta tint ing rt kabeh.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:
Adapun jika seorang istri yang menuruti dharma tidak mempunyai anak, diperkenankan dia
mendapatkan seorang anak, perbuatan itu tidak termasuk mendapatkan kutukan sengsara,
karena mendapatkan anak sesuai dengan dharma. Demikian perkataan Sang Swetaketu
membuat aturan yang diikuti oleh masyarakat semua.
4. Sumahur ta sang Kunt: Yan atiaya kahyunta mangkana, hana tji ni nghulun paweh
bhagawn Durws, kla ni nghulun kany, dityahdaya ngaran sang hyang aji, wnang
mangrdhana dewat manganugrahana putra. Anujnt tway dewam.
5. Yan hana pakonta ri nghulun, syapa ta kahyuntrdhana ni nghulun? Mangkana ling sang
Kunt. Agirang ta mahrja Pu. Kinon ta bhara Dharmrdhana nira, yatanyn
pnaka dharmea. Inradhana nira ta sang hyang Dharma, atng manganugrahani putra.
Amtng ta sang Kunt.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:
Jika ada perintah maharaja kepadaku, dewa siapa yang tuanku inginkan, yang aku harus
puja? Demikianlah perkataan Dewi Kunti. Sangat senanglah hati maharaja Pau. Dewi
Kunti disuruh memuja Dewa Dharma, supaya mendapatkan seorang anak yang mengetahui
tentang dharma. Dipujalah Sang Hyang Dharma dan beliau datang menganugrahkan seorang
putra. Akhirnya Dewi Kunti hamil.
6. Ikang kla wtu nikang rare, asam ukla sng tngah ng we, jyea nakatra, Indra
dewat. Abhijit muhrta, uttama kla. Hana ta dewatabda ring ka, lingnya: Ea
dharmawidhi rea. Yek wruh ing dharma dlha. Mangkana ling kawkya. Inaran
tang rare sang Yudhihirnak atuha ri sang Pu.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:
Pada waktu anak itu lahir tepat tengah hari paroh kedelapan bulan Jyesta, bintangnya Indra
dewata, Abhijit muhrta, waktu yang sangat baik. Maka terdengarlah sabda dewa dari
angkasa, ucapnya: Ea dharmawidhi rea. Anak itu kelak mengetahui tentang dharma.
Demikianlah sabda angkasa. Lalu anak itu diberi nama Sang Yudhiira, anak tertua Sang
Pu.
7. Muwah ta sang Kunt kinon angradhan bhara Byu, narapwan mnaka akti.
Inrdhana nira ta sang hyang Prabhanjana. Inanugrahan ta sirnaka, ring Poya ukla
wtu nira. Hana tkaabda: Sarwabalinm reah. Yeka uttama mahakti dlha.
(Adiparwa, Bab XIV)
Terjemahan:
Kemudian Dewi Kunti disuruh memuja Dewa Bayu, supaya mempunyai putra yang sakti.
Dipujalah Dewa Bayu. Beliau dianugrahi seorang putra lahir pada bulan Posya. Lalu
terdengar suara dari langit: Sarwabalinm reah. Anak ini kelak akan sangat sakti.
Sumber:
Adiparwa, I, II, oleh Siman Widyatmanta, 1958
1. Mojar ta Bhagawan Wasitha: Tan wnang kami tumulunge kita, sang Nandin, apa
matangyan mangkana. Katriyna bala tejo. Kaharp ning kadi siran katriya teka
maka pangayya kawryanira. Brahmannm kama balam. Kunng pangayya ning kadi
kami brhmaa kopasaman juga. Ya ta matangyan humnng kami, hinganya yan ahyun
kita mangke ri sang prabhu, tumtakn irikang tatali panarik mahrja.
(Adiparwa, Bab XVI)
Terjemahan:
Berkatalah Bhagawan Wasistha: Aku tidak bisa menolongmu, wahai Nandini! Mengapa
demikian? Katriyna bala tejo. Kewajiban mereka sebagai ksatriya adalah senantiasa
menegakkan keperwiraan. Brahmannm kama balam. Adapun kewajiban kami sebagai
brahmana hanyalah memegang sifat penyabar. Itulah yang menyebabkan kami berdiam diri,
jika sekarang kamu menginginkan baginda raja, ikutilah tali penarik sang raja.
2. Ai sang Arya Yudhiira: Tan yogya dahat ikang dharma inujaraknta ri nghulun. Ekasya
bhry wihitah, apan ikang dharma ngaranya dadi ikang jalu asiki akweha strnya.
Kunang ikang str asiki makweha jalunya, tan yogya ik, apan prasiddha loka wiruddha.
Mangkana kramanya, haywa ta sang arya gumawayaknang adharma. Saja haji mahrja
Drupada! Atyanta mewh Sang Hyang Dharma ngaran ira, tan kawnang linakaan lwir
nira, ndatan hana juga lwira citta sanghulun mtrhyuneng adharma.
(Adiparwa, Bab XVI)
Terjemahan:
Hai Sang Yudhistira, sangat tidak patut perbuatan yang Anda sampaikan kepadaku. Yang
namanya dharma, seorang laki-laki boleh beristri banyak. Namun, jika seorang wanita
bersuami banyak, hal itu tidak patut, karena dapat menimbulkan perselisihan di masyarakat.
Demikianlah peraturannya, janganlah Anda melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
dharma! Daulat Tuanku Maharaja Drupada, sungguh betapa sulitnya yang disebut Sang
Hyang Dharma itu, kita tidak dapat melaksanakan semua aturannya. Juga kami tidak berniat
sedikit pun untuk berbuat menentang dharma.
1.
Kalinganya, lima ikang tan amuhara papa ning leok, lwirnya, kawruhana, ujar ing siwo
mapach-pachan, karakahan ing hurip, karakahan ing drwya, karakahan ing anak
rabi, muwah ri sng ing pasanggaman, wnang leok ing mangkana.
(lokntara, loka 69)
Terjemahan:
Ada lima macam kebohongan yang tidak menimbulkan dosa, yaitu, ketahuilah, perkataan
bohong pada saat bersenda gurau, pada saat menyelamatkan jiwa, pada saat menyelamatkan
harta milik, pada saat menyelamatkan anak dan istri, dan juga pada waktu bersenggama atau
bercumbu rayu. Pada saat seperti itu, kita boleh berbohong.
2.
Lima wilang ing mrseka gawayn taman pamuhareka ppa wangunn. Ri sng
angutsawthawa wiwha kla, ri karaka ning wita juga. Athawa muwah karakani hurip
na narma masiwo-siwo mrse kita. Lyana saka ring limeka kawaweng kawah kita tkap ning
awalalita.
(Kitab Nitistra VI.4)
Terjemahan:
Ada lima macam kebohongan jika dilakukan tidak mengakibatkan dosa, yaitu pada waktu
berpesta, atau pada waktu perkawinan, sewaktu melindungi kerahasiaan. Atau pun sewaktu
melindungi jiwa kita, serta pada saat bersenda gurau sambil tertawa-tawa, kita boleh
berbohong. Selain daripada kelima macam ini, jika kita berbohong akan dibawa ke neraka
oleh si kuda gaib.
3. Kunang yogya umarigrah Sang Dropad snak ni nghulun kabeh juga. Apa matangyan
mangkana, sira dewi Kunti mjar de Sang Bhimrjuna nguni, yan hana ulih nirnasi. Kinon
ira tngabehana kadi kramanynasi. Inujaran pwa sira str ratna ulih anasi, kathamapi
kinon irngabehana de sanghulun, yan huwus kadalurung abda nirebungku kumonaknyan
kabehana, sira tan dadi mithya yadyan guywa-guywana tuwi. Nahan htu ni nghulun kalima
yogymarigraha rnak rahadyan sanghulun.
(Adiparwa, Bab XVI)
Terjemahan:
Adapun kami berlima bersaudara dibenarkan mengawini Sang Dropadi, apa alasannya?
Ibuku Dewi Kunti berkata kepada Sang Bima dan Arjuna dahulu, jika memperoleh hasil
meminta-minta disuruhnya membagi sama-sama seperti biasanya. Lalu ketika kami hendak
menyampaikan bahwa kami memperoleh seorang gadis cantik, juga kami disuruh membagi
sama-sama. Karena perkataan ibu telanjur menyuruh kami membagi sama-sama, dan beliau
tidak boleh berdusta, walaupun bersenda gurau, maka itu kami berlima patut mengawini
putri maharaja.
4. Sng ahayu tuwuh nikang wija, tka tang wh saha wipata, hudan adrs. Alah ta
galng nikang sawah. Saka ri wdi nirn kahibkan toya ikang pari, tinambak nira ta ya
tapwan asowe ikang we, alah tek tambak nika, muwah tinambak nira tan wring deya, i
wkasan tinambakakn twak nireng we manglnd tar molah irikang rahina wngi.
(Adiparwa, Bab III)
Terjemahan:
Sedang bagusnya pertumbuhan padinya, datanglah banjir dan hujan lebat. Jebollah pematang
sawahnya. Karena takut padinya kebanjiran, dibendungnya pematangnya, namun tidak lama
pembendungnya jebol lagi. Kembali dibendungnya karena kehabisan akal, akhirnya
badannyalah dipakai membendung air itu, telentang tidak bergerak siang dan malam.
6. Kaka Bhima! Agng rakwa kaaktin ikang rkasa Hidimba. Haywa ta kaka pramda ri
lkasnya ring palagan! Mangkana yan anghel rahadyan marryana sakarng! Nghulun
lawanysikp aprp.
(Adiparwa, Bab XV)
Terjemahan:
Kakakku Sang Bhima! Raksasa Hidimba kesaktiannya sangat hebat. Janganlah kakak
meremehkan kekuatannya dalam peperangan (perkelahian). Apabila kakak kepayahan
berhentilah sebentar. Saya akan melawannya berkelahi saling pukul.
7. Kalinganya, yan ring wngi sang hyang Candra sira pinaka damar. Yan ring rahina sang
hyang Rawi pinaka damar. Yan ring triloka sang hyang Dharma pinaka damar. Kunang yan
ikang kula, ikang anak suputra pinaka damar, ling ning aji.
(lokntara, loka 24)
Terjemahan:
Pada hakikatnya, jika malam hari bulan menjadi penerang, jika siang hari matahari menjadi
penerang, jika di dunia yang tiga (tri loka) dharma yang menjadi penerang. Adapun dalam
keluarga, anak suputra (anak baik) yang menjadi penerang. Demikian menurut ajaran suci.
8. Kalinganya, ika sang sdhujana, yan sira maweh puya dna, yadyapi akdika tuwi, paweh
nira irikang dna, magawe sukha ning manah ikang dinnan, makakraa ddha ning hati
sang maweh dna, uddha ngaranya hning, mamangguh ika phala magng sang maweh
dna, mapa ta pada nika, kadyangga ning wiji ning waringin tunggal, mljik ta ya
wkasan, iningu pwa yenupadita, ri wkasan sangaya magng, thr pinaka panghban ing
wwang.
(lokntara, loka 19)
Terjemahan:
Demikianlah, orang bijak jika dia memberikan dana punia, walaupun sedikit pemberiannya,
tetapi membuat senang hati orang yang menerimanya, yang menyebabkan suci pikiran orang
yang memberi dana, suddha (suci) artinya jernih/tenang, akan mendapatkan pahala yang
sangat besar orang yang memberi dana. Apa ibaratnya? Bagaikan sebutir biji buah beringin
yang tumbuh, kemudian dipelihara dengan baik, pada akhirnya tumbuh besar, senantiasa
menjadi tempat berteduh bagi banyak orang.
Sumber:
1. Adiparwa, I, II, oleh Siman Widyatmanta, 1958
2. Slokntara, oleh Prof. Dr. Tjok Rai Sudharta, M.A., 2003