roduk perikanan bernilai tambah merupakan tantangan
bagi Indon . yang ingin meniadi poros maritim dunia Selama ini . Imb-ID. erlena dengan produksi bahan baku dan bahan mentah. Kebangkitan sektor hilir perikanan perlu dibuktikan di tengah upaya pemerintah memberantas perikanan ilegal, Di sejumlah wilayah perairan, kapal-kapal ikan ilegal yang berkurang membuat nelayan-nelayan keeil kini mulai menikmati hasil tangkapan berlimpah. Setelah sumber daya ikan yang kerap dicuri itu pulih, lantas bagaimana mendorong produk ikan itu bernilai tambah dan menyejahterakan nelayan? . Hingga kini, produk ikan olahan yang dihasilkan usaha keeil dan menengah (UKM) masih didominasi ikan pindang dan ikan asin yang nilai tambahnya belum signifikan. Dari data Ke. menterian Kelautan dan Perikanan (KKP), produk olahan ikan yang dihasilkan UKM perikanan berupa bakso, otak-otak, dan produk bernilai tambah tinggi hanya berkontribusi 4,1 persen. Adapun produk olahan dari UKM didominasi jenis olahan ikan pindang, ikan asin, dan ikan asap sebanyak 67 persen, serta kerupuk ikan dan abon ikan sebesar 17,9 persen. Selebihnya, produk terasi ikan dan tepung ikan 6 persen, serta olahan ikan segar dan ikan beku sebesar 4,9 persen. Menjelang berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun ini, produk perikanan Indonesia, seperti halnya komoditas lain, harus siap bersaing dengan produk-pro.duk perikanan negara lain. Jika lengah, Indonesia hanya akan jadi pasar gemuk dari produk impor yang bernilai tambah. Peningkatan produk bernilai tambah sepatutnya menjadi kekuatan. Pasalnya, ada 58.256 unit pengolahan ikan skala mikro-keeil di Indonesia Sayangnya, sebagianbesar produk usaha mikro, keeil, dan menengah (UMKM) perikanan masih belum memenuhi standar mutu. Pada 2014, baru II produk dari ribuan produk pengolahan UMKM perikanan yang mendapatkan sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI). Dukungan pemerintah harus dibuktikan dengan memberikan sejumlah kemudahan dan fasilitas untuk meningkatkan daya saing. Pada 2015, KKP menargetkan tambahan 14 produk yang mendapat sertifikat SNI dari lembaga sertifikasi, Namun, produk yang bersertifikasi saja belum eukup. Akses ke pasar ritel menjadi tantangan yang harus dihadapi jika pemasaran produk bernilai tambah ini ingin diperluas. Pada akhirnya, pilihan atas produk ditentukan oleh konsumen. Produk yang bermutu dengan harga yang lebih terjangkau menjadi pilihan masyarakat. Tanpa daya saing untuk menekan biaya produksi, produk UMKM bisa ditinggalkan dan terlibas produk impor. Yang tak kalah penting, produk-produk perikanan Indonesia akan semakin sulit masuk ke pasar ASEAN yang menekankan kepastian standar mutu. Sebagaimana dikemukakan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan KKP Saut Hutagalung, banyak produk olahan yang sudah mengaeu ke standar SNI. Namun, produsennya masih sulit mengurus sertifikasi produk. Di sisi lain, kemasan produk kerap masih sangat sederhana sehingga tidak menarik bagi konsumen. Tahun ini, pemerintah memiliki rencana bersinergi untuk memperkuat lJ1(M, antara lain meringankan biaya sertifikasi produk bagi UKM dan memangkas proses perizinan. , Perizinan dan sertifikasi produk yang tumpang-tindih menjadi momok yang memberatkan pelaku UKM dalam mengembangkan usaha. Terobosan sinergi lintas kementerian dan lembaga itu perlu diikuti dengan regulasi teknis lintas kementerian agar kebijakan yang diambil tidak lagi tumpang-tindih. Gerak eepat diperlukan, agar Indonesia tidak kehilangan momentum menghadapi MEA yang semakin dekat. UKM, sebagai pilar ekonomi kerakyatan, layak diperkuat menjadi penopang ekonomi nasional. Penguatan sektor hilir perikanan, tidak hanya meningkatkan perekonomian, tetapi juga akan memberi multiefek bagi sektor hulu sehingga makin bergairah. (BM LUKITA GRAHADYARINI)