Está en la página 1de 4

Artritis Reumatoid

Artritis Reumatoid (AR) adalah gangguan kronik yang menyerang berbagai sistem
organ. Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit jaringan ikat difus
yang diperantarai oleh imunitas dan tidak diketahui penyebabnya. Pada pasien
biasanya terjadi destruksi sendi secara progresif, walaupun episode peradangan
sendi dapat mengalami masa remisi (Carter, 2002). Artritis Reumatoid ditandai
dengan inflamasi, hiperplasia sinovial, produksi autoantibodi (rheumatoid factor [RF,
anticyclic-citrullinated protein antibody [ACPA]), destruksi tulang, tulang rawan
(deformitas), serta gejala sistemik, diantaranya kardiovaskular, paru-paru,
psikologis, dan kelainan tulang. (McInnes dan Schett, 2011).
Epidemiologi

Insidensi dan prevalensi AR meningkat seiring dengan umur dan mencapai puncaknya pada usia
sekitar 60 tahun. Pada tahun 2012, Humpreys et al melaporkan bahwa di Inggris, insidensi RA
pada usia 65-74 tahun yang diteliti secara kohort menunjukkan 87.1 (wanita) dan 58.3 (pria)
menderita RA tiap 100.000 populasi. Prevalensi di Amerika pada individu usia >60-65 tahun
mencapai sekitar 2% pada tahun 2003. (Helmick, 2008)
Faktor Resiko
Penyebab untuk RA sendiri sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Namun,
faktor resiko untuk terjadinya RA yang sudah ditemukan hingga kini adalah faktor
genetik, penuaan yang disertai dengan disfungsi sistem kekebalan, menopause dini,
dan faktor lingkungan seperti merokok, periodontitis, dan infeksi virus (Woodworth
et al, 2013).
1. Faktor genetik
Gen yang berperan dalam pathogenesis RA adalah HLR kelas II pada bagian
yang mengandung lokus DRB1. Penemuan terakhir menjelaskan bahwa faktor
genetic berpengaruh pada onset terjadinya RA. Selain itu, para peneliti juga
telah menemukan faktor genetik lain yang diduga berkorelasi dengan
patogenesis RA yaitu, PTPN22 1858T. Individu yang memiliki gen dengan
kombinasi epitope (HLA-DRB1*0401 dan *0404) dan ACPA, atau kombinasi
ACPA dan varian PTPN22 1858T diduga memiliki resiko lebih tinggi untuk
menderita RA onset muda (Scott, 2010). Sedangkan pada individu yang
memiliki alel yang berbeda, DRB1*01, memiliki resiko untuk menderita RA
onset tua. (Scott, 2011)
2. Faktor penuaan sistem kekebalan (immunosenescence)
Secara fisiologis, telomer merupakan bagian dari kromosom yang berfungsi
untuk mencegah DNA dari kerusakan dan mempertahankan kestabilan
kromosom. Pada sel kekebalan normal, telomere tetap intak karena
terpelihara oleh telomerase dan perbaikan DNA. Namun, pada kasus RA,
terjadi defek DNA bertelomer dan nontelomer pada sel mononuclear di
dalam darah, yang mengakibatkan disfungsi sistem imun yaitu autoimun.

Defek tersebut bisa disebabkan oleh faktor lingkungan seperti infeksi virus
Epstein-Barr, CMV, dan Hepatitis C. (Hohensinner, 2011)
3. Peningkatan Sitokin
Pada pasien dengan RA onset tua memiliki level IL-6 yang lebih tinggi,
terutama jika disertai dengan gejala mirip reumatik polimialgia (polymyalgia
rheumatic-like [PMR]). Selain itu pasien dengan ACPA positif biasanya disertai
dengan meningkatnya IL-1b dan gejala konstitusional dengan peningkatan
TNF-a yang tinggi. Hal lain yang ditemukan adalah, sitokin IL-6 ternyata
berintegrasi dengan perkembangan sel Th17, dan bersama IL-17 dan IL-23,
diduga merupakan jalur yang menjadi kunci dalam patogenesis RA. (Deane,
2010)
4. Faktor Lingkungan
Merokok adalah faktor lingkungan yang menyebabkan resiko RA yang paling
banyak diteliti; setidaknya terdapat sebelas penelitian case-control dan lima
penelitian cohort yang membuktikan bahwa merokok memberik kontribusi
sebanyak 25% untuk resiko menderita RA. Namun sayangnya, efek merokok
terhadap RA bersifat laten selama 20 tahun, sehingga cara pencegahan
terbaik adalah tidak pernah merokok (Lahiri, 2012). Berdasarkan latensi ini,
penurunan prevalensi merokok akan memengaruhi insidensi terjadinya RA
atau mungkin hanya menunda onset.
Periodontitis juga merupakan faktor yang meningkatkan resiko terjadinya RA.
Kondisi ini juga merupakan salah satu dampak dari merokok. Mikuls et al
melaporkan bahwa terdapat asosiasi yang signifikan antara imunitas
terhadap Porphromonas gingivalis dan autoantibodi yang berkaitan dengan
RA pada individu yang beresiko. Lebih dari 75% pasien RA onset baru dan RA
yang sudah lanjut memiliki riwayat penyakit periodontal. Selain itu pada RA
onset tua, penyakit periodontal harus ditangani dengan baik, karena dari
penelitian menemukan bahwa penyakit periodontal yang persisten ternyata
dapat mengganggu aktivitas TNF inhibitor (TNFi). (Savioli, 2012).
Patofisiologi
Artritis Reumatoid adalah penyakit inflamasi kronis dengan manifestasi poliartritis,
destruksi sendi, dan mortalitas prematur. Bila tidak diobati, dapat terjadi erosi,
destruksi tulang, dan cacat yang progresif dalam beberapa bulan sampai tahun dan
ditandai periode kambuh dan remisi. Patofisiologi artritis rheumatoid melibatkan
respon imunitas dan inflamasi. (Baratawidjaja, 2006)
Peran Sistem Imun Innate dan Adaptif dalam Patofisiologi AR
Ketika ada stimulus dari luar, sistem imun nonspesifik (innate) akan mengaktivasi
sel fibroblast-like synoviocytes (FLS), sel dendritic (DC), dan makrofag (M).
Individu yang sudah memiliki genetik yang rentan terkena AR, akan lebih muda
terpicu untuk aktif apabila terpapar oleh faktor lingkungan seperti merokok atau
infeksi virus. (Firestein, 2006)

Neutrofil, makrofag, DC, dan sel T yang dikerahkan (CD4+ ditemukan pada agregat
nodul, CD8+ dalam infiltrate difus), memproduksi sejumlah sitokin, mediator
inflamasi, melepas enzim hidrolitik yang memecah kolagen dan tulang rawan sendi
dan menimbulkan destruksi permukaan sendi. Sel fagosit yang diaktifkan makan
agregat imun, melepas sitokin, berbagai enzim, dan metabolit oksigen toksik
(Baratawidjaja, 2006)
Makrofag yang diaktifkan akan menyebabkan munculnya respon inflamasi lokal
dengan melepas TNF-a, IL-1, FBA, PG, SP, dan PDGF yang menimbulkan edem,
eritem, dan kerusakan sendi di jaringan kondroseus. Proses dapat terjadi di seluruh
sendi yang menyebabkan demineralisasi dan resorpsi kistik. Sel CD4+ memproduksi
IL-1 dan TNF-a yang kadarnya meningkat dalan serum dan cairan sinovia penderita
RA aktif. (Baratawidjaja, 2006)
Kemudian, DC akan migrasi ke organ limfoid sentral untuk mempresentasikan
antigen dan mengaktifkan sel T, yang kemudian akan mengaktifkan sel B. Sel B
akan membentuk autoantibodi RF. Sel limfosit T kemudian kembali ke sinovium dan
memicu respon imun adaptif pada organ yang menjadi target. Aktivasi yang terus
menerus terhadap sistem imun innate akan berdampak pada terjadinya inflamasi
kronis dan presentasi antigen di sinovium. Pada fase yang lebih lanjut, mediatormediator inflamasi akan mengaktifkan osteoklas (OC) melalui aktivator reseptor
nuclear factor factor B (NF B) dan berikatan dengan activator reseptor ligan NF
B (RANK/RANKL system). (Gambar ) (Firestein, 2006)

Patologi dan Biologi Sinovium pada Artritis Reumatoid


Lokasi primer terjadinya inflamasi pada AR adalah di sinovium. Infiltrasi sel
mononuclear terutama sel T dan makrofag ke dalam jaringan sinovial, dan
hiperplasia lapisan intima pada sinovial adalah tanda aktifnya AR. Terdapat dua tipe
sinoviosit yang terlibat dalam patogenesis AR, yaitu sinoviosit tipe A (macrofag-like)
dan sinoviosit tipe B (fibroblast-like). (Firestein, 2006)
Sinoviosit tipe A berasal dari sumsum tulang belakang dan mengekspresikan
marker untuk makrofag, seperti CD68, reseptor Fc, CD14, dan HLA-DR, dan pada
fase yang lebih lanjut akan mengekspresikan sedikit antigen MHC kelas II dan
retikulum endoplasma. Sinoviosit tipe B, atau yang juga disebut FLS,
menyekresikan protein seperti vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1), CD55
(decay accelerating factor), cadherin 11, dan enzim yang mensintesis proteoglikan.
Pada kasus AR terjadi peningkatan yang absolut pada kedua sel ini, meskipun
persentase peningkatan sinoviosit tipe A lebih banyak. Sel sinoviosit tipe B
berproliferasi sebagai respon dari aktivasi sistem imun. Proliferasi sel ini diinduksi
oleh platelet-derived growth factor (PDGF), transforming growth factor (TGF)-, TNF, dan IL-1 yang berkombinasi dengan produk asam arakidonat. (Firestein, 2006)
Peningkatan FLS akan menginvasi ke matriks tulang rawan dan mengekspresikan
berbagai kemokin dan sitokin seperti VCAM-1, yang berpotensi dapat memfasilitasi
proses adhesi ke tulang rawan atau kondrosit, dan protease yang akan merusak
matriks tulang rawan, bersama dengan osteoklas lama-kelamaan akan
menyebabkan terjadinya kerusakan sendi (Firestein, 2006). Selain itu FLS juga
mengekspresikan protease yaitu matriks metallopretainase (MMPs) 1, 3, 8, 13, 14,
dan 16, yang merusak jaringan kolagen tipe II. (Sabeh, 2010)

También podría gustarte