Está en la página 1de 47

BAB II

KONSEP MEDIS
A. Definisi Osteoastritis
Osteoartritis yang dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif atau
osteoartrosis (sekalipun terdapat inflamasi) merupakan kelainan sendi yang paling
sering ditemukan dan kerapkali menimbulkan ketidakmampuan (disabilitas).
(Smeltzer, C Suzanne, 2002 hal .1087). Osteoartritis merupakan golongan rematik
sebagai penyebab kecacatan yang menduduki urutan pertama dan akan meningkat
dengan meningkatnya usia, penyakit ini jarang ditemui pada usia di bawah 46
tahun tetapi lebih sering dijumpai pada usia di atas 60 tahun. Faktor umur dan
jenis kelamin menunjukkan adanya perbedaan frekuensi (Sunarto, 1994, Solomon,
1997).
Sedangkan menurut Harry Isbagio & A. Zainal Efendi (1995) osteoartritis
merupakan kelainan sendi non inflamasi yang mengenai sendi yang dapat
digerakkan, terutama sendi penumpu badan, dengan gambaran patologis yang
karakteristik berupa buruknya tulang rawan sendi serta terbentuknya tulang-tulang
baru pada sub kondrial dan tepi-tepi tulang yang membentuk sendi, sebagai hasil
akhir terjadi perubahan biokimia, metabolisme, fisiologis dan patologis secara
serentak pada jaringan hialin rawan, jaringan sub kondrial dan jaringan tulang
yang membentuk persendian. (R. Boedhi Darmojo & Martono Hadi ,1999).
Osteoarthritis (OA) atau penyakit degenerasi sendi ialah suatu penyakit
kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat yang tidak diketahui
penyebabnya, meskipun terdapat beberapa factor resiko yang berperan. Keadaan
ini berkaitan dengan usia lanjut, terutama pada sendi-sendi tangan dan sendi besar
yang mananggung beban dan secara klinis ditandai oleh nyeri, deformitas,
pembesaran sendi dan hambatan gerak.

B. Etiologi Osteoastritis
1. Umur

Perubahan fisis dan biokimia yang terjadi sejalan dengan bertambahnya umur
dengan penurunan jumlah kolagen dan kadar air, dan endapannya berbentuk
2.

pigmen yang berwarna kuning.


Jenis Kelamin.
Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan sendi , dan lelaki lebih
sering terkena osteoartritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keeluruhan
dibawah 45 tahun frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki dan wanita
tetapi diatas 50 tahun frekuensi oeteoartritis lebih banyak pada wanita dari pada

3.

pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis osteoartritis.
Pengausan (wear and tear)
Pemakaian sendi yang berlebihan secara teoritis dapat merusak rawan sendi
melalui dua mekanisme yaitu pengikisan dan proses degenerasi karena bahan

4.

yang harus dikandungnya.


Kegemukan
Faktor kegemukan akan menambah beban pada sendi penopang berat badan,
sebaliknya nyeri atau cacat yang disebabkan oleh osteoartritis mengakibatkan

seseorang menjadi tidak aktif dan dapat menambah kegemukan.


5. Trauma
Kegiatan fisik yang dapat menyebabkan osteoartritis adalah trauma yang
menimbulkan kerusakan pada integritas struktur dan biomekanik sendi
tersebut.
6. Keturunan
Heberden node merupakan salah satu bentuk osteoartritis yang biasanya
ditemukan pada pria yang kedua orang tuanya terkena osteoartritis,
7.

sedangkan wanita, hanya salah satu dari orang tuanya yang terkena.
Akibat penyakit radang sendi lain
Infeksi (artritis rematord; infeksi akut, infeksi kronis) menimbulkan reaksi
peradangan dan pengeluaran enzim perusak matriks rawan sendi

8.

oleh

membran sinovial dan sel-sel radang.


Joint Mallignment
Pada akromegali karena pengaruh hormon pertumbuhan, maka rawan sendi
akan membal dan menyebabkan sendi menjadi tidak stabil/seimbang

sehingga mempercepat proses degenerasi.


9. Penyakit endokrin
Pada hipertiroidisme, terjadi produksi air dan garam-garam proteglikan yang
berlebihan pada seluruh jaringan penyokong sehingga merusak sifat fisik rawan

sendi, ligamen, tendo, sinovia, dan kulit. Pada diabetes melitus, glukosa akan
menyebabkan produksi proteaglikan menurun.
10. Deposit pada rawan sendi
Hemokromatosis, penyakit Wilson, akronotis, kalsium pirofosfat dapat
mengendapkan hemosiderin, tembaga polimer, asam hemogentisis, kristal
monosodium urat/pirofosfat dalam rawan sendi.
C. Patofisiologi Osteoartritis
Penyakit sendi degeneratif merupakan suatu penyakit kronik, tidak meradang,
dan progresif lambat, yang seakan-akan merupakan proses penuaan, rawan sendi
mengalami kemunduran dan degenerasi disertai dengan pertumbuhan tulang baru
pada bagian tepi sendi. Proses degenerasi ini disebabkan oleh proses pemecahan
kondrosit yang merupakan unsur penting rawan sendi. Pemecahan tersebut diduga
diawali oleh stress biomekanik tertentu. Pengeluaran enzim lisosom menyebabkan
dipecahnya polisakarida protein yang membentuk matriks di sekeliling kondrosit
sehingga mengakibatkan kerusakan tulang rawan. Sendi yang paling sering
terkena adalah sendi yang harus menanggung berat badan, seperti panggul lutut
dan kolumna vertebralis. Sendi interfalanga distal dan proksimasi.
Osteoartritis pada beberapa kejadian akan mengakibatkan terbatasnya
gerakan. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang dialami atau diakibatkan
penyempitan ruang sendi atau kurang digunakannya sendi tersebut. Perubahanperubahan degeneratif yang mengakibatkan karena peristiwa-peristiwa tertentu
misalnya cedera sendi infeksi sendi deformitas congenital dan penyakit
peradangan sendi lainnya akan menyebabkan trauma pada kartilago yang bersifat
intrinsik dan ekstrinsik sehingga menyebabkan fraktur pada ligamen atau adanya
perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang rawan
mengalami erosi dan kehancuran, tulang menjadi tebal dan terjadi penyempitan
rongga sendi yang menyebabkan nyeri, kaki kripitasi, deformitas, adanya
hipertropi atau nodulus. ( Soeparman ,1995).
PATHWAYS
Reaksi antibodi, faktor metabolik, infeksi dengan kecenderungan virus
Reaksi peradangan

Kurangnya informasi
akut
tentang proses penyakit

Sinovial menebal

Difisiensi pengetahuan

Devormitas sendi

Nyeri

Gangguan

citra
tubuh
Infiltrasi kedalam os
subcondria
Kerusakan kartilago dan tulang

Hambatan nutrisi pada

kartilago
artikularis
Tendon dan ligamen melemah

Kartilago nekrosis

Hilangnya kekuatan

Mudah luksasi Adhesi pada permukaan sendi

otot

& subluksasi

Ankilosis fibroa ankilosis

Kekakuan sendi

Terbatasnya gerakan sendi

Hambatan

Difisit perawatan diri

tulang
Resiko cedra
mobilitas fisik
D. Manifestasi Osteoartritis
1.

Rasa nyeri pada sendi


Merupakan gambaran primer pada osteoartritis, nyeri akan bertambah
apabila sedang melakukan sesuatu kegiatan fisik.

2.

Kekakuan dan keterbatasan gerak


Biasanya akan berlangsung 15 - 30 menit dan timbul setelah istirahat atau
saat memulai kegiatan fisik.

3.

Peradangan
Sinovitis sekunder, penurunan pH jaringan, pengumpulan cairan dalam
ruang sendi akan menimbulkan pembengkakan dan peregangan simpai sendi yang
semua ini akan menimbulkan rasa nyeri.

4.

Mekanik

Nyeri biasanya akan lebih dirasakan setelah melakukan aktivitas lama dan
akan berkurang pada waktu istirahat. Mungkin ada hubungannya dengan keadaan
penyakit yang telah lanjut dimana rawan sendi telah rusak berat. Nyeri biasanya
berlokasi pada sendi yang terkena tetapi dapat menjalar, misalnya pada
osteoartritis coxae nyeri dapat dirasakan di lutut, bokong sebelah lateril, dan
tungkai atas. Nyeri dapat timbul pada waktu dingin, akan tetapi hal ini belum
dapat diketahui penyebabnya.
5.

Pembengkakan Sendi
Pembengkakan sendi merupakan reaksi peradangan karena pengumpulan
cairan dalam ruang sendi biasanya teraba panas tanpa adanya pemerahan.

6.

Deformitas
Disebabkan oleh distruksi lokal rawan sendi.

7.

Gangguan Fungsi
Timbul akibat Ketidakserasian antara tulang pembentuk sendi.

E. Penatalaksanaan Osteoartritis
1.

Tindakan preventif

a. Penurunan berat badan


b. Pencegahan cedera
c. Screening sendi paha
d. Pendekatan ergonomik untuk memodifikasi stres akibat kerja
2.

Farmakologi : obat NSAID bila nyeri muncul

3.

Terapi konservatif ; kompres hangat, mengistirahatkan sendi, pemakaian alat- alat


ortotik untuk menyangga sendi yang mengalami inflamasi.

4.

Irigasi tidal (pembasuhan debris dari rongga sendi), debridemen artroscopik,

5.

Pembedahan; artroplasti

6.

Operasi, perlu dipertimbangkan pada pasien osteoartritis dengan kerusakan sendi


yang nyata dengan nyari yang menetap dan kelemahan fungsi,

7.

Fisioterapi, berperan penting pada penatalaksanaan osteoartritis, yang meliputi


pemakaian panas dan dingin dan program latihan ynag tepat.

8.

Dukungan psikososial, diperlukan pasien osteoartritis oleh karena sifatnya yang


menahun dan ketidakmampuannya yang ditimbulkannya.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
1.

Pengkajian
Aktivitas/istirahat
Gejala : nyeri sendi karena pergerakan, nyeri tekan, yang memburuk dengan stress
dengan sendi, kekakuan senda pada pagi hari, biasanya terjadi secara bilateral dan
simetris.
Tanda : malaise, keterbatasan ruang gerak, atrofi otot, kulit kontraktur atau

2.

kelainan pada sendi dan otot.


Kardiovaskur
Gejala : fenomena Raynaud jari tangan/kaki, missal pucat intermitten, sianotik

kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal.


3. Integritas ego
Gejala : factor-faktor stress akut/kronis missal finansial, pekerjaan,
ketidakmampuan, factor-faktor hubungan social, keputusan dan ketidakberdayaan.

Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas diri missal ketergantungan pada
4.

orang lain, dan perubahan bentuk anggota tubuh.


Makanan / cairan
Gejala : ketidakmampuan untuk menghasilkan atau mengonsumsi makanan atau

cairan adekuat : mual, anoreksia, dan kesulitan untuk mengunyah.


Tanda : penurunan berat badan, dan membrane mukosa kering.
5. Hygiene
Gejala : berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi secara
mandiri, ketergantungan pada orang lain.
6. Neurosensory
Gejala : kebas/ kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari
tangan.
Tanda : pembengkakan sendi simetri.
7. Nyeri/kenyamanan
Gejala : fase akut dari nyeri ( disertai / tidak disertai pembengkakan jaringan
lunak pada sendi ), rasa nyeri kronis dan kekakuan ( terutama pada pagi hari ).
8.

Keamanan
Gejala : kulit mengkilat, tegang, nodus subkutaneus. Lesi kulit, ulkus kaki,
kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga, demam ringan

9.

menetap, kekeringan pada mata, dan membrane mukosa.


Interaksi social
Gejala : kerusakan interaksi dengan keluarga/orang lain, perubahan peran, isolasi.

B. Diagnosa
1. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan inflamasi
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan gangguan
3.
4.
5.
6.

musculoskletal.
Difisit perawatan diri berhubungan dengan terbatasnya gerakan sendi
Resiko cidera berhubungan dengan penurunan fungsi tulang.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan biofisik.
Difisiensi pengetahuan berhubungan dengan kondisi prognosis dan kebutuhan
pengobatan sehubungan dengan kurangnya informasi.

C. Intrvensi
1. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan inflamasi
Tujuan & Kriteria Hasil
Pasien akan :
Menunjukkan tingkat

Intervensi
Kaji keluhan nyeri, catat lokasi dan intensitas

kenyamanan.
Dapat mengendalikan nyeri
Dapat melaporkan

(skala 0 10).
Berikan matras atau kasur keras, bantal kecil.
Tinggikan tempat tidur sesuai kebutuhan
Biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman

karakteristik nyeri.

pada waktu tidur atau duduk di kursi. Tingkatkan


istirahat di tempat tidur sesuai indikasi
Dorong untuk sering mengubah posisi. Bantu
pasien untuk bergerak di tempat tidur, sokong sendi
yang sakit di atas dan di bawah, hindari gerakan yang
menyentak
Anjurkan pasien untuk mandi air hangat . Sediakan
waslap hangat untuk mengompres sendi-sendi yang
sakit beberapa kali sehari.
Berikan masase yang lembut
Kolaborasi
Beri obat sebelum aktivitas atau latihan yang
direncanakan sesuai petunjuk.
2.

Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan gangguan


musculoskletal.
Tujuan & Kriteria Hasil
Pasien akan :
Melakukan aktifitas
kehidupan sehari-hari secara

Intervensi
berikan terapi latihan fisik : ambulasi,
keseimbangan, mobilitas sendi, pengendalian otot
Bantu dan dorong perawatan diri

mandiri dengan alat bantu


Memperlihatkan mobilitas
3.

Difisit perawatan diri berhubungan dengan gangguan moskuluskeletal


Tujuan & kriteria hasil
Pasien akan :
Menunjukkan perawaan diri
dan melakukan aktivitas

Intervensi
Bantu perawatan diri pasien : mandi/higiene

kehidupan sehari-hari

4.

Bantu pemenuhan eliminasi pasien

Resiko cidera berhubungan dengan penurunan fungsi tulang


Tujuan & kriteria hasil
Pasien akan :
Pasien dan keluarga dapat
mempersiapkan lingkungan
yang aman.
Pasien dan keluarga dapat
menghindari cidera fisik.
Dapat memodofikasi gaya
hidup untuk mengurangi

Intervensi
Menejemen lingkungan: pantau lingkungan fisik
untuk memfasilitasi keamanan.
Berikan bimbingan dan pengalaman belajar
tentang kesehatan individu yang kondusif.
Identifikasi faktor resiko potensial terjadinya
cidera.

resiko
5.

Gangguan citra tubuh berhubungan dengan biofisik.


Tujuan & kriteria hasil
Pasien akan :
Menunjukkan adaptasi
dengan ketunadayaan fisik,
penyesuaian psikososial.
Menunjukkan citra tubuh
positif dan harga diri positif.
Menunjukkan kepuasan
terhadap penampilan dan
fungsi tubuh.
Menunjukkan keinginan

Intervensi
Diskusikan persepsi pasien tentang keadaan tubuh
pasien
Dorong pasien untuk beradaptasi dengan persepsi
stresor atau ancaman yang menghambat peran hidup.
Diskusikan dengan pasien tentang faktor resiko
potensial dan memprioritaskan strategi menurunkan
resiko.
Dorong pasien terhadap peningkatkan penilaian

untuk menyentuh bagian


tubuh yang mengalami
gangguan

personal terhadap harga diri.


Kolaborasi
Rujuk pada konseling psikiatri

Berikan obat-obatan sesuai petunjuk

6.

Difisit pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif dan kurang


familiar dengan sumber-sumber informasi
Tujuan & kriteria hasil
Pasien akan :
Memperlihatkan pengetahuan

intervensi
Edukasi kesehatan : berikan bimbingan dan

tentang penyakitnya
Dapat mengidentifikasi

pengalaman belajar tentang perilaku kesehatan yang

kebutuhan terhadap
informasi tambahan tentang
program terapi

kondusif
Penyuluhan prosedur terapi : berikan pemahaman
kepada pasien secara mental tentang prosedur dan
penanganan

DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer C. Suzannne, (2002 ), Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah, Alih Bahasa Andry Hartono, dkk., Jakarta, EGC.
Judith M. Wilkinson. & Nancy R. Ahern,(2012), Diagnosa Keperawatan
Nanda NIC NOC, Jakarta, EGC

Doenges, EM. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan; Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Alih Bahasa I Made
Kariasa, dkk. (2001), Jakarta, EGC.
Mansjoer, Arif, 2000., Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FKUI,
Jakarta.
Prince, Sylvia Anderson, 2000., Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit., Ed. 4, EGC, Jakarta.

ATEROSKLEROSIS
Pengertian

Aterosklerosis (Atherosclerosis) merupakan istilah umum untuk beberapa


penyakit, dimana dinding arteri menjadi lebih tebal dan kurang lentur.

Arteriosklerosis merupakan keadaan pada pembuluh arteri yang


mengakibatkan penebalan arteriol dan pengerasan pada pembuluh darah
arteri diakibatkan oleh penumpukan lemak. Aterosklerosis merupakan
jenis yang penting dari arteriosklerosis, istilah aterosklerosis merupakan
sinonim dari arteriosklerosis.

Aterosklerosis adalah perubahan dinding arteri yang ditandai akumulasi


lipid ekstrasel, recruitment dan akumulasi lekosit, pembentukan sel busa,
migrasi dan proliferasi miosit, deposit matriks ekstrasel, akibat pemicuan
patomekanisme multifaktor yang bersifat kronik progresif, fokal atau
difus, bermanifestasi akut maupun kronis, serta menimbulkan penebalan
dan kekakuan arteri.Aterosklerosis disebabkan faktor genetik serta
intensitas dan lama paparan faktor lingkungan (hemodinamik, metabolik,
kimiawi eksogen, infeksi virus dan bakteri, faktor imunitas dan faktor
mekanis), dan atau interaksi berbagai faktor tersebut.

Etiologi
Penyakit arteri koroner bisa menyerang semua ras, tetapi angka kejadian paling
tinggi ditemukan pada orang kulit putih. Tetapi ras sendiri tampaknya bukan
merupakan factor penting dalam gaya hidup seseorang. Secara spesifik, factorfaktor yang meningkatkan resiko terjadinya arteri koroner adalah :

Diet kaya lemak

Merokok

Malas berolah raga

Kolesterol dan penyakit arteri koroner

Resiko terjadinya penyakit arteri koroner meningkat padapeningkatan kadar


kolesterol total dan kolesterol LDL (kolesterol jahat) dalam darah. Jika terjadi
peningkatan kadar kolesterol HDL (kolesterol baik), maka resiko terjadinya
penyakit arteri koroner akan menurun.
Makanan mempengaruhi kadar kolesterol total dan karena itu makanan juga
mempengaruhi resiko terjadinya penyakit arteri koroner. Merubah pola makan
(dan bila perlu mengkonsumsi obat dari rokter) bisamenurunkan kadar kolesterol
total dankolesterol LDL bisa memperlambat atau mencegah berkembangnya arteri
koroner.
Menurunkan kadar LDL sangat besar keuntungannya bagi seseorang yang
memiliki factor resiko berikut :

Merokok sigaret

Tekanan darah tinggi

Kegemukan

Malas berolah raga

Kadar trigliserida tinggi

Keturunan

Steroid pria (androgen).

Factor Resiko
Kajian epidemiologis menunjukkan bahwa ada berbagai kondisi yang mendahului

atau menyertai awitanpenyakit jantung koroner. Kondisi tersebut dinamakan


factor resiko karena satu atau beberapa diantaranya, dianggapmeningkatkan resiko
seseorang untuk mengalami penyakit jantung koroner.
Factor resiko ada yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan ada yang tidak dapat
dimodifikasi (nonmodifiable). Factor resiko modifiable dapat dikontrol dengan
mengubah gaya hidup atau kebiasaan pribadi; factor resiko nonmodifiable
merupakan konsekuensi genetic yang tidak dapat dikontrol.
Factor resiko dapat bekerja sendiri atau bekerja sama dengan factor resiko yang
lain. Semakin banyak factor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan terjadinya penyakit arteri koroner. Orang yang beresiko dianjurkan
untuk menjalani pemeriksaan medis berkala dan tidak mungkin dengan kemauan
sendiri berusaha mengurangi jumlah dan beratnya resiko tadi.
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik dari proses aterosklerosis kompleks adalah penyakit jantung
koroner, stroke bahkan kematian. Sebelum terjadinya penyempitan atau
penyumbatan mendadak, aterosklerosis tidak menimbulkan gejala. Gejalanya
tergantung dari lokasi terbentuknya, sehinnga bisa berupa gejala jantung, otak,
tungkai atau tempat lainnya. Jika aterosklerosis menyebabkan penyempitan arteri
yang sangat berat, maka bagian tubuh yang diperdarahinnya tidak akan
mendapatkan darah dalam jumlah yang memadai, yang mengangkut oksigen ke
jaringan.
Gejala awal dari penyempitan arteri bisa berupa nyeri atau kram yang terjadi pada
saat aliran darah tidak dapat mencukupi kebutuhan oksigen. Yang khas gejala
aterosklerosis timbul secara perlahan, sejalan dengan terjadinya penyempitan
arteri oleh ateroma yang juga berlangsung secara perlahan.Tetapi jika
penyumbatan terjadi secara tiba-tiba (misalnya jika sebuah bekuan menyumbat
arteri ) maka gejalanya akan timbul secara mendadak.
Patofisiologi

Aterosklerosis dimulai ketika kolesterol berlemak tertimbun di intima arteri besar.


Timbunan ini, dinamakan ateroma atau plak akan menggangu absorbsi nutrient
oleh sel-sel endotel yang menyusun lapisan dinding dalam pembuluh darah dan
menyumbat aliran darah karena timbunan ini menonjol ke lumen pembuluh darah.
Endotel pembuluh darah yang terkena akan mengalami nekrotik dan menjadi
jaringan parut, selanjutnya lumen menjadi semakin sempit dan aliran darah
terhambat. Pada lumen yang menyempit dan berdinding kasar, akan cenderung
terjadi pembentukan bekuan darah, hal ini menjelaskan bagaimana terjadinya
koagulasi intravaskuler, diikuti oleh penyakit tromboemboli, yang merupakan
komplikasi tersering aterosklerosis.
Berbagai teori mengenai bagaimana lesi aterosklerosis terjadi telah diajukan,
tetapi tidak satupun yang terbukti secara meyakinkan. Mekanisme yang mungkin,
adalah pembentukan thrombus pada permukaan plak; konsolidasi thrombus akibat
efek fibrin; perdarahan kedalam plak; dan penimbunan lipid terus menerus. Bila
fibrosa pembungkus plak pecah, maka debris lipid akan terhanyut dalam aliran
darah dan menyumbat arteri dan kapiler disebelah distal plak yang pecah.
Struktur anatomi arteri koroner membuatnya rentan terhadap mekanisme
aterosklerosis. Arteri tersebut berpilin dan berkelok-kelok saat memasuki jantung,
menimbulkan kondisi yang rentan untuk terbentuknya ateroma.
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada aterosklerosis yaitu:

Penyakit jantung koroner

Kerusakan organ (seperti ginjal, otak, hati dan usus)

Serangan jantung

Stroke

Terlalu sedikit darah di tungkai dan kaki

Serangan iskemik sesaat (transient ischemic attack, TIA)

Tromboemboli

Pemeriksaan Penunjang

Tergantung kebutuhannya beragam jenis pemeriksaan dapat dilakukan untuk


menegakkan diagnosis PJK dan menentukan derajatnya. Dari yang sederhana
sampai yang invasive sifatnya.
1. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan aktifitas listrik jantung atau gambaran elektrokardiogram (EKG)
adalah pemeriksaan penunjang untuk memberi petunjuk adanya PJK. Dengan
pemeriksaan ini kita dapat mengetahui apakah sudah ada tanda-tandanya. Dapat
berupa serangan jantung terdahulu, penyempitan atau serangan jantung yang baru
terjadi, yang masing-masing memberikan gambaran yang berbeda.
2. Foto Rontgen Dada
Dari foto roentgen dada dokter dapat menilai ukuran jantung, ada-tidaknya
pembesaran. Di samping itu dapat juga dilihat gambaran paru. Kelainan pada
koroner tidak dapat dilihat dalam foto rontgen ini. Dari ukuran jantung dapat
dinilai apakah seorang penderita sudah berada pada PJK lanjut. Mungkin saja PJK

lama yang sudah berlanjut pada payah jantung. Gambarannya biasanya jantung
terlihat membesar.
3. Pemeriksaan Laboratorium

Dilakukan untuk mengetahui kadar trigliserida sebagai factor resiko. Dari


pemeriksaan darah juga diketahui ada-tidaknya serangan jantung akut
dengan melihat kenaikan enzim jantung.

4. Bila dari semua pemeriksaan diatas diagnosa PJK belum berhasil ditegakkan,
biasanya dokter jantung/ kardiologis akan merekomendasikan untuk dilakukan
treadmill.
Dalam kamus kedokteran Indonesia disebut jentera, alat ini digunakan untuk
pemeriksaan diagnostic PJK. Berupa ban berjalan serupa dengan alat olah raga
umumnya, namun dihubungkan dengan monitor dan alat rekam EKG. Prinsipnya
adalah merekam aktifitas fisik jantung saat latihan. Dapat terjadi berupa gambaran
EKG saat aktifitas, yang memberi petunjuk adanya PJK. Hal ini disebabkan
karena jantung mempunyai tenaga serap, sehingga pada keadaan sehingga pada
keadaan tertentu dalam keadaan istirahat gambaran EKG tampak normal.
Dari hasil teradmil ini telah dapat diduga apakah seseorang menderita PJK.
Memang tidak 100% karena pemeriksaan dengan teradmil ini sensitifitasnya
hanya sekitar 84% pada pria sedangka untuk wanita hanya 72%. Berarti masih
mungkin ramalan ini meleset sekitar 16%, artinya dari 100 orang pria penderita
PJK yang terbukti benar hanya 84 orang. Biasanya perlu pemeriksaan lanjut
dengan melakukan kateterisasi jantung. Pemeriksaan ini sampai sekarang masih
merupakan Golden Standard untuk PJK. Karena dapat terlihat jelas tingkat
penyempitan dari pembuluh arterikoroner, apakah ringan,sedang atau berat
bahkan total.
5. Kateterisasi Jantung
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan kateter semacam selang seukuran
ujung lidi. Selang ini dimasukkan langsung ke pembuluh nadi (arteri). Bisa
melalui pangkal paha, lipatanlengan atau melalui pembuluh darah di lengan

bawah. Kateter didorong dengan tuntunan alar rontgen langsung ke muara


pembuluh koroner. Setelah tepat di lubangnya, kemudian disuntikkan cairan
kontras sehingga mengisi pembuluh koroner yang dimaksud. Setelah itu dapat
dilihat adanya penyempitan atau malahan mungkin tidak ada penyumbatan.
Penyempitan atau penyumbatan ini dapat saja mengenai beberapa tempat pada
satu pembuluh koroner. Bisa juga sekaligus mengenai beberapa pembuluh
koroner. Atas dasar hasil kateterisasi jantung ini akan dapat ditentukan
penanganan lebih lanjut. Apakah apsien cukup hanya dengan obat saja, disamping
mencegah atau mengendalikan factor resiko. Atau mungkin memerlukan
intervensi yang dikenal dengan balon. Banyak juga yang menyebut dengan istilah
ditiup atau balonisasi. Saat ini disamping dibalon dapat pula dipasang stent,
semacam penyangga seperti cincin atau gorng-gorong yang berguna untuk
mencegah kembalinya penyempitan. Bila tidak mungkin dengan obat-obatan,
dibalon dengan atau tanpa stent, upaya lain adalah dengan melakukan bedah
pintas koroner.

Asuhan Keperawatan Aterosklerosis


Pengkajian
a. Aktivitas/ Istirahat.

Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.

Tanda :Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea.

b. Sirkulasi

Gejala : Riwayat Hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung


koroner/katup

dan penyakit cebrocaskuler, episode palpitasi.

Tanda : Kenaikan TD, Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis, radialis,
tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis, kulit pucat,
sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisian kapiler mungkin
lambat/ bertunda.

c. Integritas Ego.

Gejala :Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, factor stress multiple


(hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan.

Tanda :Letupan suasana hat, gelisah, penyempitan continue perhatian,


tangisan meledak, otot muka tegang, pernafasan menghela, peningkatan
pola bicara.

d. Eliminasi

Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau riwayat
penyakit ginjal pada masa yang lalu.

e. Makanan/cairan

Gejala: Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi garam,


lemak serta kolesterol, mual, muntah dan perubahan BB akhir akhir ini
(meningkat/turun) Riowayat penggunaan diuretic

Tanda: Berat badan normal atau obesitas,, adanya edema, glikosuria.

f. Neurosensori

Gejala: Keluhan pening pening/pusing, berdenyu, sakit kepala,


subojksipital (terjadi saat bangun dan menghilangkan secara spontan

setelah beberapa jam) Gangguan penglihatan (diplobia, penglihatan kabur,


epistakis).

Tanda: Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi bicara,


efek, proses piker, penurunan keuatan genggaman tangan.

g. Nyeri/ ketidaknyaman

Gejala: Angina (penyakit arteri koroner/ keterlibatan jantung),sakit kepala.

h. Pernafasan

Gejala: Dispnea yang berkaitan dari kativitas/kerja takipnea,


ortopnea,dispnea, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat
merokok.

Tanda: Distress pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan bunyi


nafas tambahan (krakties/mengi), sianosis.

i. Keamanan

Gejala: Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.

j. Pembelajaran/Penyuluhan

Gejala: Faktor resiko keluarga: hipertensi, aterosporosis, penyakit jantung,


DM.

Faktor faktor etnik seperti: orang Afrika-amerika, Asia Tenggara,


penggunaan pil KB atau hormone lain, penggunaan alcohol/obat.

Rencana pemulangan : bantuan dengan pemantau diri TD/perubahan


dalam terapi obat.

2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa adalah masalah keperawatan yang actual (yang sudah terjadi) dan
potensial (kemungkinan akan terjadi) yang dapat ditangani dengan intervensi
keperawatan, maka diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada penderita
aterosklerosis adalah:
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan
jantung atau sumbatan pada arteri koronaria.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen,adanya jaringan yang nekrotik dan iskemi pada
miokard.
3. Resiko terjadinya penurunan kardiac output berhubungan dengan
perubahan dalam rate, irama konduksi jantuna, menurunnya preload atau
peningkatatan SVR, miocardial infark.
4. Resiko terjadinya penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan
penurunan tekanan darah, hopovolemia
5. Resiko terjadinya ketidakseimbangan cairan exsess berhubungan dengan
penurunan perfusi organ (renal ), peningkatan retensi natrium, penurunan
plasma prottein.

Contusio Cerebri
A.Latar Belakang
Tengkorak merupakan jaringan tulang yang berfungsi sebagai pelindung jaringan
otak mempunyai daya elastisitas untuk mengatasi trauma bila dipukul atau
terbentur benda tumpul. Namun pada benturan, beberapa mili detik akan terjadi
depresi maksimal dan diikuti osilasi. Trauma pada kepala dapat menyebabkan fra

ktur pada tengkorak dan trauma jaringan otak atau kulit seperti kontusio atau
memar otak, oedem otak, perdarahan dengan derajat yang bervariasi tergantung
pada luas daerah trauma.
Trauma kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyim
pangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi
descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan.
Side effect dari kontusio akibat trauma kepala tergantung dari bagian mana yang
mengalami trauma dan sejauh mana luas kontusio dan perdarahan yang meluas
atau tidak.
B.Pengertian
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak akibat
adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak
mengganggu jaringan. Kontosi o sendiri biasanya menimbulkan defisit neurologis
jika mengenai daerah motorik atau sensorik otak., secara klinis didapatkan
penderita pernah atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau
didapatkan adanya kelainan neurologis akibat kerusakan jar ingan otak. Pada
pemerikasaan CT Scan didaptkan daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan
istilah laserasi serebri menunjukkan bahwa terjadi robekan membran piaarachnoid pada daerah yang mengalami contusio serebri yang gambaran pada CT
Scan disebut Pulp brain.
Kontusio cerebri erat kaitannya dengan trauma kepala berikut beberapa prinsip
pada trauma kepala :
a.Tulang tengkorak sebagai pelindung jaringan otak, mempunyai daya elastisitas
untuk mengatasi adanya pukulan.

b.Bila daya / toleransi elastisitas terlampau akan terjadi fraktur


c.Berat / ringannya cedera tergantung pada :
1)Lokasi yang terpengaruh :
Cedera kulit.
Cedera jaringan tulang / tengkorak.
Cedera jaringan otak.
2)Keadaan kepala saat terjadi benturan.
a).Masalah utama adalah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (PTIK)
b).TIK dipertahankan oleh 3 komponen :
Volume darah /Pembuluh darah ( 75 - 150 ml).
Volume Jaringan Otak (. 1200 - 1400 ml).
Volume LCS ( 75 - 150 ml).

2.Klasifikasi
Trauma kepala atau cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan
otak. Cedera otak terdapat dibagi dalam dua macam yaitu :
a.Cidera otak primer

Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma.
Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
b.Cidera otak sekunder
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme,
fisiologi yang timbul setelah trauma.
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala yang
muncul setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai klasifikasi
yang dipakai dalam penentuan derajat cedera kepala. The Traumatic Coma Data
Bank mendifinisikan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (Glasgow coma
scale).
Kategori Penentuan Keparahan cedera kepala berdasarkan Glasgow coma scale
(GCS)
Penentuan KeparahanDeskripsiMinor/ Ringan GCS 13 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia cerebral, hematomaSedangGCS 9
12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.BeratGCS 3 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi
kontusia serebral, laserasi atau hematoma intrakranialGlasgow coma scale (GCS)
Annegers et al (1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan
lama amnesis pasca trauma yang dibagi menjadi :
a.Cedera kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia berlangsung
kurang dari 30 menit.

b.Cedera kepala sedang, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia terjadi 30


menit sampai 24 jam atau adanya fraktur tengkorak.
c.Cedera kepala berat, apabila kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari 24
jam, perdarahan subdural dan kontusio serebri.
Penggolongan cedera kepala berdasarkan periode kehilangan kesadaran ataupun
amnesia saat ini masih kontroversional dan tidak dipakai secara luas. Klasifikasi c
edera kepala berdasarkan jumlah GCS saat masuk rumah sakit merupakan definisi
yang paling umum dipakai (Hoffman, dkk, 1996).
3.Tipe
a.Cidera kepala terbuka
1)Trauma ini dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi durameter.
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak, misalnya akibat
benda tajam atau tembakan.
2)Fraktur linier di daerah temporal, dimana arteri meningeal media berada dalam
jalur tulang temporal, sering menyebabkan perdarahan epidural. Fra ktur linier
yang melintang garis tengah, sering menyebabkan perdarahan sinus dan robeknya
sinus sagitalis superior.
3)Fraktur di daerah basis, disebabkan karena trauma dari atas atau kepala bagian
atas yang membentur jalan atau benda diam. Fraktur di fosa anterior, sering terjadi
keluarnya liquor melalui hidung (rhinorhoe) dan adanya brill hematom (raccon
eye).
4)Fraktur pada os petrosus, berbentuk longitudinal dan transversal (lebih jarang).
Fraktur longitudinal dibagi menjadi anterior dan posterior. Fra ktur anterior
biasanya karena trauma di daerah temporal, sedang yang posterior disebabkan
trauma di daerah oksipital.

5)Fraktur longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus


interna, foramen jugularis dan tuba eustakhius. Setelah 2 3 hari akan nampak
battle sign (warna biru di belakang telinga di atas os mastoid) dan otorrhoe (liquor
keluar dari telinga). perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu
disebabkan oleh retak tulang dasar tengkorak. Pada dasarnya fraktur tu lang
tengkorak itu sendiri tidaklah menimbulkan hal yang emergensi, namun yang
sering menimbulkan masalah adalah fragmen tulang itu menyebabkan robekan
pada durameter, pembuluh darah atau jaringan otak. Hal ini dapat menyebabkan
kerusakan pusat vital, saraf kranial dan saluran saraf (nerve pathway).
b.Cidera kepala tertutup
1)Komotio serebri (gegar otak)
2)Edema serebri traumatic
3)Kontusio serebri
4)Perdarahan Intrakranial
Perdarahan epidural
Perdarahan Subdural
Perdarahan subarahnoid
Kontusio serebri murni biasanya jarang terjadi. Diagnosa kontusio serebri
meningkat sejalan dengan meningkatnya penggunaan CT scan dalam pemeriksaan
cedera kepala. Kontusio serebri sangat sering terjadi difrontal dan labus temporal,
walaupun dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan
serebelum. Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intra serebral
traumatika memang tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa
jam atau hari mengalami evolusi membentuk pedarahan intra serebral.

D.Etiologi
Kecelakaan
Jatuh
Trauma
E.Patofisiologi
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuronneuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi
contusion ialah adanya akselerasi kepala yang sek etika itu juga menimbulkan
pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi
yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang
batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terha dap
lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input
aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup, dan intermediate
menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang
positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali, si penderita
biasanya menunjukkan organic brain syndrome.
Lesi akselerasi-deselerasi, gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi meng
enai bagina tubuh yang lain, tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya
perbedaan densitas anar tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan
otot yang densitas yang lebih rendah, maka terjadi gaya tidak langsung maka
tulang kepala akan berg e rak lebih dulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap
berhenti, pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi
gesekan anatera jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya terjadi
lesi intrakranial berupa hematom subdur al, hematom intra serebral, hematom

intravertikal.kontra coup kontusio. Selain itu gaya akselerasi dan deselarasi akan
menyebabkan gaya tarik atau robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa
komosio serebri, diffuse axonal injuri.
Akibat gaya yang dikemban gkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi
pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral
terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi
menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif
terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.
F.Tanda dan Gejala
Manifestasi contusio bergantung pada lokasi luasnya kerusakan otak. Akan terjadi
penurunan kesadaran. Apabila kondisi berangsur kembali, maka t ingat
kesadaranpun akan berangsur kembali tetapi akan memberikan gejala sisa, tetapi
banyak juga yang mengalami kesadaran kembali seperti biasanya. Dapat pula
terjadi hemiparese. Peningkatan ICP terjadi bila terjadi edema serebral.
Gejala lain yang sering muncul :
Gangguan kesadaran lebih lama.
Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi.
Gejala TIK meningkat.
Amnesia retrograd lebih nyata.
Pasien tidak sadarkan diri
Pasien terbaring dan kehilangan gerakkan
Denyut nadi lemah
Pernafsan dangkal

Kulit dingin dan pucat


Sering defekasi dan berkemih tanpa di sadari.
Hemiparese/Plegi
Aphasia disertai gejala mual-muntah
Pusing sakit kepala
G.Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan
adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
H.Pathway
Kecelakaan
Jatuh
Trauma persalinan
Cidera kepala TIK - oedem
- hematom
Respon biologi Hypoxemia
Kelainan metabolisme
Cidera otak primerCidera otak sekunder
KontusioNyeri akut
Laserasi Kerusakan cel otak

Gangguan autoregulasi rangsangan simpatisStress


Aliran darah keotak tahanan vaskuler katekolamin
Sistemik & TD sekresi asam lambung
O2 ggg metabolisme tek. Pemb.darahMual, muntah
Pulmonal
Asam laktat tek. Hidrostatik Asupan nutrisi kurang
Oedem otakkebocoran cairan kapiler Ketidakseimbangan
nutrisi:kurang
dari kebutuhan tubuh
Perfusi jaringanoedema paru cardiac out put
cerebral tidak efektif
Difusi O2 terhambat
Pola napas tidak efektif hipoksemia, hiperkapnea

I.Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem
persyarafan sehubungan dengan trauma kepala adalah sebagi berikut :
1.Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab)
2.Riwayat Kesehatan

Riwayat penyakit dahulu


3.Pemeriksaan Fisik
Aspek Neurologis :
Yang dikaji adalah Tingkat kesadaran, biasanya GCS kurang dari 15, disorentasi
orang/tempat dan waktu, adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai
tanda-tanda vital, adanya gerakan decebrasi atau dekortikasi dan kemungkinan
didapatkan kaku kuduk dengan brudzinski positif. Adanya hemiparese.
Pada pasien sadar, dia tidak dapat membedakan berb agai rangsangan/stimulus
rasa, raba, suhu dan getaran. Terjadi gerakan-gerakan involunter, kejang dan
ataksia, karena gangguan koordinasi. Pasien juga tidak dapat mengingat kejadian
sebelum dan sesuadah trauma. Gangguan keseimbangan dimana pasien sadar,
dapat terlihat limbung atau tidak dapat mempertahankana keseimabangan tubuh.
Nervus kranialis dapat terganggu bila trauma kepala meluas sampai batang otak
karena edema otak atau pendarahan otak. Kerusakan nervus I (Olfaktorius) :
memperlihatkan gejala penur unan daya penciuman dan anosmia bilateral. Nervus
II (Optikus), pada trauma frontalis : memperlihatkan gejala berupa penurunan
gejala penglihatan. Nervus III (Okulomotorius), Nervus IV (Trokhlearis) dan
Nervus VI (Abducens), kerusakannya akan menyebabkan penurunan lapang
pandang, refleks cahaya ,menurun, perubahan ukuran pupil, bola mata tidak dapat
mengikuti perintah, anisokor.
Nervus V (Trigeminus), gangguannya ditandai ; adanya anestesi daerah dahi.
Nervus VII (Fasialis), pada trauma kapitis yang mengena i neuron motorik atas
unilateral dapat menurunkan fungsinya, tidak adanya lipatan nasolabial,
melemahnya penutupan kelopak mata dan hilangnya rasa pada 2/3 bagian lidah
anterior lidah.

Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya
pendengaran dan kesimbangan tubuh. Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X
(Vagus), dan Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena penderita
akan meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adanya Hiccuping
(cekungan) karena kompresi p ada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi
spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan
yang terjadi, biasanya yang berisiko peningkatan tekanan intrakranial.
Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya lidah kesalah
satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.
Aspek Kardiovaskuler :
Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi peningkatan
intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi b radikardi, kemudian
takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu pengkajian lain yang perlu
dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut,
hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi pada rongga mulut. Adanya perdarahan
te rbuka/hematoma pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari
kepalal hingga kaki.
Aspek sistem pernapasan :
Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu
cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia br ething), bunyi
napas ronchi, wheezing atau stridor. Adanya sekret pada tracheo brokhiolus.
Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan
terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh.
Aspek sistem eliminasi :
Akan dida patkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil.
Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia

atau hipokalemia. Pada sistem gastro-intestinal perlu dikaji tanda-tanda penurunan


fungsi saluran pencernaan sep erti bising usus yang tidak terdengar atau lemah,
aanya mual dan muntah. Hal ini menjadi dasar dalam pemberian makanan.
4.Pengkajian Psikologis :
Dimana pasien dnegan tingkat kesadarannya menurun, maka untuk data
psikologisnya tid ak dapat dinilai, sedangkan pada pasien yang tingkat
kesadarannya agak normal akan terlihat adanya gangguan emosi, perubahan
tingkah laku, emosi yang labil, iritabel, apatis, delirium, dan kebingungan
keluarga pasien karena mengalami kecemasan sehubungan dengan penyakitnya.
Data sosial yang diperlukan adalah bagaimana psien berhubungan dnegan orangorang terdekat dan yang lainnya, kemampuan berkomunikasi dan peranannya
dalam keluarga. Serta pandangan pasien terhadap dirinya setelah mengalami
trauma kepala dan rasa aman.
5.Data spiritual :
Diperlukan adalah ketaatan terhadap agamanya, semangat dan falsafah hidup
pasien serta ke-Tuhanan yang diyakininya. Tentu saja data yang dikumpulkan bila
tidak ada penurunan kesadaran.

Prinsip melakukan pengkajian dengan menggunakan 5 B yaitu :


a.Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun
iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi,

stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi


peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
b.Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan
pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke
jantung yang ak an mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia,
takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
c.Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manif estasi adanya gangguan
otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar
kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas.
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada
nervus cranialis, maka dapat terjadi :
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia.
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
Sering timbu l hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu
sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.

d.Blader dan Bowel


Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia urin,
ketidakmampuan menahan miksi.
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin
proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan
(disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
e.Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi
yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi
spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada
spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
J.Diagnosa Keperawatan Yang Muncul
1.Nyeri akut (nyeri kepala, pusing) berhubungan dengan agen injuri fisik,
biologis, psikologis
2.Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
faktor biologis, fisiologis
3.Pola Nafas tidak efektif berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler
4.Perfusi jaringan tidak efektif berhubungan dengan menurunnya curah jantung,
hipoksemia jaringan, asidosis dan kemungkinan thrombus atau emboli
K. Rencana Keperawatan
NoDiagnosisNOCNIC.1Nyeri akut (nyeri kepala, pusing) berhubungan dengan
agen injuri fisik, biologis, psikologis

1.Tingkat kenyamanan
2.Kontrol nyeri
3.Nyeri : efek yang merusak
4.Tingkat nyeriPain Management :
1.Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi, karakteristik serta onset,
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas / beratnya, nyeri dan faktor-faktor presipitasi.
2.Observasi isyarat-isyarat non verbal dan ketidaknyamanan, khususnya dalam
ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif.
3.Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan nyeri
4.Kaji latarbelakang budaya pasien
5.Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan nyeri kronis
6.Evaluasi tentang keefektifan dan tindakan mengontrol nyeri yang telah
digunakan
7.Berikan dukungan terhadap pasien dan keluarga
8.Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien
terhadap ketidaknyamanan
9.Beri informasi tentang nyeri seperti penyebab, berapa lama terjadi dan tindkaan
pencegahan
10.Anjutkan pasien untuk memonitor sendiri nyerinya

11.Anjurkan penggunaan tekhnik non farmakologis (relaksasi, guided imagery,


terapi musik, distraksi, aplikasi panas-dingin, massase, TENS, hipnotis, terapi
bermain, terapi aktivitas, akupresure)
12.Berikan analgetik sesuai anjuran
13.Evaluasi ketidakefektifan dari tindakan mengontrol nyeri
14.Modifikasi tindakan nyeri berdasarkan respon pasien
15.Tingkatkan tidur / istirahat yang cukup
16.Anjurkan pasien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri secara tepat
17.Anjurkan pasien untuk berdiskusi tentang pengalaman nyeri secara tepat
18.Beritahu dokter jika tindakan tidak berhasil atau terjadi keluhan
19.Informasikan kepada tim kesehatan lainnya / anggota kleuarga saat tindakan
non farmak ologi dilakukan, untuk pendekatan prefentif
20.Monitor kenyamanan pasien terhadap manajemen nyeri
21.Monitor perubahan nyeri dan bantu pasien mengidentifikasi faktor presipitasi
nyeri baik aktual dan potensial
22.Lakukan pengkajian terhadap pasien dengan nyaman dan lakukan monitoring
dari rencana yang dibuat
23.Turunkan dan hilangkan faktor yang dapat meningkatkan pengalaman nyeri
(rasa takut, kelelahan dan kurang pengetahuan)
24.Pertimbangan pasien untuk berpart isipasi, dukungan dari keluarga dekat dan
kontraindikasi ketika strategi penurunan nyeri telah dipilih

25.Lakukan tekhnik variasi untuk mengontrol nyeri (farmakologi, non frmakologi


dan interpersonal)
26.Libatkan keluarga untuk mengurangi nyeri
Analgetik administration :
1.Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri sebelum pemberian
obat.
2.Cek instruksi dokter tentang pemberian obat, dosisi dan frekuensi
3.Cek riwayat alergi
4.Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian
lebih dari satu
5.Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri
6.tentukan analgetik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal
7.Pilih rute pemberian secra IV, IM untuk pengobatan nyeri secara teratur
8.Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali
9.Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat
10.Evaluasi efektifitas analgesik, tanda dan gejala (efek
samping)2Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan faktor biologis, fisiologis
1.Nutritional Status
2.Nutritional Status : food and Fluid Intake
3.Nutritional Status : nutrient Intake

4.Weight control
Manajemen Nutrisi:
1.Catat jika klien memiliki alergi makanan
2.Tentukan jumlah kalori dan tipe nutrien yang dibutuhkan
3.Dorong asupan kalori sesuai tipe tubuh dan gaya hidup
4.Dorong asupan zat besi
5.Berikan gula tambahan k/p
6.Berikan makanan tinggi kalori, protein dan minuman yang mudah dikonsumsi
7.Ajarkan keluarga cara membuat catatan makanan
8.Monitor asupan nutrisi dan kalori
9.Timbang berat badan secara teratur
10.Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan bagaima na memenuhinya
11.Ajarkan teknik penyiapan dan penyimpanan makanan
12.Tentukan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya
Monitor nutrisi
1.BB klien dalam interval spesifik
2.Monitor adanya penurunan BB
3.Monitor tipe dan jumlah nutrisi untuk aktivitas biasa

4.Monitor respon emosi klien saat berada dalam situasi yang mengharuskan
makan.
5.Monitor interaksi anak dengan orang tua selama makan.
6.Monitor lingkungan selama makan.
7.Jadwalkan pengobatan dan tindakan, tidak selama jam makan.
8.Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
9.Monitor turgor kulit
10.Monitor kekeringan, rambut kusam dan mudah patah.
11.Monitor adanya bengkak pada alat pengunyah, peningkatan perdarahan, dll.
12.Monitor mual dan muntah
13.Monitor kadar albumin, total protein, Hb, kadar Ht.
14.Monitor kadar limfosit dan elektrolit.
15.Monitor makanan kesukaan.
16.Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
17.Monitor kadar energi, kelelahan, kelemahan.
18.Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan pada jaringan konjungtiva.
19.Monitor kalori dan intake nutrisi.
20.Catat adanya edema, hiperemia, hipertropik papila lidah dan cavitas oral.

21.Catat jika lidah berwarna merah keunguan.3.Pola Nafas tidak efektif


berhubungan dengan disfungsi neuromuskuler
1.Respiratory status : ventilation
2.Respiratory status : airway potency
3.Aspiration controlRespirasory monitoring
1.Monitor frekuensi, ritme dan kedalaman pernafasan
2.Catat pergerakan dada, kesimetrisan, penggunaan otot nafas tambahan dan
retraksi otot intracostal
3.Monitor pernafasan hidung
4.Palpasi ekspansi paru
5.Auskultasi bunyi nafas
Airway management
1.Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
2.Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
3.Berikan bronkodilator bila perlu
4.Berikan pelembab udara kasa basah NaCl lembab
5.Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan
6.Monitor respirasi dan status O2
Oxygen therapi

1.Bersihkan mulut, hidung sampai trakea bila perlu


2.Pertahankan jalan nafas yang paten
3.Atur peralatan oksigenasi
4.Monitor aliran oksigen
5.Pertahankan posisi pasien
6.Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi
7.Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
Vital sign monitoring
1.Monitor TD, nadi, suhu dan RR
2.Monitor VS saat pasien berbaring, duduk atau berdiri
3.Monitor frekuensi dan irama pernafasan
4.Monitor suara paru
5.Monitor pola pernafasan abnormal
6.Monitor suhu, warna dan kelembaban kulit
7.Monitor sianosis perifer
Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign4.Perfusi jaringan tidak efektif
berhubungan dengan menurunnya curah jantung, hipoksemia jaringan, asidosis
dan kemungkinan thrombus atau emboli
1.Circulation status

2.Tissue Prefusion : cerebral


Peripheral Sensation Management (Manajemen sensasi perifer)
1.Monitor adanya daerah tertentu yang hanya peka terhadap
panas/dingin/tajam/tumpul
2.Monitor adanya paretese
3.Instruksikan keluarga untuk mengobservasi kulit jika ada lsi atau laserasi
4.Gunakan sarun tangan untuk proteksi
5.Batasi gerakan pada kepala, leher dan punggung
6.Monitor kemampuan BAB
7.Kolaborasi pemberian analgetik
8.Monitor adanya tromboplebitis
9.Diskusikan menganai penyebab perubahan sensasi
Vital sign Monitoring
1.Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
2.Catat adanya fluktuasi tekanan darah
3.Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau berdiri
4.Auskultasi TD pada kedua lengan dan bandingkan
5.Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan setelah aktivitas
6.Monitor kualitas dari nadi

7.Monitor frekuensi dan irama pernapasan


8.Monitor suara paru
9.Monitor pola pernapasan abnormal
10.Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
11.Monitor sianosis perifer
12.Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi yang melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
13.Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

DAFTAR PUSTAKA
Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses
keperawatan), Bandung.

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih
bahasa: Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
Corwin, 2000, Hand Book Of Pathofisiologi, EGC, Jakarta.
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan
Keperawatan untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi3, Alih bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta
Komite Keperawatan RSUD Dr. Soedono Madiun. 1999, Penatalaksanaan Pada
Kasus Trauma Kepala. Makalah Kegawat daruratan dalam bidang bedah, Tidak
dipublikasikan.
Long, B.C., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Kperawatan), Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Bandung.
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FK-UI,
Jakarta.
McCloskey&Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classifications, Second edisi,
By Mosby-Year book.Inc,Newyork
NANDA, 2001-2002, Nursing Diagnosis: Definitions and classification,
Philadelphia, USA
Reksoprodjo, S. dkk, 1995, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bina rupa Aksara,
Jakarta.
University IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome
Classifications, Philadelphia, USA

Wilkinson, Judith, 2007, Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi


NIC dan Kriteria Hasil NOC, EGC, Jakarta.

También podría gustarte