Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
KONSEP MEDIS
A. Definisi Osteoastritis
Osteoartritis yang dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif atau
osteoartrosis (sekalipun terdapat inflamasi) merupakan kelainan sendi yang paling
sering ditemukan dan kerapkali menimbulkan ketidakmampuan (disabilitas).
(Smeltzer, C Suzanne, 2002 hal .1087). Osteoartritis merupakan golongan rematik
sebagai penyebab kecacatan yang menduduki urutan pertama dan akan meningkat
dengan meningkatnya usia, penyakit ini jarang ditemui pada usia di bawah 46
tahun tetapi lebih sering dijumpai pada usia di atas 60 tahun. Faktor umur dan
jenis kelamin menunjukkan adanya perbedaan frekuensi (Sunarto, 1994, Solomon,
1997).
Sedangkan menurut Harry Isbagio & A. Zainal Efendi (1995) osteoartritis
merupakan kelainan sendi non inflamasi yang mengenai sendi yang dapat
digerakkan, terutama sendi penumpu badan, dengan gambaran patologis yang
karakteristik berupa buruknya tulang rawan sendi serta terbentuknya tulang-tulang
baru pada sub kondrial dan tepi-tepi tulang yang membentuk sendi, sebagai hasil
akhir terjadi perubahan biokimia, metabolisme, fisiologis dan patologis secara
serentak pada jaringan hialin rawan, jaringan sub kondrial dan jaringan tulang
yang membentuk persendian. (R. Boedhi Darmojo & Martono Hadi ,1999).
Osteoarthritis (OA) atau penyakit degenerasi sendi ialah suatu penyakit
kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat yang tidak diketahui
penyebabnya, meskipun terdapat beberapa factor resiko yang berperan. Keadaan
ini berkaitan dengan usia lanjut, terutama pada sendi-sendi tangan dan sendi besar
yang mananggung beban dan secara klinis ditandai oleh nyeri, deformitas,
pembesaran sendi dan hambatan gerak.
B. Etiologi Osteoastritis
1. Umur
Perubahan fisis dan biokimia yang terjadi sejalan dengan bertambahnya umur
dengan penurunan jumlah kolagen dan kadar air, dan endapannya berbentuk
2.
3.
pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis osteoartritis.
Pengausan (wear and tear)
Pemakaian sendi yang berlebihan secara teoritis dapat merusak rawan sendi
melalui dua mekanisme yaitu pengikisan dan proses degenerasi karena bahan
4.
sedangkan wanita, hanya salah satu dari orang tuanya yang terkena.
Akibat penyakit radang sendi lain
Infeksi (artritis rematord; infeksi akut, infeksi kronis) menimbulkan reaksi
peradangan dan pengeluaran enzim perusak matriks rawan sendi
8.
oleh
sendi, ligamen, tendo, sinovia, dan kulit. Pada diabetes melitus, glukosa akan
menyebabkan produksi proteaglikan menurun.
10. Deposit pada rawan sendi
Hemokromatosis, penyakit Wilson, akronotis, kalsium pirofosfat dapat
mengendapkan hemosiderin, tembaga polimer, asam hemogentisis, kristal
monosodium urat/pirofosfat dalam rawan sendi.
C. Patofisiologi Osteoartritis
Penyakit sendi degeneratif merupakan suatu penyakit kronik, tidak meradang,
dan progresif lambat, yang seakan-akan merupakan proses penuaan, rawan sendi
mengalami kemunduran dan degenerasi disertai dengan pertumbuhan tulang baru
pada bagian tepi sendi. Proses degenerasi ini disebabkan oleh proses pemecahan
kondrosit yang merupakan unsur penting rawan sendi. Pemecahan tersebut diduga
diawali oleh stress biomekanik tertentu. Pengeluaran enzim lisosom menyebabkan
dipecahnya polisakarida protein yang membentuk matriks di sekeliling kondrosit
sehingga mengakibatkan kerusakan tulang rawan. Sendi yang paling sering
terkena adalah sendi yang harus menanggung berat badan, seperti panggul lutut
dan kolumna vertebralis. Sendi interfalanga distal dan proksimasi.
Osteoartritis pada beberapa kejadian akan mengakibatkan terbatasnya
gerakan. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang dialami atau diakibatkan
penyempitan ruang sendi atau kurang digunakannya sendi tersebut. Perubahanperubahan degeneratif yang mengakibatkan karena peristiwa-peristiwa tertentu
misalnya cedera sendi infeksi sendi deformitas congenital dan penyakit
peradangan sendi lainnya akan menyebabkan trauma pada kartilago yang bersifat
intrinsik dan ekstrinsik sehingga menyebabkan fraktur pada ligamen atau adanya
perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang rawan
mengalami erosi dan kehancuran, tulang menjadi tebal dan terjadi penyempitan
rongga sendi yang menyebabkan nyeri, kaki kripitasi, deformitas, adanya
hipertropi atau nodulus. ( Soeparman ,1995).
PATHWAYS
Reaksi antibodi, faktor metabolik, infeksi dengan kecenderungan virus
Reaksi peradangan
Kurangnya informasi
akut
tentang proses penyakit
Sinovial menebal
Difisiensi pengetahuan
Devormitas sendi
Nyeri
Gangguan
citra
tubuh
Infiltrasi kedalam os
subcondria
Kerusakan kartilago dan tulang
kartilago
artikularis
Tendon dan ligamen melemah
Kartilago nekrosis
Hilangnya kekuatan
otot
& subluksasi
Kekakuan sendi
Hambatan
tulang
Resiko cedra
mobilitas fisik
D. Manifestasi Osteoartritis
1.
2.
3.
Peradangan
Sinovitis sekunder, penurunan pH jaringan, pengumpulan cairan dalam
ruang sendi akan menimbulkan pembengkakan dan peregangan simpai sendi yang
semua ini akan menimbulkan rasa nyeri.
4.
Mekanik
Nyeri biasanya akan lebih dirasakan setelah melakukan aktivitas lama dan
akan berkurang pada waktu istirahat. Mungkin ada hubungannya dengan keadaan
penyakit yang telah lanjut dimana rawan sendi telah rusak berat. Nyeri biasanya
berlokasi pada sendi yang terkena tetapi dapat menjalar, misalnya pada
osteoartritis coxae nyeri dapat dirasakan di lutut, bokong sebelah lateril, dan
tungkai atas. Nyeri dapat timbul pada waktu dingin, akan tetapi hal ini belum
dapat diketahui penyebabnya.
5.
Pembengkakan Sendi
Pembengkakan sendi merupakan reaksi peradangan karena pengumpulan
cairan dalam ruang sendi biasanya teraba panas tanpa adanya pemerahan.
6.
Deformitas
Disebabkan oleh distruksi lokal rawan sendi.
7.
Gangguan Fungsi
Timbul akibat Ketidakserasian antara tulang pembentuk sendi.
E. Penatalaksanaan Osteoartritis
1.
Tindakan preventif
3.
4.
5.
Pembedahan; artroplasti
6.
7.
8.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A.
1.
Pengkajian
Aktivitas/istirahat
Gejala : nyeri sendi karena pergerakan, nyeri tekan, yang memburuk dengan stress
dengan sendi, kekakuan senda pada pagi hari, biasanya terjadi secara bilateral dan
simetris.
Tanda : malaise, keterbatasan ruang gerak, atrofi otot, kulit kontraktur atau
2.
Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas diri missal ketergantungan pada
4.
Keamanan
Gejala : kulit mengkilat, tegang, nodus subkutaneus. Lesi kulit, ulkus kaki,
kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga, demam ringan
9.
B. Diagnosa
1. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan inflamasi
2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri dan gangguan
3.
4.
5.
6.
musculoskletal.
Difisit perawatan diri berhubungan dengan terbatasnya gerakan sendi
Resiko cidera berhubungan dengan penurunan fungsi tulang.
Gangguan citra tubuh berhubungan dengan biofisik.
Difisiensi pengetahuan berhubungan dengan kondisi prognosis dan kebutuhan
pengobatan sehubungan dengan kurangnya informasi.
C. Intrvensi
1. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan inflamasi
Tujuan & Kriteria Hasil
Pasien akan :
Menunjukkan tingkat
Intervensi
Kaji keluhan nyeri, catat lokasi dan intensitas
kenyamanan.
Dapat mengendalikan nyeri
Dapat melaporkan
(skala 0 10).
Berikan matras atau kasur keras, bantal kecil.
Tinggikan tempat tidur sesuai kebutuhan
Biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman
karakteristik nyeri.
Intervensi
berikan terapi latihan fisik : ambulasi,
keseimbangan, mobilitas sendi, pengendalian otot
Bantu dan dorong perawatan diri
Intervensi
Bantu perawatan diri pasien : mandi/higiene
kehidupan sehari-hari
4.
Intervensi
Menejemen lingkungan: pantau lingkungan fisik
untuk memfasilitasi keamanan.
Berikan bimbingan dan pengalaman belajar
tentang kesehatan individu yang kondusif.
Identifikasi faktor resiko potensial terjadinya
cidera.
resiko
5.
Intervensi
Diskusikan persepsi pasien tentang keadaan tubuh
pasien
Dorong pasien untuk beradaptasi dengan persepsi
stresor atau ancaman yang menghambat peran hidup.
Diskusikan dengan pasien tentang faktor resiko
potensial dan memprioritaskan strategi menurunkan
resiko.
Dorong pasien terhadap peningkatkan penilaian
6.
intervensi
Edukasi kesehatan : berikan bimbingan dan
tentang penyakitnya
Dapat mengidentifikasi
kebutuhan terhadap
informasi tambahan tentang
program terapi
kondusif
Penyuluhan prosedur terapi : berikan pemahaman
kepada pasien secara mental tentang prosedur dan
penanganan
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer C. Suzannne, (2002 ), Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah, Alih Bahasa Andry Hartono, dkk., Jakarta, EGC.
Judith M. Wilkinson. & Nancy R. Ahern,(2012), Diagnosa Keperawatan
Nanda NIC NOC, Jakarta, EGC
ATEROSKLEROSIS
Pengertian
Etiologi
Penyakit arteri koroner bisa menyerang semua ras, tetapi angka kejadian paling
tinggi ditemukan pada orang kulit putih. Tetapi ras sendiri tampaknya bukan
merupakan factor penting dalam gaya hidup seseorang. Secara spesifik, factorfaktor yang meningkatkan resiko terjadinya arteri koroner adalah :
Merokok
Merokok sigaret
Kegemukan
Keturunan
Factor Resiko
Kajian epidemiologis menunjukkan bahwa ada berbagai kondisi yang mendahului
Serangan jantung
Stroke
Tromboemboli
Pemeriksaan Penunjang
lama yang sudah berlanjut pada payah jantung. Gambarannya biasanya jantung
terlihat membesar.
3. Pemeriksaan Laboratorium
4. Bila dari semua pemeriksaan diatas diagnosa PJK belum berhasil ditegakkan,
biasanya dokter jantung/ kardiologis akan merekomendasikan untuk dilakukan
treadmill.
Dalam kamus kedokteran Indonesia disebut jentera, alat ini digunakan untuk
pemeriksaan diagnostic PJK. Berupa ban berjalan serupa dengan alat olah raga
umumnya, namun dihubungkan dengan monitor dan alat rekam EKG. Prinsipnya
adalah merekam aktifitas fisik jantung saat latihan. Dapat terjadi berupa gambaran
EKG saat aktifitas, yang memberi petunjuk adanya PJK. Hal ini disebabkan
karena jantung mempunyai tenaga serap, sehingga pada keadaan sehingga pada
keadaan tertentu dalam keadaan istirahat gambaran EKG tampak normal.
Dari hasil teradmil ini telah dapat diduga apakah seseorang menderita PJK.
Memang tidak 100% karena pemeriksaan dengan teradmil ini sensitifitasnya
hanya sekitar 84% pada pria sedangka untuk wanita hanya 72%. Berarti masih
mungkin ramalan ini meleset sekitar 16%, artinya dari 100 orang pria penderita
PJK yang terbukti benar hanya 84 orang. Biasanya perlu pemeriksaan lanjut
dengan melakukan kateterisasi jantung. Pemeriksaan ini sampai sekarang masih
merupakan Golden Standard untuk PJK. Karena dapat terlihat jelas tingkat
penyempitan dari pembuluh arterikoroner, apakah ringan,sedang atau berat
bahkan total.
5. Kateterisasi Jantung
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan kateter semacam selang seukuran
ujung lidi. Selang ini dimasukkan langsung ke pembuluh nadi (arteri). Bisa
melalui pangkal paha, lipatanlengan atau melalui pembuluh darah di lengan
b. Sirkulasi
Tanda : Kenaikan TD, Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis, radialis,
tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis, kulit pucat,
sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisian kapiler mungkin
lambat/ bertunda.
c. Integritas Ego.
d. Eliminasi
Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau riwayat
penyakit ginjal pada masa yang lalu.
e. Makanan/cairan
f. Neurosensori
g. Nyeri/ ketidaknyaman
h. Pernafasan
i. Keamanan
j. Pembelajaran/Penyuluhan
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa adalah masalah keperawatan yang actual (yang sudah terjadi) dan
potensial (kemungkinan akan terjadi) yang dapat ditangani dengan intervensi
keperawatan, maka diagnosa keperawatan yang mungkin timbul pada penderita
aterosklerosis adalah:
1. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan iskemia jaringan
jantung atau sumbatan pada arteri koronaria.
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen,adanya jaringan yang nekrotik dan iskemi pada
miokard.
3. Resiko terjadinya penurunan kardiac output berhubungan dengan
perubahan dalam rate, irama konduksi jantuna, menurunnya preload atau
peningkatatan SVR, miocardial infark.
4. Resiko terjadinya penurunan perfusi jaringan berhubungan dengan
penurunan tekanan darah, hopovolemia
5. Resiko terjadinya ketidakseimbangan cairan exsess berhubungan dengan
penurunan perfusi organ (renal ), peningkatan retensi natrium, penurunan
plasma prottein.
Contusio Cerebri
A.Latar Belakang
Tengkorak merupakan jaringan tulang yang berfungsi sebagai pelindung jaringan
otak mempunyai daya elastisitas untuk mengatasi trauma bila dipukul atau
terbentur benda tumpul. Namun pada benturan, beberapa mili detik akan terjadi
depresi maksimal dan diikuti osilasi. Trauma pada kepala dapat menyebabkan fra
ktur pada tengkorak dan trauma jaringan otak atau kulit seperti kontusio atau
memar otak, oedem otak, perdarahan dengan derajat yang bervariasi tergantung
pada luas daerah trauma.
Trauma kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyim
pangan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasi
descelarasi) yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh perubahan
peningkatan pada percepatan faktor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu
pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh otak sebagai akibat perputaran pada
tindakan pencegahan.
Side effect dari kontusio akibat trauma kepala tergantung dari bagian mana yang
mengalami trauma dan sejauh mana luas kontusio dan perdarahan yang meluas
atau tidak.
B.Pengertian
Secara definisi kontusio serebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi otak akibat
adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara makroskopis tidak
mengganggu jaringan. Kontosi o sendiri biasanya menimbulkan defisit neurologis
jika mengenai daerah motorik atau sensorik otak., secara klinis didapatkan
penderita pernah atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit atau
didapatkan adanya kelainan neurologis akibat kerusakan jar ingan otak. Pada
pemerikasaan CT Scan didaptkan daerah hiperdens di jaringan otak, sedangkan
istilah laserasi serebri menunjukkan bahwa terjadi robekan membran piaarachnoid pada daerah yang mengalami contusio serebri yang gambaran pada CT
Scan disebut Pulp brain.
Kontusio cerebri erat kaitannya dengan trauma kepala berikut beberapa prinsip
pada trauma kepala :
a.Tulang tengkorak sebagai pelindung jaringan otak, mempunyai daya elastisitas
untuk mengatasi adanya pukulan.
2.Klasifikasi
Trauma kepala atau cedera kepala meliputi trauma kulit kepala, tengkorak dan
otak. Cedera otak terdapat dibagi dalam dua macam yaitu :
a.Cidera otak primer
Adalah kelainan patologi otak yang timbul segera akibat langsung dari trauma.
Pada cidera primer dapat terjadi: memar otak, laserasi.
b.Cidera otak sekunder
Adalah kelainan patologi otak disebabkan kelainan biokimia, metabolisme,
fisiologi yang timbul setelah trauma.
Berat ringannya cedera kepala bukan didasarkan berat ringanya gejala yang
muncul setelah cedera kepala (Alexander PM, 1995). Ada berbagai klasifikasi
yang dipakai dalam penentuan derajat cedera kepala. The Traumatic Coma Data
Bank mendifinisikan berdasarkan skor Skala Koma Glasgow (Glasgow coma
scale).
Kategori Penentuan Keparahan cedera kepala berdasarkan Glasgow coma scale
(GCS)
Penentuan KeparahanDeskripsiMinor/ Ringan GCS 13 15
Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
Tidak ada fraktur tengkorak, tidak ada kontusia cerebral, hematomaSedangGCS 9
12
Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.BeratGCS 3 8
Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Juga meliputi
kontusia serebral, laserasi atau hematoma intrakranialGlasgow coma scale (GCS)
Annegers et al (1998) membagi trauma kepala berdasarkan lama tak sadar dan
lama amnesis pasca trauma yang dibagi menjadi :
a.Cedera kepala ringan, apabila kehilangan kesadaran dan amnesia berlangsung
kurang dari 30 menit.
D.Etiologi
Kecelakaan
Jatuh
Trauma
E.Patofisiologi
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuronneuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk terjadinya lesi
contusion ialah adanya akselerasi kepala yang sek etika itu juga menimbulkan
pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi
yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang
batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terha dap
lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak tidak mendapat input
aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah coup, contrecoup, dan intermediate
menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa refleks babinsky yang
positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali, si penderita
biasanya menunjukkan organic brain syndrome.
Lesi akselerasi-deselerasi, gaya tidak langsung bekerja pada kepala tetapi meng
enai bagina tubuh yang lain, tetapi kepala tetap ikut bergerak akibat adanya
perbedaan densitas anar tulang kepala dengan densitas yang tinggi dan jaringan
otot yang densitas yang lebih rendah, maka terjadi gaya tidak langsung maka
tulang kepala akan berg e rak lebih dulu sedangkan jaringan otak dan isinya tetap
berhenti, pada dasar tengkorak terdapat tonjolan-tonjolan maka akan terjadi
gesekan anatera jaringan otak dan tonjolan tulang kepala tersebut akibatnya terjadi
lesi intrakranial berupa hematom subdur al, hematom intra serebral, hematom
intravertikal.kontra coup kontusio. Selain itu gaya akselerasi dan deselarasi akan
menyebabkan gaya tarik atau robekan yang menyebabkan lesi diffuse berupa
komosio serebri, diffuse axonal injuri.
Akibat gaya yang dikemban gkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi
pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral
terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi
menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif
terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.
F.Tanda dan Gejala
Manifestasi contusio bergantung pada lokasi luasnya kerusakan otak. Akan terjadi
penurunan kesadaran. Apabila kondisi berangsur kembali, maka t ingat
kesadaranpun akan berangsur kembali tetapi akan memberikan gejala sisa, tetapi
banyak juga yang mengalami kesadaran kembali seperti biasanya. Dapat pula
terjadi hemiparese. Peningkatan ICP terjadi bila terjadi edema serebral.
Gejala lain yang sering muncul :
Gangguan kesadaran lebih lama.
Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi.
Gejala TIK meningkat.
Amnesia retrograd lebih nyata.
Pasien tidak sadarkan diri
Pasien terbaring dan kehilangan gerakkan
Denyut nadi lemah
Pernafsan dangkal
I.Pengkajian
Pengumpulan data pasien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem
persyarafan sehubungan dengan trauma kepala adalah sebagi berikut :
1.Identitas pasien dan keluarga (penanggung jawab)
2.Riwayat Kesehatan
Nervus VIII (Akustikus), pada pasien sadar gejalanya berupa menurunnya daya
pendengaran dan kesimbangan tubuh. Nervus IX (Glosofaringeus). Nervus X
(Vagus), dan Nervus XI (Assesorius), gejala jarang ditemukan karena penderita
akan meninggal apabila trauma mengenai saraf tersebut. Adanya Hiccuping
(cekungan) karena kompresi p ada nervus vagus, yang menyebabkan kompresi
spasmodik dan diafragma. Hal ini terjadi karena kompresi batang otak. Cekungan
yang terjadi, biasanya yang berisiko peningkatan tekanan intrakranial.
Nervus XII (hipoglosus), gejala yang biasa timbul, adalah jatuhnya lidah kesalah
satu sisi, disfagia dan disartria. Hal ini menyebabkan adanya kesulitan menelan.
Aspek Kardiovaskuler :
Didapat perubahan tekanan darah menurun, kecuali apabila terjadi peningkatan
intrakranial maka tekanan darah meningkat, denyut nadi b radikardi, kemudian
takhikardia, atau iramanya tidak teratur. Selain itu pengkajian lain yang perlu
dikumpulkan adalah adanya perdarahan atau cairan yang keluar dari mulut,
hidung, telinga, mata. Adanya hipereskresi pada rongga mulut. Adanya perdarahan
te rbuka/hematoma pada bagian tubuh lainnya. Hal ini perlu pengkajian dari
kepalal hingga kaki.
Aspek sistem pernapasan :
Terjadi perubahan pola napas, baik irama, kedalaman maupun frekuensi yaitu
cepat dan dangkal, irama tidak teratur (chyne stokes, ataxia br ething), bunyi
napas ronchi, wheezing atau stridor. Adanya sekret pada tracheo brokhiolus.
Peningkatan suhu tubuh dapat terjadi karena adanya infeksi atau rangsangan
terhadap hipotalamus sebagai pusat pengatur suhu tubuh.
Aspek sistem eliminasi :
Akan dida patkan retensi/inkontinen dalam hal buang air besar atau kecil.
Terdapat ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dimana terdapat hiponatremia
1.Tingkat kenyamanan
2.Kontrol nyeri
3.Nyeri : efek yang merusak
4.Tingkat nyeriPain Management :
1.Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi, karakteristik serta onset,
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas / beratnya, nyeri dan faktor-faktor presipitasi.
2.Observasi isyarat-isyarat non verbal dan ketidaknyamanan, khususnya dalam
ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif.
3.Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan nyeri
4.Kaji latarbelakang budaya pasien
5.Kaji pengalaman individu terhadap nyeri, keluarga dengan nyeri kronis
6.Evaluasi tentang keefektifan dan tindakan mengontrol nyeri yang telah
digunakan
7.Berikan dukungan terhadap pasien dan keluarga
8.Kontrol faktor-faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien
terhadap ketidaknyamanan
9.Beri informasi tentang nyeri seperti penyebab, berapa lama terjadi dan tindkaan
pencegahan
10.Anjutkan pasien untuk memonitor sendiri nyerinya
4.Weight control
Manajemen Nutrisi:
1.Catat jika klien memiliki alergi makanan
2.Tentukan jumlah kalori dan tipe nutrien yang dibutuhkan
3.Dorong asupan kalori sesuai tipe tubuh dan gaya hidup
4.Dorong asupan zat besi
5.Berikan gula tambahan k/p
6.Berikan makanan tinggi kalori, protein dan minuman yang mudah dikonsumsi
7.Ajarkan keluarga cara membuat catatan makanan
8.Monitor asupan nutrisi dan kalori
9.Timbang berat badan secara teratur
10.Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi dan bagaima na memenuhinya
11.Ajarkan teknik penyiapan dan penyimpanan makanan
12.Tentukan kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya
Monitor nutrisi
1.BB klien dalam interval spesifik
2.Monitor adanya penurunan BB
3.Monitor tipe dan jumlah nutrisi untuk aktivitas biasa
4.Monitor respon emosi klien saat berada dalam situasi yang mengharuskan
makan.
5.Monitor interaksi anak dengan orang tua selama makan.
6.Monitor lingkungan selama makan.
7.Jadwalkan pengobatan dan tindakan, tidak selama jam makan.
8.Monitor kulit kering dan perubahan pigmentasi
9.Monitor turgor kulit
10.Monitor kekeringan, rambut kusam dan mudah patah.
11.Monitor adanya bengkak pada alat pengunyah, peningkatan perdarahan, dll.
12.Monitor mual dan muntah
13.Monitor kadar albumin, total protein, Hb, kadar Ht.
14.Monitor kadar limfosit dan elektrolit.
15.Monitor makanan kesukaan.
16.Monitor pertumbuhan dan perkembangan.
17.Monitor kadar energi, kelelahan, kelemahan.
18.Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan pada jaringan konjungtiva.
19.Monitor kalori dan intake nutrisi.
20.Catat adanya edema, hiperemia, hipertropik papila lidah dan cavitas oral.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara, CL., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan proses
keperawatan), Bandung.
Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa:
Waluyo Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.
Carpenito, L.J., 2000, Diagnosa Keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinis, alih
bahasa: Tim PSIK UNPAD Edisi-6, EGC, Jakarta
Corwin, 2000, Hand Book Of Pathofisiologi, EGC, Jakarta.
Doenges,M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C., 1993, Rencana Asuhan
Keperawatan untuk perencanaan dan pendukomentasian perawatan Pasien, Edisi3, Alih bahasa; Kariasa,I.M., Sumarwati,N.M., EGC, Jakarta
Komite Keperawatan RSUD Dr. Soedono Madiun. 1999, Penatalaksanaan Pada
Kasus Trauma Kepala. Makalah Kegawat daruratan dalam bidang bedah, Tidak
dipublikasikan.
Long, B.C., 1996, Perawatan Medikal Bedah (Suatu Pendekatan Proses
Kperawatan), Bandung : Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan
Bandung.
Mansjoer, Arif, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius FK-UI,
Jakarta.
McCloskey&Bulechek, 1996, Nursing Interventions Classifications, Second edisi,
By Mosby-Year book.Inc,Newyork
NANDA, 2001-2002, Nursing Diagnosis: Definitions and classification,
Philadelphia, USA
Reksoprodjo, S. dkk, 1995, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bina rupa Aksara,
Jakarta.
University IOWA., NIC and NOC Project., 1991, Nursing outcome
Classifications, Philadelphia, USA