Está en la página 1de 19

A.

Rahman Zainuddin
Dikirim Tanggal 30/09/2001 @ 13:15:28
Dalam pemikiran Islam, konsep "bersih" bukanlah suatu konsep yang
berkenaan dengan harta benda saja, tapi mencakup seluruh aspek dan segi kehidupan
manusia. Dapat dikatakan bahwa seluruh ajaran Islam telah direkayasa untuk
menciptakan suatu kehidupan yang bersih bagi manusia, dalam hal kepercayaannya,
pemikirannya, dan juga tingkah lakunya. Pembersihan dan pemurnian dasar-dasar
pemikiran dan titik tolak dalam hidup terjelma dengan jelas dalam rukun iman yang
enam. Sebelum segala sesuatunya, manusia harus mempunyai titik tolak keimanan
yang bersih dalam hidup ini.
Berdasarkan pemikiran tersebut maka kepercayaan pada Allah, Tuhan Yang
Maha Esa, adalah pemurnian kepercayaan par excellence. Dengan kepercayaan itu
manusia mendapatkan makna yang baru dan dimensi yang lebih dalam tentang ikatan
yang dimilikinya dalam alam semesta ini. Tauhid adalah proses pembebasan manusia
yang tiada tara. Proses ini mencakup segala hubungan yang ada, seperti hubungan
antara manusia dengan dirinya, antara manusia dengan sesama, dan antara manusia
dengan alam semesta, yang merupakan lokus sementara baginya dalam kehidupan
duniawi ini. Dengan konsep tauhid, segala tali hubungan itu telah mendapatkan unsur
transendensinya. Segala hubungan itu dibangun kembali, sesuai dengan kaidahkaidah yang telah ditentukan Tuhan.
Dengan petunjuk dan iradah-Nya pulalah ditentukan bahwa manusia
diciptakan di atas dunia ini bukan sebagai robot yang telah diprogramkan sampai
pada perincian-perinciannya, tapi suatu makhluk yang telah diberi kemampuan
menentukan nasibnya sendiri (QS. al-Ra'd: 11). Dengan demikian hidup manusia
telah berubah menjadi kehidupan yang benar-benar selaras, serasi dan seimbang
dengan ketentuan-ketentuan Ilahi.
Kepercayaan pada para rasul tak lain daripada kepercayaan akan jembatan
yang terdapat antara bumi dan langit, dan dengan demikian manusia menjadi sadar
akan satunya dunia yang terlihat dengan dunia yang tak terlihat. Dan antara kedua

dunia itu terdapat saluran komunikasi yang berbentuk para rasul itu. Kepercayaan
pada buku-buku suci adalah kepercayaan bahwa komunikasi yang telah terjadi itu
direkam untuk kepentingan umat manusia. Tapi sayang sekali bahwa manusia, dalam
pandangan Islam, cenderung untuk "campur-tangan" dalam arti yang sesungguhnya
dalam masalah rekaman komunikasi antara langit dan bumi itu, sehingga dalam
kepercayaan orang Islam, dengan mengecualikan al-Qur'an, semua buku-buku yang
terdahulu telah mengalami kerancuan karena campur-tangan manusia dalam bentuk
yang tak semestinya itu. Hanya al-Qur'an-lah yang telah memperoleh jaminan Tuhan
untuk diperlihara kemurniannya sampai hari kiamat, tanpa mengalami pencemaran
seperti telah dialami buku-buku suci lain. Dan sekaligus al-Qur'an itu jugalah yang
merupakan koreksi total dan terakhir segala buku suci yang terdapat sebelumnya.
Kepercayaan pada para malaikat adalah kepercayaan yang mengajarkan pada
manusia bahwa apa yang ada itu bukanlah apa yang mereka raba, lihat dan rasakan
saja. Di balik eksistensi alam yang mereka indrai masih terdapat alam lain, yaitu alam
malakut, yang lebih tinggi tingkatannya dari alam dunia (yang rendah) yang diindrai
manusia ini. Sekaligus kepercayaan tersebut merupakan peringatan bagi manusia,
bahwa kemampuan rasionalitas mereka terbatas dalam suatu rentangan eksistensi
yang relatif kecil sekali. Karena itu, tepatlah kiranya apa yang tersebut dalam alQur'an bahwa "Tuhan Maha Tahu dan kamu tak mengetahui" (QS. al-Baqarah: 232;
'Ali Imran: 66; dan al-Nahl: 74).
Kepercayaan terhadap hari akhirat, di samping mengantarkan manusia ke
alam yang belum pernah mereka alami, juga menyadarkan mereka bahwa kehidupan
dunia ini bukanlah suatu kehidupan tanpa arti dan makna, yang hanya akan berakhir
apabila manusia telah sampai pada kematian. Hidup di dunia ini adalah suatu
kehidupan yang serius yang harus dijalani dengan penuh keseriusan pula, karena ia
merupakan babak pendahuluan yang pendek bagi suatu kehidupan lain yang jauh
lebih kekal dan lebih abadi. Jenis kehidupan akhirat yang akan ditemui manusia nanti,
ditentukan oleh cara-cara ia melalui kehidupan dunia ini. Kehidupan akhirat itulah
yang lebih baik dan lebih kekal (QS. al-A'la: 17). Di samping itu, kepercayaan akan
kehidupan akhirat meminta manusia hidup dalam suasana yang penuh tanggung

jawab, karena segala sesuatu yang dilakukannya akan diperlihatkan kepadanya nanti,
dan akan diminta pertanggungjawabannya. Malah perilaku manusia ini nanti akan
disaksikan Allah dan Rasul-Nya dan seluruh orang-orang yang beriman (QS alTaubah: 94,105).
Kepercayaan pada takdir (al-qadr) yang baik dan yang tak baik juga
merupakan pelajaran tentang bagaimana kecil dan lemahnya manusia sebagai suatu
eksistensi, terlepas dari kemandiriannya dan kebebasannya dalam beribadah dan
mengubah hidupnya sesuai dengan keinginannya, ia adalah makhluk yang penuh
ketergantungan terhadap faktor-faktor yang dapat dikatakan seluruhnya berada di luar
pengendaliannya.
Dengan bertumpu pada keenam dasar yang kokoh kuat ini, manusia telah
berada dalam kondisi sebaik-baiknya untuk mengarungi alam tindakan, atau alam
praktis, yang terlambang dalam lima rukun islam, yaitu syahadat, shalat, puasa, zakat
dan ibadah haji. Syahadat adalah pernyataan kebulatan tekad untuk menyatukan bumi
dan langit dalam diri kita, dengan mengakui tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad
itu pesuruh Allah. Shalat selain merupakan mi'rajnya orang-orang yang beriman, juga
memiliki aspek pemusatan pemikiran terhadap tujuan, aspek memupuk kehidupan
sosial dalam masyarakat, yang juga menggalakkan kepatuhan pada pimpinan, tanpa
menghilangkan hak kontrol sosial dan hak menegur dalam setiap tahap dari
pelaksanaannya. Internalisasi penderitaan dalam rangka memupuk rasa solidaritas
sesama manusia, selain dari kepatuhan pada Tuhan, terjelma dalam ibadah puasa.
Sedangkan manifestasi dan pembuktian yang bersifat kebendaan dari solidaritas ini
tampak dalam zakat yang membersihkan jiwa dan harta manusia. Dalam haji terlihat
aspek kesatuan dan persamaan umat manusia, aspek kehidupan internasional, aspek
pengorbanan, aspek pernyataan hak-hak asasi manusia dalam Islam, dan lain
sebagainya.
Dengan demikian, secara sepintas lalu telah tampak bagaimana rukun iman
dan rukun Islam merupakan sarana menciptakan suatu kehidupan dunia yang lebih
bermakna, sebagai pendahuluan bagi manusia dalam menuju kehidupan akhirat yang
"lebih baik dan lebih kekal." Dengan kedua rukun itu, kehidupan manusia diharapkan

menjadi bersih dan transendental, baik dalam dasar-dasar teoritisnya, maupun dalam
prakteknya.
Berbagai Pandangan Tentang Zakat
Sebagai rukun Islam, zakat telah dipelajari sepanjang sejarah Islam. Baik
buku-buku kuning yang dikarang beberapa abad lalu, maupun buku-buku yang lebih
baru dan lebih modern, semuanya mempelajari zakat. Dalam buku-buku lama, yang
dipelajari biasanya :
1. Pengertian zakat secara bahasa dan secara istilah
2. Dasar-dasar yang mewajibkannya
3. Siapa saja yang memikul kewajiban ini
4. Jenis harta mana saja yang wajib dizakatkan
5. Syarat-syarat apa saja yang harus ada pada harta itu
6. Siapa-siapa saja yang boleh menerima zakat tersebut.
Pendapat-pendapat para ulama dalam hal ini pada umumnya sama, kecuali
perbedaan pendapat dalam perincian-perinciannya (mushali dan samarqandi).
Tulisan-tulisan modern di dunia Arab yang diperhatikan dalam tulisan ini
adalah Shalih, Sabiq dan Thabbarah, di samping penulis-penulis lain, seperti
Mubarak, Tawati, Salamah, Affar dan lain-lain. Para ulama muda Indonesia, yang
berusaha menegakkan ajaran Islam seutuhnya di negeri ini juga tak kurang
jumlahnya. Dalam tulisan ini diperhatikan Mas'udi dan Kuntowijoyo. Seringkali juga
terdengar di Indonesia pendapat yang lebih memandang bahwa zakat itu suatu jenis
pajak (Mas'udi,1991).
Para penulis biasanya menganggap zakat sebagai bukti, sistem ekonomi yang
dimiliki Islam itu jelas batas-batasnya, dan sama sekali bebas sepenuhnya dari semua
sistem yang terdapat di dunia. Sebagian besar kaidah-kaidah utama sistem ini
terambil dari al-Qur'an sedangkan penjelasan-penjelasannya diberikan Rasulullah
saw. dan memang telah dilaksanakan di masa beliau masih hidup (Shalih 1965, 354).
Zakat merupakan pendapatan utama negara Islam, di samping pajak-pajak lain seperti

pajak tanah, pajak kepala, rampasan perang, pajak hasil bumi dan lain-lain (Shalih
1965, 354-355).
Zakat itu adalah bagian dari harta benda manusia yang dikeluarkan karena
perintah Allah swt. untuk kepentingan fakir miskin dan lain-lain. Zakat itu adalah
salah satu rukun Islam, yang dalam delapan puluh dua ayat al-Qur'an disebutkan
bersama-sama dengan shalat. Kewajiban zakat itu dibuktikan dengan adanya ayat alQur'an mengenai hal itu, dengan adanya hadits Nabi saw., dan dengan adanya suatu
kewajiban agama (Sabig 73, 286).
Dipandang dari segi pengertiannya, zakat berarti kebersihan dan
pertumbuhan, sesuai dengan yang tersebut dalam al-Qur'an (QS. al-Taubah: 103).
Zakat dimaksudkan untuk membersihkan harta benda orang lain yang dengan sengaja
atau tak sengaja telah termasuk ke dalam harta benda kita. Dalam mengumpulkan
harta benda, seringkali hak orang lain termasuk ke dalam harta benda yang kita
peroleh karena persaingan yang tak pantas, karena kelicikan dan lain-lain sebagainya.
Akibatnya banyak orang lain yang merasa sakit hati dengan perolehan kita itu.
Mereka tak dapat menuntut, karena tak cukup bukti, atau karena tak memiliki
keahlian untuk itu. Mereka hanya diam dalam penderitaan mereka. Untuk
membersihkan harta benda daripada kemungkinan-kemungkinan seperti itu, maka
zakat dibayarkan.
Zakat berarti juga pertumbuhan, karena dengan memberikan hak fakir
miskin dan lain-lain yang terdapat dalam harta benda kita, maka terjadilah suatu
sirkulasi uang dalam masyarakat yang mengakibatkan bertambah berkembangnya
fungsi uang itu dalam masyarakat. Di belakang pendapat tersebut terdapat asumsi,
seperti yang dikemukakan Ibnu Khaldun (1958,102-103), bahwa harta benda itu
selalu beredar di antara penguasa dan rakyat. Ia menganggap negara dan
pemerintahan itu sebagai suatu pasar yang besar, malah yang terbesar di dunia (alsuq ala'zham), dan bahwa ia itu adalah inti budaya manusia (maddat al-'umran).
Jadi apabila negara atau pemerintah, atau penguasa menahan harta benda dalam
bentuk pajak yang telah dikumpulkannya dalam kalangannya saja, maka jumlah uang
yang beredar dalam masyarakat sudah pasti berkurang pula, dan pendapatan rakyat

akan menjadi berkurang pula, padahal rakyat itu merupakan kalangan terbanyak umat
manusia ini. Gejala ini menimbulkan kemacetan ekonomi di kalangan masyarakat.
Keuntungan yang diperoleh para pedagang juga akan menjadi lebih sedikit pula. Pada
akhirnya yang akan menderita kerugian adalah negara itu sendiri. Sebagai suatu pasar
yang terbesar maka kemakmuran negara itu adalah dengan melihat banyaknya harta
benda yang masuk dan keluar. Apabila terjadi kemandekan dalam sirkulasi ini, maka
semua pihak, termasuk pemerintah sendiri dirugikan. Jadi harta benda itu selalu
bolak-balik antara rakyat dan penguasa. Apabila penguasa menimbunnya, maka
rakyat tak akan memilikinya. Samarqandi (1958, 412) menjadikan pertumbuhan itu
satu-satunya sebab disyari'atkannya zakat. Karena itu harta yang wajib dizakatkan
hanya dua macam, yaitu yang bertumbuh seperti binatang ternak dan tanam-tanaman,
serta harta perdagangan.
Zakat diwajibkan pertama kali di Makkah pada permulaan turunnya Islam,
tapi ketika itu kewajiban tersebut baru bersifat umum saja, dan belum mencakup
perincian-perinciannya, baik mengenai harta benda jenis apa yang diwajibkan, dan
berapa besarnya zakat yang harus dikeluarkan. Pada mulanya hal itu diserahkan pada
perasaan dan kebaikan hati orang Islam saja. Namun baru pada tahun kedua Hijriah,
menurut pendapat yang terkuat di kalangan para ahli, zakat diwajibkan dalam bentuk
yang lebih terperinci (Shalih, 276-277).

Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah ,


Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina, Jakarta Selatan
Bicara soal zakat dikaitkan dengan pemerataan ada kesan memaksakan diri,
mangada-ada!. Tapi, anehnya orang tak kunjung kapok menjadikannya sebagai tema.
Seolah-olah yang penting bukan kesepadanan konsep zakat dengan pemerataan. Tapi
adanya kekuatan ghaib, magic, yang tersimpan dalam kata-kata "zakat" itu sendiri.
Ibarat figur, kata-kata zakat diyakini sebagai tokoh imam mahdi atau ratu adil yang
meski pun sangat sulit orang mencernanya, tapi dalam hati tetap bercokol keyakinan,
suatu saat nanti, lambat atau cepat, kehebatan dan mukjizatnya diperlihatkan juga.
Sesungguhnyalah, mengkaitkan soal pemerataan, bahkan keadilan sekaligus,
dengan konsep zakat bukan merupakan hal yang tak masuk akal. Bahkan
mengkaitkannya dengan rukun Islam yang lain (syahadat, shalat, puasa, juga haji)
bukan merupakan perkara mustahil. Misalnya karena kekhusyukannya dalam
menunaikan shalat, seseorang yang kebetulan kaya raya tiba-tiba terpanggil
menginfakkan seluruh hartanya untuk menghidupi orang-orang miskin, orang ini
terbuka tabir kerohaniannya. Tanpa diduga-duga orang ini tiba-tiba tersadarkan
bahwa di alam dunia ini, seseorang boleh tak punya apa-apa, atau hanya pas-pasan
saja, yang penting adalah keterpautan hati secara terus menerus untuk menyebut
nama-nama Nya. Ajaib! Tapi, bagaimanapun hal ini memang tak mustahil.
Masalahnya, dengan segala ajarannya, Islam bukanlah sejenis halte tempat
orang menunggu dengan kepasifan, di mana akan munculnya momen-momen ajaib
yang lahir atas campur tangan langsung Tuhan seperti digambarkan di atas. Karena
Islam datang sebagai petunjuk untuk manusia dan diterapkan oleh manusia dalam
kapasitas kodratinya yang wajar-wajar saja. Yakni manusia sebagai makhluk Tuhan
yang memiliki segala kemungkinan dan potensi kebaikan maupun keburukan,
kekuatan maupun kelemahan. Manusia yang bisa salah bisa benar, bisa baik bisa
jahat, bisa meng-iblis tapi juga bisa menjadi laiknya malaikat. Sementara untuk
manusia yang luar biasa, manusia yang dengan hak prerogatif Tuhan hanya memiliki

kemungkinan baik, atau hanya memiliki potensi buruk --kalau saja yang demikian itu
ada dalam kenyataan Islam-- Islam tak punya urusan.
Sebagai agama yang datang untuk kehidupan manusia dalam ukuran yang
normal atau yang wajar, Islam tak saja harus ma'qul (sensible), tapi sekaligus juga
ma'mul (applicable). Ma'qul artinya bisa dicerna logika penalaran, sedang ma'mul
artinya bisa dicerna logika kesejarahan. Logika pemikiran hadir dalam ujud
rnaqal yang bersifat teoritis, logika kesejarahan hadir dalam ujud hal yang
bersifat empirik. Berbeda dengan logika teoritis yang bersifat abstrak dan subyektif,
logika empiris bersifat konkrit dan obyektif. Suatu ajaran untuk bisa disebut ma'mul,
harus bisa dijabarkan dalam kerangka kerja sistem yang bisa dirancang, dikontrol dan
bisa diukur. Ini berarti bahwa yang ma'qul belum tentu matmul, tapi yang ma'mul
secara implisit haruslah ma'qul.
Kembali pada pokok soal, tentang "pemerataaan" atau lebih mendasar lagi
soal "keadilan sosial," orang bisa saja mengatakan bahwa semua rukun Islam yang
lima cukup ma'qul untuk memecahkannya. Tapi dari semua yang ma'qul itu, satusatunya yang sekaligus ma'mul adalah rukun yang ketiga, yakni zakat. Karena seperti
halnya tema pemerataan, atau keadilan sosial, yang titik berangkatnya adalah pada
pemerataan akses sumber daya materi, zakat adalah satu-satunya rukun Islam yang
berkaitan langsung dengan persoalan materi itu. Benar bahwa haji pun bersentuhan
dengan soal materi, tapi hanya sebagai sarana yang tetap ada di luar zat-Nya.
Lebih dari sekedar meletakkan soal penguasaan sumber daya materi sebagai
subyeknya, zakat --berbeda dengan haji-- bahkan meletakkannya sebagai sesuatu
yang harus diatur sedemikian rupa agar kemungkinannya untuk menumpuk hanya
pada kalangan tertentu (aghniya) bisa dihindarkan, atau ditekan serendah-rendahnya.
Sasarannya bukan agar semua orang memiliki bagian secara sama rata, rata
sedikitnya atau banyaknya. Tapi agar tak terjadi suasana ketimpangan, dimana
sebagian yang lain hampir-hampir tak memiliki sama sekali. Sebab bermula dari
ketimpangan dalam hal materi (ekonomi), ketimpangan di bidang yang lain (politik
dan budaya) hampir pasti selalu saja membuntuti.

Maka konsep dasar zakat sebagai mekanisme redistribusi kekayaan (materi)


adalah pengalihan sebagian aset materi yang dimiliki kalangan kaya (yang
memiliki lebih dari yang diperlukan) untuk kemudian didistribusikan pada mereka
yang tak punya (fakir miskin dan sejenisnya) dan kepentingan bersama.
Seyogyanyalah pengalihan itu dilaksanakan kalangan berada atas kesadaran mereka
sendiri. Tapi karena manusia mengidap nafsu "cinta harta" (hub-u 'l-dunya), maka
kehadiran lembaga yang memiliki kewenangan memaksa untuk melakukan
pengalihan itu pun menjadi tak terelakkan. Lembaga itu, yang dalam realitas
sosiologis memuncak pada apa yang dikenal dengan negara (state), dari sudut moral
memang merupakan anomali. Tapi lembaga anomali tersebut perlu justru untuk
menjadi penawar bagi anomali lain yang ada pada diri manusia, yakni nafsu gila harta
(keduniaan) tadi.
Tapi disinilah persoalannya, lembaga negara yang secara moral hanya bisa
dijustified sepanjang berfungsi sebagai racun penawar terhadap kerakusan duniawi
masyarakat manusia (yang kuat), dalam sejarahnya justru cenderung memainkan
peran terbalik. Ia dengan segala perangkat lunaknya (seperti sistem hukum dan
perundang-undangan) maupun yang keras (seperti satelit pengintai dan senjata
rudalnya) seringkali menjadi alat bagi kepentingan "penyakit keduniaan" yang
seharusnya dinetralisir oleh keberadaannya. Maka bisa dimengerti apabila pernah
muncul suatu obsesi dalam sejarah pemikiran manusia yang mengimpikan suatu
zaman dimana apa yang disebut lembaga negara itu tak usah ada lagi. Ajaran Nabi Isa
secara implisit ingin sekali mengingkari keberadaannya. Juga ajaran Karl Marx, 18
abad kemudian secara eksplisit mengidealkan kepunahannya. Zaman idaman baginya
adalah zaman ketika lembaga negara telah lenyap berikut seluruh akar-akarnya.
Syahdan, dalam sejarah politik kenegaraan modern, konsep pajak sedikit
banyak sudah mulai diberi fungsi redistribusi kekayaan seperti tersebut di atas.
Bahkan dengan tarif begitu tinggi yang disebut dengan pajak progresif. Tapi
persoalannya, setelah pajak yang tinggi itu ditarik dari masyarakat wajib pajak,
apakah memang kemudian ditasarufkan untuk mengangkat kehidupan mereka yang
tak punya dan untuk kemaslahatan semua pihak? Inilah persoalan dasar, siapa yang

sebenarnya paling diuntungkan oleh pranata pajak yang ditangani lembaga negara,
atau oleh hampir semua negara di atas bumi ini?
Pertanyaan tersebut mengena bukan saja terhadap lembaga negara yang
dikelola secara otoriter, atau semi otoriter, seperti yang terjadi di banyak bumi
belahan Timur, tapi juga terhadap negara-negara lain yang mengaku berjalan secara
demokratis, seperti Amerika dan negara-negara Barat. Memang lebih gila lagi, secara
lahir batin, adalah negara-negara monarki absolut zaman dulu. Apabila negara di
zaman modern sudah mulai melibatkan rakyat melalui wakil-wakilnya dalam
menentukan penggunaan uang pajaknya melalui undang-undang, negara monarki
absolut memandang kewenangan pengalokasian uang pajak (upeti/tax) sepenuhnya di
tangan sang raja saja.
Tapi ya itu tadi, dengan peranan lembaga perwakilan rakyat dalam tata
kenegaraan modern belum menjadi jaminan bahwa uang pajak akan ditasarufkan
dengan prioritas utama bagi pembebasan rakyat lemah. Dimulai dari pembebasan di
bidang ekonomi, kemudian menyusul bidang-bidang kehidupan lain yang lebih
sublim, politik dan budaya. Penjelasannya sederhana, di negara-negara Timur yang
paternalistik, keberadaan lembaga perwakilan rakyat umumnya hanya merupakan
permainan politik kalangan elite penguasa. Lembaga Perwakilan Rakyat hanyalah
sekedar "nama dan proforma". Kesadaran dan perilaku mereka tetaplah untuk
mengelabui rakyat bagi kepentingan para penguasa yang mengatur keberadaan
mereka. Lembaga Perwakilan Rakyat di negara-negara Timur yang paternalistik, pada
hakekatnya adalah lembaga Perwakilan Penguasa.
Di negara-negara Barat yang liberal-kapitalistik, independensi lembaga
perwakilan rakyat dengan penguasa (baca: eksekutif) memang cukup kuat. Tapi hal
itu tetap bukan (belum?) dalam rangka penegakkan kontrol atas lembaga negara bagi
kepentingan rakyat; lebih-lebih rakyat pada lapisannya yang paling jelata. Berbeda
dengan di Timur, di Barat negara memang sudah tak lagi sepenuhuya milik penguasa
(kaum bangsawan, aristokrat, baik secara keturunan maupun SK jabatan seperti di
Timur). Tapi juga belum berarti telah kembali pada pemiliknya yang sah, yaitu rakyat
keseluruhan yang dimulai dari lapisannya yang paling jelata. Di Barat negara dengan

seluruh soko gurunya (eksekutif, legislatif maupun judikatif), sudah berada di tangan
rakyat, tapi baru yang ada di lapisan menengah dan terutama lapisan atas. Mereka
yang ada di lapisan bawah, yang justru merupakan pemilik utama sebutan "rakyat"
kapan saja ia diucapkan, masih jauh dari dapat disebut memiliki negara.
Hal tersebut dapat dilihat dengan jelas, misalnya, dalam alokasi penggunaan
dana pajak dalam APBN mereka. Bagian yang paling besar dari dana itu
diperuntukkan untuk melindungi atau melayani kepentingan kelas menengah ke atas.
Apakah melalui sektor pertahanan dalam pengertian yang luas dengan dalih demi
kepentingan nasional mereka, atau melalui sektor pembangunan sarana-sarana mana
yang diperuntukkan utamanya bagi kalangan masyarakat kelas menengah ke atas.
Berapa anggaran belanja yang diperuntukkan bagi pembebasan rakyat (jelata), sama
sekali tak berarti. Bahwa di negara-negara Eropa dan Amerika yang pendapatan
perkapitanya telah mencapai angka 8 ribu sampai 11 ribu dollar pertahun masih
banyak warga negara yang tuna wisma (homeless) adalah bukti yang sangat cukup
bahwa rakyat jelata di sana memang belum bisa disebut ikut memiliki negara.
Memang ada drama yang menarik, dan bisa mengelabui banyak orang, seolah
negara-negara liberal kapitalis Barat itu telah menempatkan dirinya di bawah
kepentingan rakyat sejati, kaum lemah dan melarat. Drama itu pementasannya di
masyarakat bangsa negara-negara Timur yang umumnya miskin dan lemah. Setiap
kali bencana dan musibah terjadi di masyarakat dunia Timur, negara-negara Barat
segera menunjukkan kedermawanannya (charity). Lebih dari itu, apabila negaranegara Timur yang miskin itu memerlukan perbaikan ekonomi, mereka siap
menawarkan bantuannya. Baik yang berupa hibah (grant) maupun yang berupa
pinjaman (loan).
Akibat permainan drama kolosal ini, banyak orang terhegemoni untuk
meyakini bahwa Barat memang teladan dunia; sistem kenegaraan/pemerintahan yang
liberal-kapitalistik memang merupakan pilihan sejarah terbaik dan terakhir. Padahal,
jika dilihat sedikit lebih kritis, akan segera tampak pada kita bahwa apa yang
diperbuat negara-negara Barat tetaplah demi kepentingan mereka sendiri, sama sekali
bukan demi kepentingan rakyat dan bangsa negara-negara Timur. Dan kepentingan

mereka (negara-negara Barat), seperti disebutkan di atas adalah kepentingan


kelompok yang mengontrol roda kenegaraan atau pemerintahan, yakni kelompok
orang-orang yang secara politik mengendalikan jalannya pemerintahan itu sendiri dan
kalangan para kaya kapitalis, selaku cukongnya.
Sampai titik ini sebenarnya telah jelas bagi kita bahwa, sekurang-kurangnya
dalam tingkat verbal, ide dasar dari zakat bukan sesuatu yang sama sekali asing
dalam struktur pemikiran kenegaraan, lebih-lebih kenegaraan modern. Dengan
pranata pajaknya ide zakat (bahwa yang kuat harus menanggung beban) sudah
banyak dilaksanakan oleh hampir semua negara di jaman ini, bahkan dalam tarif yang
begitu tinggi. Hanya masalahnya, bahwa beban yang ditimpakan kepada mereka yang
punya, yakni beban pajak, ternyata digelapkan oleh negara sehingga tak sampai ke
alamat (mustahiq) yang semestinya. Di dunia Timur yang feodalistik, dana pajak yang
dikenakan atas orang-orang kaya dibelokkan pentasarufannya untuk kepentingan para
penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Sementara di Barat yang liberalkapitalistik, dana pajak yang semestinya diprioritaskan pentasarufannya untuk
memperkuat yang lemah, diputarkan kembali untuk melipat gandakan kekuatan
mereka yang sudah kuat, yakni kaum kapitalis dan tentu saja para elite politik sebagai
pengawal kepentingan-kepentingannya.
Dengan kata lain persoalan pokok dalam topik redistribusi kekayaan (asset)
untuk pemerataan, dan kemudian keadilan sosial dalam tatarannya yang lebih luas,
agaknya tak lagi terutama terletak pada kalangan kaya. Memang di sana bukan tak
ada masalah sama sekali. Nafsu kerakusan mereka untuk mengakumulasikan
kekayaan lebih banyak dan lebih banyak lagi, jelas merupakan persoalan yang tetap
serius bagi ide pemerataan dan keadilan. Tapi fakta bahwa dalam kerakusannya
mereka bisa diikat komitmennya untuk menyisihkan sebagian dari kekayaannya
(berupa pajak) adalah bukti bahwa persoalan pokok tak lagi sepenuhnya di tangan
mereka. Persoalan pokok itu kini jelas terutama ada di pihak apa yang kita sebut
lembaga negara. Karena dia (lembaga negara)-lah yang berbuat selingkuh. So, what?!
Menuruti obsesi Marx bahwa lembaga negara mesti dienyahkan atau
pengingkaran Isa as. terhadap lembaga itu rasa-rasanya tak realistik. Negara, apalagi

dalam pengertian yang lebih luas sebagai lembaga permufakatan kolektif, betapa pun
konyolnya tidaklah mungkin dihindari. Mengingkari lembaga negara untuk semangat
(ruh) kolektivitas manusia hukumnya sama belaka dengan mengingkari badan bagi
ruh individualitas manusia. Seperti halnya badan (kecil), negara sebagai badan besar
pun mengidap nafsu-nafsu (interests) negatif duniawi yang selalu cenderung
memperalat dirinya. Tapi dengan bercokolnya nafsu-nafsu itu pada badan, tak seorang
pun --kecuali langka, kalau pun ada-- yang pernah menyarankan jalan keluar agar
badan itu dimusnahkan saja daripada diperalat oleh nafsu-nafsu negatif yang melekat
padanya Yang paling sehat dan fitri (Islami) tentulah pendirian yang mengatakan,
"Biarlah badan itu tetap ada dan tumbuh dengan kewajarannya. Tapi dengan
pengawasan atau kontrol yang terus menerus jangan sampai jatuh dan diperalat oleh
nafsu-nafsu jahat yang mengitarinya."
Demikianlah Muhammad Rasulullah sebagai teladan umat manusia tak perlu
menyatakan penolakan terhadap keberadaan lembaga negara. Bahkan beliau sendiri
dengan komunitasnya, dengan sadar telah membangun lembaga itu. Tapi inilah
kuncinya, lembaga kenegaraan itu beliau bangun dengan kewaspadaan penuh, dengan
meyakinkan masyarakat akan pentingnya kontrol sosial (amar ma'ruf nahi munkar)
secara terus menerus, agar keberadaan lembaga negara itu tetap sebagai alat, bukan
bagi kepentingan penguasa atau kalangan kaya, melainkan bagi kepentingan seluruh
rakyat yang ada dalam otoritasnya. Dari sudut konsepsi zakat, kedudukan negara atau
kekuasaan pemerintahan adalah amil yang harus melayani kepentingan segenap
rakyat, dengan membebaskan kemaslahatan (keadilan dan kesejahteraan) bagi
semuanya. Memang untuk menegakkan keadilan sosial dalam semangat dan kerangka
zakat, ada pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan lebih dahulu. Konsepsi
tentang ajaran zakat (dan pada akhirnya tentang bangunan fiqh secara keseluruhan)
yang sudah terlanjur mendogma di kalangan umat selama lebih dari sepuluh abad,
harus ditransformasikan terlebih dahulu. Pekerjaan ini berat dan memakan waktu.
Sebagian orang mungkin merasa lebih aman dalam dekapan dogma lama ketimbang
harus berspekulasi dengan pamahaman ajaran yang "baru." Tapi tanpa keberanian

moral dan intelektual untuk melakukan perubahan itu, maka pengkaitan ajaran Zakat
dengan cita pemerataan, apalagi keadilan, tak lebih hanyalah mitos belaka.
Bagi Garaudy (1981, 32), zakat itu bukanlah suatu karitas, bukan suatu
kebaikan hati pihak orang yang memberikannya, tapi suatu bentuk keadilan internal
yang terlembaga, suatu yang diwajibkan, sehingga dengan rasa solidaritas yang
bersumber dari keimanan itu orang dapat menaklukkan egoisme dan kerakusan
dirinya. Dalam kesempatan yang lain (1986, 337) ia menyatakan bahwa al-Qur'an dan
Sunnah mengatur pembagian kekayaan dengan jalan melembagakan zakat, yaitu
suatu pungutan yang bukan bersifat sukarela, tapi pungutan wajib, yang bukan
berdasarkan

penghasilan,

melainkan

berdasarkan

kekayaan.

Ia

selanjutnya

menyatakan bahwa dengan tarif umum dua setengah persen setahun maka kekayaan
itu akan habis dalam waktu satu generasi, yaitu dalam jangka waktu empat puluh
tahun, dengan demikian tak akan ada orang yang dapat hidup sebagai parasit dari
kekayaan yang diwarisinya dari orang tuanya. Ia berpendapat bahwa dalam suatu
masyarakat dimana hukum seperti ini dilaksanakan dengan tuntas, maka tak akan ada
orang yang terpaksa mencuri, selain dari orang yang berpenyakit seperti
kleptomaniak.
Boisard (64-65) menyitir pendapat-pendapat yang mengatakan zakat itu
menyucikan manusia yang memberikannya, dengan kemenangan terhadap egoisme,
atau bahwa ia memperoleh kepuasan moral, karena ia telah ikut mendirikan sebuah
masyarakat Islam yang lebih adil. Zakat baginya bukanlah belas kasihan, akan tetapi
kewajiban orang kaya dan hak orang miskin. Zakat adalah pembagian sesama sekutu
dalam kekayaan umum, dan menjelmakan persaudaraan dan solidaritas. Dan lebih
daripada orang yang lebih banyak melihat unsur pajak dalam zakat, maka orang Islam
memandangnya sebagai kewajiban agama. Ia juga merupakan penegasan kembali
kenyataan bahwa semua harta benda yang dimiliki manusia pada hakikatnya milik
Tuhan, sedangkan apa yang ada pada manusia adalah hak guna saja. Karena itu, zakat
tak lebih dari mengembalikan sebagian harta itu kepada pemiliknya yang asli
(Tuhan), demi menghindarkan diri dari penderitaan yang akan ditimbulkannya nanti
di akhirat.

Salamah (1978, 98-99) berpendapat bahwa dalam permasalahan manusia yang


bersifat keuangan dan perekonomian, Islam menentukan batas-batas dan meletakkan
kaidah-kaidah yang sangat jelas, yaitu yang sesuai dengan prinsip-prinsip kebenaran,
keadilan dan kepercayaan. Islam menyatakan bahwa harta benda itu bukan tujuan
dalam hidup ini, akan tetapi hanya alat semata untuk mempertukarkan manfaat dan
saling memenuhi keperluan, yang digunakan untuk mencapai keadilan sosial yang
dicita-citakan Islam. Harta benda itu sendiri sebagai alat yang tunduk kepada
kehendak manusia adalah netral. Jadi kehendak manusia itu dapat menjadikan harta
benda itu sebagai nikmat, rejeki, dan kurnia yang berguna, demi untuk mencapai yang
baik. Namun kehendak manusia itu pulalah yang dapat mengubah harta benda itu
menjadi sumber azab dan sengsara bagi manusia itu sendiri.
Salamah (h. 100) merasa heran karena dewasa ini umat Islam pada umumnya
mentolerir praktek-praktek riba dalam bidang keuangan dan ekonomi, yang
berdasarkan eksploitasi dalam bentuknya yang paling buruk, sehingga gejala ini
memperlihatkan bahwa harta benda itu telah menguasai hak-hak asasi manusia. Ia
berpendapat bahwa kegiatan yang berdasarkan riba ini pulalah yang menyebabkan
mengapa sebagian besar harta benda menumpuk di tangan segelintir kecil manusia
yang sangat kaya.
Zakat sebagai rukun Islam ketiga, menurut pendapatnya, disamping
membersihkan jiwa dan harta benda, juga merupakan alat pemerataan yang ampuh
dari harta benda dalam masyarakat (h. 102). Ia juga berpendapat bahwa zakat
merupakan sebagian besar dari pendapatan negara yang menjadikan negara-negara
dulu kaya dan makmur, serta tak mengenal kemiskinan dan penderitaan. Selanjutnya
ia memandang bahwa relevansi zakat di masa sekarang menjadi semakin penting,
terlepas daripada pajak yang telah ada, karena tempat penyalurannya berbeda. Zakat
merupakan faktor utama dalam pemerataan harta benda di kalangan masyarakat, dan
juga

merupakan

sarana

utama

dalam

menyebarluaskan

perasaan

senasib-

sepenanggungan dan persaudaraan di kalangan umat manusia. Karena itu dapat


dikatakan bahwa zakat, kalau akan dinamakan pajak, maka ia adalah pajak dalam
bentuk yang amat khusus (h. 103).

Bagi Tawati (1986, h. 27), kedatangan Islam adalah untuk memperbaiki


kehidupan manusia yang dipenuhi ketidak-adilan. Dalam hubungan ini zakat adalah
suatu kerangka teoritis untuk mendirikan keadilan sosial dalam masyarakat Islam. Ia
bertujuan membersihkan jiwa manusia dari kekotoran, kebakhilan dan ketamakan,
serta untuk memenuhi kebutuhan mereka yang fakir miskin dan diselubungi
penderitaan. Zakat juga digunakan untuk mendirikan segala sesuatu yang penting
bagi kepentingan umat, seperti memerangi inflasi dan memperkecil jurang antara
berbagai lapisan sosial.
Menurut pendapat Tawati, definisi-definisi yang diberikan para ulama
terhadap zakat memberikan kesan, semuanya itu bermuara pada seruan mendirikan
masyarakat Islam yang kokoh, kerjasama antara anggota umat berdasarkan kebaikan
dan ketaqwaan, dan seruan untuk berusaha sedapat mungkin agar semua orang dapat
hidup dalam suatu tingkat kehidupan yang layak dan mulia, karena kepentingankepentingannya yang utama dalam hidup telah terpenuhi (h. 28). Perbedaan yang
mendasar antara zakat dan pajak, menurut pendapatnya, adalah bahwa pajak dibayar
orang karena terpaksa, tapi zakat dibayarkan sebagai lambang kerjasama,
persaudaraan yang sungguh-sungguh, yang dilaksanakan dengan cara yang berbeda
pula (h. 30). Dan yang lebih penting lagi adalah kenyataan bahwa zakat itu adalah
ibadah (h. 31).
Sementara itu, studi-studi kaum orientalis semenjak dulu telah berusaha
memberikan gambaran yang salah dan penafsiran yang tak benar tentang Islam pada
umumnya, termasuk mengenai zakat ini (Daniel 1980, 222-223). Bagi mereka, katakata zakat itu sendiri tak jelas asal usulnya dalam bahasa Arab dan baru dikenal Nabi
dalam pengertian yang lebih luas karena beliau mengetahuinya dari pengertian yang
diberikan orang Yahudi dan orang Aramaik. Bersama dengan sadaqah, Rasul mungkin
mengenal konsep ini dari orang Yahudi yang ditemuinya di Madinah. Konsep seperti
ini sangat diperlukannya terutama dalam rangka memberikan bantuan pada orang
muhajirin yang baru datang dari Makkah. Suatu praktek yang pada mulanya sangat
bernapaskan agama. Lama-lama kehilangan motif keagamaannya. Harta benda yang
diperoleh dari zakat itu tak hanya untuk menolong fakir miskin, tapi juga untuk

tujuan-tujuan militer dan politik. Untuk hal ini, yang dirasakan berat bagi kebanyakan
orang, maka ia menggunakan nama Allah, atau untuk jalan Allah (Schacht 1961).
Dalam pemikiran para sarjana Muslim di Indonesia, zakat adalah alat
pemerataan dan mencegah tertumpuknya modal sehingga tak akan lahir monopoli dan
monopsoni (Kuntowijoyo 1991, 167). Baginya zakat berpusat pada keimanan, tapi
ujungnya adalah menciptakan terwujudnya kesejahternan sosial (h. 229). Penelitian
membuktikan, zakat telah terbukti dapat mengurangi jumlah orang miskin di
beberapa tempat tertentu (h. 257). Karena itu zakat dapat dipahami dalam konteks
yang lebih real dan lebih faktual (h. 284).
Mas'udi (h. 139) melaporkan bahwa ada pendapat-pendapat di Indonesia yang
ingin lebih memberikan penekanan pada tarif yang tinggi (20%) dari zakat dengan
berpegang kepada rikaz, yang dirasakan Mas'udi sendiri merupakan suatu kebuntuan.
Memang merupakan masalah apakah kaum Muslim, atau para ulama mereka, berhak
mengubah suatu ketentuan agama yang telah baku (qath'i) demikian saja berdasarkan
perubahan situasi dan kondisi. Bagi golongan Syi'ah hal ini tak menjadi masalah,
karena seperti dilaporkan Nasr (1975), dalam kalangan Syi'ah praktek khums adalah
suatu praktek yang telah biasa.
Penulis juga tertarik oleh apa yang dilaporkan Thabbarah (h.317-318) tentang
perbedaan antara fakir dan miskin dalam membicarakan golongan-golongan orang
yang berhak menerima zakat. Menurut pendapat 'Akramah Maula Ibn 'Abbar, yang
dimaksud dengan fakir itu adalah golongan miskin kaum Muslim, sedangkan yang
dimaksud dengan miskin itu adalah golongan miskin kaum non-Muslim (ahl alkitab). Pendapat ini diperkuat pula oleh pendapat 'Umar bin Khattab yang
menafsirkan al-masakin dengan golongan lemah ahl al-kitab. Suatu kali ia melihat
seorang zhimmi yang buta tergeletak di pintu kota. 'Umar bertanya kepadanya,
"Kenapa Anda?" Ia menjawab, "Dahulu mereka memungut jizyah dariku. Ketika saya
telah buta, mereka menelantarkan saya. Tak ada orang yang membantu saya
sedikitpun". Umar menjawab, "Kalau begitu, kami telah berlaku tak adil
terhadapmu." Setelah itu ia memerintahkan agar diberi makan dan belanja untuk
memperbaiki tingkat hidupnya. 'Umar berpendapat ini adalah penafsiran perkataan

Tuhan, innama 'I-shadaqatu li 'I-fuqara' wa 'I masakin. Jadi baginya, masakin itu
adalah orang-orang ahl al-kitab yang tak mampu lagi bekerja, atau menderita
penyakit yang tak dapat sembuh lagi. Namun pendapat itu tentu saja bertentangan
dengan pendapat jumhur ahli fiqh yang berpendapat, zakat itu hanya diberikan
kepada orang Islam saja.
Daftar Kepustakaan
Affar, Muhammad 'Abd al-Mun'im. 1977. "An-Nizham al-lqtishadi al-Islami." AlWa'y al Islami, 154: 36-43.
Boisard, Masrcel A. 1980. Humanisme dalam Islam. Edisi Indonesia terjemahan Prof.
Dr. H.M. Rasjidi. Jakarta: Bulan Bintang.
Booth, Jr., Newell S. 1970. "The Historical and the Non Historical in Islam". The
Muslim World LX (2): 109-122.
Daniel, Norman. 1980. Islam and the West: The Making of an Image. Edinburgh:
University Press.
Garaudy, Roger. 1986. Mencari Agama pada Abad XX: Wasiat Filsafat Roger
Garaudy. Edisi Indonesia terjemahan Prof Dr. H.M. Rasjidi. Jakarta: Bulan
Bintang.
Garaudy, Roger. 1981. Promesses de l'Islam. Paris: Editions de Seuil.
Ibn Khaldun. 1958. The Muqaddimah: An Introduction to History. Diterjemahkan
Franz Rosenthal ke dalam bahasa Inggris dalam tiga jilid. New York:
Bollingen Foundation.
Kuntowijoyo. 1991. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan.
Mas'udi, Masdar F. 1991. Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
Mubarak, Muhammad. 1972. Nizham al-Islam: al-Iqtishad, Mabadi wa Qawa'id
'Ammah. Makkah: Dar al-Fikr.
Musholi, 'Abdullah bin Mahmud bin Maudud al-. 1951. Al-Ikhtiyar li Ta'lil alMukhtar. Lima Jilid. Kairo: Mustafa al-Halabi
Nasr, Seyyed Hossein. 1975. Ideals and Realities of Islam. Boston: Beacon Press,
Sabiq, as-Syaid. 1973. Fiqh as-sunnah. 2 jilid. "Zakat" di jilid I. Beirut: Dar al-Kitab
al-'Arabi.
Salamah, 'Abd al-Rahim bin. 1987. "al-Siyasat al-Maliyah fi'l Islam al-Manhal 48
(No. 407): 98-109.
Samarqandi, 'Ala al-din as-. 1958. Tuhfat al-Fuqaha'. Tiga Jilid, Damaskus:
Universitas Damaskus.
Schacht, J. 1961. "Zakat". Shorter Encyclopedia of Islam, ed. H.A.R. Gibb dan J.H.
Kramers. Leiden: EJ. Brill.
Shalih, Subhi as-. 1965. Al-Nuzhum al-Islamiyah: Nasyatuha wa Tathawwuruha.
Beirut: Dar al-'Ilmi li-'l-malayin.
Tabataba'i, Muhammad Husayn. 1975. Shi'ite Islam. London: Allen & Unwin.

Tawati, 'Abd al-Karim at-.1986. "Mafhum al-Zakah wa Ab'aduha wa Hikmatu


Tasyri'iha fi 'l-Islam". al-Manhal 447: 24-41.
Thabbarah, 'Afif 'Abd al-Fattah. 1959. Ruh al-Din al-Islami. Beirut: Dar al-'Ibad.

También podría gustarte