Está en la página 1de 17

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ekstraksi dan Fraksinasi


Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel kulit buah
manggis. Sebelum maserasi dilakukan, kulit buah manggis dibersihkan dari
kotoran kemudian dirajang kecil-kecil. Sampel dibersihkan agar tidak
mengandung banyak senyawa-senyawa atau kotoran pengganggu. Proses
perajangan sampel dilakukan untuk memperluas permukaan sentuh sampel,
karena luas permukaan mempengaruhi proses maserasi. Semakin kecil ukuran
partikel sampel maka luas permukaan semakin besar. Rajangan sampel kulit buah
manggis diangin-anginkan sampai kering tanpa sinar matahari. Hal ini dilakukan
karena sinar matahari dapat merusak senyawa-senyawa aktif yang terkandung di
dalam sampel. Proses pengeringan berguna untuk mengurangi kadar air dalam
sampel, karena itu dapat mempengaruhi proses penarikan zat aktif dalam sampel.
Rajangan sampel kulit buah manggis diperkecil ukuran partikelnya
sehingga menjadi serbuk. Sampel kulit buah manggis sebanyak 500 gram
dimaserasi menggunakan pelarut metanol dalam suhu kamar terlindung dari
cahaya. Pelarut metanol digunakan dalam maserasi karena bersifat universal yang
dapat mengikat semua komponen kimia yang terdapat dalam tumbuhan bahan
alam baik yang bersifat non polar, semi polar, dan polar. Metanol adalah cairan
penyari yang masuk ke dalam sel melewati dinding serbuk kulit buah manggis.
Selama proses perendaman sampel, akan terjadi proses pemecahan dinding dan
membran sel akibat perbedaan tekanan di dalam dan di luar sel. Sehingga
metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut organik
dan senyawa akan terekstraksi sempurna (Lenny, 2006). Sehingga senyawa zat
aktif dapat terekstrak keluar bersama cairan penyari.
Maserasi dilakukan selama 3 kali 24 jam, dimana setiap 24 jam ekstrak
metanol disaring dan dimaserasi kembali dengan pelarut metanol yang baru.
Ekstrak metanol kulit buah manggis yang diperoleh, diuapkan dengan
menggunakan penguap putar vakum (rotary vacum evaporator) pada suhu 30-

28

40oC sampai terbentuk ekstrak kental metanol. Tujuan dari evaporasi yaitu untuk
menguapkan pelarut yaitu metanol, sehingga yang tersisa hanya senyawa aktif
atau ekstrak kental metanol. Ekstrak kental metanol yang dihasilkan dari maserasi
yaitu 35,59 gram berwarna merah kehitaman.
Ekstrak kental metanol sebanyak 10 gram disuspensi menggunakan air dan
metanol dengan perbandingan 2:1, dimana volume air 100 mL dan volume
metanol 50 mL. Hasil suspensi ini dipartisi menggunakan corong pisah dengan
pelarut n-heksan yang bersifat non polar dengan volume 100 mL. Sehingga
terbentuk dua lapisan, lapisan atas merupakan fraksi n-heksan yang berwarna
kuning dan lapisan bawah merupakan fraksi air yang berwarna kecoklatan. Hal ini
terjadi karena massa jenis n-heksan 0,4 gram/mL yang lebih kecil dari massa jenis
air yaitu 1 gram/mL. Pemisahan tersebut memberikan hasil yang tidak maksimal
karena masih terdapat sedikit fraksi n-heksan yang tecampur pada fraksi air.
Untuk mengoptimalkan pemisahan, maka dilakukan ekstraksi kembali dengan
menggunakan partisi. Partisi dilakukan sebanyak 4 kali, setiap partisi
ditambahkan n-heksan sebanyak 100 mL. Hal ini dilakukan agar zat yang bersifat
non polar benar-benar terdistribusi ke pelarut non polar (n-heksan). Partisi ini
menghasilkan fraksi n-heksan dan fraksi air.
Fraksi n-heksan dievaporasi pada suhu 30-40oC, suhu rendah digunakan
untuk menjaga agar senyawa aktif tidak mengalami kerusakan. Fraksi n-heksan
menghasilkan ekstrak kental sebanyak 0,50 gram. Fraksi air yang tersisa dipartisi
kembali dengan pelarut etil asetat yang bersifat semi polar dengan perbandingan 1
:2, dimana volume air 150 mL dan etilasetat 300 mL. Sehingga terbentuk dua
lapisan, lapisan atas merupakan fraksi etil asetat dan lapisan bawah merupakan
fraksi air. Fraksi etil asetat berada pada lapisan atas karena memiliki massa jenis
0,66 gram/mL yang lebih kecil massanya dari fraksi air yaitu 1 gram/mL. Partisi
dilakukan sebanyak tiga kali, setiap partisi ditambahkan etil asetat sebanyak 300
mL. Hal ini dilakukan agar senyawa aktif yang bersifat semi polar terdistribusi
kepelarut semi polar. Sehingga menghasilkan fraksi etil asetat dan fraksi air. Hasil
partisi dari masing-masing fraksi dievaporasi pada suhu 30-40oC sehingga
diperoleh ekstrak kental fraksi etil asetat sebanyak 2,58 gram dan ekstrak kental

29

fraksi air sebanyak 2,46 gram. Hasil rendemen dapat dilihat pada Tabel 4.1
berikut.
Tabel 4.1 Hasil Rendemen Fraksi n-heksan, Etilasetat dan Air Ekstrak
Metanol Kulit Buah Manggis.
Berat
Fraksi
Berat Wadah
Fraksi
Rendemen
ekstrak
Kosong (g) + fraksi (g)
kental (g)
%
metanol (g)
n-heksan
12,67 g
13,17 g
0,50 g
5%
10 gram
Etil Asetat
10,00 g
12,58 g
2,58 g
25,8 %
Air
9,86 g
12,32 g
2,46 g
24,6 %

Hasil rendemen urutan tingkatannya berturut-turut yaitu fraksi etilasetat,


fraksi air dan fraksi n-heksan. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa yang
terkandung pada ekstrak kental metanol lebih besar senyawa semi polar yaitu
dengan rendemen 25,8 %. Rendemen fraksi air juga cukup banyak yaitu 24,6 %
karena pada kulit buah manggis mengandung senyawa-senyawa polar seperti
flavonoid. Untuk fraksi n-heksan menghasilkan rendemen yang sangat sedikit
yaitu 5 %, kemungkinan besar senyawa non polar yang terkandung dalam kulit
buah manggis sangat sedikit.
4.2 Uji Fitokimia
Uji fitokimia bertujuan untuk mengidentifikasi kandungan senyawa
metabolit sekunder yang terdapat dalam sampel. Ekstrak kental metanol dan hasil
fraksinasi n-heksan, etilasetat dan air diuji fitokimia meliputi Uji flavonoid,
alkaloid, saponin, steroid dan terpenoid.
Berdasarkan uji fitokimia yang telah dilakukan, senyawa flavonoid
terdeteksi pada semua ekstrak yaitu ekstrak metanol, n-heksan, etilasetat dan air.
Pada uji alkaloid tidak terbentuk endapan pada semua ekstrak. Senyawa saponin
terdeteksi pada semua ekstrak kecuali ekstrak n-heksan. Senyawa steroid positif
pada semua ekstrak sedangkan terpenoid hanya terdeteksi pada ekstrak metanol,
fraksi etilasetat dan air.
Senyawa flavonoid positif ditandai dengan perubahan warna, alkaloid
positif jika terbentuk endapan ketika ditambahkan pereaksi alkaloid yaitu pereaksi

30

Hager, Wagner dan Mayer. Positif saponin ditandai dengan terbentuknya


busa/buih, terpenoid ditandai dengan perubahan warna menjadi merah, ungu,
hingga kecokelatan, steroid ditandai dengan perubahan warna dari hijau hingga
kebiruan.
Tabel 4.2 Hasil Uji Fitokimia Berbagai Fraksi
Fraksi
Uji
Pereaksi
Perubahan dengan pereaksi
Fitokimia
Flavonoid
Mg-HCl
Jingga-Orange tua
H2SO4
Jingga-merah bata
NaOH
Jingga-merah bata
kehitaman
Alkaloid
Mayer
Tidak terbentuk endapan
Wagner
Tidak terbentuk endapan
Ekstrak
Hager
Tidak terbentuk endapan
Metanol
Saponin
Aquades panas
Terbentuk busa
Steroid
Terpenoid

Liebarman
Bauchar
Liebarman
Bauchar

Hasil
Uji
+
+
+
+

Warna hijau

Warna merah kecoklatan

Flavonoid

Mg-HCl
H2SO4
NaOH

Kuning muda-kuning keruh


Kuning muda-kuning tua
Kuning muda-orange tua

+
+
+

Alkaloid

Mayer
Wagner
Hager

Tidak terbentuk endapan


Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk endapan

Saponin

Aquades panas

Tidak ada busa/buih

Steroid

Liebarman
Bauchar
Liebarman
Bauchar

Warna hijau

Tidak terbentuk warna


merah kecoklatan

n-Heksan

Terpenoid

31

Tabel 4.3 Hasil Uji Fitokimia Berbagai Fraksi


Fraksi

Uji
Fitokimia
Flavonoid

Pereaksi

Perubahan dengan pereaksi

Mg-HCl
H2SO4
NaOH

Jingga-Orange tua
Jingga-merah bata
Jingga-coklat kehitaman

Hasil
Uji
+
+
+

Alkaloid

Mayer
Wagner
Hager

Tidak terbentuk endapan


Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk endapan

Saponin

Aquades panas

Terbentuk busa

Steroid

Liebarman
Bauchar
Liebarman
Bauchar

Warna hijau

Warna merah kecoklatan

Etilasetat

Terpenoid

Flavonoid

Mg-HCl
H2SO4
NaOH

Jingga-orange tua
Jingga-merah bata
Jingga-coklat kehijauan

+
+
+

Alkaloid

Mayer
Wagner
Hager

Tidak terbentuk endapan


Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk endapan

Saponin

Aquades panas

Terbentuk busa/buih

Steroid

Liebarman
Bauchar
Liebarman
Bauchar

Warna hijau

Warna merah kecoklatan

Air

Terpenoid

Berdasarkan hasil ini ekstrak metanol, fraksi n-Heksan, fraksi etilasetat


dan fraksi air mengandung senyawa-senyawa metabolit sekunder yaitu flavonoid,
alkaloid, saponin, steroid dan terpenoid.
1) Flavonoid
Ekstrak metanol, fraksi n-heksan, fraksi etilasetat dan fraksi air
memberikan hasil positif mengandung flavonoid, yang dibuktikan dengan
perubahan warna pada flavonoid dengan pereaksi Mg-HCl, NaOH, dan H2SO4.

32

Salah satu contoh senyawa flavonoid yang bereaksi dengan HCl akan terbentuk
garam flavilium yang ditandai dengan perubahan warna merah tua.

Gambar
4.1.
(Achmad,1986

Mekanisme
reaksi
pembentukan
garam
dalam Marliana dan Suyono, 2005)

flavilium

2) Uji Alkaloid
Berdasarkan hasil uji fitokimia pada tabel 4.2 dan 4.3 ekstrak metanol,
fraksi n-heksan, fraksi etilasetat dan fraksi air memberikan hasil negatif pada
senyawa alkaloid. Hal ini terjadi kemungkinan dalam sampel tidak mengandung
senyawa alkaloid yang dibuktikan dengan tidak terbentuknya endapan pada
sampel. Berikut gambar struktur reaksi antara alkaloid dengan pereaksi apabila
terbentuk endapan.
Pereaksi Mayer
HgCl2

+ 2KI

HgI2 + 2KCl

HgI2

+ 2KI

K2 [HgI2]
Kaliumtetraiodomerkurat (II)

Gambar 4.2. Perkiraan reaksi uji Mayer (Achmad,1986 dalam Marliana


dan
Suyono, 2005)

33

Pereaksi Wagner

Gambar 4.3. Perkiraan reaksi uji Wagner (Achmad,1986 dalam Marliana


dan
Suyono, 2005)
3) Saponin
Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat sebagai sabun
serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan
menghemolisis sel darah. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi
tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas tanaman dan
tahap pertumbuhan. Berikut struktur reaksi saponin dengan air. Untuk uji saponin
yang memberikan hasil positif yaitu ekstrak metanol, fraksi etilasetat dan fraksi
air sedangkan pada fraksi n-heksan memberikan hasil negatif. Terbentuknya
busa/buih dikarenakan senyawa saponin memiliki sifat fisik yang mudah larut
dalam air dan akan menimbulkan busa ketika dikocok (Suharto, 2010 dalam
Saman, 2013).

Gambar
dan

4.4.

Reaksi hidrolisis
Suyono, 2005)

saponin

dalam

air

(Marliana

4) Uji Steroid dan Terpenoid


Uji yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi adanya triterpenoid
dan steroid adalah reaksi Lieberman-Bouchard (anhidrid asetat-H2SO4 pekat)

34

(Harborne, 1987). Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml dietil eter kemudian


ditambahkan dengan 10 tetes asam asetat anhidrid dan 3 tetes H2SO4 pekat.
Kebanyakan triterpenoid memberikan warna merah-violet sedangkan steroid
memberikan warna hijau-biru. Hasil uji fitokimia menunjukan bahwa hampir
semua ekstrak menunjukan adanya steroid dan triterpenoid namun, pada ekstrak
metanol, etil asetat dan air memberikan hasil yang kuat adanya triterpenoid dan
steroid, sedangkan untuk ekstrak n-heksan hanya memberikan hasil yang lemah
adanya triterpenoid dan steroid.
4.3

Pemisahan dan Pemurnian


Ekstrak kental metanol dari hasil uji fitokimia, dianalisis dengan

menggunakan kromatografi lapis tipis yang bertujuan untuk melihat ada berapa
senyawa yang terkandung di dalam sampel melalui bercak noda. Hal ini terjadi
karena sampel masih mengandung banyak senyawa yang sangat sulit untuk
dianalisis menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Sehingga dilakukan
pemisahan dengan menggunakan Kromatografi Kolom agar terjadi pemisahan
yang sesuai dan dapat dianalisis menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT).
Pada pemisahan kromatografi kolom, pengisian fasa diam ke dalam kolom
dilakukan dengan cara basah. Fasa diam (silika gel) diubah menjadi bubur silika
(slurry) dengan yang digunakan dalam fasa gerak pelarut (n-heksan). Pelarut nheksan dimasukkan dalam kolom dengan batas tertentu dan slurry dialirkan
melalui dinding kolom secara perlahan menggunakan pipet tetes dengan kran
terbuka. Hal ini dilakukan agar silika dapat mengisi tempat dan padat secara
teratur, tidak mengalami pematahan dalam kolom. Pelarut n-heksan dialirkan
secara terus menerus minimal 3 jam dan maksimalnya semakin lama maka
silikanya semakin padat.
Ekstrak kental metanol sebanyak 3 gram dilarutkan dengan metanol dan
kemudian dicampurkan dengan fase diam silika gel GF60 sampai benar-benar
kering. Sampel dimasukkan secara perlahan ke dalam kolom yang berisi fase diam
(silika gel), selanjutnya fasa gerak (n-heksan) dialirkan secara perlahan ke dalam
kolom dengan keadaan kran terbuka sampai terbentuk pita. Jika fasa gerak yang

35

menetes sudah tidak berwarna, maka divariasikan perbandingan eluen yang


sesuai.
Variasi eluen yang digunakan berturut-turut yaitu fasa gerak n-heksan:
etilasetat (9:1), (8:2), (7:3), (6:4), (5:5), (4:6), (3:7), (2:8), (1:9), perbandingan ini
digunakan juga pada variasi eluen selanjutnya etilasetat:metanol sampai terjadi
pemisahan dan eluet ditampung pada botol vial. Hasil pemisahan kromatografi
kolom diperoleh sebanyak 67 fraksi. Keseluruhan hasil fraksi dianalisis dengan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT), dan bercak nodanya dilihat dengan
menggunakan lampu UV. Pola noda dari 67 fraksi ini dapat dilihat pada Gambar
4.5 di bawah ini :

Gambar 4.5. Profil KLT hasil pemisahan kromatografi kolom


Semua fraksi hasil pemisahan dianalisis dengan kromatografi lapis tipis
untuk melihat pola noda yang sama dan harga Rf-nya yang sama digabung. Dari
67 fraksi diperoleh 5 fraksi. Hasil KLT penggabungan fraksi kromatografi kolom
dari ekstrak kental metanol kulit buah manggis dengan perbandingan eluen
etilasetat:metanol (8:2) diberikan pada Tabel 4.4 di bawah ini.
Tabel 4.4. Hasil KLT penggabungan fraksi dari kromatografi kolom
Fraksi
A1(1-17)
A2(18-34)
A3(35-40)
A4(44-46)
A5(47-53)

Berat
(gr)
0,30
0,28
0,33
0,28
0,30

Warna

Jumlah noda

Rf

Kuning
Kuning kecoklatan
Kuning
Kuning
Coklat kehitaman

1(bulat)
1 (panjang)
2 (bulat)
1 (panjang)
1(panjang)

0,60
0,63
0,53;0,60
0,60
0,60

36

Fraksi A1, A2, A3, A4 dan A5 dilakukan Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
dengan fasa gerak etilasetat:metanol (8:2) seperti pada Gambar 4.6 berikut ini:

Gambar 4.6. Profil KLT A1, A2,A3, A4 dan A5 fasa gerak etilasetat:metanol (8:2)
Hasil yang didapatkan dari fraksi A1 hasil kromatografi kolom
menghasilkan bercak noda tunggal. Isolat berupa senyawa yang berbentuk
padatan kristal jarum berwarna kuning yang diduga sebagai senyawa murni.

Gambar 4.7. Profil KLT isolat murni A1 fasa gerak etilasetat:metanol (8:2)
4.4 Uji Kemurnian
Isolat yang diduga murni yaitu isolat pada fraksi A1. Sebelum diuji
kemurniannya dengan menggunakan spektrofotometer IR, fraksi ini diuji
kemurniannya secara kromatografi lapis tipis dua dimensi dengan menggunakan
eluen bergradien yang cocok dengan beberapa perbandingan, yaitu nheksan:etilasetat (7:3) dan etilasetat:metanol (8:2) dengan nilai Rf yang diperoleh
dari masing-masing perbandingan adalah 0,66 dan 0,78. Hasil Kromatografi Lapis
Tipis (KLT) dua dimensi dapat dilihat pada gambar 4.8 di bawah ini.

37

(I)

(II)

Gambar 4.8. Profil Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dua dimensi, fasa
diam silika gel GF254 ukuran plat 5x5 cm, fasa gerak nheksan:etilasetat (7:3) dan etilasetat:metanol (8:2)
4.5 Uji Fitokimia Isolat Murni
Isolat ini diuji flavonoid untuk mengetahui apakah senyawa yang
terkandung di dalamnya hanya flavonoid atau masih terdapat senyawa lain.
Tabel 4.5. Hasil Uji Fitokimia Isolat Murni
No
1

Uji Fitokimia
Flavonoid

Pereaksi Fitokimia
Mg-HCl
NaOH
H2SO4

Perubahan dengan Pereaksi


Kuning bening-kuning keruh
Kuning bening-kuning orange
Kuning bening-orange

Hasil Uji
+
+
+

Alkaloid

Uji Mayer
Uji Wagner
Uji Hager

Tidak terbentuk endapan


Tidak terbentuk endapan
Tidak terbentuk endapan

Steroid

Liebarman Bauchar

4
5

Saponin
Terpenoid

Aquadest panas
Liebarman Bauchar

Tidak terbentuk warna hijau


kebiruan
Tidak terbentuk buih/busa
Tidak terbentuk warna merah
bata

4.6

Karakterisasi Isolat Murni


Karakterisasi isolat murni dilihat dari gugus fungsi melalui nilai panjang

gelombang dan absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer IR.


4.6.1 Spektrofotometri Inframerah (IR)
Spektrum inframerah senyawa isolat ditunjukan dalam gambar dan data
interpretasi spektrum inframerah (gelombang, bentuk pita, intensitas, dan
penempatan gugus terkait) disajikan dalam tabel.

38

Gambar 4.9. Spektrum inframerah dari isolat murni


Tabel 4.6. Interpretasi Spektrum Inframerah (Bilangan Gelombang,
Bentuk Pita, Intensitas dan Penempatan Gugus Fungsi) dari isolat.
Bilangan Gelombang(cm-1)
Akbar
2010

Arisandy
2010

Bentuk
Pita

Intensitas

Kemungkinan
Gugus Fungsi

Lemah

Uluran O-H

1400-1650

1500-1475

Tajam
Tajam
Tajam

Lemah
Lemah
Lemah

1000-1300
990-1100

1330-1260
1000-1260

Tajam
Tajam

Lemah
Kuat

Uluran C-H
alifatik
Uluran C=C
aromatik
Tekuk OH
C-O alkohol

630-1000

630-1000

12601000
-

35003000
30002700
16501450
12301000
900-630

Melebar

2700-3000

33503200
-

Tajam

Lemah

C-H aromatik

Isolat

Sukadana
(2010)

3342.97

3000-3500

Pustaka
Creswell,et
all,
Silverstein
3200-3400

2946.89
2834.86
1417.97
1449.48
1113.97
1023.81

2800-2950

633.42

Pada spektroskopi inframerah bahwa serapan dikatakan kuat apabila


memiliki puncak yang tinggi transmitan rendah (0-35%), serapan dikatakan
sedang apabila puncaknya tinggi dan memiliki transmitan sedang (75-35%),
serapan dikatakan lemah apabila puncaknya pendek dan memiliki transmitan
tinggi (90-75%) (Gandjar,2012).

39

Berdasarkan nilai serapan spektrum inframerah, memperlihatkan bahwa


senyawa yang diperoleh menunjukkan serapan melebar dan lemah pada daerah
bilangan gelombang 3342.97cm-1 yang diduga adalah serapan uluran dari gugus
O-H. Serapan O-H dikatakan lemah karena berada pada transmitan 92% hal ini
didukung serapan lemah apabila berada pada transmitan 90-75% (Justik, 2010
dalam Saman, 2013). Hal ini diperkuat oleh adanya serapan tajam dan lemah
tekukan O-H aromatik pada panjang gelombang 1113.97cm-1. Karena pada
serapan ini memiliki transmitan di atas 97%. Serapan uluran C-H alifatik yang
tajam dan lemah muncul pada daerah bilangan gelombang 2946.89cm-1 dan
2834.86cm-1. Hal ini diperkuat oleh tekuk C-H aromatik pada serapan 633.42cm-1.
Serapan tajam dan lemah pada cincin aromatik C=C muncul pada daerah bilangan
gelombang 1449.48cm-1 dan 1417.97cm-1. Serapan tajam dan kuat uluran C-O
muncul pada daerah bilangan gelombang 1023.81cm-1. Gugus-gugus fungsi yang
ditentukan dari hasil panjang gelombang IR hasil penelitian isolat murni
merupakan gugus-gugus fungsi yang terdapat pada senyawa flavonoid. Dengan
daerah spektra yang terbaca berkisar antara 3000-500 cm-1 dan termasuk dalam IR
tengah. Sehingga isolat murni yang didapatkan pada hasil penelitian dapat diduga
merupakan senyawa flavonoid.
4.7 Uji Aktivitas Antioksidan
Sampel yang diuji aktivitas antioksidan yaitu ekstrak kental metanol dan
fraksi hasil partisi yang dilakukan pada tindakan awal. Fraksi tersebut yaitu fraksi
n-heksan, fraksi etilasetat dan fraksi air. Uji aktivitas antioksidan pada keempat
sampel ini untuk melihat senyawa yang bersifat sebagai antioksidan berdasarkan
kepolarannya.
4.7.1 Hasil Uji Aktivitas Antioksidan dengan menggunakan metode DPPH
Pengujian aktivitas antioksidan dari berbagai fraksi menggunakan metode
DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil). Metode ini dipilih karena metode ini sangat
sederhana untuk mengukur aktivitas antioksidan dari senyawa bahan alam. DPPH
merupakan senyawa radikal bebas yang berwarna ungu gelap dengan serapan
maksimal pada panjang gelombang 517 nm. Reaksi antara antioksidan terhadap
senyawa radikal bebas (DPPH) ditandai dengan berubahnya warna DPPH dari
40

ungu gelap menjadi warna kuning. Peredaman tersebut dihasilkan oleh


bereaksinya molekul difenil pikrilhidrazil dengan atom hidrogen yang dilepaskan
oleh senyawa antiosidan sehingga terbentu senyawa difenil pikril hidrazil yang
stabil.

NO2
AH + O2N

NO2

N
A

NH

+ O2N

NO2

NO2

Antioksidan + (1,1-difenil-2-pikrihidrazil) 1,1-difenil-2-pikrihidrazin + antioksidan

Gambar 4.10. Reaksi DPPH dengan antioksidan


Tahapan pertama yang dilakukan dalam pengujian aktivitas antioksidan
adalah pembuatan kurva standar dengan menggunakan antioksidan standar yaitu
vitamin C. Konsentrasi vitamin C secara berturut-turut adalah 25, 50, 100, 200,
400 ppm. Vitamin C sebanyak 2,5 ml direaksikan dengan 2,5 ml DPPH dan
diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit. Waktu maksimal untuk reaksi antara
senyawa antioksidan standar dengan senyawa radikal bebas adalah selama 30
menit (Miryanti, A. 2011). Hal ini ditandai dengan berubahnya warna ungu
menjadi agak kekuningan seperti terlihat pada Gambar 4.11 .

Gambar 4.11. Kurva standar setelah 30 menit.


Selanjutnya, diukur absorbansinya pada panjang gelombang 517 nm
dengan menggunakan alat spektrofotometer UV-Vis. Dibuat kurva standar
hubungan antara konsentrasi (x) dengan absorbansi (y) untuk mendapatkan nilai
= ax+b. Kurva standar terlihat pada Gambar 4.12.

41

Absorbansi

0,8

y = 0,0014x - 0,0166
R = 0,9979

0,6
0,4
0,2
0
0

100

200

300

400

500

Konsentrasi (ppm)

Gambar 4.12. Kurva baku vitamin C (asam askorbat)


Selanjutnya, analisis aktivitas antioksidan pada sampel dilakukan dengan
menimbang 50-100 mg sampel dan diencerkan dengan menggunakan pelarut
metanol. Sampel yang telah divariasikan dicampur dengan larutan DPPH. Sampel
diinkubasi pada suhu 37oC selama 30 menit dan diukur absorbansinya pada
panjang gelombang 517 nm. Hasil analisis sampel dikonversi menjadi nilai AEAC
(Ascorbic Acid Equivalent Antioxidant Capacity). Nilai AEAC digunakan untuk
membandingkan sampel dengan vitamin C. Nilai AEAC merupakan nilai
kapasitas atau antioksidan bahan dalam mereduksi radikal bebas DPPH yang
setara dengan kemampuan peredaman radikal bebas oleh asam askorbat atau
vitamin C (Kusuma dkk., 2012).
384,52
2,12d

Aktivitas antioksidan
(mg AEAC/g)

40
30

196,12
3,76c

20
10

84,44 0,25b
5,11
0,184a

0
Air

n-heksan

etil asetat

metanol

Ket. : nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom menunjukan
tidak berbeda nyata (Uji Duncan =5%). *(Rata-rata SD).
Gambar 4.13. Nilai AEAC pada masing-masing ekstrak

42

Dari data di atas dapat dilihat bahwa ekstrak etilasetat memiliki nilai
konversi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak yang lain. Ekstrak etil
asetat memiliki nilai 384,52 2,12d mg AEAC/g. artinya adalah 1 gram ekstrak
kering etil asetat setara dengan 384,52 mg vitamin C. sedangkan ekstrak metanol,
ekstrak air dan ekstrak n-heksan memiliki nilai konversi yang lebih kecil
dibandingkan dengan ekstrak etilasetat. Hasil analisis statistik dengan
menggunakan anova satu jalur dilanjutkan dengan Uji Duncan pada taraf
kepercayaan =5% didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata aktivitas
antioksidan dari masing-masing ekstrak. Aktivitas antioksidan terbesar diberikan
oleh ekstrak etilasetat.
Diduga bahwa tingginya aktivitas antioksidan pada ekstrak etilasetat
dikarenakan senyawa fenolik yang terkandung di dalamnya. Hal ini dapat
dibuktikan dengan uji fitokimia bahwa pada ekstrak etil asetat positif mengandung
senyawa flavonoid. Beberapa penelitian melaporkan bahwa ekstrak etilasetat
memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar di bandingkan dengan ekstrak
yang lainnya. Salah satunya adalah ekstrak etilasetat pada rimpang jeringau
memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar dibandingkan dengan ekstrak
lainnnya.
4.7.2 Hasil Uji Aktivitas Antioksidan IC50
Pengujian

aktivitas

antioksidan

dilanjutkan

dengan

menggunakan

parameter IC50. Nilai IC50 merupakan bilangan yang menunjukan konsentrasi


ekstrak yang mampu menghambat aktivitas radikal sebesar 50% (Molyneux,
2003). Nilai IC50 dari berbagai fraksi dapat dilihat pada Gambar 4.14.

43

250

Nilai IC50

200
150
212,1

100
117,4
50

108,6

118,32

0
Air

N-heksan
Etil asetat
Fraksi

Metanol

Gambar 4.14. Nilai IC50 pada masing-masing fraksi


Dari data diatas dapat dilihat bahwa aktivitas antioksidan terbesar
diberikan oleh ekstrak etilasetat yaitu sebesar 108,6 ppm. Nilai IC50 yang lebih
kecil memiliki aktivitas antioksidan yang lebih besar. Menurut Blois (2005) dalam
Ukieyanna (2012) suatu senyawa memiliki antioksidan sangat kuat apabila nilai
IC50 kurang dari 50 ppm, kuat apabila nilai IC50 antara 50-100 ppm, sedang
apabila nilai IC50 berkisar 100-150 ppm dan lemah apabila nilai IC50 berkisar 150250 ppm. Nilai IC50 yang dimiliki oleh ekstrak etilasetat, ekstrak air, ekstrak
metanol tergolong dalam aktivitas antioksidan sedang dan pada ekstrak n-heksan
tergolong lemah.

44

También podría gustarte