Está en la página 1de 45

1

CATEGORY ARCHIVES: PRILAKU KERJA AMAN


4 Tahap Tahap Kebakaran
Posted on Desember 28, 2014 Posted in Prilaku Kerja aman Tagged 4
Tahap - Tahap Kebakaran Meninggalkan komentar
.entry-meta
.entry-header
Kejadian kebakaran pada umumnya menimbulkan banyak kerugian baik itu
korban jiwa maupun kerugian harta benda. Hal tersebut dikarenakan pada
umumnya kebakaran sulit untuk dikendalikan (dipadamkan). Untuk
menghindari kerugian yang dimaksud, maka perlu kita kenali sifat-sifat
terjadinya (tahap-tahap) kebakaran.
Tahap-tahap kebakaran tersebut antara lain :
Tahap Kebakaran Muncul
Reaksi 3 (tiga) unsur api (panas, oksigen dan bahan mudah terbakar).
Dapat padam dengan sendirinya apabila api tidak dapat mencapai tahap
kebakaran selanjutnya.
Menentukan tindakan pemadaman atau untuk menyelamatkan diri.
Tahap Kebakaran Tumbuh
Api membakar bahan mudah terbakar sehingga panas meningkat.
Dapat terjadi flashover (ikut menyalanya bahan mudah terbakar lain di
sekitar api karena panas tinggi).
Berpotensi menimbulkan korban terjebak, terluka ataupun kematian bagi
petugas pemadam.
Tahap Kebakaran Puncak
Semua bahan mudah terbakar menyala secara keseluruhan.
Nyala api paling panas dan yang paling berbahaya bagi siapa saja yang
terperangkap di dalamnya.
Tahap Kebakaran Reda (Padam)
Tahap kebakaran yang memakan waktu paling lama di antara tahap-tahap
kebakaran lainnya.
Penurunan kadar O2 (oksigen) atau bahan mudah terbakar secara
signifikan yang menyebabkan padamnya api (kebakaran).
Terdapatnya bahan mudah terbakar yang belum menyala berpotensi
menimbulkan nyala api baru secara.
Berpotensi menimbulkan backdraft (ledakan yang terjadi akibat masuknya
pasokan oksigen secara tiba-tiba dari kebakaran ruang tertutup yang
dibuka mendadak saat kebakaran berlangsung).
Gambar di bawah mengilustrasikan tahap-tahap kebakaran dari muncul api
sampai kebakaran reda (padam) :

Tahap Tahap Kebakaran


.

Pengertian, Tujuan dan Manfaat Penerapan 5R (5S) di Tempat Kerja


Posted on Desember 23, 2014 Posted in Prilaku Kerja aman Tagged 5R
Meninggalkan komentar
.entry-meta
.entry-header
Pengertian (definisi) 5R (5S) ialah cara (metode) untuk mengatur /
mengelola tempat kerja menjadi tempat kerja yang lebih baik secara
berkelanjutan. Penerapan 5R bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan
kualitas di tempat kerja.
Adapun manfaat penerapan 5R (5S) di tempat kerja antara lain :
Meningkatkan produktivitas karena pengaturan tempat kerja yang lebih

2
3
4

efisien.
Meningkatkan kenyamanan karena tempat kerja selalu bersih dan menjadi
luas/lapang.
Mengurangi bahaya di tempat kerja karena kualitas tempat kerja yang
bagus/baik.
Menambah penghematan karena menghilangkan berbagai pemborosan di
tempat kerja.
Budaya 5R (5S) sudah banyak diterapkan pada perusahaan-perusahaan,
bahkan dengan menerapkan budaya 5R (5S) di tempat tersebut itulah
perusahaan-perusahaan banyak yang berkembang menjadi perusahaan
kelas atas. Budaya 5R (5S) merupakan investasi awal bagi sebuah
perusahaan untuk menuju kesuksesan berkelanjutan.

MANAJEMEN RESIKO
Posted on Desember 20, 2014 Posted in Prilaku Kerja aman Tagged
MANAJEMEN RESIKO Meninggalkan komentar
.entry-meta
.entry-header
Mengapa perlu Manajemen Resiko ?
1. Tiap tempat kerja memiliki sumber bahaya (bahan, proses, alat dan
lingkungan) yang sulit dihilangkan.
2. Sebagai alat bantu dalam menentukan tindakan pengendalian resiko
sesuai dengan sumber bahaya yang ada.
3. Menilai apakah tindakan pengendalian resiko sudah sesuai.

Bahaya adalah sesuatu yang berpotensi menimbulkan cidera / kerugian


(manusia, properti, proses dan lingkungan).
Beberapa Definisi terkait manajemen resiko, diantaranya :
Resiko adalah sesuatu yang berpotensi menimbulkan cidera/kerugian atau
merupakan kombinasi da kemungkinan / peluang dan akibat.
Analisa Resiko adalah kegiatan analisa suatu resiko dengan cara
menentukan besarnya kemungkinan / probability dan tingkat keparahan
dari akibat / consequences suatu resiko
Penilaian Resiko / Risk Assesment adalah penilaian suatu resiko dengan
membandingkan terhadap tingkat / kreiteria resiko yang telah ditetapkan.
Manajemen Resiko adalah penerapan secara sistematis dari kebijakan
manajemen, prosedur dan aktifitas dalam kegiatan identifikasi bahaya,
analisa, penilaian, penanganan dan pemantauan serta review resiko.
Manajemen resiko sebaiknya dilakukan dalam suatu tim atau beberapa
unsur dari karyawan yang terlihbat pada pekerjaan tersbut dengan tujuan :
Lebih banyak informasi yang terkumpul.
Diperoleh kesepakatan dari beberapa sudut pandang yang berbeda.
Solusi yang diputuskan diterima oleh semua pihak yang terlibat.
Kapan Manajemen Resiko dilakukan?
Pada tahap awal / perancangan / design.
Pengembangan prosedur / instruksi kerja baru.
Modifikasi proses.
Ditemukan bahaya baru.
Tahapan Manajemen Resiko, diantaranya :
1. Komitment
2. Persiapan
3. Identifikasi Bahaya
4. Akibat Peluang
5. Penilaian Resiko
6. Penanganan Resiko
7. Monitor & Review
Komitmen
Harus mendapat dukungan dari lini manajemen karena :
Manajemen paling banyak terlibat dalam pengambilan keputusan
Terkait pada kebijakan organisasi secara keseluruhan
Terkait pada alokasi SDM dan finansial
Persiapan
Agar kegiatan Manajemen Resiko berjalan dengan lancar diperlukan
Ruang lingkup kegiatan
Personil
Standar / acuan penetapan resiko
Prosedur
Dokumentasi

Identifikasi Bahaya
Dilakukan identifikasi bahaya yang terdapat dalam suatu aktifitas /
kegiatan / proses kerja, dll. Teknik sederhana untuk melakukan identifikasi
bahaya adalah dengan membuat pertanyaan sebagai berikut :
a. Apakah sumber bahaya penyebab cidera ?
b. Siapa yang terpapar ?
c. Bagaimana cidera bisa timbul ?
Sumber bahaya :
Keadaan bahan / peralatan
Sifat Pekerjaan
Lingkungan Kerja
Cara Kerja
Proses Produksi
Siapa terpapar ?
Karyawan
Kontraktor
Tamu
Pihak Ketiga
Bagaimana cidera bisa timbul ?
Jatuh dari ketinggian
Tertimpa
Terbentur / tertabrak
Terjebak / Terjepit
Kontak dengan suhu ekstrim
Tersengat listrik
Kontak dengan Bahan kimia berbahaya
Teknik Identifikasi Bahaya :
Inspeksi
Work Through Survey
Audit
Kuisoner
Data Statistik
HAZOP / Fault Tree Analysis
Analisa dan Penilaian Resiko
Setelah Bahaya diidentifikasi, tahap selanjutnya adalah melakukan analisa
dan penilaian resiko.
Dalam melakukan analisa dan penilaian resiko parameter yang digunakan
adalah AKIBAT (Consequences) dan PELUANG (frequency)
Akibat adalah tingkat keparahan yang mungkin terjadi dari suatu insiden
yang melibatkan manusia, properti, lingkungan ataupun reputasi
perusahaan.
Contoh:
Yang berakibat pada manusia seperti Fatal, cacat, perawatan medis, P3K.

Yang berakibat pada properti seperti kerusakan fasilitas pabrik


Peluang adalah Frekuensi terjadinya insiden yang bisanya dinyatakan
dalam satuan waktu
Contoh :
Pernah terjadi pada perusahaan sejenis
pernah terjadi di perusahaan ini
Pernah terjadi diperusahaan ini beberapa kali dalam satu tahun
Beberapa acuan yang digunakan untuk melakukan penilaian resiko adalah
sebagai berikut :
Informasi tentang aktifitas pekerjaan
Yindakan pengendalian yang telah dilakukan
Peralatan yang digunakan
Data statistik kecelakaan
dll
Analisa resiko dibagi menjadi
Kualitatif
Semikualitatif
Kuantitatif
Kualitatif
Menganalisa dan menilai resiko dengan membandingkan parameter akibat
dan peluang dengan membandingkan matriks yang telah ditetapkan
Semikuantitatif
Metode yang dipakai hampir sama dengan metode kuantitatif
perbedaannya terletak pada nilai / skor tertentu yang telah ditetapkan
sesuai resikonya.
Kuantitatif
Dilakukan dengan menentukan nilai dari masing-masing parameter yang
didapat dari hasil analisa yang representatif seperti analisa statistik,
simulasi, fault tree analisis, dll.
Penanganan Resiko
Setelah dilakukan selanjutnya ditentukan apakah resiko tersebut dapat
diterima (acceptable risk) atau tidak. Apabila resiko tidak dapat diterima
(non acceptable risk), perusahaan harus menetapkan tindak lanjut
perbaikan sampai resiko terendah dengan prinsip hirarki pengendalian sbb:
Eliminasi
Subtitusi
Rekayasa
Administrasi
ALat Pelindung Diri
Monitor dan Review
Manajemen resiko yang ditelah ditetapkan harus selalu di monitor, apakah
sudah sesuai dengan penerapan di aktifitas pekerjaan, jika tidak harus
dilakukan kaji ulang atau review dan dipastikan selalu update.

1
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

.entry-content
#post-91
Kerugian Kecelakaan Kerja (Teori Gunung Es Kecelakaan Kerja)
Posted on Desember 10, 2014 Posted in Prilaku Kerja aman Tagged
Kerugian Kecelakaan Kerja (Teori Gunung Es Kecelakaan Kerja)
Meninggalkan komentar
.entry-meta
.entry-header
Kerugian kecelakaan kerja diilustrasikan sebagaimana gunung es di
permukaan laut dimana es yang terlihat di permukaan laut lebih kecil dari
pada ukuran es sesungguhnya secara keseluruhan. Begitu pula kerugian
pada kecelakaan kerja kerugian yang tampak/terlihat lebih kecil daripada
kerugian keseluruhan.
Dalam hal ini kerugian yang tampak ialah terkait dengan biaya langsung
untuk penanganan/perawatan/pengobatan korban kecelakaan kerja tanpa
memperhatikan kerugian-kerugian lainnya yang bisa jadi berlipat-lipat
jumlahnya daripada biaya langsung untuk korban kecelakaan kerja.
Kerugian kecelakaan kerja yang sesungguhnya ialah jumlah kerugian untuk
korban kecelakaan kerja ditambahkan dengan kerugian-kerugian lainnya
(material/non-material) yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja tersebut.
Kerugian-kerugian (biaya-biaya) tersebut antara lain :
Biaya Langsung Kerugian Kecelakaan Kerja :
Biaya Pengobatan & Perawatan Korban Kecelakaan Kerja.
Biaya Kompensasi (yang tidak diasuransikan).
Biaya Tidak Langsung :
Kerusakan Bangunan
Kerusakan Alat dan Mesin
Kerusakan Produk dan Bahan/Material
Gangguan dan Terhentinya Produksi
Biaya Administratif
Pengeluaran Sarana/Prasarana Darurat
Sewa Mesin Sementara
Waktu untuk Investigasi
Pembayaran Gaji untuk Waktu Hilang
Biaya Perekrutan dan Pelatihan
Biaya Lembur (Investigasi)
Biaya Ekstra Pengawas(an)
Waktu untuk Administrasi
Penurunan Kemampuan Tenaga Kerja yang Kembali karena Cedera
Kerugian Bisnis dan Nama Baik
Perbandingan jumlah biaya di atas diilustrasikan pada gambar di bawah
berikut :

Gunung Es Kecelakaan Kerja

Langkah-Langkah Penerapan 5R (5S) di Tempat Kerja


Posted on November 25, 2014 Posted in Prilaku Kerja aman Tagged
Langkah-Langkah Penerapan 5R (5S) di Tempat Kerja Meninggalkan
komentar
.entry-meta
.entry-header
Terdapat 5 (lima) langkah dalam penerapan 5R (5S) di tempat kerja yaitu :
Ringkas, Rapi Resik, Rawat dan Rajin. Masing-masing penjelasan
penerapan 5R (5S) tersebut antara lain :
Ringkas
Memilah barang yang diperlukan & yang tidak diperlukan.
Memilah barang yang sudah rusak dan barang yang masih dapat
digunakan.
Memilah barang yang harus dibuang atau tidak.
Memilah barang yang sering digunakan atau jarang penggunaannya.
Rapi
Menata/mengurutkan peralatan/barang berdasarkan alur proses kerja.
Menata/mengurutkan peralatan/barang berdasarkan keseringan
penggunaannya.
Pengaturan (pengendalian) visual supaya peralatan/barang mudah
ditemukan, teratur dan selalu pada tempatnya.
Resik
Membersihkan tempat kerja dari semua kotoran, debu dan sampah.

Menyediakan sarana dan prasarana kebersihan di tempat kerja.


Meminimalisir sumber-sumber kotoran dan sampah.
Memperbarui/memperbaiki tempat kerja yang sudah usang/rusak.
Rawat
Mempertahankan 3 kondisi di atas dari waktu ke waktu.
Rajin
Mendisiplinkan diri untuk melakukan 4 hal di atas.
.entry-content
#post-107
Tips Bekerja di Ketinggian
Posted on November 21, 2014 Posted in Prilaku Kerja aman Tagged Tips
Bekerja di Ketinggian Meninggalkan komentar
.entry-meta
.entry-header
Bekerja dengan menggunakan Tangga
Pilih tangga, dengan ketinggian yang sesuai
Apabila bekerja dengan listrik, spesifikasi tangga harus tahan terhadap
tegangan listrik (electrical insulation)
Jangan berdiri di atas ujung tangga, maksimal 2 step dari anak tangga
yang paling atas utntuk pegangan tangan
Letakkan tangga di lantai yang datar
Apabila menggunakan anak tangga, berdirikan tangga dengan sudut 75o
Pastikan ada 1 orang untuk memegang tangga saat dinaiki
Jangan meraih atau bekerja di samping kiri atau kanan
Penggunaan tangga hanya untuk ketinggian < 2 meter.

Bekerja dengan menggunakan Gondola


Untuk pekerjaan > 2 meter, gunakan Alat Pelindung diri Full Body
Harness
Gondola harus dilengkapi guardrails dan toe boards
Pemasangan dan pembongkaran harus dilakukan oleh pekerja yang
mempunyai
kompetensi atas pekerjaan tersebut, dan dilakukan inspeksi sebelum
pekerjaan dilaksanakan
Kapasitas beban yang diangkat harus mengikuti petunjuk alat.
Tali pengaman pastikan terpisah dari struktur gondola

Bekerja dengan menggunakan Elevated working Platform


Untuk pekerjaan > 2 meter, gunakan Alat Pelindung diri Full Body
Harness
Elevated working platform harus dilengkapi guardrails dan toe boards
Disain dan spesifikasi harus sesuai buku manual dari pabrik
Pastikan outriger telah terpasang
Kapasitas beban yang diangkat harus mengikuti petunjuk alat.

Bekerja dengan menggunakan Perancah/scaffolding


Untuk pekerjaan > 2 meter, gunakan Alat Pelindung diri Full Body
Harness
Pemasangan dan pembongkaran harus dilakukan oleh personil yang
berkompeten
Harus dilakukan inspeksi sebelum digunakan
Scaffolding harus dilengkapi guardrails dan toe boards

Investigasi (Penyebab) Kecelakaan Kerja | Efek Domino Kecelakaan Kerja


(H.W. Heinrich)
Posted on September 28, 2014 Posted in Prilaku Kerja aman Tagged
Investigasi (Penyebab) Kecelakaan Kerja | Efek Domino Kecelakaan Kerja
(H.W. Heinrich) Meninggalkan komentar
.entry-meta
.entry-header
Menurut teori domino effect kecelakaan kerja H.W Heinrich, kecelakaan
terjadi melalui hubungan mata-rantai sebab-akibat dari beberapa faktor
penyebab kecelakaan kerja yang saling berhubungan sehingga
menimbulkan kecelakaan kerja (cedera ataupun penyakit akibat kerja /
PAK) serta beberapa kerugian lainnya.
Terdapat beberapa faktor penyebab kecelakaan kerja, antara lain :
penyebab langsung kecelakaan kerja, penyebab tidak langsung kecelakaan
kerja dan penyebab dasar kecelakaan kerja.
Termasuk dalam faktor penyebab langsung kecelakaan kerja ialah kondisi
tidak aman/berbahaya (unsafe condition) dan tindakan tidak
aman/berbahaya (unsafe action). Kondisi tidak aman, beberapa contohnya
antara lain : tidak dipasang (terpasangnya) pengaman (safeguard) pada
bagian mesin yang berputar, tajam ataupun panas, terdapat instalasi kabel
listrik yang kurang standar (isolasi terkelupas, tidak rapi), alat
kerja/mesin/kendaraan yang kurang layak pakai, tidak terdapat label pada
kemasan bahan (material) berbahaya, dsj. Termasuk dalam tindakan tidak
aman antara lain : kecerobohan, meninggalkan prosedur kerja, tidak
menggunakan alat pelindung diri (APD), bekerja tanpa perintah,
mengabaikan instruksi kerja, tidak mematuhi rambu-rambu di tempat
kerja, tidak melaporkan adanya kerusakan alat/mesin ataupun APD, tidak

mengurus izin kerja berbahaya sebelum memulai pekerjaan dengan


resiko/bahaya tinggi.
Termasuk dalam faktor penyebab tidak langsung kecelakaan kerja ialah
faktor pekerjaan dan faktor pribadi. Termasuk dalam faktor pekerjaan
antara lain : pekerjaan tidak sesuai dengan tenaga kerja, pekerjaan tidak
sesuai sesuai dengan kondisi sebenarnya, pekerjaan beresiko tinggi namun
belum ada upaya pengendalian di dalamnya, beban kerja yang tidak
sesuai, dsj.

5 Hierarki Pengendalian Resiko/Bahaya K3


Hebbie Ilma Adzim | Senin, Desember 09, 2013 | Dasar-Dasar K3
Resiko/bahaya yang sudah diidentifikasi dan dilakukan penilaian
memerlukan langkah pengendalian untuk menurunkan tingkat
resiko/bahaya-nya menuju ke titik yang aman.
Pengendalian Resiko/Bahaya dengan cara eliminasi memiliki tingkat
keefektifan, kehandalan dan proteksi tertinggi di antara pengendalian
lainnya. Dan pada urutan hierarki setelahnya, tingkat keefektifan,
kehandalan dan proteksi menurun seperti diilustrasikan pada gambar di
bawah :

Hierarki Pengendalian Resiko


Pengendalian resiko merupakan suatu hierarki (dilakukan berurutan
sampai dengan tingkat resiko/bahaya berkurang menuju titik yang aman).
Hierarki pengendalian tersebut antara lain ialah eliminasi, substitusi,
perancangan, administrasi dan alat pelindung diri (APD) yang terdapat
pada tabel di bawah :

Hierarki Pengendalian Resiko K3


Eliminasi

Eliminasi Sumber Bahaya

Substitusi

Substitusi Alat/Mesin/Bahan

Perancang
an

Modifikasi/Perancangan
Alat/Mesin/Tempat Kerja yang
Lebih Aman

Administra
si

Prosedur, Aturan, Pelatihan,


Durasi Kerja, Tanda Bahaya,
Rambu, Poster, Label

APD

Alat Perlindungan Diri Tenaga


Kerja

Tempat
Kerja/Pekerjaan Aman
Mengurangi Bahaya

Tenaga Kerja Aman


Mengurangi Paparan

Termasuk dalam faktor pribadi antara lain : mental/kepribadian tenaga


kerja tidak sesuai dengan pekerjaan, konflik, stress, keahlian yang tidak
sesuai, dsj.
Termasuk dalam faktor penyebab dasar kecelakaan kerja ialah lemahnya
manajemen dan pengendaliannya, kurangnya sarana dan prasarana,
kurangnya sumber daya, kurangnya komitmen, dsb.
Menurut teori efek domino H.W Heinrich juga bahwa kontribusi terbesar
penyebab kasus kecelakaan kerja adalah berasal dari faktor kelalaian
manusia yaitu sebesar 88%. Sedangkan 10% lainnya adalah dari faktor
ketidaklayakan properti/aset/barang dan 2% faktor lain-lain. Gambar di
bawah ialah ilustrasi dari teori domino effect kecelakaan kerja H.W.
Heinrich.

Teori Penyebab Kecelakaan Kerja

Fire & Safety Technology

SebelummembahastentangFire&SafetyTechnology,perludiketahuibahwa
Fire&Safetydidalamkegiatan/prosesbisnisperusahaanbukanlahsuatu
kejadian(event)yangsecaratibatibadihadirkansebagaikomponenpelengkap
didalamkegiatantersebut.Fire&Safetydiindustridiperlukankarenaadanya
kebutuhanuntukmengelolarisikoyangdapatberdampakpadakelangsungan
bisnisperusahaan(mis:kebakaranfasilitas)dangangguanoperasiperusahaan
yangdisebabkanadanyakerusakanfasilitas(mis:majorfailure)ataukecelakaan
pekerja(mis:fatality)diperusahaan.SelainituFire&Safetyjugaditerapkan
sebagaipentaatanperusahaanterhadapperaturan(Undangundang)yangbersifat
Mandatory.
PembahasantentangFire&SafetyTechnologyakancobadisampaikansecara
sistematisdanbertahapsesuaiprocessflowkegiatanoperasidiindustrisehingga
rekanrekanmendapatpemahamanyangcukuplengkapdanmengetahuidasar,
tujuandanmetodemengaplikasikanaspekFire&Safetydidalamkegiatan
industrinya.

MateridalamFire&SafetyTechnologysebagaiberikut:
1.RiskManagement
BasicPrincipleofRiskManagement
QualitativeRiskAssessment
QuantitativeRiskAssessment
2.FireProtectionEngineering
ConsequencesModelling(ComputationalFluidDynamics)
Fire/incidentModelling(FireDynamicTools/Simulator)
PassiveFireProtectionSystem
ActiveFireProtectionSystem
FireProtectionEquipment(technology,maintenance&performancetest)
3.EmergencyResponse
(Akandiupdatesesuaikebutuhan)

1.RiskManagement
BasicPrincipleofRiskManagement
Quote:

Definisi:
Risikoadalah:
a)Kemungkinankerugian,cedera,ataukeadaanyangmerugikanatautidak
diinginkanlainnya
b)Potensiterjadinyasuatuperistiwa(events),baikyangdapatdiperkirakan
(anticipated)maupunyangtidakdapatdiperkirakan(unanticipated)yangdapat
menimbulkandampaknegatifbagiperusahaan.
c)Kombinasidaripotensijumlahterjadinyainsiden(Likelihood)yang
disebabkankarenakondisiataupaparanberbahayadantingkatkeparahan
dampak(Severity)yangdiakibatkanolehkondisiataupaparanbahayatersebut
(OHSAS18001:2007)
Insidenadalahsuatuperistiwa(events)terkaitpekerjaanyangdapat
menimbulkancederaataugangguankesehatan(tergantungtingkat
keparahan/Severity),terjadiataumungkinmenimbulkankecelakaanparah
(Fatality)(OHSAS18001:2007)
Hazard/potensibahayaadalahsumberatausituasiyangmemilikipotensiuntuk
mencideraiataumenimbukansakitpadamanusia,kerusakanpadaproperti,
kerusakanpadalingkungankerja,ataukombinasinya(OHSAS18001:2007)
PenilaianRisikoadalahProsesmenyeluruhdalammemperkirakanbesarnya
resikodanmenentukanbisaatautidakresikotersebutditoleransi(OHSAS
18001:2007)

ManajemenRisikoadalahSerangkaianprosedur,sistemdanmetodologiyang
digunakanuntukmengidentifikasi,mengukur,melakukanmitigasi,memantau
danmengendalikanrisikoyangtimbuldariaktivitasusahaperusahaan

MengapaPenilaianResikoitupenting?PenilaianRisiko(RiskAssessment)
merupakankuncidasarmanajemenHSEyangproaktifdansistematisuntuk
mengeloladampaknegatifkegiatanbisnisperusahaan
KapandiperlukanPenilaianRisiko?
Saatdilakukanpekerjaannonrutinataudarurat
Saatdilakukanpekerjaanataukegiatanbaru
Saatpekerjabaruterlibatdalampekerjaan
Saatdilakukanpekerjaanolehpihakketiga(kontraktor)
Saatdilakukanperubahanbesarterhadapjenispekerjaanatauperalatan
ProsesPenilaianRisiko(RiskAssessment)
Tahap1.IdentifikasiBahaya
Quote:

TahapinidilakukanuntukmengidentifikasiAPA,MENGAPAdan

BAGAIMANAsesuatukejadian(kecelakaan)dapat/mungkinterjadi,hasil
identifikasidigunakansebagaidasaruntukprosesanalisaselanjutnya.Proses
identifikasibahayaharusberdasarkantindakanproaktifuntukmenganalisa
seluruhsumber,kondisiatauperilakuberbahaya(ataukombinasidariketiganya)
darikegiatanbisnisperusahaanyangdapatmemberikandampaknegatifkepada
kesehatandankeselamatanpekerja.
Peralatan/metodeyangdigunakan:
1)Analisaprosesoperasi/Diagramalir
2)Catatan/rekamankejadiandanstudi,mis:dataLKP,Nearmiss,JSAdll
3)Forumrapat/diskusi,mis:KomiteK3LL,rapatmanajemendll
4)Hasilrekomendasi,mis:Hasilaudit,pendapatahli/operatorperalatan
5)Inspeksilapangan
6)MSDS
7)Checklists
Tahap2.PenilaianRisiko
Quote:

Tujuantahapiniadalahmenurunkanrisikohinggaketingkatterendah/dapat
diterima(acceptablerisk),tidakadarisikodalampekerjaantidakmenjamin
kondisitelahbenarbenaramansehinggalangkahyangdapatdilakukanadalah
mengkomunikasikandanmengendalikansetiaprisikotersisa(residualrisk)
dalamaktivitaspekerjaan.Mis:penerbitanijinkerjadll
Sehinggaaspekdalampenilaianrisikoiniadalah:
Tujuan:Setiappotensibahayadalampekerjaantelahdievaluasidampakdan
tingkatrisikonyatelahditetapkan(VeryHigh,High,Moderate,Low,VeryLow)
Tahapan:Memperhitungkanpotensijumlahterjadinyainsiden(Likelihood)dan
potensitingkatkeparahandampak(Severity)
Hasil:Memprioritaskanpenanganandampakbesardanpentingdenganmetode
pengendalianyangtepatdanefektifyangdapatdiidentifikasidanditerapkan.
Tahap3.EvaluasiRisiko
Quote:

Proses:Pengembanganupayadansistempengendalianrisikosecaramenyeluruh
untukmengelolasetiaprisikoyangtimbul.
Hasil:Upayapengendalianrisikoyangditetapkansesuaidenganstandaratau
pedomanteknisindustridantindaklanjutupayapengendalianditerapkan
Sasaran:Mengurangipotensitimbulnyadampak/risikoataumenurunkantingkat

keparahandalamsuatubahaya/risiko(ataukeduanya)
Evaluasimetodepengendalianrisiko:
1)Pertimbanganbeberapaalternatifmetodepengendalian
2)Prioritaskanpadarisikoyangmemilikidampakpalingbesardanpenting
3)Pertimbangkanefektifitasbiayapengendaliandengannilaikerugianrisiko
4)Apakahmetodepengendaliansepadandenganpermasalahan/risiko
5)Apakahmetodepengendalianyangdipilihtelahefektif
6)Apakahmetodepengendalianyangdipilihakanmenimbulkan
permasalahan/risikobaru
Tahap4.PemilihanMetodePengendalianRisiko
Pemilihanmetodepengendalianditentukanberdasarkanurutanprioritasmetode
pengendaliansebagaiberikut:

HirarkiMetodePengendalianRisiko
Penjelasanmetodepengendalianrisiko:
Quote:

1)Eliminasi(menghilangkan)
Eliminasi/hilangkanaktifitasataupekerjaanyangtidakdiperlukan
Apabilamenungkinkanhilangkanpotensibahayayangtimbulkarenafaktor
peralatanataumesinyangtidakmempengaruhi/digunakandalampekerjaan

ataumemberikanbanyakmanfaat
Hilangkanpenggunaanbahanbahanberbahaya
2)Substitusi(mengganti)
Beberapapekerjaanpentingdiubahdengancarakerjayanglebihaman
Menggantimetodeyangberbahayadenganmetodeyangmenimbulkanbahaya
lebihkecil,mis:pemotonganlasdenganpemotongandingin
Gunakanalatataumesinyanglebihaman,mis:palukuningandll
Pilihmenggunakanbahandengantingkatbahayalebihrendah,mis:catsolvent
dengancatwaterbased.
3)Isolasi(mengisolasi)
Memindahkanpotensibahayakeluarlokasi,mis:pembangunanruanggenset
dilokasiyangjauhkarenatingkatkebisinganyangtinggi
Mengisolasibahayadilokasitertentu,mis:memasangisolator(bahankedap
suara)diruanggenset
Melepaskanpotensibahayadenganmedialain,mis:membuatsaluranbuang
genset(sumberpanas)melewatibakair(flamearrester)
4)Engineering(desain/teknis)
Melakukandesainulangperalatandengansistempengaman,mis:memasang
PRV&PSVpadapipadanpompa
Menggunakanalatbantumekanis,mis:alatangkut(forklift)dll
Memasangsistempelepasanenergi
Memasangpengamanpadabendaberputar
5)Administrasi(administratif)
Pengaturanwaktukerjakhususuntukmenghindaribahaya
Apakahdiperlukanpelatihanataupembinaanterhadappekerja
Apakahdiperlukanpengawasanmelekat
Mengurangijumlahpekerjaatauwaktukerjauntukmengurangipaparan
terhadapbahaya
Memperhatikankebersihandankerapianselamapekerjaan
Menyusunprosedurkerja
6)PersonalProtectiveEquipment(AlatPelindungDiri)
ApakahpekerjadenganpaparanbahayatelahdilengkapidenganAPDyang
tepatdanmemadaisesuaipotensibahayanya
ApakahAPDtelahtersediasesuaidenganjenisbahaya/risikoyangada

Tahap5.ImplementasikanMetodePengendalianBahaya/Risiko
Quote:

a)Apakahmetodepengendalianbahaya/risikoyangdipilihdanditetapkantelah
diimplementasikandilokasi
b)Apakahmanajemenperusahaanmendukungupayaimplementasimelalui
dukungansumberdayadanbiayayangmemadai
c)Apakahpersoneldilokasimendukungdanmematuhimetodepengendalian
yangditerapkan
d)Apakahupayaimplementasitelahdilakukansecaraberkelanjutandanselalu
dikembangkanuntukmencarimetodepengendalianyanglebihbaik
Tahap6.PemantauandanEvaluasi
Quote:

a)Lakukanpemantauanterhadapefektifitasmetodepengendalianyangtelah
diimplementasikandilokasi,mis:mengukurulangrisiko(residualrisk)setelah
dilakukanupayapengendalian,periksadata/rekamankerusakanperalatandll
b)Evaluasidata/rekamankejadiansetelahditerapkanmetodepengendaliandi
lokasi,mis:mengevaluasijumlahkejadian(kecelakaan),laporannearmissdll
c)Perencanaanlanjutuntukperbaikanmetodepengendalianyangtelah
diterapkangunamemperolehmetodeyanglebihefektifdanefisien
d)Evaluasipotensibahaya/risikobaruyangmunculataubelumterlingkup
e)Dokumentasikanseluruhhasilanalisis,kajian,lembarkerja,catatan/rekaman
kejadian,danlainnya

Pengertian dan Prinsip Dasar


Good Corporate Governance (GCG)
The proper governance of companies will become as crucial to the world
economies as the proper governing of countries.
(James D. Wolfensohn, President of the World Bank, c. 1999)
Sulit dipungkiri, selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah Good Corporate
Governance (GCG) kian populer. Tak hanya populer, tetapi istilah tersebut
juga ditempatkan di posisi terhormat. Hal itu, setidaknya terwujud dalam
dua keyakinan. Pertama, GCG merupakan salah satu kunci sukses
perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang,

sekaligus memenangkan persaingan bisnis global - terutama bagi


perusahaan yang telah mampu berkembang sekaligus menjadi terbuka.
Kedua, krisis ekonomi dunia, di kawasan Asia dan Amerika Latin yang
diyakini muncul karena kegagalan penerapan GCG. Di antaranya, Sistem
Regulatory yang payah, Standar Akuntansi dan Audit yang tidak konsisten,
praktek perbankan yang lemah, serta pandangan Board of Directors (BOD)
yang kurang peduli terhadap hak-hak pemegang saham minoritas.
Berdasarkan keyakinan-keyakinan di atas itulah maka tidak mengherankan
jika selama dasawarsa 1990-an, tuntutan terhadap penerapan GCG secara
konsisten dan komprehensif datang secara beruntun. Mereka yang
menyuarakan hal itu di antaranya adalah berbagai lembaga investasi baik
domestik maupun mancanegara, termasuk institusi sekaliber World Bank,
IMF, OECD, dan APEC. Dengan melontarkan beberapa prinsip umum dalam
CG seperti fairness, transparency, accountability, stakeholder concern,
dapat disimpulkan bahwa penerapan GCG diyakini akan menolong
perusahaan dan perekonomian negara yang sedang tertimpa krisis bangkit
menuju ke arah yang lebih sehat, maju, mampu bersaing, dikelola secara
dinamis serta profesional. Ujungnya adalah daya saing yang tangguh, yang
diikuti pulihnya kepercayaan investor.
Tentunya, lembaga-lembaga besar itu tak asal bicara. Namun, apa
sebetulnya GCG itu sendiri? Apa prinsip-prinsip dasar yang dikandungnya?
Lantas, apa manfaat menerapkan GCG?
Sangat jelas bahwa perhatian terhadap corporate governance
belakangan ini terutama dipicu oleh skandal spektakuler
perusahaan-perusahaan publik di Amerika dan Eropa, seperti
Enron, Worldcom, Tyco, London & Commonwealth, Poly Peck,
Maxwell, dan lain-lain.Cadbury Report (UK) dan Treadway Report
(US) secara mendasar menyebutkan bahwa keruntuhan
perusahaan-perusahaan publik tersebut dikarenakan oleh
kegagalan strategi maupun praktik curang dari manajemen
puncak yang berlangsung tanpa terdeteksi dalam waktu yang
cukup lama karena lemahnya pengawasan yang independen oleh
corporate boards.
Isu corporate governance itu sendiri muncul sejak diperkenalkannya
pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan (Tri Gunarsih,
2003). Namun istilah corporate governance itu sendiri secara eksplisit
muncul pertama kali pada tahun 1984 dalam tulisan Robert I. Tricker.

Di dalam bukunya, Tricker memandang corporate governance memiliki


empat kegiatan utama sebagai berikut:
1. Direction:
future of

Formulating the strategic direction from the

the enterprise in the long term;


Involvement in crucial executive decisions;
Monitoring and oversight of management

2. Executive action:
3. Supervision:
performance, And
4. Accountability:
Recognizing responsibilities to those making
legitimate
demand for accountability.
(Tricker, Robert I., 1984, Corporate Governance Practices, Procedures,
and Power in British Companies and Their Board of Directors, UK, Gower)
Teori-teori Terkait
Dua teori utama yang terkait dengan corporate governance adalah
stewardship theory dan agency theory. Stewardship theory dibangun di
atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada
hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung
jawab memiliki, integritas, dan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang
tersirat dalam hubungan fidusia yang dikehendaki para pemegang saham.
Dengan kata lain, stewardship theory memandang manajemen sebagai
dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan
publik pada umumnya maupun shareholders pada khususnya.
Sementara itu, agency theory yang dikembangkan oleh Michael Johnson,
seorang professor dari Harvard, memandang bahwa manajemen
perusahaan sebagai agents bagi para pemegang saham, akan bertindak
dengan penuh kesadaran bagi kepentingannya sendiri, bukan sebagai
pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham
sebagaimana diasumsikan dalam stewardship model. Bertentangan
dengan stewardship theory, agency theory memandang bahwa
manajemen tidak dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya
bagi kepentingan publik pada umumnya maupun shareholders pada
khususnya. Dengan demikian, managers could not be trusted to do their
job which of course is to maximize shareholder value (Tricker, Opcit).
Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory mendapat respons lebih
luas karena dipandang lebih mencerminkan kenyataan yang ada. Berbagai
pemikiran mengenai corporate governance berkembang dengan bertumpu
pada agency theory di mana pengelolaan perusahaan harus diawasi dan
dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan
penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku.
Upaya ini menimbulkan apa yang disebut sebagai agency costs, yang
menurut teori ini harus dikeluarkan sedemikian rupa sehingga biaya untuk
mengurangi kerugian yang timbul karena ketidakpatuhan setara dengan
peningkatan biaya enforcement-nya.
Biaya yang harus dibayar tersebut, dalam konteks corporate governance,
adalah biaya untuk:

control managerial opportunism by having a board chair independent


of the CEO and using incentives to bind CEO interests to those of
shareholders (Jensen, M.C., and W.H. Meckling (1986), Theory of the firm
managerial behaviour, agency costs and ownership structure, Journal of
Financial Economics, No. 3, pp. 305-60).
Agency costs ini mencakup biaya untuk pengawasan oleh pemegang
saham; biaya yang dikeluarkan oleh manajemen untuk menghasilkan
laporan yang transparan, termasuk biaya audit yang independen dan
pengendalian internal; serta biaya yang disebabkan karena menurunnya
nilai kepemilikan pemegang saham sebagai bentuk bonding expenditures
yang diberikan kepada manajemen dalam bentuk opsi dan berbagai
manfaat untuk tujuan menyelaraskan kepentingan manajemen dengan
pemegang saham.
Meskipun demikian, potensi untuk munculnya agency problem tetap ada
karena adanya pemisahan antara kepengurusan dengan kepemilikan
perusahaan, khususnya di perusahaan-perusahaan publik.
Bagaimana perbandingan kegiatan antara corporate governance dan
corporate management memperlihatkan bahwa corporate governance
sangat terkait dengan aspek pengawasan dan akuntabilitas, sementara
corporate management terkait dengan keputusan-keputusan dan
pengendalian eksekutif serta manajemen operasional. Sementara itu, titik
temu atau irisan antara keduanya dalam banyak hal terwujud dalam
pengambilan keputusan-keputusan strategik perusahaan sebagaimana
terlihat pada gambar berikut ini:

Definisi Good Corporate Governance (GCG)


Sebagai sebuah konsep, GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal.
Komite Cadburry, misalnya, pada tahun 1992 - melalui apa yang dikenal
dengan sebutan Cadburry Report - mengeluarkan definisi tersendiri
tentang GCG. Menurut Komite Cadburry, GCG adalah prinsip yang

mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai


keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam
memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholders
khususnya, dan stakeholders pada umumnya. Tentu saja hal ini
dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur, manajer, pemegang
saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan
perusahaan di lingkungan tertentu.
Center for European Policy Studies (CEPS), punya formula lain. GCG, papar
pusat studi ini, merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak
(right), proses, serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar
manajemen perusahaan. Sebagai catatan, hak di sini adalah hak seluruh
stakeholders, bukan terbatas kepada shareholders saja. Hak adalah
berbagai kekuatan yang dimiliki stakeholders secara individual untuk
mempengaruhi manajemen. Proses, maksudnya adalah mekanisme dari
hak-hak tersebut. Adapun pengendalian merupakan mekanisme yang
memungkinkan stakeholders menerima informasi yang diperlukan seputar
aneka kegiatan perusahaan.
Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri tentang GCG.
Beberapa negara mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip
walaupun ada sedikit perbedaan istilah. Kelompok negara maju (OECD),
umpamanya mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen
perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya. Para pengambil
keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan
keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholders
lainnya. Karena itu fokus utama di sini terkait dengan proses pengambilan
keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency,
responsibility, accountability, dan tentu saja fairness.
Sementara itu, ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG
mengandung empat nilai utama yaitu: Accountability, Transparency,
Predictability dan Participation. Pengertian lain datang dari Finance
Committee on Corporate Governance Malaysia. Menurut lembaga tersebut
GCG merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk
mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke arah
peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun
tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang
tetapi tetap memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder
lainnya.
Lantas bagaimana dengan definisi GCG di Indonesia? Di tanah air, secara
harfiah, governance kerap diterjemahkan sebagai pengaturan. Adapun
dalam konteks GCG, governance sering juga disebut tata pamong, atau
penadbiran - yang terakhir ini, bagi orang awam masih terdengar janggal
di telinga. Maklum, istilah itu berasal dari Melayu. Namun tampaknya
secara umum di kalangan pebisnis, istilah GCG diartikan tata kelola
perusahaan, meskipun masih rancu dengan terminologi manajemen. Masih
diperlukan kajian untuk mencari istilah yang tepat dalam bahasan
Indonesia yang benar.
Kemudian, GCG ini didefinisikan sebagai suatu pola hubungan, sistem,
dan proses yang digunakan oleh organ perusahaan (BOD, BOC, RUPS) guna
memberikan
nilai
tambah
kepada
pemegang
saham
secara

berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan


kepentingan stakeholder lainnya, berlandaskan peraturan perundangan
dan norma yang berlaku.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance
merupakan:
1.
2.

3.

Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang


peran dewan komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan Para
Stakeholder lainnya.
Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas
pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua
peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset
perusahaan.
Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan,
pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.

Dari pengertian di atas pula, tampak beberapa aspek penting dari GCG
yang perlu dipahami beragam kalangan di dunia bisnis, yakni;

Adanya keseimbangan hubungan antara organ-organ perusahaan di


antaranya Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Komisaris, dan
direksi. Keseimbangan ini mencakup hal-hal yang berkaitan dengan
struktur kelembagaan dan mekanisme operasional ketiga organ
perusahaan tersebut (keseimbangan internal)
Adanya pemenuhan tanggung jawab perusahaan sebagai entitas
bisnis dalam masyarakat kepada seluruh stakeholder. Tanggung
jawab ini meliputi hal-hal yang terkait dengan pengaturan hubungan
antara perusahaan dengan stakeholders (keseimbangan eksternal).
Di antaranya, tanggung jawab pengelola/pengurus perusahaan,
manajemen, pengawasan, serta pertanggungjawaban kepada para
pemegang saham dan stakeholders lainnya.
Adanya hak-hak pemegang saham untuk mendapat informasi yang
tepat dan benar pada waktu yang diperlukan mengenai perusahaan.
Kemudian hak berperan serta dalam pengambilan keputusan
mengenai perkembangan strategis dan perubahan mendasar atas
perusahaan serta ikut menikmati keuntungan yang diperoleh
perusahaan dalam pertumbuhannya.
Adanya perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham,
terutama pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing
melalui keterbukaan informasi yang material dan relevan serta
melarang penyampaian informasi untuk pihak sendiri yang bisa
menguntungkan orang dalam (insider information for insider trading)

Empat Prinsip Utama Corporate Governance


Setelah definisi serta aspek penting GCG terpaparkan di atas, maka berikut
adalah prinsip yang dikandung dalam GCG. Di sini secara umum ada
empat prinsip utama yaitu: fairness, transparency, accountability, dan
responsibility.

1. Fairness (Kewajaran)
Secara sederhana kewajaran (fairness) bisa didefinisikan sebagai
perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder
yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang
berlaku.
Fairness juga mencakup adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum
dan penegakan peraturan untuk melindungi hak-hak investor - khususnya
pemegang saham minoritas - dari berbagai bentuk kecurangan. Bentuk
kecurangan ini bisa berupa insider trading (transaksi yang melibatkan
informasi orang dalam), fraud (penipuan), dilusi saham (nilai perusahaan
berkurang), KKN, atau keputusan-keputusan yang dapat merugikan seperti
pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan, penerbitan saham baru,
merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan lain.
Biasanya, penyakit yang timbul dalam praktek pengelolaan perusahaan,
berasal dari benturan kepentingan. Baik perbedaan kepentingan antara
manajemen (Dewan Komisaris dan Direksi) dengan pemegang saham,
maupun antara pemegang saham pengendali (pemegang saham pendiri,
di Indonesia biasanya mayoritas) dengan pemegang saham minoritas
(pada perusahaan publik biasanya pemegang saham publik). Di tengah
situasi seperti ini, lewat prinsip fairness, ada beberapa manfaat yang
diharapkan bisa dipetik. Apa saja manfaat itu?
Fairness diharapkan membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara
baik dan prudent (hati-hati), sehingga muncul perlindungan kepentingan
pemegang saham secara fair (jujur dan adil). Fairness juga diharapkan
memberi perlindungan kepada perusahaan terhadap praktek korporasi
yang merugikan seperti disebutkan di atas. Pendek kata, fairness menjadi
jiwa untuk memonitor dan menjamin perlakuan yang adil di antara
beragam kepentingan dalam perusahaan.
Namun seperti halnya sebuah prinsip, fairness memerlukan syarat agar
bisa diberlakukan secara efektif. Syarat itu berupa peraturan dan
perundang-undangan yang jelas, tegas, konsisten dan dapat ditegakkan
secara baik serta efektif. Hal ini dinilai penting karena akan menjadi
penjamin adanya perlindungan atas hak-hak pemegang saham manapun,
tanpa ada pengecualian. Peraturan perundang-undangan ini harus
dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menghindari penyalahgunaan
lembaga peradilan (litigation abuse). Di antara (litigation abuse) ini adalah
penyalahgunaan ketidakefisienan lembaga peradilan dalam mengambil
keputusan sehingga pihak yang tidak beritikad baik mengulur-ngulur waktu
kewajiban yang harus dibayarkannya atau bahkan dapat terbebas dari
kewajiban yang harus dibayarkannya.
2. Transparency (Keterbukaan Informasi)
Transparansi bisa diartikan sebagai keterbukaan informasi, baik dalam
proses pengambilan keputusan maupun dalam mengungkapkan informasi
material dan relevan mengenai perusahaan.
Perbincangan prinsip ini sendiri sangatlah menarik. Pasalnya, isu yang
sering mencuat adalah pertentangan dalam menjalankan prinsip ini.
Semisal, adanya kekhawatiran perusahaan bahwa jika ia terlalu terbuka,
maka strateginya dapat diketahui pesaing sehingga membahayakan

kelangsungan usahanya. Wajarkah kekhawatiran seperti itu?


Menurut peraturan di pasar modal Indonesia, yang dimaksud informasi
material dan relevan adalah informasi yang dapat mempengaruhi naik
turunnya harga saham perusahaan tersebut, atau yang mempengaruhi
secara signifikan risiko serta prospek usaha perusahaan yang
bersangkutan. Mengingat definisi ini sangat normatif maka perlu ada
penjelasan operasionalnya di tiap perusahaan. Karenanya, kekhawatiran
di atas, sebetulnya tidak perlu muncul jika kita mampu menjabarkan
kriteria informasi material secara spesifik bagi masing-masing
perusahaan.
Dalam mewujudkan transparansi ini sendiri, perusahaan harus
menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada
berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut. Setiap
perusahaan, diharapkan pula dapat mempublikasikan informasi keuangan
serta informasi lainnya yang material dan berdampak signifikan pada
kinerja perusahaan secara akurat dan tepat waktu. Selain itu, para investor
harus dapat mengakses informasi penting perusahaan secara mudah pada
saat diperlukan.
Ada banyak manfaat yang bisa dipetik dari penerapan prinsip ini. Salah
satunya, stakeholder dapat mengetahui risiko yang mungkin terjadi dalam
melakukan transaksi dengan perusahaan. Kemudian, karena adanya
informasi kinerja perusahaan yang diungkap secara akurat, tepat waktu,
jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka dimungkinkan
terjadinya efisiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi
dilaksanakan dengan baik dan tepat, akan dimungkinkan terhindarnya
benturan kepentingan (conflict of interest) berbagai pihak dalam
manajemen.
3. Accountability (Dapat Dipertanggungjawabkan)
Akuntabilitas
adalah
kejelasan
fungsi,
struktur,
sistem
dan
pertangungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan
terlaksana secara efektif.
Masalah yang sering ditemukan di perusahaan-perusahaan Indonesia
adalah mandulnya fungsi pengawasan Dewan Komisaris. Atau justru
sebaliknya, Komisaris Utama mengambil peran berikut wewenang yang
seharusnya dijalankan direksi. Padahal, diperlukan kejelasan tugas serta
fungsi organ perusahaan agar tercipta suatu mekanisme pengecekan dan
perimbangan dalam mengelola perusahaan.
Kewajiban untuk memiliki Komisaris Independen dan Komite Audit
sebagaimana yang ditetapkan oleh Bursa Efek Jakarta, merupakan salah
implementasi prinsip ini. Tepatnya, berupaya memberdayakan fungsi
pengawasan Dewan Komisaris. Beberapa bentuk implementasi lain dari
prinsip accountability antara lain:
Praktek Audit Internal yang Efektif, serta
Kejelasan fungsi, hak, kewajiban, wewenang dan tanggung jawab
dalam anggaran dasar perusahaan dan Statement of Corporate
Intent (Target Pencapaian Perusahaan di masa depan)
Bila prinsip accountability ini diterapkan secara efektif, maka ada kejelasan

fungsi, hak, kewajiban, wewenang, dan tanggung jawab antara pemegang


saham, dewan komisaris, serta direksi. Dengan adanya kejelasan inilah
maka perusahaan akan terhindar dari kondisi agency problem (benturan
kepentingan peran).
4. Responsibility (Pertanggungjawaban)
Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian (patuh) di dalam
pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat serta
peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang berlaku di sini
termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial,
perlindungan lingkungan hidup, kesehatan/ keselamatan kerja, standar
penggajian, dan persaingan yang sehat.
Beberapa contoh mengenai hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

Kebijakan sebuah perusahaan makanan untuk mendapat


sertifikat HALAL. Ini merupakan bentuk pertanggungjawaban
kepada masyarakat. Lewat sertifikat ini, dari sisi konsumen, mereka
akan merasa yakin bahwa makanan yang dikonsumsinya itu halal
dan tidak merasa dibohongi perusahaan. Dari sisi Pemerintah,
perusahaan telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Peraturan Perlindungan Konsumen). Dari sisi perusahaan,
kebijakan tersebut akan menjamin loyalitas konsumen sehingga
kelangsungan usaha, pertumbuhan, dan kemampuan mencetak laba
lebih terjamin, yang pada akhirnya memberi manfaat maksimal bagi
pemegang saham.

Kebijakan perusahaan mengelola limbah sebelum dibuang ke


tempat umum. Ini juga merupakan pertanggungjawaban kepada
publik. Dari sisi masyarakat, kebijakan ini menjamin mereka untuk
hidup layak tanpa merasa terancam kesehatannya tercemar.
Demikian pula dari sisi Pemerintah, perusahaan memenuhi peraturan
perundang-undangan lingkungan hidup. Sebaliknya dari sisi
perusahaan, kebijakan tersebut merupakan bentuk jaminan
kelangsungan usaha karena akan mendapat dukungan pengamanan
dari masyarakat sekitar lingkungan.

Penerapan prinsip ini diharapkan membuat perusahaan menyadari bahwa


dalam kegiatan operasionalnya seringkali ia menghasilkan eksternalitas
(dampak luar kegiatan perusahaan) negatif yang harus ditanggung oleh
masyarakat. Di luar hal itu, lewat prinsip responsibility ini juga diharapkan
membantu peran pemerintah dalam mengurangi kesenjangan pendapatan
dan kesempatan kerja pada segmen masyarakat yang belum mendapatkan
manfaat dari mekanisme pasar.
Prinsip-prinsip di atas perlu diterjemahkan ke dalam lima aspek yang
dijabarkan oleh OECD (Organization for Economic Cooperation and
Development) sebagai pedoman pengembagan kerangka kerja legal,
institutional, dan regulatory untuk corporate governance di suatu negara.
Lima aspek tersebut antara adalah:

1.
2.

3.

4.

5.

Hak-hak pemegang saham dan fungsi kepemilikan: Hak-hak


pemegang saham harus dilindungi dan difasilitasi.
Perlakuan setara terhadap seluruh pemegang saham: Seluruh
pemegang saham termasuk pemegang saham minoritas dan
pemegang saham asing harus diperlakukan setara. Seluruh
pemegang saham harus diberikan kesempatan yang sama untuk
mendapatkan perhatian bila hak-haknya dilanggar.
Peran stakeholders dalam corporate governance: Hak-hak para
pemangku kepentingan (stakeholders) harus diakui sesuai
peraturan perundangan yang berlaku, dan kerjasama aktif antara
perusahaan dan para stakeholders harus dikembangkan dalam
upaya bersama menciptakan kekayaan, pekerjaan, dan
keberlanjutan perusahaan.
Disklosur dan transparansi: Disklosur atau pengungkapan yang
tepat waktu dan akurat mengenai segala aspek material
perusahaan, termasuk situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan
governance perusahaan.
Tanggung jawab Pengurus Perusahaan (Corporate Boards):
Pengawasan Komisaris terhadap pengelolaan perusahaan oleh
Direksi harus berjalan efektif, disertai adanya tuntutan strategik
terhadap manajemen, serta akuntabilitas dan loyalitas Direksi dan
Komisaris terhadap perusahaan dan pemegang saham.

Manfaat dan Faktor Penerapan GCG


Esensi corporate governance adalah peningkatan kinerja perusahaan
melalui sepervisi atau pemantauan kinerja manajemen dan adanya
akuntabilitas manajemen terhadap shareholders dan pemangku
kepentingan lainnya, berdasarkan kerangka aturan dan peraturan yang
berlaku (Tri Gunarsih, 2003). Untuk meningkatkan akuntabilitas, antara
lain diperlukan auditor, komite audit, serta remunerasi eksekutif. GCG
memberikan kerangka acuan yang memungkinkan pengawasan berjalan
efektif sehingga tercipta mekanisme checks and balances di perusahaan.
Seberapa jauh perusahaan memperhatikan prinsip-prinsip dasar GCG telah
semakin menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi.
Terutama sekali hubungan antara praktik corporate governance dengan
karakter investasi internasional saat ini. Karakter investasi ini ditandai
dengan terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana melalui
pool of investors di seluruh dunia. Suatu perusahaan dan atau negara
yang ingin menuai manfaat dari pasar modal global, dan jika kita ingin
menarik modal jangka panjang yang, maka penerapan GCG secara
konsisten dan efektif akan mendukung ke arah itu. Bahkan jikapun
perusahaan tidak bergantung pada sumber daya dan modal asing,
penerapan prinsip dan praktik GCG akan dapat meningkatkan keyakinan
investor domestik terhadap perusahaan.

Di samping hal-hal tersebut di atas, GCG juga dapat:


1. Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung
pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada
pihak manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa kerugian yang
diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang
(wrong-doing), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul
untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
2. Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari
pengelolaan perusahaan yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga
atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan
semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan.
3. Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan
citra perusahaan tersebut kepada publik luas dalam jangka panjang.
4. Menciptakan dukungan para stakeholder (para pihak yang
berkepentingan) dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap
keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh
perusahaan, karena umumnya mereka mendapat jaminan bahwa
mereka juga mendapat manfaat maksimal dari segala tindakan dan
operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan.

Manfaat GCG ini bukan hanya untuk saat ini, tetapi juga dalam jangka
panjang dapat menjadi pilar utama pendukung tumbuh kembangnya
perusahaan sekaligus pilar pemenang era persaingan global.
Akan tetapi, keberhasilan penerapan GCG juga memiliki prasyarat
tersendiri. Di sini, ada dua faktor yang memegang peranan, faktor
eksternal dan internal.
Faktor Eksternal
Yang dimakud faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari
luar perusahaan yang sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG.
Di antaranya:
a. Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu
menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan
efektif.
b. Dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik/ lembaga
pemerintahaan yang diharapkan dapat pula melaksanakan
Good Governance dan Clean Government menuju Good
Government Governance yang sebenarnya.
c. Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best
practices) yang dapat menjadi standard pelaksanaan GCG
yang efektif dan profesional. Dengan kata lain, semacam
benchmark (acuan).

d. Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung


penerapan GCG di masyarakat. Ini penting karena lewat sistem
ini diharapkan timbul partisipasi aktif berbagai kalangan
masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG
secara sukarela.
e. Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat
keberhasilan implementasi GCG terutama di Indonesia adalah
adanya semangat anti korupsi yang berkembang di lingkungan
publik di mana perusahaan beroperasi disertai perbaikan
masalah kualitas pendidikan dan perluasan peluang kerja.
Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan lingkungan publik
sangat mempengaruhi kualitas dan skor perusahaan dalam
implementasi GCG.
Faktor Internal
Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan
praktek GCG yang berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor
dimaksud antara lain:
a. Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang
mendukung penerapan GCG dalam mekanisme serta sistem
kerja manajemen di perusahaan.
b. Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan
perusahaan mengacu pada penerapan nilai-nilai GCG.
c. Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan
pada kaidah-kaidah standar GCG.
d. Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam
perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang
mungkin akan terjadi.
e. Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu
memahami setiap gerak dan langkah manajemen dalam
perusahaan sehingga kalangan publik dapat memahami dan
mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika
perusahaan dari waktu ke waktu.
Di luar dua faktor di atas, aspek lain yang paling strategis dalam
mendukung penerapan GCG secara efektif sangat tergantung pada
kualitas, skill, kredibilitas, dan integritas berbagai pihak yang
menggerakkan organ perusahaan. Yang pasti, jika berbagai prinsip dan
aspek penting GCG dilanggar suatu perusahaan, maka sudah dapat
dipastikan perusahaan tersebut tidak akan mampu bertahan lama dalam
persaingan bisnis global dewasa ini, meski perusahaan itu memiliki
lingkungan kondusif bagi pertumbuhan bisnisnya, seperti yang dialami
oleh raksasa bisnis Enron Inc. di AS beberapa waktu lalu. Dalam kasus
Enron ini, sistem kontrol berlapis-lapis ternyata tak bisa mencegah
sekelompok pimpinan yang memuaskan ketamakannya untuk kepentingan
sendiri. Eksekutif Enron Inc. yang seharusnya berkewajiban moral
memberikan data keuangan yang jujur - sebagaimana keharusan
perusahaan publik, ternyata tidak melakukan tugas itu. Begitu pula,

independent auditor yang semestinya tidak hanya memastikan bahwa


laporan keuangan sebuah perusahaan sesuai aturan dan standar
akuntansi, tetapi juga memberi investor maupun kreditor gambaran yang
fair serta akurat tentang apa yang sebenarnya terjadi, ternyata gagal
menjalankan perannya. Perusahaan Akuntan besar sekaliber Andersen
gagal melakukannya (Lihat. Jatuhnya Enron).
Jatuhnya Enron
(Harian Tempo, 23 Januari 2002)
Skandal keuangan Enron menguncang AS dengan akibat yang
mencengangkan. Belum lama berselang, perusahaan raksasa energi itu
masih bertengger di peringkat 7 dalam Fortune 500 (daftar perusahaan
terkaya versi majalah Fortune). Omset bisnisnya pada tahun 2000 lalu
tercatat sekitar US$ 100 miliar, kurang lebih sama dengan total
pendapatan kotor negeri sebesar Indonesia pada tahun yang sama.
Enron dipandang sukses menyulap diri dari sekedar perusahaan pipanisasi
gas alam di negara bagian Texas pada tahun 1985 menjadi raksasa global
dalam beberapa tahun terakhir. Dia membeli perusahaan air minum di
Inggris dan membangun pembangkit listrik swasta di India. Konsep
bisnisnya yang visioner dan futuristik membuatnya menjadi bluechip di
lantai bursa Wall Street. Harga sahamnya pun terus meroket. Akhir tahun
1999, Enron meluncurkan Enron Online yang dianggap akan mengubah
wajah bisnis energi masa depan. Dengan memanfaatkan internet, divisi ecommerce itu membeli gas, air minum, dan tenaga listrik dari produsen
dan menjualnya kepada pelanggan atau distributor besar.
Enron bahkan memperluas wilayah bisnisnya dengan membangun jaringan
telekomunikasi berkecepatan tinggi serta bertekad menjual bandwidth
jaringan itu seperti dia menjual gas dan listrik. Setelah itu mungkin dia
akan berjual-beli online untuk kertas daur ulang pabrik miliknya.
Tidak berapa lama setelah dia memasuki bisnis jasa video-on-demand,
menjual tayangan video kepada pelanggan via sambungan internet
kecepatan tinggi, harga saham Enron pun mencapai puncaknya, yaitu US$
90 perlembarnya pada Agustus 2000. Meski kemudian merosot bersama
jatuhnya saham-saham teknologi dan internet lain, pertengahan tahun
2001 nilai pasar Enron (jumlah lembar saham dikalikan harganya) masih
berkisar US$ 60 miliar, atau dua kali lipat anggaran belanja Indonesia kala
itu.
Pada Oktober 2001, Enron menjatuhkan bom dahsyat di Wall Street dengan
melaporkan kerugian ratusan juta dolar pada kwartal itu. Akibatnya
milyaran dolar investasi para pemegang saham menguap hampir seketika.
Sangat mengejutkan, karena Enron hampir selalu membawa berita
gembira ke lantai bursa dengan selama empat tahun berturut-turut
melaporkan keuntungan.
Kabar buruk itu membanting harga saham Enron dari sekitar US$ 30
menjadi sekitar US$ 10 perlembar, hanya dalam hitungan hari. Securities
Exchange Commission (SEC), badan Pengawas pasar Modal AS mencium
ada yang tidak beres dan mulai menggelar penyidikan. Dalam kondisi
terdesak, Enron menjatuhkan bom yang lebih dahsyat lagi ke lantai bursa

ketika pada tanggal 8 November 2001 mengakui bahwa keuntungannya


selama ini adalah fiksi belaka. Enron merevisi laporan keuangan lima tahun
terakhir dan membukukan kerugian sebesar US$ 586 juta serta tambahan
catatan hutang sebesar US$ 2,5 miliar. Salah satu episode paling menarik
dipertontonkan saat komite kongres mengundang aktor utama komedi,
yaitu Kenneth L. Lay, Presiden Komisaris sekaligus CEO Enron, pada
Februari 2002.
Sejak akhir tahun 2000, ketika harga saham Enron di posisi puncak, para
eksekutif menjual saham yang mereka miliki dengan total nilai US$ 1,1
miliar. Selama empat tahun terakhir, Kenneth sendiri diperkirakan meraup
untung US$ 205 juta dari penjualan sahamnya. Dalam kurun waktu yang
sama dia membujuk karyawan dan para investornya untuk membeli saham
Enron, antara lain dengan iming-iming laporan keuangan yang
menjanjikan, padahal palsu. Bahkan, pada 26 September 2001, ketika
harga saham jatuh menjadi US$ 2,5 per lembar, Ken Lay masih mencoba
menghibur karyawannya untuk tidak menjual saham, sebaliknya
membujuk mereka untuk membeli lagi saham perusahaan. Dalam e-mail
yang dikirimkan kepada para karyawan yang risau, dia mengatakan
perusahaan dalam kondisi sehat secara keuangan dan bahwa harga saham
Enron luar biasa murah dalam posisi itu. Namun, hanya beberapa pekan
kemudian, Enron melaporkan kerugian yang bermuara pada
kebangkrutannya. Para karyawan tidak bisa menjual saham mereka
sampai semuanya sudah terlambat:
Enron kehilangan nilai sama sekali.
Rangkuman
Good Corporate Governance (GCG) telah menjadi sebuah istilah dan
gerakan yang hangat dibicarakan dalam 10 tahun terakhir ini. Tidak dapat
dipungkiri, institusi-institusi seperti World Bank, IMF, OECD, APEC, dan ADB
turut mendorong tuntutan penerapan GCG secara konsisten dan
komprehensif di berbagai perusahaan, khususnya setelah krisis Asia dan
collapse-nya beberapa perusahaan raksasa di Amerika Serikat dan Eropa di
penghujung tahun 90-an dan awal tahun 2000-an.
Sehubungan dengan itu, hingga saat ini istilah GCG itu sendiri belum
mendapatkan padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia. Banyak
perusahaan tetap menggunakan istilah GCG. Untuk buku ini, penulis akan
menggunakan istilah - GCG - merujuk pada pengertian yang sama yakni
sebagai:
Suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang digunakan oleh organ
perusahaan (BOD, BOC, dan RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada
pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang,
dengan tetap memperhatikan kepentingan para stakeholder lainnya,
berlandaskan peraturan perundangan dan norma yang berlaku.
Penerapan GCG mengandung manfaat antara lain dapat mengurangi
agency cost, biaya yang harus ditanggung pemegang saham akibat
pendelegasian wewenangnya kepada manajemen; menurunkan cost of

capital sebagai dampak dikelolanya perusahaan secara sehat dan


bertanggung jawab, meningkatkan nilai saham perusahaan, dan
menciptakan dukungan stakeholders terhadap perusahaan (license to
operate)
MEMAHAMI KESALAHAN MANUSIA (HUMAN ERROR)

Semua pekerja bisa melakukan kesalahan (error), tak terkecuali pekerja


yang sudah terlatih dan memiliki motivasi kerja yang baik. Beberapa
kesalahan bisa menghasilkan konsekuensi cedera/kecelakaan, sedang
banyak kesalahan lainnya tidak. Karenanya, penting bagi praktisi
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) untuk dapat memahami prinsip
yang melatarbelakangi kesalahan manusia.
Karena kesalahan pasti terjadi, kemampuan untuk dapat mengidentifikasi
kesalahan di tahap awal, berguna untuk mencegah terjadinya kecelakaan.
Grafik di bawah memperlihatkan porsi faktor manusia dan hubungannya
dengan kecelakaan.

Grafik hubungan kecelakaan dan kesalahan manusia


Hampir 80% kejadian terkait dengan kesalahan manusia, data dari

Departemen Energi Amerika bahkan mengatakan bahwa di beberapa


industri, porsi kesalahan manusia bisa mencapai 90%; hanya sekitar 20%
yang terkait kegagalan peralatan.
Jika angka 80% kesalahan manusia didetailkan lebih lanjut, terungkap
bahwa sebagian besar (70%) kesalahan pekerja diakibatkan oleh
kelemahan laten organisasi/perusahaan (kelemahan yang dibuat oleh
pekerja lain di masa lalu yang tidak nampak karena tidak menimbulkan
masalah), sedang 30% lainnya terjadi oleh pekerja yang menangani
peralatan atau sistem di area kerja.
Kecelakaan-kecelakaan yang telah terjadi mengajarkan bahwa kita tidak
boleh menyalahkan kecelakaan hanya kepada pekerja, karena yang
sebetulnya terjadi adalah proses dan nilai di dalam organisasi/perusahaan
berkontribusi besar pada mayoritas kecelakaan. Akar penyebab kecelakaan
merupakan kombinasi dari beberapa faktor, banyak diantaranya yang
berada di luar kendali pekerja.
Ada 5 prinsip dasar yang harus terlebih dahulu dimengerti untuk dapat
memahami faktor manusia.
Pertama, semua manusia bisa berbuat salah, bahkan pekerja yang paling
hebat pun bisa salah.
Tidak ada satupun pekerja yang kebal/anti kesalahan, berapapun usia,
pengalaman atau tingkat pendidikannya. Karenanya dikenal istilah to err
is human (berbuat salah adalah manusiawi). Tabiat manusiawi pekerja
untuk bersikap tidak sempurna, sehingga pada akhirnya, kesalahan dapat
terjadi. Tidak ada pelatihan atau konseling yang dapat mengubah
kerentanan manusia ini.
Dr. James Reason, penulis Human Error (1990) mengatakan: adalah
penting bagi tiap pekerja, terutama managernya, untuk menjadi lebih
mawas diri akan potensi manusia berbuat salah. Pekerjaan, tempat kerja
dan faktor organisasasi membentuk kemungkinan (likelihood) dan
konsekuensi (consequences). Memahami bagaimana dan mengapa
tindakan tidak aman terjadi adalah langkah awal penting dalam mengelola
kesalahan dengan efektif.
Kedua, situasi yang mungkin menyebabkan kesalahan dapat diprediksi,
dikelola dan dicegah.
Meskipun secara umum kesalahan manusia adalah hal yang pasti,
beberapa kesalahan yang spesifik dapat dicegah. Seperti halnya jika
seseorang menulis formulir penarikan rekening bank di awal tahun baru
akan memiliki potensi besar salah menulis tahun sebelumnya, prediksi
semacam ini bisa juga dibangun dalam konteks bekerja di tempat kerja.
Mengenali perangkap/jebakan kesalahan dan secara aktif
mengkomunikasikan bahaya-bahaya tersebut ke orang lain adalah salah
satu bentuk pengelolaan kesalahan yang proaktif. Dengan mengubah
situasi kerja untuk mencegah, menghilangkan atau mengurangi kondisi

yang bisa menyebabkan kesalahan, pekerjaan dan faktor individu di


tempat kerja bisa dikelola untuk mencegah atau setidaknya mengurangi
peluang terjadinya kesalahan.
Ketiga, perilaku individu dipengaruhi oleh proses dan nilai organisasi.
Organisasi digerakkan oleh tujuan, karena itu, proses dan nilai-nilai yang
ada di dalamnya dikembangkan untuk mengarahkan perilaku tiap individu
di dalam organisasi. Organisasi mencerminkan bagaimana pekerjaan
dipecah menjadi tugas-tugas tertentu dan dikoordinasikan untuk mencapai
sasaran dengan selamat dan handal. Tugas manajemen untuk
mengarahkan perilaku para pekerja. Penyelesaian pekerjaan dalam
konteks proses dan budaya organisasi, pengelolaan perencanaan dan
sistem pengendali, berkontribusi paling besar dalam kesalahan manusia
yang bisa mengakibatkan kecelakaan kerja.
Keempat, pekerja mencapai kinerja tertinggi karena dorongan dan
penguatan yang diterimanya dari pimpinan, rekan kerja dan bawahannya.
Tingkat keselamatan dan kehandalan sebuah fasilitas terkait langsung
dengan perilaku para pekerjanya. Semua perilaku manusia, yang baik
ataupun yang buruk, dikuatkan oleh konsekuensi langsung atau
pengalaman masa lalunya. Sebuah perilaku dikuatkan oleh konsekuensi
yang individu tersebut alami ketika perilaku tertentu dilakukan. Karena
perilaku dipengaruhi oleh konsekuensi yang pekerja itu alami, apa yang
terjadi ketika seorang pekerja menunjukkan perilaku tertentu adalah hal
yang penting untuk meningkatkan kinerja manusia.
Kelima, kecelakaan bisa dihindari dengan memahami alasan/sebab
kejadian dan mengambil pelajaran dari kesalahan di masa lalu.
Peningkatan kinerja dapat diraih dengan menerapkan tindakan perbaikan
sebuah investigasi/analisa kecelakaan. Belajar dari kesalahan diri sendiri
dan orang lain adalah hal yang reaktif, namun menjadi hal yang penting
sebagai bentuk perbaikan berkelanjutan.
Manusia tidak berbuat salah secara sengaja. Kesalahan (error) adalah
tindakan manusia yang tidak disengaja yang menyimpang dari tindakan
yang diharapkan. Kesalahan adalah tindakan tak terencana atau dipikirkan
terlebih dahulu. Kesalahan manusia (human error) terjadi akibat
ketidakcocokan antara keterbatasan manusia dengan kondisi lingkungan di
tempat kerja, termasuk ketidaksesuaian manajemen, kepemimpinan dan
kelemahan organisasi yang membuat kondisi tersebut muncul.
Luput (slips) terjadi ketika suatu aksi fisik gagal mewujudkan hasil yang
diinginkan. Sedang khilaf (lapses) melibatkan kegagalan terkait ingatan
atau mengingat ulang.
Beberapa hal berikut bisa menjelaskan bagaimana ketidaktepatan atau
aksi yang salah bisa terjadi:
Waktu terlalu cepat, terlalu lambat, alpa
Durasi terlalu lama, terlalu singkat

Urutan terbalik, berulang-ulang, gangguan


Obyek salah tindakan di obyek yang benar, tindakan bertindak di obyek
yang salah
Tekananan terlalu sedikit atau terlalu banyak tekanan
Arahan salah memberikan arahan
Kecepatan terlalu cepat atau terlalu lambat, dan
Jarak terlalu jauh, terlalu dekat.
Keliru (mistake), sebaliknya, terjadi ketika seseorang mempergunakan
rencana yang tidak memadai untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Kekeliruan biasanya melibatkan kesalahan interpretasi atau kurangnya
pengetahuan.
Manusia memiliki karakter fisik, biologi, sosial, mental, dan emosi yang
membentuk kecenderungan, kemampuan dan juga menentukan
keterbatasannya.
Salah satu ciri manusia adalah ketidaktepatannya. Tidak seperti mesin
yang selalu tepat setiap saat, manusia cenderung tidak tepat, terutama
dalam kondisi tertentu, semisal dalam tekanan stres dan waktu yang
besar. Karena sifat manusiawi inilah, pekerja cenderung rentan terhadap
kondisi eksternal yang membuat mereka melampaui batasan sifat
manusianya. Kerentanan inilah yang membuat pekerja bisa berbuat salah.
Kerentanan ini juga terjadi ketika manusia bekerja dalam sistem yang
rumit (perangkat lunak maupun administratif)
Beberapa karakter manusia dibawah ini perlu diperhatikan, terutama
ketika menempatkan pekerja di sistem kerja yang rumit:
Stres. Pada dasarnya, stres bukanlah hal yang buruk. Beberapa kondisi
stres merupakan hal yang normal dan sehat. Stres bahkan dapat
meningkatkan fokus sehingga menguntungkan. Namun, stres bisa
terakumulasi dan menguasai seseorang, sehingga pada akhirnya
melumpuhkan kinerja.
Menghindari kelelahan pikiran. Manusia cenderung enggan
berpikir/konsentrasi/fokus dalam jangka waktu yang lama karena
melelahkan. Berpikir adalah proses yang membutuhkan usaha yang besar
dan juga lambat, akhirnya manusia cenderung mencari pola yang
dikenalnya dan menerapkan solusi yang sudah pernah diterapkan. Polanya
bisa berupa:
Asumsi -menerima suatu kondisi sebagai suatu hal yang benar tanpa
verifikasi terlebih dahulu
Kebiasaan pola perilaku dibawah sadar sebagai hasil dari pengulangan
yang sering
Bias konfirmasi keengganan untuk menerapkan solusi terbaru karena
bias pemikiran yang ada akibat investasi waktu dan usaha yang diperlukan
untuk menerapkan solusi terbaru itu. Bias ini terjadi karena otak sudah
melihat hasil dari solusi sebelumnya dan menolak data/fakta mengenai

keberhasilan solusi yang baru


Bias kesamaan kecenderungan untuk mengambil solusi dari kondisi yang
serupa yang berhasil di masa lalu
Bias frekuensi mencoba solusi yang sudah berhasil dan sering dipakai
Bias ketersediaan kecenderungan untuk menerapkan solusi yang
tersedia/muncul dalam pikiran.
Keterbatasan memori kerja. Ingatan jangka pendek (short term memory)
adalah tempat kerja/memori kerja bagi penyelesaian masalah dan
pengambilan kebutusan. Ingatan jangka pendek dipergunakan untuk
menyimpan informasi baru dan aktif dipergunakan ketika belajar,
menyimpan dan memanggil (recall) informasi. Inilah yang menyebabkan
pekerja lupa, terutama ketika berkerja dengan prosedur yang rumit.
Keterbatasan fokus perhatian. Keterbatasan kemampuan berkonsentrasi
pada dua atau lebih aktifitas menurunkan kemampuan untuk memproses
informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah. Fokus perhatian
sangatlah terbatas, jika diambil oleh satu hal maka dia akan menarik diri
dari hal yang lain.
Pola pikir. Manusia cenderung fokus pada apa yang hendak dicapai
daripada pada fokus pada apa yang harus dihindari, karenanya, manusia
hanya melihat apa yang pikirannya harapkan/inginkan untuk dilihat. Otak
manusia cenderung mencari keteraturan, setelah didapat, maka ia akan
mengacuhkan selain itu; dengan demikian ia akan melewatkan kondisi
yang tidak diperkirakan.
Sulit melihat kesalahannya sendiri. Individu, terutama yang bekerja sendiri,
rentan terhadap kesalahan. Pekerja yang terlalu asyik dengan kerjaannya,
atau disibukkan dengan suatu hal, bisa jadi gagal untuk dapat
mengidentifikasi ketidaknormalan.
Keterbatasan perspektif. Manusia tidak bisa melihat semua hal yang ada
ditempat kerja untuk dilihat. Keterbatasan manusia untuk menerima
semua fakta dapat menghalangi keputusannya untuk memecahkan
masalah.
Rentan terhadap faktor emosional/sosial. Kemarahan atau rasa malu bisa
menurunkan kinerja seorang pekerja atau kelompok kerja.
Kelelahan. Lelah secara fisik, emosi dan mental bisa meng arah ke
tindakan yang salah dan pengambilan keputusan yang tidak tepat.
Kelelahan dapat diakibatkan oleh faktor di dalam pekerjaan (tekanan
produksi, lingkungan, dan kurangnya jumlah pekerja) dan faktor d iluar
pekerjaan (pola makan dan tidur). Kelelahan memperburuk pengambilan
keputusan, menurunkan kewaspadaan, memperlambat proses berpikir dan
waktu reaksi, menghilangkan kewaspadaan kepada lingkungan (situational
awareness) dan mendorong seseorang mengambil jalan pintas (shortcut).
Presenteeism. Beberapa pekerja akan tetap memaksakan hadir dan
bekerja meskipun kemampuan kerjanya sudah menurun karena penyakit

atau cedera. Kecenderungan pekerja tetap melanjutkan pekerjaan meski


memiliki masalah kesehatan yang ringan dapat diakibatkan oleh
kurangnya cuti sakit, menumpuknya pekerjaan atau tidak tersedianya
akses pelayanan kesehatan.
Sikap tidak aman. Sikap dapat diartikan sebagai kondisi mental atau
perasaan terhadap suatu obyek atau subyek. Dikatakan bahwa persepsi
seseorang terhadap resiko lebih banyak dipengaruhi oleh hatinya
ketimbang otaknya. Beberapa sikap yang dapat menimbulkan resiko
berbuat salah misalnya:
Rasa bangga. Kebanggaan berlebih terhadap kemampuan diri sendiri;
sombong. Terlalu fokus pada diri sendiri dan berlebihan rasa bangga
cenderung membutakan kita akan hal-hal yang dapat dilakukan oleh orang
lain, menurunkan kepercayaan terhadap kerjasama tim.
Heroik. Keberanian yang berlebihan. Reaksi heroic biasanya impulsif, ada
pemikiran dalam dirinya bahwa pekerjaan harus dilakukan secara cepat
atau dianggap gagal. Perspektif ini ditandai dengan fokus berlebih pada
tujuan tanpa mempertimbangkan bahaya yang harus dihindari
Fatalistic. Sikap kalahan yang meyakini bahwa setiap kejadian sudah
ditentukan, tidak bisa dihindari, dan tidak ada yang dapat dilakukan untuk
menghindari takdir
Invulnerability. Memiliki rasa kebal terhadap kesalahan/tidak mungkin
berbuat salah, gagal atau cedera. Kebanyakan orang tidak percaya bahwa
mereka akan berbuat salah: tidak mungkin terjadi pada diriku. Padahal,
kesalahan selalu mengejutkan ketika terjadi, sebagai akibat dari
keterbatasan/ketidak akuratan manusia dalam memperhitungkan resiko
Pollyanna (rasa optimis berlebihan). Manusia mencari keteraturan dalam
lingkungan, bukan ketidakteraturan. Memiliki kecenderungan mengisi
kekosongan persepsi dan melihat secara keseluruhan ketimbang per
bagian. Akibatnya, secara tidak sadar mereka meyakini bahwa segala
sesuatu akan berjalan sesuai yang direncanakan. Hal yang bisa terjadi
ketika melakukan pekerjaan rutin adalah tanpa sadar meyakini bahwa
tidak ada satupun yang bisa berjalan tidak sesuai rencana/salah. Sikap ini
membuat ketidakakuratan dalam memperhitungkan resiko dan
mengacuhkan situasi atau bahaya yang tidak biasa, sehingga
menyebabkan mereka terlambat atau bahkan tidak bereaksi
Sikap Ban gundul. Kinerja masa lalu terkadang menjadi pembenaran
untuk tidak merubah (melakukan perbaikan) praktek atau kondisi yang
sudah ada: saya sudah berkendara 100.000 KM tanpa sekalipun
mengalami ban bocor. Kesuksesan bisa membuat kepuasan dan
kepercayaan diri berlebih. Kalimat yang biasa digunakan misalnya, kita
tidak pernah mengalami masalah seperti ini di masa lalu, atau kita selalu
melakukannya dengan cara seperti ini.
Bekerja dalam kelompok juga tidak membuat manusia bebas dari

kesalahan. Kesalahan kelompok (team error) bisa terjadi akibat interaksi


antara anggota kelompok kerja.

Bagan Kelompok Kesalahan


Kesalahan kelompok bisa diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya:
Efek halo Kepercayaan buta akan kompetensi seseorang dikarenakan
pengalaman atau pendidikannya. Hal ini mengakibatkan antar anggota
kelompok menurunkan kewaspadaannya terhadap kesalahan yang dapat
diakibatkan oleh individu yang kompeten; tidak memeriksa tindakan
seorang yang kompeten
Pilot-Co-pilot Keengganan pekerja junior (co-pilot) untuk menentang
pendapat, keputusan atau tindakan pekerja senior (pilot) karena posisinya
di dalam struktur organisasi perusahaan. Bawahan menunjukkan sopan
santun berlebihan ketika berinteraksi dengan manajer senior, tanpa sadar
menerima perkataan bos tanpa berpikir kritis atau berbeda pendapat
terhadap tindakan dan keputusannya.
Menumpang/mengikuti saja Kecenderungan untuk menumpang (ikutikutan saja) tanpa secara aktif mengevaluasi maksud dan tindakan pekerja
yang melakukan pekerjaan atau mengambil inisiatif. Orang lain yang
mengambil inisiatif untuk melakukan pekerjaan, sementara si penumpang
hanya mengambil peran pasif.
Berpikir grup Kepaduan, loyalitas, konsensus dan komitmen adalah hal
yang baik jika ada di dalam kelompok kerja. Namun, terkadang, hal-hal
tersebut bisa menurunkan kualitas keputusan tim. Contohnya, ada
keenganan untuk berbagi informasi yang berbeda untuk menjaga
keharmonisan tim. Kondisi itu bisa diperparah jika ada anggota grup yang
dominan dan memberikan pengaruh yang kuat dalam pola pikir grup
(pilot/co-pilot atau efek halo). Akibatnya, informasi yang penting bisa jadi
tidak terbagi kepada anggota kelompok.
Difusi tanggung jawab bisa jadi berisiko dalam pengambilan keputusan dan

pemecahan masalah kelompok. Jika dua atau lebih pekerja sepakat akan
sesuatu yang dianggap cara yang terbaik dalam melakukan sesuatu, maka
mereka akan lebih mudah mengambil resiko dan mengabaikan prosedur
atau kebijakan yang ada. Fenomena ini bisa disebut mentalitas gembala
(herd mentality).

También podría gustarte