Está en la página 1de 4

Adzan Terakhir Bilal bin Rabah

Bilal bin Rabah RA termasuk orang-orang pertama masuk Islam. Bilal pernah merasakan
penganiayaan berat yang dilakukan orang-orang musyrik. Apabila matahari tepat berada di ubunubun, padang pasir Mekah berubah menjadi perapian. Orang-orang kafir Quraisy memakaikan
baju besi pada orang-orang Islam dan membiarkan mereka terbakar.
Kafir Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf. Dia menghantam
punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya berkata, Ahad, Ahad (Allah
Maha Esa). Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu besar panas, Bilal pun hanya
berkata, Ahad, Ahad .
Semakin meningkatkan penyiksaannya, Bilal tetap mengatakan, Ahad, Ahad. Suatu ketika,
Abu Bakar mengajukan penawaran kepada Umayyah bin Khalaf untuk membeli Bilal. Umayyah
menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi
ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus mengeluarkan 9 uqiyah emas.
Seusai transaksi, Umayyah berkata kepada Abu Bakar, Sebenarnya, kalau engkau menawar
sampai 1 uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu menjualnya. Abu Bakar membalas,
Seandainya engkau memberi tawaran sampai 100 uqiyah-pun, maka aku tidak akan ragu untuk
membelinya.
Ketika Abu Bakar memberi tahu Rasulullah SAW, bahwa ia telah membeli sekaligus
menyelamatkan Bilal. Rasulullah SAW bersabda, Kalau begitu, biarkan aku bersekutu
denganmu untuk membayarnya, wahai Abu Bakar. Abu Bakar menjawab, Aku telah
memerdekakannya, wahai Rasulullah.
Setelah Rasulullah SAW mengizinkan sahabat-sahabatnya hijrah ke Madinah, mereka segera
berhijrah, termasuk Bilal. Setibanya di Madinah, Bilal tinggal serumah dengan Abu Bakar dan
Amir bin Fihr. Ketika Rasulullah SAW selesai membangun Masjid Nabawi dan menetapkan
azdan, maka Bilal ditunjuk sebagai orang pertama yang menjadi muadzin dalam sejarah Islam.
Ketika Rasulullah SAW wafat pada hari Senin 12 Rabiul Awal 11 H, tepat pada usia 63 tahun
lebih 4 hari, seantaro Madinah berduka. Hari itu tibalah waktu shalat, Bilal bin Rabah beranjak
menunaikan tugasnya mengumandangkan adzan. Allahu Akbar, Allahu Akbar Suara
beningnya yang indah dengan lantang terdengar ke seantero Madinah.
Penduduk Madinah beranjak menuju masjid, walaupun masih dalam kesedihan mendalam.
Mereka sadar bahwa pria yang selama ini mengimami mereka tak akan pernah lagi muncul di
hadapan mereka. Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah. Suara bening itu
kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa gerangan.

Jamaah yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria legam itu bergetar tak beraturan.
Asyhadu.. an..na.. M..Mu..mu..hammmad Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini
tak hanya tangan Bilal yang bergetar hebat, seluruh tubuhnya pun turut gemetar, seakan-akan ia
tak sanggup berdiri dan bisa roboh kapan pun juga.
Wajahnya sembab. Air matanya mengalir deras membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga
jenggot. Tanah tempat ia berdiri dipenuhi bercak-bercak tangisan. Ia mencoba mengulangi
kalimat adzan yang terputus. Namun pada kalimat persaksian bahwa Muhammad adalah Rasul
Allah, ia tak bisa meneruskan lebih jauh.
Tubuhnya mulai limbung. Salah seorang sahabat menghampiri memeluknya dan meneruskan
adzan yang terpotong. Tak hanya Bilal yang menangis, seluruh jamaah yang berkumpul di
Masjid Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut menangis. Semua menangis, namun
tidak seperti Bilal.
Bilal mungkin teringat bagaimana Rasulullah SAW memuliakannya disaat ia terhina, hanya
karena ia budak dari Afrika. Ia teringat pula bagaimana Rasulullah SAW menjodohkannya. Saat
itu Rasulullah meyakinkan keluarga mempelai wanita dengan bersabda, Bilal adalah pasangan
dari surga, nikahkanlah saudari perempuanmu dengannya.
Pria legam itu terenyuh mendengar sanjungan Sang Nabi, seorang pria berkulit hitam, tidak
tampan, dan mantan budak. Ketika Bilal bin Rabah menyatakan bahwa dirinya tidak akan
mengumandangkan adzan lagi. Khalifah Abu Bakar merasa ragu untuk mengabulkan
permohonannya.
Namun Bilal mendesaknya seraya berkata, Jika dulu engkau membeliku untuk kepentingan
dirimu sendiri, maka engkau berhak menahanku, tapi jika engkau memerdekakanku karena
Allah, maka biarkanlah aku bebas menuju kepada-Nya. Abu Bakar menjawab, Demi Allah,
aku benar-benar membelimu untuk Allah, dan aku memerdekakanmu juga karena Allah.
Bilal menyahut, Kalau begitu, aku tidak akan pernah mengumandangkan adzan untuk siapa
pun setelah Rasulullah SAW. Abu Bakar menjawab, Baiklah, aku mengabulkannya.
Kenangan bersama Rasullullah di Madinah membuat Bilal sering menangis, hingga ia pergi
meninggalkan Madinah bersama pasukan pertama yang dikirim Abu Bakar.
Bilal tinggal di daerah Darayya yang terletak tidak jauh dari Damaskus. Seiring waktu berlalu
Bilal tak pernah lagi mengunjungi Madinah. Hingga pada suatu malam, Rasulullah hadir dalam
mimpi Bilal. Dalam mimpi itu Rasulullah SAW menegurnya, "Hai Bilal, mengapa engkau tak
mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini?"
Bilal pun terperanjat, segera ia mempersiapkan perjalanan ke Madinah, berziarah ke makam
Nabi. Setiba di Madinah, Bilal bersedu sedan melepas rindunya di makam Rasulullah. Saat itu,

dua pemuda yang telah beranjak dewasa mendekatinya. Keduanya adalah cucu Rasulullah SAW,
Hasan dan Husein.
Dengan mata sembab, Bilal yang kian beranjak tua memeluk kedua cucu Rasulullah tersebut.
Salah satu dari keduanya berkata kepada Bilal, "Paman, maukah engkau sekali saja
mengumandangkan adzan untuk kami? Kami ingin mengenang kakek kami". Ketika itu Umar bin
Khattab yang saat itu telah menjadi Khalifah juga berada di sana.
Umar membujuk Bilal untuk mengumandangkan adzan, meski sekali saja. Umar berkata, Ini
semua untuk umat. Umat yang dicintai Muhammad, umat yang dipanggil Muhammad saat
sakaratul mautnya. Begitu besar cintamu kepada Muhammad, maka tidakkah engkau cinta pada
umat yang dicintai Muhammad?
Bilal tersentuh dan menyetujui mengumandangkan adzan sekali saja yaitu saat waktu Subuh.
Waktu shalat pun tiba, maka Bilal naik pada tempatnya dahulu adzan. Mulailah dia
mengumandangkan kalimah-kalimah adzan. Saat lafadz Allahu Akbar dikumandangkan
mendadak seluruh Madinah senyap.
Segala aktifitas terhenti, semua terkejut, suara yang telah bertahun-tahun hilang, suara yang
mengingatkan pada sosok Rasulullah SAW kembali menggema. Ketika Bilal meneriakkan lafadz
'Asyhadu an laa ilaha illallah', seluruh isi kota madinah berlarian ke arah Masjid sambil
berteriak.
Saat bilal mengumandangkan 'Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah', Madinah pecah oleh
tangisan memilukan. Semua menangis, teringat masa-masa indah bersama Rasulullah, Umar
paling keras tangisnya. Bahkan Bilal sendiri pun tak sanggup meneruskan adzannya, lidahnya
tercekat oleh air mata yang berderai.
Hari itu madinah mengenang masa saat Rasulullah masih bersama mereka. Hari itu adalah adzan
pertama dan terakhir Bilal. Adzan yang telah menerbitkan rasa kerinduan penduduk Madinah,
adzan yang tak bisa dirampungkan. Madinah kembali banjir air mata kerinduan. Kemudian
menurut riwayat seminggu setelah peristiwa itu tepatnya pada 20 H (2 Maret 640 M), Bilal
terbaring lemah di tempat tidurnya.
Usianya saat itu telah beranjak 70 tahun. Sang istri di sampingnya tak bisa menahan
kesedihannya. Ia menangis, sadar suami tercinta akan segera menemui Rabbnya. Jangan
menangis, katanya kepada istri. Sebentar lagi aku akan menemui Rasulullah SAW dan
sahabat-sahabatku yang lain. Jika Allah mengizinkan, aku akan bertemu kembali dengan mereka
esok hari.
Esoknya ia benar-benar sudah dipanggil ke hadapan Rabbnya. Bilal dimakamkan di Bab AshShaghir, Damaskus. Pria yang suara terompahnya terdengar sampai ke surga berada dalam
kebahagiaan yang sangat. Bilal termasuk salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga.

(MH)
Makam Bilal bin Rabah di Damaskus, Suriah. (culturallyspeaking.net)

También podría gustarte