Está en la página 1de 4

Selasa, 18 September 2007 WACANA

Problem Pendidikan Islam Masa Kini


Oleh Syaefudin

ISTILAH pendidikan Islam dipergunakan dalam dua hal, yaitu: satu, segenap kegiatan yang
dilakukan seseorang atau lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah
siswa. Dua, keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan
kegiatannya atas pandangan dan nilai-nilai Islam.
Apakah problematika Pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini? Salah satu cara adalah melihat
pendidikan Islam di Indonesia sebagai bagian dari seluruh jenis pendidikan yang ada dan
kemudian mengkaji persoalan terdapat dalam dunia pendidikan Islam.
Masalah yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini ialah bagaimana mempersiapkan generasi
muda, agar memiliki kemampuan di kemudian hari untuk menjawab segenap tantangan yang
mereka hadapi secara memadai.
Saya kira ke dalam sistem pendidikan Indonesia sekarang perlu dimasukkan sejumlah perbaikan
atau penyesuaian untuk membuatnya mampu melahirkan angkatan yang makin cerdas dan makin
terampil.
Menjadi kewajiban sistem pendidikan di Indonesia untuk membekali generasi muda sekarang ini
dengan pengetahuan yang relevan, keterampilan yang memadai dan watak atau karakter yang
dapat diandalkan, agar timbul barisan pengelola masyarakat dan bangsa yang mampu menjawab
tantangan secara cepat dan manusiawi.
Problematika kedua yang dihadapi sistem pendidikan di Indonesia ialah perluasan sistem, yaitu
menambah daya tampung sistem, sehingga sistem pendidikan Islam tidak hanya melayani anak-
anak usia sekolah melalui pendidikan formal saja, melainkan melayani masyarakat melalui
sistem pendidikan non-formal. Akhir-akhir ini kehausan masyarakat kita akan pengetahuan
tentang agama Islam sangat meningkat. Sistem pendidikan non-formal merupakan satu-satunya
sarana memenuhi kebutuhan tersebut.
Di masyarakat muncul berbagai lembaga untuk memenuhi permintaan akan pengetahuan agama,
misalnya lembaga dakwah, kelompok pengajian, kuliah subuh, dan sebagainya. Ini semua dapat
dipandang sebagai modal untuk mengembangkan sistem pendidikan non-formal.
Mampukah kita mengembangkan lembaga pendidikan non-formal yang dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat? Dapatkah kita mengembangkan lembaga pendidikan yang akan mampu
mencegah bangsa kita menjadi buta agama? Inilah problem pendidikan nasional kedua yang
sudah mulai terasa dewasa ini. Pada dasarnya ada dua acara pendidikan nasional yang perlu
dilaksanakan yakni peremajaan sistem, dan pengembangan sistem pendidikan nonformal.
Apakah sumbangan yang dapat diberikan oleh pendidikan Islam di Indonesia untuk membantu
pendidikan nasional mengembangkan diri, sehingga ia mampu melahirkan angkatan baru dalam
masyarakat Indonesia yang kian lama kian cerdas, kian terampil dan kian bijaksana, dalam
menyelesaikan persoalan bangsa yang dihadapinya?

Sistem dan Struktur

Ada dua hal yang perlu dikaji mengenai Pendidikan Islam Indonesia sebagai suatu sistem, yaitu
mengenai hubungannya dengan keseluruhan sistem pendidikan; dan mengenai struktur internal
yang terdapat dalam tubuh Pendidikan Islam Indonesia .
Dalam soal peremajaan sistem pendidikan formal, pendidikan Islam merupakan semacam
"beban" yang harus diangkat oleh induknya, yaitu sistem pendidikan nasional pada umumnya.
Sedangkan dalam soal pengembangan pendidikan nonformal, ia menjadi "pelopor" yang tak
mudah diikuti. Pendidikan Islam di Indonesia yang ada pada saat ini dapat dibagi menjadi empat
jenis, yaitu:
Satu, Pendidikan Pondok Pesanten, ialah Pendidikan Islam yang diselenggarakan secara
tradisional bertolak dari ajaran Alquran dan Al- Hadis, dan merancang segenap kegiatan
pendidikannya untuk mengajarkan para siswa sebagai jalan hidup (way of life);
Dua, Pendidikan Madrasah, ialah pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga model
Barat yang mempergunakan metode pengajaran klasikal dan berusaha menanamkan Islam
sebagai landasan hidup ke dalam diri para siswa;
Tiga, pendidikan umum yang bernafaskan Islam, ialah pendidikan Islam yang dilakukan melalui
pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga pendidikan yang
menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum.
Empat, pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga pendidikan umum sebagai mata
pelajaran saja. Mengenai pendidikan jenis pertama (pondok pesantren) dan kedua (madrasah)
tidak ada masalah. Mengenai pendidikan Islam jenis ketiga (pendidikan umum yang bernafaskan
Islam, ialah lembaga pendidikan seperti Universitas Islam, pada tingkat pendidikan tinggi; SMA,
pada tingkat pendidikan menengah. Sedangkan SD dan SMP, pada tingkat pendidikan dasar.
Mengenai Pendidikan Islam jenis keempat, yaitu pelajaran agama Islam di sekolah umum, ada
sedikit tambahan. Kegiatan pendidikan Islam jenis ini pada umumnya merupakan pendidikan
keislaman yang sangat terbatas cakupannya dan banyak pihak yang berpendapat, bahwa kegiatan
ini sebenarnya sukar dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan, dan lebih tepat kalau disebut
sebagai kegiatan pengajaran.
Pendidikan Islam Indonesia dapat diandalkan untuk memelopori kegiatan pengembangan sistem
pendidikan nonformal dalam masyarakat. Sedangkan pendidikan Islam di madrasah serta
lembaga pendidikan umum yang bernafaskan Islam merupakan wahana yang dapat dipergunakan
oleh umat Islam untuk ikut mendorong lahirnya proses peremajaan sistem pendidikan formal .
Pendidikan Islam jenis keempat, yaitu pelajaran agama Islam di sekolah umum merupakan
kegiatan dengan posisi yang bersifat marginal. Artinya tidak banyak yang dapat dilakukan oleh
para pendidik Islam lewat pendidikan jenis ini untuk memberikan sumbangan yang berarti bagi
lahirnya proses peremajaan sistem pendidikan .
Kekuatan utama, dari pondok pesantren sebagai lembaga penyelenggara pendidikan nonformal
terletak pada kemampuannya untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada segenap
golongan umur dan masyarakat.
Di lain pihak, keterbatasan yang terdapat pada pondok pesantren sebagai pusat pendidikan non-
formal ialah bahwa pelayanan pendidikan yang diberikannya kepada masyarakal terpusat pada
soal keagamaan semata-mata. Padahal kebutuhan masyarakat luas akan pelayanan pendidikan di
masa sekarang meliputi berbagai macam jenis, seperti kesehatan, pertanian, berbagai jenis
teknologi, pengetahuan umum, dan sebagainya.

Dua Jalur

Proses peremajaan sistem pendidikan formal perlu dilakukan lewat dua jalur kegiatan, yaitu:
jalur kegiatan untuk mengangkat mutu pendidikan di sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah;
dan jalur kegiatan untuk mendorong sekolah dan madrasah mengantisipasi persoalan yang
diperhitungkan akan muncud di masa depan. Melalui perkembangan ini, pendidikan formal kita
akan mampu melahirkan angkatan-angkatan yang makin takwa, makin cerdas dan makin
terampil (11).

- Drs Syaefudin, MPd. alumnus S2 konsentrasi Manajemen Pendidikan Universitas Islam.


SETETES EMBUN

MENGURAI MAKNA DALAM SETIAP KATA,MEMBERIKAN SETITIK PENCERAHAN


Friday, March 9, 2007
MEMBEDAH AKAR MASALAH MADRASAH

MEMBEDAH AKAR MASALAH MADRASAH

Oleh: Silfia Hanani

Tulisan Hilmi Muhammadiyah pada 5 Januari 2007 di bawah tajuk Mengakhiri Diskrimininasi
Terhadap Madrasah sebanarnya bukanlah sebuah isu yang baru, tetapi isu lama yang tidak
pernah teselesaikan sehingga madrasah berlarut-larut dalam masalahnya sendiri.
Permasalahan itu menurut Hilmi sebagai akibat daripada adanya hegemoni kekuasaan, pertama
terlihat melalui aturan main kurikulum madrasah yang “banci” dan kedua melalui pembiayaan
madrasah yang bertendensi dikhotomi jika dibandingkan dengan sekolah umum.
Keadaan yang demikian menjadikan madrasah tumbuh dan berkembang ibarat pepatah hidup
segan mati tak mau. Dalam kondisi seperti ini, betulkah hegemoni kekuasaan dan dikhotomi
kebijakan sebagai penyebab “runtuhnya” kualitas madrasah? Menjawab permasalahan ini perlu
dilakukan pendekatan ruang-waktu, sehingga ditemukan varian-varian lain yang ikut dominan
penyebab terperlesetnya mutu madrasah.
Di Indonesia sebelum populer madrasah telah berkembang institusi pendidikan Islam lokal yang
independen. Di Minangkabau misalnya, telah muncul institusi pendidikan Islam surau, di pulau
Jawa lebih populer pondok pesantren. Institusi pendidikan Islam lokal tersebut, telah berhasil
memembangun sumber daya umat Islam pada zamannya. Tetapi ketika datangnya kolonialisme
memperkenalkan sistem pendidikan modren, institusi lokal mulai buyar dan mulai dipandang
sebagai institusi pendidikan kelas dua oleh masyarakat.
Setidaknya ada dua permasalahan yang membuyarkan, pertama pendidikan Islam lokal yang
independen itu lebih bersifat tekstual, sementara alam kehidupan berkembang dengan begitu
cepat, perkembangan itu selalu menuntut kearah penguasaan materialisme. Konsep penguasaan
“materialisme” inilah yang kurang dalam institusi pendidikan Islam ketika itu. Fenomena yang
demikian oleh kolonialisme dijelaskan dengan Islam ortodok, Umat Islam yang tidak mau
memberikan ruang hidupnya kepada dimensi kompetisi dunia. Disinilah awal kekalahan teori
pendidikan umat Islam dalam penguasaan dunia, sehingga dalam rentang waktu yang begitu
mensejarah di negara ini tidak lahir teori-teori lokal yang berasaskan Islam tentang penguasaan
material ini. Akhirnya berpengaruh terhadap keberadaan sekolah agama. Sekolah agama
diorientasikan sekolah “akhirat”, image semacam itu berkembang luas dalam masyarakat
Indonesia yang mengalami perubahan besar.
Kedua, pengelolaan madrasah yang stagnan dan tidak mampu meracik sistem reinventing,
sehingga madrasah tidak mampu mengikuti perubahan masyarakat yang begitu cepat dan
kompleks. Baru sekitar awal abad 19 setelah kembalinya para pelajar Indonesia menuntut ilmu di
beberapa negara Timur Tengah termasuk di Mesir, institusi pendidikan Islam mulai diperbaharui
dengan cara mengadopsi sistem pendidikan Timur Tengah tersebut, sehingga madrasah menjadi
populer. Madrasah berkembang di berbagai kawasan di Indonesia, di Sumatera Barat waktu itu
ikon madrasah dipegang oleh Sumatera Thawalib, Diniyah Putra dan Putri.
Namun setelah Indonesia merdeka, institusi-institusi pendidikan Islam ini memasuki dunia
politik, pasang surut kualitas madrasah semakin tampak. Jati diri madrasah terombang ambing
kedalam dua kepentingan yang tidak berkesudahan, antara kepentingan politik dan umat. Tarik
menarik dua kepentingan ini, nampaknya ikut memberikan peluang tidak bergimingnya
madrasah sebagai agent transformasi sosial umat Islam di Indonesia, sementara sekolah-sekolah
umum yang modern semakin menampakkan jati dirinya seperti yang dipersepsikan oleh
masyarakat sebagai penyelamat dunia material. Imege terhadap madrasah mulai berkurang,
masyarakat lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah umum ketimbang ke
madrasah.
Keadaan kualitas madrasah yang tidak stabil itu akahirnya masuk dalam cakrawala nasional,
sehingga madrasah menjadi objek dalam sistem pendidikan nasional. Oleh sebab itulah, terjadi
perubahan-perubahan kurikulum dalam madrasah. Madrasah mulai menghadapi kurikulum
keberimbangan, antara pendidikan umum dan pendidikan agama, kemudian dipercepatlah
menjadi 70% pendidikan umum dan 30% pendidikan agama, dengan tujuan untuk memicu lari
mutu madrasah dan skaligus untuk menghilangkan stigma masyarakat yang memandang
madrasah sebagai kelas pendidikan nomor dua.
Dibalik pergerakan perubahan itu, apa sesungguhnya yang terjadi. Mutu madrasah tetap saja
berjalan ditempat. Malah madrasah kehilangan jati dirinya sebagai institusi yang fokus dengan
pendidikan Islam. Untuk mengkonter kondisi tersebut maka lahirlah madrasah khusus, terutama
pada tingkat aliyah, yang fokus dengan pendidikan agama Islam. Namun, madrasah-madrasah
yang setengah umum dan setengah agama tetap berada dalam muara kebingungan dan jati
dirinya yang tidak jelas.

Membebaskan Madrasah
Menilik daripada perjalanan jatuh bangunnya madrasah dalam pentas pendidikan di Indonesia,
sebuah kesimpulan yang perlu di bebaskan adalah kultur madrasah yang soft culture, yaitu
adanya sebuah budaya kelemahkarsaan dalam membangun jati dirinya, sehingga madrasah
terombang ambing dalam kecepatan perubahan yang terjadi.
Sesungguhnya Departemen Agama yang pada umumnya sebagai pemilik madrasah sudah harus
mempunyai ruang wacana yang konstruktif ke arah mana madrasah ini digiring sehingga
madrasah mampu tampil dengan jati dirinya yang sesungguhnya, tidak bermain dalam “ikut-
ikutan”, seperti yang terlihat selama ini.
Permasalahan mutu, harus dilihat secara holistik, tidak hanya dilihat dari segi minimnya dana
pendidikan yang dikucurkan pemerintah tetapi juga harus dilihat dari peta “dalam” yang berlaku
dalam madrasah. Penglihatan peta dalam ini, yang paling urgen tentang bagaimana madrasah
berkontestasi selama ini perlu dicerna oleh Depertemen Agama.

También podría gustarte