Está en la página 1de 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitarnya, baik berupa benda
hidup, benda mati, benda nyata ataupun abstrak, termasuk manusia lainnya, serta suasana
yang terbentuk karena terjadinya interaksi diantara elemen-elemen di alam tersebut.
Lingkungan itu sangat luas, oleh karenanya seringkali dikelompokkan untuk
mempermudah pemahamannya. Lingkungan itu dikelompokakan, pada prinsipnya,
lingkungan (air, udara, tanah, sosial, dll.) tidak dapat dipisah-pisahkan, karena tidak
mempunyai batas yang nyata dan merupakan suatu kesatuan ekosistem. (Soemirat, 2009)
Menurut Hendrik L.Bloem, lingkungan merupakan salah satu variabel yang kerap
mendapat perhatian khusus dalam menilai kondisi kesehatan masyarakat. Bersama
dengan faktor perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik, lingkungan menentukan baik
buruknya status derajat kesehatan masyarakat.
Penyakit terjadi karena adanya interaksi antara manusia dengan lingkungan
hidupnya. Interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya merupakan suatu proses yang
wajar dan terlaksana sejak manusia itu dilahirkan sampai ia meninggal dunia. Hal ini
disebabkan karena manusia memerlukan daya dukung unsur unsur lingkungan untuk
kelangsungan hidupnya. Udara, air, makanan sandang, papan, dan seluruh kebutuhan
manusia harus diambil dari lingkungan hidupnya. Akan tetapi, dalam proses interaksi
manusia dengan lingkungannya ini tidak selalu dapatkan keuntungan, kadang kadang
manusia bahkan mendapat kerugian. Misalnya, seseorang makan minum untuk
menghilangkan rasa lapar dan dahaga, tetapi dapat menjadi sakit karenanya. Hal ini
merupakan akibat hubungan timbal balik antara aktivitas manusia dengan lingkungannya.
(Soemirat, 2009)
Pencemaran udara adalah salah satu permasalahan lingkungan kesehatan
masyarakat di Indonesia. Tingkat pencemaran udara di Indonesia sudah melebihi nilai

ambang batas normal terutama di kota kota besar, akibat gas buangan kendaraan
bermotor, Hampir setiap tahun asap tebal meliputi wilayah Nusantara bahkan sampai ke
negara tetangga akibat pembakaran hutan untuk lahan pertanian dan perkebunan.
(Chandra, 2009)
Pencemaran udara seperti asap rokok, gas SO2 menyebabkan penurunan fungsi
sistem pertahanan tubuh yang menyebabkan penyakit sistem pernafasan, contohnya
adalah Infeksi Saluran Pernafasan Akut. (Alsagaff, 2008)
Pencemaran lingkungan, dan tingkat kepadatan tempat tinggal mempengaruhi
tingginya angka kesakitan Infeksi Saluran Pernafasan Akut atau yang biasa disebut ISPA.
Oleh karena itu penyakit ISPA lebih sering terjadi di kota dibanding pedesaan.
Dikarenakan tingginya tingkat pencemaran lingkungan dan kepadatan tempat tinggal di
kota. (Widoyono, 2008)
ISPA adalah radang akut saluran pernafasan akut maupun bawah yang disebabkan
oleh infeksi jasad renik atau bakteri, virus, maupun riketsia tanpa atau disertai radang
parenkim paru. (Alsagaff, 2008)
Dalam pertemuan Review Pengendalian ISPA di Bekasi, 2005 di kalangan
akademisi mulai diperkenalkan istilah Infeksi Respiratorik Akut (IRA) sebagai padanan
istilah bahasa Inggris acute respiratory infection (ARI). Pada dasarnya ISPA sama dengan
IRA.
World Health Organization (WHO) mencatat bahwa Infeksi Saluran Pernafasan
Akut penyebab kematian rata rata anak berumur di bawah 5 tahun, dan memperkirakan
sekitar 1,9 juta anak telah meninggal dikarenakan Infeksi Saluran Pernafasan Akut di
tahun 2000, 70% dari itu berasal dari Afrika dan Asia Selatan. (WHO, 2002)
Sedangkan menurut data kesehatan Indonesia tahun 2011 sendiri, Infeksi Saluran
Pernafasan Akut memasuki peringkat 10 besar dalam kategori penyakit rawat jalan di
rumah sakit tahun 2010. Menduduki peringkat pertama dengan kunjungan sebanyak
433.354 orang. (Depkes, 2011)
ISPA merupakan permasalahan kesehatan masyarakat yang penting karena
menyebabkan kematian bayi dan balita yang cukup tinggi yaitu kira kira 1 dari 4
kematian yang terjadi. Setiap anak mengalami 3-6 episode ISPA setiap tahunnya. Antara
40% - 60% dari kunjungan puskesmas adalah karena penyakit ISPA. (Depkes, 2008)
Melalui data sepuluh penyakit terbesar surveilans terpadu penyakit berbasis
puskesmas di Provinsi Sumatera Utara 2012, kasus terbanyak didominasi oleh ISPA
dengan kasus sebanyak 231.199 (Sukarni, 2012)

Berdasarkan penjelasan yang diatas, nampaknya keadaan lingkungan berperan


terhadap angka kesakitan dari penyakit infeksi saluran pernafasan akut sehingga perlu
dilakukan penelitian mengenai keadaan lingkungan dan penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut di wilayah kerja puskesmas Padang Bulan.
1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah adalah : Bagaimana

keadaan lingkungan dan timbulnya penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut di wilayah
kerja Puskesmas Padang Bulan?.
3

Tujuan Penelitian
1
Tujuan Umum
Untuk mengetahui keadaan lingkungan dan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
Akut di wilayah kerja Puskesmas Padang Bulan.

2
Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
1 Mengetahui tingkatan pencemaran udara di wilayah kerja puskesmas Padang
2

Bulan.
Mengetahui kepadatan tempat tinggal, meliputi penghuni rumah, ukuran rumah,
dan bentuk rumah, sirkulasi udara, dan limbah menurut standar kesesehatan di

wilayah kerja puskesmas Padang Bulan.


Mengetahui angka kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut di wilayah kerja
puskesmas Padang Bulan.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan akan membawa manfaat-manfaat yaitu :
1 Bagi peneliti
a. Penelitian ini diharapkan sebagai sarana untuk melatih berfikir secara logis
dan sistematis serta mampu menyelenggarakan suatu penelitian berdasarkan
metode yang baik dan benar.
b. Hasil penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan pengetahuan peneliti
mengenai keadaan lingkungan dan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan
Akut.

Bagi mahasiswa
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi tentang keadaan
lingkungan dan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut.

Bagi peneliti lain


Hasil penelitian diharapkan dapat dipakai sebagai data dasar untuk
penelitian lebih lanjut tentang keadaan lingkungan dan penyakit saluran
pernafasan akut di wilayah kerja puskesmas Padang Bulan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kesehatan Lingkungan
Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan
lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status
kesehatan yang optimal pula. Ruang lingkup kesehatan tersebut antara lain mencakup:
perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja), penyediaan air bersih, pembuangan
sampah, pembuangan air kotor (air limbah), rumah hewan ternak (kandang), dan
sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan lingkungan untuk
memperbaiki atau mengoptimumkan lingkungan hidup manusia agar merupakan media
yang baik untuk terujudnya kesehatan yang optimum bagi manusia yang hidup
didalamnya. (Notoatmodjo)
Perumahan

Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia. Rumah atau tempat
tinggal manusia, dari zaman ke zaman mengalami perkembangan dari zaman ke zaman.
Namun seiring perkembangan model rumah dari waktu ke waktu, terdapat beberapa
faktor faktor yang perlu diperhatikan dalam membangun rumah, seperti:
1. Faktor lingkungan, baik lingkungan fisik, biologis maupun lingkungan sosial.
Maksudnya, membangun sebuah rumah harus memperhatikan tempat dimana rumah
itu didirikan. Di pegunungan ataukah di tepi pantai, di desa ataukah di kota, di daerah
dingin ataukah di daerah panas, didaerah bebas gempa, dan sebagainya. Rumah di
daerah pedesaan, sudah barang tentu disesuaikan kondisi sosial budaya pedesaan
misalnya bahannya, bentuknya, menghadapnya, dan lain sebagainya. Rumah di
daerah gempa harus dibuat dengan bahan bahan yang ringan namun harus kokoh,
rumah di dekat hutan harus dibuat sedemikian rupa sehingga aman terhadap serangan
binatang buas.
2. Tingkat kemampuan ekonomi masyarakat
Hal ini dimaksudkan rumah dibangun berdasarkan kemampuan keuangan
penghuninya, untuk itu maka bahan bahan setempat misalnya dari bambu, kayu atap
rumbia, dan sebagainya, merupakan bahan - bahan pokok pembuatan rumah. Perlu
dicatat bahwa mendirikan rumah adalah bukan sekedar berdiri pada saat itu saja,
namun diperlukan pemeliharaan seterusnya. Oleh karena itu, kemampuan
pemeliharaan oleh penghuninya perlu dipertimbangkan.
3. Teknologi yang dimiliki oleh masyarakat
Dewasa ini teknologi perumahan sudah begitu maju dan begitu modern. Akan tetapi
teknologi modern itu sangat mahal dan bahkan kadang kadang tidak dimengerti
masyarakat. Rakyat pedesaan bagaimanapun sederhananya, sudah mempunyai
teknologi perumahan sendiri yang dipunyai turun temurun. Dalam rangka penerapan
teknologi tepat guna, maka teknologi yang sudah dipunyai oleh masyarakat tersebut
dimodifikasi. Segi-segi yang merugikan kesehatan dikurangi, dan dipertahan segi-segi
yang sudah positif.
Contoh: Rumah limasan yang terbuat dari dinding dan atapnya dari daun rumbia yang
dihuni oleh orang yang memang kemampuannya sejauh itu, dapat dipertahankan,
hanya kesadaran dan kebiasaan membuat lubang angin (jendela) yang cukup, perlu
ditanamkan kepada mereka.
4. Kebijaksanaan (peraturan) pemerintah yang menyangkut tata guna tanah

Untuk hal ini, bagi perumahan masyarakat pedesaan belum merupaklan problem,
namun di kota sudah menjadi masalah yang besar.
Syarat-syarat rumah yang sehat
1. Bahan bangunan
a. Lantai: ubin atau semen adalah baik, namun tidak cocok untuk kondisi
ekonomi pedesaan. Lantai kayu sering terdapat pada rumah-rumah orang yang
mampu di pedesaan, dan ini pun mahal. Oleh karena itu, untuk lantai rumah
pedesaan, dan ini pun mahal. Oleh karena itu, untuk lantai rumah pedesaan
cukuplah tanah biasa yang dipadatkan. Syarat yang penting di sini adalah
tidak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Untuk
memperoleh lantai tanah yang padat (tidak berdebu) dapat ditempuh dengan
menyiram air kemudiaan dipadatkan dengan benda-benda yang berat, dan
dilakukan berkali-kali. Lantai yang basah dan berdebu menimbulkan sarang
penyakit.
b. Dinding tembok sangat baik, namun di samping mahal, tembok sebenarnya
kurang cocok untuk daerah trpis, lebih lebih bila ventislasi tidak cukup
Dinding rumah di daerah tropis khususnya di pedesaan, lebih baik dinding
atau papan. Sebab meskipun jendela tidak cukup, maka lubang lubang pada
dinding atau papan tersebut dapat merupakan ventilasi, dan dapat menambah
penerangan alamiah.
c. Atap genteng umum dipakai baik di daerah perkotaan, maupun di pedesaan.
Disamping atap genteng adalah cocok untuk daerah tropis, juga dapat
terjangkau oleh masyarakat dan bahkan masyarakat dapat membuatnya
sendiri. Namun demikian, banyak masyarakat pedesaan yang tidak mampu
untuk itu, maka atap daun rumbia atau daun kelapa pun dapat diperhatankan.
Atap seng atau asbes tidak cocok untuk rumah pedesaan, di samping mahal
juga menimbulkan suhu panas di dalam rumah.
d. Lain-lain (tiang, kaso, dan reng), Kayu untuk tiang, bambu untuk kaso dan
reng adalah umum dipedesaan. Menurut pengalaman bahan-bahan ini tahan
lama. Tetapi perlu diperhatikan bahwa lubang lubang bambu merupakan
sarang tikus yang baik. Untuk menghindari ini maka cara memotongnya harus
menurut ruas-ruas bambu tersebut, apabila tidak pada ruasnya, maka lubang

pada ujung-ujung bambu yang digunakan untuk kaso tersebut ditutup dengan
kayu.
Cahaya
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu
banyak. Kurangnya caha6ggya yang masuk kerumah, terutama cahaya matahari, di
samping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan
berkembangnya bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya dalam rumah akan
menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusak mata. Cahaya dapat dibedakan menjadi
dua, yakni:
a.) Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya ini sangat penting, karena dapat membunuh
bakteri-bakteri patogen dalam rumah, misalnya TBC. Oleh karena itu, rumah yang
sehat harusnya mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Seyogianya jalan masuk
cahaya (jendela) luasnya sekurang kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang
terdapat dalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan dalam membuat jendela
diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk kedalam ruangan, tidak
terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela di sini, di samping sebagai ventilasi,
juga sebagai jalan masuknya cahaya.
Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar
matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya jendela
itu harus ditengah-tengah tinggi dinding (tembok).
Jalan masuknya cahaya alamiah juga diusahakan dengan genteng kaca. Genteng kaca
pun dapat dibuat secara sederhana, yakni dengan melubangi genteng biasa pada
waktu pembuatannya, kemudian menutupnya dengan pecahan kaca.
b.) Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti
lampu minyak tanah, listrik, dan sebagainya.
Luas bangunan rumah
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, arti luas
lantai bangunan tersebut harusnya disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas
bangunan yang tidak tidak sebanding dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang
tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubel (overcrowded).
Hal ini tidak sehat, sebab di samping menyebabkan kurangnya konsumsi O 2 juga bila
salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada

anggota keluarga yang lain. Luas bangunan yang optimum adalah apabila dapat
menyediakan 2,5 x 3m untuk setiap orang (tiap anggota keluarga).
Fasilitas-fasilitas dalam rumah sehat
Rumah yang sehat harus mempunyai fasilitas-fasilitas sebagai berikut:
a.)
b.)
c.)
d.)
e.)
f.)

Penyediaan air bersih yang cukup


Pembuangan tinja
Pembuangan air limbah (air bekas)
Pembuangan sampah
Fasilitas dapur
Ruang berkumpul keluarga

Untuk rumah di pedesaan lebih cocok adanya serambi (serambi muka atau belakang)
Di samping fasilitas-fasilitas tersebut, ada fasilitas lain yang perlu diadakan tersendiri
untuk rumah pedesaan, yakni:
a.) Gudang merupakan tempat menyimpan hasil panen. Gudang dapat berupa bagian dari
rumah tempat tinggal atau bangunan tersendiri.
b.) Kandang ternak. Oleh karena ternak adalah bagian hidup para petani, maka kadangkadang ternak tersebut ditaruh didalam rumah. Hal ini tidak sehat karena ternak
merupakan sumber penyakit pula. Maka sebaiknya demi kesehatan, ternak harus
terpisah dari rumah tinggal, atau dibuatkan kandang tersendiri.
Ventilasi
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk menjaga aliran udara
dalam rumah tersebut tetap sejuk. Hal ini berarti keseimbangan O 2 yang diperlukan oleh
penghuni rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebab kurangnya O2 dalam
rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun bagi penghuninya menjadi meningkat.
Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembapan udara dalam ruangan
naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembapan ini akan
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri, patogen (bakteri-bakteri penyebab penyakit).
Fungsi kedua dari ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri,
terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus-menerus. Bakteri
yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar
ruangan rumah selalu tetap dalam kelembapan (humidity) yang optimum.
Ada dua macam ventilasi, yakni:

a.) Ventilasi alamiah, di mana aliran udara dalam ruangan tersebut terjadi secara alamiah
melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang pada dinding, dan sebagainya. Di
pihak lain ventilasi alamiah ini tidak menguntungkan, karena juga merupakan jalan
masuknya nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah. Untuk itu harus ada usahausaha lain untuk melindungi dari gigitan nyamuk tersebut.
b.) Ventilasi buatan, yaitu dengan menggunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara
tersebut, misalnya kipas angin, dan mesin penghisap udara. Tetapi jelas alat ini tidak
cocok dengan kondisi rumah di pedesaan.
Perlu diperhatikan di sini bahwa sistem pembuatan ventilasi harus dijaga agar udara tidak ada
mandeg atau membalik lagi, harus mengalir. Artinya dalam ruangan rumah harus ada jalan
masuk dan keluarnya udara.
Didalam udara yang tidak bebas yang diakibatkan buruknya penataan ventilasi inilah,
mengandung bahan bahan yang dapat menimbulkan penyakit lebih banyak jumlah kadarnya
maupun jenisnya dibanding dengan yang ada di dalam udara bebas. Kasus-kasus penyakit
akibat pencemaran udara tidak bebas ini banyak sekali terjadi, terutama di dalam lingkungan
kerja dan di rumah-rumah. (Soemirat)
Udara merupakan media lingkungan yang merupakan kebutuhan dasar manusia perlu
mendapatkan perhatian yang serius, hal ini pula menjadi kebijakan Pembangunan Kesehatan
Indonesia 2010 dimana program pengendalian pencemaran udara merupakan salah satu dari
sepuluh program unggulan.
Polusi Udara
Pertumbuhan pembangunan seperti industri, transportasi, dll disamping memberikan dampak
positif namun disisi lain akan memberikan dampak negatif dimana salah satunya berupa
pencemaran udara dan kebisingan baik yang terjadi didalam ruangan (indoor) maupun di luar
ruangan (outdoor) yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan terjadinya penularan
penyakit. (Depkes)
Diperkirakan pencemaran udara dan kebisingan akibat kegiatan industri dan kendaraan
bermotor akan meningkat 2 kali pada tahun 2000 dari kondisi tahun 1990 dan 10 kali pada
tahun 2020. Hasil studi yang dilakukan oleh Ditjen PPM & PL, tahun 1999 pada pusat
keramaian di 3 kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Yogyakarta dan Semarang
menunjukkan gambaran sebagai berikut : kadar debu (SPM) 280 ug/m3, kadar SO2 sebesar

0,76 ppm, dan kadar NOx sebesar 0,50 ppm, dimana angka tersebut telah melebihi nilai
ambang batas/standar kualitas udara.
Adapun partikel partikel atau zat zat kimia yang mencemari udara tersebut seperti Sulfur
Dioksida (SO2), Carbon Moniksida (CO), Nitrogen Dioksida (NO2), Oksidan (O3),
Hidrokarbon (HC), Khlorin (Cl2), Partikel Debu, Timah Hitam (Pb).
Penelitian menemukan bahwa menghirup Oksidan (O3), Sulfur Dioksida (SO2), dan Nitrogen
Dioksida (SO2) dapat merusak lapisan epitel pada sistem mukosa saluran pernafasan dan juga
menghambat produksi dari sistem anti radang pada sistem pernafasan tersebut. O 3 sitotoksik
terhadap makrofag dan dapat merusak makrofag dan neutrofil. Sementara NO 2 mengurangi
kinerja dari makrofag dan gerakan silia dari sistem pernafasan, SO 2 menjadi sumber iritan
dari saluran pernafasan yang biasanya menyebakan infeksi akut pada pernafasan. Efek efek
inilah biasa menyebabkan menurunnya sistem pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri dan
virus. Sehingga polusi udara sangat mempengaruhi pertahanan tubuh manusia terhadap
infeksi saluran pernafasan akut. (Jurnal)
Disamping kualitas udara ambien, kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality) juga
merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian karena akan berpengaruh terhadap
kesehatan manusia. Timbulnya kualitas udara dalam ruangan umumnya disebabkan oleh
beberapa hal, yaitu kurangnya ventilasi udara (52%) adanya sumber kontaminasi di dalam
ruangan (16%) kontaminasi dari luar ruangan (10%), mikroba (5%), bahan material
bangunan (4%) , lain-lain (13%).
Menurut Wardhana ( 2004 ), penyebab pencemaran udara yang menghasilkan
partikel secara umum ada 2 macam, yaitu :
a. Karena faktor internal ( secara alamiah ), yaitu :
1. Debu yang beterbangan akibat tiupan angin
2. Abu ( debu ) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gasgas
vulkanik
3. Proses pembusukan sampah organik
b. Karena faktor eksternal ( karena ulah manusia ), contoh :
1. Hasil pembakaran bahan bakar fosil
2. Debu atau serbuk dari kegiatan industri
3. Pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara.

Sumber pencemaran udara dapat pula berasal dari aktifitas rumah tangga dari dapur yang
berupa asap, Menurut beberapa penelitian pencemaran udara yang bersumber dari dapur telah
memberikan kontribusi yang besar terhadap penyakit ISPA.
Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukan bahwa polusi udara, baik dari dalam
maupun dari luar rumah, berhubungan dengan penyakit termasuk ISPA. Hal ini berkaitan
dengan konsentrasi polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran respiratori.
Anak yang tinggal di dalam rumah berventilasi baik memiliki angka insidens ISPA yang
lebih rendah daripada anak yang berada di dalam rumah berventilasi buruk.
Orang Tua yang merokok menyebabkan anaknya rentan terhadap pneumonia. Resiko (odd
ratio, OR) mengalami ISPA-bawah pada anak dengan durasi pemberian ASI yang singkat
oleh ibu perokok dibandingkan dengan anak dengan durasi pemberian ASI yang lama oleh
ibu nonperokok adalah lebih kurang 2,2.
Pajanan terhadap suhu dingin juga merupakan salah satu faktor risiko pneumonia. Selain itu,
musim juga dapat mempengaruhi ISPA, misalnya bronkiolitis, karena pada musim dingin
terlalu banyak orang berada di dalam suatu ruangan (overcrowded).
Infeksi Saluran Pernafasan Akut
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) merupakan penyebab terpenting morbiditas dan
mortalitas pada anak. Yang dimaksud infeksi pernafasan dalah mulai dari infeksi saluran
pernafasan atas, dan adeneksanya hingga parenkim paru. Pengertian akut adalah infeksi yang
berlangsung hingga 14 hari. Infeksi saluran pernafasan atas adalah infeksi primer respiratori
di atas laring, sedangkan infeksi laring ke bawah disebut infeksi saluran pernafasan akut
bawah
Infeksi saluran pernafasan akut atas terdiri dari rinitis, faringitis, tonsilitis, rinosinusitis, dan
otitis media. Sedangkan infeksi saluran pernafasan akut bawah terdiri dari atas epiglotis,
croup (laringotrakeobronkitis), bronkitis, bronkiolitis, dan pneumonia. Sebagian besar ISPA
biasanya terbatas pada ISPA atas saja, tapi sekitar 5%-nya melibatkan laring dan respiratori
bawah berikutnya, sehingga berpotensi menjadi serius.
Di Indonesia, kasus ISPA menempati urutan pertama dalam jumlah pasien rawat jalan
terbanyak. Hal ini menunjukan angka kesakitan akibat ISPA masih tinggi, yaitu lebih kurang
5 per 1000 balita. Kasus ISPA merupakan 50% dari seluruh penyakit pada anak berusia di

bawah 5 tahun, dan 30% pada anak berusia 5-12 tahun. Anak berusia 1-6 tahun dapat
mengalami episode ISPA sebanyak 7-9 kali per tahun, tetapi biasanya ringan. Puncak
insidens biasanya terjadi 2-3 tahun.
Insidens ISPA/pneumonia di negara berkembang adalah 2-10 kali lebih banyak daripada
negara maju. Perbedaan tersebut berhubungan denga etiologi dan faktor resiko. Di negara
maju, ISPA didominasi oleh virus, sedangkan di negara berkembang oleh bakteri, seperti
S.pneumoniae dan H. influanzae. Di negara berkembang, ISPA dapat menyebabkan 10-25%
kematian, dan bertanggung jawab terhadap 1/3-1/2 kematian pada balita. Pada bayi, angka
kematiannya dapat mencapai 45 per 1000 kelahiran hidup.
Jumlah episode ISPA pada balita di daerah perkotaan berbeda dengan dipedesaan. Di
daerah perkotaan, jumlah episode ISPA umumnya lebih tinggi, yaitu 6-8 kali pertahun,
sedangkan di pedesaan hanya 3-5 kali per tahun.
Di Indonesia, ISPA merupakan salah satu penyebab utama kunjungan pasien ke sarana
kesehatan, yaitu 40-60% dari seluruh kunjungan ke puskesmas dan 15-30% dari seluruh
kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS. Jumlah episode ISPA di Indonesia diperkirakan 36 kali per tahun, tetapi berbeda antar daerah.
Pada tahun 2002, ISPA menempati peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak di
rumah sakit umum (RSU) di Indonesia, dengan angka kejadian pneumonia diperkirakan 1020% per tahun, dan terdapat kecendrungan bergesernya prevalens tertinggi ke kelompok usia
yang lebih muda.
Penelitian oleh The Board on Science and Technology for International Development
(BOSTID) menunukan bahwa insidens ISPA pada anak berusia 5 tahun mencapai 12,7-16,8
episode per 100 anak per minggu (child-weeks). Deb SL mendapatkan insidens bulanan ISPA
di daerah perkotaan sebesar 20% dan di daerah pedesaan 17,6%. Hasil 17 penelitian
mengenai ISPA pada anak berusia 0-5 tahun pada masyarakat di negara berpendapatan
rendah dapat dilihat pada tabel..
Angka kematian karena ISPA juga berbeda negara karena perbedaan angka kematian bayi
(AKB) di negara negara tersebut. World Health Organization memperkirakan bahwa insidens
pneumonia pada balita di negara dengan AKB di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 1520% per tahun. Angka kematian bayi di Indonesia pada tahun 2002-2003 adalah 35 per 1000
kelahiran hidup atau urutan ke-4 tertinggi di antara negara-negara Association of South East

Asia Nations (ASEAN). Angka kematian akibat pneumonia nasional adalah 5 per 1000 balita
per tahun (SKRT 2001). Menurut survei kesehatan nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian
bayi dan 22,8% kematian balita di Indonesia disebabkan oleh penyakit sistem respiratori,
terutama pneumonia.
Faktor Resiko
1. Usia
ISPA/IRA dapat ditemukan pada 50% anak berusia di bawah 5 tahun dan 30% anak
berusia 5-12 tahun. Rahman dkk. Mendapatkan 23% kasus ISPA pada anak berusia di
atas 6 bulan. World Health Organization melaporkan bahwa di negara berkembang, ISPA
termasuk infeksi saluran pernafasan bawah (pneumonia, bronkiolitis, dan lain-lain)
adalah penyebab utama dari empat penyebab terbanyak kematian anak, dengan kasus
terbanyak terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun.
2. Jenis Kelamin
Pada umumnya, tidak ada perbedaan insidens IRA akibat virus atau bakteri pada laki-laki
dan perempuan. Akan tetapi, ada yang mengemukakkan bahwa terddapat sedikit
perbedaan, yaitu insidens lebih tinggi pada anak laki-laki berusia di atas 6 tahun.
3. Status Gizi
Status gizi anak merupakan faktor risiko penting timbulnya pneumonia. Gizi buruk
merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal ini dikarenakan adanya
gangguan respons imun. Risk ratio anak malnutrisi dengan ISPA/Pneumonia adalah 2,3.
Grant melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan
mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak mengalami defisiensi
vitamin A. Vitamin A sangat berhubungan dengan beratnya infeksi.
4. Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
Terdapat banyak penelitian yang menunjukan hubungan antara pemberian ASI dengan
terjadinya IRA. Air susu ibu mempunyai nilai proteksi terhadap pneumoni, terutama
selama 1 bulan pertama. Lopez mendapatkan bahwa prevalens ISPA berhubungan dengan
lamanya pemberian ASI. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami ISPA
dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit selama 1 bulan. Cesar JA dkk
melaporkan bahwa bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih rentan mengalami
perawatan di RS akibat pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI.
Pemberian ASI dengan durasi yang lama mempunyai pengaruh proteksi terhadap ISPAbawah selama tahun pertama.
5. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)

Berat badan lahir memiliki peran penting terhadap kematian akibat ISPA. Di negara
berkembang, kematian akibat pneumonia berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22%
kematian pada pneumonia diperkirakan terjadi BBLR. Meta-analisis menunjukan bahwa
BBLR mempunyai Risk Ratio(RR) kematian 6,4 pada bayi berusia di bawah 6 bulan, dan
2,9 pada bayi berusia 6-11 bulan.
6. Imunisasi
Campak, pertusis, dan beberapa penyakit lain dapat meningkatkan risiko terkena ISPA
dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi sebetulnya hal ini dapat dicegah. Di India, anak
yang baru sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya dapat mengalami ISPA enam
kali lebih sering daripada anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri
bersama-sama dapat menyebabkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan
ISPA. Deb SK mendapatkan RR sebesar 2,7 pada kelompok anak yang tidak
mendapatkan imunisasi. Vaksin campak cukup efektif dan dapat mencegah kematian
hingga 25%. Usaha global dalam meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis
telah mengurangi angka kematian ISPA akibat kedua penyakit ini.
Vaksin Pneumokokus dan H.Influenzae tipe B saat ini sudah diberikan pada anak anak
dengan efektivitas yang cukup baik.
7. Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua menunjukan adanya hubungan terbalik antara angka
kejadian dengan kematian ISPA. Tingkat pendidikan ini berhubungan erat dengan
keadaan sosial ekonomi, dan juga berkaitan dengan pengetahuan orang tua. Kurangnya
pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak
diobati.
8. Status Sosial Ekonomi
Status sosial ekonomi berpengaruh terhadap pendidikan dan faktor-faktor lain seperti
nutrisi, lingkungan, dan penerimaan layanan kesehatan. Anak yang berasal dari keluarga
dengan status sosial ekonomi rendah mempunyai risiko lebih besar mengalami episode
ISPA. Rahman menyatakan bahwa risiko mengalami ISPA adalah 3,3 kali lebih tinggi
pada anak dengan status ekonomi rendah.
9. Penggunaan Fasilitas Kesehatan
Angka kematian untuk semua kasus pneumonia pada anak yang tidak diobati
diperkirakan 10-20%. Penggunaan fasilitas kesehatan dapat mencerminkan tingginya
insisdens ISPA, yaitu sebesar 60% dari kunjungan rawat jalan di puskesmas dan 20-40%
dari kunjungan rawat jalan dan rawat inap RS. Penggunaan fasilitas kesehatan sangat

berpengaruh pada tingkat keparahan ISPA. Di sebagian negara berkembang, pemanfaatan


fasilitas kesehatan masih rendah.
Etiologi
Menurut Widoyono, 2008, ISPA dapat disebabkan oleh bakteri seperti bakteri Diplococcus
pneumoniae, Pneumococcus, Streptococcus pyogenes, Staphylococcus aureus, Haemophilus
influenzae, dan lain lain. Sedangkan yang dari virus, seperti virus influenza, adenovirus,
sitomegalovirus. Dapat juga disebabkan oleh jamur, seperti jamur Aspergilus sp., Candida
albicans, Histoplasma, dan lain-lain. Aspirasi juga dapat menyebabkan ISPA, seperti makanan,
asap kendaraan bermotor, BBM (bahan bakar minyak tanah, cairan amnion pada saat lahir, benda
asing(biji-bijian, mainan plastik kecil, dan lain-lain).

También podría gustarte