Está en la página 1de 20

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Vesicae Fellea


Kandung empedu (Vesica fellea) adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada
permukaan visceral hepar, panjangnya sekitar 7 10 cm. Kapasitasnya sekitar 30-60 cc dan
dalam keadaan terobstruksi dapat menggembung sampai 300 cc. Vesica fellea dibagi menjadi
fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir
inferior hepar yang dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi
ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan
arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan
dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis
membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea dengan
sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah arteri cystica, cabang arteri hepatica kanan. Vena
cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri yang sangat kecil
dan vena vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak dekat collum
vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici hepaticum
sepanjang perjalanan arteri hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus. Saraf yang menuju
kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus.

2. Fisiologi Vesicae Fellea


Fungsi kandung empedu, yaitu:
a. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada di
dalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah
cairan elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati.
b. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin
yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin
yang berasal dari penghancuran sel darah merah diubah menjadi bilirubin (pigmen
utama dalam empedu) dan dibuang ke dalam empedu.
Kandung empedu mampu menyimpan 30-60 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu
disimpan sementara di dalam kandung empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke
duodenum, akan tetapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus
dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh darah
mengabsorpsi air dari garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam kandung empedu
kira-kira lima kali lebih pekat dibandingkan empedu hati.
Empedu disimpan dalam kandung empedu selama periode interdigestif dan diantarkan ke
duodenum setelah rangsangan makanan. Pengaliran cairan empedu diatur oleh 3 faktor, yaitu
sekresi empedu oleh hati, kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam
keadaan puasa, empedu yang diproduksi akan dialih-alirkan ke dalam kandung empedu.
Setelah makan, kandung empedu berkontraksi, sfingter relaksasi, dan empedu mengalir ke
duodenum.
Memakan makanan akan menimbulkan pelepasan hormon duodenum, yaitu kolesistokinin
(CCK), yang merupakan stimulus utama bagi pengosongan kandung empedu, lemak
merupakan stimulus yang lebih kuat. Reseptor CCK telah dikenal terletak dalam otot polos
dari dinding kandung empedu. Pengosongan maksimum terjadi dalam waktu 90-120 menit
setelah konsumsi makanan. Empedu secara primer terdiri dari air, lemak, organik, dan
elektrolit, yang normalnya disekresi oleh hepatosit. Zat terlarut organik adalah garam
empedu, kolesterol, dan fosfolipid.
2

Sebelum makan, garam-garam empedu menumpuk di dalam kandung empedu dan hanya
sedikit empedu yang mengalir dari hati. Makanan di dalam duodenum memicu serangkaian
sinyal hormonal dan sinyal saraf sehingga kandung empedu berkontraksi. Sebagai akibatnya,
empedu mengalir ke dalam duodenum dan bercampur dengan makanan.
Empedu memiliki fungsi, yaitu membantu pencernaan dan penyerapan lemak, berperan
dalam pembuangan limbah tertentu dari tubuh, terutama hemoglobin yang berasal dari
penghancuran sel darah merah dan kelebihan kolesterol, garam empedu meningkatkan
kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin yang larut dalam lemak untuk membantu proses
penyerapan, garam empedu merangsang pelepasan air oleh usus besar untuk membantu
menggerakkan isinya, bilirubin (pigmen utama dari empedu) dibuang ke dalam empedu
sebagai limbah dari sel darah merah yang dihancurkan, serta obat dan limbah lainnya dibuang
dalam empedu dan selanjutnya dibuang dari tubuh.
Garam empedu kembali diserap ke dalam usus halus, disuling oleh hati dan dialirkan
kembali ke dalam empedu. Sirkulasi ini dikenal sebagai sirkulasi enterohepatik. Seluruh
garam empedu di dalam tubuh mengalami sirkulasi sebanyak 10-12 kali/hari. Dalam setiap
sirkulasi, sejumlah kecil garam empedu masuk ke dalam usus besar (kolon). Di dalam kolon,
bakteri memecah garam empedu menjadi berbagai unsur pokok. Beberapa dari unsur pokok
ini diserap kembali dan sisanya dibuang bersama tinja. Hanya sekitar 5% dari asam empedu
yang disekresikan dalam feses.
3. Cholelithiasis
3.1. Definisi
Kolelitiasis berasal dari kata chole yang artinya awalan mengenai empedu dan lithos
yaitu batu. Secara istilah, kolelitiasis adalah penyakit batu empedu yang dapat ditemukan di
dalam kandung empedu atau di dalam saluran empedu, atau pada kedua-duanya. Kolelitiasis
dapat disebut juga batu empedu, gallstone, atau billiary calculus. Istilah kolelitiasis
dimaksudkan untuk pembentukan batu di dalam kandung empedu. Batu kandung empedu
merupakan gabungan beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip batu yang
terbentuk di dalam kandung empedu.
Kandung empedu adalah sebuah kantung terletak di bawah hati yang mengonsentrasikan
dan menyimpan empedu sampai ia dilepaskan ke dalam usus. Kebanyakan batu duktus
koledokus berasal dari batu kandung empedu, tetapi ada juga yang terbentuk primer di dalam
saluran empedu.
Batu empedu bisa terbentuk di dalam saluran empedu jika empedu mengalami aliran balik
3

karena adanya penyempitan saluran. Batu empedu di dalam saluran empedu bisa
mengakibatkan infeksi hebat saluran empedu (kolangitis). Jika saluran empedu tersumbat,
maka bakteri akan tumbuh dan dengan segera menimbulkan infeksi di dalam saluran. Bakteri
bisa menyebar melalui aliran darah dan menyebabkan infeksi di bagian tubuh lainnya.

3.2. Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa dan
usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan angka di negara
lain di Asia Tenggara dan sejak tahun 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis
dengan ultrasonografi.
Sementara ini, didapat kesan bahwa meskipun batu kolesterol di Indonesia lebih umum,
angka kejadian batu pigmen lebih tinggi dibandingkan dengan angka yang terdapat di negara
Barat, dan sesuai dengan angka di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Muangthai,
dan Filipina. Hal ini menunjukkan bahwa faktor infeksi empedu oleh kuman gram negatif E.
Coli ikut berperanan penting dalam timbulnya batu pigmen. Di wilayah ini, insiden batu
primer saluran empedu adalah 40-50% dari penyakit batu empedu, sedangkan di dunia Barat
sekitar 5%.
3.3. Etiologi
Penyebab dan faktor risiko terbentuknya batu kandung empedu tidak secara jelas
dibedakan. Ada yang menyebutkan faktor tertentu sebagai penyebab, namun sumber lain
menyebutnya sebagai faktor risiko. Kumar et al mendapatkan penyebab batu kandung
empedu adalah idiopatik, penyakit hemolitik dan penyakit spesifik non hemolitik. Schweizer
et al anak yang mendapat nutrisi parenteral total yang lama, setelah menjalani operasi by
pass kardiopulmonal, reseksi usus, kegemukan dan anak perempuan yang mengkonsumsi
kontrasepsi hormonal mempunyai risiko untuk menderita kolelitiasis.
Suchy menyebutkan beberapa kondisi yang berhubungan dengan kolelitiasis adalah
penyakit hemolitik kronik (anemia sel sickle, sferositosis), kegemukan, penyakit atau reseksi
ileum, fibrosis kistik, penyakit hati kronis, penyakit Crohn, nutrisi parenteral yang lama,
prematuritas dengan komplikasi bedah atau non bedah, pengobatan kanker pada anak.
Schirmer et al menyebutkan faktor-faktor risiko terbentuknya batu kandung empedu adalah
kegemukan, diabetes melitus, hormon estrogen dan kehamilan, penyakit hemolitik dan
sirosis.
4

Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin
banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya
kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
a.

Jenis Kelamin
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi
kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga
meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon
(esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan
aktivitas pengosongan kandung empedu.

b.

Usia
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang
dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan
orang degan usia yang lebih muda.

c.

Berat badan (BMI)


Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk
terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam
kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam empedu serta mengurangi
kontraksi/ pengosongan kandung empedu.

d.

Makanan
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi
gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat
menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.

e.

Riwayat keluarga
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn
dengan tanpa riwayat keluarga.

f.

Aktifitas fisik
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis.
Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi.

g.

Penyakit usus halus


Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn disease,
diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.

h.

Nutrisi intravena jangka lama

Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk
berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga
resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu.

3.4. Klasifikasi Batu Kandung Empedu


Schirmer et al membagi batu kandung empedu menjadi tiga jenis yaitu batu kolesterol,
batu pigmen dan campuran. Batu kolesterol mengandung lebih dari 50% kolesterol dari
seluruh beratnya, sisanya terdiri dari protein dan garam kalsium. Batu kolesterol sering
mengandung kristal kolesterol dan musin glikoprotein. Kristal kolesterol yang murni
biasanya agak lunak dan adanya protein menyebabkan kosistensi batu empedu menjadi lebih
keras.
Batu pigmen merupakan campuran dari garam kalsium yang tidak larut, terdiri dari
kalsium bilirubinat, kalsium fosfat dan kalsium karbonat. Kolesterol terdapat dalam batu
pigmen dalam jumlah kecil yaitu 10% dalam batu pigmen hitam dan 10-30% dalam batu
pigmen coklat. Batu pigmen dibedakan menjadi dua yaitu batu pigmen hitam dan batu
pigmen coklat, keduanya mengandung garam kalsium dari bilirubin. Batu pigmen hitam
mengandung polimer dari bilirubin dengan musin glikoprotein dalam jumlah besar,
sedangkan batu pigmen coklat mengandung garam kalsium dengan sejumlah protein dan
kolesterol yang bervariasi. Batu pigmen hitam umumnya dijumpai pada pasien sirosis atau
penyakit hemolitik kronik seperti talasemia dan anemia sel sickle. Batu pigmen coklat sering
dihubungkan dengan kejadian infeksi.

3.5. Patofisiologi
Patogenesis terbentuknya batu telah diselidiki dalam beberapa tahun terakhir. Walaupun
beberapa aspek yang berperan sebagai penyebab belum diketahui sepenuhnya, namun
komposisi kimia dan adanya lipid dalam cairan empedu memegang peran penting dalam
proses terbentuknya batu. Kira-kira 8% dari lipid empedu dalam bentuk kolesterol dan 1520% dalam bentuk fosfolipid. Keduanya tidak larut dalam air, dalam cairan empedu terikat
dengan garam empedu dengan komposisi 70-80% dari lipid empedu.
Empedu adalah suatu cairan aqueous yang terdiri dari lemak hidropobik yang tidak larut
(kolesterol dan fosfolipid), yang selanjutnya bisa terlarut dengan bantuan suatu asam empedu.
Empedu terdiri dari air (97,5 g/dL), garam empedu (1,1 g/dL), bilirubin (0,04 g/dL),
kolesterol (0,1 g/dL), asam lemak (0,12 g/dL), leshitin/fosfolipid (0,04 g/dL), natrium (145
mEq/L), kalium (5 mEq/L), kalsium (5 mEq/L), Cl- (100 mEq/L), HCO3- (28mEq/L).
Kolesterol dalam empedu bercampur dengan garam empedu dan fosfolipid membentuk
campuran micelles dan vesikel. Micelles adalah kumpulan lemak yang mempunyai dinding
yang hidrofilik (larut dalam air) dan inti yang hidrofobik (tidak larut dalam air). Vesikel
adalah suatu bentukan sferik bilayers dari fosfolipid yang terdiri dari 2 rantai yaitu rantai
nonpolar hidrokarbon menghadap dan rantai polar mengarah ke larutan. Pada keadaan
kosentrasi kolesterol yang tinggi vesikel membawa kolesterol dalam jumlah besar.
Hubungan antara kolesterol, fosfolipid dan garam empedu digambarkan dalam suatu
segitiga yang sering disebut Triangular Coordinats yang menggambarkan konsentrasi
7

kelarutan kolesterol dalam suatu campuran dengan fosfolipid dan garam empedu. The
maximum equilibrium solubility dari kolesterol ditentukan oleh rasio kolesterol, fosfolipid
dan garam empedu, yang dinyatakan dalam indeks saturasi kolesterol. Micelles terbentuk jika
titik potong konsentrasi relatif dari ketiga komponen (kolesterol, lesitin dan garam empedu)
terletak pada area micellar. Keadaan ini berada dalam kondisi stabil untuk mencegah
terbentuknya batu. Jika titik potong konsentrasi empedu terletak di luar area tersebut maka
empedu bersifat litogenik. Berbagai kondisi dapat menyebabkan ketidakstabilan komposisi
dari ketiga komponen tersebut.
3.6. Manifestasi Klinik
Penderita batu kandung empedu baru memberi keluhan bila batu tersebut bermigrasi
menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus, sehingga gambaran klinisnya bervariasi
dari yang tanpa gejala (asimptomatik), ringan sampai berat karena adanya komplikasi.
Dijumpai nyeri di daerah hipokondrium kanan, yang kadang-kadang disertai kolik bilier
yang timbul menetap/konstan. Rasa nyeri kadang-kadang dijalarkan sampai di daerah
subskapula disertai nausea, vomitus dan dyspepsia, flatulen dan lain-lain. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan nyeri tekan hipokondrium kanan, dapat teraba pembesaran kandung empedu
dan tanda Murphy positif. Dapat juga timbul ikterus. Ikterus dijumpai pada 20 % kasus,
umumnya derajat ringan (bilirubin < 4,0 mg/dl). Apabila kadar bilirubin tinggi, perlu
dipikirkan adanya batu di saluran empedu ekstra hepatic.
Kolik bilier merupakan keluhan utama pada sebagian besar pasien. Nyeri viseral ini
berasal dari spasmetonik akibat obstruksi transient duktus sistikus oleh batu. Dengan istilah
kolik bilier tersirat pengertian bahwa mukosa kandung empedu tidak memperlihatkan
inflamasi akut.
Kolik bilier biasanya timbul malam hari atau dini hari, berlangsung lama antara 30 60
menit, menetap, dan nyeri terutama timbul di daerah epigastrium. Nyeri dapat menjalar ke
abdomen kanan, ke pundak, punggung, jarang ke abdomen kiri dan dapat menyerupai angina
pektoris. Kolik bilier harus dibedakan dengan gejala dispepsia yang merupakan gejala umum
pada banyak pasien dengan atau tanpa kolelitiasis.

Diagnosis dan pengelolaan yang baik dan tepat dapat mencegah terjadinya komplikasi
yang berat. Komplikasi dari batu kandung empedu antara lain kolesistitis akut, kolesistitis
kronis, koledokolitiasis, pankreatitis, kolangitis, sirosis bilier sekunder, ileus batu empedu,
abses hepatik dan peritonitis karena perforasi kandung empedu. Komplikasi tersebut akan
mempersulit penanganannya dan dapat berakibat fatal.
Sebagian besar (90 95 %) kasus kolesititis akut disertai kolelitiasis dan keadaan ini
timbul akibat obstruksi duktus sistikus yang menyebabkan peradangan organ tersebut. Pasien
dengan kolesistitis kronik biasanya mempunyai kolelitiasis dan telah sering mengalami
serangan kolik bilier atau kolesistitis akut. Keadaan ini menyebabkan penebalan dan fibrosis
kandung empedu dan pada 15 % pasien disertai penyakit lain seperti koledo kolitiasis,
panleneatitis dan kolongitis.
Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus
(koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam saluran empedu
(koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit
diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang
nyata.
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa menimbulkan
gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul pankreatitis
akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan
akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis
koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pankreatitis.

3.7. Diagnosis

Anamnesis
Kolelitiasis dapat dibagi menjadi beberapa stadium yaitu: asimptomatik (adanya batu
empedu tanpa gejala), simptomatik (kolik bilier), dan kompleks (menyebabkan kolesistitis,
koledokolitiasis, serta kolangitis). Sekitar 60-80 % kolelitiasis adalah asimptomatik.
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asimptomatis. Keluhan yang
mungkin timbul adalah dispepsia yang kadang disertai intoleran terhadap makanan berlemak.
Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas
atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih
dari 15 menit, dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri
kebanyakan perlahan-lahan tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak bahu, disertai
mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan bahwa nyeri berkurang
setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis, keluhan nyeri menetap dan
bertambah pada waktu menarik nafas dalam.
Pemeriksaan Fisik
Batu kandung empedu
10

Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan komplikasi, seperti


kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop kandung empedu, empiema
kandung empedu, atau pangkretitis. Pada pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan
punktum maksimum didaerah letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif
apabila nyeri tekan bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena
kandung empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien
berhenti menarik nafas.
Batu saluran empedu
Baru saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang. Kadang teraba
hatidan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin darah kurang dari 3
mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran empedu bertambah berat,
akan timbul ikterus klinis.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut, dapat terjadi leukositosis.
Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan kenaikan ringan bilirubin serum akibat
penekanan duktus koledukus oleh batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin
disebabkan oleh batu di dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin
juga kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi serangan akut.
Pemeriksaan radiologi
a. Foto polos abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena hanya sekitar
10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang
mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat dengan foto polos. Pada
peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu
kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran
udara dalam usus besar, di fleksura hepatika.

11

b. Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstra
hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena
fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun sebab lain. Batu yang terdapat
pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang oleh udara di dalam
usus. Dengan USG punktum maksimum rasa nyeri pada batu kandung empedu yang
ganggren lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

12

c. Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif murah,
sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat dihitung jumlah
dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar
bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan hepatitis karena pada keadaan-keadaan
tersebut kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna
pada penilaian fungsi kandung empedu.
d. ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)
Yaitu sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus pancreatikus,
kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi ERCP ini
memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus
koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk
membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan
ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki
gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah diangkat. ERCP
ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi.

3.8. Diagnosis banding

13

Diagnosis banding nyeri karena kolelitiasis adalah ulkus peptikum, refluks gastroesofagus,
dispepsia non ulkus, dismotilitas esofagus, irritable bowel syndrome, kolik ginjal. Nyeri
ulkus peptikum biasanya lebih sering, hampir setiap hari dan berkurang sehabis makan. Nyeri
yang timbul biasanya menetap di perut kanan atas, pada kolelitiasis frekuensinya lebih jarang.
Nyeri karena refluks dapat dibedakan dengan nyeri kolelitiasis dilihat dari adanya rasa
terbakar, lokasi nyeri di substernal, dan sering dipengaruhi oleh posisi, dimana pada posisi
supine rasa nyeri akan memberat. Nyeri epigastrium karena kolelitiasis dan dispepsia
nonulkus sukar dibedakan. Namun demikian nyeri karena kolik bilier biasanya lebih hebat,
frekuensinya sporadik, dan penyebaran nyeri sampai perut kanan atas dan skapula.
Diagnosis banding untuk kolesistitis akut adalah apendisitis akut, pankreatitis akut,
hepatitis akut, perforasi ulkus, perforasi ulkus peptikum dan penyakit intestinal akut lainnya.
Untuk membedakan dengan pankreatitis akut, biasanya nyeri pada pankreatitis akut lebih
terlokalisir dan jarang disertai tanda peritoneal akut. Nyeri sampai ke punggung, menghilang
saat posisi duduk adalah khas untuk pankreatitis akut. Gejala demam dan leukositosis
mungkin sama pada kedua kasus, tetapi peningkatan kadar serum amilase jauh lebih tinggi
pada keadaan pankreatitis akut. Pada keadaan pankreatitis yang berat, penderita tampak
sangat toksik. Namun pada penderita dengan kolesistitis akut dengan komplikasi pankreatitis
akut USG diperlukan untuk segera membedakan keadaan tersebut.
Untuk membedakan dengan kolesistitis, pada keadaan hepatitis biasanya pada
pemeriksaan laboratorium menunjukkan kadar serum enzim hepar akan jauh lebih tinggi
dibanding dengan kolesistitis akut. Pada keadaan apendisitis akut, ditandai oleh nyeri khas
pada perut kanan bawah, diawali dari sekitar daerah umbilikal yang kemudian menetap di
perut kanan bawah. Pada keadaan perforasi usus, pada pemeriksaan radiologis sering
dijumpai adanya udara bebas pada foto polos abdomen.
3.9. Tatalaksana
Jika tidak ditemukan gejala, maka tidak perlu dilakukan pengobatan. Nyeri yang hilangtimbul bisa dihindari atau dikurangi dengan menghindari atau mengurangi makanan
berlemak.
Jika batu kandung empedu menyebabkan serangan nyeri berulang meskipun telah
dilakukan perubahan pola makan, maka dianjurkan untuk menjalani pengangkatan kandung
empedu (kolesistektomi). Pengangkatan kandung empedu tidak menyebabkan kekurangan zat
gizi dan setelah pembedahan tidak perlu dilakukan pembatasan makanan.

14

Penanganan kolelitiasis dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan non bedah dan
bedah. Ada juga yang membagi berdasarkan ada tidaknya gejala yang menyertai kolelitiasis,
yaitu penatalaksanaan pada kolelitiasis simptomatik dan kolelitiasis yang asimptomatik.
Penatalaksanaan Non-Bedah
Pada orang dewasa alternatif terapi non bedah meliputi penghancuran batu dengan obatobatan seperti chenodeoxycholic atau ursodeoxycholic acid, extracorporeal shock-wave
lithotripsy dengan pemberian kontinyu obat-obatan, penanaman obat secara langsung di
kandung empedu.
Oral Dissolution Therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian obat-obatan
oral. Ursodeoxycholic acid lebih dipilih dalam pengobatan daripada chenodeoxycholic karena
efek samping yang lebih banyak pada penggunaan chenodeoxycholic seperti terjadinya diare,
peningkatan aminotransfrase dan hiperkolesterolemia sedang. Pemberian obat-obatan ini
dapat menghancurkan batu pada 60% pasien dengan kolelitiasis, terutama batu yang kecil.
Angka kekambuhan mencapai lebih kurang 10%, terjadi dalam 3-5 tahun setelah terapi. Pada
anak-anak terapi ini tidak dianjurkan, kecuali pada anak-anak dengan risiko tinggi untuk
menjalani operasi.
Terapi contact dissolution adalah suatu cara untuk menghancurkan batu kolesterol dengan
memasukan suatu cairan pelarut ke dalam kandung empedu melalui kateter perkutaneus
melalui hepar atau alternatif lain melalui kateter nasobilier. Larutan yang dipakai adalah
methyl terbutyl eter. Larutan ini dimasukkan dengan suatu alat khusus ke dalam kandung
empedu dan biasanya mampu menghancurkan batu kandung empedu dalam 24 jam.
Kelemahan teknik ini hanya mampu digunakan untuk kasus dengan batu yang kolesterol yang
radiolusen. Larutan yang digunakan dapat menyebabkan iritasi mukosa, sedasi ringan dan
adanya kekambuhan terbentuknya kembali batu kandung empedu.

15

Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy (ESWL) menggunakan gelombang suara dengan


amplitudo tinggi untuk menghancurkan batu pada kandung empedu. Pasien dengan batu yang
soliter merupakan indikasi terbaik untuk dilaskukan metode ini. Namun pada anak-anak
penggunaan metode ini tidak direkomendasikan, mungkin karena angka kekambuhan yang
tinggi.

Penatalaksanaan Bedah
Kolesistektomi terbuka
Operasi ini merupakan standar terbaik untuk penanganan pasien denga kolelitiasis
simtomatik. Komplikasi yang paling bermakna yang dapat terjadi adalah cedera
duktus biliaris yang terjadi pada 0,2% pasien. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk
prosedur ini kurang dari 0,5%. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi
adalah kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut.
16

Kolesistektomi laparaskopi
Kolesistektomi laparoskopik mulai diperkenalkan pada tahun 1990 dan sekarang
ini sekitar 90% kolesistektomi dilakukan secara laparoskopi. 80-90% batu empedu di
Inggris dibuang dengan cara ini karena memperkecil resiko kematian dibanding
operasi normal (0,1-0,5% untuk operasi normal) dengan mengurangi komplikasi pada
jantung dan paru. Kandung empedu diangkat melalui selang yang dimasukkan lewat
sayatan kecil di dinding perut.
Indikasi awal hanya pasien dengan kolelitiasis simtomatik tanpa adanya kolesistitis
akut. Karena semakin bertambahnya pengalaman, banyak ahli bedah mulai melakukan
prosedur ini pada pasien dengan kolesistitis akut dan pasien dengan batu duktus
koledokus. Secara teoritis keuntungan tindakan ini dibandingkan prosedur
konvensional adalah dapat mengurangi perawatan di rumah sakit dan biaya yang
dikeluarkan, pasien dapat cepat kembali bekerja, nyeri menurun dan perbaikan
kosmetik. Masalah yang belum terpecahkan adalah kemanan dari prosedur ini,
berhubungan dengan insiden komplikasi 6r seperti cedera duktus biliaris yang
mungkin dapat terjadi lebih sering selama kolesistektomi laparaskopi.
Indikasi lain adalah yang menandakan stadium lanjut, atau kandung empedu
dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2 cm, sebab lebih sering menimbulkan
kolesistitis akut dibanding dengan batu yang lebih kecil.3,7 Kolesistektomi
laparoskopik telah menjadi prosedur baku untuk pengangkatan batu kandung empedu
simtomatik. Kelebihan yang diperoleh pasien dengan teknik ini meliputi luka operasi
kecil (2-10 mm) sehingga nyeri pasca bedah minimal.

17

3.10. Komplikasi
Komplikasi yang umum dijumpai adalah (batu saluran empedu), kolesistitis akut,
pakreatitis akut, emfiema dan perforasi kandung empedu.

Kolesistokinin yang disekresi oleh duodenum karena adanya makanan menghasilkan


kontraksi kandung empedu, sehingga batu yang tadi ada dalam kandung empedu terdorong
dan dapat menutupi duktus sistikus, batu dapat menetap ataupun dapat terlepas lagi. Apabila
batu menutupi duktus sitikus secara menetap maka mungkin akan dapat terjadi mukokel, bila
terjadi infeksi maka mukokel dapat menjadi suatu empiema, biasanya kandung empedu
dikelilingi dan ditutupi oleh alat-alat perut (kolon, omentum), dan dapat juga membentuk
suatu fistel kolesistoduodenal. Penyumbatan duktus sistikus dapat juga berakibat terjadinya
kolesistitis akut yang dapat sembuh atau dapat mengakibatkan nekrosis sebagian dinding
18

(dapat ditutupi alat sekitarnya) dan dapat membentuk suatu fistel kolesistoduodenal ataupun
dapat terjadi perforasi kandung empedu yang berakibat terjadinya peritonitis generalisata.
Batu kandung empedu dapat maju masuk ke dalam duktus sistikus pada saat kontraksi dari
kandung empedu. Batu ini dapat terus maju sampai duktus koledokus kemudian menetap
asimtomatis atau kadang dapat menyebabkan kolik. Batu yang menyumbat di duktus
koledokus juga berakibat terjadinya ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis, dan
pankretitis.
Batu kandung empedu dapat lolos ke dalam saluran cerna melalui terbentuknya fistel
kolesitoduodenal. Apabila batu empedu cukup besar dapat menyumbat pad bagian tersempit
saluran cerna (ileum terminal) dan menimbulkan ileus obstruksi.
3.11. Prognosis
Untuk penderita dengan ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG diperlukan untuk
mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa menghilang secara spontan. Untuk
batu besar masih merupakan masalah, karena merupakan risiko terbentuknya karsinoma
kandung empedu (ukuran lebih dari 2 cm). Karena risiko tersebut, dianjurkan untuk
mengambil batu tersebut. Pada anak yang menderita penyakit hemolitik, pembentukan batu
pigmen akan semakin memburuk dengan bertambahnya umur penderita, dianjurkan untuk
melakukan kolesistektomi.

19

DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W. 2002. Kamus kedokteran Dorland. Edisi 29. Jakarta: EGC.
Kasper Dennis, Harrison Tinsley Randolph. 2005. Harrison Principles of Internal Medicine
16th. New York: Mc Graw Hills Publishing. 1880-1890.
Lesmana, L. 2000. Batu empedu. Buku ajar penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Mansjoer, A. 1999. Kapita selekta kedokteran. Jilid I. Edisi 3. Jakarta: Penerbit Media
Aesculapius FKUI.
Price, Sylvia Anderston. 1994. Patofisiologi Konsep Klinis Preose-Proses Penyakit. Jilid 1.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Schwartz S, Shires G, Spencer F. 2000. Prinsip-prinsip Ilmu Bedah (Principles of Surgery).
Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 459-464.
Sjamsuhidajat R, de Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 570-579.

20

También podría gustarte