Está en la página 1de 33

CASE REPORT II

Seorang Laki-laki dengan DM Tipe II dan Ulkus Diabetik Pedis Sinistra

Oleh:
Erwin Imawan, S.Ked

Pembimbing:
dr. Bahrodin, Sp. PD

KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD DR HARDJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

CASE REPORT II
Seorang Laki-laki dengan DM Tipe II dan Ulkus Diabetik Pedis Sinistra

Yang Diajukan Oleh:


Erwin Imawan, S. Ked

J510155047

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Kepaniteraan klinik SMF Ilmu Penyakit
Dalam RSUD dr. Harjono Kabupaten Ponorogo
Pada hari

tanggal

Pembimbing:
dr. Bahrodin, Sp.PD

Dipresentasikan dihadapan:
dr. Bahrodin, Sp.PD

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2015

BAB I
STATUS PASIEN
I. ANAMNESA
A. Identitas
Nama

: Tn. W

Umur

: 48 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Alamat

: Sukorejo, Ponorogo

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Status Pernikahan

: Menikah

Masuk RS

: 19 juni 2015

Pemeriksaan

: 25 Juni 2015

B. Keluhan Utama : Kaki kiri bengkak dan luka.


C. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pada tanggal 19 juni 2015 pasien dibawa ke IGD RSUD DR Hardjono
dalam keadaan baik, namun pasien mengeluhkan bengkak pada kaki kiri.
Bengkak pada kaki kiri tersebut dirasakan sudah 10 hari yang lalu, pasien
mengaku bengkak berisi cairan seperti nanah yang awalnya bengkak hanya
kecil, tetapi lama-lama membesar. Pasien mengaku tidak melakukan
perawatan luka dan tidak berobat kemanapun sebelum di bawa ke IGD saat
itu. Melalui alloanamnesis pada keluarga didapatkan keterangan bahwa pasien
sudah menderita DM tipe II sudah 3 tahun. Pasien mengaku tidak rutin
melakukan pengobatan pada penyakit DM. Pasien mengaku belum pernah
mengalami keluhan yang serupa. Pada pemeriksaan tertanggal 25 Juni 2015
pasien terlihat baik, dapat berkomunikasi, dan kooperatif.

D. Riwayat Penyakit Dahulu :


a. Riwayat Komorbid lain

: Riwayat tekanan darah tinggi (-)

Riwayat sakit jantung (-), DM (+) sejak 3 tahun yang lalu, Liver (-)
b. Riwayat opname

: disangkal

c. Riwayat alergi

: disangkal

d. Riwayat operasi

: disangkal

e. Riwayat trauma

: disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga


1. Riwayat Keluarga sakit Serupa

: disangkal

2. Riwayat Keluarga

: HT(-), DM(-), p.jantung(-), Liver(-)

3. Riwayat atopi

: disangkal

F. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat Merokok

: disangkal

b. Riwayat Minum alkohol

: disangkal

c. Makan pedas

: disangkal

d. Minum kopi

: diakui (frekuensi: sering)

e. Minum Teh

: diakui (frekuensi: sering)

f. Minum Jamu

: disangkal

II. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan Umum
KU

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis ( GCS E4 V5 M6)

Gizi

: Kesan cukup

B. Vital Sign
TD : 100/60 mmHg
Nadi : 88x/menit.
RR : 18x/menit.
S

: 36,0o C peraxiller.

C. Status Generalis
1. Kepala
: simetris (+), deformitas (-), konjungtiva anemis (-/-),
sclera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil isokor (+)

2. Leher

: simetris (+), deviasi trakea (-), peningkatan JVP (-),


pembesaran limfe (-)

3. Thoraks
Inspeksi

Statis

: Normo chest, simetris

Dinamis : Pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri


Palpasi

Statis

: Dada kanan dan kiri simetris.

Dinamis : Pergerakan dada kanan sama dengan dada kiri,


Perkusi

fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri.


Kanan : Redup mulai dari SIC 2 sampai SIC 5

Auskultasi

Kiri
: Redup mulai dari SIC 2 sampai SIC 7
Kanan : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan ronchi (-),
wheezing (-).
Kiri

: suara dasar vesikuler normal, suara tambahan ronchi (-),


wheezing (-).

4. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis kuat angkat
Perkusi
Batas jantung :
Batas jantung kanan atas

: SIC II linea parasternalis

dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis
dekstra
Batas jantung kiri atas

: SIC II linea parasternalis

sinistra
Batas jantung kiri bawah:SIC VI 2 cm lateral linea
medioklavicularis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, reguler
5. Abdomen
Inspeksi:

Dinding perut lebih tinggi dibanding dinding thorak, distended (-),

Auskultasi:

sikatrik (-), stria (-), caput medusa (-).


Peristaltik (+) normal
5

Perkusi:
Palpasi:

Timpani, pekak beralih (-)


Supel, nyeri tekan (-) Hepar, lien dan ren tidak teraba, balotement
ginjal (-)

6. Ekstremitas
Akral dingin
_ _
_ _

Udem

Sianotik

Jejas atau ulkus

- - -

_ _
_ Digiti 2

_ _
_ +

gangren

7. Integumen
Kulit kesuluruhan tampak normal. Kecuali digiti 2 pedis sinistra tampak
menghitam atau gangrene.

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 19 juni 2015
Pemeriksaan
Leukosit
Lymph#
Mid#
Gran#
Lymph%
Mid%
Gran%
Hb
Rbc
Hct
MCV
MCH
MCHC
PLT

Hasil
16,4
2,2
1,1
13,1
13,2
6,9
79,9
12,4
4,17
34,9
83,8
29,7
35,5
503

Satuan
L
L
L
L
%
%
%
g/dl
L
%
fL
Pg
g/dl
L

Nilai Normal
4.0-10.0
0.8-4
0.1-0.9
2-7
20-40
3-9
50-70
11-16
3.5-5.5
37.0-50.0
82.0-95.0
27.0-31.0
32.0 36.0
150-450

Tanggal 20 juni 2015


Pemeriksaan
Hasil
DBIL
0,08
TBIL
0,98
SGOT
24,9
SGPT
15,4
ALP
260
GammaGT
17
TP
7
ALB
2,9
Glob
4,1
UREA
24,7
CREAT
0,94
UA
2,6
CHOL
146
TG
194
HDL
36
LDL
71

Satuan
Mg/dl
Mg/dl
UI
U/I
U/I
U/I
g/dl
g/dl
g/dl
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl
Mg/dl

Nilai Normal
0-0,35
0,2-1,2
0 38
0 40
98-279
10-54
6,6-8,3
3,5-5,5
2-3,9
10-50
0,7-1,4
3,4-7
140-200
36-165
35-150
0-190

Perkembangan GDA pasien:

Tanggal Pemeriksaan

GDA

19 Juni 2015
20 Juni 2015
21 Juni 2015
22 Juni 2015
23 Juni 2015
24 Juni 2015
25 Juni 2015

328
328
270
359
265
263
258

B.

Pemeriksaan EKG

Hasil EKG:
Irama

: Sinus

Heart rate

: 90x/menit

Axis

: Deviasi axis kiri

Hasil Foto thorak PA


Cor/Pulmo tidak apa-apa
Hasil Foto pedis sinistra
Tak tampak osteomyelitis
C. Status Lokalis Pedis sinistra

IV. FOLLOW UP

22 juni 2015

S: kaki kiri mengeluh cenut-cenut, nyeri dirasakan kadang-kadang atau


hilang timbul, pusing (-), lemas (+), pegal pada punggung (+),
O: TD: 90/60
WBC (19/6): 16,4
GDA: 359
A: Diabetes Mellitus tipe 2 + ulkus diabetic
P: -infus RL 20 tpm
-Cefoferazon 2x 1gr
-Clindamycin 3x300mg
-Aspilet 1x100mg
-drip metronidazole 3x500mg
-Ai RCI 2x4 U i.v
-Ai Maintenance 3x16 U sc
-Rontgen pedis

23 juni 2015
S: Bisa istirahat, nyeri luka pada kaki kiri (+), tetapi nyeri dirasakan
semakin berkurang, pusing (-), sesak (-), mual (-), muntah (-), keluhan dan
nyeri perut (-), pegal di seluruh badan (+)
O: TD: 100/70
WBC (19/6): 16,4
GDA: 265
A: Diabetes Mellitus tipe 2 + ulkus diabetic
P: -infus RL 20 tpm
-Cefoferazon 2x 1gr
-Clindamycin 3x300mg
-Aspilet 1x100mg
-drip metronidazole 3x500mg
-Ai 3x20 U sc
-Eclid 3x100mg
-Diet DM 2100 kkal
10

24 juni 2015
S: nyeri luka pada kaki kiri (-), perut terasa mulas (+), nyeri perut (-),
BAB terakhir tadi pagi, BAB normal, BAK normal, pusing (-), sesak (-),
mual (-), muntah (-).
O: TD: 100/50
WBC (19/6): 16,4
GDA: 263
A: Diabetes Mellitus tipe 2 + ulkus diabetic
P: -infus RL 20 tpm
-Cefoferazon 2x 1gr
-Clindamycin 3x300mg
-Aspilet 1x100mg
-drip metronidazole 3x500mg
-Ai 3x22 U sc
-Eclid 3x100mg
-Diet DM 2100 kkal

25 juni 2015
S: nyeri luka pada kaki kiri (+), nyeri dirasakan berdenyut dan hilang
timbul, BAB normal, pusing (-), sesak (-), mual (-), muntah (-), lemas (+)
O: TD: 100/60
WBC (19/6): 16,4
GDA: 258
A: Diabetes Mellitus tipe 2 + ulkus diabetic
P: -infus RL 20 tpm
-Cefoferazon 2x 1gr
-Clindamycin 3x300mg
-Aspilet 1x100mg
-Allopurinol 1x100mg
-drip metronidazole 3x500mg
-Ai 3x22 U sc
-Eclid 3x100mg

11

-Diet DM 2100 kkal

V. RESUME:
Tn. W adalah seorang laki-laki berusia 48 tahun yang pada tanggal 19 juni
2015 pasien dibawa ke IGD RSUD DR Hardjono oleh keluarganya dengan
keluhan utama berupa bengkak pada kaki kiri dan terdapat luka. Bengkak pada
kaki kiri tersebut dirasakan sudah 10 hari yang lalu, pasien mengaku bengkak
berisi cairan seperti nanah yang awalnya bengkak hanya kecil, tetapi lamalama membesar. Pasien mengaku tidak melakukan perawatan luka dan tidak
berobat. Melalui alloanamnesis pada keluarga pasien sudah menderita DM
tipe II sudah 3 tahun. Pasien tidak rutin melakukan pengobatan pada penyakit
DM. Pada pemeriksaan tertanggal 25 Juni 2015 pasien terlihat baik, dapat
berkomunikasi, dan kooperatif.
Keadaan umum tampak baik, kesadaran kompos mentis. HR: 88x/m, RR:
18x/m, T: 36,0oC. TD: 100/60 mmHg. Pmx fisik: Terdapat ulkus pada bagian
anterior pedis sinistra dengan dasar nekrotik dan pus, 6x3 cm, dan digiti 2
pedis sinistra gangrene hingga phalanx proksimal. Dari foto rontgen pedis
didapatkan pembacaan tidak tampak osteomyelitis.

VI. DIAGNOSIS
DM tipe II dengan kompikasi berupa ulkus diabetic grade IV pedis sinistra
VII.

PROBLEM ORIENTED MEDICAL RECORD (POMR)

Abnormalitas

Riwayat penyakit

Problem
DM tipe II

komorbid DM sejak dengan

3 tahun.
GDA saat rawat

Assessment
DM
hiperglikemi

komplikasi

dengan

kronis

komplikasi

IP Dx

IP Tx

-HbA1c
-Kultur
bakteri
ulkus

IP Mx

Infus RL 20 tpm

Cefoperazon 2x 1g

Clindamycin

Klinis
GDA
per pagi

3x300mg

12

inap selalu diatas

ulkus diabetic

250
Kompikasi berupa:

stadium IV

ulkus dan gangren


pedis sinistra.

pedis

(kriteria

3x500mg

Ulkus pada bagian

Asam asetilsalisil
1x100mg

Wagner) pada
pedis sinistra

Metronidazole

Ai 3x22 U sc

Acarbose 3x100mg

anterior pedis

d.c

sinistra dengan

Diet DM 2100 kkal

dasar nekrotik dan

Rawat luka

pus, 6x3 cm, dan


digiti 2 pedis
sinistra gangrene
hingga phalanx
proksimal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus
I.

Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan
dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa anggota
tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World
Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM
merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang
jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai

suatu

13

kumpulan problematika anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor


dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi
insulin.
Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan
onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis
ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang
tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya
urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena
terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang
berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah : bertambahnya usia, lebih
banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya
aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan
faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.
II. Etiologi
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacammacam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan
mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik yang biasanya
memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus.
Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara
genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap
pengrusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Manifestasi klinis
diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak.
Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin serta kerja
insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap
kerja insulin. Insulin mula-mula mengikatkan dirinya kepada reseptorreseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang
menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan
transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan
diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor.
Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempatb reseptor

14

pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat
ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan
abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa.
Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada
akhirnya timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang
beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar
80% pasin diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan
dengan resisten insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi
glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan
seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan
pemulihan toleransi glukosa.
III. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik
defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi
glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi
ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan
mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin
(poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama
urin, maka pasien akan mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat
badan berkurang. Rasa alapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan
timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan
mengantuk.
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang
eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah,
somnolen yang terjadi beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat
menjadi sakit berat dn timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak
mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk
mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin.

15

Pasien diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala


apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di
laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang
lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan
somnolpen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini
tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin
tetap sisekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis.
IV. Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah.
Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM

Kadar

glukosa Plasma

darah

sewaktu vena

(mg/dl)

Darah

Bukan DM

Belum pasti

DM

<110

DM
110-199

200

<90

90-199

200

kapiler

Kadar

glukosa Plasma

<110

110-125

126

darah

puasa vena
Darah

<90

90-109

110

(mg/dl)

kapiler
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien
adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria
serta pruritus vagina pada wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa
darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DM.
Hasil pemeriksaam kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan
untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup

16

kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut


dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa
126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain
atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa
darah pasca pembebanan 200 mg/dl.
Langkah-langkah diagnostik DM dan tolerasni glukosa terganggu

V. Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan American Diabetes Association (ADA) :
1. Diabetes melitus
a. Tipe 1
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenille-onset dan tipe
dependen insulin; namun kedua tipe ini dapat muncul pada
sembarang usia. Diabetes tipe 1 ini dapat dibagi dalam 2 subtipe :
(a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel
beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak
diketahui sumbernya.
b. Tipe 2
Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset
maturitas dan tipe nondependen insulin.

17

2. Diabetes gestasional
Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan
mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM
adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan
riwayat gestasional terdahulu.
3. Tipe spesifik lain
a) Cacat genetik fungsi sel beta : MODY
b) Cacat genetik kerja insulin : sindrom resistensi insulin berat
c) Endokrinopati : sindrom cushing, akromegali
d) Penyakit eksokrin pankreas
e) Obat atau diinduksi secara kimia
f) infeksi
4. Gangguan toleransi glukosa (IGT)
Pasien dengan IGT tidak dapat memenuhi kriteria diabetes melitus, tetapi
tes toleransi glukosanya memperlihatkan kelainan. Pasien-pasien ini
asimtomatis.
5. Gangguan glukosa puasa (IFG)
Gangguan glukosa puasa ditetapkan dengan nilai antara 110 dan 126
mg/100 ml.
VI. Penatalaksaan Diabetes Melitus
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan DM terdiri dari; pertama terapi non
farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan
pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan
aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan
penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi
farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi
insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan
terapi non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan
kadar glukosa darah sebagainana yang diharapkan. Pemberian terapi

18

farmakologis tidak meninggalkan terapi non farmakologis yang telah


diterapkan sebelumnya.
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman :

Perjalanan penyakit DM

Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM

Penyulit DM dan risikonya

Intervensi farmakologis dan non farmakologis serta target


perawatan

Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik dan hipoglikemik


orak atau insulin serta obat-obat lainnya

Cara pemantauan glukosa darah

Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti hipoglikemia

Pentingnya perawatan diri

2. Terapi Gizi Medis


Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
a. Karbohidrat
Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi
tidak boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi sehari,
atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan
pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA =
monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat
terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori.
b. Lemak
Lemak mempunyai kandungan sebesar 9 kilokalori per gramnya.
Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan
menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan
lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi para diabetisi
karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang
sering dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai

19

tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acid), merupakan salah


satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah
dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat
menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL
dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak
tidak jenuh rantai panjang (PUFA = polyunsaturated fatty acid)
dapat

melindungi

jantung,

menurunkan

kadar

trigliserida,

memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak


omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan
meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat
menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat
menurunkan kadar kolesterol LDL. Untuk mencukupi kebutuhan
asam lemak tidak jenuh rantai panjang, dianjurkan untuk
mengkonsumsi ikan seminggu 2-3 kali.
c. Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15%
dari total kalori per hari.
Perhitungan jumlah kalori :
Laki-laki

: BB idaman (kg) x 30 kalori

Perempuan

: BB idaman (kg) x 25 kalori

Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%),
makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di
antara makan besar.
3. Latihan Jasmani
Jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5 kali
per minggu dengan durasi 30-60 menit. Latihan jasmani yang dipilih
sebaiknya yang disenangi serta memungkin untuk dilakukan dan
hendaknya melibatkan otot-otot besar.
4. Terapi Farmakologis

20

Golongan Insulin Sensitizing yaitu yang memperbaiki sensitivitas


insulin ;
Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai ialah
metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di
usus dan hati, tidak dimetabolisme tapi dikeluarkan secara cepat
melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka metformin
biasanya diberikan 2-3 kali sehari kecuali dalam bentuk extended
release. Efek samping yang terjadi dapat berupa asidosis laktat dan
untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal( kreatinin > 1,3 mg/dl pada wanita
dan > 1,5 mg/dl pada pria) atau pada gangguan fungsi hati dan
gagal jantung serta harus hati-hati pada orang lanjut usia.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya
terhadap kerja insulin pada tingkat seluler,distal reseptor insulin
dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan
pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa
darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus
sesudah asupan makan. Setelah diberikan secara oral, metformin
akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan
dieksresikan lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2
jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tapi tidak
menyebabkan hipoglikemik. Pemakaian tunggal metformin dapat
menurunkan glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin
plasma pada keadaa basal juga turun. Pada pemakaian kombinasi
dengan sulfonilurea, hipoglikemik dapat terjadi akibat pengaruh
sulfonilureanya. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat
badan seperti pada pemakaian sulfonilurea. Pada pemakaian
kombinasi metformin dengan insulin dapat dipertimbangkan untuk
pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan.
21

Glitazone atau Thiazolidinediones


Obat ini dapat diberikan secara oral dan monoterapinya
dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa sebanyak 5980 mg/dl dan A1C 1,4-2,6% dibandingkan dengan plasebo.
Glitazone merupakan agonis peroxicame activated receptor
gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR
gamma terdapat dijaringan target kerja insulin yang merupakan
regulator homeostatis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin.
Glitazone dapat merangsang ekskresi beberapa protein yang dapat
memperbaiki sensitifitas insulin dan memperbaiki glikemia serta
dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan mediator resistensi
insulin seperti TNF-alpha dan leptin.
Glitazone

diabsorpsi

dengan

cepat

dan

mencapai

konsentrasi tertinggi setelah 1-2 jam dan makanan tidak


mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar 3-4
jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone. Obat ini
dapat digunakan dalam monoterapi ataupun kombinasi dengan
metformin dan sekretago insulin. Secara klinik rosiglitazone dapat
diberikan 4 & 8 mg/hr ( dosis tunggal/terbagi 2x sehari)
memperbaiki glukosa darah puasa sampai 55 mg/dl. Sedangkan
pioglitazone sebagai monoterapi/kombinasi dapat menurunkan
glukosa darah dengan dosis 45 mg/dl.
Golongan Sekretorik Insulin
Mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh
sel beta pankreas. Golongan ini berupa sulfonilurea dan glinid.
Sulfonilurea
Efek hipoglikemi sulfonilurea adalah dengan merangsang
channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas.
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas
22

untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu hanya dapat


bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk
sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai untuk DM
tipe 1. Efek akut obat golongan sulfonil urea berbeda dengan efek
pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai
masa paruh 4 jam pada pemakaian akut tapi pemakaian jangka
lama > 12 minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam.
Karena itu, dianjurkan hanya sekali sehari. Glibenklamid
menurunkan glukosa darah puasa (36%) lebih besar dari glukosa
sesudah makan (21%). Pada pemakaian jangka lama efektifitas
golongan obat ini dapat berkurang.
Pemakaian sulfonilurea selalu dimulai dengan dosis rendah
untuk

menghindari

kemungkinan

hipoglikemia.

Dosis

permulaannya tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila


konsentrasi glukosa darah puasa < 200 mg/dl, SU

sebaiknya

dimulai dengan dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2
minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dl. Bila
glukosa darah puasa > 200 mg/dl dapat diberikan dosis awal yang
lebih besar . Obat ini sebaiknya diberi setengah jam sebelum
makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberi
sekali sehari sebaiknya diberi pada waktu makan pagi atau pada
makan makanan porsi terbesar.
Glinid
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea dan memiliki
struktur yang mirip tapi tidak mempunyai efek sepertinya.
Repaglinid & nateglinid diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian
oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati
sehingga diberikan 2-3 kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan
glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang

23

singkat karena lama menempel pada kompleks SUR

sehingga

dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU.


Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak
menurunkan glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan
sekretagok yang khusus menurunkan glukosa pascaprandial dengan
efek hipoglikemik yang minimal.
Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase
didalam saluran cerna sehingga menurunkan penyerapan glukosa dan
menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja dilumen usus
dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan tidak berpengaruh pada kadar
insulin.
Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala
gastrointestinal seperti meteorismus,diare. Acarbose dapat digunakan
sebagai monoterapi atau kombinasi dengan insulin,metformin,glitazone
atau sulfonilurea. Untuk mendapat efek maksimal obat ini harus
digunakan pada saat makanan utama karena merupakan penghambat
kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang
sama karbohidrat berada diusus halus. Monoterapi acarbose dapat
menurunkan glukosa postprandial 40-60 mg/dl dan glukosa puasa ratarata 10-20 mg/dl. Sedangkan dengan terapi kombinasi akan menurunkan
glukosa postprandial sebesar 20-30 mg/dl dari keadaan sebelumnya.
Dipeptidyl Peptidase-4 inhibitors DPP-4 inhibitor
DPP-4 merupakan protein membran yang diekspresikan pada berbagai
jaringan termasuk sel imun. DPP-4 Inhibitor adalah molekul kecil yang
meningkatkan efek GLP-1 dan GIP yaitu meningkatkan glucosemediated insulin secretion dan mensupres sekresi glukagon. Penelitian
klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar 0,60,9 %.Golongan obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai

24

sebagai monoterapi. Obat yang termasuk golongan ini : sitagliptin,


vildagliptin, saxagliptin, and linagliptin.
Insulin
Terapi insulin diperlukan pada keadaan:
Penurunan BB yang cepat
Hiperglikemia berat disertai ketosis
Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Stres berat( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
Kehamilan dengan DM / DMG yang tidak terkendali dengan TGM
Gangguan fungsi hati/ginjal berat
Kontraindikasi/alergi dengan OHO
Kanker
Sirosis hati
TBC paru
Fraktur
Tirotoksikosis
VII.Komplikasi
Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2 kategori
mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi-komplikasi vaskular
jangka panjang.
1. Komplikasi metabolik akut
Ketoasidosis Diabetik (DKA)
Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami
hiperglikemia dan glukosuria barat, penurunan lipogenesis,
peningkatan lipolisis, dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas
25

disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat dan


aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis.
Peningkatan produksi keton meningkatkan bebas ion hidrogen dan
asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat
menyebabkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan
kehilangan elektrolit. Pasien dapat mengalami hipotensi dan syok.
Akhirnya akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan
mengalami koma dan meninggal.

DKA ditangani dengan

perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin,


pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan pengobatan
keadaan yang mempercepat ketoasidosis (infeksi).
Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK)
Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum >600 mg/dl.
Hiperglikemia mneyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik
dan dehidrasi berat. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi,
penggantian elektrolitdan insulin reguler.
Hipoglikemia
Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin
(berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat
kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh,
sensorium yang tumpul dan koma). Penatalaksanaan hipoglikemia
adalah perlu segera diberikan karbohidrat, baik oral maupun
intravena.
2. Komplikasi kronik jangka panjang
Mikroangiopati : retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati
diabetik.
Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien
diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300
mg/24 jam atau >200 g/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan
dalam kurun waktu 3-6 bulan.

26

Makroangiopati
Makroangiopati

diabetik

vaskular.

mengenai

arteri-arteri

insufisiensi

vaskular

Jika

mengakibatkan

akan

mengakibatkan
perifer,
perifer

penyumbatan
maka
yang

dapat
disertai

kaludikasio intermiten dan gangren pada ekstrimitas serta


insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteria
koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark
miokardium.

B. Ulkus Diabetik
I.

Definisi
Ulkus diabetikum, sesuai dengan namanya, adalah ulkus yang terjadi
pada kaki penderita diabetes dan merupakan komplikasi kronik yang
diakibatkan oleh penyakit diabetes itu sendiri. Insiden ulkus diabetikum
setiap tahunnya adalah 2% diantara semua pasien diabetes dan 5-7,5%
diantara pasien diabetes dengan neuropati perifer.

II. Patofisiologi
Ulkus diabetikum terjadi akibat adanya perubahan mikrovaskular dan
makrovaskular yang dalam hal ini terjadi neuropati dan Peripheral Vascular
Diseasse (PVD). Neuropati pada penderita diabetes memiliki prevalensi lebih
dari 50%. Patogenesisnya bersifat multifaktorial dan diduga akibat perubahan
patologis yang diinduksi hiperglikemia pada neuron-neuron dan iskemia
karena berkurangnya aliran darah neurovaskular yang berakibat rusaknya
neuron. Selain neuropati dan PVD, terdapat satu faktor lagi yang berperan,
yaitu infeksi. Jarang sekali infeksi sebagai faktor tunggal, tetapi sering
merupakan komplikasi iskemia dan neuropati.
Penyebab terjadinya ulkus bersifat multifaktorial, dibedakan menjadi 3
kelompok, yaitu akibat perubahan patofisiologi, deformitas anatomi dan
faktor lingkungan. Perubahan patofisiologi pada tingkat biomolekular
27

menyebabkan neuropati perifer, dan penurunan sistem imunitas yang


mengakibatkan terganggunya proses penyembuhan luka. Deformitas anatomi
pada kaki, yaitu pada neuroatropati charcot, terjadi sebagai akibat adanya
neuropati motoris. Faktor lingkungan terutama trauma akut dan kronis (akibat
tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya) merupakan faktor yang dapat
memulai terjadinya ulkus. Alas kaki yang tidak tepat merupakan sumber
trauma yang paling sering.
Akibat dari neuropati yang menganai saraf sensorik perifer dan rusaknya
serabut mielin, maka mekanisme proteksi normal akan terganggu sehingga
pasien kurang waspadsa terhadap trauma minor pada kaki, bahkan tidak
mengetahui telah terdapat luka di kakinya. Terganggunya persepsi
propioseptif menyebabkan distribusi berat yang salah, terutama pada saat
berjalan sehingga dapat terbentuk kalus atau ulkus.
Adanya neuropati motorik dapat menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot,
juga menyebabkan abnormalitas pada mekanis otot kaki dan perubahan
struktural kaki, misalnya hammer toe, claw toe, prominent metatarsal head,
charcot joint, dan mudahnya terbentuk kalus. Gangguan otonom yang ada
seperti anhidrosis, gangguan aliran darah superfisial kaki, membuat kulit
menjadi kering dan mudah terbentuk retakan/fisura. Buruknya sirkulasi darah
dan penyembuhan luka dapat memperbesar luka kecil.
III. Klasifikasi
Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes tetapi klasifikasi Wagner
merupakan klasifikasi yang saat ini masih banyak dipakai.
0 = Kulit intak/utuh
1 = Tukak superfisial
2 = Tukak dalam (sampai tendon, tulang)
3 = Tukak dalam dengan infeksi
4 = Tukak dengan gangren pada 1-2 jari kaki
5 = Tukak dengan gangren luas seluruh kaki

28

Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan sangat erat dengan
pengelolaan adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki
diabetes (Edmonds 2004-2005) :

Stage 1 : Normal foot

Stage 2 : High risk foot

Stage 3 : Ulcerated foot

Stage 4 : Infected foot

Stage 5 : Necrotic foot

Stage 6 : Unsalvable foot

Untuk stage 1 dan 2, peran pencegahan primer sangat penting, dan semuanya
dapat

dikerjakan

pada

pelayanan

kesehatan

primer,

baik

oleh

podiatrist/chiropodist maupun oleh dokter umum/dokter keluarga. Untuk stage 3


dan 4 kebanyakan sudah memerlukan perawatan di tingkat pelayanan kesehatan
yang lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialistik. Untuk
stage 5 dan 6, jelas merupakan kasus rawat inap, dan jelas sekali memerlukan
suatu kerjasama tim yang sangat erat, dimana harus ada dokter bedah, utamanya
dokter ahli bedah vaskular/ahli bedah plastik dan rekonstruksi.

IV. Penatalaksanaan
Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil
pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan semuanya
harus dikelola bersama :

Mechanical control - pressure control


Jika tetap dipakai untuk berjalan (berarti kaki dipakai untuk menahan berat
badan weight bearing), luka yang selalu mendapat tekanan tidak akan
sempat menyembuh, apalagi kalau luka tersebut terletak di bagian plantar.

Wound control

29

Dilakukan debridement untuk mengurangi jaringan yang nekrotik dan


mengurangi produksi pus dari ulkus/gangren. Berbagai terapi topikal dapat
dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka, seperti cairan salin
sebagai pembersih luka, atau yodine encer, senyawa silver sebagai bagian
dari dressing, dll.

Microbiological control infection control


Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan
kuman dan resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di
RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo, umumnya didapatkan pola kuman yang
polimikrobial, campuran gram positif dna gram negatif serta kuman
anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu lini pertama
pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik dengan spektrum luas,
mencakup kuman gram positif dan negatif (seperti misalnya golongan
sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap
kuman anaerob (seperti misalnya metronidazol).

Vascular control
Perbaiki kelainan pembuluh darah perifer dengan modifikasi faktor risiko
terkait aterosklesrosis seperti hiperglikemi, hipertensi dan dislipidemia.

Metabolic control
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar glukosa
darah diusahakan senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor
yang terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka.
Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi kadar glukosa darah.
Status nutrisi harus diperhatian dan diperbaiki. Nutrisi yang baik jelas
membantu kesembuhan luka. Berbagai hal lain harus juga diperhatikan
dan diperbaiki, seperti kadar albumin serum, kadar Hb dan derajat
oksigenasi jaringan, demikian juga fungsi ginjalnya. Semua faktor tersebut
tentu akan menghambat kesembuhan luka sekiranya tidak diperhatikan dan
tidak diperbaiki.

Educational control

30

Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren


diabetik maupun keluarganya diaharapkan akan dapat membantu dan
mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka
yang optimal.

BAB III
PEMBAHASAN
Diabetes mellitus pada Tn. W berdasakan autoanamnesa dan alloanamnesa
yang menyatakan bahwa Tn. W sudah terdiagnosis DM sejak 3 tahun yang lalu.
Pada saat sebelum terdiagnosis DM, pasien mengalami gejala klinis yang khas
berupa poliuria, polidipsi, polifagi, sering lemas dan penurunan berat badan. Pada
pemeriksaan penunjang GDA perhari didapatkan kadar glukosa darah acak selalu
diatas 250 pada tanggal 19-25 juni 2015.

31

Pada tanggal 25 juni 2015 dilakukan pemeriksaan kepada Tn. W,


didapatkan keluhan utama berupa kaki kiri bengkak dan terdapat luka lebih dari 1
minggu yang lalu. Pada pengamatan oleh pemeriksa, terdapat ulkus pada bagian
anterior pedis sinistra dengan dasar nekrotik dan pus, 6x3 cm, dan digiti 2 pedis
sinistra gangrene hingga phalanx proksimal. Anamnesa dan pemeriksaan fisik
secara klinis tersebut mengarahkan pada diagnosa diabetes mellitus tipe 2 dengan
komplikasi kronik berupa ulkus diabetic derajat 4 pada pedis sinistra.
Ulkus diabetik adalah ulkus yang terjadi pada kaki penderita diabetes dan
merupakan komplikasi kronik yang diakibatkan oleh penyakit diabetes itu sendiri.
Ulkus diabetikum

terjadi akibat

adanya

perubahan mikrovaskular

dan

makrovaskular yang dalam hal ini terjadi neuropati dan Peripheral Vascular
Diseasse (PVD). Patogenesisnya bersifat multifaktorial dan diduga akibat
perubahan patologis yang diinduksi hiperglikemia pada neuron-neuron dan
iskemia karena berkurangnya aliran darah neurovaskular yang berakibat rusaknya
neuron. Selain neuropati dan PVD, terdapat satu faktor lagi yang berperan, yaitu
infeksi. Jarang sekali infeksi sebagai faktor tunggal, tetapi sering merupakan
komplikasi iskemia dan neuropati. Pada pasien ini ulkus diabetik sudah mencapai
derajat IV dan sudah harus mendapatkan penanganan pembedahan karena digiti
dua pedis sinistra terdapat gangren. Akan tetapi kondisi pasien seperti kadar gula
darah harus diperbaiki dan harus dikontrol sesuai target untuk menghindari resiko
berat dari pembedahan tersebut. Infeksi diminimalisir dengan penggunaan
antibiotika untuk bakteri anareob yang dalam kasus ini menggunakan
cefoperazon, clindamycin, dan metronidazole.

Daftar Pustaka
1. Tjokroprawiro A., Setiawan P.B., Santoso D., Soegiarto G., 2007. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi pertama. Universitas Airlangga Press:
Surabaya.
2. Price, Sylvia A., 2010. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Jilid 1.Ed-6. EGC: Jakarta

32

3. Greenstein, B., Wood, D. 2010. At a Glance: SIstem Endokrin. 2nd ed.


Erlangga Medical Series: Jakarta.
4. Guyton, A. C., Hall, J. E. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Sheewood, L. 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. 6th Edition.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Edwards, J., Stapley,S. 2010. Debridements of Diabetic Foot Ulcers.
Cochrane Database of Systematic Reviews.

33

También podría gustarte