Está en la página 1de 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATARBELAKANG
Plasenta merupakan bagian yang sangat penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan janin. Plasenta memiliki peran sebagai tempat pertukaran zat,
penghasil hormon yang berguna selama kehamilan, dan sebagai barier 1. Melihat
pentingnya peranan plasenta, maka bila terjadi kelainan pada plasenta akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan janin ataupun mengganggu proses
persalinan. Kelainan pada plasenta dapat berupa gangguan fungsi dari plasenta,
gangguan implantasi plasenta, maupun pelepasan plasenta sebelum waktunya
yang disebut solusio plasenta.
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal
plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua
endometrium sebelum waktunya yakni antara minggu 22 dan lahirnya anak.
Insidensi solusio plasenta bervariasi di seluruh dunia. Frekuensi solusio
plasenta di Amerika Serikat dan di seluruh dunia mendekati 1%.

Saat ini

kematian maternal akibat solusio plasenta mendekati 6%. Solusio plasenta


merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum yang memberikan
kontribusi terhadap kematian maternal dan perinatal di Indonesia. Pada tahun
1988 kematian maternal di Indonesia diperkirakan 450 per 100.000 kelahiran
hidup. Angka tersebut tertinggi di ASEAN (5-142 per 100.000) dan 50-100 kali
lebih tinggi dari angka kematian maternal di negara maju. Di negara berkembang,
penyebab kematian yang disebabkan oleh komplikasi kehamilan, persalinan, nifas
adalah perdarahan, infeksi, pre-eklamsi/eklamsi. Selain itu kematian maternal juga
dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan, sosioekonomi, usia ibu hamil, dan paritas.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Solusio Plasenta


2.1.1 Definisi
Terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari
tempat implantasinya yang normal pada sebelum waktunya yakni antara
minggu 20 dan lahirnya anak. Plasenta secara normal terlepas setelah
bayi lahir.
Nama lain yang sering dipergunakan, yaitu abruptio placentae,
ablatio placentae, accidental haemorrhage, premature separation of the
normally implanted placenta.

Gambar 2.1 Solusio Plasenta

2.1.2 Klasifikasi
Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja (ruptura sinus
marginalis), dapat pula terlepas lebih luas (solusio plasenta parsialis),
atau bisa seluruh permukaan maternal plasenta terlepas (solusio plasenta
totalis). Perdarahan yang terjadi akan merembes antara plasenta dan
miometrium untuk seterusnya menyelinap di bawah selaput ketuban dan
akhirnya memperoleh jalan ke kanalis servikalis dan keluar melalui
vagina, menyebabkan perdarahan eksternal (revealed hemorrhage)2
(Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Solusio Plasenta Dengan Perdarahan Eksternal

Yang lebih jarang, jika bagian plasenta sekitar perdarahan masih


melekat pada dinding rahim, darah tidak keluar dari uterus, tetapi
tertahan di antara plasenta yang terlepas dan
3

uterus sehingga

menyebabkan perdarahan tersembunyi (concealed hemorrhage) yang


dapat terjadi parsial (Gambar 2.3) atau total (Gambar 2.4).

Gambar 2.3 Solusio Plasenta Parsial Disertai Perdarahan Tersembunyi


Solusio plasenta dengan perdarahan tertutup terjadi jika:
1. Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim
2. Selaput ketuban masih melekat pada dinding rahim
3. Perdarahan masuk ke dalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah
4. Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen bawah
rahim.
Perdarahan yang tersembunyi biasanya menimbulkan bahaya yang lebih
besar bagi ibu, tidak saja karena kemungkinan koagulopati konsumptif tetapi juga
karena jumlah darah yang keluar sulit diperkirakan.

Gambar 2.4 Solusio Plasenta Total Disertai Perdarahan Tersembunyi

Secara klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya


gambaran klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasneta yang
terlepas, yaitu solusio plasenta ringan, sedang, dan berat.
a. Solusio plasenta ringan
Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25% atau ada yang
menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya
kurang dari 250 ml. Gejala-gejala sukar dibedakan dari plasenta previa
kecuali warna darah yang kehitamam. Komplikasi terhadap ibu dan janin
belum ada.
b. Solusio Plasenta Sedang
Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25%, namun belum
mencapai separuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar lebih banyak dari
250 ml tetapi belum mencapai 1000 ml. Gejala-gejala dan tanda-tanda
sudah jelas seperti nyeri pada perut yang terus-menerus, denyut janin
menjadi cepat, hipotensi, dan takikardi.

c. Solusio Plasenta Berat


Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%, dan jumlah
darah yang keluar melebihi 1000 ml. Gejala dan tanda klinik jelas,
keadaan umum disertai syok, dan hampir semua janinnya telah
meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai pada
oligouri biasanya telah ada.
2.1.3 Prevalensi
Insidensi solusio plasenta bervariasi di seluruh dunia. Kejadiannya
bervariasi dari 1 di antara 75 sampai 830 persalinan. Frekuensi solusio
plasenta di Amerika Serikat dan di seluruh dunia mendekati 1%. Solusio
plasenta merupakan salah satu penyebab perdarahan antepartum yang
memberikan kontribusi terhadap kematian maternal dan perinatal di
Indonesia. Saat ini kematian maternal akibat solusio plasenta mendekati
6%. Solusio plasenta merupakan penyebab 20-35% kematian perinatal.
Pada tahun 1988 kematian maternal di Indonesia diperkirakan 450 per
100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut tertinggi di ASEAN (5-142 per
100.000) dan 50-100 kali lebih tinggi dari angka kematian maternal di
negara maju. Di negara berkembang, penyebab kematian yang disebabkan
oleh komplikasi kehamilan, persalinan, nifas adalah perdarahan, infeksi,
pre-eklamsi/eklamsi. Selain itu kematian maternal juga dipengaruhi oleh
pelayanan kesehatan, sosioekonomi, usia ibu hamil, dan paritas.
Solusio plasenta sering berulang pada kehamilan berikutnya.
Kejadiannya tercatat sebesar 1 di antara 8 kehamilan 3. Namun, insidensi
solusio plasenta cenderung menurun dengan semakin baiknya perawatan
antenatal sejalan dengan semakin menurunnya jumlah ibu hamil usia dan
paritas tinggi dan membaiknya kesadaran masyarakat berperilaku lebih
higienis.

2.1.4 Etiologi
Sebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui , tetapi terdapat
beberapa keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan
atau menyertai solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor risiko (Tabel
2.1), seperti hipertensi, riwayat trauma, kebiasaan merokok, usia ibu, dan
paritas yang tinggi .

Faktor Risiko

Hubungan dengan risiko

Meningkatnya usia dan paritas

1.31.5

Preeklampsia

2.14.0

Hipertensi kronik

1.83.0

Ketuban pecah dini

2.44.9

Kehamilan ganda

2.1

Hidroamnion

2.0

Wanita perokok

1.41.9

Trombofilia

37

Penggunaan kokain

NA

Riwayat solusio plasenta

1025

Mioma dibelakang plasenta

8 dari 14

Trauma abdomen dalam kehamilan Jarang


Tabel 2.1 Faktor Risiko Solusio Plasenta

Seperti diperlihatkan di Grafik 2.1, insidensinya meningkat seiring


dengan usia ibu. Meski Prtichard dkk. (1991) juga memperlihatkan
7

bahwa insiden lebih tinggi pada wanita dengan paritas tinggi, Toohey
dkk. (1995) tidak mendapatkan hal ini pada wanita yang memiliki 5 anak
atau lebih.

Grafik 2.1 Insidensi Solusio Plasenta dan Plasenta Previa

2.1.5 Patofisiologi
Solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang
bermula dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili-vili korialis
plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi
perdarahan. Oleh karena itu patofisiologinya bergantung pada etiologi.
Pada trauma abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah
desidua.
Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel
(apoptosis) yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit
ibu yang dapat menyebabkan pembentukan trombosis dalam pembuluh
darah desidua atau dalam vaskular vili dapat berujung kepada iskemia
dan hipoksia setempat yang menyebabkan kematian sejumlah sel dan
mengakibatkan perdarahan sebagai hasil akhir. Perdarahan tersebut
8

menyebabkan desidua basalis terlepas kecuali selapisan tipis yang tetap


melekat pada miometrium. Dengan demikian, pada tingkat permulaan
sekali dari proses terdiri atas pembentukan hematom yang bisa
menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada
bagian plasenta yang berdekatan. Pada awalnya mungkin belum ada
gejala kecuali terdapat hematom pada bagian belakang plasenta yang
baru lahir. Dalam beberapa kejadian pembentukan hematom retroplasenta
disebabkan oleh putusnya arteria spiralis dalam desidua. Hematoma
retroplasenta mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari
sirkulasi maternal/plasenta ke sirkulasi janin. Hematoma yang terbentuk
dengan cepat meluas dan melepaskan plasenta lebih luas/banyak sampai
ke pinggirnya sehingga darah yang keluar merembes antara selaput
ketuban dan miometrium dan selanjutnya keluar melalui serviks ke
vagina (revealed hemorrhage). Perdarahan tidak bisa berhenti karena
uterus yang lagi mengandung tidak mampu berkontraksi untuk menjepit
pembuluh arteria spiralis yang terputus. Walaupun jarang terdapat
perdarahan

tinggal

terperangkap

di

dalam

uterus

(concealed

hemorrhage).
Nikotin dan kokain keduanya dapat menyebabkan vasokonstriksi yang
bisa menyebabkan iskemia dan pada plasenta sering dijumpai bermacam
lesi seperti infark, oksidatif stres, apoptosis, dan nekrosis, yang
kesemuanya ini berpotensi merusak hubungan uterus dengan plasenta
yang berujung kepada solusio plasenta. Dilaporkan merokok berperan
pada 15% sampai 25% dari insidensi solusio plasenta. Merokok satu
bungkus perhari menaikkan insiden menjadi 40%.

2.1.6 Gejala Klinik

Gejala dan tanda klinis yang klasik dari solusio plasenta adalah
terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina (80%
kasus), nyeri perut dan uterus tegang terus-menerus mirip his partus
prematurus.
Kurang lebih 30% penderita solusio plasenta ringan tidak atau
sedikit yang menunjukkan gejala. Pada keadaaan yang sangat ringan tidak
ada gejala kecuali hematom yang berukuran beberapa sentimeter terdapat
pada permukaan maternal plasenta. Rasa nyeri pada perut masih ringan
dan darah yang keluar masih sedikit, sehingga belum keluar dari vagina.
Nyeri yang belum terasa menyulitkan membedakannya dengan plasenta
previa kecuali darah yang keluar berwarna merah segar pada plasenta
previa. Tanda vital ibu dan janin masih baik. Pada inspeksi dan auskultasi
tidak dijumpai kelainan kecuali pada palpasi sedikit terasa nyeri lokal pada
tempat terbentuknya hematom. Kadar fibrinogen darah dalam batas
normal yaitu 350 mg%. Walaupun belum memerlukan intervensi segera
keadaan ringan ini perlu dimonitor terus sebagai upaya mendeteksi
keadaan bertambah berat. Pemeriksaan ultrasonografi berguna untuk
menyingkirkan plasenta previa dan mungkin bisa mendeteksi luasnya
solusio terutama pada solusio plasenta sedang atau berat.
Gejala dan tanda pada solusio plasenta sedang seperti rasa nyeri
pada perut yang terus-menerus, denyut jantung janin biasanya telah
menunjukkan gawat janin, perdarahan yang keluar tampak lebih banyak,
takikardia, hipotensi, kulit dingin, oliguria mulai ada, kadar fibrinogen
berkurang antara 150-250 mg/100 ml, dan mungkin kelainan pembekuan
darah dan gangguan fungsi ginjal sudah mulai ada. Rasa nyeri bersifat
menetap, tidak hilang timbul seperti pada his yang normal. Perdarahan
pervaginam jelas dan berwarna kehitaman. Pada pemantauan keadaan
janin dengan kardiotokografi bisa jadi telah ada deselerasi lambat. Perlu
dilakukan tes gangguan pembekuan darah.
Pada solusio plasenta berat perut sangat nyeri dan tegang serta
keras seperti papan (defence musculare) disertai perdarahan berwarna
10

hitam. Oleh karena itu, palpasi bagian-bagian janin tidak mungkin


dilakukan. Fundus uteri lebih tinggi daripada yang seharusnya karena telah
terjadi penumpukan darah di dalam uterus pada kategori concealed
hemorrhage. Jika dalam masa observasi tinggi fundus bertambah lagi
berarti perdarahan baru masih berlangsung. Pada inspeksi rahim terlihat
membulat dan kulit di atasnya kencang. Pada auskultasi denyut jantung
janin tidak terdengar lagi akibat gangguan anatomik dan fungsi plasenta.
Keadaan umum menjadi buruk disertai syok. Adakalanya keadaan umum
ibu jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan yang tidak seberapa keluar
dari vagina. Kadar fibrinogen darah rendah yaitu kurang dari 150 mg%
dan telah ada tromobositopenia.
2.1.7 Diagnosis Klinik
Dalam banyak hal diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gejala
dan tanda klinik yaitu perdarahan melalui vagina, nyeri pada uterus, dan
pada solusio plasenta yang berat terdapat kelainan denyut jantung janin
pada pemeriksaan dengan KTG. Namun kadang pasien datang dengan
gejala perdarahan tidak banyak dengan perut tegangan tetapi janin telah
meninggal. Diagnosis pasti hanya bisa ditegakkan dengan melihat adanya
perdarahan retroplasenta setelah partus (Gambar 2.6).

11

Gambar 2.5 Perdarahan Retroplasenta

Ditekankan bahwa tanda dan gejala pada solusio plasenta dapat


sangat bervariasi. Sebagai contoh, pedarahan eksternal dapat deras, namun
plasenta yang terlepas tidak terlalu luas sehingga belum membahayakan
janin secara langsung. Walaupun jarang, mungkin tidak terjadi perdarahan
eksternal tetapi plasenta terlepas total dan sebagai akibatnya janin
meninggal. Hurd dkk. (1983) dalam sebuah penelitian prospektif yang
relatif kecil tentang solusio plasenta, mengidentifikasi frekuensi berbagai
gejala dan tanda yang berhubungan (Tabel 2.2). Perdarahan dan nyeri
abdomen adalah temuan tersering. Temuan lain yang didapatkan adalah
perdarahan serius, nyeri punggung, nyeri tekan uterus, kontraksi uterus
yang sering.
Pada penelitian-penelitian lama, USG jarang mengkonfirmasi
diagnosis solusio plasenta. Sebagai contoh, Sholl (1987) memastikan
diagnosis secara sonografis hanya pada 25% wanita. Hal yang sama
dikemukakan oleh Glantz dan Purnell (2002), yang mengkalkulasi hanya
24% dari 149 wanita yang melakukan USG dapat menyingkirkan
kemungkinan adanya solusio plasenta. Yang penting, temuan negatif pada
pemeriksaan USG tidak menyingkirkan solusio plasenta.
Gejala dan Tanda

Frekuensi (%)

Perdarahan pervaginam

78

Uterus tegang atau nyeri pinggang

66

Gawat janin

60

Partus prematurus

22

Kontraksi yang terus menerus tinggi

17

Hipertonus

17

12

Gejala dan Tanda

Frekuensi (%)

Kematian janin

15

Tabel 2.2 Gejala dan Tanda yang Terdapat pada 59 Wanita Solusio Plasenta
2.1.8 Diagnosis Banding

Pada kasus solusio plasenta yang parah, diagnosis biasanya jelas.


Bentuk-bentuk solusio yang lebih ringan dan lebih sering terjadi sulit
diketahui dengan pasti dan diagnosis sering ditegakkan berdasarkan
eksklusi. Karena itu, pada kehamilan variabel dengan penyulit
perdarahan pervaginam, perlu menyingkirkan plasenta previa dan
penyebab lain perdarahan dengan pemeriksaan klinis dan evaluasi USG.
Telah lama diajarkan, mungkin dengan beberapa pembenaran, bahwa
perdarahan uterus yang nyeri adalah solusio plasenta sementara
perdarahan uterus yang tidak nyeri mengindikasikan plasenta previa.
Sayangnya, diagnosis banding tidak sesederhana itu. Persalinan yang
menyertai plasenta previa dapat menimbulkan nyeri yang mengisyaratkan
solusio plasenta. Perbedaan solusio plasenta dengan plasenta previa dapat
dilihat pada tabel 2.2 berikut.
Kriteria
Perdarahan

Solusio Plasenta

Plasenta Previa

Merah tua s/d coklat hitam

Merah segar, Berulang ,

Terus menerus

Tidak nyeri

Disertai nyeri
Uterus

Tegang, Bagian janin tak

Tak tegang

teraba, Nyeri tekan

Tak nyeri tekan

13

Jarang
Syok/Anemia

Lebih sering

Sesuai dengan jumlah darah

Tidak sesuai dengan jumlah

yang keluar

darah yang keluar

Fetus

40% fetus sudah mati

Biasanya fetus hidup

Tidak disertai kelainan letak

Disertai kelainan letak

Pemeriksaan

Teraba plasenta atau

dalam

Ketuban menonjol

perabaan fornik ada bantalan

walaupun tidak his

antara bagian janin dengan


jari pemeriksaan

Tabel 2.3 Perbedaan Solusio Placenta dan Placenta Previa

2.1.9 Komplikasi
Komplikasi solusio plasenta berasal dari perdarahan retroplasenta
yang terus berlangsung sehingga menimbulkan berbagai akibat pada ibu
seperti anemia, syok hipovolemik, insufisiensi fungsi plasenta, gangguan
pembekuan darah, gagal ginjal. Sindroma Sheehan terdapat pada
beberapa penderita yang terhindar dari kematian setelah menderita syok
yang berlangsung lama yang menyebabkan iskemia dan nekrosis
adenohipofisis sebagai akibat solusio plasenta.
Kematian janin, kelahiran prematur dan kematian perinatal merupakan
komplikasi yang paling sering terjadi pada solusio plasenta. Solusio
14

plasenta berulang dilaporkan juga bisa terjadi pada 25% perempuan yang
pernah menderita solusio plasenta sebelumnya. Solusio plasenta kronik
dilaporkan juga sering terjadi di mana proses pembentukan hematom
retroplasenta berhenti tanpa dijelang oleh persalinan.

Komplikasi

koagulopati dijelaskan sebagai berikut. Hematoma retroplasenta yang


terbentuk mengakibatkan pelepasan retroplasenta berhenti ke dalam
peredaran darah. Tromboplastin bekerja mempercepat perombakan
protrombin menjadi trombin. Trombin yang terbentuk dipakai untuk
mengubah fibrinogen menjadi fibrin untuk membentuk lebih banyak
bekuan utama pada solusio plasenta berat. Melalui mekanisme ini apabila
pelepasan tromboplastin cukup banyak dapat menyebabkan terjadi
pembekuan darah intravaskular yang luas (disseminated intravascular
coagulation) yang semakin menguras persediaan fibrinogen dan faktorfaktor pembekuan lain.
Curah jantung yang menurun dan kekakuan pembuluh darah ginjal
akibat tekanan intrauterina yang meninggi menyebabkan perfusi ginjal
sangat menurun dan menyebabkan anoksia. Keadaan umum yang terjadi
adalah nekrosis tubulus-tubulus ginjal secara akut menyebabkan
kegagalan fungsi ginjal.
Mungkin terjadi ekstravasasi luas darah ke dalam otot uterus dan di
bawah lapisan

serosa uterus

yang

disebut sebagai apopleksio

uteroplasental ini, yang pertama kalinya dilaporkan oleh Couvelaire pada


awal tahun 1900-an, sekarang sering disebut sebagai uterus couvelaire.
Pada keadaan ini perdarahan retroplasenta menyebabkan darah
menerobos melalui sela-sela serabut miometrium dan bahkan bisa sampai
ke bawah perimetrium dan ke dalam jaringan pengikat ligamentum
latum, ke dalam ovarium bahkan bisa mengalir sampai ke rongga
pernitonei. Perdarahan miometrium ini jarang sampai mengganggu
kontraksi uterus sehingga terjadi perdarahan postpartum berat dan bukan
merupakan indikasi untuk histerektomi.
15

2.1.10 Penanganan
Terapi solusio plasenta akan berbeda-beda tergantung pada usia
kehamilan serta status ibu dan janin. Pada janin yang hidup dan matur,
dan apabila persalinan pervaginam tidak terjadi dalam waktu dekat,
sebagian besar akan memilih seksio sesaria darurat.
2.1.10.1 Solusio Plasenta Ringan
Solusio plasenta ringan jarang ditemukan di RS. Pada
umumnya didiagnosis secara kebetulan pada pemeriksaaan
USG oleh karena tidak memberikan gejala klinik yang khas.
Apabila kehamilannya kurang dari 36 minggu dan perdarahan
kemudian berhenti, perut tidak menjadi nyeri, dna uterus tidak
tegang, maka penderita harus diobservasi dengan ketat.
Apabila perdarahan berlangsung terus dan gejala solusio
plasenta bertambah jelas atau dengan pemeriksaan USG daerah
solusio plasenta bertambah luas maka dilakukan terminasi
kehamilan.
2.1.10.2 Solusio Plasenta Sedang dan Berat
Pada solusio plasenta sedang sampai berat dilakukan
perbaikan keadaan umum terlebih dahulu dengan resusitasi
cairan dan transfusi darah. Bila janin masih hidup biasanya
dalam keadaan gawat janin, dilakukan seksio sesarea, kecuali
bila pembukaan telah lengkap. Pada keadaan ini dilakukan
amniotomi, drip oksitosin, dan bayi dilahirkan dengan
ekstraksi forcep. Apabila janin telah mati dilakukan persalinan
pervaginam dengan cara melakukan amniotomi, drip oksitosin.
Bila bayi belum lahir dalam waktu 6 jam, dilakukan tindakan
seksio sesarea.
16

2.1.10.3 Tokolitik
Hurd dkk. (1983) mendapatkan bahwa solusio berlangsung
dalam waktu yang lama dan membahayakan apabila diberikan
tokolitik. Towers dkk. (1999) memberikan magnesium sulfat,
terbutalin, atau keduanya kepada 95 di antara 131 wanita
dengan solusio plasenta yang didiagnosis sebelum minggu ke36. Angka kematian perinatal sebesar 5% dan tidak berbeda
dari kelompok yang tidak diterapi. Namun, penggunaan
tokolitik

pada

penatalaksanaan

solusio

plasenta

masih

kontroversial.
2.1.10.4 Seksio Sesarea
Pelahiran secara cepat janin yang hidup tetapi mengalami
gawat janin hampir selalu berarti seksio sesarea. Kayani dkk.
(2003) meneliti hubungan antara cepatnya

persalinan dan

prognosis janinnya pada 33 wanita hamil dengan gejala klinis


berupa solusio plasenta dan bradikardi janin. 22 bayi secara
neurologis dapat selamat, 15 bayi dilahirkan dalam waktu 20
menit setelah keputusan akan dilakukan operasi. 11 bayi
meninggal atau berkembang menjadi Cerebral Palsy, 8 bayi
dilahirkan di bawah 20 menit setelah pertimbangan waktu,
sehingga cepatnya respons adalah faktor yang penting bagi
prognosis bayi ke depannya6. Seksio sesarea pada saat ini besar
kemungkinan dapat membahayakan ibu karena mengalami
hipovolemia berat dan koagulopati konsumtif yang parah.

2.1.10.5 Persalinan Pervaginam


Apabila terlepasnya plasenta sedemikian parah sehingga
menyebabkan janin meninggal, lebih dianjurkan persalinan
17

pervaginam kecuali apabila perdarahannya sedemikian deras


sehingga tidak dapat diatasi bahkan dengan penggantian darah
secara

agresif,

atau

terdapat

penyulit

obstetri

yang

menghambat persalinan pervaginam. Defek koagulasi berat


kemungkinan besar dapat menimbulkan kesulitan pada seksio
sesarea. Insisi abdomen dan uterus rentan terhadap perdarahan
hebat apabila koagulasi terganggu. Dengan demikian, pada
persalinan

pervaginam,

stimulasi

miometrium

secara

farmakologis atau dengan massage uterus akan menyebabkan


pembuluh-pembuluh darah berkontraksi sehingga perdarahan
serius dapat dihindari walaupun defek koagulasinya masih ada.
Lebih lanjut, perdarahan yang sudah terjadi akan dikeluarkan
melalui vagina.
2.1.10.6 Amniotomi
Pemecahan selaput ketuban sedini mungkin telah lama
dianggap penting dalam penatalaksanaan solusio plasenta.
Alasan dilakukannya amniotomi ini adalah bahwa keluarnnya
cairan amnion dapat mengurangi perdarahan dari tempat
implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin dan
mungkin

faktor-faktor

pembekuan

aktif

dari

bekuan

retroplasenta ke dalam sirkulasi ibu. Namun, tidak ada bukti


keduanya tercapai dengan amniotomi. Apabila janin sudah
cukup matur, pemecahan selaput ketuban dengan mempercepat
persalinan. Apabila janin imatur, ketuban yang utuh mungkin
lebih efisien untuk mendorong pembukaan serviks daripada
tekanan yang ditimbulkan bagian tubuh janin yang berukuran
kecil dan kurang menekan serviks.

18

2.1.10.7 Amniotomi
Walaupun pada sebagian besar kasus solusio plasenta berat
terjadi hipertonisitas yang mencirikan kerja miometrium,
apabila tidak terjadi kontraksi uterus yang ritmik, pasien diberi
oksitosin dengan dosis standar. Stimulasi uterus untuk
menimbulkan persalinan pervaginam memberikan manfaat
yang lebih besar daripada risiko yang didapat. Pemakaian
oksitosin pernah dipertanyakan berdasarkan anggapan bahwa
tindakan ini dapat meningkatkan masuknya tromboplastin ke
dalam sirkulasi ibu sehingga memacu atau memperparah
kaogulopati konsumtif atau sindroma emboli cairan amnion.
2.1.11 Prognosis
Solusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk baik
bagi ibu hamil dan lebih buruk lagi bagi janin jika
dibandingkan dengan plasenta previa. Solusio plasenta ringan
masih mempunyai prognosis yang baik bagi ibu dan janin
karena tidak ada kematian dan morbiditasnya rendah. Solusio
plasenta sedang mempunyai prognosis yang lebih buruk
terutama terhadap janinnya karena mortalitas dan morbiditas
perinatal yang tinggi. Solusio plasenta berat mempunyai
prognosis yang paling buruk baik terhadap ibu terlebih
terhadap janinnya.

19

BAB III
KESIMPULAN

Perdarahan akibat solusio plasenta berhubungan erat dengan angka kematian


bayi dan mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya prematuritas dan
pertumbuhan janin terhambat. Penanganan dan prognosis solusio plasenta
tergantung dari derajat solusio plasenta.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Sulaiman Sastrawinata. 1985. Obstetri Fisiologi. Bandung : Eleman. Hal


102-122.
2. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan
Persalinan; Bagian Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas, dan
Bayi Baru Lahir (Masalah Ibu);

Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi ke-4.

Jakarta: Penerbit P.T. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. h. 492-513.


3. Mose, Johanes C. 2004. Penyulit Kehamilan; Perdarahan Antepartum;
Dalam: Obstetri Patologi, edisi ke-2. Editor: Prof. Sulaiman Sastrawinata,
dr, SpOG(K), Prof. Dr. Djamhoer Martaadisoebrata, dr, MPSH, SpOG(K),

21

Prof. Dr. Firman F. Wirakusumah, dr, SpOG(K). Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC dan Padjadjaran Medical Press. h. 91-96
4. Suyono,Lulu,Gita,Harum,Endang. 2007. Hubungan Antara Umur Ibu
Hamil Dengan Frekuensi Solusio Plasenta di RSUD Dr. Moewardi
Surakarta; Dalam: Cermin Dunia Kedokteran vol.34 no.5.h 233-238
5. Leveno, Kenneth J. MD; Cunningham, F. Gary MD; Alexander, James M.
MD; Bloom, Steven L. MD; Casey, Brian M. MD; Dashe, Jodi. S MD; et
al. 2007. Obstetrical Complications Section VII, Chapter 35. Obstetrical
Hemorrhage. In: Williams, 22nd edition. Editor: Anne Sydor, Marsha Loeb,
Peter J. Boyle. United States of America: McGraw-Hill Companies, Inc.
6. Miller David A.. Obstretric Hemmorhage. February, 2009. from
http//www.obfocus.com/.../bleeding/hemorrhagepa.htm.
December 28, 2009

22

Accessed

También podría gustarte