Está en la página 1de 10

BAB I

Teknologi Informasi adalah studi atau peralatan elektronika terutama komputer, untuk
menyimpan, menganalisa, dan mendisribusikan informasi apa saja, termasuk kata kata,
bilangan, dan gambar. (kamus Oxford, 1995).
Kehadiran internet sebagai media baru ikut mendorong pertumbuhan informasi
masyarakat (August dan Meadows, 2008 :42). Indikasinya, pengguna internet tidak hanya
semakin bertambah banyak dalam jumlah, namun juga semakin luas cakupannya termasuk
rentang usia. Kini, anak-anak pun menjadi pengguna internet. Di Indonesia ditemukan data
bahwa 20 30 % anak usia 8 17 tahun mengakses internet (bkkbn.go.id, 2010), di Filiphina
74% anak anak usia 10 17 tahun mengakses internet (Asian Institut of Journalism and
Communication, 2009) dan di Inggris terjadi peningkatan pengetahuan Ilmu Teknologi (IT)
pada anak usia 12 -15 tahun hingga 70% (Ofcom, 2011).
Sebagai media baru, internet adalah yang paling pesat perkembangannya dan paling cepat
pula mengubah masyarakat yang didokumentasikan dari masa masa studi mengenai internet
(Barry Wellman, 2011: 17 23). Internet mengubah maupun menciptakan bahasa (Baron,
2011 : 309 324), berkomunikasi secara intrapersonal (Shedletsky & Aitken, 2004: 117
137) dan secara interpersonal (Shedletsky & Aitken, 2004: 141 154). Hingga dikatakan
Fidler (1997, dalam Shedletsky & Aitken, 2004: 17) bahwa Internet causes
methamorphosis: of information, of people, of behavior, of media, of society.
Anak anak merupakan bagian dari masyarakat pun mengalami metamorfosis, mereka
adalah anak anak yang disebut dengan cyberkids atau the

digital generation (Facer

&Furlong, 2001: Buckingham, 2006: Tapscott, 1999: dalam Livingstone, 2011: 348).
Generasi digital atau anak anak cyber dalam pengertian ini adlah generasi yang sudah
terbiasa dengan teknologi komunikasi dan informasi. Generasi inilah pemain internet,

mereka menemukan kemampuannya beraktivitas online secara mandiri, dan bahkan jika
dibandingkan dengan orang dewasa mereka bisa lebih canggih dalam menguasainya. Sebab
pada beberapa penelitian seperti yang disebutkan Livingstone (2011: 348), anak anaklah
yang mendorong terjadinya difusi teknologi komunikasi dan informasi masuk ke rumah.
Mereka dianggap lebih fleksibel dan kreatif. Mereka secara aktif memilih media dan konten
media tersebut.
Sehingga anggapan bahwa anak anak adalah audiens pasif yang menerima begitu saja isi
media (McQuail, 1997: 18) kemudian cenderung terkena dampak negatifnya menjadi tidak
relavan jika dilekatkan pada anak anak era ini. Banyaknya pemberitaan yang mengungkap
dampak negatif internet pada anak anak seolah mengabaikan kesadaran mengontrol diri
(sense of control) atau kemampuan diri (self-efficacy) yang dimiliki anak anak (Burn &
Cranner 2007: 79).
Padahal interaksi antara manusia dan internet, dalam kaitannya dengan komunikasi punya
keunikan tersendiri. Internet sebagai salah satu alat komunikasi maupun sebagai salah satu
bentuk media massa, mempunyai paradoxical nature atau sifat paradoks yang alami.
Seperti yang diungkap Arakaki Game :
The consuquences of technology are always profundly contradictory,
contradiction is of the technology, no just some accidental by product of the historycal
process. (Arakaki, 1998 dalam Shedletsky & Aitken, 2004: 8).
Di sinilah poin pentingnya, bahwa penggunaan internet adalah faktor determinan dari
pengaruh internet terhadap anak anak. Pengaruh internet baik yang positif maupun negatif
muncul berdasarkan cara menggunakannya, seperti durasi penggunaan, jenis situs yang di

akses, streaming flim yang semestinya hingga jenis aktivitas online yang dilakukan melalui
internet (Kraut et.al, 2002 dalam Bakardjieva, 2011: 60).
Seperti hal-nya penggunaan media online yang sering digunakan oleh anak usia sekolah,
banyak dari anak anak usia sekolah menghabiskan waktu luangnya di warung internet
(warnet) untuk mengakses media online melalui internet, menurut survei yang dilakukan oleh
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2012 mencatat, penggguna
internet di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 30 juta pengguna, tahun 2010 sebanyak 42
juta pengguna, tahun 2011 mencapai 55 juta pengguna, dan tahun 2012 mencapai 63 juta
pengguna atau sekitar 24,23% dari jumlah penduduk Indonesia (apjii.or.id, 15 Maret 2015).
Survei terbaru telah dilakukan APJII bersama Badan Pusat Statistik (BPS) berhasil
mengungkap bahwa jumlah pengguna internet hingga akhir tahun 2013 mencapai 71,19 juta
pengguna meningkat 13% di bandingkan tahun 2012. Adanya pertumbuhan penggunaan
internet juga dipertegas oleh pernyataan yang di ungkapkan Semuel A. Pengerapan, selaku
Ketua Umum APJII bahwa sesuai dengan MGDs, pengguna internet di Indonesia mencapai
107 juta pada tahun 2014, dan 139 juta pengguna pada tahun 2015 (apjii.or.id, 17 Maret
2015).
Pertumbuhan pengguna internet di Indonesia diharapkan bisa sesuai dengan target 50%
penduduk terkoneksi internet seperti yang dicanangkan oleh World Summit Information
Society (WSIS) pada tahun 2015 nanti. APJII juga memaparkan hasil surveinya yang
menunjukan bahwa penduduk berusia 7 34 tahun mendominasi pengguna internet di
Indonesia dengan porsi 64,2%. Sedangkan kelompok pengguna berusia 20 -24 tahun
mencapai 15.1% dari total pengguna. Profil pengguna yang masih bekerja dengan lama kerja
antara satu hingga dua tahun mencapai 53.3% dari total pengguna, yang disusul ibu rumah
tangga, dan pelajar, berdasarkan hasil survei tersebut Indonesia menempati urutan kedelapan
di seluruh dunia (apjii.or.id, 15 Maret 2015). Angka angka tersebut dinilai cukup fantastis

dalam menggambarkan fenomena pesatnya perkembangan internet di Indonesia dan betapa


cukup penting untuk mendapat perhatian khusus terkait adanya potensi muncul permasalahan
bagi para pengguna internet yang sebagian besar didominasi oleh penduduk berusia muda dan
produktif.
Horrigan (2002) menggolongkan aktifitas aktifitas internet yang dilakukan para
pengguna internet salah satunya mencakup aktifitas kesenangan (Fun Activities). Fun
activities yaitu aktivitas yang sifatnya untuk kesenangan atau hiburan, seperti : Online untuk
bersenang senang, Streaming (menonton secara online) klip video dan audio, Chatting atau
pesan singkat (media sosial), mendengarkan musik atau Mp3,download musik atau video,
dan bermain game online.
Fun activities ini membawa game online menjadi aplikasi kelima yang banyak digunakan
di Indonesia setelah e-mail, internet messenger, situs jejaring sosial, dan search
engine(Chandra, 2006). Rachmawati (2013) game online diciptakan sebagai media hiburan
serta media untuk menghilangkan stres. Jenis permainan ini diminati oleh berbagai kalangan
usia. Game online juga telah menjadi industri bernilai milyaran dolar yang kini diminati oleh
berbagai kalangan, pria maupun wanita, baik usia anak anak hingga orang dewasa
(Chandra, 2006).
Fakta menarik tentang

game online

tidak selamanya berbuah manis. Saat banyak

kalangan industri yang merauk keuntungan sebagaimana diberitakan Indonesia Finance


Today mengenai pernyataan Founder Agate Studio, Arief widhiasa bahwa secara Nasional
pengguna game online dari tahun 2006 2011 tunbuh sekitar 30% (Ekarina & Ika, 2011).
Beberapa kalangan mungkin menilai pertumbuhan pengguna

game online sebagai

keuntungan besar khususnya bagi penggiat bisnis game. Namun di lain pihak ancaman akan
dampak yang negatif mengintai para pengguna game online. Sebagaimana penjelasan Young

(2009) bahwa ketidakmampuan dalam mengontrol penggunaan teknologi sehingga memberi


kerugian terhadap penggunanya merupakan konsep dari adiksi internet. Adanya adiksi inilah
yang menjadi ancaman paling sangat mungkin terjadi di tengah perkembangan teknologi.
Pratiwi (2007) mengemukan bahwa game online kini semakin populer dan menarik bagi
banyak kalangan dari hari ke hari, kemenarikan ini tidak hanya berlaku sesaat tetapi
menimbulkan perilaku kompulsif bagi penikmatnya, tingkah laku ini menimbulkan adiksi
atau kecanduan. Adiksi atau kecanduan adalah suatu gangguan yang bersifat kronis dan
kompulsif berulang ulang untuk memuaskan diri pada aktifitas tertentu (Soetjipto, 2007).
Steward (dalam Lee, 2011) menjelaskan bahwa secara umum adiksi game online memiliki
dampak negatif seperti kehilangan hubungan interpersonal, kegagalan untuk mengatasi
tanggung jawab, mengalami gangguan aspek kehidupan, dan kesehatan yang buruk. Secara
khusus juga dijelaskan bahwa adiksi terhadap internet dan game online memberikan beberapa
aspek negatif yang merujuk ke arah adanya konsekuensi seperti putus sekolah, munculnya
permasalahan antara hubungan pertemanan, prilaku kekerasan dan permasalahan keluarga
(David & Wiemer-Hasting, 2005).
Adiksi game online merupakan masalah psikososial yang banyak ditemukan pada anak
dan remaja (Rachmawati, 2013). Anak dianggap lebih sering dan rentan terhadap penggunaan
permainan Game Online daripada orang dewasa (Griffiths & Wood, 2000 dalam Lemmens,
2009). Adiksi game online ditandai oleh sejauh mana pemain game bermain game secara
berlebihan yang dapat berpengaruh negatif bagi pemain game tersebut (Weinstein,
2010).Kriteria adiksi game di antaranya adalah salience, tolerance, mood modification,
relapse, withdrawal, conflict, dan problems. Ketujuh kriteria ini merupakan pengukur untuk
mengetahui adiksi atau tidaknya seorang pemain game yang ditetapkan pemain yang
mendapatkan empat dari tujuh kriteria merupakan indikasi pemain yang mengalami adiksi
game(Lemmens, 2009). Perawat sebagai tenaga kesehatan yang bertanggung jawab terhadap

peningkatan derajat kesehatan seseorang baik fisik maupun mental, sudah seharusnya
dilibatkan dalam memperbaiki perilaku pada anak (Wong, 2009).
Kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman, atau tindakan
terhadap diri sendiri, perseorangan atau sekelompok masyarakat yang mengakibatkan atau
kemungkinan besar mengakibatkan trauma, kematian, kerugian psikologi, kelainan
perkembangan atau perampasan hak (WHO 1999) .
Kekerasan dapat terlihat dari cidera maupun rasa sakit yang dirasakan sesorang akibat
perbuatannya sendiri maupun orang lain (Lundy & Janes, 2009).
Menurut Stuart dan Laraia (2001) perilaku kekerasan adalah suatu keadaaan dimana
seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri
sendiri, orang lain maupun lingkungan. Hal tersebut dilakukan untuk mengungkapkan
perasaan kesal atau marah yang tidak konsrtuktif.
Musbikin (2009) mengatakan bahwa salah satu contoh penyebab anak berperilaku
kekerasan adalah game. Paparan game membuat anak menjadi kasar, suka memcaci, bahkan
kehilangan pengendalian diri (Musbikin, 2009). Bermain memang menjadi kebutuhan anak.
Di antara sekian banyak permainan yang ditawarkan di pasar, salah satu permainan yang
perlu diwaspadai jika terlalu sering dimainkan anak yaitu Playstation/ Game online.
Musbikin (2009) menyatakan bahwa adrenalin yang memuncak, kemarahan yang disertai
teriakan, bentakan, dan cacian, hampir selalu mewarnai permainan yang menggunakan stik
dan layar monitor tersebut. Perilaku kekerasan dan kebiasaan berbicara tanpa kendali, bahkan
cacian, tentu saja berdampak negatif bagi perkembangan anak. Anak jadi kehilangan
kepedulian terhadap sesama, tidak mudah menerima kekalahan bahkan menjadi mudah
menyakiti teman-teman se-usia, ataupun yang lebih kecil (Musbiskin, 2009).

Game online merupakan permainan modern yang membutuhkan akses langsung ke dalam
internet. Sebagian besar game online mengandung unsur kekerasan seperti adegan
perperangan, senjata, darah serta luka. Semakin sering anak menyaksikan adegan kekerasan
maka

perilaku

kekerasan

yang

timbul

pada

anak

semakin

mudah

terbentuk

(Andriani,dkk,2011)
Permasalahan terbaru berhasil mengungkap bahwa game online berkonten kekerasan
memicu timbulnya prilaku kekerasan yang terjadi secara global :
Andriani, dkk (2009) dalam penelitiannya yang melihat gambaran umum pemilihan game
online pada anak sekolah menemukan bahwa 82,9% anak memilih game online yang bertema
kekerasan serta 76,5% anak menghabiskan waktu 1 sampai 2 jam untuk bermain game dalam
sehari.
Adegan yang ditampilkan karakter dalam game dapat menimbulkan keinginan anak-anak
dan remaja untuk meniru adegan tersebut dalam kehidupan nyata. Hal yang menggemparkan
pada tanggal 27 juni 2008, 6 remaja di Amerika Serikat melakukan perampokan dengan
kekerasan dan kemudian tertangkap setelah upaya pencurian mobil (Crowley, 2008). Menurut
pihak penyidik kejahatan, remaja tersebut meniru tindakan Niko Belic, tokoh video game
terbaru Grand Theft Auto IV. Peristiwa ini merupakan contoh ekstrim bagaimana
kekerasan di media dapat mempengaruhi kekerasan dalam kehidupan nyata.
Sebagian besar game online mengandung konten kekerasan yang dapat menimbulkan
perilaku kekerasan dan perasaan agresif. Survey Kaiser Family Foundation di Amerika
(2010) menemukan 97% remaja bermain game online setiap hari. Lebih dari 50% game
mengandung unsur kekesaran dan mempengaruhi perilaku agresif pada anak- anak dan
remaja termasuk tindakan kekerasan. (Strasburger et al, 2010).

Sebuah penelitian oleh Barlet dan Rodeheffer (2009) mengenai efek realistis game
kekerasan terhadap agresi (perilaku kekerasan, pikiran agresif, perasaan agresif dan gairah
fisiologis) pada 74 mahasiswa Amerika menemukan bahwa responden yang bermain game
kekerasan selama 45 menit mengalami peningkatan yang lebih besar dalam perilaku
kekerasan dan perasaan agresif dibandingkan responden yang bermain game tanpa kekerasan
pada periode yang sama. Penelitian yang dilakukan oleh Janssen et al (2010) mengenai
hubungan paparan televisi, komputer fan game online dengan kekerasan fisik pada 9.672
anak usia 10-16 tahun di Kanada menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
perilaku bermain video game dengan tindakan kekerasan pada anak perempuan.
Berdasarkan kutipan dari berita majalah femina (2013), yaitu tragedi penembakan
pemutaran perdana film Batman: The Drak Knight Rises, yang dilakukan oleh James Holmes
yang menyebabkan 12 orang meninggal dan melukai 58 orang. Berdasarkan introgasi pihak
polisi terhadap teman sekamar James , James terobsesi dengan video game. Ia selalu
memainkan role-playing game. Saya tidak ingat permainan apa, namun jenis game favoritnya
seperti World of Warcraft. Dalam game online ini, Anda bersaing dengan orang-orang di
internet untuk membunuh lawan-lawan yang berada di arena tersebut, ungkap seorang teman
James kepada tim penyidik kepolisian.
Tahun 2010 lalu di Alabana, Amerika Serikat, terdapat satu kasus yang menyebutkan
bahwa seorang remaja bermain game FPS selama berbulan-bulan dan akhirnya dia terbukti
bersalah karena telah membunuh tiga orang yang dua di antaranya adalah polisi. Sang pelaku
membunuh tiga orang tersebut karena terinspirasi oleh game berjudul Grand Theft Auto. Di
kutip dari CBS News pada tahun 2010, Hidup itu seperti sebuah game, selalu dan harus ada
yang mati, ujar sang pelaku ketika disidangkan di pengadilan Albana. Seorang psikologi
bernama David Walsh mengatakan bahwa game dengan tema kekerasan tidak sepatutnya
dimainkan oleh anak atau remaja yang masih dalam tahap pertumbuhan. Otak aka atau

remaja yang masih dalam tahap pertumbuhan masih labil dan belum tertata sepenuhnya,:
ungkap Walsh.
Di Vietnam, gara-gara game online seorang remaja secara sadis tega membunuh seorang
nenek. Hal ini dilakukannya karena sang anak ingin merampok uang si nenek hanya untuk
bermain game online. Kepolisian setempat, Jumat (23/11/2007) saat ini telah menahan anak
remaja usia 13 tahun bernama Dinh The Dan ini dirumahnya di provinsi Nam Dinh, 80
kilometer selatan Hanoi. Polisi mengungkapkan Dinh mencekik leher nenek bernama Mai
Thi Mau berusia 81 tahun dengan seutas tali. Sesudah sang nenek tewas, dia mencuri
uangnya sebanyak US$ 6,2 dan mengubur mayat sang nenek di dalam pasir. Keterangan
kepolisian menyatakan bahwa Dinh ingin bermain game online namun tidak punya uang
sehingga ia melakukan perbuatan sadis tersebut. Namun karena belum cukup umur, dia tidak
ditahan di penjara melainkan dikirim ke tempat penampungan anak-anak untuk memperbaiki
perilakunya (dikutip dari mediabanten.com, post date: 25/03/2015 13:56).
Di Indonesia, perilaku kekerasan pada anak akibat game online juga marak terjadi. Di
kutip dari Jakarta, GresNews.com Komisi Nasional anak mencatat adanya peningkatan
kasus kriminalitas yang dilakukan oleh anak. Jika pada tahun 2013 terdapat 730 kasus yang
melibatkan anak sebagai pelaku kriminal anak. Angka tersebut meningkat pada tahun 2014
menjadi 1.851 kasus. Pada tahun 2013 sebanyak 16% pelaku kriminalitas berusia dibawah 14
tahun. Sedangkan pada tahun 2014 meningkat sebanyak 26%.
Satgas Perlindungan Anak (PA) menyoroti persoalan berawal dari pengaruh game, seperti
anak SD membunuh temannya di Ciracas gara-gara label gang, siswa SD membacok
temannya di Depok, umur 9,10,11 memcabuli anak umur 4 dan 6 tahun di Padang. Baru-baru
ini beberapa anak merampok karena butuh uang untuk bermain game online, beberapa kasus
kekerasan, bullying, pemerkosaan, pencabulan dan sebagainya dipicu oleh game online, ujar

M. Ihsan Ketua Satgas PA dalam keterangan pers yang disampaikan pada Rabu (05/09/2012).
Banyak penelitian membuktikan bahwa materi game yang diminati anak-anak sekolah
adalah kekerasan bercampur dengan pornografi. Materi game yang positif tidak menarik buat
anak-anak,lanjut Ihsan.(Jakarta, VOA-Islam.com, 30/03/2015, 22:28 WIB).
Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti,

También podría gustarte