Está en la página 1de 31

PicoSearch Cari!

EDITORIAL Edisi No 05 Tahun 2001

Masalah pendidikan ternyata lebih luas dan lebih rumit dari yang
kami bayangkan. Begitu banyak buku dan artikel ditulis
Pokok Media Kerjabudaya
tentangnya, segala lapisan masyarakat membicarakannya, dan
Menentang Kembalinya Kegelapan (Tim
berbagai forum digelar untuk mendiskusikannya, tapi ujung
MKB)
pangkal persoalan pendidikan tidak jadi makin jelas juga. Ibu-ibu
Belenggu Itu Bernama Pendidikan (Fitri
dari kalangan menengah ke bawah mengeluhkan biaya sekolah
Armavilia)
yang tinggi dan mengkhawatirkan keterlibatan anak-anak mereka
Refleksi Pendidikan Alternatif (Sanggar Anak
dalam perkelahian pelajar. Sementara yang dari kalangan AKAR)
menengah ke atas berputar otak mencari sekolah terbaik yang
Mengubah Sekolah Membangun Pendidikan
sesuai dengan bakat dan minat anak-anaknya. Di sisi lain praktisi (Tim MKB)
pendidikan berteriak tentang minimnya gaji guru dan prasarana Tim Media Kerja Budaya: Ayu Ratih, Hilmar Farid, Ibe Karyanto, Razif

belajar-mengajar, serta buruknya kurikulum. Sedangkan para


ilmuwan berdebat tentang teori dan falsafah pendidikan dari
Profil
manca negara.
Berpijak di Desa Menentang Neoliberalisme
Nug Katjasungkana
Di sela-sela kehebohan pindahnya kantor redaksi MKB, kami
bertukar-pikiran tentang soal-soal di atas -- dari bincang-bincang Puisi Asahan Aidit
diantara kardus bertumpuk sampai berembug merumuskan Pokok Kronik
di meja-kursi yang mulai tertata. Kerangka acuan pun terpaksa Kritik Seni
berubah beberapa kali. Apakah kita akan angkat bagaimana
Petualangan Sherina di Pasar dan Suara
sekolah Orde Baru jadi agen represi? Ataukah, kita mau soroti lebih Penonton Anak
banyak tantangan yang dihadapi sistem pendidikan di tengah krisis Suprihatin dan Nina Suartika
ekonomi? Yang terakhir menjadi pilihan.
Klasik
Hind Swaraj Mahatma Gandhi
Kami beruntung ada kawan-kawan pelajar SMU yang bersedia
John Roosa
menyumbangkan tulisan untuk rubrik Pokok kali ini. Mereka
Cerita Pendek
memang masih muda, tapi kejelian mereka melihat persoalan
pendidikan jadi bahan pertimbangan tersendiri. Dunia Ketika Semangat Mulai Bergelora
Rani Lukita
persekolahan formal sudah begitu jauh sehingga kadang-kadang
kami menjadi kurang peka terhadap masalah-masalah konkrit yang Esai
dihadapi para pelajar. Apa yang mereka paparkan membantu kami Keadilan Genetik?
memahami lebih baik pokok-pokok perkara yang jadi sumber Karlina Leksono-Supelli

kebobrokan sistem pendidikan di negeri ini. Logika Kultura


Reformasi: Kebebasan yang Menindas
Tak ada pretensi untuk menyelesaikan seluruh soal. Tapi kami coba Razif
tawarkan beberapa alternatif yang mungkin dilaksanakan. Resensi Buku
Perdebatan pun muncul kembali. Dimana letak "alternatif " suatu Menjadi Seniman a la Sudjojono
sistem pendidikan? Apakah "alternatif " berarti menolak sekolah Pitono Adhi
formal sama sekali atau lebih pada pengurangan intervensi negara Tokoh
dalam sistem pendidikan?
Siti Larang: Sang Perempuan Pemula yang
Terlupakan
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana caranya meyakinkan F. Hardoyo
masyarakat luas bahwa sekolah yang ada tidak menjamin masa Berita Pustaka
depan cerah bagi para muridnya? Kami menyadari bahwa
mendirikan sekolah alternatif membutuhkan biaya besar untuk
memastikan kelangsungannya secara sistemik. Tanpa kepastian Sisipan Media Kerjabudaya
serupa ini sekolah hanya akan menjadi tempat berkumpulnya Tentang Bali
manusia yang tenggelam dalam ide-ide romantis tentang ● "Pulau Dewata" Surga Bagi Investor
pencerahan bagi yang tertindas. Tak ada kata putus dari (Agung Putri)
perdebatan ini. Kami lemparkan pertanyaan-pertanyaan ini kepada
sidang pembaca. ● Bali Kapling Para Antropolog (Degung
Santikarma)
Yang tak kalah menyedot tenaga dan pikiran adalah penyusunan
Sisipan. Biasanya, tugas ini kami serahkan kepada penulis di luar ● Proyek Kolonial Bank Dunia Mem-Bali-
dewan redaksi. Tak dinyana satu perjalanan ke Bali untuk kan Bali (Alit Ambara)
menghadiri sebuah konperensi antropolog internasional
menggugah kesadaran dua kawan dari dewan redaksi. Kebetulan
mereka berdarah Bali dan cukup punya pengetahuan tentang adat-
istiadat suku bangsa ini. Kalau selama ini mereka "pulang " ke Bali
untuk ambil bagian dalam upacara-upacara adat keluarga, kali ini
mereka melihat Bali sebagai pekerja kebudayaan. Hasilnya adalah
keterperangahan yang berbuntut desakan mencari tahu. Borok-
borok di balik keanggunan dan kemegahan Pulau Dewata pun
terbuka.

Menjelang tenggat waktu yang disepakati dewan redaksi, negeri ini


diguncang isyu "konflik elit". Kami sempat ditodong untuk
berpihak --pro atau anti Gus Dur.Todongan ini justru membuat
kami semakin yakin bahwa dalam kondisi krisis gerakan
kebudayaan sangat diperlukan untuk mengarahkan gerakan
politik. Tanpa diduga yang menganggap dirinya modern dan
rasional pun masih merindukan kehadiran sang Ratu Adil untuk
selamatkan bangsa ini.

Pemimpin Redaksi

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

versi teks

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Menentang Kembalinya Kegelapan


Tim Media Kerja Budaya

Jika skala 1 sampai 10 dipakai untuk menilai situasi pendidikan di Indonesia sekarang, maka
boleh jadi orang akan kebingungan, karena angka yang pantas memang tidak ada. Tingkat
partisipasi yang selalu dibanggakan penguasa Orde Baru di tahun 1980-an dalam waktu singkat
berubah drastis. Depdiknas melaporkan tahun lalu bahwa persentase penduduk usia 12-15 tahun
yang bersekolah merosot dari 78% menjadi 58% dalam waktu kurang dari dua tahun, sementara
sebagian yang tersisa terancam tak dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya. Infrastruktur yang
berantakan, kurikulum yang kacau dan membingungkan, kelangkaan tenaga guru, dan sederet
masalah lain menimbulkan pertanyaan sangat mendasar: apakah sistem pendidikan nasional
masih pantas disebut sistem?

Borok-borok yang terungkap sekarang, termasuk melalui para guru dan pekerja pendidikan
sendiri, membuktikan bahwa Orde Baru telah gagal membangun "satu sistem pendidikan" yang
diamanatkan pasal 31 UUD 1945. Di satu sisi kebijakan di bidang pendidikan tidak mendukung,
dan di pihak lain kebijakan serta perkembangan sosial-ekonomi di Indonesia menghancurkan
sistem yang rentan itu secara sistematis. Tidak heran jika kalangan pendidik sendiri, yang
umumnya dianggap "sopan dan moderat" karena pekerjaannya, mengajukan tuntutan radikal:
Indonesia perlu revolusi pendidikan!

Putus Sekolah, Menyambung Nyawa

Sudah bukan rahasia lagi bahwa wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah
adalah dongeng belaka. Di mana-mana rakyat miskin harus menyisihkan sebagian upah yang
begitu rendah untuk SPP, seragam dan bermacam pungutan serta sumbangan lainnya. Ketika
krisis memukul, orang tua pun angkat tangan. Alih-alih menyekolahkan anak, untuk menjaga
keutuhan badan dan jiwa keluarga saja sudah setengah mati. Tidak sedikit anak yang kemudian
dikeluarkan dari sekolah untuk membantu orang tua mencari nafkah. Di Majalaya, tercatat 26%
buruh industri tekstil adalah anak usia sekolah, sementara di Tangerang angka ini bahkan
mencapai 32%.
Di pantai timur Sumatera, ribuan anak dikirim ke jermal selama berminggu-minggu, menjual
tenaga, kadang berikut tubuhnya, untuk sekadar menyambung napas. Dengan pendapatan
kurang dari Rp 3.000 per hari, sekolah hanya ada dalam khayalan. Nasib serupa menimpa anak-
anak yang terlempar ke jalanan karena orang tua tidak mampu mengurus apalagi
menyekolahkan mereka. Menurut perhitungan UNICEF, jumlah mereka sebelum krisis sekitar
50.000 anak dan dalam waktu tiga tahun terakhir sudah bertambah lima kali lipat. Belum lagi
ribuan anak laki-laki dan perempuan antara 12-18 yang diseret ke dalam industri seks.

Angka putus sekolah ini diperkirakan akan terus meningkat menurut Bappenas sekitar delapan
juta anak pada tahun 2000 karena biaya maupun paksaan bekerja. Proyek pemerintah dengan
utang ke Bank Dunia untuk menalangi biaya sekolah juga tidak efektif. Alasan utama sangat
klasik, karena sebagian dananya dimakan oleh para birokrat yang berkuasa di proyek-proyek itu.
Tapi alasan lain yang tidak kalah pentingnya, karena program penyesuaian struktural dari Bank
Dunia dan lembaga keuangan internasional lainnya yang menjadi menjadi perencana
pembangunan de facto di Indonesia sekarang secara sistematis menghancurkan tingkat
kehidupan rakyat. Akibatnya orang tua memilih anaknya keluar dari sekolah agar dapat
membantu mereka mencari nafkah. Pilihannya dengan begitu bukan lagi sekolah atau tidak
sekolah dan bermain-main atau belajar di rumah, melainkan sekolah atau bekerja.

Sekolah, Guru: Sama Menyedihkan

Kondisi bangunan atau kadang gubuk yang disebut sekolah pun sangat menyedihkan. Jangan
berbicara tentang laboratorium, tempat praktek atau peralatan dan kelengkapan lainnya. Tidak
sedikit sekolah yang bahkan tidak punya cukup biaya sekadar menambal genteng bocor atau
memperbaiki pintu ruang kelas. Depdiknas melaporkan bahwa 58% gedung SDN di seluruh
Indonesia dalam keadaan rusak, dan sekitar 33,6% di antaranya dalam keadaan rusak berat.
Tidak sedikit sekolah yang hanya berfungsi pada musim kemarau karena selama musim hujan
separuh bangunan tergenang air.
Bagi murid sekolah pun sebenarnya bukan tempat ideal untuk menambah pengetahuan dan
ketrampilan. Di banyak sekolah hanya ada satu guru yang merangkap sebagai kepala sekolah,
menangani puluhan, bahkan ratusan murid pada saat bersamaan. Hampir seluruh waktunya
dicurahkan hanya untuk menjaga agar anak-anak tidak lari dari sekolah, dan tidak jarang
mereka mangkir karena harus bekerja di ladang untuk memenuhi kebutuhan fisik sehari-hari.
Maklum, dengan gaji sekitar Rp 85.000-100.000 per bulan yang kadang terlambat sampai 6-8
bulan, tak seorang pun bisa bertahan hidup apalagi ketika harga-harga melonjak akibat krisis.

Dari berbagai daerah dilaporkan bahwa semasa krisis ratusan sekolah terancam bubar karena
tidak punya dana maupun karena ditinggal oleh gurunya yang lebih senang bekerja sebagai supir
angkot atau tukang ojek di kecamatan dengan penghasilan sekitar Rp 600.000 per bulan.
Dengan pekerjaan "sampingan" ini jangan berharap mereka dapat menyiapkan diri, baik dari
segi materi maupun mental. Kejengkelan karena penghasilan kecil dan setumpuk masalah di
kepala seringkali dilampiaskan pada anak-anak. Hukuman fisik, pemukulan dan tindak
kekerasan lain pun seperti tak terhindarkan.
Dengan situasi belajar seperti ini, tidak heran kalau banyak anak yang kemampuannya
mencemaskan. Dari Papua dilaporkan bahwa banyak lulusan SD yang bahkan tidak bisa
membaca dan menulis dengan lancar, apalagi berhitung atau memahami ilmu alam dan
mendalami "sejarah perjuangan bangsa".

Birokrasi Ribut, Rakyat Kalang Kabut

Penguasa kolonial sekitar seratus tahun lalu mulai membuka pintu-pintu sekolah bagi anak
bumiputra. Sebuah "politik etis" menurut para pendukung kolonialisme, tapi kaum pergerakan
menyadarinya sebagai langkah strategis yang tak terhindarkan. Penguasa dan pengusaha perlu
tenaga trampil yang patuh dan trampil. Para pejabat pendidikan kemudian pun menetapkan
kurikulum khusus: baca, tulis dan hitung. Tidak lebih dan tidak kurang. Para pendiri republik
sejak menjadi aktivis baik di atas maupun bawah tanah menyadari sistem pendidikan kolonial
sebenarnya bagian dari penindasan. Karena itu ide pembebasan perlu juga dikembangkan dalam
pendidikan dasar. Semangat itu pula yang mewarnai sidang BPUPKI yang sempat merumuskan
tujuan dasar pendidikan nasional.

Tapi penguasa kemudian mengubah segalanya. Seluruh proyek pembebasan nasional


ditinggalkan, dan pendidikan pun diseret kembali ke alam kolonial, bahkan dalam bentuk yang
lebih parah, yakni "baca, hafal dan ingat". Siswa dianggap sebagai tabungan rumus dan mantra
yang bisa ditagih sewaktu ujian. Kreativitas berpikir dibunuh dan yang tersisa hanyalah letupan-
letupan energi yang muncul dalam bentuk vandalisme dan tawuran. Ebtanas dan sistem ujian
lebih bertujuan memenuhi syarat birokrasi ketimbang menilai seberapa jauh anak-anak
memahami materi, dan lebih membuat orang tua serta pejabat sekolah bangga jika anak bisa
memenuhi persyaratan itu ketimbang memikirkan apa yang sebetulnya diperlukan anak-anak.

Seperti juga dalam bidang-bidang lain, orang tak tahu lagi omongan siapa yang harus dipegang.
Pejabat sendiri juga ribut saling tuding dan menyalahkan karena rencana pengembangan
pendidikan begitu tumpang tindih. Sementara Depdiknas menyiapkan Renstra (rencana
strategis) sebagai turunan dari program Bappenas, pemerintah pusat justru memberlakukan
otonomi yang akan menyerahkan pendidikan ke pemerintah daerah masing-masing. Tidak
sedikit pimpinan sekolah yang pilih tutup kuping dan jalan dengan rencana dan bayangannya,
yang boleh jadi semakin jauh dari cita-cita "membangun satu sistem pendidikan" seperti tertera
dalam UUD 1945.

Dan di atas kebingungan itu para pelaksana pendidikan harus hidup dengan anggaran yang luar
biasa kecil, dan bahkan paling rendah di seluruh Asia. Selama Orde Baru anggaran pendidikan
memang tidak pernah lebih empat persen dari total anggaran, jauh di bawah misalnya anggaran
pertahanan dan keamanan. Setelah Soeharto mundur keadaan tidak berubah jauh, dan bahkan
Presiden Abdurrahman Wahid sempat berpikir untuk memotong anggaran yang luar biasa kecil
itu sekitar 40% lagi.

Cukup jelas bahwa pendidikan, dan kesejahteraan rakyat pada umumnya, adalah prioritas
kesekian kalau pun masih bisa disebut prioritas bagi pemerintah sekarang. Para pejabat dan
DPR lebih senang mengucurkan dana Rp 500 trilyun bagi rekapitalisasi perbankan menutup
kerugian akibat korupsi gila-gilaan di zaman Soeharto ketimbang menaikkan anggaran
pendidikan yang hanya Rp 11,22 trilyun. Dengan kata lain penguasa menganggap pembayaran
utang dan menambah modal bagi para kriminal yang menghancurkan perekonomian Indonesia
jauh lebih penting daripada menyediakan dana cukup bagi sebuah generasi untuk mengikuti
pendidikan.

Tabel 1

Bidang 1995/96 1996/97 1997/98 1998/99 1999/2000 2000


Pendidikan 3.102 3.692 4.508 5.445 6.181 6.249
Hankam 4.469 5.249 6.280 8.174 10.744 8.235
Bunga
28.894 27.491 31.112 55.798 44.811 54.623
Utang

Diolah dari Nota Keuangan 1995-2000

Reformasi, Otonomi dan Entah Apa Lagi...

Dalam setahun terakhir semangat merombak pendidikan mulai menjalar ke semua kalangan.
Para birokrat pun berbicara tentang perlunya reformasi pendidikan secara menyeluruh. Mereka
tidak sendirian. Lembaga keuangan internasional yang praktis mengendalikan kebijakan sosial-
ekonomi di Indonesia sekarang, mendukung "reformasi" dalam pendidikan tentu dengan
rumusnya sendiri. Dengan utang begitu banyak, menurut mereka, Indonesia takkan sanggup
membiayai program pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Reformasi berarti
meninggalkan konsep sistem pendidikan yang dijamin negara, dan menyerahkan sebagian
pekerjaannya ke tangan swasta.

Kebijakan mengurangi anggaran sosial, termasuk pendidikan, adalah bagian dari kesepakatan
dengan IMF. Sebagai gantinya Bank Dunia memberikan pinjaman baru kepada pemerintah
untuk menyelenggarakan pendidikan dasar. Tujuannya jangka panjangnya seperti disebut dalam
Education Sector Strategy yang diterbitkan Bank Dunia bulan Juli 1999, "paling tidak...bahwa
setiap anak perempuan dan laki-laki punya kesempatan belajar membaca, menulis dan
berhitung yang sederhana". Pendidikan menengah dan tinggi sudah sepatutnya diserahkan
kepada swasta, yang di samping lebih efisien dan tidak (terlalu) korup, juga berkepentingan
mencari tenaga-tenaga trampil dan patuh untuk kelangsungan bisnisnya.

Perbandingan sekolah negeri dan swasta yang diperlihatkan tabel 2 memang sejalan dengan
gagasan itu.

Tabel 2

Tingkat Sekolah Negeri Swasta


Sekolah Dasar 140.770 93,2% 10.272 6,8%
SLTP 10.374 49,5% 10.586 50,5%
SLTA 2.794 35,2% 5.142 64,8%
Perguruan Tinggi 77 5,6% 1.293 94,4%

Sepintas lalu nampak tak ada masalah, apalagi dibungkus dengan kata-kata "partisipasi
masyarakat". Lagipula siapa yang bisa membantah perlunya negara memberi pendidikan kepada
anak usia SD. Tapi kalau diteliti lebih jauh segera nampak masalahnya, yakni sistem pendidikan
nasional takkan mampu direproduksi. Kita semua tahu bahwa pendidikan dasar memerlukan
tenaga guru bermutu, sedapat mungkin lulusan perguruan tinggi. Tapi dengan skema di atas,
hanya segelintir orang lulusan PTS yang membayar puluhan juta rupiah yang mau mengajar
dengan gaji Rp 100.000 per bulan. Lagipula jumlah mereka tidak sebanding dengan kebutuhan
guru yang terus meningkat setiap tahunnya.

Lalu, apa hasil terbaik dari sistem ini? Ketika berpikir tentang masalah ini maka situasi
pendidikan di zaman kolonial yang suram mulai membayang lagi. Sekolah baik dan lengkap
untuk anak-anak pejabat kolonial yang akan menggantikan kedudukan mereka sebagai
penguasa, sekolah menengah untuk anak pejabat bumiputra yang "boleh pandai, asal taat pada
aturan kolonial", dan sekolah rendah bagi massa rakyat yang boleh sedikit cerdas agar bisa
menggerakkan mesin eksploitasi kolonial. Sejurus dengan Bank Dunia sekarang, pejabat kolonial
di masa lalu juga menekankan, "rakyat bumiputra harus tahu baca, tulis, berhitung".
Rekolonisasi pendidikan secara umum menjadi ancaman, dan di banyak tempat bahkan sudah
menjadi kenyataan.

Dalam beberapa tahun terakhir perusahaan multinasional mulai menanamkan modal dalam
pendidikan. Perusahaan sepatu Nike misalnya sejak Juni 2000 bekerjasama dengan Depdiknas
menyelenggarakan program pendidikan di empat pabrik sub-kontraknya. General Electrics
sudah menyalurkan satu juta dolar AS, termasuk beasiswa kepada mahasiswa terpilih untuk
melanjutkan sekolah ke luar negeri. Bagi perusahaan, setiap dana keluar adalah investasi dan
dengan sendirinya program semacam itu dibuat untuk mendatangkan keuntungan, secara
langsung maupun tidak.

Pendidikan di Indonesia selalu mengalami pasang-surut, tapi periode ini mungkin yang terburuk
dalam sejarah. Tidak ada pilihan lain bagi Indonesia untuk membangun kembali pendidikan jika
masih mau bertahan sebagai bangsa. Pemerintah perlu mengakui secara terbuka bahwa
kebijakan selama ini sudah menyimpang dan mengkhianati tujuan didirikannya republik, yaitu
menjamin keselamatan dan kesejahteraan rakyatnya. Langkah nyata adalah mengembalikan hak
rakyat atas pendidikan dengan meningkatkan dana sekitar 25% dari total anggaran seperti
lazimnya di negara yang beradab. Alasan negara sedang dilanda krisis sebaiknya diarahkan
kepada para bankir, pengusaha, dan pejabat yang menciptakan utang seribu trilyun rupiah yang
cukup untuk membiayai pendidikan selama 13 tahun dengan anggaran ideal.

Sudah waktunya pula kita semua memikirkan kembali sistem pendidikan secara menyeluruh,
mulai dari semangat pembebasan yang ditanamkan para pendiri republik, sampai pada
pelaksanaannya dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Ada banyak pekerjaan rumah di
sana, mulai dari memperbaiki atap yang bocor sampai mendidik para pendidik, dan menjadikan
sekolah tempat yang sungguh-sungguh memberi kesempatan orang untuk menjadi yang terbaik
bagi kehidupannya sendiri. Tentu tidak semua orang harus menjadi istimewa, cerdas-tangkas
dan bijaksana. Tapi semua orang kiranya berhak menolak diseret kembali ke zaman kegelapan.

Tim Media Kerja Budaya: Ayu Ratih, Hilmar Farid, Ibe Karyanto, Razif

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Belenggu itu Bernama Pendidikan


FITRI ARMALIVIA (18 tahun), Pelajar SMU di Jakarta

Sudah banyak orang yang menulis mengenai pendidikan di Indonesia. Umumnya mereka
mengemukakan masalah-masalah yang ada dalam sistem pendidikan di Indonesia. Artikel ini
juga akan mengulas masalah pendidikan di Indonesia, dilihat dari sudut pandang seorang murid
yang sudah mengalami sepuluh tahun pendidikan di Indonesia.

Saya mengalami Taman Kanak-kanak (TK) selama dua tahun. Saya sendiri tidak ingat persis
pengalaman saya saat itu, tetapi saya ingat Ibu saya bercerita bahwa ia beberapa kali harus
mengunjungi Kepala Sekolah karena dipanggil untuk “membela” saya yang tidak mengerjakan
pekerjaan rumah (PR). Ibu saya berpendapat bahwa anak usia TK tidak boleh dipaksa
mengerjakan PR yang seharusnya diberikan kepada anak usia Sekolah Dasar (SD) tahun-tahun
terakhir. Ketika itu saya diberikan PR menulis dan berhitung. Jika saya sedang semangat, saya
kerjakan, jika tidak, tidak saya gubris PR itu. Ini tentu saja membuat guru saya gemas.

Hal itu terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Saat ini PR anak TK lebih berat lagi, bukan
sekedar menulis dan berhitung melainkan juga bahasa asing dan komputer. Pihak sekolah
berdalih orang tua sendiri yang meminta supaya anaknya diajarkan materi tersebut. Alasan
mereka untuk masa depan anak, era globalisasi sudah dekat, dan juga agar anak-anak itu tidak
mengalami kesulitan di SD.

Di SD, anak diharapkan sudah mampu membaca dan menulis dengan lancar. Mereka sudah
wajib mengikuti ulangan tertulis, baik ulangan harian maupun ulangan umum. Jika seorang
anak tidak mampu membaca dan menulis dengan lancar, ia tidak akan dapat mengerjakan
ulangan dengan baik, walaupun ia mungkin menguasai bahan yang sedang diujikan. Ini tidak
sesuai dengan kurikulum TK di mana anak seharusnya hanya bermain, tidak belajar mati-matian.

Selain masalah kemampuan membaca dan menulis anak SD memiliki persoalan lain. Usia SD
adalah usia di mana anak-anak masih memiliki rasa ingin tahu yang amat tinggi. Saat itu mereka
banyak sekali bertanya tentang segala sesuatu kepada orang tua maupun guru mereka.
Sayangnya, mereka sering sekali hanya mendapat jawaban, “Kamu belum perlu tahu itu. Nanti
kamu akan tahu bila kamu sudah besar,” atau, “Wah, memang sudah dari sananya seperti itu.
Hafalkan saja yang sudah tertulis di buku.”

Jawaban-jawaban seperti itu lambat laun akan mematikan rasa ingin tahu anak. Ia berpikir tidak
ada gunanya ia mengajukan pertanyaan bila orang dewasa yang ia harapkan dapat memuaskan
rasa ingin tahunya tidak dapat atau tidak ingin menjawab pertanyaannya. Selain itu, suasana
belajar di kebanyakan sekolah tidak membuat anak berani bertanya. Jarang ada guru di SD yang
sambil pelajaran bertanya kepada muridnya apakah ada sesuatu yang ingin mereka tanyakan.
Malah hampir tidak ada guru yang memulai mengajar dengan pertanyaan dari muridnya.

Di samping itu, kreativitas anak SD kurang berkembang. Pada umumnya PR anak SD adalah
mengerjakan latihan dari buku soal atau dari soal yang diberi gurunya, yang merupakan
pengulangan materi dalam teks pelajaran. Latihan mengarang tidak sering diberikan karena
guru acapkali malas memeriksa tugas karangan murid mereka yang bisa mencapai puluhan
orang. Jarang sekali mereka mendapat kesempatan untuk bekerja berkelompok mengerjakan
suatu tugas yang menuntut kreativitas, misalnya membuat dan menyajikan drama.

Kita tidak boleh meremehkan kemampuan anak usia SD dan mengatakan tugas membuat suatu
drama adalah tugas yang berat. Membuat suatu drama membutuhkan daya imajinasi yang
tinggi, yang umumnya dimiliki anak-anak usia itu. Mungkin bagi kita drama mereka terkesan
naif dan cenderung mengada-ada, tetapi bagi mereka, ini adalah kesempatan untuk menuangkan
gagasan-gagasan yang mereka miliki. Mereka juga akan senang sekali mereka diberi kepercayaan
untuk menyusun suatu drama dari nol, bukan sekedar diberi naskah lalu disuruh memerankan.

Keadaan ini menjadi sedikit lebih baik ketika anak-anak itu menginjak usia Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama (SLTP). Di usia ini, guru-guru sudah mulai memberikan tugas yang menuntut
kreativitas anak, sekalipun bukan lewat tugas resmi di kelas. Hal inipun masih banyak diberikan
batasan-batasan oleh guru. Tidak banyak guru yang memberikan kebebasan penuh kepada
muridnya untuk mengerjakan tugas sesuai kreativitas mereka.

Umumnya pemahaman akan kreativitas anak dibatasi sampai menghias tugas. Oleh karena itu,
ada juga anak yang berpendapat bahwa kreativitas sama dengan kemampuan menghias tugas
dengan warna-warni dan gambar-gambar menarik. Padahal kreativitas meliputi hal-hal lain
yang lebih mendasar, misalnya, jika anak itu diberikan tugas meringkas suatu bahan, cara
apakah yang digunakan anak itu untuk membantu dirinya belajar. Entah dengan membuat suatu
skema di kertas yang lebar, atau justru dengan kertas-kertas kecil yang dapat ia bawa ke mana
saja sehingga ia bisa belajar kapanpun ia membawa kertas-kertas itu, atau malah menghasilkan
berbagai jembatan keledai untuk mengingat bahan pelajaran.

Secara umum, kesempatan terbesar seorang anak untuk menyalurkan daya kreativitasnya adalah
di luar kelas. Pesta sekolah untuk memperingati hari raya, atau pesta kelulusan biasanya
dijadikan sarana untuk menuangkan ide-ide mereka yang selama ini terpendam di bawah
tuntutan-tuntutan PR dan tugas lain. Namun, namanya juga pesta, tidak semua sekolah dapat
mengadakan pesta yang memerlukan biaya.

Selain itu, ada juga sekolah yang “tidak senang” dengan acara-acara seperti itu. Menurut sekolah-
sekolah itu, acara demikian hanya membuang waktu saja. Seharusnya anak-anak itu belajar dan
menjejalkan isi buku pelajaran mereka, bukannya “berhura-hura” di pesta.

Masalah lain yang dihadapi anak sekolah dan guru-guru mereka adalah buku pelajaran yang
mereka pergunakan. Kurikulum sekarang membuat anak memiliki sekurang-kurangnya dua
puluh buku pelajaran setiap tahun. Ini merupakan biaya tambahan bagi orang tua. Sayangnya,
kurikulum Indonesia berganti kurang lebih setiap lima tahun sekali. Maka dari itu, orang tua
tidak bisa menghemat dengan cara menyimpan buku-buku anak mereka, sehingga adik-adik
mereka dapat mempergunakan buku-buku itu.

Bank Dunia telah memberikan bantuan dengan menyediakan buku-buku bagi anak sekolah.
Tetapi apa yang terjadi? Sejumlah orang nakal telah menyelewengkan dana itu, dan menerbitkan
buku ala kadarnya. Buku-buku yang terbit dengan dana itu tidak bermutu tinggi, bahkan malah
ada yang mengandung kesalahan yang justru membuat anak bingung. Setiap kali buku dicetak
ulang masih dengan kesalahan yang sama.

Masih untung jika murid atau guru tahu ada kesalahan di buku itu. Jika tidak, mereka akan terus
memakai konsep yang salah sampai waktu yang tidak terbatas. Bahkan ketika ada murid yang
mengetahui kesalahan di buku dan menjawab yang benar, guru menyalahkan dengan alasan
tidak sesuai dengan buku pegangan, sehingga bisa tidak lulus ujian. Ini adalah bibit untuk
mengembangkan sikap mencapai tujuan tanpa peduli jalan yang salah.

Belum lagi materi pelajaran dalam teks senantiasa berisi pengulangan sekalipun untuk tingkat
kelas yang berbeda. Malah ada guru yang menyarankan muridnya mempelajari catatan tahun
lalu untuk bahan pelajaran tahun ini. Ini nyata betul dalam pelajaran PPKN.

Sejauh ini, artikel ini baru berbicara tentang pendidikan untuk kalangan umum. Bagaimana
dengan pendidikan untuk orang cacat, atau orang dengan situasi khusus, misalnya atlet, atau
seniman? Bagaimana pula dengan anak jalanan yang tidak dapat mengikuti pelajaran pada
waktu yang normal?

Saat ini di Indonesia hampir tidak ada sekolah khusus untuk atlet atau seniman. Mereka harus
mengikuti kurikulum yang sama dengan anak-anak lain di sekolah umum. Mereka tidak
diberikan kurikulum khusus yang dapat menunjang mereka mengasah bakat mereka.

Atlet memerlukan banyak waktu untuk berlatih. Jika mereka dipaksa untuk mengikuti
kurikulum yang ada, hampir tidak mungkin mereka akan berhasil. Baik di bidang olah raga yang
mereka geluti, atau dalam pelajaran mereka di sekolah, atau malah gagal dalam keduanya. Tidak
heran selama ini prestasi Indonesia di bidang olah raga masih ketinggalan dengan negara lain.

Seniman mengalami nasib yang sama buruknya. Di Indonesia, seni belum dianggap sebagai
pekerjaan yang sebenarnya. Seni hanya dipandang sebagai suatu hobi, sesuatu yang dikerjakan
setelah semua pekerjaan lain selesai. Di sekolah, seni berkembang dalam kegiatan
ekstrakurikuler, jika memang ada. Bahkan sikap orang tua terhadap anaknya yang memiliki
panggilan hidup di bidang kesenian juga seringkali tidak mendukung.

Ada orang tua yang bersikeras anaknya masuk Sekolah Menengah Umum (SMU) dan memilih
program Ilmu Pengetahuan Alam, padahal anaknya sudah memperlihatkan bakatnya di bidang
seni sejak usia SD. Akhirnya anak itu juga tidak bisa hidup dengan tenang. Di sekolah ia merasa
tidak mengerti apa-apa, nilainya amburadul, sementara orang tuanya mengejar ia untuk
memperoleh nilai yang baik, dan setiap akhir tahun ajaran ia dihantui ketakutan tidak naik kelas.

Anak jalanan mengalami nasib yang sangat mengenaskan. Mereka sudah harus bekerja
membanting tulang sejak usia dini dan mereka tidak dapat mengikuti pelajaran seperti halnya
anak-anak lain. Maka didirikanlah sekolah-sekolah informal untuk mereka. Namun jalur itu
menemui hambatan pula, karena sekolah informal tidak memberikan ijazah. Hal ini
menghambat mereka meneruskan pendidikan mereka di lain tempat.

Masalah-masalah seperti itu terjadi karena sistem pendidikan di Indonesia tidak mau mengakui
bahwa setiap anak memiliki kemampuan, bakat, dan minat yang berbeda. Semua anak
diharuskan mengikuti kurikulum yang sudah ditetapkan, mau atau tidak mau. Anak yang
memiliki kesulitan belajar karena situasi lingkungannya kurang mendukung, atau anak yang
memiliki cacat yang dapat menghambat ia belajar, dan juga anak yang kritis dan lebih maju
daripada anak-anak lain, masing-masing memiliki masalah dengan sistem pendidikan yang ada
sekarang ini.

Sistem pendidikan ini harus diperbaiki supaya dapat mencukupi kebutuhan pendidikan setiap
orang yang berbeda. Hal ini dapat dilakukan dengan menambah program yang ada di SMU.
Adakanlah program lain, misalnya Olah Raga, dan Seni. Bahkan kedua program itu sendiri dapat
dipecah lagi menjadi program-program lain, karena baik olah raga dan seni memiliki cabang
yang amat banyak.

Tentu saja akan lebih baik lagi apabila perbaikan ini dilakukan pada tingkat yang lebih
mendasar. Kembalikanlah TK pada fungsi sebenarnya, yaitu taman bermain untuk anak-anak,
bukan persiapan membaca, menulis dan berhitung untuk SD. Berikan kesempatan lebih banyak
kepada anak-anak usia TK untuk bermain dan bergaul dengan teman-teman mereka, juga untuk
mengembangkan daya kreativitas mereka.

Anak usia SD perlu diperhatikan lebih sungguh-sungguh. Jangan sampai rasa ingin tahu mereka,
daya imajinasi dan kreativitas mereka mati karena suasana sekolah dan sikap guru tidak
mendukung. Tingkatkan kualitas perpustakaan di sekolah-sekolah, sehingga mereka dapat
mencari jawaban atas pertanyaan mereka di buku-buku. Kalau buku mahal, sekolah bisa
mengumpulkan sumbangan buku bacaan bekas. Ini juga berguna untuk menambah minat baca
anak-anak. Anak-anak yang membaca banyak buku akan memiliki daya imajinasi yang lebih
tinggi, kemampuan membaca yang lebih baik, serta kemampuan mengarang yang lebih baik;
daya analisisnya juga akan turut berkembang.

Perlu ditekankan pula bahwa percobaan dan peragaan dapat membantu anak belajar lebih cepat,
daripada hanya membaca teorinya di buku. Oleh sebab itu, fasilitas yang ada di sekolah perlu
dilengkapi dan dijaga agar jangan sampai ketinggalan zaman, sekalipun tidak perlu alat yang
mahal. Selain itu, praktik yang nyata juga perlu dilakukan. Sungguh ironis bila seorang murid
dapat menghafal jenis-jenis tumbuhan serta kegunaanya, tetapi ia tidak dapat mengenali
tumbuhan itu bila ia melihatnya.

Namun kita harus ingat, bukan itu saja masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Ada ribuan sekolah di Indonesia yang kondisinya lebih mengenaskan daripada
sekadar tidak memiliki laboratorium atau tidak mendorong anak untuk menjadi kreatif. Sekolah-
sekolah itu tidak memiliki bangunan yang layak dan guru yang cukup. Murid terkadang hadir,
kadang tidak hadir. Ini merupakan masalah yang lain lagi, dan sayang sekali tidak dapat dibahas
dalam artikel ini.

Untuk memperbaiki keseluruhan sistem pendidikan di Indonesia, diperlukan waktu yang lama
dan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu, usaha perbaikan ini harus dimulai sesegera
mungkin, dengan meningkatkan anggaran pendidikan; bukannya malah dipotong. Usaha ini
tidak mungkin selesai hanya dalam lima atau sepuluh tahun. Bisa jadi baru di masa anak-cucu
kita masalah ini selesai. Setelah itu pun, harus senantiasa diadakan evaluasi terhadap sistem
pendidikan yang melibatkan masyarakat, agar jangan sampai kesalahan yang ada sekarang ini
terulang kembali di masa depan.

Selain itu, pemerintah harus mampu mengelola sumber daya material dengan benar, sehingga
tidak memungkinkan terjadinya penyelewengan dan mengurangi kesempatan anak untuk
memperoleh pendidikan. Ada ribuan anak Indonesia yang belum dapat bersekolah dengan layak,
padahal pendidikan adalah hak setiap anak yang dijamin di dalam Konvensi Perlindungan Hak
Anak dan diratifikasi pemerintah Indonesia sepuluh tahun lalu. Setiap anak berhak untuk
mengembangkan kemampuan dan minat mereka tanpa batas.

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Refleksi Pendidikan Alternatif Model Pendidikan Anak di Masa Krisis


SANGGAR ANAK “AKAR”: Dede (16 th.), Heru (16 th.), Puji (16 th.), Rika (15 th.)

Bertahun-tahun kita belajar dan bahkan ada yang mengajar pendidikan. Setiap hari belajar dari pagi
hingga siang, bahkan ada yang dari siang hingga sore.

Dalam kehidupan memang kita butuh pendidikan, karena itu kita harus bisa membaca dan menulis
dalam kehidupan kita sehari-hari. Tetapi sekarang ini, di zaman krisis ini banyak anak-anak yang tidak
sekolah karena tak mampu membayar biaya sekolah, dan ada juga anak yang bisa sekolah dengan biaya
yang ditunda-tunda.

Posisi anak, terutama yang ada di kota-kota besar, di pinggiran kali, diperlemah dengan pandangan
sinis masyarakat yang menganggap mereka sebagai biang kekumuhan, kriminalitas, dan kenakalan.
Mitos ini menyebabkan anak-anak semakin kehilangan kesempatan memenuhi hak-hak dasarnya,
khususnya hak untuk mendapatkan pendidikan yang sangat diidam-idamkan untuk masa depan kita
sendiri.

Pada tahun 1999 dampak krisis terhadap pendidikan di seluruh Indonesia, 3 juta murid pendidikan
dasar putus sekolah. Angka putus sekolah terus meningkat, pada Februari jumlahnya menjadi 6 juta
orang dan bulan Mei meningkat menjadi 8 juta orang. Apalagi pada kurun waktu sekarang ini banyak
kekacauan soal pendidikan, kurikulum materinya semakin banyak dan sulit untuk dimengerti dan
dipelajari.

Dengan semakin banyaknya mata pelajaran, banyak guru, pelajar dan pengamat pendidikan yang
berpendapat bahwa kurikulum sekarang ini terlalu memperberat murid serta dalam pengajarannya pun
semakin membebani guru, sehingga sulit untuk membagi waktunya. Dr. H. Arief Rahman, salah
seorang pengamat, mengatakan bahwa kita harus memberita-hukan kepada semua pihak bahwa
kurikulum yang baik itu adalah kurikulum yang hidup. Ada kurikulum standar dan ada kurikulum yang
harus terus mengikuti kemajuan dan kebutuhan. Sementara itu, sejumlah guru SD, SLTP dan SMU
berpendapat bahwa kehadiran suplemen beberapa mata pelajaran dalam kurikulum 1994 agak
meringankan tugas guru. Sekalipun demikian, sebagian guru masih mengeluhkan sulitnya mengajar
sebuah topik secara tuntas akibat tak seimbangnya materi yang begitu padat dibandingkan jam
pelajaran yang tersedia.

Pada pihak lain Dr. Nurhadi yang meninjau dari sudut pengajaran bahasa menilai bahwa guru bahasa
Indonesia di sekolah dasar dan menengah hanya berkutat dengan pengajaran teori tata bahasa, seperti
memerintahkan murid menghafal jenis, fungsi awalan, dan sebagainya. Di kelas guru lebih banyak
terjebak pada tata bahasa. Guru kurang mengajarkan kemampuan kreatif membaca dan menulis. Dr
Neils Mulder dari Kanisius, Yogyakarta memandang dari materi pendidikan ilmu, menganggap
perubahan situasi politik setelah reformasi di Indonesia telah mendorong demokrasi dan lahirnya
keterbukaan menuju masyarakat yang demokratis. Tetapi, proses ke arah itu perlu diimbangi perbaikan
materi pendidikan ilmu sosial, serta pengembangan wacana kekuasaan yang leluasa dikontrol
masyarakat sipil secara meluas.

Lain halnya dengan tiga pengamat pendidikan Dr. J. Riberu, Dr. Mochtar Buchori dan Dr. Karlina
Leksono Supelli yang menegaskan perlunya revolusi di bidang pendidikan. Sistem dan program
pendidikan di seluruh tingkatan, secara umum sudah membutuhkan revolusi alias perlu diubah total. Di
berbagai jenis dan jenjang pendidikan, kini sekolah cenderung tidak terarah karena kurikulum yang
tidak serasi. Proses pembelajaran pun tidak kreatif dan tidak mendorong kreativitas anak didik.
Pendidikan di Indonesia makin materialistis. Hal ini berkaitan dari segi pembayaran atau biaya sekolah,
nampaknya banyak anak-anak yang tidak sekolah dan yang putus sekolah akibat biaya yang terlalu
besar. Ditambah pula pemerintah sudah membuat program wajib belajar, dan menghapus semua biaya
yang menyangkut program itu, yakni tingkat sekolah dasar dan sekolah lanjutan tingkat pertama. Tetapi
mana buktinya? Pemerintah dibantu pula oleh program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang tujuannya
menanggulangi biaya pendidikan dan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Walhasil realisasi
program JPS di bidang pendidikan untuk periode 1998-1999 dibagikan unuk program beasiswa untuk:

1,8 juta murid SD @ Rp. 120.000 untuk satu tahun (total Rp 216 miliar)

1,65 juta murid SMP @ Rp. 240.000 (total Rp. 396.000 miliar)

500.000 murid SMU @ Rp 300.000 (total Rp. 150 miliar)

250.000 mahasiswa perguruan tinggi

(Kompas, 3 Mei 1999).

Kami ingin bertanya ke manakah dan untuk apa digunakan? Karena kami banyak melihat anak-anak
yang putus sekolah akibat biaya sekolah. Padahal sekolah itu milik pemerintah sendiri dan yang
seharusnya semua urusan administrasi ditanggung oleh pemerintah.

Sekarang coba kita bandingkan terhadap negara lain yang juga mempunyai sistem penanggulangan
pendidikan bagi anak-anak yang ingin sekolah tetapi tidak mempunyai biaya, maupun yang putus
sekolah.

Dari data di atas ini mengapa Indonesia yang paling sedikit dan selalu menurun setiap tahunnya,
padahal negara Indonesia adalah negara yang mempunyai cita-cita mengembangkan pendidikan
melalui wajib belajar sembilan tahun? Kalau anggaran dari APBN hanya dibawah 1%, mana bisa negara
kita ini akan maju dan akan lebih berkembang bila anggaran yang disediakan sangat minim sekali? Bila
pemerintah hanya memberikan dana yang begitu minim seperti itu, bagaimana nasib penerus bangsa
kita yang seharusnya bersekolah dan mempunyai cita-cita untuk mengembangkan bangsanya sendiri?
Mana bisa bila penerus bangsa tersebut tidak mendapatkan pendidikan sama sekali?

Kalau bangsa kita ingin maju seharusnya pemerintah sudah melaksanakan program wajib belajar
sembilan tahun, karena memang banyak anak-anak yang sangat membutuhkan dana tersebut. Anak-
anak yang terpaksa berhenti sekolah adalah salah satu tragedi dunia pendidikan. Di dunia
persekolahan, guru adalah profesi terhormat dalam pidato kenegaraan di hari pendidikan. Sebagaimana
nampak dalam tabel di atas, sebelum, sewaktu dan sesudah bunyi pidato sanjungan beberapa ribu
rupiah dari gaji guru yang sangat kecil melayang untuk seremoni. Lewat pidato kenegaraan kita suka
mengajar anak-anak kita agar berjuang bagi nusa dan bangsa. Tetapi ketika muncul anak-anak yang
paling peduli terhadap masa depan bangsa, kita malah menyiksa dan menganiaya. Peradaban kita
memang sedang mundur kezaman berburu. Dan manajemen tangan-besi telah memangkas tangkai
masa depan anak-anak bangsa.

Dampak Krisis Terhadap Pendidikan

Sumber: Dokumentasi Tim Relawan untuk Kemanusiaan Febuari-Maret 1998 dan berbagai sumber. Sampel di atas hanyalah sebagian kecil dari banyak kasus dalam dokumentasi.

Bukan hanya itu saja yang terjadi, pada Mei 2000 saat ujian Ebtanas mengalami kebocoran, padahal
dokumen ebtanas adalah dokumen pemerintah yang seharusnya dirahasiakan dan baru dibongkar
setelah pelaksanaannya selesai. Tetapi kenapa ini bisa terjadi, apakah pemerintah yang selebor atau
pengurus-pengurusnya yang secara sengaja membocorkan?

Berkenaan dengan bocornya dokumen ebtanas terdapat tanggapan dari berbagai kalangan. Dr.
Mohamad Surja memandang aksi-aksi demonstrasi massa yang dilakukan dalam koridor kendali PGRI,
untuk tidak memboikot ebtanas. Sementara itu P. Siagian dari sekolah PSKD menegaskan sekolah
swasta di Jakarta yang tergabung dalam badan musyawarah perguruan swasta (BMPS) mempersoalkan
biaya evaluasi belajar tahun akhir nasional (ebtanas) yang dirasakan terlalu tinggi, sehingga terlalu
membebani orang tua siswa. Diusulkan biaya tersebut ditekan serendah mungkin dengan cara
mengefisienkan cara kerja panitia ebtanas. Lebih jauh pengamat pendidikan Prof. Mochtar Buchori
menilai selama ini pelaksanaan ebtanas mengikuti tradisi, tanpa memikirkan apa fungsi sebenarnya
yang harus dilakukan dalam evaluasi itu, serta apa fungsi akhir sebuah evaluasi.

Problem kebangkrutan pendidikan masih ditambah pula dengan tindakan kekerasan, diskriminasi dan
pungli yang dilakukan oleh guru. Selama ini tindak kekerasan yang dilakukan oknum guru sudah bukan
fenomena baru, akan tetapi dapat diartikan menjadi sebuah budaya. Kekerasan yang dilakukan oleh
guru mencakup:

Pematuhan terhadap tata tertib: Murid diharuskan mematuhi segala bentuk peraturan
yang ditetapkan sekolah, jika tidak mematuhi peraturan atau melanggar mendapat
sanksi. Kemudian menyangkut pula masalah diskriminasi yakni tindak kekerasan pada
kedua belah pihak yang berlawanan, contohnya guru memberikan perhatian khusus
kepada anak yang mampu dan menyisihkan anak yang tidak mampu juga perhatian
khusus kepada anak yang berprestasi dan tidak berprestasi. Dan yang terakhir adalah
pungutan liar, tindakan seperti ini biasanya dianggap wajar oleh banyak guru, pasalnya
mereka tidak puas dengan tunjangan yang diberikan sekolah. Misalnya biaya ulangan
yang hanya mereka tulis dan foto copinya dengan modal Rp. 200,- harus dibayar oleh
murid Rp. 500,-. Lainnya dalam bentuk mencatut uang buku, baju seragam, formulir-
formulir pada saat pengambilan rapor dan penyuapan perbaikan nilai.

Dari semua data permasalahan yang ada kami sangat mengharapkan pemerintah agar:

Merubah kurikulum yang ada sekarang ini dan gantilah dengan kurikulum yang lebih
baik, berguna dan lebih bermanfaat untuk bekal masa depan anak-anak yang sekolah.

Seimbangkan materi yang ada dengan jam pelajaran yang tersedia.

Buktikan bahwa pemerintah di Indonesia itu jujur dan terpercaya

Tepatilah semua janji pemerintah yang telah diucapkan dan telah diikrarkan kepada
warga negara Indonesia

Pecat semua pengurus Depdikbud yang melakukan korupsi dan jangan berbuat curang
dengan memeras guru demi kepentingan pribadi.

Berikan semua biaya yang sudah dijanjikan pemerintah untuk anak yang
membutuhkannya.

Bebaskanlah wajib belajar sembilan tahun dari semua biaya yang memang seharusnya
ditanggung oleh pemerintah (seperti yang tercantum dalam deklarasi PBB dan sudah
ditanda tangani pemerintah Indonesia).

Pecat semua guru yang meminta uang sumbangan dari orang tua murid, apalagi bila
memintanya dengan orang tua murid yang keadaan ekonominya lemah.

Bebaskan uang buku dari segala biaya.

Pemerintah memberikan jaminan: Keselamatan, Keamanan, Kebebasan, dan kesehatan.


Serta, meberikan hak untuk menentukan pilihan dan pendapat.

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Mengubah Sekolah Membangun Pendidikan


Tim Media Kerja Budaya

Sepanjang sejarah sekolah selalu diliputi oleh masalah. Sudah terlalu banyak catatan kritis yang
berniat membenahi sistem sekolah mulai dari masalah administrasi, dana sampai ke falsafah
pendidikan, sementara terlalu sedikit perubahan yang berarti. Para penguasa modal dan negara
melihat sekolah sebagai satu-satunya ruang untuk mencerdaskan bangsa, dan mereka yang tak
bersekolah dianggap tidak memberi sumbangan pada pembangunan bangsa. Mereka yang
mampu dan memiliki akses menjadi ‘kaum terlepajar’ dan digiring ke menara gading yang
semakin jauh dari masyarakatnya, dan akhirnya menjadi pelayan kepentingan modal dan
negara. Krisis yang melanda Indonesia membuat sekolah semakin sulit dijamah oleh rakyat
miskin, dan semakin banyak pula ‘orang tak berguna’ dalam kacamata penguasa.

Kembali ke Kegunaan Dasar

Dalam situasi sekolah semacam ini perlu juga kita meninjau kembali konsep ‘pendidikan’ secara
luas. Selama ini, di bawah bermacam tekanan yang hebat, alternatif terus saja bermunculan.
Cukup banyak komunitas yang mengembangkan model pendidikannya sendiri, mendirikan
sekolah alternatif untuk mengembalikan pendidikan pada tempat semestinya, dan melawan
kesewenangan penguasa dalam pendidikan.

Ada dua wilayah penting yang dijelajahi oleh sekolah-sekolah alternatif sepanjang sejarahnya.
Wilayah pertama adalah perkembangan kejiwaan anak didik dalam lingkungannya. Di Amerika
Serikat, John Dewey (1859-1952) mendirikan sekolah percobaan melawan model sekolah negara
yang menekankan pengembangan intelektualisme dan cenderung verbalistik. Guru besar dari
Chicago itu kemudian mengembangkan pendidikan yang menitikberatkan pengembangan
kejiwaan dan sosial, karena menurutnya yang terpenting adalah proses setiap individu untuk
berkembang di tengah masyarakat. Sekolah yang didasarkan pada filsafat pragmatisnya cukup
menonjol, karena memberi pilihan lain dari model-model sekolah sezaman yang berorientasi
menjawab pertumbuhan kebutuhan industri belaka.

Sejarah kemudian mencatat upaya dari Jan Lighthart, seorang kepala sekolah menengah di Den
Haag, Belanda. Seperti Dewey, ia pun tidak puas dengan metode belajar pasif dan merasa bahwa
pendidikan harus membawa anak-anak mengenal persoalan yang berkaitan langsung dengan
kehidupannya. Begitu pula dengan Maria Montessori yang terusik melihat pendidikan bagi anak
cacat yang hanya terarah pada satu aspek saja. Sebagai kritik ia mengembangkan pendidikan
yang membangun motivasi atau kemauan anak, sesuai dengan kodratnya.

Wilayah lain adalah kebudayaan atau hubungan manusia dengan lingkungan secara utuh.
Sekolah-sekolah yang bergerak di wilayah ini muncul umumnya di zaman kekuasaan kolonial
yang menerapkan sistem pendidikan untuk mengubah anak rakyat tanah jajahan menjadi
‘manusia beradab’ sesuai ukuran penguasa kolonial. Di India, Rabindranath Tagore (1861-1941)
mendirikan Shanti Niketan, sebagai perlawanan terhadap pendidikan kolonial Inggris yang
hanya ingin menciptakan rakyat jajahan yang penurut dan sedikit ‘terpelajar’.

Sekolah kolonial pun menjadi alat efektif untuk menyaring orang-orang India berbakat untuk
mengisi jajaran birokrasi kolonial. Anak didik dijauhkan dari bahasa dan tradisinya sendiri, dan
dipaksa mengikuti disiplin dan cara berpikir kolonial Inggris. Mereka yang lulus dan akhirnya
mendukung sistem itu, dikenal dengan sebutan Anglicist, adalah pembela utama sistem kolonial
secara keseluruhan, dan menganggap penindasan kolonial sebagai hal yang patut diterima oleh
rakyat India yang ‘tak beradab’.

Tagore memulai kegiatannya dalam situasi itu. Baginya rakyat tak punya pilihan lain kecuali
mengembalikan kepribadian rakyat India pada akar tradisinya sendiri. Ia membangun proses
pendidikan menyeluruh, dimulai dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi yang bertolak dari
pengalaman para siswa. Sementara dalam pendidikan kolonial anak-anak hanya menjadi obyek
dari para guru dan pengambil keputusan, di Shanti Niketan anak-anak diberi keleluasaan
mengembangkan diri dan berlaku sebagai subyek pendidikan.

Pendidikan Sebagai Gerakan

Di Indonesia, pendidikan sejak awal dianggap bagian penting dari perjuangan melawan
penguasa kolonial. Pikiran itu berkembang setelah timbul kesadaran bahwa kolonialisme
mungkin bertahan bukan hanya karena keserakahan dan kejahatan penguasa kolonial, tapi juga
karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan rakyat untuk melawan. Sejak akhir abad ke-19
berdiri sekolah-sekolah particulier (swasta) yang diselenggarakan oleh rakyat, karena sistem
pendidikan kolonial hanya memberi kesempatan kepada mereka yang mampu dan ‘berguna’.

Secara umum penguasa kolonial tak peduli pada nasib pendidikan bumiputra. Para pejabatnya
lebih sibuk menyebar intel untuk meredam gerakan nasionalis ketimbang menyalurkan dana
untuk pendidikan. Sekolah-sekolah particulier pada awalnya dibiarkan berkembang bebas, dan
dipandang sebelah mata saja.

Adalah van der Meulen, direktur pendidikan pemerintah kolonial yang pertama memberi
perhatian serius. Dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Fock, ia menguraikan bahaya
dari sekolah particulier yang menyebar nilai-nilai anti-kolonial. Maksudnya tidak lain dari
sekolah-sekolah yang dibuka oleh Sarekat Islam pimpinan Tan Malaka dan sekolah-sekolah
Tionghoa yang sedang gandrung menyebarkan nilai-nilai gerakan pembebasan di Tiongkok.
Sebagai reaksi pada tahun 1921 pemerintah mengumumkan Ordonansi No. 134 yang juga
dikenal dengan sebutan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonnantie). Dalam keputusan
itu pemerintah mewajibkan setiap guru untuk melapor dan memberikan sanksi bagi mereka
yang melanggarnya.

Lima tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan Ordonansi No. 260 yang memerintahkan
guru-guru menutup semua ‘sekolah liar’ karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Semua
sekolah yang berhaluan nasionalis menjadi sasaran, dan penindasan pun semakin hebat setelah
terjadinya pemberontakan rakyat di Jawa dan Sumatera pada tahun 1926-27.

Tidak banyak sekolah yang bisa bertahan, dan salah satunya adalah perguruan Taman Siswa,
yang didirikan 1922 di Yogyakarta. Sementara kaum terpelajar menjadi sasaran represi dan
sekolah-sekolah ditutup, Taman Siswa terus bergerak dan tumbuh menjadi lembaga pendidikan
terpenting dalam perjuangan nasionalis. Pimpinannya seorang priyayi, Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat – kemudian berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara – dikenal sebagai tokoh
nasionalis yang tajam.

Menjadi bagian dari pergerakan adalah kunci keberhasilan Taman Siswa. Sementara guru-guru
bumiputra yang mengajar di sekolah kolonial menolak dan bahkan mengecamnya, di banyak
tempat rakyat justru meminta sekolah itu didirikan. Di tengah represi dan pengawasan intel
kolonial, Taman Siswa menggelar konperensi besar pertama tahun 1923. Agenda utamanya
adalah menetapkan prinsip dasar dan perluasan organisasi. Perguruan yang semula hanya
membuka Kindergarten dan sekolah guru itu pun mulai nampak sebagai sebuah gerak
kebudayaan yang merambah di berbagai daerah.

Penyadaran Demi Pembebasan

Dalam gerakan pendidikan sepanjang sejarah terbentuk pemahaman umum bahwa pendidikan
bukanlah proses transfer pengetahuan apalagi pemaksaan doktrin. Justru sebaliknya, gerakan
pendidikan melawan kecenderungan tersebut. Pendidikan di kalangan ini adalah proses
pengembangan sikap terhadap lingkungan alam, sosial dan diri sendiri sebagai manusia.
Pengetahuan pun bukan barang jadi yang tinggal diterima, tapi sebuah hasil penjelajahan yang
memerlukan kreativitas dan kebebasan.

Di sekolah-sekolah rakyat dan alternatif individu adalah subyek dan titik pusat pendidikan.
Seluruh paradigma pendidikan otoriter di sekolah tradisional dijungkir-balikkan, karena seperti
dikatakan Ivan Illich, di dalamnya individu hanya dijadikan kuda beban atau domba korban
yang melayani kepentingan penguasa dan praktek diskriminasi yang menyingkirkan kalangan
tak mampupun tak dapat dihindarkan. Baginya sekolah tradisional lebih jauh mengebiri
kecerdasan dan menjerat kemanusiaan dalam perangkap mekanik, sehingga tak ada pilihan lain
kecuali membangun masyarakat tanpa sekolah.

Untuk mengembangkan dan memperkuat gagasannya Illich aktif dalam Center of Intercultural
Documentation (CIDOC) yang didirikan di Mexico tahun 1961. Di sini ia membuat studi dan
diskusi-diskusi tentang pendidikan alternatif, di samping memikirkan masalah jumlah anak
putus sekolah yang semakin membengkak di seluruh Amerika Latin. Karena tidak ada dana
mendirikan sekolah sementara pendidikan sangat diperlukan, Illich mulai berpikir tentang
pendidikan rakyat tanpa sekolah yang sesungguhnya hanya membelenggu kemerdekaan berpikir
dan berkarya.

Gagasan radikal itu mendapat wujudnya dalam model pendidikan yang dikembangkan Paulo
Freire. Titik tolak gagasan Freire adalah kenyataan sosial di Brasil, di mana penindasan bercokol
dengan mudah karena ketidaktahuan dan proses pembodohan oleh penguasa. Pada tahun 1960-
an ketika ia mulai bergerak, hampir separuh dari 34,5 juta penduduknya buta huruf. Di tengah
lautan ketidaktahuan para politisi bermain (dan mempermainkan) rakyat dan akhirnya mampu
mempertahankan penindasan yang hebat.

Baginya, pendidikan tak dapat dipisahkan dari penyadaran (conscientização), yang akhirnya
bermuara pada pembebasan. Ia mengkritik metode pemberantasan buta huruf pemerintah yang
hanya memperkenalkan abjad kepada para peserta dan akhirnya mempersiapkan orang untuk
menjadi pelayan kepentingan penguasa. Baginya pengenalan abjad terkait dengan pembebasan,
karena itu program pemberantasan buta hurufnya sekaligus bermaksud membangkitkan
kesadaran politik rakyat. Ia mendobrak sistem pendidikan Brasil yang pedantik dan berhenti
pada pengetahuan, dengan menyerukan bahwa pendidikan adalah proses belajar untuk bergerak
dan bertindak.

Metode itu tentu saja mengganggu kenyamanan penguasa. Kecerdasan rakyat adalah musuh
setiap penguasa lalim. Ketika terjadi kudeta, rezim militer yang kemudian berkuasa menuduh
metode Freire adalah subversi yang mengancam status quo. Tahun 1964, setelah dipenjara
selama 70 hari, ia dibuang ke luar negeri. Selama lima tahun ia terpaksa hidup di pengasingan,
dan melanjutkan perjuangan pendidikannya di negeri-negeri Amerika Latin, yang kemudian
menyebar ke seluruh dunia.

Dalam keadaan carut-marut seperti sekarang, sudah saatnya kita berpikir tentang membangun
kembali pendidikan sebagai bagian dari gerakan rakyat. Sudah saatnya pula pemerintah
berbesar hati mengakui keterbatasannya, dan mundur dari pengelola yang otoriter menjadi
lembaga pemberi fasilitas dan pengakuan kepada usaha-usaha rakyat membangun
pendidikannya sendiri. Pengalaman sejarah Indonesia sendiri memperlihatkan bahwa ‘kaum
terpelajar’ yang membangun negeri ini bukan hanya mereka yang dididik di sekolah kolonial.
Kekuasaan dan kewenangan tidak ada urusan dengan kecerdasan. Karena itu tidak ada salahnya
‘meninggalkan sekolah’ untuk membangun gerakan pendidikan rakyat.

TIM MEDIA KERJA BUDAYA: Ayu Ratih, Hilmar Farid, IBE Karyanto, Razif.

1 | 2 | 3 | 4 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Berpijak di Desa Menentang Neo-Liberalisme


Nug Katjasungkana

Bulan Januari lalu, sekitar tiga ribu orang terkaya sekaligus paling berkuasa di dunia berkumpul
dalam Forum Ekonomi Dunia yang diselenggarakan di Davos, Swiss. Hadir antaranya para
petinggi perusahaan raksasa seperti Coca Cola, McDonald's, Shell dan Nestlé serta direktur dan
wakil-wakil Bank Dunia, IMF serta WTO. Di tengah kenyamanan resort elit mereka menyusun
agenda penguasaan ekonomi dunia, sekaligus melakukan evaluasi untung-rugi terhadap apa
yang telah dilakukan sebelumnya.

Mereka yang hadir bicara dalam bahasa halus-terpelajar, penuh sopan santun dan berpakaian
necis. Media pun ramai-ramai meliput, menyiarkan isi pembicaraan yang sungguh
mencengangkan. Di tempat ini para penguasa dunia membicarakan nasib jutaan orang miskin di
seluruh dunia. Dengan satu lemparan senyum atau anggukan kepala tanda setuju, ribuan orang
mungkin akan berubah nasib, terlempar dari tanah mereka atau menjadi pengangguran untuk
selama-lamanya.

Pada saat yang sama di Porto Alegre, Brasil, ribuan kaum tani tak bertanah, intelektual, buruh,
seniman dan aktivis menyelenggarakan Forum Sosial Dunia. Di ibukota Rio Grande do Sul ini,
rakyat yang pegang kuasa, di bawah pimpinan Partai Buruh (Partido dos Trabalhadores). Daerah
ini juga adalah rumah bagi ratusan ribu anggota gerakan tani "gaya baru", Movimento dos
Trabalhadores Rurais Sem Terra (MST, Gerakan Buruh Pedesaan Tidak Punya Tanah) yang
memimpin perjuangan kaum tani dalam merebut haknya atas tanah di seluruh negeri.

Gerakan ini tumbuh sebagai perlawanan terhadap kebijakan neoliberal yang diadopsi oleh
pemerintah Brasil selama belasan tahun. Seperti umumnya negeri-negeri kapitalis Dunia Ketiga,
pemilikan tanah di Brasil sangat timpang. Kebanyakan tanah pertanian yang subur dikuasai oleh
segelintir orang kaya. Apalagi dengan dikembangkannya pertanian monokultur orientasi ekspor,
kekayaan dari pertanian semakin terkonsentrasi pada segolongan kecil para kapitalis pemilik
perkebunan-perkebunan besar.

Pembebasan Tanah untuk Pemodal

Menurut angka resmi Kementerian Kebijakan Tanah, petani kecil (10 hektar ke bawah) yang
merupakan 30,4 persen dari seluruh petani Brasil hanya 1,5 persen dari seluruh tanah pertanian.
Sedang usaha tani sejak 1985 jumlahnya terus merosot dari sekitar 3 juta menjadi di bawah 1
juta. Sebaliknya usaha tani besar (lebih dari 1000 hektar) hanya merupakan 1,6 persen dari
seluruh usaha tani, tetapi menguasai 53,2 persen dari seluruh tanah pertanian. Dampak dari
konsentrasi tanah ini adalah kemiskinan yang luar biasa dan kekurangan gizi yang akut di
kalangan petani kecil dan buruh tani.

Di tengah-tengah ketimpangan tersebut sejak 1984 muncul MST. Perjuangan utamanya adalah
untuk kesejahteraan kaum tani. Untuk itu sejak enam tahun terakhir, MST memimpin kaum tani
menjalankan land reform dari bawah, yakni aksi langsung "merebut" dan menanami tanah-
tanah yang tidak digarap yang dikuasai perusahaan-perusahaan perkebunan besar. Hingga
sekarang sudah dilakukan 518 pendudukan tanah, yang seluruhnya berjumlah 21 juta hektar.
Lebih dari 150 ribu keluarga petani berhasil memperoleh kembali sumber penghidupan mereka
dengna menggarap tanah-tanah "milik" perusahaan besar yang tidak digarap. Dengan aktivitas
itu MST menjadi gerakan sosial terbesar di seluruh wilayah Amerika Latin.

Menjelaskan peran gerakan ini, Gilmar Mauro dari Direktorat Nasional MST mengatakan,
"Untuk menjamin akses penduduk pada tanah, memajukan perkembangan sosial dan ekonomi
yang merata, dan menjamin hak kewarganegaraan penduduk desa, harus dilakukan perombakan
sistem pemilikan tanah di Brasil. Kami berkeyakinan bahwa perjuangan kami untuk land reform,
dengan menduduki dan menanami banyak tanah pertanian yang tidak digarap, merupakan
tindakan yang mendemokratisasikan akses rakyat pada tanah dan pada masyarakat dan
pemerintahan."

Ucapan itu bukan omong kosong. Brasil sekarang ini dikuasai oleh pemerintah yang
menjalankan politik anti-orang miskin. Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Fernando
Henrique Cardoso, bekas sosiolog radikal itu, sejak awal mengikuti jalan neoliberal IMF/Bank
Dunia dengan membuka lebar-lebar pasar nasional untuk produk dari luar, menjaga tingkat
suku bunga yang tinggi untuk manarik modal finansial internasional, swastanisasi perusahaan
negara dan denasionalisasi sektor penting perkonomian nasional, menghapuskan peran negara
dalam sektor ekonomi yang strategis (seperti industri baja, bijih besi, minyak, listrik, dan
telekomunikasi) dan mengurangi pelayanan umum seperti pendidikan, kesehatan, dan
transportasi umum. Kebijakan ini jelas menempatkan perekonomian nasional Brasil ke bawah
kekuasaan modal finansial internasional.

Di bidang pertanian, kebijakannya adalah:


- mendukung perkebunan besar dengan produksi untuk ekspor.
- mendorong oligopoli pasar pertanian dalam negeri oleh perusahaan raksasa transnasional.
- melakukan seleksi petani kecil untuk diintegrasikan dalam agro-industri, dan menetapkan
wilayah-wilayah yang cocok untuk tiap jenis produk.
- penghapusan pertanian untuk kebutuhan sendiri (swasembada).
- penghapusan pertanian sektor publik dan mengurangi peran negara dalam pengaturan.
cadangan (stock), bantuan teknis, penelitian pertanian, serta mengurangi dana kredit pedesaan.
- pengalihan kontrol bioteknologi yang menguntungkan perusahaan multinasional.
- mengurangi tenaga kerja di bidang pertanian sebanyak 5% per tahun.

Akibat kebijakan ini sangat merugikan kaum miskin di desa-desa. Kemampuan sektor pertanian
untuk menyerap tenaga kerja merosot. Antara tahun 1985 dan 1996 jumlah tenaga kerja yang
bekerja di bidang pertanian merosot sebesar 5,5 juta. Dari jumlah ini, lebih dari dua juta buruh
pertanian kehilangan pekerjaannya. Politik pertanian tersebut juga telah mengusir empat juta
orang Brasil dari kampung halamannya di desa-desa. Penelitian yang dilakukan pemerintah saja
memperkirakan bahwa jika politik pertanian ini diteruskan, pada tahun-tahun mendatang 8
sampai 13 juta orang akan terpaksa pergi dari desa untuk mencari pekerjaan di kota-kota.

Jumlah usaha tani juga merosot. Dua tahun masa pemerintahan Cardoso saja, 400.000 usaha
tani gulung tikar. Kebanyakan adalah usaha tani kecil-kecilan, yang luasnya tanahnya kurang
dari seratus hektar. Usaha pertanian yang bangkrut itu umumnya diambil alih oleh perusahaan-
perusahaan transnasional. Menurut Guilherme Dias dari Universitas São Paulo, yang bekerja
untuk pemerintah, dengan model pertanian sekarang ini, hanya 10% dari seluruh 780.000 usaha
pertanian yang bisa bertahan secara finansial, dan hanya 700 ribu dari 2 juta keluarga petani
yang akan mampu bertahan.

Akibat lain dari neoliberalisme di bidang pertanian Brasil antara lain adalah berkurangnya
jumlah tanah yang digarap, meningkatnya impor produk pertanian yang menyingkirkan produk
lokal, berkurangnya uang negara yang dianggarkan untuk kredit pertanian, transfer kekayaaan
sebesar 24 milyar reais (kira-kira US$ 13.3 milyar) dari pertanian ke sektor-sektor di perkotaan.
Konsentrasi pemilikan tanah pun meningkat, demikian pula ketimpangan kekayaan di kawasan
pedesaan, ketergantungan pada impor bahan makanan, ketergantungan pada agro-industri yang
dikuasai oleh perusahaan-perusahaan transnasional, dan hasil akhirnya adalah penderitaan
kaum miskin yang meningkat.

Pemerintah Cardoso berjanji akan membagikan tanah kepada 280.000 keluarga petani miskin
dalam waktu empat tahun. Tetapi janji ini hanya tinggal janji. Pemerintah mengaku pada tahun
1996 telah melakukan redistribusi tanah kepada 50.238 keluarga. Tetapi Persatuan Profesional
Kementerian Kebijakan Pertanahan membantah pengakuan ini.

Agenda Alternatif MST

Dalam situasi inilah MST bergerak untuk memungkinkan kaum miskin desa hidup sejahtera dan
berpartisipasi dalam perkembangan ekonomi dan demokrasi. Dengan menduduki dan
menanami tanah-tanah pertanian yang tidak digarap, petani tak bertanah memperoleh sumber
penghidupan kembali. Tanah terbengkalai itu kemudian diduduki dan di atasnya dibangun
koperasi pertanian yang produktif untuk memenuhi kebutuhan pokok serta menjual sebagian
hasilnya melalui jaringan pemasaran tersendiri. Beberapa koperasi bahkan sudah dapat
mengembangkan industri kecil, seperti pabrik pakaian, pengolahan teh dan pengolahan susu. Di
sektor pertanian mereka berhasil memproduksi benih sayur dan buah-buahan yang bebas
pestisida dan bahan kimia lainnya. Sebagian dari benih ini bahkan sudah diekspor ke berbagai
negeri.

MST juga menyelenggarakan kursus-kursus pengembangan pertanian untuk petani, termasuk


pendidikan politik agar rakyat bisa berpartisipasi dalam kehidupan bernegara. Pendidikan di sini
diperlukan untuk membangun hubungan-hubungan dan kesadaran baru, dan kegiatannya
meliputi partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, kursus, kerja sukarela, aksi solidaritas
(termasuk solidaritas internasional), belajar membaca dan menulis, dan yang terpenting
"membaca dan menulis realitas kehidupan."

Di desa-desa mereka mengelola sekolah untuk anak-anak petani dengan kurikulum yang sesuai
dengan keadaan pedesaan dan dengan kebutuhan kaum tani. Untuk orang dewasa yang buta
huruf, dijalankan program alfabetisasi dengan metode conscientização yang dulu dikembangkan
mendiang Paulo Freire, yang dikenal sebagai pendukung MST. Bekerjasama dengan UNESCO,
1.200 pendidik MST mengajar 25.000 pemuda dan orang dewasa buta huruf. MST juga
bekerjasama dengan beberapa universitas menyelenggarakan program pendidikan "Pedagogi
Tanah" untuk guru-guru sekolah.

Perjuangan MST memang berbasis di pedesaan, namun jangkauannya tidak sebatas desa.
Karena masalah tanah tidak semata-mata masalah penduduk desa, MST juga telah menjalankan
upaya yang sistematis untuk melakukan pengorganisasian di pemukiman-pemukiman liar di
sekitar kota-kota São Paulo, Rio, dan kota-kota besar lainnya. Para penghuni pemukiman liar
yang di Brasil disebut favelados, menyambut baik kegiatan MST, terutama karena
keberhasilannya dalam perjuangan di desa-desa dan karena kebanyakan favelados adalah
pendatang baru dari desa.

Perjuangan MST tidak hanya berfokus pada tuntutan atas hak tanah dan ifrastruktur (listrik, air
bersih, jalan atau transportasi umum), tetapi juga pendidikan politik dan pengembangan
perspektif anti-kapitalis berdasarkan pemahaman tentang watak eksploitatif modal finansial dan
modal real estate.

Pengorganisasian kaum miskin kota tidak sekedar langkah taktis untuk mencari dukungan,
tetapi merupakan bagian integral dari perjuangan politik nasional. Seperti dikatakan oleh salah
seorang pengurus nasionalnya, João Pedro Stedile, "perjuangan untuk land reform bermula dari
pedesaan, tetapi akhirnya akan dituntaskan di kota yang merupakan tempat kekuatan politik
untuk perubahan struktural."

Penindasan dan Perlawanan

Keberhasilan MST tidak diperoleh tanpa pengorbanan. Kendati selalu setia pada prinsip
perjuangan tanpa kekerasan, dalam menjalankan aksi-aksinya para petani seringkali harus
berhadapan dengan polisi dan tentara. Antara 1985 dan 1996 saja tercatat 969 pembunuhan
terhadap buruh pedesaan dan aktivis MST, sedang 2.412 buruh pedesaan, anggota keluarganya,
dan pengurus MST mendapat ancaman pembunuhan karena mendukung land reform. Tetapi
sampai Agustus 1999, hanya 53 orang yang dihadapkan ke pengadilan, dan hanya lima orang
yang dijatuhi hukuman. Menurut James Petras dari State University of New York, pemerintahan
Clinton berada di belakang represi terhadap kaum tani Brasil, karena AS melatih dan
mempersenjatai pasukan militer dan paramiliter yang ditugaskan menghantam perjuangan
kaum tani Amerika Latin.

Kegigihan MST melawan represi berhasil mendapatkan dukungan internasional dari organisasi
hak asasi manusia, organisasi keagamaan, dan serikat-serikat buruh. Perjuangannya juga
mendapatkan pengakuan internasional, antara lain berupa The Right Livelihood Award yang
juga dikenal sebagai "Nobel Alternatif" dari Parlemen Swedia, penghargaan King Boudouin
Foundation Award dari Belgia untuk "sumbangan yang luar biasa bagi pembangunan dunia",
dan penghargaan pendidikan dari UNICEF.

Di dalam negeri sendiri, perjuangan MST semakin memperoleh dukungan luas. Salah satu
indikasinya adalah jajak pendapat yang disponsori oleh Konfederasi Industri Nasional belum
lama ini, melaporkan bahwa lebih dari 75 persen responden setuju dengan aksi MST dan 85
persen setuju dengan pendudukan tanah terlantar secara damai. Bahkan Cardinal Lucas Moreira
Neves, pastor konservatif yang menjadi ketua Konferensi Para Uskup Katolik Brasil baru-baru
ini menemui Menteri Pertanahan Brasil untuk meminta pemerintah bekerjasama dengan MST
untuk mengatasi persoalan kemiskinan di pedesaan.

Untuk mencapai tujuan perjuangannya yang luas, MST menyerukan kerjasama seluruh rakyat
Brasil. Dalam Kongres Nasional MST ke-4 Agustus 2000, pada delegasi mengeluarkan
"Manifesto kepada Rakyat Brasil" dengan seruan kepada seluruh rakyat Brasil untuk "menyusun
suatu Proyek Rakyat" yang melayani kepentingan rakyat. Untuk itu, demikian bunyi manifesto
ini, diperlukan perubahan radikal yang membalik arus neoliberal yang menghantam kehidupan
rakyat Brasil. Pembayaran hutang harus dihentikan, sistem finansial dan tingkat suku bunga
harus dikendalikan. Bank harus dikendalikan agar menggunakan modalnya benar-benar untuk
membiayai produksi bukan untuk spekulasi. Hutang luar negeri harus dirundingkan ulang dan
anggaran negara harus diprioritaskan pada pendidikan kesehatan dan pertanian. Kekuasaan
untuk menentukan kebijakan ekonomi harus direbut kembali supaya bisa dikendalikan oleh
orang Brasil demi kepentingan rakyat Brasil, berarti kesepakatan dengan IMF harus diputus.
Reformasi pertanahan harus dilancarkan, disertai dengan model pertanian baru yang
memungkinkan petani terjamin kesejahteraan dan masa depannya.

Menurut para delegasi, tahun-tahun mendatang sangat menentukan. Rakyat Brasil berada pada
titik yang sangat menentukan antara memperoleh kembali kedaulatan nasionalnya atau menjadi
neo-koloni (kaum kapitalis) Amerika Serikat. Karena itu MST "mendesak semua organisasi
rakyat Brasil untuk mengorganisir diri dan berjuang untuk perubahan-perubahan tersebut."

Sebagai gerakan petani, MST merupakan gejala baru. MST tumbuh dari pengorganisasi petani
dari bawah, yang mengembangkan struktur dan mencetak pemimpinnya sendiri, yang bukan
tunjukan dari partai politik. Gerakan ini memiliki agenda nasional dan sangat sadar mengenai
masalah-masalah regional dan internasional. Perhatiannya tidak hanya pada persoalan
pedesaan. Mereka sangat memahami bahwa politik redistribusi tanah hanya bisa berhasil jika
disertai dengan penyediaan kredit, bantuan teknis, dan perlindungan pasar. Mereka menyadari
perlunya aliansi politik dengan kelas buruh perkotaan dan organisasi-organisasi lain agar bisa
menuntaskan transformasi sosial-politik.

Hubungan dengan partai politik juga berbeda. Jika gerakan tani "gaya lama" adalah onderbouw
dari partai politik elektoral atau kalau tidak adalah "saluran penghubung" antara gerilya
bersenjata dengan kaum tani, MST adalah gerakan yang independen. Belajar dari kelemahan
pola hubungan yang menjadikan kepentingan partai politik lebih utama daripada gerakan sosial,
mereka membentuk pola hubungan baru partai-gerakan sosial.

Kendati demikian mereka tidak mengharamkan hubungan dengan partai politik. Para aktivis
MST bersama aktivis sektor-sektor lain gerakan sosial mendirikan partai rakyat baru, Partido
dos Trabalhadores (PT, Partai Buruh) yang kini merupakan partai kiri terbesar di Amerila Latin.
Hubungan antara PT dengan gerakan sosial berbeda betul dengan pola yang lazim. Pola baru ini
adalah PT adalah alat dari gerakan sosial untuk memperjuangkan kepentingan gerakan sosial
pada tingkat politik negara; gerakan sosial bukanlah alat partai untuk mendapatkan dukungan
termasuk untuk memperoleh suara dalam pemilihan umum.

Nug Katjasungkana , pekerja pada Jaringan Kerja Budaya, relawan di Timor Lorosae

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

PUISI Asahan Aidit

Nyanyian Pengembara Yang Hilang

Bandar ini setia mencatat


Kapal-kapal pergi dan merapat
Lambaian kekasih yang dihianati
Mengantar ini pengembaraan abadi

Warna laut cuma bayangan biru


Seperti juga pagi cuma bayangan putih
Keyakinan bertolak timbul
Ketika daun-daun muda baru bermunculan

Dan kini selamat tinggal


Ulangan merapat dan merenggang
Sekali cinta dipertaruhkan
Kandas terahir terlempar di pulau karang

Gubuk Perhentian

Rintik-rintik hujan pecah di atas meja


Di kebun terlantar tak berbunga
Pandangan mengaduk kebosanan
Mengadon keengganan
Cuaca meremas paru-paru lembab
Hari-hari tak tercari
Di balik kaca buram
Hiasan pagi cuma sunyi
Tambah rasa-rasa linu di kaki

Satu goncangan gempa


Hilang dari pengamatan skala
Telah berapa musim
Menghabiskan daun dan sepatu
Sesuatu yang baru
Agaknya terkilir di saluran waktu

Amsterdam di Mata Jamila

Jamila pernah menawarkan sebuah permainan


Ketika bilik kosong hati meneropong
Tapi Amsterdam kota bisu di waktu malam
Cinta tak berkembang barang-barang terkurung di gudang

Di siang hari polisi berkuda meronda mempertontonkan gerak


Bunyi tapak mengesankan irama menghina walaupun perkasa
Segumpal tahi tumpah di mana saja di antara halayak
Selebihnya semua tampak netjes berjalan tanpa tertunda

Kecewa hati Jamila di tengah kota berbau dan berdahak


Di Amsterdam semua lelaki mencari yang tercecer
Barang murah daging murah perkenalan murah
Tiba di rumah bungkusan dibuka cuma tinggal harganya

Dan Jamila pulang meninggalkan Amsterdam


Jauh ke negerinya diantarai Gibraltar
Pada orang tuanya diceritakannya tentang kota yang dilihatnya
Amsterdam juga gurun pasir cuma ia rata dan rendah

7.4.93

Air Saga

Kampung bertanah pasir


Menyimpan dara-dara memendam rindu
Air saga - pantai dan hati bujang-bujang pergi
Tanaman kelapa lurus tegak akar-akarnya terpendam dalam
Remajanya berkelana mengejar mimpi menjelang dinihari

Keindahan yang ada cuma untuk mata dan hati


Jauh mereka mengungsi dan ada yang tak kembali kembali

Tanah indah perempuan jelita


Cinta tertunda perjanjian daluarsa

22.2.93

Asahan Aidit , penyair yang tinggal di negeri Belanda

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Petualangan Sherina di Pasar


Pengantar Redaksi:

Sudah lama film anak menjadi perdebatan di kalangan orang dewasa, yang selalu merasa lebih tahu
apa yang sesungguhnya diperlukan oleh anak-anak. Bermacam batas dan nilai pun dibuat untuk
menentukan mutu dan fungsinya, sebagai panduan bagi orang tua untuk memilihkan film tepat untuk
anak-anak mereka. Industri pun berlomba memadu trend dengan bermacam batas itu untuk menjaga
kelangsungan produksinya. Maklum, selama puluhan tahun film anak menjadi komoditi yang sangat
menguntungkan dan bisa melahirkan raksasa hiburan seperti Disney yang mengeruk keuntungan
ratusan ribu dolar dari setiap adegan filmnya.

Dalam industri keinginan anak adalah lahan yang harus digarap, dan ratusan ahli komunikasi, seniman
dan pencipta image dikerahkan untuk menghancurkan setiap bendungan yang menghalanginya,
termasuk tentunya pengaruh orang tua dalam memelihara keluarganya. Bagi para tenaga kreatif ini,
film bukan hasil akhir yang bisa dinilai berdiri sendiri. Sukses tidaknya diukur bukan berdasarkan nilai
yang ditawarkan atau fungsi mendidiknya, tapi dari keberhasilannya menjual produk seperti
memorabilia – termasuk citra anak yang bermain di dalam film – kepada publik, terutama anak-anak
sendiri.

Walaupun namanya film anak, tapi seluruh proses persiapan, produksi dan distribusinya dikuasai oleh
orang dewasa, dan tidak ada kaitannya dengan kepentingan anak-anak sendiri. Seperti layaknya
industri, anak-anak yang terlibat pun bekerja – bukan bermain – seperti partner mereka yang dewasa.
Anak yang sukses menjadi bintang pun menikmati keberhasilannya seperti orang dewasa: membeli
mobil dengan plat kendaraan bertuliskan namanya, dielu-elukan dan sibuk mengatur jadwal bisnis
berikutnya. Tidak semuanya menyenangkan, seperti kisah tragis Drew Barrymore yang menjadi
pecandu obat bius sejak usia sebelas tahun.

Dalam situasi seperti inilah hampir semua film anak itu dibuat. Tidak banyak pilihan tersedia, baik bagi
anak yang bermain maupun menonton.

Dari segi tema, para produser umumnya beranggapan bahwa anak-anak memerlukan tokoh dalam
kehidupannya. Tokoh sakti yang terus-menerus mengajarkan kepada anak-anak bahwa di luar sana
ada sekumpulan orang jahat yang harus dibasmi. Tendangan, pukulan dan bermacam tindak
kekerasan pun dibenarkan saat ‘musuh-musuh’ mulai muncul, dan anak-anak pun diajak
mengidentifikasi diri dengan ‘kebaikan’, lebih tepatnya kekuasaan tak terhingga untuk menumpas apa
pun yang ditampilkan ‘jahat’. Dari Amerika meluncur Superman, Batman, Spiderman, Wonder Woman,
Flash Gordon, dan kemudian anak ajaib dalam Home Alone, yang menempa semangat memiliki,
menguasai dan mengalahkan, bukan membagi dan memberi.

Tentu tidak semua film anak berorientasi pada kehebatan, kesaktian dan keajaiban tokoh-tokohnya. Di
Indonesia kita mengenal Si Doel Anak Betawi yang diangkat dari cerita tahun 1950-an tentang
pengalaman seorang anak di tengah kampung yang sedang berubah. Sebuah tema sederhana yang
belakangan semakin sulit ditemukan. Lalu Not One Less dari Tiongkok yang menawarkan solidaritas
dan persahabatan melalui pengalaman seorang guru cilik mempertahankan kelasnya dari serbuan
kepentingan orang dewasa dan kesulitan hidup.

Tapi bagaimana sesungguhnya anak-anak sendiri melihat persoalan ini? Boleh jadi orang dewasa lagi-
lagi terlalu banyak bicara.

Berikut redaksi Media Kerja Budaya menghadirkan tulisan dua orang anak yang sempat menonton
Sherina dan beberapa film dari Iran dan Tiongkok sebagai perbandingannya. Selamat mengikuti.

Suprihatin kelas VI SD dan Nina Suartika kelas V SD

Sherina adalah gadis cilik yang cantik, cerdas, dan pemberani. Ayah Sherina bernama
Darmawan dan ibunya bernama Uci Nurul. Ketika ayahnya pulang Sherina bersedih karena ia
harus meninggalkan teman-temannya yang berada di Jakata, karena ayah Sherina mendapat
kabar harus pindah ke Bandung.

Sampai di sana ia harus menyesuaikan diri. Dan Sherina pun telah mempunyai teman-teman
baru. Namun ia pun menjadi sasaran bandit-bandit yang bernama Shadam, Icang dan Dudung.
Mereka selalu mengganggu anak-anak yang lebih lemah dari mereka. Sherina tidak bisa
menerima perlakuan tersebut dan akhirnya Sherina mengajak teman-teman barunya untuk
melawan Shadam dan teman-temannya.

Ketika liburan sekolah 3 hari, ketika itu pula hati Sherina sedang kesal. Kata ayahnya: “Walau
kamu masih kesal dengan teman-temanmu itu, kamu mau tidak ayah ajak ke rumah pak Ardi
Wilaga?” Setelah Sherina sampai di sana hati Sherina pun merasa senang. Dan ia bertemu
dengan Shadam. Ketika Sherina akan pergi ke pegunungan bersama Shadam, mereka berdua
diculik oleh penjahat-penjahat yang disuruh oleh pak Raden. Ketika Sherina akan dicuik
ternyata Shadam sudah berada di dalam mobil para penjahaat itu. Untung saja Shadam
berteriak. Pada akhir cerita keduanya selamat.

Saya ingin sekali menonton film Petualangan Sherina, karena bisa menghibur hati kita semua.
Tetapi saya tidak bisa menontonnya di bioskop, karena saya tidak punya uang untuk menonton.
Untung saja filem Petualangan Sherina ada di VCD. Mungkin kalau tidak ada di VCD saya tidak
bisa menontonnya.

Menurut saya Sherina tidak seberani yang ada di VCD dan mungkin tidak seberani itu dengan
anak laki-laki yang bernama Shadam teman sekolahnya itu. Sebab Sherina murid baru di
sekolah Shadam. Tetapi juga ada satu yang tidak saya mengerti. Mengapa ceritanya tidak masuk
akal? Karena Sherina tidak mungkin berani waktu naik gunung berdua sama Shadam. Sherina
dan Shadam adalah anak orang kaya yang pasti diomelin kalau pergi sendiri. Saya heran apakah
sutradara Riri Reza waktu kecilnya suka bermain petualang.

Saya tidak menyangka Sherina bermain dengan bagus. Sherina sebagai penyanyi bermain bagus
bersama bintang tamunya ialah sebagai berikut, Derby Romero, Djaduk Ferianto, Mathias
Muchus, Didi Petet, Ratna Riantiarno, Henidar Amroe, Butet Kertaradjasa.

Filem anak yang pernah saya tonton di VCD lebih bagus dari Sherina adalah, Children of
Heaven, (Filem Iran karya Majid Majidi yang mendapatkan berbagai penghargaan filem
internasional – red) bercerita tentang seorang kakak yang telah menghilangkan sepatu adiknya
dan berusaha mencarikan gantinya. Ceritanya seperti beneran. Not One Less ( Filem Cina karya
Zhang Zimou – red) cerita tentang anak umur 13 tahun yang menjadi guru di desa terpencil.
Cerita filem ini adalah kisah nyata.

Filem Petualangan Sherina itu adalah cerita dan hanya untuk menghibur kita semua, bukan
kisah nyata. Kalau ada yang membuat filem lagi jangan mahal-mahal, supaya saya bisa
menonton. Saya lebih suka filem bagus seperti Children of Heaven dan Not One Less.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Hind Swaraj Mahatma Gandhi


John Roosa

Dengan kemampuan disiplin-diri luar biasa, hampir setiap hari Mahatma Gandhi meluangkan
waktu beberapa jam untuk menulis. Ia banyak mengerjakan surat-menyurat (menjawab setiap
surat dari puluhan ribu surat yang ia terima), menyunting beberapa koran, dan membantu
rancangan resolusi organisasi-organisasi. Karya kumpulannya, mendekati sembilanpuluh jilid,
kebanyakan terdiri dari surat dan artikel pendek. Bagi mereka yang ingin memahami Gandhi
secara cepat mungkin kecewa, karena ia tidak pernah menulis sebuah buku pun yang
menjelaskan filsafatnya secara sistematis. Bukan berarti bahwa ia adalah pemikir yang sembrono
atau tidak sistematis — justru sebaliknya. Begitu pemikiran Gandhi dipelajari dengan serius,
terlihat bahwa Gandhi adalah salah seorang pemikir yang paling kompleks, rumit dan unik di
abad ke-20. Untuk memahami dia selengkapnya perlu pembacaan yang sangat luas dan analisis
yang hati-hati, khususnya karena para pengagumnya sering menggambarkan dia sebagai
malaikat, sementara para pencelanya suka melecehkan citra sucinya itu. Jarang dia diperlakukan
secara seimbang dan penuh nuansa.

Dari mana, kalau begitu, orang harus mulai mengerti Gandhi? Menurut hemat saya, paling baik
adalah dari teks lengkapnya yang pertama, Hind Swaraj, sebuah buku kecil yang ia tulis pada
awal hidupnya sebagai aktivis di Afrika Selatan pada 1909. Meskipun seiring waktu
pemikirannya terus berubah, ia kokoh berpegang pada prinsip-prinsip dasar Hind Swaraj. Karya
ini adalah semacam manifesto antikolonialisme, antimodernisme, dan anti-kekerasan. Karena
karya ini di luar kecenderungan utama pemikiran politik modern — liberalisme, konservatisme,
Marxisme — banyak pembaca mengabaikannya sebagai risalah kecil yang konyol dan eksentrik.
Saya sendiri menyimpan banyak ketidaksetujuan, seperti saya jelaskan di bawah, tetapi karya
tersebut banyak mengandung nilai sehingga cukup berharga untuk dibaca penuh simpati.

Perlawanan Pasif

Gandhi menyusun Hind Swaraj di atas kapal uap dalam perjalanan dari London ke Afrika
Selatan dan kemudian diterbitkan dalam bentuk serial dalam korannya Indian Opinion. Di
London ia sangat terganggu oleh pertemuannya dengan anggota-anggota sayap “ekstrimis”
Kongres Nasional India yang mendukung — dan kadang-kadang melakukan — tindak kekerasan
melawan pegawai Inggris. Salah satunya, Madan Lai Dhingra, baru saja membantai asisten
Menteri Dalam Negeri untuk India di Juli 1909. Gandhi menulis teks itu dalam bentuk dialog
antara seorang “redaktur”, Gandhi sendiri, dan seorang “pembaca” tanpa nama yang sering
melontarkan argumen-argumen seorang ekstrimis. Format ini, tentu saja, mengarahkan si
ekstrimis kalah dalam perdebatan tetapi dialog itu juga menampilkan perdebatan yang sangat
berfaedah untuk direnungkan. Perhatikan kutipan berikut:

“Pembaca: pada awalnya, kita membantai segelintir orang Inggris dan


mendatangkan kengerian, kemudian, beberapa orang yang dipersenjatai akan
bertarung secara terbuka. Kita mungkin akan kehilangan seperempat juta
manusia, kurang lebih, tetapi kita akan merebut negeri kita. Kita akan
menjalankan perang gerilya dan mengalahkan Inggris.
Redaktur: Itu berarti, anda ingin mencemarkan tanah suci India. Apakah anda
tidak gemetar membayangkan membebaskan India dengan pembantaian? Yang
perlu kita lakukan adalah mengorbankan diri kita. Adalah pikiran pengecut,
pikiran untuk membunuh orang lain. Siapa yang anda kira anda bebaskan dengan
pembantaian? Jutaan penduduk India tidak menginginkannya. Hal-hal demikian
hanya ada di benak mereka yang teracuni peradaban modern yang sangat jahat.
Mereka yang meraih kekuasaan dengan membunuh pastilah tidak akan membuat
bangsa ini bahagia. Mereka yang percaya bahwa India diuntungkan dengan
tindakan Dhingra dan tindak sejenis lainnya di India melakukan kesalahan serius.
Dhingra adalah seorang patriot tetapi cintanya buta. Ia menyerahkan tubuhnya
dalam cara yang salah;hasil akhirnya hanyalah kejahatan.”

Kebanyakan argumen Gandhi terhadap perjuangan bersenjata di sini lemah: ia memanfaatkan


sentimen agama (mencemarkan India), kecemasan moral terhadap pembunuhan (“apakah anda
tidak gemetar?”), kebanggaan (pembunuhan adalah “pengecut”) dan pendapat umum (“jutaan
orang tidak menginginkannya”). Para ekstrimis Kongres tidak menghadapi kesulitan untuk
mematahkan argumen-argumen ini bila mereka, bukannya Gandhi, yang menuliskan kalimat-
kalimat “pembaca”.

Satu argumen Gandhi yang menurut hemat saya efektif adalah argumen mengenai “hasil akhir”
perlawanan bersenjata. Seberapa baik pemerintah bila dipimpin oleh orang-orang yang meraih
kekuasaan dengan membunuh? Ada bahaya yang sangat nyata bahwa perlawanan bersenjata
menghasilkan pemimpin yang salah, mereka yang telah kehilangan tuntunan moral dan
menggunakan kekerasan untuk menghadapi semua masalah. Saya tidak akan melangkah sejauh
Gandhi yang berpandangan bahwa perlawanan bersenjata yang berhasil menggulingkan suatu
pemerintahan dengan sendirinya memunculkan pemerintahan yang buruk. Tetapi pasti ada
kecenderungan itu terjadi, terutama untuk perlawanan bersenjata yang dipimpin oleh suatu
komplotan yang tidak terbuka terhadap rakyat yang mereka klaim mereka wakili. Bahkan
organisasi yang jelas-jelas revolusioner, menggunakan retorika Marxisme dan demokrasi dapat
berkelakuan sama saja dengan gerombolan mafia dan panglima perang (perhatikan Khmer
Merah di Kamboja, LTTE di Sri Langka atau Shining Path di Peru).

Gandhi mengajukan argumen kedua yang lebih efektif lagi dalam teks itu: perlawanan bersenjata
sama sekali tidak perlu di India. Dengan jitu Gandhi berpendapat bahwa Inggris menjajah India
karena banyak orang India yang mau bekerja sama dengan Inggris. Orang Inggris, segelintir
kecil persentase penduduk, tidak berkuasa terutama dengan pedang. Mayoritas tentara, polisi
dan pegawai negeri semua orang India. Penjajahan Inggris bertahan karena orang India
mengizinkannya dan orang India mengizinkan itu berlangsung terus karena sebagian dari
mereka, sekurangnya kelompok elite, mengeduk banyak uang:”kita mempertahankan orang
Inggris di India demi kepentingan-diri kita yang hina. Kita menyukai perdagangan mereka.”
Melempar semua kesalahan pada penjajah Inggris hanya ‘melestarikan’ kekuasaan mereka”; itu
sama saja dengan menganggap mereka jauh lebih berkuasa ketimbang keadaan sebenarnya. Bila
orang India ingin mengenyahkan Inggris, hampir tidak perlu melancarkan perlawanan
bersenjata yang bersimbah darah dan besar-besaran. Yang mereka perlukan hanyalah bersatu
tidak mematuhi dan tidak membantu penguasa Inggris: ”menyalahkan Inggris sia-sia belaka,
bahwa mereka datang karena kita dan tinggal menetap karena alasan yang sama, dan bahwa
mereka akan pergi atau mengubah keadaan mereka hanya setelah kita mengubah diri kita
sendiri.”

Gandhi juga mengeluarkan klaim yang jauh lebih luas dan lebih problematis: kekerasan tidak
perlu bukan hanya untuk kasus India, kekerasan juga tidak bermoral dipakai sebagai sarana
untuk perjuangan politik di mana pun, kapan pun. Mari kita tengok logikanya. Untuk
menjelaskan kemiskinan dan ketidakadilan, kita semua mengembangkan analisis sosial tentang
siapa yang bertanggungjawab. Kemudian berdasarkan analisis itu, kita mengambil tindakan. Apa
yang terjadi ketika kita melukai atau membunuh orang atau sekelompok orang yang kita anggap
bertanggungjawab atas masalah kita dan kemudian kita sadari bahwa bukan mereka yang
bertanggungjawab? Kita, karenanya, melakukan kejahatan karena telah membunuh orang-orang
tak bersalah. Karena tak seorang pun mempunyai monopoli kebenaran. Melukai atau
membunuh mereka yang kita anggap sebagai musuh dapat membawa kita pada kekeliruan yang
tidak bisa diputar kembali: ”Orang telah melakukan berbagai hal yang kemudian mereka sadari
salah. Tak seorang pun dapat mengklaim bahwa ia mutlak benar.”

Kekerasan tidak sah, menurut Gandhi, karena mengabaikan sisi manusiawi musuh dan menutup
kemungkinan dialog lebih lanjut, menutup kemungkinan bahwa satu atau kedua belah pihak
bisa berubah di kemudian hari. Gandhi ingin politik menghasilkan, dalam jargon masa kini, win-
win solution: kedua belah pihak yang berkonflik sama-sama dimenangkan. Pemakaian
kekerasan tak pelak menghasilkan penyelesaian kalah-menang (win-lose solution) dan
pemenangnya tidak mesti yang benar, melainkan yang lebih brutal. Mengingat konflik sosial
kelihatannya tak terbatas, seluruh masyarakat bisa habis akibat kekerasan bila setiap orang
menggunakannya. Sebagaimana ditulis Gandhi, logika “hutang mata bayar mata” akan
mengakibatkan semua orang buta.

Ketimbang mengarahkan kekerasan terhadap Yang Lain (orang lain, partai lain atau pemerintah
lain dan seterusnya), Gandhi mengusulkan agar kita “mengorbankan diri kita sendiri” (seperti
dalam kutipan di atas). Yang dia maksudkan adalah bahwa kita harus tolak saja yang kita anggap
salah dan menyiapkan diri untuk disakiti karena penolakan ini: “Misalnya, pemerintah sekarang
mengeluarkan peraturan yang diberlakukan pada saya. Saya tidak menyukainya. Bila saya
menggunakan kekuatan agar pemerintah terpaksa mencabut peraturan itu, saya menggunakan
apa yang disebut kekuatan jasmaniah. Bila saya tidak menaati peraturan itu dan menanggung
hukuman akibat ketidaktaatan itu, saya menggunakan kekuatan-jiwa. Itu meliputi pengorbanan
diri.” Ini adalah “metode mempertahankan hak dengan pengorbanan diri, kebalikan dari
perlawanan dengan senjata.” Gandhi menyebut metode ini “perlawanan pasif” meskipun ia
mencatat bahwa “pasif” bisa menimbulkan salah tafsir sebab bentuk perlawanan dia bersifat
aktif. Dalam upaya mencari istilah yang membedakannya dari kekuatan jasmaniah yang kasar, ia
juga menyebutnya “kekuatan cinta”, “kekuatan kebenaran”, dan “kekuatan jiwa.”

Sering terlontar pendapat bahwa pengorbanan diri ini, seperti dalam aksi pembangkangan sipil,
hanya efekif bila Yang Lain tidak berniat membunuh anda. Bila pemerintah, mengambil contoh
dari Gandhi, menghajar pengunjuk rasa atau melemparkan dia ke penjara karena melanggar
peraturan, ia masih hidup sehingga dialog bisa berlanjut. Tetapi bila pemerintah membunuhnya
maka permainan selesai tanpa mencapai win-win solution dan pengorbanan pengunjuk rasa
tidak menghasilkan apapun. Bila Yang Lain bertekad untuk melakukan genosida tanpa peduli
korbannya melawan atau tidak, seperti dilakukan pemerintah Nazi, strategi pengorbanan diri ini
mungkin hanya mempermudah ia meraih tujuannya. Bila suatu pemerintah membantai semua
pemimpin buruh, partai politik oposisi dan sarekat tani, seperti pemerintah Kolombia, rakyat
tidak punya pilihan lain selain mengangkat senjata untuk melawan. Toh perlu dicatat bahwa
pemikiran Gandhi tetap relevan: pasukan gerilya dapat berjuang dengan cara sedemikian rupa
agar kekerasan yang ditimbulkan minimal dan mendorong tumbuhnya perlawanan tanpa
kekerasan dari penduduk sipil.

Walaupun keterbatasan perlawanan pasif nampak jelas, tidak boleh kita lupakan pentingnya
pemikiran ini bagi beberapa bentuk perlawanan tanpa kekerasan bahkan dalam keadaan paling
parah. Nampaknya perlawanan pasif tidak tepat untuk, misalnya, penduduk Palestina yang
menghadapi musuh yang ingin melihat mereka semua keluar dari tanah pendudukan itu atau
dikubur di dalamnya. Tetapi Intifada di akhir 1980-an membuktikan kekuatan perlawanan pasif.
Penduduk Palestina tidak mau membayar pajak pada Israel, tidak mau bekerja sama dalam
bisnis mereka, tidak mau membeli produk Israel, tidak mau bekerjasama dalam semua hal
dengan pemerintah Israel. Perlawanan inilah yang membawa Israel ke meja perundingan —
bukan perlawanan bersenjata dan pembomban. (Pengkhianatan Arafat di Oslo di kemudian hari
adalah cerita lain.)

Swaraj

Perlawanan pasif adalah sarana yang diusulkan Gandhi untuk mencapai swaraj India. Apa itu
swaraj? Bila makna swaraj hanya kebebasan politis dari Inggris, Gandhi tidak akan tertarik. Ia
ingin India bukan hanya bebas dari Inggris tetapi juga dari “peradaban modern.” Para nasionalis
pada zaman itu, baik kelompok moderat yang menggunakan petisi secara damai maupun
ekstrimis yang mengandalkan senjata, tidak mempunyai visi India merdeka selain replika negara
Eropa yang dipimpin penguasa India. Gandhi, meski demikian, mengangankan India merdeka
menggunakan lembaga politik yang sama sekali berbeda dari lembaga politik Eropa. Lebih jauh,
ia mengangankan cara hidup yang sama sekali berbeda, suatu peradaban yang berbeda.
Penolakan Gandhi terhadap peradaban modern bersifat menyeluruh: ia menolak parlemen,
pengadilan, kedokteran modern, teknologi industri, pabrik, jalan kereta api dan pendidikan
dalam bahasa Inggris. Ia menyebut peradaban modern “peradaban iblis,” suatu penyakit, suatu
racun — segala hal yang bertentangan dengan kehidupan yang sehat dan bahagia.

Daripada mengikuti peradaban modern, Gandhi mengajukan saran agar India menghidupkan
kembali tradisinya sendiri. Peradaban, dalam pandangannya, semestinya soal pengendalian-diri,
pengenalan-diri sendiri dan laku secara etis. Dalam artian ini, peradaban kuno India sudah
lengkap dan “indah”; peradaban India “tidak perlu belajar apapun dari peradaban lain.” Hidup
yang baik tidak tergantung pada melimpahnya kesejahteraan materi yang diproduksi dengan
cepat oleh mesin-mesin; hidup yang baik hanya tergantung pada keadaan pikiran seseorang. Ia
lukiskan suatu gambar sangat indah tentang India “tradisional”, India yang ia klaim masih ada di
luar kota-kota besar:
Kita menggunakan bajak yang sama jenisnya dengan bajak yang sudah ada ribuan tahun lalu.
Kita tetap memakai jenis gubuk yang sama seperti yang kita miliki di masa lalu dan pendidikan
asli kita tetap sama seperti sedia kala. Kita tidak mempunyai sistem persaingan yang
mengerogoti hidup. Masing-masing menjalankan pekerjaan atau usahanya sendiri dan
mendapat upah yang sesuai aturan. Bukan karena kita tidak tahu bagaimana menciptakan mesin
tetapi para leluhur kita … melihat bahwa kebahagiaan sejati dan kesehatan tercapai karena
penggunaan tangan dan kaki kita secara tepat. … Mereka puas dengan desa-desa kecil.

Seperti kebanyakan orang, saya sadar tidak mungkin sepakat dengan serangan Gandhi yang
tanpa kompromi dan pedas-tajam terhadap peradaban modern dan kebalikannya, pemujaan
naifnya pada peradaban India. Analisisnya sangat simplistis, terlalu hitam putih; sangat mudah
dikritik, terutama kalimat-kalimat yang mencerminkan ketidakpercayaan yang irrasional dan
membabi-buta terhadap teknologi baru, seperti komentarnya tentang ilmu bedah: “lebih baik
tubuh tetap berpenyakitan ketimbang disembuhkan lewat alat bantu pembedahan hidup-hidup
yang kejam seperti dipraktekkan di sekolah-sekolah kedokteran Eropa.” Ketimbang mengulang
lagi kritik biasa atas pemikirannya yang kabur, analisisnya yang tidak dialektis,
ketidakpahamannya akan analisis kelas, penggambaran a-historisnya tentang budaya India, saya
ingin menunjukkan sesuatu yang sering terlewatkan: ada setitik kebenaran yang berharga dalam
argumennya. Hind Swaraj adalah kritik yang terlalu dibesar-besarkan terhadap modernitas.
Tetapi daripada terpaku pada hal yang berlebihan itu, kita semestinya memusatkan pada soal-
soal kunci.

Kecaman Gandhi terhadap ilmu kedokteran modern, misalnya, tetap relevan. Orang mendengar
kecaman senada hampir setiap hari. Jelas bahwa ilmu kedokteran modern, setelah berkembang
pesat dengan memandang tubuh sebagai mesin, telah gagal dalam beberapa segi. Banyak orang
di Barat berbalik pada sistem medis kuno, seperti akupunktur dan jamu-jamuan dan pada sistem
alternatif yang lebih modern, seperti homeopati, akibat tidak puas dengan ilmu kedokteran
modern. Bukan maksud saya kita harus seperti Gandhi dan beranggapan bahwa semua
kedokteran modern mesti ditolak. Juga bukan berarti bahwa pengetahuan medis yang lebih
kuno tidak mengidap kekurangan dan kelemahan.

Melihat bencana biologis yang diciptakan ragam teknologi tertentu— racun pestisida, radiasi
nuklir, banyaknya bahan kimia beracun di udara dan air — orang tidak bisa membaca Gandhi
tanpa rasa kagum pada penolakannya akan kepercayaan pada mitos besar manusia modern:
bahwa semua perkembangan teknologi menghela maju ke arah hidup yang lebih baik. Tradisi
Marxis, yang mempunyai pemahaman yang sangat canggih mengenai teknologi dalam kaitannya
dengan kapitalisme, sering terlena pada mitos ini juga. Harus diperjelas di sini bahwa ada
beberapa teknologi yang mengandung resiko tanpa perlu dan terlalu berbahaya untuk digunakan
dalam cara produksi manapun, entah sosialis atau bukan.

Hind Swaraj jangan dibaca sebagai petunjuk akurat dari aktivisme politik Gandhi di kemudian
hari. Bertentangan dengan kehendaknya supaya para pengacara meninggalkan profesi mereka,
sebagaimana ia lakukan, dan mengambil alat pemintal sebagai gantinya, hampir seluruh
pimpinan Kongres Nasional India, organisasi tempat dia bekerjasama, adalah pengacara. Rekan
terdekatnya adalah para pengacara praktek yang aktif. Bertentangan dengan kecamannya
terhadap pabrik, pendukung finansial setianya di India adalah pemilik pabrik teksil. Memang,
banyak industrialis India berteman dengannya dan berupaya bersikap sebagai pelayan-
pelayannya yang patuh. Bertentangan dengan kecamannya atas jalan kereta api, ia berkeliling
India dengan kereta api (di kelas tiga).

Hind Swaraj paling tepat dibaca sebagai dokumen utopis, yang membentuk tujuan akhir
karyanya. Ia tidak akan memaksa orang lain mengikuti utopianya; ia berharap menyusun contoh
gaya hidup alternatif. Meskipun dalam banyak hal harus berkompromi, Gandhi tetap dipacu oleh
semangat mencari suatu kehidupan yang sederhana, sehat dan damai. Menghadapi makelar
kekuasaan yang sinis dan industrialis kaya, Gandhi berusaha mengeluarkan yang terbaik dari
mereka, menggiring mereka ke perspektifnya. Walaupun ia menggunakan juga kereta api,
perjalanan-perjalanan panjang masih ditempuhnya dengan berjalan kaki setiap hari dan Gandhi
adalah pejalan kaki yang kuat dan cepat di usia tujuhpuluhan. Gandhi selalu mendambakan
India sebagai republik desa dengan penduduk yang mandiri secara ekonomis. Di akhir 1930-an,
ia bertempat tinggal di sebuah desa di India tengah dan di situ ia bereksperimen dengan
pemikirannya mengenai pembaruan desa.

Gandhi dipuja-puja sebagai “bapak bangsa.” Patung, gambar, dan potret dirinya ada di mana-
mana. Setiap kota besar maupun kecil mengambil namanya untuk jalan utamanya. Orang harus
ingat bahwa bertentangan dengan pemujaan resmi pemerintah terhadapnya, ia sendiri tidak
pernah tertarik pada kekuasaan. Pada saat kemerdekaan di 1947, ketika para pemimpin Kongres
di New Delhi bergembira karena memperoleh kekuasaan pemerintahan, Gandhi berduka cita,
putus asa melihat kekerasan antara orang Hindu dan Muslim. Ia berjalan jauh ke desa-desa di
Bengali berusaha mencegah kekerasan berlanjut. Kemerdekaan India tidak ada hubungannya
dengan swaraj yang ia uraikan dalam Hind Swaraj, 38 tahun sebelumnya. Pemimpin-pemimpin
Kongres, semisal Sardar Patel yang dikenal sebagai “manusia besi” karena ketelengasannya, dan
Jawaharlal Nehru, yang memuja industri, memanfaatkan Gandhi untuk mobilisasi massa,
kemudian dengan segera menyingkirkannya begitu mereka menguasai pemerintahan. Bila
Gandhi benar-benar bapak bangsa, ia tidak diakui anggota keluarga lainnya (walaupun masih
dihormati secara ritual) dan ia sendiri tidak mengakui anak yang terlahir.

Kini di India, kecuali kaum chauvinis Hindu sayap kanan ekstrim, yang membunuhnya di 1948
karena menuduh ia mengkhianati kaum Hindu dan memihak kaum Muslim, semua pihak yang
berbeda pandangan politik menghormatinya: Marxis, feminis, pembela lingkungan, kaum
konservatif, dan lain-lain. Hidupnya cukup kompleks sehingga masing-masing orang bisa
mengambil bagian tertentu hidupnya untuknya sendiri. Namun demikian, satu hal harus
digarisbawahi dari Hind Swaraj: Gandhi adalah aktivis politik yang juga sama pedulinya
terhadap gerakan sosial untuk keadilan maupun terhadap diet dan introspeksi-diri. Ia berusaha
menyatukan yang pribadi dan yang politis dalam suatu visi utopis untuk masyarakat baru. Ketika
India dan dunia bergerak semakin menjauh dari visi tersebut dan merosot menjadi masyarakat
kejam dengan ketidakadilan yang parah, di mana penguasa neoliberal tiada lagi peduli terhadap
kaum miskin dan membiarkan mereka mati begitu saja, tulisan-tulisan Gandhi bisa membantu
kita menghidupkan kembali daya berimajinasi utopis — suatu imajinasi yang diperlukan agar
aktivisme politik tidak menjadi permainan kekuasaan yang sinis dan kejam belaka.

JOHN ROOSA, Sejarawan yang bermukim di Jakarta.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Catatan Redaksi: Cerpen ini merupakan bagian pertama dari dua bagian tentang kehidupan pejuang perempuan dari
Maluku, Martha Christina Tiahahu.

Ketika Semangat Mulai Bergelora

Rani Lukito

Kadang-kadang aku bertanya-tanya apakah malam pada saat aku lahir membawa kepenatan
dalam hati ayahku. Malam yang bergejolak dengan kilat membelah mega setiap satu-dua
detiknya. Erangan ibuku menyiksa telinga lelah ayahku. Namun, ironis juga bahwa dia begitu
khawatir.

Ia telah melalui masa-masa yang lebih sulit sebelumnya. Seringkali aku bermimpi ia mencincang
serdadu Belanda menjadi potongan-potongan yang mengerikan, mengibaskan tetesan darah
yang menciprati kemeja putihnya. Oh ya, aku tahu banyak cerita berlebihan yang ia sampaikan
sebelum aku tidur itu seringkali benar adanya. Cerita tentang kekejaman dan kekerasan. Aku
dengar orang tuaku berdebat apakah memperkenalkanku pada kekerasan di usia semuda ini
akan merusak. Tapi aku tak setuju, aku punya hak untuk tahu apa yang dialami ayahku.
Bukankah aku putrinya satu-satunya? Bukankah aku putri Kapitan Paulus Tiahahu itu sendiri?
Bukankah aku Martha Christina Tiahahu?

Suara lembut Anna menggugah pikiranku yang menerawang. Ia menggoyangku pelan-pelan,


mencoba membawaku kembali ke dunia nyata. “Martha! Martha!”, ia terengah. Aku berkedip,
sambil mencerna gubuk yang mengelilingi kami. Gubuk biasa, sederhana, dengan pagar bambu
serupa yang rapuh. Atapnya terbuat dari daun kelapa kering yang dianyam dan diikat hati-hati.
Betapa tak beraturannya tampaknya jika dibandingkan dengan kayu kokoh tak tembus segala
yang dipakai untuk kapal-kapal Belanda. Toh, aku lebih suka gubuk ini daripada kapal-kapal itu.
Karena kapal-kapal itu dinaungi kejahatan, aura kematian, penghancuran dan pemusnahan. Aku
telah melihat dengan kedua belah mataku yang berbentuk buah kenari ini, para pembunuh yang
berdiam dalam kapal-kapal itu. Semua berpakaian anggun dengan tingkah laku yang kaku,
dingin, tak berperasaan. Tak heran jika aku bisa menerima tindakan kejam ayahku terhadap
mereka … mereka pembunuh berdarah dingin.

Tiba-tiba aku tersentak oleh mata khawatir Anna yang mengamati mataku, dan berdiri sejenak
setelah kehadirannya di gubuk kami. “Belanda datang lagi, Martha! Kita harus segera pulang!”,
ujarnya sedikit terengah-engah. Ada ledakan kebencian di dalam hatiku. “Belanda? Belanda
datang lagi? Dan apa tujuan mereka kali ini? Membunuh dan merampok tanah kami lagi? Itukah
yang mereka inginkan, bajingan-bajingan tak berwarna!?!”, aku berteriak penuh kebencian.
“Aduh Martha .. sudahlah … ,” Anna memohon; ia memandangiku dengan matanya yang
mengiba. Aku berhasil mengendalikan kemarahanku, mengatupkan mulutku erat-erat dan
menggigit lidahku. Aku ayunkan tanganku yang terkepal ke udara dan menebar pandangan
marah ke awan yang berlalu, “Dalam hari-hari ini …”. Tetapi ucapanku tertahan oleh suara
ketakutan ibuku yang memanggilku ke dalam. “Martha! Biar ayahmu saja yang berperang
sekarang… Kamu baru berumur tujuh belas tahun!”, ia terus mengomel sambil menyeretku ke
dalam gubuk. Aku masih sempat melambaikan tangan pada Anna, yang kemudian terpincang-
pincang bergegas pulang ke gubuknya sendiri. Dia tersenyum balik dengan matanya yang manis
tapi menggoda itu, dan hilang dari pandanganku.

Oh … Anna .. Anna manis sayangku. Sejak awal kehidupannya ia telah terbungkus dalam
persoalan. Ia lahir pada malam yang sama denganku, tetapi kurang beruntung nasibnya. Ibunya
berada di atas sebuah kapal bernama Santa Maria ketika melahirkan Anna. Dia menyelundup
dari Sulawesi dengan niatan membangun hidup baru bersama seorang anak laki-laki dan bayi
dalam kandungan setelah suaminya meninggal dunia. Kapal Santa Maria menabrak salah satu
terumbu karang yang membatasi pulau kami, Nusa Laut, dan mengalami kerusakan berat.
Semua penumpang dan awak kapalnya berhasil diselamatkan, tetapi kaki mungil Anna remuk
tertimpa potongan kayu penahan layar. Ibunya segera membawanya ke dukun terdekat, seorang
laki-laki dengan kekuatan gaib di desa kami. Tapi pada akhirnya yang bisa ia lakukan hanyalah
mengamputasi kaki Anna. Ibuku datang membantu ibunya segera setelah peristiwa
menyedihkan itu. Ia meletakkanku di sebelah Anna yang menangis histeris, sementara ia
menghibur ibunya. Anna berhenti menangis begitu ia melihatku. Ia menatapku penuh rasa ingin
tahu ketika aku menatapnya. Dua jiwa yang tersasar menemukan kesenangan dalam diri satu
dan lainnya. Walaupun ada perbedaan-perbedaan, kami menjadi teman baik sejak saat itu.

***

Hari berangkat malam. Aku bisa mendengar teriakan dan tembakan sahut-menyahut dari arah
hutan. Ada juga jeritan kesakitan, tetapi aku sudah terbiasa mendengarnya. Aku duduk tegang di
beranda, mendengarkan tanda-tanda kepulangan ayahku dengan sabar. Ayahku, dengan mata
coklatnya yang lembut dan baik, menyembunyikan kepedihan sangat yang ia alami setiap hari
sejak ia lahir. Dagunya yang kasar dipenuhi rambut-rambut pendek tak beraturan. Kumis
tebalnya menggarisi bibir tipis yang selama ini aku tahu hanya mengeluarkan kata-kata halus
membesarkan hati.

Mendadak kepalaku berpaling ke belakang. Terdengar gemerisik lirih dari semak-semak di


belakangku. Tanganku segera meraih pisau yang terikat pada sabuk merah darah di pinggangku.
“Siapa itu di sana?”, aku bertanya dengan suara tegas. Sesosok ramping berotot dibalut kain
usang melompat keluar. Aku hunus pisauku dalam sekejap. “Tenang!”, suara akrab menyapaku,
“Ini aku, Non, Ayah!” Di wajahku tersungging senyum gembira. “Wah, wah, wah, kamu akan
tumbuh jadi perempuan dewasa!”, tersenyum lebar ia menatapku lekat-lekat. Aku berlari ke
sisinya dan memeluknya dengan hangat. Kemejanya yang putih bersimbah darah, bukan hal
yang luar biasa buatku. Tetapi suatu kali Anna melihatnya dan wajahnya berubah pucat pasi. Ibu
keluar dan mengambil kemeja itu dari tangan ayah. Kemudian, seakan tak terjadi apa-apa, ia
berjalan ke halaman belakang dan merendam kemeja itu dalam seember air bersih.

“Apa yang terjadi di sana, Ayah?”, aku menanyainya dengan nada khawatir. Tiba-tiba matanya
meredup dan ia tersenyum sedih. Ia berjalan ke beranda dan menarik saputangan yang basah
oleh keringat dan menyapukannya ke sepanjang dua belah alisnya.

Aku tahu keadaan menjadi sulit bagi kami sejak orang-orang Inggris melepaskan Maluku kepada
Belanda. Hubungan kami dengan orang-orang Inggris tidak terlalu buruk. Tetapi hanya setelah
lima tahun yang cukup damai, mereka tinggalkan kami bersama dengan orang-orang Belanda
yang kejam. Jika aku tak salah, setelah Konvensi London yang terjadi tiga tahun lalu banyak hal
mulai berubah. Sekarang Kepulauan Maluku dibanjiri orang Belanda. Mereka berusaha terus-
menerus tanpa kenal lelah mengambil kendali perdagangan rempah-rempah kami. Seandainya
mereka melakukannya dengan cara yang tidak terlalu kejam dan biadab, mungkin kami akan
bersikap lebih kooperatif. Sayangnya, mereka menggunakan cara-cara haus darah dan tanpa
perasaan untuk memaksa kami tunduk pada mereka. Itulah sebabnya kami serang mereka,
memberontak dengan hidup-mati kami.

Pemberontakan dimulai di Saparua di bawah pimpinan Kapitan Pattimura. Belakangan ini aku
sering mendengar namanya. Ia digambarkan sebagai lelaki berani dengan syaraf baja.
Merupakan kehormatan bagiku kalau bisa bertemu dia. Tetapi bahkan setelah ulang tahunku
yang ketujuhbelas pun ayah masih belum perbolehkan aku bergabung dengannya dalam
pertempuran melawan Belanda. Sebenarnya aku tidak tahu persis kapan aku lahir. Aku cuma
tahu hari lahirku sama dengan hari lahir Anna. Hari ulang tahun tak pernah terlalu berarti bagi
kami, kami hanya menghitung tahun saat mereka lewat.

***

Ayah batuk mengingatkan aku pada kehadirannya. “Ah, maaf Ayah!”, aku menelan ludah dengan
gugup. “Apa yang Ayah bilang?”

“Ya sudahlah anakku. Kamu semestinya tidak memikirkan hal-hal seperti ini. Tapi tampaknya
kamu sudah asyik terlibat dalam masalah ini …”

“Terlibat? Dalam apa? Perjuangan kita untuk kemerdekaan? Tentu!”, aku mendengus dengan
sombong. “Orang Belanda memperlakukan kita dengan tidak adil, mereka tidak pernah bersikap
adil!”

“Begitu banyak kemarahan dalam dirimu, anakku. Kita harus selalu berpikir jernih”, ayah
menggumam. Aku mempermainkan pisauku dengan gamang, kemudian bertanya, “Apa rencana
Ayah selanjutnya?”

“Kapitan Pattimura memutuskan untuk berkonsentrasi pada Benteng Duurstede. Ini akan
menjadi target utama kita dari sekarang, dan hanya itu yang akan aku ceritakan padamu!”
katanya sambil mencubit daguku.

Ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke dalam. Aku menarik napas panjang. Ia tampaknya
malas bicara malam ini. Aku berdiri menyandar pada pilar kayu beranda, kemudian menyeret
badanku untuk tidur.

***

Fajar membelah hari dengan semburan sinar keemasannya yang menyilaukan. Cahaya matahari
berpendar dari cakrawala, meluas dan merayap sampai ke setiap daun, setiap pohon, beri warna
emas kemerahan. Kaki-kaki kami melompat di atas pasir pantai yang lembut. Walaupun kakinya
tak sempurna, Anna bisa bergerak cepat dan gesit juga. Tawa kami bergema di sepanjang pantai
saat kami menceburkan diri ke air yang dangkal dan mandi. Laut seperti selimut biru raksasa
mengelilingi kami, menghempas pelan ke pantai.

Aku letakkan telunjuk di depan mulutku, beri Anna tanda untuk menghentikan suaranya. Kami
bermain terlalu dekat ke lokasi tenda Belanda. Kami merangkak pelahan ke pantai dan keluar
dari air. Kaki-kaki kami tenggelam cukup dalam ke pasir setiap kali kami melangkah. Tanpa
peringatan, ada suara ledakan di belakang kami. Aku dengar Anna terjungkal dan jatuh terkapar
di pasir. Dia mengerang kesakitan, kedengaran seperti suara berkumur tak beraturan. Aku
berputar cepat, mataku membelalak saksikan pemandangan yang menyapaku dari belakang.
Darah tersembur dari leher Anna. Ia terbaring tak bergerak di pasir, lunglai seperti rumput laut
yang selalu kami temui di pinggir pantai setiap pagi. Aku berlutut di sisinya, menggoyang
bahunya. Airmataku mengalir deras, airmata yang tak pernah kukenal sebelumnya. Ia terasa
hangat di pipiku yang dingin dan tak ada suara apa pun selain isakan tak berdayaku yang keras.

Tanpa kuduga hujan peluru berdesingan, nyaris menyambar telingaku. Instingku tergerak dan
yang aku tahu kemudian aku berlari sekuat tenaga menyeberangi pantai meninggalkan tubuh
ringkih Anna. Aku mencapai gubukku beberapa menit kemudian, dalam kemarahan luar biasa.
Tapi yang lebih buruk adalah rasa sakit yang tak terperi menikam setiap aku ambil nafas. Ibu
bergegas keluar menolongku, tergeragap melihat darah yang menembus blusku dan menetes
dari jari-jariku yang gemetaran. Ia menghujani aku dengan segala pertanyaan dan mencoba
menarik perhatian orang-orang sekitar. Tak lama kemudian sekumpulan perempuan yang
prihatin mengerumuni kami, memperhatikan ibu yang menggosokku dengan handuk bersih.
Kemudian, ibu Anna muncul dari kerumunan itu. Perempuan-perempuan lain jadi seperti
saputan pelangi di mataku. Ibu Anna tampak merah menyala. Ia mengingatkan aku pada darah
Anna. Saat itu aku mulai menangis pilu kembali. Aku berusaha berdiri dan sempoyongan
menghampirinya. Aku genggam tangannya erat-erat dan berhasil katakan sesuatu. Aku tak ingat
lagi apa yang aku lakukan, tapi aku ingat bagaimana wajahnya kehilangan warna coklat usang
biasanya. Ia hampir seputih salah satu perempuan Belanda ketika aku terpuruk lemah kembali
di tanah.

***

Bagian kedua: Badai Bergolak

RANI LUKITO masih berusia 12 tahun ketika ia mulai meneliti kisah Martha kemudian menuliskannya dalam bahasa
Inggris sebagai tugas sekolah di SMP Pelita Harapan.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Keadilan Genetik?
Karlina Leksono-Supelli

Keadilan genetik untuk Guatemala, demikian judul foto-foto Karen Kasmauski untuk artikel
yang ditulis James Shreeve “The Secrets of the Gene” (National Geographic, Oktober 1999).
Maksudnya adalah bagaimana para ahli genetika memanfaatkan uji DNA untuk mengidentifikasi
ratusan ribu korban pembunuhan politik 1980-an yang dikuburkan secara massal. Lewat DNA
identitas seseorang dapat diketahui; lewat gen—pembawa sifat dalam DNA—garis keluarga dan
leluhurnya dapat ditelusuri. Kisah korban dapat ditulis ulang, dan keluarga dapat memakamkan
para korban dengan wajar.

Pada Juli tahun lalu, polisi Florida juga menemukan bahwa DNA laki-laki yang ditemukan mati
terbunuh ternyata sama dengan pelaku delapan perkosaan di Washington, Amerika Serikat.
Sebelumnya, kasus ini tak pernah bisa diungkap. Karena tak ada sumber lain, polisi hanya bisa
menggunakan satu-satunya data dari bank data, CODIS (Combined DNA Index System). Sejak
akhir 1998 CODIS dapat diakses melalui internet; isinya adalah profil DNA dari para pelaku
kejahatan serius.

Kasus-kasus di atas hanyalah sedikit contoh penerapan sains DNA. Dalam berbagai bidang
kehidupan mulai dari forensik, pertanian, kesehatan, sampai lingkungan, keberhasilan
penerapan itu akan semakin menonjol, jika pemetaan semua material genetik manusia selesai
pada 2003. Human Genome Project (HGP, Proyek Genom Manusia) resminya dimulai pada
1990 oleh Departemen Energi dan Institut Kesehatan Nasional di AS. Tujuannya adalah
memetakan lokasi persis 100.000 gen manusia dalam kromosom kita dan membaca berbagai
susunan hurufnya.

Kata genome sendiri berasal dari gene (gen) dan chromosome (kromosom). Setiap manusia
mempunyai 23 pasang kromosom, lalat buah mempunyai 4 pasang, merpati 40 pasang, dan ikan
mas 47 pasang kromosom.

Proyek ini adalah sebuah kerja raksasa karena sekitar 3,5 milyar huruf dalam genom manusia
harus dibaca. Setiap huruf selalu merupakan kombinasi tiga basa dari empat basa nitrogen (A, G,
S, T) yang menyusun DNA. Jika diandaikan sebuah buku, dan kecepatan rata-rata orang
membaca sepuluh huruf adalah sebelas detik, maka buku itu akan selesai dibaca dalam sebelas
tahun. Draft sebagian hasil pemetaan ini sudah dikeluarkan pertengahan 2000. Sedikitnya lima
belas negara terlibat dalam proyek ini. Inilah mungkin upaya ilmiah terorganisasi terpenting
yang pernah ada.

Telaah DNA jelas berdampak besar terhadap kehidupan kita. Bisnis asuransi dengan cepat akan
menemukan orang yang berisiko penyakit tertentu; dunia kedokteran dapat mengidentifikasi
sumber penyakit; pengobatan dapat memilih penanganan yang lebih efisien; dunia pertanian
bisa menentukan bibit atau pestisida yang lebih murah namun unggul; kita bahkan mungkin
bisa mulai menyingkap rahasia evolusi manusia dari sebuah sel tunggal bermilyar tahun lalu.

Itu sebabnya, HGP juga mempelajari berbagai dampak sosial, etis, bahkan dampak politis yang
timbul dari pemetaan yang mereka lakukan. Rencana pemerintah federal AS untuk mengalihkan
teknologi genetika ke pihak swasta, misalnya, jelas membuat industri bioteknologi bisa meraup
trilyunan dolar. Bioteknologi memang bukan sekadar berarti perbaikan kesehatan, pangan,
identifikasi, dan sebagainya. Bioteknologi adalah ekonomi. Padahal saat ini hanya negara-negara
industri maju yang dengan cepat dapat mengembangkannya, memegang hak paten, dan
memanfaatkannya.

Sains ini sangat berarti, karena DNA (asam deoksiribosa nukleat) adalah molekul informasi yang
berisi semua perintah untuk—katakanlah—mencetak mahluk hidup: resep untuk membuat
manusia. Perintah atau kode tersebut diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, oleh
gen.

Gen bukan hanya menentukan penampilan kita, tetapi juga berbagai kelainan dan penyakit.
Lepas dari perbedaan penampilannya, setiap manusia secara menakjubkan sebetulnya hampir-
hampir serupa di aras DNA. Perbedaannya hanyalah sepersepuluh sampai seperduapuluh dari
satu persen DNA manusia. Namun, perbedaan sekecil inilah yang justru membuat setiap
manusia—kecuali kembar identik— unik.

Oleh berbagai sebab, DNA dapat mengalami perubahan (mutasi). Mutasi dapat dengan
sederhana diandaikan terjadi ketika susunan huruf yang membentuk kalimat “aku suka kau”
berubah menjadi “ak usu kakau” atau “aku suka aku” atau “kau suka aku” dan sebagainya.
Kebanyakan mutasi tidak berbahaya, tetapi bisa menjadi sangat menentukan ketika terjadi pada
gen-gen yang kritis.

Sampai saat ini gen untuk sekitar 1.200 penyakit atau kelainan sudah berhasil diidentifikasi.
Kelainan sebuah gen di kromosom 11 karena huruf T tertukar dengan A, misalnya, menyebabkan
penyakit bawaan sickle-cell anemia (kelainan bentuk sel darah merah) yang mengakibatkan
kematian. Sekitar 3.000 - 4.000 kelainan yang bersifat menurun disebabkan oleh kesalahan
“sekecil” itu.

Banyak orang mengangkut gen yang tidak sempurna dalam tubuhnya. Namun gen tersebut baru
menimbulkan efek ketika berkombinasi dengan faktor lingkungan dan cara hidup tertentu.
Inilah sebetulnya salah satu tantangan terbesar bagi dunia kedokteran abad ke-21, yaitu
menguraikan hubungan gen, faktor lingkungan, berbagai jenis penyakit, dan respons tubuh
terhadap pengobatan.

Identifikasi gen dan hubungannya dengan penyakit atau kelainan tertentu akan mempercepat
dan mengefisienkan proses penanganannya. Pilihan pengobatan—kalau sudah ditemukan—tidak
lagi bersifat trial and error.

Selain itu, metode terapi gen atau transfer gen cukup memberi harapan untuk penanganan
penyakit seperti kanker dan AIDS. Caranya adalah mengganti atau menyuntikkan tambahan gen
untuk merangsang kekebalan. Teknologi ini ternyata juga dikembangkan untuk memproduksi
protein manusia dalam jumlah besar bagi kepentingan farmasi, serta merekayasa organ-organ
hewan agar menyerupai organ manusia untuk kepentingan transplantasi. Caranya adalah
mentransfer gen manusia ke hewan. Hewan yang membawa gen lain itu disebut sebagai
transgenik.

Persoalannya, teknologi ini juga bisa dipakai untuk mentransfer gen yang berurusan dengan ciri
seseorang seperti tinggi, stamina, bobot, bahkan kecerdasan. Apakah ini berarti kita akan
berhadapan dengan kisah-kisah memproduksi manusia unggul, seperti yang selama ini hanya
ada dalam film The Boys from Brazil atau The Islands of Dr. Moreau?

Bagaimanapun banyak ilmuwan, pakar hukum, dan filsuf serta ahli-ahli agama belum sepakat
bagaimana mereka akan menginterpretasikan hasil-hasil yang diperoleh dari teknologi ini,
apalagi ketika sifatnya komersial. Padahal data mengalir dari HGP seperti sungai deras. Ribuan
permintaan paten juga mengalir.

Pertanyaannya, apakah informasi genetik yang diperoleh tetap harus tertutup? Siapa yang
berhak mengetahuinya? Informasi genetik bisa sangat berguna bagi keluarga yang memiliki
risiko tinggi terkena penyakit tertentu, tetapi berhak jugakah pihak asuransi atau kantor yang
membayar klaim pasien mendapatkan informasi itu? Sejauh mana informasi tidak dipergunakan
untuk mendiskriminasi klien asuransi atau pekerja kantor bahkan melahirkan stigma lebih jauh?
Sejauh mana hak kerahasiaan pasien tetap harus dipegang?

Contoh menarik adalah penelitian etnografi Stefan Beck terhadap penduduk Cyprus, yang
mencoba melihat bagaimana usaha sosial-budaya memanfaatkan informasi genetik mengubah
tradisi masyarakat. Di negara ini satu dari tujuh orang menderita thalasemia, yaitu kelainan
darah merah yang bersifat bawaan dan berakibat kematian. Perawatan dan pelayanan kesehatan
masyarakat berhasil meningkatkan usia harapan hidup penderita, dari sekitar 3-4 tahun menjadi
30 tahun. Namun biayanya sangat besar. Atas rekomendasi WHO pada 1973, pemerintah Cyprus
memutuskan untuk melakukan penyaringan (screening) dan konseling genetik (genetic
counselling) terhadap penduduk. Putusan ini didukung oleh pihak gereja. Peran gereja penting
karena setiap perkawinan harus mendapatkan restu dan surat dari gereja.

Sekalipun tidak ada larangan langsung untuk pernikahan antara dua orang pembawa gen
thalasemia, namun jumlahnya menurun. Dalam beberapa tahun, jumlah anak yang lahir dengan
thalasemia juga menurun dengan pesat. Bahkan orang Cyprus yang bermukim di luar negeri
juga menerapkan “aturan” ini. Kewajiban penyaringan dan konseling menjadi salah satu
program kesehatan masyarakat yang dinilai paling berhasil. Bagaimanapun usaha perbaikan
keturunan secara sosial dan budaya dengan menggunakan hukum-hukum hereditas ini, lazim
disebut eugenetika, seperti program Keluarga Berencana di Indonesia, dalam pelaksanaannya
menimbulkan pelanggaran hak dan etika; atas nama kesehatan dan kesejahteraan.

Sejauh ini pengetahuan masyarakat umum mengenai teknologi genetika dan dampaknya masih
sangat terbatas. Padahal masyarakat dapat bersikap aktif dalam ikut mengambil keputusan.
Ketika di Eropa ada berita bahwa jagung hasil rekayasa genetika menyebabkan matinya ulat dari
sejenis kupu-kupu gajah, konsumen Eropa menekan pemerintah dan supermarket-supermarket
untuk membatasi distribusi apa yang mereka namakan “makanan Frankenstein” itu. Tekanan itu
melahirkan moratorium Eropa mengenai jenis-jenis makanan hasil rekayasa genetika yang
disepakati bersama dan aman bagi lingkungan.

Mungkin sikap ini yang diperlukan. Dalam arti, mencoba melibatkan masyarakat sebanyak
mungkin sehingga masyarakat ikut menentukan apakah akan mendukung atau menolak
penelitian ilmiah tertentu. Tentu saja ini membutuhkan kerja keras penyebaran informasi yang
benar dan tidak memihak kepada kepentingan apapun, termasuk ekonomi dan politik.

Persoalan dengan sains dan teknologi modern, apapun itu, mungkin seperti yang dinyatakan
oleh ahli fisika George Waysand, “kekuatan ilmu pengetahuan dibangun dengan menghilangkan
kekuatan [dunia] ilmiah.” Jarang putusan untuk menerapkan sains masih berada dalam lingkup
dunia ilmiah. Dominasi industri, negara, dan perusahaan multinasional khususnya dari negara-
negara industri maju, menyebabkan pengetahuan ilmiah tidak lagi dimanfaatkan bagi sesama,
melainkan untuk kepentingan tertentu. Ini sudah terjadi sejak Proyek Manhattan, (pembuatan
bom nuklir pertama dalam Perang Dunia II). Masyarakat, yang paling terkena dampak berbagai
hasil teknologi, merupakan kelompok yang paling sedikit didengar.

Revolusi genetika tidak perlu membuat kita takut sehingga membayangkan bahwa mahluk
monster hasil rekayasa dokter Frankenstein akan muncul, atau dinosaurus Jurassic Park akan
beranak pinak menghancurkan manusia. Yang harus kita lakukan adalah bertanya sejauh mana
Deklarasi Universal Genom Manusia dan Hak-hak Asasi Manusia, yang disepakati berdasarkan
konsensus dalam sidang PBB November 1997, mampu melindungi manusia?

Sains DNA di satu pihak merevolusi cara kita melihat kehidupan dan mengenali makna menjadi
manusia, namun di pihak lain membangkitkan pertanyaan, siapakah yang selalu muncul sebagai
sang pemenang? ‘Keadilan genetik’ adalah upaya untuk perlindungan kehidupan, bukan
melahirkan diskriminasi jenis baru.

KARLINA LEKSONO-SUPELLI: Ilmuwan yang bergiat dalam gerakan kemanusiaan.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Reformasi, Kebebasan yang Menindas


Razif

Dalam politik, ada banyak pengertian tentang "reformasi", yang berangkat dari kenyataan bahwa
kekuasaan tidak selamanya bisa bertahan dengan cara yang sama. Perubahan senantiasa perlu
dilakukan di sana-sini, untuk menyesuaikan sistem dengan situasi yang baru. Tahun 1930-an
ketika resesi melanda dunia, para pemikir ekonomi dan politik sibuk mencari jejak kesalahan di
masa lalu dan merumuskan perubahan apa yang harus dibuat tanpa merombak sistemnya.
Adalah Eduard Bernstein yang dikenal dengan revisinya terhadap pemikiran Marx, mengatakan
bahwa keadilan dan kesejahteraan bagi semua dapat dicapai dengan melakukan reformasi
sistem. Ia menentang pikiran Lenin dan kaum Marxis sezaman bahwa revolusi adalah jalan
keluar dari kesengsaraan. Dalam gerakan buruh, Sidney Webb dan kaum Fabian di Eropa
berbicara tentang hal yang sama, reformasi sistem kapitalisme secara bertahap yang kemudian
dengan sendirinya mencapai sosialisme.

Hal ini sungguh berbeda dari pengertian "reformasi" dalam tradisi Marxis yang terkait dengan
strategi perjuangan menuju sosialisme dan menimbulkan perdebatan yang sudah berlangsung
selama 150 tahun. Di satu sisi ada yang menganggap bahwa pertama-tama kaum sosialis harus
memperjuangkan "reformasi" untuk menegakkan demokrasi borjuis. Situasi inilah yang akan
memberi ruang bagi mereka untuk lebih lanjut memperjuangkan agenda sosialis. Dengan kata
lain perjuangan sosialisme itu akan melalui tahap-tahap sebelum akhirnya menuju kepada
sosialisme. Tapi di pihak lain, para pengkritik pandangan itu, mengikuti pikiran Marx dalam
Class Struggle in France, mengatakan bahwa revolusi sosialis bersifat permanen dan tidak perlu
melalui tahap-tahap seperti itu. Konsep "jalan tengah" terhadap persoalan itu mengatakan
bahwa "reformasi" sesungguhnya adalah kemenangan-kemenangan kecil yang harus direbut
oleh rakyat untuk memperkuat gerakannya. Di sini yang menjadi tekanan adalah perjuangan
kepentingan rakyat pekerja sehari-hari, dan reformasi di segala bidang. Gerakan rakyat perlu
melibatkan diri secara penuh dalam politik demokrasi borjuis, seperti lembaga perwakilan di
semua tingkat. Tujuannya bukanlah memenangkan kursi sebanyak mungkin atau meraih jabatan
presiden, melainkan meningkatkan posisi tawar gerakan rakyat untuk memajukan agendanya
sendiri.

"Reformasi" yang berkembang di Indonesia sekarang punya asal-usul dan isi yang berbeda.
Konsep itu muncul dari gerakan mahasiswa dan kelas menengah yang terutama berniat
mengakhiri kediktatoran Soeharto. Keterlibatan buruh atau rakyat pekerja lainnya sangat minim
dalam merumuskan apa yang dikenal dengan "agenda reformasi". Tidak heran jika agenda itu
pun tidak banyak berbicara tentang perbaikan nasib rakyat, apalagi perjuangan untuk
merombak struktur yang melayani kepentingan mereka.

Lalu dari mana konsep "reformasi" itu muncul, dan apa arti sesungguhnya dalam kehidupan
politik?

Walaupun istilah itu sendiri relatif baru dalam politik Indonesia, akar-akarnya dapat ditelusuri
pada perubahan politik di negeri-negeri Dunia Ketiga selepas kolonialisme. Tahun 1960-an
kediktatoran bermunculan di mana-mana dan berkuasa selama belasan bahkan puluhan tahun
dengan dukungan penuh dari negara-negara industri maju yang mengatakan stabilitas politik
(yang menjadi slogan utama setiap kediktatoran) adalah syarat bagi pertumbuhan ekonomi.
Samuel Huntington misalnya saat itu mengatakan bahwa kediktatoran dan rezim militer perlu
untuk tahap awal pembangunan ekonomi, dan bisa mundur ke barak setelah kapitalisme sudah
berkembang.

Sejak tahun 1980-an krisis mulai melanda berbagai kediktatoran, dan gerakan rakyat tampil
dengan agenda radikal sebagai alternatifnya. Negara-negara industri maju terus menyokong
kediktatoran militer sampai terbukti bahwa situasi tidak dapat dipertahankan dengan cara-cara
lama. Di tengah situasi inilah konsep "reformasi" dan turunannya, seperti civil society, good
governance dan seterusnya mulai digulirkan. Di satu sisi konsep itu mengkritik kediktatoran,
tapi di sisi lain juga mencegah munculnya alternatif radikal dari tingkat akar rumput.

Dalam banyak kasus negara-negara industri maju dengan cepat berubah haluan ikut
merongrong kediktatoran yang selama bertahun-tahun mereka dukung secara finansial dan
politik, mulai membanjiri gerakan oposisi dengan konsep-konsep "reformasi". Dukungan pun
diberikan kepada tokoh-tokoh moderat yang membawa panji-panji reformasi, dan kalau perlu
menciptakan kelompok-kelompok semacam itu. Di Haiti, proses itu tampil paling jelas.
Kediktatoran Duvalier tumbang dan tokoh oposisi Aristide tampil sebagai pemimpin dengan
agenda perubahan yang radikal. Amerika Serikat kemudian justru mendukung militer dari rezim
lama untuk melancarkan kudeta, dan memaksa Aristide melarikan diri ke Amerika Serikat. Di
sana ia mendapat janji dukungan dari pemerintahan Clinton: ia bisa kembali memimpin Haiti
asal mau meninggalkan agenda radikal dan menggantinya dengan program neoliberal yang
digariskan oleh lembaga-lembaga keuangan internasional.

Namun tidak semua negeri mendapat "dukungan" semacam itu. Di Kolombia, rezim militer
sudah berkuasa selama puluhan tahun, sementara oposisi didominasi oleh gerakan kiri yang
bukan hanya memiliki agenda radikal, tapi juga gerilyawan bersenjata untuk mewujudkannya.
Reaksi Amerika Serikat pun jelas, tetap mendukung kediktatoran militer yang korup dan
bergelimang obat bius. Tahun 2000 saja pemerintah Amerika Serikat mengirim US$ 1,5 milyar
untuk memperkuat militer Kolombia, serta membantu operasi-operasi untuk menghancurkan
gerakan rakyat yang militan.

Dari gambaran itu cukup jelas bahwa "reformasi" yang dikibarkan oleh negara-negara industri
maju serta lembaga keuangan internasional sesungguhnya bertujuan untuk mempertahankan
kekuasaan modal. Dengan kata lain, "reformasi" adalah reaksi terhadap ancaman agenda radikal
yang mungkin muncul di bawah kediktatoran, ketimbang keinginan untuk menumpas
kediktatoran itu sendiri.

Itulah kiranya alasan negara industri maju mendukung "reformasi" di Indonesia dan mendepak
Soeharto yang selama 32 tahun menjadi sekutu utama dalam proyek-proyek mengeruk untung di
seluruh Nusantara. Sampai saat-saat terakhir, dan bahkan setelah Soeharto mundur, Amerika
Serikat masih memberikan dukungan kepada militer Indonesia melalui berbagai program.
Pemerintah Inggris pun melanjutkan penjualan senjata, yang antara lain digunakan dalam
penanganan kerusuhan (crowd control). Alasannya cukup jelas. Selama belum ada tokoh
"reformasi" yang bisa memastikan bahwa kepentingan modal internasional tidak diganggu-
gugat, dan berhasil menciptakan stabilitas, maka dukungan terhadap militer tetap merupakan
pilihan terbaik.

Gerakan "reformasi" yang dimulai dari perlawanan pemuda dan mahasiswa, aksi protes petani
dan pemogokan buruh di seluruh negeri kemudian diambilalih oleh elit-elit "reformis". Para
pemikirnya merumuskan bentuk reformasi yang tepat untuk menemani tumbuhnya ekonomi
pasar, dan bahkan melihat yang belakangan sebagai salah satu agenda "reformasi".

Prinsipnya sederhana: mengubah tanpa merombak, membangun tanpa menjebol. Di satu pihak
"reformasi" menjadi kata kunci untuk lepas dari kediktatoran tapi sekaligus membenarkan
serangan terhadap hak-hak rakyat yang paling dasar.

Hal itu nampak jelas di Indonesia sekarang. Misalnya tuntutan mengurangi peran pemerintah
atau negara dalam urusan ekonomi. Akibatnya bukanlah pemerintahan yang bersih dan
berwibawa dan dunia usaha yang tumbuh sehat, melainkan makin bergantungnya ekonomi
nasional pada pembiayaan dan pinjaman dari luar negeri. Perusahaan negara yang
sesungguhnya adalah pencapaian nasional pun kena "reformasi", artinya diserahkan kepada
modal internasional agar lebih "efisien, efektif dan bersih". Di satu sisi boleh jadi benar karena
perusahaan-perusahaan itu terkenal korup, tapi akibat lainnya, perusahaan-perusahaan itu tidak
lagi mengabdi kepada kepentingan publik melainkan berorientasi pada keuntungan semata-
mata. Alih-alih meningkatkan kesejahteraan buruhnya, yang terjadi justru pemecatan massal,
seperti kasus PT Telkom yang berakibat sekitar 13.000 buruh terancam dipecat.

Di bidang politik, dukungan mengalir untuk menghasilkan pemilihan umum yang bersih dan
pemerintahan yang representatif. Bahwa partai-partai yang ada ternyata tidak mencerminkan
aspirasi masyarakat banyak dan hanya memilih yang terbaik di antara yang buruk, dianggap
masalah lain, begitu pula dengan kenyataan bahwa partai-partai akhirnya hanya jadi sarana
untuk mendapatkan konsesi sosial-ekonomi di bawah rezim baru. Dan paling penting, di atas
"kompetisi seolah-olah di antara partai-partai", berdiri sebuah sistem yang tugasnya tiada lain
memuluskan kebijakan neoliberal yang menyengsarakan rakyat. Dalam program-program
"penyehatan politik" yang menjadi salah satu agenda reformasi hampir tidak ada ruang untuk
membicarakan kembali makna perwakilan rakyat. Parlemen, baik di tingkat nasional maupun
daerah, dianggap sebagai bentuk akhir atau pencapaian tertinggi. Tidak pernah terpikir misalnya
menjalankan kembali program "demokrasi desa" yang berkembang tahun 1960-an. Sudah jelas
bahwa "reformasi" di sini hanya memberi kesempatan kepada elit dan kelas menengah untuk
konsolidasi kekuatan diri, dan tetap membiarkan rakyat tenggelam dalam masalah-masalah
yang semakin berat saja.

Bagaimanapun, keliru jika kita menganggap bahwa "reformasi" hanyalah agenda yang dibawa
dari luar, baik oleh negara industri maju atau lembaga keuangan internasional. Tentu saja
banyak masalah di dalam negeri yang membuat rakyatnya sendiri menginginkan perubahan,
seperti kebebasan berserikat dan berpendapat, atau kesempatan untuk turut menentukan
jalannya pembangunan. Perbedaan pandangan tentang perubahan dan caranya membuat
"reformasi" pun ditafsirkan berbeda-beda.

Sebagian "reformis" tetap setia pada model pembangunan awal Orde Baru, yang mereka katakan
memberi ruang demokrasi cukup pada rakyat, terlepas dari pembantaian massal dan penindasan
luar biasa terhadap jutaan rakyat yang terjadi bersamaan. Mereka juga menolak tuntutan
perubahan mendasar yang secara cerdas disebut "reformasi total", dan akhirnya membuka
kedok sendiri sebagai pembela rezim lama yang tengah berganti rupa. Di sisi lain ada perjuangan
"reformasi" yang lebih luas, bukan sekadar mengganti seorang diktator, tapi membasmi akar-
akar yang memungkinkan kediktatoran itu muncul.

Di Korea Selatan, gerakan pro-demokrasi menganggap "reformasi" sebagai candu dari


pemerintah, karena mau menidurkan rakyat agar lupa pada tuntutan semula, menolak agenda
neoliberal. Gerakan buruh, petani dan mahasiswa masih secara lantang menyerukan penolakan
swastanisasi perusahaan negara, dan bahkan mulai berbicara tentang pengambilalihan aset para
konglomerat yang bangkrut dan meninggalkan utang milyaran dolar. Para aktivis secara
konsisten menguliti rezim lama setapak demi setapak, sehingga akhirnya berhasil membawa dua
orang mantan presidennya ke penjara. Pertarungan selanjutnya justru terjadi ketika Kim Dae
Jung, presiden terpilih, mulai melancarkan program reformasi yang menjamin keamanan dan
kesejahteraan modal internasional dengan liberalisasi ekonomi dan "demokratisasi" politik.

Sementara orang sibuk saling tuding "anti-reformasi" perlu juga dibahas kembali apa agenda
reformasi sesungguhnya, agar tidak terjebak menciptakan sistem yang membiarkan orang bebas
bertengkar mengecam sesama, tapi tidak membawa perubahan apa pun bagi kehidupan rakyat
jelata.

Razif, aktif di Jaringan Kerja Budaya

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

S. Sudjojono,
Seni Lukis, Kesenian dan Seniman,
Yayasan Aksara Indonesia,
Yogyakarta, Juli 2000, xxiv + 105

Menjadi Seniman a la Sudjojono

Pitono Adhi

Kalau ada orang bertanya tentang apa itu kesenian—khususnya seni lukis—dan siapa yang patut
disebut sebagai seniman, buku tipis ini bisa mulai dibaca. Ditulis oleh S. Sudjojono (1913 –
1986), pelukis yang dikenal sebagai “Bapak Seni Rupa Modern Indonesia” sebutan yang
disandangnya sejak tahun 1949. Kumpulan tulisan yang dirangkai dalam buku ini, adalah
terbitan ulang atas terbitan sejenis yang dipublikasikan oleh Penerbit Indonesia Sekarang pada
tahun 1946. Dalam tiga belas kumpulan tulisannya ini, Sudjojono mengangkat dan
mendiskusikan pertanyaan tadi dalam konteks sistem “kapitalisme barat” yang dicangkokkan ke
Indonesia lewat kekuasaan kolonial. “Dari mulai abad ke-16 (Masehi)… kapitalisme barat
menjelma menjadi angkara murka, yang haus lapar mencari minum dan makan di benua-benua
lain. Asia satu persatu ditelan habis, kecuali Dai Nippon.” (hal. 62). Pada bagian-bagian lain
tulisan Sudjojono secara sangat minim, sayangnya, menunjukkan perangkap yang diciptakan
“kapitalisme barat” terhadap perkembangan seni lukis di tanah Hindia Belanda bahkan hingga
memasuki fase Indonesia merdeka. Perangkap tersebut ia ungkapkan dalam istilah-istilah
seperti: “kepentingan turisme” [kolonial], “gelombang cinta duit”, atau “hawa nafsu mencari
uang”.

Tentang “kepentingan turisme”, Sudjojono langsung menunjuk lukisan-lukisan yang baginya


hanya mengandung satu arti yakni Mooi-Indie. Dengan trimurti andalannya: gunung, pohon
kelapa dan sawah (hal. 1 & 2). Ungkapan “gelombang cinta duit” dituliskannya dalam “Pameran
Gambar 8 Desember”. Tulisan ini merupakan komentar Sudjojono atas pameran lukisan yang
menampilkan karya pelukis muda hingga pelukis-pelukis yang telah terkenal pada saat tulisan
tersebut dibuat. Ungkapan tersebut disampaikan sebagai bahan imbauan pada pelukis Kartono
Yudokusumo yang dikenalnya dengan sangat dekat. Menilik kemampuan pelukis belia yang
menurutnya jenius ini, Sudjojono mengingatkan akan bahayanya gelombang cinta duit sebagai
“gelombang …besar-kecil datang dari sudut-sudut yang tak kamu sangka-sangka. Dan di dalam
kegelapan malam, hidup orang bisa lengah, lupa pada cita-cita yang tinggi, tanpa kasihan
gelombang datang dari belakang, disapunya kamu, ikut. Lupa dalam arus dunia yang kuat…
kosong, bakat pun terasa hilang, tanpa inspirasi. Allah, inilah bagi seorang seniman bahaya yang
paling besar.” (hal. 87). Ungkapan ini bisa pula dibaca sebagai imbauan Sudjojono kepada
pelukis-pelukis muda lainnya pada saat itu. Sedangkan ungkapan “hawa nafsu mencari uang”
diangkatnya sebagai salah satu kritiknya, yang diakuinya sendiri sebagai kritik keras, terhadap
karya-karya lukisan Basoeki Abdullah, yang dinilainya “kosong, tak berjiwa, habis dimakan oleh
hawa nafsu itu.” (hal 26).

Bagi Sudjojono kekuatan yang harus dimiliki agar mampu menghindari perangkap tersebut
adalah watak individu-individu seniman. Simak misalnya buah pikirannya dalam tulisan
“Seorang Seniman dengan Sendirinya Harus Seorang Nasionalis”. Setelah mengatakan bahwa
penguasaan teknik melukis saja tidaklah memadai bagi seorang calon pelukis, ia menyatakan, “Si
wataklah yang membuat seniman menjadi Goethe. Si wataklah yang membuat seniman menjadi
Cezanne. Si wataklah yang membuat seniman menjadi Rodin, Beethoven, Heine, Berlage, Zola
dan Multatuli. Wataklah yang harus menjadi dasar calon seniman, yang hendak menjadi
seniman tadi.” Watak tersebut bagi Sudjojono melekat pada sikap “berani cinta pada kebenaran,
meski diakuinya, ini berat sekali bagi seorang seniman, sebab cinta tadi menimbulkan banyak
konflik antara dia dengan tetangganya…dengan masyarakatnya dan…dengan dunia pada
umumnya, sebab dunia biasanya takut pada kebenaran.” (hal. 29). Keyakinan Sudjojono akan
pentingnya watak bagi seseorang yang ingin menekuni kerja kesenian, tersebar di seluruh
tulisannya yang dirangkai dalam buku ini. Misalnya ketika ia bermetafora menggambarkan
kekuatan watak ini sebagai “burung garuda yang besar bersayap kuat bisa membawa kamu ke
langit yang biru melayang-layang melihat dan menghisap kebagusan dunia, bulan, bintang-
bintang dan matahari, alam ciptaan Tuhan, yang mungkin, terpaksa berkorban, terbakar kelak
karena panas matahari, sakit dada karena tidak bisa bernapas atau lapar karena tidak bisa
makan, tetapi kematianmu tak sia-sia.” (hal. 7)

Keyakinan itu juga tampak dalam keputusannya untuk menulis tentang beberapa seniman lukis
mulai dari Herbert Hutagalung, salah satu aktivis organisasi yang sempat didirikan Sudjojono,
Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI), pelukis Raden Saleh, Basoeki Abdullah hingga
Vincent van Gogh. Pilihan-pilihan sosok pelukis ini diangkatnya untuk memberi gambaran atas
watak yang kuat, yang perlu dimiliki oleh seorang seniman tapi juga sebaliknya. Sudjojono
memang berkali-kali menegaskan pengertiannya akan konsep watak seniman yang diajukannya
dalam kumpulan tulisan ini. Yakni sebuah sikap yang berorientasi pada cinta kebenaran.
Kebenaran bagi Sudjojono tak lain adalah konteks penindasan manusia atas manusia. Dan
kebenaran ini menurut Sudjojono harus dinyatakan dengan bersemangat dan berani. Dalam
menyatakan kebenaran ini seorang seniman harus dituntun oleh benang rasa halus, dalam
istilah Sudjojono. “Oleh sebab itu dia [seniman] harus menjaga jangan sampai benang rasa tadi
berkarat karena egoismenya, … karena mata uangnya yang bisa dipakai membeli makanan
bagus, rumah bagus, radio bagus dan bini bagus… Dan kalau rasanya tadi tetap halus… maka dia
akan tak senang kalau ada barang yang tak berharmoni: dia tak senang kalau ada barang tak
bagus…dia akan memprotes barang yang salah… barang dalam keadaan yang tak adil…dan dia
akan dengan rela hati menjeritkan rasa pedih manusia bangsa dan tanah tumpah darahnya
dengan alat seninya, sebab rasa pedih tadi tak bagus…tak berharmoni…tak benar dan berarti
bertentangan dengan tabiat cinta pada kebenaran.” (hal.31-32) Cita-cita kebenaran dalam
pengertian inilah yang oleh Sudjojono ditawarkan sebagai “pedoman bagi seni lukis baru”.(hal.
53) Hal itu pulalah yang kiranya dapat dijadikan landasan untuk memahami pernyataan
Sudjojono akan posisi Raden Saleh dalam sejarah perkembangan seni lukis Indonesia.
Menurutnya, “Raden Saleh pada waktu itu, sebagai anak abad ke-19, tak bisa “mengejakan”
kemauan zaman buat Indonesia.” (hal. 81)

Pandangan Sudjojono tentang kebenaran membentuk sikap Sudjojono dalam melihat kesenian
khususnya seni lukis. Pandangan ini dikemukakannya dalam tulisannya berjudul “Kebenaran
Nomor Satu, Baru Kebagusan.” (hal. 50 – 53) Di bagian ini secara eksplisit Sudjojono berbicara
tentang “Seni Lukis Baru”. Baginya, “Seni Lukis baru tidak mempropagandakan kebagusan, akan
tetapi mempropagandakan kebenaran pada tiap-tiap orang… Kebagusan dan kebenaran adalah
satu. Kebenaran bagaimanapun juga tentu bagus, asal saja keluarnya kebenaran tadi tak
berdusta pada hatinya sendiri…Jadi kebenaran tanpa bermaksud mencari ‘bagus’ saja, tetapi
mencari kebenaran sebagai kebenaran, tentu tetap bagus. Kebagusan tanpa kebenaran
sebaliknya, jelek membosankan, jadi bahan tertawaan.” Prinsip inilah kiranya yang hendak
dijelaskan Sudjojono lewat judul tulisannya itu. Dan prinsip itu pulalah yang membawa
Sudjojono kepada pemahaman tentang kesenian sebagai sesuatu yang dikerjakan dan ada, “buat
perbaikan manusia dalam masyarakat”.

Demikianlah, satu hal pokok bisa ditarik dari keseluruhan isi buku ini. Ialah penekanan
Sudjojono pada unsur moralitas (dalam hal ini watak) seorang seniman. Tapi penekanan
tersebut perlu dikritisi karena sebenarnya mengaburkan kembali pokok persoalan dalam
perkembangan kesenian (termasuk seni lukis) di Indonesia. Pokok persoalan dari mana
Sudjojono sendiri berangkat untuk mengelaborasi kaitan-kaitan antara seni lukis, kesenian,
masyarakat dan seniman. Yakni kekuatan pasar (dalam istilah Sudjojono, kapitalisme Barat)
yang dinyatakannya sebagai gelombang besar-kecil yang akan menyapu seluruh kemampuan
kreatifitas, menempatkan seniman sebagai pedagang, melayani kemauan publik (pasar).

Dalam kerangka moralitas, kekuatan pasar direduksi menjadi semata hal-hal yang berhubungan
dengan motif-motif buruk, khususnya yang berkaitan dengan aktifitas ekonomi atau hubungan
jual-beli dalam dunia kesenian: rakus, berorientasi pada uang. Dalam kerangka moralitas pula,
motif-motif buruk itu perlu dihadapi dengan kekuatan watak individu seniman. Masalahnya,
dengan begitu ada hal yang terabaikan dan tak terjawab: bentuk hubungan sosial-produksi
masyarakat seperti apa yang bisa menyuburkan moralitas berkesenian seperti yang ditawarkan
oleh Sudjojono itu? Atau cukupkah hanya dengan mengandalkan kekuatan individu seniman
untuk memelihara, dalam istilah Sudjojono, benang rasa halus dan cinta kebenaran?

Sudjojono memang tak bicara bagaimana “menghancurkan” kekuatan pasar, lewat kerja
kesenian. Sebaliknya, yang hendak dibicarakannya adalah bagaimana seorang seniman
“menghindari” perangkap yang diciptakan oleh kekuatan pasar, sebagai ukuran signifikan agar
ia sah disebut sebagai seniman.

PITONO ADHI, pekerja di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP), Jakarta.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

SITI LARANG (21 Mei 1901 - 11 September 1998)


Sang Perempuan Pemula yang Terlupakan
F. Hardoyo

Dalam sejarah Indonesia dekade 1920an boleh dikatakan masa pergerakan rakyat yang paling
semarak. Dibukanya Hindia Belanda untuk modal asing, yang diikuti dengan perluasan
kesempatan bersekolah bagi kaum bumiputera, tanpa diduga memberi jalan pula bagi masuknya
ide-ide pembebasan dari negeri-negeri lain. Golongan terdidik baru yang sebenarnya diharapkan
turut serta melanggengkan mesin birokrasi kolonial ternyata berbalik mempertanyakan
keberadaan mesin itu sendiri.

Nama “Indonesia” belum menjadi harga mati. Namun, kesadaran akan perlunya membentuk
kesatuan-kesatuan terorganisir untuk membela kepentingan kaum terjajah mulai terbangun
melampaui batas-batas sosial yang sengaja diciptakan pemerintah kolonial Belanda. Aktivis
pergerakan pun dituntut untuk membuktikan kesanggupannya menjawab masalah-masalah
yang menyangkut kemaslahatan rakyat banyak melalui keterlibatannya dalam berbagai
organisasi. Gagasan yang berhenti di tingkat retorik, sehebat apa pun dia, akan terlibas oleh
derap maju organisasi kerakyatan, apakah itu serikat buruh, perkumpulan tolong-menolong,
atau pun serikat pedagang kecil.

Salah satu tokoh gerakan 1920an yang ikut melahirkan “Indonesia” tapi jarang dibicarakan buku
sejarah, terutama pada masa Orde Baru adalah Ibu Siti Larang. Ketika ia meninggal pada 11
September 1998 tak satu obituari pun dituliskan di media massa utama. Padahal, ibu tua yang
penuh semangat ini bukan saja saksi hidup begitu banyak peristiwa yang membarengi bangun-
jatuhnya pergerakan rakyat negeri ini, tetapi juga sahabat tokoh-tokoh ternama dalam sejarah
sejak ia berusia belasan tahun.

PUTRI PRIYAYI YANG TERBEBASKAN

Siti Larang, salah satu putri Raden Mas Djojopanatas, lahir dan besar di lingkungan kraton
Mangkunegaran, Solo. Walaupun hidup di kalangan priyayi tinggi, Siti Larang beruntung tidak
dibelit aturan-aturan ketat feodal Jawa terhadap perempuan. Ayahnya dikenal cukup terbuka
terhadap ide-ide pembebasan di masa itu terutama karena kedekatannya dengan tokoh radikal
dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Ia aktif dalam paling tidak dua organisasi sosial, yaitu Toenggal
Boedi, organisasi priyayi Jawa yang berafiliasi dengan Boedi Oetomo, dan Rekso Rumekso,
perkumpulan saling tolong menolong para pengusaha batik Solo, yang kemudian menjadi
Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1912. Lebih dari itu, bersama dengan dr. Tjipto, Pak Djojo
terlibat dalam gerakan Djawa Dipa yang menganjurkan sesama orang Jawa menggunakan
bahasa yang lebih egaliter, Jawa Ngoko.

Sejak kecil Siti Larang sudah menyaksikan tumbuhnya tradisi perlawanan di Jawa. Kediaman
keluarga Djojopanatas menjadi tempat temu bincang para tokoh pergerakan pada masa itu,
seperti kakak beradik Soeryopranoto, si Jago Mogok, dan Soewardi Soeryaningrat, yang
kemudian lebih dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara, aktivis buruh Ir. Semaoen, maupun tokoh
sosialisme religius HOS Tjokroaminoto. Konon, Siti Larang suka menguping perdebatan di
kalangan aktivis ini dalam “mencari kebenaran”.

Pak Djojo sendiri mendorong putrinya untuk berani menggugat kemapanan tradisi Jawa.
Misalnya saja pada usia belasan tahun ia meminta Siti Larang melepas kain dan
menggantikannya dengan rok, seperti yang biasa dipakai perempuan Belanda. Kemudian, gadis
remaja ini dibiarkan berkeliling naik sepeda di sekitar kraton Mangkunegaran. Tindakan ini tak
pelak menimbulkan kegemparan di lingkungan kraton karena tradisi priyayi Jawa menuntut
perempuan yang berusia akil baliq berdiam di keputren sampai saatnya ia menikah dengan calon
suami pilihan orang tua. Selain itu, karena ia tidak ingin putrinya menjadi pegawai pemerintah
kolonial, Pak Djojo tidak menyekolahkan Siti Larang ke sekolah pamong praja (gubernemen),
tetapi memanggil guru Belanda ke rumah.

Tokoh lain yang cukup berkesan bagi Siti Larang adalah sahabat ayahnya, dr. Tjipto
Mangoenkoesoemo. Salah satu insiden yang ia ingat betul adalah ketika dokter eksentrik ini
mendapat medali Oranje Nassau dari Ratu Wilhelmina untuk jasanya memberantas penyakit
pes. Medali yang lazimnya dikenakan di dada dengan penuh kebanggaan itu oleh sang dokter
justru dipasang di pantatnya. Bagi Siti Larang apa yang dilakukan dr. Tjipto, khususnya melalui
gerakan Djawa Dipa, adalah revolusi kebudayaan. Ia ingat ucapan si dokter tentang bahasa Jawa,
“selama orang Jawa belum menggunakan bahasa Jawa yang sederajat [masih menggunakan
bahasa bertingkat sesuai dengan status sosialnya: ngoko-madya-kromo], jangan harap orang
Jawa bisa menjadi insan demokratik”.

Sebelum usianya mencapai 20 tahun Siti Larang sudah berkenalan dengan berbagai bentuk
perjuangan sederhana namun mengandung tuntutan mendasar yang dilakukan kaum terdidik
pada masa itu, yaitu menentang budaya feodal, menciptakan masyarakat Jawa yang menjunjung
tinggi semangat gotong royong dan kesetaraan, dan membangun jaringan pergerakan anti-
kolonialisme lintas suku, agama, ras dan golongan. Ia kemudian bergabung dengan Sarekat
Islam (SI) cabang Solo yang dipimpin Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Di organisasi inilah ia
bertemu dan jatuh cinta dengan Raden Pandji Sosrokardono, putra patih Sidoarjo yang
mendampingi HOS Tjokroaminoto ketika mengunjungi kantor SI di Solo. Pada 1919 Siti Larang
menikah dengan Sosrokardono dan pindah ke Surabaya.

TEGAR DI ZAMAN BERGERAK

Seusai pernikahannya, Siti Larang dan Sosrokardono segera menempati bekas rumah
Tjokroaminoto yang hanya berjarak 200 meter dari kediaman barunya di kota Surabaya. Siti
Larang sendiri langsung bekerja di sekretariat Pengurus Besar SI. Saat itu SI merupakan
organisasi massa terbesar di Hindia Belanda dengan anggota lebih dari dua juta orang.

Belum lagi dua bulan berbulan madu, Sosrokardono ditangkap polisi Belanda dengan tuduhan
menggerakkan perlawanan rakyat di Cimareme, Garut di bawah pimpinan Haji Hasan. Gerakan
ini berusaha mempertahankan lumbung padi rakyat ketika berhadapan dengan pengusaha
perkebunan Belanda. Tak sedikit korban yang tewas menjadi syuhada SI. Pak Sosro divonis 4
tahun penjara dan harus menjalaninya di penjara Glodok Batavia.

Dalam berbagai buku sejarah perlawanan terhadap penyerobotan tanah ini disebut sebagai
kasus Sarekat Islam Afdeeling B. Namun tidak pernah dijelaskan apakah ada yang dinamakan
Afdeeling A. Rupanya pemerintah kolonial telah menciptakan klasifikasi tersendiri bagi
kelompok-kelompok dalam SI yang dianggap terlibat dalam gerakan petani ini dan yang tidak.
Mereka yang terlibat dalam pengorganisiran petani diberi nama “lapis subversif SI”. Jelas ini
merupakan bagian dari taktik pecah belah terhadap SI yang kian hari kian mengancam
kestabilan kekuasaan Belanda di Jawa. Taktik ini berhasil. SI kemudian pecah menjadi apa yang
disebut SI Merah dan SI Putih. Yang menarik Siti Larang punya pandangan sendiri tentang soal
klasifikasi “B” ini. Selalu dengan enteng ia menjawab, “Lho, waktu itu resiko pejuang pergerakan
kan menghadapi “Tiga B”, yakni “Bui, Buang, Bunuh”.

Penangkapan dan pemenjaraan sang suami, tekanan luar biasa terhadap para aktivis pergerakan
dan perpecahan dalam SI tidak membuat semangat bekerja Siti Larang surut. Bersama
Tjokroaminoto, ia berkunjung ke keluarga-keluarga tapol di Cimareme untuk menguatkan hati
mereka dan juga menyerahkan sejumlah santunan dari Pengurus Besar SI. Dalam kunjungan ini
Siti Larang belajar lebih banyak lagi tentang prinsip-prinsip perjuangan, kali ini langsung dari
rakyat kecil. Seorang ibu setengah tua yang berbicara mewakili keluarga tapol terharu dan
menangis, namun dengan tegar ia menolak bantuan dana. Alasannya sederhana, pengorbanan
itu resiko perjuangan suci. Dana itu lebih penting dan berguna bagi pengurus besar Sarekat
Islam untuk melanjutkan perjuangan jangka jauh.

Selain mengurus korban represi pemerintah kolonial, Siti Larang juga ditugaskan bekerja di
harian Oetoesan Hindia, organ resmi SI. Pada waktu itu yang disebut wartawan diharapkan
mampu bekerja di segala bidang, mulai dari sebagai reporter, dewan redaksi, petugas
administrasi dan keuangan, koreksi akhir di percetakan sampai pengawas kelancaran distribusi.
“Kerja semua itu mudah, yang paling sulit kucing-kucingan menghadapi polisi rahasia Belanda
(PID),” kenang bu Siti Larang membanggakan profesi wartawan tahun 1920-an.

Keterlibatan Siti Larang dalam gerakan semakin jauh ketika ia bergaul cukup dekat dengan tiga
aktivis pemuda yang kost di rumah Tjokroaminoto. Dari Musso, Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo dan Soekarno lah ia beroleh pengetahuan lebih tentang cara-cara berjuang dan
memimpin massa. Ketiga aktivis yang tinggal serumah dan bersahabat akrab ini kelak berpisah
jalan, masing-masing goreskan namanya dalam sejarah bangsa ini. Musso menjadi tokoh PKI
yang sempat berhadapan dengan pemerintahan Soekarno-Hatta dan mati terbunuh dalam
Peristiwa Madiun 1948. S.M. Kartosuwirjo awalnya memimpin PSII Hijrah yang tanpa
kompromi menghadapi gubernemen Belanda, lalu pada masa kemerdekaan memimpin gerakan
Darul Islam/Tentera Islam Indonesia di Jawa Barat melawan pemerintahan Soekarno selama 13
tahun.

Ketika gerakan buruh berkembang pesat, Siti Larang juga ikut memimpin sejumlah serikat
buruh, a.l. SB Kendaraan Bermotor dan SB Hotel dan Restoran. Khusus untuk kegiatan
pendidikan politik buruh ia menulis pamflet-pamflet dengan bahasa yang mudah dicerna kaum
buruh. Jika Tjokroaminoto dalam Islam dan Sosialisme menyatakan, “zondig [berdosa]
kapitalisme dan hukum ribha”, maka Siti Larang secara sederhana menulis, “kapitalisme itu
setan”.

Pada 1924 Sosrokardono dibebaskan dari penjara Glodok. Represi berkelanjutan terhadap SI
dan perpecahan di dalam organisasi tampaknya sangat merisaukan Sosrokardono. Ia
memutuskan untuk keluar dari SI dan bergabung dengan organisasi yang lebih moderat,
Persatuan Bangsa Indonesia (PBI), di bawah pimpinan dr. Soetomo di Surabaya. Siti Larang
ternyata mengikuti jejak suaminya sampai Sosrokardono wafat pada 1934.

PERSAHABATAN YANG TAK LEKANG OLEH PERBEDAAN PENDAPAT

Satu petang di 1935 Pamoedji salah seorang kader PBI mendatangi Siti Larang dan mengajaknya
ke sebuah hotel karena ada tamu yang ingin menemuinya. Betapa terkejutnya Siti Larang ketika
melihat bahwa sang tamu adalah Musso. Tokoh PKI yang hijrah ke luar negeri sebelum
pemberontakan PKI 1926 dan menetap di Rusia, menyamar masuk ke Indonesia. Pada
kesempatan itu Musso minta tolong Siti Larang mencarikan rumah kontrakan untuk beberapa
bulan. Ia berniat menemui banyak temannya untuk membangun front demokrasi anti fasisme,
karena suatu ketika Jepang bisa saja menjajah Indonesia. Menurut Musso Belanda yang pada
saat itu masih merupakan musuh pergerakan bisa menjadi sekutu melawan Jepang. Karena
menurutnya pendapat Musso masuk akal, Siti Larang secara ikhlas bersedia membantu dan
merahasiakan kesepakatan itu.

Sialnya, begitu Musso kembali ke Rusia pada 1936, Siti Larang ditangkap dan dipenjarakan
untuk beberapa waktu karena hubungannya dengan Musso. Setelah bebas ia masih dikenai
tahanan kota. Ini berarti bahwa Belanda mengetahui keberadaan Musso di Indonesia. Yang jadi
pertanyaan kemudian mengapa pemerintah tidak langsung menangkap Musso? Apakah
pemerintah sengaja membiarkannya berkeliaran karena mengetahui misinya tak merugikan
kepentingan Belanda?

Yang jelas identitas Siti Larang bertambah; ia minimal dianggap simpatisan PKI. Dan, begitu
Pemerintah Balatentara Dai Nippon menduduki Indonesia pada 1942 dan menemukan file-file
polisi rahasia Belanda (PID) yang tertinggal, dengan mudah polisi rahasia Jepang, Kempeitai,
mencomoti para aktivis pergerakan yang dianggap tak mungkin diajak bekerja sama, termasuk
Siti Larang. Di penjara Lowokwaru, Malang dalam satu blok kamar sel yang berjajar terdapat Siti
Larang, Pamudji, Abdul Azis, Sukayat, Inu Kertapati, Djawoto, dan beberapa tokoh pengikut Tan
Malaka. Siti Larang menjadi saksi ketika Pamudji memilih gantung diri ketimbang disiksa dan
terpaksa membuka rahasia partainya, PKI.

TANTANGAN DI JAMAN REPUBLIK

Pengalaman Siti Larang setelah proklamasi kemerdekaan tak jauh berbeda dengan di masa-masa
sebelumnya. Walaupun usianya masih 34 tahun ketika negeri ini nyatakan diri merdeka,
statusnya sebagai aktivis 1920an membuatnya harus terlibat dalam berbagai urusan, bahkan
urusan pribadi sang presiden baru. Soekarno yang selalu menganggapnya sebagai kakaknya
memanggil Siti Larang untuk mendampingi istrinya yang masih belia, Fatmawati, sebagai ibu
negara. Pada saat ini lah ia menjadi saksi kecamuk dua bulan setelah 17 Agustus 1945. Ada yang
heroik patriotik, menimbulkan rasa haru, tapi ada pula yang membuatnya tercenung ketika
korupsi pun bermula, seperti raibnya emas batangan peninggalan rejim Jepang melalui
penanganan salah seorang menteri.

Toh, kesediaannya membantu gerakan perlawanan tak berkurang. Ia ikut mengatur pengiriman
senjata dengan kereta api dari Surabaya untuk memperkuat front Jakarta. Kemudian ia
bergabung dengan Barisan Buruh Indonesia (BBI) yang berpusat di Stasiun Manggarai, Jakarta
di bawah pimpinan Samsoe Harja Hudaja. Tetapi ketika BBI kemudian berubah menjadi Partai
Buruh Indonesia di bawah pimpinan S.K. Trimurti, ia mengundurkan diri.

Setelah mundur dari hiruk pikuk Jakarta, Siti Larang kembali ke Mojokerto. Di kota kecil ini ia
sempat menjadi anggota DPRD dan membuka asrama putri untuk para pegawai wanita. Ketika
peristiwa Madiun terjadi pada 1948, ia sedang berada di Ponorogo. Operasi pemberantasan
laskar di Madiun menyebabkan dua tokoh utama gerakan rakyat, Musso dan Amir Sjarifuddin,
tewas ditembak pasukan pemerintah Soekarno-Hatta. Pemerintah kemudian meminta Siti
Larang melakukan tugas yang cukup berat: memberikan kesaksian atas kebenaran jenazah
Musso. Kesaksiannya diterima secara resmi.

Menjelang 1960 Siti Larang pindah kembali ke Jakarta. Hubungan kekeluargaannya dengan
Bung Karno tetap terjaga meskipun semakin sulit karena orang-orang di sekitar sang presiden
cenderung over-protective. Siti Larang tetap memiliki kebiasaan mengirim surat pribadi kepada
Bung Karno yang berisi saran-saran dan kadang-kadang juga koreksi dan peringatan. Suratnya
selalu dibuka dengan kata kata, “Adikku Ir. Sukarno, Presiden RI yang kami muliakan” dan
diakhiri dengan kata pendek, “mBakyumu Prihatin”.

Pada Mei 1963 atas prakarsa utusan Aceh yang didukung fraksi ABRI di MPRS, Bung Karno
diusulkan menjadi Presiden Seumur Hidup. Siti Larang lagi-lagi mengirim surat peringatan pada
Soekarno. Ia menyarankan Bung Karno untuk menolak pengangkatan itu karena bertentangan
dengan UUD 1945. “Itu jebakan politik,” tulis Siti Larang. Ternyata ia tidak terlalu salah.
Menurut pengakuan ketua umum SOKSI Mayjen. (Purn.) Soehardiman di kemudian hari
tindakan ini memang bertujuan untuk , “menghalangi tokoh PKI jadi presiden jika sampai
menang Pemilu nanti”. Dua tahun kemudian Soekarno justru dijatuhkan oleh pihak-pihak yang
menobatkannya jadi seolah-olah penguasa tunggal republik ini.

Ketika peristiwa 1965 terjadi Siti Larang tak terbebaskan dari prahara. Putra satu-satunya,
Mayor Rudhito, ditahan dan wafat sebagai tapol. Semasa Orde Baru nama Siti Larang hampir
tidak terdengar lagi. Namun itu tidak berarti ia tinggal diam menerima apa pun yang terjadi
pada bangsanya. Ia pernah mendatangi Laksamana Sudomo, saat itu Panglima Kopkamtib,
untuk mengadukan perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para tapol Peristiwa 1965.
Menurutnya perlakuan penguasa Orde Baru terhadap lawan-lawannya jauh lebih buruk
dibandingkan perlakuan penguasa Belanda dan Jepang. Sampai 1990 ibu tua ini masih rajin
mengikuti perkembangan politik melalui media massa cetak dan elektronik. Jika ia menjumpai
hal-hal yang menggugah rasa keadilannya, ia langsung menulis gugatan atau peringatan kepada
pejabat yang bertanggungjawab. Nama Ibu Siti Larang cukup dikenal oleh beberapa menteri
karena surat suratnya.

Siti Larang pernah menerima penghargaan Pena Emas atas jasanya di bidang pers, dan sampai
wafatnya tetap menerima tunjangan Perintis Kemerdekaan. Pada acara peringatan HUT RI 1997
Siti Larang memperoleh undangan santap petang bagi para perintis kemerdekaan dengan
Suharto di Istana Negara. Ia kebetulan berhalangan hadir, tetapi ia mengirimkan surat kepada
Presiden yang meminta agar ada penyelesaian yang bijaksana untuk masalah 1965. “Bangsa
Indonesia perlu dibebaskan dari tawanan sejarah masa lalu,”demikian ia sampaikan.

Sampai akhir hayatnya Siti Larang menolak memasuki organisasi perempuan. Ketika ditanyakan
alasannya, jawabnya sederhana saja, “wah, kalau sama-sama perempuan berorganisasi
biasanya... umyek melulu dan ndara-ndara den ayu itu suka bersaing pamer peran dirinya,
akhirnya lalu nggak saling bicara”. Menurutnya perjuangan emansipasi perempuan akan
berlangsung lebih cepat apabila kaum perempuan dan lelaki bersatu dalam sebuah organisasi
perjuangan bersama yang sejati.

Kepada semua pejuang kebebasan dan kemanusiaan, Siti Larang selalu mengingatkan bahwa
pengorbanan yang paling berat dalam suatu perjuangan adalah “korban perasaan”. Hanya
mereka yang sanggup atasi rasa kecewa dan kesedihan lah yang akan mengalami kemajuan.
Sedangkan mereka yang kecewa lalu sekedar bisa memaki-maki atau menyindir menunjukkan
keterbelakangan budayanya. Melalui bait lagu Dandanggula dari Serat Wedatama, ia juga sering
mengatakan bahwa perjuangan ada ilmunya sendiri. Tapi perjuangan yang benar ditentukan
oleh laku atau penerapannya yang benar.

F. HARDOYO, mantan anggota DPR-GR.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

“Pulau Dewata” Surga bagi Investor


Agung Putri

Tidak banyak orang sadar bahwa untuk waktu yang lama Bali sesungguhnya menjadi barometer
masyarakat internasional dalam melihat derajat keamanan dan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Paling tidak sampai empat tahun yang lalu pulau tersebut merupakan salah satu
tempat pesiar utama baik bagi kaum beruang dari manca negara, maupun bagi kaum buruh dari
negara-negara industri, terutama Australia dan Jepang. Orang boleh ribut mengenai
pembunuhan, penculikan aktivis dan perampasan tanah di wilayah lain, tapi turis tetap bisa
menikmati Bali sebagai tujuan wisata. Tapi sebaliknya kalau Bali saja sudah dilanda masalah,
maka daerah-daerah lain di Indonesia seperti tidak punya harapan lagi.

Memang, keguncangan politik yang mengikuti jatuhnya diktator Soeharto berpengaruh cukup
besar terhadap kestabilan perekonomian Bali. Setelah kerusuhan Mei 1998 di Jakarta yang
menelan korban seribu jiwa lebih, jumlah turis asing yang berkunjung ke Bali menurun drastis.
Begitu pula ketika gelombang kekerasan melanda berbagai wilayah di Nusantara, wisatawan pun
menimbang kembali jaminan keamanan pulau kecil tersebut. Lembaga peneliti stratfor.com
misalnya saja pada Januari 2000 melaporkan,
“Bali, salah satu tempat kunjungan turis utama, sudah lama menarik perhatian turis asing,
karena stabilitasnya di tengah gerakan separatis di berbagai tempat. Kerusuhan yang potensial
meluas ke berbagai daerah di Indonesia mengancam tidak saja industri turisme tetapi juga
menambah kesan ketidakpastian dan keresahan di Indonesia, menakutkan investor asing…”

Mungkin pukulan yang paling telak justru terjadi sesudah operasi bumi hangus di Timor Lorosae
pada September 1999. Ketegangan antara pemerintah Indonesia dan Australia di satu sisi dan
solidaritas buruh Australia untuk rakyat Timor di lain sisi telah menyebabkan turunnya tingkat
hunian hotel di Bali sampai tidak lebih dari 30% pada musim liburan. Walaupun demikian, Bali
tetap bertahan, atau lebih tepatnya, dipertahankan dengan segala cara sebagai daerah teraman
dan ternyaman di kepulauan Indonesia ini. Tak kurang dari kelas menengah suku Tionghoa yang
masih dihantui Tragedi Mei 1998 sampai staf internasional PBB di Timor Lorosae secara rutin
“melarikan diri” dari ketegangan sehari-hari ke Bali.

Kebutuhan untuk menjaga Bali dari gejolak politik bukannya tanpa alasan kuat. Di awal abad 21
ini Bali tidak hanya menopang 3 juta penghuninya, tetapi juga sekitar 200 juta orang Indonesia
lainnya. Untuk 1997 saja 5,1 juta turis telah datang dan memberi keuntungan sebesar US$ 6,7
juta. Tahun lalu perolehan dari turisme dan usaha perjalanan diperkirakan berjumlah 14% dari
seluruh pendapatan ekspor Indonesia. Nilai ini menjadikan turisme sebagai sektor non-migas
terpenting ketiga setelah kayu dan tekstil. Sektor ini pula yang telah membuka lapangan kerja
paling tidak bagi 6,6 juta orang atau sekitar 8% angkatan kerja di negeri ini.

Posisi ‘penting’ Bali sebagai tolok ukur stabilitas dan juga pertumbuhan ekonomi negeri ini
sesungguhnya telah dibentuk sejak zaman kolonial. Bali merupakan daerah terakhir yang
berhasil ditaklukkan Belanda untuk memantapkan kekuasaannya di kepulauan Nusantara pada
awal abad ke 20. Proses penaklukan yang berdarah ini ternyata menimbulkan protes keras dari
kalangan borjuis liberal Eropa sehingga penguasa kolonial perlu menampilkan wajah yang lebih
manusiawi. Maka, para penguasa, industrialis-pedagang dan intelektual pun bersekutu
menciptakan ‘Pulau Dewata’ — istilah yang pertama kali dipopulerkan oleh brosur maskapai
dagang kerajaan Belanda, KPM (Koninklijke Paketwaart Maatschappij) pada 1914. Gambaran
Bali yang romantis, harmonis dan ‘asli’ jadi dagangan utama, menyingkirkan seluruh masalah
sosial, ketegangan dan keributan yang muncul di kalangan masyarakatnya. Kalau pun ada
kekerasan yang tak mungkin ditutupi – seperti puputan di Badung, Tabanan, dan Klungkung –
maka selalu saja ada intelektual yang bisa ‘melembutkannya’ sebagai bagian dari Bali yang magis
dan misterius.

Dalam perjalanannya terbentuk hubungan yang aneh antara wajah Bali di satu sisi dan tubuh
masyarakatnya. Betapa pun sakit yang diderita tubuh, wajahnya tetap saja dipaksa tersenyum
ramah, penuh tepo-seliro dan mulut yang otomatis mengucap, “welcome”. Disini lah sebenarnya
terlihat kerentanan Bali sebagai wilayah industri pelayanan internasional: ia senantiasa dituntut
tampak santun, hangat dan profesional untuk memuaskan para pelanggannya. Namun,
kesanggupannya melayani pasar internasional sangat ditentukan oleh kemampuan
masyarakatnya menyensor diri, menyortir apa yang “Bali” dan “bukan Bali”, dan meredam
perubahan yang menghambat percepatan putaran modal.

1965, Tahun Menyayat Hati

Tidak banyak orang, apalagi turis, yang tahu bahwa industri pariwisata Bali dibangun bersamaan
dengan terjadinya pertumpahan darah yang luar biasa. Menyusul penculikan dan pembunuhan
enam jenderal dan satu perwira di Jakarta, sejak Desember 1965 rakyat Bali menyaksikan,
terlibat dan menjadi korban pembunuhan massal terbesar dalam sejarahnya. Berdasarkan
penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Pencari Fakta bentukan Presiden Soekarno, sekitar
80.000 lebih orang diduga tewas dalam waktu kurang dari dua bulan, atau sekitar 5% dari
jumlah seluruh penduduk. Ratusan tokoh masyarakat, PKI maupun bukan, tewas atau hilang
dalam kejadian itu, dan ratusan ribu orang lagi berubah nasibnya dalam semalam.

Keluarga yang ditinggalkan bukan hanya kehilangan sanak-saudara tercinta dan pencari nafkah
utama, tapi juga sumber kehidupan mereka, seperti tanah dan ternak. Perampasan merajalela
atas nama ‘keamanan dan ketertiban’, sementara puluhan ribuan orang ditangkap, dipecat atau
disingkirkan dari jabatannya. Sebuah periode mengerikan bagi mereka yang menjadi korban,
tapi sebaliknya Orde Baru mengenangnya sebagai ‘zaman stabilitas’.

Sampai saat ini belum ada literatur maupun laporan yang memadai tentang apa saja yang terjadi
pada masa berdarah itu. Namun, cerita, catatan serta ungkapan sehari-hari menunjukkan bahwa
tak seorang pun di Bali yang hidup di masa itu bisa mengatakan tak tahu apa-apa tentangnya.
Mereka yang menjadi korban memendamnya dalam hati. Begitu pula para pemenang yang
kemudian menjadi bagian dari elit penguasa bekerja keras membunuh peristiwa itu dalam
ingatan mereka dan menghapusnya dari wacana publik.

Industri pariwisata mulai merangsak maju di atas ketakutan dan kengerian terpendam yang
terus melanda penduduk selama bertahun-tahun. Bahkan ada sejumlah hotel yang konon
dibangun di atas kuburan massal para korban pembantaian. Sementara itu mereka yang
‘selamat’ dipaksa bekerja mempercantik ‘Pulau Dewata’ agar siap menerima turis dari segala
penjuru dunia. Sepagi 1966, ketika pembunuhan masih terjadi di sana-sini, Bank Dunia
meminjamkan uang jutaan dolar untuk memperluas bandara Ngurah Rai di Denpasar agar bisa
disinggahi pesawat-pesawat besar yang membawa turis, pemodal dan perancang industri
pariwisata.

Tahun 1965-66 dikenang secara berbeda. Bagi para industrialis, pemodal dan birokrat, masa itu
adalah awal dari kebahagiaan. Uang mulai mengalir masuk, posisi pun semakin mantap sebagai
‘penguasa baru’, yang tidak segan-segan mengubah aturan main sesuai keperluannya sendiri.
Tapi bagi para korban, masa itu adalah awal kegelapan, kehancuran cita-cita dan kehidupan
yang melahirkannya.

Dari Ladang Pembantaian ke Ladang Pembangunan

Darah dan airmata korban belum lagi kering saat Bank Dunia, Dana Moneter Internasional
(IMF) dan kelompok negara-negara industri pemberi bantuan untuk Indonesia, IGGI,
merancang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) bagi Indonesia. Untuk 5 tahun
pertama (1969-1974) turisme internasional ditetapkan sebagai faktor penentu pembangunan
ekonomi Indonesia, dan Bali menjadi situs utama. Indonesia membutuhkan mata uang asing
segera untuk menyeimbangkan neraca pembayaran nasional dan turisme merupakan cara
tercepat untuk memperolehnya. Tapi disamping tujuan ekonomis, ada pula tujuan politis
kebijakan ini. Rejim Orde Baru perlu menampilkan wajah yang manis kepada dunia
internasional untuk menutupi kekejaman luar biasa yang mengantarnya ke panggung
kekuasaan. Bali, yang pada saat itu sudah cukup dikenal masyarakat internasional karena
keindahan alam, keunikan adat-istiadat dan keseniannya, dianggap paling tepat menjadi
“jendela pajangan” Indonesia.

Sejak 1970an dengan arahan konsultan turisme Perancis, SCETO, dan dukungan finansial dari
Bank Dunia dan UNDP rencana jangka panjang pembangunan Bali sebagai situs industri
pariwisata mulai dilaksanakan. Tak satu pun para ahli turisme ini punya pengetahuan dasar
tentang Bali atau Indonesia sebelumnya dan tak satu orang Bali pun terlibat dalam perencanaan
nasib negerinya sampai 20 tahun yang akan datang. Begitu master plan ini diresmikan melalui
sebuah Keppres pada 1971, barisan pemodal dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong
mengklaim “tanah kosong” untuk membangun hotel dan restoran, dan menggiring manusia
penghuninya ke dalam industri kerajinan tangan dan hiburan.

Sasaran awal para pemodal adalah pantai berpasir putih di bagian Selatan Bali. Kawasan pantai
Sanur disulap menjadi tempat peristirahatan bagi kalangan elit, sementara Kuta dan Legian
dirombak menjadi ‘nirvana’ bagi mereka yang mencari jati diri atau pengalaman ‘gaya hidup
alternatif’, tentu saja lengkap dengan seks bebas dan obat bius. Ketika wilayah pantai menjadi
makin padat oleh jejalan hotel, homestays, restoran, diskotik dan toko kerajinan tangan, desa-
desa ‘perawan’ di bagian tengah ke utara jadi sasaran berikutnya. Ubud, misalnya, terkenal
sebagai tempat peristirahatan bagi mereka yang jenuh dengan hiruk-pikuk Kuta, sambil
menghayati apa yang mereka pikir sebagai ‘kebudayaan Bali’.

Pada 1972 dibentuk Bali Tourism Development Consortium untuk merancang proyek pariwisata
terpadu. Gagasan dasarnya adalah membangun situs pariwisata di atas wilayah ‘tidak produktif’
tanpa merusak kebudayaan dan kebiasaan masyarakat setempat, dengan Nusa Dua sebagai
proyek pertama. Namun, alih-alih ‘melindungi kebudayaan dan kehidupan rakyat’, proyek ini
membuahkan satu lagi kantung eksklusif bagi kaum beruang dan mengubah seluruh potensi,
daya cipta dan kehidupan rakyat yang menjadi penunjang industri pariwisata tersebut.
Sementara penduduk asli tanah berkapur ini masih berteriak kekurangan air, sejumlah hotel
berbintang 5 sepanjang tahun bersiaga melayani pertemuan internasional antar kepala negara
atau pejabat tinggi manca negara untuk membuat kesepakatan ekonomi dan politik maupun
persetujuan keamanan internasional.

Tatkala pendapatan dari minyak bumi mulai berkurang, pada 1980an industri pariwisata pun
semakin ditingkatkan karena menjadi salah satu penyumbang penghasilan negara terbesar di
sektor non-migas. Perencanaan dibuat semakin sistematis dan mekanis di bawah bimbingan
Bank Dunia dan agen-agen perjalanan internasional serta perusahaan pariwisata. Hampir
seluruh birokrasi pemerintah Bali dikerahkan untuk mewujudkan mimpi para investor, dan dari
persekutuan itu lahir proyek-proyek seperti Bali Turtle Island Development dan Bali Nirwana
Resort. Para penguasa Orde Baru tidak ingin ketinggalan menikmati pesona ekonomi ‘Pulau
Dewata’. Mereka memasarkan Bali melalui program pemerintah seperti Visit Indonesia Year,
sementara para pengusaha kroninya bekerjasama dengan pemodal internasional membangun
puluhan hotel dan merambah desa-desa terpencil untuk dijadikan tempat peristirahatan.

Gempuran industri pariwisata bukan saja mengubah tampak fisik Bali sesuai dengan impian
pemodal, tetapi juga berhasil menanamkan ide bahwa Bali secara ‘alamiah’ memang menarik
minat turis. Para seniman dan pengrajin mau tak mau tersedot ke dalam proyek-proyek ‘usaha
kecil’ untuk memproduksi kesenian massal. Tulang sapi, batok kelapa dan kerang tak luput jadi
barang dagangan, sementara produk internasional membanjiri pasar lokal menggusur produksi
rakyat. Yang paling menyolok, dan kemudian diratapi oleh para turis itu sendiri, adalah ketika
pura dan tempat-tempat suci lainnya, berikut penghuninya, dipermak menjadi artefak yang siap
dikunjungi turis.

Bidang seni pertunjukan yang sedianya mencerminkan keaslian’ Bali pun tak luput dari sergapan
industri, bahkan sampai ke institusi pendidikannya, yang tradisional maupun yang modern.
Awalnya tariannya saja yang dipotong, dipermak dan dikemas sedemikian rupa agar waktu dan
penampilannya tidak mengganggu mata yang membayarnya. Perkembangan berikutnya,
sanggar-sanggar tari di pedesaan tidak lagi berfungsi sebagai tempat belajar menjadi penari yang
baik, tetapi sebagai pusat latihan menjadi penari hotel. Pada “musim toris” selusin gadis dan
pemuda cilik peserta sanggar akan dibawa dengan truk pick-up untuk menari dari satu hotel ke
hotel lain setiap malamnya. Sedangkan Sekolah Tinggi Seni Indonesia terjerat dalam produksi
tari-tari lepas ringan yang populer sesaat dan setelah itu dilupakan selamanya. Praktis sejak
1960an tidak pernah lahir tarian baru yang mampu mengungguli tari-tarian klasik dari era
1930an.

Tentu saja masih ada paket-paket ‘kesenian asli’ untuk dijajakan kepada mereka yang
merindukannya. ‘Kesenian asli’ ini biasanya dikemas secara ‘profesional’ bersamaan dengan
penyelenggaraan upacara adat oleh para keluarga bangsawan yang mulai menyadari nilai lebih
puri kediamannya. Campur-baur segala aspek dengan satu tujuan itu melahirkan pemandangan
aneh: sesaji untuk para dewa di tangan pemuda Bali yang bersiap mengikuti upacara dengan
seragam celana pendek dan kaos oblong bertuliskan: “Fuck Off!”

Kesadaran akan ‘keunikan’ tradisi Bali tidak terbangun di atas ruang kosong. Tidak sedikit orang
Bali yang menikmati suasana ini dan mencari segala argumentasi – mulai dari kutipan buku teks
ekonomi tentang pentingnya akumulasi modal sampai ungkapan nenek moyang – untuk
membenarkan keadaan. “Memang begitu dah, Bali itu” adalah ucapan populer. Tidak
menjelaskan, tidak juga membantah. Lebih tepatnya, mempertahankan status quo.

Adalah watak dasar dari industri untuk mencaplok segalanya. Rangkaian kegiatan sosial-budaya
yang mulanya dilakukan atas dasar kebiasaan tiba-tiba punya nilai tukar yang tinggi. Jika
semula orang Bali memutar akal mencari apa yang dapat dijual, maka kini pemandangan dan
hal-hal sehari pun dengan mudah jadi barang dagangan. Para ahli menyebutnya ‘living culture’
atau kebudayaan yang hidup serasi dengan pertumbuhan ekonomi pariwisata. Bukan cerita aneh
misalnya jika ada bocah ingusan berambut merah karena sengatan matahari, tiba-tiba meloncat
turun dari punggung kerbau untuk naik pesawat menuju rumah barunya, entah di Hawaii,
Australia atau salah satu negara Eropa. Mereka dipungut oleh turis karena bakat atau sekadar
gemas saja melihat sosok anak ‘cerdas’ di tengah masyarakat ‘asli/primitif’, dan merasa wajib
menyelamatkannya dari keterbelakangan.

Menimbun Kesengsaraan

Sejak zaman kolonial penguasa yang berganti-ganti berusaha mempertahankan citra Bali sebagai
‘Pulau Dewata’ yang tak kenal susah. Kalau pun ada dan tak bisa begitu saja disembunyikan dari
pandangan umum, maka para sarjana pun sudah siap dengan argumen-argumen. Kekerasan
nyata yang mengerikan dengan mudah dipelintir jadi ‘budaya’, artinya orang Bali memang
terlahir sebagai mahluk brutal yang senang menghantam sesama. Penaklukan segala ekspresi di
bawah hukum akumulasi pun dengan bahasa indah dijelaskan sebagai ‘daya tahan kebudayaan’
orang Bali menghadapi pengaruh luar. Dan seterusnya.

Citra ‘tak kenal susah’ sungguh berbeda dari kenyataan hidup sehari-hari yang ditelan rakyat
jelata. Sejak 1960-an penduduk Bali bergantung pada impor beras karena tanah-tanah mereka
diubah jadi situs industri pariwisata. Letusan Gunung Agung pada 1963 adalah bukti bahwa Bali
sesungguhnya bertopang pada sistem yang sangat rentan, karena mengubah ribuan orang
menjadi gelandangan yang berkeliaran dan beranak-pinak di kota-kota besar seperti Singaraja
dan Denpasar.

Sementara para pengusaha pariwisata dan pendukungnya menikmati pertumbuhan GDP sebesar
34% antara 1996-98, jumlah penduduk miskin pun bertambah dari 270 ribu menjadi 418 ribu
jiwa antara 1990-98. Dan bukan hal aneh jika jumlah terbanyak berasal dari Denpasar dan
Buleleng. Tentu saja orang berpikir bahwa bagaimanapun juga sektor pariwisata memberi
sumbangan besar pada ekonomi Bali. Itu adalah gambaran keliru karena statistik menunjukkan
bahwa pajak terbesar justru berasal dari kalangan menengah dan miskin selama tahun 1990-an.
Dengan kata lain ‘kemakmuran’ Bali, dan dana milyaran untuk memperbaiki dan mempercantik
citra ‘Pulau Dewata’ berasal dari petani miskin yang tergusur dan pegawai rendahan yang
bekerja 8-10 jam sehari dengan upah yang hanya cukup untuk menyambung napas sendiri.

Berbekal ‘kemakmuran’ yang dihasilkan rakyat kecil pemerintah terus menggenjot sektor
pariwisata, dan pada 1997 mengubah imbangan pendapatan sektor pertanian (19,45%) dan
sektor pariwisata (30,82%). Para birokrat dan intelektual Bali pun dengan keyakinan buta
mendukung pencaplokan tanah-tanah subur di Badung, Denpasar, Gianyar dan Tabanan
menjadi ‘daerah pesona pariwisata utama’. Sebaliknya daerah-daerah yang sesungguhnya
memerlukan uluran tangan, seperti Bangli, hampir tak tersentuh investasi maupun proyek
bantuan apa pun.

Kenyataan ini tentu saja tidak dapat ditemukan dalam brosur-brosur pariwisata yang
mengumbar keindahan Bali. Bank Dunia tak putus-putusnya memberikan pinjaman dan memuji
Bali karena ‘prospek ekonomi’-nya. Tentu tidak disebutkan bahwa banyak pemilik tanah tempat
berdirinya hotel dan restoran kemudian hidup melarat setelah menikmati uang ganti-rugi yang
tak seberapa, sementara anak-anaknya terseret ke dalam gemerlap ‘Pulau Dewata’. Untuk
mengurangi ‘pemandangan buruk’ pemerintah daerah bekerjasama dengan Bank Dunia dan
sejumlah LSM setempat mengembangkan ‘proyek peningkatan pendapatan’ dan bermacam
kegiatan lain yang sering juga dikaitkan dengan pariwisata.

Dari tahun ke tahun kesulitan hidup dan kesumpekan kultural berulangkali meledak dalam
bentuk protes terbuka maupun tidak. Bukan hanya aparat keamanan yang mereka hadapi, tapi
juga lingkungan sendiri yang merasa segala bentuk perlawanan bisa mengancam ‘keutuhan Bali’
yang ikut mereka nikmati. Dan para korban pun kembali tenggelam dalam kebisuannya, entah
sampai kapan.

Agung PUTRI, aktif di Jaringan Kerja Budaya

1 | 2 | 3 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

BALI Kapling Para Antropolog


Degung Santikarma

Sejak zaman kolonial, Bali sudah menarik perhatian antropolog dunia. Bagi para mahasiswa
jurusan ini Bali menjadi semacam mata pelajaran wajib, dan ia menggugah minat para
antropolog, mungkin lebih dari daerah lain di muka bumi ini. Kebudayaan Bali adalah “teks suci”
yang harus dilalui dalam proses inisiasi bagi para “calon” antropolog dimana pun mereka
belajar. Dan, hampir tak ada aspek kehidupan orang Bali yang lepas dari sorotan para
antropolog dunia. Mulai dari sistem kekerabatan yang rumit, mobilitas ritual yang tak kenal
henti, struktur makna bahasa, sampai kosmologi berkesenian dan kerja yang beritme alam.
Sampai sekarang, di Bali ada musim khusus, yaitu ‘musim antropologi’. Jika musim ini tiba,
tingkat hunian griya (rumah brahmana), puri (rumah ksatria), dan rumah bendesa adat
(pimpinan desa adat) pun melambung. Isu kerusuhan sepertinya lewat begitu saja. Tidak seperti
turis biasa yang kedatangannya sangat dipengaruhi oleh gejolak politik di Jakarta, Maluku, Aceh,
atau Timor Lorosae. Mengapa Bali menarik perhatian begitu banyak antropolog?

Jawaban terhadap persoalan ini memang bervariasi dari zaman ke zaman. Pada zaman kolonial
Bali dilihat sebagai daerah Hindu yang masih tetap bertahan setelah Islamisasi yang terjadi
begitu gencar bermula di Jawa. Bagi pandangan yang kental nuansa orientalisme, masuknya
Islam di Jawa dianggap sebagai kehancuran kejayaan Hindu. Dan ini berarti punahnya sebuah
peradaban.

Bali dalam pandangan ini kemudian dianggap sebagai “museum hidup” untuk melihat praktek
Hindu yang sudah mencapai titik nadir kepunahan di Jawa. Bali bagi mereka menawarkan
perbedaan eksotik yang selalu menjadi bahan pokok para antropolog. Ada sistem hirarki kasta
dan kerajaan yang tak bisa ditemui lagi di daerah jajahan lain seperti Jawa dan Sumatra. Ada
perang status antar raja yang tak pernah berakhir, pelaksanaan hukum adat yang terus bertahan
seperti praktek bakar janda, dan banyak lagi.

Generasi pendahulu antropolog — yang disebut dengan istilah etnolog — seperti Van Bloemen
Wander, Ruger van Eck, merupakan bagian dari aparatur pemerintah kolonial untuk
memproduksi pengetahuan tentang “the native” (orang lokal/asli) agar lebih memahami
sekaligus mampu mengontrolnya. Gambaran tentang Bali yang ada pada waktu itu adalah
tempat huni manusia liar yang suka perang, pemberontak, archaic, penuh misteri dan mistis,
yang selalu membingungkan usaha penjajah untuk mengontrolnya.

Gelombang antropolog berikutnya mendarat di Bali pada 1930-an. Peneliti seperti Margaret
Mead, Gregory Bateson dan Jane Belo tertarik mencari resep-resep kehidupan pra-modern
untuk menyembuhkan masyarakat Amerika yang saat itu kebablasan menghadapi arus banjir
modernitas. Bali dianggap menyimpan rahasia untuk hidup, yang di barat sudah morat-marit,
seperti hidup harmonis tanpa konflik, atau cara konflik yang berakhir secara alamiah. Bali, kata
mereka, adalah tempat bayi tumbuh tanpa teriak tangis. Manusianya disosialisasikan dengan
polos dan patuh. Letupan emosi sejenak yang disebut trance, barangkali lebih baik dilihat
sebagai kemarahan yang dirayakan.

Misi mereka waktu itu adalah menyelamatkan sesuatu dari sebuah kepunahan, melestarikan
kekhasan dan keaslian kebudayaan Bali dari arus deras pengaruh barat (salvaging the
premodern). Mereka ingin mempelajari sebuah perbedaan dan membekali diri untuk
menghantam dan mengkritik unsur-unsur rasisme dan xenophobia kebudayaan Amerika. Mead
sendiri adalah salah satu figur sentral pengkritik masyarakat Amerika yang sangat radikal.
Seorang antropolog yang mengadvokasi pentingnya “relativitas budaya” untuk menjawab
kesalah pahaman antar budaya dengan metafor “make love not war.”

Di masa pasca kolonial, paradigma antropologi berubah lagi. Banyak antropolog berpandangan
bahwa suatu budaya tidak lagi bisa dilihat sebagai daerah terpisah yang berdiri sendiri, terisolasi
dari dunia luar. Antropolog seperti Clifford dan Hildred Geertz mencoba melihat Bali sebagai
contoh konsep kekuasaan lokal yang berhubungan dengan struktur kenegaraan Indonesia Baru.
Mereka tertarik pada bentuk semiotik kekuasaan yang ada di Bali dan relasi kerja kekuasaan
tersebut dengan negara yang baru dibentuk. Clifford Geertz dalam buku Negara melihat
kekuasaan tradisional di Bali sebagai pemaknaan puisi kuasa dunia estetika. Dia mengatakan
bahwa raja-raja di Bali memobilisasi massa bukan untuk tujuan politik, tapi untuk sebuah pesta
kemegahan dan menggapai tingginya kuasa mereka secara simbolis. Gagasan ini melahirkan
aliran baru dalam disiplin ilmu antropologi yang disebut dengan “interpretative anthropology”,
yang mengudang perdebatan. Pendekatan aliran ini sering dianggap oleh para penentangnya
sebagai suatu yang seduktif, estetis dan a-politis, serta membuat Bali semakin jauh berbeda
dengan daerah lain.

Pada mulanya yang menjadi fokus perhatian antropologi dunia adalah persoalan “esoterik”
seperti dunia lontar, rerajahan (ilmu magic), awig-awig (aturan adat), babad (silsilah), bahasa
Kawi dan sastra Bali kuno. Sumber informasi mereka adalah para pedanda, pemangku, bendesa
adat, dan balian (dukun). Kemudian perhatian disiplin ilmu ini mulai berubah seiring dengan
perubahan zaman. Antropolog mulai tertarik pada persoalan kontemporer, seperti modernitas,
globalisasi, kapitalisme dan pariwisata. Pada saat yang sama Bali pun terkena imbas persoalan
besar dunia, seperti turisme massal, beroperasinya perusahan multinasional, intervensi negara,
globalisasi dan krisis identitas, termasuk perdebatan di dalamnya dan perlawanan terhadap arus
besar dunia tersebut.

Dengan berkuasanya Orde Baru dan berkembangnya pariwisata massal, pengaruh antropologi
semakin terlihat. Ini bukan hanya karena bertambahnya antropolog yang meneliti Bali, tapi
konsep kebudayaan yang ditawarkan antropologi mulai “dicuri” dan digunakan sebagai modal
budaya untuk mempercantik ide pariwisata itu sendiri dan mengontrol gerak-gerik orang Bali
secara umum. Kebudayaan sebagai kompleks kehidupan menjelma menjadi produk estetik yang
berkisar pada wilayah tarian, upacara, pemandangan alam, damainya suasana desa, dan
harmoni kehidupan sosial. Pelaksana pariwisata budaya mengabaikan karya antropolog yang
prihatin dengan persoalan politik dan perubahan sosial. Tapi ironisnya mereka justru
menghidupkan kembali tradisi antropolog kolonial dengan pendekatan klasiknya yang bernama
struktural fungsionalisme. Pendekatan ini melihat kebudayaan sebagai suatu sistem yang
berfungsi untuk menentukan ketertiban dan stabilitas. Wujud dari paradigma ini seperti
“dwifungsi”: yang pertama bertugas sebagai penarik pariwisata dengan gambar Bali yang bersih,
aman, lestari, dan indah dan yang satu lagi bertugas sebagai agen sosialisasi paradigma
keteraturan dan ketertiban. Kebudayaan menjadi sebuah bangunan arsitektur megah, kokoh tapi
pada saat yang sama bangunan tersebut mengintai dan mematai gerak-gerik hidup warganya.

Respon orang lokal terhadap kedatangan para antropolog asing pada era sekarang ini bermacam-
macam. Ada yang berprasangka negatif, seperti reaksi mereka terhadap kedatangan para
pendahulunya, yaitu sebagai penjajah baru. Ada yang menganggap mereka sebagai murid
kebudayaan Bali, turis biasa, turis pintar, expert, parekan (anak buah), teman dialog, funding
agency, atau calon konsultan Bank Dunia. Dan, ada juga yang tidak perduli sama sekali.

Jika kehadiran antropolog asing sering membingungkan, keberadaan orang Bali yang menjadi
antropolog dalam masyarakatnya sendiri lebih membingungkan lagi. Menjadi orang Bali dan
sekaligus melakoni hidup sebagai antropolog ada suka dukanya tersendiri. Di mata antropolog
asing, antropolog Bali bukan hanya kolega profesional tetapi sumber data dan anggota
kebudayaan. Apa-apa yang mereka lakukan dan katakan menjadi rekaman etnografis. Tidak
hanya itu. Begitu juga apa pun yang dilakukan oleh keluarganya, apakah keponakan yang ikut
trance, anak yang bermain musik punk, pembantu yang nonton TV, adik yang bertato, selalu
mengusik keingintahuan para antropolog asing. Nenek dan kakeknya tak lepas pula dari sasaran
tembak kamera dan tape wawancara. Dari satu sisi kehadiran antropolog Bali disambut dengan
gembira oleh para antropolog asing. Bagi mereka ini berarti akan ada “mitra lokal” untuk
menciptakan “dialog antropologis”, dan tugas mulia antropolog luar sebagai wakil untuk
menyuarakan aspirasi masyarakat Bali, bisa diambil alih oleh antropolog lokal. Kelompok
“subaltern” sudah mempunyai otoritas untuk membicarakan kebudayaan mereka sendiri,
setidak-tidaknya mereka tidak perlu diwakili... Ya persis kayak DPR.

Tapi di sisi lain, sang antropolog lokal dianggap hanya mampu mengerjakan masalah kecil dan
lokal. Hal ini mengingatkan saya kepada beberapa legenda rakyat yang hidup di Bali tentang
cerita seorang pedanda (pendeta upacara) pencuri genta. Ceritanya seperti ini. Pada suatu saat
ada seorang pedanda yang berasal dari kasta brahmana berhalangan hadir dan tak sempat
menyelenggarakan upacara. Tak disangka, datanglah seorang pemangku (pendeta yang bukan
dari kasta brahmana) yang mengaku sebagai utusan sang pedanda untuk menyelesaikan
upacara. Ia langsung memakai pakaian kebesaran pedanda brahmana itu, tanpa sepengetahuan
pemiliknya, dan langsung mencuri genta pendeta brahmana tadi. Dia duduk bersila sambil
komat-kamit menirukan suara mantra layaknya seorang pedanda. Orang yang punya hajat
upacara tidak tahu sama sekali bahwa pendeta yang menyelesaikan upacara itu hanyalah
seorang pemangku. Hal ini baru terungkap setelah sang pedanda brahmana kebetulan lewat saat
pedanda “imitasi” sedang mengucapkan mantra dan menjalankan upacara tersebut. Pedanda
brahmana terkejut, tapi ia dengan bijak menghampiri si pemangku dan berkata, “terus lanjut
dan selesaikan upacaranya. Besok-besok kau bisa menyelesaikan upacara asal ‘upacara kecil’
bukan ‘upacara besar”.

Posisi antropolog lokal mungkin seperti sang pemangku dalam cerita di atas. Ia hanya bisa
menyelesaikan “upacara kecil”. Itu pun semata-mata karena kehendak baik (affirmative action)
antropolog luar yang mempunyai posisi hegemonik seorang pedanda. Antropolog lokal diizinkan
menyelesaikan “upacara kecil”, seperti mencari data, membantu riset, mencerna kasus mikro
dan lokal, sedangkan antropolog luar berhak menyelesaikan “upacara besar”, seperti
meluncurkan “teori-teori besar”, menangani persoalan makro yang berkaitan dengan narasi
besar, misalnya pola kiprah transnasional kapitalisme dunia, tatanan dunia baru, dan dampak
kapitalisme dunia. Mereka berwenang atas teori, sementara antropolog lokal paling-paling
hanya punya wewenang atas pengumpulan data.

Perbedaan pemangku dan pedanda secara tradisional di Bali juga ditentukan oleh faktor
kemampuan berbahasa. Seorang pedanda biasanya sudah menguasai bahasa esoterik seperti
Kawi dan Sansekerta untuk mengumandangkan mantra, sedangkan pemangku tidak menguasai
bahasa-bahasa tersebut. Perumpamaan ini tidak jauh berbeda, di mana antropolog luar lahir
dengan “bahasa negara kuat”, seperti Inggris, Jerman, Belanda dan Perancis, sedangkan
antropolog lokal hanya mahir berbahasa “negara lemah atau “bahasa dunia ketiga”. Posisi antara
antropolog asing dengan antropolog lokal tidak seimbang akibat dilema “bahasa dan kuasa”,
seperti halnya bahasa Sansekerta dan Kawi para raja jauh punya gaung kuasa daripada bahasa
Bali sehari-hari. Atau, gaung mantra kuasa bahasa Inggris dibandingkan dengan bahasa dunia
ketiga jauh lebih kuat. Dan, ini kemudian berpengaruh terhadap bentuk kompensasi upah buruh
dari dolar ke rupiah.

Di mata orang Bali, antropolog lokal disambut penuh ambiguitas. Di satu sisi ada kebanggaan
bahwa orang Bali sudah mampu mencapai ‘keahlian’ seperti orang Barat. Pengetahuan ini juga
dianggap berguna untuk pembangunan, karena menurut para pejabat dan birokrat, Bali sebagai
daerah pariwisata dengan “pariwisata budayanya” tentu membutuhkan spesialis kebudayaan.
Antropolog Bali karena pengetahuan budaya yang dimilikinya dianggap patut menjadi “duta
kebudayaan” untuk memajukan kebudayaan Bali.

Namun di sisi lain ketika antropolog lokal mencoba menyikapi dengan kritis perkembangan
budaya Bali, dia akan dianggap pembelot dan tidak nasionalis. Bahkan, tak jarang pada
pertemuan yang berskala internasional ada yang berkomentar sinis, “berapa kamu dibayar untuk
menjelek-jelekkan kebudayaanmu?” Friksi dan intrik di kalangan antropolog lokal akan terlihat
jelas pada saat diskusi dalam suatu seminar. Ketika seorang peserta mencoba mengkritik
fenomena budaya Bali dan berpendapat bahwa budaya adalah alat represi dilihat dari
pendekatan teori kritis, peserta lain akan menghantam dan menuduhnya sebagai orang yang sok
barat dan pemuja teori asing. Ia dianggap berbahaya karena teori itu tidak cocok dengan usaha
melindungi kebudayaan Bali yang ‘maha unik’ di dunia ini.

Lebih jauh lagi, datang tanggapan dari salah seorang peserta seminar, “Di Bali kita sudah banyak
punya teori dan pengetahuan asli seperti Tri Hita Karana, sistem subak, sistem banjar yang
dikagumi dunia. Dan tidak hanya itu, banyak pejabat World Bank di Washington sangat terkesan
dengan pengetahuan dan teori asli Bali ini. Wisatawan pun berdatangan ke Bali justru untuk
melihat bagaimana teori dan pengetahuan tersebut dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Dan kehebatan teori ini sudah teruji validitasnya karena terlihat dari para wisatawan yang terus
banjir datang ke Bali.”

Kecurigaan terhadap kedekatan antara antropolog lokal dengan beberapa antropolog barat
sering disindir dengan ucapan yang bernada miring oleh beberapa antropolog lokal yang berada
pada garis keras ultra-konservatif. Ketika topik obrolan begitu hangat di tengah suasana istirahat
minum kopi dalam suatu seminar antara antropolog lokal dengan beberapa antropolog asing,
ada saja antropolog lokal yang nyeletuk, “dia hanya diajak untuk menguliti sedangkan sari
buahnya (esensinya) akan diambil oleh antropolog asing”. Sikap sinis itu mungkin ada benarnya
kalau antropologi itu sesederhana buah mangga. Bak benda konkrit, bisa diraba dan bisa
dimiliki. Padahal, jelas bahwa ilmu bukan buah tapi kumpulan gagasan, cetusan ide, jaringan
relasi, gugatan, debat dan sebuah wacana dengan segala fluiditasnya.

Bali sampai sekarang masih terus menarik perhatian antropolog luar dan termasuk generasi
baru antropolog lokal. Dulu mereka datang ke Bali dengan motif dan agenda mereka masing-
masing demikian juga sekarang. Bali bagi antropolog bukan hanya “object of knowledge” tapi
juga sebuah representasi. “Representasi bikinan” sang antropolog ini mempunyai dampak nyata
pada kehidupan orang sehari-hari, dan membatasi pilihan yang tersedia bagi orang untuk
menjalani hidupnya.

DEGUNG SANTIKARMA, kandidat doktor antropologi Princeton University, AS yang bermukim di Denpasar, Bali

1 | 2 | 3 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Proyek Bank Dunia Mem-bali-kan Bali


Alit Ambara

“Kepada Bali Bank Dunia Meminta Maaf”, sebuah judul berita di Bali Post, 11 Juli 2000.
Dinyatakan bahwa Bank Dunia menyadari kesalahannya karena selama ini lembaga itu hanya
memperdulikan pembangunan fisik saja dalam proyek pengembangan industri pariwisata di Bali
yang dibiayainya.

Permintaan maaf ini boleh dibilang terlambat sekali. Setelah ribuan hektar tanah rakyat diambil-
alih untuk pendirian infrastruktur bertaraf internasional dan ratusan ribu anak petani yang
tergusur dididik hanya untuk jadi pelayan turis, kata ‘maaf’ terdengar begitu murah dan kosong.
Apalagi terdapat cukup bukti tertulis sejak 1970an yang memaparkan dampak negatif industri
turisme baik bagi masyarakat pendukungnya, maupun bagi turisme itu sendiri. Jadi, kesalahan
itu dibuat bukan atas dasar ketidaksengajaan atau ketidaktahuan seorang pemula. Permintaan
maaf itu bisa jadi bagian dari rencana besar Bank Dunia memperpanjang masa kekuasaannya di
Bali.

Keterlibatan Bank Dunia dalam pengembangan industri turisme internasional sudah dimulai
paling tidak sejak 1961. Secara khusus institusi ini meminta seorang ekonom asal Swiss, Kurt
Krapf, untuk melakukan analisis keuntungan industri turisme bagi perkembangan ekonomi
dunia ketiga dan perdagangan internasional secara umum. Hasil studi ini menyatakan bahwa
turisme “sangat sesuai untuk memulai dan mempercepat pertumbuhan ekonomi” di negara-
negara yang sedang berkembang. Yang akan menjadi modal utama industri ini adalah keindahan
alam dan kebudayaan tradisional sang negeri penerima tamu, karena tanpa wisatawan asing
“semua kekayaan ini akan terbengkalai, tak bisa dieksploitir, dan negeri yang bersangkutan akan
kehilangan kesempatan membantu dirinya sendiri”.

Untuk melaksanakan rencananya Bank Dunia perlu bekerjasama dengan badan-badan dunia
lainnya. Adalah dua badan PBB, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan
(UNESCO) dan Konperensi Dagang dan Pembangunan (UNCTAD), yang menekankan
pentingnya perawatan dan pelestarian budaya bagi kelangsungan industri turisme. Lebih jauh
lagi dikatakan bahwa kebudayaan dan ekonomi pariwisata saling menguntungkan tamu asing
dan negeri penerima tamu. Kalau pihak pertama akan diperkaya oleh pengalaman kultural yang
sangat berbeda dengan pengalaman di negerinya sendiri, pihak kedua akan disejahterakan
dengan masuknya mata uang asing dan barang impor. Logika ini sesuai pula dengan semangat
PBB sepanjang dekade 1960an untuk membangun “rasa saling pengertian, perdamaian dan
kerjasama antar bangsa”. Bukan suatu kebetulan bahwa pada saat itu negeri-negeri bekas
jajahan di jazirah Asia-Afrika bersekutu dan dengan lantang menolak intervensi negara-negara
bekas penjajahnya ke dalam program pembangunan mereka.

Rencana besar Bank Dunia untuk mengintegrasikan Bali ke dalam industri turisme internasional
memang tidak bisa terlaksana sampai awal 1970an. Ia harus menunggu sampai Presiden
Soekarno yang sangat anti modal asing terjungkal lewat peristiwa 1965 dan pembersihan
terhadap para pendukungnya dianggap selesai dalam waktu 5 tahun berikutnya. Begitu kekuatan
diktator militer Orde Baru tampak mulai kokoh, pembangunan infrastruktur yang diperlukan
dilaksanakan secara cepat dan besar-besaran. Dimulai dengan peresmian Bandara Internasional
Ngurah Rai pada 1969, pendirian fasilitas pelayanan, terutama hotel dan restoran, berusaha
mengimbangi serbuan wisatawan yang berlipat 20 kali dalam waktu 10 tahun.

Sesuai dengan master plan Bank Dunia, yang menjadi target utama pengembangan industri
turisme ini adalah wilayah Sanur-Kuta-Nusa Dua-Ubud – hanya sebagian kecil dari ujung
Selatan Pulau Bali. Namun, seiring dengan pesatnya gerak modal yang berputar di wilayah
tersebut, seluruh sel kehidupan masyarakat Bali dirangsang untuk mendukung
kelangsungannya. Kalau di atas kertas rencana Bank Dunia memberi kesan rakyat Bali bisa
memilih apa yang ingin mereka jual dan tidak, dalam kenyataannya pilihan itu berada di tangan
pasar internasional. Tidak bisa dipungkiri bahwa pendapatan daerah, terutama dari ekspor,
meningkat hampir 30 kali dalam waktu kurang dari 20 tahun. Akan tetapi, harga yang harus
dibayar untuk ‘kemakmuran’ itu juga luar biasa besar. Misalnya saja, pada 1970an kopi dan
ternak merupakan sumber penghasilan utama petani. Pada 1994, ekspor kopi hanya mencapai
1% dari total ekspor, sedangkan ternak sudah tidak diperhitungkan sama sekali. Sebagai
gantinya orang Bali dikerahkan untuk menjahit baju dan membuat kerajinan tangan belaka.

Perubahan fisik secara kolosal ini dengan sendirinya berpengaruh bukan saja pada sumber daya
alam dan lingkungan hidup, tetapi juga pada tatanan sosial-budaya masyarakat Bali. Gejala
serupa ini tidak akan dianggap ancaman oleh industri lain, seperti pertambangan atau
manufaktur. Tetapi, bagi industri turisme yang bergantung justru pada keindahan alam dan
keunikan budaya ‘tradisional’, hancurnya pantai dan desa-desa, serta hilangnya keluguan orang
lokal berarti berakhirnya industri itu sendiri. Dan, Bank Dunia bukannya tidak menyadari
kontradiksi rencana awalnya sendiri. Walaupun demikian, seperti yang sudah terjadi dengan
proyek-proyek Bank Dunia lainnya, institusi ini telah mempersiapkan perangkat P3K untuk
mengobati luka-luka akibat industrialisasi di Bali.

Langkah terpenting yang dilakukan untuk memuluskan proyek pembangunan industri turisme
adalah membuat orang Bali tidak merasa terganggu oleh perubahan dalam kehidupannya sehari-
hari. Masyarakat Bali harus dibuat percaya bahwa keunggulan budaya mereka lah yang
membuat orang asing tertarik mengunjungi negerinya, dan ini berarti keuntungan finansial bagi
banyak orang. Perubahan yang mengikuti kehadiran para tamu ini sudah sepantasnya dilihat
sebagai hal yang alamiah, konsekuensi logis bagi mereka yang menginginkan kehidupan yang
lebih baik.

Maka, dipilihlah sejumlah ekspresi budaya yang awalnya hanya satu bagian dari keseluruhan
ritual kehidupan sehari-hari menjadi komoditi. Kemudian, diseleksi pula beberapa bentuk
kesenian yang dicerabut dari konteks kelahirannya, dipoles dengan warna yang lebih sesuai
dengan selera turis, dan diberi label harga. Di luar paket-paket yang diproduksi secara massal
ini, ada proyek pelestarian artefak-artefak budaya dan perawatan benda-benda peninggalan
sejarah di museum. Sementara yang tidak lolos saringan diam-diam lenyap atau tersimpan di
benak generasi masyarakat yang lebih tua.

Demikian proses internalisasi budaya turisme berlangsung secara intensif selama lebih dari 20
tahun. Ratusan kebijakan pemerintah dikeluarkan untuk menunjangnya. Ini disambung dengan
konperensi internasional, seminar akademik, dan ulasan para ahli di media massa. Kalaupun
ada kritik atau letupan-letupan yang sedikit saja mengguncang kelangsungan proses ini, segera
ditanggapi dengan lontaran, “Itu pasti bukan orang Bali yang melakukannya”. Masyarakat
umum pun percaya bahwa sampai orang “Jawa” datang tidak ada gelandangan dan pencuri di
Bali.

Di penghujung abad ke 20 apa yang disebut “ekses negatif turisme” semakin tampak jelas
sampai taraf mengganggu kenyamanan wisatawan itu sendiri. Meskipun beberapa analis masih
bertahan dengan argumennya bahwa pendapatan dari turisme telah meningkatkan rasa percaya
diri orang Bali terhadap tradisinya, bahkan mendorong “renaisans kultural”, kenyataan
menunjukkan gejala dekadensi kebudayaan yang cukup parah. Ancaman yang semula dianggap
rekaan di atas kertas belaka menjadi persoalan riil. Upaya sporadis mempromosikan bentuk-
bentuk turisme alternatif, seperti ekoturisme, tak kan mampu berpacu dengan degradasi
lingkungan hidup di pulau surgawi ini.

Bank Dunia kembali meluncurkan rancangan pembangunan Bali yang diberi judul “Kebijakan
dan Strategi untuk Konservasi Warisan Budaya Bali” pada April 2000. Dalam proposal ini
dinyatakan bahwa ada nilai-nilai dasar dalam kebudayaan Bali yang membuatnya mampu
bertahan menghadapi “serangan” dari luar selama berabad-abad lamanya, yaitu adanya
hubungan yang kompleks antara struktur masyarakat, pertanian, agama dan tatanan sosial
dengan agama Hindu sebagai pusatnya. Bali adalah gambaran “hubungan yang harmonis antara
Tuhan dengan manusia, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam”. Akan tetapi,
ketika hubungan-hubungan ini berubah, kebudayaan Bali pun akan hancur. Padahal, dari
kebudayaan inilah perekonomian Bali dibangun. Jalan keluarnya kemudian adalah mendorong
preservasi dan promosi warisan budaya Bali yang digarap dengan sistem, proses dan sumber
daya manusia yang benar.

Kehidupan masyarakat Bali yang berlangsung selama ini diyakini tak terlepas dari warisan
budaya. Ibarat sebuah waduk besar tempat orang Bali menemukan jati dirinya, ia perlu dijaga
dari perubahan yang bergerak cepat, tanpa mengurangi akses bagi masyarakat supaya mereka
bisa hidup lebih layak. “Jelaslah, bahwa perubahan budaya itu tak dapat dipungkiri dan
pertumbuhan ekonomi itu penting adanya. Agar masyarakat Bali tetap kuat, kohesif dan
harmonis, maka mengatur perubahan ini sangat penting”, demikian papar Bank Dunia.

Bagaimana cara Bank Dunia “mengatur perubahan” dalam kebudayaan Bali? Memperkuat
identitas kebalian, melestarikan dan mengembangkan warisan budaya Bali, menganut konsep
kesatuan sosial melalui keragaman budaya, mendukung kemajuan peradaban Bali,
memberdayakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelestarian dan pengembangan
kebudayaannya, memusatkan sumberdaya dan keahlian untuk mendampingi konservasi segala
bentuk warisan budaya Bali, mendorong pertumbuhan berkelanjutan yang peka terhadap
peluang dan hambatan kebudayaan Bali, serta mempromosikan kebudayaan Bali sebagai sesuatu
yang berbeda tapi merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia dan Dunia. Pendeknya,
masyarakat Bali harus “diBalikan” kembali.

Pertanyaannya kemudian apakah tawaran yang diajukan Bank Dunia tersebut akan menjawab
permasalahan sosial yang muncul akibat industrialisasi Bali? Apakah permasalahan-
permasalahan mendasar, seperti kerusakan lingkungan, urbanisasi massal, atau ketimpangan
distribusi pendapatan, yang diakui sendiri oleh Bank Dunia, dapat diselesaikan dengan
“menegaskan rasa percaya diri dan identitas rakyat”? Setelah eksploitasi besar-besaran terhadap
kebudayaan Bali di bawah rejim Orde Baru, setelah orang Bali sendiri mungkin tidak persis tahu
mana kebudayaan yang ‘asli’ dan yang untuk dijual ke turis, “kebudayaan” apa yang akan
dilestarikan? Untuk melihat proposal tersebut dengan kritis, agaknya perlu kita tinjau ke
belakang upaya-upaya yang pernah dilakukan penguasa kolonial dalam mendefinisikan
kebudayaan Bali.

Pelestarian Budaya ala Penguasa Kolonial Belanda

Upaya pelestarian budaya yang didengungkan di Bali akhir-akhir ini bukanlah barang baru.
Semenjak tentara Kerajaan Belanda berhasil menaklukkan “pulau surga terakhir” ini pada awal
abad ke-20 dan mengokohkan kekuasaannya, pemerintah kolonial sudah melihat bahwa budaya
Bali yang unik dan gambaran Bali sebagai “pulau surga” adalah modal yang dapat dieksploitasi
untuk menaikkan pendapatan pemerintah. Berkat bantuan para orientalis, Bali dikenal sebagai
“museum hidup” dengan agama Hindu sebagai “pusat seluruh aktifitas masyarakatnya, penjaga
kesatuan budayanya, dan sumber inspirasi bagi karya seninya.” Tanpa perlu terlalu paham
bagaimana masyarakat sebenarnya hidup, pemerintah Hindia Belanda memberlakukan Bali
sebagai sebuah tempat suci yang memiliki keunikan dan harus dijaga kelestariannya dari
pengaruh luar dan modernitas.

Pada 1915 didirikan Bali Instituut yang bertugas mengkaji dan mengusulkan kebijakan-
kebijakan yang harus dilakukan pemerintah kolonial terhadap Bali. Salah satu kebijakan yang
terpenting adalah sosialisasi ide “Bali otentik” kepada masyarakatnya melalui pengajaran, atau
yang lebih dikenal sebagai Baliseering (Balinisasi Bali). Sejak 1920 dimulailah pengajaran
bahasa, kesusastraan dan seni tradisional di kalangan kaum muda Bali supaya mereka sadar
akan kekayaan budayanya. Usaha mulia ini tentu bukannya tanpa alasan politis. Pemerintah
Belanda berkepentingan untuk meredam penyebaran agama Islam dan gerakan pembebasan
nasional yang mulai bangkit di Jawa dan Sumatra. Dengan menggandeng kaum ningrat Bali
sebagai alat untuk “menghindukan” Bali dan sokoguru aturan tradisional Bali, Belanda telah
menggunakan tameng yang tepat.

Penguasa kolonial kemudian menciptakan sistem “kasta” dan melegalisasi sifat hirarkisnya
untuk menjamin kesetiaan kaum ningrat Bali. Pemerintah tak lupa pula memperbaiki istana dan
rumah para pemimpin agama dan menempatkan para bekas raja dalam birokrasi pemerintahan.
Melalui penciptaan kelas ningrat Bali yang berpendidikan Barat untuk ditempatkan sebagai
pamong praja, Belanda menemukan cara yang jitu untuk meredam perlawanan terhadap
kekuasaan kolonial.

Penggunaan sentimen budaya untuk melanggengkan kekuasaannya sebenarnya merupakan


bagian dari Politik Etis Belanda. Kini kolonialisme bukan semata-mata penjajahan atas dasar
keinginan untuk meluaskan wilayah, tetapi lebih bertujuan menyelamatkan bangsa jajahan dari
keterbelakangan. Ia tampil dengan wajah yang lebih manis dan bersahabat agar proyek
eksploitasi bisa berjalan tanpa gangguan yang berarti. Seperti disinggung di atas, Bali dan
kebudayaannya perlu dirawat dan dilindungi dari pengaruh luar, apakah itu Islamisasi,
Kristenisasi, atau modernisasi, supaya ia mudah dikendalikan dan dimanfaatkan seoptimal
mungkin potensinya. Dengan gambaran seperti itu masyarakat Bali akan selalu curiga akan
pengaruh luar dan segala apa yang buruk kemudian terjadi adalah karena faktor luar Bali.

Upaya “mengerangkeng” Bali ternyata tak sepenuhnya berhasil. Semangat jaman yang merasuki
kaum muda di Jawa menjalar ke pulau-pulau seberangnya, termasuk Bali, justru lewat salah satu
program Politik Etis, yaitu pendidikan. Ketika kaum muda terdidik Jawa mulai bergerak
menentang feodalisme dan kolonialisme, keinginan mengubah sistem masyarakat yang hirarkis
pun tumbuh di Pulau Dewata.

Tepatnya pada 1925, I Nengah Metra, seorang guru dari kalangan biasa yang mendapatkan
kesempatan bersekolah di Jawa kembali ke Bali dan mendirikan kelompok radikal Surya Kanta.
Kelompok ini bertujuan “memperjuangkan kesamaan hak antara kaum berkasta rendah dan
kaum bangsawan”. Melalui majalah dengan nama yang sama, Metra menuliskan gagasannya
yang menolak bahwa “kasta” seseorang diperoleh karena keturunan dan merupakan identitas
utama orang Bali. Ia juga mengusulkan penyederhanaan dan rasionalisasi upacara-upacara
keagamaan yang ada, seperti ngaben atau kremasi jenazah, karena biayanya begitu tinggi.

Tidak terlalu mengherankan bahwa gagasan Metra serta merta ditentang para pemilik kasta
tinggi yang memperoleh keuntungan dari status sosial tersebut. Lebih jauh lagi, pemerintah
kolonial melihat bahwa perjuangan untuk kesetaraan hak yang dilancarkan Metra adalah upaya
pemberontakan yang tidak hanya mengganggu pola perhubungan antar orang Bali, tapi juga
membahayakan kekuasaan kolonial. Gugatan terhadap sistem kasta dan tradisi dianggap sama
dengan sabotase terhadap proyek “pengkeramatan” budaya Bali untuk diperdagangkan.

Proyek kolonial “membalikan Bali” mendapatkan legitimasi cukup kuat dari kalangan
antropolog dan seniman internasional. Dengan dalih menyelamatkan Bali dari pengaruh buruk
modernisasi dan mengarahkan masyarakatnya supaya bisa menjaga “keaslian” budaya Bali,
kaum intelektual dan seniman dari Eropa dan Amerika mendirikan berbagai institusi pelestarian
budaya dan pengembangan kesenian Bali. Bahwa yang berkembang selama periode 1930an
kemudian konsep kesenian adiluhung ala borjuis Eropa tak bisa dihindarkan. Bali dengan segera
dikenal sebagai “surga di bumi”, tempat jiwa yang sakit akibat industrialisasi bisa disembuhkan.

Penguasa Baru, Kontrak Baru

Upaya menginternasionalkan Bali sesuai dengan ide borjuis Eropa agak terganggu sejak
masuknya Jepang dan bangkitnya gerakan pemuda nasionalis pada periode 1940an. Setelah
republik ini diproklamirkan, pemerintahan Soekarno berencana menghidupkan kembali turisme
di Bali. Namun ketegangan politik antara gerakan nasionalis kerakyatan dengan golongan
pendukung modal asing membuat rencana ini tersendat-sendat. Puncak ketegangan yang secara
resmi disebut Peristiwa G30S/PKI 1965 kemudian sama sekali menghentikannya, tetapi juga
sekaligus membuka pintu selebar-lebarnya untuk penguasa kolonial dengan wajah baru.

Dengan dana melimpah tak sulit Bank Dunia mempekerjakan rejim Orde Baru sebagai
pelaksana rencana-rencananya mengeksploitasi sumber daya alam Bali. Yang mungkin tidak
diperkirakan adalah kenyataan bahwa rejim yang dikendalikan sekumpulan mafioso bersenjata
ini tak punya konsep kebudayaan pencerahan, apalagi pembebasan, sama sekali. Dari segi
ekonomi pun, rejim parasit ini sekedar menjalankan strategi dagang makelar yang hanya
menerima pesanan tanpa tahu bagaimana sesungguhnya kapital bisa berkembang-biak. Bali di
bawah rejim Orde Baru tak lebih dari sapi perahan yang tidak dipelihara. Toh, Bank Dunia
membiarkan praktek pemerasan ini berlanjut sampai gerombolan pencoleng ini menyatakan tak
bisa bayar hutang!

“Sapi perahan” itu sedang sakit-sakitan dan nilai ekonominya semakin berkurang. Wisatawan
asing yang konon sakit jiwanya tidak akan mau mengeluarkan uang jika tidak terjamin
ketenangan dan kenyamanannya. Padahal hutang harus dibayar dan ini tidak bisa ditunda. Bali
harus disembuhkan supaya kelangsungan perputaran modal internasional tidak terhenti dan
pembayaran hutang sampai ke tingkat nasional dapat ditepati. Proyek penyembuhan inilah yang
kemudian dituangkan dalam proposal “Kebijakan dan Strategi untuk Pelestarian Warisan
Budaya Bali” – kontrak baru yang akan menjerat Bali untuk sekian dekade yang akan datang.

Kalau kita perhatikan secara seksama proposal Bank Dunia


2000 merupakan bagian dari paket penyesuaian struktural di bidang kebudayaan yang
disodorkan oleh IMF dan lembaga keuangan internasional lainnya. Bali menjadi sasaran utama,
dan juga model ideal bagi daerah lain di Indonesia, karena masyarakatnya telah begitu patuh
dan terlatih dalam melayani para wisatawan pembawa dolar. Selain itu, karena 60%
penduduknya secara langsung maupun tidak bekerja untuk industri turisme, dengan
pengelolaan yang lebih baik, hampir dapat dipastikan pembayaran hutang melalui perolehan
pajak akan lancar.
Proyek konservasi warisan budaya ini sebenarnya serupa
dengan proyek kolonial Belanda, Baliseering. Kalaupun ada perbedaan, itu hanya di tingkat
teknis pelaksanaan, bukan dalam semangat. Kebudayaan Bali perlu dirasionalisasi agar tercapai
standardisasi industri turisme yang bisa secara sistematis menghasilkan akumulasi modal. Dari
rencana aksi strategisnya tampak bahwa yang diutamakan proyek ini adalah institusionalisasi
kegiatan-kegiatan masyarakat yang nantinya bisa dijual kepada wisatawan asing. Mulai dari
pengajaran ilmu permuseuman di universitas, pendidikan pelestarian budaya bagi anak-anak,
renovasi situs-situs bersejarah sampai penguatan desa-desa adat akhirnya bertemu di
kepentingan meningkatkan nilai jual budaya Bali.

Masalahnya kemudian keputusan tentang budaya apa yang dianggap penting untuk dilestarikan
tidak ada di tangan masyarakat Bali sendiri, tapi pada Bank Dunia. Berarti akan terjadi proses
seleksi sistematis terhadap setiap ekspresi budaya yang muncul, bahkan pemusnahan terhadap
yang dianggap menyimpang dari rencana Bank Dunia. Misalnya, dalam proposal tersebut diakui
bahwa kebudayaan Bali bisa bertahan sekian lama antara lain karena masyarakat tradisional
berperan dalam pelestariannya. Pada saat yang sama, dibuat rencana mendidik komunitas desa
agar mampu merawat dan melestarikan artefak-artefak budayanya. Ini menunjukkan bahwa
Bank Dunia bukannya tidak tahu masyarakat Bali mampu menjaga habitatnya, tetapi lebih ingin
memastikan bahwa pekerjaan itu sejalan dengan rencana-rencananya.

Masalah lain yang tidak kalah pentingnya terlihat dalam rencana institusionalisasi agama Hindu
melalui pendirian desa-desa adat. Sejak Bali dibuka sebagai wilayah internasional penduduknya
menjadi sangat beragam, baik dari segi ras, etnis, maupun agama. Upaya menghindukan Bali
dengan sendirinya akan mengasingkan mereka yang tidak beragama Hindu, dan yang lebih
membahayakan lagi, mempertebal prasangka terhadap kelompok lain yang tidak mendukung
proyek ini. Gejala ini sudah mulai muncul dan menjadi bibit pertikaian di banyak kalangan.
Padahal, dalam sejarahnya agama Hindu di Bali bersifat sangat terbuka terhadap interpretasi
dan tidak mempersoalkan ketepatan tata cara menurut kitab suci seperti halnya agama-agama
Samawi.

Tentu saja masalah-masalah di atas bukan persoalan penting bagi Bank Dunia. Selalu akan ada
perangkat P3K baru untuk mengobati luka-luka di sana-sini. Yang penting usaha
mempertahankan Bali sebagai barang antik dalam hubungan produksi kapitalis bisa berjalan.
Bahwa barang antik itu sebenarnya fabrikasi kolonial, bukan soal karena wisatawan tidak akan
mau peduli juga dengan kompleksitas proses produksi yang melahirkan suatu komoditi. Lebih
jauh lagi, selama Bank Dunia bisa terlibat penuh dalam penataan dan pengendalian hubungan
produksi industri pariwisata demi perkembang-biakan modal, gangguan-gangguan yang
mungkin timbul akan dibebankan kembali pada masyarakat Bali.

Jelas yang paling dirugikan dalam seluruh proyek ini masyarakat Bali sendiri, terutama mereka
yang banting tulang mempertahankan struktur ini dengan imbalan seadanya. Sekali lagi mereka
dipisahkan dari penguasaan produksi kebudayaannya, dan sekarang mereka dihadapkan pada
perangkat-perangkat hukum yang dinyatakan sebagai miliknya sendiri. Perangkat formal yang
seharusnya berfungsi melindungi mereka dari kehancuran, seperti kantor dinas kebudayaan,
DPRD, bahkan pemerintahan desa, telah dimasukkan pula dalam panitia pelaksana rencana ini.
Kalau dinas kebudayaan menjadi mandor yang mengarahkan proses seleksi ekspresi budaya,
DPRD bertanggung jawab menciptakan perundang-undangan yang melegalkan kegiatan budaya
masyarakat, sedangkan pemerintahan desa menjadi pengawas harian atau polisi budaya
masyarakat. Bukan tidak mungkin suatu saat orang Bali bisa dianggap kriminal karena mencoba
mengekspresikan aspirasinya dengan cara yang “tidak Bali”.

ALIT AMBARA, ilustrator dan pengelola diskusibulanpurnama. [Dbp.]

1 | 2 | 3 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Cerita Pendek adalah bagian kedua dari dua bagian tulisan. Bagian pertama: Ketika Semagat Mulai Bergelora

BADAI BERGOLAK

Rani Lukita

Malam tiba. Bintang-bintang gemilang jadi obyek pertama tatapan mataku. Pikiranku melayang
tanpa tujuan, bertanya apakah Anna jadi salah satu dari bintang-bintang itu, tak hiraukan aku;
tak hiraukan manusia lain yang ada di muka bumi ini. Aku seperti ember yang sarat dengan
pilinan dan putaran rasa. Aku tak bisa bedakan rasa satu dan lainnya. Semua hanya ada di sana,
bercampur-baur dan membingungkan, saling belit satu sama lain. Sedikit saja disentuh, ember
ini akan terguling, dan seluruh isinya akan lenyap untuk selamanya .... "Tidak! Aku tak akan
biarkan kematian Anna hancurkan niatku melawan Belanda yang kejam dan tak berperasaan
itu!," aku menjerit.

Aku bangkit dari tempat tidurku, menapakkan sebelah kakiku di depan sebelah yang lain dengan
tegak. Aku dengar ayah sedang mempersiapkan diri untuk berperjalanan ke Saparua. Kemudian
aku teringat rencana yang rumit untuk menduduki Benteng Duurstede. Aku melompat menuju
ke lemari baju ayah dan mengambil senapannya. Aku raih pula segenggam peluru, memasukkan
butir-butir mungil mematikan itu satu per satu ke dalam senapan. Lalu, aku melesat menuju
perahu ayah dan naik ke dalamnya. Tak seorang pun berkomentar. Tak seorang pun berkata apa-
apa. Mereka tahu aku harus melepaskan kemarahanku, bahwa aku berjuang untuk kebebasan
kami. Dan, dengan itu, kami melepas sauh, pada tigabelas Mei 1817, menuju Saparua.

***

Perahu kami meluncur cepat membelah samudera. Setiap detik kami bergerak mendekati pantai,
dan juga, dini hari. Ayah mendesak kami supaya lebih cepat, dan kami mendayung lebih cepat
lagi. Sudah pagi ketika kami mendarat di pantai Saparua. Segera kami bergabung dengan
pasukan Kapitan Pattimura. Tak ada waktu untuk basa-basi; semua tahu kami di tempat ini
untuk satu misi yang penting: membebaskan diri kami dari kolonialisme. Kami menghabiskan
sepanjang hari menekuni peta demi peta dan membahas lewat mana kami akan menyerang
Benteng Duurstede. Akhirnya, diputuskanlah bahwa malam itu juga, pada 14 Mei 1817, kami
akan mulai berusaha menguasai Benteng Duurstede.

Aku merangkak diam-diam di sisi ayahku. Mataku tajam menyoroti satu benda ke benda
lainnya, sementara tanganku menghunus belati, siap menusuk apa pun yang bergerak. Aku
sentuh pula bayonet yang kusisipkan di sabukku. Bintang-bintang berkelip di atas, melihat kami
dengan penuh kekhawatiran. Anna melintas kembali di pikiranku, tak kuasa aku kebaskan dia
dari kenanganku. Tiba-tiba aku mendengar perintah untuk maju dan mulai menyerang. Dalam
sekejap aku dan ayah melompat menyeberangi dataran rumput, berteriak dengan seluruh nafas
di dada. Kami menyergap sekelompok prajurit Belanda tanpa diduga-duga, dan menikam
mereka dengan bayonet. Aku arahkan senapanku ke serdadu lainnya, dan dengan terampil
menarik pelatuk, tembuskan sebutir peluru ke perutnya. Aku memandang dengan tenang ketika
kehidupan tinggalkan matanya, dan ia mengerang jatuh ke tanah. Beberapa anggota pasukan
kami sudah berada di dalam benteng, dan timbul kekacauan diantara serdadu Belanda.
Seseorang menyalakan api di rerumputan dan api segera menjilat dinding Duurstede. Makian
panik dan teriakan kesakitan para serdadu Belanda menambah suasana kekacauan, dan itu
semakin membakar semangatku. Aku melesat maju, menikamkan bayonetku ke sana kemari,
melepaskan beberapa peluru lagi diantaranya. Mayat-mayat bergelimpangan, dan rumput terasa
begitu kasar oleh kaki telanjangku. Aku sempat melihat seorang lelaki masih berpiyama
melindungi istri dan kedua anaknya. Mungkin dialah yang disebut Residen van Berg? Tak soal.
Ia pun ditembak dan jatuh ke bumi, mati.

***

Aku tak ingat lagi kapan aku pernah merasa begitu bersemangat dan malu pada saat bersamaan.
Sudah tiga hari sejak kami datang ke Benteng Duurstede, dan kami berhasil merebutnya dari
tangan Belanda. Kami telah membantai seluruh penghuninya, dan tak seorang Belanda pun
terlihat. Begitu banyak orang mati di tanganku saja. Karena itu aku bingung apakah aku harus
bergembira, atau menyesal. Sekali lagi aku merasakan getaran emosi merayapi seluruh tubuhku,
aku menggigil tak terkendali. Apakah ini yang harus kami lalui untuk memperoleh kembali
kebebasan kami? Banyak prajurit kami melompat-lompat dan menari kegirangan. Beberapa
membersihkan belati dan bayonet mereka. Mereka pun bersimbah darah. Mataku membelalak
melihat mereka, tapi kemudian aku menyadari bahwa aku pun bersimbah darah.

***

Kami sekarang berkawan baik dengan pasukan Pattimura, mereka seperti saudara kami saja.
Setelah menaklukkan Duurstede, kami berpisah dengan Pattimura. Kami bersiap menyerang
Benteng Beverdijk, tak jauh dari Duurstede. Tak perlu waktu lama untuk taklukkan benteng
kedua ini setelah membantai seluruh prajurit Belanda di sana. Belanda belum juga menyerah.
Mereka luncurkan kapal mereka, de Zwalluw, untuk menyerang kami, tapi setiap usaha mereka
gagal. Semuanya berjalan lancar, sampai seorang guru misterius bernama Sosalisa muncul di
benteng kami.

Sosalisa orang biasa saja. Dengan hidung pesek, kumis tebal, kemeja dan celana yang bersih, dia
tampak terlalu biasa sebagai kriminal. Namun ada sesuatu yang mencurigakan dalam cara dia
berjalan, nada panik ketika dia bicara, dan cara dia menatap masing-masing wajah kami dengan
penuh selidik. Ia seakan-akan menyebarkan suasana keramahan yang berlebihan, dan aku tak
pernah sanggup menjelaskan dengan tepat apa yang aku rasa salah tentang dirinya.

Penjaga-penjaga kami memperbolehkan Sosalisa masuk setelah bertemu selama beberapa menit
saja. Mereka pikir ia hanyalah seorang guru biasa yang ingin berlindung di tempat kami
semalam saja. Betapa cerobohnya mereka ini! Kegiatan Sosalisa ternyata sangat merusak dan
membawa malapetaka bagi kami semua. Ia didekati oleh Belanda. Kemudian, ia menyatakan
pada Belanda, bahwa atas nama seluruh raja-raja Maluku, kami ingin adakan gencatan senjata.
Sosalisa tak hiraukan protes kami, dan sudah terlambat untuk cegah apa pun. Pada 10 November
1817 pasukan Belanda membanjiri benteng kami. Beberapa dari kami mencoba menyelinap
keluar, tetapi sergapan itu begitu tiba-tiba sehingga dalam waktu singkat mereka berhasil
menangkap kami semua. Kami dibawa ke pengadilan dan hanya sedikit dari kami bebas dari
hukuman mati. Ayahku pun tidak.

***

Jari jemariku mencengkeram tembok, mencoba memperlambat kejatuhanku. Aku jatuh


berdebam ke bumi, tahankan punggungku yang sakit. Aku dan sekelompok prajuritku berhasil
menyelinap diam-diam di kegelapan malam. Aku bisa menghitung jumlah prajurit yang tersisa
dengan jari tanganku. Tinggal sedikit sekali dari kami yang masih bebas. Ayahku baru saja
digantung kemarin, dan aku enggan mengenang kematiannya. Akan kubawa gerak
kepahlawanannya sepanjang hidupku. Karena itu aku berhasil melarikan diri dari cengkeraman
tangan Belanda.

Kami bergerak semakin jauh ke pedalaman hutan, sambil abaikan semak berduri yang
menggores dan membuat kaki-kaki kami berdarah. Aku kencangkan sabuk merah setiaku di
pinggang. Tanganku mengepal begitu erat sampai kuku jemariku tenggelam dalam kulit
telapaknya. Aku tak sanggup hentikan airmataku, yang mengalir pelahan dengan bulir-bulir
besar. Aku terjatuh berlutut di atas tanah berbatu-batu tajam. Kenangan akan ayah dan aku
terus banjiri otakku; tentang dia dan aku berenang di laut sambil dia peluk Anna; tentang dia
mengajarku ketrampilan berperang di pekarangan belakang rumah; tentang senyum
sempurnanya setelah memenangkan pertempuran dengan Belanda; tentang kerja kerasnya
sepanjang hari untuk ibu dan aku. Bagaimana mungkin mereka mengambil dia begitu saja dan
menggantungnya hanya dalam waktu seminggu? Kami masih harus perangi bersama lebih
banyak pertempuran. Kami berencana melempar Belanda keluar dari negeri kami yang cantik
mempesona ini! Betapa beraninya mereka....

Aku rasakan sentuhan menenangkan di pundakku. Salah satu temanku. Ia memandangku


dengan mata yang keras dan dingin. Aku tahu bahwa ia pun dilumuri kesedihan. Ia hanya tak
mau menunjukkannya. "Martha, ingat. Semuanya sekarang bergantung pada kita untuk
melanjutkan peperangan melawan Belanda. Kita tak bisa menyerah sekarang," ia bergumam
sambil membantuku berdiri pelahan-lahan. "Ya, aku tahu". Dan, dengan ucapan itu aku lepas
sabuk merahku dan memakainya untuk mengikat rambut panjang kasarku, di seputar dahiku.
Aku genggam bayonetku erat-erat dan biarkan darah menetes lebih banyak karena
ketajamannya. "Ayo! Maju terus pantang mundur!" aku berteriak nyaring. Kami bergerak lagi ke
dalam hutan dan mengumpulkan lebih banyak prajurit yang berontak.

***

Aku terengah-engah. Salah satu mata-mata kami tertangkap ketika ia sedang mencoba
menyusup ke salah satu desa yang sedang kami amati untuk menambah jumlah prajurit. Kami
baru mencoba cara ini selama kurang dari seminggu; kami bahkan hanya miliki tidak lebih dari
50 orang dalam pasukan. Begitulah, kami sekarang benar-benar sedang berlari untuk hidup
kami. Tanpa peringatan, ada sosok raksasa muncul di hadapanku, dan mencabut cabang pohon
besar dengan tangannya yang kekar berbulu. Yang aku tahu kemudian hanyalah semburat merah
yang mengaburkan pandanganku, kemana pun mataku mengarah; lalu .. kegelapan.

***

Aku terbangun di ruangan yang pengap, penuh sesak dengan orang yang mengerang kesakitan.
Terus, tampak olehku bahwa kedua belah tangan dan kakiku diikat kuat dengan tali yang
mengiris dalam kulitku. Darah yang keluar dari jari-jemariku bercampur dengan darah yang
mengalir di sepanjang lantai kayu. Aku berhasil jernihkan pandanganku, dan saksikan seorang
lelaki, memuntahkan darah dari mulutnya. Pintu di ujung lain ruangan terbuka, biarkan sebersit
sinar matahari menyelinap. Aku bisa melihat sesuatu yang begitu besar dan luas, dan .. biru .. di
luar sana. Di mana aku? Di mana aku? Otakku hanya bisa mengulang-ulang tiga kata itu. Aku
merasa lemah oleh kelelahan, aku belum makan selama ... selama, entahlah aku tah tahu berapa
lama, tapi aku tahu aku perlu makan. Sulit buat aku bernafas, kerongkonganku serasa
tersumbat. Dua orang lelaki berpakaian ... seragam Belanda, berjalan dengan angkuhnya
mendekati aku yang pelahan tercekik hampir mati. Mereka tarik lenganku dan menyeret aku
keluar. Aku pingsan.

***

Aku tersedak. Air es menetes dari rambutku yang tak beraturan. Aku hanya menatap tetesan air
jatuh satu-satu ke lantai kayu yang kupijak. Lengan dan kakiku diikat ke dua tonggak dan aku
dibiarkan menggelantung dari pergelangan kaki-tanganku. Di mana aku?, aku ulangi pertanyaan
yang sama diam-diam. Tanpa kuduga, aku merasa sesuatu yang keras dipukulkan ke
punggungku. Aku baru menyadari bahwa aku ditelanjangi dari bahu sampai ke pinggangku.
Benda keras itu makin kencang memukul punggungku, dan sakitnya tak tertahankan. Toh, aku
tak keluarkan suara sedikit pun. Kulakukan satu-satunya yang bisa aku lakukan: aku gigit
lidahku dan coba kendalikan nafasku. Aku angkat kepalaku sejenak, hanya untuk tertunduk
kembali oleh sabetan benda keras bergerigi itu. Aku rasakan sesuatu yang hangat mengalir pelan
di punggung, leher dan kedua belah kakiku. Ketika aku melihat genangan darah yang berkumpul
di bawahku, aku tahu aku mengalami pendarahan yang mengerikan.

***

"Nah! Sekarang apa yang mau kau perbuat, Martha Christina Tiahahu!?!", teriak lelaki yang
memukuliku dengan sekarang aku tahu sepotong kayu tajam. Ia bicara dengan nada mengejek
dan suatu dosa untuk menjawabnya. Kendati demikian, aku tersenyum saksikan ironi yang
terjadi, tapi itu cuma sebentar. Ia pukul aku tanpa ampun, lagi dan lagi.

***

"Masih ada lagi dari kalian yang berkeliaran di luar sana?", ia meraung sambil paksa kepalaku
tunduk. Ia pasti sudah menyuruh temannya yang menunggu dengan sabar di ambang pintu
dengan ember di tangannya karena temannya mendekat dan meletakkan ember itu di bawah
kepalaku. "Tak mau jawab aku, kan? Aku pastikan kamu akan menjawab!" Dengan gertakan itu,
ia tenggelamkan kepalaku ke ember penuh air, dan menahannya di sana. Aku meronta sekuat
tenaga yang tersisa, tapi itu tak cukup, aku terlalu lemah. Ia lepaskan kepalaku, dan aku bisa
hirup sedikit udara, tetap tak bicara.

"Baiklah," ia berjalan mengelilingi aku dengan tangan terlipat di balik punggungnya. Aku ludahi
sepatu botnya yang bersih mengkilat. "Oh, gadis yang kuat kamu ya?" ia berhenti sejenak.
"Baiklah. Mungkin kita memang harus pakai cara keras". Ia panggil lelaki lain yang berpakaian
kotor, penuh keringat dari kepala sampai kaki. Ia mengambil lilin dan menyalakannya dengan
korek api. "Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan", ia bergumam. Aku rasakan tangannya
menarik rok bawahku, kemudian ia jatuhkan lilin yang menyala itu dengan ragu-ragu ke rok ku.
Aku menggeretak gigiku. Api segera melalap rokku, dan menyengat kulit ku yang lelah. Aku tak
tahan lagi dan berteriak kesakitan. "Stop!" ujar si lelaki tanpa perlihatkan perasaan apa-apa. Air
dingin disiramkan ke tubuhku dan aku lunglai lega. "Sekarang katakan, apakah masih ada
pasukanmu yang tersisa di luar sana?" ia mengulang pertanyaannya dengan ketenangan yang
terkendali. Aku pejamkan mataku kuat-kuat. Ia tak akan dapatkan kenikmatan dari
mendengarkan suaraku. Ia mengambil napas panjang, menampar mukaku dengan kayu. Aku
menyeringai kesakitan. "Bagus... Bebaskan dia ... ". Aku rasakan letupan kegembiraan dalam hati
ketika aku diseret kembali ke ruangan pengap tempat aku berasal.

***

Acara siksaan itu berlangsung berhari-hari. Aku menolak makanan apa pun. Aku berbalik ketika
mereka paksakan obat masuk ke kerongkonganku. Aku tak bisa berhenti berpikir tentang ayah,
Anna dan ibu. Mereka hadir dalam mimpi-mimpiku, dan mereka berenang di laut setiap kali aku
melihat ke luar jendela. Senyum mereka begitu penuh kebahagiaan. Kadang-kadang aku ingin
menggapai mereka dan bergabung dalam kegembiraannya, tapi kemudian aku ingat mereka
telah mati. Sepertinya tak ada lagi harapan tersisa dalam hatiku. Pelan-pelan aku akan mati
kelaparan. Aku tak punya kekuatan lagi untuk membuka mataku, apalagi berbicara. Namun, aku
tak bisa berhenti berpikir. Bayangan tentang Benteng Duurstede, tentang tubuh-tubuh yang
bergelimpangan di halaman rumput, yang tak lagi hijau, tapi merah, melintas di benakku. Aku
hanya bisa memandang tahanan lain dengan tatapan kosong. Mereka pun kawan-kawanku, tapi
aku menolak bicara dengan mereka. Aku tak lontarkan satu kata pun di depan siapa pun. Aku
hanya bicara pada ayah dan Anna dalam mimpi-mimpiku.

Aku tahu akhir dari semua ini akan datang segera ketika aku terbangun tadi malam. Aku tak bisa
rasakan apa-apa lagi. Dan, meskipun aku berusaha keras untuk paling tidak membiarkan
mataku terbuka, aku tak mampu. Kegelapan muncul menghilang. Aku tak bisa menahannya lagi.
Saat itu, aku tak ingin mati. Aku berpikir tentang ayah, ibu dan Anna. Aku berpikir tentang langit
biru dan awan berarak, aku berpikir tentang masa depan pulauku. Tapi, kemudian aku lihat
mata lembut ayah tersenyum padaku, dan tiba-tiba aku merasa diselimuti kehangatan yang luar
biasa. Dengan itu, aku tarik napas panjang; dan biarkan dia pergi.

Martha Christina Tiahahu bertahan dalam sekian sesi penyiksaan di atas kapal yang penjarakan
dia. Dia dibuang dari Kepulauan Maluku dan dikirim ke Jawa dimana ia dipaksa bekerja di
perkebunan kopi. Di antara larut malam 1 Januari dan dini hari 2 Januari 1818, ia hembuskan
nafasnya yang terakhir. Abu jenazahnya ditaburkan di laut tenang antara Pulau Buru dan Pulau
Tiga.

Rani Lukita, masih berusia 12 tahun ketika ia mulai meneliti kisah Martha kemudian menuliskannya dalam bahasa
inggris sebagai tugas sekolah di SMP Pelita Harapan.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

EDITORIAL Edisi No 06 Tahun 2001

Krisis politik yang terus berlanjut, akhirnya diselesaikan dengan


Sidang Istimewa MPR dan menggusur Abdurachman Wahid
Pokok Media Kerjabudaya
sebagai Presiden. Namun konflik kekerasan yang bersifat vertikal
"Masa Mengambang" yang Tak Pernah
tidak pernah diselesaikan apakah itu kasus Semanggi, Sampit dan
Tenggelam
Aceh. Seolah-olah para anggota DPR melihat fenomena kejahatan
Mengubah Konstitusi, Memperkuat Bangsa
kemanusiaan itu masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Konflik Menata Ulang Indonesia
Untuk itulah, Media Kerja Budaya edisi no.6 menurunkan Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, John Roosa, Razif, Sentot Setyosiswanto

pembahasan pokok bagaimana seharusnya kita bisa hidup


bersama, bukan berarti kita harus hidup tanpa perdebatan untuk
masadepan kehidupan rakyat. Yang terpenting dalam mencapai Profil
hidup berdampingan bersama ini, kehidupan warganegara harus Hasta Mitra: Bertarung Melawan
dijamin oleh konstitusi, entah rakyat mendapatkan hak untuk Pembodohan
Razif
bekerja, hak mendapatkan pendidikan dan hak untuk
mengorganisir dirinya untuk menjadi mandiri. Yang selama ini Puisi Siti Rukiah Kertapati
tidak pernah menjadi prioritas utama bagi perkembangan Kritik Seni
masyarakat, sehingga yang terjadi ketika anggaran negara dipaksa
Reformasi dan Puisi Tanpa Daya Magis
dipotong, tidak ada lagi subsidi bagi masyarakat, maka yang terjadi Nur Zain Hae
adalah pelanggaran terhadap hak-hak rakyat.
Klasik
Raffles Bukan Berhala Sejarah
Apakah pertumpahan darah dan pengorbanan kita selama ini akan
Hersri Setiawan
diakhiri dengan mengungkung kembali kebebasan dan mencabut
Cerita Pendek
hak-hak dasar rakyat?
Badai Bergolak
Rani Lukita
Lembaga-lembaga negara akan terus menjadi kuat dengan
memberlakukan undang-undang yang selalu menyingkirkan orang Esai
miskin, mereka tidak dilindungi oleh konstitusi, sehingga mereka Setelah Pesta Usai
dibiarkan untuk mati. Rakyat tidak mempunyai hak untuk Zhou Fuyuan

mengontrol sumber alamnya sendiri, tetapi hak kontrolnya Logika Kultura


diserahkan kepada modal asing. Keadaan ini sama diberlakukan Ilmu Sosial, Seberapa Ilmiah?
pada sebagian masyarakat yang dianggap tidak patuh akan John Roosa
mendapat hukuman, kehilangan pekerjaan, kehilangan suami, Resensi Buku
kehilangan anak, kehilangan kehormatan dan kehilangan identitas. Membangun Solidaritas Kemanusiaan
Mahendra
Aturan adalah produk kebudayaan manusia. Dan ternyata dalam Tokoh
perkembangannya, yang berkuasa berhak mengubahnya menjadi
Ninotchka Rosca
lebih menguntungkan untuk dirinya. Sekarang ini setiap orang Wawancara oleh Ayu Ratih & John Roosa
menjadi dewa dengan kekuasaannya yang ada di tangannya. Dan di
Berita Pustaka
republik ini sekarang begitu banyak dewa. Dari dewa yang kecil di
tempat kecil, hingga dewa besar dan yang amat besar yang berada
di pusat dan puncak kekuasaan. Terlalu banyak yang harus
disembah oleh rakyat. Terlalu banyak.

Gerakan untuk merebut hak berasal dari gagasan dan kebudayaan.


Dasar kebebasan berekspresi terletak pada hak yang tak
terpisahkan setiap rakyat untuk mempunyai sejarah sendiri. Oleh
karena itu, tujuan pembebasan adalah mendapatkan kembali hak
ini, yang dirampas oleh kekuasaan negara demi kepentingan
kekuatan imperialis, yaitu pembebasan kekuatan-kekuatan
produksi dan kemampuan untuk menentukan secara bebas cara
produksi yang paling sesuai dengan evolusi rakyat, perlunya
membuka prospek baru untuk proses budaya masyarakat yang
bersangkutan, dengan mengembalikan kepadanya semua
kemampuan untuk menciptakan kemajuan.

Pemimpin Redaksi

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

versi teks

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

"Masa Mengambang" yang Tak Pernah Tenggelam


Tim Media Kerja Budaya

"Masyarakat Indonesia primitif." Begitulah pandangan banyak orang terdidik, yang mestinya
lahir setelah melihat foto dan membaca laporan tentang kekerasan yang mengerikan di berbagai
tempat seperti Kalimantan Tengah dan Maluku. Ada kesepakatan umum, bahkan di kalangan
yang menganggap dirinya pro-demokrasi, bahwa orang Indonesia belum siap berdemokrasi
karena masalah selalu diselesaikan dengan kekerasan. Belum lagi keterikatan orang akan
identitas tradisional dan kolektif seperti etnik, tingkat pendidikan yang rendah dan kemiskinan
yang hebat. Demokrasi seolah-olah masih jauh di depan, sebuah mimpi yang bisa terwujud kalau
semua orang sudah menyandang gelar sarjana dan berpendapatan tinggi.

Pandangan seperti ini bukanlah penilaian yang tepat tentang masyarakat Indonesia, tapi secara
tepat mencerminkan pemahaman kalangan terdidik yang "primitif" mengenai demokrasi. Salah
satu warisan jelek dari Orde Baru adalah kalangan terdidik yang diindoktrinasi sedemikian rupa
sehingga menganggap kediktatoran sesuatu yang normal. Kelas ini hidup nyaman di balik pagar
tembok tinggi, begitu berjarak dan tak mempercayai rakyat, sehingga pikirannya mirip-mirip
penguasa kolonial yang menganggap "massa rakyat" sebagai kumpulan mahluk bodoh, pemalas
dan senang kekerasan. Ketika menghadapi kasus-kasus kekerasan massal, mereka menggunakan
asumsi-asumsi tak berdasar tentang "watak primitif" dari rakyat, dan gagal melihat bagaimana
modernisasi Orde Baru yang kacau dan anti-demokratik sesungguhnya menciptakan kekerasan
secara teratur. Sementara kalangan terdidik ini melihat khalayak di sekelilingnya sebagai
penghambat demokrasi, yang terjadi adalah sebaliknya: kalangan terdidik inilah yang lebih
menghalangi berkembangnya demokrasi.

Sejak awal kekuasaannya, rezim Soeharto berikrar akan meletakkan dasar-dasar bagi demokrasi
di masa mendatang. Para pejabat tinggi mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah
prasyarat bagi demokrasi. Banyak orang dari kelas yang diuntungkan oleh Orde Baru percaya
akan doktrin itu. Begitu pula sebagian intelektual yang kemudian menulis tentang Orde Baru
sebagai tahap transisi atau persiapan menuju demokrasi. Kita ambil saja satu sebagai contohnya,
yakni Nurcholish Madjid yang pada tahun 1994 menulis bahwa demokrasi adalah "kelanjutan
logis keberhasilan pembangunan nasional." Orde Baru menurutnya menciptakan "tingkat
ekonomi yang relatif memadai, persatuan dan kesatuan nasional, stabilitas, keamanan dan
ketertiban nasional". Golkar pun dianggap sebagai "berkah" karena menjadi "pendukung utama
terwujudnya pemerintahan yang stabil dan kuat, yang memungkinkan pembangunan
nasional." ("Demokrasi dan Demokratisasi di Indonesia," dalam Demokratisasi Politik, Budaya
dan Ekonomi, E.P. Taher ed., Jakarta, 1994).

Komentar itu mencerminkan pandangan standar di kalangan intelektual Indonesia: bahwa Orde
Baru membangun dasar-dasar bagi demokrasi. Lalu, tesis kesukaan sebagian intelektual yang
dianggap "pro-demokrasi" pada tahun 1980-an dan 1990-an adalah bahwa kelas menengah,
yang terbentuk melalui pertumbuhan ekonomi Orde Baru, akan menjadi pendorong utama bagi
gerakan baru menuju demokrasi. Kelas menengah inilah yang akan mendorong kediktatoran
Soeharto ke pinggir, jika tidak mendongkelnya. Kaum intelektual ini bertolak dari premis yang
sama seperti Orde Baru – bahwa orang Indonesia pada dasarnya primitif dan terbelakang – dan
berkesimpulan bahwa hanya kaum profesional terdidik di perkotaan, dengan wawasan
kosmopolitan serta perut kenyang, yang dapat mematahkan "kebiadaban rakyat" dan memimpin
oposisi terhadap Orde Baru.

Namun, sekarang ini sudah jelas bahwa kelas menengah (apa pun pengertian kita tentang
kategori yang begitu longgar) bukanlah kekuatan pendorong di balik jatuhnya Soeharto. Ada
banyak kelas yang terlibat di dalamnya. Justru sebaliknya, banyak kelas menengah yang pada
bulan Mei 1998 berlompatan ke Kijang atau Cherokee mereka, mencari kenyamanan di Puncak
atau luar negeri. Tiga dekade pertumbuhan ekonomi Orde Baru melahirkan kelas yang mapan
dan sekaligus takut kehilangan harta benda mereka. Kelas yang oleh kaum intelektual diharap
menjadi agen perubahan ternyata hanya segerombolan penakut yang konservatif.

Keyakinan pada kelas menengah sebagai agen demokrasi sebenarnya sejalan dengan pikiran
Orde Baru mengenai demokrasi. Ketika Brigjen Ali Moertopo pertama kali mengemukakan
konsep "massa mengambang" dalam Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun (1972),
ada banyak orang sipil yang setuju dengannya. Konsep ini bahkan tidak bisa dilihat semata-mata
sebagai ciptaan negara Orde Baru, tapi sebagai kesepakatan di antara sekian banyak elit sipil.
Lagipula, buku itu sebenarnya tidak ditulis oleh Moertopo sendiri, melainkan oleh sebagian
intelektual CSIS berdasarkan berbagai ceramah dan wawancara dengannya.

Dengan konsep massa mengambang ini para kolaborator bisa melihat rezim Soeharto yang anti-
demokratik sebagai sesuatu yang sah. Keterbelakangan rakyat Indonesia itulah yang membuat
mereka harus berada di bawah kekuasaan seorang sultan dan pasukan militernya. Orang
Indonesia harus dipaksa memasuki "modernisasi" karena masih terperangkap dalam "alam
pemikiran yang belum cukup rasionil". Orang Indonesia tidak bisa diberi demokrasi karena
mereka dengan mudah dimanipulasi dalam "pertentangan politik dan ideologi sempit". Lebih
baik rakyat di pedesaan tidak terlibat politik sama sekali dan bekerja saja di sawah atau ladang
sepanjang hari. Mereka harus dipisahkan dari partai-partai politik (artinya dipisahkan dari
proses demokratik), dan dibiarkan "mengambang" sebagai hamba setia rezim yang neo-feodal.
Orde Baru menyebut sistem anti-demokrasi ini sebagai "demokrasi Pancasila" yang tentunya
merendahkan makna Pancasila itu sendiri.

Sungguh kesalahan yang serius ketika intelektual Indonesia percaya bahwa sebuah negeri harus
melalui fase non-demokratik untuk mempersiapkan diri menuju demokrasi. Ekonomi pemenang
Anugerah Nobel Amartya Sen menulis, "sepanjang abad ke-19, para teoretisi demokrasi
menganggap diskusi tentang apakah sebuah negeri 'cocok untuk demokrasi' atau tidak, sebagai
sesuatu yang wajar. Pemikiran ini berubah dalam abad ke-20, ketika menyadari bahwa
pertanyaan itu sesungguhnya keliru: Sebuah negeri tidak bisa dinilai apakah sehat untuk
demokrasi, tapi justru negeri itu akan menjadi sehat melalui demokrasi." (Journal of Democracy
10:3, 1999). Dengan kata lain, sebuah bangsa yang miskin dan tak terdidik akan maju pertama-
tama melalui pembentukan sistem politik yang demokratik. Sen menulis bahwa pikiran itu mulai
berubah di abad ke-20, tapi tentunya ia tidak memasukkan Indonesia di mana kaum
intelektualnya masih terjerembab dalam alam pikir dari abad sebelumnya.

Cukup jelas pula bahwa selama tiga dekade rezim Soeharto tidak membawa Indonesia ke jalan
menuju demokrasi. Sebaliknya, tugas membangun demokrasi sekarang ini justru lebih sulit dari
sebelumnya. Buktinya bisa kita temukan di produk utama dari "demokrasi" kita sekarang, yakni
DPR. Partai-partai yang menang dalam Pemilu 1999 tidak menganggap diri sebagai wakil rakyat,
tapi lebih sebagai "elit politik" yang seolah punya hak sejak lahir untuk memimpin dan
memungut pajak dari wong cilik. Megawati misalnya menggunakan istilah "elit politik" untuk
menyebut dirinya dan para pemimpin partai yang lain tanpa rasa malu sedikit pun. Boleh jadi ia
menganggap dirinya sebagai seorang putri yang tugasnya hanya tersenyum dan melambaikan
tangan. Para elit ini tidak melihat orang Indonesia lainnya sebagai warga (citizen) dengan hak-
hak tertentu, dan karena itulah mereka tidak pernah memprioritaskan reformasi konstitusi
untuk menjamin hak-hak tersebut. Seperti kita tahu prioritas mereka justru mengeruk uang dan
kekuasaan untuk kepentingan partai dan diri sendiri. Tentu saja sulit membangun demokrasi
ketika partai-partai politik, yang seharusnya menjadi kendaraan untuk mengubah negara,
berkait-kelindan dengan dunia gangster politik Orde Baru.

Demokrasi sekarang dipahami begitu sempit sehingga banyak orang percaya bahwa Indonesia
sekarang adalah negeri demokratik hanya karena berhasil menjalankan pemilu bebas pada tahun
1999. Pemilu yang bebas tentu saja penting tapi bukan satu-satunya alat ukur demokrasi.
Pertama, sebuah negeri bisa disebut demokratik, jika semua lembaga negara bertanggungjawab
kepada rakyat. Indonesia belum punya pemerintahan demokratik karena masih ada banyak
posisi, seperti camat, yang tidak dipilih secara langsung. Militer dengan struktur teritorialnya
juga seperti punya pemerintahannya sendiri; menjadi negara dalam negara yang sama sekali
tidak transparan. Kedua, pemerintah harus menghargai hak-hak demokratik, seperti kebebasan
bicara, menerbitkan sesuatu dan berkumpul. UUD 1945 tidak secara tegas mendukung hak-hak
dasar itu dan pemerintah yang berkuasa berulangkali melanggarnya tanpa sanksi apa pun.
Ketiga, harus ada pemerataan ekonomi, atau setidaknya langkah-langkah yang jelas menuju ke
arah itu. Pemilu tidak banyak artinya bagi masyarakat yang masih memiliki kesenjangan kelas
demikian hebat. Segelintir orang yang menguasai kekayaan negeri juga sekaligus berkuasa dalam
proses pemilihan. Hak-hak politik bagi warga dengan begitu tidak ada artinya sama sekali.
Sukarno pernah menggambarkan demokrasi borjuis ini dengan pernyataan "di lapangan politik
rakyat adalah raja, tetapi di lapangan ekonomi tetaplah ia budak" (Dibawah Bendera Revolusi,
hal. 585).

Kita bisa menilai watak "elit politik" sekarang tepat dari kritik mereka terhadap Orde Baru. Satu-
satunya kritik yang kita dengar adalah bahwa Orde Baru itu sungguh korup. Tapi kita tidak
pernah dengar keluhan apa pun tentang "depolitisasi ekonomi" yang dikumandangkan oleh
ekonom Sumitro dan rekan-rekannya, dan menganggap seolah-olah pembagian kekayaan dan
milik di negeri ini hanyalah urusan teknis, dan bukan urusan politik yang seharusnya diputuskan
oleh semua rakyat. Dan para ekonom yang ikut mendirikan Orde Baru dan tetap menyebar mitos
tentang "ilmu ekonomi" yang non-ideologis dan bebas nilai, pun tetap dianggap sebagai ahli-ahli
terbaik di negeri ini oleh "elit politik" sekarang.

Kita tahu bahwa anggapan mereka keliru belaka. Korupsi adalah masalah yang mengaitkan
ekonomi dengan politik secara langsung. Gelar "salah satu negara paling korup di dunia" yang
disandang Indonesia sekarang ini, adalah tanda tidak adanya demokrasi. Korupsi tidak mungkin
diperangi secara serius dengan menempatkan segelintir orang jujur di dalam birokrasi atau
membuat sejumlah perubahan prosedural. Adalah warga yang harus diberdayakan dan secara
aktif terlibat dalam pemerintahan. Jika tidak, siapa yang bisa menghentikan para birokrat untuk
menyelewengkan milyaran dolar, seperti yang dilakukan Bank Indonesia dalam kasus BLBI?

Nampaknya sudah jelas bagi kita bahwa gelombang kekerasan yang melanda negeri ini adalah
hasil dari tumpukan masalah selama berkuasanya Orde baru. Tapi di tengah hiruk-pikuk "elit
politik" kekerasan dianggap sebagai gejala baru yang tidak ada kaitannya dengan zaman
keemasan Soeharto, ketika segalanya terasa nyaman dan damai. Karena itu, jalan keluarnya bagi
mereka bukanlah dengan mengubah semua kebijakan dan gagasan Orde Baru, tapi justru
menerapkannya lebih hebat lagi. Jika rakyat Aceh misalnya, terasing dari pemerintahan pusat
setelah teror militer selama sepuluh tahun berlakunya DOM, maka jalan keluar sekarang justru
menambah pasukan di sana. Jika rakyat Kalimantan dan Sulawesi berduyun-duyun diusir oleh
perkebunan kelapa sawit dan pertambangan (yang menciptakan beragam konflik atas tanah),
maka jalan keluarnya justru dengan memperluas perkebunan dan membangun tambang-
tambang baru. Jika perekonomian hancur karena ketergantungan yang akut pada modal asing
(sehingga munculnya masalah hutang luar negeri yang luar biasa besar dan larinya modal
jangka-pendek pada tahun 1997), maka jalan keluarnya justru mengubah seluruh perekonomian
untuk memuaskan investor asing.

Kekerasan di Kalimantan Tengah misalnya jelas bukan produk dari pertentangan tradisi atau
karena watak "primitif" masyarakat, tapi justru karena "modernisasi" yang diterapkan Orde Baru
di sana. Di masa kekuasaan Soeharto orang Dayak diusir dari tanah-tanah mereka dan semua
"tradisi" Dayak pun luluh lantak. Kita tidak bisa bicara tentang orang Dayak sebagai masyarakat
tradisi atau asli sekarang ini, karena komunitas mereka sudah berubah secara dramatis dengan
adanya ekspansi kapitalisme. Sementara itu orang Madura dibawa ke sana melalui program
transmigrasi yang dirancang dan dilaksanakan secara serampangan dengan korupsi di mana-
mana, sehingga gagal membawa kemakmuran. Banyak preman Dayak dan Madura yang terlibat
dalam aksi kekerasan di sana punya koneksi dengan lembaga yang membanggakan diri sebagai
pendorong modernisasi, yakni militer. Para pemimpin Dayak yang terlibat dalam aksi-aksi
kekerasan di sana tidak lain bagian dari institusi yang paling modern di sana, yakni Universitas
Palangkaraya. Semua ini menunjukkan bahwa masalah di Kalimantan Tengah sesungguhnya
adalah "modernisasi" yang kacau-balau ciptaan Orde Baru. Tapi masalah ini luput dari perhatian
kaum intelektual, yang karena tidak punya perspektif kritis mengenai pembangunan ekonomi
Orde Baru, akhirnya mencari-cari penjelasan dalam "keterbelakangan budaya" rakyat setempat.

Banyak intelektual sekarang yang ternyata gagal mengambil pelajaran dari pengalaman hidup di
bawah Orde Baru: bahwa kita tidak mungkin membangun bangsa dengan meningkatkan
ketimpangan di antara warga dan memusatkan kewenangan di tangan segelintir institusi yang
tidak bisa diminta pertanggungjawabannya seperti birokrasi sipil dan militer sekarang. Lagi-lagi
Amartya Sen berkomentar tentang ini: "Masalah-masalah di Asia Timur dan Tenggara
belakangan ini memperlihatkan antara lain hukuman bagi pemerintahan yang tidak demokratik.
Dan ini terlihat dari dua hal. Pertama, perkembangan krisis finansial di beberapa negeri
(termasuk Korea Selatan, Thailan dan Indonesia) terkait erat dengan kurangnya transparansi
dalam bisnis, terutama kurangnya partisipasi publik dalam meninjau kesepakatan-kesepakatan
finansial yang dibuat. Tidak adanya forum demokratik yang efektif sangat berpengaruh dalam
kegagalan ini. Kedua, ketika krisis finansial itu menuuju resesi ekonomi, kekuatan demokratik
yang melindungi – yang mencegah terjadinya kelaparan massal di negeri-negeri demokratik –
tidak ada di negeri seperti Indonesia. Kaum yang terampas harta-bendanya tidak punya orang
yang mendengarkan nasib mereka."

Masalah yang dihadapi Indonesia sekarang adalah berlanjutnya kekuasaan para mantan
menteri, penasehat, penyair dan pokrol bambu warisan Soeharto yang hanya berbicara dalam
bahasa kekuasaan, bukan bahasa hak. Tegasnya, elit yang berkuasa sekarang adalah elit yang
sama pada masa Orde Baru tanpa Soeharto. Kemiskinan wacana intelektual Indonesia sekarang
ini bertolak dari asumsi bahwa rakyat terlalu biadab untuk diberi hak-hak. Karena itu kita selalu
mendengar orang bicara tentang masa sekarang yang "terlalu demokratik" padahal
sesungguhnya demokrasi nyaris tidak ada. Konsep "massa mengambang" masih berjaya dan
belum ditenggelamkan ke dasar samudra, yaitu tempat yang paling pantas bagi kebodohan yang
tak termaafkan.

Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, John Roosa, Razif, Sentot Setyosiswanto

1 | 2 | 3 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Mengubah Konstitusi, Memperkuat Bangsa


Tim Media Kerja Budaya

Hidup bersama sebagai bangsa berarti melihat sesama sebagai mahluk setara, yakni sebagai
manusia dengan hak-hak sama yang dijamin hukum. Kesetaraan politik ini adalah esensi dari
identitas nasional, dan bukan tempelan yang boleh dibongkar-pasang sesuka penguasa. Sebuah
bangsa, seperti kita ketahui, adalah sekelompok orang yang memiliki solidaritas horisontal yang
kuat. Dan dari mana datangnya solidaritas, penghargaan terhadap sesama, jika bukan dari
kepastian yang nyata dan kuat bahwa kita semua memiliki hak yang sama? Orang harus merasa
setara bukan hanya dalam imajinasinya, dan bukan pula semata-mata secara simbolik (misalnya
saat berdiri di lapangan dan menyanyikan Indonesia Raya), tapi dalam praktek sehari-hari
lembaga pemerintah. Prasyarat dasar bagi sebuah bangsa yang kuat adalah konstitusi yang
secara eksplisit mencantumkan hak-hak tersebut dan menjadi panduan hidup bernegara. Tanpa
konstitusi yang mengakui dan menjamin hak-hak itu bagi setiap warga, maka kita tidak mungkin
membangun bangsa. Seperti dikatakan Soekarno tahun 1956, "negara demokratik berdasarkan
rule of law sebagai syarat dasarnya harus memiliki konstitusi yang dirumuskan oleh rakyatnya
sendiri." (Risalah Konstituante).

Jika kita menganggap konstitusi sebuah bangsa sebagai indikator penting untuk menetapkan
tingkat demokrasinya, maka kita bisa lihat bahwa UUD 1945 mencerminkan kurangnya
demokrasi di negeri ini. UUD 1945 yang kita miliki sekarang sesungguhnya bersifat sementara
dan tidak lengkap; dan memang tidak pernah dimaksudkan sebagai konstitusi yang abadi.
Seperti dikatakan Soekarno dalam sidang pembahasannya, "ini adalah Undang-undang dasar
kilat." Tidak seperti konstitusi di tahun 1949 dan 1950, UUD yang kita gunakan sekarang hanya
mengakui segelintir hak warganya, yakni hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak bela
negara, dan hak beragama sesuai keinginan. Kebebasan berkumpul, berbicara dan kebebasan
pers sebaliknya tidak pernah ditetapkan dengan jelas, dan semuanya disebut akan "diatur lebih
lanjut melalui undang-undang."

Untuk memahami kekurangan dari UUD 1945 kita tinggal membandingkannya dengan UUDS
1950 yang berlaku sampai tahun 1959. Di sana ada satu bagian khusus tentang "hak asasi
manusia dan kebebasan" dan bagian itu (bagian 5) ditempatkan pada bagian awal, sebelum
bagian-bagian yang menjelaskan kewenangan eksekutif, legislatif dan yudisial. Dalam bagian itu
ada 28 pasal, jauh lebih banyak dari jumlah pasal di bagian-bagian lainnya. Pasal-pasal itu
sepenuhnya mengakui tiga kebebasan dasar yakni kebebasan berkumpul, berbicara dan pers.
Ada pula pengakuan eksplisit akan hak warga untuk membentuk serikat-serikat buruh. Negara,
dalam pasal-pasal ini, tidak berwenang menangkap orang seenaknya, menyiksa mereka dan
menyita harta benda mereka tanpa kompensasi, tidak berhak pula meniadakan pengadilan yang
jujur atau merampas hak orang sesukanya. Konstitusi yang tengah dirancang oleh Dewan
Konstituante di akhir tahun 1950-an memberikan prioritas serupa untuk hak-hak warganegara.

Kita tidak bisa menuding orang atau organisasi tertentu sebagai penyebab bubarnya
Konstituante pada tahun 1959. Bagaimanapun militer tetap terlihat sebagai yang paling
bertanggungjawab: di bawah pimpinan Nasution, militer berkampanye "kembali ke UUD 1945"
dan menekan pemerintahan Soekarno agar menyetujui usulan itu. Tapi, bagaimanapun harus
kita akui bahwa Soekarno sendiri tidak percaya pada demokrasi dan cenderung melihat dirinya,
dan bukan dewan perwakilan yang dipilih langsung oleh rakyat, sebagai perwujudan kehendak
rakyat.

Dan ini terwujud bahwa birokrat priyayi di PNI pada dasarnya tidak perlu pada bentuk
pemerintahan apa pun selama kepentingan dan hak-hak istimewa mereka tetap dijamin (dan ini
pula yang membuat banyak di antaranya dengan mudah kemudian bergabung ke Golkar setelah
Soeharto berkuasa). Masyumi dan NU saat itu tetap menginginkan negara Islam yang jelas
membuat orang non-Muslim menjadi warga kelas dua. Masyumi bahkan terlibat dalam
pemberontakan bersenjata melawan pemerintah, seperti PRRI/Permesta bersama PSI yang
tidak percaya bahwa massa rakyat bisa memegang kendali republik. Partai Komunis Indonesia
dalam hal ini lebih demokratik, dan komitmen mereka terhadap kedaulatan dan kekuasaan
rakyat pun jelas, walaupun ada masalah juga dengan paradigma antidemokrasi seperti sistem
satu-partai yang dicontoh PKI dari Uni Soviet atau Tiongkok. Dengan kata lain, semua kekuatan
politik mengumandangkan retorika demokrasi di tahun 1950-an dan 1960-an, tapi tak satu pun
yang benar-benar punya komitmen untuk mewujudkannya.

Gerak maju demokrasi terhambat semasa "Demokrasi Terpimpin" dari tahun 1959 sampai 1965,
walau tidak sepenuhnya dibuntungi. Negara di bawah Soekarno tidak secara aktif merampas hak-
hak sebagian besar warganya. Baru di zaman Soeharto, khususnya setelah "kudeta merangkak"
tahun 1965-67, demokrasi mengalami pukulan mundur yang luar biasa. Seluruh hak dirampas,
termasuk hak-hak yang jelas dijamin dalam UUD 1945, dan rakyat menjadi hamba dari
kediktatoran atau sejenis kesultanan baru. Seperti dikatakan Soekarno pada tahun 1966, "bangsa
kita sekarang merosot kembali 50 tahun". Maksudnya tidak lain bahwa semua pencapaian yang
susah-payah diraih gerakan nasionalis sejak Budi Utomo, dirampas atau hancur berantakan.

Di masa Orde Baru, orang Indonesia tidak lagi melihat sesamanya sebagai citizen yang terlibat
dalam keputusan politik dan etik menyangkut kehidupan bersama. Wacana hak yang digerakkan
oleh gerakan nasionalis dikubur dengan paksa. Contohnya mudah saja. Istilah "citizen" dalam
bahasa Inggris berarti seseorang yang memiliki hak-hak tertentu, sementara dalam bahasa
Indonesia – apalagi di zaman Orde Baru – istilah warganegara tidak mengandung konotasi yang
sama. Militer Indonesia yang di zaman itu mulai menyebut dirinya "perekat bangsa" secara
implisit tidak percaya bahwa ada solidaritas horisontal di antara orang Indonesia. Justru
sebaliknya, mereka memandang penduduk kebanyakan semata-mata sebagai gerombolan ternak
yang harus dipaksa hidup bersama secara "aman dan terkendali".

Orde Baru juga ahli untuk mengadu domba warga, seperti yang kita lihat pada tahun 1965-66
ketika militer menghasut orang sipil untuk membunuh siapa saja yang dituduh "komunis".
Jutaan orang menjadi korban-korban pertama Orde Baru yang dirampas haknya: hak untuk
hidup, hak mendapat pengadilan yang fair, hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan sewenang-
wenang, hak berbicara dan banyak lagi lainnya. Celakanya, tindakan ini didukung oleh sebagian
elit dan intelektual kelas menengah Indonesia, sehingga Soeharto selanjutnya leluasa melakukan
hal yang sama kepada siapa pun. Kaum nasionalis, umat Islam, petani, perempuan desa, orang
Papua, Timor Lorosae dan Aceh, dan siapa pun yang dianggap ancaman susul-menyusul menjadi
korban dari praktek yang sama. Dan ini bukan penyimpangan sekelompok "oknum", melainkan
sebuah upaya sistematis. Lihat saja bagaimana orang Tionghoa yang sudah berulangkali menjadi
korban diskriminasi di masa Soekarno, diperlakukan lebih parah dan bahkan dianggap sebagai
orang asing di zaman Orde Baru. Kita tentunya sadar bahwa ada yang salah ketika istilah
"warganegara Indonesia" tidak dipakai untuk menunjuk seseorang dengan hak tertentu, tapi
justru menjadi istilah resmi untuk menyebut komunitas minoritas yang sudah dibuntungi hak-
haknya.

Saat ini para anggota MPR dan "elit politik" seharusnya bekerja siang-malam untuk
merumuskan konstitusi baru yang dapat mengubah semua kelemahan itu. Tapi yang kita lihat
justru sebaliknya. Tak satu pun partai yang tertarik mengemban tugas itu, kecuali untuk
membuat amandemen yang tidak terlalu penting seperti mengubah masa jabatan presiden. PDI-
P yang merupakan partai terbesar selalu berbicara tentang UUD 1945 sebagai sesuatu yang
sakral, dan kader-kadernya selalu berpidato tentang "kembali ke hakikat UUD 1945", dan bukan
untuk memperbaikinya. Partai-partai lain pun sama saja. Tak satu pun dari mereka yang
memiliki landasan jelas atau mengajukan rencana kongkret untuk mengubah konstitusi agar
dapat menjamin hak setiap orang sebagai citizen.

Tidak adanya ketertarikan untuk mengubah dan memperbaiki konstitusi tidak lain adalah
produk keberhasilan Orde Baru dalam menjungkirbalikkan nasionalisme Indonesia dan
memutusnya dari konsep "warganegara" lengkap dengan hak-hak yang terkait dengannya. Kalau
kita membaca tulisan-tulisan tentang nasionalisme di masa Orde Baru maka sulit ditemukan
pembahasan tentang pentingnya hak-hak warga negara dan demokrasi sebagai jaminan adanya
nasion yang kuat. Ambil misalnya tulisan Harsja Bachtiar yang meraih gelar doktor dengan
disertasi tentang integrasi nasional. Dalam sebuah artikel di Prisma tahun 1976 dikatakannya,
nasion Indonesia "merupakan suatu kesatuan sosial yang sungguh-sungguh baru dan
mewujudkan ikatan-ikatan solidaritas yang meliputi sekalian anggota-anggotanya." Lantas apa
basis dari kesatuan, atau apa yang membuat kita menjadi satu nasion? Jawabnya, "nilai-nilai
dasarnya dinyatakan sebagai asas-asas Panca Sila", "bahasa sendiri", "kebudayaan sendiri" dan
"kesusasteraan Indonesia."

Harsja Bachtiar tidak sendirian. Cukup banyak penulis yang mengacaukan sebab dan akibat
adanya solidaritas horisontal yang disebut nasionalisme itu. Apa yang disebutnya sebagai akibat
sesungguhnya adalah sebab. Pancasila, misalnya, lahir setelah orang Indonesia menjadi
nasionalis. Orang mulai berpikir tentang kebudayaan, bahasa dan sastra Indonesia (nasional),
setelah gerakan nasionalis tumbuh berkembang dan membuat banyak orang merasa diri bagian
dari nasion yang sama. Artinya Harsja Bachtiar, seperti banyak penulis lainnya, gagal melihat
apa yang membuat orang ingin hidup bersama sebagai nasion. Untuk memahami keinginan yang
kuat itu, maka kita harus melihat adanya hasrat untuk hidup dalam komunitas yang setara, di
mana tidak ada penindasan dan penghisapan, dan jelas tidak ada negara kolonial yang
mengekang penduduk jajahannya. Kesalahan cara pandang tadi masih berlanjut. Karena
mengacaukan sebab dan akibat tadi, maka institusi-institusi untuk merawat solidaritas
horisontal tersebut juga luput dari perhatian. Kita boleh saja sama-sama setuju dengan asas-asas
Pancasila, berbicara dalam bahasa yang sama, tapi kita tidak bisa membentuk nasion tanpa
konstitusi yang menjamin kesetaraan itu dan lembaga-lembaga politik tempat kita bekerja untuk
mencapai kebaikan bersama.

Nasionalisme di bawah Orde Baru sebaliknya dipisahkan sama sekali dari politik dan direduksi
menjadi masalah mental-kebudayaan. Lihat saja Taman Mini yang mencerminkan perspektif
Orde Baru tentang "bangsa Indonesia" sebagai kumpulan suku-suku bangsa dengan pakaian dan
adat-istiadatnya sendiri. Atau masuklah ke Museum Nasional, dan lihat peta Indonesia
yangdikelilingi gambar orang-orang dengan raut wajah, potongan rambut, perhiasan dan
pakaian yang seolah mencerminkan sukubangsa tertentu. Mungkin karena dirasa kurang, tiap
gambar pun dipertegas dengan caption "Bali", "Batak","Timor" dan seterusnya. Indonesia
dibayangkan sebagai kumpulan suku-suku bangsa, dengan kata lain kumpulan orang yang tidak
punya identitas politik sebagai warga (citizen).

Rezim Soeharto juga terkenal suka akan penampilan. Hari Kartini yang seharusnya menjadi saat
menegaskan komitmen pada pembebasan perempuan diubah menjadi hari pameran pakaian
daerah. Dalam hal ini pemerintah"reformasi" tidak banyak bedanya. Dalam peringatan 100
tahun Bung Karno, perspektif Taman Mini itu dipertontonkan di Senayan: setiap propinsi
diwakili barisan orang dengan apa yang diklaim sebagai "pakaian daerah" masing-masing. Arti
penting Bung Karno, seperti juga Kartini, direduksi sedemikian rupa menjadi masalah pakaian
daerah. Seolah semua gagasan cemerlang dari kedua tokoh ini dan kaum nasionalis lainnya
cukup "dirayakan" dengan peragaan busana. Pemerintah boleh berganti tapi cara pandang tetap
saja sama. Di masa "reformasi" perspektif Taman Mini yang memotret Indonesia sebagai negeri
damai dengan kumpulan suku-suku bangsa yang hidup berdampingan secara harmonis, tetap
dipelihara dan berkembang biak. Tidak sadar mungkin bahwa pikiran itu berasal dari zaman
kolonial ketika pegawai kolonial Belanda melihat diri mereka sebagai pegawai netral dari
pemerintah yang berkuasa atas gerombolan-gerombolan primitif. Adalah penguasa kolonial
Belanda yang selalu melihat orang Indonesia sebagai subyek antropologis, dan bukan sebagai
subyek politik yang memiliki hak-hak.

Banyak intelektual yang sekarang mulai merenungi makna nasionalisme Indonesia, terutama
setelah referendum di Timor Lorosae, perang di Aceh, kekerasan di Kalimantan dan Maluku,
tapi sedikit saja yang jernih. Lihat misalnya tulisan Imam Prasodjo di Kompas pada akhir
Desember tahun lalu. Dalam tulisan itu ia bertanya: "Apa yang harus diperhatikan dalam nation
building sehingga tercipta integrasi nasional dan integrasi sosial yang kuat?" Dan jawabnya:
"perlu ada pengelolaan kreatif untuk menumbuhkan 'solidaritas emosional' dalam bingkai
kebangsaan. Dengan kata lain, tiap komponen bangsa dituntut untuk memiliki kemampuan 'seni
bercinta' (the art of loving) yang baik". Jalan keluarnya dengan begitu, orang Indonesia harus
belajar mencintai sesama. Sulit untuk tidak tertawa mendengar komentar yang demikian
dangkal. Kalau memang masalahnya sesederhana itu, mestinya ribuan lagu cinta yang
diproduksi selama ini sudah mampu menyelesaikan masalah yang kita hadapi sekarang.

Cinta boleh-boleh saja, tidak ada yang salah, tapi jelas tidak akan menyelesaikan masalahnya.
Apa yang diperlukan sekarang adalah hidup rukun dan menghargai sesama sebagai orang
dengan hak-hak tertentu. Untuk itu kita perlu lembaga-lembaga yang dapat menyelesaikan
sengketa (seperti forum demokratik di kalangan rakyat, pengadilan yang fair dan berwibawa),
dan sebuah konstitusi yang kuat dengan panduan menjalankan kekuasaan negara yang jelas
pula. Perubahan ini jauh lebih kita perlukan daripada belajar "seni mencinta".

Jika kita memang serius ingin hidup sebagai nasion, maka institusi demokratik dan hak-hak
warganegara adalah unsur yang paling mendasar. Hanya dengan itu kita bisa menciptakan hidup
bersama secara damai. Tanpa kemerdekaan dan kebebasan, Indonesia hanya sebuah nama di
atas peta, dan kita, warganegara yang hidup di atasnya, hanyalah segerombolan orang yang tak
punya sumbangan apa pun kecuali membuat berita-berita sensasional di CNN tentang
pembantaian sesama dan perang yang bergelimang darah.

Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, John Roosa, Razif, Sentot Setyosiswanto

1 | 2 | 3 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Konflik Menata Ulang Indonesia


Tim Media Kerja Budaya

Soeharto pergi, konflik dan kekerasan semakin hebat saja. Orang pun langsung menuding bekas
diktator ini sebagai biang keladi. Maklum, selagi berkuasa apa saja mampu dilakukannya, mulai
dari membunuhi jutaan penduduk Indonesia sendiri sampai mencuri uang negara untuk diri dan
keluarganya. Apalagi cuma mengerahkan preman atau provokator ke daerah-daerah untuk
mencipta konflik. Korban jiwa akibat kekerasan dalam tiga tahun terakhir sudah sama
jumlahnya seperti penduduk sebuah kecamatan. Sampai tahun ini lebih dari satu setengah juta
orang dipaksa pergi dari kediaman mereka dan tinggal di kamp-kamp pengungsian yang parah
kondisinya. Ratusan ribu rumah dan tempat kerja milik rakyat yang tidak ikut menikmati
pembangunan Orde Baru pun hancur berantakan, sementara anak-anak mereka terlantar karena
gedung-gedung sekolah pun tidak selamat.

Di media massa mereka yang menobatkan diri sebagai "pengamat sosial-politik" atau "pemerhati
kebudayaan" berkumpul memberi ceramah dan penjelasan tentang sebab-akibat dari gelombang
kekerasan ini. Seolah sedang menonton pertandingan sepak bola mereka ramai "jual strategi"; di
satu sisi menyalahkan pemerintah karena tak becus, dan di sisi lain memaki rakyat sebagai
gerombolan biadab karena saling menghancurkan. "Inilah bahaya demokrasi, kalau sampai
kebablasan," demikian kata yang satu. "Rakyat kita memang belum siap berdemokrasi," kata
yang lain. Kata-kata berbeda, tapi kesimpulan sama, begitu pula jalan keluarnya: rakyat harus
diatur agar tertib dan beradab. Agar lebih mantap, komentar mereka diimbuhi dengan mantra-
mantra tentang "bangsa yang sakit", "penyakit atau wabah sosial", dan segala konsep yang
dikutip sekenanya saja.

"Elit politik" tidak jauh berbeda. Orang pemerintah, anggota DPR, pimpinan partai politik,
perwira polisi, pejabat militer ramai-ramai menuding kebodohan rakyat sebagai biang keladinya.
Gerakan rakyat memperjuangkan keadilan dan menuntut hak-hak yang dirampas pun dengan
mudah disulap menjadi "kerusuhan", "pertikaian SARA", tentu dengan sebelumnya
menyusupkan orang dan bahan yang cukup untuk meyakinkan media massa di lokasi kejadian.
Intinya pun sama, bahwa rakyat belum siap demokrasi dan bahwa gerakan reformasi sekarang
sudah kebablasan sehingga harus dihentikan.

Pikiran-pikiran semacam itu sudah waktunya dibongkar, dan perlu kita ajukan pertanyaan
mendasar: apa benar yang kita saksikan di Indonesia sekarang adalah sebuah "konflik
horisontal"? Sejarah berkata lain. Kekerasan di masa lalu umumnya menjadi bagian dari
pertarungan vertikal antara rakyat melawan kekuasaan negara kolonial, atau protes terhadap
pemerintah republik. Di masa Orde Baru kenyataan ini sungguh jelas.

Ada baiknya kita menengok kembali apa yang sesungguhnya terjadi dan membongkar semua
informasi yang dipompakan oleh para pejabat militer melalui media massa. Di Maluku misalnya,
konflik yang selalu digambarkan sebagai "pertikaian agama" sebenarnya punya asal-usul pada
perkelahian antar preman, yang mencerminkan pertentangan di antara elit politik setempat. Di
Poso pun sama halnya. Diawali dari pertikaian antara dua pemuda yang kebetulan mabuk,
konflik di situ kemudian bergeser menjadi "masalah agama". Dalam hampir semua kejadian,
termasuk di Pontianak, Sampit, Banyuwangi dan Tasikmalaya, pemuda mabuk, preman, dan
kadang-kadang "oknum militer" ditemukan sebagai pemicunya. Setelah itu langgamnya selalu
sama, pemerintah sipil, polisi maupun tentara tidak berbuat apa-apa dengan alasan takut
melanggar HAM, sehingga para preman dan orang suruhan bebas berkeliaran menambah
minyak dalam api.

Rakyat tidak bodoh, dan dalam hal ini jauh lebih pandai dari para pengamat yang hanya
mengunyah ulang pernyataan pejabat militer. Buktinya tidak sedikit yang berani berbicara
tentang kehadiran "orang luar" dalam pertikaian dan konflik itu. Tapi dengan cepat mereka
dijadikan sasaran dan justru balik dituduh sebagai "provokator" karena mengadu rakyat dengan
penguasa. Orang-orang pandai ini hanya bisa diam dan berusaha keras agar lingkungannya tidak
ikut dijerat permainan jahat itu. Dan di sinilah masalah sesungguhnya: rakyat tidak punya
kekuatan cukup untuk mengatakan tidak dan mengambilalih penanganan konflik atau
pertikaian. Kebebasan hasil reformasi hanya berlaku bagi segelintir elit, dan berlaku sebaliknya:
gerombolan Orde Baru dan pelaku pelanggaran hak asasi manusia sekarang bebas merongrong
dan bahkan menyiapkan rencana menggulingkan pemerintah.

Konflik yang berkepanjangan punya akibat serius bagi perikehidupan rakyat. Bukan hanya
tenaga yang terkuras, tapi juga sedikit milik yang tersisa dari era penjarahan Orde Baru. Di Aceh,
Kalimantan, Maluku dan Papua, ratusan ribu orang diceraikan dari alat produksinya dan
menjadi pengangguran yang luntang-lantung di tempat pengungsian. Tidak sedikit yang
akhirnya rela menjual diri, baik sebagai pekerja seks di sekitar barak militer, maupun
demonstran bayaran untuk menggulingkan bupati, gubernur bahkan presiden. Ada juga yang
memilih ikut dalam organisasi pemuda atau bermacam jenis "laskar", karena di samping mengisi
perut, jubah dan senjatanya ternyata ampuh juga untuk alat balas dendam. Akibatnya,
pemiskinan dan pembodohan semakin mendalam, karena mereka yang menolak pun tidak bisa
berbuat banyak. Jangankan bangkit dan melawan, untuk menyambung hidup saja sulitnya
bukan main. Jika dihitung secara keseluruhan tidak kurang dari dua juta orang yang kehilangan
alat mencari nafkahnya karena konflik dan kekerasan, yang jelas menambah panjang barisan
pengangguran Indonesia yang berderet-deret setelah krisis finansial 1997.

Mereka yang tetap bertahan tinggal di daerah-daerah konflik pun tidak lebih baik nasibnya.
Kekerasan memacetkan kegiatan ekonomi seketika. Ancaman dan desas-desus saja sudah cukup
membuat orang enggan pergi ke ladang apalagi membuka toko atau warung. Anak-anak mereka
juga tidak pergi ke sekolah karena gurunya memilih pulang ke tempat asal atau cari pekerjaan
lain yang lebih aman. Di Maluku sekarang ini ada sekurangnya 200.000 orang yang sehari-hari
hidup di kamp pengungsian. Sekitar 75% penduduknya kehilangan pekerjaan dan satu juta anak
usia 6-15 tahun berhenti sekolah akibat konflik itu. Hidup pun semakin bergantung pada
bantuan pemerintah atau lembaga internasional. Lebih dari Rp 3 milyar dikeluarkan setiap hari,
yang hanya akan bertahan selama 24 bulan. Dan sebuah generasi pun tengah terancam.

Menata Ulang Kehidupan, Untuk Kepentingan Siapa?

Akibat lain dari konflik dan gelombang kekerasan adalah semakin kuatnya posisi militer. Dengan
klaim "keadaan tidak terkendali" jumlah pasukan terus ditambah, birokrasi diperkuat dan
persenjataan pun semakin hebat. Mengikuti doktrin Orde Baru, kaum intelektual dan kelas
menengah Indonesia berharap agar militer segera bertindak tegas dan keras. Dan seperti kita
tahu yang terjadi justru sebaliknya, konflik semakin hebat dan rakyat sipil yang bertikai
mendapat dukungan senjata dan amunisi. Komunitas warga pun semakin cerai-berai karena
militer rajin menuding "dalang" dan "provokator" yang sesungguhnya hanya membuat orang
bingung dan frustrasi.

Dalam situasi seperti ini penataan ulang pun terjadi, dan semua orang sadar bahwa tanah
kelahiran mereka tidak akan sama seperti semula. Di Maluku sudah berlaku segregasi,
pemisahan antara komunitas Kristen dan Islam yang dijaga ketat oleh militer. Di Kalimantan,
orang Madura diusir keluar dan para pelaku kekerasan berikrar takkan membiarkan adanya
"Madura-Madura yang lain" di sana. Di Aceh militer secara sistematis memisahkan "gerombolan
pengacau keamanan" dari "rakyat", yang dalam kenyataannya memisahkan orang Aceh dari
pergaulan Indonesia, seperti yang bertahun-tahun dilakukan di Papua dan Timor Lorosae. Di
sinilah kecurigaan dan prasangka tumbuh subur, dan semakin mengentalkan konsepsi absurd
tentang "asli" dan "pendatang".

Kekuatan untuk bertahan sebagai kolektif pun semakin lemah. Gotong-royong yang memang
lazim dipraktekkan semakin tipis, dan kepercayaan diri sebagai sebuah komunitas semakin
rontok akibat ";intervensi kemanusiaan" yang membanjiri daerah konflik dengan bermacam
bantuan. Para pejabat Orde Baru yang semula diguncang oleh kejatuhan induknya di Jakarta
pun bisa berlega hati, dan justru sebaliknya tampil kembali sebagai pemimpin. Mereka
bersekutu dengan para pelaksana program "pemulihan" dan "rekonstruksi" yang sesungguhnya
merupakan penataan ulang masyarakat sesuai dengan doktrin ekonomi yang dominan, yakni
ekonomi pasar. Di sekitar tempat penampungan pengungsi berdiri proyek-proyek pembangunan
yang baru untuk menyerap tenaga kerja murah yang hidup berdesakan.

Di Manado, misalnya, sekitar 30.000 pengungsi termasuk anak-anak terpaksa menjual tenaga
sebagai buruh murah. Mereka bersaing dengan penduduk setempat mencari nafkah, dan
melahirkan persoalan baru. Perusahaan perkebunan pun lebih senang tenaga pengungsi yang
murah, dan di Sulawesi Utara lebih dari 60.000 buruh setempat di perkebunan cengkeh dan
kopra kehilangan pekerjaan.

Dalam prosesnya mulai terlihat bahwa proyek "pembangunan kembali" sesungguhnya lebih
melayani kepentingan mereka yang membawa proyek itu ketimbang mereka yang menerima.
Perusahaan kontraktor, industri bantuan dan pedagang berebut mendaftarkan diri sebagai
rekanan dalam proyek, mencari keuntungan baru di tengah tumpukan kesengsaraan. Tidak
sedikit proyek yang sengaja dibuat setengah jadi agar di tahun-tahun mendatang keuntungan
masih mengalir ke kantong para pengelolanya.

Bersamaan dengan itu lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia semakin
gencar berkampanye tentang pembangunan daerah di bawah panji "otonomi daerah". Ide
dasarnya, semua kegiatan ekonomi tidak lagi melalui tangan pusat, tapi cukup melalui para
pejabat di daerah yang baru diporak-poranda. Partai politik, organisasi pemuda, militer maupun
polisi, jelas lebih tertarik dengan proyek-proyek ini ketimbang memikirkan perdamaian sejati
dan penegakan hak-hak rakyat yang menjadi prasyaratnya.

Dalam laporan tahun 2000 Bank Dunia mengatakan pertumbuhan ekonomi dan kekuatan
politik di daerah-daerah akan menjadi hal yang paling penting di abad ke-21, karena itu, fasilitas
komunikasi dan transportasi harus dibangun dan semua hambatan perdagangan harus dihapus.
Sementara rakyat masih sibuk menata kembali kehidupannya yang porak-poranda akibat
konflik, para pemilik modal, birokrat dan pengusaha berlomba menyambut "dunia baru" di
bawah pimpinan doktrin pasar.

Tim Media Kerja Budaya: Hilmar Farid, John Roosa, Razif, Sentot Setyosiswanto

1 | 2 | 3 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

HASTA MITRA: Bertarung Melawan Pembodohan


Razif

Menulis di bawah rezim represif adalah pekerjaan berat. Tidak semua orang melakukannya. Tapi
menerbitkan buah pikiran yang direpresi dan menghadirkannya kepada publik di bawah represi
adalah pekerjaan luar biasa. Apalagi jika yang melakukannya adalah kumpulan orang yang lebih
dulu dianiaya dalam tahanan dan harus hidup sebagai “warga kelas dua” di negeri sendiri. “Kami
hadir saat Soeharto sedang kuasa-kuasanya,” kenang Joesoef Isak dengan bangga.

Kebanggaan yang patut kiranya. Ia adalah editor Hasta Mitra, yang didirikan bersama Hasjim
Rachman dan Pramoedya Ananta Toer bulan April 1980. Selama 21 tahun berdiri, perusahaan
penerbit itu menyiarkan hampir seluruh karya Pramoedya yang ditulis di Pulau Buru dan
mencetak ulang sebagian karyanya sebelum ditahan, seperti Perburuan dan Panggil Aku Kartini
Saja.

Usaha itu tentu bukan tanpa masalah. Di tahun 1980-an Orde Baru tengah mencapai puncak
kejayaannya. Segala bentuk perlawanan, mulai dari PKI, kaum nasionalis, ulama sampai
mahasiswa berhasil diredam dan kontrol militer berlaku di segala bidang. Kehidupan sosial-
budaya dirasuki semangat “penertiban dan penyeragaman”, di mana pikiran berbeda adalah
ancaman, dan mereka yang melakukannya bisa dianggap berkhianat terhadap bangsa dan
negara.

Sekeping Pernyataan Demokrasi

Awalnya sederhana. Tahun 1973 Pramoedya yang ditahan di Pulau Buru diberi sedikit
keleluasaan untuk melanjutkan kerja kreatif. Hasrat lama untuk menyusun siklus sejarah
Indonesia dalam bentuk cerita pun kembali ditekuninya. Dengan bahan yang serba terbatas ia
mulai menceritakan jilid pertama Bumi Manusia kepada tahanan yang lain di sawah-ladang
maupun barak penampungan. Baru dua tahun kemudian ia mulai menulis atas jasa beberapa
tahanan yang memperbaiki dan menyerahkan mesin tik tua Royal 440 untuknya.

Hasjim Rachman, mantan pemimpin redaksi Bintang Timur, yang ikut menikmati kisah-kisah
Pramoedya suatu saat mendatanginya dan meminta izin untuk menerbitkannya setelah bebas.
Pramoedya pun setuju. “Suatu persetujuan lisan, tanpa bukti, tanpa saksi. Tetapi di balik itu
kami berdua menyadari: penerbitan adalah sekeping pernyataan demokrasi,” tulis Pramoedya
beberapa tahun kemudian. Di tengah ketidakpastian nasib sebagai tahanan Orde Baru
pembicaraan berlanjut membahas rencana-rencana mewujudkan niat itu.

Bulan April 1980 selepas dari tahanan, Hasjim dan Pramoedya menemui Joesoef Isak, mantan
wartawan Merdeka yang belasan tahun mendekam di Rutan Salemba. Diskusi berkembang, dan
kesepakatan dicapai untuk menyiarkan karya eks-tapol yang selama ini tidak mendapat
sambutan dari penerbit lain. Awalnya mereka berniat tidak hanya menerbitkan karya tulis, tapi
juga menyiarkan rekaman musik, lukisan dan hasil kerja kreatif lainnya. “Kami mau
membuktikan kepada dunia bahwa dari Pulau Buru juga bisa lahir hal-hal yang positif, bukan
hanya cerita sedih dan penderitaan saja,” kata Hasjim ketika itu.

Pembagian kerja dimulai. Pramoedya terus menulis dan memperbaiki naskah-naskah yang
disusunnya selama di tahanan. Dua di antaranya, Mata Pusaran dan Oroh Ratusanagara, sampai
sekarang tidak jelas nasibnya. Setelah keluar dari tahanan, naskah Ensiklopedi Citrawi Indonesia
yang disusunnya bertahun-tahun jadi sasaran. Bulan September 1979 seorang kapten TNI-AL
datang mengambil semua naskahnya dan setelah itu tak pernah kedengaran kabarnya lagi.
Joesoef bertindak sebagai editor berbekal pengalaman belasan tahun menjadi wartawan sekian
suratkabar sebelum 1965, sementara Hasjim menangani segi usaha dan keuangan. Bulan Mei
mereka sepakat menggunakan nama yang dicipta Pramoedya saat masih mendekam di tahanan,
Hasta Mitra (Tangan Sahabat).

Tidak banyak milik mereka sekeluar dari penjara. Rumah keluarga Joesoef di kawasan Duren
Tiga disulap jadi kantor dengan peralatan serba terbatas. Hanya ada satu mesin tik listrik
Olivetti yang dipakai bergantian oleh Pramoedya dan Hasjim untuk menggarap pekerjaan
mereka. “Modal awal kami ambil dari dapurnya Hasjim,” kenang Joesoef. Beberapa kerabat dan
sahabat yang simpati kemudian memberi tambahan modal sehingga Hasta Mitra bisa mulai
berjalan.

Tetralogi Buru: Demokrasi Hasil Keringat Sendiri

Naskah pertama yang mereka pilih untuk diterbitkan adalah Bumi Manusia, jilid pertama dari
kisah pergerakan nasional Indonesia antara 1898-1918. Pramoedya kembali bekerja keras
memilah tumpukan kertas doorslag yang berhasil diselamatkannya dari Pulau Buru. Hampir
semua naskah aslinya ditahan oleh penguasa kamp dan sampai hari ini belum dikembalikan.
Dalam waktu tiga bulan ia berhasil menyalin kembali dan merajut tumpukan kertas lusuh yang
dimakan cuaca menjadi naskah buku. Hasjim dan Joesoef sementara itu berkeliling menemui
beberapa pejabat pemerintah, termasuk wakil presiden Adam Malik, yang ternyata memberikan
sambutan baik.

Awal Juli 1980 naskah Bumi Manusia dikirim ke percetakan Aga Press dengan harapan terbit
menjelang peringatan Proklamasi. Cetakan pertama keluar tanggal 25 Agustus, agak meleset dari
harapan semula karena alasan teknis. Hari-hari yang sungguh berarti karena setelah sekian
tahun kerja paksa dan setelah lepas dilarang bekerja, kini mereka menikmati hasil kerja sendiri
yang pertama. Bagi Pramoedya penerbitan Bumi Manusia, seperti yang dicatatnya, berarti “suatu
kebulatan tekad, keikhlasan, dan sekaligus ketabahan untuk memberikan saham pada
perkembangan demokrasi di Indonesia – dan bukan demokrasi warisan sah kolonial, demokrasi
hasil keringat sendiri”.

Bumi Manusia memang pilihan yang tepat. Dalam waktu 12 hari sekitar 5.000 eksemplar habis
terjual. Hasjim sampai kewalahan melayani permintaan dari segala penjuru, termasuk dari
Malaysia, Belanda dan Australia. Iklan kecil yang dipasangnya di harian Kompas ditelan oleh
berita dan tinjauan panjang-lebar dari sejumlah penulis. Walau mendapat pembayaran penuh
dari agen dan toko buku, cetakan kedua langsung dipesan.

Dalam bulan November Hasta Mitra sudah membuat cetakan ketiga, dan berhasil menjual
sekurangnya 10.000 eksemplar. Dan sambutan pun semakin ramai, mulai dari kritikus Jakob
Soemardjo dan Parakitri Simbolon sampai artis remaja Yessy Gusman yang menyebutnya “karya
sastra yang terbagus saat ini.” Harian Angkatan Bersenjata yang dikelola Mabes ABRI pun
menyebutnya sebagai “sumbangan baru untuk khasanah sastra Indonesia”.

Pemasukan awal cukup lumayan sehingga Hasta Mitra bisa membenahi ruang kantornya dan
mempekerjakan 20 pegawai, yang hampir semuanya adalah eks-tapol. “Hasta Mitra memang
tidak untuk cari untung, tapi juga menampung teman-teman yang kesulitan. Waktu itu banyak
kantor yang tutup pintu kalau pelamarnya pernah mendekam di tahanan,” kata Joesoef. Seorang
kerabat yang simpati memberi sumbangan mesin typeset CR-Tronics yang sangat canggih untuk
zamannya dan melengkapi beberapa perabot yang diperlukan.

Keberhasilan pertama membuahkan bayangan indah di benak ketiganya. Niat untuk ikut
menyumbang pada perkembangan ilmu dan seni semakin membesar. “Mimpi saya sudah
macam-macam, bahkan kalau bisa punya koran lagi,” kata Joesoef. Tidak semua mimpinya
terwujud, terutama karena rezim Orde Baru mulai menganggapnya sebagai ancaman yang harus
ditindak.

Pelarangan: Bukan Hanya Membelenggu Pikiran

Keberhasilan Bumi Manusia sudah tentu membuat penguasa gerah. Dua hari sebelum cetakan
pertama keluar, kantor Hasta Mitra ditelepon oleh Kadit Polkam Kejaksaan Agung. Petugas itu
meminta agar buku itu tidak diedarkan sebelum ada clearance dari pihaknya. Permintaan yang
aneh tentunya, karena menurut aturan Kejaksaan Agung hanya berwenang melarang buku yang
sudah diterbitkan. Pada pertengahan September Hasjim dipanggil oleh Kejaksaan Agung. Tiga
hari ia harus melayani pertanyaan para jaksa pemeriksa yang mengatakan bahwa Bumi Manusia
“mengandung teori Marxisme terselubung”, tanpa menjelaskan maksudnya tentu saja.

Tidak ada kata putus. Sementara itu sejumlah tokoh masyarakat, sastrawan dan pejabat
pemerintah mulai menyambut tuduhan kejaksaan. Dengan caranya sendiri-sendiri mereka
membenarkan bahwa karya itu memang “mengandung ajaran Marxis” walau selalu gagal
menunjukkannya dengan jelas. “Saya heran kenapa banyak intelektual yang sebenarnya sadar,
justru bungkam,” kenang Joesoef. Ia berulangkali bertemu dengan ilmuwan, sastrawan dan
tokoh kebudayaan yang mengaku “penggemar berat Pramoedya”, tapi tidak memberi pendapat
apa pun ketika karyanya dilarang.

Kejaksaan pun merangsak maju. Tidak puas dengan tuduhannya sendiri mereka mulai beralih
mempersoalan status Pramoedya sebagai eks-tapol. Percetakan Ampat Lima yang memproduksi
Bumi Manusia pun jadi sasaran. Pemiliknya berulangkali dipanggil dan diminta agar tidak
mencetak terbitan Hasta Mitra. Redaktur media massa pun ditelepon agar tidak memuat resensi
apalagi pujian bagi karya Pramoedya.

Tetap tidak ada keputusan resmi dan Hasta Mitra bergerak lagi mengeluarkan buku Anak Semua
Bangsa. Sambutan pun makin meluas sampai ke daerah-daerah, dan beberapa penerbit di luar
negeri mulai menghubungi Hasjim dan Pramoedya, meminta izin menerbitkan edisi bahasa
asingnya.

Reaksi pun semakin besar. Pertengahan April 1981 beberapa organisasi pemuda ciptaan Orde
Baru menggelar diskusi yang isinya mengecam karya Pramoedya. Hasil diskusi ini kemudian
disiarkan melalui media massa sebagai “bukti keresahan masyarakat”, modal penting bagi
Kejaksaan Agung untuk menetapkan larangan. Suratkabar pendukung Orde Baru seperti Suara
Karya, Pelita dan Karya Dharma mulai menerbitkan kecaman terhadap Bumi Manusia dan
pengarangnya.

Sambutan yang semula baik mulai melemah. Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang akan
menyelenggarakan pameran buku tahunan, tiba-tiba mengirim surat pembatalan ke alamat
Hasta Mitra. Padahal sebelumnya panitia kelihatan sangat bergairah mengajak penerbit itu
menjadi anggota dan turut serta dalam kegiatan-kegiatannya. Suratkabar yang semula simpati
semakin jarang memberi tempat dan bahkan beberapa tulisan yang siap naik cetak tiba-tiba
dibatalkan, hanya karena penulisnya memuji kedua karya Pramoedya.

Masalah semakin jelas ketika tanggal 29 Mei 1981 Jaksa Agung mengeluarkan SK-052/
JA/5/1981 tentang pelarangan Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa. Dalam surat itu antara
lain disebutkan sepucuk surat dari Kopkamtib yang keluar seminggu sebelumnya, dan Rakor
Polkam tanggal 18 Mei 1981. Pelarangan itu sepenuhnya adalah keputusan politik dan tidak ada
kaitannya dengan nilai sastra, argumentasi ilmiah serta alasan-alasan yang dikemukakan
sebelumnya.

Surat keputusan itu memperkuat persekutuan Orde Baru untuk menghantam Hasta Mitra. Para
perwira tinggi militer, termasuk Pangkopkamtib Soedomo, selalu menyempatkan diri untuk
berkomentar tentang karya Pramoedya. Sebelumnya di markas Kodam Jaya ada pertemuan
khusus antara sastrawan dan intelektual yang memberi “landasan ilmiah dan kultural” kepada
pejabat militer untuk mengomentari karya-karya Pramoedya. “Menariknya, ada juga di antara
mereka yang di masa reformasi malah ikut-ikutan menyambut Pramoedya sebagai penulis
besar,’ kata Joesoef sambil tersenyum.

Gempuran itu bukan hanya dirasakan Hasta Mitra. Bulan September 1981, penerjemah Bumi
Manusia ke dalam bahasa Inggris, Maxwell Lane, yang juga staf kedutaan besar Australia di
Jakarta, dipulangkan oleh pemerintahnya. Perusahaan Ampat Lima yang mencetak kedua karya
pertama juga akhirnya mundur karena tekanan dari Kejaksaan dan aparat keamanan. Akibatnya
saat hendak menerbitkan Sang Pemula dan Jejak Langkah tahun 1985, Hasjim terpaksa mencari
percetakan kecil di kawasan Kramat yang dikelola seorang ibu tua dan anak-anaknya.

Bagi Hasta Mitra yang “bermodal dengkul”, pelarangan itu adalah masalah serius. Semua agen
dan toko buku didatangi oleh Kejaksaan Agung yang menyita semua eksemplar Bumi Manusia
dan Anak Semua Bangsa. Beberapa di antaranya malah mengambil inisiatif menyerahkannya
secara sukarela. Tapi anehnya sampai Agustus 1981, hanya ada 972 eksemplar yang diterima
oleh Kejaksaan Agung, dari sekitar 20.000 eksemplar yang beredar.

Rupanya banyak agen dan toko buku yang malah memilih menjual eksemplar yang tersisa di
bawah tangan. Masalahnya tak satu pun agen dan toko itu membayarnya kembali kepada Hasta
Mitra, sehingga pendapatan mereka terus merosot. Pada pertengahan tahun 1980-an toko buku
Hasta Mitra di Senen praktis menjadi satu-satunya tempat menjual terbitan mereka secara
terbuka. Tapi karena hutang bertumpuk, akhirnya toko itu terpaksa ditutup. Niat menerbitkan
karya eks-tapol yang lain pun diurungkan. “Itulah esensi pelarangan buku-buku kami: untuk
menghancurkan kegiatan Hasta Mitra secara politik maupun ekonomi,” kata Joesoef.

Ekspansi di Tengah Represi

Pelarangan demi pelarangan boleh jadi meredam sambutan di negeri sendiri, tapi tidak
demikian halnya di luar negeri. Hanya beberapa bulan setelah Bumi Manusia keluar, sejumlah
penerbit di Hongkong, Belanda dan Australia mendekati Hasta Mitra untuk mendapat hak
terjemahan. Kesepakatan pun dibuat. Pramoedya sebagai penulis tetap mendapat royalti
sementara Hasta Mitra hanya bertindak sebagai perantara. Penerbit Wira Karya di Malaysia
adalah yang pertama menerbitkan ulang Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dengan
membayar royalti sebesar 12% langsung kepada Pramoedya.

Setelah kedua buku itu dilarang, Hasjim mulai berusaha menjual eksemplar yang masih tersisa
di gudang ke luar negeri. Ia menghubungi sejumlah perpustakaan, pusat penelitian dan toko
buku, tapi tidak selalu mendapat tanggapan positif.

Di tengah kesulitan lagi-lagi ada pertolongan dari beberapa sahabat yang mengumpulkan modal
50.000 gulden untuk mendirikan cabang perusahaan di Amsterdam dengan nama terjemahan
dalam bahasa Latin, Manus Amici. Penerbit dan toko buku itu terletak di pusat kota Amsterdam
dan dikelola oleh Edi Tahsin, eksil Indonesia dari Tiongkok yang sejak 1977 bermukim di
Belanda. Bulan September 1981 ia menerbitkan terjemahan Bumi Manusia dalam bahasa
Belanda, disusul oleh Anak Semua Bangsa.

Tapi tidak semua kegiatannya berjalan mulus. Di Belanda, Manus Amici tidak hanya
menerbitkan buku. Banyak dana yang dikirim dari Jakarta ternyata habis untuk membantu para
eksil, mulai dari menyeberangkan mereka di perbatasan negara Eropa Barat sampai mengurus
paspor dan izin tinggal. Hasil penjualan buku dalam bahasa asing pun banyak disalurkan untuk
kegiatan seperti itu sehingga modalnya tidak pernah berkembang. “Memang sejak awal Hasta
Mitra punya misi membantu teman-teman yang kesulitan. Untung itu perkara nomer dua,” kata
Joesoef. Modal awal sebesar 50.000 gulden pun amblas dalam waktu beberapa tahun, dan
Manus Amici pun gulung tikar. Dan selanjutnya penerbitan dalam bahasa asing – saat ini karya
Pramoedya sudah diterbitkan sekurangnya dalam 12 bahasa – ditangani langsung dari kantor di
Jakarta.

Di samping itu ada juga penerbit yang menerbitkan karya Pramoedya tanpa membayar royalti
sesen pun. Di Malaysia misalnya penerbit Abbas Bandung mengeruk untung cukup besar dari
penjualan karya Pramoedya, termasuk Keluarga Gerilya yang sejak tahun 1970-an menjadi
bacaan wajib di sekolah menengah. Pertengahan 1987 karena jengkel Pramoedya pernah
menuntut penerbit Pustaka Antara pimpinan Datuk Aziz Ahmad karena dianggap tidak
membayar royalti seperti seharusnya.

Sekalipun harus menanggung rugi, para pendiri Hasta Mitra merasakan banyak “keuntungan”
lain. Konsep “tangan sahabat” berkembang karena banyak aktivis yang membantu menyalurkan
buku-buku terbitannya, mengadakan diskusi dan bahkan menggunakan hasil penjualan untuk
membiayai penerbitan mereka sendiri. Di samping itu juga ada keluarga eks-tapol yang bisa
mereka bantu seadanya menghadapi tekanan yang hebat secara ekonomi, sosial maupun politik.

Tanpa direncanakan sebelumnya, dalam waktu beberapa tahun jaringan distribusi dan pembaca
buku terbitan Hasta Mitra terbentuk. Bagi aktivis mahasiswa di zaman itu membaca terbitan
Hasta Mitra menjadi semacam “syarat pergaulan” dan bahkan bacaan wajib untuk mereka yang
tertarik pada nasib negerinya. “Itulah sumbangan Hasta Mitra bagi gerakan demokrasi. Di
samping menyumbang gagasan tentang sejarah bangsa ini, terbitan kami juga bisa digunakan
oleh orang lain untuk mengembangkan kegiatannya sendiri,” kata Joesoef. “Hasta Mitra
mungkin satu-satunya penerbit yang bisa bertahan 21 tahun tanpa melakukan akumulasi modal.
Dan memang karena bukan itu kehendak kami.”

Menjadi Penerbit Gerakan

Sejak awal para pendiri tidak terlalu peduli masalah administrasi. Dunia penerbitan bagi mereka
adalah bagian dari perjuangan. Di tahun pertama-tama pernah juga seorang pejabat BNI
menawarkan kredit ringan karena melihat prospek usaha yang cerah. Ada juga yayasan besar
yang tertarik untuk memberikan dana. Tapi semuanya mundur teratur setelah larangan pertama
dijatuhkan oleh Jaksa Agung.

Uluran “tangan sahabat” ternyata lebih banyak disambut oleh komunitas aktivis pro-demokrasi
dan kalangan intelektual dan pekerja kreatif yang terlibat maupun bersimpati pada perjuangan
itu. Dari segi bisnis, menurut Hasjim, yang paling berjasa menyebarkan terbitan Hasta Mitra
adalah agen dan toko buku kecil. Perusahaan mapan lainnya baru mulai nimbrung setelah
Soeharto turun tahun 1998. Sebuah penerbit besar yang terkenal di Jakarta dalam tahun
pertama “reformasi” bahkan ingin membeli hak cipta karya Pramoedya dari Hasta Mitra. “Tapi
setelah keadaan mulai berbalik, dan serangan-serangan terhadap buku kiri mulai terjadi, mereka
mundur teratur,” ujar Joesoef sambil tertawa.

Banyak juga kalangan yang menganggap Hasta Mitra bisa mengeruk untung besar setelah
pembatasan terhadap terbitan mereka dilonggarkan. “Itu tidak betul,” kata Joesoef. “Buktinya
dalam tahun pertama setelah Soeharto jatuh, kami tidak menerbitkan satu eksemplar pun.
Karena uangnya tidak ada.” Baru akhir 1999 mereka mulai bangkit dengan menerbitkan Arok
Dedes, bekerjasama dengan sebuah perusahaan percetakan di Yogyakarta. Dengan kerjasama ini
untuk pertama kalinya Hasta Mitra bisa membayar royalti Pramoedya sebesar 17,5% di muka.

Bulan Oktober 1999 Hasjim Rachman meninggal dunia setelah bertarung melawan kanker di
tenggorokannya selama beberapa tahun. Setelah itu semua kegiatan penerbitan, mulai dari
penyuntingan naskah, lay-out, mengurus percetakan dan distribusi ditangani sendiri oleh
Joesoef Isak. “Padahal urusan duit, aku lebih ceroboh dari Hasjim,” katanya. Ditambah lagi
kebiasaannya memberi bantuan ke sana-sini sehingga kadang uang dapurnya sendiri terbawa-
bawa.

Beberapa kerjasama pun dijajaki, antara lain dengan QB Books dan Equinox Publishing, walau
masih tersendat-sendat. Perjalanan keliling ke Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa juga
membuahkan hasil, antara lain bantuan modal. Di usia 73 tahun ia masih bersemangat dan terus
memikirkan cara mengembangkan Hasta Mitra sebagai penerbit gerakan untuk menegakkan
demokrasi dengan keringat sendiri.

RAZIF, aktif di Jaringan Kerja Budaya

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

PUISI SITI RUKIAH KERTAPATI

Layar Hitam

Engkau juga pernah mengakui ada warna hijau


di daunan dan kembang-kembang merah di bajuku,
juga sekali pernah cinta pada akar-akar
dan kulit-kulit pohon beringin
Tapi apa guna itu semua,
bila cuma sekilas hilang karena tindasan kasih?

“Pada malam sunyi bintang!”


ada katamu romantik begini.
Tapi sekarang bintang sudah retak berpecahan.
Kasih hancur sebab revolusi pembunuhan,
entah kemana pabila pergi?
cuma layar hitam kau kibarkan
kapal kosong, langit gelap, laut merah,
dan ikan cucut di balik karang patah-patah:
Selamat jalan mengembang tangan!

Tidak perlu itu lamunan ke kejauhan,


apa itu idealis buat idealis pula,
apa itu benar buat kebenaran?
Tapi apa pula itu artinya kasih pertama
dan kasih yang penghabisan?
Sedang bujang dan gadis yang bertunangan
itu jangan disebut kebenaran.

Tapi aku sudah dibunuh masyarakat


aku sudah pernah bergaul tarik-menarik
juga tiang-tiang kelihatan mau condong
cuma aku masih belum mau membunuh kasih sendiri,
sebab sekali toh kita kembali
pada asal; bayi bersih manusia semula.

Dan kita tentu sekali lagi masuk gedung musium


kita dengar lagi musik-musik lagu klasik,
kita ingat lagi pada soal ke kejauhan,
atau: kita bikin bintang tepi kolam tanah Bali.
Kemana lagi itu layar hitam dan laut merah,
bila bukan tangan kita yang merobeknya?

Jangan bikin pertanyaan,


bila masih dikatakan:
“Mati itu bukan lagi kewajiban”

Siti Rukiah Kertapati, lahir 27 April 1927 di Purwakarta. Pada zaman Jepang Rukiah berhasil
menamatkan sekolah guru, dan setelah revolusi Agustus 1945, ia mengajar di Sekolah
Rendah Gadis Purwakarta. Pada umur 19 tahun puisi-puisinya telah dimuat di Gelombang
Zaman, beliau juga menulis untuk majalah Godam Jelata. Di tahun 1950, ia menulis karya
ilmiahnya untuk konfrensi kebudayaan Indonesia, yang berjudul Sekitar Konperensi
Kebudayaan Indonesia. Pada tahun 1952 merupakan tahun penting bagi Rukiah:pertama,
Tandus, kumpulan puisi dan cerita pendeknya yang pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka
dan yang kedua, ia menikah dengan Sidik Kertapati. Ia bertemu dengan Sidik Kertapati dan
saling jatuh cinta pada masa revolusi di Krawang. Selain itu Rukiah juga menulis cerita anak-
anak yang dimuat di majalah Cendrawasih. Karya lainnya yang ia tujukan untuk anak-anak
adalah Jaka Tinggir, Taman Sanjak si Kecil, Kisah Perjalanan si Apin dan Pak Supi.
Sedangkan cerita pendeknya antara lain Isteri Perajurit, Antara Dua Gambaran dan Surat
Panjang dari Gunung dan sebuah novel yang berjudul Kejatuhan dan Hati yang diterbitkan
oleh Pustaka Rakyat tahun 1950. Rukiah terus menulis sejumlah Cerita Rakyat dari seluruh
kepulauan Indonesia hingga tahun 1975 yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Rukiah meninggal dunia di kampung
halamannya, Purwakarta pada tahun 1994.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Reformasi dan Puisi Tanpa Daya Magis


Nur Zain Hae

Apakah gelombang reformasi yang telah menumbangkan Orde Baru—Soeharto pada Mei 1998
merupakan sesuatu yang penting bagi sastra Indonesia? Atau sebaliknya, apakah sasta
merupakan bagian yang menentukan atau menggerakkan proses reformasi itu?

Bila sastra menjadi bagian dari momentum reformasi, risiko apa yang mesti ditanggungnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini harus diajukan untuk menguji keterkaitan sastra dan reformasi. Atau
untuk melihat bagaimana sastra berhadapan dengan momentum reformasi dan
mengakomodasinya sebagai persoalan sastra—yang dalam pembicaraan ini lebih banyak
difokuskan pada puisi.

Seperti kita tahu momentum ini diawali oleh krisis ekonomi yang menyebabkan anjloknya nilai
rupiah tanpa bisa tertolong lagi. Ekonomi sulit, harga-harga naik, sembako sulit didapat, rakyat
menjerit, dan muncul demonstrasi mahasiswa. Puisi-puisi saat itu kembali menyuarakan
ketidakpuasan dan kerawanan sosial, penderitaan dan kemarahan rakyat, yang semula karena
kultur politik Orde Baru—Soeharto yang otoriter sastra lebih banyak menghindari tema-tema
seperti itu.

Harian Republika, misalnya, membuka rubrik “Sajak Peduli Bangsa” dalam waktu yang cukup
lama sepanjang 1998. Sementara Forum Sastra Bandung menerbitkan buku puisi Tangan Besi:
Antologi Puisi Reformasi pada akhir Juni 1998. Di masa itu pula penyair Sides Sudyarto D.S.
mengundang sejumlah penyair untuk menyumbangkan puisi reformasi mereka untuk
dibukukan, meski hingga kini buku yang dimaksudkan belum diluncurkan. Ini belum termasuk
sejumlah terbitan sejenis yang pada masa itu beredar secara terbatas di kalangan mahasiswa.

Situasi ini mengingatkan kita pada masa tumbangnya Orde Lama dan lahirnya Orde Baru. Puisi-
puisi perlawanan memainkan peranan yang besar dalam gelombang demonstrasi mahasiswa
saat itu. Telah muncul, kata Mansur Samin “aksi perlawanan terhadap kepalsuan dan
kebohongan yang bersarang dalam kekuasaan orang-orang pemimpin gadungan.” Dalam kurun
waktu yang revolusioner itu Taufiq Ismail alias Nur Fadjar menerbitkan kumpulan puisi Tirani
dan Benteng. Bur Rasuanto hadir dengan buku Mereka Telah Bangkit, Mansur Samin dengan
buku puisi Perlawanan, Abdul Wahid Situmeang dengan stensilan Pembebasan, dan Slamet
Sukirnanto dengan stensilan Jaket Kuning.

Dalam dua peristiwa itu kita menyaksikan sejarah yang berulang. Pembusukan sebuah rezim
kembali terjadi. Sastra menemukan kembali alasan untuk menjalankan peranan yang lebih besar
dari yang bisa dilakukan selama ini dengan menetapkan dan menjalankan komitmen sosialnya.
Untuk sementara dikotomi “sastra” dan “bukan sastra” atau “sastra” dan “politik” kurang relevan
dipertentangkan. Keduanya bertemu, bahkan bisa saling mempengaruhi dalam menangani
proyek bersama itu. Pada saat inilah sastra bisa menjawab satu pertanyaan yang sering
dilontarkan orang: Mengapa sastra (Indonesia) terasing dari masyarakatnya?

Namun, reformasi adalah proyek bersama yang lahir bukan dari lingkungan sastrawan, tetapi
dari kalangan kaum intelektual kampus. Ketika reformasi menjadi wacana publik (dan akhirnya
diambil-alih dan dimanipulasi oleh kaum politik) barulah sastra menggabungkan diri. Jadi, bisa
dibilang, sastra lebih banyak mengikuti (untuk tidak mengatakannya “latah”) jejak dinamika
sosial-politik yang ada. Tak heran kalau Edy A. Effendi, seorang penyair dan eseis, dengan sinis
mengatakan penyair yang saat itu bicara soal reformasi sebagai “penumpang gelap reformasi”.
Seakan-akan penyair hanya subjek yang tidak patut, tidak memiliki persyaratan yang lengkap,
tidak memiliki tiket, untuk memasuki sebuah gerbong perubahan yang sedang berjalan. Karena
itu, sewaktu-waktu, ia bisa dikeluarkan dari gerbong sebelum sampai ke tujuan.

Bukan itu saja, pada dirinya sendiri si “penumpang gelap” (atau apa pun sebutan yang pas
buatnya) memiliki keterbatasan, sehingga kita bisa mempertanyakan efektifitas keterlibatannya.
Bukankah ia hadir dengan satu kekuatan yang, sebenarnya, penuh kontradiksi: Kata. Di satu
pihak ada keyakinan Freirean bahwa kata memiliki dua dimensi, refleksi dan praksis, yang saling
melengkapi. Karena itu, “mengucapkan sebuah kata sejati berarti mengubah dunia.” Sementara,
di pihak lain ada juga keyakinan bahwa bahasa kini telah kehilangan makna dan puisi tak lebih
dari “seni kata-kata”. Rendra telah berteriak “Bersatulah pelacur ibukota”, tetapi tak ada gerakan
kolektif pelacur yang melawan kekuatan penindasnya, sehingga pelacur atau kaum tertindas lain
mendapatkan kembali harkat martabatnya yang utuh.

Sebagai “penumpang gelap” dan bermodalkan kata-yang-tidak-bisa-mengubah-dunia, apa yang


bisa dilakukan penyair. Kita tahu, situasi yang dimasuki penyair saat itu adalah situasi yang
massif dan riuh, menonjolkan orang ramai sekaligus melenyapkan individu dan segala laku yang
(kelihatannya) diam. Para penyair akan menjadi massa anonim yang tidak bisa lagi diam dan
harus berteriak. Puisinya haruslah puisi yang larut dalam suasana euforia itu, dan bukan
melawannya. Atau, dalam bahasa Lu Hsun, puisi yang menjadi alat propaganda, yang
“menganjurkan, mendorong, mempercepat, dan menyempurnakan revolusi.”

Maka, tengoklah puisi tidak hanya bicara tentang awan, bulan, gerimis yang bersijingkat,
kesunyian dan keindahan, atau segala sesuatu yang jauh dari jangkauan masyarakat awam
(tetapi dekat dengan kritikus sastra). Namun, ia juga bicara soal kelaparan, sembako yang
langka, tiran tua yang kegemukan, kobaran api, atau seorang gadis Cina yang diperkosa. Bahkan,
bukan tak mungkin, puisi telah menjadi alat pelampiasan berbagai perasaan, sebab selama rezim
Orde Baru-Soeharto para penyair (dan masyarakat umum) tidak mendapatkan kesempatan
untuk mengekspresikannya dengan bebas.

Puisi saat itu memanfaatkan sebanyak-banyaknya wacana jurnalistik yang berkembang. Berita
(media cetak dan elektronik) menjadi sumber utama penggalian bahan penciptaan puisi, di
samping ada juga penyair yang memang terlibat langsung dalam peristiwa yang terjadi di
seputar reformasi. Karena itu, apa yang dibicarakan puisi adalah juga yang beredar dalam berita
jurnalistik. Yang membedakannya, saya kira, hanyalah soal format dan nama.

Satu yang paling nyata dari puisi-puisi dalam situasi seperti ini adalah lahirnya puisi-puisi yang
miskin imajinasi dan kehilangan metafor, yang selama ini telah memberikan kekuatan magis
pada bahasa puisi. Hal ini bisa terjadi karena, seperti klaim José Ortega y Gasset, metafor
memberikan kekuatan naluriah pada bahasa (puisi) untuk menghindari realitas tertentu—dalam
hal ini adalah realitas sosial politik yang massif, hiruk-pikuk, dan bergerak cepat itu. Metafor
telah hilang atau ditinggalkan agar (bahasa) puisi bisa menafsirkan realitas lebih jelas, lebih
lugas, dan lebih bisa dimengerti khalayaknya.

Inilah, saya kira, sejumlah risiko yang mesti ditanggung sastra di era reformasi. Terutama, puisi
yang terlampau menginginkan dirinya untuk tidak terasing dari masyarakatnya, ingin
memainkan peranan yang lebih besar dalam sebuah proses perubahan yang belum selesai. Puisi
yang lebih mementingkan isi daripada bentuk, lebih mementingkan pesan daripada metafor dan
imajinasi.

Namun, ini tidak berarti munculnya era “berakhirnya puisi”—seperti Adorno yang memastikan
“tidak ada puisi yang bisa ditulis setelah Auschwitz (no poetry after Auschwitz).” Puisi bisa
melanjutkan perannya (sekecil apa pun peran itu) dalam masyarakatnya. Semuanya berpulang
kepada penyairnya sendiri. Apakah ia bisa mempertemukan dua kepentingan antara
menjalankan komitmen sosial dengan mempertahankan kekuatan magis puisi. Dan ini, tentu
saja, bukan masalah ideologis, tetapi masalah kreativitas. Untuk menjadi kekuatan “kiri” (dalam
artian tandingan/saingan/oposisi terhadap kekuasaan yang mapan—terima kasih kepada Ariel
Heryanto), tidak berarti sastra harus kehilangan kekuatan magisnya, sehingga ia menjadi verbal
dan sekadar alat propaganda.

Nur Zain Hae, penyair yang menetap di Jakarta.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Raffles Bukan Berhala Sejarah


Pembagan Pembaharuan Politik Kolonialisme (sebuah pancingan studi)
Hersri Setiawan

Thomas Stamford Raffles bukan sekadar seorang reformis, atau pengikut gerakan pembaharuan
belaka. Buat sejarah kolonial bangsa-bangsa di “Timur Jauh”, khususnya “Hindia Belanda”, ia
seorang pembaharu (reformer) yang sekaligus pembagan (schemer) pembaharuan itu. Kendati
demikian hendaknya kita tempatkan T.S. Raffles sebagai tokoh sejarah—tokoh besar nian!—dan
bukan ditaruh di altar sebagai berhala sejarah. Seyogyanya memang begitulah kita menyikapi
tokoh-tokoh besar dari zaman apa pun, apalagi zaman kolonial baik lama maupun baru. Juga
terhadap tokoh besar Snouck Hurgronje, misalnya, yang tampil sekitar seratus tahun kemudian.

Mereka sama-sama berusaha memahami bangsa-bangsa Pribumi, alam hidup mereka dan alam
lingkungan mereka, dan selanjutnya—bagi Snouck Hurgronje— menulis surat-surat nasihat
kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda tentang bagaimana menjinakkan musuh-musuh
gubermen. Sedangkan pada T.S. Raffles untuk mengembangkan potensi sumber daya alam dan
manusianya, sebagai langkah kebijakan antara, dalam menuju tujuan akhir membangun
imperium Britania Raya.

Pasukan Jan Willem Janssens, Gubernur Jendral yang diangkat Napoleon sejak 1811 untuk
Hindia Belanda, kalah oleh serangan Inggris di Meester Cornelis (Jatinegara sekarang) Jakarta.
Ia lari ke timur, dan menyerah di Tuntang pada 1811. Dengan kekalahan kombinasi kekuasaan
Belanda-Perancis ini, seluruh wilayah Hindia Belanda jatuh ke tangan Inggris (1811-16). Pusat
penguasa baru ini di Madras, India, di bawah pimpinan Gubernur Jendral Lord Minto, sedang di
Hindia Belanda dipercayakan pada Letnan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles.

T.S. Raffles lahir 6 Juli 1781 di atas kapal Ann (260 ton, 4 meriam) di lepas pantai Jamaika.
Kapten kapal ini, Benjamin Raffles, ayah Thomas. Ia biasa mondar-mandir Liverpool-Afrika-
Jamaika, menangguk keuntungan ganda, berangkat mengangkut budak dan kembali
mengangkut hasil bumi “India Barat” seperti kapas, gula, tembakau dan todi (minuman keras
dari tebu).

Tahun lahir Thomas ialah tahun ketika perang kemerdekaan Amerika sampai pada titik penentu,
yang Inggris akan segera kehilangan kekuasaan atas koloninya di benua barat (Perjanjian
Versailles 1783). Mundur dari barat, Inggris mencari kawasan baru di “Timur Jauh”, yang berarti
harus berhadapan dengan persekutuan Perancis-Belanda. Di timur persekutuan ini harus
dipatahkan. Sementara itu di barat Api Revolusi Perancis, 1789, yang sempat menyala sepuluh
tahun, sedang terus ditiup-tiup kembali. Perang kemerdekaan Amerika yang berjaya itu, seperti
diketahui, tidak bisa dipisahkan dari Revolusi Perancis. Begitu juga “Revolusi Juli” 1830 dan
“Revolusi Februari” 1848 yang melanda seluruh Eropa, dan bahkan meluas ke pantai utara
Afrika. Semuanya itu revolusi borjuis nasional.

Tahun 1781 sesungguhnya bisa dipandang sebagai fajar sejarah modern Eropa. Cahaya
modernisasi itu segera akan menerangi dan mengubah “Timur Jauh”, seketika nanti jika Raffles
telah membukakan pintunya. Sebutlah semuanya itu kejadian-kejadian politik besar, yang
menimang dan membuai si bocah Thomas Raffles. Selain itu ada buaian sosial yang tak kalah
besar juga.

Sejak 1713 Inggris adalah raja perdagangan budak di dunia. Kepulauan Karibia, pada tahun
Raffles lahir, merupakan pasar perdagangan budak terpenting sedunia. Sepanjang sepuluh tahun
sesudah Thomas lahir adalah tahun-tahun mas bagi perdagangan budak. Tapi bersamaan
dengan itu juga merupakan tahun-tahun ketika agitasi anti-perbudakan mulai berkumandang.
Anti-perbudakan adalah satu aspek humanisme paling utama di zaman modern. Si bocah Raffles
tumbuh dalam pengaruh suasana revolusi sosial dan revolusi kebudayaan ini.

Pada umur 14 tahun ia menjadi pegawai East India House, kantor pusat Kompeni Dagang
Inggris di India Timur. Tahun 1805 menjadi asisten sekretaris pemerintah jajahan di Pulau
Penang, dan setahun kemudian ia diangkat menjadi sekretaris. Ketika armada Inggris menyerbu
Jawa, ia dibawa Lord Minto dalam tugasnya sebagai sekretaris itu. Sejak itu, Raffles banyak
bergaul dengan Pribumi, dan banyak mempelajari segi-segi peri kehidupan dan alam tempat
kehidupan mereka. Dalam “Hikayat Abdullah”—pada umur belasan Abdullah menjadi jurutulis
Raffles—ditulisnya tentang tabiat T.S. Raffles antara lain: “Dalam hubungan dengan semua
orang Raffles sangat santun. Wajahnya selalu berseri-seri, sangat ramah tamah dan liberal, dan
selalu mendengarkan dengan penuh minat jika orang bicara kepadanya”. Abdullah juga
mencatat dengan takjub tentang minat “tuannya” yang sangat besar terhadap segala hal-ihwal
tentang alam Melayu, sejarah bangsa-bangsanya, alam tumbuh dan alam binatangnya. Bunga
bangkai raksasa yang bergaris tengah lebih satu meter di Sumatra Selatan itu, kemudian dinamai
Rafflesia Arnoldi, karena dialah penemunya.

***

Selama masa pemerintahannya yang pendek, Raffles memang berusaha keras melakukan
reformasi liberal di wilayah kekuasaannya. Inti kebijakan pemerintahannya ialah demi
tercapainya kesejahteraan umum. Untuk itu Raffles menjalankan kebijakan yang memberikan
hak kebebasan berusaha kepada setiap individu. Dalam rangka itu, mengingat sebagian besar
penduduk ialah kaum tani, hanya tanah dari tani penggarap yang berproduksi saja dibebani
pajak oleh pemerintah. Beda dari kaum Politisi Adabiyah (Politik Etis) sekitar seratus tahun
kemudian, yang bersembunyi di balik basa-basi politik “Utang Budi”, politik reformasi Raffles
barangkali bisa dibilang sangat oportunistis. Ini bertolak dari alasan bahwa sebuah serikat
dagang, apalagi kekuasaan negara, tidak mungkin bertahan hidup dengan memeras kaulanya.
“Kasihan mereka itu!” Begitu ia berbincang dengan Lord Minto, yang lantas mendorongnya:
“Mari kita perbuat segala yang terbaik, yang kita bisa!”

Thomas Stamford Raffles memang anak zaman, baik dalam pengertian senyatanya, maupun
dalam arti pasemon. Tidak aneh dan bukan datang tiba-tiba. T.S. Raffles hidup dibawah
bayangan tradisi liberal dan semangat Revolusi Perancis, dan tradisi demokrasi Inggris yang
telah tua. Apa itu semangat liberal Perancis dan tradisi demokrasi Inggris? Penghapusan hak-
hak feodal, pelarangan sistem perbudakaan, dan pembebanan pajak yang sama bagi semua kelas
sosial. Liberté, égalité dan fraternité bukan sekedar semboyan kosong, tapi benar-benar pernah
terwujud dalam segala bidang kehidupan. Hasil mendasar lain lagi dari Revolusi Perancis, yaitu
diumumkannya Déclaration des Droits de l’Homme et du Citoyen. Konsiderans deklarasi ini
menegaskan, antara lain, bahwa “kebodohan, pengabaian dan penghinaan atas hak-hak manusia
menjadi pangkal kesengsaraan umum, korupsi, penyeleweangan dan penyalahgunaan
kekuasaan”.

Masalah pokok yang menantang Raffles, segera sesudah diangkat menjadi Letnan Gubernur di
Jawa (September 1811), yaitu mengubah sistem kekuasaan atau administrasi di Jawa. Bagi mata
Kompeni Inggris administrasi merkantilisme à la Kompeni Belanda sudah dianggap sebagai
diskredit, opresif dan ekonomis juga tidak sehat. Di Jawa teori ekonomi kolonial yang
merkantilis itu diwujudkan dalam tindakan: semua hasil pertanian diborong Kompeni, dan
dengan harga rendah yang ditetapkannya; demi laba ratusan persen Kompeni juga yang
mempunyai hak monopoli ekspor hasil bumi ke pasar benua barat; petani hanya boleh menanam
tanaman yang diwajibkan Kompeni, dan dilarang menjual hasil panen selain pada Kompeni;
impor dibatasi seminimum mungkin, oleh karena impor akan berarti kerugian bagi Kompeni.

Kaum tani tidak punya hak tawar untuk harga hasil panen. Itu pun masih dikurangi lagi dengan
pajak wajib, dan dibebani kerja rodi untuk bangunan jalan dan prasarana umum lainnya. Lebih
dari itu beban petani masih ditambah lagi dengan berbagai bentuk pemerasan dan hukuman
dari para penguasa pribumi sebagai agen-agen Kompeni. Petani Jawa adalah budak sahaya, tak
beda dari hewan pengolah tanah, selain bahwa mereka bisa mengaduh dan mengeluh. Minto dan
Raffles “iba hati” menyaksikan kehidupan kaum tani di Jawa yang seperti itu. Tetapi bukan saja
terhadap kaum tani Raffles iba hati. Ia iba hati dan cemas melihat praktik-praktik kolonialisme
rampokan model VOC, yang sejatinya pernah juga dikecak keras oleh Gubernur Jawa Timur Dirk
van Hogendorp (1794). Karena tanpa berani meninggalkan praktik-praktik kekerasan dan
rampokan, Nusantara sebagai lahan SDM yang luas dan subur akan muspra dan bahkan bisa jadi
musnah.

“We, the Batavians”, says Mr. Hogendorp, “or rather our good and heroic ancestors, conquered
these countries by force or arms. The Javans, ... although they resigned their political rights, they
still retain their civil and personal liberty, at least their right thereto.” (The History of Java, Notes
Ch. V, no. 14). Di bagian lain T.S. Raffles sendiri menyatakan: “They maintain with pride, that
although virtually conquered, they still, as a nation and as individuals, pertinaciously adhere to
their ancient institutions, and have a national feeling, ...”

Potensi Nusantara yang demikian itulah yang oleh T.S. Raffles hendak diselamatkan dan
dikembangkan. Bukan demi pemerdekaan Nusantara, tentu saja, tapi (dalam perkembangan
politik kolonial Inggris di kelak kemudian hari) demi tumbuhnya burjuasi nasional yang sehat,
sebagai mitra dalam “keluarga persemakmuran” Great Britain.

Administrasi Kompeni Inggris di Hindia Timur, yang dibangun dengan teladan Mogul, jauh
lebih liberal administrasi Kompeni Belanda. Petani penggarap India yang memiliki atau
menyewa tanah, boleh menanam tanaman yang mereka suka, menjual hasil panen di pasar
bebas, menerima harga menurut ketetapan pasaran, dan bisa mengadu ke mahkamah yang
berwenang bila terjadi ketidakadilan atas diri mereka. Mereka tidak dibebani rodi; dipungut
pajak sebanding nilai hasil panen; pajak dipungut langsung para pejabat pajak, tidak melalui
pejabat antara; untuk itulah dibangun birokrasi bergaji guna mengawasi jalannya administrasi.

Dengan teladan itu Minto dan Raffles ingin menyelamatkan sumber daya manusia petani Jawa.
Jalanya hanya satu: mengganti sistem merkantil yang absolut represif. Tapi, tentu saja, tidak
semudah orang membalik telapak tangan. Banyak aturan lama harus dibuang dan diganti
dengan yang baru. Birokrasi baru harus disusun dan dididik agar mampu menjalankan segala
peraturan baru itu. Jawa, kecuali Batavia, lalu dibaginya menjadi 16 keresidenan, masing-masing
dikepalai oleh residen. Tujuannya untuk mengalihkan wewenang pemerintahan, yang semula di
tangan para bupati. Ini tidak lain berarti, kendali pemerintahan dipegang langsung di tangan
pusat, dan tidak lagi berbagi atau melalui perantara-perantara siapapun.

Tetapi dari berbagai usaha reformasi Raffles yang paling penting ialah diberlakukannya tatanan
pajak tanah, landrentestelsel, yang sama sekali berbeda dengan aturan Belanda sebelumnya
yaitu contingenten stelsel, penyerahan hasil bumi secara paksa dari kaum tani. Tatanan pajak
tanah sistem T.S. Raffles ini berdasar pada asas domein. Bagi petani pribumi Hindia Belanda,
Jawa terutama, berarti menghadapi aturan baru, dari stelsel contingenten pada stelsel landrente.
Bagi Raffles memang itulah jalan yang paling layak ditempuh. Ia menghadapi anggaran biaya
yang kosong untuk melaksanakan konsep reformasinya. Maka dijualinya tanah-tanah luas yang
tergolong sebagai “domein”, termasuk tanah-tanah yang mempunyai hak kuasa tertentu, untuk
dijadikan tanah milik perseorangan. Sedemikian jauh Raffles bahkan menutup mata terhadap
ulah Alexander Hare, Residen Banjarmasin, yang menangkapi 3000 orang Jawa “gelandangan”,
untuk dipekerjakan demi kepentingannya pribadi. Bersama Minto ia berangkat dengan
semangat pembebasan budak, tapi masih dalam awal perjalanan ia terpaksa cuek terhadap
dipraktekkannya kembali perbudakan.

Ada dua sisi utama dari bagan politik reformasi T.S. Raffles. Sisi fisik nyata, dengan kunci
kebijakan pengubahan stelsel pajak tanah; sisi imajiner ideal, dengan kunci kebijakan
pembebasan SDM—baik secara individual, etnis, maupun regional. Untuk itu ditempuhnya jalan
politik sentralisasi tata pemerintahan, pada awal sengaja untuk memasung kewenangan
penguasa lokal berikut para centeng mereka, namun pada akhir berakibat memasung hak
inisiatif “sdm” yang semula dibelanya itu sendiri.

Dalam hal klasifikasi kependudukan, misalnya, ditinggalkannya model penggolongan Kompeni


Belanda yang tiga (Eropa, Cina, Pribumi), dan digantinya dengan dua golongan: Eropa dan
Pribumi. Jangankan Cina, bahkan Indo-Eropa oleh T.S. Raffles dimasukkannya sebagai Pribumi!
Bukankah ini—notabene hampir dua abad lalu—jauh lebih maju ketimbang politik
kewarganegaraan Orba Suharto, yang menciptakan istilah “asli” dan “keturunan”? Namun,
bagaimanapun, T.S. Raffles menerjemahkan ideal Revolusi Perancis secara oportunistik. Ini
tampak dalam usaha, misalnya, mereorganisasi sistem peradilan. Dengan tujuan mengakhiri
“dualisme” sistem hukum Daendels, ia cenderung melestarikan sistem hukum Pribumi, dan
sebagai langkah antara diberlakukannya sistem hukum Inggris. Ia membentuk lembaga jury,
sebuah badan terdiri dari warga masyarakat, yang diikutsertakan dalam memutuskan salah-
tidak seseorang di depan sidang pengadilan. Segala bentuk monopoli dilarang (juga dilarang ijin
adu ayam dan rumah judi), kecuali monopoli pembuatan dan distribusi garam, justru demi
melindungi rakyat dari permainan harga.

Itulah beberapa kerja rintisan peninggalan T.S. Raffles ketika ia harus kembali ke Eropa (1824).
Sayang, kerja rintisan itu bukan diteruskan, tetapi malah dihancurkan sama sekali. Stelsel pajak
tanah Raffles segera disusul dengan stelsel benteng Jendral de Kock dalam Perang Jawa (1825-
30) dan stelsel tanam paksa Van den Bosch (1830-48). Revolusi Juli 1830 di Perancis memang
gagal. Tetapi ia ibarat menabur benih bagi timbulnya revolusi liberal yang berikut di seantero
Eropa, Februari 1848. Demikianlah di Eropa: perang kemerdekaan berkecamuk di mana-mana.
Tetapi di Hindia Belanda terjadilah apa yang dikhawatirkan Dirk van Hogendorp dan Thomas
Raffles. Perang “penyatuan pasar” di seluruh kawasan Hindia Belanda, yang disempurnakan
dengan jalan serangan militer model Van Heutsz dalam kombinasi dengan pénétration paçifique
menurut resep Snouck Hurgronje. Embrio “negara bangsa” diciptakan di atas tebusan
tumpasnya (pinjam istilah-istilah Raffles) nations, individuals, dan ancient institutions. Konsep
dan strategi Hindia Belanda (baca: Indonesia) tentang “negara bangsa” dan “bangsa” sebagai
konvensi politik menjadi kredo kebijakan demi “penyatuan pasar nasional”. Sesuatu entitas
politik baru yang abstrak, yang dibangun di atas gagasan politik modern (baca: burjuasi),
diletakkan di atas berbagai entitas sosio-kultural yang riel dan telah melembaga dan tua
menyejarah.

Muatan revolusi ialah menakar kembali segala nilai, Umwertung aller Werten. Selain itu,
revolusi juga menampik yang kemarin, Revolution Rejects Yesterday. Tapi, adakah nilai
“bangsa” dan “negara bangsa” warisan Hindia Belanda itu, telah ditakar kembali dan ditampik
ketika Revolusi 45 meletus? Risalah Bung Karno Lahirnja Pantja Sila, dan beberapa teks
pidatonya tentang nation building, barangkali penting dikaji ulang, justru dalam saat ketika
Indonesia diancam disintegrasi seperti sekarang.

***

Raffles seorang patriot yang bersemangat. Ia melakukan segala dan sebanyak-banyaknya bagi
kemenangan Inggris, dan sebaliknya segala dan sebanyak-banyaknya bagi kekalahan Belanda.
Tapi sejarah tidak bisa membantah. Ia seorang pelopor reformis kolonial yang mengubah wajah
dunia, bukan saja wajah politik dan ekonomi tapi juga wajah sosial dan budaya. Apa yang nanti
oleh pemerintah Belanda diwujudkan, di sekitar penutup abad ke-19, melalui apa yang diuar-
uarkan sebagai “Siasah Adabiyah”, Politik Etis, yang dilaksanakan dalam langkah kombinasi
bidak-bidak Snouck Hurgronje-Van Heutz, adalah langkah-langkah Thomas Stamford Raffles
seorang diri pada awal abad yang sama.

Raffles sosok pribadi bersegi banyak yang terpadu, dan berwawasan liberal bagi jamannya.
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang kembang-kempis diberinya
nafas baru. Ia menaruh perhatian besar pada bahasa-bahasa pribumi, adat dan budaya bangsa-
bangsa pribumi. History of Java yang diterbitkannya (1817) menjadi hasil karya baku untuk
waktu yang panjang - kalaupun tak lagi bisa dikatakan sampai sekarang.

Tahun 1816 Raffles ditarik kembali ke Inggris. Reformasi macet karena “besar pasak dari tiang.”
Harapan Raffles pada stelsel pajak tanah tidak seimbang dengan kebutuhan anggaran birokrasi
dan keamanan yang justru membengkak sebagai akibat konsep reformasinya. Ketika pada tahun
1817 ia dikembalikan ke Bengkulu sebagai Letnan Gubernur Jendral, patriotisme Inggrisnya
tetap berapi-api. Namun, juga kali ini, ia gagal dalam segala daya upayanya untuk melumpuhkan
pengaruh Belanda di Timur Jauh. Ketika oleh Traktat 1824 juga Bengkulu harus diserahkan
kembali pada Belanda, Raffles terpaksa mundur dan kembali ke Inggris untuk selama-lamanya.

Tetapi Raffles tidak gagal sebagai tokoh pelaku sejarah. Tanpa Raffles pernah hadir di Batavia
dan Bengkulu, Singapura tidak akan pernah berada di tangan Inggris. “Bagi Inggris, Singapura di
timur, sama seperti Malta di barat!” Begitu ia berkata. Seandainya ia gagal meyakinkan para
petingginya, yang mencibir terhadap idenya membeli pulau sebesar gurem itu, di Asia Tenggara
tidak akan pernah timbul dan berkembang sebuah kota dan pelabuhan bebas yang strategis.
Singapura tidak akan pernah menjadi “Singapore” dan “Shonanto”. Maka monopoli perdagangan
dan pertahanan akan tetap dimainkan oleh Belanda di Nusantara melalui Sunda Kelapa di Teluk
Jakarta. Bayangkanlah andai kata itu yang terjadi. Tapi untunglah, atau malangkah, bahwa
Sejarah tidak suka berandai-andai!

Bacaan acuan:
1. Raffles, Sir Thomas Stamford, History of Java (Oxford University Press, 1965).
2. Collis, Maurice, Raffles (Faber and Faber, 1966).
3. Wurtzburg, C.E., Raffles of the Eastern Isles (Oxford University Press, 1986).
4. Gonggryp,G.F.E., Geïllustreerde Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (N.V.Leidsche
Uitgeversmaatschappij, Leiden, MCMXXXIV).
5. Simbolon, Parakitri T., Menjadi Indonesia (Kompas, Jakarta, 1995). m
Hersri Setiawan, Ketua Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia di Negeri Belanda.

Hersri Setiawan, Ketua Yayasan Sejarah dan Budaya Indonesia di Negeri Belanda.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Setelah Pesta Usai


Zhou Fuyuan

Tahun baru Imlek kedua setelah masa reformasi baru saja berlalu, suasana perayaan yang hiruk
pikuk telah usai. Namun perasaan yang bergolak dalam hati setiap tahun setiap kali Sin cia hadir
masih belum juga reda. Setelah perayaan, banyak hal yang aku renungkan, namun sangat sulit
untuk melukiskan perasaanku yang sangat kompleks ini hanya dengan satu kalimat sederhana.

Tahun baru Imlek disini lazim disebut Sin cia. Ini adalah dialek Hokkian, sedangkan istilah
Mandarin yang umum di pakai adalah Chun jie. Chun jie berarti hari raya musim semi. Perayaan
ini diadakan oleh masyarakat agraris pada setiap awal tahun penanggalan Imlek, juga tibanya
musim cocok tanam. Bagi para perantau yang sudah beberapa generasi tinggal di luar daratan
Tiongkok, makna asli hari raya ini sudah tidak dipahami lagi. Bagaimana pun Sin cia tetap
mempunyai arti tersendiri bagi masyarakat Tionghoa di Indonesia. Lantas, apa makna hari raya
ini bagiku?

Chun jie pertama yang masih dapat kuingat terjadi ketika umurku kira-kira lima tahun. Kala itu
bagi kami anak-anak Sin cia identik dengan kegiatan pai cia, yaitu kami diwajibkan
mendampingi papa dan mama mengunjungi para orang tua, baik yang masih famili maupun
yang bukan. Sebagai imbalannya kami menerima amplop angpao dari orang-orang yang kami
beri hormat dengan pai cia. Meskipun memakai pakaian baru dan dapat angpao, namun
membosankan bagiku. Kegembiranya masih kalah dibanding menonton film di bioskop. Pada
masa itu uang dalam bungkusan angpao hanya punya arti biasa-biasa saja bagiku. Di dalam
keluarga kami anak-anak dilarang jajan sendiri di luar. Sedangkan mainan di luar pun tidak
sesemarak sekarang, kami sudah cukup puas dengan mainan sederhana atau mainan buatan
sendiri. Maka kami tabung saja hasil pai cia ini. Memang saat Chun jie selalu ada tarian
barongsai dan naga yang menarik minat anak-anak. Kegiatan ini cukup sering berlangsung
meski bukan pada saat Chun jie, sehingga bagi kami tidak terasa luar biasa lagi.

Umur bertambah, lebih banyak acara Chun jie yang dapat aku ikuti, seperti pertunjukan
kesenian, sandiwara atau opera dalam bahasa Mandarin. Sejak kelas 2 SD aku sangat gemar
mengoleksi buku, dimulai dari buku komik. Ini yang menimbulkan sedikit rasa suka terhadap
acara pai cia. Tumbuh dengan meningkatnya umur, kami bersaudara semuanya bersekolah di
sekolah Mandarin. Pada masa itu sekolah-sekolah Mandarin umumnya berorientasi ke RRT.
Kami memperoleh pendidikan yang cukup progresif. Dari cerita-cerita guru kami mendapat
kesan bahwa perayaan tahun baru Imlek mewakili semangat feodal sehingga sudah semestinya
diganti dengan tahun baru internasional yang lebih modern. Sejak saat itu perasaanku terhadap
Sin cia mulai negatif, perayaannya tidak pernah lagi melibatkan diriku secara emosional.
Pendidikan sekolah Mandarinku tidak berlangsung lama, karena tahun bencana itu hadir.
Ingatanku tentang 1966 adalah hari-hari saat kusaksikan segerombolan demonstran hingar-
bingar lewat depan rumahku, sembari berteriak-teriak mereka berbaris menuju ke arah
bangunan sekolah kami. Hari itu terasa kiamat telah tiba. Meski masih kanak-kanak, aku
sungguh sangat terguncang. Peristiwa itu tak pernah dapat terhapus dari ingatanku, luka
tergores di hati yang masih saja membekas sampai sekarang. Sekolah kami mereka serbu,
bangunan dirusak, lalu diserahkan pada tentara untuk diduduki! Aku terpaksa putus sekolah
ketika kelas empat SD.

Dengan berkuasanya rezim militer Orde Baru, pelan-pelan namun pasti segala hak kaum
Tionghoa dilucuti. Satu-persatu peraturan pelarangan bermunculan, termasuk perayaan Sin cia.
Pada awalnya, keluarga kami masih meliburkan usaha untuk merayakannya. Perayaan umum
tidak ada lagi, acara kunjung-mengunjungi masih berlangsung seperti biasa. Namun seiring
dengan berjalannya waktu dan semakin represif pemerintah, kami tidak berani lagi meliburkan
usaha. Acara pai cia hanya dilakukan antar keluarga dekat saja. Setelah papa meninggal, setiap
tahun, berapa hari menjelang Chun jie, kami sekeluarga selalu mengadakan acara ziarah ke
makam. Pada malam menjelang tahun baru Imlek, mama mengadakan acara sembahyang untuk
memperingati almarhum, sesudah itu kami sekeluarga kumpul bersama makan masakan hasil
sesaji. Bayangan tentang hari raya ini lambat laun menjadi muram.

Mungkin aku termasuk manusia yang tidak punya hari raya: ulang tahunku yang jatuh pada 29
Februari tahun kabisat, menyebabkan aku tidak punya kebiasaan merayakan ulang tahun.
Karena tidak menganut suatu agama, aku juga tidak merayakan Natal, Idul Fitri atau Waisak.
Ketika melihat orang lain bersukacita, aku sering merasa kesepian. Tiba-tiba aku menyadari,
kami orang Tionghoa sebetulnya masih punya hari raya Sin cia, yang tak pernah dirayakan lagi
hanya karena terpaksa. Keinginan untuk kembali menikmati kehangatan masa lalu muncul
kembali tanpa aku tahu mengapa. Karena di dalam negeri kami tidak mungkin lagi menikmati
suasana perayaannya, aku bersama teman mencoba menikmati suasana Chun jie di daratan
Tiongkok, sambil mengunjungi seorang kawan yang sedang mudik ke Hangzhou.

Waktu itu musim dingin. Persiapan pakaian yang kurang menyebabkan kami menggigil di
jalanan. Tengah malam pergantian tahun kami ikut dalam perjamuan Chun jie yang diadakan
keluarga kawan di rumah orang tuanya di sebuah apartemen kecil. Esok harinya kami
mengunjungi taman kecil di tengah kota berbaur dengan penduduk yang berekreasi. Di tengah
jalan nampak penduduk kota yang lain berduyun-duyun berjalan menuju ke arah kuil Yinling
yang terkenal untuk memanjatkan harapan untuk tahun yang baru.

Pengalaman yang paling seru adalah ketika kami menumpang kereta api dari Suzhou ke Nanjing.
Karena sudah menginjak hari ke lima Chun jie, arus balik liburan mulai meningkat. Kami
terpaksa membeli tiket kereta lewat calo, seorang nenek tua. Di dalam ruang tunggu penumpang
penuh sesak. Waktu kereta datang, penumpang berebut naik dengan berdesakan dan dorong-
mendorong. Suasananya mirip perang. Setibanya di atas kereta, kita baru tahu bahwa kami
mendapat kereta kelas kambing. Dengan susah payah kami mencari nomor duduk, sementara di
tengah koridor penumpang yang tidak punya tempat duduk memenuhi lantai, mirip kereta
pengungsi. Suasana seperti ini mungkin seperti di Indonesia saat lebaran. Situasi seperti ini
merupakan pengalaman yang cukup menyiksa.

Pengalaman merayakan Chun jie dengan keluarga orang di negeri lain merupakan suatu
pengalaman baru. Namun keramaian itu tidak pernah benar-benar membuatku terlibat. Di dasar
hati aku tetap merasakan ini adalah perayaan masyarakat mereka, keluarga mereka, bukan
diperuntukkan bagiku. Chun jie mereka ternyata bukan Sin cia kami. Sekembalinya dari sana
perasaan kosong yang aku dapatkan. Aku merasa ada sesuatu yang hilang. Dalam hati selalu ada
pertanyaan: Dimana seharusnya tempat kami?

Setelah bertahun-tahun aku mengacuhkan hari raya ini, sekarang tiba-tiba aku merasa
membutuhkannya, dan aku tak dapat memenuhi kebutuhan ini di negeri orang lain. Ada apa
denganku? Apakah ini sekadar kecengengan manusia yang suka bernostalgia dengan masa
lampau? Setelah aku renungkan dalam-dalam, aku baru sadar, kebutuhanku akan Sin cia adalah
suatu kerinduan tentang kebebasan, lepas dari kekangan, kebebasan untuk mengekspresikan
diri!

Orde Baru tidak hanya melarang perayaan Sin cia juga melarang semua pendidikan dan
kebudayaan Tionghoa, termasuk tulisan kanji dan semua bacaan beraksara kanji. Kebiasaanku
dari kecil untuk membaca cerita komik dalam bahasa Mandarin tak terasa telah membuat diriku
sangat menggemari sastra Mandarin. Ketika pelarangan buku Mandarin menjadi kenyataan, aku
merasakan kehilangan yang sangat. Dengan berbagai cara aku masih bisa memperoleh buku-
buku itu. Perasaan was-was dan tertekan selalu menyertaiku saat melewati para petugas
pemeriksa di bandara, hanya karena di dalam kopor, di bawah pakaian-pakaian kotor, selalu
tersembunyi berbagai buku dalam huruf Mandarin. Sungguh sangat absurd di muka bumi ini
ada pelarangan suatu jenis huruf, dan pelarangan ini tercantum di atas formulir isian
penumpang pesawat bersamaan dengan bacaan porno, narkotika dan senjata api! Perasaan
tertekan ini dengan sendirinya membuat kebencianku terhadap penguasa yang menciptakan
belenggu dan rambu tak terhindarkan lagi. Akhirnya, aku juga jadi maklum dengan perasaan
pedih dan kehilangan masyarakat Tionghoa yang dipaksa melepaskan tradisi turun temurun,
meredam semua keinginan, antusiasme merayakan Sin cia setiap tahunnya. Mengapa ada
pemerintah yang merampas hak rakyatnya untuk bergembira dan menikmati kebudayaannya
sendiri?

Setelah Orde Baru, limbung masyarakat Tionghoa menuntut kembali haknya. Eksistensi Sin cia
diperjuangkan untuk diakui, seketika tarian barongsai muncul dimana mana. Saat menyaksikan
barongsai beraksi dalam perayaan Sin cia pertama kali setelah dilarang, tak dapat aku menahan
rasa haru yang bergejolak dalam dada, hatiku miris menangis, pertanyaan-pertanyaan
berkecamuk: Apa salahmu sehingga dalam tahun-tahun yang begitu panjang engkau harus
bersembunyi? Mengapa engkau sampai diharamkan?

Sekarang setelah engkau muncul kembali dengan tubuh penuh luka, apa yang masih dapat
engkau lakukan? Engkau menghentak-hentakkan tubuhmu dengan penuh tenaga, seakan-akan
seluruh perasaan pedih tertekan yang terpendam selama ini hendak kamu lepaskan serentak.
Bunyi tambur seperti menyuarakan jerit protesnya. Sudah pasti, kemunculanmu merupakan
tamparan keras bagi penguasa yang pernah membelenggumu. Kemunculanmu juga
menyadarkan kita, bahwa suatu kebudayaan meski coba diredam dengan paksa selama 32 tahun,
dia tidak lalu mati. Begitu angin perubahan bertiup, dia pasti akan hidup kembali! Ini
mengingatkan kita pada sebuah syair klasik dari penyair dinasti Tang Bai Juyi :

Hamparan rerumputan di atas padang,


Semusim melayu semusim merimbun
Api belantara tak dapat membakarnya habis,
begitu angin musim semi bertiup dia akan tumbuh kembali.

Di tengah suasana kegembiraan aku selalu masih memendam kekhawatiran. Apakah kebebasan
ini hanya gejala sesaat? Mungkinkah suatu ketika kekuasaan yang begitu represif akan kembali
hadir? Andaikan pemerintahan di masa yang akan datang masih saja demokratis dan tidak
diskriminatif, apakah sentimen rasialis yang sudah tertanam di masyarakat juga dapat lenyap?
Apakah saat ini kita sudah dapat merayakan Sin cia tanpa rasa was-was? Aku kira pertanyaan di
atas seharusnya juga menjadi pertanyaan bagi seluruh bangsa, harus terus diajukan, dan
menjadi peringatan terus-menerus di dalam hati, agar kita selalu waspada. Ingatan tentang masa
lalu sangat baik untuk menjadi bekal kita dalam melangkah. Kita akan selalu diingatkan:
pergulatan melawan diskriminasi dan rasialisme adalah pergulatan panjang yang tak mengenal
kata lelah. Pekerjaan sepanjang masa ini harus dilakukan seluruh anak bangsa dari generasi ke
generasi! Di tengah eforia kebebasan, setelah pesta usai, masih banyak pekerjaan yang harus kita
lakukan.

Alangkah baiknya kita dapat merenungkan sebuah syair yang ditulis penyair Xin Qiji dari dinasti
Song. Dia menulis untuk malam perayaan yuan xiao atau capgomeh, akhir dan puncak perayaan
tahun baru Imlek.

Angin timur memekarkan ribuan bunga malam


dan meniup jatuh, bintang-bintang bagai hujan.
Kuda pusaka dan kereta kencana harum sepanjang jalan.
Suara seruling mengalun, sinar rembulan berputar
ikan-ikanan dan ular naga menari semalaman.

Capung-capung, umbul-umbul dan rumbai emas


canda tawa dan langkah gemulai meninggalkan wangi.
Lama mencarinya dalam kerumunan manusia, ———
seketika menoleh ke belakang, orang itu ternyata
berada di tempat di mana sinar lentera hanya temaram.

ZHOU FUYUAN, arsitek yang tinggal di Jakarta

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Ilmu Sosial, Seberapa Ilmiah?


John Roosa

Pelajar di Indonesia cukup banyak mencurahkan waktu untuk belajar ilmu sosial. Sejak SD
murid sekolah diajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan sejarah, di samping mata pelajaran
lainnya. Di perguruan tinggi mahasiswa belajar antropologi, sosiologi, psikologi dan bidang-
bidang lainnya. Masalahnya, dalam pengajaran ilmu sosial ini murid atau mahasiswa diberi
kesan bahwa ilmu itu seolah-olah pasti adanya. Karena itu, kita mendapat kesan salah seolah ada
kesepakatan umum di kalangan ilmuwan sosial akan tujuan dasar, fungsi metodenya. Seperti
bidang lainnya, ilmu sosial diajarkan sebagai deretan rumus atau kesimpulan yang harus diingat,
dan bukan sebagai rangkaian pertanyaan yang seharusnya muncul dari para murid atau
mahasiswa sendiri. Dalam esei ini saya ingin mengangkat sejumlah masalah dasar dalam ilmu
sosial dan menawarkan jawaban dari saya sendiri. Tentu saja, tidak semua bisa kita bahas di
dalamnya, tapi apa yang diuraikan lebih banyak bertujuan menantang kita semua untuk berpikir
tentang masalah-masalah tertentu.

Tujuan Ilmu Sosial

Ilmu sosial biasanya dianggap sebagai metode untuk memperbaiki masyarakat. Jika kita
memahami kebenaran masyarakat kita secara ilmiah, maka kita akan tahu cara
memperbaikinya. Jika kita mempelajari sebuah masalah sosial dengan seksama, misalnya
kemiskinan, dan menelusuri penyebabnya dengan mengumpulkan semua data yang kita miliki
dan menerapkan ketrampilan logika kita yang terbaik, maka kita akan mampu merumuskan
kebijakan pemerintah yang tepat dan tindakan sosial untuk memberantasnya. Ini mungkin
pandangan tentang ilmu sosial sebagai dokter bagi penyakit yang diidap masyarakat. Ilmu sosial
sepertinya memberi harapan bahwa penjelasan yang keliru tentang masalah-masalah sosial
(misalnya bahwa kemiskinan disebabkan oleh persekongkolan kelompok etnik atau agama
tertentu) dapat dikikis dan kita, sebagai masyarakat, dapat mengenali kebenaran serta
memecahkan masalahnya bersama-sama.

Harapan ini tentunya naif bagi dunia yang penuh dengan kepentingan dan tidak tertarik pada
ilmu sosial jika ilmu itu bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya saja, ada sekumpulan
ilmuwan sosial yang melihat bahwa kebijakan IMF (yang notabene menguasai perekonomian
Indonesia sekarang) ternyata membuat kemiskinan semakin parah, maka temuan itu tidak akan
ada pengaruhnya terhadap IMF sendiri karena para pejabatnya berkepentingan untuk jalan
terus dengan kebijakan itu. Apalagi IMF ini mewakili kepentingan bank-bank besar di Amerika
Serikat, Eropa dan Jepang, yang didirikan untuk mencari untung, bukan untuk mengatasi
kemiskinan. IMF sudah tentu akan mengabaikan temuan studi ilmiah yang tidak membenarkan
kebijakan yang sudah mereka tetapkan. Dalam kenyataan kita lihat bahwa IMF terus-menerus
mengabaikan studi-studi kritis tentang “kebijakan penyesuaian struktural” – yang juga berlaku
di Indonesia sekarang (kenaikan pajak, sumberdaya untuk ekspor, pengurangan pengeluaran
pemerintah, dan seterusnya). Alih-alih memperhatikan studi-studi kritis itu, IMF membiayai
sejumlah penelitian “ilmiah” untuk menyembunyikan kebenaran tentang kebijakan-
kebijakannya yang salah.

Walau hasil dari penelitian sosial mungkin tidak meyakinkan mereka yang berkepentingan
untuk menolak hasil-hasilnya, kita tetap harus melakukan penelitian. Kita tidak bisa
berkesimpulan bahwa ilmu sosial pada dasarnya tidak jelas. Bahwa ada sekelompok orang yang
menolak temuan kita, tidak berarti bahwa semua orang akan menolaknya. Mungkin ada banyak
orang yang terdorong oleh informasi dan temuan kita, akan berjuang untuk mengubah kebijakan
tertentu. Mari kita lihat IMF lagi sebagai contoh. Saat ini ada banyak organisasi yang dibentuk
untuk menekan IMF agar mengubah kebijakan-kebijakannya. Mereka mengadakan demonstrasi
di berbagai kota di dunia. Demonstrasi semacam itu tak akan ada gunanya jika tidak ada studi-
studi ilmiah yang membuktikan bahwa kebijakan IMF menghasilkan kemiskinan. Kekuatan
politik memang perlu untuk mendorong perubahan lembaga-lembaga seperti IMF, tapi
kekuasaan yang tak bersandar pada ilmu adalah kekuasaan sewenang-wenang yang hanya
menguntungkan pemegang kuasanya.

Ketika esei ini ditulis, ada puluhan ribu orang berkumpul di Genoa, Italia untuk memprotes
pertemuan kepala-kepala negara industri maju. Pertempuran di jalan-jalan kota Genoa
sesungguhnya adalah konflik antara dua versi tentang realitas. Para demonstran yakin bahwa
kebijakan “globalisasi” yang dipaksakan oleh negara-negara industri berarti penghisapan
sumberdaya dan rakyat dunia untuk keuntungan perusahaan multinasional raksasa yang
bermarkas di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Namun para presiden yang menghadiri
pertemuan itu percaya bahwa mereka sesungguhnya sedang menyelamatkan rakyat dunia dari
kemiskinan. George W. Bush, misalnya, mengatakan kepada pers bahwa kebijakan-kebijakannya
menyelamatkan rakyat dari kemiskinan, sementara usulan dari para demonstran hanya akan
membuat orang miskin “tetap terjerembab ke dalam kemiskinan”. Siapa yang benar? Ya,
sederhana saja, terserah pada masing-masing orang untuk menentukan dan mengambil
keputusan.

Adalah wajar bahwa ilmu sosial didorong oleh keinginan untuk memperbaiki masyarakat.
Kebanyakan orang akan menganggapnya percuma jika tidak mampu menjawab persoalan-
persoalan sosial. Tapi kita harus tahu bahwa niat baik ternyata tidak cukup untuk menghasilkan
ilmu yang baik pula. Misalnya, seorang ilmuwan sosial yang berniat membantu anak jalanan dan
dengan penuh kasih serta simpati, mempelajari kehidupan mereka. Terlepas dari niat baiknya,
ilmuwan ini bisa saja berhenti pada pengumpulan bahan dan menggambarkan penderitaan anak
jalanan itu dengan harapan bahwa pengungkapan hasil temuannya ke media massa akan
mendatangkan simpati dan uluran tangan orang lain. Bisa saja hasil temuannya, sekali lagi
terlepas dari niat baik tadi, tidak menjelaskan mengapa ada anak yang terpaksa hidup di jalan,
tentang bagaimana kemiskinan anak-anak ini berkaitan dengan situasi ekonomi secara umum,
atau mengidentifikasi wilayah-wilayah di mana penanganan pemerintahan maupun non-
pemerintah akan berlangsung efektif. Untuk menghasilkan ilmu yang baik kita harus berpikir
serius dan kreatif dalam mengidentifikasi masalah, membuat pengamatan kritis terhadap
asumsi-asumsi yang ada, dan bekerja keras untuk mengumpulkan data yang dapat diandalkan,
dan juga berpikir terbuka serta berani mengambil kesimpulan yang bertentangan dengan
keyakinannya. Ilmu sosial dengan kata lain, memerlukan keketatan konsep bukan hanya niat
baik.

Ada juga ilmuwan sosial yang tidak berusaha memberikan penjelasan terhadap masalah sosial
tertentu dan tidak percaya bahwa ilmu sosial seharusnya dirancang untuk membawa perubahan
sosial. Mereka merancang penelitian untuk menafsirkan perilaku manusia, bukan untuk
menjelaskan apa yang menyebabkan orang bertindak. Mereka juga cukup terbuka untuk
mengakui bahwa ada sekian banyak penafsiran berbeda yang sama sahnya terhadap apa yang
mereka teliti. Masyarakat dalam pandangan mereka bukanlah seperti pasien yang gejala-gejala
penyakitnya perlu diagnosa dan disembuhkan, tapi lebih seperti permainan, dan tugas ilmuwan
adalah memahami aturan mainnya sehingga kita semua dapat bermain lebih baik.

Kita ambil contoh Clifford Geertz, antropolog Amerika yang dikenal luas di Indonesia. Ia pernah
menulis esei yang sekarang dianggap klasik tentang adu ayam di Bali. Dalam tulisan itu ia tidak
menjelaskan mengapa permainan adu ayam itu ada. Pertanyaan yang ingin dijawabnya adalah,
apa sesungguhnya arti adu ayam bagi orang Bali? Seorang ilmuwan yang berpikir sempit dan
menerima perspektif polisi bahwa adu ayam adalah kejahatan, menganggapnya sebagai sebuah
masalah sosial dan akan melakukan penelitian tentang cara memberantasnya. Tapi Geertz
menganggap masyarakat Bali seperti teks, seperti sebuah novel, dan berperan seperti kritikus
sastra yang berusaha memahami makna sebuah teks. Ia mengatakan bahwa adu ayam
memungkinkan orang Bali untuk melihat sisi kehidupan emosionalnya yang biasanya tertekan;
jika dalam kehidupan sehari-hari orang Bali terlihat rapi, disiplin dan kalem, maka dalam arena
adu ayam mereka akan terlihat seperti mahluk ganas.

Walau Geertz sendiri tidak menganggap dirinya sebagai orang yang berharap mengubah
masyarakat, dalam karya-karyanya tetap ada harapan bahwa pengetahuan yang lebih baik
tentang perilaku manusia memungkinkan kita menuju hidup yang lebih baik pula. Geertz sangat
tinggi komitmennya terhadap ilmu; ia ingin mengembangkan ilmu tafsir atas perilaku manusia
yang dapat menangani “dilema-dilema eksistensial kehidupan.” Pendekatan itu baik saja adanya.
Tapi kita tidak bisa melihatnya menggantikan tugas menjelaskan kebudayaan. Tafsir atau
interpretasi seharusnya dilihat sebagai pelengkap untuk menjelaskan. Buku Geoffrey Robinson
tentang kekerasan di Bali adalah kontras yang baik terhadap pendekatan Geertz. Dalam buku itu
ia memberikan penjelasan logis yang sangat baik tentang faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya pembunuhan massal 1965-66. Penjelasan tentang sebab-akibat sangat mendasar bagi
ilmu sosial – demikian halnya tafsir atas makna.

Hampir semua ilmu sosial mengandung unsur utopianisme tertentu. Hal ini jarang disadari di
Indonesia, karena ilmu sosial masih dianggap sama seperti reportase tentang “kenyataan sosial”.
Juga jarang disadari oleh mereka yang gemar berslogan “yang kongkret-kongkret saja”.
Bagaimanapun, setiap ilmuwan sosial sesungguhnya mengembangkan gagasan ideal tentang
“masyarakat yang lebih baik” dan terus berpikir tentang bagaimana mencapai bentuk semacam
itu.

Bahkan saat mempelajari masyarakat lain, kita mau tidak mau mengambil masyarakat sendiri
sebagai perbandingan. Margaret Mead, antropolog Amerika yang tersohor itu, pernah
mengatakan bahwa tujuannya mempelajari masyarakat lain untuk tahu bagaimana mengubah
masyarakatnya sendiri. Penelitiannya tentang seksualitas remaja di Samoa memperlihatkan
bahwa pubertas bukanlah fase traumatik dalam kehidupan seperti halnya di masyarakat Barat.
Apa yang selama ini dianggap alamiah atau tak terhindarkan ternyata bersifat kultural dan
terbuka bagi perubahan. Tapi, walau kesimpulannya mungkin benar, penelitiannya juga
memperlihatkan bahaya dari niat baik. Seperti ditunjukkan sejumlah antropolog lain, lingkup
informasinya tentang Samoa sangat terbatas dan ia juga keliru menafsirkan banyak hal dalam
kebudayaan setempat.
Ilmu sering berarti menghadapi bagian-bagian dari perilaku manusia yang tidak disukai
seseorang. Saya sendiri tak suka penyiksaan tapi ada banyak tentara dan polisi di dunia yang
melakukannya. Jika kita ingin mengakhiri praktek penyiksaan, maka kita terlebih dulu harus
memahaminya. Tugas dari ilmu sosial bukan hanya mengutuk penyiksaan; tapi terutama
memahaminya. Dan untuk memahaminya kita harus berbicara dengan mereka yang melakukan
penyiksaan dan memasuki alam pikirnya. Kita juga harus berbicara kepada para korban dan
memastikan apa saja akibat dari siksaan itu bagi mereka. Kita juga harus melihat tempat para
pelaku penyiksaan itu dalam negara, bagaimana perilaku itu didorong, dibiarkan dan bahkan
dipuji oleh penguasa negara.

Beda Ilmu Sosial dan Ilmu Alam

Obyek studi ilmu sosial sungguh berbeda dari ilmu alam, karena masyarakat penuh dengan
kepentingan subyektif. Misalnya jika seorang ilmuwan mengatakan bahwa katak umumnya
kawin saat hujan, ia tidak akan menghadapi sekelompok katak yang mendebatnya. Katak tidak
akan merasa malu karena pola kawinnya dibahas di hadapan orang banyak, mereka juga tidak
akan membentuk organisasi untuk memaksa ilmuwan itu menarik kembali kesimpulannya.
Mereka tidak akan berbohong dan mengatakan bahwa katak lebih senang kawin saat panas terik,
dan juga tidak akan berhenti kawin saat hujan untuk membuktikan bahwa ilmuwan itu keliru.

Alam berperilaku menurut kebutuhan. Seekor singa tidak banyak pikir sebelum memburu seekor
zebra. Lempengan tektonik di kulit bumi tidak akan memutuskan apakah akan bergerak atau
tidak, apakah akan membuat gempa bumi atau tidak. Manusia, tentu saja adalah bagian dari
alam. Dari segi fisik, susunan tubuh kita tidak lebih rumit dari seekor kucing dan hanya sedikit
di atas seekor cacing. Tubuh kita memiliki unsur kimia yang sama seperti tanaman dan
mengalami proses yang sama: tumbuh, melakukan reproduksi dan seterusnya. Segi fisik kita
menjadi obyek penelitian ahli biologi, bukan ilmu sosial. Apa yang membuat ilmu sosial berbeda
adalah perhatiannya terhadap gagasan manusia, kesadaran, subyektivitas, atau apa yang disebut
Max Weber “jaring-jaring pemaknaan” (webs of signification).

Masyarakat berbeda dari alam, berbeda jenis bukan hanya tingkat, karena masyarakat terdiri
atas individu-individu yang berpikir, melakukan refleksi atas tindakan mereka, dan mengubah
perilaku mereka. Alam menjadi misterius hanya karena kita tidak memahaminya dengan baik,
bukan karena alam itu sendiri ingin menyembunyikan diri dari kita. Manusia, sebaliknya, adalah
mahluk penuh rahasia dan kebohongan. Seseorang bukan hanya menipu orang lain tapi
seringkali menipu dirinya sendiri.

Lalu bagaimana bisa manusia mencipta ilmu tentang dirinya? Bukankah semua ilmu sosial akan
tercemar oleh bias subyektif para ilmuwannya? Bagaimana cara manusia mempelajari dirinya?
Bukankah obyek studi itu akan selamanya tidak jelas? Bukankah tidak mungkin kita berbicara
secara obyektif tentang subyektivitas?

Ini memang pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan sampai sekarang belum terjawab. Tapi
seringkali di Indonesia kita melihat obsesi akan “obyektivitas” dan keinginan memiliki ilmu
sosial yang sepenuhnya obyektif, yang dapat berbicara sama obyektifnya seperti ilmu alam.
Semua orang mengaku “obyektif” dan ingin mengetahui ilmu sosial yang “obyektif” pula.

Kekacauan berpikir tentang obyektivitas ini dapat dilihat dalam pernyataan Amien Rais baru-
baru ini. Dalam wawancara di SCTV, 21 Juli lalu, ia mengatakan bahwa “obyektivitas” demokrasi
ditentukan oleh suara terbanyak. Jadi jika mayoritas anggota MPR setuju menurunkan Gus Dur
karena melanggar UUD 1945, maka menurut Amien Rais, Gus Dur memang melakukan
pelanggaran. Ini tentu saja definisi yang tidak masuk akal. Gus Dur mungkin saja tidak pernah
melakukan pelanggaran apa pun, tapi karena kebanyakan partai politik ingin mengusirnya dari
istana dan merebut kekuasaan untuk kepentingannya sendiri, mereka akhirnya menjatuhkan
keputusan itu sekalipun tidak ada bukti. Jika di masa depan mayoritas partai politik menuduh
Amien Rais melakukan kejahatan dan mengusirnya dari jabatan Ketua MPR, saya ragu bahwa ia
masih percaya kata-katanya sendiri tentang obyektivitas.

Di abad ke-19 dan bahkan sampai abad ke-20, banyak orang percaya bahwa ilmu sosial hanya
mungkin berkembang jika mengambil ilmu alam sebagai modelnya. Ada yang bahkan
mengusulkan “ilmu yang satu”, untuk mempersatukan ilmu alam dan ilmu sosial. Perilaku
manusia, dalam pandangan ini, dipahami sebagai proses alamiah yang mengikuti hukum-hukum
tertentu. Subyektivitas dilihat sebagai hasil proses kimiawi dalam otak dan otak pun diperlakuan
semata-mata sebagai salah satu organ tubuh, sama halnya seperti ginjal namun sedikit lebih
rumit. Beberapa ahli biologi yang mempelajari gen mengatakan bahwa karakteristik tertentu
dari perilaku manusia sudah ditetapkan sejak lahir. Ilmuwan sosial akan mengimbanginya
dengan membuat eksperimen yang berulang-ulang terhadap subyek manusia di laboratorium
dan membuat tabulasi hasil-hasilnya di komputer. Kita lihat seolah-olah misteri subyektivitas
manusia dapat dibawa masuk secara tegas ke dalam wilayah ilmu alam.

Dewasa ini hanya sedikit orang yang percaya bahwa ilmu sosial harus mengikuti jejak ilmu alam.
Kebanyakan orang setuju bahwa obyek ilmu sosial, yakni subyektivitas manusia, tidak dapat
dipelajari sebagai bagian organik dari alam yang mengikuti hukum-hukum tertentu. Tentu saja,
ada kesamaan dari segi metode: ilmu sosial juga menganggap penting bukti dan argumen yang
masuk akal, tapi subyektivitas harus dipelajari dengan cara berbeda. Usaha memasukkan ilmu
sosial ke dalam ilmu alam berlandaskan pada pengebirian konsep subyektivitas manusia. Dalam
pandangan ini manusia diturunkan derajatnya seperti binatang: kita bisa berbicara lebih baik
dari burung beo, bisa membuat alat-alat yang lebih baik daripada kera (yang tidak pernah
beranjak lebih jauh dari membuat tongkat untuk merusak lubang semut), dan bermain musik
lebih baik dari ikan paus (yang bernyanyi di bawah air) – tapi pada dasarnya kita tidak berbeda.

Dalam hal menurunkan derajat kemanusiaan dan menyamakannya dengan alam, “ilmu
ekonomi” adalah yang paling buruk dan berbahaya. Ekonomi bergerak maju menyerupai ilmu
yang “pasti” justru karena asumsi-asumsinya yang menyederhanakan perilaku manusia.
Ekonomi yang pada umumnya diajarkan di perguruan tinggi Indonesia dan tempat lainnya (ilmu
ekonomi yang memotivasi IMF) bertolak dari asumsi bahwa manusia adalah mahluk yang
senantiasa cari untung dengan kecenderungan alamiah untuk truck, barter and exchange, seperti
dikatakan Adam Smith. Itulah “manusia ekonomi yang rasional”. Seandainya saja setiap orang
adalah pedagang dan berlaku seperti pedagang maka asumsi itu tepat adanya. Ilmu ekonomi
standar, sebagai analisis tentang perilaku manusia, rumah tangga dan perusahaan, mengabaikan
kenyataan kelas dan hubungan kuasa dalam struktur sosial. Terlepas dari model matematiknya
yang rumit dan klaimnya sebagai ilmu yang “pasti”, ekonomi standar ini penuh dengan
absurditas.

Semua ilmu sosial yang valid bertolak dari pengetahuan bahwa manusia adalah mahluk yang
kreatif. Kita harus menghargai kenyataan dasar ini. Perilaku manusia tidak mengikuti hukum-
hukum keteraturan alam justru karena manusia dapat mengubah perilakunya. Kita terus-
menerus melakukan refleksi atas tindakan kita dan berusaha menentukan apakah yang kita
lakukan adalah baik atau buruk. Budaya tidak sama dengan alam justru karena kapasitas
manusia untuk mengubah perilakunya. Artinya masalah obyektivitas dalam ilmu sosial amat
berbeda dari ilmu alam. Kita tidak bisa mengambil kesimpulan bahwa obyektivitas tak mungkin
diraih dan dengan begitu ilmu sosial takkan mungkin menjadi ilmu. Namun, kita harus tahu
bahwa gagasan tentang obyektivitas dalam ilmu alam tidak dapat kita gunakan dalam ilmu sosial.

Lalu, apa obyektivitas itu dalam ilmu sosial? Kita tidak mungkin menjawab pertanyaan itu dalam
beberapa paragraf saja. Saya hanya memaparkan beberapa elemen saja dari jawaban yang
sesungguhnya panjang. Banyak ilmuwan sosial mengatakan bahwa ilmu sosial adalah ilmu
tentang aturan yang diikuti manusia. Dengan mengamati aturan-aturan ini, ilmuwan sosial
dapat memahami keteraturan perilaku manusia dalam masyarakat tertentu. Masalahnya aturan-
aturan itu tidak begitu saja ada: manusia tidak mengikuti aturan karena mereka diprogram
secara genetik untuk melakukannya. Aturan-aturan seperti itu terus berubah dan bervariasi dari
masyarakat satu ke yang lain. Aturan-aturan itu juga tidak diikuti secara ketat oleh manusia.
Artinya kita tidak dapat mempelajari aturan-aturan itu lalu menyimpulkan perilaku manusia
berdasarkan itu.

Kita ambil contoh, sebuah pabrik. Peneliti di pabrik itu melihat bahwa buruh menghormati
mandor. Mereka mengikuti beragam aturan etiket saat berurusan dengan mandornya: mereka
menjaga agar tubuhnya tidak terlalu dekat, menundukkan kepala saat menatap wajahnya,
menyebutnya “tuan” atau “beliau”, tidak bergurau dengannya, dan tidak berbalik memunggungi
sebelum ia pergi. Seorang peneliti bisa saja menafsirkan perilaku para buruh ini sebagai tanda
penghormatan terhadap sang mandor dan pengakuan akan adanya hirarki sosial dalam pabrik.
Tapi, pengamatan yang lebih teliti ternyata menunjukkan bermacam kejanggalan: buruh-buruh
itu kadang berlebihan mengikuti ‘aturan’ itu: membungkukkan badan dalam-dalam, berbicara
dengan gelar penghormatan yang hebat-hebat, sedemikian rupa sampai mandor itu tidak tahu
lagi apakah buruh-buruh itu sesungguhnya hormat, agak gila atau sedang mengejeknya. Peneliti
itu kemudian juga bisa melihat bahwa di luar pintu pabrik ternyata buruh-buruh itu setengah
mati menertawakan sang mandor, dan bahagia karena bisa mempermainkannya. Dari sana ia
bisa melihat bahwa di balik apa yang nampak ada realitas lain, dan karena itu tidak akan terkejut
jika suatu saat, buruh-buruh itu secara terbuka akan menantang sang mandor, memperlihatkan
sikap tidak hormat, lalu mencoba menguasai pabrik itu. Dalam contoh ini kita bisa lihat
bagaimana aturan ditaati, dan ada semacam kepastian di sana. Tapi kita juga melihat adanya
ambiguitas tentang bagaimana aturan itu ditaati, dan ini semua memerlukan kemampuan tafsir.
Kita juga bisa melihat bahwa aturan-aturan pada dasarnya selalu bisa berubah.

Salah satu perdebatan terbesar dalam ilmu sosial adalah mengenai manusia sebagai agen dan
struktur sosial. Manusia jelas memiliki kemampuan untuk mengubah aturan, mengubah
struktur masyarakat mereka – atau dengan kata lain memiliki kemampuan sebagai agen yang
mengubah. Revolusi Indonesia 1945-49 misalnya, secara dramatis mengubah struktur sosial;
revolusi itu bukan hanya mengakhiri kekuasaan kolonial Belanda, tapi juga mengakhiri
kekuasaan sejumlah kerajaan feodal. Di atas hirarki rasial, etnik dan politik negara kolonial yang
ketat, kaum nasionalis membangun sebuah negara baru berdasarkan persamaan bagi semua
warganya. Revolusi adalah perwujudan nyata dari kekuatan kreativitas manusia dan kehendak-
kuasa mengubah struktur sosial. Namun, kita juga harus mengakui bahwa manusia memiliki
keterbatasan dalam hal apa yang dapat diubah dan seberapa jauh mereka mampu mengubahnya.
Misalnya Indonesia sampai sekarang umumnya masih terdiri atas masyarakat pedesaan yang
berkaitan dengan pertanian; Indonesia tidak bisa menjadi masyarakat industri dalam semalam,
apalagi masyarakat pasca-industri yang serba komputer, hanya karena kita menginginkannya.
Dialektika antara agen dan struktur adalah masalah sulit dan terletak di jantung ilmu sosial.

Untuk membuat aturan, harus ada pemahaman yang sama tentang aturan antara orang-orang
yang terlibat di dalamnya. Sikap tak menghormati tidak akan menjadi demikian jika orang yang
melihat sikap itu tidak memahaminya. Seseorang tidak mungkin membuat aturannya sendiri.
Artinya, aturan bukanlah fakta-fakta subyektif, yang ada semata-mata karena kita menganggap
atau menginginkannya ada. Jika tidak subyektif, apakah aturan-aturan itu bersifat obyektif?
Aturan itu juga tidak obyektif seperti hukum alam karena sifatnya yang tidak tetap; aturan itu
ada dalam komunikasi intersubyektif dan tidak disediakan dengan sendirinya oleh alam. Salah
satu pengertian obyektivitas dalam ilmu sosial dapat disebut intersubyektivitas.

Demistifikasi

Jika ilmu alam bertugas membuat alam dapat dimengerti oleh kita, maka salah satu tugas
penting bagi ilmu sosial adalah melakukan demistifikasi terhadap hubungan-hubungan sosial.
Dengan pengalaman kita hidup di bawah Orde Baru, kita tahu bahwa ada orang dan lembaga
yang sengaja ada untuk menipu publik. Di zaman Orde Baru pemilu diadakan lima tahun sekali
untuk memperlihatkan bahwa Soeharto adalah presiden yang dipilih secara demokratik.
Sebenarnya cukup jelas bagi setiap orang yang punya pikiran kritis bahwa pemilu itu tidak fair
dan bahwa Golkar senantiasa berbohong. Salah satu tugas ilmu sosial adalah melakukan analisis
terhadap kenyataan hubungan kuasa dalam masyarakat di balik segala ilusi yang diciptakan oleh
hubungan itu.

Ada banyak jalan bagi ilmu sosial untuk membongkar realitas dan melawan mitos-mitos yang
diciptakan. Banyak orang Indonesia percaya bahwa orang Tionghoa sekarang mengontrol
sebagian besar kekayaan negeri ini. Beberapa tahun lalu ada angka statistik yang terus-menerus
dikutip oleh pers, bahwa orang Tionghoa yang hanya 2% dari jumlah penduduk Indonesia
menguasai 70% kekayaan negeri. Setelah diperiksa dengan seksama ternyata angka statistik itu
sama sekali tidak berdasar. Salah satu tugas ilmu sosial adalah memperlihatkan siapa yang
menguasai kemakmuran, dan dalam hal itu kita harus jelas apa yang dimaksud “kemakmuran”
dan cara mendefinisikan kelompok-kelompok etnik.

Ilmu sosial tidak bisa berhenti pada gerak membongkar kenyataan, tapi harus melihat
bagaimana mitos-mitos menyelubungi kenyataan. Karena itu, tugasnya adalah melihat kembali
mitos itu dan menjelaskan mengapa mitos seperti itu ada dan dapat bertahan. Kenapa kita tidak
bisa mengenali kenyataan? Apa yang menghalangi kita mengenali kenyataan. Semua mitos yang
penting dan dapat bertahan punya dasar kuat; mitos-mitos itu selalu mencerminkan sebagian
persepsi tentang kenyataan dan bukan semata-mata salah paham yang parah. Misalnya, banyak
orang percaya bahwa perkosaan biasanya dilakukan oleh orang yang tidak dikenal korban. Tapi
jika orang mempelajari pola kasus-kasus perkosaan maka terlihat bahwa para pemerkosa ini
umumnya adalah teman, saudara dan tetangga para korban. Bagaimana kita menjelaskan mitos
umum tentang perkosaan ini? Mungkin persepsi bahwa perkosaan dilakukan oleh orang yang
tak dikenal korban muncul dari kecenderungan untuk membicarakan kejahatan semacam itu di
dalam keluarga dan komunitas. Sementara mereka tidak pernah mendengar kasus perkosaan
seperti itu, pers terus menyiarkan kasus-kasus perkosaan di mana pelaku seolah seperti mahluk
jahat yang bersembunyi di lorong gelap untuk menerkam korbannya tiba-tiba.

Untuk mendemistifikasi kehidupan sosial, kita tidak dapat menggunakan pendekatan yang
murni empirik dalam ilmu sosial, karena tugasnya bukan hanya merekam kenyataan dengan
sungguh-sungguh. Masalahnya seperti kita lihat di atas, kenyataan itu seringkali disalahpahami.
Banyak ilmuwan sosial yang terjangkit empirisime naif: mereka berkoar tentang data-data yang
dikumpulkan: ribuan halaman data, berkilogram dokumen dan seterusnya. Tapi saat diminta
menjelaskan apa yang mereka pelajari secara konseptual, yang keluar hanya beberapa potong
kalimat saja. Ilmu sosial sebaiknya tidak dibayangkan seperti orang memotret kenyataan, tapi
sebagai upaya mencari jalan dalam ruang penuh cermin.

Referensi:
Robin Blackburn, ed., Ideology in Social Science (Fontana, 1972).
Alex Callincos, Social Theory: A Historical Introduction (Polity, 1999).
Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (Basic Books, 1973).
Pierre Bourdieu, The Logic of Practice (Stanford University Press, 1990).
Alan Ryan, The Philosophy of the Social Sciences (Macmillan, 1970).
Peter Winch, The Idea of a Social Science and Its Relation to Philosophy (Routledge, 1958).

JOHN ROOSA, sejarawan yang menetap di Jakarta.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

JJ Kusni
Negara Etnik:Beberapa Gagasan Pemberdayaan Suku Dayak
Penerbit: Fuspad, Yogyakarta, 2001, 189 hal.

Membangun Solidaritas Kemanusiaan

Mahendra

Pertikaian berdarah antaretnis di Sampit, Kalimantan Tengah pada awal tahun 2001 ini sekali
lagi memperlihatkan betapa rapuh dan tak bermaknanya kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia. Setelah sebelumya diguncang oleh rangkaian pertikaian serupa di Kalimantan Barat,
lalu pertikaian bernuansa agama di Ambon, Maluku dan di Poso, Sulawesi Tenggara, tragedi
Sampit kembali menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam hubungan
antar-etnis dan antaragama di Indonesia yang multikultur ini.Tragedi Sampit sekaligus juga
menimbulkan sejumlah pertanyaan mendasar tentang apa yang sebenarnya terjadi di
Kalimantan, khususnya Kalimantan Tengah sehingga etnis Dayak yang merupakan penduduk
asli, menjadi sedemikian marah dan mengambil “jalan merah” terhadap etnis Madura.

Berbagai pemberitaan media mengenai pertikaian tersebut masih melihat tragedi yang
menewaskan ribuan nyawa dan puluhan ribu lainnya terpaksa mengungsi dengan stereotip dan
stigma etnis. Sering kali diungkapkan bahwa penyebab utama pertikaian berdarah antara etnis
Dayak dan Madura adalah perbenturan budaya dan adat-istiadat di antara mereka. Bahkan
Kongres Rakyat Kalimantan yang berlangsung di Palangka Raya pada 7 Juni 2001 lalu masih
menunjukkan betapa pemberdayaan budaya antara etnis Madura dan Dayak merupakan faktor
utama yang menjadi penyebab kerusuhan.

Hal itu secara tersurat ditunjukkan dengan dikeluarkannya pernyataan mengenai “nasib” dan
“status” etnis Madura di Kalimantan Tengah. Kongres menetapkan bahwa etnis Madura yang
mengungsi boleh kembali ke Kalimantan Tengah dengan sejumlah persyaratan. Di antaranya,
mereka adalah orang Madura yang sudah mampu beradaptasi dengan budaya setempat dan
harus membayar denda adat serta wajib minta maaf kepada seluruh masyarakat Kalimanatan
Tengah melalui DPR setempat (Kompas, 8 juni 2001). Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah
apakah memang perbedaan budayalah yang menjadi penyebab utama kerusuhan? Adakah hal
lain yang sebetulnya justru menjadi substansi yang menyebabkan pertikaian?

Buku ini mencoba menjawab berbagai pertanyaan tersebut di atas namun tidak dengan sikap
emosional. Buku ini mengajak kita untuk melihat segala sesuatu yang terjadi di Indonesia,
khususnya pada daerah-daerah yang “bermasalah”—dalam hal ini Kalimantan Tengah—dengan
melihat substansi permasalahannya.Tidak seperti genre buku “marah-marah” lainnya yang
menjamur pasca Orde Baru, yang banyak di antaranya hanya menggugat dan mengkritik tanpa
memberikan alternatif yang substansial, buku ini salah satu dari sedikit buku yang menawarkan
alternatif yang moderat dari segudang permasalahan yang ditinggalkan rezim Orde Baru.
Namun bedanya, alternatif yang ditawarkan oleh buku ini berlandaskan pada alternatif yang
berperspektif pada kepentingan rakyat banyak..

Tema sentral Negara Etnik adalah gugatan dan kekecewaan daerah dan etnis-etnis di Indonesia
terhadap hubungan daerah dan pusat yang tidak seimbang. Sejak berdirinya Indonesia, terutama
selama 32 tahun rejim Orde Baru yang sentralisitis, daerah-daerah dan etnik-etnik mengalami
penindasan baik secara ekonomi, politik maupun budaya. Walaupun mereka—khususnya
Kalimantan Tengah—telah memberikan sumbangan yang sangat besar kepada negara namun
bagian yang mereka peroleh sangat sedikit. Hal ini disebabkan karena sebagian besar kekayaan
dan potensi daerah diambil oleh pusat. Inilah yang menyebabkan daerah-daerah menjadi
kecewa. Kekecewaan ini menyebabkan daerah-daerah melontarkan berbagai tuntutan mulai dari
otonomi, otonomi luas, bentuk negara federal sampai merdeka dari Indonesia. Hal inilah yang
lantas oleh pemerintah pusat diredam dengan cara-cara militeristis yang justru menimbulkan
luka yang dalam pada banyak daerah dan etnik di Indonesia.

Namun, yang menarik, JJ Kusni menyikapi berbagai tuntutan daerah—dari mulai otonomi
sampai merdeka—itu dengan mempertanyakan apakah hal itu merupakan pemecahan masalah.
Apakah tuntutan otonomi atau bahkan kemerdekaan, semuanya menjadi tidak relevan selama
tuntutan-tuntutan tersebut mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan kepentingan masyarakat
banyak. Menurut JJ Kusni, kemerdekaan bukanlah segalanya yang pertama dan di atas
segalanya adalah harkat manusia dan kemanusiaan serta kehidupan manisiawi yang terus
menerus meningkat yang diwujudkan dalam suatu sistem (hal. 22). Lebih lanjut, ia
mengungkapkan jika daerah-daerah mempunyai sistem alternatif untuk meningkatkan harkat
kemanusiaan serta kehidupan yang manusiawi, mengapa tidak ditawarkan kepada daerah-
daerah yang lain. “Jika solidaritas kemanusiaan saja tidak ada, apa yang bisa diharapkan dari
negara merdeka yang hendak diproklamirkan itu? (hal. 23)”

Walaupun berjudul Negara Etnik, sebagai putra Dayak JJ Kusni justru menolak konsep negara
yang berdasarkan pada etnis tertentu atau etnonasionalis. Etnis Dayak, menurut JJ Kusni,
bukanlah berdasarkan pada keturunan, melainkan pada pemahaman dan penghayatan pada
budaya Dayak, terlepas dari asal-usul keturunan. Dalam konteks ini, apa yang menjadi keinginan
masyarakat Kalimantan pada hakekatnya adalah keinginan agar mereka dapat mengelola dan
memanfaatkan segala potensi dan kekayaan daerahnya demi kepentingan masyarakat dan bukan
demi kepentingan segelintir elit.

Untuk itu, sebenarnya masyarakat Dayak sudah mempunyai konsep pembangunan dari dan
untuk bersama, yakni budaya betang (hal 129). Konsep inilah yang seharusnya menjadi cara
untuk mempersatukan dan mencegah pertikaian antara beragam etnis yang ada di Kalimantan
Tengah. Dengan budaya betang-lah seharusnya masyarakat Kalimantan Tengah bersama-sama
menjadi rengan tingang, anak jata; menjadi etnis yang bermutu sehingga dapat memperoleh
élan yang bertarung memenangkan hidup menjadi anak manusia.

Untuk mencapai tujuan tersebut hal yang harus dilakukan adalah dimulainya suatu pendidikan
yang membebaskan dan pengorganisasian gerakan perlawanan yang berbasis pada massa.
Dalam epilognya, JJ Kusni mengungkapkan pentingnya melakukan langkah pengorganisasian
yang sistematis dan memperkuat posisi tawar massa. Bila hal itu dilakukan, maka menjadi tuan
atas nasib sendiri adalah suatu keniscayaan.

Buku ini juga mengungkapkan bahwa masyarakat Dayak telah termarjinalisasi dan terhina sejak
zaman Belanda. Pada masa kolonial budaya mereka dianggap sebagai “ragi usang” alias budaya
yang tak berguna lagi. Penghinaan ini ternyata berlanjut setelah Kalimantan Tengah menjadi
bagian dari Indonesia yang merdeka. Pada masa Orde Baru struktur tradisonal “Kadamangan”
telah dikooptasi oleh Golkar dengan memasukkannya sebagai bagian dari Golkar dan birokrasi.
Namun sebaliknya, mereka tidak dipercaya untuk memegang posisi-posisi strategis di daerahnya
sendiri (hal 149-150). Pada bagian lain, diungkapkan bagaimana proses penindasan dan
pelecehan budaya yang dilakukan oleh Orde Baru. Di antaranya berupa tak diakuinya
kepercayaan tradisional kaharingan, yang dipaksa menjadi bagian dari agama Hindu (hal 149),
juga pelecehan terhadap situs sakral Oloh Kasongan/Bukit Batu yang telah melukai hati
masyarakat Dayak Ngaju (hal. 115).

Terlepas dari kelemahan dalam sistematika—seperti tak adanya daftar isi, hubungan antarbab
yang kurang jelas—dan kesan pengulangan, paling tidak buku ini patut dibaca oleh masyarakat
yang ingin mengetahui lebih jauh tentang etnis Dayak. Buku ini juga patut dibaca oleh mereka
yang tertarik untuk mengetahui aspirasi dan kekecewaan masyarakat Dayak Kalimantan Tengah.
Selain itu, buku ini juga dapat menjadi rujukan yang berguna.bagi mereka yang ingin memahami
mengapa dan bilamana masyarakat Dayak, melakukan perlawanan bila aspirasinya tak tercapai.

Mahendra, Pekerja pada Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Jakarta.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Ninotchka Rosca: “...yang ingin saya bangun adalah persamaan hak di


antara bangsa-bangsa di dunia.”
Ninotchka Rosca adalah salah seorang aktivis politik exile Filipina yang pindah ke Amerika
Serikat sejak rezim Marcos menyelenggarakan keadaan darurat di negerinya tahun 1970-an.
Novel-novelnya menggambarkan bagaimana bangsa Filipina, juga seperti bangsa lainnya yang
pernah mengalami penjajahan, pada zaman globalisasi harus menjadi budak. Pandangan-
pandangannya terutama menyoroti suatu fenomena yang dialami oleh bangsa-bangsa dunia
ketiga sekarang, yakni perempuan-perempuan mencari uang di negeri-negeri kaya dengan
menjadi buruh migran, pelayan-pelayan di bar dan pekerja seks. Bagi Rosca, ini merupakan
kenyataan-kenyataan konkret yang perlu diangkat, karena hampir seluruh bangsa-bangsa bekas
jajahan dipaksa dan diharuskan menghadapi kenyataan ini.

Para buruh migran yang kebanyakan adalah perempuan perlu memperjuangkan dan
mendapatkan hak-hak yang mereka miliki. Rosca begitu marah ketika pemerintah Singapura
mengumumkan Flora Contemplacion, salah seorang buruh migran, harus dihukum gantung.
Rosca bersama organisasi massa di Filipina melakukan demonstrasi besar-besaran untuk
menentang keputusan pemerintah Singapura. Peristiwa ini telah menjadi gejala universal bagi
negara-negara terbelakang. Sehingga pada ceramahnya di PBB dalam rangka memperkuat
Convention to Eliminate all forms of Discrimination (Cedaw) Rosca dengan lantang
mengucapkan “sekarang ini di negeri-negeri terbelakang seperti Filipina dan Indonesia telah
dibangun lembaga jual beli perempuan dibawah payung eufimisme “kerja”—pekerja penerima
tamu, budaya hiburan, budaya tari dan sebagainya—hal ini menjadi sulit untuk dibedakan antara
perempuan digunakan sebagai buruh murah dengan perempuan dipakai sebagai barang
dagangan. Mereka dipergunakan sebagai pasar untuk produk-produk nonesensial dan jasa.”

Ninotchka Rosca dengan tegas menunjuk bahwa Bank Dunia dan IMF telah melakukan
eksploitasi berganda terhadap perempuan dengan lembaga keuangan internasional ini
mendesain “tiga pilar pembangunan” untuk negeri-negeri terbelakang. Salah satu pilar itu
adalah turisme (untuk memperoleh mata uang asing dengan cepat agar segera membayar bunga
pinjaman Bank Dunia) yang menjadi tulang punggungnya adalah perempuan-perempuan
miskin. Masalah-masalah seperti ini yang diangkat Rosca ke dalam karya novelnya, karya seni
yang mempunyai kekuatan pencerahan dengan memasukkan kebudayaan dan negeri yang
sedang mengalami konflik. Karya-karya Ninotcska Rosca adalah Bitter Country and Other
Stories, The Moonsoon Collection, State of War dan sebuah karya nonfiksi Endgame: Fall of
Marcos.

Dua redaktur Media Kerja Budaya, Ayu Ratih dan John Roosa mewawancarai Rosca di
University of Wisconsin, Amerika Serikat. Di bawah ini petikan hasil wawancara tersebut.

Bagaimana anda mulai menjadi penulis dan aktivis politik?

Saya dibesarkan tepat setelah Perang Dunia II, ketika semua di Filipina ter-Amerikanisasi.
Generasi saya sangat cerdas, saya tidak tahu mengapa tetapi pada saat yang sama, kami tidak
berdaya. Jadi kami mesti meninjau kekuatan politik dan ekonomi yang ada di negeri kami dan
bagaimana kekuatan ekonomi-politik itu mempengaruhi kekuatan sosial. Jadi kami mulai
mempertanyakan hubungan antara Filipina dan Amerika Serikat. Begitulah saya terjun ke dalam
politik dan dengan sendirinya penulisan. Dalam kancah sastra aliran “New Critics” sangat
dominan di negeri ini dan para kritikus membenci karya saya. Anda tahu ‘kan, saya memakai
bahasa Inggris sehingga saya harus agak menekuk, mengubah bentuknya dan memperbaruinya.
Dengan demikian, bahasa ini bisa menampung kenyataan kami di Filipina yang sangat berbeda.

Ada banyak budaya di Filipina dan ada saling-pengaruh di antara budaya-budaya ini, banyak
lapis budaya, ada hal-hal aneh yang tidak bisa diungkapkan dalam bahasa Inggris. Sehingga kita
mesti mengubah bahasa itu sendiri dan hidup di negeri kami tidak satu dimensi, tidak datar.
Jadi wajar saja mengiyakan apa yang pernah dilontarkan teman sekolah saya: ia berkata bahwa
sehari sebelumnya ia pulang dan bertemu adik perempuannya dan menyapa “hello” padanya.
Adiknya tidak berucap sepatah pun dan masuk saja ke dalam kamar. Tetapi tak lama kemudian
ia benar-benar sekarat di rumah sakit. Ia mengalami kecelakaan. Itulah sebabnya mengapa tidak
ada seorang pun di rumah. Ia menceritakan hal tersebut pada saya dan saya berkata, ya,
mungkin ia mengatakan selamat tinggal. Dan dalam bahasa kami ini hal yang sangat biasa tetapi
susah diutarakan dalam bahasa Inggris. “New Critics” tidak menyukai fakta bahwa kami
menekuk-nekuk bahasa.

Apa paradigma New Critics?

Teks, teks bersifat dominan. Anda mengikuti James Joyce. Teks harus mengandung “epiphany”
dan sang artis harus tetap menjaga jarak, berasyik-asyik dengan dirinya sendiri atau apalah.
Jarak itu, tidak bisa kita lakukan. Kami adalah bangsa yang sangat bersemangat, hal-hal dari
luar berdampak pada kami. Kami terbiasa menggeser sudut pandang karena sebuah kisah tidak
menjadi kisah dengan sendirinya sebelum dikisahkan, ditambah-tambahi, diperhalus dengan
tiga atau empat orang. Jadi ada perubahan dalam sudut-pandang. Susah menerima hal itu
dengan cara-pandang tentang penulisan yang berkembang di Amerika atau Eropa.

Anda menentang suara pengarang tunggal.

Ya, kami mesti membongkar hal itu agar tulisan kami diakui. Sangat keliru bila mereka
memaksakan hal itu karena hal itu tidak cocok untuk negeri kami. Kisah-kisah yang muncul dari
suara demikian tidak cocok bagi negeri saya. Kisa-kisah itu mewakili selera estetika Barat.

Bangsa Filipina adalah bangsa yang paling terpengaruh Barat, atau Amerika, di
antara bangsa-bangsa Asia akibat perkembangan sejarahnya yang agak unik.
Dalam konteks ini, apa agenda kultural untuk politik yang progesif?

Bila anda menanyakan apa yang mesti dilakukan negeri dan bangsa saya, saya semestinya
berkata bahwa saya pikir kami harus menutup semua pintu untuk sekian waktu tertentu, tidak
berbicara pada siapapun, tidak mendengar siapapun, karena kami jarang saling berbicara satu
sama lain. Banyak bunyi dari mana-mana, mengatakan bahwa inilah yang baik bagi kamu, inilah
arti kemajuan, beginilah semestinya pembangunan. Saya sebut ini “bunyi putih” dan pemilihan
kata ini bukan kebetulan. Di antara “bunyi-bunyi putih” ini, kami nyaris tidak bisa mendengar
diri kami sendiri berpikir, bahkan dalam hubungan kami sendiri, misalnya dalam hubungan
antara pemilik perkebunan gula dan seorang buruhnya. “Bunyi putih” menyusup dan mengacau
hubungan di antara keduanya dan mengganggu penyelesaian konflik mereka. Bila buruh
memutuskan untuk menuntut upah lebih banyak, Amerika Serikat akan masuk pasukannya,
dengan persenjataannya dan segala hal untuk membantu tuan tanah.

Dengan demikian, persoalan tidak pernah terselesaikan. Anda tidak bisa berunding karena tuan
tanah akan berkata, saya mempunyai tentara dan segalanya dan segera terjadilah pertumpahan
darah. Kami benar-benar perlu menutup pintu-pintu kami, mungkin selama sepuluh tahun dan
berbicara satu sama lain, duduk di tepi sungai dan bertanya pada diri sendiri apa yang
sebenarnya kami inginkan. Apakah kami benar-benar membutuhkan rollerblade, barang-barang
mode, megamall.

Apakah ada hal positif yang berasal dari pengaruh Amerika ini?

Ya, kesadaran bahwa individu penting. Satuan dasar kami, dalam negeri setengah feudal ini,
adalah klan. Begitulah bisa anda lihat wanita-wanita pergi ke luar negeri menjual diri untuk
menghidupi klan atau keluarga. Dan mereka akan menempuh hal-hal yang paling mengerikan di
dunia ini untuk memenuhi kewajiban keluarga. Tetapi sebagian dari kami belajar dari Amerika
bahwa hidup kita sendiri penting, terlepas dari klan dan keluarga dan itu, saya pikir, sangat
penting.

Kini anda tinggal di Amerika, bagaimana anda memandang diri anda sendiri:
seorang pengarang Dunia Ketiga, seorang pengarang Filipino, seorang Filipino-
Amerika?

Saya sudah mendapat pertanyaan demikian berkali-kali sebelumnya dan saya sendiri tidak tahu
dimana tempat saya. Kadang-kadang saya menjadi seorang Filipino bila itu terasa lebih nyaman,
kadang-kadang seorang Amerika. Tetapi, sungguh, saya hanya mengatakan bahwa saya warga
dunia, saya telah berada di begitu banyak tempat dan terpengaruh banyak hal, saya mengatakan
bahwa saya lahir dan besar di Filipina sehingga sebagian besar kesadaran saya adalah orang
Filipino tetapi sebagian juga bersifat internasional.

Ada anggapan bahwa pengarang-pengarang Dunia Ketiga selalu menulis tentang


bangsa dan bahwa mereka mempunyai kebiasaan menulis alegori tentang bangsa.
Apa pendapat anda?

Itu sama sekali bukan soal politis bagi kami, para pengarang. Hanya karena pengaruh unsur
budaya, kami berorientasi sosial, berorientasi kelompok ketimbang individu-individu terpisah
sebagaimana anda temui di Eropa atau Amerika. Saya tidak bisa menerima novel Orang Asing-
nya Albert Camus berlatar negeri saya, sungguh, karena orang tidak bisa menjadi orang asing di
negeri ini, bahkan orang asing tidak pernah benar-benar menjadi orang asing, segera saja anda
terlibat dalam suatu kekerabatan. Ini bukan soal politik, tetapi soal bagaimana cara pandang kita
melihat dunia. Mereka harus menerima itu sebagaimana kami menerima karya orang Amerika
dan Eropa.

Bagaimana anda memandang penggambaran bangsa dalam karya anda, bagaimana


anda menyajikan bangsa Filipina dalam tulisan anda?

Sesungguhnya saya tidak menulis tentang bangsa Filipina atau bahkan bangsa Filipino. Saya
menulis tentang orang-orang tertentu dalam konteks sosial tertentu, ruang dan waktunya
Filipina. Saya mencoba menarik dari kekhususan pengalaman mereka sesuatu yang bersifat
universal, sesuatu yang dapat dipahami orang dengan warna kulit atau kebangsaan apapun. Bagi
saya, ini sangat penting. Karena yang ingin saya bangun adalah adanya persamaan di antara
bangsa-bangsa di dunia. Pandangan memarjinalisasikan bangsa adalah pandangan yang tidak
dapat kami terima. Saya pada dasarnya seorang humanis, sebutlah begitu.

Anda pernah menyebutkan bahwa bahasa Tagalog adalah bahasa yang miskin
untuk pengungkapan anda dan bahwa anda lebih suka menulis dalam bahasa
Inggris. Bisakah anda menjelaskan hal ini dan menunjukkan bahwa ini adalah
pilihan bagi banyak penulis Filipino lainnya?

Banyak penulis Filipino menulis dalam bahasa Tagalog tetapi soalnya adalah bahasa Inggris
lebih tinggi prestise sosialnya dan karena itu bila anda menulis dalam bahasa Inggris anda bisa
mendapat lebih banyak uang. Bagi saya, ini adalah mekanisme mempertahankan hidup. Tetapi,
misalnya anda menghadapi soal-soal transkultural, maka sangat sulitlah menggunakan bahasa
anda sendiri. Ketika anda berbicara soal, katakanlah ras, tidak ada kata dalam bahasa Tagalog
yang benar-benar pas. Ada memang kata kayumangi tetapi kata itu berarti kadar “kecoklatan”,
perbedaan antara coklat terang atau coklat gelap (sawo matang). Istilah ini menunjuk warna
kulit, dan tidak mengandung konotasi sosial, tidak memiliki nuansa darah maupun ras.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited
PicoSearch Cari!

Berita Pustaka

Rising from The Ashes? Labor in the Age of "Global" Capitalism

Disunting: Ellen Meiksins Wood, Peter Meiksins dan Michael Yates

Penerbit: Monthly Review Press, 1998

Pertanyaan-pertanyaan baru melompat ke depan bagi pergerakan buruh di seluruh dunia.


Dapatkah kaum buruh mendapatkan kembali inisiatif menentang gelombang pasang surut dari
pemecatan perusahaan dan pemotongan belanja pemerintah? Dapatkah serikat buruh
merapatkan kembali barisan mereka dan mempengaruhi imaginasi publik? Dapatkah buruh
bangkit dari reruntuhan?

Rising from the Ashes? Sejumlah persoalan-persoalan mendesak dalam konteks, hubungan dan
perbedaan perkembangan baru di Amerika Serikat hingga kecenderungan-kecenderungan baru
di penjuru duniadari Mexico hingga Asia, dan dari Kanada ke Eropa Timur.

Kumpulan esei ini mengambil isu-isu paling hangat yang diperdebatkan oleh para intelektual
dan aktivis buruh. Termasuk di dalamnya, perubahan komposisi kelas buruh internasional, pola-
pola kerja di bawah kapitalisme kontemporer, hubungan ras dan gender dengan kelas, janji-janji
dan batasan-batasan kegairahan baru militansi buruh, pilihan-pilihan strategis yang tersedia
untuk rakyat pekerja dalam zaman globalisasi

Kongres Kodok: Kumpulan Puisi Saut Sitompul

Penerbit: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, 2000

Di tangan Saut, puisi dan dunia kehidupan sehari-hari erat terpaut. Puisi-puisinya erat menyatu
dengan deru dan debu kota Jakarta. Hampir saban hari ia mengamenkan puisi-puisinya di atas
bus kota Jakarta. Memang, sesekali, ia melisankan puisi-puisinya di gedung kesenian, di tempat
upacara, bahkan di gereja. Namun wilayah utama tempat ia melafalkan sajak adalah jalan raya.
Bagi orang-orang yang tak henti-hentinya berlalu lalang di jalan yang riuh itu, puisi-puisi Saut
mungkin menggangu, mungkin menghibur, mungkin juga tidak berarti apa-apa. Yang pasti, di
situ tampak kehendak si penyair untuk sedekat mungkin menghampiri orang banyak dari
kalangan yang terbanyak. Ia tampaknya adalah salah seorang di antara segelintir penyair
Indonesia yang amat melekat pada ruang publik. Sebagaimana dilontarkan pula oleh Hawe
Setiawan yang memberikan pengantar pada buku ini, puisi-puisinya tidaklah dikonstruksi
sebagai gedung istimewa bagi orang-orang istimewa tempat si pongah yang mengistimewakan
diri sesumbar berkata, "Yang bukan penyair dilarang ikut." Tidak. Sebaliknya, biasa saja,
bersahaja, langsung terhubung dengan benak pendengarnya. Bahkan ia bilang, "Tak usah terlalu
dipusingkan/bagaimana cara menulis puisi." Tulis, tulis, dan tulis. Itulah yang ditekankan
olehnya. Jadi, orang banyak tidak hanya diajak menikmati puisi, melainkan juga didorong untuk
menggubahnya.

Perang dan Kembang

Penulis: Asahan Alham

Penerbit: Pustaka Jaya, 2001

Buku ini merupakan karya seorang exile yang mengetengahkan perjuangan rakyat Vietnam
menghadapi serangan negara adikuasa Amerika (yang kemudian dapat dikalahkannya). Seorang
melayu yang pernah berpaspor Indonesia, terlibat di dalamnya. Bukan hanya dalam kegiatan
tentara militia rakyat (walaupun dalam seksi penghibur) melainkan juga dalam berbagai
petualangan asmara yang dalam masyarakat sosialis menjadi urusan penguasa. Namun makin
dihalang-halangi, makin seru melakukannya. Tapi kalau mau sampai ke tingkat pernikahan,
tangan kekuasaan dapat menghadang atau mendorong. "Boleh dilarang kawin, boleh dilarang
berpacaran, tapi kalau cuma hubungan yang satu itu, siapa yang akan tahu? Semakin dilarang
semakin kedua belah pihak saling mencari..." Terlalu banyak yang dicampurtangani oleh politik
dan penguasa. Dengan selingan kunjungan sang tokoh ke Tiongkok, negara sosialis yang lain,
pengarang dengan tajam menganalisis kebobrokan sistem komunisme yang tidak menghormati
manusia sebagai pribadi-pribadi yang merdeka.

1 | >>

INDEX | ARSIP | EDISI ONLINE | HALAMAN NASKAH | LINKS


Tentang MKB | Email

©2003, Media Kerjabudaya Online.


http://mkb.kerjabudaya.org
e-mail: mkb@kerjabudaya.org
design & maintenance: nobodycorp. internationale unlimited

También podría gustarte