Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Definisi
Neuropati adalah keadaan dengan gangguan fungsi dan struktur pada saraf
Epidemiologi
Neuropati dapat mengenai semua umur, terbanyak pada usia 30 50 tahun,
Etiologi
Neuropati dapat disebabkan oleh infeksi (endotoksin difteria, sindrom
Gejala Klinis
Pada umumnya neuropati menimbulkan gangguan campuran sensorik dan
motoriks, kadang kadang gangguan fungsi otonom, dan mungkin pula terjadi
kelainan motorik lebih menonjol seperti pada sindrom Guillain-Barre, neuropati
porfiria dan difteri. Gangguan sensorik lebih menonjol pada defisiensi, diabetes
mellitus, amiloidosis dan kusta. Gejala gangguan otonom lebih menonjol pada
neuropati diabetika, amiloidosis dan sindrom disautonomia familial.
Gejala sensorik biasanya mulai pada ujung ujung jari kaki dan tangan,
berupa parestesi (perasaan kesemutan, baal) atau perasaan hiperestesi. Penderita
dengan neuropati sensorik yang menahun sering tidak merasa dan tidak mengenal
bentuk benda dengan jari jarinya, sering mengalami berbagai luka tanpa
mengetahuinya. Gangguan otonom merupakan gejala gejala hipotensi,
perubahan trofik kulit, impotensi, atoni vesika urinaria dan diare waktu malam.
Gejala hiporefleksia atau arefleksia biasanya ditemukan secara umum pada
penderita neuropati. (Markam, 2008)
3
Kelainan motorik mengenai otot otot kaki dan tungkai terlebih dahulu dan
pada umumnya lebih berat, kemudian baru mengenai otot otot tangan dan
lengan. Pada kasus ringan dapat hanya mengenai kaki saja. Kelemahan dapat
berlanjut ke arah otot otot trunkus dan tengkuk. Paralisis brakhialis jarang
ditemukan. Kelemahan otot otot wajah dan saraf kranialis kadang kadang
dijumpai, terutama pada sindrom Guillain-Barre. Atrofi otot terjadi secara
perlahan lahan setelah beberapa minggu atau bulan, bergantung berat atau
ringannya kerusakan serabut saraf. (Harsono, 2011)
2.5.
Klasifikasi
Berdasarkan jumlah saraf yang terkena, neuropati dapat dibedakan menjadi 2,
Nyeri di tangan atau lengan, terutama pada malam hari atau saat bekerja
Pengecilan dan kelemahan otot otot eminensia tenar
Hilangnya sensasi pada tangan pada distribusi nevus medianus
Parestesia seperti kesemutan pada distribusi nervus medianus saat dilakukan
b. Neuropati ulnaris
Nervus ulnaris rentan terhadap kerusakan akibat tekanan pada beberapa
tempat di sepanjang perjalanannya, tetapi terutama pada siku. N. ulnaris mensarafi
otot otot m. fleksor karpi ulnaris, m. digitorum profundus sisi ulnar, m. palmaris
brevis, m. lumbrikalis sisi ulnar, keuda m. interosei dorsalis sisi ulnar, m. abductor
polisis dan m. fleksor polisis brevis. Karena kelumpulan otot otot tersebut, maka
tangan yang lumpu memperlihatkan sikap khas yang disebut sebgai claw hand.
Gejala klinis neuropati ulnaris meliputi: (Ginsberg, 2005; Mardjono dan Sidharta,
2009)
1) Nyeri dan/atau parestesia seperti kesemutan yang menjalar ke bawah dari siku
ke lengan sampai batas ulnaris tangan
2) Atrofi dan kelemahan otot otot intrinsic tangan
3) Hilangnya sensasi tangan pada distribusi n. ulnaris
4) Deformitas berupa claw hand yang khas pada lesi kronik.
Gambar 2. Neuropati ulnaris, area parestesi dan claw hand pada distribusi n. ulnaris
Lesi yang sering merusak bagian atas n. radialis adalah fraktur tulang
humerus, terutama bagian n. radialis yang melilit dari bagian dorsomedial tulang
humerus ke bagian ventrolateralnya. Bagian ini sering juga terkena penekanan dan
kehilangan fungsi sementara. Umumnya hal ini terjadi akibat kelainan postur
lengan atas dalam waktu lama, misalnya tidur sambil duduk dengan menempatkan
ketiak pada sandaran kursi, terutama jika tidur nyenyak karena intoksikasi
alkohol, sering disebut juga sebagai Saturday night palsy. Tangan menjadi
menjulai dan tidak dapat didorsofleksikan (wrist drop / drop hand). Semua otot
yang disarafi n. radialis tidak dapat digerakkan, tetapi defisit sensorik yang
mengiringi hanya terbatas pada kulit dorsum manus selebar metacarpus pertama
dan kedua. (Mardjono dan Sidharta, 2009)
Gambar 3. Palsi radialis, menyebabkan wrist drop dan hilangnya sensasi pada distribusi
n. radialis.
2.5.2. Polineuropati
Neuropati jenis ini menyebabkan kelainan fungsional yang simetris, biasanya
disebabkan oleh kelainan kelainan difus yang mempengaruhi seluruh susunan
saraf pusat seperti gangguan metabolik, keracunan, keadaan defisiensi, dan reaksi
imuno-alergik. Bila gangguan hanya mengenai akar saraf spinalis maka disebut
poliradikulopati dan bila saraf spinalis juga ikut terganggu makan disebut
poliradikuloneuropati. Gangguan fungsi saraf tepi terutama bagian distal tungkai
dan lengan, senosrik dan motorik. Tungkai terkena terlebih dahulu. Gangguan
saraf otak otak dapat terjadi pada polineuropati yang berat seperti kelumpuhan
nervus
facialis
bilateral
dan
saraf
saraf
bulbar
misalnya
pada
sindrom
(paraneoplastik,
Sjorgen,
paraproteinemik),
vaskulitis-lupus,
metabolik
poliartritis),
(diabetes
neoplastik
mellitus,
uremia,
10
diketahui, dan penyakit ini dapat muncul spontan atau setelah suatu prodoma
virus, infeksi Mycoplasma, reaksi alergi, tindakan bedah, diduga kuat terdapat
suatu dasar imunologis. Keadaan pencetus yang paling sering dilaporkan adalah
infeksi Campylobacter jejuni, yang ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan
demam. (Price dan Wilson, 2006)
Patofisiologinya ialah adanya suatu kejadian pencetus (virus atau proses
inflamasi) mengubah sel dalam sistem saraf sehingga sistem imun mengenali sel
tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang tersensitisasi dan makrofag
akan menyerang myelin. Selain itu, limfosit T menginduksi limfosit B untuk
menghasilkan antibodi yang menyerang bagian tertentu dari selubung myelin,
menyebabkan kerusakan myelin. Demielinasi akson saraf perifer menyebabkan
timbulnya gejala positif dan negatif. Gejala positif adalah nyeri dan parestesia
yang berasal dari aktivitas impuls abnormal dalam saraf sensoris atau cross-talk
listrik antara akson abnormal yang sudah rusak. Gejala negatif adalah kelemahan
atau paralisis otot, hilangnya refleks tendon, dan menurunnya sensasi. (Price dan
Wilson, 2006)
Pasien memperlihatkan kelemahan motorik yang progresif cepat dan asendens
serta dapat menyebabkan kematian akibat kegagalan otot pernapasan. Keterlibatan
sensorik biasanya jauh lebih ringan daripada disfungsi motorik. Biasanya terdapat
gangguan sensasi perifer dengan distribusi sarung tangan dan kaus kaki (gloves
and stocking pattern), tetapi kadang kadang gangguan tampak segmental.
Hipotoni dan hiporefleksi selalu ditemukan. Temuan histopatologik dominan
adalah infiltrasi saraf perifer oleh makrofag dan limfosit reaktif, dan demielinisasi
segmental.
Cairan
serebrospinal
biasanya
memperlihatkan
peningkatan
11
lumpuh lengkap dan tidak dapat bernafas. Bahkan dengan perawatan intensif
modern, sekitar 5 % pasien tewas karena paralisis nafas, henti jantung (mungkin
karena disfungsi otonom), sepsis, dan komplikasi lain. Sepuluh persen dari yang
pulih memiliki kelemahan residual. Walau mudah mendiagnosis jenis yang klasik
ini, GBS sering terlalaikan karena tampilan klinis yang atipik seperti
oftalmoplegia, ataksia, kehilangan sensori, dan disotonomia.
Dua kelainan laboratorium utama pada GBS adalah penurunan kecepatan
konduksi saraf atau blok konduksi serta peninggian protein CSS dengan relatif
sedikit sel (dissosiasi albuminositologik). Saraf tepi memperlihatkan sel
mononuklir perivenular, demielinasi (protein mielin adalah sumber peninggian
protein CSS), dan makrofag. Kerusakan aksonal, yang berperan pada defisit
permanen bervariasi dan mungkin berat. Kelainan patologi paling berat pada akar
dan pleksus spinal serta kurang nyata pada saraf yang lebih distal. Pada fase
pemulihan, saraf memiliki selubung mielin tipis, menunjukkan regenerasi mielin.
AMAN memperlihatkan kerusakan akson dengan sedikit inflamasi.
Plasmaferesis / penggantian plasma dan immunoglobulin intravena adalah
terapi terpilih. Pengobatan ini telah terbukti dapat mempercepat penyembuhan
sehingga mengurangi resiko komplikasi. Prednisone oral 60mg/hari efektif pada
kasus sedang, sedangkan ACT 120 ug/hari dapat diberikan pada kasus berat.
Sindrom Guillain-Barre biasanya merupakan penyakit monofasik, dengan 80%
pasien akhirnya menunjukkan pemulihan yang baik. Akan tetapi, waktu untuk
mencapai kembali pemulihan sempurna dapat memakan waktu berbulan bulan,
yang bisa disertai nyeri, ansietas dan depresi yang seringkali tidak disadari.
Kematian terjadi pada 5 10% pasien akibat disritmia jantung, emboli paru atau
sepsis yang menyebabkan imobilitas. Lebih dari 10% mengalami kecacatan
permanen dan beberapa mengalami relaps. Indicator untuk prognosis yang buruk
mencakup: (Ginsberg, 2005)
1)
2)
3)
4)
5)
6)
12
13