Está en la página 1de 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Definisi
Neuropati adalah keadaan dengan gangguan fungsi dan struktur pada saraf

tepi. (Markam, 2008)


2.2.

Epidemiologi
Neuropati dapat mengenai semua umur, terbanyak pada usia 30 50 tahun,

laki laki relatif lebih banyak daripada wanita. (Harsono, 2011)


2.3.

Etiologi
Neuropati dapat disebabkan oleh infeksi (endotoksin difteria, sindrom

Guillain-Barre), gangguan metabolik (defisiensi vitamin B1 dan B12, keracunan


logam berat, obat-obatan), gangguan endokrin (diabetes mellitus), alergi, trauma,
gangguan vaskular dan kompresi. (Snell, 2002)
2.4.

Gejala Klinis
Pada umumnya neuropati menimbulkan gangguan campuran sensorik dan

motoriks, kadang kadang gangguan fungsi otonom, dan mungkin pula terjadi
kelainan motorik lebih menonjol seperti pada sindrom Guillain-Barre, neuropati
porfiria dan difteri. Gangguan sensorik lebih menonjol pada defisiensi, diabetes
mellitus, amiloidosis dan kusta. Gejala gangguan otonom lebih menonjol pada
neuropati diabetika, amiloidosis dan sindrom disautonomia familial.
Gejala sensorik biasanya mulai pada ujung ujung jari kaki dan tangan,
berupa parestesi (perasaan kesemutan, baal) atau perasaan hiperestesi. Penderita
dengan neuropati sensorik yang menahun sering tidak merasa dan tidak mengenal
bentuk benda dengan jari jarinya, sering mengalami berbagai luka tanpa
mengetahuinya. Gangguan otonom merupakan gejala gejala hipotensi,
perubahan trofik kulit, impotensi, atoni vesika urinaria dan diare waktu malam.
Gejala hiporefleksia atau arefleksia biasanya ditemukan secara umum pada
penderita neuropati. (Markam, 2008)
3

Kelainan motorik mengenai otot otot kaki dan tungkai terlebih dahulu dan
pada umumnya lebih berat, kemudian baru mengenai otot otot tangan dan
lengan. Pada kasus ringan dapat hanya mengenai kaki saja. Kelemahan dapat
berlanjut ke arah otot otot trunkus dan tengkuk. Paralisis brakhialis jarang
ditemukan. Kelemahan otot otot wajah dan saraf kranialis kadang kadang
dijumpai, terutama pada sindrom Guillain-Barre. Atrofi otot terjadi secara
perlahan lahan setelah beberapa minggu atau bulan, bergantung berat atau
ringannya kerusakan serabut saraf. (Harsono, 2011)
2.5.

Klasifikasi
Berdasarkan jumlah saraf yang terkena, neuropati dapat dibedakan menjadi 2,

yaitu: (Harsono, 2011)


2.5.1. Mononeuropati
Lesi bersifat fokal pada saraf tepi atau lesi bersifat fokal majemuk yang
terpisah pisah dengan gambaran klinis yang simetris atau tidak simetris.
Penyebabnya adalah proses fokal misalnya penekanan pada trauma, tarikan,
luka,penyinaran, berbagai jenis tumor, infeksi fokal dan gangguan vaskular.
Mononeuropati yang sering terjadi antara lain:
a. Carpal Tunnel Syndrome (CTS)
Sindrom ini terjadi akibat kompresi nervus medianus pada pergelangan tangan
saat saraf ini melalui terowongan karpal. Nervus medianus tersusun oleh belahan
fasikulus lateralis dan belahan fasikulus medialis. Nervus ini membawa serabutserabut radiks ventralin dan dorsalis C6, C7, C8 dan T1. Otot otot yang
disarafinya antara lain m. pronator teres, m. pronator kuadratus, mm. lumbikales,
mm. fleksor digitorum profundus dan mm. interosease sisi radial, m. oponens
polisis dan m. abductor polisis brevis. Gambaran klinis CTS adalah : (Ginsberg,
2005; Mardjono dan Sidharta, 2009)
1)
2)
3)
4)

Nyeri di tangan atau lengan, terutama pada malam hari atau saat bekerja
Pengecilan dan kelemahan otot otot eminensia tenar
Hilangnya sensasi pada tangan pada distribusi nevus medianus
Parestesia seperti kesemutan pada distribusi nervus medianus saat dilakukan

perkusi pada telapak tangan daerah terowongan karpal (tanda Tinel)


5) Kondisi ini sering bilateral

Gambar 1. Carpal Tunnel Syndrome, akibat kompresi pada n. medianus sehingga


menyebabkan nyeri, parestesi dan hipestesi pada distribusi n. medianus

Carpal Tunnel Syndrome seringkali berhubungan dengan kondisi medis,


seperti deformitas lokal (misalnya sekunder akibat osteoartritis,fraktur), diabetes
mellitus, artritis rheumatoid, miksedema, akromegali dan amiloidosis. Diagnosis
dapat dipastikan secara elektrodiagnostik. Pemeriksaan penunjang untuk mencari
penyebab meliputi kadar glukosa darah, laju endap darah dan fungsi tiroid. Pilihan
terapi dapat meliputi : (Ginsberg, 2005)
1) Balut tangan, terutama pada malam hari, pada posisi ekstensi parsial
pergelangan tangan
2) Injeksi lokal terowongan karpal dengan kortikosteroid
3) Dekrompesi n. medianus pada pergelangan tangan dengan pembedahan pada
divisi fleksor retinakulum.

b. Neuropati ulnaris
Nervus ulnaris rentan terhadap kerusakan akibat tekanan pada beberapa
tempat di sepanjang perjalanannya, tetapi terutama pada siku. N. ulnaris mensarafi
otot otot m. fleksor karpi ulnaris, m. digitorum profundus sisi ulnar, m. palmaris
brevis, m. lumbrikalis sisi ulnar, keuda m. interosei dorsalis sisi ulnar, m. abductor
polisis dan m. fleksor polisis brevis. Karena kelumpulan otot otot tersebut, maka
tangan yang lumpu memperlihatkan sikap khas yang disebut sebgai claw hand.

Gejala klinis neuropati ulnaris meliputi: (Ginsberg, 2005; Mardjono dan Sidharta,
2009)
1) Nyeri dan/atau parestesia seperti kesemutan yang menjalar ke bawah dari siku
ke lengan sampai batas ulnaris tangan
2) Atrofi dan kelemahan otot otot intrinsic tangan
3) Hilangnya sensasi tangan pada distribusi n. ulnaris
4) Deformitas berupa claw hand yang khas pada lesi kronik.

Gambar 2. Neuropati ulnaris, area parestesi dan claw hand pada distribusi n. ulnaris

Pemeriksaan konduksi saraf dapat menentukan lokasi lesi sepanjang


perjalanan n. ulnaris. Lesi ringan dapat membaik dengan balutan tangan pada
malam hari, dengan posisi siku ekstensi untuk mengurangi tekanan pada saraf.
Untuk lesi yang lebih berat, dapat dilakukan dekompresi bedah atau transposisi n.
ulnaris, namun belum dapat dijamin keberhasilannya. Tetapi operasi diperlukan
jika terdapat kerusakan n. ulnaris terus menerus, yang ditunjukkan dengan
gejala nyeri persisten dan/atau gangguan motorik progresif. (Ginsberg, 2005)
c. Palsi radialis
Otot otot yang disarafi n. radialis ialah m. triseps, m. ankoneus, m.
brakioradialis, m. ekstensor karpi radialis longus, m. ekstensor karpi radialis
brevis, m. supinator, m. digitorum, m. ekstensor digiti kuniti, m. ekstensor karpi
ulnaris, ketiga m. ekstensor polisis dan m. ekstensor indiksis. Tekanan pada n.
radialis di lengan atas menyebabkan wrist drop akut dan kadang hilangnya sensasi
pada distribusi n. radialis superfisial. Umumnya, n. radialis sering mengalami
trauma pada 1/3 bagian bawah, sehingga m. triseps dan m. brakioradialis tidak
lumpuh. (Mardjono dan Sidharta, 2009)

Lesi yang sering merusak bagian atas n. radialis adalah fraktur tulang
humerus, terutama bagian n. radialis yang melilit dari bagian dorsomedial tulang
humerus ke bagian ventrolateralnya. Bagian ini sering juga terkena penekanan dan
kehilangan fungsi sementara. Umumnya hal ini terjadi akibat kelainan postur
lengan atas dalam waktu lama, misalnya tidur sambil duduk dengan menempatkan
ketiak pada sandaran kursi, terutama jika tidur nyenyak karena intoksikasi
alkohol, sering disebut juga sebagai Saturday night palsy. Tangan menjadi
menjulai dan tidak dapat didorsofleksikan (wrist drop / drop hand). Semua otot
yang disarafi n. radialis tidak dapat digerakkan, tetapi defisit sensorik yang
mengiringi hanya terbatas pada kulit dorsum manus selebar metacarpus pertama
dan kedua. (Mardjono dan Sidharta, 2009)

Gambar 3. Palsi radialis, menyebabkan wrist drop dan hilangnya sensasi pada distribusi
n. radialis.

2.5.2. Polineuropati
Neuropati jenis ini menyebabkan kelainan fungsional yang simetris, biasanya
disebabkan oleh kelainan kelainan difus yang mempengaruhi seluruh susunan
saraf pusat seperti gangguan metabolik, keracunan, keadaan defisiensi, dan reaksi
imuno-alergik. Bila gangguan hanya mengenai akar saraf spinalis maka disebut
poliradikulopati dan bila saraf spinalis juga ikut terganggu makan disebut
poliradikuloneuropati. Gangguan fungsi saraf tepi terutama bagian distal tungkai
dan lengan, senosrik dan motorik. Tungkai terkena terlebih dahulu. Gangguan
saraf otak otak dapat terjadi pada polineuropati yang berat seperti kelumpuhan

nervus

facialis

bilateral

dan

saraf

saraf

bulbar

misalnya

pada

poliradikuloneuropati (sindrom Guillain-Barre). (Harsono, 2011)


Polineuropati dapat disebabkan oleh infeksi (lepra, difteri, penyakit Lyme,
HIV), inflamasi (sindrom Guillain-Barre, polineuropati demielinasi kronik,
sarkoidosis,

sindrom

(paraneoplastik,

Sjorgen,

paraproteinemik),

vaskulitis-lupus,
metabolik

poliartritis),

(diabetes

neoplastik

mellitus,

uremia,

miksedema, amiloidosis), nutrisi ( defisiensi vitamin, teruata tiamin, niasin dan


B12), toksik (alkohol, timbal, arsen, emas, merkuri, talium, insektisida, heksana)
dan obat-obatan (isoniazid, vinkristin, sisplastin, metronidazole, nitrofurantoin,
fenitoin, amiodaron). Polineuropati yang sering ditemukan adalah: (Ginsberg,
2005)
a. Neuropati Diabetika
Neuropati diabetika adalah sekumpulan gejala yang disebabkan oleh
degenerasi saraf perifer atau otonom sebagai akibat diabetes mellitus. Neuropati
merupakan komplikasi tersering pada diabetes mellitus. Neuropati DM dapat
bersifat akut dan reversibel sampai dengan bentuk kronis dan ireversibel.
Umumnya neuropati diabetika terjadi setelah adanya intoleransi glukosa yang
cukup lama.
Patofisiologi adalah pada diabetes mellitus, peranan insulin memobilisasi
glukosa sangat minimal. Dalam kondisi hiperglikemik glukosa diubah oleh aldose
reduktase menjadi sorbitol. Akumulasi sorbitol dapat terjadi 24 48 jam setelah
hiperglikemia, terutama pada neuron, lensa, pembuluh darah dan eritrosit. Sorbitol
bersifat higroskopik, sehingga akan meningkatkan tekanan osmotik sel. Mioinositol merupakan bagian plasma dan membrane sel. Pada diabetes mellitus, mio
inositol banyak diekskresikan melalui urin dan sebaliknya akumulasi sorbitol dan
fruktosa dalam sel mempengaruhi pengambilan mio-inositol. Rendahnya kadar
mio-inositol ini menyebabkan gangguan fungsi aTP-ase, sehingga terjadi
gangguan konduksi saraf. Mio-inositol merupakan precursor polifosfo-inositida
yang penting dalam mengatur aksi potensial saraf. Penimbunan sorbitol dan
penurunan mio-isonitol menyebabkan gangguan pada sel Schwan dan akson.
Proses ini menyebabkan terjadinya demielinisasi dan degenerasi akson. (Harsono,
2011)

Gambaran klinik neuropati terlihat pada 20% penderita diabetes mellitus,


tetapi dengan pmeriksaan elektrofisiologi pada diabetes mellitus asimtomatik
tampak bahwa penderita sudah mengalami neuropati subklinik. Pada kasus yang
jarngan, neuropati mungkin merupakan tanda awal suatu diabetes mellitus.
Bentuk-bentuk gambaran klinik neuropati diabetika adalah sebagai berikut:
(Harsono, 2011)
1) Polineuropati sensorik mototrik simetris
Bentuk ini paling sering dijumpai, keluhan dapat dimulai dari adanya rasa
tebal atau kesemutan, terutama pada tungkai bawah dan menurunnya serta
hilangnya refleks tendon Archilles. Kadang kadang ada rasa nyeri di
tungkai. Nyeri ini dapat mengganggu penderita pada waktu malam hari,
terutama pada waktu penderita sedang tidur. Kadang kadang penderita
mengeluh sukar berjinjit dan sulit berdiri dari posisi jongkok.
2) Neuropati otonom
Keluhan ini bermacam macam, bergantung pada saraf otonom mana yang
terkena. Penderita dapat mengeluh diare yang bergantian dengan konstipasi,
dialtasi lambunng atau disfagia. Gangguan pengosongan kandung kemih
disebabkan oleh kaarena mukosanya kurang peka lagi. Impotensi lebih sering
dijumpai dan ini semakin nyata apabila neuropati bentuk lain sudah terjadi.
Impotensi terjadi secara perlahan lahan, mulai dari gangguan ereksi sampai
gangguan ejakulasi. Gangguan berkeringat dapat dalam bentuk hyperhidrosis,
berkeringan hanya keluar banyak di sekitar wajah, leher dan dada bagian atas,
terutama sesudah makan. Sementara itu, gangguan lain dapat berbentuk
hipotensi ortostatik dan bahkan sinkop yang sulit diatasi.
Diagnosis dibuat berdasarkan ditemukan tanda dan gejala klinik suatu
neuropati pada penderita diabetes mellitus. Pemeriksaan laboratorium terutama
pemeriksaan darah untuk glukosa dalam keadaan puasa dan 2 jam sesudah makan.
Untuk konfirmasi diagnosis neuropati dilakukan pemeriksaan ENMG.
b. Sindrom Guillain-Barre
Sindrom Guillain-Barre adalah suatu demielinasi polineuropati akut.
Insidensinya sekitar 1 hingga 2 kasus per 100.000 orang per tahun. Etiologi tidak

10

diketahui, dan penyakit ini dapat muncul spontan atau setelah suatu prodoma
virus, infeksi Mycoplasma, reaksi alergi, tindakan bedah, diduga kuat terdapat
suatu dasar imunologis. Keadaan pencetus yang paling sering dilaporkan adalah
infeksi Campylobacter jejuni, yang ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan
demam. (Price dan Wilson, 2006)
Patofisiologinya ialah adanya suatu kejadian pencetus (virus atau proses
inflamasi) mengubah sel dalam sistem saraf sehingga sistem imun mengenali sel
tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang tersensitisasi dan makrofag
akan menyerang myelin. Selain itu, limfosit T menginduksi limfosit B untuk
menghasilkan antibodi yang menyerang bagian tertentu dari selubung myelin,
menyebabkan kerusakan myelin. Demielinasi akson saraf perifer menyebabkan
timbulnya gejala positif dan negatif. Gejala positif adalah nyeri dan parestesia
yang berasal dari aktivitas impuls abnormal dalam saraf sensoris atau cross-talk
listrik antara akson abnormal yang sudah rusak. Gejala negatif adalah kelemahan
atau paralisis otot, hilangnya refleks tendon, dan menurunnya sensasi. (Price dan
Wilson, 2006)
Pasien memperlihatkan kelemahan motorik yang progresif cepat dan asendens
serta dapat menyebabkan kematian akibat kegagalan otot pernapasan. Keterlibatan
sensorik biasanya jauh lebih ringan daripada disfungsi motorik. Biasanya terdapat
gangguan sensasi perifer dengan distribusi sarung tangan dan kaus kaki (gloves
and stocking pattern), tetapi kadang kadang gangguan tampak segmental.
Hipotoni dan hiporefleksi selalu ditemukan. Temuan histopatologik dominan
adalah infiltrasi saraf perifer oleh makrofag dan limfosit reaktif, dan demielinisasi
segmental.

Cairan

serebrospinal

biasanya

memperlihatkan

peningkatan

kandungan protein, tetapi reaksi selnya minimal.


Terdapat beberapa varian GBS yaitu polineuropati demielinatif inflamatori
akut (AIDP), neuropati aksonal motor akut (AMAN), dan sindroma Miller-Fisher
(MFS). AIDP merupakan 90 % dari GBS yang gejalanya dimulai dengan
parestesia pada jari-jari kaki dan ujung jari tangan, diikuti kelemahan dan
arefleksia yang memberat dengan cepat. Kelemahan mencapai plato (menetap)
dalam empat minggu, setelahnya dimulai pemulihan. Beberap kasus adalah ganas,
lengkap dalam satu atau dua hari. Pada puncak penyakit ini, kebanyakan pasien

11

lumpuh lengkap dan tidak dapat bernafas. Bahkan dengan perawatan intensif
modern, sekitar 5 % pasien tewas karena paralisis nafas, henti jantung (mungkin
karena disfungsi otonom), sepsis, dan komplikasi lain. Sepuluh persen dari yang
pulih memiliki kelemahan residual. Walau mudah mendiagnosis jenis yang klasik
ini, GBS sering terlalaikan karena tampilan klinis yang atipik seperti
oftalmoplegia, ataksia, kehilangan sensori, dan disotonomia.
Dua kelainan laboratorium utama pada GBS adalah penurunan kecepatan
konduksi saraf atau blok konduksi serta peninggian protein CSS dengan relatif
sedikit sel (dissosiasi albuminositologik). Saraf tepi memperlihatkan sel
mononuklir perivenular, demielinasi (protein mielin adalah sumber peninggian
protein CSS), dan makrofag. Kerusakan aksonal, yang berperan pada defisit
permanen bervariasi dan mungkin berat. Kelainan patologi paling berat pada akar
dan pleksus spinal serta kurang nyata pada saraf yang lebih distal. Pada fase
pemulihan, saraf memiliki selubung mielin tipis, menunjukkan regenerasi mielin.
AMAN memperlihatkan kerusakan akson dengan sedikit inflamasi.
Plasmaferesis / penggantian plasma dan immunoglobulin intravena adalah
terapi terpilih. Pengobatan ini telah terbukti dapat mempercepat penyembuhan
sehingga mengurangi resiko komplikasi. Prednisone oral 60mg/hari efektif pada
kasus sedang, sedangkan ACT 120 ug/hari dapat diberikan pada kasus berat.
Sindrom Guillain-Barre biasanya merupakan penyakit monofasik, dengan 80%
pasien akhirnya menunjukkan pemulihan yang baik. Akan tetapi, waktu untuk
mencapai kembali pemulihan sempurna dapat memakan waktu berbulan bulan,
yang bisa disertai nyeri, ansietas dan depresi yang seringkali tidak disadari.
Kematian terjadi pada 5 10% pasien akibat disritmia jantung, emboli paru atau
sepsis yang menyebabkan imobilitas. Lebih dari 10% mengalami kecacatan
permanen dan beberapa mengalami relaps. Indicator untuk prognosis yang buruk
mencakup: (Ginsberg, 2005)
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Usia pasien yang meningkat


Onset kelemahan yang cepat
Kebutuhan ventilasi
Antibodi antigangliosida
Penyakit diare yang mendahului
Parameter elektrofisiologis menunjukkan degenerasi aksonal yang signifikan.

12

2.6. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan elektrofisiologik
Pemeriksaan EMG dan kecepatan hantar saraf merupakan cara diagnostik
khusus dalam penentuan diagnosis neuropati. Cara ini dapat memberitahukan
tempat gangguannya, apakah di otot, saraf tepi atau sel kornu anterior.
Pmeriksaan kecepatan hantaran saraf dapat menentukan derajat gangguan
serta perkembangan selanjutnya secara objektif.
b. Pemeriksaan likuor serebrospinalis
Pemeriksaan likuor serebrospinalis (LCS) perlu dilakukan dalam beberapa
keadaan yang mirip dengan neuropati. Kadar protein dalam LCS dapat naik
secara tajam pada keadaan tertentu seperti misalnya sindrom Guillain-Barre.
Di samping kadar protein penentuan jumlah sel, kadar gula dan klorida juga
diperlukan.
c. Pemeriksaan histologik
Biopsi saraf hanya dilakukan pada kasus tertentu. Histologis gangguan
neuropati dapat dibagi dalam gangguan primer di akson, sel Schwann atau
jaringan interstial.
2.7. Penatalaksanaan
Terapi ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab. Kemudian koreksi
dilakukan terhadap keadaan keadaan metabolik yang abnormal seperti diabetes
mellitus dan defisiensi vitamin serta menghilangkan kompresi pada saraf. Sebagai
terapi simptomatik, untuk mengatasi nyeri dapat diberikan analgesik yang dapat
dikombinasi dengan neuroleptic atau karbamazepin. Akhir akhir ini terdapat
kecenderungan untuk memakai obat obat yang dapat merangsang proteosintesis
sel Schwan untuk regenerasi. Obat yang sudah dipakai adalah metikobalamin,
suatu derivat vitamin B12 dengan dosis 1500 mg/hari selama 6 10 minggu. Obat
lain ialah gangliosid yang merupakan komponen intrinsik dari membran sel
neuron, dengan dosis 2 x 200 mg intramuskularis selama 8 minggu. Terapi
vitamin diberikan pada kasus kasus defisiensi yang lazimnya berupa
neurotonika yaitu kombinasi vitamin B1, B6 dan B12 dosis tinggi. (Harsono,
2011)
Pemberian kortison dan ACTH tetap kontroversial, namun pemberiannya
dapat dipertimbangkan pada neuropati yang kronis atau pada neuropati yang

13

residif, kecuali ada kontraindikasi. Selanjutnya dilakukan pencegahan decubitus


dan kontraktur dengan memberikan fisioterapi yang intensif, kemuda mobilisasi
dan masase otot otot dan gerakan sendi. (Harsono, 2009)

También podría gustarte