Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
SKIZOFRENIA
Disusun Oleh :
Annurianisa Luhur Pekerti
Bunga Nur Annisa
Pembimbing:
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan tugas proposal penyuluhan yang
berjudul Skizofrenia.
Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada selaku pembimbing dibagian
Psikiatri RSI Jiwa Klender dan dokter-dokter pembimbing di bagian Psikiatri yang memberi
banyak masukan serta rekan-rekan yang telah membantu penulis dalam pembuatan laporan
tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan ini masih banyak terdapat
kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
guna perbaikan dalam pembuatan tugas selanjutnya.
Semoga laporan ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi para pembaca dan
rekan-rekan sejawat.
BAB I
PENDAHULUAN
fungsi
kepribadian,
sehingga
menyebabkan
disability
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Skizofrenia adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu
gangguan psikiatrik mayor yang ditandai dengan adanya perubahan pada persepsi,
pikiran, afek, dan perilaku seseorang. Kesadaran yang jernih dan kemampuan
intelektual biasanya tetap terpelihara, walaupun defisit kognitif tertentu dapat
berkembang kemudian (Sadock,dkk., 2003).
Gejala skizofrenia secara garis besar dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu
gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif berupa isi pikiran tidak wajar
(waham), gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), gangguan persepsi (halusinasi),
gangguan perasaan, perilaku aneh atau tak terkendali (disorganized). Gejala negatif
adalah alam perasaan (afek) tumpul atau mendatar, menarik diri atau isolasi diri
dari pergaulan, miskin kontak emosional (pendiam, sulit diajak bicara), pasif,
apatis atau acuh tak acuh, sulit berpikir abstrak dan kehilangan dorongan kehendak
atau inisiatif (Maharatih, 2010).
B. Fase atau Perjalanan Penyakit
Perjalanan penyakit skizofrenia sangat bervariasi pada tiap-tiap individu.
Perjalanan klinis skizofrenia berlangsung secara perlahan-lahan, meliputi beberapa
fase yang dimulai dari prodromal, fase aktif dan keadaan residual (Sadock, 2003;
Buchanan, 2005).
Tanda dan gejala prodromal skizofrenia dapat berupa cemas, gundah
(gelisah), merasa diteror atau depresi. Penelitian retrospektif terhadap pasien
dengan skizofrenia menyatakan bahwa sebagian penderita mengeluhkan gejala
somatik, seperti nyeri kepala, nyeri punggung dan otot, kelemahan dan masalah
pencernaan Perkembangan gejala prodromal yang berlangsung beberapa hari
sampai beberapa bulan (Sadock,dkk., 2003).
Fase aktif skizofrenia ditandai dengan gangguan jiwa yang nyata secara
klinis, yaitu adanya kekacauan dalam pikiran, perasaan dan perilaku. Penilaian
pasien skizofrenia terhadap realita terganggu dan pemahaman diri (tilikan) buruk
sampai tidak ada (Buchanan, 2005).
Fase residual ditandai dengan menghilangnya beberapa gejala klinis
skizofrenia. Yang tinggal hanya satu atau dua gejala sisa atau gejala negatif yang
tidak terlalu nyata secara klinis, yaitu dapat berupa penarikan diri (withdrawal) dan
perilaku aneh (Buchanan, 2005).
C. Etiologi
Sampai saat ini penyebab dari gangguan skizofrenia masih belum diketahui secara
pasti. Namun, terdapat beberapa pendekatan yang dominan dalam menganalisa
penyebab skizofrenia, antara lain :
1. Faktor Genetik
Menurut Maramis (2006) faktor keturunan juga menentukan timbulnya
skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluargakeluarga penderita skizofrenia terutama anak-anak kembar satu telur. Angka
kesakitan bagi saudara tiri ialah 0,9 - 1,8%; bagi saudara kandung 7 15%;
bagi anak dengan salah satu orangtua yang menderita skizofrenia 7 16%; bila
kedua orangtua menderita skizofrenia 40 68%; bagi kembar dua telur
(heterozigot) 2 -15%; bagi kembar satu telur (monozigot) 61 86%.
Skizofrenia melibatkan lebih dari satu gen, sebuah fenomena yang
disebut quantitative trait loci. Skizofrenia yang paling sering kita lihat
mungkin disebabkan oleh beberapa gen yang berlokasi di tempat-tempat yang
terjadi penurunan bagian neuronal baik pada hipokampus maupun pada korteks
prefrontal, yang diindikasikan dengan level dari neuronal asam amino Nasetilaspartat. Meskipun terjadi penurunan dari jaringan otak, pencitraan otak
secara fungsional dengan tomografi emisi-positron dan MRI fungsional
menunjukan adanya hiperaktivitas pada hipokampus dan korteks prefrontal
lateral dorsal, mungkin terus menerus dikuti dengan kehilangan penghambat
fungsi neuron.
3. Temuan genetika pada skizofrenia
Perbedaan temuan neurobiologi pada skizofrenia terbayang dengan adanya
keberagaman dari temuan genetik. Temuan genetik secara epidemiologi, seperti
adanya indeks besar yang berkaitan dengan skizofrenia antara kembar
monozigot dan kembar dizigot dan insidensi tinggi dari penyakit pada anak yang
diadopsi yang mana ibu biologisnya mengidap skizofrenia, terdapat resiko
sebesar 70%. Walaupun demikian, skizofrenia tidak terlihat sebagai monogen,
dan terdapat sejumlah kromosom locus yang nantinya akan bekaitan terhadap
penyakit yang telah bereplikasi. Polimorfim nukleotid tunggal berhubungan
dengan skizofrenia, yang beberapa telah menunjukan adanya penurunan fungsi
neural, telah ditemukan dalam gen dengan locus ini, termasuk regulator Protein
G pada kromosom 1, protein pada kromosom 6 yang berhubungan dengan
struktur sinaps, faktor pertumbuhan pada kromosom 8 yang berhubungan
dengan pertumbungan sinapsis, respon modulator pada kromosom 13 yang
mempengaruhi N-metil D-aspartat glutamate, sebuah reseptor pada kromosom
15 untuk asetilkolin dan enzim pada kromosom 22 yang mempengaruhi
metabolisme dopamin. Mekanisme neuronal glutamatergik, kolinergik, dan
dopaminergic dipengaruhi oleh faktor genetik ini dan dikaitkan dengan berbagai
macam aspek pada disfungsi kognitif termasuk ketidakmampuan dalam perasaan
dan pengingat.
Sebagai tambahan untuk faktor genetik, komponen lingkungan dari patogenesis
pada skizofrenia, mempunyai resiko sebanyak 30%, termasuk kerusakan otak
ketika perinatal dan masa anak-anak dan stres psikososial selama masa
kehidupan seperti terpisah dari keluarga (Freedman, 2003).
E. Pedoman Diagnostik
Menurut PPDGJ-III
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang jelas atau kurang tajam) :
a. Isi Pikiran
1) thought eco = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema
dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya
sama, namun kualitasnya berbeda.
2) thought insertion or withdrawl = isi pikiran yang asing dari luar
masukke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar
oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawl)
3) thought broadcasting = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain
atau umum mengetahuinya.
b. Waham
1) delusion of control = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar
2) delusion of passivity = waham tentang dirinya tidak berdaya dan
pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar
3) delusion of influence = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar
sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika.
3. Adanya gejala gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal)
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour),
bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, sikap larut dalam
diri sendiri, tidak berbuat sesuatu, dan penarikan diri secara sosial. (Maslim,
2002)
F. Klasifikasi
1. Skizofrenia Paranoid (F 20.0)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Sebagai tambahan:
1) Halusinasi dan/atau waham harus menonjol
a) Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi
perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi
pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing)
b) Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau
lain-lain perasaan tubuh. Halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang
menonjol
c) Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan
(delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau
passivity (delussion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar
beraneka ragam, adalah yang paling khas
2) Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala
katatonik secara relatif nyata/ tidak menonjol.
2. Skizofrenia Hebefrenik (F 20.1)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Diagnosis hebefrenia untuk pertama kali hanya ditegakkan pada usia remaja
atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15-25 tahun).
c. Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas : pemalu dan senang
menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan
diagnosis.
d. Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya diperlukan
pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan
bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan :
1) Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tak dapat diramalkan, serta
mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan
perilaku menunjukkan hampa tujuan dan hampa perasaan
2) Afek pasien dangkal dan tidak wajar, sering disertai oleh cekikikan atau
perasaan puas diri, senyum sendiri, atau oleh sikap, tinggi hati, tertawa
menyeringai, mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau, keluhan
hipokondrial, dan ungkapan kata yang diulang-ulang
3) Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
serta inkoheren.
e. Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir
umumnya menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi biasanya
tidak menonjol. Dorongan kehendak dan yang bertujuan (determination)
hilang
serta
sasaran
ditinggalkan,
sehingga
perilaku
penderita
memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan dan tanpa maksud.
Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap
gangguan metabolik, atau alkohol dan obat-obatan, serta dapat juga terjadi
pada gangguan afektif
4. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) (F 20.3)
Pedoman Diagnostik
a. Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.
b. Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,
atau katatonik
c. Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia
5. Depresi Pasca-skizofrenia (F 20.4)
Pedoman Diagnostik
a. Diagnosis harus ditegakkan hanya kalau:
1) Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum
skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini
2) Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi
mendominasi gambaran klinisnya), dan
3) Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling
sedikit kriteria untuk episode depresif dan telah ada dalam kurun waktu
paling sedikit 2 minggu
b. Apabila pasien tidak lagi menunjukkan gejala skizofrenia, diagnosis
menjadi Episode Depresif. Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol,
diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F 20.0
F 20.3)
6. Skizofrenia Residual ( F 20.5)
Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi
semua:
a. Gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol misalnya perlambatan psikomotorik,
aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif,
kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi nonverbal yang buruk
seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara, dan posisi tubuh,
perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk
b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas dimana masa lampau yang
memenuhi kriteria untuk diagnostik skizofrenia
c. Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi
gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal)
dan telah timbul sindrom negatif dari skizofrenia
d. Tidak terdapat dementia atau penyakit / gangguan otak organik lain, depresi kronis
atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut.
7. Skizofrenia Simpleks (F. 20.6)
a. Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena
tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan
progresif dari:
1. Gejala negatif yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat
halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik.
2. Disertai dengan perubahan perilaku pribadi yang bermakna
bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat
sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial
b. Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe
skizofrenia lainnya
8. Skizofrenia lainnya (F20.8) dan Skizofrenia YTT (F20.9) (Maslim, 2002)
G. Penatalaksanaan
1. Terapi Medikamentosa
Obat pertama yang efektif untuk terapi skizofrenia dikembangkan selama
tahun 1950an. Obat ini disebut sebagai antipsikotik konvensional atau generasi
pertama.
Ada berbagai obat antipsikotik konvensional, seperti haloperidol
chlorpromazine, fluphenazine, droperidol, pimozine, sulpiride, perphenazine,
flupenthixol, zuclopenthixol, dan trifluoperazine (APA, 2004). Kelebihan utama
obat ini adalah mengobati gejala positif skizofrenia (APA, 2004; Keith et al,
2004). Namun, obat ini kurang efektif terhadap gejala negatif skizofrenia. Obat
ini tersedia dalam bentuk tablet, cairan, suntikan jangka pendek dan jangka
panjang.
Sejumlah obat baru untuk skizofrenia dengan efikasi yang lebih luas untuk
berbagai gejala skizofrenia dan dapat memperbaiki kemampuan berfungsi pasien
telah tersedia sejak 20 tahun terakhir atau lebih. Obat antipsikotik baru ini
dikenal sebagai antipsikotik atipikal atau antipsikotik generasi kedua. Obat baru
ini meliputi aripiprazole, clozapine, olanzapine, paliperidone, quetiapin, dan
risperidone (Lieberman et al, 2008). Obat ini tampaknya memiliki lingkup efek
yang lebih luas untuk gejala skizofrenia (Tandon et al, 2003). Obat ini efektif
untuk mengobati gejala positif seperti halusinasi dan delusi serta dapat juga
membantu dalam mengobati gejala negatif. Obat ini juga tersedia dalam bentuk
tablet, cairan dan suntikan jangka pendek dan jangka panjang (APA, 2004).
Cara pemberian obat antipsikotik adalah pemberian dimulai dengan dosis
awal sesuai dosis anjuran, kemudian dinaikkan setiap 2-3 hari sampai
mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaan sindrom psikosis), dosis
dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan, dosis optimal
dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi), kemudian dosis diturunkan
setiap 2 minggu sampai ke dosis maintenance, dosis dipertahankan selama 6
buulan sampai 2 tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/minggu), selanjutnya
dilakukan tappering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) sampai dapat
dihentikan (Maharatih, dkk., 2010).
Karena penderita Skizofrenia memakan obat dalam jangka waktu yang
lama, sangat penting untuk menghindari dan mengatur efek samping yang
timbul. Mungkin
masalah
terbesar
dan tersering
bagi
penderita
yang
hadiah
ekonomi
dan
latihan
Perilaku adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat
ditebus untuk hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di
rumah sakit. Dengan
demikian,
frekuensi
perilaku
maladaptif
atau
dalam
lama dan
kecepatannya.
Seringkali,
anggota
sifat
skizofrenia dan
penyakitnya.
Ahli terapi harus membantu keluarga dan pasien mengerti skizofrenia
tanpa menjadi terlalu mengecilkan hati (Sadock,dkk., 2003).
c. Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada
rencana,
masalah,
seringkali
sulit
sikap curiga,
dilakukan;
non-psikotik.
pasien
Menegakkan
skizofrenia seringkali
atau
teregresi
jika
diri
atau
membunuh,
prilaku
yang
DAFTAR PUSTAKA
APA Clinical Guidelines. American Psychiatric Association. 2004. Practice Guidelines for
the treatment of patients with schizophrenia.
Brannon
GE,
MD.
2012.
Schizoaffective
http://emedicine.medscape.com/article/294763-overview#aw2aab6b2b5aa
pada tanggal 06 Januari 2015 jam 08.26.
Disorder.
Diakses
Buchanan RW, Carpenter TW. 2005. Schizophrenia: Introduction and overview. Kaplan &
Sadocks comprehensive textbook of psychiatry (7th ed.). Philadelphia: Lippincott,
Williams & Wilkins, Inc.
Durland VM, and Barlow DH. 2007. Essentials of Abnormal Psychology. 3rd edition Pacific
Grove, CA: Wadsworth
Freedman R. 2003. Schizophrenia. The New England Journal of Medicine. Colorado:
University of Colorado Health Sciences Center
Lieberman et al. 2003. Pharmacol Rev, 60: 358-403
Maharatih GA, Nuhriawangsa I, dan Sudiyanto A. 2010. Psikiatri Komprehensif. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mansjoer Arief, et al. (editor). 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta:
Media Aesculapis.
Maramis WF. 2006. Catatan Kuliah Kedokteran Jiwa. Cetalan ketujuh. Surabaya: Penerbit
Airlangga University Press.
Maslim R. (editor). 2002. Diagnosis Gangguan Jiwa : Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya
Sadock BJ, Kaplan HI, Grebb JA. 2003. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Prilaku
Psikiatri Klinis Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara.
Tandon et al. 2008. Psyconeuroendocrinology.; 28 (suppl 1): 9-26
Wiraminaradja dan Sutardjo. 2005. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika
Aditama