Documentos de Académico
Documentos de Profesional
Documentos de Cultura
Panduan Ramadhan
BEKAL MERAIH RAMADHAN PENUH BERKAH
Penulis
Muhammad Abduh Tuasikal
Desain Muka dan Perwajahan Isi
Wildan Salim
Cetakan Pertama
Sya’ban 1430 H/ Agustus 2009
Penerbit
Pustaka Muslim
bekerjasama dengan Buletin Dakwah At Tauhid
Yayasan Pendidikan Islam Al Atsari Yogyakarta
Alamat : Wisma Misfallah Tholabul ‘Ilmi
Pogung Kidul, SIA XVI. RT 01/RW 49/8C,
Sinduadi, Mlati, Sleman
Yogyakarta 55284
Informasi:
0856 432 66668 (Syarif Mustaqim)
Website : www.muslim.or.id
www.muslimah.or.id, www.buletin.muslim.or.id
Segala puji bagi Allah Ta’ala, shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami bersyukur
kepada Allah Ta’ala karena telah dimudahkan untuk menyelesaikan buku
panduan ini. Buku panduan Ramadhan ini adalah kumpulan dari tulisan kami
di Buletin Dakwah At Tauhid yang disebar setiap Jum’at sekitar kampus
UGM Yogyakarta, website www.muslim.or.id dan website pribadi
www.rumaysho.com. Sungguh suatu nikmat yang sangat besar, kami dapat
menyusun kembali tulisan ini dan dibagikan secara gratis kepada kaum
muslimin.
Kami tak lupa mengucapkan terima kasih kepada segala pihak yang
telah membantu dan memberikan semangat demi terbitnya buku ini. Terima
kasih pula kami ucapkan kepada para donatur yang telah membantu dalam
membiayai buku ini. Semoga Allah membalas mereka semua dengan ganjaran
yang lebih baik.
Panduan Ramadhan 3
Daftar Isi
َشَهِشُ سََِعَبَْ اٌَّزٌِ أُِٔضِيَ فُِِٗ اٌْمُشِ َآُْ ُ٘ذّي ٌٍَِّٕبطِ وَثََُّْٕبدٍ َِٓ اٌْهُذَي وَاٌْفُشِلَبِْ فَ َِّٓ شَهِذَ ِِٕىُُُ اٌشَّهِش
ُُِّٗفٍََُْص
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang
hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri
tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
(QS. Al Baqarah: 185)
”Apabila Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan
pun dibelenggu.” (HR. Muslim).
Panduan Ramadhan 5
Pada bulan ramadhan terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu
bulan yaitu lailatul qadar (malam kemuliaan). Pada malam inilah saat
diturunkannya Al Qur’anul Karim. Allah Ta’ala berfirman,
)3( ٍ) ٌٍََُِخُ اٌْمَذِسِ خَُِشْ ِ ِٓ أٌَْفِ شَهِش2( ِ) وََِب أَدِسَانَ َِب ٌٍََُِخُ اٌْمَذِس1 ( ِإَِّٔب أَِٔضٌََْٕبُٖ فٍِ ٌٍََُِخِ اٌْمَذِس
)3 ( ََِٓإَِّٔب أَِٔضٌََْٕبُٖ فٍِ ٌٍََُِخٍ ُِجَب َسوَخٍ إَِّٔب وَُّٕب ُِِٕ ِزس
ٌَُٗ ُوَإَِّْ ٌِىًُِّ ُِغٍٍُِِ دَعِىَحً َذِعُىِ ثِهَب فََُغِزَجِ ُِت, َْإَِّْ ٌٍِِّٗ فًِ وًُِّ َىٍَِ عِزِمَبءَ َِٓ إٌَّبسِ فًِ شَهِشِ سََِعَب
”Puasa adalah perisai yang dapat melindungi seorang hamba dari api neraka.”
(HR. Ahmad dan Baihaqi, dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohihul
Jami’)
4. Bau Mulut Orang yang Bepuasa Lebih Harum di Sisi Allah daripada Bau
Minyak Kasturi
َُِ وَإِرَا وَبَْ َى، وَاٌصَُّْبَُ جَُّٕ ٌخ. ِِٗ وَأََٔب أَجِضِي ث، ًٌِ َُِّٗٔ فَإ، ََ وًُُّ عًََِّ اِثِٓ آدَََ ٌَُٗ إِالَّ اٌصَُّْب: ٌٍَُّٗلَبيَ ا
وَاٌَّزِي. ُِْ أَوِ لَبرٍََُٗ فٍََُْمًُْ إًِّْٔ اِِشُؤْ صَبئ، فَِإْْ عَبثَُّٗ أَدَ ْذ، ت
ِ خ
َ ِ فَالَ َشِ ُفثْ وَالَ َص، ُِ ُصَىَِِ أَدَ ِذو
ٌٍِصَّبئُِِ فَشِدَزَبِْ َفْشَدُهَُّب إِرَا، ه
ِ َِٔفْظُ ُِذََّّذٍ ثَُِذِِٖ ٌَخٍُُىفُ فَُِ اٌصَّبئِ ُِ أَطَُْتُ عِِٕذَ اٌٍَِّٗ ِِٓ سَِخِ اٌِّْغ
ِِٗ ِ وَإِرَا ٌَمًَِ سَثَُّٗ فَشِحَ ثِصَى، ح
َ ِأَ ْفطَشَ فَش
Panduan Ramadhan 7
”Allah berfirman (yang artinya), “Setiap amal anak adam adalah untuknya
kecuali puasa. Puasa tersebut adalah untuk-Ku dan Aku yang akan
membalasnya. Puasa adalah perisai. Apabila salah seorang dari kalian berpuasa
maka janganlah berkata kotor, jangan pula berteriak-teriak. Jika ada
seseorang yang mencaci dan mengajak berkelahi maka katakanlah, ’Saya
sedang berpuasa’. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya,
sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah pada
hari kiamat daripada bau minyak kasturi. Dan bagi orang yang berpuasa ada
dua kegembiraan, ketika berbuka mereka bergembira dengan bukanya dan
ketika bertemu Allah mereka bergembira karena puasanya”.” (HR. Bukhari
dan Muslim)
ِاٌصَُّْبَُ وَاٌْمُشِآُْ َشِفَعَبِْ ٌٍِْعَجِذِ َىََِ اٌْ ِمَُبَِخِ َمُىيُ اٌصَُّْبَُ أَيِ سَةّْ ََِٕعِزُُٗ اٌطَّعَبََ وَاٌشَّهَىَادِ ثِبٌَّٕهَبس
ِْ لَبيَ فَُشَفَّعَب.ُِِٗ وََمُىيُ اٌْمُشِآُْ ََِٕعِزُُٗ إٌَّىََِ ثِبًٌٍَُِِّ فَشَفِّعًِِٕ ف.ُِِٗفَشَفِّعًِِٕ ف
”Puasa dan Al Qur’an itu akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba
pada hari kiamat nanti. Puasa akan berkata, ’Wahai Tuhanku, saya telah
menahannya dari makan dan nafsu syahwat, karenanya perkenankan aku
untuk memberikan syafa’at kepadanya’. Dan Al Qur’an pula berkata, ’Saya
telah melarangnya dari tidur pada malam hari, karenanya perkenankan aku
untuk memberi syafa’at kepadanya.’ Beliau bersabda, ’Maka syafa’at keduanya
diperkenankan.’“ (HR. Ahmad, Hakim, Thabrani, periwayatnya shahih
sebagaimana dikatakan oleh Al Haytsami dalam Majma’ Zawaid)
َِِِِٗٓ صَبََ سََِعَبَْ إِميَبّٔب وَادِزِغَبثّب غُفِشَ ٌَُٗ َِب رَمَذَََّ ِِٓ رَِٔج
ُ َُمَبي، ُُُِ٘ الَ َذِخًُُ ُِِٕٗ أَدَذْ غَُِش، َذِخًُُ ُِِٕٗ اٌصَّبئُِّىَْ َىََِ اٌْمَُِبَِ ِخ، ُْ إَِّْ فًِ اٌْجََّٕخِ ثَبثّب َُمَبيُ ٌَُٗ اٌشَََّّب
ْ فٍََُِ َذِخًُْ ُِِٕٗ أَدَذ، فَإِرَا دَخٍَُىا أُغْ ٍِ َك، ُِ ُُ٘ الَ َذِخًُُ ُِِٕٗ أَدَذْ غَُِش، َْ أَََِٓ اٌصَّبئُِّىَْ فََُمُىُِى
Panduan Ramadhan 9
Menentukan Awal Ramadhan
َ فَِإْْ غَُُّ عٍََُِىُُِ فََأوٍُِّْىا اٌْعِذَّحَ ثَالَثِني، ُٖ ِ فَالَ رَصُىُِىا دَزًَّ رَشَو، اٌشَّهِشُ رِغِعْ وَعِشِشُوَْ ٌٍََُِ ًخ
”Apabila bulan telah masuk kedua puluh sembilan malam (dari bulan Sya’ban,
pen). Maka janganlah kalian berpuasa hingga melihat hilal. Dan apabila
mendung, sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR.
Bukhari)
ُٗ ُِّالَ َزَمَذَََِّّٓ أَدَذْ اٌشَّهِشَ ثَُِىٍَِ وَالَ َىَِِ ُِِٓ إِالَّ أَدَذْ وَبَْ َصُىَُ صَُِبِّب لَجٍَُِٗ فٍََُْص
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari
sebelumnya, kecuali bagi seseorang yang terbiasa mengerjakan puasa pada
hari tersebut maka berpuasalah.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al
Albani dalam Shahih wa Dho’if Sunan Nasa’i)
Panduan Ramadhan 11
Hadits ini menunjukkan bahwa mendahulukan puasa pada satu hari
sebelum Ramadhan dalam rangka kehati-hatian yaitu takut kalau pada hari
yang meragukan ini ternyata sudah masuk Ramadhan adalah haram.
Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut
adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
ٍََََُِِّٓ صَبََ اٌَُْىََِ اٌَّزٌِ َُشَهُّ فُِِٗ فَمَذِ عَصًَ أَثَب اٌْمَبعُِِ صًٍََّ اٌٍَُّٗ عٍََُِِٗ وَع
”Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai
Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, pen).” (HR. Abu
Daud dan Tirmidzi, dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa
Dho’if Sunan Tirmidzi)
َْصَىُِِىُُِ َىََِ رَصُىُِِ ِىَْ وَ ِفطْ ُشوُُِ َىََِ رُ ْفطِشُ ِوَْ وَأَظِذَبوُُِ َىََِ رَعَذُّ ِى
Puasa Ramadhan itu wajib bagi setiap muslim yang baligh (dewasa),
berakal, dalam keadaan sehat, dan dalam keadaan mukim (tidak melakukan
safar/perjalanan jauh).
َََْب أََُّهَب اٌَّزََِٓ إََُِٓىا وُِزتَ عٍََُِىُُُ اٌصَُّْبَُ وََّب وُِزتَ عًٍََ اٌَّزََِٓ ِِٓ لَجٍِِىُُِ ٌَعٍََّىُُِ رَزَّمُى
Syarat Puasa
Mengenai Niat
Panduan Ramadhan 13
ِإََِّّٔب األَعَِّبيُ ثِبٌَُّّْٕبد
“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar dari Hafshoh bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa siapa yang tidak berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak
sah.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa’i. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani
dalam Shohihul Jami’).
Rukun Puasa
Rukun puasa adalah menahan diri dari pembatal puasa mulai dari
terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga terbenamnya matahari. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
ًٌََِووٍُُىا وَاشِشَثُىا دَزًَّ َزَجَََُّٓ ٌَىُُُ اٌْخَُِطُ اٌْأَثَُِطُ َِٓ اٌْخَُِطِ اٌْأَعِىَدِ َِٓ اٌْفَجِشِ ثَُُّ أَرُِّّىا اٌصَُّْبََ إ
ًٌٍَُِِّا
14 Bekal Meraih Ramadhan Penuh Berkah
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”
(QS. Al Baqarah: 187).
ُوٍُُىا وَاشِشَثُىا وَالَ َهُِذََّٔىُُُ اٌغَّبطِعُ اٌُّْصِعِذُ فَىٍُُىا وَاشِشَثُىا دَزًَّ َعِزَشِضَ ٌَىُُُ األَدَِّش
“Makan dan minumlah. Janganlah kalian menjadi takut oleh pancaran sinar
(putih) yang menjulang. Makan dan minumlah sehingga tampak bagi kalian
warna merah.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih)
Panduan Ramadhan 15
Yang Diperbolehkan Tidak Puasa
Para ulama telah sepakat mengenai bolehnya orang sakit untuk tidak
berpuasa secara umum. Nanti ketika sembuh, dia harus mengqodho’nya
(menggantinya di hari lain). Dalil mengenai hal ini adalah firman Allah Ta’ala
(yang artinya), “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang
ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Kondisi pertama adalah apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-
apa jika tetap berpuasa. Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala
yang ringan, dan perut keroncongan. Untuk kondisi pertama ini tetap
diharuskan untuk berpuasa.
Kondisi kedua adalah apabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan
menjadi lama sembuhnya dan menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini
tidak membahayakan. Untuk kondisi ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan
dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.
Dalil dari hal ini adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan barang
siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
(QS. Al Baqarah: 185). Mayoritas sahabat, tabi’in dan empat imam madzhab
berpendapat bahwa berpuasa ketika safar itu sah.
Manakah yang lebih utama bagi orang yang bersafar, berpuasa ataukah
tidak? Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Setelah meneliti lebih
jauh dan menggabungkan berbagai macam dalil, dapat dikatakan bahwa
musafir itu ada tiga kondisi.
Kondisi pertama adalah jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-
hal yang baik ketika itu, maka lebih utama untuk tidak berpuasa.
Kondisi kedua adalah jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak
menyulitkan untuk melakukan berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini
lebih utama untuk berpuasa.
Panduan Ramadhan 17
Dari Abu Darda’, beliau berkata, “Kami pernah keluar bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik.
Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena
cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa
ketika itu.” (HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122). Apabila tidak terlalu
menyulitkan ketika safar, maka puasa itu lebih baik karena lebih cepat
terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena
berpuasa dengan orang banyak itu lebih menyenangkan daripada
mengqodho’ puasa sendiri sedangkan orang-orang tidak berpuasa.
Kondisi ketiga adalah jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat
bahkan dapat mengantarkan pada kematian, maka pada saat ini wajib tidak
berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.
Ketiga: Orang yang Sudah Tua dan Dalam Keadaan Lemah, Juga Orang
Sakit yang Tidak Kunjung Sembuh
Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa,
boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho bagi mereka. Dan
menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah yaitu
memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.
Begitu pula orang sakit yang tidak kunjung sembuh, maka dia
disamakan dengan orang tua yang tidak mampu melakukan puasa sehingga
dia diharuskan mengeluarkan fidyah.
Catatan: Tidak sah membayar fidyah di sini dengan uang. Adapun waktu
pembayaran fidyah adalah pada hari itu ketika tidak melaksanakan puasa.
Atau boleh juga diakhirkan hingga akhir bulan Ramadhan sebagaimana yang
dilakukan oleh Anas bin Malik. Dan tidak boleh pembayaran fidyah ini
dilakukan sebelum Ramadhan.
Panduan Ramadhan 19
Jika wanita hamil takut terhadap janin yang berada dalam
kandungannya dan wanita menyusui takut terhadap bayi yang dia sapih
karena sebab keduanya berpuasa, maka boleh baginya untuk tidak
berpuasa. Hal ini disepakati oleh para ulama. Dalil yang menunjukkan hal ini
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa
jalla menghilangkan pada musafir separuh shalat. Allah pun menghilangkan
puasa pada musafir, wanita hamil dan wanita menyusui.” (HR. Ahmad. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Keringanan dalam hal ini adalah bagi
orang yang tua renta dan wanita tua renta dan mereka mampu berpuasa.
Mereka berdua berbuka jika mereka mau dan memberi makan kepada orang
miskin setiap hari yang ditinggalkan, pada saat ini tidak ada qodho’ bagi
mereka. Kemudian hal ini dihapus dengan ayat (yang artinya): “Karena itu,
barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Namun hukum fidyah ini masih
tetap ada bagi orang yang tua renta dan wanita tua renta jika mereka tidak
mampu berpuasa. Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir
mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi
makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” (Dikeluarkan oleh
Ibnul Jarud dalam Al Muntaqho dan Al Baihaqi. Lihat Irwa’ul Gholil 4/18)
Para ulama sepakat bahwa wanita haidh dan nifas tidak sah untuk
berpuasa dan mereka haram untuk puasa. Dan setelah kembali suci, dia
wajib mengqodho puasanya.
Dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukankah ketika haidh, wanita itu tidak shalat
dan juga tidak puasa. Inilah kekurangan agamanya.” (HR. Bukhari no. 1951).
‘Aisyah mengatakan, “Kami dulu mengalami haidh. Kami diperintarkan untuk
mengqodho puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqodho shalat.”
(HR. Muslim no. 335)
Kedua: Orang yang khawatir jika berpuasa dirinya akan mati. Orang
seperti ini wajib tidak puasa.
Yaitu setiap muslim, baligh, berakal, sehat (tidak sakit), bermukim (bukan
musafir), wanita yang suci dari haidh dan nifas.
Panduan Ramadhan 21
Yang Dianjurkan Ketika Berpuasa
1. Mengakhirkan Sahur
“Makan sahurlah karena sesungguhnya pada sahur itu terdapat berkah.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
2. Menyegerakan berbuka
ٌٍَُّٗرَ َ٘تَ اٌظََّّأُ وَاثِز ٍََّذِ اٌْعُشُوقُ وَثََجذَ األَجِشُ ِإْْ شَبءَ ا
“Dzahabazh zhoma-u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah [Rasa haus
telah hilang dan urat-urat telah basah, dan pahala telah ditetapkan insya
Allah]” (HR. Abu Daud. Dikatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih
wa Dho’if Sunan Abi Daud)
َِِٓ فَطَّشَ صَبئِّّب وَبَْ ٌَُٗ ِثًُْ أَجِشِِٖ غَُِشَ أََُّٔٗ الَ َِٕمُصُ ِِٓ أَجِشِ اٌصَّبئُِِ شَُِئًب
Panduan Ramadhan 23
“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti
orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa
itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi dan dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani
dalam Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
ًٌََِووٍُُىا وَاشِشَثُىا دَزًَّ َزَجَََُّٓ ٌَىُُُ اٌْخَُِطُ اٌْأَثَُِطُ َِٓ اٌْخَُِطِ اٌْأَعِىَدِ َِٓ اٌْفَجِشِ ثَُُّ أَرُِّّىا اٌصَُّْبََ إ
ًٌٍَُِِّا
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”
(QS. Al Baqarah: 187)
Dari ayat ini berarti puasa adalah menahan diri dari makan dan
minum. Jika orang yang berpuasa makan dan minum, batal-lah puasanya. Ini
dikhususkan jika makan dan minum dilakukan secara sengaja. Jika orang
yang berpuasa lupa, keliru, atau dipaksa, puasanya tidaklah batal. Dasarnya
adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ُٖ فَإََِّّٔب أَطْعََُّٗ اٌٍَُّٗ وَعَمَب، ُٗ َِِإِرَا َٔغًَِ فََأوًََ وَشَشِةَ فٍَُْزَُِّ صَى
“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan lupa, hendaklah dia
tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberi dia makan dan
minum.” (HR. Bukhari no. 1933)
Catatan : Yang juga termasuk makan dan minum adalah injeksi makanan
melalui infus. Jika seseorang diinfus dalam keadaan puasa, batal-lah
Panduan Ramadhan 25
puasanya karena injeksi semacam ini dihukumi sama dengan makan dan
minum. (Lihat Shifat Shoum An Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 72)
َِِِٓ رَسَعَُٗ لًَِءٌ وَُ٘ىَ صَبئُِْ فٍََُِظَ عٍََُِِٗ لَعَبءٌ وَِإِْ اعِزَمَبءَ فٍََُْمْط
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika berkhutbah Idul Fitri atau
Idul Adha di hadapan para wanita, beliau berkata,
» لَب َي « فَزٌَِهَ ِ ِٓ ُٔمْصَب ِْ دَِِٕهَب. ًٍَ ُلٍْ َٓ َث. » ُِ ًَُ وٌََ ُِ َرص
ِّ ذ ٌَ ُِ رُص
ِ َظ إِرَا دَبظ
َ ٌََُِأ
“Bukankah kalau wanita tersebut haidh, dia tidak shalat dan juga tidak
menunaikan puasa?” Para wanita menjawab, “Betul.” Lalu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah kekurangan agama wanita.” (HR. Bukhari
no. 304)
Panduan Ramadhan 27
batal. Orang tersebut harus mengqodho’ puasanya di luar Ramadhan. Selain
mengqodho, orang tersebut harus membayar kafaroh yaitu:
Menurut madzhab Syafi’i dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad, wanita
yang diajak bersetubuh di bulan Ramadhan tidak punya kewajiban kafaroh
sama sekali, yang menanggung kafarohnya adalah suaminya. Alasannya
yaitu :
Catatan:
Seandainya seseorang yang berpuasa lupa ketika makan atau minum, maka
puasanya tetap sah.
Panduan Ramadhan 29
Hal-hal yang Dibolehkan
Ketika Puasa
Panduan Ramadhan 31
Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi lemas
karena berbekam. Dan boleh jadi diharamkan jika hal itu menjadi sebab
batalnya puasa orang yang dibekam. Hukum ini berlaku juga untuk donor
darah. Wallahu a’lam.
Panduan Ramadhan 33
Qodho’ Puasa
Ibnu Hajar mengatakan, “Di dalam hadits ini terdapat dalil mengenai
bolehnya mengundurkan qodho’ Ramadhan baik mengundurkannya karena
ada udzur atau pun tidak.” (Fathul Bari, 6/209)
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz –pernah menjabat sebagai
ketua Lajnah Ad Da’imah (komisi fatwa di Saudi Arabia)- ditanyakan,
Panduan Ramadhan 35
“Apa hukum seseorang yang meninggalkan qodho’ puasa Ramadhan hingga
masuk Ramadhan berikutnya dan dia tidak memiliki udzur untuk
menunaikan qodho’ tersebut. Apakah cukup baginya bertaubat dan
menunaikan qodho’ atau dia memiliki kewajiban kafaroh?”
Syaikh Ibnu Baz menjawab, “Dia wajib bertaubat kepada Allah subhanahu
wa ta’ala dan dia wajib memberi makan kepada orang miskin bagi setiap
hari yang ditinggalkan disertai dengan qodho’ puasanya. Ukuran makanan
untuk orang miskin adalah setengah sha’ Nabawi dari makanan pokok
negeri tersebut (kurma, gandum, beras atau semacamnya) dan ukurannya
adalah sekitar 1,5 kg sebagai ukuran pendekatan. Dan tidak ada kafaroh
(tebusan) selain itu. Sebagaimana hal ini difatwakan oleh beberapa sahabat
radhiyallahu ‘anhum seperti Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma.
Namun apabila dia menunda qodho’nya karena ada udzur seperti sakit atau
bersafar, atau pada wanita karena hamil atau menyusui dan sulit untuk
berpuasa, maka tidak ada kewajiban bagi mereka selain mengqodho’
puasanya.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 15/347)
Bagi orang yang mati dalam keadaan masih memiliki utang puasa, dia
tidak terlepas dari tiga kemungkinan:
1. Orang yang mati tersebut masih memiliki udzur hingga dia meninggal
dunia dan dia tidak mampu membayar qodho’ puasanya, untuk orang
semacam ini tidak perlu dibayar qodho’ puasanya.
2. Orang yang mati tersebut ketika dia hidup sebenarnya masih memiliki
kesempatan untuk membayar qodho’ puasanya, namun dia tidak
menunaikannya sampai dia mati, maka untuk orang semacam ini
dipuasakan oleh ahli warisnya.
3. Orang yang mati tersebut memiliki utang nadzar namun belum
ditunaikan, pada saat ini dipuasakan oleh ahli warisnya.
Boleh juga beberapa hari utang puasa dibagi kepada ahli warisnya.
Kemudian beberapa ahli waris –boleh laki-laki atau pun perempuan-
mendapatkan satu atau beberapa hari puasa. Boleh juga mereka membayar
utang puasa tersebut dalam satu hari dengan serempak beberapa ahli waris
melaksanakan puasa sesuai dengan utang yang dimiliki oleh orang yang
telah meninggal dunia tadi (Lihat Tawdhihul Ahkam, 3/525).
Panduan Ramadhan 37
Jangan Biarkan Puasamu Sia-Sia
Apa di balik ini semua? Mengapa amalan puasa orang tersebut tidak
teranggap, padahal dia telah susah payah menahan dahaga mulai dari terbit
fajar hingga terbenamnya matahari?
Itulah sejelek-jelek puasa yaitu hanya menahan lapar dan dahaga saja,
sedangkan maksiat masih terus dilakukan. Hendaknya seseorang menahan
anggota badan lainnya dari berbuat maksiat. Ibnu Rojab mengatakan,
“Tingkatan puasa yang paling rendah hanya meninggalkan minum dan makan
saja.” [Pembahasan ini disarikan dari Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al
Hambali dengan beberapa tambahan]
Panduan Ramadhan 39
Shalat Tarawih
َِِِِٗٓ لَبََ سََِعَبَْ إِميَبّٔب وَادِزِغَبثّب غُفِشَ ٌَ ُٗ َِب رَمَذَََّ ِِٓ رَِٔج
ًإَُِّٔٗ َِِٓ لَبََ َِعَ اإلَِِبَِ دَزًَّ َِٕصَ ِشفَ وُِزتَ ٌَُٗ لَُِبَُ ٌٍََُِخ
“Siapa yang shalat (malam) bersama imam hingga ia selesai, maka ditulis
untuknya pahala melaksanakan shalat satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan
Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini
shahih).
ً َضَِذُ فًِ سََِعَبَْ وَالَ فًِ غَُِشِِٖ عًٍََ إِدِذَي عَشِشَحَ َسوْعَخ- ٍُ صًٍ اهلل عٍُٗ وع- ٌٍََِِّٗب وَبَْ سَعُىيُ ا
Panduan Ramadhan 41
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no.
764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang dilakukan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 11 raka’at. Adapun dua raka’at lainnya
adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebagai pembuka melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini
dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/123).
Oleh karena itu, jumlah raka’at shalat tarawih yang dianjurkan adalah
tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at. Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah
lewat.
Panduan Ramadhan 43
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan
Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh
dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan
kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas.
Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari
yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih
dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-
kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
“Shalat malam adalah dua raka’at dua raka’at. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dasar dari hal ini adalah perkataan ‘Aisyah yang menjelaskan tata cara
shalat malam Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Panduan Ramadhan 45
Menantikan Malam Lailatul Qadar
Pada sepertiga terakhir dari bulan yang penuh berkah ini terdapat
malam Lailatul Qadar, suatu malam yang dimuliakan oleh Allah melebihi
malam-malam lainnya. Di antara kemuliaan malam tersebut adalah Allah
mensifatinya dengan malam yang penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman,
ٍَِ٘ َْ) عٍََب4 ( ٍ) رََٕضَّيُ اٌٍََّْبئِىَخُ وَاٌشُّوحُ فُِهَب ثِإِ ْرِْ سَثّْهُِِ ِِٓ وًُِّ أَِِش3( ٌٍٍََُِخُ اٌْمَذِسِ خَُِشْ ِِٓ أٌَْفِ شَهِش
)5( ِدَزًَّ َِطٍَْعِ اٌْفَجِش
“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur
segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al
Qadar: 3-5)
Panduan Ramadhan 47
Terjadinya lailatul qadar di tujuh malam terakhir bulan ramadhan itu
lebih memungkinkan sebagaimana hadits dari Ibnu Umar bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Carilah lailatul qadar di sepuluh malam
terakhir, namun jika ia ditimpa keletihan, maka janganlah ia dikalahkan pada
tujuh malam yang tersisa.” (HR. Muslim)
1. Udara dan angin sekitar terasa tenang. Sebagaimana dari Ibnu Abbas,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lailatul qadar adalah
malam yang penuh kelembutan, cerah, tidak begitu panas, juga tidak
begitu dingin, pada pagi hari matahari bersinar lemah dan nampak
kemerah-merahan.” (HR. Ath Thoyalisi. Haytsami mengatakan
periwayatnya adalah tsiqoh /terpercaya)
Panduan Ramadhan 49
I’tikaf
Lalu apa yang dimaksud dengan i’tikaf? Dalam kitab lisanul arab, i’tikaf
bermakna merutinkan (menjaga) sesuatu. Sehingga orang yang
mengharuskan dirinya untuk berdiam di masjid dan mengerjakan ibadah di
dalamya disebut mu’takifun atau ‘akifun. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 2/150)
Panduan Ramadhan 51
Yang Membatalkan I’tikaf
Beberapa hal yang membatalkan i’tikaf adalah: (1) Keluar dari masjid
tanpa alasan syar’i atau tanpa ada kebutuhan yang mubah yang mendesak
(misalnya untuk mencari makan, mandi junub, yang hanya bisa dilakukan di
luar masjid), (2) Jima’ (bersetubuh) dengan istri berdasarkan Surat Al
Baqarah ayat 187 di atas (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 2/155-156).
ً َصوَبحَ اٌْ ِفطْشِ طُهِشَحً ٌٍِصَّبئُِِ َِٓ اٌٍَّ ِغىِ وَاٌشَّ َفثِ وَطُعَِّخ-ٍُصًٍ اهلل عٍُٗ وع- ٌٍَِّٗفَشَضَ سَعُىيُ ا
ٌٍَِِّْغَبوِني
Panduan Ramadhan 53
Syari’at ini juga bertujuan agar kebahagiaan ini merata, dapat dirasakan oleh
semua kalangan. (Lihat Minhajul Muslim, 23 dan Majelis Syahri Ramadhan,
142)
Bagaimana dengan anak dan istri yang menjadi tanggungan suami, apakah
perlu mengeluarkan zakat sendiri-sendiri?
Benda yang dijadikan zakat fithri adalah berupa makanan pokok, baik
itu kurma, gandum, beras, kismis, keju, dsb dan tidak dibatasi pada kurma
atau gandum saja (Lihat Majelis Syahri Ramadhan, 142 & Shohih Fiqh Sunnah,
II/82). Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, namun
hal ini diselisihi oleh Hanabilah.
Panduan Ramadhan 55
yang lebih hati-hati. (Lihat pendapat Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa-
nya 5/92)
ِوَطُعَِّخً ٌٍَِّْغَبوِني
... untuk memberikan makan orang-orang miskin”. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah,
II/85)
Panduan Ramadhan 57
Waktu Mengeluarkan Zakat Fithri
Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat itu ada dua macam:
Pertama adalah waktu utama (afdhol) yaitu mulai dari terbit fajar pada hari
‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied. Dan kedua adalah
waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana
yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar. (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil
Islam, 640 & Minhajul Muslim, 231)
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan
Fatwa Kerajaan Arab Saudi)
Soal:
Jawab:
Para ulama telah sepakat bahwa terbitnya hilal di setiap tempat itu
bisa berbeda-beda dan hal ini dapat diketahui dengan pasti secara inderawi
dan logika. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat mengenai
teranggapnya atau tidak hilal di negeri lain dalam menentukan awal dan
akhir Ramadhan. Dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama
adalah yang menyatakan teranggapnya hilal di negeri lain dalam penentuan
awal dan akhir Ramadhan walaupun berbeda matholi’ (wilayah terbitnya
Panduan Ramadhan 59
hilal). Pendapat kedua adalah yang menyatakan tidak teranggapnya hilal di
negeri lain. Masing-masing dari dua kubu ini memiliki dalil dari Al Kitab, As
Sunnah dan Qiyas. Dan terkadang dalil yang digunakan oleh kedua kubu
adalah dalil yang sama. Sebagaimana mereka sama-sama berdalil dengan
firman Allah,
”Karena itu, barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan (di negeri tempat
tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan tersebut.” (QS. Al
Baqarah: 185)
Tidak mengapa jika penduduk suatu negeri yang tidak melihat hilal
pada malam ke-30, mereka mengambil ru’yah negeri yang berbeda matholi’
Semoga Allah memberi kita taufik. Shalawat dan salam kepada Nabi
kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Abdullah bin Mani’ sebagai anggota, Abdullah bin Ghodyan sebagai wakil
ketua, Abdur Rozaq ‘Afifi sebagai ketua.
Panduan Ramadhan 61
Petunjuk Nabi dalam Shalat ‘Ied
2. Pada saat hari Raya 'Idul Fitri, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
mengenakan pakaian terbaik (terindah).
10. Setelah bertakbir, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam membaca surat Al-
Fatihah dan surat "Qaf" pada raka'at pertama serta surat "Al-Qamar"
pada raka'at kedua. Kadang-kadang beliau membaca surat "Al-A'la"
pada raka'at pertama dan "Al-Ghasyiyah" pada raka'at kedua. Kemudian
beliau bertakbir lalu ruku' dilanjutkan takbir 5 kali pada raka'at kedua
lalu membaca Al-Fatihah dan surat lainnya.
12. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah di tanah dan tidak ada
mimbar ketika beliau berkhutbah.
Panduan Ramadhan 63
13. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memulai khutbahnya dengan
‘Alhamdulillah …’ dan tidak terdapat dalam satu hadits pun yang
menyebutkan beliau memulai khutbah ‘ied dengan bacaan takbir. Hanya
saja dalam khutbahnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
memperbanyak bacaan takbir.
15. Diperbolehkan bagi kaum muslimin, jika 'ied bertepatan dengan hari
Jum'at untuk mencukupkan diri dengan shalat 'ied saja dan tidak
menghadiri shalat Jum’at.
16. Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam selalu melalui jalan yang berbeda
ketika berangkat dan pulang (dari shalat) ‘ied.
Jika kita melihat pada hadits di atas, menyentuh lawan jenis -yang bukan
istri atau bukan mahrom- diistilahkan dengan berzina. Hal ini berarti
menyentuh lawan jenis adalah perbuatan yang haram karena
berdasarkan kaedah ushul: “Apabila suatu perbuatan dinamakan dengan
sesuatu lain yang haram, maka hal ini menunjukkan bahwa perbuatan
tersebut adalah haram”. (Lihat Taysir Ilmi Ushul Fiqh, Abdullah bin Yusuf
Al Judai)
5. Mengkhususkan ziarah kubur pada hari raya 'ied. Padahal tidak terdapat
satu dalil pun yang menunjukkan perintah Allah ataupun tuntunan Nabi
untuk ziarah ke kubur pada saat tersebut.
7. Begadang saat malam 'Idul Fitri untuk takbiran hingga pagi sehingga
kadang tidak mengerjakan shalat ‘ied di pagi harinya. Takbiran yang
dilakukan juga sering mengganggu kaum muslimin yang hendak
beristirahat padahal hukum mengganggu sesama muslim adalah haram.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Muslim (yang baik)
adalah yang tidak mengganggu muslim lainnya dengan lisan dan
tangannya.” (HR. Muslim).
َِِِٓ صَبََ سََِعَبَْ ثَُُّ أَرِجَعَُٗ عِزِّب ِِٓ شَىَّايٍ وَبَْ وَصَُِبَِ اٌذَِّ٘ش
Panduan Ramadhan 69
Dzikir-dzikir di Bulan Ramadhan
ٌٍَُّٗ سَثٍّْ وَسَثُّهَ ا، َِ وَاٌغَّالَِخِ وَاإلِعِال، ِْ اٌٍَّهَُُّ أٍََُِّ٘ٗ عٍَََُِٕب ثِبٌُْ ِِّٓ وَاإلِميَب
“Allahumma ahillahu ‘alayna bilyumni wal iimaani was salaamati wal islaami.
Robbii wa Robbukallah [Ya Allah, tampakkan bulan itu kepada kami dengan
membawa keberkahan dan keimanan, keselamatan dan Islam. Rabbku dan
Rabbmu (wahai bulan sabit) adalah Allah]” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Ad
Darimi. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan
karena memiliki penguat dari hadits lainnya)
2. Ucapan Ketika Dicela atau Ada yang Berbuat Usil Ketika Berpuasa
“Inni shoo-imun, inni shoo-imun [Aku sedang puasa, aku sedang puasa]”.”
(HR. Ibnu Majah dan Hakim. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shohih).
ُٗ ٌٍَّرَ َ٘تَ اٌظََّّأُ وَاثِز ٍََّذِ اٌْعُشُوقُ وَثََجذَ األَجِشُ ِإْْ شَبءَ ا
“Allahumma ath’im man ath’amanii wasqi man saqoonii” [Ya Allah, berilah
ganti makanan kepada orang yang memberi makan kepadaku dan berilah
minuman kepada orang yang memberi minuman kepadaku] (HR. Muslim no.
2055)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika diberi hidangan makanan oleh Sa’ad
bin ‘Ubadah, beliau mengucapkan,
ُأَ ْفطَشَ عِِٕ َذوُُُ اٌصَّبئُِّىَْ وََأوًََ طَعَبَِىُُُ األَثِشَاسُ وَص ٍََّذِ عٍََُِىُُُ اٌَّْالَئِىَخ
Panduan Ramadhan 71
mendo’akan agar kalian mendapat rahmat].” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa pada saat witir membaca surat
“Sabbihisma Robbikal a’laa” (surat Al A’laa), “Qul yaa ayyuhal kaafiruun”
(surat Al Kafirun), dan “Qul huwallahu ahad” (surat Al Ikhlas). Kemudian
setelah salam beliau mengucapkan
َخطِهَ وَثُِّعَبفَبرِهَ ِِٓ عُمُىثَزِهَ وَأَعُىرُ ثِهَ ِِٕهَ الَ أُدِصًِ ثََٕبءً عٍََُِه
َ َاٌٍَّهَُُّ إٍِّْٔ أَعُىرُ ثِشِظَبنَ ِِٓ ع
ََأِٔذَ وََّب أَثَْٕ ُِذَ عًٍََ َٔفْغِه
‘Allahumma innaka ‘afuwwun kariim tuhibbul ‘afwa fa’fu anni’ [Ya Allah
sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi Maha Mulia yang menyukai
permintaan maaf, maafkanlah aku].” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Panduan Ramadhan 73
Kesalahan-kesalahan
di Bulan Ramadhan
Pada hari tersebut juga dilarang untuk berpuasa karena hari tersebut
adalah hari yang meragukan. Dan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,
”Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan maka dia telah mendurhakai
Abul Qasim (yaitu Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam).” (HR. Abu Daud
dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Lafazh niat seperti ini tidak pernah ada tuntunannya dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga tidak pernah diajarkan oleh para
sahabat. An Nawawi rahimahullah –ulama besar dalam Madzhab Syafi’i-
mengatakan, “Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat
adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak
terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, I/268)
Dalam hadits Anas dari Zaid bin Tsabit bahwasanya beliau pernah
makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas
berkata,”Berapa lama jarak antara iqomah dan sahur kalian?” Kemudian Zaid
berkata,”Sekitar 50 ayat”. (HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama
jarak antara sahur dan iqomah? Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu
lama, bahkan sangat dekat dengan waktu adzan shubuh yaitu sekitar
membaca 50 ayat Al Qur’an (sekitar 10 atau 15 menit).
Panduan Ramadhan 77
11. Bubar Terlebih Dahulu Sebelum Imam Selesai Shalat Malam
***
Panduan Ramadhan 79
Katalog Pustaka Muslim
Informasi: 0856 432 66668 (Syarif Mustaqim)
BUKU-BUKU ISLAM
1. 14 Contoh Praktek Hikmah Dalam Berdakwah
2. Bagaimana Cara Beragama yang Benar?
3. Bundel Buletin At Tauhid
4. Gerbang Pemahaman Tauhid
5. Indahnya Tauhid & Bahayanya Syirik
6. Kumpulan Faidah
7. Mutiara Faidah Kitab Tauhid
8. Suami Idaman Istri Pilihan
9. Sucikan Iman Anda dari Noda Syirik dan Penyimpangan