Está en la página 1de 33

BAB I

PENDAHULUAN

Tidur dan bernapas merupakan bagian proses fisiologis yang mendasar
dalam kehidupan manusia sehari-hari. Tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan
bawah sadar dimana orang tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang
sensorik atau dengan rangsang lainnya. Bila terjadi gangguan pada proses tidur akan
berakibat gangguan pada kualitas hidup. Demikian pula bila proses benapas berhenti
sementara dalam beberapa menit, kehidupan manusia juga berhenti.
1

Sleep apnea adalah timbulnya episode abnormal pada frekuensi nafas yang
berhubungan dengan penyempitan saluran nafas atas pada keadaan tidur yang dapat
berupa henti nafas (apnea) atau menurunnya ventilasi (hypopnea) . Sleep apneu
ditandai oleh terhentinya aliran udara di hidung dan mulut pada saat tidur dan
lamanya lebih dari lebih dari 10 detik, terjadi berulang kali, dapat mencapai 20-60
kali per jam, dan disertai dengan penurunan saturasi oksigen lebih dari 4%. Ada tiga
tipe apnea/hipopnea yaitu tipe obstruktif (Obstruktive Sleep Apnea/OSA) ialah
penghentian airan udara namun usaha napas tetap ada , tipe sentral (Cental Sleep
Apnea/CSA) ialah penghentian aliran udara dan usaha napas secara bersamaan dan
tipe campuran (Mixed Sleep Apnea/MSA) yang merupakan campuran dari
keduanya.
1,2
Obstruktive sleep apnea (OSA) merupakan salah satu bentuk gangguan nafas
terkait tidur yang paling sering terjadi
. 1,3
Diperkirakan bahwa lebih dari 12 juta orang
dewasa di Amerika mengalami obstruktif sleep apneu. Obstructive sleep apnea lebih
sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan sekitar 24% pria dan 9% persen
wanita atau sekitar 1 dari 25 pria paruh baya yang menderita OSA, dan untuk 1 dari
50 wanita paruh baya. OSA adalah penyempitan berulang tenggorokan saat tidur baik
sebagian atau seluruhnya yang menghambat saluran udara. Penyumbatan ini bisa
menyebabkan masalah pernapasan, atau bahkan dapat terjadi henti napas untuk 10
sampai 20 detik atau lebih, dan berberapa kali setiap malam.
3,4
Central sleep apnea
(CSA) lebih jarang terjadi dibanding OSA. Ciri khas dari tipe ini adalah menurunnya
frekuensi napas atau henti napas akibat menurunnya ventilasi atau tak ada ventilasi
selama paling tidak 10 detik atau lebih. Keadaan ini abnormal bila terjadi lebih dari 5
kali perjam. Kejadian Mixed sleep apnea (MSA) biasanya dimulai dengan CSA lalu
diikuti OSA.
Selama beberapa dekade terakhir, sindrom henti napas saat tidur (sleep apnea)
muncul sebagai suatu faktor penyebab potensial beberapa penyakit kardiovaskular.
Kondisi ini mencakup antara lain hipertensi, penyakit arteri koroner, infark
miokard,gagal jantung, dan stroke, dan hipertensi pulmonal
2
. Selain itu keadaan
hipersomnolen pada siang hari menyebabkan pasien OSA kehilangan kewaspadaan
yang dapat berakibat pada gangguan sosial, kecelakanan kerja dan kecelakaan lalu
lintas.
1
Melihat tingginya peningkatan resiko kardiovaskular dan serebrovaskular
akibat dari sleep apnea, maka diperlukan pembahasan mengenai sleep apnea. Berikut
akan dibahas mengenai mengenai tipe-tipe dari sleep apnea beserta gejala klinis,
diagnosis, patogenesis maupun penatalaksanaan yang mungkin dapat menambah
wawasan mengenai sleep apnea dan membantu praktisi kesehatan dalam melakukan
deteksi dini kejadian sleep apnea dan memahami patogenesis dan menatalaksana
pasien dengan sleep apnea.








BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obstructive sleep apnea (OSA)
2.1.1 Definisi
Obstructive sleep apnea (OSA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peristiwa kolapsnya saluran napas bagian atas secara periodik pada saat tidur yang
mengakibatkan apnea (penghentian aliran udara selama 10 detik sehingga
menyebabkan 2-4% penurunan saturasi oksigen) dan hipopnea (penurunan aliran
udara paling sedikit 30-50% penurunan saturasi oksigen ) atau keduanya dengan
periode antara 10 dan 30 detik , akibat adanya sumbatan total atau sebagian jalan
napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama non-REM atau REM
sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat, dan menyebabkan
pengurangan mendadak saturasi oksigen darah, dengan kadar oksigen jatuh sebanyak
40 persen atau lebih pada kasus yang berat.
4,5,6

OSA terjadi karena penyempitan berulang tenggorokan saat tidur baik
sebagian atau seluruhnya yang menghambat saluran udara
3.
Hal ini ditandai dengan
episode sering dari kolapsnya saluran udara bagian atas selama tidur, yang menyebabkan
arousals berulang, hipoksemia intermiten, fragmentasi tidur dan kualitas tidur yang buruk.
7
.
Penyumbatan ini bisa menyebabkan masalah pernapasan, atau bahkan dapat terjadi
henti napas untuk 10 sampai 20 detik atau lebih, dan berberapa kali setiap malam.
Gejala OSA dapat mencakup mendengkur keras, tersedak atau terengah-engah saat
tidur, tidur yang tidak nyenyak, dan mengantuk sepanjang hari.
3
Obstructive sleep
apnea (OSA) terjadi ketika otot-otot berelaksasi saat tidur sehingga menyebabkan
jaringan lunak di bagian belakang tenggorokan kolaps dan memblokir saluran udara
bagian atas
.4



2.1.2 Epidemiologi
OSA dapat terjadi dalam setiap kelompok umur, namun terjadi kenaikan
prevalensi antara usia pertengahan dan usia tua dengan prevalensi meningkat
setidaknya menjadi 1 dari 10 orang di antara orang yang berusia di atas 65 tahun
4,8.

Diperkirakan bahwa lebih dari 12 juta orang dewasa Amerika menderita obstructive
sleep apnea. Data lain menunjukkan sekitar 4 - 7% dari orang paruh baya menderita
onstruktif sleep apnea
9
. Obstructive sleep apnea lebih sering terjadi pada laki-laki,
dengan 1 dari 25 pria paruh baya yang menderita OSA dan 1 dari 50 wanita untuk
wanita paruh baya
8

Tingkat prevalensi pada orang dewasa dengan obstriktif sleep apnea
menujukan hasilnya berbeda di tiap negaranya (tabel 1)
7
. Namun dapat diperkirakan
sekitar 3 - 7 % untuk laki-laki dewasa dan 2-5 % untuk wanita orang dewasa pada
populasi umum Dengan demikian, dapat disimpulkan OSA lebih umum terjadi pada
pria, kira-kira 2 - 3 kali lipat dari perempuan
10
. Selain itu, prevalensi OSA pada etnis
caucasians dan asian kurang lebih menunjukan angka yang sama , hal ini menjelaskan
bahwa ini kejadian tidak hanya sering di negara maju tetapi juga di negara
bekembang
7


Tabel 1. Epidemiologi OSA
7

Obstructive sleep apnea juga menunjukan prevalensi yang berbeda
berdasarkan gejala yang muncul, misalnya OSA dengan gejala kantuk di siang hari
terjadi pada setidaknya 4% dari pria dan 2 % dari wanita sedangkan Sekitar 24 % dari
pria dan 9% dari wanita yang menderita OSA dengan atau tanpa kantuk di siang
hari. Walaupun kejadian OSA sudah menjadi pusat perhatian namun diperkirakan
sekitar 80 % sampai 90 % dari orang dewasa dengan OSA masih belum terdiagnosis
4

Kejadian OSA erat kaitannya dengan bebagai faktor risiko misalnya
termasuk kelebihan berat badan/obesitas (lebih dari setengah orang dengan OSA
kelebihan berat badan), saluran udara yang sempit, tekanan darah tinggi, leher tebal,
merokok, penggunaan alkohol, pengunaan obat penenang , atau adanya riwayat
penyakit dalam keluarga.
3
diperkitakan sekitar 70% dari pasien OSA dengan klinis
obesitas, sekitar 30% - 50% dari pasien dengan penyakit jantung, dan 60% dari
pasien yang menderita stroke
9


2.1.3 Etiologi, Faktor Resiko, dan Klasifikasi
Etiologi OSA adalah keadaan kompleks yang saling mempengaruhi berupa
neural, hormonal, muskular dan struktur anatomi yang menyebabkan kolapsnya
saluran nafas atas, contohnya : kegemukan terutama pada tubuh bagian atas
dipertimbangkan sebagai risiko utama untuk terjadinya OSA. Angka prevalensi OSA
pada orang yang sangat gemuk adalah 42-48% pada laki-laki dan 8-38% pada
perempuan. Penambahan berat badan akan meningkatkan gejala-gejala OSA.
11


Faktor risiko untuk terjadinya OSA :
4,5,7 12, 13, 14,

A. Terdapat tiga faktor risiko yang diketahui :
1. Umur : prevalensi dan derajat OSA meningkat sesuai dengan bertambahnya
umur sekitar 10% ada umur > 65 tahun. Kolompok beresiko menderita OSA
adalah pria paruh baya dan lebih tua dengan usia > 65 tahun, dan wanita
pasca-menopause.
2. Jenis kelamin : risiko laki-laki untuk menderita OSA adalah 2 kali lebih
tinggi dibandingkan perempuan sampai menopause, hal ini kemungkinan
dikarenakan laki-laki memiliki penumpukan lemak di sekitar saluran napas
faring yang lebih banyak dibandingkan dengan perempuan
3. Ukuran dan bentuk jalan napas :
a. Struktur kraniofasial (palatum yang bercelah, retroposisi mandibular).
b. Micrognathia (rahang yang kecil).
c. Macroglossia (lidah yang besar), pembesaran adenotonsillar.
d. Trakea yang kecil (jalan napas yang sempit).
e. Ukuran lingkar leher ( 17 inci atau lebih untuk pria, 16 inci atau lebih
untuk perempuan, atau >42,5 cm) berhubungan dengan peningkatan
AHI ) (5 dlam final edit).
f. Hipertropi tonsil, hipertropi konka, hipertropi adenotonsil
g. deviasi septum
h. Retrognathia ( rahang yang tertari kebelakang

B. Faktor risiko penyakit : Kegagalan kontrol pernapasan yang dihubungkan
dengan :
1. Emfisema dan asma.
2. Penyakit neuromuscular (polio, myasthenia gravis, dll).
3. Obstruksi nasal.
4. Kelainan endokrin ; Hypothyroid, akromegali , amyloidosis, paralisis pita
suara, sindroma postpolio, kelainan neuromuskular, Marfan's syndrome dan
Down syndrome.

C. Risiko gaya hidup :
1. Merokok
2. Kebiasaan mengkonsumsi alkohol
3. Kelebihan berat badan dan obesitas : pasien OSA adalah orang yang berbadan
gemuk yang setidaknya memiliki indeks massa tubuh (IMT) satu tingkat di
atas normal (IMT normal 20-25 kg/m2 yaitu dengan IMT mulai dari 25-29,9
dan obesitas dengan IMT mulai dari 30 dan di atas 30. Diperkirakan sekitar
30-60 % penderita OSA dengan kelebihaan berat badan. Obesitas dapat
mengubah volume dan bentuk anatomi, lidah dapat terangkat sehingga
mengurangi volume saluran napas atas).
5



Faktor-faktor risiko yang berperan pada OSA
Umum




Obesitas (IMT >30 kg/m2)
Gender (pria> wanita)
Riwayat OSA pada keluarga
Pasca-menopause
Genetik atau Kongenital


sindrom Down
sindrom Pierre-Robin
sindrom Marfan
Abnormalitas
hidung/faring


Rinitis
Polip nasi
Hipertrofi tonsil dan adenoid
Deviasi septum nasi
Penyakit lain Akromegali
Hipotiroidisme
Kelainan struktur saluran
napas atas




Lingkar leher >40cm
Abnormalitas sendi temporomandibula
Mikrognatia
Retrognatia
Makroglosia
Abnormalitas palatum
Kraniosinostosis
Tabel 2. Faktor risiko OSA
15


Klasifikasi derajat OSA berdasarkan nilai Apnea Hypopnea Index (AHI)
yang ditetapkan oleh The American Academy of Sleep Medicine. AHI adalah indeks
yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan dari sleep apneu berdasarkan
jumlah apnea dan hypopnea yang terjadi per jam atau dapat dirumuskan sebagai
tidur AHI didefinisikan sebagai jumlah apneas ditambah hypopneas dibagi dengan
waktu total tidur. AHI dikelompokan menjadi 3 golongan :
4,6,16

1. Ringan yaitu dengan nilai AHI 5-15/jam).
Biasanya manifestasi yang muncul berupa rasa kantuk selama kegiatan yang
memerlukan sedikit perhatian, seperti menonton TV atau membaca.
2. Sedang (nilai AHI 15-30/jam).
Biasanya manifestasi yang muncul berupa rasa kantuk selama kegiatan yang
membutuhkan perhatian, seperti pertemuan atau presentasi.
3. Berat (nilai AHI >30/jam).
Biasanya manifestasi yang muncul berupa rasa kantuk selama kegiatan yang
membutuhkan perhatian lebih aktif, seperti berbicara atau mengemudi.

2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Ada tiga faktor yang berperan pada patogenesis OSA: Pertama ; obstruksi
saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang yang
dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring, yang menyebabkan terhentinya
aliran udara, meskipun pernapasan masih berlangsung pada saat tidur. Sehingga
timbul apnea, asfiksia sampai periode arousal atau proses terbangun yang singkat dari
tidur dan terjadi perbaikan patensi saluran napas atas sehingga aliran udara dapat
diteruskan kembali. Dengan perbaikan asfiksia, penderita tidur kembali sampai
kejadian berikutnya terulang kembali. 5,17

Gambar 1. Obstruksi jalan napas pada pasien OSA
12

Faktor kedua adalah ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot dilator
faring (m. pterigoid medial, m. Tensor veli palatini, m. genioglosus, m. geniohiod,
dan m. sternohioid) yang berfungsi menjaga keseimbangan tekanan faring pada saat
terjadinya tekanan negatif intratorakal akibat kontraksi diafragma. Kelainan fungsi
kontrol neuromuskular pada otot dilator faring berperan terhadap kolapsnya saluran
napas. Defek kontrol ventilasi di otak menyebabkan kegagalan atau terlambatnya
refleks otot dilator faring, saat pasien mengalami periode apnea hipopnea.
5

Saluran napas atas kolaps jika tekanan faring negatif selama inspirasi melebihi
kekuatan stabilisasi otot dilator dan abduktor saluran napas atas. Beberapa penderita
dengan penyempitan saluran napas akibat mikrognatia, retrognatia, hipertropi
adenotosilar, magroglossia atau akromegali. Reduksi ukuran orofaring menyebabkan
complaince saluran napas atas meningkat sehingga cenderung kolaps jika ada tekanan
negatif .
17

Saat bangun, aktivitas otot saluran napas atas lebih besar dari normal,
kemungkinan kompensasi dari penyempitan dan tahanan saluran napas yang tinggi.
Aktivitas otot yang menurun saat tidur menyebabkan kolaps saluran napas atas
sewaktu inspirasi. Reduksi fisiologis aktivitas saluran napas atas terjadi selama tidur
REM. Alkohol dan obat sedatif menyebabkan depresi aktiviti otot saluran napas atas
sehingga terjadi kolaps
17

Beberapa penderita juga tampak obstruksi hidung, tahanan tinggi merupakan
predisposisi kolaps saluran napas atas karena tekanan negatif meningkat di faring saat
inspirasi menyebabkan kontraksi diafragma meningkat untuk mengatasi tahanan
aliran udara di hidung. Akhir obstructive apnea tergantung proses terbangun dari tidur
ke tingkat tidur yang lebih dangkal dan diikuti oleh aktiviti otot dilator dan abduktor
saluran napas atas dan perbaikan posisi saluran napas
17
.
Pada orang normal, ukuran dan panjang palatum lunak, uvula dan besar
lidah,saluran napas atas pada tingkat nasofaring, orofaring dan hipofaring ukuran dan
konturnya normal (gambar 1).
18



Gambar 2. Saluran napas atas normal dibandingkan dengan penderita mendengkur
17


Gambar 3. MRI Potongan Trasversal Faring pada orang normal dan orang dengan
OSA
29

Faktor ketiga adalah kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai
hipofaring yang dapat menyebabkan penyempitan pada saluran napas atas. Kelainan
daerah ini dapat menghasilkan tahanan yang tinggi. Tahanan ini juga merupakan
predisposisi kolapsnya saluran napas atas. Kolaps nasofaring ditemukan pada 81%
dari 64 pasien OSA dan 75% diantaranya memiliki lebih dari satu penyempitan
saluran napas atas.
5

Obesitas juga berperan dalam penyempitan jalan napas. Berat badan yang
berlebihan pada dinding dada dan disfungsi diafragma mengganggu upaya ventilasi
saat tidur dan jaringan lemak pada leher dan lidah menurunkan diameter saluran
napas yang merupakan predisposisi terjadinya penutupan prematur saat jaringan otot
relaksasi waktu tidur
17



Tabel 3. Faktor yang mempengaruhi patensi Faring
29

Periode apnea adalah terjadinya henti napas selama 10 detik atau lebih.
Periode hipopnea adalah terjadinya keadaan reduksi aliran udara sebanyak lebih-
kurang 30% selama 10 detik yang berhubungan dengan penurunan saturasi oksigen
darah sebesar 4%. Apnea terjadi karena kolapsnya saluran napas atas secara total,
sedangkan hipopnea kolapsnya sebagian, namun jika terjadi secara terusmenerus
dapat menyebabkan apnea.
19




2.1.5 Gejala Klinik
Manifestasi klinis dibedakan dalam dua kelompok yaitu kelompok dominan
neuropsikiatri dan perilaku dan kelompok dominan kardiorespirasi. Manifestasi klinis
tersering adalah neuropsikiatri dan perilaku dengan keluhan tersering rasa mengantuk
berat di siang hari. Gejala malam yang tersering adalah suara dengkuran keras yang
disebabkan jalan napas yang sempit. Akhir tiap episode apnea biasanya ditandai
dengan hembusan napas dengkuran keras yang diikuti gerakan tubuh, penderita tidak
menyadari tetapi dikeluhkan oleh teman tidurnya. Kadang penderita terbangun dan
tersedak, kurang udara atau insomnia, tidak nyenyak, disorientasi dan sakit kepala
dipagi hari.
20


Selain itu tanda dan gejala yang umum dihubungkan dengan kejadian OSA
dapat juga dikelompokan menjadi gejala malam saat tidur dan gejala saat pagi atau
siang
6

Gejala malam hari saat tidur
a. Mengeluarkan air liur saat tidur (Drooling / ngiler)
b. Mulut kering
c. Tidur tak nyenyak / terbangun saat tidur
d. Terlihat henti napas saat tidur oleh rekan tidurnya
e. Tersedak atau napas tersengal saat tidur
Gejala saat pagi atau siang hari
a. Mengantuk
b. Pusing saat bangun tidur pagi hari
c. Refluks gastroesofageal
d. Tidak bisa konsentrasi
e. Depresi
f. Penurunan libido
g. Impotensi
h. Bangun tidur terasa tak segar



Gejala klinis yang umum terjadi pada OSA tampak pada tabel 1
14,17

Gejala klinis Insidensi (%)
Suara dengkur 95
Mengantuk 75
Restless sleep 99
Mental abnormal 58
Perubahan personaliti 48
Impotensi 40
Sakit kepala siang hari 35
Nokturia 30
Enuresis tidak diketahui
Nocturnal choking tidak diketahui

Tabel 4 Gejala klinis pada OSA
14,17


Akibat gangguan pola tidur normal, penderita dengan apnea tidur sering
merasa mengantuk, gangguan konsentrasi dan aktivitas di siang hari. Termasuk
didalamnya depresi, iritabiliti, sulit belajar, gangguan seksual dan tertidur saat bekerja
atau saat menyetir kendaraan. Diperkirakan sampai 50% penderita apnea tidur
mempunyai tekanan darah tinggi meskipun tidak diketahui dengan jelas apakah
merupakanpenyebab atau efek apnea tidur. Risiko serangan jantung dan stroke
meningkat pada penderita apnea tidur.
21




2.1.6 Diagnosis
Diagnosis OSA ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola
tidur, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus.
Gabungan data yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat
mengarahkan kepada indikasi untuk melakukan pemeriksaan baku emas OSA
. 3, 5

Baku emas untuk diagnosis OSA adalah melalui pemeriksaan tidur semalam
dengan alat polysomnography / PSG. Parameter-parameter yang direkam pada
polysomnogram adalah electroencephalography (EEG), electrooculography
(pergerakan bola mata), electrocardiography (EKG), electromyography (pergerakan
rahang bawah dan kaki), posisi tidur, aktiviti pernapasan dan saturasi oksigen.

Variabel yang direkam pada polisomnografi
Stadium tidur
Upaya pernafasan
Aliran udara
Saturasi oksihemoglobin arteri
Posisi tubuh
Gerakan anggota badan
Irama dan denyut jantung

Tabel 5. Variabel yang direkam pada polisomnografi
6

Karakteristik OSA pada saat dilakukan PSGadalah penurunan saturasi oksigen
berulang, sumbatan sebagian atau komplit dari jalan napas atas (kadang-kadang pada
kasus yang berat terjadi beberapa ratus kali) yang disertai dengan 50% penurunan
amplitudo pernapasan, peningkatan usaha pernapasan sehingga terjadi perubahan
stadium tidur menjadi lebih dangkal dan terjadi desaturasi oksigen.
6




Gambar 4. Gambaran polisomnogram obstructive apnea dan central apnea
17


Sebelum dilakukan PSG, pasien akan diminta kesediaannya untuk mengisi
kuesioner Berlin, bertujuan untuk menjaring pasien yang mempunyai risiko tinggi
terjadi OSA. Kuesioner ini terdiri dari 3 bagian yaitu bagian pertama berisi tentang
apakah mereka mendengkur, seberapa keras, seberapa sering dan apakah sampai
mengganggu orang lain. Bagian kedua berisi tentang kelelahan setelah tidur, seberapa
sering merasakan lelah dan pernahkah tertidur saat berkendaraan. Bagian ketiga berisi
tentang riwayat hipertensi, berat badan, tinggi badan, umur, jenis kelamin dan Body
Mass Index (BMI). Seseorang dinyatakan berisiko tinggi OSA bila memenuhi paling
sedikit 2 kriteria di atas. Kuesioner ini mempunyai validiti yang tinggi.
7,12


Seseorang dikatakan menderita OSA jika terdapat :
22

1. Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan karena
sebab lain.
2. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun beberapa
kali ketika tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar, perasaan lelah
sepanjang hari dan gangguan konsentrasi.
3. Hasil PSG menunjukkan 5 jumlah total apnea ditambah terjadi hipopnea
per-jam selama tidur (AHI 5).
4. Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya.


Gambar 5 : Algoritma pemakaian portable polisomnografi untuk mendiagnosis OSA
6



2.1.7 Penatalaksanaan
Secara umum terapi untuk mengatasi gangguan tidur pada OSA dapat dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu :
6

1. Intervensi bedah : Pembedahan hidung; bedah plastik untuk palatum, uvula
dan faring; somnoplasty; trakeostomi.
2. Perubahan gaya hidup : Menurunkan berat badan; menghindari alkohol dan
obat-obatan pembantu untuk tidur; menghindari kelelahan yang sangat dan
mengkonsumsi kafein.
3. Alat-alat buatan : Alat untuk mereposisi rahang dan mencegah lidah jatuh ke
belakang (mempertahankan posisi lidah); cervical collars atau bantal; CPAP.

Penanganan OSA ringan dapat satu atau beberapa modalitas seperti oral
appliances, positive airway pressure devices, pembedahan. Sedangkan penanganan
pasien dengan OSA sedang dan berat yaitu penggunaan positive airway pressure
devices. Pasien yang tidak toleran dengan pemberian tekanan jalan napas positif atau
tidak adekuat dengan pemberian tekanan udara positif saja, dapat dianjurkan untuk
tindakan bedah.
23



Penatalaksanaan yang Berkaitan dengan Gaya Hidup
1. Perubahan gaya hidup
Perubahan gaya hidup sangat berperan dalam mengurangi beratnya gejala, seperti
:
23

Penurunan berat badan
Mengurangi konsumsi alkohol, khususnya sebelum tidur
Tidur dengan posisi miring (dibandingkan supine)
Good sleep hygiene
Pemakaian PAP yang sesuai dengan waktu tidur dan kamar tidur



2. Konsumsi alhohol.
Menghindari konsumsi minuman beralkohol, obat penenang, nikotin dan
kafein pada malam hari dapat memperbaiki tonus otot saluran napas atas dan
mekanisme pernapasan sentral
5

Kadar alkohol saat tidur (0,5-0,75 mL/kg) dapat meningkatkan resistensi
inspirasi selama stage 2 non-rapid eye movement (nREM) tidur pada laki-laki
muda normal. Efek terhadap pusat respirasi bervariasi tergantung dari metoda
pengukuran yang digunakan. Tekanan oklusi inspirasi yang diukur dengan
menilai otot-otot inspirasi, cenderung meningkat selama tidur setelah
mengkonsumsi alkohol. Namun demikian, respons ventilasi terhadap hiperkapnia
menurun pada banyak subjek dan respons terhadap hipoksia isokapnik bervariasi,
meningkat pada sebagian subjek. Mendengkur kemungkinan terjadi karena
resistensi inspirasi yang tinggi selama tidur.
23

3. Obesitas
Penelitian epidemiologik menunjukkan ada hubungan kuat antara obesitas dan
OSA. Namun demikian, secara kausal hubungan antara berat badan berlebih dan
sleepdisordered breathing masih sulit ditemukan. Insidens OSA diantara pasien
obese adalah 12 sampai 30 kali lebih tinggi dibandingkan populasi lain dan
pasien ini dapat bariatric surgery, meskipun rekurensi jangka panjang
kemungkinan dapat terjadi. Pendekatan baik bedah maupun bukan bedah untuk
menurunkan berat badan telah dilakukan, meskipun kebanyakan penelitian
mempunyai banyak keterbatasan.
23
Lingkar leher, merupakan prodiktor kuat untuk sleep-disordered breathing
diantara beberapa penelitian antropomorfik, sehingga obesitas tubuh bagian atas,
dibandingkan dengan distribusi lemak tubuh secara keseluruhan, lebih
berpengaruh terhadap terjadiny OSA. Penurunan berat badan harus dianjuran
pada pasien OSA, termasuk juga mereka yang dengan peningkatan berat badan
sedang. Kombinasi diet sangat rendah kalori dengan pengaturan kebiasaan adalah
aman dan hemat sebagai penanganan utama OSA.
24


4. Posisi Tubuh
Posisi supine merupakan posisi yang efektif untuk menurunkan AHI pada banyak
pasien. Ada beberapa alat bantu guna mempertahankan posisi tubuh lateral. Nilai
Apnea- Hyponea Index (AHI) pada pasien dengan posisi tidur apneik dianalisis
dengan tahapan tidur (sleep stage) untuk menentukan apakah perbedaan posisi
mempengaruhi nREM. Perbedaan beratnya apnea dikaitkan dengan posisi tidur
didapatkan menetap pada REM sehingga penanganan posisi tidur perlu
dipertimbangkan.
10
Hasil penelitian menunjukkan meskipun pasien dengan OSA
berat memiliki jumlah apneik yang banyak pada posisi supine dan lateral,
kejadian apneik lebih berat pada posisi tidur supine daripada tidur lateral.
6,23


Penatalaksanaan OSA Ringan, Sedang dan Berat
1. CPAP
Positive airway pressure (PAP) diketahui merupakan terapi baku emas
untuk OSA. Bentuk umum dari PAP adalah continuous positive airway pressure
(CPAP). Alat ini dapat digunakan melalui masker nasal, masker oral atau
variasivariasi lain. Sullivan dkk melaporkan penggunaan nasal CPAP sebagai
terapi OSA. Konsep CPAP antara lain bekerja melalui tekanan positif di jalan
napas atas pada tingkat yang konstan atau berfungsi untuk menjaga jalan napas
atas tetap paten / terbuka selama tidur dan mempertahankan volume paru
sehingga membantu faring tetap paten. Hal tersebut dapat mencegah terjadinya
apnea dan dapat mengeliminasi kejadian mendengkur. Terapi menggunakan
CPAP akan meningkatkan kualiti hidup dan menurunkan tekanan darah. Terapi
ini dianggap efektif untuk pasien OSA sehingga merupakan terapi lini pertama
dan pilihan utama serta merupakan terapi seumur hidup karena jika pasien
menghentikan pemakaian CPAP maka gejala-gejala OSA akan terulang kembali.
11,23.

Kelemahan CPAP adalah adanya rasa tidak nyaman pada saat
penggunaannya, adanya rasa claustrophobia, sakit kepala, rinitis, iritasi wajah
dan hidung serta aerofagia.
3,4,16

Tekanan CPAP umumnya diatur secara manual dan dititrasi selama
polisomnogram, hingga didapatkan tekanan yang tepat untuk mengatasi episode
apneik dan hipopneik pada semua tahap tidur dan posisi tubuh, mengurangi
fragmentasi tidur, snoring dan desaturasi oksigen, yang pada akhirnya
memperbaiki kehidupan sehari-hari. AutoPAP (AutoPAP, Self-Titrating CPAP,
Auto- Adjust CPAP) dapat dapat pula digunakan untuk mendapatkan tekanan
CPAP yang efektif.
23

Tanda keberhasilan terapi OSA adalah pasien OSA dapat tidur lebih baik,
merasa lebih segar pada waktu bangun tidur dan terjadi penurunan tekanan darah
serta menghilangkan gejala-gejala OSA. Pasien-pasien OSA yang mendapatkan
terapi OSA merasakan peningkatan dalam hal : vitaliti dan motivasi, kinerja
dalam bekerja, mood, kendali dan tindakan yang berkenaan dengan seks,
kewaspadaan saat mengendarai kendaraan dan kualiti hidup.
6,23

Keberhasilan dari terapi ini sangat bergantung pada kepatuhan pasien
untuk menggunakan alat tersebut, sehingga alat ini menjadi kurang efektif jika
tidak digunakan secara teratur. Variabel-variabel seperti umur, jenis kelamin,
tingkat keadaan mengantuk pada siang hari dan tingkah laku yang berhubungan
dengan penggunaan CPAP merupakan faktor-faktor penentu terhadap kepatuhan
menggunakan CPAP.
11,23

Sebaliknya, jika terjadi kegagalan pada penggunaan CPAP akan
meningkatkan salah satu risiko yang berkaitan dengan OSA yang tidak diobati,
yaitu: hipertensi (OSA meningkatkan risiko sebanyak 5 kali untuk terjadi
hipertensi), stroke dan Congestive heart failure (CHF).
11,25


2. Bi-level PAP
Bi-level PAP merupakan suatu alat Bantu resprasi noninvasif yang
mengalirkan tekanan inspirasi (IPAP) dan ekspirasi (EPAP) yang berbeda
kepada pasien yang bernapas spontan untuk menjaga jalan napas atas tetap
terbuka. Dengan mengalirkan tekanan rendah selama fase ekspirasi, tekanan
total yang ada di jalan napas kemudian dapat diturunkan sehingga mendekati
pernapasan normal. Bi-level memiliki aliran tambahan untuk mendapatkan
ventilasi yang diingingkan pada pasien dengan berbagai masalah respirasi dan
telah digunakan pada terapi OSA. Keuntungan metode ini adalah menurunkan
kerja pernapasan (work of breathing), menurunkan rerata tekanan. Karenanya
bilevel dapat digunakan pada pasien OSA yang tidak toleran terhadap CPAP
atau AutoPAP. Metode ini baik untuk pasien PPOK eksaserbasi berulang atau
PPOK berat atau sindroma hipoventilasi, terutama yang menglamai
hiperkapnia. Biarpun demikian pengunaan bi-level sebagai terapi awal OSA
tidak dianjurkan, karena metoda ini tidak lebih baik dibandingkan CPAP.
Kalaupun digunakan, tekanan IPAP dan EPAP harus diatur secara manual
selama pemeriksaaan polisomnogram dan kebanyakan pasien dapat CPAP ini
jika titrasi bertulang ternyata memperbaiki sleep-disordered breathing dengan
mengatur tekanan.
23

3. Oral Appliances
Oral appliances dianjurkan pada pasien OSA ringan yang tidak respons
dengan melakukan perbaikan gaya hidup atau yang yang tidak tidak toleran
dengan pemberian tekanan positif jalan napas. Mandibular repositioning devices
dapat memberikan keberhasilan pada pasien OSA ringan dengan obstruksi di
orofarings dan dasar lidah. Tongue retaining devices dapat menolong pasien
dengan keterbatasan atau hilangnya natural dentition, kelainan
temporomandibular dan keterbatasan membuka mulut. Mandibular repositioning
devices ini bekerja dengan meningkatkan ukuran jalan napas faringeal atau
dengan dengan kata lain menurunkan kolaps. Penelitian menyimpulkan bahwa
penggunaan alat ini memberikan keberhasilan menurunkan nilai AHI (45%)
tetapi kurang efektif dibandingkan CPAP hidung (menurunkan nilai AHI 70%).
14,23

Pasien lebih menyukai terapi dengan mandibular repositioning device
daripada CPAP hidung. Keberhasilan metoda ini sekitar 50% sampai 80%.
Perbaikan metode pengobatan ini selama beberapa tahun terakhir berkaitan
dengan desain, bahan dan dapat diatur, selain tu metoda ini memberikan
keuntungan karena tidak invasif, mudah dibuat dan dapat diterima pasien.
14,23

4. Tindakan bedah
Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki volume dan
bentuk saluran napas atas. Indikasi harus jelas dan dipersiapkan dengan baik.
Indikasi ; pembedahan OSA adalah AHI 20x/jam, saturasi O2 <90%, tekanan
esofagus di bawah -10 cmH2O, adanya gangguan kardiovaskuler (seperti aritmia
dan hipertensi), gejal neuropsikiatri, gagal dengan terapi non-bedah dan adanya
kelainan anatomi yang menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak ada satu teknik
yang benar-benar baik untuk OSA
5,23

Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP) merupakan salah satu teknik operasi
dengan melakukan eksisi pada margo inferior palatum mole termasuk uvula dan
tonsil. Menurut penelitian meta-analisis yang pernah dilakukan, dinyatakan
UPPP secara signifikan dapat menurunkan AHI dan meningkatkan saturasi
oksigen. UPPP kurang efektif pada pasien usia lanjut dan IMT yang tinggi.
Genioglosus advancement dapat memperbaiki obstruksi retroglosal. Teknik
ini dilakukan pada pasien dengan AHI >30 yang disebabkan oleh obstruksi pada
dasar lidah. Keberhasilan teknik ini dalam memperbaiki AHI dan saturasi
oksigen mencapai angka 66-85%.
5,14

Teknik maksila-mandibular osteotomi dapat dilakukan pada pasien yang
tidak mengalami kemajuan pasca-UPPP dan genioglosus advancement setelah
dievaluasi selama enam bulan dengan PSG. Teknik inimempunyai angka
keberhasilan 97-100% dalam menurunkan AHI dan meningkatkan saturasi
oksigen darah.
5,23

Muskukus genioglosus, geniohioid dan konstriktor faringeal media
berinsersi pada os hioid. Obstruksi yang terjadi pada hipofaring dapat diperbaiki
dengan teknik operasi miotomi hioid dengan suspensi.
5

Laser-assisted uvuloplasty (LAUP) adalah teknik yang mirip seperti UPPP,
namun menggunakan laser (CO2, argon). Teknik ini dapat dilakukan dengan
anastesi lokal dalam 1-3 sesi rawat jalan. LAUP tidak direkomendasikan pada
pasien yang memiliki obstruksi pada daerah tonsil, penebalan mukosa faring,
hipertrofi tonsil dan AHI >30. LAUP sudah sekarang jarang dikerjakan.
3,5,12
.
Teknik operasi lain adalah radiofrequency ablation (RA) palatum.
Indikasinya untuk pasien dengan obstruksi daerah palatum dan AHI <15. Angka
keberhasilan RA palatum dalam mengeliminasi keluhan mendengkur dan
memperbaiki nilai ESS mencapai 75%, namun tidak mengubah nilai AHI.
5
.


Gambar 6. Algoritma penatalaksanaan OSA ringan, sedang dan berat
23



2.1.8 Prognosis dan Komplikasi

Konsekuensi yang didapat jika OSA tidak diobati dapat dibagi menjadi 2 kategori
yaitu :
25,26,27,28

1. Gangguan tidur : penampilan yang buruk dalam mengerjakan pekerjaan,
menurun daya ingat jangka pendek, kecelakaan kerja dan kendaraan bermotor
(pasien OSA memiliki risiko 15 kali lebih sering mendapat kecelakaan
kendaraan bermotor dibandingkan pada populasi umumnya), kehilangan
energi sepanjang hari, sakit kepala pada pagi hari, penambahan berat badan,
gangguan mood dan depresi, impotensi dan penurunan hubungan seksual.
2. hipertensi (pada 50% pasien OSA) yang jika OSA tetap tidak ditangani maka
kejadian hipertensi akan meningkatkan risiko untuk terjadinya serangan
jantung atau stroke), aritmia jantung, dan stres pada sistem kardiovaskular
karena OSA menyebabkan jantung dan paru bekerja lebih keras. Hipertensi
yang terjadi pada pasien yang tidak terdiagnosa ataupun tidak mendapat
pengobatan OSA dapat menjadi sulit diatasi, dan berbagai konsekuensi yang
akan terjadi. Hal ini mengharuskan pengobatan OSA yang efektif akan
memperbaiki dan terkontrolnya tekanan darah pada beberapa pasien.

2.2 Central Sleep Apnea (CSA)
CSA lebih jarang didapatkan dibanding OSA. Istilah CSA mencakup
sekelompok heterogen dari sleep-related breathing disorders dimana usaha
pernapasan hilang pada fase intermiten. Apnea yang terjadi sebagai akibat hilangnya
rangsangan impuls saraf dari system pusat pernapasan pada otot pernapasan. Pada
banyak kasus, CSA dihubungkan dengan OSA atau disebabkan oleh kondisi medis
yang mendsarinya, Untuk membedakan dengan OSA diperlukan pemeriksaan
polisomnogram.

2.2.1 Epidemiologi
Predominan CSA tidak biasa terjadi dan terlihat pada lebih kurang 10% pasien
yang dilakukan PSG. Pada umumnya, prevalensi CSA <1%. Dilaporkan, CSA
terdapat pada 25 40% pasien dengan gagal jantung dan 10% pasien dengan
stroke. Pasien yang menderita gagal jantung dan CSA memiliki mortalitas yang
lebih tinggi dibandingkan yang tidak menderita gagal jantung. CSA lebih
dominan terjadi pada laki-laki dan jarang terjadi pada wanita premenopause.
CSA paling banyak terjadi pada usia pertengahan atau lansia dan meningkat
pada usia lebih dari 60 tahun.

2.2.2 Penyebab CSA
a. Neurologik
Gangguan pada kemoreseptor CO di medulla oblongata, kerusakan medulla
oblongata karena infeksi ensefalitis, disfungsi saraf otonom (Sindrom Shy-
Drager),
distrofi muscular otot dada (Duchene Muscular Dystrophy).
b. Pernapasan Cheyne-Stoke: gagal jantung kongestif, lesi bilateral saraf pusat,
ketinggian ekstrim (lebih dari 3000 m dari permukaan laut).
c. Sindrom CSA idiopatik: CSA hiperkapnea (gagal napas), CSA
nonhiperkapnea (hipersomnolen).

2.2.3 Patofisiologi
Pengetahuan mengenai mekanisme pengaturan ventilasi normal sangat
penting untuk dapat mengerti patofisiologi CSA. Ventilasi normal diatur secara
ketat untuk mempertahankani level oksigen di arteri (PaO2) dan PaCO2 dengan
jarak dekat. Hal ini dicapai dengan mekanisme feedback yang mempengaruhi
kemoreseptor perifer dan sentral, reseptor vagal intrapulmonal, pusat
pernapasan di batang otak, dan otot-otot pernapasan. Selama terjaga sinyal dari
area cortical otak mempengaruhi respirasi, mekanisme tersebut disebut kontrol
perilaku.
Banyak rangsangan non kimia, yang meliputimekanorespiratori pulmo
dan stimulasi perilaku atau terjaga, yang dikenal untuk memodulasi fenomena
ini. Selama tidur, pengaturan perilaku hilanng dan pengaturan secara kimiawi
merupakan mekanisme utama untuk pengaturan ventilasi, PaCO2 termasuk
stimulus mayor untuk ventilasi. CSA paling sering terlihat selama gerakan mata
lambat (NREM) saat tidur, saat pengaruh perilaku hilang, diikuti oleh gerakan
mata cepat (REM) saat tidur, sementara orang yang sepenuhnya terjaga tidak
mungkin menunjukkan manisfestasi tersebut. Meskipun perubahan ini,
pengaturan ventilasi selama tidur tetap sama dengan yang selama terjaga.
2.2.4 Manajemen CSA
Manajemen lebih ditujukan pada penyebab utama dari CSA. Prinsipnya
adalah merangsang terjadinya impuls pernapasan, memberikan ventilasi yang
adekuat, dan tidak menggunakan obat sedative. Pengobatan CSA dapat dimulai
dengan oksigen nasal sampai dengan intermitten positive pressure ventilation
(IPPV). CPAP dapat digunakan pada pengobatan CSA idiopatik.


























BAB III
KESIMPULAN

Sleep apnea adalah kondisi dimana timbulnya episode abnormal pada
frekuensi nafas yang berhubungan dengan penyempitan saluran nafas atas pada
keadaan tidur yang dapat berupa henti nafas (apnea) atau menurunnya ventilasi
(hypopnea) . Sleep apneu ditandai oleh terhentinya aliran udara di hidung dan mulut
pada saat tidur dan lamanya lebih dari lebih dari 10 detik, terjadi berulang kali, dapat
mencapai 20-60 kali per jam, dan disertai dengan penurunan saturasi oksigen lebih
dari 4%. Obstructive sleep apnea (OSA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
peristiwa kolapsnya saluran napas bagian atas secara periodik pada saat tidur yang
mengakibatkan apnea dan hipopnea atau keduanya dengan periode antara 10 dan 30
detik , akibat adanya sumbatan total atau sebagian jalan napas atas yang terjadi
secara berulang pada saat tidur selama non-REM atau REM.
OSA dapat terjadi dalam setiap kelompok umur, namun terjadi kenaikan
prevalensi antara usia pertengahan dan usia tua dengan prevalensi meningkat
setidaknya menjadi 1 dari 10 orang di antara orang yang berusia di atas 65 tahun.
CSA lebih dominan terjadi pada laki-laki dan jarang terjadi pada wanita
premenopause, pada usia lebih dari 60 tahun. Etiologi OSA adalah keadaan kompleks
yang saling mempengaruhi berupa neural, hormonal, muskular dan struktur anatomi
yang menyebabkan kolapsnya saluran nafas atas. Faktor risiko untuk terjadinya OSA
meliputi umur, jenis kelamin, ukuran dan bentuk jalan nafas, penyakit lain seperti
emfisema, asma, kelainan endokrin, penyakit neuromuskular, dan terkai gaya hidup
seperti merokok,mengkonsusi alkohol dan kelebihan berat badan.
Klasifikasi derajat OSA berdasarkan nilai Apnea Hypopnea Index (AHI)
yang ditetapkan oleh The American Academy of Sleep Medicine dikelompokan
menjadi 3 golongan yaitu, ringan (nilai AHI 5-15/jam), sedang (nilai AHI 15-30/jam)
dan berat (nilai AHI >30/jam).
Faktor yang berperan pada patogenesis OSA yaitu obstruksi saluran napas
daerah faring akibat pendorongan lidah dan palatum ke belakang yang dapat
menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring, ukuran lumen faring, dan kelainan
kraniofasial mulai dari hidung sampai hipofaring. Tanda dan gejala yang umum
dihubungkan dengan kejadian OSA dapat juga dikelompokan menjadi gejala malam
saat tidur dan gejala saat pagi atau siang.
Diagnosis OSA ditegakkan dengan melakukan anamnesis mengenai pola
tidur, pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang khusus.
Gabungan data yang akurat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik dapat
mengarahkan kepada indikasi untuk melakukan pemeriksaan baku emas OSA berupa
pemeriksaan tidur semalam dengan alat polysomnography / PSG. Terapi untuk
mengatasi gangguan tidur pada OSA dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu intervensi
bedah berupa pembedahan hidung; bedah plastik untuk palatum, uvula dan faring;
somnoplasty; trakeostomi, perubahan gaya hidup berupa menurunkan berat badan;
menghindari alkohol dan obat-obatan pembantu untuk tidur; menghindari kelelahan
yang sangat dan mengkonsumsi kafein, dan pengunanaan alat-alat buatan yaitu alat
untuk mereposisi rahang dan mencegah lidah jatuh ke belakang (mempertahankan
posisi lidah); cervical collars atau bantal; CPAP.



















DAFTAR PUSTAKA
1. Sumardi. Hisjam, Barwani. Ryanto, Bambang Sigit. Budiono, Eko.Sleep
Apnea ( Ganguan Bernafas saat Tidur. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam.Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi IV. FKUI. 2006.hlm .2347-2352

2. Anthariksa, Budi. Dkk. Obstructive Sleep Apnea (OSA) dan Penyakit
Kardiovaskular. 2009. Dept Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi,
FKUI RS Persahabatan dan Dept Kardiologi dan Ilmu Kedokteran Vaskular,
FKUI RSPN Jantung Harapan Kita.
http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/OSA%20JANTUNG.pdf. Diakses 20
Februari 2014


3. American Lung Association State of Lung Disease in Diverse Communities.
Obstructive Sleep Apnea or Sleep-Disordered
Breathing.http://www.lung.org/assets/ documents /publications/solddc-
chapters/osa.pdf. Diakses 20 Februari 2014

4. American Academy of Sleep Medicine. Obstruktif Sleep Apnea. http://www
.aasmnet.org/resources/factsheets/sleepapnea.pdf. Diakses 29 Agustus 2013
5. Cahyono, Arie. Dkk. Hubungan Obstructive Sleep apnea dengan Penyakit
Kardiovaskular. Departemen Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit dr.Cipto
Mangunkusumo Jakarta Indonesia. http://www.perhati.org/wp-
content/uploads/2011/11/Final-edit-nadya-Hubu ngan-obstructive-sleep-apnea-
_2_.pdf. Diakses 20 Februari 2014

6. Anthariksa, Budi. Obstruktive Sleep Apnea (OSA). Department Pulmonologi
&Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. 2010.
http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10
/EDITORIAL%20Obstructive%20Sleep%20Apnea.pdf. Diakses 1 Maret 2014.


7. Lam, Jamie C.M. Sharma , S.K. Lam , Bing. Obstructive sleep apnoea:
Definitions, epidemiology & natura history. 2010. Indian J Med Res 131.
http://icmr.nic.in/ijmr/2010/february/0206.pdf. Diakses 1 Maret 2014.




8. National Heart, Lung and Blood Institute. Sleep Apnea: What is Sleep Apnea?
May 2009. Available at
http://www.nhlbi.nih.gov/health/dci/Diseases/SleepApnea/Sleep
Apnea_WhoIsAtRisk.html. Accessed July 16, 2009.

9. Brown , J.R. Obstructive Sleep Apnea. http://www.faa.gov/pilots/safety/
pilotsafet ybrochures/media/Sleep_Apnea.pdf. Diakses 1 Maret 2014.


10. Punjabi NM. The epidemiology of adult obstructive sleep apnea. Proc Am
Thorac Soc 2008; 5 : 136-43.

11. Dixon JB, Schachter LM, OBrien PE. Sleep disturbance and obesity. Arch
Intern Med 2001;161:102-6.


12. Madani M. Snoring and obstructive sleep spnea. Arch of Iranian Med 2007;
10(2):215-26.

13. JA , Rowley. Et All.. Patient Information Series : What is Obstructive Sleep Apneu In
Adult?. 2009. American Thoracic Society. 9.
http://patients.thoracic.org/information-series/en/resources/obstructive-sleep-
apnea.pdf. Diakses 1 Maret 2014.


14. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of Obstructive Sleep
Apnoea/Hypopnoea Syndrome in Adults. 2003.
http://www.sign.ac.uk/pdf/sign73.pdf Diakses 11 Maret 2014.

15. Arter JL, Chi DS, Girish M, Fitzgerald SM, Guha B, Krishnaswamy G.
Obstructive sleep apnea, inflamation and cardiopulmonary disease. Frontiers in
Bioscience 2004; 9:2892-900.


16. A,Carlos. Edgardo, Nigro. Rhodius, E. Effect of The Definition of Hypopnea
On Apnea On Apnea/ Hypopnea Index. 2003. Medicina Volumen 63 N
o
2.


17. Anthariksa, Budi. Patogenesis, Diagnostik dan Skrining OSA (Obstructive
Sleep Apnea). Kepala Sleeplab RS Persahabatan Dept Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi RS Persahabatan-FKUI Jakarta.
http://jurnalrespirologi.org/jurnal
/Jan10/OSA%20Diagnosis,patogenesis,skrining.pdf. Diakses 11 Maret 2014.

18. Sleep apnea and snoring. Available at: http://www.The silencer.com. Accessed
on june 19th,2005.


19. Caples SM, Gami AS, Somers VK. Obstructive sleep apnea, physiology in
medicine: a series of articles linking with science. Ann Intern Med 2005;
142:187-97.

20. Schwab RJ, Pasirstein M, Pierson R et al. Identification of upper airway
anatomic risk factors for obstructive sleep apnea with volumetric magnetic
resonance imaging. Am J
Respir crit care med 2003;168:522-30.

21. Ovid, Roux. Sleep related breathing disorder and cardiovascular disease. Am J
med 2000;108:396-402.

22. Hiestand DM, Britz P, Goldman M, Phillips B. Prevalence of sleep apnea in
the US population. Chest 2006; 130:780-6.


23. Prasenohadi. Penatalaksaan Obstructive Sleep Apnea. Departemen
Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, RS Persahabatan, Jakarta. 2010.
http://jurnalrespirologi.org/jurnal/Jan10/OSA-prasenohadi.pdf. Diakses 11
Maret 2014.

24. Lojander J, Mustajoki P, Rnk S, Mecklin P, Maasilta P. A nurse-managed
weight reduction program for obstructive sleep apnoea syndrome. J Int Med
1998;244:251-5.


25. Klink M, Quan SF. Prevalence of reported sleep disturbances in a general adult
population and their relationship to obstructive airways diseases. Chest1987;
91:540-6.


26. Drazen JM. Sleep apnea syndrome. N Engl J Med 2002; 346: 390-5.

27. Aloia MS, Stanchina M, Arnedt JT, Malhotra A, Millman RP. Treatment
adherence and outcome in flexible vs standard continuous positive airway
pressure therapy. Chest 2005;127;2085-93.


28. Gibson GJ. Obstructive sleep apnea syndrome: underestimated and
undertreated. British medical bulletin 2004;72:49-64
M. Ryan , Clodagh dan Bradley , T. Douglas . Pathogenesis of obstructive
sleep apnea. 2005 J Appl Physiol 99: 24402450,
http://jap.physiology.org/ content/99/ 6/2440. full.pdf+html. Di akses 11
Maret 2014

También podría gustarte