Está en la página 1de 8

OPTIMALISASI PAJAK DAERAH

Dalam konsep otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki peran penting dalam
mengatur dan mengurus rumah tangga daerah termasuk pengelolaan keuangan daerah, seperti
yang tertuang dalam UU No 32 dan 33 tahun 2004. Dengan lahirnya peraturan otonomi daerah
tersebut pemerintah daerah diharapkan untuk lebih mampu menggali potensi sumber-sumber
penerimaan daerah dalam membiayai segala aktivitas pembangunan daerah melalui peningkatan
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Peningkatan sumber penerimaan PAD tersebut dapat dilakukan
diantaranya melalui intensifikasi dan ekstensifikasi pajak dan retribusi daerah.
Dengan demikian perlu dilakukan identifikasi optimalisasi potensi pajak daerah dengan
evaluasi permasalahan yang selama ini terjadi, sehingga pada gilirannya dapat dirumuskan
kebijakan pemerintah yang lebih sesuai dan tepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis
pajak yang sangat tidak berpotensi di bebrapa kabupaten dengan tolak ukur hasil (yield) adalah
pajak hotel dan restoran, pajak hiburan, pajak reklame dan pajak penerangan jalan. Sedangkan
pajak yang sangat berpotensi adalah pajak galian golongan C. Penilaian persepsi masyarakat
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi optimalisasi penerimaan pajak daerah adalah faktor
kelembagaan sebesar 55% dengan kriteria faktor adalah masih rendahnya law of enforcement
terhadap tindakan penyalahgunaan penerimaan pajak dan masih lemahnya sistem administrasi
dalam pengelolaan penerimaan pajak daerah. Rekomendasi kebijakan adalah pentingnya
pengelolaan pajak daerah yaitu 62% melalui peningkatan inovasi dalam sistem pemungutan
pajak dan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan dan pelatihan.

Pelaksanaan UU No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan UU No 25 tahun 1999
tentang desentralisasi fiskal, kemudian direvisi oleh UU No 32 tahun 2004 dan UU No 33 tahun
2004 tentang hal yang sama, telah menyebabkan perubahan mendasar mengenai hubungan antara
pusat dan daerah khususnya dalam hubungan keuangan antara pusat dan daerah yang lebih
dikenal dengan otonomi daerah. Dalam konsep otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki
peran penting dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah termasuk pengelolaan
keuangan daerah. Pemerintah daerah diharapkan untuk lebih mampu menggali potensi sumber-
sumber penerimaan daerah dalam membiayai segala aktivitas pembangunan daerah melalui
peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Berkaitan dengan peningkatan PAD, pemerintah daerah dapat meningkatkan melalui
usaha intensifikasi dan ekstensifikasi sumber penerimaan PAD. Identifikasi pajak perlu
dilakukan untuk mengoptimalkan pemberdayaan masyarakat melalui prinsip keadilan, demi
tercapainya kemakmuran masyarakat di daerah itu sendiri. Dengan prinsip tersebut paradigma
negatif mengenai pelaksanaan otonomi daerah, bahwa masyarakat adalah beban pembangunan,
dapat diminimalisir. Pandangan bahwa masyarakat adalah obyek pembangunan harus diubah
menjadi subyek utama pembangunan daerah. Pada era desentralisasi fiskal dan otonomi daerah,
kemandirian daerah dalam mengelola keuangan daerah akan semakin penting. Kemandirian ini
berupa kemandirian dalam perencanaan maupun dalam pengelolaan sumber-sumber keuangan
daerah. Kemandirian yang tinggi akan memperkuat ketahanan ekonomi daerah dalam
menghadapi gejolak perekonomian nasional maupun internasional yang pada akhirnya
mempengaruhi besar-kecilnya penerimaan bantuan dari pusat.
Kemandirian dalam pengelolaan PAD merupakan kunci kemandirian daerah. Sumber
PAD yang berasal dari pajak dan retribusi daerah masih terbuka luas untuk dikembangkan. Di
kebanyakan kabupaten/kota, PAD hanya menyumbang 5 9 persen dari penerimaan APBD
kota/kabupaten, hanya beberapa kota/kabupaten saja yang memiliki PAD lebih dari 10 persen.
Menurut Kuncoro (2004), beberapa daerah memiliki prosentase penerimaan PAD sangat kecil
dibandingkan penerimaan dari sektor fiskal lainnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa
pemerintah daerah kurang mampu mendayagunakan potensi daerah dalam membangun
daerahnya sendiri. Belum tercapainya realisasi pajak dalam memenuhi target yang ditetapkan
menjadi permasalahan utama yang penting untuk diidentifikasi penyebabnya. Beberapa faktor
yang menyebabkan belum tergalinya potensi pajak antara lain masih rendahnya kepatuhan wajib
pajak, lemahnya system hukum dan administrasi pendapatan daerah, kelemahan aparatur,
kelemahan administrasi dan kesadaran dari wajib pajak yang masih rendah. Untuk mengatasi
kekurangan tersebut, penerimaan pendapatan daerah dapat ditingkatkan dengan melakukan
pembenahan administrasi seperti data base, perluasan basis, intensifikasi wajib pajak serta
meningkatkan kualitas aparat. Oleh karena itu perlu dilakukan perhitungan potensi pajak dan
kebijakan yang tepat dan benar dalam mengoptimalisasikan penerimaan pajak. Dengan
pengetahuan yang benar mengenai potensi pajak ini, pemerintah daerah mempunyai arahan,
petunjuk, target dan sasaran perkiraan dalam merealisasikannya.

Tinjauan Teoritis
1. Transformasi Otonomi Daerah di Indonesia

UU No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu landasan yuridis bagi
pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Dalam UU ini disebutkan bahwa pengembangan
otonomi pada daerah kabupaten/kota diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip
demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah. Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten/kota dilaksanakan
dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada pemerintah
daerah secara proporsional. Artinya, pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh pengaturan
pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
Setidaknya ada 5 pemikiran besar dalam pembentukan UU No. 22 Th. 1999. Pertama,
sebagai upaya mewujudkan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggaraan otonomi daerah
dengan memberikan keleluasaan kepada daerah untuk menjadikan daerah otonom yang mandiri
dalam rangka menegakkan sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut
UUD 1945. Kedua, penyelenggaraan otonomi yang luas yang dilaksanakan di atas prinsip-
prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan
potensi dan keanekaragaman daerah. Ketiga, meningkatkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) sebagai badan legislatif daerah dan badan pengawas sebagai sarana
pengembangan demokrasi. Keempat, untuk mengantisipasi perkembangan keadaan, baik di
dalamnegeri maupun tantangan persaingan global yang mau tidak mau pengaruhnya akan
melanda ke daerah. Kelima, untuk mendudukkan kembali posisi desa atau dengan nama lain
kesatuan masyarakat hukum yang terendah yang memiliki hak asalusul dan otonomi asli yang
diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan RI. (Koswara, 1999).

2. Kebijaksanaan Pemerintah Kabupaten dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah
Penyelenggaraan otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 Th. 1999 tentang Pemerintahan
Daerah sebagai pengganti UU No. 5 Th. 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,
telah membawa perubahan dalam penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan daerah
provinsi/kota/kabupaten. Otonomi daerah, yang sedang dilaksanakan dewasa ini, sebagai salah
satu bentuk reformasi penyelenggaraan pemerintah daerah provinsi/kota/kabupaten, dilakukan
oleh pemerintah pusat sebagai jawaban terhadap tuntutan masyarakat. Reformasi ini pada
hakekatnya bertujuan untuk memberdayakan pemerintah daerah provinsi/kota/kabupaten dalam
mengurus dan menyelenggarakan urusan-urusan rumahtangganya sendiri dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mengurus dan menyelenggarakan urusan rumahtangga
daerah provinsi/kota/kabupaten yang meliputi tugas pemerintahan umum, pembangunan dan
pembinaan kemasyarakatan pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota, menurut UU No. 33 Th.
2004 Pasal 79 memiliki sumber-sumber pembiayaan yang terdiri dari:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD):
1) Hasil Pajak Daerah
2) Hasil Retribusi daerah
3) Hasil Perusahaan Milik Daerah, hasil pengelolaan daerah yang dipisahkan
4) Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.

b. Dana Perimbangan
c. Pinjaman Daerah
d. Lain-lain Pendapatan Daerah sah.
3. Pengertian Pajak

Hasil studi di Kabupaten Sukoharjo menunjukkan beberapa pajak sebelum UU
No.18/1997 seperti pajak reklame, penerangan jalan, hiburan, pembangunan I, pendaftaran
perusahaan asing, pajak minuman keras, rumah bola, pajak anjing. Sedangkan retribusi daerah
sebelum UU No.18/1997 tidak berbeda dengan jumlah penerimaan pajak. Potensi pajak dan
retribusi daerah di Kabupaten Sukoharjo tahun 2002 menggunakan obyek penelitian 6 pajak
daerah dan 11 retribusi sejak diberlakukan UU No.18/1997 yang dianalisis menggunakan lima
tolak ukur yaitu yield, ability to implement, equity, economic efficiency dan suitability as a local
source. Hasil studi menunjukkan dari segi yield, semua pajak dan retribusi masih bisa
ditingkatkan dan tergantung dari ability to implement dalam usaha pencapaian target penerimaan
pajak dan retribusi. Pajak dan retribusi yang tidak memiliki potensi adalah pajak galian tambang
golongan C dan retribusi penyeberangan di atas air. Sedangkan dari sisi equity, economic
efficiency dan suitability as a local source, seluruh pajak dan retribusi memiliki potensi.


Otonomi Daerah yang memberikan wewenang penuh kepada daerah untuk menjalankan
pemerintahannya sendiri termasuk menyediakan pelayanan yang berdasarkan pada prioritas
daerah itu sendiri, sesuai dengan aspirasi masyarakat, serta berjalan berdasarkan pada peraturan
yang berlaku. Berdasarkan kebijakan tersebut, maka diharapkan daerah otonom mampu
menggali dan meningkatkan sumber-sumber keuangan yang berasal dari daerah itu sendiri.
Karena salah satu tolok ukur untuk melihat kesiapan daerah dalam pelaksanaan Otonomi Daerah
ini adalah dari segi finansial, yaitu dengan melihat besarnya kontribusi Pendapatan Asli Daerah
terhadap total pendapatan daerah tersebut. Pendapatan Asli Daerah terdiri dari beberapa pos
pendapatan, yang salah satunya telah memberikan kontribusi yang cukup besar yaitu pos Pajak
Daerah. Usaha Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) misalnya Kota Surakarta dalam hal ini
adalah dinas yang bertanggungjawab dalam pemungutan Pajak Daerah, dalam optimalisasi
penerimaan Pajak Daerah di Kota Surakarta antara lain dengan intensifikasi, ekstensifikasi dan
juga pelaksanaan berbagai strategi aplikatif. Namun dalam pelaksanaannya tidak jarang dinas ini
mengalami berbagai hambatan dari segi Wajib Pajak yaitu masih kurang adanya kepatuhan dan
sulitnya Wajib Pajak untuk bekerjasama, dan dari segi fiskus sendiri masih kurangnya sarana
prasarana serta masih kurangnya komitmen dalam pelaksanaan tugasnya. Dari hasil penelitian
yang dilakukan di Dinas Pendapatan Daerah Kota Surakarta, dapat disimpulkan bahwa pajak
daerah mempunyai peranan yang cukup besar untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah di
Kota Surakarta. Upaya-upaya Dipenda dalam optimalisasi Pajak Daerah, sudah masih perlu
ditingkatkan karena belum maksimalnya pelaksanaan pemungutan pajak daerah.

Dalam implementasi kebijakan desentralisasi fiskal, banyak ditemukan permasalahan
fundamental yang memerlukan perhatian yang serius dari seluruh stakeholders terkait, salah
satunya adalah masih lemahnya kemampuan keuangan daerah yang menyebabkan tingginya
ketergantungan daerah terhadap sumber pendanaan dari APBN. Guna mengatasi permasalahan
tersebut, perlu dilakukan perubahan atau transformasi kebijakan desentralisasi fiskal, yang
diarahkan pada revenue assignment, spending assignment, local financing, penguatan kapasitas
pengelola keuangan daerah, dan pembangunan sistem infomasi keuangan daerah yang
terintegrasi. Revenue assignment yang difokuskan pada penguatan kapasitas pemungutan PDRD,
dilakukan melalui peningkatan kewenangan pemungutan perpajakan daerah (local taxing power),
optimalisasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan penguatan pelaksanaan
monitoring dan evaluasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam kaitannya dengan penguatan
pelaksanaan monitoring dan evaluasi tersebut, diperlukan peningkatan serta penguatan
koordinasi antara Kementerian Keuangan, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
dalam mengevaluasi Raperda Kabupaten/Kota sehingga memperjelas fungsi dan kedudukan
Gubernur sebagai evaluator sebagaimana diatur dalam Pasal 157 UU No. 28 tahun 2009.

Salah satu upaya untuk membantu pemerintah daerah dalam memahami peranan dan
fungsinya dalam mengelola dan khususnya meningkatkan pajak daerah adalah dengan
diadakannya Workshop. Di sesi terakhir, dilakukan coaching clinic, yaitu konsultasi intensif
antara peserta dengan para pejabat di lingkungan Direktorat PDRD terkait masalah-masalah yang
selama ini dihadapi daerah dalam proses evaluasi Raperda dan Perda PDRD serta implementasi
UU 28/2009 tentang PDRD. Dalam sesi ini, peserta dibagi menjadi empat kelompok, yaitu 1.
wilayah Sumatera, 2. wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara, 3. wilayah Kalimantan dan
Sulawesi, dan 4. wilayah Maluku dan Papua. Masing-masing kelompok dipandu oleh beberapa
pejabat di lingkungan Direktorat PDRD yang bertugas memimpin dan mengarahkan jalannya
diskusi. Peserta secara antusias menyampaikan permasalahan sekaligus saran dan masukan agar
dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan dan bahan revisi UU 28/2009. Beberapa poin
penting dan rekomendasi yang dihasilkan dalam coaching clinic ini adalah pertama, jangka
waktu evaluasi Raperda sebaiknya ditinjau kembali; kedua, pembagian tugas yang jelas antara
pemerintah provinsi dan Kementerian Keuangan dalam proses koordinasi evaluasi Raperda
Kab/Kota tentang PDRD; ketiga, penguatan peran pemerintah provinsi dalam evaluasi Raperda
Kab/Kota dengan membentuk tim evaluasi Raperda PDRD yang terdiri atas pemerintah provinsi
dan pemerintah Kab/Kota.

Contoh Optimalisasi di Lapangan oleh Pemda DKI Jakarta

PKB (Pajak Kendaraan Bermotor); BBN-KB (Bea Balik Nama-Kendaraan Bermotor); PBB-KB (Pajak Bahan Bakar-Kendaraan Bermotor); PAT
(Pajak Air Tanah); PPJ (Pajak Penerangan Jalan); BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan); PBB-P2 (Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan)
Dinas Pelayanan Pajak Daerah (DPP) DKI Jakarta, melakukan kerja keras untuk mencapai target
penerimaan pajak daerah. Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir (2010-2013) selalu dapat
melapaui target penerimaan pajak. Target penerimaan pajak pada tahun 2014 dinaikkan menjadi
Rp 32,5 triliun meningkat hampir 10 triliun dari tahun 2013. Ada beberapa jenis pajak yang
belum mencapai target penerimaan pada tahun 2013 yaitu PBB-P2 (93,7%), PBB-KB (93,4%0
Pajak Hiburan (89,4%) dan Pajak Air Tanah (79,9%). Berikut hal-hal yang telah dilakukan
pemerintah DKI selama tahun 2013.

Pemuktahiran Data
Pemuktahiran data merupakan strategi intensifikasi pajak sebagai penunjang tercapainya realisasi
penerimaan pajak, misalnya saja pada tahun 2013 realisasi penerimaan pajak DKI mencapai Rp
22,61 triliun melampai target penerimaan pajak yang mencapai Rp 23,36 triliun. Hal ini
dilakukan untuk memastikan akurasi data yang diberikan oleh pemerintah pusat terkait BPHTB
dan PBB P2. Selain itu pemuktahiran data dilakukan pada pajak lainnya yang berpotensi besar
misalnya sajaa BBN-KB dan PKB.

Kinerja Pajak Online
Penerapan pajak online untuk memajaki pajak restoran, pajak hotel dan pajak hiburan untuk
menjaring 10 ribu wajib pajak. Hingga saat ini sudah hampir 4 ribu yang telah terdaftar menjadi
WP. Pemanfaatan online sistem ini membuat pemungutan pajak menjadi lebih transparan,
menghindari kontak langsun petugas dengan WP agar terhindar dari indakan korupsi.

Pada tahun 2013 penerimaan pajak hiburan dari target penerimaan sebesar Rp 440 miliar
pemprov DKI hanya mampu merealisasikan 9%, hal ini diakibatkan oleh turunnya tariff pajak
hiburan yang dulunya 15% menjadi 10%. Selain itu, penyelenggaraan hiburan sangat tergantung
pada kondisi dan stabilitas yang terjadi di Jakarta, sehingga tidak mudah untu diprediksi.

Pajak Parkir, Kebijakan Park and Ride, dan Rencana Penerapan Electronic Road Pricig
(ERP)

Potensi DKI Jakarta yang memiliki laju kendaraan yang padat, memiliki potensi penerimaan dari
sewa parker kendaraan yang relative besar. Fakta di lapangan memang DKI Jakarta belum
mampu menyediakan jumlah lahan parker yang memadai. Untuk tahun 2014 Pemprov
melakukan penyesuaian tarif parker dari Rp 3000 menjadi Rp 5000.

Kebijakn Park and Ride yaitu kebijakan yang mengatur kendaraan pribadi tidak boleh masuk
dalam suatu kawasan tertentu. Di kawasan tersebut akan disediakan suatu parker yang luas untuk
menitipkan kendaraan, namun di dekat lahan parker tersebut masyarakat akan difasilitasi
berbagai moda transportasi massal dengan akses yang mudah di jangkau. Hal ini dilakukan untuk
mengurangi kemacetan di Jakarta. Pemprov juga berencana menerapkan sistem ERP dalam
jangka waktu dekat ini. Pada awal penerapan akan diujicobakan pada kawasan 3 in 1, sehingga
dapat mengurangi kemacetan pada jam-jam padat. Aturan ini digodok bersamaan dengan menteri
perhubungan

Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB) dan LCGC
Pasca kenaikan BBM bersubsidi pada Juni 2013 diprediksi akan menurunan penerimaan PBB-
KB karena berdasarkan pengalaman ketika harga BBM naik, jumlah konsumsi pun akan
cenderung menurun dari biasanya. Namun, pada tahun 2013 lalu justru PBB-KB berhasil
mencapai angka 93% dari target peenrimaan. Dengan hadirnya mobil murah (LDGC) telah
meningkatkan jumlah pembelian mobil baru oleh masyarat kalangan menengah sehingga hal
tersebut berdampat pada peningkatan konsumsi bahan bakar di Jakarta. Hadirnya LCGC di satu
sisi memang baik bagi penerimaan pajak, namun memperparah kemacetan.

Kenaikan NJOP PBB-P2
Pemprov DKI menaikkan besaran NJOP PBB-P2 mulai dari 120% hingga 240%. Sebenarnya
justifikasi ini dilakukan sebagai itikad baik yang dilakukan untuk mengindahkan amanah
peraturan yang berlaku sesuai dengan UU pajak daerah dan etribusi daerah (UU PDRD) uang
mewajibkan Pemerintah Daerah untuk melakukan penyusuaian data-data, baik data objek pajak
maupun data WP.
Kenaikan ini disebabkan adanya perbedaan yang sedemikian jauh antara harga pasar dengan
besaran NJOP karena memang sudah 4 tahuun besaran NJOP tidak disesuaikan dengan
peningkatan harga property di Jakarta. Penyesuaian besaran NJOP ini ditetapkan mendekati 80%
dari harga pasar yang wajar.

Kerjasama DPP DKI dengan Instansi Lainnya.
Selama ini DPP DKI telah aktif menjalin kerjasama dengan berbagai ihak, misalnya saja dengan
DJP. Kerjasama yang dilakukan dengan DJP yaitu dengan menandatangani MoU dengan bentuk
kerjasama berupa pertukaran data pajak. Bentuk pertkaran itu dibatasi, tidak sampai membuka
data yang berkaitan dengan omzet Wajib Pajak.

Selain dengan DJP kerjasama juga dilakukan dengn ADB (Asian Development Bank) kerjasama
yang dilakukan yaitu dalam memperbaiki sistem pemungutan pajak yang ada. Kerjasaam juga
dilakukan dengan World Bank yang membantu DPP DKI Jakarta dalam mengonsepkan dan
memetakan mengenai peluan, potensi, dan strategi dalam menggenjot penerimaan pajak.

18 Strategi Optimalisasi DKI untuk Mencapai Target Penerimaan Tahun 2014

Strategi otimalisasi penerimaan pajak pemerintah DKI Jakarta untuk mencapai penerimaan pajak
pada tahun 2014:
1. Tariff PKB progresif
2. Aktif BDU (door to door)
3. Razia pool taxi
4. Pembayaran melalui bank
5. Objek TNI/Polri
6. Optimalisasi On-line
7. Pemeriksaan lengkap
8. Penagihan paksa
9. Maksimalkan KS Vs Kejati
10. Tambah wewenang UPPD
11. NJOP PBB
12. DPP Reklame
13. Optimalkan NJKB
14. Tarif pajak hiburan
15. Pemeriksaan SPBU
16. Perbaikan/pemutakhiran data objek PBB
17. Komitmet aparat
18. Pelayanan prima

También podría gustarte