Está en la página 1de 5

Ancaman Serius Koagulasi Intravaskular Diseminata

RACIKAN UTAMA - Edisi Februari 2007 (Vol.6 No.7)



DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta usia.
Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala
tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan.

Koagulasi intravaskular diseminata atau lebih populer dengan istilah aslinya, Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) merupakan diagnosis kompleks yang melibatkan komponen
pembekuan darah akibat penyakit lain yang mendahuluinya. Keadaan ini menyebabkan
perdarahan secara menyeluruh dengan koagulopati konsumtif yang parah. Banyak penyakit
dengan beraneka penyebab dapat menyebabkan DIC, namun bisa dipastikan penyakit yang
berakhir dengan DIC akan memiliki prognosis malam. Meski DIC merupakan keadaan yang
harus dihindari, pengenalan tanda dan gejala berikut penatalaksanaannya menjadi hal mutlak
yang tak hanya harus dikuasai oleh hematolog, namun hampir semua dokter dari berbagai
disiplin.

DIC merupakan kelainan perdarahan yang mengancam nyawa, terutama disebabkan oleh
kelainan obstetrik, keganasan metastasis, trauma masif, serta sepsis bakterial. Terjadinya DIC
dipicu oleh trauma atau jaringan nekrotik yang akan melepaskan faktor-faktor pembekuan darah.
Endotoksin dari bakteri gram negatif akan mengaktivasi beberapa langkah pembekuan darah.
Endotoksin ini pula yang akan memicu pelepasan faktor pembekuan darah dari sel-sel
mononuklear dan endotel. Sel yang teraktivasi ini akan memicu terjadinya koagulasi yang
berpotensi menimbulkan trombi dan emboli pada mikrovaskular. Fase awal DIC ini akan diikuti
fase consumptive coagulopathy dan secondary fibrinolysis. Pembentukan fibrin yang terus
menerus disertai jumlah trombosit yang terus menurun menyebabkan perdarahan dan terjadi efek
antihemostatik dari produk degradasi fibrin. Pasien akan mudah berdarah di mukosa, tempat
masuk jarum suntik/infus, tempat masuk kateter, atau insisi bedah. Akan terjadi akrosianosis,
trombosis, dan perubahan pregangren pada jari, genital, dan hidung akibat turunnya pasokan
darah karena vasospasme atau mikrotrombi. Pada pemeriksaan lab akan ditemui
trombositopenia, PT dan aPTT yang memanjang, penurunan fibrinogen bebas dibarengi
peningkatan produk degradasi fibrin, seperti D-dimer.

Patofisiologi 1: Consumptive coagulopathy
Pada prinsipnya DIC dapat dikenali jika terdapat aktivasi sistem pembekuan darah secara
sistemik. Trombosit yang menurun terus-menerus, komponen fibrin bebas yang terus berkurang,
disertai tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar yang mengarah kecurigaan ke DIC.
Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi pembekuan darah, terbentuk fibrin dan
deposisi dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan trombus mikrovaskular pada berbagai
organ yang mengarah pada kegagalan fungsi berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan
platelet tersebut, akan terjadi komplikasi perdarahan.

Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh akan mengaktivasi sistem fibrinolitik yang
menyebabkan terjadi bekuan intravaskular. Dalam sebagian kasus, terjadinya fibrinolisis (akibat
pemakaian alfa2-antiplasmin) juga justru dapat menyebabkan perdarahan. Karenanya, pasien
dengan DIC dapat terjadi trombosis sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan, keadaan
ini cukup menyulitkan untuk dikenali dan ditatalaksana.

Pengendapan fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup kompleks. Jalur utamanya
terdiri dari dua macam, pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor pembekuan
darah. Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya pada sistem antitrombin dan
sistem protein C, yang membuat pembentukan trombin secara terus-menerus. Sebenarnya ada
juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi sistem fibrinolitik sehingga menyebabkan gangguan
fibrinolisis, akibatnya endapan fibrin menumpuk di pembuluh darah. Nah, sistem-sistem yang
tidak berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya kadar inhibitor fibrinolitik PAI-1.
Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC dapat terjadi peningkatan aktivitas
fibrinolitik yang menyebabkan perdarahan. Sepintas nampak membingungkan, namun karena
penatalaksanaan DIC relatif suportif dan relatif mirip dengan model konvensional, maka tulisan
ini akan membahas lebih dalam tentang patofisiologi DIC.

Patofisiologi 2: depresi prokoagulan
DIC terjadi karena kelainan produksi faktor pembekuan darah, itulah penyebab utamanya.
Karena banyak sekali kemungkinan gangguan produksi faktor pembekuan darah, banyak pula
penyakit yang akhirnya dapat menyebabkan kelainan ini. Garis start jalur pembekuan darah ialah
tersedianya protrombin (diproduksi di hati) kemudian diaktivasi oleh faktor-faktor pembekuan
darah, sampai garis akhir terbentuknya trombin sebagai tanda telah terjadi pembekuan darah.

Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga hingga lima jam setelah terjadinya bakteremia
atau endotoksemia melalui mekanisme antigen-antibodi. Faktor koagulasi yang relatif mayor
untuk dikenal ialah sistem VII(a) yang memulai pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan
nama jalur ekstrinsik. Aktivasi pembekuan darah sangat dikendalikan oleh faktor-faktor itu
sendiri, terutama pada jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik tidak terlalu memegang peranan penting
dalam pembentukan trombin. Faktor pembekuan darah itu sendiri berasal dari sel-sel
mononuklear dan sel-sel endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan bahwa faktor ini
dihasilkan juga dari sel-sel polimorfonuklear.

Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan darah yang mengatur aktivasi faktor-faktor
pembekuan darah dapat melipatgandakan pembentukan trombin dan ikut andil dalam
membentuk fibrin. Kadar inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pasien
DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin,
degradasi oleh enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil yang teraktivasi
serta sintesis yang abnormal. Besarnya kadar antitrombin III pada pasien DIC berhubungan
dengan peningkatan mortalitas pasien tersebut. Antitrombin III yang rendah juga diduga
berperan sebagai biang keladi terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ.

Berkaitan dengan rendahnya kadar antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem protein C
sebagai antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan down regulation
trombomodulin akibat sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya tumor necrosis
factor-alpha (TNF-) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini dibarengi rendahnya zimogen
pembentuk protein C akan menyebabkan total protein C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan
darah akan terus menumpuk. Berbagai penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan bahwa
protein C berperan penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC.

Selain antitrombin III dan protein C, terdapat pula senyawa alamiah yang memang berfungsi
menghambat pembentukan faktor-faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan tissue factor
pathway inhibitor (TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor pembekuan (bukan
memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga kadar senyawa ini dalam plasma sangatlah
kecil, namanya pun jarang sekali kita kenal dalam buku teks. Pada penelitian dengan
menambahkan TFPI rekombinan ke dalam plasma, sehingga kadar TFPI dalam tubuh jadi
meningkat dari angka normal, ternyata akan menurunkan mortalitas akibat infeksi dan inflamasi
sistemik. Tidak banyak pengaruh senyawa ini pada DIC, namun sebagai senyawa yang
mempengaruhi faktor pembekuan darah, TFPI dapat dijadikan bahan pertimbangan terapi DIC
dan kelainan koagulasi di masa depan.

Patofisiologi 3: defek fibrinolisis
Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat itu sistem fibrinolisis akan berhenti, karenanya
endapan fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Namun pada keadaan bakteremia atau
endotoksemia, sel-sel endotel akan menghasilkan Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1 (PAI-
1). Pada kasus DIC yang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan antitrombin III,
protein C, dan aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara optimal, sehingga fibrin akan terus
menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa kasus DIC yang jarang, misalnya DIC akibat
acute myeloid leukemia M-3 (AML) atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat),
akan terjadi hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di mana-mana serta
perdarahan tetap berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan koagulasi berlebih
pada pembuluh darah, trombosit akan menurun drastis dan terbentuk kompleks trombus akibat
endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi hingga kegagalan organ, bahkan kematian.

Perdarahan sistemik
Tidak ada metode khusus untuk mendiagnosis DIC selain menilai gejala klinis berupa
perdarahan terus-menerus dengan gejala sianosis perifer serta melihat hasil lab dengan
trombositopenia, masa perdarahan global yang memanjang signifikan (PT dan aPTT), serta
Fibrin Degradation Produc (FDP), atau spesifiknya D-dimer akan meningkat (walaupun
keduanya juga meningkat pada trauma berat).

DIC dapat terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta usia.
Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala
tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan perdarahan. Keadaan ini terjadi akibat
sepsis atau infeksi berat, trauma, destruksi organ, keganasan (tumor padat atau
myelo/limfoproliferatif), penyakit obstetrik (emboli cairan amnion dan abrupsi plasenta),
abnormalitas vaskular (sindrom Kasabach-Meritt dan aneurisma pembuluh darah besar),
penyakit hepar yang berat, reaksi toksik-imunologik dari bisa ular, obat-obatan, reaksi transfusi,
dan penolakan transplantasi.

Pada pemeriksaan fisik DIC akan sangat tergantung etiologi penyakit tersebut. DIC akut akan
memperlihatkan petekia pada palatum mole dan tungkai dan ekimosis pada bekas punksi vena,
keduanya akibat trombositeopenia. Pasien seperti ini juga akan terdapat ekimosis pada area-area
yang traumatik. Sedangkan pasien DIC kronik atau subakut hanya akan memperlihatkan tanda
dan gejala akibat trombosis dan tromboemboli pada organ tertentu.

Keadaan ini terjadi akibat kelainan berbagai penyakit. Secara umum seperti yang tersebut di atas,
terdapat dua jalur yang menjadi penyebab terjadinya DIC, pertama, respon inflamasi sistemik
yang umumnya akibat sepsis atau trauma hebat sehingga mengaktifkan sitokin dan faktor
pembekuan darah. Kedua, pajanan materi prokoagulan ke pembuluh darah (mis. Pasien kanker
atau obstetrik). Pada situasi tertentu, dua jalur penyebab DIC ini bisa muncul secara bersamaan
(mis. Trauma mayor atau pankreatitis nekrotik berat).

Sangatlah buram untuk mendiagnosis jika kita hanya mengandalkan klinis dan lab tersebut di
atas. Cara terbaik untuk mengenali DIC selain pemeriksaan fisis dan penunjang ialah dengan
mengetahui penyakit-penyakit apa saja yang biasanya potensial menyebabkan DIC.

Penyakit penyebab DIC
Infeksi bakteri, terutama septikemia, memegang peranan penting dalam terjadinya DIC, baik itu
infeksi gram positif atau gram negatif. Selain itu infeksi virus dan parasit juga dapat memicu
terjadinya DIC. Faktor-faktor yang berhubungan dengan DIC pada pasien dengan infeksi
biasanya berkaitan spesifik dengan komponen membran sel mikroorganisme tersebut.
Sebagaimana kita tahu, bakteri memiliki endotoksin dan eksotoksin yang menyebabkan
inflamasi, jika inflamasinya sudah sangat berat dan sistemik, akan mengaktivasi sitokin-sitokin
proinflamatori.

Trauma berat juga merupakan kondisi klinis lain yang sering menyebabkan DIC. Pada trauma
berat akan terjadi pelepasan materi jaringan dalam jumlah besar ke aliran pembuluh darah.
Pelepasan ini berbarengan dengan hemolisis dan kerusakan endotel sehingga akan melepaskan
faktor-faktor pembekuan darah dalam jumlah besar kemudian mengakivasi pembekuan darah
secara sistemik.

DIC juga merupakan komplikasi tumor-tumor padat dan keganasan hematologi. Patofisologinya
belum terlalu jelas, namun massa tumor yang berproliferasi dengan cepat ini juga memproduksi
faktor-faktor pembekuan darah, mokelul prokoagulan, serta komponen prokoagulasi kanker,
protease sistein yang mengaktivasi faktor X. Komponen prokoagulasi kanker merupakan
senyawa yang ditemukan pada plasma pasien dengan massa padat. Beberapa tumor juga
menyebabkan hiperfibrinolisis saat puncak aktivasi koagulasi. Misalnya pada leukemia
promielositik akut (AML M-3) dan beberapa bentuk kanker prostat. Meskipun gejala klinis
mayor berupa perdarahan, namun sebenarnya terdapat pula trombosis di mana-mana.

Komplikasi obstetrik kadang-kadang menyebabkan DIC, terutama pada keadaan abrupsi plasenta
dan emboli cairan amnion. Cairan amnion itu sendiri dapat mengaktivasi koagulasi, sehingga jika
terdapat sumbatan seperti pada preeklamsia dan sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver
function, low platelet), juga akan terjadi koagulasi sistemik. DIC biasanya menjadi komplikasi
sekunder penyakit-penyakit tersebut.

Penyebab-penyebab lainnya adalah kelainan pembuluh darah berupa giant hemangioma(sindrom
Kasabach-Meritt), dapat menyebabkan koagulasi setempat. Karena terjadi terus-menerus, faktor
koagulasi tersebut akan terbawa ke seluruh aliran darah, akibatnya akan terjadi deplesi faktor
pembekuan darah dan platelet sehingga menyebabkan DIC. Reaksi imunologis seperti pada
transfusi serta reaksi inflamasi seperti pada pankreatitis akut juga dapat menyebabkan DIC.

Penatalaksanaan terbaik
Tidak ada penatalaksanaan khusus untuk DIC selain mengobati penyakit yang mendasarinya,
misalnya jika karena infeksi, maka bom antibiotik diperlukan untuk fase akut, sedangkan jika
karena komplikasi obstetrik, maka janin harus dilahirkan secepatnya.

Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya diberikan jika keadaan pasien sudah sangat
buruk dengan trombositopenia berat dengan perdarahan masif, memerlukan tindakan invasif,
atau memiliki risiko komplikasi perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini berdasarkan
pemikiran bahwa menambahkan komponen darah relatif mirip menyiram bensin dalam api
kebakaran, namun pendapat ini tidak terlalu kuat, mengingat akan terjadinya hiperfibrinolisis
jika koagulasi sudah maksimal. Sesudah keadaan ini merupakan masa yang tepat untuk memberi
trombosit dan komponen plasma, untuk memperbaiki kondisi perdarahan.

Satu-satunya terapi medikamentosa yang dipakai ialah pemberian antitrombosis, yakni heparin.
Obat kuno ini tetap diberikan untuk meningkatkan aktivitas antitrombin III dan mencegah
konversi fibrinogen menjadi fibrin. Obat ini tidak bisa melisis endapan koagulasi, namun hanya
bisa mencegah terjadinya trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu mencegah
reakumulasi clot setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis dewasa normal heparin drip 4-
5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau minimal setiap empat jam
dengan dosis yang disesuaikan. Bolus heparin 80 U tidak terlalu sering dipakai dan tidak menjadi
saran khusus pada jurnal-jurnal hematologi. Namun pada keadaan akut pemberian bolus dapat
menjadi pilihan yang bijak dan rasional. Apalagi ancaman DIC cukup serius, yakni
menyebabkan kematian hingga dua kali lipat dari risiko penyakit tersebut tanpa DIC. Semakin
parah kondisi DIC, semakin besar pula risiko kematian yang harus dihadapi.

También podría gustarte