Está en la página 1de 25

1

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT


FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2014
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR



REUMATOID ARTRITIS



OLEH :

Abdul Gafur Zulkarnain, S.Ked
10542 0059 09


PEMBIMBING :

dr. Zakaria Mustari, Sp.PD



DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2014


2

HALAMAN PENGESAHAN


Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Abdul Gafur Zulkarnain, S.Ked
NIM : 10542 0059 09
Judul Referat : Reumatoid Artritis
Telah menyelesaikan tugas tersebut dalam rangka kepaniteraan klinik pada
bagian Ilmu Penyakit Dalam Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar.




Sungguminasa, Mei 2014

Pembimbing



(dr. Zakaria Mustari, Sp.PD)









3

KATA PENGANTAR



Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena segala limpahan rahmat dan
hidayah-Nya serta segala kemudahan yang diberikan dalam setiap kesulitan
hamba-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan Referat ini dengan judul
Reumatoid Artritis. Tugas ini ditulis sebagai salah satu syarat dalam
menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam.
Berbagai hambatan dialami dalam penyusunan referat ini. Namun berkat
bantuan saran, kritikan, dan motivasi dari pembimbing serta teman-teman
sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih banyak
kepada dr. Zakaria Mustari Sp.PD, selaku pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing, memberikan
arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa lapsus ini masih jauh dari yang diharapkan oleh
karena itu dengan kerendahan hati penulis akan senang menerima kritik dan saran
demi perbaikan dan kesempurnaan tugas ini.
Semoga Referat ini bermanfaat bagi pembaca umumnya dan penulis secara
khusus.


Sungguminasa, Mei 2014



Penulis



4

DAFTAR ISI




HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 3
II.1 Definisi ............................................................................................ 3
II.2 Epidemiologi ................................................................................... 3
II.3 Etiologi ............................................................................................ 3
II.4 Patofisiologi ..................................................................................... 4
II.5 Gambaran Klinik ............................................................................. 7
II.6 Diagnosis ......................................................................................... 9
II.7 Pemeriksaan Penunjang ................................................................... 10
II.8 Penatalaksanaan ............................................................................... 11
II.9 Prognosis ......................................................................................... 14
II.10 Diagnosis Banding ........................................................................ 14
BAB III KESIMPULAN .................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 20





5

BAB I
PENDAHULUAN

Artritis Rematoid (AR) adalah penyakit multisistem kronik yang
penyebabnya tidak diketahui. Walaupun manifestasi sistemiknya bervariasi,
Gambaran khas AR adalah peradangan sinovia (sinovitis) yang menetap, biasanya
mengenai sendi perifer dengan distribusi simetrik. Potensi peradangan sinovium
untuk menyebabkan destruksi tulang rawan dan dan erosi tulang yang selanjutnya
deformitas sendi merupakan tanda utama penyakit ini. Sekalipun memiliki potensi
destruktif, perjalanan penyakit AR dapat cukup bervariasi.
1,3

Prevalensi AR adalah sekitar 1 persen populasi (berkisar antara 0,3-21
persen). Perempuan terkena sekitar tiga kali lebih sering daripada laki-laki.
Prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia, dan perbedaan jenis kelamin
hilang pada kelompok usia lebih tua. AR ditemukan diseluruh dunia dan
mengenai semua ras. Awitan umumnya terjadi selama dekade keempat dan kelima
dalam hidup, dengan 80 persen pasien menderita penyakit antara usia 35 dan 50
tahun. Insidensi AR pada perempuan berusia 60 sampai 64 tahun adalah enam kali
lipat dibandingkan dengan insidensi pada perempuan berusia 18 sampai 29 tahun.
3

Penyebab AR masih belum diketahui. Kemungkinan AR merupakan
manifestasi respon terhadap suatu agen infeksiosa pada pejamu yang secara
genetis rentan telah diperkirakan. Karena distribusi AR yang mendunia,
organisme infeksiosa dihipotesiskan terdapat di mana-mana. Mekanisme
6

Penyebab lain yang potensial pada AR adalah terganggunya toleransi diri normal
yang menimbulkan reaktivasi terhadap antigen diri di dalam sendi, misalnya
kolagen tipe II atau hilangnya mekanisme kontrol imunoregulatorik yang
menyebabkan pengaktifan sel T poliklonal.
3

Penatalaksanaan medis AR terdiri atas tiga pendekataan umum. Yang
pertama adalah penggunaan aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid (AINS)
lain, analgesik sederhana, dan bila perlu glukokortikoid dosis rendah. Pendekataan
kedua denganobat imunosupresif dan sitotoksik yang telah terbukti
menghilangkan proses penyakit pada sebagian pasien. Pendekatan ke tiga dengan
mencakup penggunaan sejumlah modalitas eksperimental seperti iradiasi limfosit
total, limfoplasmafaresis, pemberian obat imunosupresif siklosporin, dan
pemberian antibodi monoklonal terhadap sel T dan subset sel T.
3









7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


II.1 Definisi
Artritis Reumatoid adalah penyakit inflamasi sistemik yang kronis dan
terutama menyerang persendian perifer serta otot-otot, tendon, ligamen, dan
pembuluh darah yang ada disekitarnya. Penyakit ini adalah salah satu penyakit
rematik inflamatorik yang tersering dan ditandai oleh terjadinya proliferasi
inflamatorik kronik lapisan dalam sinovium sendi diartrodial, yang menyebabkan
kerusakan tulang rawan dan erosi tulang progresif.
1,2

II.2 Epidemiologi
Prevalensi artritis reumatoid adalah sekitar 1% dalam populasi umum di
Amerika Serikat; Angka prevalensi serupa juga dijumpai di tempat lain. Penyakit
ini terjadi sekitar tiga kali lebih sering pada wanita ketimbang pada pria dan
memiliki awitan puncak pada dekade kelima sampai keenam kehidupan.
2

II.3 Etiologi
Walaupun faktor penyebab artritis reumatoid yang sebenarnya hingga kini
tetap belum diketahui dengan pasti. Teori yang mungkin terdapat meliputi
8

1. Aktivasi imun yang abnormal (terjadi pada individu yang secara
genetik memiliki kerentanan) sehingga timbul inflamasi, fiksasi
komplemen, dan proliferasi sel di dalam persendian serta selubung
tendon.
2

2. Sejumlah agen diperkirakan yaitu infeksi Mycoplasma, Virus Eipstein-
Barr, sitomegalovirus, parvovirus, dan virus rubella, tetapi bukti yang
meyakinkan apakah agen tersebut menyebabkan Artritis Reumatoid
belum ada.
3

3. Pembentukan antibodi imunoglobulin (Ig) M terhadap IgG tubuh
sendiri (yang dinamakan faktor reumatoid); faktor reumatoid akan
menggumpal menjadi kompleks dan menimbulkan inflamasi yang
menyebabkan kerusakan kartilago serta memicu respon imun lain.
2

II.4 Patofisiologi
Sejumlah besar kerusakan patologis yang menandai artritis reumatoid
terpusatdi sekitar lapisan sinovium sendi. Sinovium normal trdiri atas lapisan tipis
sel (ketebalan satu sampai tiga lapisan) dan interstisium di bawahnya, yang
mengandung pembuluh darah tetapi dengan sedikit sel. Sinovium dalam keadaan
normal mnyediakan nutrien dan pelumas bagi tulang rawan sendi. Sinovium
artritis reumatoid, sebaliknya, sangat abnormal , dengan lapisan dalam yang
sangat menebal (ketebalan 8-10 sel) yang terdiri atas sel-sel aktif dan interstisium
yang sangat inflamatorik dan dipenuhi sel B, sel T, dan makrofag serta perubahan
vaskular (termasuk trombosis dan neovaskularisasi). Di tempat-tempat
9

persambungan sinovium dan tulang rawan sendi, jaringan sinovium pada artritis
reumatoid ( disebut pannus) menginvasi dan merusak tulang rawan dan tulang
sekitar.
1

Meskipun penyebab artritis reumatoid masih belum jelas, telah teridentifikasi
beberapa komponen penting dalam patogenesisnya. Seperti telah di bahas
sebelumnya, fase inisiasi perlu dibedakan dari fase propagasi penyakit serta perlu
disadari bahwa fenotipe artritis reumatoid mencetrminkan fenotipe yang bersifat
self-sustaining.
1

A. Faktor Genetik
Concordance rate pada kembar bervariasi antara 15% dan 35%, yang
menunjukkan peran faktor genetik dalam patogenesis artritis reumatoid. Yang
paling menonjol pada faktor genetik ini adalah keterlibatan suatu subset spesifik
alel MHC kelas II yang keberadaanya tampaknya menentukan keparahan penyakit
(pasien yang homozigot untuk alel-alel terkait penyakit mengidap yang paling
parah). Molekul-molekul MHC ini berfungsi sebagai tempat untuk menyajikan
antigen (peptida) ke sel T CD4. Alel-alel terkait-penyakit (termasuk dalam
serotipe HLA-DR4/DRI) memiliki kesamaan dalam suatu sekuens di sepanjang
alur penyaji-antigen yang dinamai shared epitopes. Terdapat postulat bahwa
alel-alel ini menyajikan antigen-antigen penting ke sel T, yang berperan dalam
memicu dan memperparah penyakit .Namun belum terdapat antigen spesifik yang
berhasil diidentifikasi.
1,2


10

B. Faktor Non-Genetik
Faktor lingkungan dan infeksi Meskipun banyak patogen bakteri dan virus
telah diteliti sebagai kemungkinan pemicu artritis reumatoid, peran infeksi
spesifik sebagai penyebabnya tidak terbukti. Hal yang dapat diterima adalah
bahwa berbagai patogen infeksi mungkin menimbulkan perubahan-perubahan
non-spesifik-patogen di sendi yang berkaitan dengan inisiasi penyakit pada orang
yang rentan.
1

Autoimunitas Walaupun terdapat cukup banyak bukti tentang peran suportif
autoimunitas dalam menimbulkan fenotipe artritis reumatoid (misal adanya
autoantibodi seperti faktor reumatoid imunoglobulin G dan manfaat terapi yang
ditunjukkan pada sel T aktif), antigen-antigen penting yang memacu respons
tersebut serta mekanisme pelepasanya masih belum jelas.
2

Pengeluaran sitokin pada artritis reumatoid sangat condong ke pengaruh T
H
1.
Meskipun profil sitokin pada sinovium artritis reumatoid sangat kompleks, dengan
banyak sitokin pro- dan anti-inflamasi yang diekspresikan secara bersamaan
(mis.,TNF-,IL-1,IL-6, granulocyte-macrophage colony stimulating faktor [GM-
CSF]), studi-studi secara persuasif membuktikan bahwa TNF- adalah suatu
sitokin yang penting dalam propigasi lesi inflamatorik artritis reumatoid (lihat
selanjutnya). Karena itu, jika jalur-jalur di sebelah hilir dari TNF- dihambat
dengan resesprot TNF larut atau antibodi monoklonal terhadap TNF-, banyak
pasien yang mengalami perbaikan signipikan pada sinovitis inflamatorik maupun
rasa nyaman secara keseluruhan. Hal yang menarik, efek terapi anti-TNF terbatas
11

selama pengobatan, dan gejala dan tanda peradangan cepat kambuh setelah terapi
dihentikan.
2




Tampak gambaran peradangan cairan sinovial
II.5 Gambaran Klinik
Gejala klinis utama Artritis Reumatoid adalah poliartritis yang
mengakibatkan terjadinya kerusakan pada rawan sendi dan tulang disekitarnya.
Kerusakan ini terutama mengenai sendi perifer pada tangan dan kaki yang
umumnya bersifat simetris. Adapun Kriteria American Rheumatism Association
untuk Artritis Reumatoid Revisi Tahun 1987 adalah sebagai berikut.
4











Pasien dikatakan menderita AR jika memenuhi sekurang-kurangnya kriteria 1 sampai 4 yang
diderita sekurang-kurangnya 6 minggu.
4

12

Manifestasi klinis terbagi atas manifestasi artrikuler dan ekstra artikuler.
Manifestasi artrikuler berupa gangguan stabilitas persendian dapat jelas terlihat
pada subluksasio persendian MCP akibat terjadinya gaya tarik tendon sepanjang
aksis rotasi sehingga menyebabkan terbentuknya deviasi ulnar yang khas. Artritis
rematoid yang melibatkan Vertebra servikal yang sering dijumpai pada C
4
-C
5
atau
C
5
-C
6
. Keterlibatan persendian pergelangan tangan, MCP, dan PIP hampir selalu
dijumpai pada AR. Kelainan Panggul akibat AR umumnya sulit dideteksi dalam
keadaan dini. Jika destruksi rawan sendi terjadi pada sendi panggul akan
berkembang lebih cepat dibandingkan gangguan pada persendian lainnya.
Penebalan sinovial dan efusi lutut umumnya mudah dideteksi pada pemeriksaan.
Kaki dan Pergelangan tangan merupakan penyangga berat badan, keterlibatan ini
akan menimbulkan disfungsi dan rasa nyeri yang lebih berat jika terlibat AR.
4

Untuk Manifestasi Ekstraartikuler berupa gangguan kardiovaskuler,
gangguan gastrointestinal, ginjal, sistem saraf, hematologi, vaskulitis kutis sebagai
lesi purpura atau ekimosis pada kulit, kelainan mata pada AR berupa konjungtiva
sica, episcleritis, ataupun skleritis, gejala respiratorius seperti nyeri tenggorokan,
nyeri menelan, efusi pleura, dan pnemonitis interstisial.
4

Perbandingan gambaran morfologik artritis reumatoid dan osteoartritis
5

13






Gambaran klinik Artritis Rematoid
II.6 Diagnosis
Diagnosis AR mudah ditegakkan pada orang yang memperlihatkan penyakit
sampai 2 tahun setalah awitan .gambaran khas berupa poliartritis meradang
simetrik bilateral yang mengenai sendi besar dan kecil ekstremitas atas dan bawah
tanpa mengenai kerangka sumbu kecuali vertebra servikalis menyiratkan
diagnosis. Gambaran konstitusi yang mengisyaratkan sifat meradang dari penyakit
ini, misalnya kaku sendi pada pagi hari, menyongkong diagnosis. Pembuktian
adanya nodus subkutis juga membantu diagnosis. Selain itu, adanya faktor
rematoid, cairan sinovium yang meradang disertai peningkatan jumlah leukosit
polimorfonukleus, serta temuan radiografik berupa demineralisasi tulang juksta
artikularis dan erosi sendi yang terkena menyongkong diagnosis.
3

Diagnosis agak lebih sulit di tegakan pada awal perjalanan penyakit sewaktu
hanya ada gejala konstitusi dan artralgia atau artritis intermiten dengan distribusi
asimetrik. Diperlukan periode pengamatan sebelum diagnosis ditegakkan.
Diagnosis pasti AR terutama bergantung pada gambaran klinis khas dan eksklusif
14

proses peradangan lain. Temuan faktor rematoid atau peningkatan laju endap
darah saja, terutama pada orang berusia lanjut dengan sendirinya merupakan bukti
adanya AR.
3

II.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang menunjukkan artritis rematoid meliputi
1. Evaluas radiografik berupa foto rontgen yang memperlihatkan demineralisasi
tulang dan pembengkakan jaringan lunak (stadium awal), perubahan kartilago
serta penyempitan rongga sendi dan akhirnya destruksi kartilago serta tulang,
dan erosi, subluksasio, serta deformitas (stadium lanjut).
2







Gambaran radiologis Rematoid Artritis
2. Titer faktor reumatoid positif pada 75% hingga 80% pasien (titer 1:160 atau
lebih tinggi). Bila titernya tinggi, menentukan pasien yang beresiko mengalami
penyakit sistemik berat.
1

3. Analisis cairan sinovial memastikan adanya artritis meradang. Cairan biasanya
keruh, dengan penurunan viskositas, peningkatan kandungan protein, dan
15

konsentrasi glukosa yang m enurun ringan atau normal. Jumlah sel darah putih
biasanya lebih dari 10.000/l.
3

4. Laju endap darah dan kadar C-reaktif protein yang memperlihatkan kenaikan
pada 85% hingga 90% pasien (yang mungkin berguna untuk memantau respon
penyakit terhadap terapi karena kenaikan keduanya seringkali sejajar dengan
aktivitas penyakit).
1

5. Hitung darah lengkap yang biasanya memperlihatkan anemia sedang,
leukosistosis ringan dan trombositosis ringan.
1

II. 8 Penatalaksanaan
Konsep pengobatan pada pasien pada pasien AR ditujukan untuk.
3

1. Menghilangkan gejala inflamasi aktif baik lokal maupun sistemik
2. Mencegah destruksi jaringan
3. Mencegah terjadinya deformitas dan memelihara fungsi persendian agar
tetap dalam keadaan baik.
4. Mengembelikan kelainan fungsi organ dan persendian yang terlibat agar
sedapat mungkin menjadi normal kembali.
Penatalaksanaan medis AR terdiri dari tiga pendekataan umum. Yang
pertama adalah penggunaan aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid (AINS) lain,
analgesik sederhana, dan bila perlu glukokortikoid dosis rendah untuk mengontrol
gejala dan tanda proses peradangan lokal. Obat lini kedua lainnya adalah obat
imunosuppresif dan sitotoksik yang telah terbukti menghilangkan proses penyakit
pada sebagian pasien.
3

16

Terdapat beberapa obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) untuk
mengobati AR. Obat tersebut antara lain adalah etodolak, fenoprofen, ibuprofen,
indometasin, ketoprofen, nabumeton, meklofenamat, diklofenak, piroksikam,
oksaprosin, , dan flurbiprofen. Karena kapasitasnya menghambat aktivasi enzim
siklooksigenase sehingga menghambat pembentukan prostaglandin, prostasiklin,
dan tromboksan maka obat ini memiliki sifat analgesik, antiinflamasi, dan
antipiretik.
3

Efek samping obat tersebut berupa efek samping pada saluran cerna
berupa gastritis, dan ulkus peptikum karena iritasinya, azotemia, disfungsi
trombosit, eksaserbasi rhinitis alergi dan asma, berkaitan dengan hambatan
aktifitas siklooksigenase, sedang yang lain, ruam, gangguan fungsi hati, dan
depresi sum sum tulang mungkin tidak.
6

Golongan obat yang lain tampaknya berpengaruh pada perjalanan penyakit
AR. Obat lain yaitu antimalaria, D-penisilamin, dan sulfasalazin. Obat ini
memiliki efek analgesik atau antiinflamasi non spesifik langsung yang minimal,
sehingga AINS harus terus diberikan. Manfaat terapi DMARD biasanya muncul
setelah beberapa bulan atau tahun. Hampir dua pertiga pasien memperlihatkan
perbaikan klinis setelah pemberian salah satu dari obat ini. Tiap-tiap obat ini
memiliki toksisitas yang cukup bermakna sehingga pasien perlu dipantau dengan
cermat.
3

Walaupun terapi glukokortikoid dapat memberikan terapi simptomatik
efektif pada pasien AR, terapi glukokortikoid sistemik harus dihindari sedapat
mungkin karena tidak merubah perjalanan penyakit pada pemberian jangka
17

panjang. Prednison dosis rendah (kurang dari 7,5 mg/dL) di anjurkan sebagai
terapi tambahan untuk mengontrol gejala, tetapi berbagai percobaan tidak dapat
membuktikan efikasi obat ini. Pada beberapa pasien mungkin dapat di berikan
kortikosteroid dosis tinggi secara pulsa tiap bulan.
3

Obat imunosupresif azatioprin dan siklofosfamid terbukti efektif dalam
pengobatan AR dan memiliki efek serupa dengan yang diperlihatkan oleh
DMARD. Namun, obat-obat ini tampaknya tidak lebih efektif dari pada DMARD.
Selain itu, obat-obat itu menimbulkan berbagai efek samping toksik, dan
siklofosfamid tampaknya menyebabkan pasie mudah mengalami neoplasma
maligna. Dengan demikian, obat ini di cadangkan untuk pasien yang nyata-nyata
gagal diterapi dengan DMARD, kadang-kadang penyakit ekstrasendi, misalnya
vaskulitis rematoid, memerlukan terapi imunosupresif sitotoksin.
3,6

Metotreksat, suatu antagonis asam folat, yang diberikan dengan dosis
rendah intermiten (7,5 sampai 15 mg sekali seminggu), mungkin juga berguna
dalam terapi AR. Percobaan terakhir membuktikan efikasi metotreksat dan
mengisyaratkan bahwa awitan kerjanya lebih cepat dari pada DMARD. Pasien
cenderung bertahan dengan terapi metotreksat daripada dengan DMARD karena
respons klinis yang lebih baik dan toksisitas yang lebih rendah. Uji klinis jangka
panjang mengisyaratkan bahwa metotreksat tidak menginduksi remisi , tetapi
hanya menekan gejala selagi diberikan. Perbaikan maksimum muncul setelah 6
bulan terapi, dengan perbaikan tambahan minimal kemudian. Toksisitas utama
adalah gangguan saluran makanan, ulkus oral, kelainan fungsi hati yang
18

tampaknya tergantung dosis dan reversibel, dan fibrosis hati yang mungkin timbul
perlahan sehingga memerlukan biopsi hati untuk deteksi dininya.
3,6

Pembedahan juga berperan dalam penatalaksanaan pasien yang mengalami
kecacatan sendi berat. Walaupu antroplasti dan pengantian sendi total dapat
dilakukan pada sejumlah sendi, tindakan ini paling barhasil bila di lakukan di
sendi lutut dan panggul. Tujuan realistik tindakan ini adalah menghilangkan
nyeri, memperbaiki kecacatan, dan memperbaiki fungsi. Bedah tangan
rekonstruktif dapat memberikan perbaikan kosmetik dan keuntungan fungsional.
Sinovektomi artrosokopik atau terbuka mungkin berguna untuk sebagian pasien
yang mengalami monoartritis persisten, terutama disendi lutut. Walaupun
sinovektomi mungkin memberikan perbaikan gejala jangka pendek, belum
terdapat bukti bahwa tindakan ini dapat menghambat destruksi tulang atau
perjalanan alamiah penyakit. Selain itu, tenosinovektomi dini pada pergelangan
tangan dapat mencegah ruptur tendon.
3,6

II. 9. Prognosis
Prognosis penyakit tersebut bervariasi, sebagian besar penderita membaik
dengan terapi standar dalam tahun pertama. Sebagian kecil menjadi cacat total
walupun diberikan semua terapi.
7

II. 10 Diagnosis Banding
1. Osteoartritis
Sebagai bentuk artritis yang umum ditemukan. Osteoartritis (sering disebut
pula dengan istilah penyakit degeneratif sendi) merupakan keadaan kronis yang
19

menyebabkan degenerasi kartilago tulang dan pembentukan tulang baru sebagai
reaksi atas degenerasi tersebut didaerah tepi serta daerah subkondrium sendi.
Biasanya osteoartritis menyerang sendi-sendi yang menyangga berat tubuh atau
weight bearing joint (sendi lutut, sendi kaki, sendi paha, vertebra lumbalis).
7

Penyebab osteoartritis tidak diketahui dan kelainan yang terjadi berupa
degenerasi tulang rawan sendi. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
penyakit ini antara lain ialah obesitas, trauma atau infeksi pada sendi, penggunaan
sendi yang berlebihan (pada atlit), dan penyakit sinovial. Kelainan patologik
menunjukkan penipisan dan fragmentasi pada tulang rawan sendi. Permukaan
sendi yang sebelumnya licin, akan menjadi tidak beraturan dan terbentuk celah-
celah yang mencapai tulang subkondral. Apabila tulang rawan sendi mengalami
erosi, akan terlihat tulang subkondral menebal dan mengkilat serta gading
(eburnation). Hilangnya tulang rawan sendi merangsang pembentukan tulang baru
yang biasanya berupa nodul pada pinggiran tulang disebut osteofit.
7,8

Klinis akan menimbulkan rasa nyeri dan kekakuan pada sendi, tanpa tanda-
tanda radang. Krepitasi merupakan gejala yang khas dan terjadi karena pergesekan
antara tulang-tulang subkondral. Pada sendi-sendi interfalangs distal terbentuk
tonjolan-tonjolan osteofit yang disebut tonjolan heberden.
Temuan yang membantu penegakan diagnosis osteoartritis meliputi :
2

1. Keadaan tidak ada gejala sistemik (menyingkirkan kemungkinan gangguan
peradangan sendi).
20

2. Artroskopi yang memperlihatkan bone spurs dan penyempitan rongga
sendi.
3. Peningkatan laju endap darah (pada sinovitis yang luas).
Foto rontgen sendi yang terkena akan membantu memastikan diagnosis,
namun pada stadium awal, foto tersebut mungkin masih tampak normal. Secara
khas foto tersebut akan memperlihatkan.
7

1. Penyempitan rongga atau bagian tepi sendi
2. Endapan tulang mirip kista dalam rongga serta tepi sendi dan sklerosis
rongga subkondrium.
3. Deformitas tulang akibat degenerasi atau kerusakan sendi
4. Fusi atau penyatuan sendi






Tampak penyempitan celah sendi
2. Gout
Gout, juga disebut artritis gout, merupakan penyakit metabolik yang ditandai
oleh pengendapan senyawa urat di dalam sendi sehingga timbul peradangan sendi
21

yang nyeri. Penyakit ini terutama ditemukan pada kaki, khususnya ibu jari kaki,
pergelangan kaki dan kaki bagian tengah tetapi dapat mengenai setiap sendi.
Penyakit ini berkembang menjadi kronis, disertai pembentukan tofus dan terjadi
nefropati. Pirai di bagi atas bentuk primer 90% dan yang sekunder 10%.
8

Pirai primer terutama mengenai pria berusia lanjut dan ada kecenderungan
bersifat herediter. Penyebab gangguan metabolisme asam urat tidak diketahui.
Faktor yang menunjang terjadinya pirai primer antara lain ialah peminum alkohol
yang berat, obesitas dan obat-obatan, misalnya tiazida.
7,8

Pirai sekunder terdapat pada penyakit yang disertai pemecahan purin yang
berlebihan, sehingga sintesis asam urat meningkat. Hal ini sering terjadi pada
penderita leukimia terutama awal pada awal pengobatan yang menimbulkan
nekrosis pada sel dan diikuti dengan pelepasan asam nukleat yang akan
mengalami katabolisme menjadi asam urat.
8

Tanda dan gejala penyakit gout yang dapat terjadi meliputi
1. Nyeri sendi akibat endapan asam urat dan inflamasi
2. Eritema dan bengkak pada sendi akibat endapan asam urat iritasi
3. Tofus pada ibu jari kaki, pergelangan kaki, dan daun telinga akibat
endapan urat.
4. Kenaikan suhu akibat inflamasi.
Hasil pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis
penyakit gout antara adalah
8

22

1. Kristal monosodium urat yang terbentuk mirip jarum dalam cairan sinovial
(yang terlihat melalui aspirasi jarum suntik) atau dalam potongan jaringan
dengan endapan tofus.
2. Hiperurisemia (kadar asam urat yang lebih dari 420mol/mmol kreatinin)
3. Kenaikan kadar asam urat dalam urin 24 jam (biasanya lebih tinggi pada
gout sekunder dibanding gout primer)
4. Foto rontgen pada awalnya tampak normal; pada penyakit gout yang
kronis, foto rontgen memperlihatkan kerusakan pada kartilago sendi dan
tulang subkondrium. Pergeseran keluar bagian tepi yang mengantung dari
kontur merupakan ciri khas penyakit gout.




Gout pada persendian




Gambaran radiologis gout


23

BAB III
KESIMPULAN


Artritis Reumatoid adalah penyakit inflamasi sistemik yang kronis dan
terutama menyerang persendian perifer serta otot-otot, tendon, ligamen, dan
pembuluh darah yang ada disekitarnya. Penyakit ini adalah salah satu penyakit
rematik inflamatorik yang tersering dan ditandai oleh terjadinya proliferasi
inflamatorik kronik lapisan dalam sinovium sendi diartrodial, yang menyebabkan
kerusakan tulang rawan dan erosi tulang progresif. Diagnosis AR mudah
ditegakkan pada orang yang memperlihatkan penyakit sampai 2 tahun setalah
awitan .gambaran khas berupa poliartritis meradang simetrik bilateral yang
mengenai sendi besar dan kecil ekstremitas atas dan bawah, kaku sendi pada pagi
hari, menyongkong diagnosis. Pembuktian adanya nodus subkutis juga membantu
diagnosis. Selain itu, adanya faktor rematoid, cairan sinovium yang meradang
disertai peningkatan jumlah leukosit polimorfonukleus, serta temuan radiografik
berupa demineralisasi tulang juksta artikularis dan erosi sendi yang terkena
menyongkong diagnosis. Prognosis penyakit tersebut bervariasi, sebagian besar
penderita membaik dengan terapi standar dalam tahun pertama. Sebagian kecil
menjadi cacat total walupun diberikan semua terapi.


24

DAFTAR PUSTAKA




1. Stephen J. Mcphee. Patofisiologi Penyakit Pengantar menuju Kedokteran
Klinis. Medikal Multimedia Indonesia. Hal 746-51

2. Jenni P kowalak, William Wels, dkk .Buku Ajar Patofisiologi.Penerbit Buku
Kedokteran EGC.2011. Hal 496-501

3. Isselbacher, Braunwald. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Buku
Kedokteran EGC. McgrawHill. Hal 1840-1847

4. Aru W, Sudoya, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Makassar:
Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Hal 1180-1174

5. Robbins, Kumar. Buku Ajar Patologi Edisi 7.. EGC : Jakarta : 2004. Hal 846-
866

6. Mark H Wartz, Buku Ajar Diagnosis Fisik. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2000, Hal 342-343.

7. I Made Nasar, Buku Ajar Patologi, 2
th
edition. Penerbit Sagung Seto. Hal 520-
526.

8. Lindon Saputra. Kapita selekta Kedokteran Klinik. Penerbit Binarupa aksara;
2009. Hal 272-273.






25

También podría gustarte