Está en la página 1de 33

BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Pengolahan air limbah pada umumnya dilakukan dengan menggunakan metode Biologi.

Metode ini merupakan metode yang paling efektif dibandingkan dengan metode Kimia dan Fisika. Proses pengolahan limbah dengan metode Biologi adalah metode yang memanfaatkan mikroorganisme sebagai katalis untuk menguraikan material yang terkandung di dalam air limbah. Mikroorganisme sendiri selain menguraikan dan menghilangkan kandungan material, juga menjadikan material yang terurai tadi sebagai tempat berkembang biaknya. Pengolahan lumpur aktif (activated sludge) adalah merupakan proses pengolahan air limbah yang memanfaatkan proses mikroorganisme tersebut. Dewasa ini lumpur aktif (activated sludge) merupakan pengolahan air limbah yang paling banyak dipergunakan, termasuk di Indonesia, hal ini mengingat metode lumpur aktif dapat dipergunakan untuk mengolah air limbah dari berbagai jenis industri seperti industri pangan, Perhotelan, Rumah tinggal, Sekolah, bahan Pabrik dan lain sebaginya. Dengan menerapkan sistem ini didapatkan air bersih yang tidak lagi mengandung senyawa organik beracun dan bakteri yang berbahaya bagi kesehatan. Air tersebut dapat dipergunakan kembali sebagai sumber air untuk kegiatan industri selanjutnya. Diharapkan pemanfaatan sistem daur ulang air limbah akan dapat mengatasi permasalahan persediaan cadangan air tanah demi kelangsungan kegiatan industri dan kebutuhan masyarakat akan air. Air tersebut dapat dipergunakan kembali sebagai sumber air untuk kegiatan industri selanjutnya. Air daur ulang yang kami kerjakan dapat dimanfaatkan dengan aman untuk kebutuhan konsumsi air seperti cooling tower, boiler laundry, toilet flusher, penyiraman tanaman, general cleaning, fish pond car wash dan kebutuhan air yang lainnya.

2. RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang penulisan makalah diatas dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut Apa pengertian Lumpur Aktif (Activated Sludge) ? Bagaimana proses penggolahan limbah dengan Lumpur Aktif (Activated Sludge ?

3. TUJUAN PENULISAN Untuk memenuhi tugas pembuatan makalah Untuk mengetahui apa itu Lumpur Aktif Agar kita mengetahui proses pengolahan limbah dengan Lumpur Aktif

BAB II STUDI PUSTAKA

Lumpur aktif (activated sludge) adalah proses pertumbuhan mikroba tersuspensi yang pertama kali dilakukan di Inggris pada awal abad 19. Sejak itu proses ini diadopsi seluruh dunia sebagai pengolah air limbah domestik sekunder secara biologi. Proses ini pada dasarnya merupakan pengolahan aerobik yang mengoksidasi material organik menjadi CO2 dan H2O, NH4. dan sel biomassa baru. Udara disalurkan melalui pompa blower (diffused) atau melalui aerasi mekanik. Sel mikroba membentuk flok yang akan mengendap di tangki penjernihan (Gariel Bitton, 1994). Anna dan Malte (1994) berpendapat keberhasilan pengolahan limbah secara biologi dalam batas tertentu diatur oleh kemampuan bakteri untuk membentuk flok, dengan demikian akan memudahkan pemisahan partikel dan air limbah. Lumpur aktif adalah ekosistem yang komplek yang terdiri dari bakteri, protozoa, virus, dan organisme-organisme lain. Lumpur aktif dicirikan oleh beberapa parameter, antara lain, Indeks Volume Lumpur (Sludge Volume Index = SVI) dan Stirrd Sludge Volume Index (SSVI). Perbedaan antara dua indeks tersebut tergantung dari bentuk flok, yang diwakili oleh faktor bentuk (Shape Factor = S). Pada kesempatan lain Anna dan Malte (1997) menyatakan bahwa proses lumpur aktif dalam pengolahan air limbah tergantung pada pembentukan flok lumpur aktif yang terbentuk oleh mikroorganisme (terutama bakteri), partikel inorganik, dan polimer exoselular. Selama pengendapan flok, material yang terdispersi, seperti sel bakteri dan flok kecil, menempel pada permukaan flok. Pembentukan flok lumpur aktif dan penjernihan dengan pengendapan flok akibat agregasi bakteri dan mekanisme adesi. Selanjutnya dinyatakan pula bahwa flokulasi dan sedimentasi flok tergantung pada hypobisitas internal dan eksternal dari flok dan material exopolimer dalam flok,

dan tegangan permukaan larutan mempengaruhi hydropobisitas lumpur granular dari reaktor lumpur anaerobik. Frank et all (1996) mencoba menggambarkan bahwa dalam sistem pengolah lumpur aktif baik untuk domestik maupun industri mengandung 1-5% padatan total dan 95-99% bulk water (liqour ?). Pembuangan kelebihan lumpur merupakan proses yang mahal, dilakukan dengan mengurangi volume lumpur melalui proses pengepresan (dewatering). Pada bagian lain dinyatakan pula bahwa konsentrasi besi yang tinggi konsentrasi besi yang tinggi, 70-90% dalam bentuk Fe (III), ditemukan dalam lumpur aktif. Akumulasi besi dapat berasal dari influent air limbah atau melalui penambahan FeSO4 yang digunakan untuk menghilangkan fosfor. Jumlah besi dalam lumpur aktif akan berkurang setelah memasuki kondisi anaerobik dan mungkin berasosiasi dengan adanya aktifitas bakteri heterotrofik. Berkurangnya fosfor dalam lumpur aktif dapat menyebabkan fosfor terlepas kedalam air. Jika ini terjadi merupakan potensi untuk terjadinya eutrofikasi pada perairan.

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Activated Sludge (Lumpur aktif) Merupakan proses pengolahan secara biologis aerobik dengan mempertahankan jumlah massa mikroba dalam suatu reaktor dan dalam keadaan tercampur sempurna. Suplai oksigen adalah mutlak dari peralatan mekanis, yaitu aerator dan blower, karena selain berfungsi untuk suplai oksigen juga dibutuhkan pengadukan yang sempurna. Perlakuan untuk memperoleh massa mikroba yang tetap adalah dengan melakukan resirkulasi lumpur dan pembuangan lumpur dalam jumlah tertentu. Pengaturan jumlah massa mikroba dalam sistem lumpur aktif dapat dilakukan dengan baik dan relatif mudah karena pertumbuhan mikroba dalam kondisi tersuspensi sehingga dapat terukur dengan baik melalui analisa laboratorium. Tetapi jika dibandingkan dengan sistem sebelumnya operasi sistem ini jauh lebih rumit. Khususnya untuk limbah industri dengan karakteristik khusus. 3.2 Proses Activated Sludge (Lumpur Aktif) Proses lumpur aktif (pertumbuhan tersuspensi) dan pengolahan film biologi (pertumbuhan lekat). Proses lumpur aktif memiliki beragam tipe , yakni tipe konvensional /standar, aerasi diperluas (extended aeration), parit oksidasi (oxidation ditch), proses nitrifikasi dan denitrifikasi. Proses lumpur aktif pada prakteknya adalah mengalirkan air limbah kedalam bak yang di aliri udara (bak aerasi). Selanjutnya dalam bak tersebut akan tumbuh koloni bakteri berwarna kelabu hingga coklat-kehitaman. Koloni bakteri inilah yang disebut sebagai lumpur aktif. Koloni bakteri akan terus tumbuh membesar sehingga membentuk gumpalan (flok). Gumpalan gumpalan ini kemudian di endapkan di bak pengendap II, dengan cara mengalirkan air limbah dari bak aerasi.

Endapan lumpur yang terbentuk di bagian bawah bak pengendap sebagian dibuang dan sebagian yang lain dikembalikan ke bak aerasi, dan cairan yang ada dibagian atas bak pengendap akan tampak jernih. Cairan yang jernih ini adalah air limbah yang sudah bersih dari bahan organik pencemar.

3.2.1 Sistem Lumpur Aktif Konvensional Sistem ini terdiri dari tangki aerasi, secondary clarifier dan recycle sludge. Selama berlangsungnya proses, terjadi adsorbsi, flokulasi dan oksidasi bahan organic. System flow yang digunakan adalah model plug flow dengan recycle. Proses ini mampu mengatasi shock loading dari buangan toxic/buangan berkekuatan tinggi karena beban tidak didistribusikan ke sepanjang tangki aerasi, melainkan terkonsentrasi pada tempat masuknya limbah.

Tangki aerasi Oksidasi aerobik material organik dilakukan dalam tangki ini. Efluent pertama masuk dan tercampur dengan Lumpur Aktif Balik (Return Activated Sludge =RAS) atau disingkat LAB membentuk lumpur campuran (mixed liqour), yang mengandung padatan tersuspensi sekitar 1.500 - 2.500 mg/l. Aerasi dilakukan secara mekanik. Karakteristik dari proses lumpur aktif adalah adanya daur ulang dari biomassa. Keadaan ini membuat waktu tinggal rata-rata sel (biomassa) menjadi lebih lama dibanding waktu tinggal hidrauliknya (Sterritt dan Lester, 1988). Keadaan tersebut membuat sejumlah besar mikroorganisme mengoksidasi senyawa organik dalam waktu yang singkat. Waktu tinggal dalam tangki aerasi berkisar 4 - 8 jam. Tangki Sedimentasi Tangki ini digunakan untuk sedimentasi flok mikroba (lumpur) yang dihasilkan selama fase oksidasi dalam tangki aerasi. Seperti disebutkan diawal bahwa sebaghian dari lumpur dalam tangki penjernih didaur ulang kembali dalam bentuk LAB kedalam tangki aerasi dan sisanya dibuang untuk menjaga rasio yang tepat antara makanan dan mikroorganisme (F/M Ratio).

Parameter Parameter yang umum digunakan dalam lumpur aktif (Davis dan Cornwell, 1985; Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986) adalah sebagai berikut: 1. Mixed-liqour suspended solids (MLSS). Isi tangki aerasi dalam sistem lumpur aktif disebut sebagai mixed liqour yang diterjemahkan sebagai lumpur campuran. MLSS adalah jumlah total dari padatan tersuspensi yang berupa material organik dan mineral, termasuk didalamnya adalah mikroorganisma. MLSS ditentukan dengan cara menyaring lumpur campuran dengan kertas

saring (filter), kemudian filter dikeringkan pada temperatur 1050C, dan berat padatan dalam contoh ditimbang. 2. Mixed-liqour volatile suspended solids (MLVSS). Porsi material organik pada MLSS diwakili oleh MLVSS, yang berisi material organik bukan mikroba, mikroba hidup dan mati, dan hancuran sel (Nelson dan Lawrence, 1980). MLVSS diukur dengan memanaskan terus sampel filter yang telah kering pada 600 - 6500C, dan nilainya mendekati 65-75% dari MLSS. 3. Food - to - microorganism ratio (F/M Ratio). Parameter ini merupakan indikasi beban organik yang masuk kedalam sistem lumpur aktif dan diwakili nilainya dalam kilogram BOD per kilogram MLSS per hari (Curds dan Hawkes, 1983; Nathanson, 1986). Adapun formulasinya sebagai berikut : F/M dimana : Q = Laju alir limbah Juta Galon per hari (MGD) =

BOD5 = BOD5 (mg/l) MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l) V 4. = Volume tangki aerasi (Gallon)

Rasio F/M dikontrol oleh laju sirkulasi lumpur aktif. Lebih tinggi laju sirkulasi lumpur aktif lebih tinggi pula rasio F/M-nya. Untuk tangki aerasi konvensional rasio F/M adalah 0,2 - 0,5 lb BOD5/hari/lb MLSS, tetapi dapat lebih tinggi hingga 1,5 jika digunakan oksigen murni (Hammer, 1986). Rasio F/M yang rendah mencerminkan bahwa mikroorganisme dalam tangki aerasi dalam kondisi lapar, semakin rendah rasio F/M pengolah limbah semakin efisien.

5.

Hidraulic retention time (HRT). Waktu tinggal hidraulik (HRT) adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh larutan influent masuk dalam tangki aerasi untuk proses lumpur aktif; nilainya berbanding terbalik dengan laju pengenceran (D) (Sterritt dan Lester, 1988). HRT = 1/D = V/ Q dimana : V = Volume tangki aerasi Q = Laju influent air limbah ke dalam tangki aerasi

D = Laju pengenceran. 6. Umur lumpur (Sludge age). Umur lumpur adalah waktu tinggal rata-rata mikroorganisme dalam sistem. Jika HRT memerlukan waktu dalam jam, maka waktu tinggal sel mikroba dalam tangki aerasi dapat dalam hari lamanya. Parameter ini berbanding terbalik dengan laju pertumbuhan mikroba. Umur lumpur dihitung dengan formula sebagai berikut (Hammer, 1986; Curds dan Hawkes, 1983) : Umur Lumpur (Hari) dimana : MLSS = Mixed liquor suspended solids (mg/l). V SSe SSw Qe Qw = Volume tangki aerasi (L) = Padatan tersuspensi dalam effluent (mg/l) = Padatan tersuspensi dalam lumpur limbah (mg/l) = Laju effluent limbah (m3/hari) = Laju influent limbah (m3/hari). =

7. Umur lumpur dapat bervariasi antara 5 - 15 hari dalam konvensional lumpur aktif. Pada musim dingin lebih lama dibandingkan musim panas (U.S. EPA, 1987a). Parameter penting yang mengendalikan operasi lumpur aktif adalah laju pemuatan organik, suplay oksigen, dan pengendalian dan operasi tangki pengendapan akhir. Tangki ini mempunyai dua fungsi: penjernih dan penggemukan mikroba. Untuk operasi rutin, orang harus mengukur laju pengendapan lumpur dengan menentukan indeks volume lumpur (SVI = Sludge Volume Index), Voster dan Johnston, 1987.

3.2.2

Modifikasi Proses Lumpur Aktif Konvensional Ada beberapa modifikasi dari proses lumpur aktif konvensional (Nathanson, 1986; US. EPA, 1977), Lihat Gambar 2.

Gambar 2. Modifikasi proses lumpur aktif. 2. Sistem aerasi lanjutan. 3. Parit oksidasi (US EPA, 1977, dalam Bitton, 1994) 2. Sistem Aerasi Lanjutan Proses ini dipakai dalam instalasi paket pengolahan dengan cara sebagai berikut : 1. Waktu aerasi lebih lama (sekitar 30 jam) dibandingkan sistem konvensional. Usia lumpur juga lebih lama dan dapat diperpanjang sampai 15 hari. 2. Limbah yang masuk dalam tangki aerasi tidak diolah dulu dalam pengendapan primer. 3. Sistem beroperasi dalam F/M ratio yang lebih rendah (umumnya <0,1 lb BOD/hari/lb MLSS) dari sistem konvensional (0,2 - 0,5 lb BOD/hari/lb MLSS). 4. Sistem ini membutuhkan membutuhkan sedikit aerasi dibandingkan dengan pengolahan konvensional dan terutama cocok untuk komunitas yang kecil yang menggunakan paket pengolahan.

3. Parit Oksidasi (Oxidation Ditch) Pengolahan air limbah yang banyak diterapkan, baik untuk air limbah domestik maupun air limbah industri, apalagi air limbah yang kaya warna seperti tekstil, adalah activated sludge. Meskipun relatif lebih mahal biaya investasi dan operasi-rawatnya, namun activated sludge lebih banyak dibuat daripada proses pengolahan air limbah secara anaerob. Sebabnya adalah kemudahan dalam beternak bakteri aerob dibandingkan dengan bakteri anaerob yang sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan seperti temperatur, pH, materi toksik dalam air limbah, variasi beban organik dan hidrolis, dll. Selain itu, variasi activated sludge juga sangat banyak, mencapai belasan varian sehingga banyak pula peluang untuk memilihnya. Salah satunya adalah oxidation ditch.

Secara etimologis, frase tersebut berasal dari dua kata dasar, yaitu oxide dan ditch. Oxide berkaitan dengan oksigen dan ditch berarti saluran, selokan, parit, kanal. Menurut istilah, oxidation ditch adalah bak berbentuk parit yang digunakan untuk mengolah air limbah dengan memanfaatkan oksigen (kondisi aerob). Namun istilah ini sering disalah artikan atau dipertukarkan dengan istilah oxidation pond yang merupakan kolam oksidasi atau sering juga disebut stabilization pond. Di unit ini oksigen yang diperoleh bakteri berlangsung secara alami tanpa bantuan alat mekanis semacam aerator sehingga di bagian bawahnya terjadi kondisi anaerob. Kondisi septic ini tidak terjadi pada ditch yang bekerja optimal. Begitu pula, di dalam ditch terjadi pengadukan yang nyaris sempurna (complete mixing), jauh lebih teraduk daripada pond, terutama di sekitar rotornya. Rotor inilah yang mendukung pengadukan, sirkulasi, aerasi dan oksidasi air limbah dan merupakan modifikasi Kessener brush aerator (jenis aerator yang dipasang memanjang di pinggir saluran).Rotor itu pun menentukan kapasitas oksigenasi khususnya yang berkenaan dengan bentuk, ukuran, dan kedalaman celupan (depth of immersion). Kedalaman celupan ini ada nilai optimumnya, tidak boleh kurang atau lebih karena kapasitas transfer oksigennya akan menurun dan nilainya ditentukan oleh kedalaman kritisnya (critical depth). Begitu pula, makin cepat putaran rotornya, makin banyak oksigen yang masuk ke dalam air limbah. Agar tidak terjadi endapan, kecepatan minimum yang diharapkan antara 0,25 s.d 0,3 m/d. Dengan kecepatan ini, partikel dan bioflok berada dalam kondisi tersuspensi. Dalam praktiknya, jumlah rotor ikut mempengaruhi kecepatan yang dihasilkan. Makin banyak rotor,

makin banyak juga oksigen yang ditransfer ke dalam massa air limbah dan bioflok tetapi makin mahal biaya investasi dan perawatannya.

Umumnya, konsentrasi oksigen sangat tinggi di sekitar rotor. Air limbah yang baru saja melewati rotor kaya akan oksigen dan sebaliknya, miskin oksigen ketika kembali ke rotor setelah berkeliling sepanjang parit oksidasi. Hal ini berlaku untuk parit oksidasi yang hanya memiliki satu rotor. Jumlah unit rotor yang dipasang dipengaruhi oleh taraf pencemaran air limbah dan debitnya. Konstruksi dan Operasi Parit oksidasi berbentuk lingkaran, oval atau ellips dengan beberapa variasi pada salah satu ujungnya. Air limbah yang diolah di unit ini harus diskrin dulu dengan coarse screen (MAM edisi Januari 2009) dan dikominusi dengan comminutor agar ranting dan sampah menjadi berukuran kecil dan dapat disisihkan. Setelah itu air limbah dialirkan ke dalam grit chamber untuk menyisihkan pasirnya. Tahap selanjutnya adalah primary settling tank yang berfungsi mengendapkan partikel yang lolos dari grit chamber. Efluen settling tank ini selanjutnya masuk ke parit oksidasi. Pada setiap unitnya, air limbah selalu mengalami pengenceran (dilusi) otomatis ketika kembali mengalir melewati bagian inlet. Faktor dilusi ini bisa mencapai nilai 20 s.d 30 sehingga nyaris teraduk sempurna meskipun bentuk baknya mendukung aliran plug flow, yakni hanya teraduk pada arah radial saja dengan aliran yang searah (unidirectional). Influennya serta merta bercampur dengan air limbah yang sudah dioksigenasi dan mengalami fase kekurangan oksigen. Pengulangan ini berlangsung terus-menerus selama pengoperasian parit oksidasi. Bahan parit bisa berupa pasangan batu kali, batu-bata, atau beton. Pilihan bahan bergantung pada besar kecilnya debit yang diolah dan kondisi air tanah setempat serta jauh-dekatnya dengan permukiman. Pada instalasi yang besar, parit oksidasi selalu dilengkapi dengan secondary settling tank yang difungsikan untuk mengendapkan bioflok dan air limbahnya dialirkan secara kontinyu. Untuk menambah efisiensi pengolahannya, dilengkapi juga dengan fasilitas resirkulasi lumpur (returned sludge). Berbagai macam cara dapat diterapkan untuk mengembalikan lumpur endapan di secondary settling tank ini. Yang biasa dilakukan adalah dengan memasang pompa lumpur ulir (screw pump).

Endapan lumpur (sludge) dialirkan secara hidrolis ke bak penampung lumpur. Karena secara hidrolis maka elevasi alas bak screw pump berada di bawah taraf muka air di secondary settling tank. Resirkulasi ini berlangsung kontinyu 24 jam sehari. Untuk mengatur konsentrasi lumpur yang masuk ke dalam parit oksidasi maka di unit penampung lumpur ini dilengkapi juga dengan kanal untuk membuang kelebihan lumpur (excess sludge) yang dialirkan ke unit pengering lumpur (sludge drying bed). Modus kedua pengoperasian parit oksidasi adalah secara berkala. Parit oksidasi ini tidak dilengkapi dengan secondary settling tank. Bioflok dibiarkan mengendap di dalam parit sampai endapannya terkumpul cukup banyak di lantai parit dalam tempo tertentu. Di sini parit difungsikan juga sebagai sedimentor. Setelah mayoritas biofloknya mengendap maka air olahannya dialirkan ke outlet, lalu dibuang ke saluran atau sungai sedangkan sludge-nya dipompakan ke bak pengering lumpur. Tentu saja tidak semua lumpurnya disedot dan dikeringkan tetapi ada porsi tertentu yang disisakan untuk starter pada periode pengolahan air limbah selanjutnya. Modus operasi seperti ini mengingatkan kita pada pola operasi sequencing batch reactor (MAM, edisi Oktober 2006) yang hanya diterapkan untuk kapasitas kecil, biasanya untuk pabrik kecil atau pabrik besar dengan kuantitas air limbah sedikit. Agar pertumbuhan bakterinya optimum, sebaiknya air limbah pabrik (terutama pabrik yang air limbahnya sedikit mengandung zat organik) digabung dengan air limbah domestik dari kamar mandi dan kloset, juga dicampur dengan air limbah dapur asalkan di bagian awalnya dilengkapi dengan penangkap lemak (grease trap). Pada instalasi besar, bentuk penampang melintang parit berupa trapezium. Bentuk segiempat juga bisa tetapi hanya untuk IPAL berkapasitas kecil. Kedalaman parit antara 1,5 2 m, bergantung pada besar-kecilnya debit yang diolah dan luas lahan yang tersedia. Lebar paritnya biasanya disesuaikan dengan panjang rotor yang dibuat oleh pabrik. Dengan demikian, saat mendesain parit oksidasi, perancang harus berhubungan dengan vendor atau pabrikan rotor dan mempelajari spesifikasi teknis rotornya. Rotor yang biasa digunakan adalah cage rotor, berisi lembaran pelat logam yang dipasang mirip sikat yang biasa digunakan untuk membersihkan tabung reaksi di laboratorium. Poros (shaft) rotor ini diputar oleh motor berkecepatan tertentu sesuai dengan spesifikasinya. Putarannya bisa mencapai 72 rpm (revolution per minute, putaran per menit) dengan kedalaman celupan 13,5 cm.

Aerasi Bertingkat Limbah hasil dari pengolahan primer (pengendapan) masuk dalam tangki aerasi melalui beberapa lubang atau saluran, sehingga meningkatkan distribusi dalam tangki aerasi dan membuat lebih efisien dalam penggunaan oksigen. Proses ini dapat meningkatkan kapasitas sistem pengolahan. Stabilisasi Kontak Setelah limbah dan lumpur bercampur dalam tangki reaktor kecil untuk waktu yang singkat (20-40 menit), aliran campuran tersebut dialirkan ke tangki penjernih dan lumpur dikembalikan ke tangki stabilisasi dengan waktu tinggal 4 - 8 jam. Sistem ini menghasilkan sedikit lumpur. terdiri dari dua fase, yaitu : Fase Adsorbs dimana bahan organic terlarut secara koloidal dan dissolved diadsorbsi oleh activated sludge. Vase oksidasi Yaitu asimilasi bahan organic secara metabolic. Keuntungannya adalah pengurangan volume tangki aerasi dan baik untuk pengolahan limbah domestic. Sistem Aerasi Campuran Pada sistem ini limbah hanya diaerasi dalam tangki aerasi secara merata. Sistem ini dapat menahan shock load dan racun. Lumpur Aktif Kecepatan Tinggi Sistem ini digunakan untuk mengolah limbah konsentrasi tinggi dan dioperasikan untuk beban BOD yang sangat tinggi dibandingkan proses lumpur aktif konvensional. Proses ini mempunyai waktu tinggal hidraulik sangat singkat. Sistem ini beroperasi pada konsentrasi MLSS yang tinggi. Aerasi Oksigen Murni Sistem aerasi dengan oksigen murni didasarkan pada prinsip bahwa laju tranfer oksigen lebih tinggi pada oksigen murni dari pada oksigen atmosfir. Proses ini menghasilkan kemampuan oksigen terlarut menjadi lebih tinggi, sehingga meningkatkan efisiensi pengolahan dan mengurangi produksi lumpur. Nitrifikasi yang Menggunakan Proses Lumpur Aktif Dua Tingkat Proses nitrifikasi bakteri berkembang lambat dengan syarat waktu tinggal lumpur lama dan konsentrasi pembentukan oksigen tinggi. Dalam penjumlahan diperkirakan rintangan oleh

bidang luas dari senyawa-senyawa pada konsentrasi juga tinggi rendahnya temperatur mempengaruhi bakteri berbagai daerah tropis.

Untuk alasan ini, dapat dilihat jalan terbaik untuk memisahkan proses pembersihan yang mengandung karbon dan proses pembersihan nitrogen dalam memisahkan reaktor-reaktor, seperti perbedaan operasi dapat berlaku dalam setiap kondisi, dengan pertambahan efisiensi proses dan penghematan tempat keseluruhan dalam penjumlahan mungkin bahwa senyawasenyawa pengganggu tidak akan berbahaya disumbangkan pada tingkat pertama pada proses metabolisme, pengikatan dan pencairan membentuk kelompok, maka dari itu nitrifikasi pada tingkat kedua tidak akan terhalang. Skema diagram dari tipe proses kedua digambarkan dalam Grafik 2.1. Luas susunan kebebasan didapatkan dengan tipe proses tingkat kedua dan proses konvensi aerasi dengan mesin digabungkan oleh kedua penyebaran aerator tingkat kedua dan proses nitrifikasi filter cairan.Dalam penjumlahan tingkat pertama dapat juga berubah-ubah di antara sistem oksigen murni seperti proses VITOX, mesin aerator dan penyebaran udara. Dalam pandangan luas, susunan kombinasi-kombinasi dan fakta-fakta bahwa tumbuhan tingkat kedua sangan sedikit dalam operasi, sangat sedikit disain informasi yang tersedia. Suatu masalah sistem tingkat ke-2 bahwa mutlak hasil pertumbuhan rendah dari konsentrasi solid nutifiens dalam reaktor tingkat ke-2 sangat rendah. Frekuensi ini menunjukkan kemampuan mengendap lumpur lemah disertai dengan kerugian-kerugian padatan. Frekuensi resirkulasi solid hanya berkurang dari tangki sedimentasi tingkat pertama. Dalam penjumlahan penyebaran udara sistem operasi pada konsentrasi solid rendah digabungkan dengan masalah busa dan pertumbuhan anti busa dan frekuensinya.

Grafik 2.1 Skema dengan proses nitrifikasi cara lumpur aktif tingkat ke-2. Tingkat ke-1 adalah proses pembersihan karbon dengan mesin aerasi, mengingat tingkat ke-2 adalah proses difusi nirtifikasi udara. Nitrifikasi Dalam Saringan-Saringan Aliran Dalam sebuah saringan tunggal, proses nitrifikasi bakteri akan bersaing dengan bakteri berbagai tropik untuk menyediakan kebutuhan oksigennya. Tersedianya oksigen dalam saringan berfungsi dalam konsentrasi BOD dan bakteri berbagai tropik tersedia akan mengatasi nutrifien ketika BOD tersedia dengan mudah. Tampaklah bahwa BOD yang dapat larut sekitar 20mg/l dibutuhkan sebelum oksigen cukup menyediakan nitrifikasi yang tersedia, seperti sangant sedikitnya saringan-saringan yang dapat menyediakan effluen berkualitas, saringannya tidak ada atau dibatasinya nitrifikasi menyebabkan lebih rendahnya jangkauan saringan. Dalam mencapai nitrifikasi tetap oleh saringan adalah penting untuk membatasi jumlah beban organik untuk grafik media mineral antara 0,16 0,19 kg/m3.d, dipakai guna pembersihan amonia hingga 75 % Beban orgaanik (kg BOD/1000 m2.d)

Grafik 1.2 Pengaruh Jumlah Beban Organik Pada Pembesihan Amonia Dalam Saringan Aliran. Denitrifikasi
Dalam suatu keadaan di mana tanpa pemberian oksigen yang telahn larut, maka kegunaan dari oksigen sebagai penerima elektron yang terakhir untuk pernafasan terhambat. Dalam keadaan seperti ini, maka kebanyakan dari mikroorganisme fakultatif harus bertumpu pada fermentasi guna
+

menimbulkan lagi NAD . Bagaimanapun, tentu chemoorganotrops mampu di dalam menempatkan


-

O dengan NO sebagai penerima elektron terakhir dan respirasi dapat dilakukan dengan cara
2 3

mereduksi nitrat ke dalam bentuk nitrit, oksidasi nitrit dan oksidasi nitrous atau nitrogen sebagaimana yang ditunjukkan pada reaksi 2.1. (2.1) Reaksi +5 Redoks Pernyataan No 3 dari Nitrat Nitrogen +3
-

+2 NO Oksidasi Nitrit NO
2

+1 N
2

No

Oksidasi Nitrogen Nitrit Nitrous Di mana produksi akhir asterik ditunjukkan seperti gas diketahui sebagai anaerob atau

respirasi nitrat dan dibawa ke luar oleh pergantian bakteri tertentu seperti Alcaligenes, Achromobacter, Micrococcuss dan Pseudomonas. Tidak semua genera ini mempunyai kemampuan untuk melengkapi oksidasi ke dalam bentuk nitrogen dan juga berbagi jenis produksi seperti gas tertentu dapat dihasilkan. Pernyataan reaksi redoks sebagai perantara dalam denitrifikasi (Reaksi 2.1), menunjukkan bahwa reaksi dapat diproses dengan jalan menserikan suatu langkah-langkah tertentu, di mana tiap-

tiap langkah (bentuk) dengan mendapat sutu elektron. Suatu donor elektron kemudian dibutuhkan sebagai suatu suatu sumber dari elektron-elektron ini. Dalam perlakuan air selokan (limbah), reaksi dibawa ke luar secara awal oleh bakteri heterotopic dan juga sumber karbon organik dapat digunakan. Walaupun air limbah itu sendiri memuat suatu sumber yang sesuai dari karbon organik, namun hal ini tidak mencukupi (sebanding) untuk aliran-aliran anak sungai yang telah diperlakukan (perlakuan air limbah), dengan demikian dalam dua sistem pemberhentian suatu sumber pelengkap dari karbon harus dihasilkan hal ini secara berulang-ulang dapat dicapai dengan penggunaan limbahlimbah industri, dan pertanian seperti limbah buah-buahan, cairan gula atau selasi biji-bijian. Dalam keadaan suatu alternatif maka methanol secara umum dapat diterima sebagai sesuatu yang sempat tidak sesuai, secara komersial sesuai dengan sumber karbon. Stoikiometri dari pertumbuhan methanol sebagai kedua dari suatu karbon dan sumber energi diberikan dengan rumus :

NO + 1,08 CH OH + H 0,065 C H O N + 0,47 N + 0,76 CO + 2,44 H O (2.2)


3 3 5 7 2 2 2 2

Reaksi nyala terang ini berbeda di antara pertumbuhan bakteri penitritan (Persamaan 2.1) dan pendenitrifikasi. Oksigen ini tidak dibutuhkan untuk denitrifikasi,sesungguhnya ketika ia ada, hal ini lebih cocok dieksploitasi sebagai suatu penerima elektron yang terakhir. Dalam tambahan, sebagai suatu kegunaan proton-proton organisme dalam suatu reduksi nitrat, kemudian air limbah akan menuju kepada menjadi alkali yang dibandingkan dengan produksi jenis-jenis asam selama nitrifikasi akhirnya sebagai pendenitrifikasi adalah bakteri heterotopic, bakteri-bakteri ini lebih bersumber daya dan lebih banyak efisiensinya dan penitrifikasi dengan demikian daerah dan rata-rata pertumbuhannya akan lebih memuncak.

Kinetika Reaksi Nitrifikasi Dua faktor penting yang mempengaruhi rata-rata dari penitrifikasi, adalah substarsi (donor elektron) konsentrasi dan konsentarsi nitrat. Kedua pengaruh ini dapat dibentuk dengan penggunaan kinetik Monod Standard, dan pertumbuhan rata-rata dijalankan oleh suatu persamaan Monod ganda dengan rumus:

Di mana adalah rata-rata pertumbuhan spesifik maksimum dari bakteri penitrat dan N
m

adalah konsentrasi nitrat. Nilai-nilai untuk koefisien jenuh nitrat (K ) secara umum sangat rendah, dalam jangkauan
N

0,08 0,1 g/l dan dengan demikian N >> K dan istilah Monod untuk konsentrasi nitrat dalam
N

persamaan 2.3 mendekati pada satu. Oleh karena itu, rumus ini dapat ditulis :

Hal ini berarti bahwa denitrifikasi adalah suatu reaksi orde pertama denagn cenderung kepada konsentrasi biomas dan orde nol cenderung kepada konsentrasi nitrat. Untuk suatu kelengkapan mencampur pereaksi dari volume V, di mana persamaan keseimbangan dari suatu tipe yang telah dilukiskan oleh persamaan 2.3 dapat dibentuk sekarang(2.5)

Pada ketetapan menyatakan d[NO ]/dt = 0, maka :


3

Dalam hal ini, istilah sering disebut rata-rata denitrifikasi spesifik (q) .Hal ini dihubungkan
m DN

dengan temperatur dengan persamaan empiris :

Dengan demikian, penerimaan temperatur dari bulan-bulan yang sangat dingin diketahui, suatu volume reaksi dihitung dari persamaan (2.6) sekali suatu penambahan pengoperasian akan melemahkan konsentrasi buat yang telah diseleksi.

Proses Konfigurasi Untuk Pemindahan Nitrogen Pemindahan nitrogen yang lengkap dari air limbah membutuhkan bahwa kedua nitrifikasi dan kejadian denitrifikasi, sebagai denitrifikasitidak dapat terjadi tanpa keberadaan suatu nitrat. Sebagaimana dua reaksi tampak, yang secara fundamental sangat bertentangan dengan kebutuhan lingkungan. Secara utama cenderung kepada oksigen, lantas hal ini sangat sulit untuk dilihat dalam hal bagaimana keduanya dapat terjadi dalam reaksi tunggal. Bagaimanapun, oleh daerah perlengkapan bersamaan dengan reaktor dimana aerator tidak dihubungkan, dan hanya penambahan kejadian-kejadian, kondisi anoxin secara cepat ditetapkan dan diidentifikasi akan terjadi. Hal ini dapat dicapai dengan sangat mudah dalam penarik yang aliranya tertahan ke tangki-tangki buangan, atau parit oksidasi yang merupakan saluran yang tidak berakhir. Daerah anoxik secara umum dipilih terbuka menuju sasaran dimana air limbah menetap dan berpaling ke dalam bentuk menuju suatu reaksi guna menyakinkan bahwa di tempat itu terdapat suatu tempat yang cukup untuk menampung donorr elektron di dalam suatu tempat limbah, dan nitrat melalui suatu bentuk lupur yang terrecycle. Supaya dapat meyakinkan bahwa konsentrasi aliran-aliran nitrat dapat ditemukan, yang demikian itu penting untuk recycle. Suatu fraksi yang sangat besar dari lumpur yang akan ditemui dan suatu bilangan recycle dari 1,5 1 selalu dibutuhkan. Setelah periode anoxik,permulaan aerasi dan nitrifikasi secara cepat dapat diringkas. Diagram aliran untuk khusus pemindahan pereaksi lumpur nitrogen tunggal ditunjukkan dalam Gambar 2.1 Suatu rata-rata perpindahan nitrogen yang tinggi secara umum dapat dicapai dalam suatu sistem pemisahan lumpur dalam suatu aliran dari tingkat nitrifikasi, yang kadar nitratnya tinggi adalah bentuk pemisahan pereaksi anoxik untuk denitrifikasi (Gambar 2.2) rata-rata pemindahan yang lebih tinggi berarti bahwa volume pereaksi yang karena dikehendaki, tetapi perbekalan dari dua penambah berarti bahwa kebutuhan penambahan tersebut ditambah dalam penambahan, sebagai suatu aliran dari masa penambahan petama ditambah dengan penuh, hal ini juga mempunyai BOD yang rendah dan secara tegas tidak cukup dalam donor elektron, suatu sumber tambahan karbon

dikehendaki oleh karena tersebut. Akhirnya rata-rata denitrifikasi yang tinggi selalu dihasilkan dalam suatu tambahan pH dan dengan demikian pengontrolan pH ini harus dilengkapi. Sistem lumpur tunggal lantas secara umum menyebabkan biaya yang efektif dan membutuhkan proses pengontrolan yang berkurang.

Gambar 2.1 Pemindahan Nitrogen dalam suatu pereaksi lumpur yang terbuat dari lumpur tunggal. Kantong pertama adalah anoksik dan menerima lumpur yang kembali dalam tempat limbah. Kantong peninggalan adalah anaerobik dan dijalankan pada suatu umur lumpur yang lama supaya dapat menjamin nitrifikasi penuh

Sistem dua tempat kejadian untuk pemindahan Nitrogen. Bagan I adalah suatu pereaksi aerobik yang dioperasikan dengan suatu lumpur yang berumur panjang untuk meyakinkan nitrifikasi. Bagan II adalah suatu penambahan pemersatuan dari suatu sumber karbon untuk meyakinkan denitrifikasi

3.2.3

Biologi Lumpur Aktif Dua tujuan dari sistem lumpur aktif pertama adalah oksidasi material organik yang

biodegradable dalam tangki aerasi kemudian dikonversi menjadi bentuk sel yang baru, kedua flokulasi, memisahkan biomassa yang baru terbentuk dari air effluent. Survei Organisme Dalam Lumpur Aktif Flok dalam aktifitas lumpur mengandung sel bakteri disamping partikel anorganik dan organik. Ukuran flok bervariasi antara <1 m m (ukuran beberapa sel bakteri) sampai dengan 1 000 m m atau lebih (Parker et al., 1971; U.S.EPA, 1987a), Lihat Gambar 3. Sel hidup dalam flok dapat diukur dengan analisis ATP dan aktifitas dehidrogenase, berjumlah 5-20% dari total sel (Weddle dan Jenkins, 1971). Beberapa peneliti menjaga agar fraksi aktif bakteri dalam lumpur aktif mewakili hanya 1-3% bakteri total (Hanel, 1988).

Gambar 3. Distribusi ukuran partikel dalam lumpur aktif (Parker et al, 1971, dalam Bitton, 1994).

Berikut ini adalah beberapa mikroorganisme yang dapat diamati dalam flok lumpur aktif : Bakteri

Bakteri merupakan unsur utama dalam flok lumpur aktif. Lebih dari 300 jenis bakteri yang dapat ditemukan dalam lumpur aktif. Bakteri tersebut bertanggung jawab terhadap oksidasi material organik dan tranformasi nutrien, dan bakteri menghasilkan polisakarida dan material polimer yang membantu flokulasi biomassa mikrobiologi. Genus yang umum dijumpai adalah : Zooglea,Pseudomonas, Flavobacterium, Alcaligenes, Bacillus, Achromobacter,

Corynebacterium, Comomonas, Brevibacterium, dan Acinetobacter, disamping itu ada pula mikroorganisme berfilamen, yaitu Sphaerotilus dan Beggiatoa, Vitreoscilla yang dapat menyebabkan sludge bulking. Karena tingkat oksigen dalam difusi terbatas, jumlah bakteri aktif aerobik menurun karena ukuran flok meningkat (Hanel, 1988). Bagian dalam flok yang relatif besar membuat kondisi berkembangnya bakteri anaerobik seperti metanogen. Kehadiran metanogen dapat dijelaskan dengan pembentukan beberapa kantong anaerobik didalam flok atau dengan metanogen tertentu terhdap oksigen (Wuetal., 1987). Oleh karena itu lumpur aktif cukup baik dan cocok untuk material bibit bagi pengoperasian awal reaktor anaerobik. Tabel 1. Distribusi Bakteri Heteropik Aerobik Dalam Lumpur Aktif Standard (Hiraishi et al. (1989).
GENUS KELOMPOK Comamonas-Pseudomonas Alkaligenes Pseudomonas (Kelompok Florescent) Paracoccus Unidentified (gram negative rods) Aeromomas PERSENTASI DARI TOTAL ISOLAT 50 5,8 1,9 11,5 1,9 1,9

Flavobacterium - Cytophaga Bacillus Micrococcus Coryneform Arthrobacter Aureobacterium-Microbacterium

13,5 1,9 1,9 5,8 1,9 1,9

Jumlah total bakteri dalam lumpur aktif standard adalah 108 CFU/mg lumpur. Tabel 1. menunjukkan beberapa genus bakteri yang ditemui dalam standard lumpur aktif. Sebagian besar bakteri yang diisolasi diidentifikasi sebagai spesies-spesies Comamonas-Psudomonas. Caulobacter, bakteri bertangkai umumnya ditemukan dalam air yang miskin bahan organik, dapat diisolasi dari kebanyakan pengolahan limbah, khususnya lumpur aktif (MacRae dan Smit, 1991).

Gambar 4. Distribusi Zoogloea adalah bakteri yang menghasilkan exopolysaccharide yang membentuk proyeksi khas seperti jari tangan dan ditemukan dalam air limbah dan lingkungan yang kaya bahan

organik (Norberg dan Enfors, 1982; Unz dan Farrah, 1976; Williams dan Unz, 1983). Zoogloea diisolasi dengan menggunakan media yang mengandung m-butanol, pati, atau m-toluate sebagai sumber karbon. Bakteri ini ditemukan dalam berbagai tahap pengolahan limbah tetapi jumlahnya hanya 0,1-1% dari total bakteri dalam mixed liqour (Williams dan Unz, 1983). Kepentingan relatif bakteri ini dalam air limbah membutuhkan penelitian lebih lanjut. Flok lumpur aktif juga merupakan tempat berkumpulnya bakteri autotrofik seperti bakteri nitrit (Nitrosomonas, Nitrobacter), yang dapat merubah amonia menjadi nitrat dan bakteri fototrofik seperti bakteri ungu non sulfur (Rhodospilrillaceae), yang dapat dideteksi pada konsentrasi sekitar 105 sel/ml. Bakteri ungu dan hijau ditemukan dalam jumlah yang sangat kecil. Barangkali, bakteri fototrofik hanya sedikit berperan dalam penurunan nilai BOD dalam lumpur aktif (Madigan, 1988; Siefert et al., 1978).

Fungi Lumpur aktif biasanya tidak mendukung kehidupan fungi walaupun beberapa fungi berfilamen kadang-kadang ditemukan dalam flok lumpur aktif. Fungi dapat tumbuh pesat dibawah kondisi pH yang rendah, toksik, dan limbah yang kekurangan nitrogen. Genus yang dominan ditemukan dalam lumpur aktif adalah Geotrichum, Penicillium, Cephalosporium, Cladosporium, dan Alternaria (Pipes dan Cooke, 1969; Tomlinson dan Williams, 1975). Lumpur ringan (Sludge Bulking) dapat dihasilkan oleh pertumbuhan yang pesat Geotrichum candidum, yang dirangsang oleh pH rendah dari limbah yang asam. Protozoa Protozoa adalah significant predator dalam lumpur aktif seperti dalam lingkungan akuatik alam (Curds, 1982; Drakides, 1980; Fenchel dan Jorgensen, 1977; LaRiviere, 1977). Pemakanan bakteri oleh protozoa dapat ditentukan dengan eksperimen pemakanan bakteri yang telah diberi 14C atau 35C atau flouresen (Hoffmann dan Atlas, 1987; Sherr et al, 1987). Pemakanan bakteri tersebut dapat mereduksi toksikan. Contoh, Aspidisca costata yang memakan bakteri dalam lumpur aktif dapat menurunkan Kadmium (Hoffmann dan Atlas, 1987). Protozoa paling sering ditemukan dalam lumpur aktif adalah Carchesium, Paramecium sp, Opercularia sp, Chilodenella sp, Vorticella sp, Apidisca sp (Dart dan Stretton, 1980, Edeline, 1988; Eikelboom dan van Buijsen, 1981).

Cilliata. Siliata atau bulu getar digunakan untuk pergerakan dan mendorong partikel makanan kedalam mulut . Siliata dibagi menjadi tiga, yaitu : Siliata bebas (free), merayap (creeping), dan bertangkai (stalked). Siliata bebas (tidak terikat) memakan bakteri bebas yang terbang. Genus yang paling penting sering ditemukan dalam lumpur aktif adalah Chilodonella, Colpidium, Blepharisma, Euplotes, Paramecium, Lionotus, Trachelophyllum, dan Spirostomum. Siliata merayap memakan bakteri yang berada dipermukaan flok lumpur aktif. Dua genus penting, yaitu : Aspidisca dan Euplotes. Cilitas bertangkai menempel tangkainya pada flok. Tangkai mempunyai myoneme untuk menangkap mangsa. Contoh siliata bertangkai adalah Vorticella, Carchesium, Opercularia, dan Epistylis. Rotifers Rotifers adalah metazoa (organisme bersel banyak) dengan ukuran bervariasi dari 100 mm 500 m m. Tubuhnya menancap pada partikel flok dan sering tercabut dari permukaan flok (Doohan, 1975; Eikelboom dan van Buijsen, 1981). Rotifers ditemukan dalam instalasi pengolahan air limbah termasuk dua orde pertama, Bdelloidea (contoh : Philodina spp., Habrotrocha spp.) dan Monogononta (contoh : Lecane spp., Notommata spp.). Peranan rotifers dalam lumpur aktif adalah : (1) menghilangkan bakteri tersuspensi (contoh : bakteri yang tidak membentuk flok; (2) memberi kontribusi terhadap pembentukan flok melalui pelet kotoran yang dikelilingi oleh mukus. Kehadiran rotifers dalam tahap akhir pengolahan limbah sistem lumpur aktif dikarenakan kenyataan bahwa hewan ini mempunyai siliata yang kuat yang menolong dalam mencari makan dan menurunkan jumlah bakteri tersuspensi (membuat air lebih jernih) dan aksi siliatanya lebih kuat dibandingkan protozoa.

3.2.4

Oksidasi Bahan Organik Dalam Tangki Aerasi Air limbah domestik mempunyai rasio C:N:P sebesar 100 : 5 : 1, yang mencukupi untuk kebutuhan sebagian besar mikroorganisme. Bahan organik dalam air limbah terdapat dalam bentuk terlarut, koloid, dan fraksi partikel. Bahan organik terlarut sebagai sumber makanan bagi mikroorganisme heterotrophik dalam mixed liquor. Bahan organik ini cepat hilang oleh adsorpsi dan proses flokulasi, dan juga oleh absorpsi dan oksidasi oleh mikroorganisme.

Aerasi dalam beberapa jam dapat membuat perubahan dari BOD terlarut menjadi biomassa mikrobial. Aerasi mempunyai dua tujuan : (1) memasok oksigen bagi mikroorganisme aerobik, dan (2) menjaga lumpur aktif agar selalu konstan teragitasi untuk melaksanakan kontsak yang cukup antara flok dengan air limbah yang baru datang pada sistem pengolahan limbah. Konsentrasi oksigen yang cukup juga diperlukan untuk aktifitas mikroorganisme heterotrophik dan autotrophik, khususnya bakteri nitrit. Tingkat oksigen terlarut harus antara 0,5 - 0,7 mg/l. Proses nitrifikasi berhenti jika oksigen terlarut dibawah 0,2 mg/l (Dart dan Stretton, 1980). Curds dan Hawkes (1983) membuat ringkasan reaksi degradasi dan biosintesis yang terjadi dalam tangki aerasi dalam proses lumpur aktif (Gambar 5).

Gambar 5. Penghilangan Bahan Organik Dalam Proses Lumpur Aktif (Curds dan Hawkes, 1983 dalam Gabriel Bitton, 1994.

3.2.5

Pengendapan Lumpur Campuran air dan lumpur (mixed liqour) dipindahkan dari tangki aerasi ke tangki pengendapan, tempat lumpur dipisahkan dari air yang telah diolah. sebagian lumpur aktif dikembalikan ke tangki aerasi dan sebagian lagi dibuang dan dipindahkan ke pengolahan

aerobik. Sel mikrobial terjadi dalam bentuk agregat atau flok, densitasnya cukup untuk mengendap dalam tangki penjernih. Pengendapan lumpur tergantung ratio F/M dan umur lumpur. Pengendapan yang baik dapat terjadi jika lumpur mikroorganisme berada dalam fase endogeneous, yang terjadi jika karbon dan sumber energi terbatas dan jika pertumbuhan bakteri rendah. Pengendapan lumpur yang baik dapat terjadi pada rasio F/M yang rendah (contoh : tingginya konsentrasi MLSS). Sebaliknya, Rasio F/M yang tinggi mengakibatkan pengendapan lumpur yang buruk. Dalam air limbah pemukiman, rasio F/M yang optimum antara 0,2 dan 0,5 (Gaudy dan Gaudy, 1988; Hammer, 1986). Rata-rata waktu tinggal sel yang diperlukan untuk pengendapan yang efektif adalah 3 - 4 hari (Metcalf dan Eddy, 1991). Pengendapan yang tidak baik dapat terjadi akibat gangguan yang tiba-tiba pada parameter fisik (suhu dan pH), kekurangan makanan (contoh N, suhu, mikronutrien), dan kehadiran zat racun (seperti logam berat) yang dapat menyebabkan hancurnya sebagian flok yang sudah terbentuk (Chudoba, 1989). Cara konvensional untuk monitoring pengendapan lumpur adalah dengan menentukan Indeks Volume Sludge (Sludge Volume Index = SVI). Caranya adalah sebagai berikut : Lumpur campuran dari tangki aerasi dimasukkan dalam silinder volume 1 liter dan dibiarkan selama 30 menit. Volume sludge dicatat. Volume lumpur yang mengendap adalah SV, MLSS adalah mixed liqour suspended solid (mg/l). Dalam pengolahan lumpur yang konvensional (MLSS < 3 500 mg/l) nilai SVI berkisar 50 - 150 ml/g. SVI (ml/g) =

Permasalahan dalam lumpur aktif antara lain : 1. Dispersed Growth Mikroorganisme tidak dapat membentuk flok dan tetap terurai (hanya membentuk rumpun kecil atau sel tunggal.) Bakteri yang tidak membentuk flok umumnya dikonsumsi oleh protozoa. akibatnya antara lain effluent tetap keruh, tidak terbentuk daerah pengendapan sludge. 2. Non-filamentous bulking

Disebut juga zoogleal bulking dan disebabkan oleh pembentukan exopolysaccharida yang berlebihan oleh Zooglea dalam activated sludge. Akibat yang terjadi antara lain menurunkan kemampuan pengendapan dan flok kurang padat. Bulking tipe ini agak jarang ditemui dan dikoreksi oleh khlorinasi. (Chudoba, 1989)

3. Rising sludge Sludge naik ke permukaan sebagai akibat dari denitrifikasi berlebihan, sebagai hasil dari kondisi anoxic dalam tangki sedimentasi. Partikel sludge mengikat gelembung nitrogen dan membentuk sludge blanket di permukaan clarifier.

Sludge lolos ke effluent sehingga menjadi keruh dan meningkatkan kembali kadar BOD5. Salah satu solusi problem ini adalah mengurangi waktu tinggal sludge seperti dengan menaikkan kapasitas sirkulasi sludge.

4. Terbentuknya foam dan scum Problem ini disebabkan oleh tidak terurainya surfactan serta adanya mikroorganisme Nocardia sp dan kadang-kadang juga disebabkan oleh adanya Microthhrix parvicella. Solusi : 1. Menggunakan antifoam 2. Menghilangkan busa secara mekanis sebelum masuk Clarifier

5. Filamentous bulking Bulking merupakan problem berupa lambatnya pengendapan dan tidak kompaknya padatan di clarifier.

Filamentous bulking umumnya disebabkan oleh pertumbuhan yang berlebihan dari mikroorganisme filamentous seperti Thiothrix sp Thiothrix sp.

6. Pinpoint-flok Adalah suatu keadaan dimana flok yang dihasilkan sangat tipis Hal ini disebabkan karena kurangnya bakteri filamentous yang berfungsi ibaratnya sebagai tulang belakang dalam proses pembentukan flok sehingga flok kehilangan strukturnya, serta mempunyai kemampuan pengendapan yang rendah, akibatnya effluent tetap keruh. 7. Efek Pertumbuhan Filamentous Bakteri a. Pinpoint- floc

b. small, weak flocs c. flocs contining filamentous organisms d. flocs containing filamentous organism network" or backbone."

Proses lumpur aktif (activated sludge) pada pengolahan air limbah memiliki kelebihan dan kekurangan apabila diterapkan untuk pengolahan air limbah. 1. Keuntungan Sifatnya yang beragam dapat memungkinkan pemanfaatan dari skala kecil hingga untuk skala besar, dapat mengeliminasi bahan organic, dicapainya oksidasi dan nitrifikasi, proses nitrifikasi secara biologis tanpa menambahkan bahan kimia, eliminasi fosfor biologis, pemisahan padatan/cairan, stabilisasi lumpur, mampu mengurangi padatan tersuspensi sebesar 97%, dan proses activated sludge merupakan proses pengolahan air limbah yang paling banyak digunakan.

2. Kekurangan Tidak menghilangkan warna dari limbah industri dan dapat meningkatkan warna melalui oksidasi, tidak menghilangkan nutrient sehingga memerlukan penanganan tersier, daur ulang biomassa menyebabkan konsentrasi biomassa yang tinggi di dalam tanki aerasi sehingga diperlukan teknologi penerimaan waktu tinggal, Membutuhkan energi yang besar, Membutuhkan operator yang terampil dan disiplin dalam mengatur jumlah massa mikroba dalam reactor dan Membutuhkan penanganan lumpur lebih lanjut.

BAB IV PENUTUP

4.1 KESIMPULAN Dari pembahasan yang telah kami buat, dapat kita simpulkan bahwa: pengolah limbah dengan sistem lumpur aktif (Activated Sludge System) , dapat membersihkan air yang dulunya tercemar oleh lumpur dapat dibersihkan dengan melalui teknologi pengolah limbah ini, sehingga dapat memudahkan masyarakat untuk mengambil air bersih. 4.2 SARAN Untuk kedepannya agar pembaca dapat melengkapi pembahasan tentang Activated Sludge dengan sumber yang lebih akurat. Dengan adanya pembahasan tentang Activated Sludge agar pembaca dapat mempraktekkan di lapangan dalam pengolahan limbah secara biologi.

DAFTAR PUSTAKA Benedict, R. G. and Carlson, D. A. (1971) Aerobic Heterotrophic Bacteria in Activated Sludge, Water Research, v. 5, pp. 1023-1030.

Curds, C. R. and Cockburn, A. (1970) Protozoa in Biological Sewage-Treatment ProcessesI. A Survey of the Protozoan Fauna of British Percolating Filters and Activated-Sludge Plants, Water Research, v. 4, pp. 225-236. Curds, C. R. and Fey, G. J. (1969) The Effect of Ciliated Protozoa on the Fate of Escherichia coli in the Activated-Sludge Process, Water Research, v. 3, pp. 853-867. Curtis, E. J. C. (1969) Sewage Fungus: Its Nature and Effects, Water Research, v. 3, pp. 289 311. Grabow, W. O. K. (1968) The Virology of Waste Water Treatment, Water Research, v. 2, pp. 675-701. Jenkins, D., Richard, M. G., and Daigger, G. T. (1993) Manual on the Causes and Control of Activated Sludge Bulking and Foaming, 2nd ed. Boca Raton: Lewis Publishers. Laubenberger, G. and Hartmann, L. (1971) Physical Structure of Activated Sludge in Aerobic Stabilization, Water Research, v. 5, pp. 335-341. Painter, H. A. (1970) A Review of Literature on Inorganic Nitrogen Metabolism in Microorganisms, Water Research, v. 4, pp. 393-450. Siebert, M. L. and Toerien, D. F. (1969) The Proteolytic Bacteria Present in the Aerobic Digestion of Raw Sewage Sludge, Water Research, v. 3, pp. 241-250. Spellman, F. R., Ph.D. (1997) Microbiology for Water/Wastewater Operators. Lancaster, PA: Technomic Publishing Co. Inc. Toerien, D. F. (1967) Direct-Isolation Studies on the Aerobic and Facultative Anaerobic Bacteria Flora of Anaerobic Digesters Receiving Raw Sewage Sludge, Water Research, v. 1, pp. 55-59. Toerien, D. F. (1970) Population Description of the Non-methanogenic Phase of Anaerobic DigestionI. Isolation characterization and identification of Numerically Impo rtant Bacteria, Water Research, v. 4, pp. 129-148. http://agoengoetomo.blogspot.com/2011/01/rebecca-dohse-dan-amy-heywood-dalam.html http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1346/1/tkimia-salmah2.pdf http://eprints.upnjatim.ac.id/1244/2/%286%29_Luluk_edahwati.pdf http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/message/15160 http://www.scribd.com/doc/53189398/KIMIA

También podría gustarte