Está en la página 1de 7

Pengertian GCG GCG adalah mengenai sistem, proses, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai

pihak yang berkepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapainya tujuan perusahaan. Dua teori utama yang berkaitan dengan corporate governance adalah stewardship theory dan agency theory (Chinn,2000; Shaw,2003). Stewardship Teori dibangun berdasarkan asumsi filosofis mengenai sifat manusia yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan fidusia yang dikehendaki para pemegang saham. Dengan kata lain, stewardship theory memandang manajemen sebagai dapat dipercaya untuk bertindak dengan sebaikbaiknya bagi kepentingan publik maupun stakeholder. Agency Theory Keagenan merupakan suatu kontrak antara principal dengan agent. Inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahan antara kepemilikan (principal/investor) dan pengendalian (agent/manajer). Kepemilikan diwakili oleh investor yang mendelegasikan kewenangan kepada agen dalam hal ini manajer untuk mengelola kekayaan investor. Investor mempunyai harapan bahwa dengan mendelegasikan wewenang pengelolaan tersebut, mereka akan memperoleh keuntungan dengan bertambahnya kekayaan dan kemakmuran investor.

Organ utama GCG adalah:


1.

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagai forum pengambilan tertinggi bagi Pemegang Saham Perseroan.

keputusan

2. 3.

Dewan Komisaris sebagai pengawas jalannya pengelolaan Perseroan oleh Direksi. Direksi sebagai pengelola Perseroan

Prinsip Prinsip Good Corporate Governance

1. Fairness (Kewajaran) Fairness (kewajaran) adalah prinsip yang harus diterapkan perusahaan sehubungan dengan perlakuan yang sama terhadap para pemegang saham, terutama pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing dengan keterbukaan informasi yang penting serta melarang pembagian untuk pihak sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam (insider trading). Dalam hal ini Bank harus memperhatikan kepentingan

seluruh stakeholder berdasarkan asas kesetaraan dan kewajaran (equal treatment). Namun, bank juga perlu memberikan kesempatan kepada stakeholdersuntuk memberikan masukan bagi kepentingan bank sendiri serta memiliki akses terhadap informasi sesuai dengan prinsip keterbukaan.

2. Disclosure and Transparancy (Keterbukaan-Transparansi) Disclosure and Transparancy (Keterbukaan dan Transparansi) adalah prinsip yang menyangkut hak-hak para pemegang saham, untuk mendapatkan informasi yang benar, tepat pada waktunya, dapat ikut berperan dalam pengambilan keputusan mengenai perubahanperubahan yang mendasar atas perusahaan dan turut memperoleh bagian dari keuntungan perusahaan. Prinsip ini mengedepankan pentingnya pengungkapan dan transparansi mengenai hal-hal penting bagi kinerja perusahaan, kepemilikan, serta para pemegang kepentingan (stakeholders). Misalnya bank harus membeberkan informasi secara tepat waktu, memadai, jelas, akurat, dan dapat dibandingkan. Informasi tersebut juga harus mudah

diakses stakeholders sesuai dengan haknya.

3. Accountability (Akuntabilitas) Accountability (Akuntabilitas) adalah prinsip yang menyangkut tanggung jawab manajemen melalui pengawasan yang efektif, berdasarkan keseimbangan kekuatan antara manajer (Dewan Direksi), pemegang saham, dewan komisaris, dan auditor. Prinsip ini merupakan bentuk pertanggungjawaban manajemen kepada perusahaan dan para pemegang saham.

4. Responsibility (Pertanggungjawaban) Responsibility (pertanggungjawaban) adalah prinsip yang menyangkut

kesesuaian pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku hal

ini merupakan tanggung jawab perusahaan untuk tunduk terhadap hukum dan bertindak dengan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat sekitarnya.

Corporate Governance Perception Index (CGPI)

Corporate

Governance

Perception

Index (CGPI)

adalah

program

riset

dan pemeringkatan penerapan GCG pada perusahaan-perusahaan di Indonesia. CGPI diikuti oleh Perusahaan Publik (Emiten), BUMN, Perbankan dan Perusahaan Swasta lainnya. Program CGPI secara konsisten telah diselenggarakan pada setiap tahunnya sejak tahun 2001. CGPI diselenggarakan oleh IICG (The Indonesian Institute of

Corporate Governance) sebagai lembaga swadaya masyarakat independen bekerjasama dengan majalah SWA sebagai mitra media publikasi. Program ini dirancang untuk memicu perusahaan dalam meningkatkan kualitas penerapan konsep CG melalui perbaikan yang berkesinambungan (continous improvement) dengan melaksanakan evaluasi dan melakukan studi banding (benchmarking). Program CGPI akan memberikan apresiasi dan pengakuan kepada perusahaan-perusahaan yang telah menerapkan CG melalui CGPI Awards dan penobatan sebagai perusahaan terpercaya. Penghargaan CGPI Awards dan hasilnya dipaparkan di majalah SWA dalam Sajian Utama.

Praktik GCG di Indonesia Krisis ekonomi yang menghantam Asia telah berlalu lebih dari delapan tahun. Krisis ini ternyata berdampak luas teutama dalam merontokkan rezim-rezim politik yang berkuasa di Korea Selatan, Thailand, dan Indonesia. Ketiga Negara yang diawal tahun 1990-an dipandang sebagai the Asian tiger, harus mengakui bahwa pondasi ekonomi mereka rapuh, yang pada akhirnya merambah pada krisis politik. Setelah delapan tahun, sejak krisis tersebut melanda, kita sekarang dapat melihat pertumbuhan kembali Negara-negara yang amat terpukul oleh krisis tersebut. Korea Selatan yang pernah terjangkit kejahatan financial yang melibatkan para eksekutif puncak perusahaan-perusahaan blue-chip, kini telah pulih. Perkembangan yang sama juga terlihat dengan Thailand maupun Negara-negara ASEAN lainnya. Di Indonesia era pasca krisis ditandai dengan goncangan ekonomi berkelanjutan. Mulai dari restrukturisasi sektor perbankan, pelelangan asset para konglomerat, yang berakibat pada

penurunan iklim berusaha (Bakrie,2003). Kajian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) menunjukkan beberapa faktor yang memberi kontribusi pada krisis di Indonesia.

Pertama, konsentrasi kepemilikan perusahaan yang tinggi; kedua, tidak efektifnya fungsi pengawasan dewan komisaris, ketiga; inefisiensi dan rendahnya transparansi mengenai prosedur pengendalian merger dan akuisisi perusahaan; keempat, terlalu tingginya ketergantungan pada pendanaan eksternal; dan kelima, ketidak memadainya pengawasan oleh para kreditor. Tantangan terkini yang dihadapi masih belum dipahaminya secara luas prinsipprinsip dan praktek good corporate governance oleh kumunitas bisnis dan publik pada umumnya (Daniri, 2005). Akhirnya komunitas internasional masih menempatkan Indonesia pada urutan bawah rating implementasi GCG sebagaimana dilakukan oleh Standard & Poor, CLSA, Pricewaterhouse Coopers, Moody`s Morgan, and Calper`s. Kajian Pricewaterhouse Coopers yang dimuat di dalam Report on Institutional investor Survey (2002) menempatkan Indonesia di urutan paling bawah bersama China dan India dengan nilai 1,96 untuk transparansi dan keterbukaan. Jika dilihat dari ketersediaan investor untuk memberi premium terhadap harga saham perusahaan publik di Indonesia, hasil survey tahun 2002 menunjukkan kemajuan dibandingkan hasil survey tahun 2000. Pada tahun 2000 investor bersedia membayar premium 27%, sedang di tahun 2002 hanya bersedia membayar 25% saja. Hal ini menunjukkan persepsi investor terhadap resiko tidak dijalankannya GCG, menjadi lebih baik. Secara keseluruhan urutan teratas masih ditempati oleh Singapura dengan skor 3,62, Malaysia dan Thailand mendapat skor 2,62 dan 2,19. Laporan tentang GCG oleh CLSA (2003), menempatkan Indonesia di urutan terbawah dengan skor 1,5 untuk masalah penegakan hukum, 2,5 untuk mekanisme institusional dan budaya corporate governance, dan dengan total 3,2. Meskipun skor Indonesia di tahun 2004 lebih baik dibandingkan dengan 2003, kenyataannya, Indonesia masih tetap berada di urutan terbawah di antara Negaranegara Asia. Faktor-faktor penyebab rendahnya kinerja Indonesia adalah penegakan hukum dan budaya corporate governance yang masih berada di titik paling rendah di antara Negaranegara lain yang sedang tumbuh di Asia. Penilaian yang dilakukan oleh CLSA didasarkan pada faktor eksternal dengan bobot 60% dibandingkan faktor internal yang hanya diberi bobot 40% saja. Fakta ini menunjukkan bahwa implementasi GCG di Indonesia membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan penegakan yang lebih nyata lagi.

Pengertian Komite Audit Menurut Hiro Tugiman (1995, 8), pengertian Komite Audit adalah sebagai berikut: Komite Audit adalah sekelompok orang yang dipilih oleh kelompok yang lebih besar untuk mengerjakan pekerjaan tertentu atau untuk melakukan tugas-tugas khusus atau sejumlah anggota Dewan Komisaris perusahaan klien yang bertanggungjawab untuk membantu auditor dalam mempertahankan independensinya dari manajemen.

Tugas Komite Audit Komite Audit bertugas mewakili dan membantu Dewan Direksi untuk mengawasi proses pelaporan akuntansi dan keuangan, audit laporan keuangan dan pengendalian internal, dan fungsi-fungsi audit. Manajemen bertanggung jawab atas (a) persiapan, penyajian, dan integritas laporan keuangan; (b) prinsip-prinsip pelaporan akuntansi dan keuangan; (c) pengendalian internal dan prosedur organisasi yang sesuai dengan standar akuntansi keuangan serta hukum dan peraturan yang berlaku. Kantor akuntan publik independen, yang ditunjuk untuk memeriksa organisasi, bertanggung jawab untuk melakukan audit secara independen atas laporan keuangan konsolidasi berdasarkan standar auditing yang berlaku umum dan menyatakan pendapat atas laporan keuangan konsolidasi berdasarkan audit mereka. Anggota Komite Audit tidak harus akuntan profesional atau auditor, dan fungsi para anggota tidaklah ditujukan untuk menduplikasi atau untuk mengesahkan aktivitas manajemen dan auditor independen, bahkan Komite tidak ditujukan untuk menyatakan "independensi" auditor independen menurut peraturan yang berlaku. Komite Audit adalah perpanjangan tangan Dewan yang bertugas untuk mengawasi hubungan dengan auditor independen, sebagaimana diatur dalam piagam ini, dan memberikan nasihat dan arahan umum, bilamana perlu, kepada manajemen dan para auditor atas dasar informasi yang diterimanya, hasil diskusi dengan auditor, serta pengalaman anggota Komite masing-masing dalam hal bisnis, keuangan, dan akuntansi. Komite Audit: 1. Bertanggung jawab langsung atas penunjukan, penggantian, kompensasi, dan pengawasan atas pekerjaan auditor independen. Auditor independen akan melpor langsung kepada Komite Audit.

2. Meninjau dan mendiskusikan pernyataan auditor independen mengenai segala hubungan antara auditor dan perwakilan atau hubungan lainnya yang mungkin dapat mempengaruhi independensi auditor, dan, berdasarkan tinjauan tersebut, melakukan penilaian atas independensi auditor tersebut. 3. Menetapkan kebijakan dan prosedur untuk pemeriksaan dan memberikan persetujuan Komite atas semua jasa audit dan jasa non-audit yang diperbolehkan (termasuk biaa dan persyaratan yang terkait) yang dapat dilakukan oleh auditor independen. 4. Meninjau dan mendiskusikan dengan auditor independen: (a) rencana dan prosedur audit, termasuk ruang lingkup audit, biaya dan lamanya audit; dan (b) hasil pelaksanaan audit tahunan dan surat manajemen yang berkaitan. 5. Meninjau dan mendiskusikan laporan auditor independen mengenai (a) semua kebijakan dan praktek akuntansi yang penting yang harus diaplikasikan, (b) alternatif perlakuan akuntansi dalam PABU yang berkaitan dengan hal-hal material yang telah didiskusikan dengan manajemen, termasuk cabang-cabang jika menggunakan perlakuan alternatif tersebut, dan perlakuan akuntansi yang disarankan oleh auditor independen, dan (c) semua komunikasi tertulis material lainnya antara auditor independen dan manajemen. 6. Meninjau bersama auditor independen atas pendapatnya mengenai kualitas, bukan hanya hal-hal yang dapat diterima, dari prinsip-prinsip akuntansi organisasi dan halhal yang perlu didiskusikan dengan Komite di bawah prinsip akuntansi yang berlaku umum. 7. Meninjau dan mendiskusikan bersama manajemen dan auditor independen berbagai topik dan peristiwa yang mungkin memiliki pengaruh finansial yang signifikan terhadap Organisasi atau yang menjadi subyek diskusi antara Manajemen dan auditor independen. 8. Meninjau dan mendiskusikan dengan manajemen resiko-resiko finansial yang besar dan langkah-langkah yang telah diambil manajemen untuk memonitor dan mengendalikan resiko tersebut. 9. Meninjau informasi yang akan dilaporkan ke Internal Revenue Service (kantor pajak) melalui formulir isian pajak tahunan Form 990. 10. Meninjau dan mendiskusikan dengan manajemen dan auditor independen (a) kecukupan dan efektivitas pengendalian internal Organisasi (termasuk semua kekurangan signifikan dan perubahan signifikan dalam pengendalian internal yang dilaporkan kepada Komite oleh auditor independen atau manajemen); (b) prosedur-

prosedur audit internal Organisasi; dan (c) kecukupan dan efektivitas atas pengendalian dan prosedur pengungkapan Organisasi, serta laporan manajemen yang berkaitan. 11. Meninjau hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas komplians korporat Organisasi. 12. Memastikan tersedianya prosedur-prosedur untuk penerimaan, penyimpanan, dan perlakuan atas kelihan-keluhan yang diterima oleh Organisasi mengenai keraguan akuntansi, pengendalian internal akuntansi, atau masalah-masalah auditing; dan kepatuhan kerahasiaan oleh karyawan yang berkenaan dengan pemborosan, kecurangan, penyalahgunaan, dan pelanggaran. 13. Menetapkan kebijakan-kebijakan untuk merekrut karyawan dan mantan karyawan dari auditor independen. 14. Menyajikan laporan aktivitas Komite untuk dimasukkan di dalam notulen Dewan. 15. Jika dibutuhkan, menunjuk satu atau lebih dari para anggotanya untuk melakukan tugas-tugas tertentu atas nama Komite, yang harus dilaporkan kepada atau diratifikasi oleh Komite sebagaimana arahan Komite.

También podría gustarte