Está en la página 1de 5

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No.

1, (2012) 1-5

Peran Mikroorganisme Azotobacter chroococcum, Pseudomonas fluorescens, dan Aspergillus niger pada Pembuatan Kompos Limbah Sludge Industri Pengolahan Susu
Hita Hamastuti 1), Elysa Dwi O 1), S.R Juliastuti 1,*), dan Nuniek Hendrianie 1) Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 E-mail: juliaz30@chem-eng.its.ac.id

Abstrak - Saat ini 66% lahan pertanian di Indonesia dalam keadaan kritis akibat penggunaan pupuk kimia secara berlebih. Untuk mengatasi hal tersebut, dilakukan pembuatan pupuk organik bentuk padat (kompos) dengan memanfaatkan limbah padat industri pengolahan susu. Tujuan penelitian ini adalah mengamati pengaruh penambahan biofertilizer yaitu, Azotobacter chroococcum, Pseudomonas fluorescens dan Aspergillus niger terhadap kualitas dari kompos dengan bahan baku dari limbah sludge industri pengolahan susu dan membandingkan pengaruh antara tanah, tanah + blanko (kompos limbah sludge industri pengolahan susu tanpa biofertilizer), tanah + limbah sludge industri pengolahan susu + biofertilizer Azotobacter chroococcum dan Pseudomonas fluorescens, tanah + limbah sludge industri pengolahan susu + biofertilzer Azotobacter chroococcum dan Aspergillus niger, tanah + kompos yang berada di pasaran, serta mengamati perubahan ketinggian dan banyaknya jumlah kapasitas panen pada tanaman uji cabai dan terong. Metode penelitian yang digunakan adalah penambahan tepung tulang pada sludge sebanyak 0,6 kilogram dan ditampung dalam rotary drum composter yang dilengkapi dengan aerator. Kualitas kompos ditingkatkan dengan penambahan Azotobacter chroococcum sebagai bakteri penambat nitrogen serta Pseudomonas fluorescens dan Aspergillus niger sebagai pelarut fosfat. Variabel ratio penambahan Azotobacter chroococcum dan Pseudomonas fluorescens adalah 10:5 ml (1:0,5 %v/w), 20:10ml (2:1 %v/w) dan 30:15ml (3: 1,5 %v/w). Dan dengan ratio yang sama diberikan untuk penambahan Azotobacter chroococcum dan Aspergillus niger. Parameter yang dianalisa dalam penelitian ini adalah kandungan nitrogen, fosfat, kalium, pH, temperatur, karbon dan kadar air. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa mikroorganisme Azotobacter chroococcum, Pseudomonas fluorescens dan Aspergillus niger dapat meningkatkan kadar nitrogen dan fosfat pada limbah sludge industri pengolahan susu. Variabel terbaik ialah Azotobacter chroococcum 1%v/w : Aspergillus niger 0,5%v/w dengan kadar N 1,37%, P 0,89% dan K 0,83% serta rasio C/N 22,03. Hal ini juga ditunjukkan dengan pertambahan tinggi tanaman terong 12,2% dan cabai 21,6% serta kapasitas panen terong 44,2 gram/tanaman dan cabai 11 gram/tanaman. Kata kunci - Azotobacter chroococcum, kompos, limbah sludge industri susu, Pseudomonas fluorescens, Aspergillus niger

tanah sudah rusak oleh pupuk kimia. Lahan pertanian yang sudah masuk dalam kondisi kritis mencapai 66% dari kurang lebih 7 juta lahan pertanian yang ada di Indonesia. Penggunaan pupuk kimia berlebih dapat merusak struktur tanah. Hal ini terjadi karena kandungan mineral yang terlalu tinggi membunuh mikroorganisme yang bertugas melakukan dekomposisi dalam tanah. Akibatnya tanah menjadi keras, kurang mampu menahan air dan nutrisi [7]. Di sisi lain pupuk merupakan salah satu sarana produksi yang memiliki peranan penting dalam peningkatan produksi dan kualitas hasil budidaya tanaman. Untuk memenuhi standar mutu dan menjamin efektifitas pupuk, maka pupuk yang diproduksi harus berasal dari formula hasil rekayasa yang telah diuji mutu dan efektifitasnya. Untuk itu diperlukan inovasi pupuk yang ramah lingkungan dan dapat memperkaya unsur hara dalam tanah. Limbah padat pabrik susu berupa sludge mengandung bahan organik (C, N, P dan K) yang sangat bermanfaat untuk perbaikan tingkat kesuburan tanah. Limbah pabrik susu dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Penggunaan limbah pabrik susu sebagai bahan pupuk, dapat mengurangi penggunaan pupuk buatan [8]. II. KOMPOS DAN BIOFERTILIZER Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, hewan atau manusia seperti pupuk kandang, pupuk hijau, dan kompos. Manfaat utama pupuk organik adalah dapat memperbaiki kesuburan kimia, fisik dan biologis tanah, selain sebagai sumber hara bagi tanaman [13]. Bahan baku pupuk organik antara lain sisa panen, serbuk gergaji, kotoran hewan, limbah media jamur, limbah pasar, limbah rumah tangga dan limbah pabrik, serta pupuk hijau.

I. PENDAHULUAN aat ini lahan pertanian di Indonesia dapat dikatakan sedang dalam keadaan sakit, karena unsur hara yang berada di dalam

Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Kompos adalah hasil dekomposisi parsial/ tidak lengkap, dipercepat secara artifisial dari campuran bahan-bahan organik oleh populasi berbagai macam mikroba dalam konsisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau anaerobik. Teknologi pengomposan saat ini menjadi sangat penting artinya terutama untuk mengatasi permasalahan limbah organik yang salah satunya limbah sludge industri pengolahan

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5

2 ppm menjadi 34,8 ppm. Dalam penerapannya, inokulan pelarut fosfat pada tanaman harus diberikan dengan kepadatan yang tinggi, yaitu lebih dari 108 sel ml-1 media pembawanya. Dengan kepadatan yang tinggi diharapkan mikroorganisme pelarut fosfat yang diberikan tersebut dapat bersaing dengan mikroorganisme yang ada di dalam tanah [2]. c. Aspergillus niger Aspergillus niger merupakan fungi dari filum ascomycetes yang berfilamen, mempunyai hifa berseptat, dan dapat ditemukan melimpah di alam. Fungi ini biasanya diisolasi dari tanah, sisa tumbuhan, dan udara di dalam ruangan. Koloninya berwarna putih pada Agar Dekstrosa Kentang (PDA) 25 C dan berubah menjadi hitam ketika konidia dibentuk. Kepala konidia dari Aspergillus niger berwarna hitam, bulat, cenderung memisah menjadi bagian-bagian yang lebih longgar seiring dengan bertambahnya umur. Aspergillus niger dapat tumbuh optimum pada suhu 3537 C, dengan suhu minimum 6-8 C, dan suhu maksimum 45-47 C. Selain itu, dalam proses pertumbuhannya fungi ini memerlukan oksigen yang cukup (aerobik). Aspergillus niger memiliki warna dasar berwarna putih atau kuning dengan lapisan konidiospora tebal berwarna coklat gelap sampai hitam. Pada kondisi optimal Aspergillus niger mampu mensekresikan asam-asam organik yang berfungsi mengurai fosfat. Hal inilah yang mendasari para peneliti untuk mengembangkannya sebagai agensia pelarut batuan fosfat, guna memasok fosfat (P) untuk tanaman. III. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dalam skala batch di Laboratorium Pengolahan Limbah Industri, Jurusan Teknik Kimia, FTI-ITS. Adapun kondisi operasi penelitian : - Massa limbah padat = 3 kg - Temperatur operasi = 25 - 40oC - pH = 6,5 8 - Rate aerasi = 1,15 m3/hari/kg - Lama proses pengomposan = 12 hari atau sampai dengan kompos matang - Penambahan sumber fosfat = tepung tulang 0,6 kg/3kg limbah [13] Variabel penelitian : - Konsentrasi bakteri Azotobacter chroococcum, bakteri Pseudomonas fluorescens dan jamur Aspergillus niger Tabel 1. Kombinasi bakteri N dan bakteri P
Azotobacter chroococcum 10 ml/kg limbah padat (1%v/w) 20 ml/kg limbah padat (2%v/w) 30 ml/kg limbah padat (3%v/w) Pseudomonas fluorescens 5 ml/kg limbah padat (0,5%v/w) 10 ml/kg limbah padat (1%v/w) 15ml/kg limbah padat (1,5%v/w)

susu.
Salah satu cara pengaplikasian pupuk organik ialah dalam bentuk kompos. Kompos sangat bermanfaat untuk konservasi tanah dan air yaitu sebagai mulsa penutup tanah. Pengomposan antara lain bertujuan untuk menghasilkan pupuk organik dengan porositas, kepadatan serta kandungan air tertentu, menyederhanakan komponen bahan dasar yang mudah didekomposisi, membunuh patogen seperti E. coli dan Salmonella, serta memineralisasi hara untuk pertumbuhan tanaman. Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil conditioner) dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga mempertahankan dan menambah kesuburan tanah pertanian. Karakteristik umum dimiliki kompos antara lain: (1) mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal; (2) menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas; dan (3) mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dan kesehatan tanah [11]. Biofertilizer adalah organisme yang memperkaya kualitas nutrien dari tanah. Sumber utama dari biofertilizer adalah bakteria, fungi, dan sianobakteria. Kelompok mikroba yang sering digunakan adalah mikroba-mikroba yang menambat N dari udara, mikroba yang melarutkan hara (terutama P dan K), dan mikroba-mikroba yang merangsang pertumbuhan tanaman. Mikroba yang digunakan sebagai pupuk hayati (biofertilizer) dapat diberikan langsung ke dalam tanah, disertakan dalam pupuk organik yang akan ditanam. Penggunaan yang paling banyak dewasa ini adalah mikroba penambat N dan mikroba untuk meningkatkan ketersediaan P dalam tanah. a. Azotobacter chroococcum Azotobacter sp. adalah bakteri gram negatif, bersifat aerobik, polymorphic dan mempunyai berbagai ukutan dan bentuk. Bakteri ini memproduksi polysacharides. Azotobacter sp. sensitif terhadap asam, konsentrasi garam yang tinggi dan temperatur di atas 35oC. Terdapat empat spesies penting dari Azotobacter yaitu Azotobacter chroococcum, Azotobacter agilis, Azotobacter paspali dan Azotobacter vinelandii dimana Azotobacter chroococum adalah spesies yang paling sering ditemui di dalam kandungan tanah. Azotobacter mempunyai sifat aerobik maka dari itu bakteri ini memerlukan oksigen sehingga dengan adanya aerasi, pertumbuhan dari Azotobacter dapat ditingkatkan [10]. Azotobacter mampu mengubah nitrogen (N2) dalam atmosfer menjadi amonia (NH4+) melalui proses pengikatan nitrogen dimana amonia yang dihasilkan diubah menjadi protein yang dibutuhkan oleh tanaman. b. Pseudomonas fluorescens Pseudomonas fluorescens merupakan bakteri berbentuk batang dengan ukuran sel 0.5 1.0 x 1.5 5.0 m, motil dengan satu atau lebih flagella, gram negatif, aerob, tidak membentuk spora dan katalase positif, menggunakan H2, atau karbon sebagai sumber energinya, beberapa spesies bersifat patogen bagai tanaman, kebanyakan tidak dapat tumbuh pada kondisi masam (pH 4.5) [3]. Pseudomonas fluorescens mampu meningkatkan kelarutan P dari fosfat alam sebesar 16,4 ppm menjadi 59,9 ppm, meningkatkan kelarutan dari AlPO4 dari 28,5 ppm menjadi 30,6 ppm dan meningkatkan P yang tersedia di tanah dari 17,7

Tabel 2. Kombinasi bakteri N dan jamur P


Azotobacter chroococcum 10 ml/kg limbah padat (1%v/w) 20 ml/kg limbah padat (2%v/w) 30 ml/kg limbah padat (3%v/w) Aspergillus niger 5 ml/kg limbah padat (0,5%v/w) 10 ml/kg limbah padat (1%v/w) 15 ml/kg limbah padat (1,5%v/w)

- Tanaman uji = terong dan cabai - Media Tanam : tanah , tanah + blanko (kompos limbah sludge industri pengolahan susu tanpa biofertilizer),

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 tanah + limbah sludge industri pengolahan susu + biofertilizer A (bakteri Azotobacter chroococcum dan bakteri Pseudomonas fluorescens), tanah + limbah sludge industri pengolahan susu + biofertilizer B (bakteri Azotobacter chroococcum dan jamur Aspergillus niger), tanah + kompos di pasaran - Cara pemupukan : pemupukan dilakukan 1 kali selama 1 bulan, penambahan pupuk sebanyak 30% volume pot tanaman, penambahan pupuk dilakukan saat tanaman berusia 2,5 bulan Limbah sludge industri pengolahan susu yang berupa padatan dianalisa kandungan nitrogen, fosfat, kalium, pH, temperatur, karbon dan kadar airnya. Setelah itu padatan dicampur dengan tepung tulang yang berfungsi sebagai sumber fosfat. Lalu ditampung dalam rotary drum composter yang telah dilengkapi dengan aerator. Kemudian ditambahkan bakteri Azotobacter chroococcum, Pseudo-monas fluorescens dan jamur Aspergillus niger sesuai dengan variabel.

3 sebagai pupuk organik melalui proses pengomposan. Untuk meningkatkan kualitas pupuk, maka dilakukan penambahan tepung tulang sebagai sumber P, bakteri penambat nitrogen Azotobacter chroococcum, serta bakteri Pseudomonas fluorescens dan jamur Aspergillus niger sebagai pengurai fosfat. Mikroorganisme ditambahkan dalam bentuk cair dengan konsentrasi antara 1,425 x 108 4,175 x 108 sel/ml. Variabel ratio penambahan Azotobacter chroococcum dan Pseudomonas fluorescens adalah 1: 0,5%v/w, 2:1%v/w dan 3:1,5%v/w. Dan dengan ratio yang sama diberikan untuk penambahan Azotobacter chroococcum dan Aspergillus niger. Dalam proses persiapan bahan baku, dilakukan proses penghancuran sludge yang menggumpal menjadi remahremah untuk memperluas kontak mikroorganisme selama proses pengomposan. Limbah sludge dibagi ke dalam masingmasing rotary drum composter dengan berat rata rata 3 kg. Kemudian dilakukan penambahan molases sebanyak 100ml tiap 1 kg limbah sebagai sumber karbon, untuk menaikkan ratio C/N limbah yang awalnya hanya 3,25. Langkah selanjutnya menambahkan mikroorganisme sesuai variabel yang telah ditetapkan dan membuat blanko, yaitu media yang tidak ditambahkan mikroorganisme. Setiap harinya dilakukan aerasi dengan rate udara 1,15m3/hari dan pengadukan selama 3 kali agar mikroorganisme dan udara dapat tersebar merata. Pada awalnya proses pengomposan direncanakan selama + 12 hari, tetapi pada kenyataannya proses pengomposan berjalan selama 1 bulan hingga kompos matang. Suhu akhir pengomposan mendekati suhu ruang di daerah penelitian sekitar 31C, hal ini menunjukkkan kompos berada pada tahap maturasi atau proses pematangan. pH rata-rata kompos 7,81, nilai ini sesuai dengan peraturan menteri pertanian No.28/Permentan/SR.1305/5/2009 yaitu pH antara 4 sampai 8. Hasil pengomposan menunjukkan tekstur kompos tidak dapat gembur seperti tanah. Hal ini dikarenakan adanya kandungan minyak dan lemak dalam limbah yang masih cukup tinggi, yaitu 7,78% [1]. Kandungan lemak dan minyak menyebabkan sludge mudah menggumpal sehingga kurang baik apabila dikompos tanpa campuran sampah organik lain. Kadar air juga diukur sebagai salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi aktifitas mikroorganisme dalam menguraikan bahan organik. Air berperan penting dalam pelarutan nutrien dan sel protoplasma. Kadar air yang tinggi menunjukkan proses dekomposisi limbah berjalan baik, begitu pula sebaliknya. Sejalan dengan waktu, penurunan kadar air menandakan bahan organik yang menjadi makanan mikroorganisme telah habis terdekomposisi [6]. Berdasarkan SNI 19-7030-2004 , kompos yang telah matang memiliki kadar air kurang dari 50%, dan seluruh variabel pengomposan dalam penelitian ini sesuai dengan kriteria tersebut.

Gambar 1. Rotary Drum Composter kapasitas 5 kg Di dalam rotary drum composter tersebut dialiri udara dengan menggunakan aerator untuk menunjang proses aerob, setelah itu aerator dilepas, lalu drum diputar atau diaduk setiap hari. Kemudian aerasi dilanjutkan kembali sampai dengan proses pengomposan selesai, yaitu selama + 12 hari atau pada saat kompos matang. Kompos yang matang berbau seperti tanah, berwarna coklat kehitam-hitaman, dan suhunya mendekati dengan suhu awal pengomposan. Selain itu pH dan temperatur limbah padat dalam rotary drum composter juga diukur sekali setiap hari selama proses pengomposan. Kompos yang sudah jadi dianalisa kadar nitrogen, fosfat, kalium, pH, temperatur, karbon dan kadar airnya. Selanjutnya pupuk diujicobakan pada tanaman uji berupa terong dan cabai, dan diamati pertumbuhannya selama 30 hari dengan pengambilan data setiap 2 minggu sekali. Tanaman uji dicatat ketinggian, jumlah daun, waktu dan jumlah bunga, kapasitas panen, dan data pertumbuhan lain yang mendukung. Sebagai pembanding, kompos di pasaran juga diuji cobakan dan dibandingkan. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Bahan baku pembuatan kompos diperoleh dari limbah sludge industri pengolahan susu PT Indolakto Pandaan. Limbah sludge diambil dari area waste water treatment dengan kondisi agak kering. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup, 2006 limbah ini mengandung banyak material organik. Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk memanfaatkan kandungan unsur hara dalam limbah tersebut

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5

4 buah, sedangkan nitrogen berperan dalam pembentukan jaringan [9]. Kapasitas panen terbaik dari tanaman terong adalah 44,2 gram/pohon, sedangkan kapasitas panen terong seharusnya bisa mencapai 62,5 gram/pohon [9]. Dalam penelitian ini digunakan jenis terong kecil sehingga berat yang dihasilkan tidak seberat terong yang umumnya dijual di pasaran. Sedangkan pada tanaman cabai kapasitas panen terbesar adalah 11 gram/pohon, hasil penelitian ini lebih baik dibandingkan dengan literatur yang menyatakan bahwa biasanya kapasitas panen pertama cabai mencapai 100 kg/ha atau setara dengan 2,5 gram/pohon. Selain itu produksi buah yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh ketersediaan unsur fosfat. Kandungan fosfat pada kompos tersebut sebesar 0,89%, sesuai dengan SNI:19-70302004, yaitu lebih dari 0,1%. Unsur ini berperan penting dalam pertumbuhan benih, akar, bunga dan buah. Struktur perakaran yg sempurna memberikan daya serap nutrisi yang lebih baik. Fosfat juga berperan pada memperkuat daya tahan terhadap penyakit. Selain kapasitas panen, pertambahan tinggi tanaman juga diukur. Tanaman terong dan cabai dengan pemupukan kompos variabel Azotobacter chroococcum 1%v/w: Aspergillus niger 0,5%v/w memiliki pertumbuhan yang lebih pesat dibanding variabel lain. Tanaman terong bertambah 4,7cm atau 12,2% tinggi awal, sedangkan tanaman cabai bertambah 5,5cm atau 21,6% tinggi awal. Sama halnya dengan pembentukan buah, pertambahan tinggi tanaman juga dipengaruhi oleh ratio C/N. Apabila ratio C/N memenuhi baku mutu, maka pertumbuhan tanaman sebanding dengan kapasitas panen buah yang dihasilkan. Tumbuhan memerlukan nitrogen untuk pertumbuhannya terutama pada fase vegetatif yaitu pertumbuhan cabang, daun dan batang. Nitrogen membantu proses pembentukan klorofil, fotosintesis, protein, lemak, dan persenyawaan organik lainnya [9]. Apabila kekurangan unsur N, maka pertumbuhan tanaman tidak normal dan tanaman menjadi kerdil. V. KESIMPULAN Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Mikroorganisme Azotobacter chroococcum dapat meningkatkan kadar nitrogen hingga 500%, sedangkan Pseudomonas fluorescens dan Aspergillus niger dapat meningkatkan kadar fosfat hingga 14,29% pada limbah sludge industri pengolahan susu. Variabel terbaik ialah Azotobacter chroococcum 1%v/w : Aspergillus niger 0,5%v/w, dibuktikan dengan pertambahan tinggi tanaman terong 12,2% dan cabai 21,6% serta kapasitas panen terong 44,2 gram/tanaman dan cabai 11 gram/tanaman. Perlu dilakukan pengaturan pH pada proses pengomposan sehingga pH kompos sesuai baku mutu dan sesuai dengan syarat tumbuh tanaman uji. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada keluarga, PT. Indolakto, dosen pembimbing dan tim penguji, seluruh staff pengajar, dan karyawan laboratorium serta rekan-rekan di Teknik Kimia ITS atas partisipasi, doa dan dukungan yang diberikan selama penelitian ini dilakukan.

Gambar 2. Perbandingan kandungan N,P,K pada berbagai variabel Tabel 3 Ratio C/N pada berbagai variabel pengomposan Variabel Pengomposan Kompos Ac : An (1:0,5) %v/w Kompos Ac : An (2:1) %v/w Kompos Ac : An (3:1,5) %v/w Kompos Ac : Pf (1:0,5) %v/w Kompos Ac : Pf (2:1) %v/w Kompos Ac : Pf (3:1,5) %v/w Blanko Tanah Kompos di pasaran C/N 22,03 6,02 6,71 27,48 10,30 50,86 31,33 10,98 7,77

Ratio C/N yang ideal berdasar peraturan menteri pertanian No.28/Permentan/ SR.1305/5/2009 ialah 15-25%. Dalam berjalannya proses pengomposan, ratio C/N yang terlalu tinggi mengindikasikan dekomposisi berjalan lambat karena mikroorganisme tidak dapat tumbuh dengan optimal. Sebaliknya ratio C/N terlalu rendah mengindikasikan pertumbuhan mikroorganisme yang terlalu cepat dan tidak terkontrol, akibatnya akan timbul kondisi anaerobik dan kompos menjadi bau. Bau tersebut berasal dari perubahan sebagian nitrogen menjadi gas amoniak [4]. Idealnya, pada akhir pengomposan, yaitu pada saat kompos matang nilai ratio C/N akan menurun dibanding kondisi awal. Penggunaan kompos dengan ratio C/N yang terlalu tinggi dapat menimbulkan defisiensi N sehingga pertumbuhan tanaman tidak normal, kerdil, daunnya menguning dan kering [13]. Ratio C/N rata-rata pada pupuk kompos dalam penelitian ini 22,11% , sesuai dengan ketentuan ideal dari Peraturan Menteri Pertanian. Dalam penelitian ini juga dilakukan uji kompos dengan menggunakan tanaman cabai dan terong. Tanaman terong dapat dipanen pada bulan ke-4, sedangkan untuk cabai pada saat umur tanaman mencapai 3,5 bulan sejak masa tanamnya. Berdasarkan literatur, kedua tanaman ini memiliki masa panen 3-4 bulan sejak dari masa tanamnya [15]. Pemberian kompos dengan variabel Azotobacter chroococcum 1%v/w: Apergillus nigers 0,5%v/w menghasilkan kapasitas panen terbesar, baik pada tanaman terong maupun cabai. Hal ini dikarenakan pada kompos tersebut ratio C/N telah memenuhi persyaratan teknis minimal untuk pupuk organik No. 28/Permentan /SR.1305/5/2009 , yaitu sebesar 22,03. Sedangkan untuk kompos lainnya ratio C/N masih belum memenuhi baku mutu tersebut. Proses pembungaan dan pembuahan pada tanaman berhubungan dengan ratio C (Karbon) dan N (Nitrogen). Karbon diperlukan sebagai bahan baku pembentuk energi dan

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2012) 1-5 DAFTAR PUSTAKA


[1] [2] Data Analisa Cuplikan Laboratorium Kualitas Lingkungan Jurusan Teknik Lingkungan FTSP-ITS. 2012. Ginting, Rohani C.B. et al. Mikroorganisme Pelarut Fosfat hlm. 149. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian : Bogor. 2006. Intan, Dewi A, Ratna. Bakteri Pelarut Fosfat. Jatinangor : Jurusan Budidaya Pertanian Program Studi Agronomi. Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. 2007. Kardin, Dardjat.2008. Teknologi Kompos.http:/lembahpinus.com Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian No 28/Permentan/SR.1305/2009 Mohammad, Risah Fahlevi. 2004. Uji Efektifitas penggunaan Activator Green Phosko, Biolink-5 dan Lindi pada Komposting Sampah Pasar dan Taman dengan Metode Aerobik. Skripsi Jurusan Teknik Lingkungan ITN-Malang. Nabila, N.S. 2011. Pencemaran Tanah oleh Pupuk. Tugas karya tulis ilmiah. Nihayati, E. Dan Siswanto, B. 1998. Pengaruh Limbah Pabrik Susu Nestle terhadap Pertumbuhan Tanaman Kedelai pada Entisol hlm. 18. Jurnal Ilmiah Habitat Volume 9 No. 103 Juni 1998. ISSN : 0853-5167. Redaksi Agromedia. 2011. Cara Praktis Membuat Kompos. PT AgroMedia Pustaka: Jakarta. Saribay, Gul Fidan. 2003. Growth and Nitrogen Fixation Dynamics of Azotobacter chroococum in Nitrogen-free and OMW Containing Medium. Setyorini, D et al. 2006. Kompos hlm. 12-13. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian : Bogor. SNI 19-7030-2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik Suriadikarta, D.A dan Setyorini, D. 2006. Baku Mutu Pupuk Organik hlm. 234. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian : Bogor. Susanti, Pranatasari Dyah dan Panjaitan, Sudin. 2010. Manfaat Zeolit dan Rock Phosphat dalam Pengomposan Limbah Pasar. Prosiding PPI Standardisasi Banjarmasin. Susila, Anas D. 2006. Panduan Budidaya Tanaman Sayuran. Agroforestry and Sustainable Vegetable Production in Southeast Asian Waterhershed Project SANREM-SRSP-USAID , Bagian Produksi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Institut Pertanian Bogor.

[3]

[4] [5] [6]

[7] [8]

[9] [10]

[11]

[12] [13]

[14]

[15]

También podría gustarte