Está en la página 1de 8

PENGERTIAN Inkontinensia urin adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga

mengakibatkan masalah gangguan kesehatan atau sosial (Kane dkk. 1989). a) Pengertian Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urine terjadi akibat kelainan inflamasi ( sistitis ), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun , jika kejadian ini timbul karena kelainan neurologis yang serius ( paraplegia ), kemungkinan besar bersifat permanen. (Bruner and suddart, 2000) Inkontinenensia urine adalah pengeluaran urin tanpa disadari dalam jumlah dan frekuensi yang cukup sehingga mengakibatkan masalah gangguan kesehatan dan atau sosial.Variasi dari inkontinensia urin meliputi keluar hanya beberapa tetes urin saja, sampai benar-benar banyak, bahkan terkadang juga disertai inkontinensia alvi (disertai pengeluaran feses). (agungrakhmawan, 2008). Inkontinensia urine merupakan dorongan tidak sadar untuk mengeluarkan urine yang dapat bersifat permanen maupun temporer yang dapat menjurus ke dalam gangguan emosional dan dapat mempengaruhi pola sosialisasi. Inkontinensia urin diklasifikasikan : 1) Inkontinensia Urin Akut Reversibel Pasien delirium mungkin tidak sadar saat mengompol atau tak dapat pergi ke toilet sehingga berkemih tidak pada tempatnya. Bila delirium teratasi maka inkontinensia urin umumnya juga akan teratasi. Setiap kondisi yang menghambat mobilisasi pasien dapat memicu timbulnya inkontinensia urin fungsional atau memburuknya inkontinensia persisten, seperti fraktur tulang pinggul, stroke, arthritis dan sebagainya. Resistensi urin karena obat-obatan, atau obstruksi anatomis dapat pula menyebabkan inkontinensia urin. Keadaan inflamasi pada vagina dan urethra (vaginitis dan urethritis) mungkin akan memicu inkontinensia urin. Konstipasi juga sering menyebabkan inkontinensia akut. Berbagai kondisi yang menyebabkan poliuria dapat memicu terjadinya inkontinensia urin, seperti glukosuria atau kalsiuria. Gagal jantung dan insufisiensi vena dapat menyebabkan edema dan nokturia yang kemudian mencetuskan terjadinya inkontinensia urin nokturnal. Berbagai macam obat juga dapat mencetuskan terjadinya inkontinensia urin seperti Calcium Channel Blocker, agonist adrenergic alfa, analgesic narcotic, psikotropik, antikolinergik dan diuretic. Untuk mempermudah mengingat penyebab inkontinensia urin akut reversible dapat dilihat akronim di bawah ini : D Delirium R Restriksi mobilitas, retensi urin I Infeksi, inflamasi, Impaksi P Poliuria, pharmasi 2) Inkontinensia Urin Persisten Inkontinensia urin persisten dapat diklasifikasikan dalam berbagai cara, meliputi anatomi, patofisiologi dan klinis. Untuk kepentingan praktek klinis, klasifikasi klinis lebih bermanfaat karena dapat membantu evaluasi dan intervensi klinis Kategori klinis meliputi : a.Inkontinensia urin stress : Tak terkendalinya aliran urin akibat meningkatnya tekanan intraabdominal, seperti pada saat batuk, bersin atau berolah raga. Umumnya disebabkan oleh melemahnya otot dasar panggul, merupakan penyebab tersering inkontinensia urin pada lansia di bawah 75 tahun. Lebih sering terjadi pada

wanita tetapi mungkin terjadi pada laki-laki akibat kerusakan pada sfingter urethra setelah pembedahan transurethral dan radiasi. Pasien mengeluh mengeluarkan urin pada saat tertawa, batuk, atau berdiri. Jumlah urin yang keluar dapat sedikit atau banyak. b.Inkontinensia urin urgensi : Keluarnya urin secara tak terkendali dikaitkan dengan sensasi keinginan berkemih. Inkontinensia urin jenis ini umumnya dikaitkan dengan kontraksi detrusor tak terkendali (detrusor overactivity). Masalah-masalah neurologis sering dikaitkan dengan inkontinensia urin urgensi ini, meliputi stroke, penyakit Parkinson, demensia dan cedera medula spinalis. Pasien mengeluh tak cukup waktu untuk sampai di toilet setelah timbul keinginan untuk berkemih sehingga timbul peristiwa inkontinensia urin. Inkontinensia tipe urgensi ini merupakan penyebab tersering inkontinensia pada lansia di atas 75 tahun. Satu variasi inkontinensia urgensi adalah hiperaktifitas detrusor dengan kontraktilitas yang terganggu. Pasien mengalami kontraksi involunter tetapi tidak dapat mengosongkan kandung kemih sama sekali. Mereka memiliki gejala seperti inkontinensia urin stress, overflow dan obstruksi. c.Inkontinensia urin overflow : Tidak terkendalinya pengeluaran urin dikaitkan dengan distensi kandung kemih yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh obstruksi anatomis, seperti pembesaran prostat, faktor neurogenik pada diabetes melitus atau sclerosis multiple, yang menyebabkan berkurang atau tidak berkontraksinya kandung kemih, dan faktor-faktor obat-obatan. Pasien umumnya mengeluh keluarnya sedikit urin tanpa adanya sensasi bahwa kandung kemih sudah penuh. d.Inkontinensia urin fungsional : Memerlukan identifikasi semua komponen tidak terkendalinya pengeluaran urin akibat faktor-faktor di luar saluran kemih. Penyebab tersering adalah demensia berat, masalah muskuloskeletal berat, faktor lingkungan yang menyebabkan kesulitan unutk pergi ke kamar mandi, dan faktor psikologis. Seringkali inkontinensia urin pada lansia muncul dengan berbagai gejala dan gambaran urodinamik lebih dari satu tipe inkontinensia urin. Penatalaksanaan yang tepat memerlukan identifikasi semua komponen. (agungrakhmawan, 2008). b) Etologi Mengetahui penyebab inkontinensia sangat penting untuk pengelolaan yang tepat. Pertama-tama harus diusahakan untuk membedakan apkah penyebab inkontinensia berasal dari: a) Kelainan urologic; misalnya radang,batu,tumor dll. b) Kelainan neurologic; misalnya stroke,trauma pada medulla spinalis, dimensia dll. c) Lain-lain misalnya; hambatan mobilitas, situasi atau tempat berkemih yang tidak memadai d) Usia, jenis kelamin, serta jumlah persalinan per vaginam yang pernah dialami sebelumya. e) Infeksi saluran kemih, menopause, pembedahan urogenital, penyakit kronis dan penggunaan obat-obatan ( Whitehead, Fonda dan Smelzter, Bare ) Penyebab inkontinutas urine Kesadaran kebutuhan berkemih Kemampuan kortek untuk menahan berkemih Busur reflek Respon kandung kencing terhadap pengisian Akibat yang ditimbulkan Cerebral clouding Terganggu Terganggu Bekerja Normal Bekemih tidak terkendali akibat respon reflek Infeksi Bekerja Bekerja, tapi terkalahkan oleh respon reflek yang kuat Mendapat stimulus tidak normal Meningkat berkemih karena respon reflek yang kuat ( terpaksa ) Gangguan jalur dari saraf pusat( lesi kortek ) Berkurang Terganggu Bekerja Meningkat berkemih karena respon reflek Lesi neuron atas

Rusak Rusak Bekerja,tapi tidak tepat Meningkat berkemih karena respon reflek Lesi motor neuron bawah Rusak Rusak Rusak atau terganggu Rusak atau terganggu Distensi atau pengosongan tidsk sempurna Kerusakan jaringan Bekerja Ada, tapi tidak berfungsi karena respon otot jelek Bekerja Normal Hilang kendali berkemih karena otot-otot terganggu TABEL PENYEBAB INKONTINENSIA URINE c) Patofisiologi Terjadinya pengisian kandung kencing sehingga meningkatkan tekanan tekanan didalam kandung kemih. Otot-otot detrusor ( lapisan yang ke tiga dari kandung kencing) memberikan respon dengan relaksasi agar dapat memperbesar volume daya tamping. Bila titik daya tamping telah tercapai, biasanya 150-200 ml urin akan merangsang stimulus yang ditransmisikan lewat serabut reflek eferen ke lengkungan pusat reflek untuk mikturisasi. Impuls kemudian disalurkan melalui serabut efferent dari lengkungan reflek ke kandung kemih, menyebabkan kontraksi otot detrusor. Sfingter interna yang dalam keadaan normal menutup, serentak bersama-sama membuka dan urine masuk ke irethra posterior. Relaksasi sfingter eksterna dan otot perineal mengikuti dan isis kandung kemih keluar. Pelaksanaan kegiatan reflek bisa mengalami interupsi sehingga berkemih ditangguhkan melalui dikeluarkannya impuls inhibitor dari pusat kortek yang berdampak kontraksi diluar kesadaran dari sfingter interna. Bila salah satu dari system yang komlek ini mengalami rusak, akan bisa terjadinya inkontinrensia urine. (Bruner and suddart, 2000) d) Manifestasi klinik Gejala gejala yang ditimbulakan dari inkontinensia urine seperti ruam, dekubitus, infeksi kulit serta saluran kemih, dan pembatasan mobilisasi / aktifitas. e) Pemeriksaan Pada Inkontinensia Urin 1. Tes diagnostik pada inkontinensia urin Menurut Ouslander, tes diagnostik pada inkontinensia perlu dilakukan untuk mengidentifikasi faktor yang potensial mengakibatkan inkontinensia, mengidentifikasi kebutuhan klien dan menentukan tipe inkontinensia. Setelah buang air kecil, pasang kateter, urin yang keluar melalui kateter diukur atau menggunakan pemeriksaan ultrasonik pelvis, bila sisa urin > 100 cc berarti pengosongan kandung kemih tidak adekuat. Dilakukan terhadap spesimen urin yang bersih untuk mendeteksi adanya faktor yang berperan terhadap terjadinya inkontinensia urin seperti hematuri, piouri, bakteriuri, glukosuria, dan proteinuria. Tes diagnostik lanjutan perlu dilanjutkan bila evaluasi awal didiagnosis belum jelas. Tes lanjutan tersebut adalah : kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium glukosa sitologi.

s atau pemotretan terhadap saluran perkemihan bagian atas dan bawah. 2. Pemeriksaan penunjang Uji urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin pada saat dilakukan penekanan dapat

juga dilakukan. Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri. Merembesnya urin seringkali dapat dilihat. Informasi yang dapat diperoleh antara lain saat pertama ada keinginan berkemih, ada atau tidak adanya kontraksi kandung kemih tak terkendali, dan kapasitas kandung kemih. 3. Laboratorium Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang menyebabkan poliuria. 4. Catatan berkemih (voiding record) Catatan berkemih dilakukan untuk mengetahui pola berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urin dan tidak inkontinensia urin, dan gejala berkaitan dengan inkontinensia urin. Pencatatan pola berkemih tersebut dilakukan selama 1-3 hari. Catatan tersebut dapat digunakan untuk memantau respon terapi dan juga dapat dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat menyadarkan pasien faktor-faktor yang memicu terjadinya inkontinensia urin pada dirinya. (Bruner and suddart, 2000) f) Penatalaksanaan Penatalaksanaan inkontinensia urin menurut Muller adalah mengurangi faktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol inkontinensia urin, modifikasi lingkungan, medikasi, latihan otot pelvis dan pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai berikut : a. Pemanfaatan kartu catatan berkemih Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang keluar, baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar karena tak tertahan, selain itu dicatat pula waktu, jumlah dan jenis minuman yang diminum. b. Terapi non farmakologi Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya inkontinensia urin, seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih, diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain. Adapun terapi yang dapat dilakukan adalah : Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu berkemih) dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah ditentukan sesuai dengan kebiasaan lansia. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini dilakukan pada lansia dengan gangguan fungsi kognitif (berpikir). Melakukan latihan otot dasar panggul dengan mengkontraksikan otot dasar panggul secara berulang-ulang. Adapun cara-cara mengkontraksikan otot dasar panggul tersebut adalah dengan cara : Berdiri di lantai dengan kedua kaki diletakkan dalam keadaan terbuka, kemudian pinggul digoyangkan ke kanan dan ke kiri 10 kali, ke depan ke belakang 10 kali, dan berputar searah dan berlawanan dengan jarum jam 10 kali. Gerakan seolah-olah memotong feses pada saat kita buang air besar dilakukan 10 kali. Hal ini dilakukan agar otot dasar panggul menjadi lebih kuat dan urethra dapat tertutup dengan baik. Menurut Kane dkkuntuk masing-masing tipe dari inkontinensia ada bebrapa hal khusus yang dianjurkan misalnya; a. Inkontinensia tipe stress o Latihan oto-otot dasar panggul

o Latihan penyesuaian berkemih o Obat-obatan untuk merelaksasi kandung kemih o Tindakan pembedahan dapat memperkuat muara kandung kemih b. Inkontinensia urgensi: o Latiahan mengenal sensasi berkemih o Obat-obatan untuk merelaksasikan kandung kemih dan estrogen o Tindakan pembedahan untuk mengambil sumbatan yang dalam keadaan patologik dapat menyebabkan iritasi pada saluran kandung kemih bagian bawah. c. Inkontinensia tipe luapan: o Kateterisasi, bila mungkin secara intermiten, dan kalau tidak mungkn secara menetap. o Tindakan pembedahan untuk mengangkat penyebab sumbatan. d. Inkontinensia tipe fungsional: o Penyesuaian sikap berkemih antara lain dengan jadwal dan kebiasaan berkemih. o Pakaian dalam dan kain penyerap khusus lainnya, o Penyesuaian /modifikasi lingkungan tempat berkemih o Kalau perlu gunakan obat-abatan yang dapat merelaksasikan kandung kemih 4. Terapi farmakologi Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urgen adalah antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine, flavoxate, Imipramine.Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti Bethanechol atau alfakolinergik antagonis seperti prazosin untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat. 5. Terapi pembedahan Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan urgensi, bila terapi non farmakologis dan farmakologis tidak berhasil. Inkontinensia tipe overflow umumnya memerlukan tindakan pembedahan untuk menghilangkan retensi urin. Terapi ini dilakukan terhadap tumor, batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic (pada wanita). 6. Modalitas lain Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang menyebabkan inkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat bantu bagi lansia yang mengalami inkontinensia urin, diantaranya adalah pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan. Dapat digunakan pada kondisi akut maupun pada kondisi dimana pengobatan sudah tidak berhasil mengatasi inkontinensia urin.Namun pemasangan pampers juga dapat menimbulkan masalah seperti luka lecet bila jumlah air seni melebihi daya tampung pampers sehingga air seni keluar dan akibatnya kulit menjadi lembab, selain itu dapat menyebabkan kemerahan pada kulit, gatal, dan alergi. Kateter menetap tidak dianjurkan untuk digunakan secara rutin karena dapat menyebabkan infeksi saluran kemih, dan juga terjadi pembentukan batu. Selain kateter menetap, terdapat kateter sementara yang merupakan alat yang secara rutin digunakan untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini digunakan pada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung kemih. Namun teknik ini juga beresiko menimbulkan infeksi pada saluran kemih. Seperti urinal, komod dan bedpan yang digunakan oleh orang usia lanjut yang tidak mampu bergerak dan menjalani tirah baring. Alat bantu tersebut akan menolong lansia terhindar dari jatuh serta membantu memberikan kemandirian pada lansia dalam menggunakan toilet.

INTERVENSI 1. Diagnosa I Inkonteninsia berhubungan dengan kelemahan otot pelvis Tujuan : Klien akan bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan inkonteninsia Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional penatalaksanaan. Intervensi : o Kaji kebiasaan pola berkemih dan dan gunakan catatan berkemih sehari, o Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program yang direncanakan. o Obserpasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran saat kandung kemih. o Intruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoranyang lebih dulu. o Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat masukan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi. o Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan kekuatannya dengan latihan o Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan frekuensi inkonteninsia. 2. Diagnosa 2 Resiko infeksi b.d inkontinensia, imobilitas dalam waktu yang lama. Tujuan : Berkemih dengan urine jernih tanpa ketidaknyamanan, urinalisis dalam batas normal, kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri. Intervensi : a. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap shift. Jika pasien inkontinensia, cuci daerah perineal sesegera mungkin. R: Untuk mencegah kontaminasi uretra. b. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan kateter 2x sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah buang air besar. R: Kateter memberikan jalan pada bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan. c. Ikuti kewaspadaan umum (cuci tangan sebelum dan sesudah kontak langsung, pemakaian sarung tangan), bila kontak dengan cairan tubuh atau darah yang terjadi (memberikan perawatan perianal, pengososngan kantung drainse urine, penampungan spesimen urine). Pertahankan teknik asepsis bila melakukan kateterisasi, bila mengambil contoh urine dari kateter indwelling. R: Untuk mencegah kontaminasi silang. d. Kecuali dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan masukan sekurangkurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan kebutuhan. R: Untuk mencegah stasis urine. e. Lakukan tindakan untuk memelihara asam urine. Tingkatkan masukan sari buah berri. Berikan obat-obat, untuk meningkatkan asam urine. R: Asam urine menghalangi tumbuhnya kuman. Karena jumlah sari buah berri diperlukan untuk mencapai dan memelihara keasaman urine. Peningkatan masukan cairan sari buah dapat berpengaruh dalam pengobatan infeksi saluran kemih. 3. Diagnosa 3 Resiko Kerusakan Integitas kulit yang berhubungan dengan irigasi konstan oleh urine Tujuan : Jumlah bakteri < 100.000 / ml. Kulit periostomal tetap utuh. Suhu 37 C. Urine jernih dengan sedimen minimal. Intervensi :

a. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam. R: Untuk mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan. b. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-kira setengah inci lebih besar dar diameter stoma untuk menjamin ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah seperempat sampai setengah penuh. R: Peningkatan berat urine dapat merusak segel periostomal, memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine dapat menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi. 4. Diagnosa 4 Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut bau urine Intervensi : a. Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi urinaria, diskusikan pada saat pertama. R: Memberikan informasi tentang tingkat pengetahuan pasien / orang terdekat tentang situasi individu dan Pasien menerimanya(contoh; inkontinensia tak sembuh, infeksi) b. Dorong pasien / orang terdekat untuk mengatakan perasaan. Akui kenormalan perasaan marah, depresi, dan kedudukan karena kehilangan. Diskusikan peningkatan dan penurunan tiap hari yang dapat terjadi setelah pulang. R: Memberikan kesempatan menerima isu / salah konsep. Membantu pasien / orang terdekat menyadari bahwa perasaan yang dialami tidak biasa dan bahwa perasaan bersalah pada mereka tidak perlu / membantu. Pasien perlu mengenali perasaan sebelum mereka dapat menerimanya secara efektif. c. Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan, manipulasi atau tidak terlibat pada asuhan. R: Dugaan masalah pada penyesuaian yang memerlukan evaluasi lanjut dan terapi lebih efektif. Dapat menunjukkan respon kedukaan terhadap kehilangan bagian / fungsi tubuh dan kawatir terhadap penerimaan orang lain, juga rasa takut akan ketidakmampuan yang akan datang / kehilangan selanjutnya pada hidup karena kanker. d. Berikan kesempatan untuk pasien / orang terdekat untuk memandang dan menyentuh stoma, gunakan kesempatan untuk memberikan tanda positif penyembuhan, penampilan, normal, dsb. R: Meskipun integrasi stoma ke dalam citra tubuh memerlukan waktu berbulan-bulan / tahunan, melihat stoma dan mendengar komentar (dibuat dengan cara normal, nyata) dapat membantu pasien dalam penerimaan ini. Menyentuh stoma meyakinkan klien / orang terdekat bahwa stoma tidak rapuh dan sedikit gerakan stoma secara nyata menunjukkan peristaltic normal. e. Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya melalui partisipasi dalam perawatan diri. R: Kemandirian dalam perawatan memperbaiki harga diri. f. Pertahankan pendekatan positif, selama aktivitas perawatan, menghindari ekspresi menghina atau reaksi mendadak. Jangan menerima ekspresi kemarahan pasien secara pribadi. R: Membantu pasien / orang terdekat menerima perubahan tubuh dan menerima akan diri sendiri. Marah paling sering ditunjukkan pada situasi dan kurang kontrol terhadap apa yang terjadi (tidak terduga), bukan pada pemberi asuhan. g. Rencanakan / jadwalkan aktivitas asuhan dengan orang lain. R: Meningkatkan rasa kontrol dan memberikan pesan bahwa pasien dapat mengatasinya, meningkatkan harga diri. h. Diskusikan fungsi seksual dan implan penis, bila ada dan alternatif cara pemuasan seksual. R: Pasien mengalami ansietas diantisipasi, takut gagal dalam hubungan seksual setelah pembedahan, biasanya karena pengabaian, kurang pengetahuan. Pembedahan yang mengangkat kandung kemih

dan prostat (diangkat dengan kandung kemih) dapat mengganggu syaraf parasimpatis yang mengontrol ereksi pria, meskipun teknik terbaru ada yang digunakan pada kasus individu untuk mempertahankan syaraf ini. 5. Diagnosa 5 Resiko ketidakefektifan penatalaksaan program terapeutik yang berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan tenttang penyebab inkontinen, penatalaksaan, progam latihan pemulihan kandung kemih, tanda dan gejala komplikasi, serta sumbe komonitas Tujuan : Mengungkapkan pemahaman tentang kondisi, pemeriksaan diagnostik, dan macam terapeutik. Keluhan berkurang tentang cemas atau gugup. Ekspresi wajah rileks. Intervensi : a. Berikan kesempatan kepada klien dan orang terdekat untuk mengekspresikan perasaan dan harapannya. Perbaiki konsep yang salah. R: Kemapuan pemecahan masalah pasien ditingkatkan bila lingkungan nyaman dan mendukung diberikan. b. Berikan informasi tentang: Sifat penyakit. Deskripsi singkat tentang tidur. Pemeriksaan setelah perawatan. Bila informasi harus diberikan selama episode nyeri, pertahankan intruksi dan penjelasan singkat dan sederhana. Berikan informasi lebih detail bila nyeri terkontrol. R: Pengetahuan apa yang akan dirasakan membantu mengurangi ansietas, nyeri mempengaruhi prose belajar. WOC DAFTAR PUSTAKA Doengoes, Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan pasien, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran, EGC, 2000 Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, Jakarta, EGC. 2006 http;/medicastore.com/penyakit/602/inkontinensia_Uri.html

1. Charlene J. Reeves at all. Keperawatan Medikal Bedah, Jakarta : Salemba Medica, 2001. 2. Susan Martin Tucker at all. Patient Care Standarts Collaborative Planning & Nursing Interventions, Seventh Edition, St. Louis Baltimore Berlin : Mosby, 2000. 3. Luckmanns, Suzanne E, Tatro. Care Principles and practise of Medical Surgical Nursing. 4. Christensen Kocknow. Adult Health Nursing, Third edition, St. Louis Baltimore, Boston : Mosby, 1999. 5. Susan Puderbangh, Susan W. Nursing Care Planning Guides, for Adult In Acute, Extended and Home Care Settings. WB. Saunders Company, 2001.

También podría gustarte