Está en la página 1de 22

Melani 260110110061 Kelas A

ANTIBODI MONOKLONAL DAN POLIKLONAL


I. Perbedaan Antibodi Monoklonal dan Poliklonal Antibodi muncul pada hewan dalam menanggapi antigen khas yang heterogen, karena mereka dibentuk oleh beberapa klon yang berbeda dari sel plasma, disebut poliklonal. Antibodi yang muncul dari klon tunggal sel, misalnya pada tumor sel plasma (myeloma), bersifat homogen, disebut monoklonal (Levinson, 2004). ANTIBODI POLIKLONAL Murah untuk diproduksi Tidak membutuhkan teknologi canggih Keterampilan yang diperlukan ANTIBODI MONOKLONAL Mahal untuk diproduksi Teknologi canggih diperlukan diperlukan untuk penggunaan

rendah Pelatihan teknologi

Skala waktu pendek

Skala waktu yang panjang untuk hibridoma

Menghasilkan sejumlah besar antibodi non Dapat menghasilkan sejumlah besar antibodi spesifik Mengenal beberapa epitop pada satu antigen spesifik, tapi mungkin terlalu spesifik Hanya mengenal satu epitop pada antigen (Milner, 2013). II. Antibodi Monoklonal 2.1. Pengertian Antibodi Monoklonal

Semua hewan terus-menerus menghadapi serangan virus, bakteri, kapang dan kimiawi dalam lingkungannya. Apabila gangguan ini memasuki tubuh dan individu selnya, akibatnya dapat membahayakan. Barisan pertahanan pertama dibentuk oleh kulit dan membran yang mengelilingi sel dan dalam banyak hal, pertahanan ini dapat mengusir

ancaman bahaya tersebut. Akan tetapi, apabila sistem pertahanan ini dapat ditembus, sel memberikan senjata yang lebih baik dan ampuh untuk mengatasi penyerang. Yang paling utama diantara senjata sistem imunitas adalah segolongan protein yang dikenal sebagai antibodi (Prentis, 1990). Antibodi adalah bagian dari pertahanan tubuh terhadap benda asing yang ingin masuk tubuh, termasuk organisme penyebab penyakit. Antibodi merupakan semacam protein yang dapat mengenal dan berikatan dengan benda asing yang masuk ke dalam tubuh (Sardjoko, 1991). Antibodi dibuat oleh sel khusus dalam limpa, darah dan kelenjar getah bening. Selsel pembuat antibodi yang disebut sel B ini melepaskan antibodi yang menjelajahi tubuh, memilih dan menempel pada mikroba atau benda asing lainnya. Sekali penyerbu telah dikenal oleh antibodi, sisa sistem kekebalan tubuh akan bekerja dan berakhir dengan

peniadaan benda asing yang tidak diinginkan (Sardjoko, 1991). Bentuk setiap molekul antibodi ditentukan oleh urutan asam amino yang digunakan untuk menyusunnya. Semua antibodi memiliki bentuk dasar yang sama, yaitu seperti huruf Y. Tetapi bila diperiksa lebih rinci, ditemukan bahwa keseragaman yang tampak itu menyembunyikan keanekaragaman yang sukar dipercaya (Sardjoko, 1991). Setiap antibodi mempunyai dua lekuk yang identik, masing-masing satu pada ujung tangan molekul. Bentuk lekuk menunjukkan variasi yang kecil antara jenis antibodi yang satu dengan jenis yang lainnya. Variasi inilah yang memberikan ciri khas yang paling penting bagi antibodi. Lekuk antibodi itu sesuai dengan bangunan molekul dan membentuk sambungan yang erat. Dalam tubuh manusia terdapat jutaan antibodi dengan tipe yang berbeda-beda. Setiap tipe mempunyai lekuk-lekuk dengan bentuk yang khas (Sardjoko, 1991). Permukaan setiap substansi, apakah itu virus, bakteri, atau bahkan plastik yang licin, bertaburan molekul-molekul yang menonjol ke dalam lingkungannya. Jika antibodi menjumpai tonjolan-tonjolan yang kebetulan sesuai dengan lekuk-lekuknya, tonjolan akan

masuk ke dalam lekuk dan terjadilah perlekatan yang erat seperti terkunci. Badan yang diikat antibodi disebut antigen, dan hubungan antibodi dan antigen merupakan sambungan yang erat. Antibodi hanya mengikat antigen yang bentuknya benar-benar sesuai. Istilah antibodi monoklonal digunakan untuk kelompok antibodi yang identik, yang semuanya mempunyai bentuk lekuk yang sama, sehingga hanya akan mengenal antigen yang benar-benar sama (Sardjoko, 1991). Antibodi monoklonal adalah antibodi dengan spesifisitas yang ditetapkan berasal dari sel kloning atau organisme. Mereka dapat diperoleh dari limfosit B immortal yang dikloning dan diperluas sebagai garis sel yang berkesinambungan (mencit dan antibodi monoklonal manusia) atau dari baris sel rDNA-rekayasa mamalia atau bakteri (antibodi monoklonal direkayasa). Pertimbangan penting untuk penggunaan klinis antibodi monoklonal termasuk kemungkinan reaktivitas silang immunological yang tidak disengaja dari antibodi dengan antigen jaringan manusia yang tidak diinginkan, dan kemungkinan adanya virus dalam produk (Milanda et al., 2007). Antibodi monoklonal adalah antibodi yang disekresikan oleh sel plasma dari sel limfosit yang berasal dari satu jenis klon sel sehingga hanya dapat berikatan dengan satu jenis antigen determinant. Berbeda dengan antibodi poliklonal yang merupakan populasi beberapa sel, antibodi monoklonal memiliki beberapa kelebihan : a. Dapat menjamin keseragaman kandungan antibodi yang dihasilkan karena berasal dari satu jenis klon saja yang diproduksi secara berulang dari suatu kumpulan sel hibrid yang telah diseleksi sebelumnya. b. Mengurangi kemungkinan terjadinya reaksi silang atau reaksi nonspesifik seperti yang dapat terjadi pada penggunaan antibodi poliklonal. c. Kekuatan atau afinitas kecepatan reaksi antigen-antibodi monoklonal pada umumnya lebih kuat dibandingkan dengan ikatan antigen-antibodi poliklonal. d. Prose pemurnian lebih mudah karena relatif lebih sedikit jenis kandungan antibodinya. e. Dapat digunakan untuk tujuan terapi yaitu antara lain untuk perbaikan overdosis obat, mengurangi resiko transplantasi organ, deteksi tumor metastatis dan sebagai obat target sitotoksik (Milanda et al., 2007).

Kekurangan: 1. Dapat menghasilkan sejumlah besar antibodi spesifik, tapi mungkin terlalu spesifik (misalnya lebih kecil kemungkinannya untuk mendeteksi di di berbagai spesies) 2. Lebih rentan terhadap hilangnya epitop melalui pengobatan kimiawi dari antigen dibanding antibodi poliklonal. Hal ini dapat diimbangi dengan menggabungkan dua atau lebih antibodi monoklonal terhadap antigen yang sama (Milner, 2013).

2.2. Jenis Antibodi Monoklonal Antibodi monoklonal mempunyai 4 jenis, yaitu: 1. Murine, murin didapat dari tikus dapat menyebabkan human antimouse antibodies (HAMA) nama akhirannya moma. 2. Chimeric, gabungan Fc antibodi human dan Fab antibodi monoklonal tikus nama akhirannya ximab. 3. Humanized, hanya sebagian kecil Fab antibodi tikus yang digabungkan dengan antibodi human (95-98%), nama akhirannya zumab. 4. Fully human, keseluruhan antibodi human nama akhirannya mumab (Jri, 2007).

2.3. Produksi dan seleksi hibridoma Sel memiliki dua jalur dalam sintesis nukleotida yaitu jalur de novo dan jalur salvage (penyelamatan). Sel yang dikultur in vitro bisa bertahan hidup menggunakan kedua jalur tersebut. Jika dilakukan mutasi pada enzim yang terkait sintesis nukleotida, maka kita bisa memanipulasi sel mamalia tersebut. HGPRT (Hipoxantin-guanin fosforibosil transferase) merupakan enzim penting dalam jalur salvage. HGPRT mengkatalis pembentukan nukleotida purin dari ribosa, hipoxantin, dan guanine (Prentis, 1990).

(Prentis, 1990). Mutasi gen HGPRT bisa diseleksi dengan cara menumbuhkan sel di medium yang mengandung 8-azoguanin (analog purin). HGPRT akan menganggap 8-azoguanin adalah substrat dan selanjutnya mengubahnya menjadi nukleotida monofosfat. Senyawa ini bersifat berbahaya, kemudian diproses lebih lanjut dan berikatan dengan DNA dan RNA. Sehingga, sel yang memiliki enzim HGPRT yang tumbuh pada medium yang mengandung 8-AG akan mati (Prentis, 1990). Enzim HGPRT adalah diperlukan pada jalur salvage (non-esensial), sedangkan jalur de novo masih ada, jadi sel yang mengalami mutasi gen HGPRT pun tetap tumbuh. Oleh karena itu, seleksi menggunakan 8-AG akan membunuh sel yang memiliki HGPRT tetapi tidak akan berefek pada sel mutan HGPRT (Prentis, 1990). Apa hubungannya dengan produksi antibodi monoklonal? Sel myeloma yang nantinya akan difusikan dengan sel penghasil antibodi, tidak mensintesis atau mensekresikan imunoglobulin dan HGPRT. Untuk menyeleksi hibridoma yang cocok, bisa digunakan medium HAT. Obat-obatan seperti aminopterin akan memblok sintesis nukleotida jalur de novo karena aminopterin adalah analog dengan koenzim f-THFA/formyl tetrahidrofolic acid, yang penting untuk sintesis nukleotida purin via jalur de novo. Hal ini menyebabkan adanya pengeblokan pada jalur de novo karena kompetisi ikatan enzim dengan f-THFA. Sehingga sel akan dipaksa menggunakan jalur salvage untuk sintesis purin (Prentis, 1990). Namun, sel myeloma sendiri adalah defisiensi enzim HGPRT dan akan mati pada media yang mengandung aminopterin. Splenosit tidak bisa tumbuh pada medium HAT karena jangka hidupnya yang pendek sekitar satu minggu. Sehingga, hanya hibridoma yang merupakan fusi sel dari myeloma dengan splenosit saja yang bisa bertahan hidup pada

medium HAT, induk splenosit akan menyumbangkan enzim HGPRTnya dan sel myeloma memberikan kemampuan untuk bisa hidup dan berkembang terus (Prentis, 1990). Dalam jangka waktu 7-10 hari, pada medium akan terdapat banyak sel-sel mati tetapi juga terdapat beberapa koloni sel yang hidup, yaitu sel hibridoma. Hibridoma yang terbentuk ini akan terus menerus tumbuh secara in vitro dan mensekresikan antibodi monoklonal. Berikutnya, penting untuk skrining hibridoma mana yang menghasilkan antibodi dan mana yang tidak. Skrining ini bisa menggunakan metode ELISA (Prentis, 1990). 2.4. Produksi Antibodi Monoklonal Antibodi monoklonal dapat diproduksi dengan cara in vivo atau dapat pula diproduksi secara besar-besaran secara in vitro sehingga dapat digunakan untuk tujuan komersial (Milanda et al., 2007). Kesukaran teknis utama terletak pada cara mendapatkan antibodi yang diperlukan. Tidak ada cara yang praktis untuk memisahkan antibodi yang diinginkan dari sekumpulan antibodi dengan tipe yang lain, sehingga perlu digunakan pendekatan yang berbeda (Sardjoko, 1991). Sel yang dapat membuat antibodi dapat dipisahkan dengan relatif mudah. Tetapi setiap sel B (pembuat antibodi) hanya menghasilkan satu jenis antibodi. Ada kemungkinan dari sel B dibuat klon sel yang identik yang dengan biakan sel dalam cawan kaca dan dengan pemberian nutrien yang sesuai, semua akan membuat antibodi yang sama. Mungkin hasilnya bukan antibodi yang diperlukan, tetapi antibodi yang sifatnya murni atau monoklonal (Sardjoko, 1991). Dengan mengulang proses ini untuk banyak sel secara individual, akhirnya akan muncul sel penghasil antibodi yang diinginkan. Tetapi masalahnya adalah bahwa sel B akan segera mati setelah dikeluarkan dari tubuh. Umurnya dalam laboratorium yang demikian pendek tidak cukup untuk menghasilkan klon yang memadai, bahkan hanya untuk mengetahui antibodi yang dihasilkan, apalagi untuk mendapatkan antibodi yang diperlukan (Sardjoko, 1991). Kohler dan Milstein menemukan akal untuk memecahkan masalah tersebut. Ironinya, penemuan yang memberikan harapan begitu besar untuk pengobatan dengan sel normal, diterapkan melalui penggunaan sel kanker. Berbeda dengan sel normal, sel kanker dapat

dibiakkan secara mudah. Dalam kondisi laboratorium yang tepat, sel kanker akan tumbuh dan membelah dengan benar-benar tidak terbatas (Sardjoko, 1991). Penggabungan kemampuan sel B untuk menghasilkan antibodi dan sel kanker yang tampaknya bersifat kekal itu dapat menghasilkan antibodi monoklonal dalam jumlah yang besar. Agak mengherankan bahwa hal ini dapat dilakukan dengan cara yang langsung. Fusi sel B dengan sel kanker dapat menghasilkan sel hibrida yang mempunyai sifat kedua sel induknya dan dapat membuat antibodi yang hidup dalam waktu yang sangat panjang (Sardjoko, 1991). Untuk menyempurnakan metode pembuatan sel hibridoma ini sulit dikerjakan. Tetapi dalam waktu yang tidak terlalu lama setelah keberhasilan Kohler dan Milstein, tekniknya telah disempurnakan dan sekarang telah umum dilakukan di ratusan laboratorium (Sardjoko, 1991). Pembuatan antibodi monoklonal terhadap suatu patogen atau toksin terentu dapat dilakukan melalui beberapa cara, salah satunya yang paling umum dilakukan adalah dengan teknik teknologi hibridoma (Milanda et al., 2007). Prinsip teknologi hibridoma adalah memproduksi antibodi melalui hasil fusi sel limfosit B dari hewan mamalia (mencit) dengan sel myeloma (sel tumor) dari spesies sejenis yang memiliki sifat immortal. Sel hibrid yang terjadi selanjunya diseleksi untuk menghasilkan selsel yang hanya memproduksi antibodi monoklonal yang dituju. Teknologi ini melibatkan serangkaian proses, antara lain: a. Imunisasi hewan sumber antibodi. b. Fusi sel B dari limfosit hewan tersebut dengan sel myeloma dari spesies hewan sejenis untuk menghasilkan sel hibrid yang dapat menghasilkan antibodi dengan sifat immortal sehingga dapat dikembangkan secara in vitro. c. Seleksi sel hibrid yang menghasilkan antibodi yang diinginkan. d. Kloning sel hibrid dan perbanyakan secara in vitro. e. Karakterisasi antibodi yang dihasilkan. f. Pemurnian (Milanda et al., 2007).

Dalam pembuatan antibodi monoklonal, yang terpenting adalah persiapan antigen (harus memiliki sifat imunogenik dan antigenik) dan proses imunisasi dilakukan dengan selang waktu tertentu untuk menginduksi terbentuknya antibodi dengan sempurna. Penambahan

adjuvant (untuk meningkatkan respon imun) seringkali digunakan untuk hasil imunisasi yang lebih baik (Milanda et al., 2007). Fusi antara sel limpa dengan sel myeloma dilakukan dengan penambahan larutan PEG (polietilen glikol) dengan BM 4000-6000, konsentrasi tertentu sebagai penstabil fusi. Keberhasilan fusi sangat bergantung pada beberapa faktor antara lain : suhu inkubasi,perbandingan jumlah sel limpa dan myeloma uang difusi, teknik pencampuran kedua jenis sel dan teknik penambahan PEG itu sendiri (Milanda et al., 2007). Pada saat kedua sel didifusikan, proses seleksi perlu dilakukan untuk menghasilkan sel hibrid yang memiliki sifat-sifat tertentu yang diinginkan. Seleksi yang dilakukan adalah jalur metabolisme sel di dalam medium HAT (Hypoxanthine-Aminopterin-Thymidine) (Milanda et al., 2007). Sel hibrid yang terseleksi selanjutnya dikultur dan diuji supernatannya akan keberadaan antibodinya dan sifat reaksi silangnya menggunakan metode analisis imunokimia. Supernatan kultur yang positif dan spesifik selanjutnya di klon dengan metode pengenceran terbatas (limiting dilution) untuk memperbanyak klon sel yang hanya memproduksi antibodi yang diinginkan (Milanda et al., 2007). Produksi in vivo dengan cara pembentukan tumor cair pada hewan sejenis tidak dapat digunakan bila diinginkan produksi skala industri, sehingga metode in vitro lebih dianjurkan, misalnya dengan cara fermentasi. Hal ini kemudian dapat dikembangkan untuk memproduksi antibodi monoklonal rekombinan yang bertujuan untuk memperoleh spesifitas yang lebih tinggi dan dapat digunakan untuk tujuan diagnostik khusus dan untuk terapi (Milanda et al., 2007). Untuk produksi skala laboratorium, umumnya digunakan wadah-wadah polisterin. Produksi antibodi monoklonal menggunakan tumor cair (ascites) di dalam mencit biasanya berkisar antara 2-20 mg/ml, sedangkan di dalam supernatan kultur in vitro biasanya berkisar antara 5-50 g/ml. Namun, saat ini perbanyakan antibodi sudah dilakukan di dalam bioreaktor untuk produksi skala industry (Milanda et al., 2007). Metode pemurnian antibodi monoklonal dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain: 1. Pengendapan dengan Ammonium Sulfat

2. Elektroforesis 3. Kromatografi penukar ion 4. Filrasi gel 5. Kromatografi afinitas 6. Formulasi dan sterilisasi (Milanda et al., 2007).

(Ward, 2010). Keterangan Gambar: Produksi antibodi monoklonal merupakan proses dimana sejumlah besar antibodi (ditargetkan terhadap antigen tertentu X) dapat diproduksi. Seekor tikus diimunisasi dengan suntikan antigen X untuk menstimulasi produksi antibodi yang ditargetkan terhadap X. Selsel pembentuk antibodi terisolasi dari limpa tikus. Antibodi monoklonal diproduksi dengan menggabungkan satu sel pembentuk antibodi terhadap sel tumor yang tumbuh dalam kultur. Menghasilkan suatu sel yang disebut hibridoma (Ward, 2010). Setiap hibridoma menghasilkan molekul antibodi yang identik dengan jumlah yang relatif besar. Dengan membiarkan hibridoma berkembang biak dalam kultur, ada kemungkinan untuk menghasilkan populasi sel, masing-masing menghasilkan molekul antibodi yang identik. Antibodi ini disebut "antibodi monoklonal". Setelah antibodi monoklonal dibuat, dapat digunakan sebagai probe khusus untuk melacak dan memurnikan protein tertentu yang diinduksi pembentukannya (Ward, 2010).

Produksi Antibodi Monoklonal :

(Prescot et al., 2005). 2.5. Mekanisme Kerja Antibodi Monoklonal Antibodi monoklonal menggunakan mekanisme kombinasi untuk meningkatkan efek sitotoksik sel tumor. Mekanisme komponen sistem imun adalah antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC), complement dependent cytotoxicity (CDC), mengubah signal transduksi sel tumor atau menghilangkan sel permukaan antigen. Antibodi dapat digunakan sebagai target muatan (radioisotop, obat atau toksin) untuk membunuh sel tumor atau mengaktivasi prodrug di tumor, antibody directed enzyme prodrug therapy (ADEPT). Antibodi monoklonal digunakan secara sinergis melengkapi mekanisme kerja kemoterapi untuk melawan tumor (Sardjoko, 1991). 1. Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) terjadi jika antibodi mengikat antigen sel tumor dan Fc antibodi melekat dengan reseptor Fc pada permukaan sel imun efektor. Interaksi Fc reseptor ini berdasarkan kemanjuran antitumor dan sangat penting pada pemilihan suatu antibodi monoklonal. Sel efektor yang berperan masih belum jelas tapi diasumsikan sel fagosit mononuklear dan atau natural killer (NK). Struktur Fc domain dimanipulasi untuk menyesuaikan jarak antibodi dan interaksi dengan Fc reseptor. Antibody dependent cellular cytotoxicity (ADCC) dapat

meningkatkan respons klinis secara langsung menginduksi destruksi tumor melalui presentasi antigen dan menginduksi respons sel T tumor. Antibodi monoklonal berikatan dengan antigen permukaan sel tumor melalui Fc reseptor permukaan sel NK. Hal ini memicu penglepasan perforin dan granzymes untuk menghancurkan sel tumor. Sel - sel yang hancur ditangkap antigen presenting cell (APC) lalu dipresentasikan pada sel B sehingga memicu penglepasan antibodi kemudian antibodi ini akan berikatan dengan target antigen. Sel cytotoxic T lymphocytes (CTLs) dapat mengenali dan membunuh sel target antigen (Sardjoko, 1991). 2. Complement dependent cytotoxicity (CDC) Pengikatan antibodi monoklonal dengan antigen permukaan sel akan mengawali kaskade komplement. Complement dependent cytotoxicity (CDC) merupakan suatu metode pembunuh sel tumor yang lain dari antibodi. Imunoglobulin G1 dan G3 sangat efektif pada CDC melalui jalur klasik aktivasi komplemen. Formasi kompleks antigen antibodi merupakan komplemen C1q berikatan dengan IgG sehingga memicu komplemen protein lain untuk mengawali penglepasan proteolitik sel efektor kemotaktik / agen aktivasi C3a dan C5a. Kaskade komplemen ini diakhiri dengan formasi membrane attack complex (MAC) sehingga terbentuk suatu lubang pada sel membran. Membrane attack complex (MAC) memfasilitasi keluar masuknya air dan Na++ yang akan menyababkan sel target lisis (Sardjoko, 1991). 3. Perubahan transduksi signal Reseptor growth factor merupakan suatu antigen target tumor, ekspresinya berlebihan pada keganasan. Aktivasi transduksi signal pada kondisi normal akan menginduksi respons mitogenik dan meningkatkan kelangsungan hidup sel, hal ini diikuti dengan ekspresi perkembangan sel tumor yang berlebihan yang juga menyebabkan tumor tidak sentitif terhadap zat kemoterapi. Antibodi monoklonal sangat potensial menormalkan laju perkembangan sel dan membuat sel sensitif terhadap zat sitotoksik dengan menghilangkan signal reseptor ini. Target antibodi EGFR merupakan inhibitor yang kuat untuk transduksi signal. Terapi antibodi monoklonal memberikan efek penurunan densiti ekspresi target antigen contohnya penurunan konsentrasi EGFR permukaan sel tumor atau membersihkan ligan seperti VEGF. Pengikatan ligand reseptor growth factor memicu dimerisasi dan aktivasi

kaskade signal sehingga terjadi proliferasi sel dan hambatan terhadap zat sitotoksik. Antibodi monoklonal menghambat signal dengan cara menghambat dimerisasi atau mengganggu ikatan ligan (Sardjoko, 1991). 4. Imunomodulasi Beberapa percobaan menunjukkan antibodi yang langsung melawan cytotoxic T lymphocyte antigen 4 (CTLA 4) terbukti dapat menginduksi regresi imun. Pola toksisiti yang diteliti pada uji klinis memperlihatkan hubungan perlekatan CTLA 4 dengan ligan dapat menginduksi respons autoimun, hal ini terlihat pada aktivasi sel T dependent. Gabungan antibodi antiCTLA 4 dengan antibodi monoklonal

menginduksi ADCC, kemoterapi sitotoksik atau radioterapi sehingga dapat meningkatkan respons imun terhadap antigen spesifik tumor (Sardjoko, 1991). 5. Penghantaran muatan sitotoksik Antibodi monoklonal pada terapi kanker akan melawan target sel tumor dengan cara mengikat sel spesifik tumor dan menginduksi respons imun. Antibodi monoklonal telah digunakan secara luas dalam percobaan sebagai zat sitotoksik sel - sel tumor. Modifikasi antibodi monoklonal dilakukan dengan tujuan sebagai zat penghantar radioisotop, toksin katalik, obat obatan, sitokin, enzim atau zat konjugasi aktif lainnya. Pola antibodi bispesifik pada kedua bagian Fab memungkinkan untuk mengikat target antigen dan sel efektor (Sardjoko, 1991). 6. Antibodi directed enzyme prodrug therapy (ADEPT) Antibodi directed enzyme prodrug therapy (ADEPT) menggunakan antibodi monoklonal sebagai penghantar untuk sampai ke sel tumor kemudian enzim mengaktifkan prodrug pada tumor, hal ini dapat meningkatkan dosis active drug di dalam tumor. Konjugasi antibodi monoklonal dan enzim mengikat antigen permukaan sel tumor kemudian zat sitotoksik dalam bentuk inaktif prodrug akan mengikat konjugasi antibodi monoklonal dan enzim permukaan sel tumor akhirnya inaktivasi prodrug terpecah dan melepaskan aktif drug di dalam tumor (Sardjoko, 1991).

2.6. Penggunaan Antibodi Monoklonal

Antibodi monoklonal juga dapat dibuat di laboratorium dengan menggabungkan sel myeloma dengan sel yang memproduksi antibodi. Hibridoma tersebut menghasilkan jumlah hampir tak terbatas dari antibodi monoklonal yang berguna dalam tes diagnostik dan penelitian (Levinson,2004). Antibodi monoklonal dapat digunakan untuk tiga tujuan berikut: 1. Pemurnian reagen untuk tes atau penelitian 2. Sebagai penanda pada deteksi assay 3. Untuk eksperimental terapi (Prentis, 1990). Aplikasi terapi dari Antibodi monoklonal 1. Induksi imunisasi pasif 2. Diagnostik imaging Antibodi monoklonal dapat digunakan untuk melihat protein tertentu dalam tubuh, misal antibodi monoklonal dikonjugasikan dengan logam inert pasien yang dirontgen. Dari hasil rontgen tersebut dapat dikenali protein tertentu yang terlibat dalam penyakit. Cara ini juga diterapkan dalam melihat metastasis sel kanker. 3. Diagnostik molekular Antibodi monoklonal dapat diaplikasikan untuk identifikasi penyakit yang lebih dikenal dengan imunologikal diagnostik. Dimana deteksi imunologik merupakan deteksi imunologik merupakan sistem deteksi yang sensitif, spesifik, dan sederhana. Misal: membedakan DHF dan tifus. 4. Monitoring terapi obat (untuk live-saving drug) 5. Sistem penghantaran obat (Drug delivery system / DDS) 6. Isolasi dan atau purifikasi obat baru 7. Terapi kanker Para ahli bisa membuat antibodi monoklonal yang mampu bereaksi dengan antigen spesifik berbagai jenis sel kanker. Dengan ditemukannya lebih banyak lagi antigen kanker, berarti akan semakin banyak antibodi monoklonal yang bisa digunakan untuk terapi berbagai jenis kanker. Bila antibodi berikatan dengan antigen tumor spesifik yang terdapat di permukaan sel, maka ia juga bisa menginduksi sel mengalami apoptosis (Prentis, 1990).

(Prentis, 1990). Toksin yang biasa dikonjugasikan dengan antibodi monoklonal persiapan untuk penggunaan klinik sebagai agen antikanker: 1. Ricin 2. Pokeweed 3. Gelonin 4. Pseudomonas endotoksin 5. Diptheria toksin 6. Abrin 7. Protein antiviral (Prentis, 1990).

2.6.1.

Penggunaan Klinik Antibodi Monoklonal Antibodi monoklonal Target Antibodi Penggunaan Spesifik Secara Klinis

Fungsi Klinik

Transplantasi terkait imunosupresi

1. Basiliximab, daclizumab 2. Muromonab (OKT3)

Reseptor IL-2

Mencegah mengobati

atau penolakan dan reaksi

CD3 pada sel T TNF

allograft

graft-versus-host Mengobati rheumatoid arthritis dan penyakit Crohn (ileitis regional)

Pengobatan penyakit autoimun

1. Infliximab 2. Adalimumab

Pencegahan penyakit menular Pengobatan kanker

Palivizumab

protein fusi virus Mencegah pneumonia pernapasan sinsitial pada neonatus rentan limfoma

1. Rituximab

Protein CD20 pada Mengobati sel B non-Hodgkins

2. Trastuzumab

Reseptor pertumbuhan epidermal

faktor Mengobati payudara

kanker

(Levinson, 2004). 2.4.2. Penggunaan Antibodi Monoklonal Untuk Diagnosis Hormon Polipeptida Gonatropin korlonik, hormone pertumbuhan, hormone lutinizing, hormone stimuli folikel, hormone stimuli prolaktin Penanda tumor Antigen karsinoembrionik, antigen spesifik prostat, reseptor IL2, Reseptor faktor tumbuh epidermal Sitokin Monitor Obat Penyakit Infeksi IL 1-8, faktor stimuli koloni Teofilin, gentamisin, siklosporin Klamidia, herpes, rubella, hepatitis B,

legionela, HIV, CMV Target campuran Tiroksin, Vitamin B12, feritin, protein Tau (Sudjadi, 2008). Banyak penyakit dicirikan oleh adanya senyawa yang tidak terdapat dalam badan atau oleh adanya badan yang biasanya ada, tetapi terdapat dalam jumlah yang berlebihan. Antibodi monoklonal akan segera digerakkan untuk mendeteksi adanya virus, bakteri atau benda asing lain, dengan mencampur antibodi yang tepat dalam sampel darah atau cairan tubuh. Pemberian senyawa spesifik ini dalam takaran yang tepat ke dalam tubuh pasien, mungkin juga dapat digunakan untuk mendiagnosis berbagai gangguan yang lain, seperti beberapa bentuk kemandulan yang ditandai oleh kurangnya hormon tertentu (Sardjoko, 1991). Para pakar bioteknologi telah dapat mengembangkan antibodi monoklonal yang spesifik untuk setiap senyawa yang sangat penting dalam bidang pengobatan. Penerapan antibodi monoklonal yang potensi diantaranya adalah peningkatan pertahanan alami pasien, peningkatan keberhasilan pencangkokan organ, penyampaian obat ke bagian spesifik tubuh, dan pemurnian obat sebelum diberikan kepada pasien (Sardjoko, 1991).

Secara teoritis dan juga semakin terasa dalam praktisnya, pakar bioteknologi dapat mengembangkan antibodi monoklonal yang bersifat spesifik bagi senyawa apa saja terutama yang berkaitan dalam pengobatan / kesehatan. Sekian banyak jurnal ilmiah melaporkan rincian percobaan yang mempergunakan antibodi monoklonal dalam puluhan cara, dari identifikasi sel kanker hingga melacak urat syaraf lintah raksasa. Dalam lima tahun terakhir ini, teknik yang baru telah memainkan peranan yang bertambah penting di dalam penelitian dasar. Untuk memenuhi kebutuhan akan antibodi monoklonal, perusahaan dengan nama eksotik, sepeti Hydriedtech, Celltech, dan Allergenetics, bermunculan pada akhir tahun tujuh puluhan dan awal delapan puluhan. Pada pertengahan 1983, lebih dari 40 produk antibodi monoklonal telah diizinkan bagi penggunaan diagnostik di Amerika Serikat, termasuk untuk alat-alat uji kehamilan, diagnosis kanker, dan deteksi virus rabies (Prentis, 1990). Teknologi baru ini sekarang diperhitungkan untuk memberikan dampak utama dalam praktek kedokteran yang meliputi semua spektrum penyakit manusia, dari kanker dan gangguan ginjal sampai infeksi yang disebabkan oleh virus dan bakteri. Potensi aplikasi antibodi monoklonal termasuk meningkatkan pertahanan alamiah penderita, memperbaiki peluang transplantasi organ yang berhasil, mengarahkan obat menuju bagian tubuh yang spesifik dan memurnikan obat-obatan sebelum diberikan kepada penderita (Prentis, 1990). Contoh aplikasi terakhir ini adalah produksi antibodi monoklonal yang melekat hanya pada molekul interferon dan menolak molekul lainnya. Antibodi ini dapat diikat pada suatu butiran yang kemudian ditempatkan pada suatu tabung. Apabila campuran senyawa yang mengandung sejumlah kecil interferon dituang ke dalam tabung tersebut, antibodi akan mengikat molekul interferon dari campuran senyawa, sementara bahan-bahan yang tidak diinginkan mengalir keluar. Kemudian, suatu bahan kimia ditambahkan, dibiarkan mengalir melalui tabung untuk melepaskan ikatan antibodi dengan interferon yang kemudian

dibebaskan ke luar. Teknik ini menghasilkan larutan yang 5000 kali lebih kaya akan interferon dibandingkan dengan campuran besar semula. Hal ini dan penggunaan lain dari antibodi monoklonal bergantung pada daya seleksi yang istimewa (Prentis, 1990). Penggunaan antibodi monoklonal telah dikenal sejak tahun 1975 yaitu ketika Kohler dan Milstein berhasil mengkonstruksi sel hibridoma yang mensekresi antibodi dengn spesifitas khusus. Salah satu yang paling fenomenal adalah penggunaan antibodi monoklonal sebagai pereaksi diagnostik dalam metode imunokimia. Metode analisis imunokimia dengan

prinsip reaksi antigen-antibodi telah banyak digunakan dalam riset maupun laboratorium klinik. Perkembangan metode ini dimulai pada tahun 1959 oleh Yellow dan Berson yang memperkenalkan metode Radio Immunoassay (RIA) untuk mengukur jumlah insulin dalam serum. Sejak saat itu berbagai metode dengan prinsip imunokimia ini telah dikembangkan untuk tujuan klinis. Keuntungan metode imunokimia dibandingkan metode analisis lainnya adalah : 1. Spesifias tinggi karena situs pengikat antibodi tertentu hanya dapat bereaksi dengan determinan antigen (epitop) yang sesuai saja dan tidak akan terjadi ikatan dengan antigen lainnya. 2. Reaksi imunokimia dapat dikombinasikan dengan beberapa teknik analisis lain, seperti spektrofotometri atau kromatografi dan lain-lain untuk tujuan kuantitatif. 3. Hasil reaksi umumnya dapat dengan cepat diamati. 4. Sensitivitas tinggi (Milanda et al., 2007). Selain untuk analisis antibodi monoklonal digunakan pula dalam bidang farmasi sebagai carrier untuk targeted drug dan dapat pula berfungsi sebagai obat (protein terapeutik) (Milanda et al., 2007). 2.4.3. Antibodi Monoklonal Generasi Baru

Terapi menggunakan antibodi monoklonal terganggu dengan munculnya beberapa masalah. Pada eksperimen awal, terdapat reaksi alergi dari bagian asing antibodi eksperimental dari tikus yang disebut HAMA (human anti-mouse antibody) yang mencegah digunakan lebih dari sekali. Para ahli mengatasi masalah ini dengan membuang bagian antigen dari bagian tikus tersebut, dengan membuat antibodi chimeric dan humanized mAb. 1. Chimeric mAb Rituximab adalah antibodi monoklonal pertama yang termasuk dalam chimeric mAb. Chimeric diambil dari nama sebuah hewan mistis. Rituximab dibuat dari fusi dua sel dari mencit dan manusia. 2. Humanized mAb

(Prentis, 1990).

III. Antibodi Poliklonal 3.1. Pengertian Antibodi poliklonal adalah antibodi yang telah diperoleh dari beberapa sel B atau cell lines. pembuatan antibodi ini memiliki beberapa kemiripan dengan berbagai antibodi yang ditemukan dalam serum normal, yang merupakan komponen cairan yang memisahkan dari darah yang membeku. Kemiripan ini disebabkan oleh fakta bahwa antibodi yang merupakan poliklonal mengenali epitop yang berbeda dan memiliki derajat yang berbeda kekhususan. Sebaliknya, antibodi dalam persiapan monoklonal yang berasal dari satu jenis klon dan mengenali epitop yang sama dengan derajat yang sama kekhususan (Loyd, 2013). Untuk menghasilkan antibodi poliklonal , binatang seperti ayam, tikus atau kelinci diimunisasi dengan antigen dan persiapan adjuvan. Sistem kekebalan hewan dirangsang untuk memproduksi sel B yang mensekresikan antibodi yang spesifik untuk antigen. Setelah jangka waktu tertentu, biasanya beberapa minggu atau bahkan berbulan-bulan, serum hewan dipanen (Loyd, 2013). Persiapan khusus antibodi poliklonal biasanya campuran antibodi spesifik dimana seluruhnya mengenali antigen yang sama. Antibodi mengikat dengan kekuatan yang berbeda untuk epitop yang berbeda pada antigen (Loyd, 2013).

3.1.1.

Ciri

1. Mengenali beberapa epitop pada satu antigen. Serum yang diperoleh akan berisi campuran kompleks heterogen dari antibodi dengan afinitas yang berbeda 2. Poliklonal tersusun sebagian besar dari subklas IgG 3. Imunogen peptida sering digunakan untuk menghasilkan antibodi poliklonal yang menargetkan epitop yang unik, terutama untuk keluarga protein homologi tinggi (Milner, 2013). 3.1.2. Produksi Antibodi

1. Murah untuk memproduksinya 2. Teknologi dan keterampilan yang dibutuhkan untuk produksi rendah 3. Skala waktu produksi pendek 4. Antibodi Poliklonal tidak bermanfaat untuk menyelidiki domain spesifik antigen karena antiserum poliklonal biasanya akan mengenali banyak domain (Milner, 2013). 3.1.3. Keuntungan :

Poliklonal akan mengenali beberapa epitop pada satu antigen yang memiliki keuntungan sebagai berikut: 1. Poliklonal dapat membantu memperkuat sinyal dari target protein dengan tingkat ekspresi rendah, seperti protein target akan mengikat lebih dari satu molekul antibodi pada beberapa eptitopes. Ini tidak akan menjadi keuntungan bagi percobaan kuantifikasi misalnya dalam aliran cytometry, karena hasilnya akan menjadi tidak akurat. 2. Karena dapat mengenali beberapa epitop, polyclonals dapat memberikan hasil yang lebih baik di IP / ChIP 3. Lebih toleran terhadap perubahan kecil dalam antigen, misalnya, polimorfisme, heterogenitas glikosilasi, atau perubahan kecil denaturasi, dibandingkan monoklonal antibodi (homogen). 4. Antibodi poliklonal akan mengidentifikasi protein homologi tinggi terhadap protein imunogen atau untuk menyaring protein target dalam sampel jaringan dari spesies lain dibandingkan dengan imunogen misalnya Antibodi poliklonal kadang-kadang digunakan ketika sifat antigen dalam spesies belum teruji tidak diketahui. Hal ini juga penting untuk memeriksa urutan imunogen untuk setiap reaktivitas silang.

5. Antibodi Poliklonal sering menjadi pilihan yang lebih disukai untuk mendeteksi protein terdenaturasi. 6. Beberapa epitop umumnya menyediakan deteksi lebih kuat. 7. Antibodi Poliklonal tidak bermanfaat untuk menyelidiki domain spesifik antigen,

karena antiserum biasanya akan mengenali banyak domain (Milner, 2013). 3.1.4. 1. Kerugian Mereka menghasilkan sejumlah besar antibodi non-spesifik yang kadang-kadang dapat memberikan sinyal latar belakang dalam beberapa aplikasi. 2. Beberapa epitop membuatnya penting untuk memeriksa urutan imunogen untuk setiap reaktivitas silang (Milner, 2013). 3.2. Proses yang terjadi pada antibodi poliklonal 1. Diproduksi dengan imunisasi hewan dengan antigen yang tepat. 2. Imunisasi atau vaksinasi adalah suatu prosedur untuk meningkatkan derajat imunitas seseorang terhadap patogen tertentu atau toksin. Imunisasi yang ideal adalah yang dapat mengaktifkan sistem pengenalan imun dan sistem efektor yang diperlukan. Hal tersebut dapat diperoleh dengan pemberian antigen yang tidak patogenik. 3. Serum dari hewan terimunisasi dikumpulkan 4. Antibodi dalam serum dapat dimurnikan lebih lanjut. 5. Karena satu antigen menginduksi produksi banyak antibodi maka hasilnya berupa polyclonal /campuran antibody (Milner, 2013).

DAFTAR PUSTAKA
Jri. 2007. Jenis Antibodi Monoklonal. Tersedia di http://www.klikpdpi.com/jurnal-warta/jri01-07/jurnal-7.html. Diakses pada tanggal 1 Juni 2013. Levinson, Warren. 2004. Medical Microbiology and Immunology Eximination and Board Review. Eighth Edition. USA: McGraw-Hill. Loyd, Emma. 2013. Polyclonal Antibodies. Available online at http://www.wisegeek.com/ what-are-polyclonal-antibodies.htm. Accessed on May 27, 2013. Milanda, Tiana., Sri Agung F., dan Tina R. 2007. Buku Ajar Matakuliah Bioteknologi Farmasi. Jatinangor: Fakultas Farmasi Unpad. Milner, Jonathan. 2013. Polyclonal and monoclonal: A comparison. Available online at http://www.abcam.com/index.html?pageconfig=resource&rid=11269&pid=11287. Accessed on May 26, 2013. Prentis, Steve. 1990. Bioteknologi. Jakarta: Erlangga. Prescot, et al,. 2005. Animation Quiz 3 - Monoclonal Antibody Production. Available online at http://highered.mcgrawhill.com sites/0072556781/student_view0/chapter32/ anim ation_quiz_3.html. Accessed on May 27, 2013. Sardjoko. 1991. Bioteknologi, Latar Belakang dan Penerapannya. Jakarta: PT Gramedia. Sudjadi. 2008. Bioteknologi Kesehatan. Yogyakarta : Kanisius. Ward, VivianLee. 2010. Monoclonal Antibody. Available online at http://www.accessexcell ence.org/RC /VL/GG/monoclonal.php.. Accessed on May 27, 2013.

También podría gustarte