Está en la página 1de 9

FENOMENOLOGI

Pengertian Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani dengan asal suku kata pahainomenon

(gejala/fenomena). Adapun studi fenomenologi bertujuan untuk menggali kesadaran terdalam para subjek mengenai pengalaman beserta maknanya. Sedangkan pengertian fenomena dalam Studi Fenomenologi sendiri adalah pengalaman/peristiwa yang masuk ke dalam kesadaran subjek. Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak

(phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang menampakkan diri. fenomen merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri. Konstitusi merupakan proses tampaknya fenomen-fenomen kepada kesadaran. Fenomen mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran pada dirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh kesadaran. Konstitusi ini berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional. Sebagai contoh dari konstitusi: saya melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang saya lihat merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, saya melihat gelas itu dari depan, belakang, kanan, kiri, atas dan seterusnya. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua perspektif itu. Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realitas. Suatu fenomen tidak pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat manusia. Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi dalam filsafat Husserl selalu

diartikan sebagai konstitusi genetis. Proses yang mengakibatkan suatu fenomen menjadi real dalam kesadaran adalah merupakan suatu aspek historis. Husserl juga mengungkapkan tentang reduksi transendental. Reduksi ini harus dilakukan menurut Husserl lebih dikarenakan karena Husserl menginginkan fenomenologi menjadi suatu ilmu rigous. Ilmu rigous tidak boleh mengandung keraguan, atau ketidak pastian apapun juga. Ucapan yang dikemukakan pada ilmu rigorous harus bersifat apodiktis (tidak mengizinkan keraguan). Suatu benda material tidak pernah diberikan kepada kita secara apodiktis dan absolut. Setiap benda material selalu diberikan dalam bentuk profil-profil. Misalnya dari sebuah lemari yang ada di hadapan saya, saya hanya dapat melihat depannya saja tanpa dapat mengetahui bentuk depannya, dan ketika saya ingin melihat sisi depannya, maka saya harus melihatnya dari sisi yang lainnya, namun setelah itu saya tidak bisa melihat sisi depan dari profil-profil lain. Dengan cara inilah benda-benda material tampak bagi saya. Setiap benda material tidak pernah diberikan kepada saya menurut segala profil-profilnya, secara total dan absolut. Cara realitas material tampak bagi saya bersikap sedemikian rupa, sehingga tidak dapat ditemukan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya. Karena alasan-alasan itulah fenomenologi sebagai ilmu rigorous harus mulai dengan mempraktekkan reduksi transendental. Wawasan utama fenomenologi adalah pengertian dan penje lasan dari suatu realitas harus dibuahkan dari gejala realitas itu sendiri (Aminuddin, 1990:108). Dalam perkembangannya, fenomenologi memang ada beberapa macam, antara lain: (a) fenomenologi Edid etik dalam linguistik, fenomenologi Ingarden dalam sastra, artinya pengertian murni ditentukan melalui penentuan gejala utama, penandaan dan pemilahan, penyaringan untuk menentukan keberada an, penggambaran gejala (refleksi), fenomenologi transendental, dan (d) fenomenologi eksistnsial. Bagi fenomenologi transendental, keberadaan realitas sebagai objek secara tegas ditekankan. Kesa daran aktif dalam menangkap dan merekonstruksi kesadaran terhadap suatu gejala amat penting. Bagi fenomenologi eksitensial, penentuan pengertian dari gejala budaya semata-mata tergantung individu. Refleksi individual menjadi guru bagi individu itu sendiri dalam rangka menemukan kebenaran. Metode kualitatif fenomenologi berlandaskan pada empat kebenaran, yaitu kebenaran empirik sensual, kebenaran empirik logik, kebenaran empirik etik, dan kebenaran empirik

transenden. Atas dasar cara mencapai kebenaran ini, fenomenologi menghendaki kesatuan antara subyek peneliti dengan pendukung obyek penelitian. Keter libatan subyek peneliti di lapangan dan penghayatan fenomena yang dialami menjadi salah satu ciri utama. Hal tersebut juga seperti dikatakan Moleong (1988:7-8) bahwa pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Mereka berusaha untuk masuk ke dunia konseptual para subyek yang ditelitinya sedemikian rupa sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang mereka kembangkan di sekitar peristiwa dalam kehidupannya sehari hari. Makhluk hidup tersedia pelbagai cara untuk menginterpretasikam pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa penger tian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan. Sejarah Fenomenologi Pada masa sebelum ada cara berpikir fenomenologis, cara berpikir manusia dibagi dua kutup yang berlawanan 180 derajat yaitu: idealisme dan realisme. Kaum penganut idealisme menilai benda-benda maupun peristiwa yang terjadi disekitarnya berdasarkan ide-ide yang dikembangkan dalam pikirannya. Kemudian ide-ide ini membentuk semacam frame of reference yang secara subjectif dipahami sebagai kebenaran. Dalam memandang dunia sekitarnya seorang idealist akan memakai acuan frame of reference yang merupakan ideide dalam pikirannya. Oleh karena itu seorang idealist biasanya juga sangat subjectif dalam menilai dunia sekitarnya. Sumbangan idealisme kedunia adalah adanya penemuan-penemuan baru, ide-ide baru, karya besar di bidang sastra, dll. Sedangkan kebalikannya kaum penganut realisme, melihat benda-benda maupun sesuatu peristiwa yang ada sesuai dengan keadaan nyata benda tersebut yang secara nyata bisa diraba, diukur atau punyai nilai tertentu. Kalau tidak bisa dibuktikan bahwa benda itu nyata dan punya nilai atau ukuran tertentu maka benda itu tidak pernah ada. Oleh karena itu penganut realisme cenderung kepada atheisme yang tidak percaya adanya Tuhan karena Tuhan tidak bisa dilihat secara nyata. Realisme sangat berpengaruh di Eropa pada masa revolusi industri dan sumbangannya kedunia adalah kemajuan science & technology. Pada sekitar awal abad ke 20, walaupun revolusi industri terus bergerak, beberapa filsuf di Eropa seperti Edmund Hursell (1859 - 1938) mulai meragukan kehandalan cara berpikir realisme yang seolah-olah tidak ada satupun dialam ini yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan alam. Apapun yang telah ditemukan, persoalan-persoalan dasar manusia

tidak pernah bisa diselesaikan. Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan alam. Edmund Hursell memperkenalkan fenomenologi yang belakangan dikembangkan menjadi eksistensialisme. Cara berpikir fenomenologi ditekankan dengan pengamatan terhadap gejala-gejala dari suatu benda. Kalau seorang penganut realisme menilai benda dengan cara melihat bentuk, ukuran dan nilai suatu benda, maka seorang penganut fenomenologi melihat benda dengan gejala-gejala yang muncul dari benda tersebut. Benda itu ada berdasarakan gejala-gejala yang timbul dari benda itu sendiri, kita hanya menangkap gejala-gejala tersebut. Benda tersebut bercerita tentang dirinya dengan memancarkan gejala-gejala, dengan menangkap gejala tersebut kita bisa menangkap esensi benda tersebut. Semua benda punya pancaran gejala-gejalanya sendiri-sendiri, kita akan bisa lebih memahami benda tersebut apabila kita menganggap benda sebagai subjek yang menceritakan diri sendiri melalui gejalagejala yang memancar darinya. Contohnya: kalau kita melihat kursi, kursi itu sendiri memancarkan gejala-gejala bahwa dia itu kursi bukan meja. Kita hanya perlu menangkap gejala yang muncul dari kursi tersebut kemudian kita tidak akan salah bahwa dari gejalagejala yang muncul dari kursi itu bahwa kebenarannya dia itu kursi, bukan benda yang lain. Jelas cara berpikir ini adalah cara berpikir yang radikal berbeda dengan cara berpikir idealisme maupun realisme. Idealisme memahami alam sekitarnya melalui manusia sebagai subject dengan ide-ide pikirannya, benda disimpulkan sepenuhnya tergantung dari ide-ide pikiran. Realisme memahami benda kalau benda itu nyata berdasarkan ukuran atau nilai. Sedangkan fenomenologi menganggap object sebagai subject yang bercerita kepada kita melalui gejala-gejala yang timbul darinya. Fenomenologi Sebagai Metode Penelitian Penelitian fenomenologi mencoba menjelaskan atau mengungkap makna konsep atau fenomena pengalaman yang didasari oleh kesadaran yang terjadi pada beberapa individu. Penelitian ini dilakukan dalam situasi yang alami, sehingga tidak ada batasan dalam memaknai atau memahami fenomena yang dikaji. Menurut Creswell (1998:54), Pendekatan fenomenologi menunda semua penilaian tentang sikap yang alami sampai ditemukan dasar tertentu. Penundaan ini biasa disebut epoche (jangka waktu). Konsep epoche adalah membedakan wilayah data (subjek) dengan interpretasi peneliti. Konsep epoche menjadi pusat dimana peneliti menyusun dan mengelompokkan dugaan awal tentang fenomena untuk mengerti tentang apa yang dikatakan oleh responden. Berikut ini adalah sedikit uraian tentang fenomenologi sebagai metode penelitian;

Fokus Penelitian Fenomenologi :


Textural description: apa yang dialami subjek penelitian tentang sebuah fenomena. Structural description: bagaimana subjek mengalami dan memaknai pengalamannya.

Teknik Pengumpulan Data Fenomenologi :


Teknik utama pengumpulan data: wawancara mendalam dengan subjek penelitian. Kelengkapan data dapat diperdalam dengan : observasi partisipan, penulusuran dokumen, dan lain-lain.

Tahap-Tahap Penelitian Fenomenologi :


Pra-penelitian Menetapkan subjek penelitian dan fenomena yang akan diteliti Menyusun pertanyaan penelitian pokok penelitian

Proses Penelitian Fenomenologi :

Melakukan wawancara dengan subjek penelitian dan merekamnya.

Analisis Data Fenomenologi :


Mentranskripsikan rekaman hasil wawancara ke dalam tulisan. Bracketing (epoche): membaca seluruh data (deskripsi) tanpa prakonsepsi. Tahap Horizonalization: menginventarisasi pernyataan-pernyataan penting yang relevan dengan topik.

Tahap Cluster of Meaning: rincian pernyataan penting itu diformulasikan ke dalam makna, dan dikelompokkan ke dalam tema-tema tertentu. (Textural description, Structural description)

Tahap deskripsi esensi: mengintegrasikan tema-tema ke dalam deskripsi naratif.

Husserl dan Heidegger: Dua Tipe Fenomenologi Fenomenologi merupakan pendekatan yang dirumuskan Edmund Husserl pada awal abad ke20. Fenomenologi telah membuka bidang pemahaman fenomena pra-konseptual. Ia berusaha melihat fenomen sebagai realitas yang menampakkan diri apa adanya. Artinya, tanpa kita menafsirkan fenomen-fenomen itu. Ini adalah penemuan baru Husserl. Namun, fenomenologi Husserl ini berbeda dengan Heidegger. Pendekatan Husserl terarah pada fungsi kesadaran

sebagai subyektivitas transendental. Kesadaran kita, menurut Husserl selalu terarah pada sesuatu di luarnya (sadar akan sesuatu). Sedangkan Heidegger justru melihat media vital historisitas keber-ada-an manusia di dunia. Menurutnya, kesadaran bukan sekedar kesadaranakan sesuatu, melainkan kesadaran dalam/sebagai sesuatu. Apa maksudnya? Kita tidak sekedar menyadari sesuatu, melainkan sesuatu itu turut membentuk kesadaran kita. Kita tidak hanya sadar hidup di suatu dunia, tetapi juga sadar bahwa dunia ini turut membentuk kita yang ada di dalamnya. Arah pendekatan Heidegger adalah keberadaan manusia itu sendiri. Heidegger berpandangan bahwa fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih mendasar dari pada kesadaran dan pengetahuan manusia. Ada lebih utama dari kesadaran, karena kesadaran hanyalah cara Ada menampakkan diri. Ini berbeda dengan Husserl yang menganggap keberadaan Ada sebagai datum kesadaran. Perbedaan fenomenologi Husserl dengan metode fenomenologis Heidegger dapat diringkas dalam kata hermeneutik itu sendiri. Term ini tidak pernah digunakan Husserl untuk merujuk pada karyanya, sementara Heidegger mengatakan bahwa dimensi otentik metode fenomenologi membuat karyanya (Being and Time) bersifat hermeneutis; proyeknya dalam Being and Time adalah hermeneutik Dasein. Term tersebut mengasumsikan adanya bias anti sains yang bisa membedakan secara nyata Heidegger dengan Husserl. Filsafat dalam pegertian Husserl secara mendasar masih sains, suatu ilmu yang kaku, sementara bagi Heidegger filsafat menjadi pemikiran historis, penemuan kreatif masa lalu. Garis pembeda antara dua tipe fenomenologi di atas, secara jelas tergambarkan pada persoalan yang lain yaitu historisitas. Menurut Heidegger, Fenomenologi Husserl hanya mengelaborasi pola yang telah di bentuk oleh Descartes, Kant, dan Fichte. Di sini historisitas masih asing. Heidegger berusaha mengatasi filsafat modern yang berporos pada kesadaran atau subyektivitas. Misalnya dalam Descartes, kenyataan atau ada itu diciptakan oleh kesadaran. Jika aku menyadari danau di luar diriku maka danau itu ada. Pandangan semacam ini yang ditolak Heidegger. Kesadaran yang ditemukan Descartes itu bukanlah segala-galanya sebagaimana dipikirkan oleh Descartes, melainkan hanyalah salah satu cara Ada menampakkan diri dalam kesejarahan Ada (historisitas Ada). Apa itu historisitas Ada? Kita harus membayangkan seluruh manusia dan alam semesta ini sebagai suatu cerita tentang penampakan diri Ada dalam berbagai maknanya. Dalam penggalan tertentu yang kita sebut zaman modern, Ada lebih ditangkap sebagai kesadaran atau subyektivitas. Tetapi ini tidak berlaku untuk segala zaman. Heidegger menawarkan strategi lain dalam mendekati fenomen kesadaran: membuka diri terhadap Ada dan membiarkan Ada tampak apa adanya

(memahami). Karena itu fenomenologi tidak sekedar untuk membuka kesadaran manusia belaka tapi juga sebagai sarana untuk mendekati Ada dalam seluruh faktisitas dan historisitasnya. Di sinilah penekanannya bahwa fenomenologi harus menjadi hermeneutis. Fenomenologi Hermeneutis Dalam bagian buku Sein und Zeit yang berjudul The Phenomenological Method of Investigation, Heidegger menyebut metode fenomenologinya sebagai hermeneutika. Untuk mengerti hal ini, Heidegger kembali pada akar kata fenomenologi. Fenomenologi berasal dari akar kata Yunani yang merupakan kombinasi kata

polimorfemikphainomenon atau phainesthai dan logos.

Phainomenon/phainesthai berarti

yang menampakkan diri, sesuatu yang termanifestasikan, atau tampak apa adanya. Sedangkan logos adalah sesuatu yang dipahami dalam pembicaraan, tidak diartikan sebagai nalar atau landasan. Dengan demikian, Logos berarti sesuatu yang dengan sendirinya membiarkan sesuatu itu muncul. Logos membiarkan ssuatu itu tampak sebagai

sesuatu. Logos menjadi hermeneutika. Dengan demikian, kombinasi phainomenon/phainesthai dan logos berarti membiarkan bendabenda (fenomen) termanifestasikan sebagaimana adanya, tanpa memaksakan kategorikategori kita sendiri pada benda-benda tersebut. Ini berarti berlawanan dengan kebiasaan yang telah ada. Bukan kita yang menunjuk benda atau realitas, tapi realitas itu sendiri yang menunjukkan dirinya kepada kita. Metode fenomenologi ini menjadi signifikan bagi teori hermeneutis. Metode ini menunjukkan bahwa interpretasi tidaklah didasarkan pada kesadaran dan kategori yang dibuat manusia, tetapi pada realitas yang menampakkan diri apa adanya. Dengan kata lain, ontologi harus menjadi fenomenologi. Heidegger, dalam Being and Time berusaha mendekati Ada sebagai fenomen. Lantas apa hubungannya dengan hermeneutika? Sebagaimana ontologi menjadi

fenomenologi tentang Ada, ia juga harus menjadi hermeneutika eksistensi. Hermeneutika ini bukanlah suatu metode filologi, juga bukan metode memahami (Geisteswissenschaften) seperti yang diungkapkan Dilthey, melainkan hermeneutika yang membuka sesuatu yang tersembunyi. Ia bukan interpretasi atas interpretasi (misalnya suatu teks) melainkan kegiatan primer interpretasi yang membuka hakekat Ada. Selanjutnya, Hermeneutika menjadi interpretasi Dasein. Dengan demikian, pemahaman terhadap Dasein sendiri merupakan bagian yang penting dalam hermeneutika Heidegger. Akhirnya Heidegger sendiri mendefinisikan esensi hermeneutika sebagai kekuatan ontologis pemahaman dan

interpretasi yang memungkinkan keberadaan sesuatu khususnya keberadaan Dasein dapat terungkap. Kritik Terhadap Fenomenologi Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena

sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif. Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama. Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (valuebound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud. Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.

Sumber http://www.scribd.com/doc/46630905/FENOMENOLOGI oleh Franz Mahzuz Yuliato

También podría gustarte